Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH BANGUNAN 2 LANTAI

KONSTRUKSI BANGUNAN

Disusun oleh:
Indi Azmi Rizka Amalia
Dira Alifa
Apul Robyatno

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2017

Universitas Indonesia 1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya makalah ini dapat diselesaikan dari Bab I-Bab III . Penulisan
makalah ini ditujukan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan pada mata kuliah
Konstruksi Bangunan dan menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai
konstruksi bangunan bertingkat serta mengaplikasikannya dalam memberikan usulan
bagaimana konstruksi bangunan bertingkat dua lantai yang sesuai standar.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi
isi maupun tata letak atau desain. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Tidak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ayomi dan Pak Andyka selaku
dosen mata kuliah ini, serta Yoel dan Adnan selaku asisten dosen pada mata kuliah ini.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya di bidang keilmuan, khususnya dibidang Teknik Sipil.

Depok, Maret 2017

Penulis

Universitas Indonesia 2
ABSTRAK

Bangunan bertingkat merupakan solusi pemenuhan kebutuhan papan yang ada


saat ini terhadap ketersediaan lahan yang ada. Bangunan bertingkat terutama 2 lantai
memiliki konstruksi yang berbeda dengan bangunan atau rumah satu lantai. Tujuan dari
kajian penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman terhadap konstruksi
bangunan bertingkat 2 lantai dengan menganalisis dan menggambarkan material-
material dan sistem yang ada di dalam bangunan. Dengan mengamati dan menganalisis
diharapkan kemampuan mahasiswa untuk mendesain bangunan bertingkat 2 lantai
yang memperhatikan standar yang baik dan lingkungan sekitar.
Kajian yang dilakukan menggunakan metode pendekatan proses desain dengan
bangunan rumah bertingkat 2 lantai seluas ±250 𝑚2 sebagai objek penelitian. Kajian
ini dilakukan selama 1 semester antara bulan Maret 2017 sampai Mei 2017. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi langsung ke tempat penelitian,
dokumentasi dan wawancara dengan subjek penelitian sebagai pemilik rumah. Hasil
dari kajian yang dilakukan berkaitan dengan visualisasi tampak, kosntruksi, material,
sanitasi dan instalasi dari bangunan bertingkat sebagai objek penelitian. Kemudian
menganalisis perbandingan objek terhadap standar SNI yang berlaku.

Universitas Indonesia 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................. 4
BAB I ............................................................................................................................ 5
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 5
1.2 Pokok Permasalahan ....................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 6
1.4 Batasan Masalah ............................................................................................. 6
BAB II ........................................................................................................................... 7
LANDASAN TEORI .................................................................................................... 7
Definisi ...................................................................................................................... 7
Syarat-syarat dan Kriteria ......................................................................................... 8
Standar Peraturan .................................................................................................... 15
Bangunan Tahan Gempa untuk Bangunan Gedung Bertingkat .............................. 21
BAB III ....................................................................................................................... 27
HASIL PENGAMATAN ............................................................................................ 27
BAB IV ....................................................................................................................... 32
ANALISIS DAN USULAN PERBAIKAN ................................................................ 32
BAB V......................................................................................................................... 36
PENUTUP ................................................................................................................... 36
5.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 36
5.2 Saran ................................................................................................................. 36

Universitas Indonesia 4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Belakangan ini, jumlah rumah bertingkat di Jakarta jumlahnya
mengalami pengingkatan dari tahun ke tahun. Rumah bertingkat sering kita
temui dengan berbagai macam model, bentuk dan warna-warninya seakan
menggambarkan kepribadian pemilik rumah tersebut. Berbagai penyebab
masing-masing pemilik rumah tentunya berbeda antara yang satu dengan yang
lain. Kebutuhan ruangan untuk keperluan anggota keluarga misalnya kamar bagi
anak yang menginjak dewasa, atau kebutuhan ruang untuk bekerja, bersantai
maupun ruang usaha yang menyebabkan kegiatan membangun rumah bertingkat
menjadi sebuah solusi terbaik.
Beberapa beralasan ingin ruangan yang lebih luas, rumah yang
sebenarnya cukup dibangun dengan 1 tingkat saja namun karena alasan
kenyamanan kebutuhan ruangan yang luas seperti kamar tidur luas, kamar mandi
luas, dapur luas sehingga membangun rumah bertingkat untuk meletakan ruang
yang belum dapat berada dilantai dasar.Keterbatasan lahan, dengan terbatasnya
luas tanah sebagai tempat meletakan semua denah ruangan maka dapat
diantisipasi dengan membangun rumah betingkat.

1.2 Pokok Permasalahan


Permasalahan utama yang ada adalah keterbatasan ketersediaan lahan
terhadap kepadatan jumlah penduduk yang tidak sebanding mengakibatkan
banyaknya pembangunan rumah dan gedung bertingkat untuk meminimalisir
penggunaan lahan dengan luas bangunan tetap terpenuhi.

Untuk dapat memahami tentang bangunan bertingkat dua lantai dapat


dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa definisi dari rumah bertingkat dua lantai?

Universitas Indonesia 5
2. Bagaimana syarat dan kriteria bangunan bertingkat 2 lantai?
3. Apa saja standar dan peraturan untuk membangun bangunan atau rumah 2
lantai?
4. Bagaimana kondisi bangunan yang disurvei?
5. Bagaimana perbandingan antara rumah survei dengan standar yang ada?

1.3 Tujuan Penulisan


 Tujuan Umum
Memahami definisi, syarat, kriteria bangunan bertingkat 2 lantai serta
standar dan peraturan yang digunakan dalam membangun bangunan
bertingkat.
 Tujuan Khusus
 Memiliki kemampuan menganalisa kondisi bangunan berdasarkan hasil
pengukuran dan visualisasi bangunan, aspek eksternal (lingkungan dan
infrastruktur), aspek internal dan fisik (organisasi ruangan, kualitas dan
utilitas bangunan), aspek teknik (material, denah eksisting, tampak
bangunan, dan lain-lain), dan aspek ruang/hubungan fungsi kegiatan
(sirkulasi, penghawaan, pencahayaan, dan lain-lain).
 Memiliki kemampuan untuk mendesain bangunan bertingkat.

1.4 Batasan Masalah


Batasan masalah pada makalah ini adalah definisi bangunan dan rumah
bertingkat 2 lantai, syarat dan kriteria dari bangunan bertingkat, standard
peraturan dari rumah bertingkat untuk membandingkan desain bangunan yang
disurvei dengan standar pembangunannya. Kemudian menganalisis bangunan
bertingkat 2 lantai hasil survei dan menggambarkannya untuk lebih memahami
mengenai konstruksi bangunan bertingkat 2 lantai.

