RELIGIOUS CULTURE
Achmad Rizal Fikri A
Pendahuluan
Krisis moral diatas tidak hanya melanda masyarakat kalangan bawah, tetapi juga
melanda masyarakat atas sehingga meracuni atmosfir biokrasi Negara. Sungguh hal ini
sangat mengkhawatirkan. Munculnya fenomena white collar crimes (kejahatan kerah putih
atau kejahatan yang yang dilakukan oleh kaum berdasi, seperti para ekskutif, birokrat, guru,
politisi atau yang setingkat dengan mereka), serta isu KKN (Korupsi, kolusi, dan Nepotisme)
yang dilakukan oleh kaum para elit yang diatas sana, maka sudah jelas bahwasannya
1
Indonesia saat ini sedang mengalami krisis multidimensional.
1 Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi”.
Malang: UIN Maliki Pers. 2010. Hal 65
2 Ibid. Hal 65
dalam masyarakat, mengerti pola perilaku, norma sopan santun dan tata krama yang dihargai
dalam masyarakat.
Sistem pendidikan yang dikembangkan saat ini lebih mengarah pada pengisian
3
kognitif saja, sehingga melahirkan lulusan yang cerdas tetapi tidak bermoral. Sedangkan
aspek afektif dan psikomotorik yang juga sangat penting menjadi terabaikaan. Dalam
pendidikan formal contohnya tidak bisa lepas dengan apa yang dinamakan kurikulum. Dalam
konteks ini untuk mewujudkan tujuan pendidikan serta mengatasi berbagai persoalan yang
dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini perlu sebuah usaha yang bisa mengatasi persoalan-
persolan tersebut salah satunya adalah mengembangkan kurikulum dengan menciptakan
religius culture (budaya religius) khususnya pengembangan kurikulum Pendidikan Agama
Islam.
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang awalnya kata kurikulum tersebut
digunakan dalam bidang olahraga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, maksudnya
jarak tempuh lari ini yaitu jarak yang harus di lewati dari start sampai finish. Sedangkan
dalam bahasa Arab, kurikulum berasal dari kata Manhaj yang berarti jalan yang terang, atau
jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Dalam bidang pendidikan,
kurikulum berarti jalan yang terang yang harus dilalui oleh pendidik atau guru dengan peserta
didik untuk mengembangkan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-
4
nilai.
3 Qodri. “Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa Depan:
Pandai dan Bermanfaat”. Semarang: Aneka Ilmu. 2002. Hal 8-14.
4 Muhaimin. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan
Tinggi”. Jakarta: Rajawali Pers. 2014. Hal 1.
5 UU Sisdiknas Nomor 20/2003.
harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau bisa disebut juga keseluruhan pelajaran
6
yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan. Berbeda pendapat dengan Kamil dan Sarhan
mereka berpendapat bahwasannya, kurikulum merupakan pengalaman pendidikan, budaya,
sosial, olahraga, dan seni yang disediakan oleh lembaga pendidikan pagi peserta didiknya di
dalam maupun di luar sekolah, dengan maksud untuk mendorong mereka untuk berkembang
menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan
7
pendidikan.
Setelah membahas tentang definisi kurikulum diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
pengembangan kurikulum pendidikan Agama Islam dapat diartikan sebagai: pertama,
kegiatan yang menghasilkan kurikulum PAI. Kedua, proses yang mengaitkan satu komponen
dengan komponen yang lainnya untuk menghasilkan suatu prodak kurikulum PAI yang
berkualitas. Ketiga, kegiatan penyusunan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan
8
kurikulum PAI.
Ide Hasil
Program
Pengalaman
Silabus
EVALUASI
9 Muhaimin. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan
Tinggi”. Jakarta: Rajawali Pers. 2014. Hal 12.
Pengetian Religious Culture
Religious merupakan berasal dari Religi (latin) yang memiliki arti Agama. Agama
sendiri berasal dari kata Sankskrit. Ada yang berpendapat agama tersusun dari dua kata, “a”
yang berarti tidak dan “gam” berarti pergi, jadi agama berarti tidak pergi, tetap ditempat,
diwarisi turun temurun. Pendapat lain mengartikan agama sebagai teks atau kitab suci.
