Anda di halaman 1dari 17

PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI BERBASIS

RELIGIOUS CULTURE
Achmad Rizal Fikri A

Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Agama Islam


UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Pendahuluan

Permasalahan pendidikan karakter tidak henti-hentinya diperbincangkan oleh


masyarakat Indonesia dan menjadi salah satu persoaalan yang melanda dunia pendidikan saat
ini, bahwasannya persoalan karakter ini merupakan persoalan yang penting. Maraknya
tindakan dan perilaku masyarakat yang jauh dari nilai-nilai karakter mulia. Banyak fenomena
yang terjadi ditengah masyarakat yang mengindikasi hilangnya nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia, seperti: kebersamaan, saling toleransi, kejujuran, kesantunan, dan kekeluargaan.
Sedangkan disisi lain timbul berbagai perilaku-perilku negatif, seperti: pemerkosaan, pacaran,
bullying, perzinahan, pencurian, penyalah gunaan narkotika dan kekerasan, perilaku-perilaku
tersebut semakin menghiasi kehidupan remaja, bahkan para siswa di sekolah-sekolah di
Indonesia.

Krisis moral diatas tidak hanya melanda masyarakat kalangan bawah, tetapi juga
melanda masyarakat atas sehingga meracuni atmosfir biokrasi Negara. Sungguh hal ini
sangat mengkhawatirkan. Munculnya fenomena white collar crimes (kejahatan kerah putih
atau kejahatan yang yang dilakukan oleh kaum berdasi, seperti para ekskutif, birokrat, guru,
politisi atau yang setingkat dengan mereka), serta isu KKN (Korupsi, kolusi, dan Nepotisme)
yang dilakukan oleh kaum para elit yang diatas sana, maka sudah jelas bahwasannya
1
Indonesia saat ini sedang mengalami krisis multidimensional.

Fenomena di atas mendorong timbulnya berbagai gugatan terhadap efektivitas


pendidikan agama yang selama ini dipandang oleh sebagian besar masyrakat telah gagal
dalam membangun afeksi (akhlak) anak didik dengan nilai-nilai yang ada serta mampu
2
menjawab tantangan zaman yang berubah begitu cepat. Selain itu dunia pendidikan
mengemban membantu siswa selaku generasi muda agar mengerti dengan baik tatanan sosial

1 Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi”.
Malang: UIN Maliki Pers. 2010. Hal 65
2 Ibid. Hal 65
dalam masyarakat, mengerti pola perilaku, norma sopan santun dan tata krama yang dihargai
dalam masyarakat.

Sistem pendidikan yang dikembangkan saat ini lebih mengarah pada pengisian
3
kognitif saja, sehingga melahirkan lulusan yang cerdas tetapi tidak bermoral. Sedangkan
aspek afektif dan psikomotorik yang juga sangat penting menjadi terabaikaan. Dalam
pendidikan formal contohnya tidak bisa lepas dengan apa yang dinamakan kurikulum. Dalam
konteks ini untuk mewujudkan tujuan pendidikan serta mengatasi berbagai persoalan yang
dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini perlu sebuah usaha yang bisa mengatasi persoalan-
persolan tersebut salah satunya adalah mengembangkan kurikulum dengan menciptakan
religius culture (budaya religius) khususnya pengembangan kurikulum Pendidikan Agama
Islam.

Pengembangan Kurikulum PAI

Kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang awalnya kata kurikulum tersebut
digunakan dalam bidang olahraga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, maksudnya
jarak tempuh lari ini yaitu jarak yang harus di lewati dari start sampai finish. Sedangkan
dalam bahasa Arab, kurikulum berasal dari kata Manhaj yang berarti jalan yang terang, atau
jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Dalam bidang pendidikan,
kurikulum berarti jalan yang terang yang harus dilalui oleh pendidik atau guru dengan peserta
didik untuk mengembangkan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-
4
nilai.

Sedangkan menurut UU Sisdiknas Nomor 20/2003 definisi kurikulum yaitu


merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
5
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam hal ini pengertian kurikulum menurut pendapat
para ahli ada yang menekankan bahwasannya kurikulum bisa ditekankan kepada isi pelajaran
atau mata kuliah dan ada juga yang menekankan pada proses atau pengalaman pembelajaran.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasution yang berependapat, kurikulum merupakan
mata pelajaran atau mata kuliah yang berada di sekolah maupun di perguruan tinggi yang

3 Qodri. “Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa Depan:
Pandai dan Bermanfaat”. Semarang: Aneka Ilmu. 2002. Hal 8-14.
4 Muhaimin. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan
Tinggi”. Jakarta: Rajawali Pers. 2014. Hal 1.
5 UU Sisdiknas Nomor 20/2003.
harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau bisa disebut juga keseluruhan pelajaran
6
yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan. Berbeda pendapat dengan Kamil dan Sarhan
mereka berpendapat bahwasannya, kurikulum merupakan pengalaman pendidikan, budaya,
sosial, olahraga, dan seni yang disediakan oleh lembaga pendidikan pagi peserta didiknya di
dalam maupun di luar sekolah, dengan maksud untuk mendorong mereka untuk berkembang
menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan
7
pendidikan.