Universitas Indonesia 6
BAB II

LANDASAN TEORI

Definisi
Definisi bangunan gedung menurut UU No. 28 tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung pasal 1, adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
Berdasarkan pasal 1 diatas, fungsi bangunan gedung dibedakan menjadi
beberapa macam. Penggolongan bangunan gedung menurut fungsinya diatur
dalam UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung pasal 5 yaitu:
1. Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial
dan budaya, serta fungsi khusus.
2. Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah
susun, dan rumah tinggal sementara.
3. Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian,
perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan.
4. Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan
kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.
Bangunan gedung selain digolongkan berdasarkan fungsi bangunannya,
juga digolongkan berdasarkan ketinggiannya. Menurut Perda No. 5 tahun 2009
tentang Bangunan Gedung pasal 12, bangunan gedung berdasarkan
ketinggiannya dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:

Universitas Indonesia 7
1. Bangunan gedung bertingkat tinggi dengan jumlah lantai lebih dari 8
(delapan) lantai
2. Bangunan gedung bertingkat sedang dengan jumlah lantai 5 (lima) sampai
dengan 8 (delapan) lantai
3. Bangunan gedung bertingkat rendah dengan jumlah lantai 1 (satu) sampai
dengan 4 (empat) lantai.

Syarat-syarat dan Kriteria


1. Dinding
Menurut Ditjen Cipta karya (2006) Konstruksi dinding untuk rumah
bertingkat sederhana adalah sebagai berikut.
1. Tebal dinding minimal 15 cm. Tinggi dinding tidak melebihi 20 kali
tebal dinding dan panjangnya diantara dinding-dinding penyekat tidak
boleh melebihi 50 kali tebalnya. Jarak antara 2 buah lubang
(pintu/jendela) pada satu bidang dinding, minimal 55 cm atau tidak
kurang dari 30% dari rata-rata tinggi lubang-lubang tersebut.
2. Di dalam rongga-rongga dinding perlu dipasang tulangan vertikal
maupun horisontal. Tulangan vertikal dipasang pada jarak-jarak
umpamanya 80 cm dan minimum terdiri dari 1 tulangan dengan diameter
10 mm. Ujung bawah tulangan vertikal perlu dijangkarkan ke dalam
balok sloof pondasi. Tulangan horizontal juga dipasang pada jarak-jarak
(vertikal) 80 cm dan minimal terdiri dari 1 tulangan dengan diameter 10
mm. Rongga-rongga yang berisi tulangan harus dicor dengan beton.
3. Pada bagian atas dinding harus dipasang balok pengikat keliling/ring
balk. Ujung vertikal perlu dijangkarkan dengan baik ke dalam ring balk.
Secara lebih jelas cara pemasangan ring balk pada bagian atas dinding.
2. Penghawaan
Bangunan harus memiliki bukaan permanen dan/ atau kisi-kisi yang
dapat dibuka dan ditutup untuk kepentingan ventilasi alami yang dapat

Universitas Indonesia 8
dikendalikan. Total penghawaan minimal pada bangunan adalah 10% dari
total luas ruangan.

3. Pencahayaan
 Setiap bangunan gedung harus mempunyai pencahayaan alami atau
pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan
fungsinya.
 Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
bangunan pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk
pencahayaan alami.
 Pencahayaan alami harus optimal, disesuaikan dengan fungsi bangunan
gedung dan fungsi masing-masing ruang di dalam bangunan gedung.
 Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi
yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang-dalam bangunan gedung
dengan mempertimbangkan efisiensi. penghematan energi yang
digunakan, dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau
pantulan.
 Pencahayaan alami dan buatan diterapkan pada ruangan baik di dalam
bangunan maupun di luar bangunan gedung.
4. RTHP di Lingkungan Bangunan
RTHP berfungsi sebagai tempat tumbuhnya tanaman, peresapan air,
sirkulasi, unsur-unsur estetik, baik sebagai ruang kegiatan dan maupun
sebagai ruang amenity. Syarat-syarat RTHP ditetapkan dalam rencana tata
ruang dan tata bangunan baik langsung maupun tidak langsung, dalam
bentuk ketetapan GSB, KDB, KDH, KLB, parkir dan ketetapan lainnya.
RTH yang baik pada suatu bangunan adalah minimal 30% dari luas lahan
total.
5. Konstruksi Kolom dan Balok

Universitas Indonesia 9
 Kolom
SK SNI T-15-1991-03 mendefinisikan kolom adalah komponen
struktur bangunan yang tugas utamanya menyangga beban aksial tekan
vertikal dengan bagian tinggi yang tidak ditopang paling tidak tiga kali
dimensi lateral terkecil. Untuk rumah tinggal disarankan jarak kolom
utama adalah 3.5 m, agar dimensi balok untuk menopang lantai tidak
tidak begitu besar, dan apabila jarak antara kolom dibuat lebih dari 3.5
meter, maka struktur bangunan harus dihitung. Dimensi kolom utama
untuk bangunan rumah tinggal lantai 2 biasanya dipakai ukuran 20/20,
dengan tulangan pokok 8d12mm, dan begel d 8-10cm. Dimensi kolom
praktis 15/15 dengan tulangan beton 4 d 10 begel d 8-20.
 Balok
Setiap sudut balok harus ada 1 (satu) batang tulangan sepanjang
balok dengan diameter tulangan pokok minimal Ø 12 mm. Jarak pusat
ke pusat (sumbu ke sumbu) tulangan pokok maksimal 15 cm dan jarak
bersih 3 cm pada bagian-bagian yang memikul momen maksimal. Lalu,
pemasangan tulangan dalam 2 (dua) lapis untuk tulangan pokok harus
dihindarkan. Jika jarak tulangan atas dan tulangan bawah (tulangan
pokok) dibagian samping lebih dari 30 cm, harus dipasang tulangan
ekstra (montage) yang tingginya 90 cm atau lebih luasnya minimal 10
% luas tulangan pokok tarik yang terbesar dengan diameter minimal 8
mm untuk baja lunak dan 6 mm untuk baja keras.
Selimut beton (beton deking) pada balok minimal untuk kontruksi:
o Di dalam: 2.0 cm
o Di luar: 2.5 cm
o Tidak kelihatan: 3.0 cm
6. Tangga
Standar untuk pembuatan tangga yaitu:
 Lebar anak tangga;
a. Untuk rumah tinggal, lebar anak tangga : 80 cm.

Universitas Indonesia 10
b. Untuk bangunan umum, lebar anak tangga : 120 cm s/d 200
cm.
c. Untuk tangga darurat, lebar anak tangga : 70 cm.
 Tetapi dapat juga diperhatikan jika yang melewati berpapasan di satu
anak tangga:
a. Untuk satu orang, lebarnya 60 - 80 cm
b. Untuk dua orang, lebarnya 120 cm
c. Untuk tiga orang, lebarnya 180 cm
Kemiringan tangga dibuat tidak curam, kemiringan tangga yang
berkisar antara 250 s/d 420 dan untuk bangunan rumah tinggal biasa
digunakan kemiringan 380.
7. Konstruksi Pelat
Plat lantai adalah lantai yang tidak terletak di atas tanah
langsung, merupakan lantai tingkat pembatas antara tingkat yang satu
dengan tingkat yang lain. Plat lantai didukung oleh balok-balok yang
bertumpu pada kolom-kolom bangunan. Ketebalan plat lantai ditentukan
oleh:
 Besar lendutan yang diinginkan
 Lebar bentangan atau jarak antara balok-balok pendukun
 Bahan konstruksi dan plat lantai
Plat lantai harus direncanakan: kaku, rata, lurus dan mempunyai
ketinggian yang sama dan tidak miring. Ketebalan plat lantai ditentukan oleh
beban yang harus didukung, besar lendutan yang diijinkan, lebar bentangan
atau jarak antara balok-balok pendukung, bahan konstruksi dari plat lantai.
Pada plat lantai hanya diperhitungkan adanya beban tetap saja (penghuni,
perabotan, berat lapis tegel, berat sendiri plat) yang bekerja secara tetap
dalam waktu lama. Sedang beban tak terduga seperti gempa, angin, getaran,
tidak diperhitungkan.

