Laporan Dicky PDF
Laporan Dicky PDF
Oleh :
DICKY ALVIANDI RAIS
115.170.043
KELOMPOK 5
Disusun oleh :
ACC 1 ACC 2
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan kesehatan, petunjuk dan kekuatan kepada penulis sehingga
laporan Seismik Refraksi dapat diselesaikan.
Laporan praktikum ini disusun dan dibuat berdasarkan data-data yang
tersedia. Data-data tersebut bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan
wawasan dalam mempelajari seismik refraksi. Penulis ucapkan terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dan mendukung penulisan laporan ini.
Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat
penulis harapkan dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki
pembuatan laporan praktikum pada acara yang lain dan pada waktu mendatang.
iii
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Maksud dan Tujuan ....................................................................................... 2
1.3 Batasan Masalah............................................................................................ 2
iv
4.6 Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data ................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
A. TABEL OLAHAN SEMUA KELOMPOK
B. GRAFIK T-X DAN PROFIL KEDALAMAN SEMUA KELOMPOK
C. TURUNAN RUMUS ITM 2 LAPIS
D. TURUNAN RUMUS CDM 2 LAPIS
v
E. TABEL KECEPATAN BATUAN
F. PAPER KELOMPOK
G. LEMBAR KONSUL
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura ................ 5
Gambar 3.1. Prinsip Huygens .............................................................................. 15
Gambar 3.2. Hukum Snellius .............................................................................. 16
Gambar 3.3. Skema Perambatan Gelombang pada Lapisan Miring ................... 18
Gambar 3.4. Kurva Waktu Rambat Gelombang Bias dan Gelombang Pantul ... 20
Gambar 4.1 Desain Survei Acara Lapangan Seismik Refraksi ........................... 22
Gambar 4.2. Peralatan dan Perlengkapan ............................................................ 23
Gambar 4.3. Diagram Alir Pengambilan Data .................................................... 25
Gambar 4.5. Diagram Alir Pengolahan Data ....................................................... 27
Gambar 5.1 Grafik T-X Kelompok 5 .................................................................. 31
Gambar 5.2. Profil Bawah Permukaan Kelompok 5 ........................................... 32
Gambar 5.3 Peta Kedalaman Semua Kelompok ................................................. 33
Gambar 5.4. Grafik T-X Kelompok 5 ................................................................. 34
Gambar 5.5. Profil Bawah Permukaan Kelompok 5 ........................................... 35
Gambar 5.6. Peta Kedalaman Semua Kelompok ................................................ 36
Gambar 5.7. Peta Kecepatan V1 Semua Kelompok ............................................ 37
Gambar 5.8. Peta Kecepatan V2 Semua Kelompok ............................................ 38
Gambar 5.9 Perbandingan Profil Bawah Permukaan ITM dan CDM ................. 39
Gambar 5.10 Perbandingan Peta Kedalaman ITM dan Kedalaman CDM .......... 40
vii
DAFTAR TABEL
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2.Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian kali ini adalah dapat memahami konsep atau dasar
dari penggunaan metode intercept time dan juga critical distance pada data yang
didapatkan di lapangan yaitu bidang lapisan miring. Adapun tujuan dari penelitian
ini yaitu dapat menghasilkan grafik T-X dari data yang telah diperoleh, memperoleh
profil bawah permukaan, peta kedalaman, dan peta kecepatan dengan metode T-X
intercept time dan critical distance serta interpretasi.
1.3.Batasan Masalah
Batasan masalah dari penelitian ini adalah menentukan lapisan miring dengan
menggunakan metode pengukuran T-X serta metode pengolahan data CDM dan
ITM daerah daerah Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
awal pengaruh pengendapan material Gunung Merapi terhadap wilayah ini. Di
Sungai Winongo (Kalibayem) tersingkap juga endapan lempung hitam yang
berselingan dengan lahar berumur 310 tahun. Jadi, aktivitas Gunung Merapi telah
mempengaruhi kondisi geologi daerah ini pada ±6210 hingga ±310 tl.
Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi
kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan dapat
dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan
(Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 2.1). Zona Solo merupakan bagian dari Zona
Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh
kerucut G. Merapi (± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan
dataran Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh endapan
aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan, dataran
Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari P.
Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K. Progo
dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang merupakan anak
sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).
Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo.
Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264 m.
Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di
Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo bagian
timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng. Perbukitan
Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk, 1992).
Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di
sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara
Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak,
sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan
ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan
mempunyai lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
4
Gambar 2.1. Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona
Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk.,
1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama terletak di
bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara
Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur (G.
Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk
tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737
m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng
antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir seluruhnya tersusun
oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di
bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya.
Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan
di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran
sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu
dengan K. Opak (lihat Gambar 2.2). Sebagai endapan permukaan di daerah ini
adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah
batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts,
yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut
5
dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga,
luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran
sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di
bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok
yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang
cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah
selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara
Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan
Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939).
Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone)
juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara
lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
Daerah Yogyakarta secara umum terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan
Selatan serta Pegunungan Kulon Progo. Pengangkatan ini diperkirakan terjadi pada
Kala Pleistosen awal. Pengangkatan tersebut membentuk suatu cekungan.
Cekungan ini lalu disebut sebagai Cekungan Yogyakarta. Setelah pengangkatan
kemudian terjadi penggenangan air pada kaki pegunungan hingga Gantiwarno dan
Baturetno. Pada 42.000 tahun yang lalu di dalam Cekungan Yogyakarta muncul
sebuah gunungapi. Gunungapi ini dikenal sebagai Gunung Merapi saat ini.
Munculnya gunungapi ini mempengaruhi kondisi geologi daerah ini pada 6210
hingga 310 tahun yang lalu. Berikut adalah ulasan umum mengenai geomorfologi,
stratigrafi, serta struktur geologi regional Daerah Istimewa Yogyakarta.
Geomorfologi Regional
Daerah Istimewa Yogyakarta secara umum merupakan bagian dari rangkaian
Pegunungan Selatan (pegunungan yang terletak pada bagian Selatan Jawa Tengah,
mulai dari bagian Tenggara Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memanjang ke
arah Selatan Jawa Timur. Secara morfologis daerah Pegunungan Selatan
merupakan rangkaian pegunungan yang dapat dibedakan menjadi 3 satuan
morfologi utama, antara lain yaitu:
1. Satuan Morfologi Perbukitan Berelief Sedang Sampai Curam
6
Satuan ini berada di sekitar daerah sekitar Imogiri Barat kemudian
memanjang ke Utara hingga Prambanan, membelok ke Timur (Pegunungan
Baturagung) dan melewati Perbukitan Panggung, Plopoh, Kambangan hingga di
kawasan yang terpotong oleh jalan raya Pacitan-Slahung.
2. Satuan Dataran Tinggi
Satuan ini meliputi daerah Gading, Wonosari, Playen hingga Semanu.
Daerah ini rata-rata memiliki ketinggian 200 m di atas muka laut, dengan
topografi yang hampir datar.
3. Satuan Perbukitan Kerucut
Satuan ini meliputi Timur Parangtritis memanjang ke daerah Baron,
menerus ke arah Timur melalui Punung hingga ke daerah Pacitan. Daerah ini
tersusun oleh bukit-bukit kecil kerucut karst.
7
Stratigrafi Regional
Zona Pegunungan Selatan Gunungkidul mempunyai keunikan stratigrafis
yang dapat digunakan untuk merekonstruksi terbentuknya sebagian besar Pulau
Jawa. Formasi batuan di zona ini dari tua ke muda disajikan dalam bentuk tabel
sebagai berikut:
Batugamping
frakmental, pasiran,
Laut dangkal, karbonat
Oyo Miosin tengah gampingan,
bersispan volkan
konglomerat gamping,
napal, tuf
Batugamping terumbu
Laut dangkal, murni
Wonosari Miosin tengah berlapis, napal,
karbonat
konglomerat gamping
Lempung, napal
Kepek Miosin akhir-Pliosen pasiran, batugamping Laguna
berlapis
Breksi volkan, tuf,
Wuni Miosin tengah lanau, pasir tuf, Laut dangkal
batugamping
Tuf Slawu Plistosen awal Tuf pasiran Abu gunungapi Darat
Lempung hitam, pasir,
Endapan kwarter Plistosen-Holosen Endapan sungai
lanau, konglomerat
8
Struktur Geologi Regional
Struktur geologi yang berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
sekitarnya memperlihatkan pengaruh langsung dari menunjamnya Lempeng Indo-
Australia di bawah Lempeng Eurasia pada bagian Selatan Pulau Jawa. Penunjaman
lempeng-lempeng tersebut menghasilkan jalur magmatik Pulau Jawa, palung laut,
jalur busur luar kepulauan, pensesaran yang aktif, maupun gempa bumi. Jalur busur
luar kepulauan yang terbentuk akibat suduksi Lempeng Indo-Australia dengan
Lempeng Eurasia tidak menghasilkan kepulauan seperti yang ada di Barat Daya
Sumatera (Pulau Nias, Siberut, Pagai, dan lain-lain).
