Anda di halaman 1dari 36

SEMINAR MASALAH-MASALAH PEMERINTAHAN

DAN PEMBANGUNAN

DINAMIKA KEPENTINGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM


PEMBUATAN PERDA APBD

Program Studi Magister Administrasi Pembangunan


Konsentrasi Pemerintahan Daerah

Oleh

MEGAWATI

E012171013

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang dinamika
kepentingan eksekutif dan legislative dalam pembuatan perda APBD ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai seminar masalah-masalah pemerintahan dan pembangunan.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Makassar, 17 Maret 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 4

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.1 Dinamika ............................................................................................................. 5

A.2 Dampak Politik dan Sosial ............................................................................. 6

A.3 Pemilukada Langsung ..................................................................................... 7

BAB IV PEMBAHASAN

A. Dinamika Pemilukada Langsung ................................................................... 9

B. Dampak Politik dan Sosial Pemilukada ....................................................... 17

B.1. Dampak Politik.......................................................................................... 17

B.2. Dampak Sosial ........................................................................................... 20

C. Solusi Sistem Pilkada masa Mendatang ....................................................... 23

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 25

B. Saran ....................................................................................................................... 25

Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem politik lokal yang berlandaskan otonomi Daerah mengutarakan posisi,

status, dan peran aktor politik dalam berinteraksi. Pada era reformasi, aktor politik

lokal seperti anggota DPRD selalu memperlihatkan kekuatan dan peran dalam

berhubungan dengan aktor politik gubernur atau pemerintah daerah. Ranperda yang

diusulkan Pemerintah daerah ke DPRD, seringkali terlambat dibahas di DPRD dengan

alasan tidak rasionalnya mengenai program-program yang dimasukkan oleh

pemerintah daerah. Upaya seperti ini selalu menimbulkan berbagai dinamika

kepentingan sehingga menghasilkan keputusan politik lokal yang bernuansa kolusi

dan korupsi.

Dengan diberlakukannya undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun

2014 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut telah melimpahkan

kekuasaan baik secara politik maupun secara administratif kepada daerah untuk

menyelenggarakan kewenangan sesuai dengan prakarsa dan inisiatif masyarakat di

daerah, selain 6 (enam) kewenangan yang masih menjadi kewenangan pemerintah

pusat antara lain politik luar negeri, moneter dan finasional, agama, pertahanan,

keamanan dan yudisial. Pelimpahan kewenangan itulah yang kita namakan dengan

"otonomi daerah". Pelimpahan itu secara otomatis juga memindahkan fokus politik ke

daerah karena pusat kekuasaan tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah pusat seperti

di era sentralisasi, namun telah terdistribusi ke daerah melalui kebijakan politik

desentralisasi.

Pelimpahan kewenangan itu disertai pula dengan pemberian kekuasaan yang

lebih besar bagi DPRD dalam menjalankan fungsi Legislasi, Anggaran dan
Pengawasan. Karena diharapkan dengan "Otonomi Daerah", maka Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) mampu meningkatkan peran pembuatan peraturan daerah

yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah.

Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2014, pasal 1

menyatakan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah dan DPRD sebagai

Badan Legislatif Daerah. Ayat 2 dari pasal 1 tersebut menyatakan Pemerintahan

Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan

prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Kedua lembaga berbeda yakni pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) sebagai unsur pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam

UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut dapat dipahami bahwa

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, harus didasarkan pada prinsip Negara

hukum. Hal tersebut dapat dilihat pada unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah

yang terdiri dari Pemerintah Daerah sebagai eksekutif yang dalam bahasa latin

disebut execure yang dapat diartikan “melakukan atau melaksanakan”, dan legislatif

sebagai badan yang membentuk hukum yang akan dilaksanakan oleh eksekutif.

Pemahaman diatas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di level

daerah juga harus dilakukan dalam konteks rechtsstaats maupun rule of law yang

segala bentuk kegiatan penyelenggaraan kekuasaanya didasarkan pada hukum, bukan

kekuasaan belaka.

Proses menetapkan kebijakan lokal (Perda) menurut UU No. 23 Tahun 2014,

pasal 65 Kepala Daerah mempunyai tugas ayat 1 pada point ini menyusun dan

mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan


APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada

DPRD untuk dibahas bersama. Kemudian dalam ayat 2 melaksanakan tugas

sebagaimana kepala daerah pada point b berwenang menetapkan Perda yang telah

mendapat persetujuan bersama DPRD.

Penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2014

tentang pemerintahan daerah, pada bagian Umum nomor 2, bahwa penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang

terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala

daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi

mandat oleh rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan

kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan kepala daerah berkedudukan

sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai

fungsi pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah

melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur

dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut,

DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah. Sebagai konsekuensi posisi

DPRD sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah maka susunan, kedudukan,

peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam

beberapa undang- undang namun cukup diatur dalam Undang-Undang ini secara

keseluruhan guna memudahkan pengaturannya secara terintegrasi.

Kebijakan daerah dalam bentuknya sebagai peraturan daerah dapat dibagi

menjadi dua jenis. B.N Marbun berpendapat bahwa Peraturan Daerah dapat dibagi

menjadi dua jenis, yaitu: Perda yang bersifat insidentil dan Perda yang bersifat rutin.

Perda yang bersifat insidentil adalah Perda non APBD, sedang Perda yang bersifat

rutin dinamakan juga Perda APBD.


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD Pokok Provinsi Sulawesi

Barat merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat yang

dibahas dan disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Sulawesi Barat, dan selanjutnya

ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Idealnya sebagai rencana keuangan tahunan,

maka dalam APBD Pokok Provinsi Sulawesi Barat akan tergambar semua hak dan

kewajiban dalam rangka penyelengaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan

uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak

dan kewajiban Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dalam kurun waktu 1 tahun.

Selain sebagai rencana keuangan tahunan, APBD Provinsi Sulawesi Barat merupakan

instrument dalam rangka mewujudkan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.

Sehubungan dengan hal tersebut, agar APBD dapat berfungsi sebagai

instrumen untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangii pengangguran dan

pemborosan sumberdaya, maka seluruh unsur penyelenggara pemerintahan daerah

dapat mengambil langkah- langkah untuk mempercepat proses penyusunan dan

pembahasan APBD agar persetujuan bersama antara Gubernur Provinsi Sulawesi

Barat dengan DPRD Provinsi Sulawesi Barat atas rancangan peraturan daerah tentang

APBD dapat dicapai paling lambat satu bulan sebelum APBD dilaksanakan.

Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia nomor 33 tahun 2017 tentang pedoman penyusunan anggaran

pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran 2018. Prinsip Penyusunan APBD

Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2018 didasarkan prinsip sebagai berikut:

1. Sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan urusan dan

kewenangannya;

2. Tepat waktu, sesuai dengan tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan;
3. Transparan untuk memudahkan masyarakat mengetahui dan mendapatkan akses

informasi seluas-luasnya tentang APBD;

4. Partisipatif, dengan melibatkan masyarakat

5. Memperhatikan asas keadilan dan kepatutan; dan

6. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan

daerah lainnya.

Selanjutnya dalam Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia nomor

33 tahun 2017 tentang pedoman penyusunan APBD teknis penyusunan APBD Tahun

Anggaran 2018 dimana pemerintah daerah dan DPRD harus memperhatikan

penetapan APBD yang harus tepat waktu, yaitu paling lambat tanggal 31 Desember

2017. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah daerah harus memenuhi jadwal proses

penyusunan APBD, mulai dari penyusunan dan penyampaian rancangan KUA dan

rancangan PPAS kepada DPRD untuk dibahas dan disepakati bersama paling lambat

akhir bulan Juli 2017. Selanjutnya KUA dan PPAS yang telah disepakati bersama

akan menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk menyusun, menyampaikan dan

membahas rancangan APBD Tahun Anggaran 2018 antara pemerintah daerah dengan

DPRD sampai dengan tercapainya persetujuan bersama antara kepala daerah dengan

DPRD terhadap rancangan Peraturan Daerah tentang APBD paling lambat tanggal 30

Nopember 2017, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 105 ayat (3c) Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah beberapa

kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011.

Olehnya itu, dalam kewenangannya untuk membuat Peraturan Daerah (Perda)

APBD 2018, DPRD Provinsi Sulawesi Barat diharapkan dapat mampu menampung

aspirasi dan merespon kepentingan masyarakat, sehingga pertimbangan dalam

menghasilkan sebuah peraturan daerah bukan hanya untuk kepentingan sebagian

orang yang memiliki akses terhadap penguasa, tetapi menjangkau kepentingan rakyat
secara luas dengan demikian akan mencerminkan keterwakilan rakyat dalam rangka

penyaluran terhadap proses pembangunan maupun pelayanan publik.

Dalam penyusunan anggaran belanja daerah, tentunya harus memperhatikan

skala prioritas kebutuhan masyarakat Provinsi Sulawesi Barat. Hal semacam ini yang

kadang mengalami kondisi yang berubah-ubah sehingga menjadi kendala dalam

pembuatan anggaran belanja yang benar-benar pro pada rakyat. Dalam pelaksanaan

fungsi-fungsi, keduanya secara bersama-sama membuat Peraturan Daerah termasuk

pembuatan kebijakan APBD. Ini berarti keduanya memiliki hubungan yang saling

mendukung, bukan merupakan lawan atau pesaing satu sama lainnya. Peraturan

daerah tentang APBD merupakan pedoman pemerintah daerah dalam mengelola

keuangan daerah untuk satu tahun, sehingga proses pembentukan perda tersebut

menjadi kunci lahirnya Perda APBD yang harus mampu mengatasi masalah dan

tantangan pokok dalam pemerintahan. Pembentukan perda APBD sangat penting bagi

suatu daerah, maka dari itu harus berpedoman pada pedoman penyusunan APBD yang

menjadi pedoman bagi eksekutif dan legislative agar mampu menyusun APBD yang

benar, sebagai acuan untuk melaksanakan pembangunan jangka waktu 1 tahun

kedepan.

Pembahasan APBD pokok tahun 2018 yang dijadwalkan bisa rampung paling

lambat bulan November 2017, namun seringkali terlambat dibahas alasannya karena

menurut anggota dewan tidak rasionalnya mengenai program-program yang

dimasukkan oleh pemerintah daerah. sedangkan menurut pemerintah daerah Adanya

tarik menarik kepentingan antar Anggota Legislatif.Dari pokok permasalahan

tersebut, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan

menyusun anggaran sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada

pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi.

Dengan demikian kenyataan bahwa anggaran adalah power kembali pada relation..
Sebagai beberapa contoh dinamika kepentingan yang terjadi yang

ditimbulkan dalam pembuatan perda APBD adalah di Provinsi Sulawesi Barat,

dimana terjadi pembahasan apbd lagi-lagi lamban pada tahun 2017 kemarin, terjadi

konflik dalam pembahasannya Karena eksekutif dan legislative sama-sama punya

kepentingan,dan dalam APBD tidak ada pokok-pokok pikiran dari legislative,

Di Provinsi Sulawesi Barat, proses pembuatan perda tidak jarang menjadi

salah satu sumber potensi terjadinya konflik antara Pemerintah dan DPRD. Dalam

bentuk yang lain, hubungan antara kedua organ atau lembaga daerah ini tidak

hanya berpotensi menimbulkan konflik, tetapi juga dapat berbentuk kolutif yang

diwarnai dengan money politic 1. Bidang-bidang kegiatan yang berpeluang untuk

terjadinya money politic, yaitu penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (RAPBD), penyusunan keuangan DPRD, penyusunan Raperda,

pengawasan oleh DPRD dan pertanggung jawaban Kepala Daerah. Selama ini,

masih sering ditemukan adanya persepsi yang berbeda antara pihak eksekuif dan

legislatif di Provinsi Sulawesi Barat. Hal ini dapat menimbulkan suasana tidak

harmonis yang bermuara pada konflik antar kedua pihak.

Berbagai permasalahan tersebut, disebabkan oleh belum terbangunnya tata

hubungan/mekanisme yang terstruktur dalam pelaksanaan tugas dan wewenang antara

Pemerintah daerah dan DPRD. Realitas lainnya adalah munculnya hubungan yang

kurang harmonis antara Gubernur dengan wakil gubernur yang merupakan istri dari

mantan Gubernur Sulawesi Barat 2 periode ini, .Terjadi hubungan yang kurang

harmonis juga antara Gubernur Provinsi Sulawesi Barat dengan Ketua DPRD

Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan lawan politik dari Gubernur pada pilkada

kemarin.