Universitas Indonesia 11
8. Konstruksi Atap
Konstruksi atau struktur atap pada umumnya terdiri dari tiga bagian
utama yaitu struktur penutup atap, gording dan rangka kuda-kuda. Penutup
atap akan didukung oleh struktur rangka atap, yang terdiri dari kuda-kuda,
gording, usuk dan reng. Beban-beban atap akan diteruskan ke dalam fondasi
melalui kolom dan atau balok.
Struktur atap pada umumnya dibuat dengan mengikuti atau
menyesuaikan dengan denah atau bentuk keseluruhan bangunan (desain atap
rumah). Jika rumah terdiri atas 2 lantai, struktur atap dibuat mengikuti
denah/layout rumah pada lantai 2.
Elemen pelengkap pada atap selain berfungsi struktural juga estetis.
 Talang
Saluran air pada atap yang berfungsi mengarahkan air agar jatuh
ketanah disebut talang. Talang dipasang mendatar mengikuti tiris atap
kemudian dialirkan ke bawah melalui pipa vertikal.
 Lisplang
Dari segi konstruksi, lisplang menciptakan bentukan rigid (kokoh, tidak
berubah) dari susunan kasau. Pada pemasangan rangka penahan atap,
batang-batang kasau hanya ditahan oleh paku dan ada kemungkinan
posisinya bergeser. Disinilah lisplang berfungsi untuk mengunci susunan
kasau tersebut agar tetap berada pada tempatnya. Dari segi estetika, lisplang
berfungsi menutupi kasau yang berjajar dibawah susunan genteng/bahan
penutup atap lain. Maka tampilan atap pada bagian tepi akan terlihat rapi
oleh kehadiran lisplang.

9. Pondasi
Pada bangunan 2 tingkat, pondasi yang biasa digunakan adalah pondasi
batu kali dan pondasi cakar ayam.
 Pondasi Batu Kali

Universitas Indonesia 12
Pondasi batu kali disusun oleh beberapa material batu kali. Pada bagian
atas pondasi batu kali biasanya dibuat sloof yaitu pasangan beton
bertulang yang dapat mengikat konstruksi tiang beton dan akan
disalurkan secara merata ke bagian pondasi batu kali. Untuk bangunan
rumah berlantai 2 digunakan ukuran sloof 20x30.
 Pondasi Cakar Ayam
Pondasi cakar ayam menggunakan kaki beton dengan kelebaran tertentu
diposisikan pada bagian struktur utama. Struktur utama mampu menahan
beban vertical yang kemudian disalurkan pada bagian bawah, kemudian
diikat jadi satu penyalur beban. Sedangkan luas telapak kaki pondasi
cakar ayam tergantung dari beban bangunan serta bentuk struktur
tanahnya. Apabila daya dukung tanah semakin besar maka luas pelat
kakinya bisa dibuat menjadi kecil
10. Sistem Proteksi Petir
Persyaratan proteksi petir ini memberikan petunjuk untuk perancangan,
instalasi, dan pemeliharaan instalasi sistem proteksi petir terhadap bangunan
gedung secara efektif untuk proteksi terhadap petir serta inspeksi, dalam
upaya untuk mengurangi secara nyata risiko kerusakan yang disebabkan oleh
petir terhadap bangunan gedung yang diproteksi, termasuk di dalamnya
manusia serta perlengkapan bangunan lainnya. Persyaratan proteksi petir
harus memperhatikan sebagai berikut:
i. Perencanaan sistem proteksi petir;
ii. ii. Instalasi Proteksi Petir; dan
iii. iii. Pemeriksaan dan Pemeliharaan

Persyaratan sistem proteksi petir harus memenuhi SNI 03-7015-2004


Sistem proteksi petir pada bangunan gedung. Dalam hal masih ada
persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai
SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.

Universitas Indonesia 13
11. Sistem Kelistrikan
Persyaratan sistem kelistrikan meliputi sumber daya listrik, panel
hubung bagi, jaringan distribusi listrik, perlengkapan serta instalasi listrik
untuk memenuhi kebutuhan bangunan gedung yang terjamin terhadap aspek
keselamatan manusia dari bahaya listrik, keamanan instalasi listrik beserta
perlengkapannya, keamanan gedung serta isinya dari bahaya kebakaran
akibat listrik, dan perlindungan lingkungan. Persyaratan sistem kelistrikan
harus memperhatikan:
i. Perencanaan instalasi listrik;
ii. Jaringan distribusi listrik;
iii. Beban listrik;
iv. Sumber daya listrik;
v. Transformator distribusi;
vi. Pemeriksaan dan pengujian; dan
vii. Pemeliharaan

Persyaratan sistem kelistrikan harus mengikuti: (1) SNI 04-0227-


1994 Tegangan standar, atau edisi terbaru; (2) SNI 04-0225-2000
Persyaratan umum instalasi listrik (PUIL 2000), atau edisi terbaru; (3) SNI
04-7018-2004 Sistem pasokan daya listrik darurat dan siaga, atau edisi
terbaru; (4) SNI 04-7019-2004 Sistem pasokan daya listrik darurat
menggunakan energi tersimpan, atau edisi terbaru.

12. Sanitasi
i. Sistem pembuangan sampah padat direncanakan dan dipasang dengan
mempertimbangkan fasilitas penampungan dan jenisnya.
ii. Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam bentuk
penyediaan tempat penampungan kotoran dan sampah yang
diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah penghuni, dan
volume kotoran dan sampah.

Universitas Indonesia 14
iii. Pertimbangan jenis sampah padat diwujudkan dalam bentuk penempatan
pewadahan dan/atau pengolahannya yang tidak mengganggu kesehatan
penghuni, masyarakat dan lingkungannya.
iv. Potensi reduksi sampah padat dapat dilakukan dengan mendaur ulang,
memanfaatkan kembali beberapa jenis sampah seperti botol bekas, kertas,
kertas koran, kardus, aluminium, kaleng, wadah plastik dan sebagainya.
Dengan demikian harus disediakan tempat sampah untuk mendaur ulang.

