Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS

ANEMIA HEMOLITIK

Pembimbing:
Dr. Hj. Nur Albar, Sp. PD, FINASIM

Disusun Oleh:
dr. Yosephine Santoso

Program Internship Periode Mei 2018 - Mei 2019


RSUD Otanaha Kota Gorontalo
2018
BAB I

PRESENTASI KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Nn. TH
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 18 tahun
Pekerjaan : Pelajar SMA
Alamat : Dembe Barat, Kota Gorontalo
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Tanggal Masuk RS : 02 Juni 2018
Tanggal Pemeriksaan : 02 Juni 2018
No. Rekam Medik : 025047

2. Anamnesa
2.1. Keluhan Utama
Sakit kepala
2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sakit kepala sejak dua hari yang lalu. Nyeri
dialami di seluruh bagian kepala dan terasa berdenyut. Nyeri terasa masih tertahankan,
namun mengganggu pasien melakukan aktivitas sehari-hari dan menyebabkan pasien
sulit untuk tidur. Nyeri dialami terus menerus sepanjang hari, awalnya ringan
kemudian semakin memberat secara perlahan. Nyeri tidak membaik atau memburuk
dengan perubahaan posisi, batuk atau bersin, membuka atau menutup mata. Pasien
menyangkal gangguan penglihatan seperti melihat kilatan cahaya dan pandangan
kabur. Pasien menyangkal keluhan mual dan muntah, demam. Pasien juga menyangkal
riwayat trauma kepala sebelumnya. Pasien belum mencoba minum obat penghilang
rasa sakit. Keluhan nyeri kepala sudah dialami berulang kali sebelumnya. Pasien tidak
memperhatikan aktivitas atau keadaan tertentu yang mempengaruhi keluhan ini dan
biasanya hilang dengan sendirinya setelah beberapa hari.
Pasien juga merasa lemas yang muncul secara bersamaan. Lemas dirasakan di seluruh
tubuh, tanpa bagian tertentu yang terasa lebih lemas. Lemas dirasakan terus menerus
sepanjang hari, pasien masih dapat berjalan dan melakukan aktivitas namun dirasakan
kurang tenaga. Asupan makanan pasien berkurang karena nafsu makan menurun
selama sakit. Hari-hari sebelumnya pasien menjalani puasa seperti biasa. Saat ini
pasien juga sedang menstruasi.
Warna kulit pasien didapatkan kekuningan. Ibu pasien mengatakan tubuh pasien
kuning sudah sejak lama, yaitu sejak sekitar dua tahun yang lalu. Pasien dikatakan
tampak lebih kuning jika penyakitnya sedang kambuh dan kuning tampak berkurang
ketika pasien dalam keadaan sehat. Pasien menyangkal keluhan nyeri perut.
Pasien menyangkal riwayat bepergian ke luar pulau
Buang air kecil lancar, warna urin cokelat seperti teh. Tidak ada nyeri saat buang air
kecil. Buang air besar seperti biasa, warna kotoran kuning kecokelatan, padat, tidak
ada darah.
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit serupa sering terjadi berulang
- Pasien pernah dua kali dirawat di rumah sakit sebelumnya dengan sakit tifus dan
sakit kantung empedu
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat transfusi darah disangkal
- Riwayat operasi dan tindakan medis serupa disangkal
- Riwayat penurunan berat badan disangkal
2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit serupa disangkal
2.5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat minum jamu atau herbal disangkal
- Riwayat minum obat-obatan rutin disangkal
- Riwayat minum minuman keras disangkal
- Riwayat hubungan seksual disangkal
- Riwayat penggunaan jarum suntik disangkal
- Pasien makan nasi dengan lauk dan sayur tiga kali sehari
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4 V5 M6)
Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 90/60 mmHg
 Laju nadi : 88 kali/menit
 Laju napas : 18 kali/menit
 Suhu tubuh : 37oC
 VAS : 3/10

Status gizi

 Berat badan: 48 kg
 Tinggi badan: 155 cm
 BMI: 19,98 kg/m2

Kepala : Rambut hitam lebat, tekstur normal, lesi kulit kepala tidak ada, normocephali

Mata : Pandangan tidak kabur, lapang pandang normal. Konjungtiva anemis, sklera
ikterik. Pupil isokor 3 mm/3 mm, reflek cahaya langsung dan tidak langsung positif.
Pergerakan bola mata positif ke segala arah.

Hidung : Septum nasi di tengah, sekret tidak ada, nyeri tekan sinus tidak ada

Mulut : Mukosa oral pucat, gigi baik, lidah bersih. Tonsil tidak membesar, faring tidak
ada tanda inflamasi.

Leher : Trakea di tengah, tidak teraba massa, tidak teraba pembersaran kelenjar limfe

Thoraks

Paru

 Inspeksi : bentuk dan pergerakan dada simetris


 Palpasi : pergerakan dada dan fremitus taktil simetris
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi : suara napas vesikuler di kedua lapang paru, tidak ada suara tambahan
Jantung

 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat


 Palpasi : Ictus cordis teraba di sela iga V linea midclavicularis sinistra
 Perkusi : Batas jantung kanan atas di sela iga II linea parasternalis dextra, kanan
bawah di sela iga IV linea parasternalis dextra, kiri atas di sela iga II linea
parasternalis sinistra, kiri bawah di sela iga IV linea midclavicularis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada bunyi tambahan

Abdomen

 Inspeksi : datar, tidak ada lesi


 Auskultasi : Bising usus terdengar, kesan normal
 Palpasi : supel, terdapat nyeri tekan di kuadran kanan atas. Hepar teraba dua jari
di bawah arcus costae dextra, tepi tumpul, konsistensi lunak. Lien teraba.
 Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen. Tidak ada nyeri ketok
costovertebral angle.

Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema. Betis supel, tidak ada nyeri tekan.

Kulit : Warna sawo matang, ikterik. Kuku pucat.

4. Pemeriksaan Penunjang
4.1. Hematologi (02 Juni 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 8,0 g% 11 – 16,5
Leukosit 5.300 /uL 4.000 – 11.000
Eritrosit 2.740 Juta/uL 3,6 – 5,8 juta
Trombosit 277.000 /uL 150.000 – 450.000
Hematokrit 23,3 % 36 - 45
Nilai MC
- MCV 85,0 fL 80 - 96
- MCH 29,2 Pg 27 - 33
- MCHC 34,3 % 32 - 36
Hitung Jenis Leukosit
- N. Segmen 72,1 % 35 - 70
- Limfosit 18,8 % 20 - 50
- Monosit 9,1 % 2 - 10

4.2. Fungsi Hati (02 Juni 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
SGOT 38 U/L < 35
SGPT 37 U/L < 35
Bilirubin Total 7,66 mg/dL 0,1 – 1,2
Bil. Direk/Indirek 1,09/6,57 mg/dL Direk: <0,3;
Indirek: 0,1 – 1,0

HBsAg Negatif Non Reaktif

4.3. Urinalisa (02 Juni 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Kimia
Berat Jenis 1.000 1.003 – 1.035
pH 6.0 4,5 – 8
Leukosit Esterase 30 (1+) Leukosit/uL Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Albumin/ Protein Negatif g/L Negatif
Glukosa Negatif mg/L Negatif
Keton Negatif mg/L <=1
Urobilinogen Negatif Umol/L Negatif
Bilirubin Negatif Umol/L Negatif
Darah 200 (3+) Eritrosit/L
Sedimen Mikroskopik
Erotrosit 20 – 30 LPB 0–2
Leukosit 2–4 LPB 0-5
Silinder Negatif LPK
Epithel Cell Gepeng: 2 – 4 LPK
Bakteri Negatif Negatif
Kristal Negatif
Lain-lain -
Makroskopik
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih

4.4. USG Abdomen


Kesan : - Cholelithiasis ukuran + 1,5 cm
- Sugestif gastritis

5. Diagnosis Utama
- Anemia Hemolitik
- Kolelithiasis
- Gastritis

6. Tata Laksana
- IVFD D5% 16 tetes per menit
- Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam IV
- Ibuprofen tablet 400 mg/ 8 jam PO
- Curcuma 1 tablet/ 8 jam PO
- Bionemi 1 kapsul/ 24 jam PO
- Cek apusan darah tepi
7. Follow Up

Apusan Darah Tepi (04 Juni 2018)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hemoglobin 6,9 g% 11 – 16,5
Leukosit 4.900 /uL 4.000 – 11.000
Eritrosit 2.280 Juta/uL 3,6 – 5,8 juta
Trombosit 221.000 /uL 150.000 – 450.000
Hematokrit 19,0 % 36 - 45
Nilai MC
- MCV 83,3 fL 80 - 96
- MCH 30,3 Pg 27 - 33
- MCHC 36,3 % 32 - 36
Hitung Jenis Leukosit
- N. Segmen 64,0 % 35 - 70
- Limfosit 23,3 % 20 - 50
- Monosit 12,7 % 2 - 10

Morfologi Darah Tepi

 Leukosit : Jumlah kesan cukup, ditemukan granul halus pada beberapa neutrophil,
blast (-)
 Eritrosit : Normokrom-normositer, benda inklusi (-), polikromasia (-),
normoblast (-)
 Trombosit : Jumlah kesan cukup, giant cell (+), agregasi trombosit (-)
 Kesan : Gambaran apusan darah tepi menunjukkan anemia normositik
normokrom disertai tanda infeksi ringan causa bakterial
 Saran : - Kontrol darah lengkap post terapi
- Konfirmasi dengan tanda klinis

04 Juni 2018
S O A, P
- Nyeri kepala Keadaan umum: Tampak A:
dirasakan berambah sakit sedang Anemia Hemolitik suspek autoimun
berat Kesadaran: Kholelithiasis
- Lemas Compos mentis (E4 V5 Gastritis
- Buang air kecil M6)
seperti teh
Tanda-tanda vital P:
- Tekanan darah: - IVFD D5% 16 tetes per menit
90/60 mmHg - Inj. Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam IV
- Laju nadi: 88 kali/menit - Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam IV
- Ibuprofen tablet 400 mg/ 8 jam PO
- Laju napas: 20 - Curcuma 1 tablet/ 8 jam PO
kali/menit - Bionemi 1 kapsul/ 24 jam PO
- Suhu tubuh: 37oC
- VAS : 4/10 - Methylprednisolone tablet 12 mg/ 8
Mata: sklera ikterik, jam PO
konjungtiva anemis - Transfusi PRC 1 bag
Mukosa oral: pucat
Kulit: ikterik