Sesar Opak yang membujur dari Prambanan hingga Parangtritis di bagian
Timur Kota Yogyakarta merupakan salah satu sesar utama yang ada. Sesar ini
kemudian diikuti dengan puluhan sesar dengan posisi tegak lurus Pegunungan
Baturagung. Selain itu ada pula sesar yang membatasi Pegunungan Kulon Progo
dengan dataran Yogyakarta pada bagian Barat Kota Yogyakarta. Puluhan sesar-
sesar kecil berarah Barat Daya tegak lurus dengan Pegunungan Kulon Progo
mengikuti sesar Pegunungan Kulon Progo tersebut. Kedua sesar utama ini
menyebabkan dataran Yogyakarta bagian Selatan ambles (dikenal sebagai Graben
Bantul). Graben Bantul bila ditarik ke arah Utara melalui Gunungapi Merapi,
Gunungapi Ungaran, serta Kota Semarang akan membentuk suatu kelurusan yang
membagi Pulau Jawa menjadi sisi Barat dan Timur.
Fisiografi
Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan
Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses
tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan
Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan
hingga Gantiwarno dan Baturetno. Gunung Api Merapi muncul pada 42.000 tahun
yang lalu, namun data umur K/Ar lava andesit di Gunung Bibi, Berthomier (1990)
menentukan aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak 0,67 juta tahun lalu.
Pengangkatan Pegunungan Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah
membentuk Cekungan Yogyakarta. Di dalam cekungan tersebut selanjutnya
berkembang aktivitas gunung api (Gunung) Merapi. Tinggian di sebelah selatan
dan kemunculan kubah Gunung Merapi di sebelah utara, telah membentuk sebuah
9
lembah datar. Bagian selatan lembah tersebut berbatasan dengan Pegunungan
Selatan, dan bagian baratnya berbatasan dengan Pegunungan Kulon Progo. Kini, di
lokasi-lokasi yang diduga pernah terbentuk lembah datar tersebut, tersingkap
endapan lempung hitam. Lempung hitam tersebut adalah batas kontak antara batuan
dasar dan endapan gunung api Gunung Merapi. Didasarkan atas data penarikhan
14C pada endapan lempung hitam di Sungai Progo (Kasihan), umur lembah adalah
±16.590 hingga 470 tahun, dan di Sungai Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun.
Endapan lempung hitam di Sungai Opak berselingan dengan endapan Gunung
Merapi. Jadi data tersebut dapat juga diinterpretasikan sebagai awal pengaruh
pengendapan material Gunung Merapi terhadap wilayah ini. Di Sungai Winongo
(Kalibayem) tersingkap juga endapan lempung hitam yang berselingan dengan
lahar berumur 310 tahun. Jadi, aktivitas Gunung Merapi telah mempengaruhi
kondisi geologi daerah ini pada ±6210 hingga ±310 tl.
Dilihat dari satuan fisiografis dan geologis Daerah Istimewa Yogyakarta,
secara keseluruhan mempunyai kondisi geomorfologi yang beraneka ragam, antara
lain :
1. Satuan Gunung Merapi
Satuan Gunung Api Merapi yang terbentang mulai dari kerucut gunung api
hingga dataran fluvial gunung api yang meliputi daerah Kabupaten Sleman, Kota
Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul termasuk bentang lahan vulkanik.
Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung dan sebagai
kawasan resapan air daerah bawahan.
2. Satuan Pegunungan Selatan
Satuan Pegunungan Selatan yang terletak di Kabupaten Gunungkidul, atau
dikenal sebagai Pegunungan Seribu merupakan wilayah perbukitan batu gamping
(limestone) yang kritis, tandus dan selalu kekurangan air dengan bagian tengah
terdapat dataran (Wonosari Basin). Di sisi utaranya, perbukitan kerucut Gunung
Sewu berbatasan dengan dua buah ledok (basins), yaitu Ledok Wonosari di bagian
barat dan Ledok Baturetno di bagian timur. Batas utara dari punggungan tersebut
berupa tebing curam (steep escarpment), memanjang mulai daerah Parangtritis ke
utara, di selatan Prambanan berbelok ke arah timur hingga Wonogiri. Di sebelah
utaranya membentang dataran rendah, di mana lipatan batuan yang lebih tua turun
10
cukup dalam, tertutup oleh kipas-kipas fluvio-volkanik muda dari beberapa gunung
api
3. Satuan Pegunungan Kulon Progo
Satuan Pegunungan Kulon Progo, yang terletak di Kabupaten Kulon Progo
bagian utara merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi
berbukit yang mempunyai kendala lereng yang curam dan potensi air tanahnya
kecil.
Stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo dikenal
dengan Formasi nanggulan, kemudian secara tidak selaras diatasnya diendapkan
batuan-batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo. Penyusun batuan dari
formasi Nanggulan menurut Wartono Raharjo (1977) terdiri dari Batupasir dengan
sisipan Lignit, Napal pasiran, Batulempung dengan konkresi Limonit, sisipan Napal
dan Batugamping, Batupasir dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera dan
Moluska. Litologi dari Formasi Jonggrangan ini bagian bawah dari formasi ini
terdiri dari Konglomerat yang ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir
gampingan dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi
Batugamping koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977). Litologi penyusun Formasi
Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari Aglomerat dan Napal, semakin ke atas
berubah menjadi Batugamping berlapis dengan fasies neritik.