1
Miriam Budiarjo. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta. Gramedia Pustaka Utama hal 173.
Berdasarkan fenomena yang terjadi tersebut maka menarik bagi saya untuk

membuat penulisan makalah dengan judul “DINAMIKA KEPENTINGAN

EKSEKUTIF DAN LEGISLATIVE DALAM PEMBUATAN PERDA APBD”


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

ditetapkan pertanyaan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana dinamika tarik menarik kepentingan eksekutif dan legislative

dalam pembuatan Perda tentang APBD?

2. Bagaimana Masalah-masalah disharmoni dalam pembuatan Perda APBD

C. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan :

1. Untuk Menggambarkan dan menjelaskan tarik menarik kepentingan

eksekutif dan legislative dalam pembuatan Perda tentang APBD tersebut

2. Untuk menggambarkan dan menjelaskan masalah disharmoni dalam

Pembuatan Perda tentang APBD?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang teori-teori yang digunakan

untuk menjelaskan masalah penelitian sekaligus juga menjadi landasan teori

dalam penelitian. Setelah pemaparan mengenai hal-hal yang melatar belakangi

penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaatnya, selanjutnya di bagian ini

akan dikemukakan tentang landasan-landasan teori.

A.1. DINAMIKA POLITIK

Dinamika politik terkait dengan persoalan partisipasi dan demokrasi. Isu

partisipasi sudah lama dibahas, namun tetap saja problematik, salah satu sebabnya

karena pemaknaan yang bias. Ketika partisipasi dimaknai sebagai keikutsertaan

dalam menunaikan agenda-agenda pemerintah, maka medium yang

disediakanhanyalahmedium-medium birokrasi dan mekanisme perencanaan,

penjaringan aspirasi dan sejenisnya.

Menurut Slamet Santosa (2004 : 5 ) mengemukakan bahwa :

“Dinamika adalah Tingkah laku yang secara langsung memengaruhi warga lain
secara timbal balik. Dinamika berarti adanya interaksi dan interdependensi antara
anggota kelompok yang satu dengan anggota kelompok yang lain secara timbal
balik dan antara anggota dengan kelompok secara keseluruhan. Dynamic is facts
or concepts which refer to conditions of change, expecially to forces”

Berdasarkan pendapat diatas dapat dikatakan bahwa, indikator dalam

dinamika politik adalah interaksi dan interdependensi antara lembaga yang

menghasilkan negosiasi antar lembaga dalam perumusan peraturan daerah tentang

APBD
Menurut Leo Agustoni (2009:62) mengungkapkan bahwa:

“Dinamika politik terkait sekali dengan persoalan partisipasi dan demokrasi.


Isu partisipasi sudah lama dibahas, namun tetap saja problematik, salah satu
sebabnya karena pemaknaan yang bias penguasa. Ketika partisipasi dimaknai
sebagai keikutsertaan dalam menunaikan agenda-agenda pemerintah, maka
medium yang disediakan hanyalah birokratis-teknokratis: mekanisme
perencanaan dari bawah, penjaringan aspirasi dan sejenisnya”.

Pengertian di atas disimpulkan bahwa, secara langsung

mempengaruhi masyarakat secara timbal balik. Untuk menganalisis dinamika yang

terjadi dalam hubungan politik Eksekutif dan Legislatif dalam Perumusan Peraturan

Daerah, Dinamika politik memberi pandangan bahwa seni dan budaya lokal merupakan

medium untuk mengekspresikan aspirasi dan kepentingan politik yang sangat penting

bagi komunitas lokal. Sensitifitas terhadap informalitas masyarakat merupakan cara

dalam memahami dinamika politik. Hal yang mempengaruhi dan sering muncul dalam

dinamika politik adalah Money politics (politik uang) yang semakin ternormalisasi

sebagai tatanan baku dalam dinamika politik.

Jadi, dengan adanya dinamika politik ini agar mengetahui pergeseran yang

terjadi dalam politik antara lembaga atau badan pemerintahan, serta dapat menganalisis

pergerakan lembaga dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dengan demikian,

berdasarkan pendapat diatas dapat diartikan bahwa dinamika politik merupakan

pergerakan politik dalam pemerintahan.

A.2 Eksekutif dan legislative

 Eksekutif

Pemerintah Daerah adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang

terdiri dari Gubernur,Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah. Dalam sistem

Pemerintahan Daerah, Pemerintah atau Kepala Daerah mempunyai Tugas dan Fungsi
yang dapat diartikan sebagai perangkat daerah untuk menjalankan, mengatur dan

menyelenggarakan jalannya pemerintahan.

Eksekutif berasal dari kata eksekusi yang berarti pelaksana. Lembaga

eksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana dari peraturan

perundang-undangan yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Kekuasaan eksekutif

biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Eksekutif merupakan pemerintahan dalam

arti sempit yang melaksanakan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan haluan Negara, untuk mencapai

tujuan Negara yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasinya adalah kabinet atau

dewan menteri dimana masing-masing menteri memimpin departemen dalam

melaksanakan tugas wewenang, dan tanggung jawabnya.

Berdasarkan undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah pada pasal 65 menegaskan bahwa Kepala daerah mempunyai tugas yang

berkaitan dengan pembentukan Perda sebagai berikut:

1. Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan

bersama DPRD pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama

DPRD

2. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk

dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD

3. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda

tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama.

4. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa

hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun wewenang kepala daerah yang berkaitan pembentukan perda adalah sebagai

berikut :
1. Mengajukan rancangan perda

2. Menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD

Berdasarkan uraian di atas, tugas dan kewenangan Kepala Daerah merupakan hal

yang sangat vital di setiap daerah.Hal ini menjadi penentu arah setiap kebijakan yang

harus dan tidak semestinya dilakukan oleh pemerintah di daerah. Legalitas mengenai

tugas dan kewenangan tersebut secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan

yakni Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan

berlandaskan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Salah satu tugas dan kewenangan Kepala Daerah yang berkaitan dengan Peraturan

Daerah yakni mengajukan rancangan Perda dan termasuk APBD kepada DPRD untuk

dibahas dan ditetapkan bersama DPRD. Realitas tersebut menunjukan keterkaitan

hubungan yanang erat antara pihak eksekutif dan legislatif dalam melahirkan peraturan

yang memuat kepentingan rakyat. Selain mempunyai tugas dan kewenangan, Kepala

Daerah juga mempunyai fungsi yaitu sebagai berikut :

1. Pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan.

2. Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan

pemerintahan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum

dan daya saing daerah.

3. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan

pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Dimana hubungan tersebut meliputi

wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber

daya lainnya.

 Legislatif

Berdasarkan Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah13. DPRD dibentuk sebagai legislatif di daerah,

kedudukan DPRD sejajar dengan Kepala Daerah, keanggotaan DPRD dipilih langsung secara

demokratis oleh rakyat.Hal ini agar anggota DPRD lebih meningkatkan akuntabilitas kepada

rakyat yang telah memilihnya.

Adapun fungsi DPRD Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tentang Pemerintahan

Daerah dikatakan bahwa Fungsi DPRD :

a) Fungsi Legislasi berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah. Hal ini tidak

mungkin terwujud apabila mekanisme penyusunan Peraturan Daerah bersifat eksklusif

dan tertutup. Untuk itu, mekanisme penyusunan Perda yang dituangkan dalam

Peraturan Tata Tertib DPRD harus dibuat sedemikian rupa agar mampu menampung

aspirasi rakyat. Fungsi ini dilaksanakan dengan cara membahas bersama Gubernur dan

menyetujui atau tidak, menyetujui rancangan Perda Provinsi, mengusulkan usul

rancangan Perda, menyusun program pembentukan Perda bersama Gubernur.

b) Fungsi anggaran diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk persetujuan bersama

terhadap rancangan Perda Provinsi tentang APBD provinsi tentang APBD provinsi

yang diajukan oleh Gubernur.

c) Fungsi pengawasan. Dalam hal ini, pihak legislatif mengontrol pelaksanaan perda dan

peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah

Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut hasil

pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan,selanjutnya DPRD

provinsi berhak mendapatkan laporan hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh

Badan Pemeriksa Keuangan, kemudian DPRD provinsi melakukan pembahasan

terhadap laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan. Serta DPRD provinsi dapat

meminta klarifikasi atas temuan laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan kepada

Badan Pemeriksa Keuangan.


Adapun tugas dan wewenang DPRD adalah membentuk peraturan daerah provinsi

bersama gubernur. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan

daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi yang diajukan oleh

gubernur, Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan

anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi, mengusulkan pengangkatan dan

pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri

Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan atau pemberhentian,

memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur,

Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap

rencana perjanjian internasional di daerah, memberikan persetujuan terhadap rencana

kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi, meminta

laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah provinsi, memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama

dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah,

mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan.

DPRD provinsi memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan

pendapat. Hak interpelasi adalah hak DPRD Provinsi untuk meminta keterangan

kepada gubernur mengenai kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi yang penting dan

strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Hak

angket adalah hak DPRD Provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan

Pemerintah Daerah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada

kehidupan masyarakat, Daerah, dan Negara yang diduga bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan Hak menyatakan pendapat adalah hak

DPRD Provinsi untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau

mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah provinsi disertai dengan
rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi

dan hak angket.

A.3 Peraturan Daerah

Peraturan Daerah (Legislasi) dalam arti sempit merupakan proses dan produk

pembuatan undang-undang. Legislasi dalam arti luas termasuk pula pembentukan

Peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang mendapat pendelegasian

kewenangan dari undang-undang (delegation of rule makingpowerby the laws).

Hukum Bambang Palasara menuturkan bahwa Peraturan Daerah mempunyai

kedudukan yang strategis, karena diberikan landasan konstitusional yang jelas

sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-undang DasarNegara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional,Perda memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas

pembantuan sebagaimana amanat UUD RI Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang

Pemerintah Daerah.

2. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah, serta penyalur aspirasi

masyarakat di daerah. Namun, pengaturannya tetap dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

3. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.

4. Sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.21

Proses pembentukan suatu Undang-Undang atau perda dapat diurut sebagai berikut:
a) Tahap Perencanaan

Tahap pertama pembentukan UU atau perda (provinsi maupun kabupaten/kota) pada

dasarnya adalah sama, yakni diawali dengan tahap perencanaan yang dituangkan dalam

bentuk program legislasi. Untuk program pembentukan undang-undang disebut program

legislasi nasional (Prolegnas), sedangkan untuk program pembentukan perda disebut program

legislasi daerah (Prolegda) provinsi, kabupaten/kota. Program legislasi nasional (Prolegnas)

adalah instrument perencanaan program pembentukan Undang-undang yang disusun secara

berencana, terpadu dan sistematis sedangkan program legislasi daerah (Prolegda) adalah

instrument perencanaan pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana,

terpadu dan sistematis.

b) Tahap Perancangan

1) Perumusan Ranperda dilakukan dengan mengacu pada naskah akademik;

2) Hasil naskah akademik akan menjadi bahan pembahasan didalam rapat

konsultasi; dan

3) Pembahasan di dalam rapat konsultasi adalah untuk memantapkan konsepsi

terhadap ranperda yang direncanakan pembentukannya secara menyeluruh

(holistis).

4) Pembentukan Tim Asistensi.Tim asistensi dibentuk guna membahas/ menyusun

materi ranperda dan melaporkannya kepada kepala daerah dengan segala

permasalahan yang dihadapi.

5) Konsultasi Ranperda dengan pihak-pihak terkait

6) Persetujuan Ranperda oleh kepala daerah.

c) Tahap Pembahasan

Pada tahap pembahasan, Ranperda dibahas oleh DPRD dengan Gubernur,

Bupati/walikota untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sebagaimana diketahui Ranperda

dapat berasal dari DPRD dan dapat pula berasal dari inisiatif kepala daerah. Pembahasan
rancangan peraturan daerah lebih dikenal dengan tahap pembicaraan rancangan peraturan

daerah merupakan salah satu tahap pembuatan peraturan daerah. Pembahasan rancangan

peraturan daerah dilakukan setelah tahap rancangan peraturan daerah telah disetujui dan telah

layak dibahas pada sidang paripurna.

d) Tahap Pengundangan

Undang-undang atau perda yang telah ditetapkan, selanjutnya diundangkan dengan

menempatkannya didalam lembaran daerah oleh sekertaris daerah, sedangkan penjelasan

perda dicatat didalam tambahan lembaran daerah oleh sekretaris daerah, atau oleh kepala biro

hukum/ kepala bagian hukum.

e) Tahap Sosialisasi

Meskipun Perda telah diundangkan didalam lembaran daerah, namun belum cukup

menjadi alasan untuk menganggap bahwa masyarakat telah mengetahui eksistensi perda

tersebut. Oleh karena itu, Perda yang telah disahkan dan diundangkan tersebut harus pula

disosialisasikan.

f) Tahap Evaluasi

Untuk dapat mengetahui sejauh mana pengaruh sebuah Perda setelah diberlakukan,

maka perlu dilakukan evaluasi. Melalui evaluasi akan dapat diketahui kelemahan dan

kelebihan Perda yang sedang diberlakukan, yang selanjutnya guna menentukan kebijakan-

kebijakan,misalnya apakah perda tetap dipertahankan atau perlu direvisi22.