05 Juni 2018
S O A, P
Sakit kepala  Keadaan umum: Tampak A:
Pusing sakit sedang Anemia Hemolitik suspek autoimun
Lemas Kesadaran: Kholelithiasis
Post transfusi PRC Compos mentis (E4 V5 Gastritis
bag pertama M6)
Tanda-tanda vital P:
- Tekanan darah: - IVFD D5% 16 tetes per menit
100/60 mmHg - Inj. Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam IV
- Laju nadi: 88 kali/menit - Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam IV
- Laju napas: 20 - Ibuprofen tablet 400 mg/ 8 jam PO
kali/menit - Curcuma 1 tablet/ 8 jam PO
- Suhu tubuh: 36,5oC - Bionemi 1 kapsul/ 24 jam PO
- VAS : 3/10
Mata: sklera ikterik, - Methylprednisolone tablet 12 mg/ 8
konjungtiva anemis jam PO
Mukosa oral: pucat - Transfusi PRC 1 bag
Kulit: ikterik

06 Juni 2018
S O A, P
Sakit kepala  Keadaan umum: Tampak A:
Pusing sakit sedang Anemia Hemolitik suspek autoimun
Lemas Kesadaran: Kholelithiasis
Buang air kecil Compos mentis (E4 V5 Gastritis
lebih jernih M6)
Post transfusi PRC Tanda-tanda vital P:
bag kedua - Tekanan darah: - IVFD D5% 16 tetes per menit
100/60 mmHg - Inj. Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam IV
- Laju nadi: 84 kali/menit - Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam IV
- Laju napas: 18 - Ibuprofen tablet 400 mg/ 8 jam PO
kali/menit - Curcuma 1 tablet/ 8 jam PO
- Suhu tubuh: 36,5oC - Bionemi 1 kapsul/ 24 jam PO
- VAS : 2/10
Mata: sklera ikterik, - Methylprednisolone tablet 12 mg/ 8
konjungtiva anemis jam PO
Mukosa oral: pucat - Cek Hemoglobin ulang
Kulit: ikterik

07 Juni 2018
S O A, P
Pusing sedikit Keadaan umum: Tampak A:
Lebih bertenaga sakit sedang Anemia Hemolitik suspek autoimun
Buang air kecil Kesadaran: Kholelithiasis
lebih jernih Compos mentis (E4 V5 Gastritis
Post transfusi PRC M6)
bag ketiga Tanda-tanda vital P:
- Tekanan darah: - IVFD D5% 16 tetes per menit
100/70 mmHg - Inj. Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam IV
- Laju nadi: 80 kali/menit - Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam IV
- Laju napas: 18 - Ibuprofen tablet 400 mg/ 8 jam PO
kali/menit - Curcuma 1 tablet/ 8 jam PO
- Suhu tubuh: 36,5oC - Bionemi 1 kapsul/ 24 jam PO
- VAS : 2/10
Mata: sklera ikterik  , - Methylprednisolone tablet 12 mg/ 8
konjungtiva anemis  jam PO
Mukosa oral: pink - Transfusi PRC 1 bag
Kulit: ikterik 

08 Juni 2018
S O A, P
Tidak ada keluhan Keadaan umum: Tampak A:
sakit sedang Anemia Hemolitik suspek autoimun
Kesadaran: Kholelithiasis
Compos mentis (E4 V5 Gastritis
M6)
Tanda-tanda vital P: Boleh pulang
- Tekanan darah: - Cefixime 200 mg tablet/ 12 jam PO
110/70 mmHg - Ranitidin 50 mg/ 12 jam PO
- Laju nadi: 80 kali/menit - Curcuma 1 tablet/ 8 jam PO
- Laju napas: 16 - Bionemi 1 kapsul/ 24 jam PO
kali/menit - Methylprednisolone 12 mg tablet/ 8
- Suhu tubuh: 37oC jam PO
- VAS : 0/10
Mata: sklera ikterik  ,
konjungtiva anemis 
Mukosa oral: pink
Kulit: ikterik 
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anemia
1.1.Definisi
Anemia adalah kelainan pada darah di mana jumlah sel darah merah kurang dari
normal. WHO mendefinisikan anemia sebagai kadar hemoglobin <130 g/L (13 g/dL)
pada pria dan <120 g/L (12 g/dL) pada wanita.
1.2.Manifestasi Klinis
Gejala anemia bervariasi, bergantung pada seberapa berat anemia tersebut dan seberapa
cepat anemia berlangsung. Gejala anemia meningkat seiring anemia semakin berat.
Anemia ringan dapat tidak menimbulkan gejala. Anemia sering ditemukan melalui
hasil laboratorium yang abnormal. Jarang pasien datang dengan gejala-gejala dari
anemia berat. Jika gejala muncul, dapat timbul rasa lelah, lemas, kulit pucat atau
kekuningan. Semakin berat anemia, pasien dapat mengalami rasa pusing, rasa haus
meningkat, berkeringat, denyut nadi lemah dan cepat. Ketika anemia semakin berat,
dapat timbul kram pada kaki saat aktivitas, sesak napas, dan kerusakan saraf otak.
Gejala yang berhubungan dengan jantung juga dapat timbul karena jantung bekerja
keras untuk membawa darah kaya oksigen ke seluruh tubuh, seperti aritmia, murmur
jantung, pembesaran jantung, dan gagal jantung. Namun karena mekanisme
kompensasi intrinsik yang mengatur kurva disosiasi O2-hemoglobin, anemia terutama
pada pasien usia muda, mungkin tidak mengalami gejala sampai anemia tersebut
memberat (hemoglobin <7-8 g/dL)
1.3.Diagnosis
Evaluasi pasien dengan anemia membutuhkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
yang teliti. Riwayat nutrisi termasuk alkohol dan obat-obatan, juga riwayat keluarga
dengan anemia. Riwayat paparan terhadap racun dan bahan-bahan kimia, riwayat
pemasangan alat medis (seperti katup jantung buatan). Pemeriksaan fisik dilakukan
untuk membantu mengetahui organ dan system tubuh yang terlibat serta jenis anemia
dan mekanisme yang menyebabkan anemia. Tanda-tanda infeksi, darah pada feses,
limfadenopati, splenomegaly, atau petekie. Pada pasien anemia dapat ditemukan detak
jantung yang sangat kuar, denyut nadi yang kuat, dan murmur sistolik. Kulit dan
membran mukosa, kuku, dan lipatan telapak tangan pucat jika hemoglobin <8 g/dL.
Pemeriksaan laboratorium
Tes Hitung Darah Lengkap
Tes Tujuan Peran terhadap Anemia
Eritrosit, Menghitung jumlah Jumlah eritrosit lebih rendah dari
leukosit, dan eritrosit, leukosit, dan normal menunjukkan anemia
trombosit trombosit dalam darah
Hitung Jenis Identifikasi lima tipe sel Dapat membantu identifikasi suatu
Leukosit darah putih dan kondisi yang dapat menyebabkan
persentasenya masing- anemia
masing
Hemoglobin Mengukur jumlah protein Hemoglobin rendah menunjukkan
pembawa oksigen dalam tubuh terlalu sedikit membuat
darah eritrosit
Hematokrit Mengukur berapa banyak Hematokrit rendah menunjukkan
ruang yang diambil sel anemia dan mungkin kelainan darah
darah merah dalam darah atau sumsum tulang
Mean Mengukur ukuran rata- Sel darah merah lebih besar dari
Corpuscular rata sel darah merah normal dapat menunjukkan anemia
Volume (MCV) pernisiosa. Sel darah merah lebih
kecil dari normal menunjukkan
anemia defisiensi besi atau
thalassemia
Mean Menghitung jumlah rata- Cermin hasil MCV: Sel darah merah
Corpuscular rata hemoglobin dalam lebih besar dari normal memiliki
Hemoglobin sel darah merah lebih banyak hemoglobin, lebih kecil
(MCH) dari normal biasanya lebih sedikit
Mean Menghitung konsentrasi Nilai abnormal dapat menunjukkan
Corpuscular rata-rata hemoglobin tipe anemia atau kondisi
Hemoglobin dalam sel darah merah memungkinkan lainnya
Concentration
(MCHC)
Red cell Menghitung perbedaan Jumlah perbedaan ukuran
distribution ukuran sel-sel darah menunjukkan tubuh sedang mencoba
width merah sel darah merah baru untuk
mengkoreksi anemia atau dapat
menunjukkan penyebab anemia

Pemeriksaan darah lainnya


Tes Tujuan Peran terhadap Anemia
Hapusan Darah Menunjukkan ukuran, Adanya sel darah abnormal atau
bentuk, dan jumlah immature dapat menunjukkan
eritrosit, leukosit, dan penyebab anemia
trombosit
Hitung Mengukur jumlah sel Hitung retikulosit tinggi
Retikulosit darah merah muda menunjukkan anemia hemolitik.
Hitung retikulosit rendah dapat
menunjukkan anemia defisiensi besi,
anemia pernisiosa, anemia aplastik,
dan anemia lain karena penurunan
produksi sel darah merah
Serum iron Mengukur jumlah besi Besi adalah bagian hemoglobin.
dalam darah Hampir semua besi dalam darah
Total Iron Mengukur jumlah besi diikat oleh protein yaitu transferrin.
Binding yang dapat diikat oleh Transferrin mengangkut besi ke
Capacity transferin sumsum tulang, di mana hemoglobin
(TIBC) dan sel darah merah dibuat, atau ke
Unsaturated Menentukan porsi jaringan tubuh untuk disimpan.
Iron Binding transferrin yang belum Hasil abnormal dari tes-tes ini
Capacity tersaturasi dengan besi menunjukkan anemia defisiensi besi.
Transferin Menunjukkan persentase
Saturation transferrin yang
tersaturasi dengan besi
Serum Ferritin Menggambarkan jumlah
besi yang disimpan
dalam tubuh
Coombs test Mencari antibodi yang Hasil positif menunjukkan anemia
mengarah pada sel darah hemolitik
merah
G6PD test Mengukur jumlah Hasil abnormal menunjukkan
glucose-6-phosphate defisiensi G6PD, yang dapat
dehydrogenase (G6PD) menyebabkan anemia hemolitik
dalam sel darah merah

Pemeriksaan Sumsum Tulang

Tes Tujuan Peran terhadap Anemia


Aspirasi Menunjukkan Hasil abnormal menunjukkan hanya
sumsum tulang kemampuan sumsum sedikit sel pada sumsum tulang dapat
dan biopsi tulang untuk membuat menunjukkan anemia aplastik
sumsum tulang cukup sel darah sehat

