Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Selai

Selai adalah bahan dengan konsistensi gel atau semi gel yang dibuat dari buah
segar yang direbus dengan gula, pektin dan asam. (Muresan et al., 2014). Selai dapat
dibuat dari berbagai macam buah yang tersedia. Proporsinya adalah 35% bagian berat buah
dan 65% bagian berat gula (Fasogbon et al., 2013). Campuran yang dihasilkan kemudian
dikentalkan sehingga hasil akhirnya mengandung total padatan terlarut minimum 65%
(Fachruddin, 1998). Biasanya selai terbuat dari buah yang telah masak, gula, asam sitrat
dan pektin (Broomfield, 1996).

Selai merupakan produk awetan yang dibuat dengan memasak hancuran buah yang
dicampur gula atau campuran gula dengan dekstrosa atau glukosa, dengan atau tanpa
penambahan air dan memiliki tekstur yang lunak dan plastis (Suryani et al., 2004). Menurut
SNI-01-3746-1995, selai buah adalah produk pangan semi basah yang merupakan
pengolahan bubur buah dan gula yang dibuat dari campuran tidak kurang dari 45% berat
sari buah dan 55% berat gula. Campuran tersebut kemudian dipekatkan sampai diperoleh
hasil akhir berupa padatan terlarut lebih dari 65% yang diukur menggunakan refraktometer.
Menurut Muchtadi (1989), perbandingan gula terhadap bobot buah yang digunakan dalam
pembuatan selai untuk buah-buahan asam adalah satu bagian bobot buah dan satu bagian
bobot gula sedangkan menurut Suryani et al. (2004) formula umum yang digunakan adalah
45:55 (buah:gula), tetapi penambahan gula juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
keasaman buah, kandungan gula buah dan kematangan buah yang digunakan.

Menurut Desrosier (1988), jika keasaman buah tinggi, kandungan gula tinggi dan
kematangan buah optimum maka penambahan gula lebih rendah dari 55 bagian, karena
buahnya sendiri telah mengandung sejumlah gula yang perlu diperhitungkan. Buah-buahan
yang kandungan pektinnya rendah dapat ditambahkan pektin komersial pada saat
pembuatan selai.

Selai diperoleh dengan jalan memanaskan campuran antara bubur buah dengan
gula. Penambahan gula dengan kadar yang tinggi dapat menyebabkan tekanan osmotik
pada jasad renik yang akan menyerap dan mengikat air sehingga mikroba tidak bebas
menggunakan air untuk umbuh pada rosuk. Kemudian bubur buah dengan gula dipekatkan
melalui pemanasan dengan api sedang sampai kandungan gulanya menjadi 68%.
Pemanasan atau pemasakan yang terlalu lama menyebabkan hasil selai menjadi keras dan
sebaliknya jika terlalu lama menyebabkan hasil selai menjadi keras dan sebaliknya jika
terlalu singkat akan menghasilkan selai yang encer (Astawan dkk, 2004).

Menururt Suryani et al. (2004), selai yang bermutu baik mempunyai tanda spesifik yaitu:

1. konsistensi kokoh,

2. warna cemerlang,

3. distribusi buah merata,

4. tekstur lembut,

5. flavor buah alami,

6. tidak mengalami sineresis dan kristalisasi selama penyimpanan

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan selai, antara lain pengaruh
panas dan gula pada pemasakan, serta keseimbangan proporsi gula, pektin, dan asam
(Muchtadi, 1997). Gula dan pektin harus berada pada keseimbangan yang sesuai, apabila
gula yang digunakan terlalu sedikit maka selai yang dihasilkan akan menjadi keras. Jika gula
terlalu banyak, maka selai akan menyerupai sirup (Muchtadi dkk., 1979).

Penambahan asam pada pembuatan selai juga harus diperhatikan karena


penambahan asam berlebihan akan menyebabkan pH menjadi rendah, sehingga terjadi
sinersis yaitu keluarnya air dari gel. Sebaliknya jika pH tinggi, akan menyebabkan gel pecah
(Fachruddin, 1998). Proses pemanasan dalam pembuatan selai bertujuan untuk
menghomogenkan campuran buah, gula, dan pektin serta menguapkan sebagian air
sehingga terbentuk struktur gel (Fatonah, 2002).

2.1.1 Bahan baku

Pembuatan selai nanas selain menggunakan buah nanas sebagai bahan baku juga
menggunakan bahan tambahan yaitu :

1. Gula

Gula berperan sebagai pengawet bagi berbagai macam makanan terutama jam, jeli,
marmalade, sari buah pekat, sirup dan lain-lain. Konsentrasi gula yang tinggi (70%) sudah
dapat menghambat pertumbuhan mikroba, akan tetapi pada umumnya gula dipergunakan
dengan salah satu teknik pengawetan lainnya, misalnya dikombinasikan dengan keasaman
tinggi, pasteurisasi, penyimpanan pada suhu rendah, pengeringan, pembekuan dan
penambahan kimia seperti SO2, asam benzoat dan lain-lain. Kadar gula yang tinggi
(minimum 40%) bila ditambahkan ke dalam bahan pangan, air dalam bahan pangan akan
terikat sehingga tidak dapat dipergunakan oleh mikroba dan aw menjadi rendah (Muchtadi,
1997).

Tujuan penambahan gula dalam pembuatan selai adalah untuk memperoleh tekstur,
penampakan, dan flavor yang ideal. Dalam pembuatan selai, proses pengawetan yang
terjadi merupakan kombinasi antara tingkat keasaman yang rendah, pasteurisasi, dan
penambahan bahan kimia seperti asam benzoat (Fachruddin, 2008).

