Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

EKLAMSIA, PRE EKLAMSIA, ABORTUS


Dosen Pembimbing: Ns. Achmad Kusyairi, S.Kep.,M.Kep.

Di Susun Oleh:
1. Bayu Laksono 6. Muhammad Fuad M
2. Elok susilowati 7. Nurdiana Kholidah
3. Firmansyah W.A 8. Siti Hofi Datur R
4. Hayunda 9. Syamsiah Candrawati
5. Istatutik nabillah 10. Imam Wahyudi Irawan

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES HASHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN EKLAMPSIA, PRE EKLAMPSIA,
ABORTUS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Ajar
Kegawat Daruratan Sistem II

Mengetahui,
Dosen Mata Ajar

Ns. Achmad Kusyairi, S.Kep.,M.Kep.

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT.
Atas segala limpah rahmat dan hidayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini, dan sholawat serta salam semoga selalu tercurah
limpahkan kepada proklamator sedunia, pejuang tangguh yang tak gentar
menghadapi segala rintangan demi umat manusia, yakni Nabi Muhammad SAW.
Adapun maksud penulisan makalah ini adalah memenuhi tugas di STIKES
Hafshawaty, saya susun dalam bentuk kajian ilmiah dengan judul “Laporan
Pendahuluan Eklampsia, Pre Eklampsia dan Abortus” dan dengan selesainya
penyusunan makalah ini, saya juga tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, SH.MM sebagai pengasuh pondok
pesantren Zainul Hasan Genggong.
2. Ns. Iin Aini Isnawaty, S.Kep.,M.Kes. sebagai ketua STIKES Hafshawaty
Pesantren Zainul Hasan Genggong.
3. Ana Fitria N, M.Kep, sebagai Ketua Prodi S1 Keperawatan.
4. Achmad Khusyairi, M. Kep Sebagai dosen mata ajar Kegawat Daruratan
Sistem II.
5. Santi Damayanti,A.Md. sebagai ketua perpustakaan STIKES Hafshawaty
Pesantren Zainul Hasan Genggong.
Pada akhirnya atas penulisan materi ini saya menyadari bahwa sepenuhnya
belum sempurna. Oleh karena itu, saya dengan rendah hati mengharap kritik dan
saran dari pihak dosen dan para audien untuk perbaikan dan penyempurnaan pada
materi makalah ini.

Probolinggo, Mei 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul............................................................................................... i
Lembar Pengesahan.......................................................................................... ii
Kata Pengantar.................................................................................................. iii
Daftar Isi........................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 3
1.3 Tujuan......................................................................................................... 3
1.4 Manfaat....................................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Eklampsia .................................................................................................. 4
2.2 Preeklampsia............................................................................................... 11
2.3 Abortus....................................................................................................... 23
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 34
3.2 Saran........................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eklampsia adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau
masa nifas ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah
menunjukkan gejala-gejala preeclampsia (hipertensi, edems, proteinuri). (Wirjoatmodjo,
2000: 49).
Dari kasus persalinan yang dirawat di rumah sakit 3-5 % merupakan eklampsia.
Dari kasus tersebut 6 % terjadi pada semua persalinan, 12 % terjadi pada primi gravida.
Masih tingginya angka kejadian ini dapat dijadikan sebagai gambaran umum tingkat
kesehatan ibu bersalin dan tingkat kesehatan masyarakat secara umum.
Dengan besarnya pengaruh pre eklampsia terhadap tingginya tingkat kematian
bulin, maka sudah selayaknya dilakukan upaya untuk mencegah dan
menanganikasuskasus pre eklampsia. Perawatan pada bulin dengan preeklamsia
merupakan salah satu usaha nyata yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya
komplikasi-komplikasi sebagai akibat lanjut dari pre eklampsia tersebut.
Preeklamsia merupakan kondisi yang terjadi selama masa kehamilan yang ditandai
dengan adanya peningkatan tekanan darah dan proteinuria (Chapman & Charles 2013).
Preeklamsia bisa dikatakan komplikasi yang umum terjadi pada kehamilan, yang ditandai
dengan tekanan darah meningkat pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan berlanjut
sampai usia kehamilan 40 minggu (Asghari,Faramarzi & Mohammadi, 2016).
Menurut World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa prevelensi
hipertensi dalam kehamilan, paling banyak di Amerika Latin dan Karibia (26%),
Australia (14,1%), Afrika serta Asia (9%), Skotlandia (5,8%), Seattle (5%) dan Israel
(2,8%) (Jeyabalan, 2014; Shamsi, Saleem & Nishter, 2013).
Sementara itu menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tahun 2012 sampai dengan tahun 2015, menunjukkan
penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun. AKI tahun 2012 yaitu 359 kematian ibu
per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKI tahun 2015 yaitu 305 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup. Di lihat dari penyebab terjadinya AKI antara lain perdarahan
(28%), preeklamsia (24%), infeksi (11%), penyebab lain-lain (11%), komplikasi masa
nifas (8%), persalinan lama/macet (5%), abortus (5%), dan emboli obstetrik (3%)
(Kemenkes, 2015).

1
Sementara itu, di Jawa Timur AKI cenderung menurun tiga tahun terakhir. Pada
tahun 2015, AKI Provinsi Jawa Timur mencapai 89,6 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 93,52 per
100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2015, AKI tertinggi terdapat di Kabupaten
Bondowoso yaitu sebesar 188 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKI terendah
ada di Kabupaten Madiun yaitu sebesar 41,9 per 100.000 kelahiran. Dilihat dari
penyebab tertinggi kematian ibu pada tahun 2015 adalah Peeklampsia sebesar (31%),
penyebab lain lain (26%), perdarahan (25%), jantung (12%), sedangkan penyebab paling
kecil adalah infeksi sebesar (6%) (Dinkes, 2015).
Berdasarkan uraian di atas mengenai prevelensi AKI akibat preeklamsia yang di
alami ibu terdapat beberapa faktor-faktor penyebab terjadinya preeklamsia, salah satunya
adalah penanaman plasenta yang abnormal dan invasi trofoblastik dangkal, terjadi secara
bersamaan yang mengakibatkan penurunan perfusi plasenta. Arteri uterus ibu tidak
mampu melakukan vasodilatasi fisiologi normal, sehingga aliran darah akan terhambat
oleh adanya perubahan aterotik yang menyebabkan obstruksi di dalam pembuluh darah.
Patologis ini menyebabkan peningkatan resistensi sirkulasi uteroplasenta di sertai dengan
hambatan aliran darah intervili yang mengakibatkan iskemia dan hipoksia (Chapman &
Charles 2013).
Apabila kondisi preeklamsia di biarkan begitu lama, dapat menyebabkan
perubahan pada ibu, seperti perubahan fisik yang ditandai dengan penambahan berat
badan ibu akibat tubuh membengkak, tekanan darah yang tinggi, proteinuria, nyeri
kepala, oligouria dan nyeri epigastrium.
Abortus yaitu pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar
kandungan yang menurut para ahli ada sebelum usia 16 minggu dan 28 minggu dan
memiliki berat badan 400-1000 gram, tapi jika terdapat fetus hidup kurang dari 400 gram
itu dianggap keajaiban karena semakin tinggi berat badan anak waktu lahir makin besar
kemungkinan untuk dapat hidup terus. (Amru Sofian, 2012)

Abortus dapat disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya ada factor kelainan
ovum (sel telur), factor kelainan genetic ibu, gangguan sirkulasi plasenta, penyakit yang
diderita ibu, anthagonis rhesus, rangsangan yang dapat menggugurkan bayi, bahkan
banyak diantaranya karena factor kesengajaan.

Kini banyak kasus abortus yang dilakukan dengan kesengajaan. Kebanyakan dari
kasus ini terjadi pada kaum remaja, terutama remaja dibawah umur yang hamil diluar
nikah. Adanya kasus tersebut meningkan angka aborsi di Indonesia. Oleh karena itu,

2
kami mengangkat makalah tentang aborsi ini agar pembaca dan penulis dapat lebih
mengetahui dan memahami tentang aborsi.