1.4.Klasifikasi
Klasifikasi anemia berdasarkan fungsinya terdapat tiga kategori besar:
(1) kerusakan produksi sel darah merah oleh sumsum tulang (hipoproliferasi)
(2) kerusakan maturasi sel darah merah (eritropoiesis inefektif)
(3) penurunan kelangsungan hidup sel darah merah (kehilangan darah/hemolisis)
2. Anemia Hemolitik
2.1.Definisi
Anemia yang terjadi karena meningkatnya penghancuran sel darah merah. Yang
membedakan anemia hemolitik dari anemia lainnya adalah pasien memiliki gejala yang
muncul akibat hemolisis. Pada tingkat klinis, gejala utama adalah jaundice, ditambah,
pasien dapat mengeluhkan perubahan warna urin. Pada banyak kasus anemia hemolitik,
limpa membesar, karena merupakan tempat utama bagi hemolysis, dan pada beberapa
kasus, hepar juga membesar. Pada semua bentuk anemia heolitik kongenital yang berat,
dapat ditemukan juga perubahan tulang oleh karena aktivitas berlebih dari sumsum
tulang.
Gambaran laboratorium dari anemia hemolitik berhubungan dengan hemolysis dan
respon eritropoietik dari sumsum tulang. Hemolisis secara terus menerus menghasilkan
peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dan aspartate aminotransferase (AST) dalam
serum, urobilinogen akan meningkat pada urin maupun feses. Jika hemolysis utamanya
intravascular, tanda utamanya adalah hemoglobinuria, di dalam serum terdapat
hemoglobin, laktat dehydrogenase (LDH) meningkat, dan haptoglobin menurun.
Secara kontras, tingkat bilirubin dapat normal atau meningkat sedikit. Gejala utama dari
respon eritropoietik oleh sumsum tulang adalah peningkatan retikulosit (uji yang sangat
sering dilewatkan saat pemeriksaan awal pasien dengan anemia). Biasanya peningkatan
akan tercermin pada persentase retikulosit dan hitung retikulosit absolut. Meningkatnya
jumlah retikulosit berhubungan dengan peningkatan mean corpuscular volume (MCV)
pada pemeriksaan darah. Pada hapusan darah, hal ini dicerminkan denga adanya
makrosit, juga polikromasia, dan kadang terlihat sel darah merah ternukleasi. Pada
banyak kasus, aspirasi sumsum tulang tidak diperlukan dalam pemeriksaan diagnostic,
namun jika dikerjakan, akan menunjukkan hyperplasia eritroid. Dalam praktiknya,
ketika anemia hemolitik dicurigai, tes spesifik biasanya akan dibutuhkan untuk
diagnosis definitive tipe spesifik dari anemia hemolitik.
2.2.Manifestasi Klinis
Sama seperti gejala pada pasien dengan anemia lainnya, gejala bervariasi dan
bergantung pada tipe dan keparahan anemia hemolitik. Hal ini dikarenakan kemampuan
tubuh untuk beradaptasi pada anemia ketika berjalan dengan lambat Beberapa gejala
merupakan gejala umum anemia seluruh tipe, seperti:
- Kelelahan dan lemas
- Kulit, mukosa, dan dasar kuku pucat
- Pusing
- Sakit kepala
- Sesak napas
- Tangan dan kaki dingin
- Nyeri dada

Gejala lain yang spesifik anemia hemolitik, menggambarkan apa yang terjadi dalam
tubuh ketika sel darah merah dihancurkan dan jumlah sel darah merah menurun. Gejala-
gejala ini termasuk:

- Jaundice
- Nyeri perut bagian atas
- Urin kemerahan atau kecokelatan
- Pembesaran limpa
- Pembesaran hepar
2.3.Diagnosis
Pemeriksaan Hematologi
Selain anemia, karakteristik gambaran laboratorum dari hemolisis adalah
retikulositosis, sebagai respon normal dari sumsum tulang terhadap hilangnya sel darah
merah tepi. Jika tidak ada penyakit sumsum tulang yang terjadi bersamaan, retikulosis
dapat terlihat dalam tiga sampai lima hari setelah penurunan hemoglobin. Pada
sejumlah kecil pasien, sumsum tulang mampu mengkompensasi secara kronis,
menyebabkan tingkat hemoglobin yang normal secara stabil. Anemia hemolitik
biasanya bersifat normositik,, walaupun tingginya retikulositosis dapat menimbulkan
peningkatan mean corpuscular volume (MCV). Trias diagnosis anemia hemolitik
adalah anemia normositik, retikulositosis, dan hyperbilirubinemia.
Pemeriksaan Kimia Darah
Destruksi sel darah merah dikarakterisasi oleh peningkatan bilirubin tak terkonjugasi,
peningkatan laktat dehydrogenase, dan penurunan tingkat haptoglobin. Laktat
dehydrogenase dan hemoglobin dilepaskan ke dalam sirkulasi ketika sel darah merah
dihancurkan. Hemoglobin bebas diubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi dalam limpa
atau mungkin diikat dalam plasma oleh haptoglobin. Kompleks hemoglobin-
haptoglobin dengan cepat dibersihkan oleh hepar, menyebabkan tingkat haptoglobin
yang rendah.
Pemeriksaan Urin
Dalam kasus hemolysis intravascular yang berat, kapasitas ikatan haptoglobin dilebihi
dengan cepat, dan hemoglobin bebas disaring oleh glomeruli. Sel tubular renal dapat
menyerap hemoglobin dan menyimpan besinya sebagai hemosiderin, hemosiderinuria
dapat terdeteksi sekitar satu minggu setelah onset hemolysis. Hemoglobinuria, yang
menyebabkan urin merah kecokelatan, diindikasikan dengan reaksi dipstick urin positif
untuk heme saat tidak adanya sel darah merah.
2.4.Patofisiologi Umum
Sel darah merah dewasa merupakan hasil suatu proses diferensiasi, di mana terjadi
akumulasi secara perlahan sejumlah besar hemoglobin dalam sitoplasma bersamaan
dengan hilangnya organ selular dan kemampuan biosintesis. Sel eritroid mengalami
apoptosis, sehingga sitoplasma dapat menyediakan oksigen kepada sel-sel tubuh
manusia selama 120 hari masa hidup sel darah merah.
Akibat proses diferensiasi dan maturase tersebut, kemampuan metabolisme menurun
secara drastis pada sel darah merah dewasa, seperti kehilangan kemampuan forforilasi
oksidatif karena hilangnya mitokondria, sehingga tidak ada cadangan untuk glikolisis
anaerobic, yang merupakan satu-satunya penyedia adenosine triphosphate (ATP).
Kemampuan membuat protein hilang dengan tidak adanya ribosom, sehingga jika ada
komponen protein yang rusak, tidak dapat digantikan, seperti pada sel lainnya, dan
aktivitas enzim menurun saat sel darah merah menua. Pada saat yang bersamaan, dalam
sirkulasi, berbagai komponen sel darah merah mengakami kerusakan. Dalam sel yang
sudah tua, protein membrane cenderung berkumpul, berikatan dengan antibody dan
komplemen, menjadi rawan termakan fagosit lalu kemudian dihancurkan melalui
fagositosis dalam system reticuloendothelial.
Konsekuensi lain dari sel darah merah adalah mereka memiliki cara yang terbatas
dalam menangani tekanan, sehingga, kegagalan metabolic apapun dapat menyebabkan
kerusakan structural membrane atau kegagalan pompa kation. Penurunan masa hidup
sel darah merah adalah definisi dari kelainan hemolitik. Bila tingkat destruksi sel darah
merah lebih tinggi dari kapasitas sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah,
gangguan hemolitik akan menjadi anemia hemolitik.
Oleh karena itu, patofisiologi utama dari anemia hemolitik pada semua anemia
hemolitik adalah meningkatnya kehancuran sel darah merah, dan pada kebanyakan
anemia hemolitik, prosesnya merupakan percepatan dari proses penuaan yang
dijelaskan di atas.
Destruksi sel darah merah merupakan stimulus bagi eritropoiesis, yang diperantarai
oleh eritropoietin (EPO) yang diproduksi oleh ginjal. Mekanisme ini sangat efektif di
mana pada banyak kasus peningkatan produksi sel darah merah oleh sumsum tulang
dapat mengimbangi peningkatan destruksi sel darah merah. Pada kasus seperti ini
hemolysis dikatakan terkompensasi, di mana tidak ada anemia. Pasien dengan kondisi
hemolitik, bahkan yang diturunkan, dapat ditemukan tanpa anemia, dan ketika menjadi
tidak terkompensasi, anemia dapat muncul tiba-tiba, pada kondisi tertentu, seperti
kehamilan, defisiensi folat, atau gagal ginjal yang mengganggu produksi EPO. Gejala
umum anemia hemolitik kronik juga ditemukan ketika ada kondisi yang terjadi
bersamaan, seperti infeksi akut, yang menekan eritropoiesis.
Ada dua mekanisme hemolisis. Hemolisis intravaskuar merupakan destruksi sel darah
merah dalam sirkulasi dengan keluarnya isi sel ke dalam plasma. Trauma mekanik dari
kerusakan endothelium, fiksasi dan aktivasi komplemen pada permukaan sel, dan agen
infeksius dapat menyebabkan degradasi membrane secara langsung dan destruksi sel.
Hemolisis ekstravaskular yang paling sering adalah destruksi dan pembuangan sel
darah merah dengan kerusakan membrane oleh makrofag di limpa dan hepar.
2.5.Klasifikasi Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik dapat diderita karena keturunan atau didapat. Secara klinis, bisa
terjadi akut atau kronis, dan dapat bervariasi dari ringan ke sangat berat. Tempat
terjadinya hemolisis dapat dominan di intravascular atau ekstravaskular. Secara
mekanisme, anemia hemolitik dapat terjadi karena penyebab intrakorpuskular atau
ekstrakorpuskular.