Selanjutnya kata “gam” dalam agama juga memiliki arti tuntunan yaitu kitab suci. Dalam
10
bahasa lain agama juga berupa: religion, religio, religie, godsdiests, dan al-din. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia religious adalah bersifat religi atau keagamaan, atau
11
yang bersangkut paut dengan religi (keagamaan).
Agama sendiri memiliki makna diantaranya, agama berarti mengabdikan diri, agama
berhubungan dengan hati, agama bisa dikiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang,
rasa pengabdian (dedication) atau contentment, dan agama juga mempunyai efek yang
12
menenangkan jiwa pemeluknya.
Gazalba berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dengan religi adalah mengandung
makna ke hati-hatian. Sikap kehati-hatian ini disebabkan dalam agama terdapat norma-norma
dan aturan-aturan yang ketat yang harus dipatuhi. Dalam religi ini orang-orang roma
13
mempunyai anggapan bahwa setiap manusia harus berhati-hati dalam menjalani kehidupan.
Saefuddin mengatakan bahwasannya agama merupakan suatu kebutuhan yang paling penting
yang bersifat universial. Karena itu, agama menurutnya adalah kesadaran spiritual yang
didalamnya ada satu kenyataan di luar kenyataan yang tampak yaitu manusia selalu mengarap
14
ridho-Nya dan belas kasihan-Nya.
Sedangkan Culture yang berarti budaya, istilah “Budaya” berasal dari disiplin ilmu
Antropologi Sosial. Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku,
kepercayaan, kesenian, kebudayaan, kelembagaan dan semua produk lain dari hasil karya dan
15
pemikiran manusia yang mencirikan sebuah kondisi yang berada di Masyarakat. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), budaya (cultural) mempunyai makna: pikiran, adat
istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sulit
10 Harun, Nasition. “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”. Jakarta: Universitas Indonesia. 2011. Jilid 1.
Hal 1.
11 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 1996.
12 Mustofa. “Filsafat Agama”. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997. Hal 13.
13 Sidi, Gazalba. “Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama”. Jakarta: Bulan Bintang. 1979. Hal 2.
14 Amsal Bakhtiar. “Filsafat Agama”. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997. Hal 11.
15 J.P. Kotter & J.L. Heskett. “Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja”. Terjemah Benyamin.
Jakarta: Prenhallindo. 1992. Hal 4
16
dirubah. Sedangkan budaya sendiri berasal dari kata sansekerta budhayah. Jika diuraikan
kata ini berasal dari dua kata yaitu budi dan daya. Budi berarti akal, tabiat, watak, akhlaq,
kebaikan dan lain-lain. Sedangkan Daya adalah kekuatan, tenaga, pengaruh, jalan, akal, dan
maslahat,
Menurut Koentjaraningrat mengelompokan aspek-aspek budaya berdasarkan
wujudnya, yaitu: pertama, sebuah gugusan atau ide seperti pemikiran, pengetahuan, nilai,
keyakinan, norma dan sikap. Kedua, sebuah aktivitas seperti, komunikasi, tari-tarian, adat
istiadat berupa upacara adat. Ketiga, berbentuk material hasil benda seperti, hasil seni,
17
peralatan dan sebainya.
Tylor mengartikan budaya sebagai “that complex whole which includes knowledge,
beliefs, art, morals, laws, customs and other capabilities and habits acquired by man as a
member of society”, yang artinya budaya merupakan suatu kesatuan yang unik dan bukan
jumlah dari bagian-bagian suatu kemampuan kreasi manusia yang immaterial, terbentuk dari
kemampuan psikologis seperti ilmu pengetahuan, teknologi, kepercayaan, keyakinan, seni
18
dan sebagainnya.