Standar Peraturan
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung,
penjelasan mengenai standar peraturan dari bangunan bertingkat adalah sebagai
berikut:
 Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
Mengatur agar luas bangunan rumah maksimal 60% lahan agar tidak
mengganggu daya serap air pada suatu lingkungan. Selain itu, agar tidak
mengganggu keseimbangan tanah, bangunan rumah sebaiknya mengikuti
bentuk topografi alam sekitar.
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) merupakan angka prosentase
berdasarkan perbandingan jumlah luas lantai dasar bangunan terhadap luas
tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dilkuasai sesuai tata ruang kota.
Dilihat dari artinya, KDB merupakan angka koefesien perbandingan antara
luas bangunan lantai dasar dengan luas tanah kavling atau blok peruntukan.
Secara matematis, untuk menentukan angka KDB bangunan rumah dapat
dirumuskan sebagai berikut:

𝐋𝐮𝐚𝐬 𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐥𝐚𝐧𝐭𝐚𝐢 𝐝𝐚𝐬𝐚𝐫


𝐀𝐧𝐠𝐤𝐚 𝐊𝐃𝐁 = 𝐱𝟏𝟎𝟎 %
𝐥𝐮𝐚𝐬 𝐭𝐚𝐧𝐚𝐡 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐛𝐥𝐨𝐤
Persyaratan angka KDB untuk setiap bangunan rumah, berfungsi
untuk menata kawasan dan menjaga kelestarian lingkungan. Karenanya,

Universitas Indonesia 15
sebelum membangun atau merenovasi rumah untuk menambah bagian
bangunan, hendaknya diketahui terlebih dahulu berapa angka KDB yang
diijinkan. Walaupun setiap daerah menetapkan angka KDB yang berbeda-
beda, secara umum ada 3 kategori KDB yang diterapkan :
1. KDB padat dengan angka KDB antara 60%– 100%
2. KDB sedang dengan angka KDB antara 40%-60%
3. KDB renggang dengan angka KDBB dibawah 40%

 Koefisien Luar Bangunan (KLB)


Merupakan koefisien yang mengatur perbandingan luas keseluruhan
lantai rumah dengan luas tanah. Hal ini ditujukan agar setiap rumah tidak
memiliki ketinggian melebihi yang telah ditentukan. Misalnya, area tersebut
adalah area perumahan dengan ketinggian rata-rata dua lantai, karena
tanahnya kecil sementara ruangan yang diperlukan banyak, maka rumahnya
mencapai empat lantai seperti halnya ruko-ruko. Hal ini tidak diperbolehkan
karena bisa dibayangkan ada bangunan tinggi di antara bangunan rendah.
Atau sebaliknya, di area cluster untuk rumah-rumah yang besar dengan
ketinggian rata-rata dua lantai ada bangunan kecil dengan ketinggian satu
lantai. Hal ini mengakibatkan suasana lingkungan yang diharapkan tidak
tercipta semestinya.
Cara menghitung KLB cukup sederhana. Contoh, luas lantai dasar
beserta lantai atasnya seluas 200 m2. Jika luas lahan 200 m2, maka nilai KLB
adalah 1,0. Jika aturan KLB adalah 1,2, maka nilai KLB telah memenuhi
persyaratan karena tidak melebihi nilai yang telah ditetapkan.
Berbeda dengan KDB yang ditulis dalam bentuk persen, KLB
dinyatakan dalam bentuk desimal.
 Garis Sempadan Jalan (GSJ)
Garis sempadan jalan (GSJ) adalah garis batas pekarangan terdepan
atau dengan kata lain GSJ merupakan batas terdepan pagar halaman yang

Universitas Indonesia 16
boleh didirikan. Oleh karena itu biasanya di muka GSJ terdapat jalur untuk
instalasi air, listrik, gas, serta saluran-saluran pembuangan.
Pada GSJ tidak boleh didirikan bangunan rumah, kecuali jika GSJ
berimpit dengangaris sempadan bangunan (GSB). Ketentuan mengenai GSJ
biasanya sudahterdapatdalam dokumen rencana tata ruang kota setempat,
bisa didapat di dinas tata kota atau Bappeda.
GSJ dimaksudkan mengatur lingkungan hunian memiliki kualitas
visual yang baik, selainitu juga mengatur jarak pandang yang cukup antara
lalu lintas di jalan dan bangunan.
 Garis Sempadan Bangunan (GSB)
Garis sempadan bangunan (GSB) merupakan batas dinding
bangunan terdepan pada suatu persil tanah. Panjang jarak antara GSBdengan
GSJ ditentukan oleh persyaratan yang berlaku untuk masing-masing jenis
bangunan dan letak persil tanahsetempat, serta mengacu pada rencana tata
ruang kota setempat.
Tujuan dari GSB adalah sebagai berikut.
1. Supaya hunian/rumah tinggal memiliki pekarangan di depan rumah yang
cukup untukpenghijauan, pengudaraan alami, dan menambah daerah
resapan air hujan serta mempercantik rumah.
2. Untuk keamanan rumah agar tidak dapat secara langsung dimasuki tamu
tak diundang/maling, dan sebagai tempat bermain anak-anak supaya
terhindar dari risiko kecelakaan, selain itu juga dapat memperlancar lalu
lintas.
3. Mengurangi pengaruh suara bising dari kendaraa bermotor yang lalu
lalang di depan rumah, dan memungkinkan dibuat teritis atap yang cukup
lebar sebagai pelindung bangunan dari panas matahari dan tempias air
hujan

Universitas Indonesia 17
 Garis Jarak Bebas Samping (GJBS)
Pada bangunan berbentuk tunggal/lepas dan renggang, induk
bangunan harus memiliki jarak bebas terhadap batas pekarangan yang
terletak di samping (sisi). Pada bangunan turutan/anak/tambahan boleh
dibangun rapat dengan batas pekarangan samping dengan dinding terdepan
berada pada jarak minimal dua kali jarak antara GSB dan GSJ sesuai dengan
persyaratan yang berlaku. Sedangkan lebar jarak garis bebas samping antara
bangunan dengan batas pekarangan ditentukan berdasarkan jenis bangunan
dan persil tanah setempat. Luas areal bebas samping adalah lebar jarak bebas
samping dikali panjang jarak antara GSB dan GSJ yang ditentukan.
Tujuan garis jarak bebas samping ini dimaksudkan untuk memenuhi
persyaratan kesehatan, kenyamanan, dan keindahan mengingat faktor iklim
tropis lembab di Indonesia dengan ciri-ciri temperatur udara cukup tinggi,
curah hujan besar, sudut datang sinar matahari yang besar dan lain-lain.
Maka dengan adanya jarak bebas samping memungkinkan:
1. Sirkulasi udara yang baik ke dalam ruangan untuk mengurangi panas dan
lembab
2. Sinar matahari langsung ke dalam rumah (pada pagi hari) untuk
kesehatan
3. Lebar teritis atap yang cukup untuk melindungi bangunan dari panas
matahari dan hempasan air hujan.
 Garis Jarak Bebas Belakang (GJBB)
Garis jarak bebas belakang adalah garis batas bangunan yang boleh
didirikan pada bagian belakang terhadap batas pekarangan bagian belakang.
Panjang garis bebas belakang ditentukan sesuai dengan jenis bangunan dan
lingkungan persil tanah setempat.
Pada halaman belakang suatu persil tanah boleh didirikan bangunan
turutan/tambahan, asal tidak memenuhi seluruh pekarangan belakang.
Halaman kosong di belakang rumah minimal mempunyai lebar sama
dengan panjang garis bebas belakang yang ditentukan.