2.5.1. Anemia Hemolitik Keturunan


Ada tiga komponen penting pada sel darah merah, yaitu hemoglobin, kompleks
membrane sitoskeleton, dan mesin metabolik yang dibutuhkan untuk menjaga
hemoglobin dan kompleks membrane sitoskeleton tetap bekerja. Kelainan pada
membrane, enzim, dan hemoglobin dapat mengakibatkan hemolysis.
2.5.2. Anemia Hemolitik Didapat
3. Anemia Hemolitik Keturunan
3.1.Kelainan membrane
Kompleks membrane sitoskeleton sangat terintegrasi, sehingga suatu kelainan pada
komponen apapun dapat mengganggu, menyebabkan kerusakan structural, yang
mengakibatkan hemolysis. Kelainan ini hampir selalu merupakan mutase yang
diturunkan, sehingga kelainan membrane masuk ke dalam kategori anemia hemolitik
keturunan. Sebelum sel darah merah lisis, mereka biasanya menunjukkan perubahan
bentuk spesifik yang merubah bentuk normal keping bikonkaf. Mayoritas kelainan ini
dikenal dengan istilah hereditary spherocytosis dan hereditary elliptocytosis.
3.1.1. Hereditary spherocytosis
Merupakan tipe anemia hemolitik keturunan yang paling umum. Penelitian
mengatakan sel darah merah rentan untuk lisis pada media hipotonik.
Hereditary spherocytosis biasanya diturunkan secara autosom dominan,
walaupun beberapa tipe yang berat merupakan autosomal resesif. Sumsum
tulang membuat sel darah merah normal yang bikonkaf tetapi sel darah
kehilangan membrannya saat beredar melalui limpa dan sistem RES. Ratio
permukaan sel terhadap volume berkurang dan sel menjadi lebih sferis sehingga
kurang elastic melalui mikrosirkulasi dimana sferosit pecah lebih dini.
Manifestasi Klinis
Tingkat keparah klinis dari hereditary spherocytosis sangat luas. Kasus berat
dapat timbul pada bayi dengan anemia berat, di mana kasus ringan dapat muncul
pada dewasa muda atau kemudian hari. Gejala utama adalah jaundice,
pembesaran limpa, dan seringkali batu empedu, yang bila ditemukan pada
dewasa muda yang memicu investigasi diagnosis.
Manifestasi klinis yang bervariasi ini dikarenakan lesi molekul akibat mutase
yang berbeda. Pada kasus ringan hemolysis dapat terkompensasi. Namun,
variasi dapat terjadi pada pasien yang sama di waktu yang berbeda karena
adanya perubahan kondisi seperti kehamilan dan infeksi dapat menyebabkan
dekompensasi.
Ketika ada riwayat keluarga, diagnosis mudah ditegakkan berdasarkan gejala
hereditary spherocytosis dan gambaran bentuk sel darah merah. Namun, bisa
tidak ada riwayat keluarga karena pasien mengalami mutasi de novo atau pasien
memiliki bentuk resesif dari hereditary spherocytosis. Pada kasus seperti itu,
diperlukan pemeriksaan laboratorium yang lebih khusus.
Diagnosis
Anemia normositik
Peningkatan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC)  hanya
pada hereditary spherocytosis
Tes Khusus:
- Coomb’s direct test negatif.
- Cr51 destruksi oleh limpa terbanyak
- Fragilitas osmotik meningkat
- Tes acid glycerol lysis
- Tes eosin-5’-maleimide (EMA) binding
- SDS gel elektroforesis membrane protein
- Penelitian molecular mutase gen

Tata laksana
Belum ada tata laksana untuk penyebab hereditary spherocytosis, belum ada
cara yang sudah ditemukan untuk mengoreksi kecacatan strktur membrane.
Terapi yang sementara disarankan adalah splenektomi. Pada kasus ringan
splenektomi dihindari, dan ditunda sampai pubertas pada kasus sedang, atau
sampai usia 4-6 tahun pada kasus berat.
3.1.2. Hereditary Elliptocytosis
3.2.Kelainan enzim
Jika ada kelainan penting pada membrane, hemolysis merupakan konsekuensi langsung
karena perubahan struktur sel darah merah. Sedangkan ketika ada kelainan enzim,
konsekuensi akan bergantung pada peran enzim tersebut dalam mesin metabolik sel
darah merah, yang memiliki dua fungsi utama yaitu untuk menyediakan energy dalam
bentuk ATP dan untuk mencegah kerusakan oksidatif terhadap hemoglobin dan
terhadap protein lain dengan menyediakan potensi reduktif yang cukup, molekul kunci
untuk ini adalah NADPH.
3.2.1. Kelainan Jalur Glikolitik – Defisiensi Piruvat Kinase
Kelainan jalur glikolitik semuanya diturunkan dan semuanya langka. Di
antaranya, defisiensi piruvat kinase adalah yang paling kurang langka.
Gambaran klinis dari defisiensi piruvat kinase homozigot adalah anemia
hemolitik yang sering muncul pada neonatus dengan neonatal jaundice,
jaundice tersebut menetap, dan biasanya disertai retikulosis yang sangat tinggi.
Tingkat keparahan anemia bervariasi, terkadang sangat berat hingga
membutuhkan transfuse darah secara rutin, di mana terkadang ringan, berada di
perbatasan kelainan hemolitik terkompensasi. Sebagai hasilnya, diagnosis dapat
terhambat, dan pada beberapa kasus, ditegakkan pada wanita muda pada
kehamilan pertama.
Diagnosis
- Tes Coombs-negatif negative
- Enzim quantity assay
- Pemeriksaan DNA
Tata laksana
Tata laksana defisiensi piruvat kinase utamanya adalah suportif. Asam folat oral
harus diberikan secara konstan. Transfusi darah harus diberikan sesuai
kebutuhan, dan iron chelation dapat ditambahkan bila transfuse darah cukup
banyak untuk menyebabkan kelebihan besi. Pasien yang memiliki penyakit
berat dapat menjalankan splenektomi.
3.2.2. Kelainan Metabolism Redoks – Defisiensi Glucose 6-Phosphate
Dehydrogenase (Defisiensi G6PD)
G6PD adalah enzim penjaga yang penting dalam metabolism redoks pada
semua sel aerob. Pada sel darah merah, peran G6PD bahkan lebih penting,
karena menjadi satu-satunya sumber NADPH, yang secara langsung dan
melalui glutathione mempertahankan sel dari stress oksidatif.
Gen G6PD terkait kromosom X, ditemukan memiliki mutasi pada area
pengkodean gen G6PD. Mutasi ini mengakibatkan defisiensi G6PD dengan
menurunkan stabilitas in vivo dari protein, sehingga penurunan aktivitas
fisiologis G6PD yang terjadi seiring dengan penuaan sel darah merah
dipercepat. Pada beberapa kasus, fungsi katalitik juga dapat terganggu.
Defisiensi G6PD tersebar luas di area tropis dan subtropics (Afrika, Eropa
Selatan, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Oceania.
Manifestasi Klinis
Mayoritas orang dengan defisiensi G6PD secara klinis tidak memiliki gejala
selama kehidupan mereka, namun, semua memiliki peningkatan risiko untuk
mengalami neonatal jaundice, dan risiko mengalami anemia hemolitik akut
ketika diseang dengan sejumlah agen oksidatif. Neonatal jaundice oleh karena
defisiensi G6PD sangat jarang timbul saat lahir, insiden puncak onset klinis
adalah antara hari kedua dan ketiga, dan pada kebanyakan kasus, anemia tidak
berat. Namun, neonatal jaundice dapat terjadi sangat parah pada beberapa bayi
dengan defisiensi G6PD, terutama yang berhubungan dengan prematuritas,
infeksi, dan faktor lingkungan (bola naphthalene camphor, yang digunakan
pada tempat tidur dan pakaian bayi) dan mutasi bersamaan pada gen uridyl
transferase (UGT1A1, mutasi yang sama berhubungan dengan Gilbert’s
syndrome). Jika tidak ditangani secara adekuat, neonatal jaundice karena
defisiensi G6PD dapat menyebabkan kernicterus dan kerusakan neurologis
permanen.
Anemia hemolitik akut dapat timbul sebagai akibat infeksi dan obat-obatan.
Biasanya, serangan hemolitik dimulai dengan malaise, kelemahan, dan nyeri
perut atau punggung bawah. Setelah interval beberapa jam sampai 2-3 hari,
pasien mengalami jaundice dan seringkali urin pekat. Onset dapat cepat, anemia
berat sampai sangat berat, biasanya normositik dan normokromik, dan karena
hemolysis intravascular, maka berhubungan dengan hemoglobinemia,
hemoglobinuria, LDH tinggi, dan haptoglobin plasma yang rendah atau tidak
ada. Gambaran darah menunjukkan anisositosis, polikromasia, dan sferosit
yang khas pada anemia hemolitik. Gambaran yang paling khas pada defisensi
G6PD adalah adanya poikilosit yang ganjil, dengan sel darah merah yang
memiliki distribusi hemoglobin tidak merata (hemighosts) dan sel darah merah
yang tampak memiliki bagian dari mereka tergigit (bite cells atau blister cells).
Suatu tes klasik, adalah pewarnaan dengan metilen violet, yang menunjukkan
adanya Heinz bodies (terdiri dari presipitat hemoglobin dan hemikrom yang
berubah), yang dinilai sebagai kekhasan dari kerusakan oksidatif terhadap sel
darah merah. LDH tinggi, begitu juga bilirubin tak terkonjugasi, menandakan
adanya hemolysis ekstravaskular. Ancaman paling serius dari anemia hemolitik
akut adalah gagal ginjal akut.