4. Satuan Dataran Rendah
Satuan Dataran Rendah merupakan bentang lahan fluvial yang didominasi
oleh dataran aluvial, membentang di bagian selatan Daerah Istimewa Yogyakarta
mulai dari Kabupaten Kulon Progo sampai dengan Kabupaten Bantul yang
berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Bentang Lahan lainnya yang belum
didayagunakan secara optimal adalah bentang lahan marin dan eolin yang
merupakan satuan wilayah pantai, yang terbentang dari Kulon Progo sampai
Bantul. Khusus di Parangtritis Bantul yang terkenal dengan gumuk pasir menjadi
laboratorium alam studi geografi.
2.2. Geologi Lokal Daerah Penelitian
Kabupaten Bantul secara administratif terdiri dari 17 kecamatan, 75 desa
dan 933 pedukuhan. Desa-desa di Kabupaten Bantul dibagi lagi berdasarkan
11
statusnya menjadi desa pedesaan (rural area) dan desa perkotaan (urban area).
Kecamatan Dlingo mempunyai wilayah paling luas, yaitu 55,87 Km2.
Kabupaten Bantul sendiri merupakan wilayah yang berada pada dominasi
struktur geologi Young Merapi Volcanic (Quartenary) bagian tengah dan Volcanic
(Miocine dan oligo-micine) pada bagian timur. Struktur-struktur ini sudah berumur
cukup tua (0,8-2,85 juta tahun yang lalu). Secara struktural Kabupaten Bantul diapit
oleh bukit patahan, yaitu lereng barat Pegunungan Batur Agung (Batur Agung
Ranges) pada bagian timur dan bagian Barat berupa bekas laguna. Wilayah yang
berada pada apitan bukit patahan ini disebut dengan graben, maka wilayah
Kabupaten Bantul dalam toponim geologi dan geomorfologi disebut Graben
Bantul. Graben ini terbentuk dari proses diatrofisme tektonisme yang dipengaruhi
oleh aktivitas gunung merapi dan gunung api tua. Selain berada pada apitan bukit
patahan, wilayah Kabupaten Bantul juga berada pada bentang lahan Fluvio-Marin
yang memiliki banyak potensi dan masalah (pada wilayah Bantul Selatan). Hal ini
terjadi karena wilayah Kabupaten Bantul juga merupakan wilayah transisi antara
asal lahan fluvial (proses yang mengerjai air-sungai) dan asal lahan marin (proses
yang mengerjai angin dan gelombang dari Samudra Hindia).
Selain berada pada apitan bukit patahan dan bentuk lahan dataran fluvio-
marin, Kabupaten Bantul juga berada pada wilayah transisi yaitu dataran yang asal
prosesnya dari aktivitas Vulkanis dan endapan sungai (Fluvio-Vulcan).
Bentuklahan fluvial disebabkan oleh akibat aktivitas aliran sungai. Aktivitas aliran
sungai tersebut berupa pengikisan, pengangkutan dan pengendapan (sedimentasi)
sehingga membentuk bentangan dataran aluvial dan bentukan lain dengan struktur
horisontal yang tersusun oleh material sedimen . Bentukan-bentukan ini
berhubungan dengan daerah-daerah penimbunan seperti lembah-lembah sungai
besar dan dataran aluvial. Bentukan-bentukan lain dalam skala kecil yang mungkin
terjadi dapat berupa dataran banjir, tanggul alam, teras sungai dan kipas aluvial.
Sungai-sungai yang terdapat pada satuan ini umumnya merupakan sungai yang
telah mengalami gradasi dan berada dalam keadaan seimbang sehingga energinya
hanya cukup untuk membawa dan memindahkan bebannya. Sehingga, apabila
terjadinya erosi dan pengendapan yang seimbang nantinya membentuk hamparan
dataran yang luas di sepanjang tepian sungai. Di dataran fluvial ini juga terdapat
12
adanya saluran yang berkelok-kelok (meanders). Pembentukan saluran ini
merupakan akibat proses penimbunan pada bagian luar kelokan dan erosi,
sementara untuk kecepatan aliran berkurang akibat menurunnya kemiringan lereng.
Akibat dari pengendapan yang cukup besar, maka membuat aliran ini sering kali
tidak mampu untuk mengangkut material–material dari daerah utara (gunung
merapi), yang akhirnya arah aliran membelok begitu seterusnya membentuk
kelokan-kelokan tertentu. (Tobing, W.L., 2011)
13
BAB III
DASAR TEORI
14
merupakan sumber dari gelombang baru yang menjalar dalam bentuk bola
(spherical).