Universitas Indonesia 18
Tujuan adanya garis jarak bebas belakang adalah:
1. Memungkinkan sirkulasi udara dan pencahayaan alami ke dalam
ruangan.
2. Memungkinkan adanya taman belakang rumah untuk kesejukan dan
menambah volume oksigen bagi penghuni rumah.
3. Menghindari atau mencegah bahaya kebakaran.
4. Sebagai area servis seperti tempat cuci dan jemur agar tidak merusak
tampilanrumah bagian depan.
5. Sebagai tempat rekreasi mini atau tempat bercengkerama bagi penghuni
rumah.
 Rasio/Perbandingan Luas Bangunan dengan Penghuni yang Tepat :
Secara jelas kebutuhan luas minimum bangunan dan lahan untuk
rumah sederhana sehat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel II.1. Perbandingan Luas Bangunan dengan Jumlah Penghuni
Luas (m 2) untuk Tiga Jiwa
Standar per Jiwa Lahan
Unit Rumah
Minimal Efektif Ideal
(Ambang Batas)
21,6 60,0 72-90 200
7,2
(Indonesia)
27,0 60,0 72-90 200
9,0
(Internasional)
12,0 36,0 60,0 - -

 Alat Pemadam Kebakaran Gedung Bertingkat


Sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung merupakan sistem
yang terdiri atas peralatan, kelengkapan dan sarana, baik yang terpasang
maupun terbangun pada bangunan yang digunakan baik untuk tujuan sistem
proteksi aktif, sistem proteksi pasif maupun cara-cara pengelolaan dalam
rangka melindungi bangunan dan lingkungannya terhadap bahaya
kebakaran.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.26/PRT/M/2008
tentang persyaratan teknis sistem proteksi kebakaran pada bangunan
gedung dan lingkungan disebutkan bahwa pengelolaan proteksi kebakaran

Universitas Indonesia 19
adalah upaya mencegah terjadinya kebakaran atau meluasnya kebakaran ke
ruangan-ruangan ataupun lantai-lantai bangunan, termasuk ke bangunan
lainnya melalui eliminasi ataupun meminimalisasi risiko bahaya kebakaran,
pengaturan zona-zona yang berpotensi menimbulkan kebakaran, serta
kesiapan dan kesiagaan sistem proteksi aktif maupun pasif.
Sistem proteksi kebakaran aktif adalah sistem proteksi kebakaran yang
secara lengkap terdiri atas sistem pendeteksian kebakaran baik manual
ataupun otomatis, sistem pemadam kebakaran berbasis air
seperti springkler, pipa tegak dan slang kebakaran, serta sistem pemadam
kebakaran berbasis bahan kimia, seperti APAR (alat pemadam api ringan)
dan pemadam khusus.
Penempatan APAR harus tampak jelas, mencolok, mudah
dijangkau dan siap digunakan setiap saat, serta perawatan dan pengecekan
APAR secara periodik.
Pemasangan sprinkler (menggunakan air) dan bonpet (menggunakan
gas) pada tempat-tempat yang terbuka dan strategis dalam ruangan
juga secara aktif akan membantu dalam menanggulangi kebakaran, karena
air atau gas akan langsung memadamkan api. Selain itu, juga dilengkapi
dengan instalasi alarm kebakaran untuk memberi tanda jika terjadi
kebakaran.
Untuk bangunan dengan ruangan yang dipisahkan
dengan kompartemenisasi, hidran yang dibutuhkan adalah dua buah per
800 m2 dan penempatannya harus pada posisi yang berjauhan. Selain itu
untuk pada bangunan yang dilengkapi hidran harus terdapat personil
(penghuni) yang terlatih untuk mengatasi kebakaran di dalam bangunan.
Sedangkan sistem proteksi kebakaran pasif merupakan sistem proteksi
kebakaran yang terbentuk atau terbangun melalui pengaturan penggunaan
bahan dan komponen struktur bangunan, kompartemenisasi atau pemisahan
bangunan berdasarkan tingkat ketahanan terhadap api, serta perlindungan
terhadap bukaan. Sedangkan kompartemensasi merupakan usaha untuk

Universitas Indonesia 20
mencegah penjalaran kebakaran dengan cara membatasi api dengan
dinding, lantai, kolom, balok yang tahan terhadap api untuk waktu yang
sesuai dengan kelas bangunan gedung.
Sistem proteksi pasif berperan dalam pengaturan pemakaian bahan
bangunan dan interior bangunan dalam upaya meminimasi intensitas
kebakaran serta menunjang terhadap tersedianya sarana jalan keluar (exit)
aman kebakaran untuk proses evakuasi. Sarana exit merupakan bagian dari
sebuah sarana jalan keluar yang dipisahkan dari tempat lainnya dalam
bangunan gedung oleh konstruksi atau peralatan untuk menyediakan
lintasan jalan yang diproteksi menuju eksit pelepasan.
Sarana exit harus direncanakan dan dibuat agar mudah dijangkau, tidak
buntu pada ujungnya, tidak melewati ruangan yang mungkin terkunci
seperti dapur, kloset atau ruang kerja, dan rambu menuju pintu exit harus
jelas dan mudah dilihat. Tangga darurat dibangun di tempat yang terhindar
dari jangkauan asap dan api kebakaran.
Sistem proteksi kebakaran pada gedung keberadaannya sangat
diperlukan sekali. Keberadaannya agar dapat berdaya guna perlu didukung
oleh semua pihak yang memanfaatkan fasilitas gedung tersebut, sehingga
kejadian kebakaran dapat dihindari dan bila masih terjadi akan
memudahkan penghuni gedung menyelamatkan diri dan pihak petugas
pemadam kebakaran memadamkan api.

Bangunan Tahan Gempa untuk Bangunan Gedung Bertingkat


Berikut ini ada prinsip yang dipakai dalam perencanaan bangunan tahan
gempa menurut Pedoman Teknis Bangunan Tahan Gempa oleh Ditjen Cipta
Karya:

Universitas Indonesia 21
 Pondasi

Gambar II.2. Desain Pondasi yang Digabungkan

Membangun pondasi memang sederhana, tapi pondasi yang kuat


memerlukan pengetahuan yang cukup. Sehingga fondasi bangunan yang
baik haruslah kokoh dalam menyokong beban dan tahan terhadap perubahan
termasuk getaran. Penempatan fondasi juga perlu diperhatikan kondisi
batuan dasarnya. Pada dasarnya fondasi yang baik adalah seimbang atau
simetris. Dan untuk pondasi yang berdekatan harus dipisah, untuk mencegah
terjadinya keruntuhan lokal. Pondasi batu kali menerus harus berada di atas
tanah yang stabil dan digali hingga mencapai tanah keras. Jika tanahnya
lembek, harus dikeraskan dan distabilkan terlebih dahulu. Setiap siku juga
harus tepat membentuk sudut 90 derajat. Pondasi harus menyatu dengan
kolom dan di atas pondasi harus ada sloof yang mengikat erat kolom-
kolom tersebut. Sloof juga harus diberi angkur dengan pondasi pada setiap
jarak 0,5meter agar keduanya terikat erat.