Diagnosis
Tes skrining metode semiquantitatif dengan tes fluorescent spot untuk
penelitian populasi, dapat menggolongkan pasien laki-laki, dalam keadaan
sehat, sebagai G6PD normal atau defisiensi G6PD. Namun, pada praktis klinis,
tes diagnosis biasanya dibutuhkan ketika pasien mengalami serangan hemolitik.
Pada kondisi ini, hanya metode kuantitatif dengan yang dapat digunakan.
Defisiensi G6PD juga dapat didiagnosis dengan tes DNA.
Tata Laksana
Anemia hemolitik akut dari defisiensi G6PD dapat dicegah dengan menghindari
paparan terhadap faktor pencetus pada orang yang sudah diskrining
sebelumnya. Ketika anemia hemolitik akut terjadi dan penyebabnya telah
diketahui, pada kebanyakan kasus, tidak ada tata laksana spesifik yang
diperlukan. Namun, jika anemia tersebut berat, dapat merupakan emergensi
medis, membutuhkan terapi segera, termasuk transfusi darah. Pada beberapa
pasien, transfusi darah rutin mungkin diperlukan, di mana harus dilakukan iron
chelation.
3.3.Kelainan Hemoglobin
Hemoglobin penting untuk penghantaran oksigen ke jaringan, dan ada pada eritrosit
dalam konsentrasi tinggi sehingga dapat mengubah bentuk, kemampuan berubah
bentuk, dan viskositas sel darah merah. Kelainan hemoglobin yang mempengaruhi
struktur, fungsi, atau produksi hemoglobin biasanya diturunkan dan bervariasi dalam
keparahan anemia hemolitik.
3.3.1. Sickle Cell Anemia
Sindroma sel sabit disebabkan oleh mutasi gen yang mengubah sel darah merah
menjadi bentuk sabit. Sel sabit kehilangan sifat lunak yang dibutuhkan untuk
melalui kapiler kecil, menjadi lengket dan menempel pada endotel venula kecil
sehingga memicu penyumbatan pembuluh mikrovaskular dan penghancuran sel
darah merah premature (anemia hemolitik). Hemolisis terjadi karena limpa
menghancurkan sel darah merah abnormal. Sel yang lengket dan kaku
menyumbat pembuluh darah kecil, menyebabkan iskemik jaringan, nyeri akut,
dan kerusakan organ akhir. Manifestasi utama termasuk episode nyeri iskemik
dan malfungsi iskemik atau infarksi di limpa, system saraf pusat, tulang, sendi,
liver, ginjal, dan paru-paru.
Manifestasi Klinis
Kebanyakan pasien mengalami anemia, dengan hematocrit 15-30% dan
retikulositosis yang tinggi. Granulositosis umum terjadi, jumlah sel darah putih
dapat berfluktuasi selama krisis nyeri, episode infeksius, dan penyakit lainnya
yang terjadi bersamaan.
Vasooklusi pada struktur musculoskeletal dan jaringan penyambung
menghasilkan iskemia yang menimbulkan gejala nyeri akut, demam, takikardia,
dan ansietas berulang yang disebut krisis nyeri, yang merpakan gejala yang
paling umum. Frekuensi dan keparahan sangat bervariasi. Nyeri dapat terjadi di
mana saja di tubuh dan dapat berlangsung dari beberapa jam hingga 2 minggu.
Krisis berulang membuuhkan hospitalisasi (>3 episode per tahun) berhubungan
dengan penurunan tingkat kelangsungan hidup pada dewasa, menunjukkan
bahwa episode ini berhubungan dengan akumulasi kerusakan organ kronik.
Faktor provokatif termasuk infeksi, demam, aktivitas berlebih, ansietas,
perubahan suhu drastis, hipoksia.
Mikroinfarksi berulang dapat menghancurkan jaringan yang memiliki jaringan
mikrovaskular. Penurunan fungsi limpa menyebabkan rentan terhadap infeksi,
oklusi pada pembutuh retina dapat mengakibatkan perdarahan,
neovaskularisasi, dan pelepasan. Nekrosis papillary renal mengakibatkan
isosthenuria dan kemudian gagal ginjal. Iskemik tulang dan sendi
mengakibatkan nekrosis aseptic, artropati kronik, dan rentan terhadap
osteomyelitis. Infark pada jari mengakibatkan hand-foot syndrome. Stroke
umum terjadi pada anak-anak, dan khusus pada pria dapat terjadi priapismus
karena iskemik pada pembuluh darah penis yang mengakibatkan impotensi.
Acute chest syndrome ditandai dengan nyeri dada, takipnea, demam, batuk, dan
desaturasi oksigen arteri menyerupai pneumonia, emboli paru, emboli dan
infarksi sumsum tulang, iskemik miokard dan infarksi paru, merupakan iskemik
pada paru, menimbulkan nyeri dan disfungsi paru. Krisis kronik dapat
menyebabkan hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, sebuah penyebab umum
kematian.
Diagnosis
Anemia sel sabit dicurigai berdasarkan anemia hemolitik, morfologi sel darah
merah, dan episode nyeri iskemik berulang. Diagnosis dikonfirmasi dengan
elektroforesis hemoglobin, mass spektroskopi, dan tes sabit. Diagnosis biasanya
dibuat saat masa kanak-kanak, walaupun beberapa pasien, dengan kondisi
heterozygote, tidak mengalami gejala sampai pubertas, kehamilan, dan dewasa
muda.

Tata Laksana
Pasien dengan sindroma sel sabit membutuhkan terapi berkelanjutan.
Pencegahan dengan pemeriksaan slitlamp berkala untuk memonitor retinopati,
profilaksis antibiotic untuk pasien yang sudah splenektomi saat tindakan
invasive, hidrasi oral selama olahraga, paparan terhadap panas atau dingin,
stress emosional, dan infeksi. Vaksinasi dilakukan saat masih kecil.
Tata laksana untuk krisis nyeri akut adalah hidrasi, evaluasi penyebab, dan
analgesia. Morfin dapat digunakan untuk nyer berat, ketorolac untuk nyeri
tulang, oksigen nasal harus digunakan untuk menjaga saturasi oksigen.
Acute chest syndrome merupakan emergensi medis yang dapat membutuhkan
penanganan dalam ICU.
Penemuan terapi yang paling baru untung anemia sel sabit adalah dengan
hydroxyurea untuk pasien dengan gejala berat. Transplantasi sumsum tulang
dapat menyembuhkan namun hanya efektif dan aman pada anak-anak.
3.3.2. Thalassemia
Thalassemia adalah penyakit keturunan pada biosintesis globin α dan β,
sehingga penurunan ketersediaan globin menurunkan produksi tetramer
hemoglobin, menyebabkan hipokromia dan mikrositosis.
Manifestasi Klinis
Pada heterozigot thalassemia β hanya terjadi mikrositosis dan hipokromia,
dengan anemia minimal. Pada bentuk homozigot yang lebih berat, terbentuk
badan inklusi yang menghancurkan eritroblast di sumsum tulang, sel darah
merah yang tersisa membawa badan inklusi dan dideteksi di limpa, sehingga
memperpendek masa hidup sel darah merah dan terjadi anemia hemolitik berat.
Anemia menstimulasi eritropoietin dan hiperplasia eritroid, namun respon
sumsum tulang tersabotasi. Anemia menetap dan hyperplasia eritroid dapat
menimbulkan massa jaringan eritropoietik ekstramedular di limpa dan hepar.
Ekspansi sumsum tulang massif menghambat pertumbuhan dan perkembangan,
anak-anak timbul karakteristik wajah “chipmunk” karena hyperplasia sumsum
maksila dan frontal. Penipisan dan fraktur tulang panjang dan vertebra dapat
terjadi. Hemolitik anemia menyebabkan splenomegaly, ulkus kaki, batu
empedu, dan gagal jantung kongestif. Penggunaan nutrisi untuk eritropoiesis
menyebabkan kelemahan, kerentanan infeksi, disfungsi endokrin, dan
kematian.
Diagnosis dan Tata Laksana
Diagnosis thalassemia-β mayor ditegakkan saat anak-anak berdasarkan anemia
berat disertai karakteristik eritropoiesis inefektif: hepatosplenomegaly,
mikrositosis, hapusan darah khas, dan peningkatan HbF, HbA. Banyak pasien
membuutuhkan transfuse rutin untuk menjaga level hematocrit supaya
eritropoiesis ditahan. Splenektomi disarankan bila kebutuhan transfuse
meningkat >50% per tahun. Asam folat dapat membantu, vaksinasi Pneumovax
disarankan, juga pengawasan terhadap ulkus kaki, infeksi, dan gangguan
empedu. Evaluasi endokrin awal disarankan untuk intoleransi glukosa,
disfungsi tiroid, dan pertumbuhan pubertas seksual terhambat.
Thalassemia β minor biasanya muncul dengan hipokromia dan mikrositosis
dengan sel target, namun anemia minimal, Analisi hemoglobin biasanya
menunjukkan peningkatan HbA atau HbA normal dan Peningkatan HbF. Pasien
dengan thalassemia α dapat menunjukkan hiokromia dan mikrositosis ringan
tanpa anemia dengan level HbA dan HbF normal.