1.1 RUMUSAN MASALAH


Bagaiman asuhan keperawatan dengan kasus Eklamsia, Pre Eklamsia, Abortus?

1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada pasien Eklamsia, Pre Eklamsia, Abortus
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi dari Eklamsia, Pre Eklamsia, Abortus
2. Untuk mengetahui etiologi dan klasifikasi dari Eklamsia, Pre Eklamsia, Abortus
3. Pembaca dapat menjelaskan patofisiologi dari Eklamsia, Pre Eklamsia, Abortus
4. Pembaca mampu mengidentifikasi tanda, gejala dan Eklamsia, Pre Eklamsia,
Abortus
5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan dari Eklamsia, Pre Eklamsia, Abortus
6. Mampu mendeskripsikan komplikasi dari Eklamsia, Pre Eklamsia, Abortus
1.3 MANFAAT
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan
a. Terciptanya mahasiswa yang paham tentang proses terjadinya Eklamsia, Pre
Eklamsia, Abortus
b. Menambah referensi pendidikan mengenai laporan pendahuluan Eklamsia, Pre
Eklamsia, Abortus
1.4.2 Bagi Mahasiswa
Untuk menambah wawasan mengenai konsep terjadinya Eklamsia, Pre Eklamsia,
Abortus

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EKLAMPSIA

2.1.1 Definisi Eklampsia

Eklampsia adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau
masa nifas ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah
menunjukkan gejala-gejala preeclampsia (hipertensi, edems, proteinuri).
(Wirjoatmodjo, 2000: 49). Eklampsia adalah suatu keadaan dimana didiagnosis ketika
preeklampsia memburuk menjadi kejang (helen varney;2007).

Eklampsia merupakan serangan konvulsi yang mendadak atau suatu kondisi yang
dirumuskan penyakit hipertensi yang terjadi oleh kehamilan, menyebabkan kejang dan
koma, (kamus istilah medis : 163,2001).

Eklampsia merupakan serangan kejang yang diikuti oleh koma, yang terjadi pada
wanita hamil dan nifas (Ilmu Kebidanan : 295, 2006)

2.1.2 Etiologi

Sampai saat ini, etiologi pasti dari eklampsia belum diketahui. Ada beberapa teori
mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut sehingga kelainan ini
sering dikenal sebagai the diseases of theory. Adapun teori-teori tersebut antara lain :

1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan


2. Peran faktor imunologis
3. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen pada pre-
eklampsi/eklampsi.
4. Peran faktor genetik
5. Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi eklampsi pada anak-anak dari ibu
yang menderita eklampsi.
6. Peran renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS)

Dengan penyebab kematian ibu adalah perdarahan otak, payah jantung atau payah
ginjal, dan aspirasi cairan lambung atau edema paru – paru. Sedangkan penyebab

4
kematian bayi adalah asfiksia intrauterine dan persalinan prematuritas. Mekanisme
kematian janin dalam rahim pada penderita eklampsia :
a. Akibat kekurangan O2 menyebabkan perubahan metabolisme ke arah lemak dan
protein dapat menimbulkan badan keton.
b. Meransang dan mengubah keseimbangan nervus simfatis dan nervus vagus yang
menyebabkan :
 Perubahan denyut jantung janin menjadi takikardi dan dilanjutkan menjadi
bradikardi serta irama yang tidak teratur.
 Peristaltis usus bertambah dan sfingter ani terbuka sehingga di keluarkannya
mekonium yang akan masuk ke dalam paru – paru pada saat pertama kalinya
neonatus aspirasi.
c. Sehingga bila kekurangan O2 dapat terus berlangsung keadaan akan bertambah gawat
sampai terjadinya kematian dalam rahim maupun di luar Rahim. Oleh sebab itu perlu
memperhatikan komplikasi dan tingginya angka kematian ibu dan bayi. Maka usaha
utama adalah mencegah pre eklampsia menjadi eklampsia perlu diketahui bidan dan
selanjutnya melakukan rujukan ke rumah sakit.

2.1.3 Klasifikasi
Eklampsia di bagi menjadi 3 golongan :

1. Eklampsia antepartum ialah eklampsia yang terjadi sebelum persalinan (ini paling
sering terjadi)
a. kejadian 15% sampai 60 %
b. serangan terjadi dalam keadaan hamil
2. Eklampsia intrapartum ialah eklampsia saat persalinan
a. Kejadian sekitar 30 % sampai 35 %
b. Saat sedang inpartu
c. Batas dengan eklampsia gravidarum sulit ditentukan
3. Eklampsia postpartum ialah eklampsia setelah persalinan
a. Kejadian jarang
b. Terjadinya serangan kejang atau koma setelah persalinan berakhir

2.1.4 Manifestasi Klinis

Eklampsia terjadi pada kehamilan 20 minggu atau lebih, yaitu: kejang-kejang atau
koma. Kejang dalam eklampsia ada 4 tingkat, meliputi :

5
1. Tingkat awal atau aura ( invasi ) Berlangsung 30 – 35 detik, mata terpaku dan terbuka
tanpa melihat ( pandangan kosong ), kelopak mata dan tangan bergetar, kepala diputar
ke kanan dan ke kiri.
2. Stadium kejang tonik Seluruh otot menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam
dan kaki membengkok kedalam, pernafasan berhenti, muka mulai kelihatan sianosis,
lidah dapat tergigit, berlangsung kira – kira 20 – 30 detik.
3. Stadium kejang klonik Semua otot berkontraksi dan berulang – ulang dalam waktu
yang cepat, mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa, dan lidah dapat
tergigit.Mata melotot, muka kelihatan kongesti dan sianosis.Setelah berlangsung 1 -2
menit kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar, menarik nafas, seperti
mendengkur.
4. Stadium koma Lamanya ketidaksadaran ini beberapa menit sampai berjam –
jam.Kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya penderita tetap dalam
keadaan koma.

2.1.5 Patofisiologi

Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang
berlebihan dalam ruang interstitial. Bahwa pada eklampsia di jumpai kadar aldosteron
yang rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi dari pada kehamilan normal.
Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan
natrium. Serta pada eklampsia parmeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.

Pada plasenta dan uterus terjadi penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi pertumbuhan janin terganggu sehingga terjadi
gawat janin sampai menyebabkan kematian karena kekurangan oksigenasi. Kenaikan
tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering terjadi pada eklampsia, sehingga
mudah terjadi pada partus prematurus.

Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah dalam ginjal menurun, sehingga
menyebabkan filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan pada ginjal yang penting ialah
dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin dengan retensi garam dan air.
Mekanisme retensi garam dan air akibat perubahan dalam perbandingan antara tingkat
filtrasi glomerulus dan tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Pada kehamilan normal
penyerapan ini meningkat sesuai dengan kenaikan filtrasi glomerulus. Penurunan filtrasi
glomerulus akibat spasmus arterioles ginjal menyebabkan filtrasi natriummelalui

6
glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan retensi air. Filtrasi
glomerulus dapat turun sampai 50% dari normal, sehingga menyebabkan dieresis turun
pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria atau anuria.

Pada retina tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada beberapa
arteri jarang terlihat perdarahan atau eksudat. Pelepasan retina disebabkan oleh edema
intraokuler dan merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan. Setelah persalinan
berakhir, retina melekat lagi dalam 2 hari samapai 2 bulan. Skotoma, diplopia, dan
ambiliopia merupakan gejala yang menunjukkan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini
disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau
dalam retina.

Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian penderita eklampsia.


Komplikasi disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri. Perubahan pada otak bahwa
resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih tinggi pada
eklampsia. Sehingga aliran darah ke otak dan pemakaian oksigen pada eklampsia akan
menurun. Metabolism dan elektrolit yaitu hemokonsentrasi yang menyertai eklampsia
sebabnya terjadi pergeseran cairan dan ruang intravaskuler keruang interstisial. Kejadian
ini, diikuti oleh kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, dan bertambahnya
edema, menyebabkan volume darah edema berkurang, viskositet darah meningkat, waktu
peredaran darah tepi lebih lama. Karena itu, aliran darah ke jaringan di berbagai tubuh
berkurang akibatnya hipoksia. Dengan perbaikan keadaan, hemokonsentrasi berkurang,
sehingga turunnya hematokrit dapat dipakai sebagai ukuran perbaiakan keadaan penyakit
dan berhasilnya pengobatan.