2. Asam Sitrat

Asam sitrat merupakan asam organik dan termasuk asam trikarboksilat mempunyai
rumus kimia C6H8O7 dan rasa asam yang diberikan menyenangkan yang berfungsi sebagai
pemberi asam, mencegah kristalisasi gula, serta penjernih gel yang dihasilkan (Ramadhan,
2011). Asam yang biasa digunakan dalam pembuatan selai adalah asam sitrat, asam tartat,
dan asam malat. Penggunaan asam tidak mutlak, tetapi penambahannya dilakukan untuk
menambah cita rasa dari makanan. Apabila terlalu asam akan terjadi sineresis yakni
keluarnya air dari gel sehingga kekentalan selai akan berkurang bahkan dapat sama sekali
tidak terbentuk gel (Fachrudin, 2008).

Manfaat asam sitrat dalam bahan pangan adalah sebagai pengasam, penyegar dan
bahan pengawet. Ketika ditambahkan dalam bahan pangan, asam sitrat tidak memiliki
batasan maksimum. Asam sitrat merupakan bahan pengasam yang mudah ditemukan dan
berbentuk kristal bening yang tidak berbau. Konsentrasi asam sitrat yang digunakan dalam
pembuatan selai dipengaruhi oleh jenis buah dan jumlah konsentrasi gula (Rosyida dan
Sulandari, 2014). Asam sitrat merupakan bahan yang mampu menurunkan pH sehingga
dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Wiraatmaja dkk, 2007).

Tujuan penambahan asam sitrat pada produk adalah untuk mencegah terjadinya
kristalisasi gula, memberi rasa asam pada produk pangan, sebagai katalisator hidrolisis
sukrosa kedalam bentuk gula invert selama proses penyimpanan berlangsung.

2.2 Nanas

Nanas (Ananas sativus) adalah sejenis tumbuhan tropis yang berasal dari Brazil,
Bolivia dan Paraguay. Tumbuhan ini termasuk dalam familia nanasnanasan (Famili
Bromeliaceae). Perawakan tumbuhannya rendah, dengan 30 atau lebih daun yang panjang,
berujung tajam, tersusun dalam bentuk roset mengelilingi batang yang tebal (Wikipedia,
2010). Tanaman nanas yang berusia satu sampai dua tahun, tingginya 50- 150 cm,
mempunyai tunas yang merayap pada bagian pangkalnya. Daun berkumpul dalam roset
akar, dimana bagian pangkalnya melebar menjadi pelepah. Daun berbentuk seperti pedang,
tebal dan liat, dengan panjang 80-120 cm dan lebar 2-6 cm, ujungnya lancip menyerupai
duri, berwarna hijau atau hijau kemerahan. Buahnya berbentuk bulat panjang, berdaging,
dan berwarna hijau, jika masak warnanya menjadi kuning, rasanya asam sampai manis
(Dalimartha, S, 2001).

Gambar 1. Buah Nanas (Ananas sativus)

2.3 Pengemasan

Kemasan mempunyai peranan penting dalam mempertahankan mutu bahan. Pada


saat ini proses pengemasan dianggap sebagai bagian integrasi dari proses produksi di
pabrik-pabrik, dan menurut fungsinya kemasan berfungsi sebagai : (a) wadah untuk
menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan,
pengangkutan dan distribusi; (b) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari
kontaminasi luar dan kerusakan; dan (c) untuk menambah daya tarik produk (Syarief dan
Irawati, 1988).

Menurut Winarno (1997), pengemasan bertujuan untuk mengawetkan bahan


pangan, mempertahankan mutu kesegaran, menarik selera pandang konsumen,
memberikan kemudahan penyimpanan dan distribusi, serta yang lebih penting lagi dapat
menekan peluang kontaminasi dari udara dan tanah, baik oleh mikroba pembusuk maupun
mikroba yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Bahan kemasan harus tahan
terhadap serangan hama atau binatang pengerat dan bagian dalam yang berhubungan
langsung dengan makanan harus tidak berbau, tidak mempunyai rasa, dan tidak beracun
(Winarno dan Jenie, 1983).

2.4 Pendugaan Umur Simpan

Pengertian masa simpan makanan secara umum menurut Ahrene et al. (1996)
adalah periode waktu bagi sebuah produk hingga ia tidak dapat lagi diterima secara
sensorik, nutrisi dan keamanannya. Arpah dan Syarief (2000) menyatakan bahwa umur
simpan dapat didefinisikan juga sebagai waktu yang dibutuhkan oleh suatu produk pangan
menjadi tidak layak dikonsumsi jika ditinjau dari segi keamanan, nutrisi, sifat fisik, dan
organoleptik, setelah disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan.

Menurut Syarief et al. (1989), secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi umur
simpan makanan yang dikemas adalah :

1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya misalnya


kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan
kimia internal dan fisik,
2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volumenya,
3. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan
selama transit dan sebelum digunakan, dan
4. Ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau,
termasuk dari perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.

Menurut Labuza dan Schmild (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan
meliputi: (i) jenis dan karakteristik produk pangan. Produk yang mengalami pengolahan akan
lebih tahan lama dibanding produk segar. Produk yang mengandung lemak berpotensi
mengalami rancidity, sedangkan produk yang mengandung protein dan gula berpotensi
mengalami reaksi maillard (warna coklat); (ii) jenis dan karakteristik bahan kemasan.
Permeabilitas bahan kemas terhadap kondisi lingkungan. Intensitas sinar (UV)
menyebabkan terjadinya ketengikan dan degradasi warna. Osigen menyebabkan terjadinya
reaksi oksidasi.

Anda mungkin juga menyukai