4. Anemia Hemolitik Didapat


4.1.Destruksi mekanik sel darah merah
Walaupun sel darah merah dikenal dengan kemampuan berubah bentuk yang membuat
mereka mampu menyempit melalui kapiler yang lebih sempit dari dirinya untuk ribuan
kali, ada dua situasi di mana mereka aus dan robek, menghasilkan hemolysis
intravascular, menyebabkan hemoglobinuria. Situasi pertama disebut march
hemoglobinuria yang akut dan ditimbulkan oleh diri sendiri. Biasanya dialami oleh
pelari marathon, penari dengan tanpa alas kaki, dan pemain drum. Diduga dikarenakan
oleh gerakan mekanik berulang pada tangan pada pemain drum dan pada kaki pada
pelari. Situasi lainnya bersifat kronik dan iatrogenik yang disebut microangiopathic
hemolytic anemia. Hal ini terjadi pada pasien dengan katup jantung prostetik, terutama
jika ada regurgitasi paraprostetik. Jika hemolysis karena trauma mekanik terhadap sel
darah merah ini ringan, dan suplai besi cukup, kehilangan darah akan terkompensasi.
Jika lebih berat, reintervensi untuk mengkoreksi regurgitasi akan dibutuhkan.
4.2.Infeksi
Sejauh ini penyebab infeksius yang paling sering menyebabkan anemia hemolitik
adalah malaria. Pada bagian dunia lain, penyebab langsung paling sering adalah E. coli
yang memproduksi Shiga toxin, yang sekarang dikenal sebagai penyebab utama dari
hemolytic uremic syndrome (HUS), yang lebih umum pada anak-anak daripada orang
dewasa. Hemolisis intravascular yang mengancam nyawa, oleh karena toksin dengan
aktivitas lecithinase, terjadi pada sepsis Clostridium perfringens, terutama terjadi
setelah luka terbuka, aborsi septik, atau sebagai kecelakaan karena kontaminasi darah.
Jarang, dan jika terjadi pada anak-anak, anemia hemolitik dijumpai pada sepsis atau
endocarditis dari berbagai organisme. Sebagai tambahan, infeksi bakteri dan virus dapat
menyebabkan anemia hemolitik melalui mekanisme tidak langsung.
4.3.Anemia Hemolitik Imun
Kelainan ini dapat muncul melalui dua mekanisme berbeda. Pertama, adanya antibody
yang mengarah terhadap antigen sel darah merah, contohnya molekul yang ada pada
permukaan sel darah merah. Kedua, ketika suatu antibody mengarah terhadap suatu
molekul tertentu (contohnya obat) bereaksi dengan molekul tersebut, sel darah merah
dapat terperangkap di dalam reaksi tersebut, di mana mereka rusak atau dihancurkan.
Karena antibodi yang bersangkutan memiliki temperature reaktivitas optimum yang
berbeda, mereka diklasifikasikan berdasarkan kategori waktu sebagai “dingin” dan
“hangat”. Anemia hemolitik diperantarai autoantibodi dapat terjadi sendiri (ketika
disebut idiopatik) atau sebagai bagian dari kelainan autoimun sistemik seperti systemic
lupus erythematosus (SLE).
4.3.1. Anemia Hemolitik Autoimun
Ketika sel darah merah dilapisi oleh suatu antibodi, ia akan dihancurkan melalui
satu atau lebih mekanisme. Pada kebanyakan kasus, antibodi akan dikenali oleh
makrofag, dan akan memicu eritrofagositosis. Maka, destruksi sel darah merah
akan terjadi di manapun makrofag dalam jumlah berlimpah, seperti di limpa,
hepar, atau sumsum tulang, yang diesebut hemolysis ekstravaskular. Oleh
karena anatomi khusus dari limpa, organ ini sangan efisien dalam menangkap
sel darah merah berlapis antibody, dan seringkali merupakan area dominan dari
destruksi sel darah merah. Pada beberapa kasus, sifat antibodi (biasanya
antibodi IgM) adalah membentuk kompleks antigen-antibodi yang mampu
untuk mengaktifkan komplemen, sebagai akibatnya, sejumlah besar kompleks
penyerangan membran akan terbentuk, dan sel darah merah dapat dihancurkan
secara langsung, yang disebut hemolisis intravascular.
Gejala Klinis
Anemia hemolitik autoimun adalah suatu kondisi serius, bila tanpa tata laksana
yang sesuai dapat menyebabkan kematian hingga 10%. Onset biasanya cepat
dan dapat dramatis. Kadar hemoglobin dapat jatuh, dalam beberapa hari, hingga
serendah 4 mg/dL. Penghancuran sel darah merah besar-besaran dapat
mengakibatkan jaundice, dan terkadang limpa membesar. Ketika trias ini ada,
kecurigaan anemia hemolitik autoimun harus tinggi. Ketika hemolisis terjadi
intravascular, tandanya adalah hemoglobinuria, di mana pasien dapat melapor
atau kita harus melakukan pemeriksaan.
Etiologi
Separuh dari kasus anemia hemolitik tidak diketahui penyebabnya atau disebut
idiopatik. Namun juga bisa disebabkan oleh kelainan lain yang mendasari,
seperti sistemik lupus eritematosus (SLE) atau suatu limfoma.
Diagnosis
Tes diagnosis untuk anemia hemolitik autoimun adalah tes antiglobulin direk
yang ditemukan tahun 1945 oleh R.R.A. Coombs dan dikenal sesuai namanya.
Ketika hasil tes positif, maka akan menegakkan diagnosis, ketika hasil tes
negatif mengartikan diagnosis cenderung salah. Sensitivitas tes Coombs
bervariasi bergantung pada teknik yang digunakan, dan pada kasus yang
meragukan, tes ulang pada laboratorium khusus disarankan. Istilah anemia
hemolitik autoimun Coombs negative adalah pilihan terakhir.
Ketika anemia autoimun terjadi pada seseorang yang telah diketahui untuk
memiliki lupus sistemik atau leukemia limfositik kronik, kita menyebutnya
sebagai komplikasi. Sebaliknya, ketika anemia hemolitik autoimun terjadi
sendiri, ia mungkin suatu petunjuk terhadap suatu kondisi yang mendasari yang
kita harus cari. Pada kasus manapun, apa yang menyebabkan anemia hemolitik
autoimun tetap tidak jelas, seperti pada penyakit autoimun lainnya.
Tata Laksana
Anemia hemolitik autoimun akut yang berat dapat merupakan
kegawatdaruratan medis. Tata laksana segera termasuk transfusi sel darah
merah. Hal ini dapat menimbulkan masalah khsus karena, jika antibody yang
bersangkutan nonspesifik, semua unit darah yang diberikan akan tidak cocok.
Pada kasus ini biasanya dibenarkan, walaupun bertolak belakang, untuk
mentransfusikan darah yang tidak cocok dengan alasan sel darah merah yang
ditransfusikan akan dihancurkan sama seperti sel darah merah pasien, namun
untuk sementara pasien tetap hidup. Ketika anemia tidak mengancam nyawa,
transfusi darah harus ditunda (karena masalah ketidakcocokan dapat meningkat
pada setiap unit darah yang ditransfusikan), dan tata laksana medis segera
dimulai dengan prednisone (1 mg/kg perhari). Rituximab (anti-CD20) dianggap
sebagai terapi lini kedua, namun cenderung meningkat penggunaan rituximab
dosis rendah (100 mg/minggu x 4) bersamaan dengan prednisone akan menjadi
standar lini pertama. Terapi ini tampak menurunkan tingkat relaps, kejadian
yang sering terjadi pada anemia hemolitik autoimun. Bagi pasien yang kambuh
atau tidak membaik dengan terapi medis, dapat mempertimbangkan
splenektomi, yang walaupun tidak menyembuhkan penyakit, damun
menghasilkan keuntungan besar dengan membuang area utama hemolisis,
sehingga memperbaiki anemia dan menurunkan kebutuhan terhadap terapi lain
(prednisone). Sejak adanya rituximab, obat azathioprine, cyclophosphamide,
cyclosporine, dan immunoglobulin intravena menjadi agen lini kedua dan
ketiga. Pada kasus yang sangat berat dan langka, dapat dipertimbangkan
transplantasi sel stem hematopoietik baik secara autologous atau alogenik.
4.3.2. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
Merupakan bentuk langka dari anemia hemolitik autoimun yang terjadi pada
anak-anak, biasanya dipicu oleh infeksi virus, tidak menular, dan dikarakterisasi
dengan adanya antibodi Donath-Landsteiner. Antibody ini memiliki fungsi
serologis yang unik, yaitu hanya mengikat sel darah merah pada temperature
rendah (optimal pada 4oC), namun ketika temperature meningkat pada 37oC,
lisis sel darah merah terjadi karena adanya komplemen. Sebagai akibatnya,
terjadi hemolisis intravascular yang menghasilkan hemoglobinuria. Secara
klinis diagnosis banding harus mengikutsertakan penyebab lain
hemoglobinuria, namun adanya antibody Donath-Landsteiner akan
menegakkan paroxysmal cold hemoglobinuria. Tata laksana suportif, termasuk
transfuse darah, dibutuhkan untuk mengkontrol anemia.
4.3.3. Cold Agglutinin Disease
Istilah ini digunakan sebagai bentuk dari anemia hemolitik autoimun kronik
yang biasanya menyerang lansia dan memiliki gambaran patologis dan klinis
yang khusus. Pertama, istilah dingin menunjukkan bahwa autoantibodi yang
bersangkutan sedikit atau tidak bereaksi sama sekali dengan sel darah merah
pada 37oC, dan bereaksi dengan sangat kuat pada temperature rendah. Sebagai
hasilnya, hemolisis terjadi lebih nyata jika tubuh lebih terpapar pada suhu
dingin. Antibodi biasanya adalah IgM. Kedua, antibodi diproduksi oleh klon
limfosit B, dan terkadang konsentrasinya dalam plasma tinggi sehingga muncul
sebagai spike dalam elektroforesis plasma protein. Ketiga, karena antibody
adalah IgM, CAD berhubungan dengan Waldenstrom’s macroglobulinemia.
Maka, CAD harus dianggap sebagai suatu bentuk dari Waldenstrom’s
macroglobulinemia yang muncul pada tahap yang lebih awal.
Pada bentuk cold agglutinin disease yang ringan, menghindar dari paparan
terhadap suhu dingin mungkin satu-satunya yang diperlukan untuk
memungkinkan pasien memiliki kualitas hidup yang nyaman, namun dalam
bentuk yang lebih berat, tata laksananya tidak mudah. Transfusi darah tidak
begitu efektif karena semua sel darah merah donor positif antigen I dan akan
segera dihancurkan. Tata laksana imunosupresif/ sitotoksik dengan azathioprine
atau siklofosfamid dapat menurunkan titer antibodi, namun kemanjuran terapi
terbatas, dan menurut perjalanan kronik penyakit, efek samping bisa tidak
diterima. Tidak seperti pada anemia hemolitik autoimun, prednisone dan
splenektomi tidak efektif. Plasma tukar akan membuang antibodi dan secara
teori merupakan usaha yang masuk akal namun melelahkan dan harus dilakukan
pada interval yang sering jika ingin bermanfaat. Tata laksana cold agglutinin
disease sangat meningkat dengan ditemukannya rituxizumab, walaupun
efeknya tidak sehebat pada anemia hemolitik autoimun , hingga 60% pasien
merespon, dan kekambuhan menjadi lebih lama degan kombinasi rituximab-
fludarabine.
4.4.Agen Toksik dan Obat-Obatan
Sejumlah bahan kimia dengan potensi oksidatif, dapat menyebabkan hemolisis bahkan
pada orang tanpa defisiensi G6PD. Contohnya adalah oksigen hiperbarik (oksigen
100%), nitrat, klorat, metilen biru, dapson, cisplatin, dan beberapa komponen aromatik.
Bahan kimia lainnya dapat bersifat hemolitik melalui jalur nonoksidatif, sebagian besar
mekanisme tidak diketahui, contohnya arsin, stibin, tembaga, dan timah. Anemia
hemolitik oleh karena keracunan timah dikarakterisasi dengan basofilik stippling,
fenomena ini terlihat pada defisiensi P5N, mendukung hal ini diperantarai oleh karena
timah menghambat enzim ini.
Pada kasus ini hemolisis tampak diperantarai oleh aksi kimia langsung pada sel darah
merah. Namun obat-obatan dapat menyebabkan hemolisis melalui sedikitnya dua
mekanisme lainnya. Pertama, obat dapat berlaku sebagai hapten dan menginduksi
produksi antibody. Pada orang yang langka, ini terjadi dengan penisilin. Pada paparan
berikutnya, sel darah merah terperangkap, dalam reaksi antara penisilin dan antibody
antipenisilin. Hemolisis akan berhenti segera setelah pemberian penisilin dihentikan.
Kedua, obat dapat memicu, mungkin melalui mimikri, produksi antibodi terhadap
antigen sel darah merah. Contoh utama adalah metildopa, antihipertensi yang sudah
tidak digunakan, yang pada sejumlah kecil pasien menstimulasi produksi antibodi
Rhesus, yang kemudian menyebabkan anemia hemolitik autoimun. Biasanya ini akan
hilang setelah metildopa dihentikan.
Hemolisis intravascular berat juga dapat disebabkan oleh venom dari beberapa ular
(kobra dan viper), dan anemia hemolitik juga dapat terjadi setelah gigitan laba-laba.
4.5.Paroksismal Nokturnal Hemoglobinuria
Adalah anemia hemolitik kronik didapat yang dikarakterisasi oleh hemolisis
intravascular menetap hingga eksaserbasi berulang. Selain hemolisis, seringkali
terdapat pansitopenia dan kecenderungan untuk thrombosis vena. Trias ini membuat
PNH menjadi kondisi klinis yang sangat unik. Ketika tidak semua trias muncul,
diagnosis akan terhambat sehingga dibutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut. PNH
memiliki frekuensi sama pada pria dan wanita, tersebar di seluruh dunia namun sangat
langka, lima banding satu juta. PNH tidak ditemukan diwariskan, tidak terjadi secara
kongenital, namun dapat pada anak-anak hingga lansia, namun paling sering pada
dewasa muda.
Manifestasi Klinis
Pasien dapat mencari bantuan medis karena suatu pagi dia mengeluhkan kencing darah.
Kejadian ini dapat dianggap sebagai gejala klasik, namun lebih sering gejala ini tidak
diperhatikan atau tidak muncul. Pasien muncul dengan keluhan dalam diagnosis
banding anemia, baik simtomatik atau tidak sengaja ditemukan. Terkadang anemia
berhubungan dengan mulainya neutropenia, trombositopenia, atau keduanya, yang
menunjukkan kegagalan sumsum tulang. Beberapa pasien dapat mengeluhkan serangan
berulang nyeri perut hebat dan ditemukan berhubungan dengan thrombosis. Ketika
thrombosis mengenai vena hepatic, dapat menimbulkan hepatomegaly akut, contohnya
sindroma Budd Chiari, yang ketika tidak ada penyakit hepar, meningkatkan kecurigaan
terhadap paroxysmal nocturnal hemoglobinuria.
Perjalanan penyakit PNH dapat menetap selama puluhan tahun. Tanpa tata laksana,
tingkat kelangsungan hidup diperkirakan sekitar 8-10 tahun. Penyebab kematian yang
paling umum adalah thrombosis vena, diikuti dengan infeksi sekunder karena
neutropenia berat dan perdarahan karena trombositopenia berat.
Pemeriksaan Laboratorium dan diagnosis. Hasil darah yang paling konsisten adalah
anemia, yang dapat bervariasi dari ringan hingga sedang hingga sangat berat. Anemia
biasanya normomakrositik dengan gambaran morfologi sel darah merah biasa. Jika
MCV tinggi, biasanya sebagian besar oleh karena retikulositosis. Anemia dapat
menjadi mikrositik jika pasien dibiarkan menjadi defisiensi besi sebagai akibat
kehilangan darah kronik pada urin melalui hemoglobinuria. Bilirubin tak terkonjugasi
meningkat secara ringan atau sedang, LDH meningkat tinggi, dan haptoglobin biasanya
tidak terdeteksi. Hemolobinuria mungkin jelas pada pemeriksaan urin, jika tidak, dapat
dilakukan pemeriksaan urin serial karena hemoglobinuria dapat bervariasi secara
dramatis dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Sumsum tulang biasanya selular,
dengan hyperplasia eritroid, seringkali dengan gambaran diseritropoietik. Pada fase
lanjut, sumsum dapat menjadi hiposelular atau bahkan aplastic.
Diagnosis definitif PNH harus didasarkan pada adanya sebagian besar sel darah merah
pasien mengalami peningkatan kerentanan terhadap komplemen, oleh karena defisiensi
protein pada permukaan yang seharusnya melindungi sel darah merah dari aktivasi
komplemen. Tes hemolisis sukrosa tidak dapat diandalkan, sedangkan tes acidified
serum (Ham) sangat dapat dipercaya namun hanya dilakukan di beberapa laboratorium.
Gold standard saat ini adalah flow cytometry, yang dapat dilakukan pada granulosit
juga pada sel darah merah. Distribusi bimodal dari sel, dengan populasi negative CD59
dan CD55 merupakan diagnostic PNH. Pada pasien PNH, populasi ini paling sedikit
5% dari total sel darah merah dan paling sedikit 20% dari total granulosit.
Patofisiologi
Hemolisis pada PNH utamanya intravascular dank arena kelainan intrinsic pada sel
darah merah yang mengakibatkannya sensitive terhadap komplemen. Aktivasi melalui
jalur alternative bertanggung jawab untuk hemolisis kronis pada PNH sedangkan reaksi
antigen antibody mengakibatkan eksaserbasi hemolisis seccara dramatis pada infeksi
virus atau bakteri. Kerentanan berlebih terhadap komplemen adalah karena defisiensi
beberapa protein membrane yang protektif. Defisiensi protein ini ditunjukkan bukan
karena kelainan gen yang bersangkutan, melainkan karena kekurangan molekul
glikolipid yang disebabkan mutasi gen terkait X. Mutasi ini tidak diturunkan, terjadi
pada stem sel hemopoietik. Sebagai hasilnya, sumsum pasien berisi mosaic sel mutan
dan nonmutan, dan darah perifer selalu terdiri dari sel PNH dan sel normal. Trombosis
adalah komplikasi paling mengancam nyawa dari PNH dan belum diketahui
patogenesisnya.
Kegagalan Sumsum Tulang dan Hubungan antara PNH dan Anemia Aplastik
Pasien terdiagnosis PNH dapat memiliki riwayat anemia aplastik, sehingga kegagalan
sumsum tulang sebelum PNH mungki merupakan aturannya. Namun terkadang pasien
dengan PNH menjadi kurang hemolitik dan menjadi lebih pansitopenik dan memiliki
gambaran klinis anemia aplastic.
Tata Laksana
Tidak seperti anemia hemolitik didapat lainnya, PNH dapat merupakan kondisi seumur
hidup, dan kebanyakan pasien mendapatkan terapi suportif saja, termasuk transfusi sel
darah merah kapanpun dibutuhkan, yang untuk beberapa pasien, cukup sering.
Suplemen asam folat harus diberikan (sedikitnya 3 mg/hari), besi serum harus dicek
berkala, dan suplemen besi harus diberikan secukupnya. Glukokortikoid jangka
panjang tidak diindikasikan karena tidak ada bukti memiliki efek pada hemolisis kronis,
bahkan dikontraindikasikan karena memiliki efek samping berbahaya. Penanganan
lanjut terhadap PNH adalah pengembangan suatu humanized monoclonal antibody,
eculizumab. Eculizumab diteliti efektif meningkatkan kualitas hidup setengah pasien
dengan PNH dan menurunkan kebutuhan transfuse darahnya dengan mencegah
hemolisis intravascular komplemen dependen. Satu-satunya bentuk terapi yang dapat
menyembuhkan secara definitive adalah transplantasi sumsum tulang allogenic.
Pasien dengan sindroma PNH-anemia aplastic dapat diberikan terapi imunosupresif
dengan antithymocyte globulin dan siklosporine A, untuk memperbaiki trombositipenia
dan neutropenia berat. Pasien dengan thrombosis vena serius harus diterapi
antikoagulan profilaksis rutin. Jika komplikasi trombotik tidak membaik, mungkin
diindikasikan tissue plasminogen aktivator.
5. Algoritma untuk Pasien dengan Jaundice