Pada eklampsia, kejang dapat menyebabkan kadar gula darah naik untuk sementara.
Asidum latikum dan asam organic lain naik, dan bicarbonas natrikus, sehingga
menyebabkan cadangan alakali turun. Setelah kejang, zat organic dioksidasi sehingga
natrium dilepaskan untuk dapat berekreasi dengan asam karbonik menjadi bikarbaonas
natrikus. Dengan demikian, cadangan alakali dapat pulih kembali. Pada kehamilan cukup
bulan kadar fibrinogen meningkat. Waktu pembekuan lebih pendek dan kadang-kadang
ditemukan kurang dari 1 menit pada eklampsia.

PATHWAY

Ketidakefektifan
bersihan jalan Peredaran darah dinding rahim berkurang (ischaemia rahim)
Penurunan
Resikoperfusi
tinggi ke
7
Kelebihan Resiko cedera
Lidahnafas
Placenta
Kejang
berbuih
atau decidua mengeluarkan
Peningkatan
Vasokonstriksi
Eklampsia
zat-zat
renin
yangangiotensin
menyebabkan spasme organ
Penurunan dan
Peningkatan
(ischaemia
terjadinya ke
plasma
fetal
volume
Oedemacairan pada janin
uterplacenta)
dan ginjal
aldosteron uteroplacenta
dalam
hematokrit
sirkulasi
distress
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a.Darah rutin
b. Pemeriksaan darah lengkap
2. Pemeriksaan diagnostic
a. Ultrasonografi

8
b. Elektrokardiograf

2.1.7 Penatalaksanaan Umum

1. Penanganan Kejang :
a. Beri obat anti konvulsan
b. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedeka, sedotan, masker O2
dan tabung O2 ).
c. Lindungi pasien dengan keadaan trauma.
d. Aspirasi mulut dan tonggorokkan
e. Baringkan pasien pada posisi kiri, trendelenburg untuk mengurangi resiko aspirasi
f. Beri oksigen 4-6 liter / menit
2. Penanganan Umum :
a. Jika tekanan diastolic > 110 mmHg, berikan hipertensi sampai tekanan diastolic
diantara 90-100 mmHg.
b. Pasang infuse RL dengan jarum besar (16 gauge atau lebih)
c. Ukur keseimbangan cairan jangan sampai terjadi overload
d. Kateterisasi urine untuk mengeluarkan volume dan proteinuric
e. Jika jumlah urine kurang dari 30 ml / jam
f. Infus cairan dipertahankan 1 1/8 ml/jam
g. Pantau kemungkinan oedema paru
h. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan
kematian ibu dan janin.
i. Observasi tanda-tanda vital, refleks dan denyut jantung setiap jam
j. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda oedema paru. Jika ada oedema paru
hentikan pemberian cairan dan berikan diuretic
k. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan beadside
l. Dosis awal : beri MgSO4 (4 gram) per IV sebagai larutan 20%, selama 5 menit.
Diikuti dengan MgSO4 (50%) 5 gr 1ml dengan 1 ml lignokain 2% (dalam setopril
yang sama) pasien akan merasa agar panas sewaktu pemberian MgSO4.
m. Dosis pemeliharaan : MgSO4 (50%) 5 gr + lignokain 2% (1ml) 1 m setiap 4 jam
kemudian dilanjutkan sampai 24 jam pasca persalinan atau kejang terakhir n.
Sebelum pemberian MgSO4 periksa : frekuensi pernafasan minimal 16 / menit.
Refleks Patella (+), urin minimal 30 ml / jam dalam 4 jam terakhir o. Stop
pemberian MgSO4, jika : frekuensi pernafasan < / > p. Siapkan antidotlim jika
terjadi henti nafas, Bantu dengan ventilator. Beri kalsium glukonat 2 gr ( 20 ml
dalam larutan 10%) IV perlahan-lahan sampai pernafasan mulai lagi.

2.1.8 Pencegahan Eklamsia


Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah atau frekuensinyadi
kurangi. Usaha – usaha untuk menurunkan eklampsia terdiri atas meningkatkan
jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita haiml

9
memeriksa diri sejak hamil muda, mencari pada tiap pemeriksaan tanda – tanda pre
eklampsia dan mengobatinya segera apabila ditemukan, mengakhiri kehamilan
sedapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila dirawat tanda – tanda pre
eklampsia tidak juga dapat hilang (Hanifa dalam Prawiroharjo, 2005).

2.1.9 Komplikasi

Komplikasi yang terberat adalah kematia ibu dan janin, usaha utama adalah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeclampsia dan eklampsia.

1. Terhadap janin dan bayi.

a. Solution plasenta Karena adanya tekanan darah tinggi, maka pembuluh darah
dapat mudah pecah sehingga terjadi hematom retoplasenta yang menyebabkan
sebagian plasenta dapat terlepas.
b. Asfiksia mendadak, persalinan prematuritas, kematian janin dalam rahim.
c. Hemolisis Kerusakan atau penghancuran sel darah merah karena gangguan
integritas membran sel darah merah yang menyebabkan pelepasan hemoglobin.
Menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus.
2. Terhadap ibu
a.Hiprofibrinogenemia Adanya kekurangan fibrinogen yang beredar dalam darah,
biasanya dibawah 100mg persen. Sehingga pemeriksaan kadar fibrinogen harus
secara berkala.
b. Perdarahan otak Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian
maternal pada penderita eklampsia.
c.Kelainan mata Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung
sampai seminggu. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina yang merupakan
tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
d. Edema paru – paru
e. Nekrosis hati Nekrosis periportal hati pada eklampsia merupakan akibat
vasopasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
f. Sindroma HELLP Merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-tanda :
hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia yang diakibatkan
disfungsi endotel sistemik. Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan
kehamilan trimester dua sampai beberapa hari setelah melahirkan.
g. Kelainan ginjal Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu
pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur
lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.

10
h. Komplikasi lain yaitu lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat
kejang - kejang pneumonia aspirasi, dan DIC.
i. Prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intra uterin.

2.2 PREEKLAMPSIA

2.2.1 Definisi

Preeklampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil,


bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, penambahan berat badan akibat edema,
dan protein uria tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau
hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan
berusia 28 minggu atau lebih (Fadlun & Feyanto, 2011; Mitayani, 2011; Sukarni &
Sudarti, 2014).

Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan vaskular yang


terjadi sebelum kehamilan, saat terjadi kehamilan atau pada permulaan nifas.
Hipertensi yang muncul pada saat kehamilan adalah hipertensi akut, karena hanya
muncul pada saat hamil, dan sebagian besar tidak memiliki riwayat hipertensi
sebelumnya (Hutahaean, 2013).

2.2.2 Etiologi

Penyebab preeklampsia sampai sekarang tidak diketahui. Tetapi ada teori yang
dapat menjelaskan tentang penyebab preeklamsia, yaitu bertambahnya frekuensi pada
primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa. Bertambahnya
usia kehamilan yang semakin tua, dapat terjadi kematian janin dalam uterus,
timbulnya hipertensi, edema, protenuria, kejang dan koma (Sukarni & Sudarti, 2014).