Kebudayaan yang dimaksud dalam pembahasan kali ini adalah kebudayaan yang
dikembangkan di sekolah/madrasah dan lembaga pendidikan lainnya. Budaya di
sekolah/madrasah suatu kebudayaan yang dibangun dari hasil pertemuan nilai-nilai (values)
yang dinut oleh kepala sekolah sebagai pemimpin di dalam lembaga pendidikan tersebut
selain kepala sekolah guru-guru dan karyawan. Nilai-nilai tersebut dibangun oleh pemikiran-
pemikiran manusia yang terdapat dala sekolah tersebut. Pemikiran-pemikiran manusia
tersebut kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan pemikiran organisasi. Berangkat
dari pemikiran organisasi itulah muncul nilai-nilai yang disepakati bersama dan kemudian
19
nilai-nilai tersebut akan menjadi bahan utama dalam membentuk budaya sekolah/madrasah.
Jadi yang dimaksud dengan budaya religious (Religious Culture) adalah sebuah cara
berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang didasari oleh nilai-nilai religious
(keberagamaan). Religius sendiri menurut islam adalah menjalankan ajaran agama secara
menyeluruh sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 208:
16 Departemen Penidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: PT. Balai Pustaka,
1991. Hal 149.
17 Koentjaraningrat, “Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia”.
Jakarta: Lembaga Riset Kebudayaan Nasional Seni. 1969. Hal 17
18 Asri Budiningsih. “Pembelajaran MoralBerpijak pada Larakteristik Siswa dan Budayanya”. Jakarta:
Rineka Cipta. 2004. Hal 18.
Muhaimin, Suti’ah, Sugeng. “Menejemen Penididkan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Sekolah/Madrasah”.
19
Jakarta: Prenada Media Grup. 2011. Hal 48
ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِف او لدخا او نآم ِِ َاه يأ
ن ُِ ِِّ ُ ِْ ُِ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
20
bagimu”.
Sedangkan pendapat lain menciptakan budaya relgius (Religious Culture) dalam
konteks pendidikan agama islam di sekolah/madrasah/perguruan tinggi adalah
berkembangnya suatu pandangan hidup yang menjiwai ajaran dan nilai-nilai islam, yang
diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah/madrasah
21
atau segenap para sivitas perguruan tinggi.
(3) kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. (4) keadilan
yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kenapa dia berpendapat
sedemikian, karena apabila kita melihat gambar (symbol) yang berada di dada garuda di situ
ada bintang atau symbol sebagai keimanan mengambil daerah empat sila tersebut. Maka hal
ini mengandung makna bahwa inti Pancasila adalah Keimanan Kepada Tuhan Yang Maha
27
Esa.
24 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. “Ilmu Pendidikan Islam”. Jakarta: Kencana Pranada Media. 2006. Hal
144
25 Muhaimin. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan
26 Ibid. Hal 56
27 Tafsir, Ahmad. “Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam”. Bandung: Mimbar Pustaka. 2004
Dalam segi konseptualnya dalam menerapkan ide-ide atau nilai-nilai keimanan
tersebut telah tertuang di dalam prinsip pengembangan kurikulum. Kita mengambil contoh
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KTSP) yang awal penerapannya sejak tahun
ajaran 2004/2005 di dekolah-sekolah, masalah keimanan merupakan sudah dijadikan salah
satu prinsip utama dan pertama dalam pengembangan kurikulum, dalam arti keimanan, budi
pekerti luhur, dan nilai-nilai budaya. Sedangkan dalam pendidikan agama Perguruan Tinggi
Umum sudah tercantum dalam Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 38/DIKTI/ Kep/ 2002
yang berisi tentang rambu-rambu pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan kepribadian. Dari
prinsip dasar itulah maka secara konseptual teoritik masalah keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa seharusnya dijadikan sebagai sumber nilai dan pedoman bagi peserta didik untuk
mencapai kebahagiaan dunia maupun akhirat selain itu dapat sebagai nilai dasar agama dalam
28
menerapkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni.