Namun, berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka 1 UU Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa Pembentukan

Perundang-undangan mencakup tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan

atau penetapan dan pengundangan. Tahapan tersebut adalah prosedur baku yang harus

dilewati oleh setiap Pembentukan Peraturan Perudang-undangan termasuk Peraturan Daerah.


Pembentukan peraturan daerah merupakan kewenangan Kepala Daerah bersama

DPRD. Berdasarkan ketentuan di dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi

Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Hukum Daerah menyatakan

bahwa inisiatif pembentukan peraturan yang berasal dari kepala daerah dilakukan oleh

sekretariat daerah/bagian hukum dengan mekanisme berikut ini:

1. Rancangan peraturan daerah disusun oleh pimpinan unit kerja berkaitan dengan materi

muatan yang akan diatur dan rancangan peraturan daerah dibentuk oleh tim antar-unit

kerja dimana ketua tim berasal dari pimpinan unit kerja yang ditunjuk oleh kepala

daerah.

2. Konsep rancangan peraturan daerah yang dilakukan oleh unit kerja harus dilampiri

dengan pokok-pokok pikiran yang terdiri dari: maksud dan tujuan pengaturan, dasar

hukum, materi yang akan diatur, dan keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan

yang lain.

3. Konsep yang telah disusun oleh kerja disampaikan kepada sekretariat daerah melalui

bagian hukum, kemudian sekretariat daerah menugaskan kepada biro/ bagian hukum

untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan.

4. Biro hukum atau bagian hukum akan mengundangkan pimpinan unit kerja maupun unit

kerja yang lain untuk menyempurnakan konsep peraturan daerah yang diajukan.

5. Biro/bagian hukum menyusun penyempurnaan (konsep final) untuk diteruskan kepada

kepala daerah kemudian kepala daerah mengadakan pemeriksaan dengan dibantu

sekretaris daerah.

6. Konsep rancangan peraturan daerah yang telah disetujui oleh kepala daerah berubah

menjadi rancangan peraturan daerah.

7. Rancangan peraturan daerah disampaikan kepala daerah kepada ketua DPRD disertai

pengantar untuk memperoleh persetujuan dewan.23


Sementara tata cara penyusunan rancangan peraturan daerah yang berasal dari inisiatif

DPRD diatur di dalam peraturan tata tertib DPRD. Misalnya, pasal 138 Keputusan DPRD

Provinsi Sulawesi Barat Nomor 01 tahun 2014 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi

Sulawesi Barat menyatakan bahwa :

1. Sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang Anggota DPRD yang mengajukan usul

prakarsa terhadap Rancangan Peraturan Daerah;

2. Usul prakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat(2) disampaikan kepada pimpinan DPRD

dalam bentuk Ranperda disertai penjelasan secara tertulis dan diberi nomor pokok oleh

sekretariat DPRD;

3. Usul prakarsa tersebut oleh Pimpinan DPRD disampaikan pada Rapat Paripurna DPRD

setelah mendapatkan pertimbangan Badan Musyawarah;

4. Dalam Rapat Paripurna DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) para pengusul diberi

kesempatan memberikan penjelasan atas usul sebagaimana yang dimaksud pada ayat(3);

5. Pembicaraan mengenai suatu usul prakarsa dilakukan dengan memberikan kesempatan

kepada :

a. Anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangannya;

b. Gubernur untuk memberikan pendapat;

c. Para pengusul memberikan jawaban atas pandangan para anggota DPRD dan pendapat

Gubernur.

6. Usul prakarsa sebelum diputuskan menjadi prakarsa DPRD, para pengusul berhak

mengajukan perubahan atau mencabutnya kembali;

7. Pembicaraan diakhiri dengan keputusan DPRD yang menerima atau menolak usul

prakarsa menjadi prakarsa DPRD;

8. Tata cara pembahasan Ranperda atas prakarsa DPRD mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam pembahasan Ranperda atas prakarsa Gubernur.


Pembahasan rancangan peraturan daerah lebih dikenal dengan tahap pembicaraan

rancangan peraturan daerah merupakan salah satu tahap pembuatan peraturan daerah.

Pembahasan rancangan peraturan daerah dilakukan setelah tahap rancangan peraturan daerah

telah disetujui dan layak dibahas pada sidang paripurna.

Dalam pembentukan peraturan daerah, penetapan rancangan peraturan daerah

merupakan tahap pengambilan keputusan terbentuknya suatu peraturan daerah. Rancangan

peraturan daerah yang telah disetujui pada tahap pembahasan, disampaikan kembali oleh

pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan sebagai peraturan daerah.

E.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD, adalah

rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh

pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

Mekanisme pembahasan yang dilakukan antara Pemerintah Daerah dan DPRD

menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan tata tertib DPRD yang bersangkutan,

antara lain dengan melalui rapat-rapat kerja dengan SKPD. Dengan kata lain bahwa

pembahasan di DPRD melibatkan SKPD yang bersangkutan, apabila SKPD tersebut sudah

mendapat kesempatan untuk dibahas rancangan kegiatan dan anggarannya yang tercantum

dalam Rancangan APBD. Setelah melalui pembahasan di DPRD antara pemerintah

daerah/SKPD dan DPRD, dan telah menemukan atau menghasilkan kesepakatan dalam

bentuk keputusan bersama, maka dianggap bahwa pembahasan pada tingkatdaerah di DPRD

sudah berakhir, untuk dilanjutkan pada tahap berikutnya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Pasal 45 ayat (1) dinyatakan

bahwa Pengambilan keputusan bersama DPRD dan Kepala Daerah terhadap rancangan

peraturan daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tahun

anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Setelah penandatanganan persetujuan bersama

antara Kepala daerah dengan DPRD selesai, maka pembahasan rencana kegiatan dan
anggaran (RAPBD) telah berakhir dan atas dasar keputusan bersama terhadap rancangan

Peraturan Daerah tentang APBD seperti tersebut di atas, Kepala Daerah selanjutnya

menyusun Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD.