Manuaba, Chandranita dan Fajar, (2007); Fauziyah (2012); Martaadisoebrata,


Wirakususmah dan Effendi, (2013) menyebutkan beberapa teori tentang terjadinya
HDK (hipertensi dalam kehamilan) antara lain :

1. Teori Genetik
Berdasarkan teori ini, hipertensi pada kehamilan dapat diturunkan pada
anak perempuannya sehingga sering terjadi hipertensi sebagai komplikasi
kehamilannya. Kejadian hipertensi pada`kehamilan berikutnya atau ketiga akan
semakin berkurang, hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama
pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang

11
semakin sempurna pada kehamilan berikutnya (Manuaba, Chandranita & Fajar,
2007). Kemungkinan preeklamsia berhubungan dengan gen resesif tunggal, yang
meningkat pada anak perempuan yang lahir dari ibu yang menderita preeklamsia.
Mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus terhadap kejadian preeklamsia
(Fauziyah, 2012).
2. Teori iskemia plasenta/hipoksia pada fetus
Pada preeklamsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki
resistensi vascular disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri
spiralis pada tahap kedua. Akibatnya, terjadi gangguan aliran di daerah intervili
yang menyebabkan penurunan perfusi daerah plasenta. Hal ini dapat
menimbulkan iskemik dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya
pertumbuhan bayi intrauterine (I UGR) hingga kematian bayi (Fauziyah, 2012;
Manuaba, Chandranita & Fajar, 2007).
3. Teori Disfungsi Endotel
Pada preeklamsia terjadi kerusakan sel endotel akan mengkibatkan
menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat
pembentukan prostasiklin dan meningkatkannya produksi tromboksan sebagai
kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut. Preeklamsia berhubungan
dengan adanya vasospasme dan aktivitasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan
aktifitas tromboksan memegang peranan sentral pada proses ini dimana hal ini
sangat berubungan dengan ketidaksembangan antara tromboksan dan protasiklin
(Fauziyah, 2012).
4. Teori Imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkina maladaptasi imunologis
sebagai patofisiologi dari preeklamsia. Pada penderita preeklamsia terjadi
penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang nomotensi
yang dimulai sejak awal trimester II. Antibody yang melawan sel endotel
ditemukan pada 50% wanita dengan preeklamsia, sedangkan pada kontrol hanya
terdapat 15% (Fauziyah, 2012). Maladaptasi imunologi juga diduga terjadi akibat
rendahnya ekspresi HLA-G dijaringan trofoblas ekstravili, yang berakibat pada
gangguan vaskularisasi plasenta (Martaadisoebrata, Wirakususmah & Effendi,
2013).
5. Faktor nutrisi
Faktor nutrisi juga diduga berhubungan dengan sindrom preeklamsia.
Kejadian preeklamsia meningkat pada beberapa keadaan, seperti kukurangan
zat/vitamin antioksidan (C, E beta karoten), kekurangan kalsium dan protein,

12
kelebihan garam natrium atau kekurangan asam lemak tak jenuh
(polyunsaturated fatty acid, PUFA) (Martaadisoebrata, Wirakususmah & Effendi,
2013).
Peran kalium dalam hipertensi kehamilan sangat penting diperhatikan
karena kekurangan kalium dapat memicu terjadinya hipertensi. Kalium berfungsi
untuk membatu pertumbuhan tulang janin, mempertahankan konsentrasi dalam
darah pada aktivitas kontraksi otot. Kontraksi otot pembuluh darah sangat penting
karena dapat mempertahankan tekanan darah (Manuaba, Chandranita & Fajar,
2007).

2.2.3 Faktor Resiko Preeklampsia

Menurut Chapman dan Charles (2013); Salmah, Rusmiati, Maryanah Dan


Susanti (2006); Dewi dan Sunarsih (2011); Norma dan Dwi (2013), berbagai faktor
risiko terhadap hipertensi pada kehamilan preeklamsia/eklamsi menghasilkan hal-hal
sebagai berikut :

1. Usia
Insiden tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.
Pada wanita hamil berusia dari 25 tahun insiden >3 kali lipat. Pada wanita hamil
berusia lebih dari 35 tahun dapat terjadi hipertensi laten (Dewi & Sunarsih, 2011).
Usia ibu >35 tahun memperparah risiko. Menurut riwayat, ibu dibawah usia 20
tahun dilaporkan berisiko tinggi, meskipun studi terkini pada ibu dibawah usia 19
tahun yang melahirkan memperlihatkan angka preeklamsia yang rendah,
meskipun kebanyakan partisipannya adalah ibu primigravida (Chapman &
Charles, 2013).
2. Paritas
a. Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua (Dewi & Sunarsih,
2011). Menurut Chapman dan Charles (2013) melaporkan, ibu 10x lipat
berisiko mengalami preeklamsia pada kehamilan pertama.
b. Primigravida tua risiko lebih tinggi untuk preeklamsia berat (Dewi & Sunarsih,
2011).
3. Faktor keturunan
Jika ada riwayat preeklamsia/ eklamsia pada ibu/nenek penderita, faktor
risiko meningkat sampai 25% (Dewi & Sunarsih, 2011). Menurut Chapman dan
Charles (2013) mengungkapkan riwayat keluarga, yaitu ibu atau saudara

13
perempuan yang mengalami preeklamsia, akan meningkatkan risiko hinga 4-8 kali
lipat.
4. Faktor gen
Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan oleh
genotip ibu dan janin (Dewi & Sunarsih, 2011).
5. Diet/ gizi
Menurut World Health Organization (WHO) tidak ada hubungan bermakna
antara menu/pola diet tertentu. Namun menurut penelitian lain menyebutkan bahwa
kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka
kejadian juga lebih pada ibu hamil yang obesitas/overweight (Dewi & Sunarsih,
2011). Obesitas (indeks massa tubuh ≥ 30) meningkatkan risiko hingga empat kali
lipat (Chapman & Charles, 2013).
6. Tingkah laku/sosial ekonomi
Kebiasaan merokok: insiden pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat
yang jauh lebih tinggi. Aktivitas fisik selama hamil: istirahat baring yang cukup
selama hamil mengurangi kemungkinan/insiden hipertensi dalam kehamila (Dewi
& Sunarsih, 2011). Menurut Salmah, Rusmiati, Maryanah Dan Susanti (2006)
mengatakan ibu hamil yang perokok aktif atau pasif ada hubungan dengan
kelahiran bayi dengan berat badan rendah, yang berdampak pada perkembangan
anak.
7. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarium lebih tinggi kemungkinannya pada
kehamilan kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik. Hidrops fetalis:
berhubungan, mencapai sekitar 50% kasus.
Diabetes mellitus: angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan
preeklamsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal/vascular primer akibat
diabetesnya (Chapman & Charles, 2013; Norma & Dwi, 2013).
Molahidatidosa: diduga akibat degenerasi trofoblast berlebihan berperan
menyebabkan preeklamsia. Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi
lebih dini/ pada usia kehamilan muda, ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal
juga sesuai dengan preeklamsia (Dewi & Sunarsih, 2011; Fauziyah, 2012; Norma
& Dwi, 2013).
8. Stress dan kegelisahan (kecemasan) selama kehamilan karena perubahan sekresi
hormon vasoaktif atau pemancar neuroendokrin lainnya, dapat menyebabkan
peningkatan risiko preeklamsia (Kordi, Vahed, Talab, Mazloum & Lotfalizadeh,
2017).

14
2.2.4 Klasifikasi Preeklampsia

Menurut Martaadisoebrata, Wirakususmah dan Effendi, (2013); Norma dan


Dwi, (2013); walyani dan purwoastuti, (2015); Sukarni dan Sudarti, (2014)
preeklamsia digolongkan ke dalam preeklamsia ringan dan preeklamsia berat dengan
gejala dan tanda sebagai berikut :

1. Preeklamsia Ringan
Preeklamsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut: tekanan darah
140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring terlentang; atau
kenaikn diastolic 15 mmHg atau lebih; atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau
lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan
jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam. Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka;
atau kenaikan berat badan 1 kg atau lebih perminggu. Proteinuria kwantatif 0,3 gr
atau lebih per liter; kwalitatif 1 + atau 2 + pada urin kateter atau midstream
(Sukarni & Sudarti, 2014). Nyeri kepala sementara, tidak ada gangguan
penglihatan, tidak ada nyeri ulu hati (Norma & Dwi, 2013).
2. Preeklamsia berat
Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih. Proteinuria 5 gr atau lebih per
liter. Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam. Adanya gangguan
serebral (sakit kepala menetap), gangguan visus, dan rasa nyeri pada epigastrium.
Terdapat edema paru dan sianosis (Sukarni & Sudarti, 2014). Pemeriksaan kadar
enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina, trombosit kurang
dari 100.000/mm Kreatin (Norma & Dwi, 2013).
Gangguan penglihatan biasanya penglihatan menjadi kabur, bahkan
terkadang penderita menjadi buta. Gangguan ini disebabkan vasospasme, edema
atau ablasi retina. nyeri kepala hebat akibat vasospasme atau edema otak, edema
paru dan sianosis, gangguan kesadaran. Pemeriksaan serum ≥ 1,2 mg/dl.
Hemolisis dan peningkatan kadar LDH Peningkatan kadar serum transaminase
(SGOT dan SGPT) (Martaadisoebrata, Wirakususmah & Effendi, 2013).