Secara umum budaya juga dapat terbentuk secara prescriptive dan dapat juga secara
teprogram sebagai learning process atau solusi terhadap suatu masalah. Yang pertama adalah
pembentukan atau terbentuknya budaya religious sekolah melalui penurutan, peniruan,
penganutan dan penataan suatu scenario (tradisi, perintah) baik dari dalam maupun dari luar
pelaku budaya yang bersangkutan. Pola ini disebut juga dengan pola pelakonan, modelnya
sebagai berikut:
Tradisi, perintah
Skenario dari
luar, dari atas Penataan Penganutan Peniruan Penurutan
atau dari luar
Tradisi, Perintah
Gambar: Pola Peragaan
Menurut Tafsir, strategi yang dapat diterapkan oleh para praktisi pendidikan untuk
membentuk budaya religious disekolah, sebagai berikut: (1) memberikan contoh (teladan),
(2) membiasakan hal-hal yang baik, (3) menegakkan kedisiplinan, (4) memberikan
motivasi atau dorongan, (5) memberikan hadiah, (6) memberikan hukuman (mungkin dalam
rangka kedisiplinan), (7) penciptaan suasana religius yang berpengaruh bagi pertumbuhan
30
anak.
Selain itu strategi yang dapat juga digunakan dalam membudayakan nilai-nilai agama
di sekolah dapat melalui:
a. Power strategi, yakni sebuah strategi pembudayaan agama di sekolah dengan
cara menggunakan kekuasaan (people’s power), dalam hal ini peran kepala
sekolah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan
sebuah perubahan.
b. Persuasive strategi, yakni strategi yang dijalankan lewat pembentukan opini
dan pandangan masyarakat atau warga sekolah.
c. Normative re-educative, yakni suatu norma yang berlaku di masyarakat lewat
pendidikan (education). Normative yang di gandengkan dengan re-educative
(pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradiga berpikir yang
lama dengan yang baru.
Strategi yang pertama dapat dikembangkan melalui pendekatan perintah atau larangan
reward fan punishment. Allah SWT memberikan contoh dalam hal sholat diamana sholat
sendiri termasuk rukun islam yang kelima, di dalam perintah melaksanakan sholat lima waktu
dan setiap hari, maka diperlukan suatu hukuman yang sifatnya mendidik, sabda Rasulullah
SAW dalam hadistnya:
30 Tafsir, Ahmad. “Metodelogi Pengajaran Agama Islam”. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2004. Hal 112
ْْ َْ ُْ َْ ُْ َْ ُْ َْ ُْ َْ َْ
،س ْ اْهيلع مهُىبُرض، رشع ءاَْنبُأ مهو
ْنيَنسٍْ س، ْاو مهو ْ َْعبُس ءا
نبُأ ل َْْكدَلوْأ اوْرـام
َْ ُْ ْْ َْ َْ َْ ْْ ْْ س َْ ُْ َ س ْْ َْ ةلـاصل
ْس ْْ س ُ ُْب م
ْْ ُْ َْ
ْعجاضمل يف مهَْنيب اىقرفوس .
ْس ّْ
َْ َ س ُْْ َْ ْْ
َْ س
Artinya: “Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah
berusia 10 tahun meninggal-kan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya
31
(antara anak laki-laki dan anak wanita).”
Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui
pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau dapat mengajak warga dengan
dengan cara yang halus dengan membeerikan alasan yang jelas dan dapat meyakinkan
mereka. Sifat kegiatannya dapat berupa kegiatan-kegiatan yang aksi positif dan reaksi positif.
32
31 Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 495), Ahmad (II/180, 187)
32 Muhaimin. “Paradigma Pendidikan Islam”. Bandung: Rosdakarya. 2001. Hal 160-167.
33 Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi”. Malang:
UIN Maliki Pers. 2010. Hal 30
dalam hal ini berbuat kebajikan dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat
sekitar dan lingkungannya termasuk dalam usaha merealisasikan nilai-nilai yang kreatif.
Kedua, Experimental values (nilai-nilai penghayatan), meyakini dan menghayati kebenaran,
kebajikan, keindahan, keimanan, dan nilai-nilai yang dianggap berharga. Ketiga, Attitudinal
values (nilai-nilai bersikap) menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat
terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari lagi setelah melakukan upaya secara optimal,
34
tetapi tidak berhasil dalam mengatasinya.