Universitas Indonesia 22
 Desain Kolom

Gambar II.3. Desain Gedung dengan Kolom Menerus

Kolom harus menggunakan kolom menerus (ukuran yang


mengerucut/ semakin mengecil dari lantai ke lantai). Dan untuk
meningkatkan kemampuan bangunan terhadap gaya lateral akibat gempa,
pada bangunan tinggi (high rise building) acapkali unsur vertikal struktur
menggunakan gabungan antara kolom dengan dinding geser (shear wall).

 Denah Bangunan

Gambar II.4. Denah Bangunan yang Dibuat Terpisah

Bentuk Denah bangunan sebaiknya sederhana, simetris, dan


dipisahkan (pemisahan struktur). Untuk menghindari adanya dilatasi

Universitas Indonesia 23
(perputaran atau pergerakan) bangunan saat gempa. Namun dilatasi ini pun
menimbulkan masalah pada bangunan yaitu:
 Dua atau beberapa gedung yang dilatasi akan mempunyai waktu getar
alami yang berbeda, sehingga akan menyebabkan benturan antar
gedung.
 Ketidakefektifan dalam pemasangan interior, seperti: plafond,
keramik, dan lain-lain.
 Perlunya konstruksi khusus (balok korbel).
Konstruksi Balok Korbel untuk dilatasi struktur adalah sebagai berikut.

Gambar II.5. Konstruksi Balok Korbel

 Bahan bangunan harus seringan mungkin


Berat bahan bangunan adalah sebanding dengan beban inersia
gempa. Sebagai contoh penutup atap genteng menghasilkan beban gempa
horisontal sebesar 3X beban gempa yang dihasilkan oleh penutup atap seng.
Sama halnya dengan pasangan dinding bata menghasiIkan beban gempa
sebesar 15X beban gempa yang dihasilkan oleh dinding kayu.

Universitas Indonesia 24
 Struktur Atap
Jika tidak terdapat batang pengaku (bracing) pada struktur atap yang
menahan beban gempa dalam arah horizontal, maka keruntuhan akan terjadi
seperti, diperlihatkan pada gambar berikut:

Gambar II.6. Konstruksi Bangunan dengan Bracing


 Konsep Desain Kapasitas (Capacity Design)
Konsep Desain Kapasitas adalah dengan meningkatkan daktalitas
elemen- elemen struktur dan perlindungan elemen- elemen struktur lain
yang diharapkan dapat berperilaku elastik. Salah satunya adalah dengan
konsep “strong column weak beam”. Dengan metode ini, bila suatu saat
terjadi goncangan yang besar akibat gempa, kolom bangunan di desain akan
tetap bertahan, sehingga orang- orang yang berada dalam Gedung masing
mempunyai waktu untuk menyelamatkan diri sebelum bangunan roboh
seketika. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendesain kolom yang
kuat antara lain:
- Pengaturan jarak antar sengkang,
- Peningkatan mutu beton, dan
- Perbesaran penampang.
- Serta untuk struktur bangunan dengan baja, bisa dimodifkasi
sambungan hubungan antara balok dengan kolom.

Universitas Indonesia 25
Berikut ini adalah ilustrasi pembentukan sendi plastis dalam perencanaan
bangunan tahan gempa.

Gambar II.7. Konstruksi Bangunan dengan Capacity Design

Tiap Negara mempunyai desain sendiri dalam merencanakan tingkat


daktilitas untuk keamanan bangunan yang mereka bangun, hal ini
tergantung dari letak geologi negara masing- masing. Misalnya Jepang yang
menerapkan tingkat daktilitas 1. Dengan desain ini, bangunan didesain
benar-benar kaku (full elastic). Berikut ini adalah macam-macam tingkat
daktIlitas beserta kondisi yang ditimbulkan:
a. Daktilitas 1: Keadaan elastis, dengan konsep ini tulangan di desain
besar- besar untuk membuat bangunan menjadi kaku (full elastic).
Contohnya: Jepang. Konsekuensinya, saat gempa melebihi rencana,
maka Gedung akan langsung roboh tanpa memberi tanda (peringatan)
terlebih dahulu.
b. Daktilitas 2: Keadaan Plastis (intermediete)
c. Daktilitas 3: Keadaan plastis dengan struktur yang daktil, perecanaan
struktur dengan metode Capasity Design. Nah, ini dia yang menjadi
dasar perencanaan bangunan tahan gempa di Indonesia, yaitu dengan
pembentukan sendi plastis di balok, sehingga saat ada gempa Bangunan
akan memberi 'tanda' atau peringatan terlebih dahulu, sehingga orang-
orang dalam gedung mempunyai waktu untuk menyelamatkan diri.

Universitas Indonesia 26
BAB III

HASIL PENGAMATAN

3.1 Kondisi Rumah Bertingkat Dua


Berikut merupakan data mengenai rumah bertingkat dua yang kelompok kami
survei:
1. Nama Pemilik Rumah : Bapak Firman
2. Lokasi rumah survei (alamat) : Jalan Pulau Jawa Raya No.84, Perumnas III,
Bekasi
3. Luas tanah : 168.35 m2
4. Luas Bangunan : 190.20 m2
5. Jumlah ruangan : 17
Rumah ini terdiri dari 17 ruangan dengan rincian sebagai berikut:
a. 1 teras
b. 1 ruang tamu
c. 1 ruang keluarga
d. 4 kamar tidur
e. 3 kamar mandi
f. 2 dapur
g. 1 tempat cuci
h. 1 ruang TV
i. 1 gudang
j. 1 balkon
k. 1 taman
6. Jumlah Penghuni
Rumah ini dihuni oleh 7 orang, yaitu
a. Firman, kepala keluarga
b. Tetty, Istri
c. 4 Anak

Universitas Indonesia 27
d. 1 Ibu dari Ibu Tetty
3.2 Perbandingan Dengan Standar yang Berlaku
Tabel perbandingan rumah hasil survei,
NO FAKTOR RUMAH SURVEY STANDAR
PEMBANDING
1. Lingkungan Lingkungan rumah yang disurvey Terdapat GJBS, GSB, GJBB, dan
padat akan bangunan (rumah). GJB yang memenuhi syarat pada
Mayoritas rumah tidak melanggar tiap rumah.
GSB dan GSJ.

2. Infrastruktur Jalan di depan rumah cukup luas Selokan sebagai media aliran air
yaitu 6 m. Selokan sebagai media limbah harus ada di 2 sisi jalan.
aliran air limbah perumahan
terdapat di kedua sisi jalan.