Setelah membahas tentang definisi kurikulum diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
pengembangan kurikulum pendidikan Agama Islam dapat diartikan sebagai: pertama,
kegiatan yang menghasilkan kurikulum PAI. Kedua, proses yang mengaitkan satu komponen
dengan komponen yang lainnya untuk menghasilkan suatu prodak kurikulum PAI yang
berkualitas. Ketiga, kegiatan penyusunan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan
8
kurikulum PAI.

Proses Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam dapat digambarkan


melalui bagan dibawah ini:

Pengembagan Kurikulum PAI

Ide Hasil

Program
Pengalaman

Silabus

EVALUASI

Perencanaan Implementasi Evaluasi

6 Nasution dalam Muhaimin. “Asas-asas Kurikulum”. Bandung: Jemmars. 1982. Hal 2.


7 Kamil, Munir, dan Sarhan dalam Muhaimin. “Al-Manahij”. Kairo: Dar Al-Ma’arif. 1968. Hal 2.
8 Muhaimin. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi”. Jakarta: Rajawali Pers. 2014. Hal 10.
Bagan diatas menggambarkan sebuah ilustrasi bahwa bagaimana seseorang bisa
mengembangkan kurikulum PAI dimulai dengan kegiatan perencanaan terlebih dahulu
kemudian implementasi serta evaluasi. Dalam menyusun perencanaan ini dimulai dengan
dengan ide-ide yang akan dituangkan serta dikembangkan dalam program pengembangan
kurikulum PAI, dalam menemukan ide-ide tersebut bisa dicari melalui:

1. Visi dan Misi yang dicanangkan


Visi dan Misi merupakan pernyataan tentang cita-cita yang ingin dicapai
dalam suatu lembaga pendidikan dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang.
2. Kebutuhan stakeholders (siswa, masyarakat, pengguna lulusan), dan
kebutuhan untuk studi lanjut.
3. Hasil dari evaluasi kurikulum-kurikulum sebelumnya dan tuntutan
perkembangan zaman dan ipteksnya.
4. Pandangan-pandangan para pakar ilmuan dengan berbagai latar belakangnya.
5. Kecenderungan era globalisasi, yang menuntut seseorang untuk memeliki etos
belajar sepanjang hayat, melek sosial, ekonomi, politi, budaya dan teknologi.
Dari kelima ide tersebut kemudian diproses sedemikian rupa sehingga dapat
dikembangkan dalam suatu program atau dalam bentuk kurikulum sebagai dokumen,
sehingga pengimplementasi dapat berupa silabus, dokumen-dokumen tentang kurikulum dan
dokumen-dokumen kurikulum tersebut dapat dikembangkan. Setelah dalam bentuk dokumen
kemudian dikembangkan dan disosialisasikan dalam proses pelaksanaannya. Dalam
pelaksanaannya baik proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Setelah
melakukan proses pembelajaran barulah dapat mengetahui hasil dari pembelajaran yang
dengan hasil pembelajaran tersebut bisa digunakan untuk evaluasi baik tingkat efisiensi dan
efektivitasnya. Dari hasil evaluasi ini akan memperoleh umpan balik (feed back) untuk
digunakan dalam penyempurnaan kurikulum berikutnya. Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwasannya proses perkembangan kurikulum PAI menuntut untuk adanya
9
evaluasi secara berkelanjuan mulai dari perecanaan, implementasi hingga evaluasi.