Sedangkan menurut Sukidi, religius pendidikan mendasarkan bangunannya
epistomologinya ke dalam tiga kerangka Ilmu yaitu: dasar filsafat, tujuan, dan nilai serta
orientasi pendidikan. Pertama, dasar filsafat yang dimaksud adalah filsafat teosentrisme yang
menjadikan Tuhan sebagai pijakannya. Kedua, tujuan religiutas pendidikan diarahkan untuk
membangun kehidupan duniawi melalui pendidikan sebagai wujud pengapdian kepada
diniawi. Hal ini bisa maknai bahwasannya kehidupan duniawi itu bukan tujuan yang final
tetapi sekedar gerbong unutk menuju kehidupan yang kekal dan abadi sebagai tujuan final
dalam perjalanan kehidupan manusia yaitu akhirat. Ketiga, nilai dan orientasi religiusitas
pendidikan menjadikan iman dan taqwa sebagai ruh dalam proses pendidikan yang
35
dijalankan.
Sedangkan menurut penulis untuk penciptaan suasana Religius Culture dalam
36
Pengembangan Kurikulum PAI ada lima poin, yaitu:
Pertama, dalam pengembangan kurikulum PAI tidak cukup hanya dengan
mengembangankan pembelajaran di kelas saja, tetapi bagaimana caranya mata pelajaran PAI
ini menjadi sebagai budaya yang berada di sekolah, hal ini merupakan bentuk pengembangan
PAI sebagai usaha yang strategis misalnya melakukan pembudayaan melalui pembiasaan,
keteladanan, dan pendekatan persuasif atau bisa dikatakan mengajak dengan cara yang halus
kepada peserta didik dengan memberikan alasan dan respon yang baik dan meyakinkan.
Kedua, mewujudkan budaya religius sebagai bentuk pengembangan kurikulum PAI
berbasis religius culture di sekolah meliputi: budaya 3S (senyum, sapa, dan salam), budaya
salim pagi yang dilakukan oleh siswa ke guru di depan gerbang sekolah, budaya saling
menghormati dan menghargai setiap siswa, budaya melakukan puasa sunnah (puasa senin
kamis, puasa rajab, puasa sunnah dll), budaya sholat dhuha berjamaah di sekolah, budaya
Dalam bidang pendidikan, kurikulum berarti jalan yang terang yang harus dilalui oleh
pendidik atau guru dengan peserta didik untuk mengembangkan mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai.
Mengembangkan kurikulum PAI dimulai dengan kegiatan perencanaan terlebih dahulu
kemudian implementasi serta evaluasi. Dalam menyusun perencanaan ini dimulai dengan
dengan ide-ide yang akan dituangkan serta dikembangkan dalam program
pengembangan kurikulum PAI.
Dengan budaya religious (Religious Culture) adalah sebuah cara berfikir dan cara
bertindak warga sekolah yang didasari oleh nilai-nilai religious (keberagamaan).
Dalam menciptakan suasana religious di sekolah/madrasah/perguruan tinggi memiliki
landasan yang kuat. Kita bisa memahaminya dari landasan filosofis bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila. Di dalam pancasila sendiri terdapat lima sila yang tekandung dan
sebagai dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari Teori
ke Aksi”. Malang: UIN Maliki Pers. 2010.
Amsal Bakhtiar. “Filsafat Agama”. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. “Ilmu Pendidikan Islam”. Jakarta: Kencana Pranada
Media. 2006.
Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari Teori
ke Aksi”. Malang: UIN Maliki Pers. 2010.
Departemen Penidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: PT.
Balai Pustaka, 1991. Hal 149.
Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 495), Ahmad (II/180, 187)
Harun, Nasition. “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”. Jakarta: Universitas Indonesia.
2011. Jilid 1.
J.P. Kotter & J.L. Heskett. “Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja”. Terjemah
Benyamin. Jakarta: Prenhallindo. 1992.
Kamil, Munir, dan Sarhan dalam Muhaimin. “Al-Manahij”. Kairo: Dar Al-Ma’arif. 1968.
Qodri. “Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa
Sidi, Gazalba. “Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama”. Jakarta: Bulan
Bintang. 1979.
Sukidi dalam Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan
PAI dari Teori ke Aksi”. Malang: UIN Maliki Pers. 2010.
Tafsir, Ahmad. “Metodelogi Pengajaran Agama Islam”. Bandung: Remaja Rosda Karya.
2004.
Tafsir, Ahmad. “Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam”. Bandung: Mimbar Pustaka. 2004