.
Gambar 3.1. Prinsip Huygens
b) Hukum Snellius
Gelombang yang terpantul akan mengikuti hukum pemantulan gelombang,
yaituhukum Snellius “Gelombang akan dipantulkan atau dibiaskan pada bidang
batasantara dua medium”. Menurut persamaan:
𝑣 𝑣𝑝1 𝑣𝑝2 𝑣𝑠1 𝑣𝑠2
= = = = (2.1)
sin 𝑖 sin 𝜃𝑝 sin 𝑟𝑝 sin 𝜃𝑠 sin 𝑟𝑠
15
Gambar 3.2. Hukum pemantulan Snellius
c) Asas Fermat
Prinsip Fermat menyatakan bahwa jika sebuah gelombang merambat dari satutitik
ke titik yang lain, maka gelombang tersebut akan memilih jejak yangtercepat.
Kata tercepat diboldkan untuk memberikan penekanan bahwa jejakyang akan
dilalui oleh sebuah gelombang adalah jejak yang secara waktu tercepatbukan yang
terpendek secara jarak. Tidak selamanya yang terpendek itu tercepat.Dengan
demikian, jika gelombang melewati sebuah medium yang memilikivariasi
kecepatan gelombang seismik, maka gelombang tersebut akan cenderungmelalui
zona-zona kecepatan tinggi dan menghindari zona-zona kecepatan rendah.
16
Pada bidang batas antar lapisan, gelombang seismik merambat dengan
kecepatan pada lapisan di bawahnya.
Kecepatan gelombang bertambah dengan bertambahnya kedalaman.
17
menghasilkan gelombang refraksi down-going (raypath A-M-P-B) , dan sumber
energi di titik B menghasilkan gelombang refraksi up-going (ray path B-P-M-A).
Besar sudut kemiringan lapisan (𝛼) dan sudut kemiringan (θc), dapat dicari
dengan:
1 𝑉 𝑉
α= 2 [𝑠𝑖𝑛−1 (𝑉1 ) − 𝑠𝑖𝑛−1 (𝑉1 )]
𝑑 2
1 𝑉 𝑉
θc=2 [𝑠𝑖𝑛−1 (𝑉1 ) + 𝑠𝑖𝑛−1 (𝑉1 )] (2.5)
𝑑 2
18
𝑉1 𝑉1
Vd = dan Vu = (2.6)
sin(𝜃𝑐 +𝛼) sin(𝜃𝑐 −𝛼)
Dimana, V1>Vd dan V1<Vu
Sedangkan persamaan Intercept Time pada lapisan miring (X=0) antara lain:
2 𝑍𝑑 cos 𝜃𝑐 2 𝑍𝑢 cos 𝜃𝑐
Td=ttd= dan Tu=ttu= (2.7)
𝑉1 𝑉1
Sehingga, kedalaman di bawah sumber A (Za) dan sumber B (Zb) dapat dicari
menggunakan persamaan:
2 𝑡𝑑 𝑉1 2 𝑡𝑢 𝑉1
Za= dan Zb= (2.8)
2 cos 𝜃 2 cos 𝜃
Berbeda dengan cara-cara sebelumnya, dengan mempertimbangkan adanya
kecepatan semu (Vapp), maka kecepatan V1 danV2 dapat dicari dengan persamaan,
𝑉1𝑢𝑝 +𝑉1𝑑𝑜𝑤𝑛
V1= (2.9)
2
𝑉2𝑢𝑝 +𝑉2𝑑𝑜𝑤𝑛
V2= (2.10)
2
dimana,
𝑥1 −𝑥0 𝑥1 −𝑥0
V1up= dan V1down= (2.11)
𝑦1 −𝑦0 𝑦1 −𝑦0
Serta
𝑥1 −𝑥1 𝑥1 −𝑥1
V2up= dan V2down= (2.12)
𝑦1 −𝑦1 𝑦1 −𝑦1
Persamaan (2.11) dan (2.12) berlaku untuk semua metode yang surveynya
menggunakan kombinasi penembakan maju dan mundur (forward dan reverse
shooting).
19
Jarak waktu kritis adalah offset dimana critical refraction muncul pertama
kali pada jarak kritik, waktu rambat kritik sama dengan waktu rambat pantul, dan
sudut bias sama dengan sudut pantul, waktu rambat langsung sama dengan waktu
rambat bias.