2.2.5 Tanda dan Gejala Preeklampsia

Menurut Mitayani, (2011); Fauziyah, (2012); Sukarni dan Sudarti (2014)


gejala pada preeklamsia sebagai berikut :

1. Tekanan darah

15
Peningkatan tekanan darah merupakan tanda peningkatan awal yang
penting pada preeklamsia. Tekanan diastolik merupakan tanda prognostic yang
lebih andal dibandingkan dengan tekanan sistolik. Tekanan diastolic sebesar 90
mmHg atau lebih yang terjadi terus-menerus menunjukkan keadaan abnormal
(Mitayani, 2011).

2. Kenaikan berat badan


Peningkatan berat badan yang tiba-tiba mendahului serangan preeklamsia
dan bahkan kenaikan berat badan (BB) yang berlebihan merupakan tanda pertama
preeklamsia pada sebagian wanita. Peningkatan BB normal adalah 0,5 kg per
minggu. Bila 1 kg dalam seminggu, maka kemungkinan terjadinya preeklamsia
harus di curigai. Peningkatan berat badan terutama disebabkan karena retensi
cairan dan selalu dapat di temukan sebelum timbul gejala edema yang terlihat
jelas seperti kelopak mata yang bengkak atau jaringan tangan yang membesar
(Mitayani, 2011).

3. Proteinuria
Pada preeklamsia ringan, proteinuria hanya minimal 1+, 2+, atau tidak
sama sekali. Pada kasus berat proteinuria dapat ditemukan dan dapat mencapai
10g/dL. Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan hipertensi dan
kenaikan BB yang berlebihan (Mitayani, 2011).
Keberadaan proteinuria sangat menentukan preeklamsia, yang
menunjukkan bahwa kerusakan telah mencapai tingkat gromelurus ginjal
sehingga fungsinya mulai menurun atau bersifat patologis. Proteinuria yang
bersifat tetap dan melebihi +2 atau 2 gr/24 jam menunjukkan kerusakan fungsi
ginjal yang serius karena akan terjadi peningkatan kreatinin dan dapat
menimbulkan hemolisis (Fauziyah, 2012).

Menurut Mitayani (2011) Gejala – gejala subjektif yang di rasakan pada


preeklamsia adalah berikut :

1. Nyeri kepala
Jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi akan sering terjadi
pada`kasus-kasus yang berat. Nyeri kepala sering terjadi pada daerah frontal
dan oksipital, serta tidak sembuh dengan pemberian analgetik biasa (Mitayani,
2011).
2. Nyeri epigastrium

16
Merupakan keluhan yang sering ditemukan pada preeklamsia berat.
Keluhan ini disebabkan karena tekanan pada kapsula hepar akibat edema atau
perdarahan (Mitayani, 2011).
3. Gangguan penglihatan
Keluhan penglihatan yang tertentu dapat disebabkan oleh spasme
arterial, iskemia dan edema retina dan pada kasus-kasus yang langka
disebabkan oleh ablasio retina. Pada preeklamsia ringan tidak ditemukan
tanda-tanda subjektif (Mitayani, 2011).

Menurut Sukarni dan Sudarti (2014) Biasanya tanda-tanda preeklamsia timbul


dalam urutan: pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema,
hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada preeklamsia ringan tidak ditemukan
gejala-gejala subyektif. Pada preeklamsia berat didapatkan sakit kepala didaerah
prontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual dan
muntah.

Kordi, Vahed, Talab, Mazloum dan Lotfalizadeh (2017); Hanan, Awad & Ade
(2017) berpendapat preeklamsia menimbulkan gejala berupa kecemasan, stress,
gangguan tidur, depresi dan marah – marah.

2.2.6 Patofisiologi Preeklampsia

Pada preeklamsia terjadi pada spasme pembuluh darah yang disertai dengan
retensi garam dan air. Pada biopsy ginjal ditemukan spasme hebat pada arteriola
glomerolus. Pada beberapa kasus, lumen arteriole sedemikian sempitnya sehingga
hanya dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi, jika semua arteriola didalam tubuh
mengalami spasme maka tekanan darah dengan sendirinya akan naik, sebagai usaha
untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi.
Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan air yang
berlebihan dalam ruangan interstisial belum diketahui sebabnya, ada yang
mengatakan disebabkan oleh retensi air dan garam. Proteinuria mungkin disebabkan
oleh spasme arteriola, sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Marmi,
Suryaningsih & Fatmawati, 2011; Mitayani, 2011).

Vasospasme bersama dengan koagulasi intravascular akan menyebabkan


gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ. Gangguan multiorgan terjadi
pada organ – organ tubuh diantaranya otak, darah, paru – paru, hati/liver, renal dan

17
plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan terjadinya edema serebri dan
selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakanial. Tekanan intrakranial yang
meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya
kejang sehingga menimbulkan diagnose keperawatan risiko cedera (Sukarni &
Sudarti, 2014)

PATHWAY

Faktor predisposisi : primigravida, hidramnion, gemelli, mola, hidatidosa,


gestase, usia, lebih dari 35 tahu, obesitas

PREEKLAMSI

Vasospasme kerusakan
vaskuler

Hipertensi Penurunan tekanan

Osmotic koloid

Oedema

Ganguan perfusi gangguan keseimbangan


cairan dan elektrolit

Otak : nyeri kepala, penurunan kesadaran

Kardiovaskular : penurunan plasma, syok resiko tinggi cedera

Jaringan / otot : penimbunan asam laktat

Ginjal : BUN : proteinuria

Gangguan perfusi jaringan ginjal

18
Ganguan rasa nyaman

2.2.7 Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap
1) Penurunan hemoglobin (normalnya untuk wanita hamil 12 – 14 gr%)
2) Hematokrit meningkat (normalnya 37 – 43%) (Mitayani, 2011).
3) Trombosit menurun dibawah 100, sering kali dipertimbangkan untuk
melahirkan bayi (normalnya 150-450 ribu/mm3) (Chapman & Charles,
2013).
b. Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine (Mitayani, 2011).
c. Pemeriksaan fungsi hati
Preeklamsia dapat menyebabkan berbagai masalah pada hati, misalnya
hematoma subkapsuler, rupture dan infark hati (Chapman & Charles, 2013).
1) Bilirubin meningkat (Normal < 1 mg/dl).
2) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
3) Asparat aminomtransferase (AST) > 60 ul.
4) Serum glutamate pirufat transaminase (SGPT) meningkat (normal 15-45
u/l).
5) Serum glutamate oxaloacetic transaminase (SGOT) menigkat (normal <
31u/l).
4) Total protein serum menurun (normal 6,7 – 8,7 g/dl) (Mitayani, 2011).
d. Tes kimia darah
Asam urat meningkat (normal 2,4 – 2,7 g/dl) (Mitayani, 2011).
Pemeriksaan kadar asam urat digunakan untuk mengkaji tingkat
keparahan dan perjalanan penyakit. Akan tetapi, penyakit yang berat biasa
saja muncul saat konsentrasi asam urat rendah, normal, tinggi (Chapman &
Charles, 2013).
2. Radiologi
a. USG (Ultrasonografi)
Ditemukannya retardasi pertumbuhan janin intrauterus. Pernapasan
intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit.
b. Kardiotokograf (CTG)
Dapat member informasi tentang kesejahteraan janin, tapi tidak dapat
memprediksi preeklamsia. Di ketahui denyut jantung bayi lemah (Chapman
& Charles, 2013).
c. CT scan hepar
Menunjukkan adanya hematoma subkapsularis di hepar (Hutahaean,
2013).
d. MRI

19
Memungkinkan diperolehnya resolusi yang lebih baik, tetapi kausa
mendasar tentang lesi-lesi masih belum mendasar (Hutahaean, 2013).