Dalam rangka penetapannya secara sah, maka Rancangan Peraturan Daerah tentang

APBD yang sudah dibahas, dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran

APBD Provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri, sedang

Kabupaten/Kota ke Gubernur untuk dievaluasi. Keharusan evaluasi terhadap kedua dokumen

perencanaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Pasal 47 ayat

(1) dan (2), yang menegaskan bahwa : (1) Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang

telah disetujui bersama DPRD dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD

sebelum ditetapkan oleh Gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada

Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur selambat-lambatnya 15 (lima

belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. Ketentuan seperti ini juga

berlaku bagi Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Kabupaten dan

Kota yang wajib dievaluasi oleh Gubernur yang bersangkutan dalam kedudukannya sebagai

wakil pemerintah pusat di daerah.

Dokumen berupa Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan

Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD yang telah dievaluasi dan telah disetujui

oleh Menteri Dalam Negeri bagi Provinsi dan Gubernur bagi Kabupaten/Kota, hasil

evaluasinya dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri/Gubernur dan selanjutnya

ditetapkan oleh Kepala Daerah menjadi Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD. Mengenai

ketentuan waktu penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan penjabarannya diatur dalam
Pasal 53 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, dan Pasal 116 ayat (1)

dan (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, sebagai berikut:

(1) Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah

tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala daerah menjadi

peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.

(2) Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang

penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat tanggal

31 Desember tahun anggaran sebelumnya.

Dengan ditetapkannya kedua dokumen anggaran tersebut, maka berarti bahwa seluruh

materi atau muatan yang ada dalam Rancangan APBD telah disetujui untuk

dilaksanakan, dengan kata lain bahwa proses atau tahap perencanaan, pembahasan dan

penetapan anggaran telah berakhir untuk tahun anggaran yang bersangkutan.


BAB III
PEMBAHASAN

Dinamika politik sangat terkait sekali dengan persoalan partisipasi dan demokrasi.
Isu partisipasi sudah lama dibahas, namun tetap saja problematik, salah satu sebabnya karena
pemaknaan yang bias. Ketika partisipasi dimaknai sebagai keikutsertaan dalam menunaikan
agenda-agenda pemerintah, maka medium yang disediakan hanyalah medium-medium
birokrasi dan mekanisme perencanaan, penjaringan aspirasi dan sejenisnya. Di satu sisi
peneliti menyaksikan rapuhnya medium-medium partisipasi yang hendak dikelola dalam
rangka pelembagaan sistem pemerintahan yang demokratis, disisi lain peneliti melihat
kapasitas kultural masyarakat untuk berpartisipasi diarena publik tidak sempat terapresiasi.
hubungan yang ideal antara eksekutif dan legislatif dalam arti terciptanya
keseimbangan dan saling ketergantungan antara kedua lembaga tersebut sangat tergantung
pada sistem politik yang dibangun. Semakin demokratis sistem politik itu maka hubungan
antara eksekutif dan legislatif akan semakin seimbang. Sebaliknya semakin tidak demokratis
sistem politik suatu negara maka yang tercipta dua kemungkinan yaitu dominatif
eksekutif yangmencipatakan rezim otoriter dan dominatif legislatif yang mencipatakan
anarki politik.
Dalam hubungan yang seimbang antara eksekutif dan legislatif itu hubungan yang
hendak dibangun antara eksekutif dan legislatif daerah dalam melaksanakan demokrasi lokal.
Dimana melalui keseimbang kekuasaan antara eksekutif dan legislatif didaerah diharapakan
mekanisme check and balances ditingkat lokal dapat direalisasikan dalam rangka
memperjuangkan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Dan ini diawali
dengan proses pemilihan pemimpin publik didaerah tidak saja menyangkut proses pemilihan
Walikota, namun juga menyangkut keterwakilan rakyat dilembaga perwakilan, sejauh mana
lembaga perwakilan tersebut memperjuangkan kepentingan rakyat termasuk dalam pemilihan
Walikota, bila tidak dipilih langsung melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan-
kebijakan makro (Peraturan Daerah, terminologi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004)
termasuk kebijakan pusat yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif untuk kepentingan
rakyat.
Karena demokrasi lokal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
demokrasi nasional, maka format demokrasi lokal sangat dipengaruhi oleh sistem politik
nasional sehingga berkaitan dengan proses perumusan Peraturan Daerah, tentunya tidak
melampaui Perundang-undangan yang lebih tinggi, namun dalam perumusan Perturan Daerah
haruslah mempunyai legitimasi, keabsahan tidak saja legitimasi dari sudut pandang penguasa
tetapi juga dari sudut pandang rakyat. Negosiasi dipahami sebagaisebuah proses
dimana para pihak ingin menyelesaikan permasalahan, melakukan suatu
persetujuan untuk melakukansuatu perbuatan, melakukan penawaran untuk mendapatkan
suatu keuntungan tertentu, dan atau berusaha menyelesaikan permasalahan untuk keuntungan
bersama.Dengan demikian, secara sederhana disimpulkan negosiasi adalah suatu cara bagi
dua atau lebih pihak yang berbeda kepentingan baik itu berupa pendapat,pendirian, maksud,
atau tujuan dalam mencari kesepahaman dengan cara mempertemukan penawaran dan
permintaan dari masing-masing pihak sehingga tercapai suatu kesepakatan atau
kesepahaman kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan.

dinamika politik memberi pandangan bahwa seni dan budaya lokal merupakan
medium untuk mengekspresikan aspirasi dan kepentingan politik yang sangat penting bagi
komunitas lokal. Sensitifitas terhadap informalitas masyarakat merupakan cara dalam
memahami dinamika politik. Hal yang mempengaruhi dan sering muncul dalam dinamika
politik adalah Money politics (politik uang) yang semakin ternormalisasi sebagai tatanan
baku dalam dinamika politik.
Adanya dinamika politik agar mengetahui pergeseran yang terjadi dalam politik
antara lembaga atau badan pemerintahan, serta dapat menganalisis pergerakan lembaga
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dengan demikian, berdasarkan pendapat
diatas dapat diartikan bahwa dinamika politik merupakan pergerakan politik dalam
pemerintahan.
Oleh sebab itu ada beberapa alasan peneliti menggunakan teori ini yaitu: pertama,
adanya pergerakan politik antar lembaga pemerintah, karena adanya suatu lembaga yang
lebih mendominasi. Sehingga menyebabkan lembaga yang didominasi mengalami
kelemahan dalam menjalankan peran dan fungsinya; kedua, adanya pengaruh politik
antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam perumusan peraturan daerah tentang
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).
A.
B. DINAMIKA TARIK MENARIK KEPENTINGAN EKSEKUTIF DAN
LEGISLATIF