9 Muhaimin. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan
Tinggi”. Jakarta: Rajawali Pers. 2014. Hal 12.
Pengetian Religious Culture
Religious merupakan berasal dari Religi (latin) yang memiliki arti Agama. Agama
sendiri berasal dari kata Sankskrit. Ada yang berpendapat agama tersusun dari dua kata, “a”
yang berarti tidak dan “gam” berarti pergi, jadi agama berarti tidak pergi, tetap ditempat,
diwarisi turun temurun. Pendapat lain mengartikan agama sebagai teks atau kitab suci.
Selanjutnya kata “gam” dalam agama juga memiliki arti tuntunan yaitu kitab suci. Dalam
10
bahasa lain agama juga berupa: religion, religio, religie, godsdiests, dan al-din. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia religious adalah bersifat religi atau keagamaan, atau
11
yang bersangkut paut dengan religi (keagamaan).
Agama sendiri memiliki makna diantaranya, agama berarti mengabdikan diri, agama
berhubungan dengan hati, agama bisa dikiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang,
rasa pengabdian (dedication) atau contentment, dan agama juga mempunyai efek yang
12
menenangkan jiwa pemeluknya.
Gazalba berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dengan religi adalah mengandung
makna ke hati-hatian. Sikap kehati-hatian ini disebabkan dalam agama terdapat norma-norma
dan aturan-aturan yang ketat yang harus dipatuhi. Dalam religi ini orang-orang roma
13
mempunyai anggapan bahwa setiap manusia harus berhati-hati dalam menjalani kehidupan.
Saefuddin mengatakan bahwasannya agama merupakan suatu kebutuhan yang paling penting
yang bersifat universial. Karena itu, agama menurutnya adalah kesadaran spiritual yang
didalamnya ada satu kenyataan di luar kenyataan yang tampak yaitu manusia selalu mengarap
14
ridho-Nya dan belas kasihan-Nya.
Sedangkan Culture yang berarti budaya, istilah “Budaya” berasal dari disiplin ilmu
Antropologi Sosial. Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku,
kepercayaan, kesenian, kebudayaan, kelembagaan dan semua produk lain dari hasil karya dan
15
pemikiran manusia yang mencirikan sebuah kondisi yang berada di Masyarakat. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), budaya (cultural) mempunyai makna: pikiran, adat
istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sulit

10 Harun, Nasition. “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”. Jakarta: Universitas Indonesia. 2011. Jilid 1.
Hal 1.
11 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 1996.
12 Mustofa. “Filsafat Agama”. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997. Hal 13.
13 Sidi, Gazalba. “Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama”. Jakarta: Bulan Bintang. 1979. Hal 2.
14 Amsal Bakhtiar. “Filsafat Agama”. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997. Hal 11.
15 J.P. Kotter & J.L. Heskett. “Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja”. Terjemah Benyamin.
Jakarta: Prenhallindo. 1992. Hal 4
16
dirubah. Sedangkan budaya sendiri berasal dari kata sansekerta budhayah. Jika diuraikan
kata ini berasal dari dua kata yaitu budi dan daya. Budi berarti akal, tabiat, watak, akhlaq,
kebaikan dan lain-lain. Sedangkan Daya adalah kekuatan, tenaga, pengaruh, jalan, akal, dan
maslahat,
Menurut Koentjaraningrat mengelompokan aspek-aspek budaya berdasarkan
wujudnya, yaitu: pertama, sebuah gugusan atau ide seperti pemikiran, pengetahuan, nilai,
keyakinan, norma dan sikap. Kedua, sebuah aktivitas seperti, komunikasi, tari-tarian, adat
istiadat berupa upacara adat. Ketiga, berbentuk material hasil benda seperti, hasil seni,
17
peralatan dan sebainya.
Tylor mengartikan budaya sebagai “that complex whole which includes knowledge,
beliefs, art, morals, laws, customs and other capabilities and habits acquired by man as a
member of society”, yang artinya budaya merupakan suatu kesatuan yang unik dan bukan
jumlah dari bagian-bagian suatu kemampuan kreasi manusia yang immaterial, terbentuk dari
kemampuan psikologis seperti ilmu pengetahuan, teknologi, kepercayaan, keyakinan, seni
18
dan sebagainnya.
Kebudayaan yang dimaksud dalam pembahasan kali ini adalah kebudayaan yang
dikembangkan di sekolah/madrasah dan lembaga pendidikan lainnya. Budaya di
sekolah/madrasah suatu kebudayaan yang dibangun dari hasil pertemuan nilai-nilai (values)
yang dinut oleh kepala sekolah sebagai pemimpin di dalam lembaga pendidikan tersebut
selain kepala sekolah guru-guru dan karyawan. Nilai-nilai tersebut dibangun oleh pemikiran-
pemikiran manusia yang terdapat dala sekolah tersebut. Pemikiran-pemikiran manusia
tersebut kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan pemikiran organisasi. Berangkat
dari pemikiran organisasi itulah muncul nilai-nilai yang disepakati bersama dan kemudian
19
nilai-nilai tersebut akan menjadi bahan utama dalam membentuk budaya sekolah/madrasah.
Jadi yang dimaksud dengan budaya religious (Religious Culture) adalah sebuah cara
berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang didasari oleh nilai-nilai religious
(keberagamaan). Religius sendiri menurut islam adalah menjalankan ajaran agama secara
menyeluruh sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 208:

16 Departemen Penidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: PT. Balai Pustaka,
1991. Hal 149.
17 Koentjaraningrat, “Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia”.
Jakarta: Lembaga Riset Kebudayaan Nasional Seni. 1969. Hal 17
18 Asri Budiningsih. “Pembelajaran MoralBerpijak pada Larakteristik Siswa dan Budayanya”. Jakarta:
Rineka Cipta. 2004. Hal 18.
Muhaimin, Suti’ah, Sugeng. “Menejemen Penididkan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Sekolah/Madrasah”.
19
Jakarta: Prenada Media Grup. 2011. Hal 48
ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ‫ِف او لدخا‬ ‫او نآم‬ ِِ َ‫اه يأ‬

‫هنإ ناطيشل‬ ‫تاوطخ‬ ‫او عبتَ ت‬ ‫لوَ ةفاك مل سل‬ ‫نيذل‬


ِ
ُِ ِْ ُِ ُ ُِ ِ ِ ِْ
ُِ ُ ْ ُِ ِ ِ ُ ‫ي‬

‫ِيبم ودع‬ ‫مكل‬

‫ن‬ ُِ ِِّ ُ ِْ ُِ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
20
bagimu”.
Sedangkan pendapat lain menciptakan budaya relgius (Religious Culture) dalam
konteks pendidikan agama islam di sekolah/madrasah/perguruan tinggi adalah
berkembangnya suatu pandangan hidup yang menjiwai ajaran dan nilai-nilai islam, yang
diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah/madrasah
21
atau segenap para sivitas perguruan tinggi.

Relevansi antara Culture dan kurikulum


Saylor dan Alexander merumuskan kurikulum sebagai “the total effort of the school
situations”. Definisi ini lebih jelas dan lebih luas dari pada sekedar hanya meliputi mata
pelajaran akan tetapi juga menyangkut segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Selain itu kurikulum juga tidak hanya mengenai situasi di dalam sekolah tetapi
22
juga di luar sekolah.
Sedangkan definisi secara tradisional yang sekarang sering dianut oleh pendidikan di
Indonesia adalah kurikulum sebagai matapelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sejalan
dengan pendapat Harold Alberty dan John Kerr “the curriculum of a school is all the
experiences the pupils have under the guidance of the school” yaitu segala pengalaman anak
23
di sekolah di bawah bimbingan sekolah.
Setelah menjelaskan makna kurikulum di atas, relevansi budaya (culture) dengan
kurikulum adalah kurikulum sebuah blue print (dokumen) yang memuat semua program
pendidikan baik berupa sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik
(course of stuies), pengalaman belajar (learning experience) dan rencana program belajar
(learning plan), yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan
pendidikan. Adapun hubungan antara kebudayaan dan kurikulum menurut Miller dan seller

20 Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah). Ayat 208


21 Muhaimin. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi”. Jakarta: Rajawali Pers. 2014. Hal 61.
22 Nasution. “Pengembangan Kurikulum”. Bandung: Citra Aditiya. 1990. Hal 9
23 Ibdi. Hal 10
yang dikutib oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, kurikulum sebagai alat untuk transmisi
kebudayaan, transformasi pribadi peserta didik, dan transaksi dengan masyarakat.
Kebudayaan sendiri dapat mencangkup beberapa dimensi diantaranya, keluarga pendidikan,
politik, ekonomi, sosial, teknologi dan rekreasi. Dan dari dimensi tersebut hendaknya dapat
24
dipertimbangkan dalam proses pengembangan kurikulum.

Penciptaan Suasana Religius Culture


Dalam menciptakan suasana religious culture penulis terlebih dahulu membagikan
beberapa kelompok dilihat dari organisasi pelaksanaan pendidikan diantaranya pendidikan
formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Semua itu sudah diatur dalam
pendidikan Undang-undang Sisdiknas No. 20/2003 disebut sebagai jalur pendidikan.
Ketiganya juga mempunya hubungan yang sangat erat dalam hal pendidikan. Pendidikan
formal bersifat terstruktur, berjenjang, contohnya pendidikan dasar (TK dan SD/MI,)
pendidikan menengah (SMP/MTs), pendidikan atas (SMA/SMK/MA), dan pendidikan tinggi
atau perguruan tinggi (Universitas). Pendidikan nonformal dapat bersifat terstruktur dan
berjenjang sesuai dengan kebutuhan yang berada di masyarakat seperti lembaga-lembaga
khursus. Sedangkan pendidikan informal pendidikan yang berada di lingkungan keluarga dan
25
lingkungan masyarakat.
Dalam menciptakan suasana religious di sekolah/madrasah/perguruan tinggi memiliki
landasan yang kuat. Kita bisa memahaminya dari landasan filosofis bangsa Indonesia, yaitu
26
Pancasila. Di dalam pancasila sendiri terdapat lima sila yang tekandung dan sebagai dasar.
Tetapi menurut Ahmad apa bila diterusuri menggunakan pendekata filsafat pancasila itu
mengandung empat sila yaitu: (1) kemanusiaan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. (2) persatuan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa .

(3) kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. (4) keadilan
yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kenapa dia berpendapat
sedemikian, karena apabila kita melihat gambar (symbol) yang berada di dada garuda di situ
ada bintang atau symbol sebagai keimanan mengambil daerah empat sila tersebut. Maka hal
ini mengandung makna bahwa inti Pancasila adalah Keimanan Kepada Tuhan Yang Maha
27
Esa.

24 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. “Ilmu Pendidikan Islam”. Jakarta: Kencana Pranada Media. 2006. Hal
144
25 Muhaimin. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan
26 Ibid. Hal 56
27 Tafsir, Ahmad. “Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam”. Bandung: Mimbar Pustaka. 2004
Dalam segi konseptualnya dalam menerapkan ide-ide atau nilai-nilai keimanan
tersebut telah tertuang di dalam prinsip pengembangan kurikulum. Kita mengambil contoh
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KTSP) yang awal penerapannya sejak tahun
ajaran 2004/2005 di dekolah-sekolah, masalah keimanan merupakan sudah dijadikan salah
satu prinsip utama dan pertama dalam pengembangan kurikulum, dalam arti keimanan, budi
pekerti luhur, dan nilai-nilai budaya. Sedangkan dalam pendidikan agama Perguruan Tinggi
Umum sudah tercantum dalam Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 38/DIKTI/ Kep/ 2002
yang berisi tentang rambu-rambu pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan kepribadian. Dari
prinsip dasar itulah maka secara konseptual teoritik masalah keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa seharusnya dijadikan sebagai sumber nilai dan pedoman bagi peserta didik untuk
mencapai kebahagiaan dunia maupun akhirat selain itu dapat sebagai nilai dasar agama dalam
28
menerapkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni.
Secara umum budaya juga dapat terbentuk secara prescriptive dan dapat juga secara
teprogram sebagai learning process atau solusi terhadap suatu masalah. Yang pertama adalah
pembentukan atau terbentuknya budaya religious sekolah melalui penurutan, peniruan,
penganutan dan penataan suatu scenario (tradisi, perintah) baik dari dalam maupun dari luar
pelaku budaya yang bersangkutan. Pola ini disebut juga dengan pola pelakonan, modelnya
sebagai berikut:
Tradisi, perintah

Skenario dari
luar, dari atas Penataan Penganutan Peniruan Penurutan
atau dari luar

Gambar: Pola pelakoan


Yang kedua, pembentukan budaya religious culture secara terprogram melalui
learning process. Pola ini dimulai dari diri dalam pelaku budaya, kebenaran, keyakinan,
anggapan dasar atau dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian, dan diaktualisaasikan
menjadi kenyataan melalui sikap dan prilaku pelaku budaya sendiri. Sedangkan kebenaran
sendiri diperoleh melalui pengalaman dan pembuktiannya adalah peragaan pendiriannya
29
tersebut, maka dari itu pola yang kedua ini disebut dengan pola peragaan.

28 Muhaimin. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan


Perguruan Tinggi”. Jakarta: Rajawali Pers. 2014. Hal 58.
29 Talizuhu Ndara. “Teori Budaya Organisa”. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. Hal 24
PENDIRIAN, di Raga
dalam diri pelaku Sikap Perilaku
(kenyataan)
budaya

Tradisi, Perintah
Gambar: Pola Peragaan
Menurut Tafsir, strategi yang dapat diterapkan oleh para praktisi pendidikan untuk
membentuk budaya religious disekolah, sebagai berikut: (1) memberikan contoh (teladan),