2.2.8 Penatalaksanaan Preeklampsia

Adapun penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada ibu hamil yang mengalami
hipertensi adalah sebagai berikut :

1. Medis
a. Obat anti kejang MgSO4
1) Lodaing dose: Injeksi 4 g IV bolus MgSO4 40% (10cc MgSO4 40% +
10 cc Aquades) diberikan IV secara perlahan selama 15-20 menit.
2) Maintenance dose: 6 g MgSO4 40% 15cc larutan MgSO4 dilarutkan ke
dalam 500 cc Ringer Laktat selama 6 jam : (28 tts/menit).
3) Jika didapatkan kejang ulang setelah 15 menit, Tambahan 2 g IV bolus
MgSO4 40% berikan 5cc MgSO4 diencerkan dengan 5cc aquabidest.
Berikan selama 5 menit, dapat diulang 2 kali. Jika masih kejang kembali
beri diazepam.
4) Dosis rumatan MgSO4:
a) 6 g MgSO4 40% (15cc MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500 cc
larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu berikan melalui infuse 28
tetes/menit selama 6 jam (1 g/jam).
b) Diberikan hingga 24 jam setelah persalinan atau setelah kejang
terakhir.
5) Perhatikan :
a) Frekuensi nafas > 16x/menit
b) Refleks Patela +/+
c) Jumlah urin minimal 0,5 cc/kgBB/jam
d) Tersedia Ca Glukonas 10% (antidotum), diberikan jika refleks
patella menghilang dan distres pernapasan (Long et al, 2016).
b. Terapi obat antihipertensi
Pemakain obat antihiperetnsi sebagai upaya mempertahankan
kehamilan atau memodifikasi prognosis perinatal pada kehamilan dengan
penyulit hipertensi dalam berbagai tipe dan keparahan telah lama menjadi
perhatian (Hutahaean, 2013).
1) Nifedipin
Panduan local mungkin bervariasi, tapi dosis yang
direkomendasikan adalah 10 – 20 mg per oral diulangi setiap 30
menit sehingga dosis maksimum 50 mg (Chapman & Charles, 2013).
2) Labelatol

20
Memiliki kelebihan karena dapat diberikan per oral pada kasus
hipertensi berat dan selanjutnya diberikan melalui intravena
(Chapman & Charles, 2013).
c. Penundaan persalinan pada hipertensi berat
Ibu dengan hipertensi berat biasanya harus segera menjalani persalinan.
Pada tahun – tahun terakhir, berbagai penelitian di seluruh dunia
menganjurkan pendekatan yang berbeda dalam penatalaksanaan ibu dengan
hiperetnsi berat yang jauh dari aterm. Pendekatanan ini menganjurkan
penatalaksanaan konservatif atau menunggu terhadap kelompok tertentu ibu
hamil dengan hipertensi berat yang bertujuan memperbaiki prognosis janin
tanpa mengurangi keselamatan ibu ( Hutahaean, 2013).
d. Terminasi kehamilan
Pada hipertensi sedang atau berat yang tidak membaik setelah rawat
inap biasanya dianjurkan untuk dilakukan terminasi janin (persalinan) demi
kesejahteraan ibu dan janin. Persalinan sebaiknya diinduksi dengan oksitosin
intravena. Apabila tampaknya induksi persalinan hamper pasti gagal atau
upaya induksi gagal, diindikasikan seksio sesaria untuk kasus – kasus yang
lebih parah ( Hutahaean, 2013).
1. Non medis
a. Pendekatan nutrisi (diet rendah garam, diit tinggi protein, suplemen
kalsium, magnesium).
b. Anjurkan cukup istirahat baring
c. Hindari kafein, merokok dan alcohol.
d. Pembatasan aktifitas fisik (Purwaningsih & Fatmawati, 2010).

2.2.9 Komplikasi Preeklamsia

Bergantung pada derajat preeklamsia yang dialami. Namun, yang termasuk


komplikasi antara lain sebagai berikut: Solosio plasenta, Hipofibrinogenemia,
Hemolisis, Perdarahan otak, Kelainan mata, Edema paru, qNekrosis hati, Sindrom
Hellp, Kelainan ginjal dan Prematuritas (Purwaningsih & Fatmawati, 2010).

2.3 ABORTUS

2.3.1 Pengertian

21
Abortus atau lebih dikenal dengan istilah keguguran adalah pengeluaran hasil

konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar rahim. Janin belum mampu hidup di luar

rahim, jika beratnya kurang dari 500 g, atau usia kehamilan kurang dari 28 minggu

karena pada saat ini proses plasentasi belum selesai. Pada bulan pertama kehamilan

yang mengalami abortus, hampir selalu didahului dengan matinya janin dalam Rahim

(Manuaba, 2007:683).
\
2.3.2 Etiologi

Penyebab keguguran sebagian besar tidak diketahui secara pasti, tetapi beberapa faktor

yang berpengaruh adalah :

1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menimbulkan kematian janin dan cacat

bawaan yang menyebabkan hasil konsepsi dikeluarkan, gangguan pertumbuhan hasil

kosepsi dapat terjadi karena:

a. Faktor kromosom: Gangguan terjadi sejak semula pertemuan kromosom, termasuk

kromosorn seks.

b. Faktor lingkungan endometritum.Endometrium belurn siap untuk menerima implasi

hasil konsepsi.Gizi ibu kurang karena anemia atau terlalu pendek jarak kehamilan.

2. Pengaruh luar

a. Infeksi endometrium, endometrium tidak siap menerima hasil konsepsi.


b. Hasil konsepsi terpengaruh oleh obat dan radiasi menyebabkan pertumbuhan hasil
konsepsi terganggu.
3. Kelainan pada plasenta

a. Infeksi pada plasenta dengan berbagai sebab, sehingga palsenta tidak dapat

berfungsi.

b. Gangguan pembuluh darah palsenta, diantaranya pada diabetes melitus.

c. Hipertensi menyebabkan gangguan peredaran darah palsenta sehingga

menimbulkan keguguran.

22
4. Penyakit ibu
Penyakit ibu dapat secara langsung mempengaruhi pertumbuhan janin dalam
kandungan melalui plasenta:
a. Penyakit infeksi seperti pneumonia, tifus abdominalis, malaria, sifilis.
b. Anemia ibu melalui gangguan nutrisi dan peredaran O2 menuju sirkulasi
retroplasenter.
c. Penyakit menahun ibu seperti hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, penyakit
diabetes melitus.
5. Kelainan yang terdapat dalam rahim
Rahim merupakan tempat tumbuh kembangnya janin dijumpai keadaan abnormal
dalam bentuk mioma uteri, uterus arkatus, uterus septus, retrofleksi uteri, serviks
inkompeten, bekas operasi pada serviks (konisasi, amputasi serviks), robekan serviks
postpartum.
6. Faktor antibody autoimun, terutama : Antibody antiphosfolipid :
a. Menimbulkan thrombosis, infrak plasenta, perdarahan
b. Gangguan sirkulasi dan nutrisi menuju janin dan diikuti abortus
c. Antibody anticardiolipin, dalam lupus anticoagulant (LAC)
d. Menghalangi terbentuknya jantung janin sehingga akan menyebabkan abortu

2.3.3 Manifestasi Klinis


1. Nyeri hebat

2. Perdarahan banyak, Perdarahan memanjang, sampai terjadi keadaan anemis.

3. Perdarahan mendadak banyak menimbulkan keadaan gawat.

4. Sudah terjadi abortus dengan mengeluarkan jaringan tetapi sebagian masih berada di

dalam uterus

5. Pemeriksaan dalam :

a. Servik masih membuka, mungkin teraba jaringan sisa

b. Perdarahan mungkin bertambah setelah pemeriksaan dalam

6. Pembesaran uterus sesuai usia kehamilan

23
7. Tes kehamilan mungkin masih positif akan tetapi kehamilan tidak dapat

dipertahankan.

8. Terjadi infeksi ditandai dengan suhu tinggi.

9. Dapat terjadi degenerasi ganas (kario karsinoma).


10. Setelah terjadi abortus dengan pengeluaran jaringan, perdarahan berlangsung terus.
11. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang di anggap
corpusglium, maka uterus akan berusaha mengeluarkan dengan mengadakan
kontraksi. Tetapi kalau keadaan ini di biarkan lama, serviks akan menutup
kembali.