Pembentukan kebijakan yang dilakukan, baik itu kebijakan dari pemerintah


pusat maupun daerah sudah menjadi rahasia publik bahwa akan ada kepentingan-
kepentingan yang teselip didalamnya. Peraturan Daerah atau yang sering disingkat
Perda bukanlah suatu proses yang sederhana dalam merumuskannya. Suatu
peraturan yang dibuat biasanya dipengaruhi oleh kepentingan politik yang
berkembang di Pemerintah Daerah maupun DPRD. Akan tetapi kepentingan tersebut
justru untuk memberikan dukungan peningkatan kesejahteraan rakyat secara
keseluruhan. Kenyataannya perumusan tujuan peraturan daerah lebih banyak
diwarnai nuansa politik ketimbang memperhatikan sasaran Peraturan daerah yang
tepat dan objektif.
Pewarnaan nuansa politik dalam pembuatan peraturan daerah dapat dipahami
dengan mengambil kebijakan yang menemukan bukti bahwa hampir semua
kebijakan yaitu peraturan daerah sebagai produk hukum, telah diwarnai oleh
kepentingan politik. Kepentingan pihak yang berperan dalam pembuatan Perda pada
akhirnya akan bersinggungan dengan para aktor Perda yang mempengaruhi Perda
tersebut.
Konflik dan perbedaan kepentingan juga dapat menyangkut aspek filosofis dan
motivasi para pelaku perumus Perda. Pihak Legislatif berpandangan bahwa motivasi
perumusan Perda dikehendaki agar sifatnya populis karena nilai politik yang tinggi
bagi kepentingan mereka. Hal yang dikhawatirkan biasanya dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan tertentu, baik itu kepentingan pemerintah daerah, DPRD
maupun kepentingan kedua lembaga tersebut.
Selain kepentingan masyarakat sebagai konstituen, adapula kepentingan lain
seperti kepentingan partai terselip didalamnya. Partai jembatan bagi para anggota
DPRD untuk dapat berlenggang manis dibangku legislatif namun juga merupakan
salah satu jembatan dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat kepada
anggota DPRD. Anggota DPRD merupakan salah satu unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memiliki posisi yang dilematis. Hal ini demikian adanya
karena anggota DPRD merupakan perwakilan dari partai pengusungnya namun disisi
lain juga merupakan wakil rakyat yang mempercayainya untuk mewakili mereka
diranah pemerintahan. Hal tersebut dapat berindikasi pada pembahasan sidang
paripurna penetapan Perda. Perdebatan program yang mewarnai sidang menjadi hal
yang lumrah jika terdapat kepentingan partai yang terselip dalam proses aduh
retorika yang panjang pada sidang pembahasan. Kepentingan diluar kepentingan
masyarakat secara umum menimbulkan ketidakmaksimalan dalam proses
pembahasan program yang orientasinya kepada masyarakat.
STUDI KASUS
Contoh nyata yang dapat diketahui dalam hubungan antara legislatif dan eksekutif
terdapat pada kasus hubungan yang sempat berlangsung kurang baik antara Gubernur Jawa
Tengah(Eksekutif) dan DPRD Jawa Tengah(legislatif) diantaranya adalah :
2.5.1 Kasus Penyelewengan Dana Bansos
Dalam kasus ini terjadi perseteruan antara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo
dengan Ketua DPRD Jawa Tengah Rukma Setyabudi. Hal ini terkait adanya indikasi
penyelewengan dana bansos yang dilakukan oleh badan legislatif. Konflik muncul karena
adanya pernyataan Ganjar yang terkesan menyudutkan DPRD Jawa Tengah. Ketegangan
hubungan antara Ganjar Pranowo dengan Ketua sementara DPRD Jateng Rukma Setyabudi
yang menolak menandatangani pakta integritas KPK dinilai oleh beberapa kalangan akibat
tarik ulur persoalan politik anggaran APBD Pemprov Jateng. Terutama dalam penetapan
anggaran dana Bantuan Sosial(Bansos) dan hibah proposal dalam bentuk dana bantuan
Sarana dan Prasarana(Sarpras) Pemprov Jateng ke-35 kabupaten/kota di Jateng dan dana
aspirasi yang kuasa penuh penggunaaan anggaranya dipegang oleh anggota Badan
Anggaran dan jajaran pimpinan DPRD Jateng. Meruncingnya seteru bau kentut dana bansos
kemudian berlanjut menjadi pembahasan dalam forum resmi eksekutif-legislatif,seperti rapat
paripurna ,konsultasi dan siding komisi.
2.5.2 Masalah Tentang Hak Penganggaran
Disini sekali lagi terjadi hubungan yang kurang baik antara DPRD Jateng dan
Gubernur Jateng. Kali ini dalam hal penganggaran,masalah yang muncul disini adalah
Penganggaran yang dirasa Gubernur Jateng Ganjar Pranowo tidak merata pada setiap daerah
di Jawa Tengah dalam hal Bankeu. Dan pada akhirnya Ganjar pun merubah anggaran Bankeu
untuk masing-masing daerah tetapi DPRD Jateng merasa fungsi budgeting DPRD Jateng
sudah dikebiri dan tidak difungsikan sama sekali karena besran masing-masing alokasi
bantuan keuangan untuk kabupaten/kota pada APBD 2015 sudah disahkan.
2.5.3 Makna Dari Studi Kasus
Dalam studi kasus yang telah disebutkan diatas dapat diketahui bahwa hubungan
eksekutif dan legislatif terdapat dalam beberapa hal diantaranya adalah dalam hal proses
penentuan anggaran dan fungsi yang saling mengawasi untuk bekerjasama dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Akan tetapi dalam hubunganya tersebut juga
sering terjadi gesekan atau konflik terkait tentang fungsi dan hak yang dimiliki oleh masing-
masing lembaga itu baik eksekutif maupun legislatif. Jika terdapat konflik antara eksekutif
dan legislatif berarti hal tersebut menunjukkan belum ada pola hubungan yang baik antara
kedua lembaga tersebut. Kedua lembaga semestinya membentuk tim yang dapat membangun
dan mendorong komunikasi antara eksekutif dan legislatif agar lebih harmonis. Jika terjadi
hubungan yang baik antara eksekutif dan legislatif maka kedua lembaga tersebut dapat
bekerja sama dengan baik dan dapat mensejahterakan masyarakat luas.
2.6 Pembahasan Teoritis
Dalam mengkaji makalah ini tidak lepas dengan berbagai macam teori tentang
kekuasaan yang bermula dari teori Trias Politica. Teori Pembagian Kekuasaan Menurut
Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara
di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh
dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-
lembaga negara yang berbeda.
Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3
lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan
jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu
lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling
mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya
serupa, mulus atau tanpa halangan.
Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh
ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang
penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat. Akan tetapi terdapat perbedaan dengan teori
trias politica yang mengajarkan teori tentang pemisahan kekuasaan, di Indonesia
menerapkan teori pembagian kekuasaanyang maksudnya lembaga-lembaga negara
merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari
yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara
tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan
bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan, dengan perkataan lain,
UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan
kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan
kenegaraan yang ada. Hal tersebutlah yang menciptakan adanya hubungan diantara lembaga
Negara salah satunya adalah hubungan antara eksekutif dan legislatif baik hubungan yang
bersifat buruk maupun yang bersifat baik.