Prinsip waktu rambat gelombang pada lintasan OMPR pada bidang miring
sama dengan waktu rambat gelombang pada bidang datar, sehingga akan diperoleh
persamaan sebagai berikut :
hd hu x cos (h d hu ) tan ic
Td
V1 cos ic V2 (2.13)
Dengan prinsip geometri akan didapatkan persamaan sebagai berikut :
x 2h cos ic
Td sin(ic ) d
V1 V1 atau
x 2h cos ic
Tu sin(ic ) u
V1 V1 (2.14)
Berikut adalah kurva waktu rambat untuk gelombang bias pada lapisan
miring.
Gambar 3.4. Kurva waktu rambat gelombang bias dan gelombang pantul
pada bidang miring
V1 V1
Sin( c ) Sin( c )
Karena Vd dan Vu , maka
diperoleh :
20
1 1 V1 V
sin sin 1 1
2 Vd Vu
(2.15)
1 1 V1 V
c sin sin 1 1
2 Vd Vu
(2.16)
Kecepatan V1 dihitung langsung dari slope gelombang langsung, Vd dan Vu
dihitung dari slope gelombang bias pada masing-masing arah penembakan. Dari
harga Vd dan Vu tersebut dapat kita peroleh harga V2 dengan persamaan berikut :
2V2 uV2 d
V2 cos
V2 u V2 d
(2.17)
Sedang untuk memperoleh ketebalan down-dip dan up-dip dapat kita
selesaikan dengan persamaan sebagai berikut :
t id V1
hd
2 cos c untuk down-dip (2.18)
t iuV1
hu
2 cos c untuk up-dip (2.19)
21
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
22
4.2. Peralatan dan Perlengkapan
23
5. Oyo Mc Seis
Oyo Mc Seis digunakan sebagai perekam data yang diberikan oleh sumber
gelombang seismik yang ditangkap oleh receiver. Pada Oyo Mc Seis terdapat
beberapa pengaturan seperti filter, gain, dan system yang dapat digunakan
sesuai kebutuhan di lapangan.
6. Parang dan Papan
Parang dapat digunakan untuk memudahkan dalam pembuatan lubang saat
ingin memasukkan plat baja ke dalam lapisan tanah. Sedangkan papan
digunakan sebagai alas dalam mencatat hasil akusisi data menggunakan Oyo
Mc Seis.
24
4.3. Diagram Alir Pengambilan Data
Mulai
Mulai
Persiapan
Persiapan Alat
Alat
Pembentangan
Pembentangan Geophone
Geophone
Pemberian
Pemberian Usikan
Usikan
Picking
Picking Data
Data
Pencatatan
Pencatatan Data
Data
Waktu
Waktu
Nilai
Nilai Offset
Offset Azimuth
Azimuth Koordinat
Koordinat
Tempuh
Tempuh
Selesai
Selesai
25
4.4. Pembahasan Diagram Alir Pengambilan Data
Dari diagram alir di atas yang merupakan tahapan – tahapan dalam
melakukan kegiatan pengambilan data, sehingga dapat diperoleh data lapangan
yang baik, maka dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Penelitian berlokasi di daerah Daerah Wukirsari, Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, disiapkan perlengkapan yang
dibutuhkan. Perlengkapan atau peralatan tersebut meliputi seismograph, palu,
plat baja, geophone, meteran, kompas, GPS, payung, dan tabel data.
2. Membentangkan rangkaian geophone yang merupakan lintasan pengukuran.
Pembentangan offset untuk setiap geophone diukur dengan menggunakan
meteran yang telah disiapkan. Rangkaian geophone yang tertanam dihubungkan
ke seismograph yang dilindungi dengan payung dari paparan sinar matahari
langsung.
3. Setelah lintasan pengukuran dibentangkan, diukur nilai Azimuth dari arah
lintasan pengukuran yang digunakan. Pengukuran Azimuth dilakukan
menggunakan kompas geologi.
4. Kemudian setelah penentuan Azimuth selesai, maka tahap selanjutnya adalah
meletakkan plat baja sebagai bantalan dari pemukulan palu sehingga
meminimalisir keterdapatan noise yang diletakkan di bawah lapisan lapuk.
Selanjutnya dilakukan pemukulan untuk mencipatakan sumber seismik
mennggunakan palu.
5. Setelah pemukulan menggunakan palu dilakukan, maka seismograph akan
membaca data – data dari geophone yang tertanam. Data – data tersebut
dilakukan picking, data picking tersebut dicatat pada tabel data berupa waktu
tempuh rambatan gelombang. Waktu tempuh yang digunakan pada penelitian
ini pada zero phase atau pada puncak gelombang.
6. Pada tabel data pun dicatat nilai offset, azimuth, dan koordinat dari lintasan
pengukuran yang digunakan.
7. Setelah semua kegiatan tersebut dilakukan, maka penelitian seismik di lapangan
telah selesai dan dapat dilakukan kegiatan pengolahan data.