(2) membiasakan hal-hal yang baik, (3) menegakkan kedisiplinan, (4) memberikan
motivasi atau dorongan, (5) memberikan hadiah, (6) memberikan hukuman (mungkin dalam
rangka kedisiplinan), (7) penciptaan suasana religius yang berpengaruh bagi pertumbuhan
30
anak.
Selain itu strategi yang dapat juga digunakan dalam membudayakan nilai-nilai agama
di sekolah dapat melalui:
a. Power strategi, yakni sebuah strategi pembudayaan agama di sekolah dengan
cara menggunakan kekuasaan (people’s power), dalam hal ini peran kepala
sekolah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan
sebuah perubahan.
b. Persuasive strategi, yakni strategi yang dijalankan lewat pembentukan opini
dan pandangan masyarakat atau warga sekolah.
c. Normative re-educative, yakni suatu norma yang berlaku di masyarakat lewat
pendidikan (education). Normative yang di gandengkan dengan re-educative
(pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradiga berpikir yang
lama dengan yang baru.
Strategi yang pertama dapat dikembangkan melalui pendekatan perintah atau larangan
reward fan punishment. Allah SWT memberikan contoh dalam hal sholat diamana sholat
sendiri termasuk rukun islam yang kelima, di dalam perintah melaksanakan sholat lima waktu
dan setiap hari, maka diperlukan suatu hukuman yang sifatnya mendidik, sabda Rasulullah
SAW dalam hadistnya:

30 Tafsir, Ahmad. “Metodelogi Pengajaran Agama Islam”. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2004. Hal 112
ْْ َْ ُْ َْ ُْ َْ ُْ َْ ُْ َْ َْ
،‫س‬ ْ ‫اْهيلع مهُىبُرض‬، ‫رشع ءاَْنبُأ مهو‬
‫ْنيَنسٍْ س‬، ْ‫او‬ ‫مهو‬ ْ َ‫ْعبُس ءا‬
‫نبُأ‬ ‫ل‬ ‫َْْكدَلوْأ اوْرـام‬
َْ ُْ ْْ َْ َْ َْ ْْ ْْ ‫س‬ َْ ْ‫ُ َ س‬ ْْ َْ ‫ةلـاصل‬
ْ‫س‬ ْ‫ْ س‬ ‫ُ ُْب م‬
ْْ ُْ َْ
ْ‫عجاضمل يف مهَْنيب اىقرفوس‬ .

ْ‫س‬ ّْ
ْ‫َ َ س‬ ُْْ َْ ْْ
ْ‫َ س‬
Artinya: “Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah
berusia 10 tahun meninggal-kan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya
31
(antara anak laki-laki dan anak wanita).”
Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui
pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau dapat mengajak warga dengan
dengan cara yang halus dengan membeerikan alasan yang jelas dan dapat meyakinkan
mereka. Sifat kegiatannya dapat berupa kegiatan-kegiatan yang aksi positif dan reaksi positif.
32

Urgensi Penciptaan Suasana Religius Culture dalam Pengembangan Kurikulum PAI


Agama memiliki peran yang sangat sentral dalam kehidupan umat manusia. Dimana
agama menjadi sebagai pemandu dalam mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai
dan bermartabat. Maka dari itu internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap
manusia menjadi sebuah keniscayaan, yang dapat ditempuh melalui tri pusat pendidikan baik
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Tetapi pada
pembahasan kali ini penulis akan membahas penciptaan Suasana Religius Culture di
lingkungan sekolah khususnya dalam mengembangkan kurikulum Pendidikan Agama Islam.
Pendidikan Agama sendiri dimaksudkan untuk meningkatkan potensi religious dan
membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan menjadi insan yang berakhlak mulia serta bermartabat. Akhlak mulia
sendiri mencangkup etika, budi pekerti, dan moral. Peningkatan potensi religius mencangkup
pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta nilai-nilai individual
baik yang terkandung di dalam masyarakat. Tujuan dari peningkatan religius ini
mengoptimalisasikan berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
33
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan Agama Islam diharapkan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya
nilai-nilai religius yang dapat diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan
yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu: Pertama, Creative values (nilai-nilai kreatif),