C. MASALAH DISHARMONI HUBUNGAN ANTARA EKSEKUTIF DAN


LEGISLATIF

Peluang munculnya hubungan yang tidak harmonis antara badan legislatif dan
eksekutif dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia sangat besar, yang dalam
hal ini adalah munculnya sekat yang tidak terjembatani antar dua lembaga itu.
Kondisi ini hadir utamanya disebabkan adanya kecenderungan “separation of power”
yang memungkinkan minimnya aktivitas konsultasi diantara kedua lembaga tersebut
dalam menyusun cetak biru dan garis besar kebijakan yang nantinya akan disepakati
bersama
Dengan adanya fenomena dual legitimacy,masing-masing lembaga merasa
sebagai pilihan rakyat,baik legislatif maupu eksekutif sama-sama merasa berhak
untuk menentukan arah kebijakan nasional. Ancaman disintegratif akan semakin kuat
manakala badan legislatif berbeda prientasinya dengan eksekutif .
Dampak dari adanya persoalan disharmoni hubungan legislatif dan eksekutif
yang terutama adalah munculnya sebuah pola hubungan yang terlalu politis dalam
lingkup pemerintahan yang substansif dapat mengganggu proses pembuatan kebijakan
yang sehat. Dalam konteks latin,hal ini telah menyebabkan terjadinya pembusukan
politik,yang pada akhirnya presiden kerap tergoda untuk benar-benar meninggalkan
legislatif. Lebih dari itu ,komitmen konsultatif tampak masih menguasai aura pola
hubungan eksekutif dan legislatif saat ini yang tercermin dari perangkat aturan main
pemerintahan yang legal maupun pola hubungan lobi informal. Namun dengan
kemauan berkompromi dan melakukan akomodasi politik masalah yang ada diantara
hubungan eksekutif dan legislatif dapat ditangani.
BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya yang menyajikan hasil Penulisan

dan pembahasan mengenai Dampak Politik dan social dari Dinamika Pemilukada

Langsung Di Indonesia. Pada bab ini diuraikan kesimpulan hasil penulisan dan

saran untuk hasil penulisan yang dianggap sebagai masukan bagi semua kalangan

sehingga bermanfaat pada penulisan selanjutnya.

A. Kesimpulan

Dinamika dari penyelenggaraan Pemilukada langsung banyak

menimbulkan dampak baik secara politik dan social. Segala bentuk dinamika

yang terjadi pada proses penyelenggaraan pilkada tidak lain demi untuk

tercapainya kepentingan politik para calon kepala daerah sehingga tidak sedikit

menimbulkan dampak bagi kondisi politik dan social masyarakat.

B. Saran

Penyelenggaraan Pemilukada sebaiknya dilakukan evaluasi kembali tanpa

terjebak pada pro kontra apakah pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui

DPRD, namun yang terpenting adalah menimbang segala bentuk maslahat dan

mudhorat dari setiap kebijakan.


DAFTAR PUSTAKA

Abburrachman, Oemi. (1995). Dasar-dasar Public Relations. Bandung: Alumni.

Arifin, Anwar.(2007).Public Relation.Jakarta: Pustaka Indonesia.

Budiarjo,Miriam. 2005 . Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Fuad, Anis dan Kandung Sapto Nugroho. (2014).Panduan Praktis Penelitian


Kualitatif.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Halim, Hamzah dan K. Renindo. (2009). Cara Praktis Menyusun dan Merancang
Peraturan Daerah, Jakarta: Kencana.

Hasan, Erliana. (2005) Komunikasi Pemerintahan. Jatinangor:. Refika Aditama.

Isdiyanto,dkk . 2016. Kontroversi Ganjar . Jakarta : Kompas


Radjab, Dasril.(2005). Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta.

Ramadhany, Muh Irsyad.(2015). Peraturan Daerah Kajian Teoritis Menuju Artikulasi


Empiris.Yogyakarta: TRussmedia Publishing.
Rauf ,Maswadi ,dkk. 2009 .Sistem Presidensial & Sosok Presiden Ideal. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Saleh, Hasrat Arief, et all (2013)Pedoman Penulisan Proposal Usulan Peneltian dan
Skripsi. Makassar.

Sanit, Arbi. (1982).Perwakilan Politik: Suatu Stdi Awal Dalam Pencarian Analisa
Sistem Perwakilan politik di Indonesia. Jakarta : Penerbit Universitas Nasional

Undang-Undang :

Undang Undang Dasar 1945

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Peraturan menteri dalam negeri RI Nomor 31 Tahun 2016 tentang pedoman
penyusunan APBD tahun anggaran 2017
Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
UndangUndang No. 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005

Internet :
http://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Daerah. Diakses pada
tanggal 1 November 2016.
Saepuddin, Perbedaan Legislasi dan Regulasi, diakses dari
https://saepudinonline.wordpress.com/2010/09/01/perbedaan-legislasi-dan -
regulasi/pada tanggal 28 Oktober 2016.
Sucy V.M, “Fungsi Perda”, Blogspot diakses dari
http://sucyvira.blogspot.com/2012/10/fungsi-perda.html pada tanggal 28 Oktober
2016.

Anda mungkin juga menyukai