3. Organisasi Terdapat 4 ruangan kamar tidur Jumlah kamar tidur yang ideal
Ruangan dan 3 kamar mandi. Terdapat RTH adalah minimal setengah dari
yang memadai yaitu taman dengan jumlah penghuni, dan maksimal
luas yang sudah mencapai 30% sama dengan jumlah penghuni.
luas tanah keseluruhan RTHP berfungsi sebagai tempat
tumbuhnya tanaman, peresapan
air, sirkulasi, unsur-unsur estetik,
baik sebagai ruang kegiatan dan
maupun sebagai ruang amenity
luas minimal 30% dari luas lahan.
(Permen, 2006)
4. Konstruksi Jarak lantai hingga plafon 3 m. Ambang batas ketinggian lantai
Rumah sudah memiliki kuda-kuda terhadap plafon harus lebih besar
dengan sudut 30o. Genteng atau sama dengan 280-300 cm.
terpasang rapi. Keseluruhan Lalu untuk standar sudut
dinding rumah terbuat dari kemiringan genteng tanah liat
pasangan batu-bata. Tinggi lantai adalah 30-60 derajat dan jarak
memiliki elevasi dengan jalan reng 26 cm (SNI 03-2095-1998).
sebesar 40 cm, dan dengan teras Tinggi lantai rumah harus lebih
adalah 30 cm. tinggi daripada teras dan
jalanTinggi lantai rumah harus
lebih tinggi daripada teras dan
jalan.

Universitas Indonesia 28
5. Material Bahan penutup atap menggunakan Bahan penutup atap: genteng
genteng tanah liat yang terpasang beton, genteng keramik, sirap, dak
rapi. beton dengan lapisan kedap air,
atau bondek cor, dan sejenis,
disesuaikan dengan fungsi dan
ekspresi bangunan (PIP2B).
Material yang digunakan tidak
terbuat dari bahan yang dapat
melepaskan zat yang dapat
membahayakan kesehatan (debu,
asbestos, timbal, dll).
Atap rumah yang baik dan sehat
sebaiknya terbuat dari genteng
tanah liat.
6. KDB dan KLB KDB dan KLB rumah bernilai KDB merupakan angka prosentase
sama yaitu 0,55. berdasarkan perbandingan jumlah
Hal ini menandakan bahwa luas lantai dasar bangunan
penggunaan lahan untuk bangunan terhadap luas tanah
pada rumah yang telah di survey perpetakan/daerah perencanaan
memenuhi standar yang ada. yang dilkuasai sesuai tata ruang
Dimana kurang dari 60% lahan kota.
digunakan untuk bangunan agar KLB Merupakan koefisien yang
tidak mengganggu daya serap air mengatur perbandingan luas
pada lingkungan. keseluruhan lantai rumah dengan
luas tanah.
Mengatur agar luas bangunan
rumah maksimal 60% lahan
(Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 29/PRT/M/2006)
7. GSB dan GSJ Lebar jalan adalah 6 meter. GSB Jarak ideal GSB adalah setengah
dan GSJ rumah berjarak 6,075 dari lebar jalan depan rumah.
meter dan 1 meter. Tidak dibangun di atas GSJ,
melainkan dibelakang dari GSJ.
(Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 29/PRT/M/2006)

8. Rasio Perbandingan antara jumlah Kebutuhan ruang per orang di


penghuni dengan luas bangunan dalam suatu rumah menurut
perbandingan
(m2) adalah 1:15 standar adalah 9 m2.

Universitas Indonesia 29
9. Pencahayaan Jendela sebagai media masuknya Jendela memiliki luas 20%-30%
cahaya yang ada pada rumah ini dari luas ruangan.
ada di tiap ruangan.
Setiap bangunan gedung untuk
memenuhi persyaratan sistem
pencahayaan harus mempunyai
pencahayaan alami dan/atau
pencahayaan buatan, termasuk
pencahayaan darurat sesuai
dengan fungsinya. (Permen, 2006)

10. Penghawaan/ Ventilasi sebagai media sirkulasi Menurut SNI 03-6572-2001


udara terdapat disetiap atas jendela tentang Tata Cara Perancangan
Sirkulasi Udara
dan pintu (kecuali pintu kamar sistem ventilasi & pengkondisian
mandi). udara pd bangunan gedung, luas
Di dapur terdapat lubang udara penghawaan atau ventilasi alami
yang mengalirkan udara secara yang permanen minimal 10% dari
langsung keluar. luas lantai.
Di kamar mandi, terdapat exhaust Aliran udara diusahakan ventilasi
fan yang mengalirkan udara dari silang dengan menempatkan
dalam kamar mandi keluar ruangan lubang hawa berhadapan antara 2
secara langsung. dinding ruangan. Aliran udara ini
jangan sampai terhalang oleh
barang-barang besar misalnya
almari, dinding sekat dan lain-lain.
Untuk bagian dapur dan kamar
mandi, harus terdapat lubang
udara yang membuang udara dari
kedua ruangan itu secara langsung
keluar rumah.
11 Tangga pada rumah memiliki lebar Lebar anak tangga yang baik untuk
100 cm, ketinggian tangga total rumah tinggal adalah 80 cm dan
Tangga
yaitu 3,5 m mencapai lantai 2. dengan kemiringan tangga antara
Jumlah anak tangga yaitu 14 buah. 250 s/d 420. Lalu gunakan teori
Kemiringan tangga 30o. Railing atau rumus ini 2O + A = 60
tangga menggunakan bahan (minimal).
stainless steel ∅ 2,5” dengan tinggi O: optrede /tinggi anak tangga
100 cm. Besar nilai O tangga A: antrede /lebar tumpuan anak
adalah 25 cm dan A tangga adalah tangga.
30 cm, sehinga 2O+A=80, yang (Ernst Neufert, Data Arsitek, Edisi
berarti memenuhi batas minimal kedua)
standar tangga.

Universitas Indonesia 30
12. Sanitasi Rumah tersebut memiliki septic Menurut SNI 03-2398-2002
tank yang terletak ±4 meter dari tentang Tata Cara Perancangan
bangunan. Tangki Septik Dengan Sistem
Limbah-limbah rumah tangga (Air Resapan, jarak sumber air bersih
bekas cucian) mengalir menuju dengan septic tank dan sumur
saluran drainase. resapan minimal 10 meter.
Rumah yang disurvey belum Air limbah rumah tangga harus
memiliki bak kontrol. dibuang melalui saluran menuju
Rumah yang disurvey belum saluran-saluran air kotor
memiliki sumur resapan. perumahan (Selokan).
Saluran air bersih harus terhubung
dengan bak-bak kontrol untuk
dapat mengecek kondisi air.
Rumah yang sehat sebaiknya
memiliki sumur resapan sendiri.

Universitas Indonesia 31
BAB IV

ANALISIS DAN USULAN PERBAIKAN


4.1 Aspek Eksternal
Aspek Internal dari rumah survei meliputi pembahasan mengenai kondisi
lingkungan rumah survei serta infrastruktur sekitar yang tersedia.
4.1.1 Lingkungan
Pada sisi depan rumah survei cukup berjarak jauh dengan jalan, sesuai
dengan peraturan jarak antara bangunan dengan jalan yang telah diatur
dalam GSB yaitu setengah dari lebar jalan.
Sisi kanan dan kiri rumah berhimpitan dengan rumah lainnya pada
perumahan tersebut. Meskipun begitu, tiap ruangan di rumah tersebut
mendapatkan pencahayaan dan penghawaan yang cukup pada bagian depan
dan belakang karena tidak berhimpita dengan rumah orang lain.
4.1.2 Infrastruktur
Lokasi rumah survei tidak jauh dari transportasi umum, terletak di
depan jalan raya dan jalan di dalam perumahan tersebut yang cukup luas
yaitu sekitar 6 meter sehingga cukup luas untuk dua jalur kendaraan
bermobil.
4.2 Aspek Internal dan Fisik
Aspek ini membahas bagian dalam rumah seperti tata ruang dan kondisi fisik
bangunan.
4.2.1 Tata Ruang
Luas tiap ruangan di rumah tersebut sesuai dengan peruntukannya sudah
sesuai dengan standar yang berlaku, yang dimana Terdapat 4 ruangan
kamar tidur dan 3 kamar mandi. Terdapat pula RTH yang memadai yaitu
taman dengan luas yang mencapai 30% luas tanah keseluruhan
Jumlah kamar tidur yang ideal adalah minimal setengah dari jumlah
penghuni, dan maksimal sama dengan jumlah penghuni. Pada rumah yang

Universitas Indonesia 32
di survey memiliki penghuni sebanyak 7 orang dan jumlah kamar tidur
sebanyak 4 sehingga sudah sesuai dengan standar yang berlaku.