31 Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 495), Ahmad (II/180, 187)
32 Muhaimin. “Paradigma Pendidikan Islam”. Bandung: Rosdakarya. 2001. Hal 160-167.
33 Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi”. Malang:
UIN Maliki Pers. 2010. Hal 30
dalam hal ini berbuat kebajikan dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat
sekitar dan lingkungannya termasuk dalam usaha merealisasikan nilai-nilai yang kreatif.
Kedua, Experimental values (nilai-nilai penghayatan), meyakini dan menghayati kebenaran,
kebajikan, keindahan, keimanan, dan nilai-nilai yang dianggap berharga. Ketiga, Attitudinal
values (nilai-nilai bersikap) menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat
terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari lagi setelah melakukan upaya secara optimal,
34
tetapi tidak berhasil dalam mengatasinya.
Sedangkan menurut Sukidi, religius pendidikan mendasarkan bangunannya
epistomologinya ke dalam tiga kerangka Ilmu yaitu: dasar filsafat, tujuan, dan nilai serta
orientasi pendidikan. Pertama, dasar filsafat yang dimaksud adalah filsafat teosentrisme yang
menjadikan Tuhan sebagai pijakannya. Kedua, tujuan religiutas pendidikan diarahkan untuk
membangun kehidupan duniawi melalui pendidikan sebagai wujud pengapdian kepada
diniawi. Hal ini bisa maknai bahwasannya kehidupan duniawi itu bukan tujuan yang final
tetapi sekedar gerbong unutk menuju kehidupan yang kekal dan abadi sebagai tujuan final
dalam perjalanan kehidupan manusia yaitu akhirat. Ketiga, nilai dan orientasi religiusitas
pendidikan menjadikan iman dan taqwa sebagai ruh dalam proses pendidikan yang
35
dijalankan.
Sedangkan menurut penulis untuk penciptaan suasana Religius Culture dalam
36
Pengembangan Kurikulum PAI ada lima poin, yaitu:
Pertama, dalam pengembangan kurikulum PAI tidak cukup hanya dengan
mengembangankan pembelajaran di kelas saja, tetapi bagaimana caranya mata pelajaran PAI
ini menjadi sebagai budaya yang berada di sekolah, hal ini merupakan bentuk pengembangan
PAI sebagai usaha yang strategis misalnya melakukan pembudayaan melalui pembiasaan,
keteladanan, dan pendekatan persuasif atau bisa dikatakan mengajak dengan cara yang halus
kepada peserta didik dengan memberikan alasan dan respon yang baik dan meyakinkan.
Kedua, mewujudkan budaya religius sebagai bentuk pengembangan kurikulum PAI
berbasis religius culture di sekolah meliputi: budaya 3S (senyum, sapa, dan salam), budaya
salim pagi yang dilakukan oleh siswa ke guru di depan gerbang sekolah, budaya saling
menghormati dan menghargai setiap siswa, budaya melakukan puasa sunnah (puasa senin
kamis, puasa rajab, puasa sunnah dll), budaya sholat dhuha berjamaah di sekolah, budaya

34 Muhaimin. “Paradigma Pendidikan Islam”. Hal 291


35 Sukidi dalam Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari
Teori ke Aksi”. Malang: UIN Maliki Pers. 2010. Hal 32
36 Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi”.
Malang:
UIN Maliki Pers. 2010. Hal 155
membaca asmaul husna pada awal masuk kelas dan dilanjutkan do’a bersama, budaya tadarus
Al-Qur’an, budaya tahlil bersama setiap hari kamis pagi, budaya istighosah dan budaya jujur
dengan menyiapkan kantin kejujuran, budaya sholat dhuhur berjamaah, dll. Budaya itu semua
tidak lain untuk meningkatkan spritualitas siswa, meningkatkan rasa persaudaraan dan saling
toleransi, meningkatkan kedisiplinan dan bersungguh-sungguh dalam belajar dan beraktivitas,
dapat meningkatkan rasa tawadhu’ siswa kepada guru sebagai bentuk penghormatan dan
keyakinan agar mendapatkan berkah dari gurunya berupa manfaat ilmu pengetahuan yang
dipelajarinya.
Ketiga, dalam mewujudkan budaya religius bisa menggunakan dua cara, yaitu: (a)
instructive sequential strategy, dan (b) constructive sequential strategy. Pada strategi pertama
yang dimaksud instructive sequential strategy adalah upaya mewujudkan budaya religius
menekankan pada aspek structural yang bersifat instruktif, yang mengandalkan komitmen
pemimpin dalam sebuah lembaga sekolah untuk melakukan upaya sistematis dalam
mewujudkan budaya religius. Sedangkan constructive sequential strategy adalah pentingnya
membangun kesadaran diri sehingga dapat menciptakan sikap, perilaku dan kebiasaan
religius dan pada akhirnya akan membentuk budaya religius sekolah.
Keempat, dukungan warga sekolah terhadap upaya pengembangan kurikulum PAI
dalam mewujudkan budaya religius berupa komitmen pimpinan dan guru PAI, komitemen
siswa, komitmen orangtua siswa dan komiten guru yang lain. Komitnem tri pusat pendidikan
ini menjadi kunci keberhasilan dalam mewujudkan budaya religius di sekolah.
Kelima, begitu pentingnya dalam pengembangan kurikulum PAI ini dalam
mewujudkan budaya religius di sekolah adalah didasari adanya kekurang maksimalnya dalam
pengembangan kurikulum pendidikan agama islam di sekolah yang disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya: terbatasnya alokasi waktu, metode pembelajaran yang mungkin
membosankan yang cenderung kognitif oriented sehingga dalam segi afektif dan
psikomotorik masih kurang. Proses pembelajaran hanya cenderung bersifat transfer of
knowledge (transfer ilmu pengetahuan dan pemahaman) saja sehingga transfer of value
(transfer nilai-nilai moral dan kebaikan) masih kurang, selain itu pengaruh negatif dari luar
sekolah terutama pesatnya perkembangan teknologi.
Kesimpulan