6. Gilbert’s Syndrome
Sindroma ini adalah kelainan genetik ringan di mana hepar tidak dapat memproses bilirubin
dengan benar sehingga terjadi penumpukan bilirubin di dalam darah. Hal ini disebabkan
karena adanya mutasi pada gen UGT1A1 ysng menyebabkan penurunan aktivitas enzim
glucoronyl transferase. Sindroma ini dikarakterisasi dengan hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi ringan yang asimptomatik, nilai normal tes biokimia hepar, dan histologi hepar
normal. Gilbert syndrome biasanya ditemukan pada dewasa muda secra tidak sengaja,
konsentrasi bilirubin serum biasanya <2-5 mg/dL, dan cenderung meningkat saat puasa dan
stress lainnya.
Gilbert syndrome dibedakan dari hepatitis dengan hasil pemeriksaan yang menunjukkan
peningkatan bilirubin tak terkonjugasi, hasil tes fungsi hepar normal, dan tida ada bilirubin
pada urin. Dibedakan dari hemolisis dengan tidak adanya anemiadan retikulositosis. Tata
laksana biasanya tidak dibutuhkan.
7. Crigler-Najjar Syndrome
Kondisi berat yang ditandai dengan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi . Jaundice
muncul sejak lahir atau bayi dan dapat mengakibatkan kernicterus.Crigler-Najjar syndrome
tipe 1 lebih berat dan bayi dapat meninggak karena kernicterus sebelum usia 1 tahun.
Sedangkan pada tipe 2 lebih ringan, pasien lebih jarang menderita kernicterus dan dapat
hidup sampai dewasa.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Resume
Anamnesis
Pasien perempuan usia 18 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala terasa berdenyut di
seluruh bagian yang berlangsung terus menerus dan semakin memberat sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit disertai rasa lemas pada seluruh tubuh. Keluhan ini sering
berulang, namun pasien tidak memperhatikan faktor pencetus, dan biasanya hilang dengan
sendirinya dalam beberapa hari. Pasien juga sering merasa pusing. Mata dan kulit pasien
tampak kuning, yang dikatakan sudah lama sejak sekitar empat tahun SMRS. Kekuningan
tersebut biasanya tampak lebih jelas saat penyakit pasien sedang kambuh dan tampak
mereda saat pasien sedang dalam kondisi sehat. Sama halnya dengan urin pasien, warna
urin pasien kecokelatan seperti teh jika sedang sakit.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4 V5 M6)
Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 90/60 mmHg
 Laju nadi : 88 kali/menit
 Laju napas : 18 kali/menit
 Suhu tubuh : 37oC
 VAS : 3/10

Status gizi

 Berat badan: 48 kg
 Tinggi badan: 155 cm
 BMI: 19,98 kg/m2

Mata : Konjungtiva anemis, sklera ikterik

Mulut : Mukosa oral pucat


Abdomen

 Inspeksi : datar, tidak ada lesi


 Auskultasi : Bising usus terdengar, kesan normal
 Palpasi : supel, terdapat nyeri tekan di kuadran kanan atas. Hepar teraba dua jari
di bawah arcus costae dextra, tepi tumpul, konsistensi lunak. Limpa teraba.
 Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen. Tidak ada nyeri ketok
costovertebral angle.