Gambar IV.1 Denah Lantai 1 dan 2


4.2.2 Konstruksi
Jarak lantai hingga plafon 3 m. Rumah survey sudah memiliki kuda-kuda
dengan sudut 30o. Genteng sudah terpasang rapih sehingga terhindar dari
kebocoran. Ambang batas ketinggian lantai terhadap plafon harus lebih
besar atau sama dengan 280-300 cm. Lalu untuk standar sudut kemiringan
genteng tanah liat adalah 30-60 derajat dan jarak reng 26 cm (SNI 03-
2095-1998). Dengan kondisi tersebut rumah sudah memenuhi standar
yang berlaku dan tidak diperlukannya usulan perbaikan.
4.1 Aspek Teknik
Aspek teknik menyangkut material dari rumah survei dan implementasi standar
rumah sehat pada rumah survei.
4.3.1 Material
Atap rumah menggunakan genteng tanah liat yang merupakan material
standar untuk rumah sehat. Hal tersebut dikarenakan material yang
digunakan untuk menjadi atap rumah tidak terbuat dari bahan yang dapat

Universitas Indonesia 33
melepaskan zat yang dapat membahayakan kesehatan (debu, asbestos,
timbal, dll). Oleh karena, itu atap rumah tidak perlu diperbaiki atau
diganti.
4.3.2 KDB dan KLB
KDB dan KLB rumah bernilai sama yaitu 0,55. Hal ini menandakan
bahwa penggunaan lahan untuk bangunan pada rumah yang telah di
survey memenuhi standar yang ada, yaitu kurang dari 60% lahan
digunakan untuk bangunan sehingga tidak mengganggu daya serap air
pada lingkungan. Dengan kondisi tersebut maka rumah tidak harus ditata
ulang untuk mendapatkan luasan resapan air <40%.
4.3.3 GSB dan GSJ
Lebar jalan adalah 6 meter. GSB dan GSJ rumah berjarak 6,075 meter
dan 1 meter. Pengaturan GSJ diperlukan agar hunian memiliki kualitas
visual yang baik Sedangkan pengaturan GSB diperlukan agar hunian
memiliki pekarangan didepan rumah untuk daerah resapan air, untuk
keamanan agar rumah tidak dapat secara langsung dimasuki pencuri/tamu
tak diundang, serta mengurangi polusi suara dari kendaraan bermotor
yang lewat di depan rumah. Dengan kondisi tersebut GSB dan GSJ rumah
tersebut memenuhi standar dan tidak diperlukannya perbaikan.
4.3.4 Rasio Perbandingan Luas Ruangan dengan Jumlah Penghuni
Perbandingan antara jumlah penghuni dengan luas bangunan (m2) adalah
1:15, melebihi standar bahwa 1 orang minimal 9 m2 sehingga tidak ada
usulan perbaikan.
4.2 Aspek Ruang/hubungan kegiatan
Aspek ini membahas tentang kondisi ruangan pada rumah survei dari segi
penghawaan, pencahayaan, dll.
4.4.1 Penghawaan
Ventilasi sebagai media sirkulasi udara terdapat disetiap atas jendela dan
pintu (kecuali pintu kamar mandi). Di dapur juga terdapat lubang udara
yang mengalirkan udara secara langsung keluar. Di kamar mandi,

Universitas Indonesia 34
terdapat exhaust fan yang mengalirkan udara dari dalam kamar mandi
keluar ruangan secara langsung. Ventilasi yang digunakan saling
menyilang di tiap ruangannya sehingga sirkulasi di rumah tersebut sangat
lancar. Luas penghawaan atau ventilasi juga melebihi standar yaitu diatas
10% dari luas ruangan. Dengan kondisi tersebut, tidak ada usulan
perbaikan.
4.4.2 Pencahayaan
Jendela sebagai media masuknya cahaya yang ada pada rumah ini
terdapat pada setiap ruangan dengan luas sekitar 25% dari tiap-tiap luas
ruangan sehingga tidak ada usulan perbaikan untuk menambah
pencahayaan.
4.4.3 Tangga
Tangga pada rumah memiliki lebar 100 cm, ketinggian tangga total yaitu
3,5 m mencapai lantai 2. Jumlah anak tangga yaitu 14 buah. Kemiringan
tangga 30o. Railing tangga menggunakan bahan stainless steel ∅ 2,5”
dengan tinggi 100 cm. Besar nilai O tangga adalah 25 cm dan A tangga
adalah 30 cm, sehinga 2O+A=80, yang berarti memenuhi batas minimal
standar tangga dan tidak ada usulan perbaikan.
4.4.4 Sumber Air dan Sanitasi
Rumah tersebut memiliki septic tank yang terletak ±15 meter dari sumber
air tanah dan sudah memenuhi standar yait, jarak septic tank dengan
sumber air minimal 10 meter. Limbah-limbah rumah tangga (air bekas
cucian) mengalir menuju saluran drainase. Rumah yang disurvey belum
memiliki bak kontrol. Rumah yang disurvey belum memiliki sumur
resapan.

Universitas Indonesia 35
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa struktur bangunan akan
mempengaruhi keamanan, kenyamanan, ketentraman dan kesehatan orang yang ada
didalamnya serta dapat bekerja secara produktif apabila memiliki fasilitas rumah yang
layak. Dan rumah yang dibangun di Indonesia, juga harus mengikuti standar yang
berlaku dalam Undang-Undang yang berlaku di Indonesia serta peraturan yang berlaku
di daerah tempat tinggalnya. Maka oleh karena itu, rumah yang dibangun harus
memenuhi standar rumah bertingkat dari segi struktur, organisasi ruang, luas lahan,
penerangan dan sistem plumbing dari rumah bertingkat tersebut.

5.2 Saran

Setelah mengetahui standar yang dibutuhkan dalam pembangunan rumah


bertingkat 2 lantai. Maka seaharusnya, setiap pembangunan rumah di Indonesia
selayaknya mengikuti aturan yang berlaku, terutama aturan dari wilayah setempatnya.

Universitas Indonesia 36
LAMPIRAN

Gambar 1. Tampak depan rumah survey real-time

Universitas Indonesia 37

Anda mungkin juga menyukai