 Dalam bidang pendidikan, kurikulum berarti jalan yang terang yang harus dilalui oleh
pendidik atau guru dengan peserta didik untuk mengembangkan mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai.
 Mengembangkan kurikulum PAI dimulai dengan kegiatan perencanaan terlebih dahulu
kemudian implementasi serta evaluasi. Dalam menyusun perencanaan ini dimulai dengan
dengan ide-ide yang akan dituangkan serta dikembangkan dalam program
pengembangan kurikulum PAI.
 Dengan budaya religious (Religious Culture) adalah sebuah cara berfikir dan cara
bertindak warga sekolah yang didasari oleh nilai-nilai religious (keberagamaan).
 Dalam menciptakan suasana religious di sekolah/madrasah/perguruan tinggi memiliki
landasan yang kuat. Kita bisa memahaminya dari landasan filosofis bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila. Di dalam pancasila sendiri terdapat lima sila yang tekandung dan
sebagai dasar.
DAFTAR PUSTAKA

Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari Teori
ke Aksi”. Malang: UIN Maliki Pers. 2010.

Amsal Bakhtiar. “Filsafat Agama”. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997.

Asri Budiningsih. “Pembelajaran MoralBerpijak pada Larakteristik Siswa dan Budayanya”.


Jakarta: Rineka Cipta. 2004.

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. “Ilmu Pendidikan Islam”. Jakarta: Kencana Pranada
Media. 2006.

Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari Teori
ke Aksi”. Malang: UIN Maliki Pers. 2010.

Departemen Penidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: PT.
Balai Pustaka, 1991. Hal 149.

Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 495), Ahmad (II/180, 187)

Harun, Nasition. “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”. Jakarta: Universitas Indonesia.
2011. Jilid 1.

J.P. Kotter & J.L. Heskett. “Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja”. Terjemah
Benyamin. Jakarta: Prenhallindo. 1992.

Kamil, Munir, dan Sarhan dalam Muhaimin. “Al-Manahij”. Kairo: Dar Al-Ma’arif. 1968.

Koentjaraningrat, “Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi


di Indonesia”. Jakarta: Lembaga Riset Kebudayaan Nasional Seni. 1969.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 1996.

Muhaimin. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan


Perguruan Tinggi”. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.

Muhaimin, Suti’ah, Sugeng. “Menejemen Penididkan Aplikasinya dalam Penyusunan


Rencana Pembangunan Sekolah/Madrasah”. Jakarta: Prenada Media Grup. 2011.

Muhaimin. “Paradigma Pendidikan Islam”. Bandung: Rosdakarya. 2001.

Mustofa. “Filsafat Agama”. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997.

Nasution. “Pengembangan Kurikulum”. Bandung: Citra Aditiya. 1990.

Nasution dalam Muhaimin. “Asas-asas Kurikulum”. Bandung: Jemmars. 1982.

Qodri. “Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa

Sidi, Gazalba. “Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama”. Jakarta: Bulan
Bintang. 1979.
Sukidi dalam Asmaun. “Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah Upaya Mengembangkan
PAI dari Teori ke Aksi”. Malang: UIN Maliki Pers. 2010.

Talizuhu Ndara. “Teori Budaya Organisa”. Jakarta: Rineka Cipta. 2005.

Tafsir, Ahmad. “Metodelogi Pengajaran Agama Islam”. Bandung: Remaja Rosda Karya.
2004.

Tafsir, Ahmad. “Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam”. Bandung: Mimbar Pustaka. 2004

Anda mungkin juga menyukai