26
4.5. Diagram Alir Pengolahan Data
Mulai
Mulai
Data
Data Studi
Studi Literatur
Literatur
Lapangan
Lapangan
Grafik
Grafik T-X
T-X
Metode
Metode ITM
ITM Metode
Metode CDM
CDM
Lapisan Miring
Lapisan Miring Lapisan Miring
Lapisan Miring
Kecepatan
Kecepatan
Profil
Profil Rambat
Rambat
Kedalaman
Kedalaman Gelombang
Gelombang
Software
Software
Surfer
Surfer 11
11
Peta
Peta Peta
Peta
Kedalaman
Kedalaman Kecepatan
Kecepatan
Pembahasan
Pembahasan
Kesimpulan
Kesimpulan
Selesai
Selesai
27
4.6. Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data
Pada diagram alir di atas, ditunjukkan langkah – langkah dalam melakukan
kegiatan pengolahan data, sehingga didapat hasil olahan data yang baik, dijelaskan
sebagai berikut :
1. Pengolahan data yang diperoleh dar data penelitian di lapangan sebelumnya
yaitu menyiapkan data lapangan berupa tabel data. Tabel data tersebut berisikan
informasi azimuth, offset, waktu tempuh gelombang, dan koordinat.
2. Data lapangan tersebut digunakan untuk memperoleh grafik perbandingan T –
X. Digunakan metode Intercept Time dan metode Critical Distance. Kedua
grafik tersebut kemudian akan dibahas dan dikorelasikan dan keadaan lapangan
pada bagian pembahasan.
3. Membuat pula profil kedalaman dari lapisan miring pada metode Intercept Time
dan Critical Distance. Setelah itu membuat profil bawah pemukaan lintasan
kelompok menggunakan software Corel Draw.
4. Kemudian melakukan pembuatan peta dengan menggunakan bantuan software
surfer. Peta tersebut yaitu Peta Kedalaman dan Peta Kecepatan V1 dan V2 dari
penelitian seismik refraksi di lapangan yang telah dilakukan.
5. Langkah selanjutnya yaitu bagian pembahasan, yaitu membahas grafik T – X
dari metode Intercept Time dan Critical Distance dari lapisan miring. Dibahas
juga kedua peta yang telah diperoleh menggunakan software Surfer. Dilakukan
pula perbandingan yang dibahas pada profil kedalaman lapisan ITM dan CDM,
dan juga perbandingan dari Peta kedalaman lapisan metode ITM dan CDM.
6. Setelah kegiatan pembahasan dari hasil yang diperoleh selesai, maka dapat
ditarik kesimpulan dari seluruh rangkaian penelitian yang telah dilakukan dan
juga saran yang membangun guna memperbaik kualitas penelitian selanjutnya.
28
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
29
5.1.4 Metode Intercepet Time Lapisan Miring
Tabel 5.3. Metode Intercept Time Lapisan Miring
Lapisan Miring
Z
Offset (m) Forward (ms) Reverse (ms)
0 0 27.2 -0.184795876
2 3.2 25.44 -0.49970351
4 4.48 23.2 -0.814611145
6 6.08 21.44 -1.129518779
8 8.16 19.2 -1.444426414
10 10.4 16.96 -1.759334048
12 12 14.4 -2.074241683
14 14.08 12.96 -2.389149317
16 15.68 10.72 -2.704056952
18 17.6 9.12 -3.018964586
20 18.56 7.36 -3.333872221
22 20.16 5.12 -3.648779855
24 22.72 2.88 -3.96368749
26 25.68 0 -4.278595124
v2 rerata
1008.997
t1 up t1 down v1 reverse v1 forward v2 reverse v2 forward v1 rerata ic cos ic teta cos teta z reverse z forward z sigma
1.1831 28.235 932.8358209 961.538462 970.8737864 1047.120419 947.1871 71.04119 0.324888 0.252202 0.99999 4.278555 0.184796 0.314908
0.0011831
xf xr interpolasi
9.099206349 41.16161616 0.232518
30
5.2. Hasil dan Pembahasan Pengolahan Data
5.2.1 Metode Intercept Time Lapisan Miring
5.2.1.1 Grafik T-X Kelompok 5
Grafik T-X
30
Langsung Forward
y = -1,0453x + 27,42
25 R² = 0,9984 y = 0,9027x + 1,1831
R² = 0,9877 Refraksi Forward
20
Langsung Reverse
Time (s)
15 Refraksi Reverse
y = 0,9783x + 0,4952
10 Linear (Langsung
R² = 0,9863
Forward)
5 y = -1,0651x + 28,235 Linear (Refraksi Forward)
R² = 0,9894
0 Linear (Langsung
0 10 20 30 Reverse)
Linear (Refraksi Reverse)
Offset (m)
31
5.2.1.2 Profil Bawah Permukaan Kelompok 5
32
5.2.1.3 Peta Kedalaman Semua Kelompok
33
5.2.2 Metode Critical Distance Lapisan Miring
5.2.2.1 Grafik T-X Kelompok 5
Grafik T-X
30
Langsung Forward
y = -1,0453x + 27,42
25 R² = 0,9984 y = 0,9027x + 1,1831
R² = 0,9877 Refraksi Forward
20
Langsung Reverse
Time (s)
15 Refraksi Reverse
y = 0,9783x + 0,4952
10 Linear (Langsung
R² = 0,9863
Forward)
5 y = -1,0651x + 28,235 Linear (Refraksi Forward)
R² = 0,9894
0 Linear (Langsung
0 10 20 30 Reverse)
Linear (Refraksi Reverse)
Offset (m)
34
5.2.2.2 Profil Bawah Permukaan Kelompok 1
35
5.2.2.3 Peta Kedalaman (Semua Kelompok)
36
5.2.3 Peta Kecepatan V1 (Semua Kelompok)
37
5.2.4 Peta Kecepatan V2 (Semua Kelompok)
38
5.2.5 Perbandingan Profil Bawah Permukaan ITM dan CDM
Pada profil bawah permukaan dengan metode Critical Distance and Intercept
Time dapat diketahui terdapat satu lapisan yang dapat ditangkap oleh geophone
melalui gelomang yang diberikan melalui source. Lapisan tersebut terdapat batuan
berupa batupasir kering pada lapisan pertama dan batupasir basah pada lapisan
kedua . Berdasarkan tabel kecepatan (Jakosky, 1957) dapat diketahui keberadaan
litologi batu pasir kasar dengan kecepatan rambat gelombang pada lapisan pertama
V1 = 947.1871412 m/s dan pada lapisan kedua dengan V2 = 1008.997103 m/s.
Batupasir pada lapisan pertama mempunyai kecepatan lebih rendah dari pada
kecepatan pada lapisan kedua, oleh karena itu asumsi seismik yang menjelaskan
tentang semakin dalam maka kecepatan semakin cepat dan semakin kebawah maka
lapisan semakin kompak yang diketahui dari jenis batupasirnya, pada lapisan
pertama yang merupakan batupasir kasar dan pada lapisan kedua yaitu batupasir
halus. Perbedaan yang dapat dilihat dari kedua metode ini adalah kedalamannya,
pada metode ITM kedalaman maksimalnya adalah 4.2 m dan untuk metode CDM
adalah 3.8 m. Pada perbedaan tersebut, perbedaan ketinggian didasari oleh
perbedaan pengolahan data masin-masing metode, tapi setelah diperolah perbedaan
tersebut dapat menjadi acuan untuk kedalaman yang dapat dianggap sebenarnya.
39
5.2.6 Perbandingan Peta Kedalaman ITM dan Peta Kedalaman CDM
40
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Dengan dilaksanakannya kegiatan praktikum ini, kesimpulan yang diperoleh
adalah:
Metode Intercept Time dan Critical Distance dan Critical Distance hasil yang
berbeda. Dapat terlihat dalama peta kedalamannya, Critical Distance memiliki
kedalaman lebih dalam yaitu 14 meter.
Diperoleh pada profil kedalaman, kecepatan rambat gelombang V1 =
947.1871412 m/s pada lapisan pertama, merupakan lapisan batupasir kasar..
Sedangkan pada V2 =1008.997103 m/s merupakan lapisan batupasir halus
Terdapat peta kedalaman menggunakan metode Intercept Time dan Critical
Distance juga memiliki perbedaan pada hasil yang diperoleh. Pada peta ITM
tingkat kedalaman terdalamnya adalah 10 meter sedangkan pada CDM 14 meter
di bawah permukaan. Perbedaan tersebut tentunya dikarenakan dari dasar
perhitungan kedua metode yang juga berbeda, sehingga hasil kedalaman yang
didapat pun berbeda.
Kecepatan pada V2 >V1 yang membenarkan asumsi seismik yaitu bahwa
semakin dalam kedalamannya maka kecepatan pun akan bertambah.
Daerah penelitian merupakan daerah yang rawan longsor karena memiliki sudut
kritis sebesar 71.04118839o.
41
6.2. Saran
Pada kegiatan acara kali ini, diperlukan ketelitian dalam melakukan
pengambilan data di lapangan, tentunya juga diperlukan ketelitian, ketekunan, serta
kedisiplinan dalam melakukan pengolahan data yang telah diberikan agar hasil
yang diperoleh berkualitas baik. Dan untuk megetahui strukturnya lebih pasti dapat
dikombinasikan dengan metode lain seperti metode gravity.
42
DAFTAR PUSTAKA
43