2.3.4 Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh

nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian

atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini

menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang

dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi korialis

belum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu

villi korialis menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak

dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14

minggu keatas umumnya yang dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul

beberapa waktu kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas

dengan lengkap. Peristiwa abortus ini menyerupai persalinan dalam bentuk miniature.

Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya

kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas dan

mungkin pula janin telah mati lama. Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam

waktu yang cepat maka ia dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah, isi uterus dinamakan

mola kruenta. Bentuk ini menjadi mola karnosa apaila pigmen darah telah diserap dan

24
dalam sisanya terjadi organisasi sehingga semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain

adalah mola tuberose, dalam hal ini amnion tampak berbenjol – benjol karena terjadi

hematoma antara amnion dan korion.

Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses

mumifikasi diamana janin mengering dan karena cairan amnion berkurang maka ia jadi

gepeng (fetus kompressus). Dalam tingkat lebih lanjut ia menjadi tipis seperti kertas

perkamen (fetus papiraseus).

Pathway

Perdarahan
nekrosis

Hasil konsepsi
terlepas dari uterus

Uterus berkontraksi

25
Hasil konsepsi keluar Hasil konsepsi keluar
sempurna (abortus tidak sempurna (abortus
kompletus) inkompletus)

Merasa kehilangan
perdarahan

Ansietas

Duka cita Kekurangan


volume
cairan
Stress

Risiko
infeksi
Nyeri
Akut

Risiko syok
Intoleransi aktifitas

26
2.3.5 Klasifikasi

Klasifikasi abortus digolongkan menjadi 2 yaitu:

1. Abortus spontaneous yaitu abortus yang terjadi dengan tidak didahului faktor-

faktor mekanis atau medisinalis, tetapi karena faktor alamiah. Aspek klinis abortus

spontaneus meliputi:

a. Abortus Imminens

Abortus Imminens adalah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada

kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan

tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosis abortus imminens ditentukan apabila

terjadi perdarahan pervaginam pada paruh pertama kehamilan. Yang pertama

kali muncul biasanya adalah perdarahan, dari beberapa jam sampai beberapa

hari kemudian terjadi nyeri kram perut. Nyeri abortus mungkin terasa di

anterior dan jelas bersifat ritmis, nyeri dapat berupa nyeri punggung bawah

yang menetap disertai perasaan tertekan di panggul, atau rasa tidak nyaman

atau nyeri tumpul di garis tengah suprapubis. Kadang-kadang terjadi

perdarahan ringan selama beberapa minggu.

b. Abortus insipiens

Abortus Insipiens adalah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum

20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat tetapi hasil

konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering

dan kual perdarahan bertambah.

c. Abortus inkompletus

Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu

dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Apabila plasenta (seluruhnya

atau sebagian) tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan
yang merupakan tanda utama abortus inkompletus. Pada abortus yang lebih

lanjut, perdarahan kadang-kadang sedemikian masif sehingga menyebabkan

hipovolemia berat.

d. Abortus kompletus

Pada abortus kompletus semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada

penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan

uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat dipermudah apabila hasil

konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar

dengan lengkap.

e. Abortus Servikalis

Pada abortus servikalis keluarnya hasil konsepsi dari uterus dihalangi oleh

ostium uteri eksternum yang tidak membuka, sehingga semuanya terkumpul

dalam kanalis servikalis dan serviks uteri menjadi besar, kurang lebih bundar,

dengan dinding menipis. Pada pemeriksaan ditemukan serviks membesar dan

di atas ostium uteri eksternum teraba jaringan. Terapi terdiri atas dilatasi

serviks dengan busi Hegar dan kerokan untuk mengeluarkan hasil konsepsi

dari kanalis servikalis.

f. Missed Abortion

Missed abortion adalah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi

janin yang telah mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih.

Etiologi missed abortion tidak diketahui, tetapi diduga pengaruh hormone

progesterone. Pemakaian Hormone progesterone pada abortus imminens

mungkin juga dapat menyebabkan missed abortion.

g. Abortus Habitualis
Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih

berturut turut. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi

kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu.

2. Abortus provokatus (abortus yang sengaja dibuat) yaitu menghentikan kehamilan

sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya dianggap bayi belum

dapat hidup diluar kandungan apabila kehamilan belum mencapai umur 28

minggu, atau berat badanbayi belum 1000 gram, walaupun terdapat kasus bahwa

bayi dibawah 1000 gram dapat terus hidup. Abortus ini terbagi menjadi dua yaitu :

a. Abortus medisinalis (abortus therepeutika)

Abortus medisinalis adalah abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan

bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu ( berdasarkan

indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan dua sampai tiga tim

dokter ahli

b. Abortus kriminalis

Abortus kriminlis adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan – tindakan

yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.

2.3.6 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan Ginekologi:

1. Inspeksi vulva

a. Perdarahan pervaginam sedikit atau banyak

b. Adakah disertai bekuan darah

c. Adakah jaringan yang keluar utuh atau sebagian

d. Adakah tercium bau busuk dari vulva

2. Pemeriksaan dalam speculum

a. Apakah perdarahan berasal dari cavum uteri

b. Apakah ostium uteri masih tertutup / sudah terbuka


c. Apakah tampak jaringan keluar ostium

d. Adakah cairan/jaringan yang berbau busuk dari ostium.

3. Pemeriksaan dalam

a. Apakah portio masih terbuka atau sudah tertutup


b. Apakah teraba jaringan dalam cavum uteri
c. Apakah besar uterus sesuai, lebih besar atau lebih kecil dari usia kehamilan
d. Adakah nyeri pada saat porsio digoyang
e. Adakah rasa nyeri pada perabaan
f. Adakah terasa tumor atau tidak
g. Apakah cavum douglasi menonjol, nyeri atau tidak

4. Pemeriksaan kadar Hb, golongan darah dan uji padanan silang (crossmatch)

a. Bila terdapat tanda – tanda sepsis, berikan antibiotic yang sesuai

b. Temukan dan hentikan segera sumber perdarahan

c. Lakukan pemantauan ketat tentang kondisi pasca tindakan dan perkembangan

lanjut.

2.3.7 Penatalaksanaan
Penanganan umum:
1. Kuretase dapat dilakukan untuk mengeluarkan sisa hasil konsepsi dalam uterus
Sebelum dilakukan kuretase, biasanya pasien akan diberikan obat anestesi
(dibius) secara total dengan jangka waktu singkat, sekitar 2-3 jam. Setelah pasien
terbius, barulah proses kuretase dilakukan.Ketika melakukan kuret, ada 2 pilihan
alat bantu bagi dokter. Pertama, sendok kuret dan kanula/selang. Sendok kuret
biasanya dipilih oleh dokter untuk mengeluarkan janin yang usianya lebih dari 8
minggu karena pembersihannya bisa lebih maksimal. Sedangkan sendok kanula
lebih dipilih untuk mengeluarkan janin yang berusia di bawah 8 minggu, sisa
plasenta, atau kasus endometrium.Alat kuretase baik sendok maupun selang
dimasukkan ke dalam rahim lewat vagina. Bila menggunakan sendok, dinding
rahim akan dikerok dengan cara melingkar searah jarum jam sampai bersih.
Langkah ini harus dilakukan dengan saksama supaya tak ada sisa jaringan yang
tertinggal. Bila sudah berbunyi “krok-krok” (beradunya sendok kuret dengan otot
rahim) menunjukkan kuret hampir selesai. Sedikit berbeda dengan selang, bukan

dikerok melainkan disedot secara melingkar searah jarum jam. Umumnya kuret

memakan waktu sekitar 10-15 menit (Fajar, 2007).