Kulit : Warna sawo matang, ikterik. Kuku pucat.

Pemeriksaan Penunjang
Hematologi (02 Juni 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 8,0 g% 11 – 16,5
Leukosit 5.300 /uL 4.000 – 11.000
Eritrosit 2.740 Juta/uL 3,6 – 5,8 juta
Trombosit 277.000 /uL 150.000 – 450.000
Hematokrit 23,3 % 36 - 45
Nilai MC
- MCV 85,0 fL 80 - 96
- MCH 29,2 Pg 27 - 33
- MCHC 34,3 % 32 - 36
Hitung Jenis Leukosit
- N. Segmen 72,1 % 35 - 70
- Limfosit 18,8 % 20 - 50
- Monosit 9,1 % 2 - 10

Fungsi Hati (02 Juni 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
SGOT 38 U/L < 35
SGPT 37 U/L < 35
Bilirubin Total 7,66 mg/dL 0,1 – 1,2
Bil. Direk/Indirek 1,09/6,57 mg/dL Direk: <0,3;
Indirek: 0,1 – 1,0
HBsAg Negatif Non Reaktif

Urinalisa (02 Juni 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Kimia
Berat Jenis 1.000 1.003 – 1.035
pH 6.0 4,5 – 8
Leukosit Esterase 30 (1+) Leukosit/uL Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Albumin/ Protein Negatif g/L Negatif
Glukosa Negatif mg/L Negatif
Keton Negatif mg/L <=1
Urobilinogen Negatif Umol/L Negatif
Bilirubin Negatif Umol/L Negatif
Darah 200 (3+) Eritrosit/L
Sedimen Mikroskopik
Erotrosit 20 – 30 LPB 0–2
Leukosit 2–4 LPB 0-5
Silinder Negatif LPK
Epithel Cell Gepeng: 2 – 4 LPK
Bakteri Negatif Negatif
Kristal Negatif
Lain-lain -
Makroskopik
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih

USG Abdomen
Kesan : - Cholelithiasis ukuran + 1,5 cm
- Sugestif gastritis
Apusan Darah Tepi (04 Juni 2018)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hemoglobin 6,9 g% 11 – 16,5
Leukosit 4.900 /uL 4.000 – 11.000
Eritrosit 2.280 Juta/uL 3,6 – 5,8 juta
Trombosit 221.000 /uL 150.000 – 450.000
Hematokrit 19,0 % 36 - 45
Nilai MC
- MCV 6,9 fL 80 - 96
- MCH 4.900 Pg 27 - 33
- MCHC 2.280 % 32 - 36
Hitung Jenis Leukosit
- N. Segmen 64,0 % 35 - 70
- Limfosit 23,3 % 20 - 50
- Monosit 12,7 % 2 - 10

Morfologi Darah Tepi

 Leukosit : Jumlah kesan cukup, ditemukan granul halus pada beberapa neutrophil,
blast (-)
 Eritrosit : Normokrom-normositer, benda inklusi (-), polikromasia (-),
normoblast (-)
 Trombosit : Jumlah kesan cukup, giant cell (+), agregasi trombosit (-)
 Kesan : Gambaran apusan darah tepi menunjukkan anemia normositik
normokrom disertai tanda infeksi ringan causa bakterial
 Saran : - Kontrol darah lengkap post terapi
- Konfirmasi dengan tanda klinis

2. Diagnosis Anemia Hemolitik


2.1. Jaundice dan hyperbilirubinemia tak terkonjugasi
- Peningkatan bilirubin tak terkonjugasi
- Fungsi hepar normal
Fungsi Hati (02 Juni 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
SGOT 38 U/L < 35
SGPT 37 U/L < 35
Bilirubin Total 7,66 mg/dL 0,1 – 1,2
Bil. Direk/Indirek 1,09/6,57 mg/dL Direk: <0,3;
Indirek: 0,1 – 1,0

Gilbert’s Syndrome
Sindroma ini adalah kelainan genetik ringan di mana hepar tidak dapat memproses
bilirubin dengan benar sehingga terjadi penumpukan bilirubin di dalam darah. Hal ini
disebabkan karena adanya mutasi pada gen UGT1A1 ysng menyebabkan penurunan
aktivitas enzim glucoronyl transferase. Sindroma ini dikarakterisasi dengan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan yang asimptomatik, nilai normal tes
biokimia hepar, dan histologi hepar normal. Gilbert syndrome biasanya ditemukan
pada dewasa muda secara tidak sengaja, konsentrasi bilirubin serum biasanya <2-5
mg/dL, dan cenderung meningkat saat puasa dan stress lainnya.
Gilbert syndrome dibedakan dari hepatitis dengan hasil pemeriksaan yang
menunjukkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi, hasil tes fungsi hepar normal,
dan tida ada bilirubin pada urin. Dibedakan dari hemolisis dengan tidak adanya anemia
dan retikulositosis. Tata laksana biasanya tidak dibutuhkan.
2.2. Anemia normositik normokrom
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 6,9 g% 11 – 16,5
Nilai MC
- MCV 83,3 fL 80 - 96
- MCH 30,3 Pg 27 - 33
- MCHC 36,3 % 32 - 36

2.3. Hemoglobinuria
Urinalisa (02 Juni 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Kimia
Darah 200 (3+) Eritrosit/L
Sedimen Mikroskopik
Erotrosit 20 – 30 LPB 0–2
2.4. Colelithiasis
Anemia hemolitik kronik meningkatkan risiko terbentuknya batu empedu pigmen
USG Abdomen
Kesan : - Cholelithiasis ukuran + 1,5 cm

2.5. Apusan Darah Tepi

Morfologi Darah Tepi

 Leukosit : Jumlah kesan cukup, ditemukan granul halus pada beberapa neutrophil,
blast (-)
 Eritrosit : Normokrom-normositer, benda inklusi (-), polikromasia (-),
normoblast (-)
 Trombosit : Jumlah kesan cukup, giant cell (+), agregasi trombosit (-)
 Kesan : Gambaran apusan darah tepi menunjukkan anemia normositik
normokrom disertai tanda infeksi ringan causa bakterial
 Saran : - Kontrol darah lengkap post terapi
- Konfirmasi dengan tanda klinis

3. Tipe Anemia Hemolitik


Anemia Hemolitik Autoimun
Separuh dari semua kasus anemia hemolitik adalah merupakan anemia hemolitik autoimun.
Kecurigaan terhadap anemia hemolitik tinggi jika perjalanannya cepat dan hemoglobin
turun dalam hitungan hari, penghancuran sel darah merah menimbulkan jaundice, dan
terkadang limpa membesar.

02 Juni 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 8,0 g% 11 – 16,5
04 Juni 2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hemoglobin 6,9 g% 11 – 16,5
4. Tata Laksana Anemia Hemolitik
4.1. Tata Laksana Umum
- IVFD D5% 16 tetes per menit
- Bionemi 1 kapsul/ 24 jam PO*
Pada hampir semua tipe anemina hemolitik dan anemia pada umumnya, suplementasi
asam folat dan besi, serta zat-zat lainnya dianjurkan untuk membantu proses produksi
sel darah merah.
*Bionemi mengandung Fe fumarate 360 mg, Ca carbonate 200 mg, folic acid 1,5 mg,
vit B12 15 mcg, vit C 75 mg, vit D3 400 iu
- Transfusi PRC
Pada pasien dengan anemia digunakan packed red cell untuk mengganti sel darah
merah.

4.2. Tata Laksana Khusus Anemia Hemolitik Autoimun


- Methylprednisolone tablet 12 mg/ 8 jam PO
Tata laksana medis segera dimulai dengan prednisone (1 – 1,5 mg/kg perhari).
Efektifitas Methylprednisolone adalah 4 banding 5 dengan Prednisone.
4.3. Tata Laksana Cholelithiasis
- Curcuma 1 tablet/ 8 jam PO
Batu empedu pada kasus anemia hemolitik adalah batu pigment sehingga tidak bisa
diberikan tata laksana berupa asam ursodeoksikolat seperti pada batu kolesterol.
Pemberian curcuma menurut penelitian membantu kontraksi kantung empedu
sehingga membantu penghancuran dan pengeluaran batu.
4.4. Tata Laksana Infeksi
- Inj. Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam IV
Apusan Darah Tepi
Kesan : Gambaran apusan darah tepi menunjukkan anemia normositik normokrom
disertai tanda infeksi ringan causa bakterial
4.5. Tata Laksana Simptomatik
- Ibuprofen tablet 400 mg/ 8 jam PO
- Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam IV
Sebagai terapi pada gastritis dan sebagai pelindung dari pemberian NSAID terhadap
pasien
5. Saran Pemeriksaan Lanjutan
- Hitung retikulosit
- Coomb’s test

6. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam: dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson J, Loscalzo J. Harrison's Principles of


Internal Medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill Professional Publishing; 2015.
2. Khan H, Sohail M, Ali A, Akhtar N, Khan H, Rasool F. Symptoms-Based Evaluation of
Iron Deficiency Anemia in Students of Bahawalpur Correlated with their Eating Habits.
Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 2014;13(5):769.
3. U.S. Department of Health and Human Services. Your Guide to Anemia. Bethesda, MD:
The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI); 2011.
4. Chaudhary R, Das S. Autoimmune hemolytic anemia: From lab to bedside. Asian Journal
of Transfusion Science. 2014;8(1):5.
5. Packman C. The Clinical Pictures of Autoimmune Hemolytic Anemia. Transfusion
Medicine and Hemotherapy. 2015;42(5):317-324.
6. Zanella A, Barcellini W. Treatment of autoimmune hemolytic anemias. Haematologica.
2014;99(10):1547-1554.
7. Salama A. Treatment Options for Primary Autoimmune Hemolytic Anemia: A Short
Comprehensive Review. Transfusion Medicine and Hemotherapy. 2015;42(5):294-301.
8. World Health Organization. Clinical Transfusion Practice Guidelines for Medical Interns.
Bangladesh: Ministry of Health and Family Welfare (MOHFW);.
9. American Red Cross. Practice Guidelines for Blood Transfusion. Rockville, MD: Dr.
Dennis Kunkel; 2007.
10. King KE, Bandarenko N. Blood Transfusion Therapy: A Physician's Handbook. 9th ed.
Bethesda, Md.: American Association of Blood Banks; 2008:236.

Anda mungkin juga menyukai