Anda di halaman 1dari 22

KERANGKA KONSEP

Definisi
Kekerasan/Pelecehan
Seksual

Fisik

Lisan
Jenis-jenis
Kekerasan/Pelecehan Non Verbal
Seksual
Visual

Psikologi

KEKERASAN/PELECEHAN
SEKSUAL
Anamnesis

Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan Kasus
Kekerasan/Pelecehan
Seksual Pemeriksaan
Ginekologis

Pemeriksaan
Penunjang

Aspek medikolegal
Kekerasan/Pelecehan
Seksual

1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelecehan/Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan
ini dapat ditemukan di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak
memandang usia maupun jenis kelamin. Besarnya insiden yang dilaporkan di
setiap negara berbeda-beda. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun
2006 (National Violence against Women Survey/NVAWS) melaporkan bahwa
17,6% dari responden wanita dan 3% dari responden pria pernah mengalami
kekerasan seksual, beberapa di antaranya bahkan lebih dari satu kali sepanjang
hidup mereka. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 25% yang pernah membuat
laporan polisi.1
Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960 kasus
kekerasan seksual terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Dengan demikian
rata-rata ada 20 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tiap harinya.
Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan fenomena gunung
es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah
kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban enggan melapor, mungkin
karena malu, takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tidak tahu
harus melapor ke mana. Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di
Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun mengalami
peningkatan.1,2
Pelaporan tentu hanya merupakan langkah awal dari rangkaian panjang dalam
mengungkap suatu kasus kekerasan seksual. Salah satu komponen penting dalam
pengungkapan kasus kekerasan seksual adalah Visum et Repertum yang dapat
memperjelas perkara dengan pemaparan dan interpretasi bukti-bukti fisik
kekerasan seksual. Dokter, sebagai pihak yang dianggap ahli mengenai tubuh
manusia, tentunya memiliki peran yang besar dalam pembuatan Visum et
Repertum dan membuat terang suatu perkara bagi aparat penegak hukum. Karena
itu, hendaknya setiap dokter memiliki pengetahuan dan keterampilan yang

2
mumpuni dalam melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan korban kekerasan
seksual.1

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia melecehkan (leceh) artinya


memandang rendah (tidak berharga), menghina, menista. Pelecehan menunjukkan
proses, perbuatan, cara melecehkan. Seksual artinya berkanaan dengan seks (jenis
kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan. Kekerasan (keras) artinya perihal (yang bersifat, berciri) keras atau
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain atau
paksaan.3

Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi


seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya.
Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang
berkonotasi seksual. Aktifitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan
seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan
kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi
pelaku,kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada
korban.4

Kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan seksual, upaya


untuk mendapatkan tindakan seksual, komentar atau kemajuan seksual yang tidak
diinginkan, atau tindakan untuk memperdagangkan paksaan, ancaman bahaya atau
kekerasan fisik, oleh siapa pun tanda memandang hubungan dengan korban,
dalam pengaturan apapun termasuk tidak terbatas pada rumah dan kantor.5

Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang


terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan
mengganggu kehormatan orang lain.6

4
2.2 Bentuk-bentuk Pelecehan/kekerasan seksual
Secara umum, pelecehan seksual ada 5 bentuk :
1) Pelecehan fisik
Sentuhan yang tidak diinginkan mengarah keperbuatan seksual seperti
mencium, menepuk, memeluk, mencubit, mengelus, memijat tengkuk,
menempelkan tubuh atau sentuhan fisik lainya.
2) Pelecehan lisan
Ucapan verbal atau komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan
pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, termasuk lelucon
dan komentar bermuatan seksual.
3) Pelecehan non-verbal/isyarat
Bahasa tubuh dan atau gerakkan tubuh bernada seksual, kerlingan yang
dilakukan berulang-ulang, menatap tubuh penuh nafsu, isyarat dengan jari,
menjilat bibir.
4) Pelecehan visual
Memperlihatkan materi pornografi berupa foto, poster, gambar kartun,
atau pelecehan melalui e-mail, SMS dan media lainnya.
5) Pelecehan psikologi/emosional
Permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak
diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan
yang bersifat seksual.

2.3 Pemeriksaan Korban Pelecehan/Kejahatan Seksual


Secara umum sama dengan pemeriksaan korban perlukaan, akan tetapi
beberapa hal di bawah ini penting untuk diperhatikan, yaitu:1,7
1. Sebaiknya korban tidak menunggu terlalu lama. Hal ini penting untuk
mencegah rusak atau berubah atau hilangnya barang bukti yang terdapat di
tubuh korban, serta untuk menenangkan korban dan mencegah terjadinya
trauma psikis yang lebih berat.
2. Sebaiknya polisi, dokter, pekerja sosial atau psikolog memeriksa dalam
waktu yang bersamaan sehingga korban tidak ditanya berulang kali.

5
3. Dokter harus menjelaskan kepada korban tentang prinsip dan tujuan
pemeriksaan, tatalaksana pemeriksaan dan interpretasi hasil pemeriksaan
serta kemudian meminta persetu juan dari korban atau keluarganya
menandatangani lembar persetujuan dalam berkas rekam medis.
4. Korban yang telah berusia 21 tahun atau yang telah pernah menikah, sadar
dan tidak mempunyai gangguan jiwa (psikosis atau retardasi mental) harus
menandatanganinya sendiri. Korban yang tidak memenuhi keriteris di atas
diwakili oleh keluarga yang terdekat.
5. Dokter didampingi seorang perawat wanita atau bidan selama melakukan
pemeriksaan. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu korban dan
sebagai saksi terhadap prosedur pemeriksaan dan pengambilan sampel.
Selain itu, hal ini juga perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa
terhadap tuduhan palsu bahwa dokter melakukan perbuatan tidak senonoh
terhadap korban saat pemeriksaan.
6. Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap
seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.
Dua aspek yang penting diperhatikan pada kasus kejahatan seksual/perkosaan
adalah:7
1. Mengumpulkan bukti-bukti persetubuhan, seperti robekan selaput dara,
adanya cairan mani atau sel sperma,
2. Mencari tanda-tanda kekerasan, seperti riwayat kehilangan kesadaran
dan luka-luka.
2.3.1 Anamnesis

Wawancara dengan korban meliputi empat elemen: Wawancara teraupetik,


wawancara investigasi, wawancara medis dan wawancara medico-legal.
Walaupun isi dari masing-masing wawancara bisa saling tumpang tindih dan
perbedaan wawancara dalam beberapa hal dapat dilakukan oleh orang yang sama,
dengan tujuan dan fungsi masing-masing berbeda. Wawancara dapat dilakukan
tersendiri, bersahabat dan lingkungan yang mendukung. Pemeriksa akan

6
membangun suatu hubungan dengan korban dan mulai dengan pertanyaan umum
yang tidak berhubungan dengan kekerasan seksual yang dialami, seperti riwayat
medis. Jika diperlukan dapat digunakan penerjemah. Bahasa dan nama
penerjemah yang digunakan dapat dicatat dalam laporan. Pada kasus remaja,
mereka diijinkan untuk didampingi oleh orang tua bila mereka mau. Mereka juga
diperlakukan dengan cara yang sama seperti orang dewasa. berikut hal-hal yang
perlu ditanyakan kepada korban:7,8,9
1. Identitas (terutama umur dan tanggal lahir)
2. Riwayat menstruasi
- Usia menarche
- Siklus haid
- Haid terakhir
3. Status perkawinan
4. Riwayat aktifitas seksual
5. Anamnesis mengenai kejadian
a. Waktu
b. Lokasi
c. Kekerasan sebelum kejadian
d. Terjadi penetrasi atau tidak
e. Apa yang dilakukan setelah terjadinya kekerasan seksual
2.3.2 Pemeriksaan Fisik Status Generalis
Status generalis seperti keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda vital,
penampilan secara keseluruhan, keadaan emosional (tenang, sedih, gelisah),
pakaian, kooperatif atau tidak. Gigi geligi juga perlu diperiksa terutama
pertumbuhan gigi ke VII dan gigi ke VIII. Gigi ke VII mulai tumbuh usia 12
tahun dan gigi ke VIII mulai tumbuh pada usia 17 tahun. Keadaan dalam rongga
mulut juga harus diperiksa apakah terdapat lecet, ptekie, maupun kemerahan
untuk menilai ada atau tidak akibat aktifitas seksual secara oral.8
Lakukan pemeriksaan perkembangan seks sekunder seperti mammae,
rambut aksial dan rambut pubis. Periksa seluruh tubuh apakah luka-luka atau
tidak. Bila ditemukan luka, maka deskripsikan luka tersebut dengan baik, lengkap

7
dan jelas. Apabila ada riwayat kehilangan kesadaran, carilah tanda bekas hilang
kesadaran/pemberian obat bius atau obat tidur, kalau ada bekas suntikan periksa
darah dan urin.8

Berikut ini detail penilaian kekerasan seksual yang dapat menguatkan


terjadinya kekerasan seksual pada korban:8,11
1. Trauma non genital (kekerasan, bukti menguatkan)
Trauma fisik adalah pembuktian terbaik adanya kekerasan dan harus selalu
didokumentasikan melalui foto, dideskripsikan melalui gambar dan dalam bentuk
laporan tertulis. Bukti trauma dapat juga menguatkan pernyataan korban akan
kejadian tersebut.
Pola trauma non genitalia Peneliti forensik harus banyak mengetahui
tentang pola trauma yang terjadi karena kekerasan seksual, untuk dapat
menanyakan pertanyaan yang tepat dan lokasi trauma berdasarkan cerita korban.
Tempat yang paling sering mengalami trauma pada korban kekerasan
seksual, termasuk:
1. Memar pada tungkai atas dan paha
2. Memar pada leher karena cekikan
3. Memar pukulan pada lengan atas
4. Memar karena postur bertahan pada sisi lengan luar
5. Trauma menyerupai cambuk atau tali pada punggung korban
6. Trauma pukulan atau gigitan pada payudara dan puting susu
7. Trauma pukulan pada abdomen
8. Trauma Pukulan dan tendangan pada paha
9. Memar, lecet, dan laserasi pada wajah.

8
2. Bukti trauma genital (kontak seksual, kekerasan)
Trauma genital menunjukkan adanya kontak seksual dan kekerasan.
Trauma genital paling banyak terlihat setelah kekerasan seksual. Akan tetapi, pada
kasus kekerasan seksual seringkali tidak ditemukan bukti trauma genital. Dengan
demikian, tidak adanya trauma genital tidak dapat diinterpretasikan bahwa
hubungan seks yang terjadi atas persetujuan. Dengan kata lain, peneliti forensik
seringkali tidak menemukan bukti trauma genital, dan alasan mengapa ini terjadi
harus dijelaskan di pengadilan.
Trauma biasanya ditemukan dalam pemerkosaan yang disebabkan oleh
tidak adanya respon, yaitu:
1. Tidak adanya kemiringan pelvik untuk mempersiapkan penetrasi
2. Tidak adanya bantuan pasangan dengan memasukkan penis atau objek
lain.
3. Tidak adanya lubrikasi
4. Tidak adanya relaksasi
2.3.3 Pemeriksaan Status Ginekologis1,7,12,13
1. Posisi litotomi
2. Periksa luka-luka sekitar vulva, perineum, paha
Yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan
mani; penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya
rambut pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku,
penggumpalan atau perlengketan rambut pubis akibat cairan mani • daerah
vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan pada
jaringan lunak, bercak cairan mani).
3. Lakukan pemeriksaan alat kemaluan berturut-turut mulai dari labia
mayora, labia minora, vestibulum, selaput dara, vagina, leher rahim, dan
besar uterus.
4. Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani
5. Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian
bawah), apakah ada perlukaan

9
6. hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi
litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya
perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan
7. vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
8. serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan
dan adanya cairan atau lendir
9. uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan.
10. Pemeriksaan selaput dara meliputi:
a. besarnya orifisium
b. ada tidaknya robekan
c. bila ada tentukan apakah robekan baru atau lama
d. apakah robekan sampai dasar liang vagina atau tidak sampai dasar
e. lokasi robekan, gunakan arah jam sebagai petunjuk lokasi robekan

10
Gambar 1. Jenis-jenis Himen1
11. Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis
12. Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk
mencari bercak mani atau air liur dari pelaku
13. Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.
14. Pada persetubuhan dubur, periksa colok dubur dan lakukan swab, bila
perlu protoskopi
Apabila hasil pemeriksaan selaput dara utuh, maka pertimbangkan
kemungkinan pemeriksaan dibawah ini:

11
2.3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pengambilan sampel harus dilakukan apabila kejadian kurang dari 72 jam.
Pengambilan sampel dapat berupa:1,8
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
sesuai indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban.
Sampel untuk pemeriksaan penunjang dapat diperoleh dari, antara lain:
1. Pakaian yang dipakai korban saat kejadian.
Diperiksa lapis demi lapis untuk mencari adanya trace evidence yang mungkin
berasal dari pelaku, seperti darah dan bercak mani atau dari tempat kejadian,
misalnya bercak tanah atau daun-daun kering
2. Rambut pubis
Yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal atau mengambil
rambut pubis yang terlepas pada penyisiran.
3. Kerokan kuku
Apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar pelaku maka
mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku korban
4. Swab
Dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari kulit
sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks poste- rior, kulit bekas
gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus
(pada sodomi), atau untuk pemeriksaan penyakit menular seksual
5. Darah
Sebagai sampel pembanding untuk identifi kasi dan untuk mencari tanda-
tanda intoksikasi NAPZA
6. Urin
Untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA.
Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang
bukti dari sampel yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan,
pengemasan, dan pengiriman sampel harus disertai dengan pembuatan berita acara
sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel akan dikirim
ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.

12
2.4 Evaluasi, Penanganan dan Konseling Korban Perkosaan
Seorang korban kekerasan seksual sering tidak hanya membutuhkan
layanan pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum, tapi juga tindak lanjut
medis. Tindak lanjut medis dapat mencakup penatalaksanaan psikiatrik dan
penatalaksanaan bidang obstetri-ginekologi. Tidak jarang seorang korban
kekerasan seksual mengalami trauma psikis sehingga membutuhkan terapi atau
konseling psikiatrik. Terapi tersebut dapat membantu korban mengatasi trauma
psikis yang dialaminya sehingga tidak berkepanjangan dan korban dapat
melanjutkan hidupnya seoptimal mungkin. Dalam bidang obstetri-ginekologi,
korban kekerasan seksual mungkin memerlukan tindakan pencegahan kehamilan
serta pencegahan atau terapi penyakit menular seksual. Apabila sudah terjadi
kehamilan, korban mungkin membutuhkan perawatan kehamilan atau terminasi
kehamilan sesuai ketentuan undang-undang.1,9
Dalam melakukan tindak lanjut, sangat penting bagi dokter untuk
melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Koordinasi yang baik
diperlukan antara dokter pemeriksa dengan dokter yang memberikan tata laksana
lanjutan agar korban mendapatkan perawatan yang diperlukan. Selain itu, dokter
juga harus menjalin kerjasama yang baik dengan pihak polisi penyidik agar hasil
pemeriksaan dokter dapat bermanfaat bagi pengungkapan kasus.
2.5 Aspek Etik Dan Medikolegal
Di Indonesia, pada umumnya definisi dan jenis kekerasan seksual yang
dianut diambil dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya
dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Salah satu pasal utama
adalah pasal 285 tentang Perkosaan yang berbunyi, “Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.” Sedangkan Persetubuhan dengan Wanita
di Bawah Umur diatur dalam pasal 287 ayat 1 yang berbunyi, “Barang siapa
bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau

13
kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”1
Dalam pasal 289 sampai 294 KUHP, juga diatur tentang perbuatan cabul
sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Perbuatan cabul diartikan
sebagai semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual
sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Selain dalam KUHP, pasal tentang
kekerasan seksual terdapat pula dalam pasal 81 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak serta pasal 5 dan 8 UU RI No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.1
Dalam melakukan pemeriksaan pada korban kekerasan seksual, terdapat
beberapa aspek etik dan medikolegal yang harus diperhatikan. Karena korban juga
berstatus sebagai pasien, dan yang akan diperiksa adalah daerah sensitif, hal
utama yang harus diperhatikan adalah memperoleh informed consent. Informasi
tentang pemeriksaan harus diberikan sebelum pemeriksaan dimulai dan antara
lain, mencakup tujuan pemeriksaan dan kepentingannya untuk pengungkapan
kasus, prosedur atau teknik pemeriksaan, tindakan pengambilan sampel atau
barang bukti, dokumentasi dalam bentuk rekam medis dan foto, serta pembukaan
sebagian rahasia kedokteran guna pembuatan Visum et Repertum.1
Apabila korban cakap hukum, persetujuan untuk pemeriksaan harus
diperoleh dari korban. Syarat-syarat cakap hukum adalah berusia 21 tahun atau
lebih, atau belum 21 tahun tapi sudah pernah menikah, tidak sedang menjalani
hukuman, serta berjiwa sehat dan berakal sehat. Apabila korban tidak cakap
hukum persetujuan harus diminta dari walinya yang sah. Bila korban tidak setuju
diperiksa, tidak terdapat ketentuan undang-undang yang dapat memaksanya untuk
diperiksa dan dokter harus menghormati keputusan korban tersebut. Selain itu,
karena pada korban terdapat barang bukti (corpus delicti) harus diperhatikan pula
prosedur legal pemeriksaan. Setiap pemeriksaan untuk pembuatan visum et
repertum harus dilakukan berdasarkan permintaan tertulis (Surat Permintaan
Visum/SPV) dari polisi penyidik yang berwenang.1
Seorang dokter yang memeriksa kasus kekerasan seksual harus bersikap
objektif-imparsial, konfidensial, dan profesional. Objektif imparsial artinya

14
seorang dokter tidak boleh memihak atau bersimpati kepada korban sehingga
cenderung mempercayai seluruh pengakuan korban begitu saja. Hal yang boleh
dilakukan adalah berempati, dengan tetap membuat penilaian sesuai dengan bukti-
bukti objektif yang didapatkan secara sistematis dan menyeluruh. Tetap waspada
terhadap upaya pengakuan atau tuduhan palsu (false allegation) dari korban.
Hindari pula perkataan atau sikap yang menghakimi atau menyalahkan korban
atas kejadian yang dialaminya. Dokter juga harus menjaga konfidensialitas hasil
pemeriksaan korban. Komunikasikan hasil pemeriksaan hanya kepada yang
berhak mengetahui, seperti kepada korban dan/atau walinya (jika ada), serta
penyidik kepolisian yang berwenang. Tuangkan hasil pemeriksaan dalam visum et
repertum sesuai keperluan saja, dengan tetap menjaga kerahasiaan data medis
yang tidak terkait dengan kasus. Profesionalitas dokter dalam melakukan
pemeriksaan pada korban kekerasan seksual ditunjukkan dengan melakukan
pemeriksaan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang umum dan
mutakhir, dengan memperhatikan hak dan kewajiban korban (sekaligus pasien)
dan dokter.1
2.6 Peraturan Tentang Pelecehan/Kejahatan Seksual
Pasal-pasal dibawah ini tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Bab XIV, tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan:14,15
Pasal 284
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui
bahwa pasal 27 BW berlaku baginya
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya
bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal
27 BW berlaku baginya.

15
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu
tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena
alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai. (5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW,
pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena
perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur
menjadi tetap.
Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan
pasal 294.
Pasal 288
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seormig wanita yang
diketahuinya atau sepatutnya harus didugunya bahwa yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

16
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
Pasal 289
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena
melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 290

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:


1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya
bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya


atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau
kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin:
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas
yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan
dengan orang lain.
Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 2 87, 289, dan 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun;
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 2 86, 287, 289 dan 290
mengakibatkan kematisn dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 292

17
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 293
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan
penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik
tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul
dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya
harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-
masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Pasal 294

(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengm anaknya, tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang
yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya diannya
yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
(2) Diancam dengan pidana yang sama:

1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena


jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya
dipercayakan atau diserahkan kepadanya,
2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,
tempat pekerjaan negara, tempat pen- didikan, rumah piatu, rumah
sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan
cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
Pasal 295

(1) Diancam:

18
1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan
sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul
oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah
pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum
dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang
belum cukup umur, dengan orang lain;
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan
sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali
yang tersebut dalam butir 1 di atas., yang dilakukan oleh orang yang
diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya
demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang rs me lakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka
pidana dapat ditam sepertiga.
Pasal 296
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan bul oleh orang lain
dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda
paling banyak lima belas ribu rupiah.
Pasal 297
Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal 298
(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 281, 284
- 290 dan 292 - 297, pencabutan hakhak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 5 dapat
dinyatakan.
(2) Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal 292 -
297 dalam melakukan pencariannya, maka hak untuk melakukan pencarian itu
dapat dicabut.

19
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi


seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya.
Jenis-jenis pelecehan seksual dibagi menjadi 5 yaitu fisik, lisan, non-verbal,
visual, psikologi/emosional. Pemeriksaan pada kasus pelecehan seksual berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang.
3.2 Saran
Kejahatan seksual menjadi salah satu bentuk dari kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia. Ilmu Kedokteran khususnya
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal mempunyai peranan penting dalam
upaya pembuktian kejahatan/pelecehan seksual ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Meilia I. Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban (P3K)


Kekerasan Seksual. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo. 2012. Vol. 39 no. 8, th. 2012. Hal.579-583
2. Komnas Perempuan. Kekerasan seksual: Kenali dan tangani. Komnas
Perempuan; 2011.
3. Samantha SA et al.2018. aspek medis pada kasus kejahatan seksual. jurnak
kedokteran diponegoro; 2018 p. 1013-29

4. Winarsunu, Tulus. (2008) Statistik Dalam Penelitian Psikologi dan


Penelitian. Malang: UMM Press.
5. World Health Organization. Guidelines for medico-legal care for victims
of sexual violence. Geneva: WHO; 2003. p. 17-55.
6. Kar, Hakan et al. 2010. Sexual Assault in Childhood and Adolescence; a
Survey Study. European Journal of Social Sciences – Volume 13, No. 4
pg549-55.
7. Afandi, Dedi. 2011. Visum Et Repertum Tatalaksana dan Teknik
Pembuatan. Pekanbaru: Badan Penerbit Universitas Riau.
8. Kalangit, Amelia. 2011. Peran Ilmu Kedokteran Forensik Dalam
Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan Sebagai Kejahatan Kekerasan
Seksual. Skripsi. Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado.
9. Budijanto, Arif. 1982. Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan
Psikoseksual. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
FK UI.
10. Budiyanto, Arif, Widiatmaka W, Sudiono S, et al. 1997. Ilmu Kedokteran
Forensik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK
UI.
11. Petrak J, Hedge B. 2001. The Trauma of Sexual Assaul. New Zealand:
Wiley.

21
12. Shepherd, Richard. Simson’s Forensic Medicine. 12 th. London: Arnold
13. Kusuma, S.E dan Yudianto, A. 2007. Kejahatan Seksual. Dalam: Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya: Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal
14. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2014. Kompilasi Peraturan Perundang-
undangan Terkait Praktik Kedokteran. Jakarta: Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

22

Anda mungkin juga menyukai