2. Lakukan penilaian awal untuk menentukan kondisi pasien (gawat darurat,

komplikasi berat atau masih cukup stabil)

3. Pada kondisi gawat darurat, segera upayakan stabilisasi pasien sebelum

melakukan tindakan lanjutan (yindakan medic atau rujukan)

4. Penilaian medic untuk menentukan kelaikan tindakan di fasilitas kesehatan

setempat atau dirujuk kerumah sakit. Bila pasien syok atau kondisinya

memburuk akibat perdarahan hebat segera atasi komplikasi tersebut

5. Gunakan jarum infuse besar (16G atau lebih besar) dan berikan tetesan cepat

(500 ml dalam 2 jam pertama) larutan garam fisiologis atau Ringer

Abortus Imminens adalah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan

sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya

dilatasi serviks. Diagnosis abortus imminens ditentukan apabila terjadi perdarahan

pervaginam pada paruh pertama kehamilan. Yang pertama kali muncul biasanya

adalah perdarahan, dari beberapa jam sampai beberapa hari kemudian terjadi nyeri

kram perut. Nyeri abortus mungkin terasa di anterior dan jelas bersifat ritmis, nyeri

dapat berupa nyeri punggung bawah yang menetap disertai perasaan tertekan di

panggul, atau rasa tidak nyaman atau nyeri tumpul di garis tengah suprapubis.

Kadang-kadang terjadi perdarahan ringan selama beberapa minggu. Dalam hal ini

perlu diputuskan apakah kehamilan dapat dilanjutkan.Sonografi vagina,pemeriksaan

kuantitatif serial kadar gonadotropin korionik (hCG) serum, dan kadar progesteron

serum, yang diperiksa tersendiri atau dalam berbagai kombinasi, untuk memastikan

apakah terdapat janin hidup intrauterus. Dapat juga


digunakan tekhnik pencitraan colour and pulsed Doppler flow per vaginam dalam

mengidentifikasi gestasi intrauterus hidup. Setelah konseptus meninggal, uterus harus

dikosongkan. Semua jaringan yang keluar harus diperiksa untuk menentukan apakah

abortusnya telah lengkap. Kecuali apabila janin dan plasenta dapat didentifikasi secara

pasti, mungkin diperlukan kuretase. Ulhasonografi abdomen atau probe vagina Dapat

membantu dalam proses pengambilan keputusan ini. Apabila di dalam rongga uterus

terdapat jaringan dalam jumlah signifikan, maka dianjurkan dilakukan kuretase.

Penanganan abortus imminens meliputi (Wiknjosastrodkk, 2002 : 305) :

a. Istirahat baring agar aliran darah ke uerus bertambah dan rangsang mekanik

berkurang

b. Periksa denyut nadi dan suhu badan dua kali sehari bila pasien tidak panas dan

tiap empat jam bila pasien panas

c. Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif, ungkin janin akan mati,

pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih hidup

d. Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3 x 30 mg. Berikan preparat

hematinik misalnya sulfas ferosus 600 / 1.000 mg

e. Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C

f. Bersihkan vulva minimal dua kali sehari dengan cairan antiseptik untuk

mencegah infeksi terutama saat masih mengeluarkan cairan coklat


BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Eklampsia yaitu serangan konvulsi yang mendadak atau suatu kondisi
yang dirumuskan penyakit hipertensi yang terjadi oleh kehamilan,
menyebabkan kejang dan koma
Preeklampsia yaitu sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil,
bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, penambahan berat badan akibat
edema, dan protein uria tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan
vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya muncul
setelah kehamilan berusia 28 minggu atau lebih. Penyakit hipertensi dalam
kehamilan merupakan kelainan vaskular yang terjadi sebelum kehamilan, saat
terjadi kehamilan atau pada permulaan nifas. Hipertensi yang muncul pada
saat kehamilan adalah hipertensi akut, karena hanya muncul pada saat hamil,
dan sebagian besar tidak memiliki riwayat hipertensi sebelumnya.

Abortus atau lebih dikenal dengan istilah keguguran adalah pengeluaran

hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar rahim. Janin belum mampu

hidup di luar rahim, jika beratnya kurang dari 500 g, atau usia kehamilan

kurang dari 28 minggu karena pada saat ini proses plasentasi belum selesai.

Pada bulan pertama kehamilan yang mengalami abortus, hampir selalu

didahului dengan matinya janin dalam Rahim.

3.2 Saran
3.2.1 Bagi Institusi Pendidikan
Seharusnya pihak yang bersangkutan memberikan pengarahan
yang lebih intensif mengenai bahaya aborsi dan dapat mengetahui
pencegahan eklmasia, pre eklamsia dan abortus.

3.2.2 Bagi Mahasiswa


Mengenai makalah yang kami buat, bila ada kesalahan maupun
ketidaklengkapan materi aborsi menurut hukum islam dan hukum
Negara, kami mohon maaf. Kamipun sadar bahwa makalah yang kami
buat tidaklah smpurna. Oleh karena itu kami mengharap kritik dan
saran yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Asghari, E. Faramarzi, M. Mohammmadi, A, K. The Effect of Cognitive


Behavioural Therapy on Anxiety, Depression and Stress in Women with
Preeclampsia. Journal of Clinical and Diagnostic. 2016; 10(11) 4-7. DOI:
10.7860/JCDR/2016/21245.887

Boylen, M. 2007. Kedaruratan dalam Persalinan. Jakarta. EGC. Hal 69 -84.


Chapman, V. Charles, C. 2013. Persalinan dan Kelahiran. Jakarta. EGC. Hal 309
–325.
Dewi, V, N, L. Sunarsih, T. 2011. Asuhan Kehamilan untuk Kebidanan. Jakarta.
Salemba Medika. Hal 163 – 172.
Fadlun, A, Feryanto. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta. Salemba
Medika. Hal 49-55.
Jeyabalan, Arun. Epidemiology of preeclampsia: Impact of obesity. Institutes
Health Of National. 2014; 1-14. doi:10.1111/nure.12055.
Kementerian Keseshatan Republik Indonesia. 2015. Profil Kesehatan Indonesia
2015. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
Dinas Kesehatan. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2015. Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Surabaya
Hutahaean, S. 2013. Perawatan Antenatal. Jakarta. Salemba Medika. Hal 209-
215.
Manuaba, I, B, G. Manuaba, C, I, A. Manuaba, F. 2007. Kuliah Obstetri. Jakarta.
EGC. Hal 401-420.
Sukarni, I. Sudarti. 2014. Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Neonatus
Resiko Tinggi. Yogyakarta. Nuhamedika. Hal 35 – 43.
Fauziyah,Y. 2012. Obstetric PATOLOGI. Yogyakarta. Nuhamedika. Hal 17-36.
Martaadisoebrata, D. Wirakususmah, F. Effendi, J, S. (2013). Obstetri Patologi
ilmu kesehatan reproduksi. Jakarta. EGC. Hal 94-111.
Marmi. Suryaningsih, A, R, M. Fatmawati, E. 2011. ASUHAN KEBIDANAN
PATOLOGI. Yogyakarta. Pustaka Belajar. Hal 66-70.
Mitayani. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta. Salemba Medika. Hal
14-28.
Norma, N. Dwi, M. 2013. Asuhan kebidanan PATOLOGI. Yogyakrta.
Nuhamedika. Hal 59-69.
Purwaningsih, W. Fatmawati, S. 2010. Asuhan Keperawatan MATERNITAS.
Yogyakarta. Nuhamedika. Hal 159-163.
Shamsi, U. Saleem, S. Nishter, N. Epidemiology and risk factors of preeclampsia;
an overview of observational studies. US National Library of Medicine
enlisted journal. 2013; 6(4) 292-300. ISSN 0974-1143.
Walyani, E, S. Purwoastuti, E. 2015. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan
Maternal & Neonatal. Yogyakarta. Pustaka Baru Press. 43-46.
Mansjoer, Arif dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia
Price, Silvia A, 2006. Patofisiologi, volume 2, Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Wiknojosatro, hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan.. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Mansjoer, Arif dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Herdman, T.H. 2015. Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan: definisi &
Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta: EGC.

Jhonson, Marion dkk. 2008. Nursing Outcomes Clasification (NOC). St. Louise
Misouri: Mosby, Inc.

Kusmiyati, Dkk. 2009. Perawatan ibu hamil. Yogjakarta : Fitramaya.

Nugroho, taufan. 2010. Buku ajar obstetric. Yogjakarta : Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai