Caveats
Fokus perhatian utama dalam evaluasi ED pada pasien dengan Altered Mental State
(AMS) antara lain :
Untuk menentukan penyebab reversibel yang mudah terjadi seperti hipoksemia,
hiperkarbi, hipoglikemi
Untuk membedakan penyebab struktural dengan penyebab toksik metabolic dimana
penyebab yang pertama lebih memerlukan pemeriksaan pencitraan CNS secepatnya,
sedangkan penyebab yang kedua lebih mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan
laboratoris.
Menentukan sistem skor yang sering digunakan menurut Glasgow Coma Scale untuk
mendefinisikan keadaan koma yang terjadi.
Tanda-tanda vital/temperature
Monitoring EKG
Periksa kadar gula darah
Disposition
MRS-kan seluruh pasien AMS. Masukkan pasien yang diintubasi atau dengan keadaan
hemodinamik yang tidak stabil ke dalam ICU.
2. Perdarahan GIT
Caveats
Manajemen penting pada perdarahan GIT yaitu dapat :
1. Identifikasi adanya syok dan resusitasi.
2. Identifikasi penyebab potensial perdarahan dan usahakan mengembalikan keadaan
yang terjadi (misalnya dengan pemberian antikoagulasi).
3. Identifikasi keadaan fisiologis lain yang terjadi akibat syok (iskemik jantung, renal
compromised atau anemia simptomatik yang membutuhkan transfuse darah).
Selalu waspada terhadap terjadinya aneurisme aorta yang manifestasinya mirip
dengan perdarahan GIT.
Selalu lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan apakah frank melena
terjadi atau adanya perdarahan local pada area anal kanal/perianal.
Melena yang terjadi akibat terapi dengan Fe akan berwarna hijau/hitam.
Penyebab umum perdarahan GIT antara lain:
1. Ulkus peptikum
2. erosi gastric
3. varises GIT bagian atas
4. hemoroid pada GIT bagian bawah
5. malignansi
Tips Khusus Untuk Dokter Umum :
Periksa adanya syok (takikardi dan atau hipotensi) jika ada, hubungi ambulan dan kirim ke
ED terdekat. Pasang iv line dengan infus NS.
Jika terdapat muntah darah dan pasien tetap sadar, tempatkan pada posisi recovery serta
pasang iv line.
Periksa abdomen untuk mencari adanya nyeri tekan serta lakukan RT untuk
mengkonfirmasi adanya melena.
Cari adanya riwayat penyalahgunaan alcohol atau terapi antikoagulan.
Selalu periksa pulsasi abdomen dan pikirkan kemungkinan aneurisme aorta.
Tanyakan pasien mengenai penggunaan NSAID dan obat cina tradisional. (Traditional
Chinese Medicine = TCM).
Sarankan pasien untuk tetap NBM.
Manajemen
Perawatan suportif
A. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
pasien harus ditempatkan pada area critical care
pertahankan airway. Pertimbangkan intubasi jika hematemesis terjadi berlebihan
dan pasien tidak dapat mempertahankan jalan nafasnya sendiri, misalnya pada
keadaan depresi mental akibat CVA.
Berikan O2 aliran tinggi untuk mempertahankan SpO2 >94%.
Monitoring EKG, tanda vital tiap 5 menit, pule oksimetri.
Lakukan pemerikasaan EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya disritmia
kardiak.
Pasang 2 atau lebih iv line perifer dengan jarum yang besar (14/16G).
Lab :
1. GXM paling tidak 4 unit.
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
3. Lakukan tes fungsi hati jika pasien mengalami jaundice
4. Periksa enzim jantung jika ada indikasi iskemik/injury miokard pada
EKG.
Infus 1 liter NS secara cepat dan periksa kembali parameter. Lakukan transfusi
darah jika tidak ada perbaikan dengan pemberian fluid challenge.
Masukkan NGT untuk tujuan drainase dan kepentingan diagnostic (serta untuk
mencegah terjadinya aspirasi jika terjadi muntah/vomit) jangan masukkan NGT
jika ada kecurigaan varises esophagus.
Pasang kateter untuk monitoring output urin.
Catatan : Peran dari Omeprazole (Proton-pump Inhibitor). Bukti terbaru
menyebutkan bahwa ada beberapa keuntungan dalam menurunkan perdarahan yang
terjadi dalam jangka pendek (meningkatkan pH lambung, memungkinkan terjadinya
kondisi yang mendukung terbentuknya clot) namun, penelitian yang lebih lanjut
diperlukan untuk mengetahui efek mortalitas dan morbiditasnya. Berikan omeprazole
40 mg secara iv.
B. Pasien dengan hemodinamik normal
Pasien dapat ditangani pada area intermediate care walaupun harus tetap diingat
bahwa pasien dapat mengalami dekompensasi setelah evaluasi yang pertama
karena kehilangan darah yang terus menerus.
Berikan oksigen untuk mempertahankan SpO2 >94%.
Monitoring tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri. Pasang iv line paling
tidak 1 buah dengan jarum 14/16G.
Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead.
Lab :
1. GXM 2 unit.
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
3. Lakukan tes fungsi hati jika pasien mengalami jaundice, atau
menunjukkan tanda penyakit liver kronis.
4. Periksa enzim jantung jika ada indikasi iskemik/injury miokard pada
EKG.
Mulai pemberian infus salin 500ml selama 1-2 jam.
Pasang NGT dengan tujuan drainase dan kepentingan diagnostik (serta untuk
mencegah terjadinya aspirasi jika terjadi muntah/vomit).
Berikan omeprazole 40 mg secara iv.
Pindahkan pasien ke area critical care jika terjadi ketidakstabilan kondisi.
Pemeriksaan Spesifik
Cari adanya luka bekas operasi aneurisma aorta abdominalis sebelumnya; perdarahan
GIT yang terjadi mungkin akibat adanya fistula aortoenterik. Jika kecurigaan terbukti
ada, maka konsulkan pada bagian bedah umum dan TKV.
Jika ada kecurigaan varises esophagus pertimbangkan penggunaan somatostatin 250µg
bolus iv, kemudian diikuti dengan infus iv 250 µg/jam (sukses diberikan pada 85-90%
pasien). Jika somatostatin tidak berhasil menghentikan perdarahan, serta ada risiko
sebelum endoskopi dapat dilakukan, maka insersi Sengstaken-Blakemore tube dapat
dipertimbangkan. Insersi alat ini hanya dapat dilakukan oleh operator yang
berpengalaman.
Disposition/penempatan
Konsultasi MRS pada bagian bedah umum atau bagian Gastroenterologi tergantung
pada kebijakan tiap institusi.
3. Perdarahan per-Vaginam Abnormal
Caveats
Riwayat anamnesa yang teliti sangatlah penting untuk assessment perdarahan vaginal
yang abnormal. Harus meliputi riwayat menstruasi yang lengkap (termasuk HPHT),
riwayat medis dan obat-obatan, riwayat obstetric dan riwayat seksual (termasuk
penggunaan kontrasepsi pengatur kelahiran). Adanya gejala nyeri, lokasinya,
durasinya, onset dan tingkat keparahan juga harus diperiksa.
Kehamilan harus dieksklusi pada pasien usia subur.
Juga penting untuk mengeksklusi perdarahan yang terjadi diluar vagina, misalnya
perdarahan saluran kemih atau dari usus besar.
Lihat tabel 1 untuk mengetahui penyebab perdarahan per vaginam abnormal yang
bersifat emergency
Lihat tabel 2 untuk mengetahui penyebab penting lain yang mengancam nyawa namun
tidak segera/immediate
Tabel 1 : Penyebab Perdarahan Pervaginal Abnormal yang Bersifat Emergency
1. Kehamilan Ektopik
2. Abortus inkomplit (mungkin juga septic) dan abortus inevitabel
3. Plasenta previa
4. Abruptio plasenta
5. Perdarahan post partum (1-5 merupakan komplikasi kehamilan)
6. Trauma vagina
7. Menorrhagi pada pasien yang tidak hamil
8. Perdarahan dari tumor pada traktus genitalis bagian bawah (misalnya carcinoma
cervix atau endometrial)
Rujuk ke OBG
untuk MRS KRS dengan :
Kontrol pada poli spesialis OBG
dalam 2 hari
Gambar 1. Rencana Manajemen Pada Norethisterone 5 mg 2 x/hari –
perdarahan Per Vaginam Abnormal 10mg 3x/hari
Suplemen zat besi dan folat jika
5. Breathlessness (Henti Nafas),
anemisAkut
Caveats
Ketika menghadapi pasien yang menderita henti nafas yang akut, selalu
pertimbangkan penyebab yang dapat diatasi segera (dalam beberapa detik atau menit).
1. Obstruksi jalan nafas atas akut : dengan Heimlich maneuver atau Magill’s forceps
2. Tension pneumothorax akut : thoracostomy dengan jarum, diikuti dengan insersi
chest tube.
3. Gagal nafas akut : intubasi endotrakeal.
Penyebab umum henti nafas tertera pada tabel 1
Ingat bahwa hiperventilasi psikogenik merupakan diagnosa eksklusi.
Secara umum, sangatlah bermanfaat untuk membagi penyebab henti nafas yaitu pasien
tanpa kelainan paru (istilah hiperventilasi) atau pasien dengan kelainan paru.
Ingat bahwa tidak semua pasien wheezing menderita asma atau cold..!
Pertimbangkan diagnosis dari kondisi lain seperti asma kardiak, anafilaksis, dan
aspirasi.
Lihat tanda dan gejala gagal jantung, misalnya orthopneu, edema pedis dan
peningkatan tekanan vena jugularis, untuk membedakan asma kardiak dengan asma
respiratori.
Tidak semua pasien takipneu dengan krepitasi menyeluruh disebabkan oleh edema
pulmonary. Mungkin pasien mengalami pneumonia atau bronkiektasis.
Pemeriksaan
Anamnesa melputi berat dan lamanya demam, tanda dan gejala local, penyakit lain
yang menyertai, riwayat melakukan perjalanan, riwayat imunisasi, riwayat kontak,
riwayat pengobatan, alergi, penyalahgunaan obat atau alkohol.
Catatan : jika terdapat riwayat perjalanan maka daerah tujuan sangat penting untuk
diketahui karena ada penyekit tertentu terkait dengan daerah tertentu, misalnya di
Thailand, malaria falsiparum sudah resisten terhadap berbagai obat-obatan.
Manajemen
Manajemen pasien febris tergantung pada keadaan pasien apakah pasien stabil dengan
penyakit ringan yang bersifat self-limiting atau tidak stabil dengan penyebab potensial
untuk menyebabkan kematian.
Pemeriksaan penunjang (Biasanya tidak diperlukan pada pasien febris yang stabil)
FBC : termasuk hitung lekosit total, diff count, hitung netrofil absolute, trombosit.
Cek GDA untuk mengetahui adanya komplikasi hiperglikemi seperti KAD, terutama
pada seluruh pasien febris toksik, bahkan pada pasien tanpa riwayat diabetes
sebelumnya.
Urine dipstick dan kultur
Blood film untuk mencari parasit malaria
Kultur darah
CXR
Penatalaksanaan
Jika pasien dalam keadaan syok septic, lihat bab Sepsis/septic shock
Terapi simtomatis dengan antipiretik, seperti paracetamol 1g tiap 6 jam atau
pemberian NSAID seperti diklofenac (Voltaren) atau ibuprofen.
Catatan : Diklofenak (Voltaren), meskipun secara umum dapat digunakan sebagai
antipiretik, namun tidak diindikasikan untuk mengatasi gejala demam yang timbul secara
tunggal.
Antibiotik empiris (Ceftriaxone 1 g iv) harus diberikan pada pasien sepsis setelah
memperoleh specimen untuk pemeriksaan kultur darah.
Pada pasien dengan sepsis neutropeni, Ceftazidime 1 g dengan 1-1,5mg/kgBB
Gentamycin harus diberikan pada pasien. Lihat bab Oncology Emergencies
Untuk sepsis intraabdominal, ampicillin iv 500mg bersama dengan gentamycin
80mg iv dan metronidazole 500mg iv atau Ceftriaxone 1 g dengan metronidazole
500mg harus mulai diberikan.
Penempatan
MRS-kan pasien febris yang tidak stabil pada medical department (High Dependency
Unit atau ICU)
Jika ada sepsis netropenik, MRS kan pada bagian High Dependency Oncology Ward.
Jika berpotensi untuk dilakukan operasi akibat sepsis intraabdominal, masukkan pada
bagian Bedah.
Rujuk pasien yang dicurigai menderita Dengue Fever pada Medical SOC untuk FBC
ulang. Lihat Bab Dengue fever.
16. Haemoptysis
Definisi
Haemoptysis didefinisikan sebagai pengeluaran/batuk darah atau sputum yang
mengandung darah yang berasal dari bagian bawah vocal cord atau yang telah
teraspirasi ke dalam tracheobronchial tree.
Haemoptysis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Ringan : darah kurang dari 5 ml dalam 24 jam.
2. Massif : 50 ml pada setiap kali usaha pengeluaran/batuk atau lebih dari 600ml
darah dalam 24 jam. Ini terjadi pada 5% dari seluruh kasus Haemoptysis.
Caveats
Haemoptysis dapat dikaburkan dengan hematemesis (tabel 1).
Pemeriksaan fisik digunakan untuk menentukan keparahan Haemoptysis namun tidak
dapat menetukan lokasi perdarahannya.
Pencarian deep vein thrombosis pada ekstremitas bawah diindikasikan untuk
mengetahui adanya pulmonary embolism sebagai salah satu penyebab Haemoptysis.
(tabel 2)
Haemoptysis massif dapat mengancam nyawa karena ancaman asfiksia, daripada
exsanguination. Sedikitnya 150ml darah dapat menyebabkan sufokasi.
Perdarahan yang sampai berakibat pada distress respiratori dan perubahan pertukaran
gas akan mengancam nyawa, tidak bergantung pada jumlah darah yang dikeluarkan.
Penyebab umum Haemoptysis ringan adalah URTI.
Caveats
Penyebab sakit kepala yang berpotensi mengancam nyawa dan penglihatan antara
lain :
1. SAH (Subarachnoid Haemorrhage): pasien datang dengan sakit kepala yang
onsetnya tiba-tiba, sering terkait dengan nausea, vomiting, penurunan kesadaran
(yang dapat terjadi secara singkat) serta kaku kuduk, lihat bab Subarachnoid
Haemorrhage.
2. Meningoencefalitis : pasien biasanya febris dan mengantuk dengan tanda-tanda
meningeal.
3. Space-occupying atau lesi massa (abses otak, tumor otak): sakit kepala kadang
memburuk pada pagi hari dan bertambah dengan adanya valsava maneuver dan
batuk. Pasien sering memiliki gejala neurologik fokal atau kejang.
4. Arteritis temporalis : pasien biasanya wanita, usia lebih dari 50 th dan sering
muncul dengan sakit kepala berdenyut yang keras, rasa terbakar dan unilateral.
Ada nyeri tekan pada arteri temporal ipsilateral. Lihat bab Temporal Arteritis.
5. Glaukoma : Sakit kepala biasanya terdapat didalam dan di sekitar bola mata.
Terdapat injeksi atau kemerahan pada mata, terdapat edema kornea dan dilatasi
ringan pupil. Lihat bab Blurring of Vision, Acute.
Perhatikan pasien yang datang dengan keluhan sakit kepala berat untuk pertama
kalinya atau dengan perubahan kualitas dan intensitas sakit kepala yang berbeda
dengan sakit kepala sebelumnya.
Hipertensi merupakan suatu keadaan yang sering dikaitkan sebagai penyebab sakit
kepala. Jangan menyimpulkan peningkatan tekanan darah yang terjadi sebagai
penyebab sakit kepala kecuali tekanan diastolic melebihi 130 mmHg.
Seluruh pasien dengan riwayat kecemasan/worrisome membutuhkan pemeriksaan
lanjutan dengan CT scan kepala, dan jika negative dapat dilakukan pungsi lumbal
untuk menyingkirkan adanya SAH.
Manajemen
Pasien dengan tanda vital dan tingkat kesadaran yang abnormal harus ditangani pada
area critical care.
Pasien dengan tanda vital normal dapat ditangani pada area intermediate.
Monitoring EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri.
Pasang jalur intra vena perifer pada ‘keep open’ rate.
Lihat bab Manajemen Nyeri untuk mengurangi gejala sakit kepala yang ada.
Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, GXM 2 unit, ESR (jika
mencurigai adanya arteritis temporalis).
EKG, CXR.
Penempatan
MRS dengan ketentuan :
Seluruh penyebab sakit kepala yang dapat mengancam nyawa dan penglihatan
“Sakit Kepala migren” yang tidak berespon terhadap analgesic opioid.
Sakit kepala migren onset baru dengan komplikasi.
Sakit kepala yang membutuhkan CT scan kepala.
KRS kan pasien sakit kepala yang dapat diatasi dengan analgesik dan rujuk pada poliklinik
neurology untuk follow up kecuali sakit kepala yang terjadi diakibatkan oleh demam atau
tension headache.
18. Hiperventilasi
Caveats
Walaupun sering terjadi dan bersifat benign, serangan hiperventilasi (HA)/serangan panic
merupakan diagnosis eksklusi yang dapat dicapai secara principal pada anamnesa dan
pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan yang ekstensif.
Episode typical terkait dengan kejadian pencetus yang bersifat stressful dengan riwayat
kekambuhan yang serupa.
Gejala umum lain yang terkait meliputi kekakuan dan atau kram pada tangan dan kaki,
tingling/perasaan geli pada daerah perioral, kepeningan yang non-spesifik, kesesakan pada
dada, sensasi sufokasi dan perasaan nyaris sinkope.
Jangan mendiagnosa pasien dengan HA jika hasil SpO2 pada udara ruangan dibawah 97%.
Tabel 1 menunjukkan Diagnosa banding dari Hiperventilasi
Caveats
Peran dari dokter pada bagian emergency yaitu dapat mengidentifikasi adanya ‘acute
abdomen’, bukan untuk menentukan diagnosa spesifik.
Identifikasi pasien tersebut melalui postur yang signifikan; misalnya dapat berbaring
terlentang (perforasi/peritonitis),atau pasien terlihat sangat kesakitan sehingga selalu
berubah posisi (kolik usus besar/kolik ureter).
Selalu pertimbangkan etiologi yang dapat mengancam nyawa. Lihat tabel 1
Selalu pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur.
Pasien pria dengan nyeri daerah fossa iliaka kanan harus dicurigai apendisitis sampai
terbukti lain.
Ada 3 alasan untuk dilakukan abdominal X ray :
1. Untuk mengidentifikasi ‘free air’ atau udara bebas (pada perforasi viscus)
2. Untuk mengidentifikasi udara/cairan ‘interfaces’ (pada obstruksi intestinal).
3. Untuk mengidentifikasi kalsifikasi ektopik (urelitiasis, kalkuli hepatobiliari,
pankreatitis, AAA)
1. Intraabdominal
a. Perforasi ulkus peptikum
b. Obstruksi intestinal
c. Abdominal Aortic Aneurysm (AAA)
d. Apendisitis
e. Pankreatitis
f. Kehamilan ektopik
g. Iskemia usus besar
h. Peritonitis bacterial spontan pada sirosis hepatic
i. SLE peritonitis
j. Peritonitis pada pasien renal CAPD
2. Ekstra abdominal
a. infark miokard akut
b. pneumonia lobus bawah
c. basal pulmonary embolism
d. KAD
Catatan : jika dicurigai terdapat perforasi ulkus peptikum dan dan gambaran CXR
menunjukkan udara subdiafragma yang tidak jelas, maka pemasukan 200ml udara kedalam
lambung melalui NGT dapat menunjukkan gambaran udara bebas pada X ray. Praktek ini
dipertimbangkan pada beberapa tempat dan menjadi kebisaaan, dan masih bersifat
controversial; dimana ada pendapat yang menyatakan bahwa pada keadaan adanya tanda-
tanda perforasi, pemasukan udara ke dalam lambung tidak akan merubah
manajemen/penatalaksanaan (misalnya operasi), serta dapat memperburuk ‘spillage’ isi usus
besar ke dalam kavum peritoneum.
Manajemen
Pada Pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil
Pasien harus ditangani pada area critical care
Pertahankan airway dan beri oksigen aliran tinggi
Monitoring : EKG, tanda-tanda vital tiap 5 menit, pulse oksimetri
Pasang 2 jalur iv perifer (14-16G); berikan ‘fluid challenge’ sebanyak 1 L kristaloid
(jika tidak ada kecurigaan IMA). Lakukan pemeriksaan ulangan.
Lab :
1. Wajib : GDA; GXM 2-4 unit; FBC; urea/elektrolit/kreatinin; serum amylase; tes
urin kehamilan (kalau relevan); kultur urin dan darah (kalau ada kecurigaan
sepsis).
2. Pilihan : urinalisis, enzim kardiak, tes fungsi hati, profil koagulasi.
Antibiotik iv pada kasus sepsis; misalnya Ceftriaxon 1g dan metronidazol 500 mg.
tergantung pada kebijakan tempat praktek, antibiotik lain untuk mengatasi organisme
gram negative dan positif dapat digunakan.
Catatan : aminoglikosida harus dihindari pada pasien yang memiliki risiko atau kelaianan
pada ginjal.
X-rays : CXR, KUB
EKG untuk mengidentifikasi IMA atau sebagai persiapan operasi pada beberapa
kelompok usia.
Pasang kateter urin.
Usahakan pasien tetap ‘nil by mouth/NBM’ (puasa)
Konsultasi segera dengan :
1. Bagian bedah umum
2. Bagian OBG untuk kasus yang dicurigai kehamilan ektopik.
3. Bagian TKV untuk suspek aneurisma aorta abdominalis
4. Bagian medical atau Kardiologi untuk kasus suspek pneumonia basiler atau infark
miokard.
Pada Pasien dengan Keadaan hemodinamik yang Stabil
Pasien dapat ditangani pada area intermediate
Usahakan pasien tetap NBM (puasa) sampai penempatan pasien dapat
diputuskan.
Pertimbangkan pemasangan jalur intravena.
Pemeriksaan lab harus berdasarkan kecurigaan klinis berdasarkan jenis
nyeri abdomen pada tiap pasien.
Pertimbangkan KUB (kidney, ureter, bladder X ray), CXR, EKG
Evaluasi adanya tanda akut abdomen dengan pemeriksaan berulang
abdomen.
Caveats
Anamnesa yang baik tetap memegang peranan penting dalam penegakan diagnosa
penyebab nyeri dada yang dapat mengancam jiwa. (Tabel 1)
Setelah mengeksklusi 6 penyebab nyeri dada yang dapat mengancam jiwa, penyebab
penting lain namun tidak mengancam jiwa yang terlihat pada tabel 2 juga harus
dieksklusi.
Caveats
Pasien dengan Low Back Pain (LBW) akut yang membutuhkan perawatan immediate antara
lain :
1. Hemodinamik tidak stabil (kelompok yang paling kritis)
2. Dengan trauma yang signifikan
3. Nyeri musculoskeletal yang tidak tertahankan
Pasien dengan nyeri punggung bersamaan dengan nyeri abdomen merupakan pasien yang
berada dalam risiko serius adanya perdarahan intrabdominal atau retroperitoneal dan
membutuhkan evaluasi yang tepat serta monitoring yang ketat.
Pasien yang sangat menderita akibat musculoskeletal back pain dengan tanda vital stabil
dapat diberi obat analgesik apabila telah melalui pemeriksaan awal.
Pasien dengan defisit neurologik progresif atau dengan disfungsi kandung kemih atau
disfungsi usus besar membutuhkan tindakan dekompresi melalui pembedahan.
Ada beberapa indikasi untuk foto polos lumbosakral pada ED :
1. Manifestasi klinis yang muncul mendukung adanya malignansi dengan kemungkinan
metastase pada tulang belakang bagian lumbal.
2. Ada riwayat trauma vertebrae yang bermakna.
3. Demam dan nyeri tekan yang terlokalisir yang menyokong adanya osteomielitis.
4. Ada deficit neurologist yang tidak dapat terjelaskan dan bersifat akut.
Terapi konservatif merupakan manajemen utama, meliputi relaksasi otot melalui bed rest,
terapi panas atau dingin, obat-obatan muscle-relaxing, serta analgesik yang adekuat. 90%
pasien akan berespon terhadap terapi tersebut.
Manajemen pasien biasanya dilakukan dengan rawat jalan, dimana usulan MRS dilakukan
pada pasien dengan defisit neurologi atau nyeri yang terus menerus.
Catastrophic Illnesses
Dapat bermanifestasi sebagai LBP
Ruptur AAA (Abdominal Aortic Aneurysm) : biasanya terjadi pada pasien pria usia
pertengahan atau usia tua dengan riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskular, yang
muncul dengan LBP dan nyeri abdomen yang diikuti dengan pulsasi yang cepat, sinkop,
serta hipotensi borderline atau hipotensi yang nyata.
Ruptur Kehamilan Ektopik : seorang wanita berusia subur dengan factor risiko
terjadinya kehamilan ektopik, muncul dengan LBP onset akut, terkait dengan perdarahan
vagina, sinkop dan nyeri abdomen unilateral.
Cauda equina Syndrome : merupakan sebuah kasus lumbar disc disease yang jarang
terjadi namun memiliki komplikasi yang sangat serius. Pasien muncul umumnya dengan
gejala LBP, dengan penjalaran unilateral atau bilateral, anestesi perifer, kelemahan
motorik dari ekstremitas bawah, dan disfungsi sfingter (biasanya retensi urin). Secara
klasik, intervensi bedah dalam 6 jam sejak onset gejala, dipertimbangkan sebagai tindakan
preventif esensial untuk mencegah defisit neurologik permanent.
Acute spinal cord compression : akibat proses ekspansi dari massa tumor, dapat muncul
sebagai LBP dengan deficit ekstremitas bawah, deficit bowel dan kandung kemih.
Keadaan ini memerlukan intervensi immediate unutk mencegah deficit neurologik
permanent.
Tips khusus untuk dokter umum :
Pasien yang datang dengan nyeri musculoskeletal serta tanda vital yang stabil dapat
diterapi dengan analgesic. Nyeri yang hebat tanpa ada respon terhadap pengobatan
yang diberikan harus dirujuk pada ED atau spesialis ortopedi secepatnya.
Nyeri punggung dengan tanda neurologik fokal atau disfungsi bowel serta kandung
kemih merupakan suatu keadaan yang memerlukan tindakan pembedahan emergency
di rumah sakit.
Selalu lakukan pemeriksaan abdomen dan perhatikan adanya aneurisme aorta.
Manajemen
Pasien dengan Instabilitas Hemodinamik dan atau memiliki riwayat trauma yang
Bermakna
Pasien selalu ditangani dalam area critical care
Peralatan intubasi dan resusitasi harus selalu berada dalam keadaan siap pakai
Berikan oksigen aliran tinggi melalui reservoir mask
Pasang setidaknya 2 jalur intra vena yang besar.
Berikan Hartmann’s solution secara iv 1 liter kemudian ulangi pemeriksaan parameter
yang ada.
Berikan transfuse darah yang spesifik bila diperlukan.
Lab : GXM 4-6 unit, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, HCG urin jika diperlukan.
Monitoring EKG, tanda-tanda vital tiap 5-10 menit, pulse oksimetri.
Penempatan :
1. Konsultasi awal dengan bedah TKV (untuk suspek AAA) atau
2. Bedah umum dan ortopedi (dalam kasus trauma), atau
3. OBG (dalam kasus kehamilan Ektopik)
Caveats
Denyut jantung yang abnormal hampir selalu disebabkan karena gangguan pada ritme
kardiak, atau disritmia dan apa yang dirasakan oleh pasien merupakan perubahan sekunder
pada output kardiak (ingat bahwa cardiac output berkaitan langsung dengan stroke volume
dan Heart rate).
Takidisritmia menyebabkan peningkatan heart rate dan pengurangan stroke volume,
sedangkan premature ventricular contractions (PVCs) menghasilkan peningkatan stroke
volume pada setiap denyut yang mengikuti PVC sebagai hasil dari peningkatan filling time
selama compensatory pause.
Jangan membuang waktu untuk mengidentifikasi sifat disritmia yang paling tepat, namun
prioritaskan untuk:
1. Periksa status hemodinamik pasien
2. Putuskan apakah keadaan tersebut termasuk narrow atau wide complex dysrhythmia (tabel 1)
Jika keadaan pasien tidak stabil dengan tanda-tanda serius seperti (1) gagal jantung atau
dispneu; (2). Syok; (3). AMS; (4). Nyeri dada, maka lakukan immediate synchronized
electrical cardioversion (untuk kedua tipe : narrow dan wide complex).
Bukti-bukti yang ada tidak mendukung penggunaan lignokain untuk membedakan perfusi
Ventricular tachycardia (VT) dan Wide complex Tachycardia dengan asal yang tidak
diketahui pasti.
Bukti-bukti tidak mendukung penggunaan Adenosine untuk membedakan perfusi VT dan
Supraventrikular (SVT) dengan aberrant ventricular contraction (SVT yang dikonduksi oleh
1 ventrikel saja akibat transient bundle branch block).
Amiodarone saat ini merupakan DOC pada manajemen takidisritmia stabil, karena efek
spectrum antidisritmia-nya yang luas serta lebih sedikit menimbulkan efek inotropik negative
dibandingkan dengan obat lainnya.
Catatan : (1) regular, narrow QRS tachycardia sekitar 200/menit. (2) Tidak ada gelombang P
yang terlihat. Pemeriksaan elektrofisiologi lanjutan mengkonfirmasikan bahwa pasien menderita
supraventricular AV nodal reentrant tachycardia.
Catatan : Selama konduksi AV 2:1, gelombang flutter ‘F’ tersembunyi diantara QRS complexes
dan segmen ST/gelombang T. harus ada bukti yang menunjukkan adanya peningkatan konduksi
AV yang berakibat pada perlambatan ventricular rate (lihat tanda panah). Arah panah
menunjukkan gelombang Flutter (‘F’).
Manajemen
Lihat bab Cardiac Dysrhytmias/Resuscitation Algorithms untuk ringkasan penatalaksanaannya.
Terapi Suportif
Pasien harus ditangani pada area critical care, dimana monitoring EKG secara terus-
menerus dapat dilakukan, dan tersedia peralatan resusitasi serta defibrillator.
Berika oksigen jika terjadi penurunan SpO2.
Monitoring EKG, tanda vital tiap 15 menit, pulse oksimetri.
Pasang jalur iv perifer.
Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead : apakah terdapat narrow atau wide complex
disritmia?
Teknik Cardioversion
1. Tempatkan chest patches pada lokasi infraclavicular kanan dan apical (seperti halnya
defibrillation).
2. Berikan diazepam iv atau midazolam untuk efek sedasi (jika tersedia).
3. Tekan tombol SYNC (synchronization) (tidak seperti defibrillation).
4. Pilih level energi, dimulai dari 100 joule untuk dewasa dilanjutkan dengan 200 J,
300J, dan 360 J secara berurutan bila diperlukan.
Catatan : (1) heart rate yang cepat yaitu 160x/menit (2) regular dan wide QRS complexes (0,12
detik) dengan konfigurasi right bundle branch block yang khas (pola trifasik rSR’ pada V1). (3)
tidak ada gelombang p yang jelas terlihat.
Gambar 7 : Atrial fibrillation pada pria 22 tahun dengan WPW syndrome
Catatan : (1) ritme irregular dan ventricular rate yang sangat cepat. (2) QRS complexes
lebarnya bervariasi.
Terapi
Narrow Complex Tachydysrhythmias
Terapi sangat tergantung dari diagnosa, misal sinus takikardi membutuhkan terapi
penyebabnya (nyeri, perdarahan, ansietas, efek antikolinergik, dsb).
Non farmakologis : penting dimana 25% pasien dengan SVT dapat dibantu dengan
valsava maneuver atau pemijatan sinus carotid (carotid sinus massage = CSM).
Catatan : Sinus carotid berlokasi di sudut mandibula, kemudian dengarkanlah suara ‘bruits’
sebelum melakukan CSM. Beberapa klinisi menghindari CSM secara total pada pasien di atas 50
th untuk mengantisipasi eksistensi plak, tanpa memperhatikan kehadiran atau tidak adanya bruit.
Jangan lakukan CSM pada pasien yang diketahui memiliki riwayat CVA atau TIA.
Catatan : pretreatment dengan bolus cairan dan kalsium klorid (0,5 – 1g iv selama 5 menit)
cukup bermanfaat untuk mencegah hipotensi yang diinduksi verapamil.
Perhatian : verapamil tidak boleh digunakan bersamaan dengan beta blockers iv, dan
harus dihindari pada pasien dengan wide complex tachycardias.
Dosis : 2,5-10mg iv; dapat diulang 15 -20menit kemudian; dosis total maksimum 20mg.
3. Amiodarone digunakan jika adenosine gagal dan terdapat tanda-tanda gagal jantung
kongestif.
Dosis : 150mg iv selama 10 menit; dapat diulang 1 kali.
4. Diltiazem (Calsium channel blocker) sama efektifnya dengan verapamil dalam
mengatasi narrow complex SVT. Keuntungan bila dibanding verapamil adalah
diltiazem lebih sedikit menyebabkan depresi miokard.
Dosis : 10-20mg iv selama 2 menit. Jika tidak efektif dapat diikuti 15 menit kemudian
dengan bolus yang kedua sebanyak 0,35 mg/kg iv. Jika diperlukan, infus 5-15 mg/jam
x 24 jam dapat diberikan.
5. Beta-blocker seperti esmolol dan propanolol juga efektif.
Esmolol memiliki T ½ yang sangat singkat dan bersifat kardioselektif. Dosis : 0,5
mg/kg bolus selama 1 menit diikuti dengan infus 0,05 mg/kg/menit. Loading dose
dapat diulang dan tetesan infus dapat ditingkatkan sebanyak 0,05 mg/kg/menit tiap 5
menit prn sampai maksimal 0,2mg/kg/menit.
Propanolol merupakan DOC untuk SVT pada thyrotoxicosis karena ia memblok
sebagian proses pengubahan T3 dan T4. Perhatian : hindari penggunaannya pada
pasien COLD, CCF atau asma, dan pada pasien yang telah diterapi dengan Calsium
channel blockers. Dosis : 1 mg iv selama 1 menit; dapat diulang tiap 5 menit sampai
total 0,1-0,5mg/kg.
6. Digoxin : obat yang bersifat vagotonik. Kerugiannya adalah onset kerjanya lebih
lambat dibandingkan dengan obat yang tersebut diatas (dapat membutuhkan beberapa
jam). Dosis : 0,5mg iv bolus sebagai dosis awal, dengan dosis ulangan 0,25mg tiap
30-60 menit prn. Dosis total tidak boleh melebihi 0,02 mg/kg.
Keuntungan Kerugian
T ½ yang pendek <10 detik - Efek samping flushing, dispneu dan nyeri dada
Efek hipotensi dan depresi miokard - Rekurensi SVT sering terjadi (pada 50-60%
yang lebih rendah pasien)
- Interaksi obat cukup bermakna: antagonis dengan
teofilin dan kafein, potensiasi dengan
dipyridamole dan carbamazepine
Catatan : Adenosine biasanya tidak mengubah
disritmia pada paroxysmal atrial tachycardia,
atrial flutter atau atrial fibrillation, namun akan
mengurangi ventricular rate karena penurunan
konduksi atrioventricular.
Secara keseluruhan, keberhasilan chemical cardioversion hanya sekitar 50%. Literature yang
menerangkan penelitian untuk membandingkan efektivitas obat untuk mengubah AF menjadi
sinus rhythm banyak yang bersifat kontradiktif. Pilihan terapi meliputi :
Class 1A agents (quinidine dan procainamide) : obat-obatan yang paling tradisional yang
digunakan dalam cardioversion, dengan angka kesuksesan sebesar 40-80%.
Amiodarone : 93 % berhasil mengembalikan sinus rhythm dalam 24 jam namun tidak
secepat calsium channel blocker atau beta blocker dalam menurunkan heart rate.
Propafenone : berhasil pada penggunaan melalui iv dan per oral.
Fleicainide : berhasil sebagai cardioversion dalam 2-3jam ketika digunakan melalui bolus
iv atau po namun kekhawatiran efek prodisritmik menyebabkan keterbatasan
penggunaannya.
Ibutilide : terminasi cepat AF dengan pengubahan heart rate lebih cepat daripada
procainamide namun dilaporkan bahwa ia menyebabkan torsades de pointes sebesar
4,3%.
Jika pasien dengan rapid atrial fibrillation mengalami ketidakstabilan hemodinamik, keputusan
sulit untuk melakukan electrical cardioversion setelah pemberian heparin 5000 unit iv harus
dilakukan. Risiko tremboembolisme setelah atrial fibrillasi sepertinya terus berlangsung selama
beberapa minggu setelah cardioversion. Sehingga antikoagulan harus terus diberikan selama 3
bulan kecuali didapatkan adanya kontraindikasi.
Catatan : Direct Cardioversion aman dan efektif (90% conversion rate) pada konversi AF
menjadi sinus rhythm.
Hospitalization : tidak harus dilakukan pada seluruh pasien AF, namun perlu dilakukan bila :
Dengan gangguan hemodinamik
Terdapat gejala aritmia yang hebat (misal nyeri dada, tanda iskemik koronaria, CCF)
Terdapat risiko tinggi untuk embolisme (misal gagal jantung, CCF, mitral stenosis,
riwayat CVA, usia >65tahun)
Terdapat AF>48 jam atau durasi yang tidak pasti untuk mengkontrol heart rate dan
menginisiasi antikoagulasi.
Terdapat kegagalan cardioversion pada ED
AF dapat dipertimbangkan untuk KRS bila :
Durasi <48jam, juga mengalami keberhasilan dalam terapi cardioversion di ED, tanpa
adanya tanda gagal jantung atau iskemik.
Onset awal AF dengan kontrol ventricular rate yang baik, keadaan umum baik, dan
telah mengalami pengaturan terapi antikoagulasi. Atur jadwal kontrol untuk follow up
pada spesialis jantung.
VT SVT
Riwayat
IHD; CCF; usia > 35 tahun 90% spesifik untuk VT Bagaimanapun, riwayat (-)
tidak dapat menyingkirkan
diagnosa SVT
Pemeriksaan Fisik
1. Irregular cannon Mungkin ada Tidak ada
gelombang ‘a’ pada
pulsasi vena jugularis
2. Intensitas suara jantung
pertama yang Mungkin ada Tidak ada
bervariasi
EKG
1. Lebar QRS Biasanya >140 ms <140 ms
2. Hubungan AV AV dissociation (<50% VT) (Gambar 3)
Fusion Beats (kombinasi sinus dan
takikardi QRS) (gambar 3)
Capture Beats (depolarisasi total dari
ventrikel oleh konduksi sebuah sinus
beat)
Caveats
Riwayat overdosis obat (OD) sering tidak dapat dipercaya. Sehingga seseorang harus
memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi dan asumsikan kemungkinan overdosis berbagai
macam obat termasuk konsumsi alcohol. Lihat Annex untuk mengetahui sumber
keracunan utama di Singapore.
Berikan perhatian lebih pada pemeriksaan fisik untuk mengetahui petunjuk tipe keracunan
yang terjadi.
Pasien dengan AMS dengan kecurigaan OD harus di-EKG untuk mengeksklusi
kemungkinan keracunan antidepresan golongan siklik dan periksa GDA untuk
mengeksklusi adanya hipoglikemi. Pertimbangkan beberapa diagnosa banding AMS
lainnya. Lihat bab AMS (Altered Mental State).
Ingat bahwa manajemen yang bijaksana dalam menangani OD meliputi pemberian
perhatian pada keadaan emosional/psikologis pasien, disamping juga harus menangani
efek klinis dari OD.
Gastric Lavage jangan digunakan secara rutin pada setiap kasus OD. Lihat baba Gastric
decontamination untuk lebih detilnya.
Riwayat/Anamnesa
Pasti OD atau OD yang masih belum jelas?
Apa, kapan, seberapa banyak, bagaimana, dimana, kenapa? Gejala akibat paparan?
Apa ada risiko bunuh diri? Jika ada, konsul bagian psikiatri.
Riwayat psikiatri dan penyakit dahulu (termasuk riwayat pengobatan).
Apa ada percobaan bunuh diri sebelumnya?
Pemeriksaan fisik
Tanda Vital
Lihat tabel 1 untuk lebih detilnya
Bau
Bau yang jelas : bensin/bahan pemutih/insektisida
Bau lain dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 1 : Diagnosa Banding Beberapa Tanda Vital Akibat Over Dosis Obat
Pemeriksaan Neurologik
Tingkat Kesadaran : Lihat beberapa jenis obat dan racun yang dapat menyebabkan
koma atau stupor
CNS Depressan Umum Hipoksia selular
Antikolinergik Karbonmonoksida
Antihistamin Sianida
Barbiturat HIdrogen sulfida
Antidepresan gol.siklik Metamoglobinemia
Etanol dan alcohol lain
Fenotiazin
Obat sedative-hipnotik
Zat Simpatolitik Mekanisme lain atau yang tidak diketahui
Klonidin Bromida
Metildopa Hypoglicaemic agents
Opiat Litium
Phencyclidine
Salisilate
Pupil : obat–obat dan racun yang berefek pada pupil :
MIOSIS (‘COPS’) MIDRIASIS (‘AAAS’)
C Cholinergics, klonidin A Antihistamin
O Opiat, organofosfat A Antidepresan
P Phenotiazines, pilocarpin, pontin bleed A Antikolinergik, atropin
S Sedatif-hipnotik S Simpatomimetik (kokain, amfetamin)
Toxidromes
Opioid
1. Koma
2. Depresi respiratori
3. Pinpoint pupil
4. Hipotensi
5. Bradikardi
Kolinergik (‘SLUDGE”) misalnya organofosfat/karbamat
S Salivasi
L Lakrimasi
U Urinasi (BAK)
D Defekasi
G Gastric emptying (pengosongan lambung)
E Emesis
1. ‘Drowning in their own secretions’ (tenggelam dalam sekret mereka sendiri)
a. Bronchorrhoe
b. Spasme bronkus
c. Edema pulmonal
2. AMS
3. Kelemahan otot dan paralise
4. Bau bawang putih
Antikolinergik; misal antihistamin, siklik antidepressant, homatropin, skopolamin
1. Hipertermi
2. Vasodilatasi kutan
3. Penurunan salivasi
4. Sikloplegia dan midriasis
5. Delirium dan halusinasi
6. Tanda-tanda lainnya
a. Takikardi
b. Retensi urin
c. Penurunan motilitas GIT/ hilangnya bising usus
Salisilat
1. Demam
2. Takipneu
3. Vomiting
4. Letargi (jarang terjadi koma)
5. Tinnitus
Simpatomimetik misal : kokain, amfetamin
1. Hipertensi
2. Takikardi
3. Hiperpireksi
4. Midriasis
5. Ansietas atau delirium
Sedatif-hipnotik misal : barbiturate, benzodiazepine
1. Perubahan pupil yang tidak dapat diprediksi
2. Kebimgungan atau koma
3. Depresi nafas
4. Hipotermi
5. Vesikel atau bulae
Ekstrapiramidal : Gambaran parkinsonian (‘TROD”)
1. Tremor
2. Rigiditas
3. Opistotonus, krisis okulogirik
4. Disfonia, disfagi
Kategori obat ini termasuk ‘zines’
1. Klorpromazin (Largactil/Thorazine)
2. Proklorperazin (Stemetil/Compazine)
3. Haloperidol (Haldol)
4. Metoklopramide (Maxolon/Reglan)
Hemoglobinopati
1. Karboksihemoglobinemia
a. Sakit kepala
b. Nausea, vomiting, gejala ‘flu like’ illness
c. Sinkope, takipnoea, takikardi
d. Koma, konvulsi
e. Kollaps kardiovaskular, gagal nafas
2. Metamoglobinemia
a. Manifestasi klinis yangmenonjol adalah sianosis (‘chocolate blood’)
b. Asimtomatik (level metamoglobin <30%)
c. Fatigue, kelemahan, pusing, sakit kepala (level metamoglobin 30-50%)
d. Letargi,stupor, depresi nafas (level metamoglobin >55%)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
FBC : peningkatan TWC = infeksi/zat besi/teofilin/hidrokarbon
Elektrolit Serum
1. Anion Gap = [Na+] - [HCO3-]- [Cl-]
2. Anion gap normal = 8 sampai 16 mEq/l
Asidosis metabolic/peningkatan anion gap
C Carbonmonoxide, sianida M Metanol, metamoglobin
A Alkoholic ketoacidosis U Uremia
T Toluene D Diabetik ketoasidosis
P Paraldehide
I INH/Besi
L Laktic asidosis
E Etilen glikol
S Salisilat, solvent/pelarut
Serum Urea dan kreatinin : untuk mengidentifikasi adanya disfungsi ginjal
Pemeriksaan toksikologi terhadap kadar obat, bermanfaat pada :
1. Paracetamol
2. Salisilat
3. Kolinesterase
4. Besi
5. Litium
6. Teofilin
7. Karbonmonoksida
Foto X Ray
Dada
1. Agen yang toksik terhadap pulmo, contoh hidrokarbon/gas toksik/racun/paraquat
2. edema pulmonal non kardiak, contoh : opiate/fenobarbiton/salisilat/karbonmonoksida
Abdominal : toksin radioopaque pada foto x ray (‘CHIPES”)
C Chloral hydrate
H Heavy metal /logam berat
I Iron (besi)
P Phenothiazine
E Enteric-coated preps (salisilat)
S Sustained release products (teofilin)
EKG
Siklik antidepresan mempengaruhi system konduksi kardiak, misal PR yang memanjang
dan QRS interval yang memanjang
Manajemen
Pasien dengan AMS atau instabilitas hemodinamik harus ditangani pada area critical care.
Walaupun banyak kasus OD yang dapat ditangani pada area intermediate care.
Flumazenil (Anexate)
Mekanisme Kerja : merupakan suatu Benzodiazepin (BZD) yang secara struktural terkait
dengan midazolam. Flumazenil berkompetisi dengan benzodiazepine lain pada reseptor
omega I pada CNS.
Efek Klinis : Onset 1-2 menit dengan efek puncak dalam 3-5 menit.
Durasi efek : 1-4 jam
Dosis kecil berkebalikan terhadap hypnosis, yaitu sedasi BZD
Dosis Besar berkebalikan terhadap efek antikonvulsan BZD.
Indikasi : Overdosis BZD dalam kondisi sedasi yang masih sadar akan meningkatkan
status pernafasan.
Peningkatan tingkat kesadaran pada kasus OD benzodiazepine untuk mencegah
prosedur intubasi atau invasive.
Dosis : inisial 0,2 mg iv; tunggu 30 detik, kemudian diulangi pada dosis 0,3mg iv; jika
diperlukan, dapat diberikan 0,5 mg/menit lagi sampai dosis total 3-5 mg.
Efek Samping : BZD withdrawal
Kejang, terutama pada pasien ketergantungan siklik antidepresan atau BZD.
Flush
Nausea dan/ atau vomiting
Ansietas, palpitasi, ketakutan
Kontraindikasi : Psien yang mengkonsumsi BZD dalam jangka panjang untuk
mengkontrol kejang.
Penggunaan BZD untuk antisipasi, misal sedasi, relaksasi otot, antikonvulsi.
Toksisitas siklik antidepresan yang terjadi bersamaan.
Trauma kepala yang berat
Tiamin : umumnya aman; diindikasikan pada semua pasien alkoholik atau pada lansia,
malnutrisi. Dosis : 100 mg iv bolus selama 1-2 menit.
Dekontaminasi
Tergantung pada agent yang terlibat, perlengkapan proteksi yang tepat harus
digunakan. Pada kadar minimal, petugas harus mematuhi seluruh peraturan dasar yang
berlaku.
Prosedur dekontaminasi:
1. Pindah dari area yang terkontaminasi
2. Buka seluruh pakaian yang terkontaminasi
3. sikat bersih seluruh kulit dari kontaminasi bubuk untuk menghindari reaksi
eksotermik ketika kontak dengan air yang digunakan untuk dekontaminasi.
4. Cuci seluruh area dengan air dan/atau larutan sabun (dan shampoo rambut).
Gunakan scrub yang halus jika ada.
5. Area yang harus diperhatikan adalah kepala, aksila, ‘groin’ dan punggung.
6. Sikat bagian bawah kuku
7. Irigasi mata jika terkontaminasi
8. semua luka yang terbuka harus didekontaminasi dengan air.
Tujuan akhir dekontaminasi
1. Sampai terjadi pengurangan rasa nyeri, jika paparan terhadap kulit terjadi secara
primer
2. Jika terjadi kontaminasi pada mata, sampai gejala nyeri menghilang dan/atau ada
kemungkinan perubahan warna pH kertas Litmus sesuai dengan sifat agent yang
terlibat.
3. Dekontaminasi penuh harus dilakukan 5-8 menit.
Dekontaminasi Lambung
Dilusi : air/susu
Gastric lavage harus tidak dilakukan sebagi penatalaksanaan rutin pada pasien
keracunan. Pada penelitian eksperimental, jumlah marker yang dikeluarkan melalui
gastric lavage sangatlah bervariasi dan akan menghilang seiring waktu. Tidak ada
bukti yang pasti bahwa penggunaannya akan memperbaiki outcome pasien serta dapat
menyebabkan morbiditas yang cukup bermakna.
Indikasi : Tidak dipertimbangkan kecuali pasien telah menelan sejumlah zat racun
yang berbahaya bagi jiwa dalam waktu 1 jam sejak ditelan. Walaupun
demikian, manfaat klinis belum dapat dipastikan melalui penelitian yang ada.
Kontra indikasi Penelanan zat korosif
Penelanan zat distilasi petroleum
Keadaan yang menuju kejang
Penelanan zat Non toxic
Penelanan bahan yang tajam
Diatesis hemorhagik signifikan
Prosedur : Gunakan Tube yang paling besar
Untuk memproteksi jalan nafas
Tempatkan pasien pada posisi left lateral dan posisi mild tredelenburg
Periksa penempatan tube dengan benar
Aspirasi isi lambung dan simpang specimen untuk dikirim/diperiksa
Lakukan cuci lambung dengan cairan
Gerakkan lambung
Ulangi hingga cairan yang dicuci telah jernih
Arang aktif
1. Dosis tunggal : jangan diberikan secara tunggal pada penatalaksanaan keracunan.
Berdasarka penelitian yang menggunakan sukarelawan, efektivitas arang karbon
aktif akan menurun seiring waktu; manfaat terbaik ditemukan dalam waktu 1 jam
setelah dikonsumsi/ditelan.
2. Indikasi : dapat dipertimbangkan jika pasien telah menelan sejumlah zat toksik
(yang dapat diserap oleh arang aktif) dalam waktu 1 jam; data yang ada belum
cukup untuk menentukan keefektivitasan penggunaaan arang aktif bila digunakan
lebih dari 1 jam sejak penelanan racun. Juga tidak ada bukti yang menyatakan
adanya kemajuan output klinik setelah penggunaan arang aktif.
3. Dosis multiple : pemberian ulang (>2 dosis) bertujuan untuk meningkatkan efek
eliminasi obat. Cara kerjanya:
A. Berikatan dengan obat yang berdifusi dari sirkulasi ke dalam lumen usus.
Setelah absorbsi, obat akan masuk kembali ke dalam usus dengan difusi
pasif yang dihasilkan karena konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan
dengan di darah. Laju difusi pasif bergantung pada gradient konsentrasi
dan aliran darah. Gradient konsentrasi ini dipertahankan dan obat akan
terus masuk ke lumen usus dimana kemudian ia akan diabsorbsi oleh arang
aktif. Proses ini dikenal sebagai “Gastrointestinal Dialysis”.
B. Mengganggu sirkulasi obat pada siklus enterohepatik dan enterogastrik.
4. Indikasi : Dosis multiple arang aktif harus dipertiombangkan hanya jika pasien
menelan sejumlah obat yang mengancam jiwa, misalnya carbamazepin, dapsone,
fenobarbitone, quinine atau teofilin.
5. Obat-obatan yang dapat diserap oleh Arang aktif:
Asetaminofen Digoksin Meprobamate Fenilpropanolamin
Amfetamin Ethchlorvynol Mercuric Chloride Fenitoin
Arsenik Glutethamide Metilsalisilat Propoksifen
Aspirin Imipramide Morfin Quinidin
Chlorpheniramine Iodine Nortryptilin Quinine
Klorpromazine Ipekak Paraquat Salisilat
Kokain Isoniazide Fenobarbitone Secobarbitone
6. Substansi yang tidak diabsorbsi oleh arang aktif
a. Ion sederhana : besi, litium, sianida
b. Asam dan basa kuat
c. Alkohol sederhana : methanol, etanol
Katartik : pemberian katartik secara tunggal tidak memiliki peran pada pasien yang
keracunan., serta tidak direkomendasikan sebagai metode untuk dekontaminasi usus.
Berdasarkan data yang tersedia, penggunaaan rutin katartik sebagai kombinasi dengan
arang aktif tidak dibenarkan. Jika menggunakan katartik maka harus dibatasi sebagai
dosis tunggal untuk meminimalisir efek samping yang ada.
Mekanisme kerja : penurunan waktu transit gastrointestinal (kontroversi)
Menetralisir efek konstipasi dari arang aktif
Juga berguna untuk irigasi bowel.
Kontraindikasi Diare yang sebelumnya telah terjadi
Obstruksi bowel/ileus
Keadaan deplesi volume cairan tubuh
Bayi
Gagal ginjal sebagai kontraindikasi penggunaan magnesium yang
mengandung katartik
Trauma abdomen
Manajemen
Isolated Seizure pada sebuah keadaan Epileptik
Ambil darah untuk mengetahui kadar antikonvulsan
1. Jika rendah, berikan obat dengan dosis dua kali lipat
2. Jika pasien ‘non-compliance, maka buat keadaan menjadi ‘compliance’.
3. Jika keadaan pasien telah compliance terhadap obat, maka tingkatkan dosis jika dosis
maksimum belum tercapai.
4. Jika dosis maksimum telah tercapai, maka konsul neurologist untuk pemberian
antikonvulsan yang lain.
Tabel 1 : Penyebab Umum Kejang
Epilepsi idiopatik
Epilepsi Jaringan parut/scar (sekunder akibat stroke sebelumnya atau trauma kepala)
Meningitis atau ensefalitis
Tumor otak (primer atau sekunder)
Ketidakseimbangan elektrolit seperti hipoglikemi, hipokalemi, hipomagnesemia
Obat-obatan atau alcohol
Convulsive syncope karena disritmia jantung (ventricular fibrilasi/takikardi, torsades de pointes)
Kejang demam (pada anak kecil usia 6 bulan sampai 5 tahun)
Penempatan : Observasi di ED selama 2-3 jam; KRS bila sudah tidak ada kejang. Rujuk
ke klinik neurology.
Kejang pertama pada pasien yang tidak diketahui memiliki riwayat epilepsy
Catatan : kejang dengan tidak adanya pulsasi utama harus diasumsikan disebabkan karena
ventricular fibrilasi sampai terbukti bukan.
Dengan demam
1. Periksa GDA
2. Lab: FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium
3. penempatan :
a. meningitis
b. ensefalitis
c. abses serebral
d. Subarachnoid hemorrhage
Tanpa demam : eksklusi penyebab yang mungkin:
1. Cek GDA
2. Lab : urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium
3. EKG pada pasien tua untuk mencari tanda iskemik atau disritmia
4. Pertimbangkan foto polos kepala jika terdapat riwayat trauma
5. Penempatan :
a. Observasi pada ED selama 2-3 jam. Jika pasien baik, dan tidak ada
abnormalitas pada hasil laboratorium, KRS-kan pasien untuk kontrol ke poli
neurology.
b. Tidak perlu untuk memulai pemberian antiepilepsi
c. Peringatkan pasien agar tidak mengemudi, mengendarai sepeda, minum
alcohol, berenang atau kegiatan memanjat.
d. MRS jika (1) penyebab ditemukan, contoh : faktor risiko positif untuk
abnormalitas intra cranial seperti trauma, alkoholisme, malignansi, shunts,
HIV positif, CVA lama; (2) ada abnormalitas neurologik; (3) pasien tidak bisa
melakukan kontrol untuk follow up; atau (4) pasien atau keluarga pasien
memaksa untuk dirawat.
Status epileptikus
Didefinisikan sebagai kejang ≥ 2 kali tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan atau kejang
yang terus-menerus ≥ 30 menit.
Terapi suportif
1. Jalan nafas : tempatkan pasien pada posisi recovery
2. Buka dan pertahankan jalan nafas
3. lakukan ‘suction’ pada setiap vomit yang terjadi dengan kateter Yankauer
Catatan : jika pasien tetap kejang, jangan mencoba memasukkan ‘oral airway’,
membersihkan sekresi oral atau mengintubasi pasien.
4. Berikan oksigen aliran tinggi melalui reservoir mask
5. Persiapkan peralatan intubasi kalau saja anda tidak mampu untuk mempertahankan
jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat.
6. Monitoring : tanda vital, EKG, dan pulse oksimetri
7. Akses IV
8. Lab :
a. Cek GDA
b. FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium, fosfat, BGA
c. Pertimbangkan untuk periksa LFT, antikonvulsan individual, toksikologi
serum termasuk etanol.
d. CXR dan urinalisis utnuk mengeksklusi penyebab
e. Kateter urin
Terapi obat
1. Benzodiazepin
Dosis : Untuk dewasa, IV valium 5 mg bolus pelan tidak melebihi 2 mg per menit;
dapat diulang tiap 5 menit (sampai total 20mg). untuk bayi dan anak, IV valium
0,02mg/kg pelan, tidak melebihi 2mg/menit; dapat diulang tiap 5 menit (sampai total
10 mg), valium per rectal 5mg suppositoria x 1 PR.
2. Fenitoin
Dosis : infus fenitoin iv 18mg/kgBB pelan-pelan, tidak melebihi 50mg/menit. Namun
Pemberiannya melalui infus tidak boleh melebihi 60 menit karena presipitasi
cenderung terjadi setelah waktu tersebut. Iv fenitoin diberikan tanpa
dilusi/pengenceran (membutuhkan monitoring EKG dan tekanan darah).
3. Barbiturat jangka panjang : fenobarbitone
Dosis : IV fenobarbitone 10 mg/kg bolus lambat dengan kecepatan 100mg/menit,
diikuti dengan jika diperlukan, iv fenobarbitone 10 mg/kg bolus lambat pada
kecepatan 50 mg/menit.
4. Pertimbangkan intubasi rapid sequence : lihat bab Airway Management/rapid
sequence Intubation
Penempatan : MRS di bagian Neurologi HD/MICU setelah konsultasi.
28. Syok/Keadaan Hipoperfusi
Definisi
Syok merupakan kondisi patofisiologis dimana perfusi jaringan dan organ yang tidak
adekuat menyebabkan keadaan hipoperfusi dan hipoksia seluler yang kemudian diiukuti
dengan keadaan sequele lainnya. Outcome pada semua pasien syok tidak tergantung dari
penyebabnya (lihat tabel 1).
Biasanya, tekanan darah sistolik kurang dari normal menurut usia dengan tanda klasik
hipoperfusi seperti pucat, kulit yang dingin, takikardia, diaforesis, atau syok dengan
AMS. Pengecualian yaitu pada Syok septic, dimana pada keadaan dini, terdapat sirkulasi
hiperdinamik dengan kulit yang hangat dan pulsasi yang bounding. Lihat tabel 2 untuk
mengenali berbagai tipe syok.
Caveats
Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling sering terjadi di ED, dan semua
tahap dari syok tersebut harus ditangani seperti saat awal sampai etiologinya dapat
disingkirkan.
Pengenalan yang tepat serta inisiasi terapi sangatlah penting untuk mengurangi mortalitas
akibat syok. Evaluasi penyebab syok dilakukan bersamaan dengan penatalaksanaannya.
Penempatan
Semua pasien dengan syok harus dimasukkan pada HDW atau ke ICU sesuai dengan
bagian yang menangani setelah melakukan konsultasi.
Jika ada keterlibatan trauma multiple, maka team trauma harus segera di aktifkan. Lihat
bab Trauma, Multiple.
29. Stridor
Caveats
Jika jalan nafas pasien paten dan terjaga, jangan mengganggu atau memanipulasi jalan
nafas.
Usahakan pasien memperoleh posisi yang nyaman, contoh pada anak yang ingin
dipangkuan ibunya.
Jangan biarkan pasien meninggalkan ED, contoh untuk X ray.
Manajemen
Lihat Tabel 1 untuk membedakan Croup/ALTB dengan epiglotitis
Terapi suportif
Kasus moderat sampai parah/berat harus ditangani di area critical care. Hanya kasus
ringan yang dapat ditangani pada area intermediate acuity (tabel 2).
Lihat tabel 3 untuk mengetahui apa dan apa yang tidak pada penanganan anak-anak
dengan stridor.
Peralatan manajemen jalan nafas,termasuk krikotirotomi harus selalu tersedia.
Persiapkan team yang meliputi ahli anestesi dan bedah THT.
Obat-obatan resusitasi harus tersedia.
Berikan oksigen aliran tinggi untuk mempertahankan SpO2 >95%.
Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
Pasang jalur intravena.
Lab : bersifat optional
1. FBC, urea/elektrolit/kreatinin preoperative
2. BGA, COHb pada inhalasi asap
3. kultur darah pada suspek epiglotitis
X ray jaringan lunak leher dari arah lateral dan CXR jika waktu dan kondisi pasien
memungkinkan.
Terapi Obat
Pada Angioedema
1. Adrenalin : larutan 1 : 10.000 5µg/kg (0,05 ml/kg) iv atau melalui ETT. Berikan
separuhnya sebagai bolus dan separuhnya dititrasi sesuai respon klinik, atau
2. Adrenaline : larutan 1 : 1000 10 µg/kg (0,01 ml/kg) IM dalam, sampai maksimum
yaitu 0,3 ml pada anak-anak dan 0,5 ml pada dewasa.
3. Difenhidramin 2mg/kg IV pada bayi/anak-anak dan 12,5-25 mg IV pada dewasa.
4. Hidrokortison 5 mg/kg IV
Pada suspek epiglotitis : ceftriaxone (Rocephin) 2 g IV bagi dewasa, atau 100 mg/kg IV
pada anak-anak.
Pada Croup (ringan / moderat) : 5 ml NS sebagai uap nebulizer dingin tiap 15 menit.
Pada croup (severe/parah) : Adrenalin dibuat nebulizer sebanyak 5 ml dalam larutan
1:1000 di dalam 2,5 ml air steril.
Penempatan : Pada kasus yang moderat samapai severe, harus dimasukkan ke dalam ICU
atau OT untuk konsultasi. Croup yang menghilang dengan nebulizer saline dapat di KRS-
kan namun follow up dalam 24 jam harus diatur.
Kriteria MRS meliputi :
1. Appearance yang toksik
2. dehidrasi atau ketidakmampuan untuk menahan cairan per oral
3. Stridor yang memburuk atau retraksi pada saat istirahat.
4. Orang tua yang tidak bisa diandalkan
5. tidak ada perbaikan dengan nebulisasi adrenalin, atau memburuk dalam 2-3 jam
setelah pemeberian adrenalin.
Tabel 3 : Apa yang Dilakukan dan Tidak boleh Dilakukan pada Anak Dengan Stridor
Yang Harus Dilakukan Yang tidak Boleh Dilakukan
Perlakukan dengan lembut Jangan melihat ke dalam tenggorokan
Biarkan anak pada posisi yang nyaman Memaksa anak untuk berbaring
Berikan Oksigen yang lembab Melakukan venepuncture sebelum pemeriksaan
Bentuk tim airway : terdiri dari tim anestesi airway oleh ahli anestesi
dan ENT Memaksa melakukan x-ray leher lateral
Atur bed pada ICU jika diperlukan
Angioedema / anafilaksis
Patensi dan proteksi jalan nafas merupakan prioritas in manajemen
Pemberian oksigen tidak ditujukan untuk meningktakan agitasi dan mencetuskan henti
nafas.
Pasang akses iv peripheral untuk ‘fluid challenge’ dengan larutan kristaloid.
Terapi Obat : lihat Terapi utama pada bab Stridor
Inhalasi Asap
Injury ditangani awalnya dengan terapi oksigen yang lembab dan dingin
Jalan nafas buatan mungkin diperlukan karena secret yang dihasilkan akan berlebihan
Indikasi untuk Intubasi endotrakeal :
1. Hipokesmia yang tidak berespon terhadap supplemental oksigen
2. peningkatan PCO2
3. Obstruksi jalan nafas yang semakin memburuk
Cek BGA specimen (termasuk COHb). Lihat bab Poisoning, Carbonmonoxide.
Lakukan EKG untuk mengeksklusi iskemik.
Lakukan CXR untuk mengeksklusi barotraumas.
30. Sinkope
Definisi
Sinkope merupakan keadaan yang mendadak, hilangnya kesadaran ringan karena gangguan
sirkulasi serebral transient karena berbagai sebab, biasanya terjadi tanpa adanya penyakit organic
atau serebrovaskular.
Caveats
Banyak kemungkinan penyebab sinkope namun yang paling sering sesuai dengan
evidence yang telah dipublikasikan antara lain:
1. Kardiak (4-25%)
2. Vasodepresor vasovagal (8-37%)
3. Hipotensi ortostatic (4-10%)
4. Sinkope Micturition (1-2%)
5. Hipoglikemi (2%)
6. Etiologi Tidak diketahui (13-41%)
Lihat gambar 1 untuk mengetahui penyebab sinkope
Kehilangan darah merupakan sinkop yang mengancam jiwa. Kemungkinan perdarahan
GIT harus dicari pada semua pasien. Pada pasien wanita yang memiliki kemampuan
untuk hamil, pertimbangkan kehamilan ektopik.
Pencarian penyebab sinkope jangan diteruskan jika hipotensi postural talah ditemukan.
Pemeriksaan pasien
Riwayat yang lengkap sulit untuk didapatkan karena sering sekali pasien lupa kejadian
yang dialaminya. Juga sulit untuk membedakan secara bersamaan antara kejadian
syncopal dari kejang (tabel 1).
Pemeriksaan fisik yang penting untuk evaluasi sinkope adalah :
1. Tanda kehilangan darah : pucat, takikardi, tekanan darah pada posisi berdiri atau
berbaring.
2. Tingkat kesadaran pasien : jika mengantuk, pikirkan keadaan post ictal, perdarahan
subarachnoid, atau hipoglikemi.
3. pemeriksaan kardiovaskular untuk abnormalitas ritme jantung, murmur, dan gejala
gagal jantung.
4. Carotid bruit mungkin mengindikasikan adanya TIA sebagai penyebab
5. Bukti adanya deficit neurologist, mengindikasikan adanya keadaan iskemik.
6. pemeriksaan rectum untuk mencari adanya darah
Tekanan Darah harus dilakukan pada semua pasien. Harus dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1. 2 orang diperlukan (untuk mencegah pasien dari “falling”)
2. periksa tekanan darah posisi berbaring dan nadi setelah 10 menit posisi berbaring
3. Pasien berdiri selama 2 menit
4. Lakukan pemeriksaan BP dan nadi
5. Jika pasien tidak dapat melakukannya, lakukan pemeriksaan sambil duduk, dengan
posisi kaki tergantung dibawah kursi.
6. Definisi hipotensi posturtal : penurunan pada SBP > 20 mmHg atau peningkatan PR
>20x/menit.
Gambar 1 : Penyebab Sinkope
Pengisian ventricular
yang inadekuat Tamponade perikardial
Serebral
Cth: emboli paru, suclavian
Sekunder steal syndrome, aortic arch
(vascular) syndrome
Neurogenik
Bradikardi
Sindrom
hipersensitivitas
sinus karotid
Reaksi
vasodepressor
Kejang Sinkope
Posisi pasien Posisi apapun Jarang pada posis berbaring kecuali
pada Stokes-Adams attack
Warna pasien Mungkin tidak berhenti, Pucat
walaupun mungkin tidak ada
sianosis
Onset Dengan aura, luka akibat jatuh Tanpa aura, injury akibat jatuh jarang
sering terjadi terjadi. Namun, lebih sering untuk
mengalami pengeluaran keringat atau
nausea sebelum kejadian.
Sering tidak ada walaupun ada
Gerakan tonik-klonik Sering aktivitas seperti kejang klonik ringan
dengan buka-tutup dapat mengikuti episode pingsan
mata, lidah tergigit Lebih singkat
Periode Tidak sadar Lebih lama Jarang
Inkontinensia Urin Sering Cepat
Kembalinya kesadaran Lambat Kelemahan fisik dengan sensorium
Sequele Kebingungan mental, sakit yang jelas
kepala, mengantuk, dan nyeri
otot sering terjadi Biasanya tidak ada
Perkataan berulang Mungkin ada
secara tidak sadar pada
individu muda
Pemeriksaan Penunjang
EKG, harus dilakukan pada semua pasien
1. EKG yang normal membuat kemungkinan iskemik kardiak sebagai penyebab menjadi
mengecil, namun tidak mengeksklusi disritmia.
2. Hasil EKG yang abnormal mengindikasikan adanya risiko hubungan antara keadaan
sinkope dengan penyakit kardiovaskular. Lihat kondisi yang dapat menjadi
predisposisi untuik terjadinya disritmia, contoh : sindroma Wolff-Parkinson-White
atau sindroma QT yang memanjang.
Pemeriksaan optional, tergantung pada indeks kecurigaan, yang meliputi:
1. GDA untuk mengetahui hipoglikemi
2. HCG urin untuk kecurigaan kehamilan ektopik
3. CT scan kepala jika dicurigai ada keadaan patologis CNS
4. Elektrolit dan FBC tidak dilakukan secara rutin.
Stratifikasi Risiko
Stratifikasi risiko akan mempermudah pemeriksaan obyektif untuk tatalaksana dan
penempatan pasien dengan sinkope.
Kategori Risiko Tinggi
Infark Miokard akut, miokarditis, disritmia, block jantung tingkat 2 dan 3, disfungsi pace
maker, ventricular takikardi, sindroma QT memanjang, masalah OBG, kehamilan ektopik,
perhdarahan antepartum, perdarahan GIT yang hebat, emboli paru, heat stroke,
perdarahan subarachnoid.
Yang harus dilakukan :
1. Pindahkan ke area critical care jika hal tersebut tidak dilakukan lebih awal
2. Resusitasi secepatnya
3. Pertimbangkan MRS pada intensive care
4. lakukan konsultasi pada spesialis/bagian yang terkait
Kategori Risiko Sedang
Bukti klinis adanya obstruksi aliran keluar LV, seperti AS, suspek CVA atau TIA,
hipovolemi, perdarahan GIT ringan sampai moderately severe, menorrhagi, GE yang
parah, heat exhaustion, hipoglikemi, pasien dengan IHD, CCF atau SVT dan sinkop yang
diinduksi oleh obat.
Yang Harus Dilakukan :
1. Stabilakn pasien
2. Pertimbangkan untuk meng-MRS-kan pasien
Kategori Risiko Rendah
Sinkope vasovagal, heat sinkope, sinkope karena situasional (micturition syncope,
postprandial, tussive), sinkope psikogenik, gangguan ansietas dan panic, hiperventilasi,
hipotensi supine jangka pendek (setelah emeriksaan OBG) dan sinkope lain yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya (hasil normal).
Yang Harus Dilakukan :
1. Eksklusi semua keadaan yang termasuk risiko tinggi dan sedang
2. Observasi selama 2 jam
3. KRS-kan pasien jika sadar, penuh perhatian, serta parameternya stabil.
4. Pada pasien dengan sinkope akibat vasovagal yang rekuren, pertimbangkan untuk
merujuk pada bagian kardiologi untuk tilt tabel test.
31. Trauma, Multipel
Penatalaksanaan Awal
Pendahuluan
Terapi untuk trauma yang serius membutuhkan pemeriksaan yang cepat, juga terapi awal yang
dapat menyelamatkan jiwa. Tindakan ini dikenal sebagai Initial assessment dan meliputi :
Persiapan
Triage
Primary survey (ABCDE)
Resusitasi terhadap fungsi vital
Riwayat kejadian
Secondary survey (evaluasi dari kepala- ujung kaki)
Monitoring post resusitasi yang berkelanjutan
Reevaluasi
Perawatan definitive
Catatan :
Kedua pemeriksaan yaitu primary dan secondary survey harus diulang secara berkala
untuk memastikan tidak adanya proses deteriorasi.
Pada bab ini tindakan yang dilakukan akan dipresentasikan secara longitudinal. Pada
setting klinik yang sebenarnya, banyak aktivitas ini terjadi secara simultan.
Serangan jantung yang terjadi pre hospital biasanya akan berakibat fatal apabila terjadi
lebih dari 5 menit.
Triage
Merupakan kegiatan yang dilakukan pada setting prehospital, namun kadang-kadang dapat
dilakukan pada ED, jika :
Fasilitas yang tidak mencukupi : pasien yang terlihat paling parah yang akan ditangani
lebih dulu.
Jika fasilitas sangat mencukupi : pasien yang paling potensial untuk diselamatkan yang
akan ditangani lebih dulu.
Bernafas (Ventilasi dan oksigenasi jalan nafas secara tunggal tidak akan mendukung ventilasi
yang adekuat).
Pemeriksaan
1. periksa bagian leher dan dada : pastikan immobilisasi leher dan kepala.
2. Tentukan laju nafas dan dalamnya pernafasan.
3. Inspeksi dan palpasi leher dan dada untuk mencari deviasi trakeal, gerakan dada yang
unilateral atau bilateral, penggunaan otot aksesorius, dan adanya tanda-tanda injury.
4. Auskultasi dada secara bilateral, basal dan apeknya.
5. Jika terdapat suara yang berbeda antara kedua sisi dada, maka perkusi dada untuk
mengetahui adanya ‘dullness’ atau ‘hiperresonan’ untuk menentukan adanya
hemotorak atau pneumothorax secara berturut-turut:
a. Tension pneumothorax
b. Flail chest dengan kontusio pulmonal Dapat mengganggu
c. Pneumothorax terbuka pernafasan secara akut
d. Hemothorax massive
Manajemen
1. Pasang pulse oksimetri pada pasien
2. Berikan oksigen konsentrasi tinggi
Catatan : FiO2 > 0,85 tidak dapat dicapai dengan nasal prongs atau dengan face mask yang
simple. Non-rebreather mask dengan reservoir diperlukan untuk mencapai FiO2 100%.
3. Ventilasi dengan bag-valve mask
4. Ringankan keadaan tension pneumothorax dengan memasukkan jarum ukuran besar
secara cepat kedalam ICS 2 pada midklavikular line dari sisi paru yang terkena,
kemudian diikuti dengan pemasangan chest tube pada ICS 5 anterior dari mid aksilari
line.
5. Tutup penumothorax yang terbuka dengan pelekat kassa steril, cukup besar untuk
menutupi tepi luka, dan lekatkan pada tiga sisi untuk menciptakan efek flutter-valve.
Kemudian masukkan chest tube pada sisi sisanya.
6. pasang peralatan monitoring end tidal CO2 (jika tersedia) pada endotrakeal tube.
Caveats
1. Membedakan gangguan pernafasan dengan airway compromised mungkin akan sulit,
karena jika gangguan pernafasan yang terjadi akibat pneumothorak atau tension
pneumothorax namun disalahartikan sebagai suatu masalah jalan nafas sehingga jika
pasien diintubasi, keadaan pasien akan semakin memburuk.
2. Intubasi dan ventilasi dapat menyebabkan terjadinya pneumothoraks; sehingga CXR
harus dilakukan segera setelah intubasi dan ventilasi.
3. jangan paksa pasien untuk berbaring pada trolley terutama bila pasien lebih nyaman untuk
bernafas pada posisi duduk.
Sirkulasi dengan Kontrol perdarahan
Hipotensi setelah terjadi injury harus dipertimbangkan sebagai akibat hipovolemik sampai
terbukti tidak. Identifikasi sumber perdarahannya.
Pemeriksaan cepat dan akurat terhadap status hemodinamik sangat penting. Elemen yang
penting a.l:
1. Tingkat kesadaran : Penurunan tekanan perfusi serebral dapat terjadi akibat
hipovolemi.
2. Warna kulit : kulit kemerahan : jarang menandakan hipovolemia. wajah keabu-
abuan/kelabu, kulit ektremitas putih menunjukkan hipovolemi; biasanya
mengindikasikan kehilangan volume darah setidaknya 30%.
3. Nadi
4. BP jika waktu mengijinkan
a. jika nadi pada radialis teraba, BP >80mmHg
b. Jika hanya ada di Carotid BP > 60 mmHg.
c. Periksa kualitas nadi; penuh dan cepat
d. Nadi irregular menandakan kemungkinan cardiac impairment
Manajemen
1. tekan langsung daerah perdarahan eksternal
2. pasang jalur IV dengan ukuran 14G atau 16G
3. Darah untuk : GXM 4-6 unit darah, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi
dan BGA jika diperlukan
Catatan : Jika darah gol. O negatif tidak tersedia, gunakan tipe darah yang spesifik
4. berikan terapi cairan IV dengan kristaloid hangat (NS atau Hartmann’s) dan transfuse
darah.
5. pasang monitor EKG :
a. Disrritmia, pertimbangkan tamponade jantung
b. Pulseless electrical activity : pertimbangkan tamponade jantung, tension
pneumothorax, hipovolemia
c. Bradikardi, konduksi abberant, ventricular ektopik,: pertimbangkan hipoksia,
hipoperfusi
6. Pasang kateter urin dan NGT kecuali ada kontraindikasi.
Catatan : output urin adalah indicator sensitive untuk mengetahui status volume tubuh. Kateter
urin merupakan kontra indikasi jika ada kecurigaan injury pada urethra, misal:
a. darah pada meatus uretra
b. Henatom skrotum
c. Prostate tidak bisa dipalpasi
Gastric tube diindikasikan untuk mengurangi distensi lambung dan menurunkan
risiko aspirasi. Darah pada cairan aspirasi lambung mungkin berarti :
a. darah orofaring yang tertelan
b. akibat tauma pemasangan NGT
c. injury pada GIT bagian atas
Jika ada epistaksis atau serebrospinal fluid rhinorrhea yang mengindikasikan
adanya fraktur cribriform plate, pasang NGT per oral daripada melalui nasal.
7. cegah hipotermi
Caveats:
1. hipotensi persisten pada pasien trauma biasanya terjadi karena hipovolemi akibat
perdarahan yang terus-menerus.
2. pada lansia, anak-anak, atlet, dan pasien lain dengan kondisi medis kronik, tidak adanya
respon terhadap hilangnya volume merupakan keadaan yang bisa terjadi. Lansia mungkin
tidak menunjukkan takikardi saat kehilangan darah, lebih parah lagi pada pasien
pengguna beta blocker. Pasien anak yang resah akan sering menunjukkan tanda
hipovolemi yang parah.
3. coba jangan memasukkan emergency suclavian line pada sisi yang sehat dari pasien
trauma dada. Jalur IV femoral dapat digunakan. Jika central line digunakan untuk
resusitasi harus digunakan jarum ukuran besar (>8Fr)
Leher
Pemeriksaan
1. Inspeksi : trauma tumpul dan tajam, deviasi trakea, penggunaan otot pernafasan
tambahan
2. Palpasi : nyeri tekan, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutaneus, deviasi
trakea
3. Auskultasi : periksa ‘bruit’ pada arteri karotis
4. X ray lateral, cross-tabel cervical spine
Manajemen
Pertahankan immobilisasi cervical spine in-line yang adekuat
Dada
Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dan tajam, penggunaan otot pernafasan tambahan,
penyimpangan pernafasan bilateral.
2. Auskultasi : nafas dan suara jantung
3. Perkusi : ‘dull’ atau resonan
4. Palpasi : trauma tumpul dan tajam, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Manajemen
1. Pasang chest tube
2. dekompresi menggunakan jarum venule 14G pada ICS 2
3. tutup luka pada dada dengan benar
4. Lakukan CXR
Catatan : tidak direkomendasikan untuk melakukan Perikardiocentesis. Torakotomi pada
Emergency Room lebih diperlukan pada pasien tamponade jantung. Rata-rata keberhasilan pasien
dengan luka penetrasi pada dada abdomen, serta pada pasien yang baru mengalami serangan
jantung, juga pada pasien dengan trauma tumpul. Sehingga prosedur ini secara umum tidak
diindikasikan pada trauma tumpul.
Abdomen
Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dantajam
2. Auskultasi : Bising usus
3. Perkusi : nyeri tekan
4. Palpasi
5. X ray Pelvis
Manajemen
1. Pemeriksaan klinis pada trauma multiple biasanya sering menghasilkan pemeriksaan
abdomen yang kurang terperinci. Sehingga diindikasikan pemeriksaan FAST (Focuses
Assessment using Sonography in Trauma), CT scan abdomen atau peritoneal lavage.
Lihat Bab Trauma, abdominal.
2. Pindahkan pasien ke ruang operasi, jika diperlukan.
Punggung
Logroll pasien untuk mengevaluasi :
1. Deformitas tulang
2. adanya trauma tajam atau tumpul
Ekstremitas
Pemeriksaan
1. inspeksi : deformitas, perdarahan yang meluas
2. Palpasi : nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal
Manajemen
1. Splinting fraktur yang tepat
2. hilangkan nyeri
3. Imunisasi tetanus
Neurologik
Pemeriksaan : reevaluasi pupil dan tingkat kesadaran, skor GCS
1. Evaluasi Sensorimotor
2. Paralise
3. Parese
Manajemen
Imobilisasi pasien secara adekuat
Perawatan Definitif/Pemindahan
Jika trauma pada pasien membutuhkan penanganan yang lengkap, pindahkan pasien
secepatnya.
34. Kedaruratan Asam Basa
Caveats
Gejala dan tanda kedaruratan asam basa biasanya sangat bervariasi dan kurang
jelas/samar-samar.
Peran dokter EM adalah untuk mengenali adanya gangguan asam basa, mendiagnosa
penyebab yang mungkin dan menangani pasien dalam optimalisasi resusitasi.
Selalu pertimbangkan gangguan asam basa/elektrolit pada pasien AMS
Level PaO2 100mmHg pada pasien yang menerima supplemental oksigen mungkin tidak
normal. Selalu kalkulasikan gradient oksigen alveolar-arterial (A-a gradient).
Asidosis Metabolik
Definisi : pH < 7,35 dan [HCO3-] < 20 mmol/L
1. HAGMA : [HCO3-] < 20 mmol/L dan anion gap > 11 mmol/L
2. NAGMA (asidosis metabolic hiperkloremik) : [HCO3-] < 20 mmol/L dan anion gap <
11 mmol/L
Penyebab : Penyebab HAGMA dapat diringkas dengan SULK atau CATMUDPILES
(tabel 1). Sedangkan penyebab NAGMA dapat diringkas dengan USEDCARP (tabel 2).
Terapi asidosis metabolic : ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mendasari :
1. KAD (hidrasi dan terapi insulin)
2. Syok (hidrasi, inotropik, terapi sepsis)
3. Gagal ginjal (dialysis)
4. penelanan methanol/etilenglikol (etanol)
Terapi bikarbonat: controversial
1. efek samping potensial meliputi gangguan elektrolit (cth : hipokalemia, hipokalsemia,)
asidosis intraserebral dan intraselular paradoksikal, post treatmen alkalosis, overload
cairan, hipernatremi/hiperosmolaritas. Lebih jauh lagi terapi bikarbonat tidak
menunjukkan perbaikan hasil.
2. keuntungan yang mungkin didapatkan perbaikan kontraktilitas miokard, respon terhadap
katekolamin dan status hemodinamik.
3. Patofisiologinya terapi bikarbonat mungkin lebih bermanfaat pada kasus NAGMA
daripada HAGMA. Karena pada NAGMA membutuhkan waktu beberapa hari untuk
penyembuhan ginjal maka ion bikarbonat akan bermakna. Sedang pada HAGMA, terapi
terhadap penyebab dasar menyebabkan perubahan excess anion menjadi bikarbonat.
4. Pasien harus mampu untuk memventilasikan peningkatan CO2 sebelum terapi bikarbonat
diberikan.
5. Rekomendasi terbaru tidak menyarankan terapi bikarbonat secara rutin, kecuali pH < 7,1
dan pasien dalam keadaan compromised hemodinamik.
a. target yang disarankan termasuk pH > 7,1, [HCO3-] > 5 mmol/L
b. Titrasi 50 sampai 100 ml NaHCO3 8,4 % (dengan aliran infus yang lambat dalam
D5%) dan periksa ulang 30 menit setelah selesai.
Catatan : tidak ada rumus yang sempurna untuk menghitung jumlah bikarbonat yang
diperlukan untuk mengkoreksi pH karena status asam basa mengalami perubahan secara
konstan seiring dengan progresivitas penyakit dan terapi.
c. Rumus yang digunakan :
HCO3- (mmol) yang diperlukan = 0,5 x berat badan (kg) x [target - hasil
pengukuran HCO3-] (mmol)
Tabel 1 : Penyebab High anion gap Metabolic Asidosis
S Salisilat, toksin eksogenus (mtformin, C cyanide, CO
matanol, toluene, etilenglikol, besi, A Alkoholik ketoasidosis
paraldehyde) T Toluene
U Uremia M Metanol, metaemoglobin
L Laktic asidosis (cth : segala penyebab U Uremia
syok, hipoksia, metformin, phenformin, D Diabetik ketoasidosis
sianoda, keracunan CO, INH, besi) P Paraldehyde
K Ketoasidosis (diabetic alkoholik, I INH/besi (melalui asidosis laktik)
kelaparan) L Laktic asidosis (cth : semua penyebab syok,
hipoksia, metformin, phenformin, keracunan sianida)
E ethyleneglicol (BUKAN etanol)
S salisilat, solvent
Asidosis Respiratori
Definisi : pH < 7,35 dan PCO2 > 45 mmHg
Penyebab : asidosis respiratori terjadi ketika ekshalasi CO2 berkurang . lihat tabel 3
untuk mengetahui penyebabnya.
Alkalosis metabolic
Definisi : pH > 7,45 dan [HCO3-] > 25 mmol/L
Penyebab : kelebihan bikarbonat menyebabkan alkalosis metabolic yang biasanya
dikeluarkan oleh ginjal. Alkalosis metabolic timbul bila penyebab akut terus berlangsung,
atau mekanisme kompensasi renal terganggu terus menerus tabel 4).
Definisi
Dilatasi arteri terlokalisisr lebih dari 50% diameter normal. Dilatasi kurang dari 50% diameter
arteri normal disebut sebagai ectasia.
Caveats
Terjadi pada 5-7% individu berusia > 60 tahun.
Di Singapura, rasio Pria : wanita 2 : 1, dengan insiden yang rendah pada ras India.
Dapat bermanifestasi sebagai :
1. rupture intraperitoneal katastropik yang menyebabkan kollaps, syok dan kematian.
Sering terjadi perdarahan masuk ke retroperitoneum, yang kemudian menjadi rupture
pada intraperitoneal.
2. nyeri abdomen, flank area atau punggung (kadang menyerupai kolik ureterik).
Catatan : nyeri punggung bisa terjadi karena ekspansi AAA akibat erosi spinal vertebrae
atau menunjukkan adanya rupture aneurisme, yang membutuhkan pembedahan segera.
3. Massa abdomen, sering berdenyut, namun kadang tidak berdenyut.
4. Sinkope dengan hipotensi postural
5. embolisasi menyebabkan iskemik tungkai bawah akut atau ‘mottling’ trunkus bawaj
dan ekstremitas. Embolisasi peripheral dapat menyebabkan ‘blue toe syndrome’
6. fistula aortoenterik timbul sebagai melena.
7. Kompresi bowel, lambung, dan esog\fagus dapat menyebabkan disfagia, perasaan
cepat kenyang, nausea dan vomiting.
Catatan : Mayoritas (75%) asimptomatik.
Sifat AAA simptomatik yang difus dan nonspesifik dapat menyebabkan salah diagnostic.
Pasien lansia dengan hipotensi, syok dan nyeri punggung harus dieksklusi dari rupture
AAA. Kesalahan diagnosa tersering disebabkan kegagalan meraba massa yang berdenyut.
Cari expansile versus transmitted pulsation dengan menempatkan jari sepanjang pulsasi;
deviasi jari kea rah lateral biasanya diakibatkan oleh aneurisme.
Semua pasien dengan massa yang berdenyut > 3 cm harus di USG
Angka mortalitas dari pembedahan emergency adalah 75-90%, dimana pada tindakan
operasi repair elektif hanya sekitar 3-5%.
Patofisiologi
Sebagian besar aneurisme aorta terkait dengan aterosklerosis, sementara etiologi lain
meliputi nekrosis kistik medial, Ehlers-danlos syndrome, dan disseksi.
Penelitian menunjukkan penurunan jumlah elastin dan kolagen pada dinding AAA.
Komponen immunologic pada penyakit atherosclerotic pembuluh darah juga telah
dikenali., dengan infiltrasi makrofag dan limfosit T&B pada dinding aorta. Factor penting
dalam patogenesa AAA adalah ketidakseimbangan antara protease dinding aorta dan
antiprotease.
Susceptibilitas genetic terjadi pada 15-20% insiden AAA diantara hubungan ‘first degree
relative’.
Factor risiko
Hipertensi : pada 40% AAA
Merokok : 8 kali lebih tinggi untuk menderita AAA dibanding tidak merokok
Hiperlipidemi dan hiperhomosisteinemia
Risiko rupture
Berdasarkan Diameter aneurisme :
1. Aneurisme dengan diameter 4-5,5 cm memiliki risiko rupture sebesar 5%
2. Aneurisme dengan diameter 6-7 cm memiliki risiko rupture sebesar 33%
3. Aneurisme dengan diameter >7 cm memiliki risiko rupture sebesar 95%
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hipertensi dan COLD merupakan prediktor
utama rupur AAA dengan ukuran kecil.
Percobaan terbaru pada UK Small Aneurysm Trial dan ADAM Trial menunjukkan tidak
adanya angka keselamatan jangka panjang pada tindakan pembedahan pada aneurima < 4
cm.
Definisi
Urtikaria : plak edematous dan gatal dengan bagian tengah yang pucat dan tepi yang
meninggi.
Angioedema : Edema pada lapisan dalam kulit yang tidak gatal namun dapat terasa
seperti terbakar, mati rasa atau nyeri.
Anafilaksis : reaksi alergi sistemik yang hebat terhadap antigen yang dipresipitasi oleh
pelepasan mediator kimia pada pasien yang tersensitisasi. Paparan sebelumnya terhadap
antigen merupakan syarat yang diperlukan untuk terjadinya syok anafilaksis.
Reaksi Anafilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis, namun tidak membutuhkan kontak
dengan zat karena bukan merupakan proses yang dimediasi oleh system imun. Kedua
keadaan tersebut terjadi karena pelepasan histamine dari mast cell dan makrofag.
Caveats
Keadaan ini menunjukkan spectrum reaksi hipersensitivitas yang bervariasi dari urtikaria
ringan samapai pada anafilaksis yang dapat mengancam jiwa; progresivitas dari bentuk
yang ringan sampai pada anafilaksis yang full-blown dapat terjadi.
Frekuensi
Urtikaria 200 kasus
Angioedema 20 kasus
Anafilaksis 1 kasus
Reaksi ini dimediasi oleh IgE atau IgG4 dan bertanggungjawab terhadap reaksi
anafilaksis yang terjadi, contoh pada reaksi drug-induced (paling sering : Penisilin dan
NSAID) serta :
1. Makanan (kerang, putih telur, kacang)
2. Racun Hymenoptera (lebah, tawon, hornets/penyengat)
3. Reaksi lingkungan (debu, serbuk sari, dll)
Anafilaksis
Syok, stridor, bronkospasme
Evaluasi Klinis Gejala
Tanda awal impending anafilaksis
1. Rasa gatal pada hidung atau stuffiness/kesesakan
2. pembengkakan pada tenggorokan (edema laryngeal atau uvular) atau suara serak
3. Lightheadedness dan sinkope.
4. Nyeri dada, sesak nafas dan takipneu
5. Komplain pada kulit : hangat dan tingling pada wajah (terutama pada mulut), dada
bagian atas, manifestasi pada telapak tangan atau telapak kaki biasanya timbul
pertama kali pada reaksi anafilaksis.
6. Keluhan GIT : nausea, vomiting, diare dengan tenesmus atau nyeri abdomen yang
bersifat kram.
Manajemen
Supportif
1. jika relevan, hentikan allergen yang dicurigai
2. Jika relevan, ‘cungkil keluar’ bekas sengatan dengan pisau. jangan meremas, karena
akan menyebabkan masuknya venom lebih dalam.
3. jika allergen telah ditelan, pertimbangkan gastric lavage dan karbon aktif
4. Jika nadi tidak ada, lakukan external cardiac massage
5. Pasien harus ditangani pada area resusitasi
6. berikan oksigen aliran tinggi
7. Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5 menit
8. Pasang jalur intra vena besar 14G/16G
9. support sirkulasi : 21 Hartmann’s atau NS bolus.
10. Bersiap untuk melakukan Intubasi atau krikotiroidotomi
Catatan : Perhatian ekstra diindikasikan pada pemberian sedasi dan paralysis sebelum
intubasi. Pertimbangkan menggunakan Awake Oral Intubation’; lihat bab Airway
Management/Rapid Sequence Intubation untuk detilnya. Sedasi dan paralysis merupakan
kontraindikasi karena gangguan jalan nafas setelah paralisis dapat menghalangi intubasi.
11. lakukan konsul anestesi dan THT untuk asistensi manajemen airway.
12. Labs : tidak diperlukan segera
Terapi Obat
1. Adrenalin : DOC
a. Pasien normotensi : 0,01ml/kg (sampai 0,5 ml) larutan 1 : 1000 SC/IM dalam.
b. Pasien Hipotensi : 0,1 ml/kg (sampai 5 ml) larutan 1 : 10.000 diberikan
perlahan IV selama 5 menit (atau dengan injeksi IM dalam jika akses IV tidak
tersedia).
c. Pada kasus lain setengah dosis dapat diinfiltrasikan di sekitar lokasi sengatan.
2. Glukagon : pertimbangkan menggunakannya jika adrenalin merupakan kontraindikasi
relative, cth : IHD, hipotensi berat, kehamilan, pasien pengguna beta blocker, atau
yang tidak berespon terhadap adrenalin. Dosis : 0,5-1,0 mg IV/IM; dapat diulang
sekali setelah 30 menit.
3. Pilih salah satu antihistamin pada tabel 1.
Tip : encerkan tiap ml dari 25 mg promethazine (ohenergan) sampai 10 ml dengan NS dan
berikan IV pada kecepatan tidak lebih dari 2,5 mg/menit untuk menghindario efek
samping hipotensi transient.
4. Cimetidine (Tagamet : sebuah H2-blocker) unutk gejala persistren yang tidak
merespon terapi diatas. Dosis 200-400 mg IV bolus.
5. Bronkodilator nebulisasi untuk bronkospasme yang persisten. Berikan salbutamol
(Ventolin) 2 : 2 dengan nebulizaer tiap 20-30 menit.
6. kortikosteroid untuk mempotensiasi efek adrenalin dan menurunkan permeabilitas
kapiler; efek tidak didapat dengan cepat. Dosis Hidrokortison 200-300mg IV bolus;
dapat diulang tiap 6 jam.
Penempatan
Pasien Di-MRS-kan pada ICU/HD setelah konsultasi, untuk observasi dan pengulangan
dosis antihistamin dan steroid.
Urtikaria
Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anfilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis, namun tidak didahului dengan paparan
allergen sebelumnya karena bukan merupakan keadaan yang dimediasi oleh proses
imunologi. Keadaan ini disebabka oleh pelepasan histamine langsung dari sel Mast dan
makrofag.
Manajemen
Penyebab yang sering : bahan kontras radiografik, aspirin, NSAID, opiate.
Terapi : sama dengan anafilaksis
39 Disseksi Aorta (Aortic Dissection)
Definisi
Diseksi aorta merupakan robeknya tunika intima, hematoma intramural atau separasi
tunika media yang terjadi pada pasien dengan factor risiko seperti Marfan’s syndrome,
hipertensi, merokok, aterosklerotik aorta atau pasien yang hamil.
2 Klasifikasi primer : the DeBakey dan Stanford classification
Sistem DeBakey :
1. Tipe I melibatkan aorta ascending, aortic arch dan aorta descending.
2. Tipe II melibatkan aorta ascending, namun tidak meluas ke atas arteri subclavian
sinistra.
3. tipe 3 melibatkan hanya aorta descending, dimulai pada atau distal dari arteri
subclavian sinistra.
System Stanford :
1. tipe A melibatkan aorta ascending (dengan atau tanpa keterlibatan aorta descending)
2. Tipe B melibatkan aorta descending saja
Klasifikasi Stanford lebih sederhana dan terkait dengan terapi.
Caveats
Pertimbangkan diagnosis disseksi aorta pada pasien dengan:
1. nyeri dada/abdomen atas yang mendadak, hebat dan merobek yang menjalar ke
punggung, maksimal pada outset dan migrating/berpindah sejalan dengan waktu.
Nyeri pada IMA tidak bersifat migratory, dan jika keduanya terjadi bersamaan, diseksi
aorta biasanya terjadi lebih dulu daripada IMA.
2. nyeri dada terkait dengan gejala neurologik, sinkope, TIA, stroke atau paraplegia.
3. Nyeri dada dengan peningkatan risiko diseksi aorta, cth : hipertensi, Marfan’s
Syndrome.
4. Defisit Nadi atau perbedaan tekanan darah sistolik pada kedua lengan > 20 mmHg
atau tekanan darah pada tungkai bawah lebih rendah daripada ekstremitas atas.
5. Nyeri dada dengan onset baru murmur aortic regurgitation.
6. nyeri dadadengan mediastinum melebar > 8 cm pada PA CXR.
Diagnosa yang menyebabkan kebingungan dengan disseksi aortic thoracic, meliputi :
1. Infark miokard atau unstabel angina
2. Abdominal disease
3. stroke
4. Iskemik trombosis ekstremitas bawah
5. Pneumonia
6. Penyakit pericardial
Catatan : Diseksi aorta dapat terjadi bersamaan dedngan salah satu penyakit diatas.
Jika diagnosa awal pasien adalah diseksi aorta, sedangkan lebih lanjut tidak ditemukan,
ingat :
1. Pada beberapa kasus, multiple test (transesofageal echocardiography [TEE] diikuti
dengan CT scan, dll) diperlukan untuk mendeteksi penyakit.
2. penyebab paling mungkin selanjutnya adalah penyakit jantung yang serius.
3. jika pasien perlu dievaluasi sebagai diseksi aorta, MRSkan pasien
4. pasien dengan hasil pemeriksaan diseksi eorta yang negative emiliki kemungkinan
mengalami IMA (23%) atau unstabel angina
ingat bahwa diseksi aorta akut lebih sering terjadi 2-3 kali dibanding rupture aneurisme
aorta, dan rata-rata misdiagnosa sebesar 90%. Lebih lanjut, mortalitas pada diseksi tipe a
yang tidak diterapi adalah 1% tiap jam pada 48 jam pertama.
1. Pelebaran mediastinum superior (> 8 cm pada film PA; paling sering yaitu pada 75%
CXR).
2. Ekstensi aortic shadow > 5 mm diatas dinding yang terkalsifikasi (‘eggshell’ atau
‘calsium’ sign; hal ini terjadi karena diseksi akut memisahkan tunika adventitian dan
intima yang terkalsifikasi; merupakan yang paling spesifik namun jarang terjadi.).
3. Obliterasi aotic knob atau tonjolan yang terlokalisir.
4. pembesaran aortic
5. densitas dobel aorta (false lumen kurang radioopaque)
6. hilang ruang antara aorta dan arteri pulmonal.
7. Pelebaran jalur/garis paravertebral.
8. efusi pleural baru (hemathorax bebas)
9. apical Pleural cap ( hemothorax apical yang terlokalisir).
10. Depresi cabang utama bronkus kiri > 140o.
11. pergeseran dan elevasi cabang utama bronkus kanan.
12. Deviasi trakea/endotrakeal tube/NG tube kea rah kanan (menjauhi hematoma yang
terbentuk)
Observasi pasien pada chart sirkulasi dan neurology
Mulai terapi hipotensif jika pasien hipertensi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan
sistolik sampai 100-120 mmHg. Pertahankan output urin > 30ml/jam. Berikan :
1. IV nitroprusside dengan menambahkan 50 mg pada 500 ml D5%. Mulai infus pada
6ml/jam (10µg/menit) dan tingkatkan bertahap 10µg/menit tiap 5 menit jika
diperlukan, serta berikan Iv propanolol 1 mg tiap 5 menit sampai target HR 60-
80x/menit tercapai (berikan sebelum atau simultan dengan nitropruside karena
nitropruside dapat menyebabkan refleks takikardia). atau
2. Infus IV Iabetalol, Iv labetalol lebih mudah diakses dan merupakan alternative yang
baik karena dapat menyebabkan blok alfa dan beta adrenergic. Buat larutan 1 mg/ml
dengan mendilusikan 200mg dalam 200 mL NS atau D5%. Mulai dengan 15 mL/jam
dan tingkatkan setiap 15 menit jika perlu. Alternatifnya berika IV labelatol 20mg
bolus yang diikuti dengan 20-80mg setiap 5-10 menit sampai target HR tercapai,
kemudian mulai infus pada 1-2 mg/jam.
Kontraindikasi penggunaan beta blocker termasuk pasien dengan riwayat gagal
jantung kongstif, heart block, asma, chronoc obstructive lung disease, IV diltiazem
dapat diberikan pada kasus ini menggantikan beta blocker.campurkan 125 mg dalam
100 ml D5% (1 mg/1ml) dan berikan sebagai 20 mg bolus diikuti dengan bolus ulang
dalam 15 menit atau mulai infus pada 5-15 mg/jam.
Jika hipotensif, mulai resusitasi cairan IV. Terapi tamponade jantung yang tidak respon
terhadap resusitasi cairan adalah immediate perikardiosentesis.
Catatan : semua pasien mendapatkan terapi medis awal, tidak memperdulikan tipe diseksinya.
Semua pasien dengan diseksi aortic yang normotensiv atau tidak nyeri harus diterapi
dengan regimen medical. Penurunan tekanan darah dan HR tidak akan menyebabkan
kerusakan serta membantu progresivitas diseksi sama halnya dengan pasien hipertensi.
Indikasi surgical repair disseksi aortic :
1. Semua Diseksi Stanford tipe A
2. Diseksi tipe B dengan komplikasi (rupture, iskemik distal severe, nyeri tak
tertahankan, progresif, hipertensi tidak terkontrol). Diseksi tipe B saja dapat diterapi
medis
3. Hipertensi tidak terkontrol.
4. Progresi Diseksi.
5. hubungi kardiologis on call untuk TEE atau atur untuk Ct thorax jika diagnosa
dicurigai
Catatan: TEE merupakan pemeriksaan untuk diagnosa definitive diseksi aortic pada
pasien yang tidak stabil.
Hubungi bedah TKV secepatnya setelah dx dicurigai ada dan terapi medis sedang
diberikan.
42. Asma
Caveats
‘Tidak semua Wheezing adalah ASMA’ : diagnosa lain seperti gagal jantung
kongestif, obstruksi jalan nafas atas, karsinoma bronkogenik dengan obstruksi atau
metasatase karsinoma dengan metastasis limfangitik.
Asma merpakan kelainan inflamasi kronik yang dikarakterisasi dengan
peningkatan responsivitas jalan nafas sehingga terapi yang diperlukan adalah steroid.
Trias ASMA : dispneu, wheezing dan Batuk.
Tujuan terapi pada ED adalah untuk menghilangkan obstruksi aliran udara,
memastikan kuatnya oksigenasi dan mengurangi inflamasi.
Manajemen
Pada ED, tanda dan gejala serangan asma berat harus diketahui dan ditangani pada area
critical care.
Tingkat keparahan serangan terlihat pada tabel 1.
Tabel 2 menunjukkan factor risiko menderita asma.
Manajemen meliputi suportif dan terapetik. Terapi awal pada asma yang tidak
mengancam jiwa (ringan dan sedang) meliputi kombinasi inhalasi beta
agonis/antikolinergik dengan steroid oral. Lihat flow chart pada gambar 1.
Non-responder akan mebutuhkan nebulisasi intensif, steroid intra vena dan infus
magnesium sulfat jika ada indikasi.
Pasien terus dimonitor dan diperiksa. Pasien yang berespon terhadap terapi ED
membutuhkan follow up (maksimum dalam 24-48 jam) pada dokter ahli paru. Pasien
yang tidak berespon terhadap terapi ED disarankan MRS.
Status mental Dapat agitasi Biasanya agitasi Biasanya agitasi Mengantuk atau
kebingungan
Tanda
Laju Nafas Meningkat Meningkat Sering>30x/menit Menurun
Penggunaan otot Biasanya tidak Sering Sering Paradoksikal
Bantu nafas gerakan
thorakoabdominal
Wheezing Sedang, kadang Nyaring, saat Biasanya nyaring Tidak ada
saat akhir ekshalasi saat inhalasi dan wheezing (‘silent
ekspirasi ekshalasi chest’)
Nadi/menit <100 100-120 Bradikardi
SaO2% (udara >95% 91-95% > 120 Klinis sianosis
ruang)
< 91%
Gambar 1 : Diagram Alur manajemen Asma Batuk
SOB
Pasien Asma Wheezing
NO (TIDAK ADA)
Apakah ada gejala yang
mengancam nyawa?
YA (ADA)
Silent chest
Sianosis, SaO2<91%, bradikardi
Usaha nafas lemah, gerakan thorakoabdominal yang
paradoksikal
Kepayahan, kebingungan atau obtundation
Siapkan intubasi secepatnya : sediakan obat sedasi dan paralysis (lihat bab
Airway Management/Rapid Sequence Intubation).
Lakukan serial BGA untuk mendeteksi hipksemia progresif, hiperkapnea dan
asidosis
Indikasi intubasi: hiperkarbi persisten, hipoksia hebat dengan PaO 2 < 60mmHg
Terapi Suportif
1. Tangani pada Area critical care dengan oksigen aliran tinggi
2. Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5-10 menit
3. Akses IV kristaloid 500ml selama 3-4 jam
4. CXR : pasien yang tidak berespon terhadap terapi awal : cari adanya pneumothorax,
pneumonia atau CCF
Terapi Obat-obatan
1. MDI (Metered Dose Inhaler) dengan jarak : 4 hirupan salbutamol (100µg) + 4 hirupan
atrovent (20mg) tiap 15 menit sampai 1 jam diulangsesuai siklus 2-4jam sekali.
2. Terapi nebulizer Salbutamol (Ventolin) : 1 ml (5mg) salbutamol dengan 2 ml ipatropium
bromide dan 2 ml NS sehingga menjadi 5 ml. (Pada anak 0,03ml/kg Ventolin didilusikan
dalam 2 ml saline : diulang dua kali). Terapi alternative pada 1 kecuali suspek SARS;
dapat digunakan jika pilihan terapi obat pertama gagal.
3. Prednisolone oral 0,5-1mg/kg (maksimum 60mg).
Definisi
Acute Coronary Syndromes (ACS) meliputi kondisi yang meiliki kesamaan patofisiologi oklusi
koronaria, contoh unstabel angina, non ST elevasi MI (NSTEMI) dan ST-segment elevation MI
(STEMI). Manajemen unstabel angina dan NSTEMI pada dasarnya serupa.
Caveats
Pasien biasanya datang dengan gejala :
1. Onset baru (<2bulan) severe angina.
2. Angina yang memburuk, dengan gejala yang lebih sering, lebih parah, atau leboih
lama dan kurang berespon terhadap gliseril trinitrat. (GTN).
3. Angina yang memanjang padaa saat istirahat (>15 menit).
Catatan : Non-STEMI harus didiagnosa pada pasien dengan peningkatan enzim kardiak
tanpa adanya gelombang Q pada IMA. Sebuah keadaan NSTEMI tidak harus ditandai
dengan perubahan EKG.
EKG mungkin menunjukkan :
1. Depresi ST segment
2. Elevasi ST segment transient yang akan mengalami resolve secara spontan setelah
GTN.
3. Inversi gelombang T
4. bukti adanya miokard infark sebelumnya.
5. Left Bundle Branch Block
6. perubahan minor yang tidak spesifik.
7. atau bisa juga normal
EKG tidak harus menunjukkan elevasi akut ST segment yang persisten.
Enzim kardiak konvensional (CK,CK-MB, AST, LDH) dapat normal atau meningkat.
Peningkatan troponin T atau I spesifik untuk kerusakan miokard. Troponin T > 0,1 µg/l,
tes kualitatif troponin T yang positif dan troponin I > 0,4 µg/l, merupakan penanda yang
terkait dengan peningkatan risiko kematian dini pada pasien ACS tanpa ST elevasi pada
hasil EKG. Semakin tinggi konsentrasi troponin semakin besar risiko kematian selama
hari 30-42. Konsentrasi troponin yang normal atau tidak terdeteksi dalam > 12 jam setelah
onset mengindikasikan pasien memiliki risiko yang rendah unutk mengalami komplikasi.
Penelitian membandingkan troponin T dengan troponin I menunjukkan keduanya
sensitive dan spesifik, punya signifikansi indikasi prognostic yang serupa, serta berperan
pada stratifikasi risiko.
Pasien ACS memiliki risiko efek samping dini yang meningkat dibawah kondisi berikut:
1. Usia > 65 tahun
2. Komorbid terutama dengan DM
3. Nyeri jantung yang memanjang pada saat istirahat (>15 menit).
4. Iskemik EKG depresi ST segment pada saat MRS atau selama gejala muncul.
5. EKG menunjukkan inverse gelombang T
6. Bukti adanya kerusakan fungsi ventrikel kiri (preexisting atau selama iskemik
miokard).
7. Pelepasan troponin jantung yang positif
8. Peningkatan C-reactive protein
Kategori risiko rendah : troponin jantung normal pada 12 jam setelah onset gejala.
Kelompok ini juga memiliki EKG yang normal serta CK-MB yang normal, serta tidak
perlu MRS di CCU atau high dependency ward.
Terapi bertujuan : kontrol gejala dan mencegah MI serta kematian. Dapat dicapai dengan
menggunakan antiiskemik dan antitrombotik, jika tidak berhasil dilanjutkan dengan
revaskularisasi mekanis.
Penting untuk menangani hipertensi dan gagal jantung pada fase akut ACS.
Terapi trombolitik tidak menunjukkan manfaat pada pasien ACS tanpa ST elevasi pada
EKG (kecuali pada suspek IMA dan left bundle branch Block).
50 Dengue Fever
Definisi
Dengue fever merupakan penyakit infeksi demam akut, disebabkan oleh virus dari genus
Flavivirus, vector : Aedes aegypti. Patofisiologi penyakit terjadi karena peningkatan
permeabilitas kapiler yang berlebihan, dengan keluarnya plasma kapiler yang difus,
hemokonsentrasi, dan beberapa kasus terjadi syok hipovolemik hemorrhagic.. periode inkubasi :
3-6 hari; bebepara kasus mencapai 15 hari.
Manifestasi klinis
Dengue fever (DF)
Gejala klinis dengue fever pada tahap awal serupa dengan pasien infeksi virus.
Ditandai dengan demam dan trombositopenia.
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
Fase awal tidak dapat dibedakan dengan DF.
Setelah 2-5 hari, beberapa kasus pada infeksi yang pertama atau lebih sering setelah
infeksi yang berulang akan menunjukkan trombositopenia (<100.000/mm3) dan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20% atau >45%).
Manifestasi perdarahan dapat muncul atau tidak; limphe tidak teraba, terdapatnya
pembesaran hepar serta nyeri tekan merupakan tanda prognosis yang buruk.
Manifestasi lain: efusi pleural, hipoalbunemia, ensefalopati dengan cairan serebrospinal
yang normal.
Acute liver failure dengan perubahan kesadaran yang jarang terjadi serta didapatkan tanda
neurologik yang abnormal (Hiperrefleksia) dapat timbul. Pasien seperti itu akan mudah
mengalami perdarahan hebat, gagal ginjal, edema otak, edema paru dan infeksi sekunder.
Intervensi dini diperlukan. Pelepasan plasma dari kapiler secara difus bertanggungjawab
terhadap terjadinya hemokonsentrasi.
Klasifikasi DHF menurut WHO :
Grade I demam, gejala konstitusional, tes tourniquet positif
Grade II Grade I dengan adanya perdarahan spontan
Grade III Grade II dengan instabilitas hemodinamik dan mental confusion
Grade IV Grade III dengan syok
Kasus disertai dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Grade III dan IV dinamakan Dengue Shock Syndrome (DSS).
Caveats
Diagnosa DF pada ED muncul bila didapatkan riwayat demam > 3 hari dan tidak
merespon terapi yang diberikan.
Gejala abdomen seperti nausea, vomiting, nyeri epigastrial, dan diare sering menyebabkan
misdiagnosa manjadi GE atau gastritis viral, terutama pada anak-anak.
Demam biasanya tinggi dan memnjang, resisten terhadap terapi. Biasanya nyata pada
pasien yang tinggal di daerah endemis dengue.
Beberapa pasien dapat menunjukkan nyeri punggung yang hebat.
Pasien dengan riwayat keluarga positif dengue, memiliki risiko lebih tinggi untuk
menderita infeksi yang sama, sehingga diperlukan monitoring hitung trobosit.
Manajemen
Tidak ada terapi dengue yang spesifik. Pemberian terapi suportif (replacement cairan dan
koreksi ketidakseimbangan elektrolit) merupan kunci penanganan pasien infeksi dengue.
1. Monitor hitung trombosit tiap hari sampai menunjukkan peningkatan.
2. Monitor profil koagulasi : ulang tes jika diperlukan.
Pasien yang serius ditangani pada area critical care untuk dimonitoring.
FBC penting pada semua pasien demam tinggi yang terus menerus tanpa sumber infeksi
yang jelas. Penemuan penting pada pasien dengue :
1. lekopeni; adanya lekositosis dan netrofilia mengeksklusi adanya kemungkinan
dengue, dan infeksi bacterial harus dipertimbangkan.
2. Trombositopeni (< 100.000/mm3): leptospirosis, measles, rubella, meningococcemia,
septisemia, malaria, dan SARS juga dapat menyebabkan trombositopeni namun rash
tidak sering timbul pada malaria tanpa komplikasi.
3. Hematokrit menunjukkan hemokonsentrasi.
4. Urea dan elektrolit : hiponatremia
5. LFT : abnormalitas enzim hati.
Monitoring tanda vital, adanya hemokonsentrasi, penggantian cairan intravascular dengan
RL atau isotonic salin, koreksi asidosis metabolic, serta pemberian oksigen merupakan
tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa pasien DSS. Ketika pasien stabil, leakage
kapiler berhenti dan resorpsi cairan ekstravaskular dimulai, penanganan cairan intravena
harus hati-hati untuk menghindari edema pulmonal.
Salisilat harus dihindari sebagai analgesic, karena potensinya dalam menyebabkan
perdarahan diatesis dank arena dengue terkait dengan Reye’s syndrome pada beberapa
kasus. Obat hepatotoksik dan sedative long-acting juga harus dihindari.
Penempatan : MRS untuk terapi cairan IV jika diperlukan pada kasus :
1. dehidrasi signifikan (>10% berat badan normal) telah terjadi dan ekspansi volume
secara cepat diperlukan atau ketika terjadi perdarahan spontan. Berarti pasien dengan
grade I yang merespon terapi cairan per oral serta tidak memiliki kompplikasi saja
yang dapat dipulangkan.
2. Kecenderungan untuk terjadi perdarahan
3. Trombositopenia berat (<100.000).
4. Hitung platelet <20.000 akan membutuhkan bed rest karena ditakutkan akan terjadi
perdarahan spontan dan trauma yang tidak disengaja.
5. pasien lansia, atau yang sangat muda serta pasien dengan penyakit lain (cth : alergi,
DM, IHD).
Catatan: pasien dengan hitung trombosit 100.000-140.000 dapat dipulangkan namun harus
melakukan pemeriksaan FBC berkala sampai trombosit normal.
51. Dermatologi pada Emergency Care
Caveats
pasien febris dengan rash purpurik, pertimbangkan meningococcaemia.
Pada pasien dengan rash ptechiae, pikirkan kemungkinan DIVC akibat sepsis.
Pada pasien hipotensiv dengan nyeri sendi dan ‘bruising’, pertimbangkan kemungkinan
necrotizing soft tissue infection yang dapat memperdaya pemeriksa pada awal presentasi
penyakit.
Ada kemungkinan untuk melakukan vaksinasi pada seseorang yang mengalami chicken
pox walaupun ringan dan mungkin salah artikan sebagai ‘viral fever’.
Pikirkan varicella pneumonitis jika pasien menderita takipneu, batuk dan demam tinggi 3-
5 hari.
Manajemen
Pertimbangkan asiklovir jika pasien datang pada 24-72 jam pertama sejak onset rash.
Dosis 800mg (dewasa) atau 20mg/kgBB (pediatric) 5 x per hari x 5hari.
Antihistamin untuk mengontrol gatal dapat dipertimbangkan, misal CTM 4mg 3x/hari.
Jangan berikan aspirin sebagai antipiretik karenadapat menyebabkan Reye’s syndrome.
Pertimbangkan antibiotik oral jika ada gejala infeksi bacterial, cth : penisilin V
(Streptococcus grup A merupakan penyebab tersering)/cephalexin/doxyciclin (jika alergi
penisilin atau cephalexin) atau Cloxacillin jika dicurigai karena Staphylococcus aureus.
Pasien dengan immunocompromised harus diMRS-kan.
Komplikasi
Terjadi terutama pada dewasa dan pasien immunocompromised: aseptic meningitis,
encephalitis, pneumonia, pneumonitis, transverse myelitis dan Reye’s syndrome.
Foetal Varicella syndrome terkait dengan phocomelia: neonatal varicella dapat fatal dan
ditularkan saat persalinan.
Imunitas dapat ditentukan dengan IgG.
Isolasi
Sarankan isolasi sampai tidak ada vesikel baru yang muncul dan lesi menjadi krusta.
Wanita hamil yang tidak memiliki imunitas harus dipertimbangkan untuk VZIg.
Manajemen
Kontrol nyeri dengan anlgesik pada fase akut. Trisiklik antidepresan seperti amitryptilin
10 mg dapat dipertimbangkan bila nyeri persisten setelah vesikel mulai menghilang
(postherpetic neuralgia); obat lain seperti gabapentin dan narkotik digunakan pada kasus
yang berat.
Obat antiviral, cth :Acyclovir :
1. menunjukkan pemendekan manifestasi herpes zoster bila diberikan dalam 48-72 jam
pertama sejak onset rash muncul.
2. Dosis : 5 x 800mg selama 7-10 hari.
3. Berikan acyclovir IV pada pasien immunocompromised atau dengan penyakit yang
meluas.
Steroid dapat mencegah postherpetic neuralgia.
Rujuk ke ophthalmologist jika ada keterlibatan corneal.
Manajemen
Pada umumnya keduanya membutuhkan manajemen yang melelahkan :
1. steroid sistemik ± immunosupresif
2. Perawatan luka local.
3. terapi infeksi
4. Koreksi kehilangan cairan dan elektrolit dari luasnya kulit yang luka.
Manifestasi Klinik
Toksik, demam, dan sering hipotensif ± confusion dan delirium.
Penampakan kulit yang minor dapat memperdayakan dibandingkan dengan manifestasi
klinis pasien yang toksik.
Terdapat edema dan eritema pada awalnya, menjadi pucat dan keabu-abuan dengan
perdarahan bullae (karena iskemik ketika pembuluh darah rusak) atau gangrene.
Nyeri abdomen juga sering muncul sebagai keluhan.
Diagnosa Diferensial
Selulitis dan infeksi jaringan lunak non-necrotizing lain
Erisipelas, memiliki batas demarkasi yang jelas serta streaking pada limphangitis juga
menonjol; vesikel dan bula dapat terjadi pada infeksi berat (penyebab : Streptococcus beta
hemolitikus grup A)
Manajemen
Ditangani pada area Critical Care
Resusitasi cairan dan inotropic support jika diperlukan
Pertimbangkan X ray jaringan lunak yang terlibat untuk mencari ‘free air’ pada jaringan
subkutan.
Catatan : Tidak adanya penemuan tersebut tidak akan menyingkirkan diagnosa.
Lakukan kultur darah
Beri antibiotik spectrum luas, IV kristaline penicillin + Clindamycin (untuk streptococcus
grup A + Anaerob dengan beberapa Staphylococcus) + Ceftazidime (untuk bakteri batang
Gram negative dan Meliodosis).
Rujuk ke ortopedik/bedah umum (tergantung pada daerah yang terlibat) untuk eksplorasi
bedah secepatnya serta debridemen.
Penempatan : HD atau ICU tergantung stabilitas pasien.
Meningococcaemia
Penyebab : N. meningitides (Diplococcus Gram negative pada pewarnaan Gram CSF).
Manifestasi Klinis
Onset yang tiba-tiba dari demam, malaise, mialgia, athralgia, nyeri kepala, nausea, dan
vomiting.
Bersifat toksik dengan progresivitas yang cepat menjadi tanda meningitis.
Penemuan kulit yang terkait : jaringan parut berwarna merah muda atau papula purpurik
(lesi yang teraba < 1,5 cm) yang dapat menjadi vesicular atau pustular.
Dapat berkembang menjadi purpura fulminan : plak irregular namun berbatas tegas,
berupa purpura ungu dengan bagian tengah yang keabu-abuan, kehitaman, ungu gelap
atau nekrosis kehitaman.
Manajemen
Pasien harus ditangani pada area critical care
Resusitasi cairan dan support inotropik jika diperlukan
Kultur darah
Antibiotik dapat dimulai sebelum pungsi lumbal
Antibiotik pilihan : IV Penicillin G 4 juta U setiap 4 jam (pertimbangkan Cloramfenikol
jika alergi penisilin) atau Ceftriaxon 2 g 2x/hari.
Penempatan : HD atau ICU (membutuhkan isolasi).
Profilaksis
Indikasi :
1. Kontak dekat setidaknya 4 jam pada seminggu sebelum onset penyakit, cth : orang
yang tinggal serumah, kontak sehari-hari, teman satu ruang.
2. terpapar secret nasofaringeal pasien, cth : melalui ciuman, resusitasi mulut ke mulut,
intubasi, suction nasotracheal.
Regimen
1. Ciprofloxacin po 500mg single dose atau rifampisisn 600mg po bd x 4 dosis (dewasa)
2. Rifampicin 10mg/kg po bd x 4 dosis (pediatric).
Urtikaria Akut
Manifestasi Klinik:
Rash merah muda, non-scaling, permukaan atas datar yang terjadi berpindah-pindah.
Lesi terasa gatal
Penyebab :
Viral: diyakinkan dengan adanya riwayat demam, mialgia, dan gejala URTI.
Obat-obatan: Penisikin, sulfa NSAID
Alergi makanan
Factor lingkungan : dingin, sinar matahari, tekanana
Tidak diketahui
Manajemen
Identifikasi dan eliminasi factor penyebab jika mungkin
Terapi simptomatis
Antihistamin
1. pilihan rute parenteral
Promethazine : IM 25 mg (dewasa) atau
0,5 mg/kg (anak-anak)
Difenhidramin IM 25 mg (dewasa) atau
1 mg/kg (anak-anak)
2. Pilihan per Oral
CTM (piriton) tab 4 mg 3x/hari
Hydroxyzine (Atarax) tab 25 mg 3x/hari
Pilihan terbaru yang kurang sedative : Cetirizine (zyrtec), loratadine (Clarityne)
Steroid
1. dipertimbangkan jika lesi luas dan rekuren, atau terkait dengan angioedema
2. Prednisolone tab 1mg/kg OM selama 5 hari
Penempatan : dapat KRS jika respon thd terapi baik, dan tidak ada angioedema.
Erythema Multiforme
Merupakan reaksi hipersensitifiatas, diklasifikasikan:
EM minor : ringan dan paling sering
EM major/bullous/stevens-Johnson syndrome : bula dan erosi membrane mukosa yang
signifikan.
Manifestasi klinis
Papula merah, permukaan datar ukuran 1-3 cm.
Tidak gatal dan bersisik
Bull’s eye atau lesi target : kehitaman, violaceous atau bagian tengah kecoklatan.
Lesi menetap
Biasanya dimulai pada tangan dan kaki, termasuk telapak tangan dan kaki, sebelum
kemudian menyebar.
Bula dapat muncul pada lesi target.
Erosi membrane mukosa dapat terjadi.
Penyebab
Infeksi : HSV, EBV, Streptococcus, Mycoplasma merupakan yang paling sering.
Obat : Sulfa, penisilin, tetrasiklin, antikonvulsan (cth : fenitoin, carbamazepin,
barbiturate) NSAID, allopurinol, hidroclorothiazide, procainamide.
Lain-lain : penyebab autoimun.
Manajemen
Tentukan penyebab dan eliminasi allergen jika mungkin
1. review medikasi pasien
2. review simptomatologi untuk penyakit infeksi yang sering terjadi
3. Alergi makanan
4. Gigitan serangga/sengatan
5. Penyakit autoimun
EM minor
1. berikan kenyamanan
2. Medikasi biasanya tidak diperlukan karena biasanya rash tidak gatal dan tidak nyeri.
3. foolow up pada klinik kulit/general medicine.
EM major
1. MRS untuk perawatan inpatient
2. perawatan suportif umum : maintenance cairan dan elektrolit
3. Perawatan luka
4. Kontrol infeksi
5. perhatikan bahwa steroid sistemik adalah controversial.
6. MRS pada Unit Luka Bakar atau HD jika terjadi skin loss yang signifikan atau toxic
epidermal.
Erythema Nodosum
Merupakan reaksi hipersensitivitas
Manifestasi klinis
Onset akut nodul kemerahan yang nyeri
Terdistribusi terutama pada kaki bagian bawah
Penyebab
Infeksi : Streptococcus, tuberculosis, infectious mononucleosis, Chlamydia, Yersinia.
Terkait dengan sarcoidosis, Hodgkin’s disease, ulcerative disease.
Obat: kontrasepsi oral, sulfonamide, penisilin, tetrasiklin
Manajemen
Review sistemik untuk mengetahui kemungkinan infeksi
Eliminasi penyebab/pencetus
Terapi simptomatik, cth NSAID sebagai analgesic.
Sarankan ke ahli dermatologi untuk follow up.
52. Diabetic ketoacidosis (DKA)
Caveats
DKA disebabkan penurunan kadar insulin secara absolute atau relative yang terjadi pada
saat terjadi kelebihan glukagon. Kriteria diagnosa :
1. Hiperglikemia dengan glukosa darah ≥ 14 mmol/L
2. Asidemia dengan pH arteri < 7,3, bikarbonat < 15 mmol/L
3. Ketonemia atau ketonuria
Kadar glukosa plasma yang tinggi menyebabkan diuresis osmotic dengan hilangnya
sodium dan air, hipotensi, hipoperfusi dan syok. Pasien datang dengan signifikan poliuri,
polidipsi, berat badan turun, dehidrasi, kelemahan dan sensorium yang berkabut.
Pasien muda yang tidak didiagnosa diabetes sering muncul dengan DKA yang
berlangsung selama 1-3 hari. Kadar glukosa plasma mungkin tidak meningkat tajam.
Keluhan GIT seperti nausea, vomiting dan nyeri abdomen merupakan keluhan yang
paling sering didapatkan, terutama pada usia muda. Keadaan ini sering disalahartikan
sebagai ‘acute surgical abdomen’. Kadar amylase serum sering meningkat tanpa adanya
pankreatitis.
Hiperventilasi dengan nafas yang cepat dan dalam (‘air hunger’) serta bau nafas acetone
merupakan tanda khas DKA.
Penyebab:
1. Infeksi : UTI, respiratory tract, kulit
2. Infark: miokard, CVA, GIT, vaskularisasi perifer.
3. Insulin insuffisien
4. Intercurrent illness
Tanda infeksi kadang tidak jelas. Temperature jarang meningkat, dan peningkatan hitung
total sel darah putih mungkin hanya merefleksikan ketonemia, namun adanya demam
walaupun tidak tinggi mengindikasikan adanya sepsis. Jika ragu, akan lebih aman untuk
memberikan antibiotik broad spectrum.
Replacement cairan yang terlalu cepat dapat mengakibatkan gagal jantung, edema
serebral, dan ARDS, terutama pada pasien dengan underlying cardiac disease atau pada
lansia. Monitoring CVP mungkin diperlukan.
Manajemen
Terapi suportif
Harus ditangani pada area yang dapat dimonitoring
Oksigen aliran tinggi
Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 15-30 menit, kadar glukosa darah,
keton, potassium dan keseimbangan asam basa tiap 1-2 jam.
Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin/kalsium/magnesium/fosfat, enzim kardiak, DIC screen
(jika sepsis), urinalisis (untuk keton dan lekosit), serum keton (beta-hydroxybutyrate) dan
BGA.
Pertimbangkan kultur darah (paling tidak 7,5 ml tiap botol).
EKG 12 lead, CXR, urin dipstick: cari penyebab DKA.
Support sirkulasi : IV NS sebagai dasar dari resusitasi cairan, ganti menjadi NS 0,45%
jika perfusi membaik dan BP normal, kemudian D5W/0,45% NS jika glukosa serum
turun. Total kehilangan cairan pada DKA biasanya 4-6 liter.
Kateter urin untuk monitoring output.
Terapi spesifik
IV Volume Replacement : Berikan NS 15-20ml/kg/jam pada jam I, dengan pemberian
koloid jika pasien tetap hipotensi. Jika pasien tidak hipotensif atau hiponatremia, barikan
0,45% NS 10-20ml/kg/jam selama 2-4jam kemudian dengan monitoring yang ketat dari
kadar glukosa serum. Ganti menjadi D5W/0,45% NS jika kadar glukosa serum turun
dibawah 14 mmol/L. Normal atau setengah NS dapat diteruskan bersamaan dengan IV
D5% untuk mengkoreksi derangement cairan dan elektrolit. Monitoring output urin setiap
jam, dan cek elektrolit serta kreatinin tiap 2-4 jam sampai stabil.
Catatan : Replacement cairan harus dapat mengkoreksi deficit yang diperkirakan (4-6 liter)
dalam 24 jam pertama, namun osmolaritas serum tidak boleh turun lebih dari 3 mOsm/kg/jam
untuk menghindari terjadinya edema serebral.
Restorasi keseimbangan Elektrolit : replacement potassium lebih awal merupakan
standar terapi. Jika terjadi oliguri, tes fungsi ginjal mungkin meningkat. Jika abnormal,
replacement potassium harus diturunkan. Pastikan terdapat urin outpun, kemudian
lakukan replacement dengan ketentuan :
1. Serum k+ < 3,3mmol/l, berikan 20-40 mEq KCL per jam
Catatan: infus insulin secara bersamaan tidak akan mengurangi potassium serum.
2. Serum K+ 3,3-4,9mmol/l, berikan 10-20 mEq K+ per jam (dapat diberikan 2/3 KCL
dan 1/3 KHPO4; replacement phosphate diindikasikan jika serum fosfat < 0,3mmol/l)
atau jika pasien anemis atau dalam distress cardiorespiratori.
3. Serum K+ > 5,0 mmol/l, tahan potassium namun teru periksa tiap 2 jam.
Restorasi keseimbangan asam basa : sodium bikarbonat diberikan jika terdapat
hiperkalemi hebat atau jika pH arteri <7,0 dimana replacement volume IV dan pemberian
insulin akan memperbaiki asidosis metabolic. Jika pH 6,9-7,0, berikan IV NaHCO 3 8,4%
50ml didilusikan dalam 200ml NS dan berikan selama 1 jam. Jika pH <6,9, berikan
100ml NaHCO3 8,4% didilusikan dalam 400ml NS selama 2 jam.
Catatan : tidak ada efek menguntungkan bila diberikan pada pH yang lebih tinggi. Ulangi
BGA setelah 1 jam hidrasi dan terapi bikarbonat; jika pH masih < 7,0, berikan NaHCO 3 8,4%
50ml dalam 200ml NS selama 1-2 jam dalam infus.
Pemberian Insulin : dosis besar tidak diperlukan untuk mengatasi DKA. Hipoglikemi
dan hipokalemi akan mudah terjadi dengan pemberian terapi insulin dosis besar.
1. Berikan bolus dosis 0,15 unit/kgBB IV SI pada dewasa, diikuti dengan dosis rendah
infus 0,1 unit/kgBB/jam pada dewasa dan anak-anak. Sesuaikan laju infus untuk
menurunkan kadar glukosa serum sekitar 3-4mmol/l per jam. Monitoring glukosa
darah tiap jam.
2. Jika kadar glukosa darah turun dibawah 14 mmol/l, bagi dua laju infus IV SI sampai
0,05-0,1 unit/kg/jam dan tambahkan dekstrose pada cairan IV untuk menghasilkan
kadar glukosa darah 8-12 mmol/l. Pertahankan infus SI sampai asidosis hilang (pH >
7,3 dan HCO3 > 15). SC SI tiap 4 jam kemudian dapat diberikan dalam periode yang
overlap 1-2 jam. Jangan hentikan IV SI begitu kadar glukosa darah telah normal.
Tangani Faktor Pencetus, seperti sepsis, IMA.
Penempatan:
MRS-kan semua kasus DKA
Pasien dengan hipotensi atau oliguri sebagai rehidrasi dini, atau pasien yang memiliki
gangguan mental/koma, dengan osmolalitas serum total > 340 mOsm/kg, harus
dipertimbangkan untuk HD atau MICU.
Kasus ringan dapat dimasukkan pada general Ward atau tangani pada ED dengan
konsultasi pada general medicine.
56. Trauma Elektrik dan lightning (Petir)
Caveats
Trauma elektrik tegangan rendah (<1000 volt) lebih jarang menyebabkan keadaan yang
serius daripada trauma tegangan tinggi. Semakin tinggi tegangan, maka semakin
cenderung untuk menyebabkan luka bakar.
Resistensi bervariasi pada tiap jaringan, dimana tulang merupakan jaringan yang paling
resisten.
Semakin tinggi durasi kontak, maka semakin parah injury.
Kulit yang kering membutuhkan 3000 volt untuk menginduksi VF, sedangkan kulit yang
basah membutuhkan 220-240 volt.
Alternating Current (AC) lebih berbahaya dibanding dengan Direct Current (DC),
menyebabkan kontraksi tetanik otot fleksor, sehingga korban akan mengalami ‘freezing’
ketika kontak dengan sumber elektrik.
DC menyebabkan kontraksi otot tunggal yang dapat menyebabkan korban terlempar dari
lokasi awal; demikian juga dengan efek Petir.
Pathway : ketika kulit tersentuh, aliran listrik berjalan melalui jaringan yang kurang
resisten (nervus, pembuluh darah, otot) dengan kerusakan yang berbanding terbalik
dengan diameter cross-sectional dari jaringan yang terkena.
Konduksi true-electrical injury lebih mirip dengan ‘crush injury’ daripada thermal injury,
dimana jumlah total kerusakan sering tidak terlihat secara nyata.
Manajemen cairan yang baik sangat penting untuk menghindari gagal ginjal akut.
Catatan : Replacement cairan tidak dapat dikalkulasi berdasarkan Wallace Rule of 9 seperti
luka bakar.
Jangan lupa untuk mencari trauma lain:
1. trauma servical spine
2. Toksik inhalasi
3. Jatuh dengan Fraktur/dislokasi
4. perawatan luka bakar dengan injury inhalasi
5. fetal injury selama kehamilan
Manajemen
Terapi suportif
Pasien dengan AMS atau disritmia kardiak harus ditangani pada area critical care
pertahankan jalan nafas dengan imobilisasi cervical spine
Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
Pasang akses IV peripheral (2 jika hemodinamik tidak stabil).
Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, DIVC screen, urinalisis termasuk mioglobin, cardiac
screen, kreatininminase, BGA dan kadar COHb pada keterlibatan trauma inhalasi dan
GXM jika dibutuhkan.
EKG pada semua trauma elektrik.
IV kristaloid untuk memaintenance perfusi jaringan perifer dan urin output sebesar 1-
1,5ml/kg/jam.
X ray : C spine; jika ada injury, CXR pada injury inhalasi.
Manajemen nyeri:
1. Pethidine 50-75mg IM atau 25mg IV atau
2. Sodium diklofenac (Voltaren) 50-75mg IM
Pasang kateter foley
Pertimbangkan alkalinisasi urin untuk mencegah renal tubular necrosis jika mioglobin
terdapat pada urin. Dosis : IV sodium bikarbonat 1 mmol/kg/bb selama 2 jam (1ml
sodium bikarbonat 8,4% = 1mmol).
Pertimbangkan placement Ryle’s tube jika ada kecurigaan ileus paralitik.
Berikan ATT 0,5ml IM sesuai protocol standar.
Pertimbangkan fasciotomi dan konsul ke Hand Surgery atau orthopedics pada kasus:
1. Muscle tightness
2. Hilangnya sensori
3. Circulatory compromise
4. pembengkakan jaringan yang cepat
Pada kasus serangan jantung, ikuti protocol standart ACLS kecuali pada recovery
prolonged asistole yang membutuhkan usaha resusitasi yang lebih panjang.
Situasi Khusus
Pasien anak-anak
1. luka bakar commisura oral secara eksklusif terjadi pada anak-anak dan dapat
menyebabkan morbiditas.
2. fatalitas jarang dimana sirkuit elektrik terletak pada mulut.
3. terdapat penonjolan local jaringan pada hari ke 7 samapi hari ke 10 dan dapat
menyebabkan perdarahan yang cepat.
4. MRSkan pasien dengan luka bakar seperti itu
Konsiderasi Obstetrik
1. Injury fetal tergantung pada aliran listrik yang masuk ke tubuh ibunya.
2. fetal injury yang signifikan (kematian atau IUGR) dapat terjadi setelah terkena aliran
listrik walaupun dalam derajat yang rendah, terutama pada kasus oligohidramnion.
3. Konsultasi OBG pada tiap kasus trauma elektrik selama kehamilan dan lakukan
monitoring fetal.
Penempatan
Kriteria MRS
1. semua pasien dengan high voltage injury (> 1000 volt).
2. Semua pasien dengan keterlibatan system organ spesifik.
3. Semua pasien dengan suspek neurovascular compromise pada ekstremitas.
4. Semua pasien dengan luka bakar komisura oral
5. Luka bakar dalam pada tangan
Kriteria KRS
1. Pasien tanpa bukti luka bakar
2. pasien dengan trauma minor, disarankan untuk kontrol pada unit rawat jalan.
Tabel 1 : Komplikasi Trauma Elektrik dan Lightning/petir
Sistem Dalam Tubuh yang Terlibat Komplikasi yang terkait Manifestasi yang Unik
CVS Disritmia ventricular, BP yang rendah (hilangnya cairan), BP yang Infark miokard jarang terjadi dan cenderung ditemukan terlambat
tinggi (release katekolamin), iskemik miokardial pada kedua tipe injury.
Neurologik LOC, AMS, konvulsi, afasia, amnesia, neuropathy peripheral Paralise pernafasan pusat, ICH, edema serebral dan infark,
parkinsonisme merupakan manifestasi dari lightning injury.
Neuralgia merupakan manifestasi yang terlambat.
Kulit Kontak elektrothermal , non kontak arc dan flash burn, luka bakar Jaringan parut, dan kontraktur merupakan manifestasi yang
thermal sekunder dengan berbagai kedalaman (terbakarnya pakaian terlambat.
dan pemanasan perhiasan dari metal)
Vaskular Trombosis, nekrosis koagulasi, nekrosis intravascular, hemolisis Koagulasi intravascular disseminated pada lightning injuries
intravascular, ruptur pembuluh darah yang delayed, kompartemen
syndrome.
Respiratori Respiratory arrest, aspirasi pneumonia, kontusio pulmonal Infark pulmonal dan pneumonia merupakan manifestasi yang
terlambat
Mioglobiuria, hemoglobinuria, asidosis metabolic, hipokalemi, Gagal ginjal jarang terjadi
Ginjal/metabolic hipokalsemi, hiperglikemi
Skeletal Trauma tumpul sekunder pada kedua tipe meliputi fraktur kompresi
vertebral, fraktur tulang panjang, dislokasi sendi besar, nekrosis
aseptic, periosteal burn, osteomielitis.
Mata Luka bakar kornea, perdarahan intraokuler atau trombosis, uveitis, Late injury meliputi delayed katarak, degenerasi macular dan
retinal detachment, fraktur orbita. atrofi optic.
Telinga Hilangnya pendengaran (sementara), tinnitus, hemotimpanum, CSF Rupture membrane tymphani jarang terjadi
rhinorrhea
Luka bakar Oral Perdarahan arteri labial delayed (pada anak yang menggigit kabel Injury ini hamper selalu terlihat pada trauma elektrik saja.
listrik) dengan jaringan parut dan deformitas wajah, keterlambatan
kemampuan berbicara, gangguan perkembangan mandibular/ gigi
geligi.
Psikiatrik Histeria, kecemasan, gangguan tidur, depresi, fobi terhadap badai, Manifestasi ini cenderung untuk sering terjadi pada lightning
disfungsi kognitif. injuries.
59 Gagal Jantung
Caveats
Gagal jantung akut dapat dibagi menjadi 3 kelompok klinis:
1. Acute cardiogenic pulmonary oedema (lihat bab Pulmonary Oedema,
Cardiogenic)
2. Cardiogenic shock (lihat bab Shock/Hypoperfusion states)
3. Acute Decompensation of Chronic left heart failure yang merupakan focus
pembahasan pada bab ini.
Singkirkan diagnosa gagal ginjal sebagai penyebab overload cairan sebelum
mendiagnosa gagal jantung.
Gagal jantung dapat bermanifestasi sebagai keluhan yang tidak spesifik :
1. Kelemahan
2. Lightheadeness
3. nyeri abdomen
4. Malaise
5. Wheezing
6. nausea
Selalu cari factor pencetus gagal jantung (tabel 1)
Kondisi jantung dikombinasikan dengan asma atau gejala chronic obstructive
airway disease merupakan kasus klinis yang sulit dan membutuhkan keterlibatan
multidisiplin.
Pasien yang juga memiliki diabetes mellitus insulin dependent memiliki risiko
kematian tinggi yang signifikan.
Manajemen
Tangani pasien pada area yang dapat diawasi : tanda vital, pulse oksimetri,
monitoring EKG terus menerus.
Pertahankan jalan nafas
Berikan oksigen, awalnya 100% non-rebreather face mask untuk mempertahankan
SpO2 >95%.
Pasang jalur IV dan periksa darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim
jantung dan marker kardiak serum.
Untuk menurunkan venous return, pasien dapat duduk tegak dengan kaki
menggantung dari tempat tidur.
Lakukan EKG untuk mendiagnosa concomitant iskemik kardiak, MI yang
sebelumnya, disritmia jantung, hipertensi kronik, dan penyebab hipertrofi
ventrkular kiri lain.
Lakukan CXR untuk mencari kardiomegali, dan diversi lobus atas. Penemuan
radiografik akan menetap selama beberapa hari walaupun pemulihan sedang
berjalan.
Berikan diuretic, IV furosemide 40-60mg jika hemodinamik pasien stabil.
Nitrodisc 5-10mg dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi gejala akibat
kongesti paru.
Pada kasus yang parah, Infusion GTN akan menurunkan left ventricular end-
diastolic volume and pressure secara cepat dengan resolusi dari gejala.
Monitor output urin untuk mengecek respon terapi.
Penempatan
Belum ada penelitian yang menyatakan criteria pasien gagal jantung untuk MRS
KRS jika pasien :
1. tidak ada nyeri dada atau penyakit lainnya.
2. respon terhadap diuretic yang diberikan di ED (nyaman saat istirahat pada
udara ruangan, SpO2 pada udara ruang ≥ 95%).
3. tidak menunjukkan bukti radiologik adanya gagal jantung
KRS dengan ketentuan follow up pada klinik rawat jalan jika:
1. loop diretik, cth : lasix 40 OM, dan suplemen potassium, cth span K 1,2 mg
OM jika pasien tidak menggunakan diuretic sebelumnya dan
urea/elektrolit/kreatinin normal.
2. tingkatkan dosis diuretic jika sebelumnya pasien telah menjalani pengobatan
tersebut.
3. jika terdapat concurrent hipertensi, disamping loop diuretic, berikan ACE
inhibitor cth Captopril 6,25-12,5mg 3x/hari atau hidralazin 25 mg 3x/hari.
4. nasehatkan diet rendah garam dan restriksi cairan.
MRS jika pasien :
1. Disritmia simptomatik
a. Sinkope atau presinkope
b. Serangan jantung
c. Multiple discharge dari implantabel defibrillator
2. MI baru atau iskemik
3. Onset baru dengan gejala baru gagal jantung
4. Dekompensasi gagal janutng kronik
5. Faktor pencetus kurang reversible
6. Edema anasraka atau signifikan
7. Kurangnya support keluarga
8. Hipotensi
Definisi
Hepatic encephalopathy didefinisikan sebagai sindrom AMS dan keadaan neuropsikiatrik
reversible sebagai komplikasi dari penyakit liver.
Klasifikasi
Encephalopathy terkait kegagalan liver akut
Encephalopathy terkait sirosis hati dan hipertensi portal
Masalah akut yang berasal dari system hepatobiliari yang datang pada dokter emergency
biasanya dengan komplikasi biliary stone disease. Macam-macam presentasinya adalah
dibawah ini.
Kolik Bilier
Manifestasi terseing dari biliary stone disease.
Dapat terjadi pada pasien remaja, walaupun sering diderita oleh pasien
wanita yang mengalami obesitas pada usia 30 dan 50 tahun.
Nyeri terdapat pada bagian tengah kuadran kanan atas atau
epigastrium.
Nyeri biasanya mulai secara akut dan dapat menjalar ke sudut inferior
pada scapula kanan.
Nyeri bersifat kolik tanpa interval bebas nyeri antara eksaserbasi (tidak
seperti kolik ureterik dimana terdapat interval bebas nyeri)
Nyeri dapat dicetuskan oleh ingestion makanan dan terutama yang
berlemak atau makanan besar.
Gambaran lain yang terkait adalah sensasi distensi pada abdominal
bagian atas atau ‘bloating’, nausea dan vomiting.
Caveats
Selalu cari gejala obstruktif jaundice dimana keadaan ini lebih sering
menunjukkan adanya biliary ductal daripada gallstone disease.
Adanya nyeri ditambah demam menunjukkan adanya kolesistitis akut telah
terjadi.
Adanya nyeri dengan demam serta obstruktif jaundice menunjukkan adanya
kolangitis.
Kolesistitis Akut
Biasanya datang dengan keluhan nyeri visceral awal yang menyerupai kolik bilier.
Nyeri dapat berubah seiring waktu dan menjadi nyeri parietal yang konstan yang
terlokalisir tajam pada hipokondrium kanan. Nyeri bertambah seiring waktu dan
timbul dengan adanya gerakan.
Sering terdapat latar belakang episode nyeri abdomen atas mirip dengan kolik
bilier, yang semakin memburuk dalam frekuensi dan severitasnya.
Gejala terkait lain meliputi demam dengan atau tanpa menggigil, hilangnya nafsu
makan, nausea dan vomiting.
Pada pemeriksaan, nyeri yang terlokalisir pada hipokondrium kanan dapat
menjadi petunjuk lebih lanjut.
Massa palpable yang lunak, dan globular dibawah batas kosta kanan yang ikut
turun saat respirasi menunjukkan adanya masa inflamasi yang dibentuk oleh
omentum disekitar kandung empedu yang mengalami inflamasi, atau sebuah
empiema kandung empedu.
Murphy’s sign ada ketika pasien mengeluh nyeri dan menahan nafas saat dipalpasi
di hipokondrium kanan; hal ini terjadi karena kandung empedu menjadi bersentuhan
dengan ujung jari pemeriksa selama inspirasi.
Caveats
Nyeri tekan pada hipokondrium kanan tidak patognomonis untuk kolesistitis,
tanda ini juga ada pada kolangitis.
Secara klasik, tidak terdapat tanda obstruktif jaundice.
Selalu cari tanda dehidrasi atau labilitas hemodinamik pada pasien dengan
kolesistitis akut. Karena px sering mengalami vomiting dan anoreksia dan dapat
berkembang menjadi syok karena septisemia.
Kolangitis
Tanda klasik adalah Charcot’s triad (nyeri abdomen kanan atas, demam dan
obstruktif jaundice).
Mungkin ada riwayat batu embedu yang asimptomatik yang ditangani secara
konservatif, atau dengan pembedahan. Penelitian local menunjukkan 35,7%
pasien kolangitis menunjukkan Charcot’s triad, namun sebagian besar pasien
(95,7%) mengalami nyeri abdomen atas sebagai keluhan utama.
Caveats
Sama dengan kolesistitis, pertimbangkan adanya dehidrasi dan labilitas
hemodinamik.
Diagnosa Banding
Hepatitis, abses hati, eksaserbasi dyspepsia ulkus, perforasi ulkus peptic akut,
kolik ureterik, pankreatitis, divertikulosis juga pneumonia basalis kanan.
Manajemen
Pasien yang Stabil
Tangani pada area intermediate acuity care
Puasakan pasien selama investigasi dan terapi.
Lab : ditujukan untuk menyingkirkan ddx juga menyingkirkan adanya komplikasi
(kolangitis atau kolelitiasis).
FBC : lekositosis PMN yang positif konsisten dengan adanya infeksi bacterial
(kolangitis atau kolesititis).
LFT :
1. Tes ini normal pada kolik bilier.
2. Khas pada kolangitis : peningkatan bilirubin terkonjungasi dan
peningkatan enzim kolestatik duktus hepatikus (ALP/GGT), peningkatan
enzim hepatic intraselular (AST/ALT).
3. Biasanya tidak terdapat kolestatis pada kolesistitis akut.
Urea/elektrolit/kreatinin : untuk mendeteksi abnormalitas elektrolit dan disfungsi
sekunder akibat vomiting dan deplesi volume.
PT dan PTT : dilakukan saat terjadi jaundice untuk mendeteksi koagulopati
Serum amylase : menyingkirkan coexisting pankreatitis akut.
Urinalisis : untuk menyingkirkan kemungkinan urolitiasis dan pielonefritis
EKG : untuk menyingkirkan iskemik miokard.
CXR posisi berdiri : untuk menyingkirkan pneumonia basiler dan udara
subdiafragmatik.
KUB : untuk mendeteksi kalsifikasi intrabadominal, udara bebas, dan air-fluid
level.
Caveats
Riwayat penyakit terjadi dalam hitungan hari bukan dalam jam terkait dengan
keadaan diabetic ketoasidosis.
Cenderung untuk terjadi hilangnya cairan, yang lebih besar daripada pada DKA.
Beberapa pasien dengan HHS sensitive terhadap insulin.
HHS terkait dengan mortalitas yang tinggi dan harus diidentifikasi secara dini.
Kriteria dignosa HHS :
1. Glukosa darah > 33mmol/l
2. pH arteri > 7,3 bikarbonat > 15 mmol/l
3. Tidak adanya ketonemia atau ketonuria hebat.
4. osmolalitas talal serum > 330 mOsm/kg H2O, atau serum osmolalitas efektif
(2 x Na+ + kadar glukosa + urea) > 320 mOsm/kg H2O
Singkirkan penyebab lain seperti meningitis jika osmolalitas serum
tidak cukup tinggi untuk menegakkan HHS.
Manajemen
Terapi Suportif
o Pasien harus ditangani pada area yang dapat dimonitoring
o Berikan oksigen aliran tinggi
o Monitoring: EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 15-30 menit, kadar glukosa
dan potassium tiap 1-2 jam
o Suportif sirkulasi : deficit cairan rata-rata pada HHNK adalah 6-10 liter. Separuh
deficit air yang diperkirakan perlu untuk diganti selama 12 jam pertama.
o Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin/kalsium/magnesium/fosfat, osmolalitas
serum, BGA, urinalisis.
o EKG, CXR untuk mencari penyebab keadaan HHS.
o Kateter urin untuk monitoring output urin.
Terapi Spesifik
o Replacement Volume intravena
1. jika pasien menunjukkan hipoperfusi jaringan signifikan, gunakan NS sebagai
bolus cepat sampai perfusi meningkat dan BP stabil. Berikan setidaknya 1 liter
NS pada jam pertama; selanjutnya diberikan dalam 2 jam. Kemudian ganti
menjadi 1 liter NS 0,45% selama 4 jam berikutnya.
2. Jika pasien hipertensi atau mengalami hipernatremi signifikan (>155 mmol/l)
berikan NS 0,45% dan ganti menjadi D5W IV ketika kadar glukosa serum
mencapai 16 mmol/l.
o Replacement Potassium : kurangnya potassium total tubuh pada HHNK biasanya
lebih besar dari DKA. Pastikan terdapat output urin sebelumnya, kemudian
berikan :
1. Serum K+ <3,3 mmol/l berikan 20-40 mEq KCl pada jam pertama
2. Serum K+ 3,3-4,9 mmol/l berikan 10-20 mEq K+ per liter cairan IV (dapat
diberikan 2/3 KCl dan 1/3 KHPO4; penggantian fosfat diindikasikan jika
fosfat serum < 0,3 mmol/l).
3. Serum K+ > 5,0 mmol/l, tahan pemberian K+ namun periksa serum potassium
setiap 1-2 jam.
o Pemberian insulin : bolus tidak diperlukan karena pasien sanagt sensitive sekali
terhadap insulin. Berikan secara infus insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam.
Sesuaikan infus insulin untuk menjaga kadar glukosa darah pada 14-16 mmol/l,
sampai osmolalitas serum ≤ 315 mOsm /l dan pasien dalam keadaan sadar.
Catatan : Kadar glukosa darah vena harus diperiksa tiap 1-2 jam karena dapat
berkembang menjadi HHH.
Panduan
o Osmolalitas Serum dapat diperhitungkan dengan persamaan ini: (2 x Na +) +
glukosa + urea mOsm. (normal = sekitar 280-290 mOsm).
o Osmolal gap ditentukan dengan rumus diatas dan dibandingkan dengan hasil
lab yang diukur dengan metode molal freezing point depression. Perbedaan
yang didapat harus sekitar 10; jika lebih tinggi, partikel aktif osmotic yang
lain terdapat dalam serum seperti alcohol atau IVP dye.
Penempatan
o Lakukan konsultasi dengan bagian General medicine atau endokrin, lakukan
pengawasan pada HD. Setelah mendapatkan volume replacement awal, biasanya
pasien tidak membutuhkan MRS dibagian ICU.
63. Krisis Hipertensi
Definisi
Hipertensi : tekanan darah (BP) 140/90 mmHg atau lebih, walaupun harus
diketahui bahwa tekanan darah merupakan suatu variable berkelanjutan. Tabel 1
menunjukkan klasifikasi berdasarkan JNC VII (seventh report of the Joint National
Committee) terhadap prevensi, deteksi, evaluasi, dan terapi tekanan darah tinggi.
Krisis hipertensi : peningkatan kritis BP dengan dengan peningkatan tekanan darah
diastolic. Tidak ada kadar BP absolute yang dapat mendefinisikan krisis hipertensi,
namun bila tekanan diastolic 120-130 mmHg dapat digunakan sebagai pedoman.
Krisis hipertensi meliputi hipertensi emergencies dan urgencies.
1. Hipertensi emergency : jika peningkatan BP terkait dengan disfungsi atau
kerusakan end-organ yang akut atau sedang terjadi.
2. Hipertensi Urgensi : jika peningkatan BP terkait dengan disfungsi atau kerusakan
end-organ imminen. Hipertensi berat merupakan merupakan keadaan
asimptomatik pada pasien yang tidak berkaitan dengan hipertensi emergency dan
lebih sering digambarkan sebagai urgensi.
Macam-macam keadaan hipertensi emergensi :
1. Hipertensive encephalopathy : dibedakan antara stroke/perdarahan subarachnoid
2. Hipertensive left ventricular failure (edema paru akut)
3. Diseksi aorta akut
4. Infark Miokard Akut/ ACS
5. Stroke Perdarahan atau iskemik/perdarahan subarachnoid
6. gagal ginjal akut
7. Eklampsia/preeklampsia (lihat bab eklampsia)
8. Krisis phaeochromocytoma
9. Obat terlarang (cth ekstasi)
Hipertensi urgensi meliputi :
1. Peningkatan BP dengan perubahan retina (tanpa terkait dengan kerusakan end-
organ)
2. Gagal ginjal kronik
3. Preeklampsia
Caveats
Jika hasil BP terlalu tinggi atau terlalu rendah pada pemeriksaan dengan
menggunakan monitor, ulangi menggunakan pengukuran manual, dengan ukuran
cuff yang sesuai.
Krisis hipertensi biasanya terjadi pada pasien yang diketahui telah menderita
hipertensi. Penyebab sekunder hipertensi juga banyak ditemukan pada pasien
krisis hipertensi.
Istilah accelerated hypertension, malignant hypertension, dan accelerated-
malignant hypertension digunakan untuk mendeskripsikan hipertensi berat yang
terkait dengan perubahan retina sesuai dengan Keith-Wagener-Barker grading.
Dimana dulu, grade 3 (perdarahan, cotton wool patches, arteriosclerosis) dan
grade 4 (papiledema) terkait dengan prognosis yang buruk. Saat ini dinyatakan
bahwa prognosis tidak berkaitan dengan pemeriksaan funduskopi. Istilah
‘hipertensi emergency’ atau hipertensi urgensi’ lebih disukai untuk digunakan saat
ini.
Hipertensi ensefalopati saat ini dipercaya jarang terjadi, dan keadaan AMS
sering ditemukan terjadi sekunder akibat stroke. Menyingkirkan diagnosa tersebut
sangat penting karena tindakan menurunkan BP pada pasien stroke akut dapat
berakibat serius. Pada stroke biasanya BP hanya meningkat secara ringan. CT
scan kepala dapat membantu untuk membedakan kedua keadaan tersebut.
Hipertensive left ventriculare failure (dikenal sebagai edema pulmonal akut)
terjadi ketika hipertensi berat berakibat pada kegagalan LV akut akibat overload
berlebihan yang menyebabkan dekompensasi. Lihat bab edema paru, cardiogenik.
Hipertension dengan diseksi aortic perlu dipertimbangkan jika pasien
mengalami nyeri dada akut, atau IMA (ketika diseksi mempengaruhi arteri
koronaria) atau murmur regurgitasi aorta baru terdeteksi. Riwayat klasik adanya
rasa nyeri seperti terobek yang menjalar ke punggungmungkin tidak ditemukan.
Lihat bab Aortic dissection.
Hipertensi dengan IMA/ACS terjadi ketika hipertensi berat menyebabkan
peningkatan ketegangan dinding ventrikel dan kebutuhan oksigen miokard. BP >
180/110 mmHg merupakan kontraindikasi untuk pemberian trombolisis.
Preeklamsia dan eklampsi perlu dipertimbangkan pada wanita hamil setelah
mengalami amenore lebih dari 20 minggu. Lihat bab Eclampsia
Jangan pernah memberikan terapi pada hasil pengukuran BP secara tunggal
: ketika memeriksa BP, pastikan pasien nyaman dan gunakan cuff yang sesuai.
Over-zealous correction BP dapat berbahaya dan bisa menyebabkan CVA atau
IMA. BP dapat diturunkan dengan obat oral dan kontrol jangka panjang BP
merupakan factor penting dalam menentukan prognosis hipertensi. Hindari
calsium channel blocker sublingual; absorpsinya tidak dapat diprediksi dan BP
dapat turun terlalu cepat.
Manajemen
Tangani pasien pada area yang dapat dimonitoring (critical atau intermediate)
Berikan oksigen aliran rendah
Monitor : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5-10 menit
Apakah hasil pemeriksaan BP benar ?
Ulangi dengan manual sphygmomanometer
Periksa cuff yang benar
Periksa lengan yang lain
Ulang pemeriksaan kemudian jika asimptomatik
Apakah merupakan hipertensi emergency atau urgensi?
Cari bukti adanya kerusakan end-organ
Pemeriksaan klinik harus mencakup:
1. funduskopi untuk mencari pardarahan, eksudat, papil edema.
2. pemeriksaan neurologik untuk AMS, deficit fokal.
3. pemeriksaan kardiovaskular untuk kegagalan ventrikel kiri, murmur
regurgitasi aorta baru, bukti diseksis aortic.
Bedside investigation : EKG, urin dipstick untuk hematuri dan proteiuria, tes
kehamilan urin pada wanita usia subur.
Pemeriksaan lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, cardiac enzyme screen, troponin
T.
Radiologi :
1. CXR untuk kegagalan ventrikel kiri, pelebaran mediastinum.
2. CT scan kepala jika terdapat AMS.
3. CT thoraxjika ada kecurigaan diseksi aortic.
Apakah BP perlu diturunkan secara akut? Jika demikian, bagaimana caranya?
Penurunan BP yang optimal belum ditentukan secara pasti.
Jika hipertensi emergency terjadi, target adalah menurunkan 20-25% MAP
(diastolic + 1/3 Pulse pressure) dalam beberapa jam, atau DBP sampai mencapai
lebih dari 100-110 mmHg, kemudian menjadi 160/100 mmHg dalam waktu 2-6
jam.
Untuk px dengan stroke syndrome, jika CT scan kepala dapat dilakukan maka
disarankan untuk menunda BP sampai perdarahan intracerebral dapat dilihat.
Lihat bab Stroke.
Terapi Obat
1. Sodium nitroprusside : bermanfaat untuk semua hipertensi emergency kecuali
pada eklampsia. Dibatasi oleh toxic metabolite thiocyanate terutama setelah
penggunaan yang lama (24-48 jam), yang dapat menyebabkan toksisitas
sianida atau thiocyanate, bermanifestasi seperti laktat asidosis, AMS dan
deteriorasi. Perlu untuk dilindungi dari sinar matahari.
Dosis: infus IV mulai dari 0,25µg/kg/menit dititrasi sampai berespon.
Dosis efektif rata-rata adalah 3 µg/kg/menit, dengan range 0,25 sampai 10
µg/kg/menit (dosis maksimal untuk 10 menit saja).
2. Labetalol hydrochloride: gunakan secara primer, atau pada kasus gagal terapi
dengan nitroprusside. Bermanfaat bagi px dengan IHD dengan mengurangi
kebutuhan oksigen miokard dan takikardi. Juga efektif pada diseksi aortic
dengan mengurangi force of systolic ejection dan shear stress.
Kontraindikasi adalah pada pasien asma, COLD, CCF, bradikardi dan AV
block. Bermanfaat bagi phaeochromocytoma, dosis rendah dapat berakibat
hipertensi paradoksikal karena efek beta-blocking lebih kuat daripada efek
alfa blocker.
Dosis : berikan IV 25-50mg bolus, diikuti dengan 25-50mg tiap 5-10 menit
sampai maksimum 300mg (efek bertahan sekitar 50 menit), atau dengan infus
dengan rata-rata 0,5-2,0 mg/menit.
3. Nitrogliserin : DOC untuk hipertensi moderate dengan komplikasi unstabel
angina. Komplikasi nyeri kepala dan vomiting, dan dapat memiliki manfaat
yang terbatas pada pasien hipertensi encefalopati. Dosis : infus IV pada 5-100
µg/menit, titrasi sampai berespon.
4. Propanolol : dapat digunakan bersama dengan nitroprusside pada diseksi
aortic thoracic. Digunakan juga dengan phentolamine untuk krisis
katekolamin. Dosis : 1 mg IV bolus dan titrasi.
5. Esmolol : short acting beta-blocker. Gunakan pada diseksi aortic. Dosis : 250-
500 µg/kg/menit selama 1 menit, kemudian 50-100 µg/kg/menit selama 4
menit; dapat diulang.
6. Phentolamine : merupakan alpha-blocking agent, digunakan dengan
propanolol IV untuk krisis katekolamin. Dosis : 5-15mg IV.
7. Hidralazine : terapi pilihan eklampsia. Dosis : 5-10 mg bolus IV tiap 15 menit
dan titrasi.
Jika hipertensi urgensi telah didiagnosa, targetnya adalah untuk menurunkan BP
secara bertahap selama periode 24-48 jam sampai target DBP 100-110 mmHg.
Obat hanya diberikan per oral. Obat yang dimiliki pasien dapat diteruskan.
Terapi obat
1. Felodipine
a. berikan PO 2,5 mg pada usia > 65th
b. Berikan PO 5,0 mg pada usia < 65 th, kemudian 5,0 mg 2 x/hari
2. captopril : Berikan PO 25,0 mg, kemudian 2 x sehari atau 3 x sehari.
Penempatan
Hipertensi Emergency : pasien harus MRS di ICU dengan konsultasi pada
General Medicine
Hipertensi urgensi : dapat KRS jika respon baik dan BP dapat diterima setelah 4
jam monitoring, namun follow up harus dilakukan dalam 48 jam. Jika pasien baru
pertama kali didiagnosa hipertensi dengan penyebab yang belum pasti, maka
MRS pada bagian General medicine untuk evaluasi dan eksklusi penyebab
sekunder hipertensi.
65. Hipoglikemi
Definisi
Merupakan kadar glukosa darah yang rendah, biasanya kurang dari 3,0 mmol/l pada
pemeriksaan vena, disertai dengan gejala dan tanda yang khas, yang akan kembali
membaik setelah dilakukannya koreksi.
Caveats
Selalu periksa GDA pada pasien AMS atau kejang.
Hasil pemeriksaan gula darah kapiler akan lebih rendah daripada hasil pada vena
dan dapat terlihat rendah pada pasien hipotensi, hipotermi dan edema; sehingga
selalu konfirmasikan adanya hipoglikemi dengan sample vena ke lab.
Penyebab
Separuh jumlah kasus terjadi pada pasien diabetes yang sedang menjalani
pengobatan dengan insulin atau sulphonylurea.
Penyebab hipoglikemi pada pasien yang terlihat sehat:
1. Medikasi/obat
a. Alkohol
b. Salisilat
c. Non selective beta blocker (dengan kelemahan respon adrenergic
terhadap stress)
d. Factitious hypoglycaemia atau overdosis insulin atau obat
hipoglikemik oral.
3. latihan/exercise yang berlebihan
4. Insulinoma
Penyebab hipoglikemi pada pasien yang terlihat sakit
1. Sepsis dan syok
2. Infeksi : malaria, terutama dengan terapi quinine atau quinidine
3. Starvasi/kelaparan, anoreksia nervosa
4. gagal hati
5. Gagal Jantung (diffuse disfungsi liver)
6. Gagal ginjal (gluconeogenesis yang terganggu)
7. Endokrin
a. Insufisiensi Hipothalamus-pituitary-adrenal axis pada kortisol dan
growth hormone.
b. Insulin antibodies
8. Non islet cell tumour, cth sarcoma, mesothelioma
9. masalah hati congenital termasuk defek karbohidrat, asam amino dan
metabolisme asam lemak.
Manifestasi klinis
Hipoglikemi dapat muncul dengan manifestasi spectrum luas kelainan neurologik, a.l:
Neurogenic/autonomic (BSL sekitar 2,8-3,0 mmol/l): keadaan simpatetic yang
berlebihan dengan diaforesis, takikardi, gugup, dan pucat.
Neuroglycopenia (BSL < 2,5-2,8 mmol/l)
1. gangguan perilaku seperti iritabilitas, confusion dan agresi
2. penurunan tingkat kesadaran
3. Kejang
4. Defisit neurologik fokal
Tips khusus Bagi Dokter
Prevensi labih baik daripada penyembuhan
KIE yang baik dalam ketaatan berobat obat hipoglikemik, insulin dan makanan serta
kudapan yang sesuai.
Hindari long-acting sulfonylurea, terutama glibenklamide dan chlorpropamide, pada
pasien usia tua, atau memiliki gangguan hati, ginjal atau jantung.
Monitoring ketat glukosa darah pasien, termasuk self-blood glucose monitoring, akan
membantu untuk mengurangi insiden hipoglikemi pada pasian DM.
Pastikan keamanan penggunaan obat dirumah:
1. jauhkan obat dari jangkauan anak
2. kurangi kebisaaan menempatkan obat pada container lain untuk mencegah
kebingungan.
3. Beri label dengan jelas
Cek GDA pada semua px AMS. Terapi dini pada hipoglikemi akan mengurangi
morbiditas dan mortalitas.
Manajemen
Tempatkan pada area yang dapat diawasi
1. monitor: EKG, pulse oksimetri, tanda vital
2. berikan oksigen aliran rendah
3. Cek GDA untuk semua px AMS
Anamnesa dan Pemeriksaa
1. cek riwayat DM, pengobatan, perubahan dosis, penyakit yang baru atau sudah
lama diderita px.
2. Jika px tidak sadar, lakukan heteroanamnesa, dan pemeriksaan lain.
Pemeriksaan penunjang
1. Glukosa darah vena, urea/elektrolit/kreatinin, LFT, FBC
2. Jika px tidak diabet, ambil 1-2 ekstra tube darah on ice untuk insulin serum,
C-peptide dan kortisol sebelum memberi terapi dan evaluasi endokrinologi
lanjutan.
3. jangan menunggu hasil lab akhir untuk memberikan terapi.
Terapi, tergantung pada tingkat kesadaran dan kerjasama px
1. pasien sadar dan kooperatif
a. terapi oral lebih disukai
b. berikan minuman kaya glukosa (cth glukolin, lucozade, ensure, isocal,
milo, horlicks) dan beri makan px. Catat bahwa 1 kaleng Ensure
memiliki 250 kalori, cf 1 pint D5W memiliki 100 kalori.
2. pasien yang tidak sadar atau tidak kooperatif
a. jika akses IV tersedia, berikan IV dekstrose 50% 40-50ml. ingat
untuk mencampurnya dengan NS karena larutan hipertonik dapat
menyebabkan tromboplebitis.
b. Jika akses IV tidak tersedia, atau jika px sangat tidak kooperatif, IM
atau SC glukagon 1 mg dapat diberikan. Ingat bahwa IM atau SC
glukagon memerlukan waktu beberapa menit lebih lama daripada IV
dekstrose. Juga dapat digunakan pada hipoglikemi yang terjadi akibat
sulfonylurea atau gagal hati.
3. Jika dicurigai alkoholik kronis, berikan IV thiamine 100mg
4. Jika dicurigai ada insufisiensi adrenal, berikan IV hidrokortison 100-200mg.
5. Jika ada trauma lain, berikan profilaksis tetanus.
Monitoring
1. periksa GDA 15 menit kemudian, selanjutnya setiap 30 menit pada 2 jam
pertama, dan setiap jam selanjutnya. Monitoring jangka panjang dibutuhkan
bila ada overdosis sulfonylurea dengan glibenklamide atau chlorpropamide.
2. Pertimbangkan dosis ulangan jika tidak respon terhadap terapi, atau berikan
infus D5% atau 10% continous, jika ada kemungkinan penurunan kadar gula
darah yang terus menerus.
3. mayoritas pemulihan pasien terjadi dalam 20-30 menit.
4. jika terdapat keadaan AMS yang persisten, walaupun hipoglikemi telah
teratasi, pertimbangkan keadaan patologis lain, serta lakukan CT scan kepala.
Penempatan
1. Bergantung pada beberapa factor :
a. Etiologi hipoglikemi, termasuk agen penyebab.
b. Severitas deficit neurologik dan responnya terhadap terapi.
c. Respon kadar glukosa darah dan butuh replacement yang terus
menerus.
d. Adanya komorbiditis, seperti cedera kepala
e. Lingkungan social, ketersediaan yang merawat px, keinginan px untuk
bunuh diri.
2. secara umum, sebagian besar pasien harus di-MRS-kan dibawah pengawasan
bagian endokrinologi, General Medicine atau spesialis lain tergantung etiologi
dan komorbiditas. Semua kasus hipoglikemi karena sulfonylurea harus di-
MRS-kan karena efek jangka panjangnya.
3. pada kondisi yang menyebabkan kecenderungan hipoglikemi (overdosis
OHGA, kegagalan hati akut, sepsis berat), pertimbangkan MRS di ICU.
4. Jika penyebab hipoglikemi telah diketahui pasti dan bersifat reversible (cth
karena lupa makan setelah injeksi insulin), maka px dapat dipulangkan setelah
keadaan membaik.
70. Infark Miokard, Akut
Caveats
2-4% kasus MI secara tidak tepat dipulngkan ke rumah masing-masing. Mayoritas
kasus meliputi kasus pada pasien muda yang tidak dicurigai AMI, px lansia yang
tidak menunjukkan gx yang khas. Sehingga AMI harus dieksklusikan pada px tua,
juga pasien diabetes dengan gejala kardiak, respirasi, dan neurology yang tidak
terjelaskan.
Faktor menyebabkan miss diagnosa MI:
1. kegagalan untuk melakukan pemeriksaan penunjang (EKG, serum marker)
2. Tidak dipertimbangkannya dx
3. KRS yang tidak tepat dari ED
4. interpretasi yang salah dari hasil tes (EKG atau serum marker)
5. Terlalu bergantung pada hasil pemeriksaan yang negative (EKG dan single
serum marker yang negative)
Karakteristik AMI yang tidak spesifik :
1. kepribadian (maskulinitas, calmness, independent, kecemasan yang rendah)
2. Pola perilaku (kunjungan ke dokter yang rendah, pasien yang menyangkal)
3. ambang nyeri yang tinggi (kardiak dan non kardiak)
4. depresi mayor atau psikosa
5. pasien dementia
6. misinterpretasi antara dokter-pasien tentang gejala dan tanda AMI
7. sensori, motorik dan autonomic neuropati
8. kurangnya pengenalan gangguan CNS akibat iskemik
dibawah ini merupakan keluhan anginal equivalent, sindrom dan manifestasinya:
1. anginal equivalent complaints : dispneu, nausea/vomiting, diaforesis,
kelemahan/kepeningan, batuk dan sinkope.
2. Anginal equivalent syndromes : delirium, kebingungan, CVA
3. Anginal equivalent presentation and findings : cardiac arrest, disritmia onset
baru, gagal jantung kongestif onset baru, bronkospasme yang tidak
terjelaskan, takikardi yang tidak dijelaskan, edema peripheral.
Di bawah ini merupakan tips manajemen risiko pada pasien dengan kemungkinan
MI
1. usia dan jenis kelamin yang perempuan bukan berarti dapat menyingkirkan dx
iskemik atau infark.
2. riwayat penyakit jantung merupakan factor yang kritikal. Adanya factor risiko
telah membatasi signifikansi diagnosa karena adanya penyakit kardiovaskular
merupakan fakta yang telah diketahui.
3. factor risiko yang relevan dengan nyeri dada : riwayat keluarga, DM,
hipertensi, hiperlipidemia, merokok dan penggunaan kokain.
4. pertimbangkan kebijaksanaan untuk memeriksa rutin EKG pada pasien tua
dengan manifestasi klinis yang berpotensi kardiak.
5. nyeri dada pada left bundle branch block baru harus dipertimbangkan sebagai
AMI, serta diberi terapi trombolisis.
6. nyeri dada saat istirahat pada px yang diketahui menderita penyakit jantung
harus dipertimbangkan sebagai penemuan yang tidak menyenangkan.
Manajemen
oksigen dengan masker, monitoring tanda vital
Aspirin oral 300mg
S/L GTN 1 tab dan ulang setelah 5 menit (untuk menyingkirkan perubahan EKG
karena spame koroner).
Lakukan right-side ECG pada MI inferior untuk menyingkirkan concomitant
right ventricular infarct.
Pasang IV plug dan tes darah, cth: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak,
Troponin T, PT/PTT, dan GXM 2U PCT. Hindari arterial puncture.
IV morfin 2-5mg bolus lambat. Ulangi dengan interval 10 menit sampai nyeri
berkurang.
Pertimbangkan IV metoklopramid 10 mg sebagai antiemetik.
IV GTN 20-200µg/menit, terutama pada:
1. nyeri dada iskemik yang terus-menerus
2. gagal ventrikel kiri
3. Hipertensi
Meningkat 5-10 µg/menit, pada interval 5-10 menit sampai nyeri dada
menghilang atau MAP turun 10%. Hentikan bila terjadi hipotensi. Hati-hati pada
MI inferior karena pasien dapat mengalami concomitant right ventricular infarct,
dimana nitrat merupakan kontraindikasi.
Pertimbangkan Myocardial salvage therapy, contoh PCI (procedural coronary
intervention) versus trombolisis (PCI lebih disukai bila tersedia). Lihat tabel 1.
Tabel 1 : Tindakan Reperfusi pada AMI, keuntungan dan Kerugian 2 strategi Reperfusi
Trombolisis PCI
Keuntungan Pemberian cepat Efikasi klinis yang lebih baik, cth
Tersedia luas patensi pembuluh darah
Nyaman digunakan superior, TIMI grade 3 flow
rate dan penurunan oklusi
Lebih sedikit perdarahannya
Definisi dini dari anatomi koroner
memudahkan terapi
penyesuaian dan stratifikasi
risiko yang lebih efisien
Kerugian Patensi terbatas, cth arteri terkait Terbatas pada efikasi yang
infark, terjadi pada 60-85% pada terlambat
pasien, dengan normal TIMI Kurang luas tersedia
grade 3 epikardial coronary flow Membutuhkan tenaga ahli
pada 45-60% pasien
Efikasi klinis yang lebih rendah,
cth : reperfusi optimal tidak
tercapai pada >50% pasien, dan
reoklusi infark pembuluh darah
terjadi 5-15% pada minggu I dan
20-30% dalam 3 bulan
Risiko perdarahan
Pertimbangkan apakah pasien merupakan kandidat untuk terapi
trombolitik dengan criteria sbb:
1. nyeri dada khas AMI
2. peningkatan segment ST paling tidak 1mm pada setidaknya 2 lead EKG
inferior atau elevasi paling tidak 2mm pada setidaknya 2 lead EKG anterior
3. Kurang dari 12 jam dari onset nyeri dada
4. Kurang dari usia 75 tahun
Jika pasien memenuhi criteria untuk trombolisis, lihat daftar kontraindikasinya:
1. Suspek aortic dissection
2. riwayat stroke
3. neoplasma intracranial yang diketahui
4. baru mengalami cedera kepala
5. patologi intracranial yang lain
6. hipertensi berat (BP > 180/110)
7. ulkus peptikum akut
8. perdarahan internal akut
9. baru mengalami perdarahan internal (< 1 bulan)
10. baru mengalami pembedahan major
11. baru menjalani pengobatan antikoagulan
12. perdarahan diathesis yang diketahui
13. prolonged CPR (> 5 menit)
14. pemberian trombolitik sebelumnya
15. kehamilan
16. diabetic retinopati
17. Hipotensi (SBP < 90 mmHg)
18. EKG menunjukkan LBBB
19. masalah kesehatan lain yang dapat menghalangi penggunaan trombolitik.
Jika jawaban terhadap salah satu keadaan diatas ada yang ‘ya’ maka jangan
berikan trombolitik. Diskusikan dengan ahli kardiologi terlebih dahulu.
Jika tidak ada kontraindikasi, pertimbangkan pilihan trombolitik, cth :
Streptokinase (SK) versus recombinant tissue plasminogen activator (rtPA):
SK rtPA
1. paling sering digunakan dan 1. dapat digunakan pada kedua gender
ekonomis 2. kurang dari usia 50th
2. pilihan yang lebih baik jika risiko 3. anterior AMI
perdarahan intracranial lebih besar 4. kurang dari 12 jam dari onset nyeri
(cth: usia tua) karena penggunaan dada
rtPA berakibat terhadap peningkatan
risiko perdarahan intracranial.
Definisi
Drowning syndrome bervariasi dari minimal aspirasi air dengan angka keselamatan
mulai dari yang baik sampai pada severe pulmonary injury dengan kematian. Bermacam-
macam terminology digunakan untuk mendiskripsikan keadaan sebagai berikut:
Tenggelam : proses dimana usaha bernafas untuk menghirup udara terendam
didalam cairan.
Near Drowning : tenggelam sebagian dengan temporary survival.
Submersion incident : istilah yang paling ntral untuk mendeskripsikan seseorang
yang mengalami efek berkebalikan setelah mengalami tenggelam sebagian di
dalam air.
Caveats
Penyelamatan segera (< 5 menit) dan resusitasi awal di tempat kejadian
merupakan kunci keselamatan pasien.
Bagian penting pemeriksaan adalah unuk mencari penyebab (cth trauma, usaha
bunuh diri, keracunan, sengatan organisme laut).
Hipotermi merupakan komplikasi yang potensial, terutama pada usia yang lebih
muda.
Manajemen
Focus manajemen adalah menyelamatkan ABC dan koreksi hipoksia
Membedakan jenis air, fresh water (surfaktan selamat dari washout) dan salt
water (surfaktan hilang dengan denaturasi), wet atau dry (asfiksisasi karena
laringospasme yang dicetuskan oleh masuknya air ke dalam laring) cukup
bermanfaat untuk memahami kemungkinan mekanisme patofisiologi morbiditas
dan mortalitas namun tidak mempengaruhi manajemen pasien di ED.
Prosedur drainase paru seperti Heimlich maneuver bersifat controversial.
Tindakan ini tidak direkomendasikan karena efektivitasnya belum terbukti,
bahkan dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
Antibiotik dan steroid tidak terbukti bermanfaat pada korban near-drowning
Diuretik tidak membantu pada non-cardiogenic pulmonary oedema.
Penempatan
biasanya semua kasus near drowning diMRS-kan
pasien yang terlihat baik harus ditangani dan diawasi selama 12 jam dan di-KRS-
kan bila:
1. pasien terlihat baik dan sadar
2. tidak ada abnormalitas tanda vital
3. CXR normal
4. memiliki pengawas yang dapat diandalakan di rumah
MRS di ICU jika:
1. pasien diintubasi
2. AMS berkelanjutan
3. parameter tidak stabil setelah resusitasi
Prognosis
Buruk jika :
1. anak usia < 3 tahun
2. durasi tenggelam diperkirakan > 5 menit
3. tidak resusitasi selama 10 menit setelah penyelamatan
4. datang pada ED dalam keadaan koma atau kollaps
5. delayed respiratory gasp hanya 20 menit setelah penyelamatan.
73 Pankreatitis Akut
Definisi
proses inflamasi akut pada pancreas dengan keterlibatan bermacam-macam jaringan
regional atau system organ lain.
Secara klasik, dikarakterisasi dengan adanya nyeri abdomen dan terkait dengan
adanya hiperamilasemia.
Caveats
Secara klasik, pankreatitis akut terkait dengan kadar serum amylase yang tinggi
(nilai ambang dengan spesifisitas tinggi diatas 1000U/L atau 4 kali normal).
Keadaan ini tidak selalu harus ada.
Pasien dengan eksaserbasi akut pankreatitis akut sering menunjukkan
‘subtreshold’ peningkatan serum amylase karena penurunan volume jaringan
pancreas yang berfungsi.
Peningkatan kadar amylase dapat terlihat pada semua patologi abdomen yang akut
namun tidak mencapai nilai ambang yang klasik.
Lihat tabel 1 untuk mengetahui ddx pankreatitis
Tips khusus Bagi Dokter Umum
Hati-hati terhadap presentasi yang tidak khas : nyeri sering terdapat pada abdomen
bagian tengah atau epigastrium, tapi tidak selalu demikian. Jika terkait dengan
patologi lain, cth batu common bile duct (CBD) dan/atau kolangitis, px dapat
melaporkan gx yang terkait dengan patologi, cth kolik bilier dari batu CBD. Ketika
pankreatitis mempengaruhi corpus pancreas dan tail, nyeri dapat juga terjadi di
hipokondrium kiri daripada di sentral. Pankreatitis akut harus selalu dipertimbangkan
sebagai diagnosa yang mungkin pada pasien dengan nyeri abdomen bagian atas.
Target Manajemen
Mengetahui:
Apa penyebab penkreatitis? Penyebab mungkin antara lain batu empedu dimana
px memiliki riwayat kolik bilier sebelumnya atau fat dyspepsia. Konsumsi alcohol
kronik juga merupakan penyebab umum, dimana keluhan nyeri abdomen
ditemukan pada pengkonsumsi alcohol berat. Lihat tabel 2.
Seberapa parah pankreatitis? Lihat petunjuk sbb:
1. Tanda kehilangan cairan yang berlebihan (‘Third space losses’) dan
compromised end organ perfusion.
a. Secara klinis dehidrasi
b. Kebingungan
c. Ascites
d. Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat > 10%)
e. Peningkatan urea/creatinin
f. Asidosis metabolic
2. Tanda kegagalan organ
a. Koagulopati (DIC screen posistif)
b. Gagal ginjal (peningfkatan kreatinin, asidosis metabolic, hiperkalemia)
c. Distress respiratori dan hipoksia (PaO2 dan SaO2 rendah)
3. Tanda sepsis
a. komplikasi septic local (abses pankreatik, atau nekrosis pankreatik
terinfeksi) tidak terjadi awal, namun setelah 1 minggu kemudian,
disertai tanda sepsis (demam tinggi dan peningkatan TWC).
b. Jika demam tinggi terjadi pada awal prankreatitis, pertimbangkan
penyebab sepsis non pankreatik. Penyebab umum adalah kolangitis
sekunder obstruksi bilier. Cari gambaran kolestatik pada hasil LFT.
4. Tanda lain dari severe pankreatitis
a. ekimosis abdomen. Mungkin di daerah flank (tanda Grey-Turner) atau
area periumbilikal (tanda Cullen’s)
b. tanda hipokalsemi, cth spasme karpopedal dan tetanus.
c. Glukosa darah > 10mmol/l
Tabel 1 : Diagnosa Banding Pankreatitis
Lokasi patologi Contoh
Abdomen Perforasi Ulkus peptikum
Eksaserbasi akut dyspepsia ulkus peptikum
Kolik bilier
Kolangitis
Iskemik bowel
Aneurisme aorta abdominal
Diseksi aorta abdominal
Supradiafragmatika Pneumonia basalis
Acute coronary syndrome
Protokol Manajemen
Pada semua pasien pankreatitis akut
1. puasakan px
2. mulai drip saline. Bila tidak ada dehidrasi, berikan dengan maintenance rate
2,5-3 liter/hari.
3. berikan oksigen dengan masker
4. jika px vomit (karena gastroparesis) masukkan NGT untuk dekompresi
lambung
5. berikan analgesic parenteral. Opiate seperti pethidin tidak secara tegas
menjadi kontraindikasi dan memberikan penghilang nyeri yang terbaik.
Hindari NSAID pada px dehidrasi atau organ compromise karena risiko
nefrotoksik.
6. jika pasien memiliki riwayat penyakit ulkus peptikum, berikan profilaksis
terapi supresi asam. Reduksi asam tidak mempengaruhi keparahan
pankreatitis.
7. lakukan penentuan serum amylase.
8. lakukan CXR, untuk mencari respiratory compromise dan mengeksklusi ddx
lain, seperti pneumonia basalis atau perforasi viscus.
9. pada px dengan factor risiko kardiak, lakukan EKG dan enzim kardiak untuk
mengeksklusi angina atypical/AMI.
10. pada pasien dengan tanda kolangitis (demam tinggi, peningkatan TWC dan
kolestatik LFTs) berikan antibiotik IV setelah sebelumnya melakukan kultur
darah. Gunakan cephalosporin generasi ketiga, cth : cefuroxime atau
ceftriaxon, bersamaan dedngan metronidazole. Jika px sensitive terhadap
penicillin, ganti cephalosporin dengan ciprofloxacin. Hindari gentamycin
karena bersifat nefrotoksik.
Catatan : tidak perlu memberikan antibiotik untuk pankreatitis tanpa komplikasi
11. mulai input/output charting untuk pemeriksaan kehilangan cairan
12. tidak perlu untuk selalu melakukan seluruh pemeriksaan lab pada saat di ED.
Pemeriksaan dapat dilakukan setelah px berada di bangsal.
13. kasus ringan pankreatitis akut dapat di MRS-kan pada bagian bedah umum
atau bagian gastroenterology.
Pada px dengan tanda pankreatitis berat:
1. lakukan pemeriksaan tersebut diatas
2. monitor pasien
3. jika terjadi kegagalan nafas, lakukan intubasi dan ventilasi pasien
4. Lakukan pemeriksaan lab:
a. FBC
b. Urea/elektrolit/kreatinin termasuk kalsium
c. Liver function test
d. BGA
e. Kultur darah
5. mulai pemberikan profilaksis antibiotik sistemik.
6. tidak ada penelitian mengenai manfaat menggunakan obat lain seperti
somatostatin atau octreotide.
7. ketika terdapat gambaran pankreatitis akut, atau jika pankretitis didiagnosa
pada pasien lansia (>70th), konsul ke bedah umum, untuk kemungkinan
intervensi pembedahan pada komplikasi yangmungkin terjadi cth nekrosis
pakreatik terinfeksi atau abses pankreatik.
8. Pasien pankreatitis severe MRS di bagian high dependency care. Pasien
dengan tanda gagal organ harus MRS di SICU untuk perawatan definitive.
82. Keracunan, Organofosfat
Caveats
Agent aktif pada banyak pestisida dan insektisida adalah parathion, yang
berikatan secara irreversible dengan kolinesterase untuk membentuk ikatan
dietilfosfat.
Atropin merupakan antidote fisiologi antimuskarinik yang bekerja secara
kompetitif memblok efek muskarinik asetilkolin.
Atropin tidak memiliki efek pada reseptor nikotinik pada myoneural junction pada
otot bergaris, yaitu tidak akan mengembalikan paralysis.
Pralidoxime merupakan antidote biokimia yang bereaktivasi dengan kolinesterase
yang menyebabkan proses fosforilasi oleh organofosfat. Naumn pralidoxine harus
diberikan dalam waktu 24-36 jam pertama setelah paparan. Jika tidak, molekul
kolinesterase dapat berikatan erat serta kolinesterase baru akanmembutuhkan
waktu berminggu-minggu untuk regenerasi.
Presentasi klasik : pasien dengan vomiting dan diare, diaforesis, nafas berbau
insectisida dan pupil yang kecil. Hati-hati dx yang berlebihan terhadap
gastroenteritis.
Patofisiologi
Organofosfat menghambat asetilkolinesterase, yang akan berakibat pada
akumulasi asetilkolin yang berlebihan pada myoneural junction dan sinaps.
Asetilkolin yang berlebihan akan mengeksitasi kemudian membuat paralise,
neurotransmisi pada motor end plate dan menstimulasi nikotinik dan muskarinik:
1. efek muskarinik : singkatan DUMBELS berguna untuk mengingat karena
gejala dan tanda ini berkembang lebih awal, 12-24 jam setelah ingestion.
D Diare
U Urinasi
M Miosis (absent pada 10% kasus)
B Bronchorrhoe/bronkospasme/bradikardi
E Emesis
L Lacrimasi
S Salivation dan Hipotensi
2. Efek Nikotinik
a. Diaforesis, hipoventilasi, dan takikardi
b. Fasikulasi otot, kram dan kelemahan yang menyebabkan flaccid
muscle paralysis
3. Efek CNS
a. Ansietas dan insomnia
b. Depresi nafas
c. Kejang dan koma
Manajemen
Terapi suportif
Pastikan semua staff menggunakan perlengkapan proteksi karena absorsi
perkutaneus dan inhalasi dapat menyebabkan keracunan.
Px ditangani pada area critical care, dengan perlengkapan resusitasi yang selalu
tersedia.
Lakukan detoksifikasi dengan melepas pakaian px dan cuci kulit px seluruhnya.
Pertahankan patensi jalan nafas, lakukan intubasi orotrakeal jika px apneu, atau
tidak memiliki gag reflex. Suction aktif berkala dibutuhkan bila ada
bronkorhoea.
Berikan oksigen aliran tinggi via non-rebreather reservoir mask.
Lakukan gastric lavage jika ada indikasi, terutama pada beberapa jam pertama
setelah ingestion.
Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
Pasang jalur IV.
Cairan IV : kristaloid untuk menggantikan hilangnya cairan melalui vomiting
dan diare.
Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, kolinesterase plasma gaster dan specimen
toksikologi serum
Terapi Obat
Arang aktif via gastric lavage tube. Dosis 1g/kgBB
Atropin : obat pertama yang diberikan pada keracunan simptomatik.
1. Penggunaan utamanya adalah reduksi bronkorrhoea/bronkospasme
2. Dosis besar mungkin dibutuhkan untuk mengontrol sekresi jalan nafas.
Dosis : dewasa : 2 mg IV tiap 10-15 menit prn; dosis dapat digandakan tiap 10
mneit sampai sekresi terkontrol atau tanda atropinisasi jelas (flush, kulit kering,
taikardia, midriasis, dan mulut kering).
Anak-anak : 0,05 mg/kgBB tiap 15 menit prn, dosis dapat digandakan tiap 10
menit sampai sekresi terkontrol.
Pralidoxime (2-PAM, Protopam)
1. pralidoxime harus diberikan dengan atropine pada tiap pasien simptomatik
2. efek akan terlihat dalam 30 menit dan meliputi hilangnya kejang dan
fasikulasi, perbaikan kekuatan otot dan pemulihan kesadaran.
3. pemverian pralidoxim biasanya mengurangi jumlah atropine yang diberikan
serta dapat unmask toksisitas atropine.
Dosis : Dewasa : 1gm IV selama 15-30 mneit; dapat diulang dalam 1-2 jam prn
Anak-anak : 20-25 mg/kgBB IV selama 15-30 menit; dapat diulang 1-2 jam.
Diazepam (Valium) : digunakan untuk mengurangi kecemasan dan restlessness
dan mengontrol kejang.
Dosis : 5-10 mg IV untuk kecemasan/restlessmess
Catatan : dosis dinaikkan sampai 10-20 mg IV mungkin diperlukan untuk
mengkontrol kejang.
Penempatan
Lakukan konsultasi pada general medicine pada HD/ICU
Untuk kasus terapi keracunan subklinis yang tidak diperlukan, namun px harus
MRS setidaknya 24 jam untuk meyakinkan bahwa keracunan yang delayed tidak
akan berkembang.
85. Emboli Pulmonal
Caveats
Thrombotic Pulmonary Embolism (PE) bukan merupkan penyakit yang terpisah
dari dada, namun merupakan komplikasi venous thrombosis. Deep venous
Thrombosis (DVT) dan PE merupakan bagian dari proses yang sama, venous
thromboembolism.
DVT pada kaki ditemukan pada 70% pasien PE. Sebaliknya PE terjadi pada 50%
dengan DVT di kaki (yang melibatkan popliteal dan atau vena yang lebih
proksimal) dan kurang sering terjadi ketika thrombus didapatkan pada vena
daerah betis.
Faktor predisposisi PE dan DVT sama dan memenuhi trias Virchow stasis vena,
cedera dinding vena dan peningkatan koagulabilitas darah. (tabel 1)
Catatan :
1. PE massif tanpa hipoksemia jarang terjadi jika arterial oxygen tension (PaO2) normal,
merupakan diagnosis alternative harus dipertimbangkan.
2. Walaupun PE mengganggu eliminasi karbondioksida, hiperkapnia jarang terjadi.
3. Px dengan PE massif jelas akan Nampak dispneu namun tidak orthopnoeic.
4. Sub akut massif PE menyerupai gagal jantung atau indolent pneumonia, terutama pada
lansia.
Catatan : Px dengan kemungkinan PE yang rendah, jika di tes dengan D-Dimer ELISA Assay
yang negative, maka dapat menyingkirkan dx PE dengan meyakinkan. Dengan kontras, jika D-
dimer positif pada px dengan probabilitas pretest yang rendah, maka px harus direevaluasi. D-
dimer yang negative tidak dapat digunakan secara meyakinkan untuk menyingkirkan PE pada px
dengan risiko tinggi atau intermediate.
Caveats
Mekanisme patogen utama adalah sympathetic overdrive dengan distribusi sentral
volume darah yang dihasilkan oleh peningkatan left ventricular end-diastolic
volume and pressure.
Karena tidak ada overload volume, manajemen dengan penggunaan vasodilator
harus menjadi dasar terapi utama dibandingkan dengan diuretic.
Target terapi edema pulmonal adalah resolusi sympathetic drive, yang ditandai
dengan normalnya nadi, restorasi ekstremitas yang kering dan hangat serta
kenyamanan px.
BP akan menjadi panduan untuk mengetahui keberhasilan terapi dibanding
dengan target terapi itu sendiri.
CPAP mask adalah efektif, namun membutuhkan px yang sadar dan kooperatif,
penggunaannya pada edema pulmonal kemungkinan sangat terbatas.
Manajemen
Harus ditangani pada area critical care
Monitoring penuh, pasang defibrilator
Periksa ABC dan lihat kemungkinan untuk dilakukannya intubasi jika terjadi
impending respiratory failure.
Berikan oksigen 100% dengan non-rebreather reservoir mask
Pasang akses IV
Lakukan EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya inferior/right ventricular
infarction (yang merupakan kontraindikasi nitrat)
Cek Darah: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak, dan troponin T
BGA diambil sebagai dasar penilaian
CXR portabel
Kateterisasi untuk mengukur urin output.
Terapi farmakologis
Pilihan Obat
1. Nitrogliserin : 10-200µg/menit. Mulai dengan 10 µg/menit, perlahan
meningkat sampai 5 µg setiap 5 menit.
Titrasi untuk respon dan efek BP. Tidak ada monitoring invasive yang
diperlukan. Turunnya BP dapat terjadi cepat dengan menggunakan dosis
tinggi. Lakukan monitoring berlanjut terhadap BP. Infus harus diturunkan
ketika MAP mencapai 90mmHg.
2. nitropruside : 0,25-10 µg/kg/menit. Mulai pada dosis rendah dan titrasio
sampai berespon. Merupakan vasodilator yang sangat kuat. Monitoring
invasive biasanya diperlukan. Perawatan harus dilakukan untuk mencegah
penurunan BP.
3. Hydralazine : IV 10mg setiap 30 menit
Vasodilatasi kuat, efek dapat bertahan sementara waktu. Harus dilakukan
untuk monitoring px, terutama bila dikombinasi dengan obat lain.
Obat lainnya
1. furosemide : 40-80 mg IV bolus
Efektif namun bervariasi pada onset efek yaitu antara 20 menit sampai 2 jam.
Efek tidak dapat dititrasi. Efeknya tidak fisiologis. Dosis tinggi diperlukan
pada px gagal ginjal.
2. Morfin : 0,1 mg/kg. Diberikan sebagai bolus tambahan 1 mg. beberapa
regimen dimulai dengan IV morfin 3-5mg. merupakan venodilator yang lemah
dibanding dengan obat lain, tidak mudah dititrasi, juga menurunkan
respiratory drive. Hindari bolus dalam jumlah besar karena dapat
menyebabkan apneu.
Obat Oral : dapat diberikan bila akses IV terlambat atau tidak mungkijn
dilakukan. Dapat ditambahkan sebagai kombinasi untuk edema pulmonal akut.
1. Gliseril trinitrat : 0,5 -1,5 mg dapat diberikan SL. Dalam bentuk tablet atau
aerosol spray. Efek serupa dengan bentuk IV .
2. Captopril : SL captopril 6,25 mg atau 12,5mg. Dosis tergantung pada BP dan
bila digunakan secara tunggal atau dengan kombinasi dengan obat lain. Efek
tidak mudah dititrasi.
Regimen Kombinasi
1. IV GTN ditambah dengan Furosemide : Furosemid diberikan dalam stat dose,
sedangkan IV GTN diberikan sebagai infus yang dititrasi. Dosis infus IV
GTN harus lebih rendah.
2. IV GTN ditambah dengan Captopril : SL captopril diberikan sebagai stat dose,
IV GTN diberikan seperti diatas.
3. Furosemide ditambah dengan morfin : kombinasi tradisional.
Penempatan
MRS-kan px dibawah ini pada CCU:
1. pasien yang diintubasi
2. concomitant ACS
MRS-kan px yang membutuhkan CPAP pada high Dependency unit
MRS-kan px sisanya pada bangsal umum kardiologi.
87. Renal Emergencies
Hiperkalemia
Caveats :
Severitas hiperkalemia terkait dengan kadar potassium plasma namun tergantung
juga pada variabilitas antar pasien. Perkembangan hiperkalemia dapat berefek
secara signifikan pada keadaan klinis pasien. Jangan menunggu selesainya
pemeriksaan kadar potassium untuk memberikan terapi bila pemeriksaan klinis
serta EKG menunjukkan hiperkalemia.
Manifestasi klinis dapat menyebabkan protean. Perubahan EKG jika terjadi akan
sangat berguna namun cukup sulit untuk dinterpretasi dan mungkin juga tidak
muncul pada beberapa pasien hiperkalemia berat. Asidosis metabolic dan
hipokalsemi dapat memburuk pada severe hiperkalemi.
Pada setting klinik (cth gagal ginjal kronis, diabetic neuropathy) dengan
perubahan EKG konsisten dengan hiperkalemi berat (lihat gambar 1), akan lebih
tepat untuk mempertimbangkan terapi empiris jika hasil potassium serum tidak
bisa didapatkan secara cepat.
Kadar potassium serum lebih besar dari 5,5 mmol/l dipertimbangkan sebagai
hiperkalemi. Pseudohiperkalemia banyak terjadi karena hemolisis ekstravaskular.
Penyebab lain meliputi trombositosis berat dan lekositosis.
Beratnya hiperkalemi adalah sebagai berikut:
Ringan : kadar potassium < 6,0 mmol/l dan EKG dapat normal atau hanya
menunjukkan peaked T wave.
Moderat : kadar potassium 6,0-7,0 mmol/l dan EKG dapat menunjukkan peaked T
waves
Severe : kadar potassium 7,0-8,0 mmol/l dan EKG menunjukkan pendataran
gelombang P serta pelebaran QRS; 8,0-9,0 menunjukkan fusi QRS dengan
gelombang T (sine wave) yang menyebabkan disosiasi A-V, disritmia ventrikel,
dan kematian.
CRF dengan overload cairan tanpa adanya akses intravena yang tercapai
Lakukan 4 langkah diatas
Terapi obat
1. Morfin 5-10mgIM
2. GTN 0,5mg SL atau nitroderm 5-10mg patch
3. Felodipine 2,5mg PO jika BP tinggi
4. Furosemide 120-240 mgPO
Manajemen
Terapi suportif
1. Tangani pada area critical care
2. pastikan patensi jalan nafas
3. Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-10 menit
4. Pasang jalur IV dengan NS
5. Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, GDA, BGA, osmolalitas serum, urinalisis,
EKG
6. X ray : tidak ada manfaat yang spesifik pada keadaan asam basa. Namun KUB
dapat digunakan untuk mengidentifikasi substansi yang telah ditelan, cth :
tabelt besi, atau masalah GI yang menyebabkan ketidakseimbangan asam
basa, seperti obstruksi bowel atau iskemik bowel.
Prioritas Keputusan
Ketika hasil lab telah ada, dan akurat, 3 langkah untuk melanjutkan evaluasi
keadaan asidosis. Lihat bab Acid Base Emergencies dan rumus yang disarankan
untuk lebih detilnya.
1. tentukan abnormalitas asam basa primer dan sekunder
2. Perhitungkan osmolal gap untuk mendeteksi adanya low molecular weight
osmotically active substance (lihat rumus yang disarankan).
3. review kadar potassium yang berhubungan dengan pH abnormal (lihat bab
Useful Formulae).
Terapi Spesifik
Terapi bikarbonat adalah untuk mengembalikan keadaan asidosis organic yang
hebat serta yang dapat kembali dengan mudah. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan pH arterial diatas 7,2. Tidak perlu untuk mengkoreksi pH jika pH
7,2 atau lebih kecuali ada maalah yang mengancam nyawa yang perlu ditangani.
Tidak ada rumus yang sempurna namun rumus dibawah ini dapat digunakan :
Dosis NaHCO3 [mEq] = ([HCO3-] yang diinginkan – [HCO3] yang terukur) x
50% berat badan dalam kg. setengah dosis diberikan pada awal, sedang sisanya
disesuaikan dengan hasil lab. Jangan bertujuan untuk mengkoreksi bikarbonat
sampai pada kadar yang normal.
Dosis : terapi bolus direkomendasikan hanya pada asidosis berat atau jika ada
hemodinamik compromise. Pasien dengan asidosis yang kurang mengancam
nyawa dapat diterapi dengan infus IV bicarbonate. Tambahkan 100-150mEq
NaHCO3- (2-3 ampul NaHCO3- 8,4%) pada 1 liter D5W serta berikan selama 1-2
jam dengan mengulangi BGA sebagai pedoman terapi.
Komplikasi potensial; terapi adalah hipernatremi, hiperosmolalitas, overload
volume, hipokalemi, dan alkalosis posttreatment.
Indikasi Dialisis
Edema pulmonal severe
Hipertensi berat tidak terkontrol dari overload cairan yang severe tidak
berespon terhadap diuretic.
Hiperkalemi
Asidosis metabolic yang berat
Beberapa keracunan, cth : methanol, ethylene glikol, salisilat (severe)
Uremia, termasuk perikarditis dan ensefalopati
Hemodialisis
A. komplikasi terkait akses vascular
Perdarahan
1. tekan pembuluh darah namun jangan menyumbatnya dengan
tekanan yang berlebihan
2. catat adanya thrill
3. lanjutkan dengan konsultasi pada Dialysis Access Team serta
Renal medicine.
Loss of thrill in shunt : konsultasi cepat pada Dialysis Access Team serta
Renal medicine.
Infeksi
1. sementara tanda klasik sering muncul, namun pasien juga dapat
muncul dengan keluhan demam saja.
2. lakukan FBC dan kultur darah, berikan dosis awal antibiotik, cth: IV
ceftazidime 1-2g.
3. MRS pada Renal medicine;
B. Komplikasi terkait dengan non-vaskular
Hipotensi
1. hipotensi post hemodialisis dapat terjadi karena penurunan volume
intravaskuler di sirkulasi. Cek seberapa banyak cairan hilang pada saat
melakukan hemodialisa.
2. masalah yang serupa juga terjadi pada peritoneal dialysis, yaitu
hilangnya cairan selama peritoneal dialisa.
3. sebagian besar kasus membutuhkan observasi setelah dialisa, namun
juga membutuhkan cairan IV.
4. Pertimbangkan dan eksklusikan :
a. Occult Haemorrhage : lakukan PR untuk
mendeteksi perdarahan GIT.
b. AMI akut/ disritmia atau tamponade jantung
c. Hiperkalemi yang mengancam nyawa; berikan
terapi empiris.
d. Infeksi.
e. Emboli udara atau pulmonal dan hemolisis akut saat
hemodialisis
Dispneu
1. sebagian besar karena overload volume: pertimbangkan gagal jantung
mendadak, tamponade jantung, efusi pleural, asidosis berat, anemia
berat (yang berasal dari kehilangan darah akut dan kronis) serta sepsis.
2. Eksklusi MI akut ; juga emboli udara dan emboli pulmonal atau dan
hemolisis pada hemodialisis.
Nyeri dada
1. sebagian besar iskemik yang berasal dari underlying IHD dan di
eksaserbasi dengan hipotensi transient dan hipoksemia terkait dengan
proses dialysis. Juga pertimbangkan emboli pulmonal, hemolisis akut
dan emboli udara pada hemodialisis.
2. manajemen : EKG, monitoring, enzim kardiak.
3. Konsultasi dengan renal medicine dan atau bagian kardiologi.
4. pertimbangkan penyebab nyeri dada non iskemik seperti pericarditis,
penyakit paru/pleural, refluks esofagitis, gastritis atau ulkus peptikum.
Disfungsi Neurologi
1. Eksklusi abnormalitas elektrolit, infeksi, katastropik intracranial
mayor.
2. Manajemen :
a. Cek GDA, urea/elektrolit/kreatinin, BGA
b. Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
c. Cari abnormalitas neurologik fokal baru dan lakukan CT scan
3. Kejang : terapi seperti biasanya. Konsul renal medicine dan atau
bagian neurology.
Peritoneal Dialisis
Komplikasi terkait dengan Dialisis
Peritonitis
1. Cloudy Effluent, nyeri abdomen non-spesifik, malaise, demam, dan kasus
kedinginan yang ringan sampai moderate.
2. Vomiting, nyeri hebat, syok, dan tanda klasik peritonitis pada beberapa kasus
yang severe.
3. manajemen
a. cek FBC, urea/elektrolit/kreatinin dan kultur darah
b. berikan antibiotik cth IV Ceftazidime 1-2 g
4. Informasikan pada Renal Medicine
Kebocoran kateter
Hipotensi
Akut abdomen
1. karena kondisi intraabdomen yang serius yang mirip dengan peritonitis
2. konsultasi pada Renal medicine dan bedah umum.
Catatan : pasien CAPD memiliki risiko hernia abdominal/inguinal karena
peningkatan tekanan intrabdomen, serta obstruksi intestinal sekunder akibat
adhesi.
Infeksi tunnel/kateter ext site
1. sering sulit untuk dideteksi secara klinis
2. Konsultasikan pada Renal Medicine.
88. Gagal Nafas, Akut
Definisi
Tipe I : PaO2 ≤ 60 mmHg (8 kPa)
Tipe II : PaCO2 ≥ 55 mmHg (7 kPa) dengan atau tanpa oksigenasi
yang rendah.
Caveats
Pasien dengan gagal nafas tipe II saja dapat terlihat ‘nyaman namun
memperdayakan’, dimana px tidak menunjukkan takipneu. Pasien hiperkarbi
terlihat mengantuk, sedangkan pasien hipoksia sering terlihat agitasi, dan kadang
berlaku kasar. Mereka membutuhkan pemeriksaan BGA ulang untuk monitoring
PaCO2 atau end tidal CO2.
SaO2 91% berespon terhadap PaO2 60 mmHg secara umum, namun keadaan ini
dipengaruhi pH, temperature dan level 2,3 DPG.
Jangan memberi terapi kadar PaCO2 yang tinggi pada pasien dengan chronic
compensated gagal nafas tipe II, cth jika pH normal (pH > 7,35).
Selalu berikan oksigen sebanyak mungkin yang diperlukan untuk mengkoreksi
hipoksia (SaO2 > 90% namun tidak > 95%)
Gunakan pulse oksimetri untuk mentitrasi oksigenasi (SaO2) dan BGA untuk
mengevaluasi ventilasi (CO2 dan pH).
Jika CO2 mulai meningkat karena hilangnya hipoksik drive, pasien butuh support
ventilasi dalam bentuk biphasic positive airway pressure (BIPAP), atau
Intermittent positif Pressure Ventilation (IPPV).
Penyebab umum meliputi :
1. Edema pulmonal
2. Pneumonia
3. Emboli paru
4. asma berat/COLD
5. trauma dada
6. Tenggelam
7. Aspirasi
8. acute respiratory distress syndrome
9. Metastase pulmonal
Catatan : untuk pasien hiperventilasi dengan penemuan normal pada dada. Lihat
Hiperventilasi.
Pertimbangkan serius dx Emboli paru pada pasien hipoksik dengan
CXR normal. Lihat bab Pulmonary Embolism.
Pasien yang mengalami aspirasi, mungkin mengalami perunbahan CXr
yang terlambat.
Terapi oksigen; lihat tabel 1.
Manajemen
tangani pada area resusitasi
berikan oksigen aliran tinggi via face mask dan monitoring jantung secara
kontinous, RR dan saturasi oksigen. Kurangi FiO2 sesuai pulse oksimetri dan atau
monitoring blood gas yang berkala setelah perbaikan pada px COLD. Target
saturasi O2 pada px COLD adalah 90-92% namun tidak > 92%. Awasi px
mungkin saja terdapat perburukan retensi CO2 dan narcosis.
Tanda klinis perburukan retensi CO2 dan asidosis respiratori tidak dapat
dipastikan. Pemeriksaan BGA diperlukan.
Semua px dengan COLD membutuhkan pemeriksaan BGA setelah titrasi oksigen
dan terapi awal diberikan dengan pengulangan nebulisasi bronkodilator.
Lakukan anamnesa secara cedpat untuk menentukan target pemeriksaan dalam
mencari penyebab dasar gagal nafas.
Terapi penyebab yang mendasari.
Jika px tidak membaik dengan pemberian oksigen dan terapi penyebab dasar,
pertimbangkan support ventilasi mekanis.
Pada hipoksia berat atau gagal nafas tipe I akut, pertimbangkan CPAP (non
invasive) atau PEEP (intubasi px)
Pada hiperkapnia berat atau gagal nafas tipe II akut, pertimbangkan IPPV atau
non invasive lain atau post intubasi.
Pertimbangkan BIPAP bagi pasien COLD dengan retensi CO2 dan pH antara 7,26
dan 7,32. pasien dengan pH < 7,26 biasanya membutuhkan intubasi dan ventilasi
mekanik.
Jangan memberikan sodium bikarbonat pada px dengan pH yang rendah karena
adanya retensi CO2. hal ini akan mengeksaserbasi asidosis respiratori.
Definisi
Infeksi : fenomena microbial yang ditandai dengan respon inflamasi terhadap
adanya mikroorganisme atau invasi jaringan tubuh yang steril oleh organisme
tersebut.
Bakteremia : adanya bakteri yang viable pada darah.
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) : merupakan respon
inflamasi sistemik terhadap berbagai hasil klinis yang parah. Respon tersebut
bermanifestasi dalam ≥ 2 kondisi dibawah ini :
1. Temperatur > 38oC atau < 36 oC
2. Heart rate > 90 x/menit
3. RR > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit > 12.000/mm3, < 4.000/mm3, atau terdapat > 10% bentukan yang
immature (band)
Sepsis : merupakan respon sistemik terhadap infeksi, ditandai oleh ≥ 2 kondisi
sebagai berikut:
1. Temperatur > 38oC atau < 36 oC
2. Heart rate > 90 x/menit
3. RR > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit > 12.000/mm3, < 4.000/mm3, atau terdapat > 10% bentukan yang
immature (band)
Severe Sepsis : sepsis yang terkait dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau
hipotensi. Hipoperfusi dan abnormalitas perfusi dapat terkait namun tidak terbatas
terhadap asidosis laktak, oliguri, atau perubahan status mental yang akut.
Syok Septik : sepsis yang diinduksi hipotensi walaupun telah dilakukan resusitasi
cairan yang adekuat selama adanya abnormalitas perfusi yang dapat terlibat
namun tidak terbatas pada asidosis laktat, oliguri, atau perubahan status mental
yang akut. Pasien yang menerima obat inotropik atau vasopressor mungkin tidak
akan mengalami hipotensi pada saat terjadi abnormalitas perfusi.
Sepsis yang diinduksi hipotensi: sebuah SBP < 90 mmHg atau penurunan ≥ 40
mmHg dari baseline dimana tidak ada penyebab hipotensi yang lain.
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) : adanya perubahan fungsi
organ pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostatis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi.
Caveats
Pada pasien lansia, anak kecil, atau immunocompromise, manifestasi klinis dapat
tidak khas tanpa adanya demam atau lokalisasi yang jelas dari sumber infeksi.
(lihat bab Geriatric Emergencies).
Gejala sepsis meliputi demam, kedinginan dan gejala konstitusional seperti
fatigue, malaise, kecemasan atau kebingungan. Gejala ini tidak pathognomonik
untuk infeksi dan mungkin dapat terlihat dalam variasi yang luas dari kondisi
inflamasi non-infeksi.
Abnormalitas tanda vital seperti takipneu, takikardi dan peningkatan pulse
pressure dapat menunjukkan sepsis walaupun tidak didapatkan demam.
Catatan : pada tahap awal sepsis, cardiac output dipertahankan dengan baik atau
meningkat, berakibat pada kulit dan ekstremitas yang hangat. Seiring perjalanan
sepsis, pasien mulai menunjukkan tanda perfusi distal yang buruk, cth : kulit dan
ekstremitas yang dingin. Sehingga, late syok septic tanpa adanya demam sulit
dibedakan dengan tipe syok yang lain dan tingkat kecurigaan yang tinggi sangat
diperlukan.
Lokasi infeksi yang paling sering ditemukan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 : Faktor Predisposisi Bakteremia Gram Negatif dan Gram positif
Bakteremia Gram Negatif Bakteremi Gram positif
Diabetes mellitus Kateter vascular
Penyakit Lymphoproliferatif Indwelling mechanical devices
Sirosis hepatic Luka bakar
Burns Injeksi obat intravenous
Kemoterapi
Manajemen
Harus ditangani pada area resusitasi
Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5 menit, pulse oksimetri
Pertahankan jalan nafas, berikan oksigen aliran tinggi. Intubasi endotrakeal
harus dipertimbangkan jika jalan nafas terncam atau jika ventilasi dan oksigenasi
tidak adekuat.
Pasang 2 jalur IV dan koreksi hipotensi secara agresif dengan resusitasi
cairan ( 1-2 liter kristaloid). Pertimbangkan central venous line.
Lab :
1. GDA
2. FBC
3. kultur darah (2 tempat yang berbeda)
4. DIVC screen
5. Urea/elektrolit/kreatinin
6. BGA
7. Kultur Urin
CXR untuk mencari tanda konsolidasi dan ARDS
Pertimbangkan EKG
Pasang kateter urin untuk monitoring urin output.
Semua px harus menerima terapi antibiotik empiris segera mungkin.
Jalur pemberian harus IV.
Catatan : tabel 2 merupakan suatu panduan. Spectrum sensitivitas bakteri terhadap
antibiotik bervariasi pada masing-masing RS.
Mekanisme injuri
Penetrating injury
Trauma tumpul dengan gangguan kolumna vertebralis yang menyebabkan
transeksi atau kompresi elemen neural.
Kerusakan primer vascular pada spinal cord, cth kompresi oleh hematoma
ekstradural
Caveats
Spinal cord injury harus dicurigai dan immobilisasi servikal dipertahankan sejak
awal injury pada px :
1. Pasien trauma yang tidak sadar
2. korban selamat dari kecelakaan dengan kecepatan tinggi
3. adanya trauma lain yang terkait:
a. trauma kepala atau wajah yang signifikan : 4-20% insiden yang terkait
dengan trauma cervical
b. kontusio scapular : dapat menunjukkan flexion-rotation thoracic spine
c. seat belt injuries : dapat terkait dengan thoracic dan lumbar injury
d. injury pada kaki/pergelangan kaki akibat jatuh dari ketinggian: dapat
terkait dengan kompressi pada lumbar spine.
Cari tanda spinal cord injury
1. tanda vital : syok neurogenik (hipotensi dengan bradikardi)
catatan : walaupun syok neurogenik harus dipertimbangkan pada px trauma
dengan hipotensi tanpa adanya takikardi, hipovolemi akibat kehilangan darah
harus tetap disingkirkan lebih dulu dimana px mungkin tidak menunjukkan
respon takikardi, cth px yang menjalani terapi beta blocker.
2. Pada inspeksi :
a. pernafasan diafragma
b. postur tubuh yang tertekuk dari upper limb menunjukkan adanya
kecurigaan cervical cord injury
c. fasikulasi otat spontan
d. Priapismus
3. pada pemeriksaan:
a. pola miotomik pada hilangnya kekuatan,lihat tabel 1
b. pola dermatom pada hilangnya sensorik
c. lesi komplit spinal cord : hilangnya kekuatan motorik dan sensasi
secara komplit pada sebelah distal dari lesi spinal cord injury. DDx
spinal shock (biasanya kurang dari 24 jam). Cari adanya sacral
sparing (factor prognosa untuk pemulihan fungsional) :
Sensasi perianal yang intack
Tonus Sphincter rectal yang intack
Gerakan fleksi ringan dari jari
Adanya refleks bulbocavernosus : kontraksi sphincter anal eksterna dapat
terasa dengan jari yang dilapisi sarung tangan ketika glans penis/klitoris
diremas atau saat kateter foley ditarik secara lembut/perlahan.
d. lesi inkomplit spinal cord : diklasifikasikan dalam 3 tipe
(1). Central Cord Syndrome (gambar 2), biasanya terlihat pada
arthritis degeneratif dari cervical spine.
Hilangnya kekuatan yang lebih besar secara disproporsional
dari upper limb dibandingkan dengan lower limb.
Terdapat beberapa derajat hilangnya sensori
Serta-serat yang mengkontrol bowel secara volunteer serta
funsi bowel terletak secara sentral dan sering terpengaruh,
walaupun biasanya terdapat ‘sacral sparing’
Mekanisme : hiperekstensi, cth : secara khas pada keadaan
jatuh kedepan pada bagian muka yang terjadi pada px lansia.
(2). Brown Sequard syndrome (gambar 3)
Paralisis motorik ipsilateral
Hilangnya sensasi positioning dan vibrasi ipsilateral (tes
dengan tuning fork) (pada kolumna posterior)
Hilangnya sensasi nyeri dan temperature kontralateral (traktus
spinothalamikus)
Mekanisme : trauma tajam/penetrasi atau fraktur lateral mass
dari vertebra yang berakibat pada hemiseksi cord.
(3). Anterior Cord Syndrome (gambar 4)
Paraplegi
Hilangnya sensori disosiatif : hilangnya sensasi nyeri dan
temperature, namun tetap terdapat sensasi posisi/vibrasi
(kolumna posterior).
Mekanisme : cervical flexion injury yang menyebabkan
kontusio korda atau gangguan arteri spinalis anterior, cth pada
komplikasi injury pada aorta descenden.
Pertimbangkan dx traumatic carotid atau vertebral artery dissection pada px yang
mengeluh nyeri yang signifikan pada leher atau wajah, sakit kepala dan gangguan
neurologik lain setelah trauma, cth : setelah terjadi flexi-extension injury typical
dari kecelakaan lalu lintas. Penemuan neurologik dapat ditemukan pada
pemeriksaan awal, atau berkembang beberapa jam kemudian. CT scan kepala
normal. Diagnosa membutuhkan Doppler ultrasonography dan MRI-A.
Diagnosa
Stroke akut ditandai dengan onset mendadak dari deficit neurologik fokal,
biasanya terjadi pada teritorium pembuluh darah otak. Manifestasi klinis yang
sering timbul : hemiparesis, hilangnya hemisensori, kelemahan wajah, disartria,
afasia dan gangguan penglihatan, terjadi secara tunggal atau dalam kombinasi.
Stroke diklasifikasikan :
1. Stroke iskemik (IS, 70-90%, insiden lebih tinggi pada ras kaukasian).
Etiologi yang sering meliputi atherothrombosis arteri besar,
kardioembolisme, dan small vessel disease (stroke lakunar)
2. Stroke Hemorragic, dimana terjadi perdarahan intraserebral (ICH, 10-
30%, lebih tinggi insidennya pada ras non-kaukasian) dan subarachnoid
haemorrhage (SAH, sekitar 2%).
Caveats
Pertimbangkan beberapa keadaan yang menyerupai stroke, yang
terlihat pada tabel 1. selalu lakukan pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi
hipoglikemi.
Stroke dikenal sebagai keadaan yang sangat sensitive dengan
waktu, terutama pada penggunaan rtPA sebagai terapi stroke iskemik yang akut,
dimana akan sangat bermanfaat bila diberikan pada 3 jam pertama setelah onset
serangan. Pasien suspek stroke harus dirujuk menggunakan ambulan pada ED
terdekat.
Defisist neurologist terkait dengan sakit kepala, nausea,
vomiting, penurunan tingkat kesadaran dan peningkatan BP yang besar cenderung
menunjukkan stroke hemorrhagic.
Terapi hipertensi pada stroke akut sering controversial dan harus
ditangani hati-hati.
Tabel 1 : Diagnosa Banding Stroke
Hipoglikemia/hiperglikemi
Post epileptic (Todd’s) paralysis
Tips khusus bagi Dokter Umum:
Complicated migraine
Pasienensefalopati
Hipertensi stroke yang merupakan kandidat potensial untuk trombolisis (gambar 1)
Traumaharus dipindahkan
kepala (hematomake epidural/subdural)
ED dengan ambulan tanpa penundaan.
Sebagian
Tumor otak/abses besar pasien dengan suspek stroke harus diperiksa secara cepat pada ED
pada saat kedatangan untuk manajemen secepatnya. Home visit dan pemeriksaan
Meningitis/ensefalitis
rawat
Disseksi jalan tidak dibenarkan kecuali px datang dengan gejala kelemahan yang
aorta
Bell’sringan
palsy dan tidak progresif serta telah berlangsung lebih dari 48 jam.
Dokter umum (psikiatrik)
Kondisi fungsional dapat berperan dalam meng-KIE pasien yang berisiko tinggi (cth :
Hipertensi, DM, hiperkolesterolemi, penyakit jantung, perokok dan riwayat stroke
atau Transient Ischemic Attack (TIA) , juga pada keluarga untuk mengetahui gejala
awal stroke, kemudian segera memfasilitasi px ke RS bila terjadi serangan stroke.
Selalu periksa GDA untuk menyingkirkan hipoglikemi
Bell’s palsy sering membingungkan dx stroke. Bell’s palsy (isolated lower motor
neuron-type facial nerve palsy) ditandai dengan paralysis komplit separuh bagian
wajah tanpa mengecualikan otot dahi. Membedakannya dengan pasti sangatlah
sulit pada kasus kelemahan wajah partial, dan merujuk ke bagian neurology sangat
disarankan.
Px dengan TIA (deficit neurology akut yang berkaitan dengan etiologi
serebrovaskular dengan remisi komplit dalam 24 jam sejak onset gejala) memiliki
risiko tinggi menderita stroke iskemik lebih dini pada periode post TIA. Mereka
membutuhkan rujukan segera ke neurologist atau ke klinik stroke. Jika pertemuan
dengan ahli saraf tidak bisa dilakukan pada hari yang sama, maka berikan obat
antiplatelet (aspirin 150-300mg, diikuti dengan 75-100mg/hari) bila tidak ada
kontraindikasi. Pasien dengan TIA berulang atau crescendo TIAs harus segera
dirujuk ke ED.
Manajemen
Manajemen pada pasien suspek stroke di ED, meliputi:
Pertahankan status fisiologis yang optimal, termasuk oksigenasi, hidrasi dan kadar
gula darah yang baik. Semua pasien harus dipuasakan, dan diberikan infus
isotonic saline. Demam harus diselidiki penyebabnya serta dikontrol degan
antipiretik. Manajemen BP didiskusikan dibawah ini.
Diagnosis definitive stroke dan subtype stroke (IS, ICH atau SAH). Keadaan ini
membutuhkan CT scan kepala dalam 24 jam pertama.
CT scan kepala emergent dilakukan pada ED diindikasikan pada :
1. pasien IS merupakan kandidat pemberian trombolitik atau terapi antikoagulasi
cth datang dalam 3 jam pertama sejak onset gejala, atrial fibrilasi.
2. Suspek ICH, cth peningkatan BP grossly, sakit kepala, vomiting, kebingungan,
hitung platelet yang rendah, profil koagulasi yang terganggu, penggunaan
antikoagulan atau kecanduan pada obat stimulant.
3. Suspek SAH, cth nyeri kepala yang berat, meningism atau hilangnya kesadaran.
Lihat bab SAH
4. pasien yang berisiko mengalami deteriorasi dini, cth stroke kortikal yang berat
dengan hemiplegic, deviasi mata, dan afasia atau hemineglect, suspek stroke
pada fossa posterior.
Hasil pada CT scan kepala pada kelompok ini akan membantu penentuan tx.
Stroke iskemik
Tidak ada data yang menyebutkan keuntungan kontrol BP secara agresif pada
stroke iskemik akut
Sebagian besar pasien BP akan secara spontan membaik pada beberapa jam dan
kembali ke baseline setelah beberapa hari sejak onset gejala stroke.
Kebanyakan ahli saraf menyatakan bahwa penurunan BP secara signifikan akan
membahayakan px karena dapat menurunkan perfusi kollateral pada daerah
iskemik penumbra, yang berakibat pada ekstensi dari infark.
Kontrol BP diindikasikan pada px stroke dengan:
1. Gagal jantung kongestif
2. acute Myocard iskemik/infark.
3. gagal ginjal akut
4. hipertensi ensefalopati
5. Diseksi aorta
6. terapi dengan trombolitik atau antikoagulan
target manajemen BP pada stroke iskemik akut
SBP < 220 mmHg Jangan diterapi, kecuali ada indikasi untuk
DBP < 120 mmHg mengkontrol BP
Penempatan
seluruh px stroke harus MRS untuk evaluasi, terapi dan rehabilitasi lebih lanjut.
Namun px yang stabil dengan lakunar infark > 48 jam yang tidak progresif serta
tidak memiliki disabilitas neurology/deficit dapat KRS dengan follow up segera di
poliklinik.
Sebagian besar px TIA yang datang ke ED harus MRS untuk workup dan inisiasi
terapi medis. Merujuk ke spesialis neurology segera pada hari yang sama
merupakan alternative lain yang dapat dilakukan.
Px datang dengan gx stroke < durasi 7hari, cth:
Kelemahan pada 1 sisi tubuh
Inkoordinasi limb pada 1 sisi
Bicara yang ‘pelo’
Rasa pusing/mabuk dengan kesulitan bicara
Matirasa pada salah satu sisi tubuh
Gambar 1 : Jalur klinis Stroke pada ED Ketidakmampuan untuk mengekspresikan suatu pikiran, atau
untuk mengerti yang lainnya.
Kebutaan yang mempengaruhi sebagian atau seluruh lapang
pandang pada satu atau kedua mata
Diplopia atau kelemahan wajah dan atau limb
Dengan Ambulan
Area critical care Px datang sendiri
atau intermediate
Caveats
SAH meningkat seiring usia, dan mengalami plateu setelah usia 60 th, dengan
insiden tertinggi pada 40-60 tahun.
Kecepatan timbulnya onset sakit kepala (mendadak, seperti thunder-clap)
lebih berguna sebagai pedoman daripada severitas dari sakit kepala.
Pada saat kunjungan, 50% pasien sadar, 30% letargi, dan sisanya 20% stupor
atau koma.
Kaku kuduk membutuhkan waktu 2-3 jam untuk muncul.
Pemeriksaan funduskopi menunjukkan perdarahan preretinal pada 20% pasien.
Gejala dan tanda neurologik non-fokal sering muncul, cth: nausea, vomiting,
demam, sinkope, kebingungan, migraine like headache, atau koma.
Pasien dengan posterior cerebral artery communicating aneurysm dapat
muncul dengan pupil berdilatasi ipsilateral, atau deviasi mata akibat palsy
Nervus kranialis ketiga.
Pasien dengan middle cerebral artery aneurysm dapat memiliki hemiparesis
kontralateral sekunder akibat perdarahan pada lobus temporalis atau fissure
Sylvia.
Nistagmus dan ataksia dapat muncul ketika perdarahan terjadi pada fossa
posterior (10% berry aneurysm).
Catatan: sebagian besar (90%) aneurisme serebral spontan dapat ditemukan pada
sirkulasi anterior yang meliputi arteri communis kanan anterior dan posterior serta
pada arteri middle serebral.
Pada saat kedatangan, 20-50% pasien melaporkan sakit kepala berat dalam
waktu beberapa hari sampai minggu sebelum kedatangannya ke ED. Keadaan
ini dikenal sebagai warning/peringatan atau sentinel. Sakit kepala merupakan
sekunder dari perdarahan aneurisma sac dan subsequent trombosis.
Pasien dengan aneurisme SAH, px dengan perdarahan sekunder terhadap
arteriovenous malformation (AVMs) lebih cenderung untuk muncul dengan
kejang, cerebral bruit, disfagi dan iskemik.
Jangan mendiagnosa migren jika episode pertama sakit kepala terjadi setelah
usia 50 th.
SAH banyak terjadi karena perdarahan saccular (berry) aneurysm atau AVM
(3-6%), namun juga dapat terjadi akibat trauma. Riwayat akan berguna untuk
membedakan keduanya namun, kadangkala perdarahan akan terjadi akibat
keadaan traumatic. Riwayat yang dicari dengan berhati-hati sangatlah penting.
Penyebab yang jarang terjadi adalah mikotik, onkotik, dan aneurisme terkait
dengan aliran darah.
Perubahan EKG yang bervariasi, cth: peak atau symmetrically inverted T
waves, gelombang U, prolongasi QRS complex, prolonged interval QT dan
disritmia, dapat terjadi terkait dengan SAH dan membingungkan dokter dalam
menegakkan dx kardiak.
Manajemen
Terapi Suportif
Tangani pada area critical care
Sediakan peralatan intubasi dan resusitasi.
Pastikan patensi jalan nafas.
Berikan oksigen aliran tinggi via reservoir mask
Tinggikan kepala 30o
Monitoring: EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri
Pasang jalur IV perifer
Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, PT/aPTT, GXM 2 unit.
EKG, CXR (hati-hati akan terjadinya edema pulmonal)
Hati-hati terhadap komplikasi akut (0-48 jam setelah terjadinya perdarahan) :
1. Rebleeding : merupakan komplikasi akut spontan yang paling
signifikan. Risiko rebleeding adalah 4% pada hari I setelah SAH
spontan dan meningkat 1,5% setiap harinya sampai hari ke-13.
2. Cerebral salt wasting menyebabkan hiponatremi.
3. Hidrosefalus akut (15%)
4. kejang (6%)
5. neurocardiac disease (10%)
6. neurogenic pulmonary Oedema: dapat terjadi dalam hitungan menit
setelah perdarahan awal.
Terapi Spesifik
analgesic non-opioid, cth: diklofenak IM, dapat diberikan untuk mengurangi
sakit kepala.
Antiemetik : IM Prochlorperazine 12,5mg atau IM metoklopramide 10 mg.
Nitrogliserin dengan infus IV jika DBP > 130 mmHg dengan pengukuran
manual. Mulai pada 10µg/menit dan titrasi sampai berespon namun hindari
menurunkan DBP lebih rendah daripada 100mmHg untuk mempertahankan
perfusi cerebral.
Lakukan CT scan kepala (tanpa kontras) sesuai dengan konsultasi dengan
neurology
Catatan:
1. CT scan tidak dapat mendeteksi SAH. Sensitivitas untuk mendeteksi SAH
hanya 93%. Sensitivitas CT menurun dengan waktu. Paling sensitive dalam 12
jam dan secara dramatis turun setelah 2-7 hari.
2. pungsi lumbal sangat penting untuk work up SAH jika CT scan negative.
Adanya xanthochromia pada specimen CSF yang segar merupakan penemuan
yang patognomonis pada SAH.
Penempatan:
MRS-kan pasien ke bagian Neurologi atau neurosurgery.
94. Tetanus
Caveats
Kecurigaan yang tinggi harus dilakukan untuk menangani px yang datang dengan
gejala tetanus.
Debridement luka juga penanganan di ICU dilakukan pada semua suspek tetanus.
Patofisiologi
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani,
mikrorganisme batang Gram negative anaerob yang masuk ke dalam luka.
C.tetani biasanya masuk ke dalam luka dalam bentuk spora, dalam keadaan
non-invasive, namun dapat menghasilkan toksin, dan berubah menjadi bentuk
vegetatif jika jaringan tubuh host mengalami compromised dan tekanan
oksigen jaringan turun.
Tetanus berada pada luka tusukan yang dalam, laserasi, crush injury juga pada
orang yang menyalahgunakan obat-obatan suntik dimana kondisi yang
anaerob memfasilitasi pembentukan spora.
Tanda dan gejala klinik berkembang karena perpindahan eksotoksin ke CNS,
dimana ia akan memblok transmisi pada inhibitory interneuron yang
menyebabkan spasme otot yang bertentangan.
Manifestasi Klinik
Periode inkubasi dapat bervariasi dari 3-21 hari sejak onset infeksi
Tanda tetanus generalisata meliputi kekakuan yang terasa sakit pada rahang
dan otot-otot trunkus.
Bentuk khas tetanus, meliputi risus sardonikus, disfagia, opistotonus, fleksi
lengan, tangan yang mengepal, kekakuan otot abdomen, ekstensi ekstremitas
bawah, yang disebabkan oleh kontraksi tonik intermittent dari kelompok otot
yang terlibat.
Fraktur spine atau tulang panjang dapat terjadi akibat spasme konvulsif otot-
otot skeletal juga akibat kejang.
Kesadaran biasanya tidak menghilang kecuali terjadi laringospasme atau
spasme otot pernafasan.
Instabilitas otonomik terjadi berupa demam, diaforesis, takikardi, dan
hipertensi.
Manajemen
Penanganan terbaik dihasilkan bila px ditempatkan pada tempat isolasi yang
sunyi, pada lingkungan ICU.
Terapi utama meliputi paralysis neuromuskular, intubasi orotrakeal dan
ventilasi. Trakeostomi sering diindikasikan untuk perawatan ventilasi jangka
panjang.
Debridemen luka penting untuk meminimalisasi perkembangan penyakit yang
lebih lanjut.
Single dose human Tetanus Immunoglobulin IM 3.000-5000 IU harus
diberikan.
Pemberian anti tetanus toxoid (ATT) 0,5ml harus diberikan jika px telah
melewati fase akut, kemudian dilanjutkan setelah 6 minggu serta 6 bulan
kemudian.
Penicillin G IV 10 juta IU/hari dibagi dalam beberapa dosis harus diberikan.
Antibiotik lain meliputi IV metronidazole 500mg tiap 6 jam atau IV
Doksisiklin 100mg tiap 12 jam. Jika px alergi penisilin, IV erythromycin 2
g/hari atau tetrasiklin 2 g/hari dapat menjadi penggantinya.
Relaksasi otot dengan IV Diazepam 10 mg tiap 1-3 jam/prn sangat penting
untuk mengontrol refleks nyeri akibat spasme otot.
Blockade neuromuscular yang memanjang dapat dicapai dengan pemberian IV
atracurium atau pancuronium.
Instabilitas otonomik harus dikontrol dengan medikasi yang tepat, konsulkan
ke bagian Intensivist.
95. Krisis Thyrotoksik
Caveats
Krisis thyrotoksik didefinisikan sebagai eksaserbasi yang mendadak yang
mengancam nyawa dari hipertiroidisme yang terkait dengan dekompensasi
multiple organ.
Suspek keberadaan thyroid storm pada semua kasus hipertiroidisme yang
mengalami demam.
Thyroid storm merupakan kasus yang fatal : angka mortalitasnya 20-50%.
Hindari antipiretik berbasis aspirin: karena dapat mengebabkan pelepasan free
T4 dan T3 dari protein bond site-nya.
Manifestasi klinis:
1. Demam sebagai indicator adanya sepsis atau konsekuensi thyroid
storm.
2. Takikardi out of proportion to fever secara khas terjadi saat px tidur.
3. Adanya gejala dan tanda tirotoksis yang jelas seperti penurunan
berat badan, tremor.
4. MOD :
a. Disfungsi CNS : AMS dengan kebingungan mental, delirium,
agitasi, stupor, koma
b. Disfungsi GIT : nyeri abdomen, diare, dan vomiting, jaundice
dapat terjadi dengan disfungsi hati.
c. Disfungsi CVS : Hiper- atau hipotensi sistolik, gagal jantung,
atrial fibrilasi yang cepat/Flutter.
5. Riwayat terbaru thyroid disease yang membutuhkan terapi, kejadian
pencetus seperti sepsis, pembedahan, kontras CT iodine.
6. Pasien trauma dengan peningkatan nadi dan BP.
7. Deplesi volume dari demam, metabolisme yang meningkat, diare.
Hati-hati terhadap manifestasi yang tidak khas terutama pada lansia, yang
biasanya hanya menunjukkan kelemahan, gagal jantung atau atrial fibrilasi,
dimana goiter mungkin tidak terlihat.
Terapi Obat
Beta Blocker : pada keadaan kegagalan gagal jantung high cardiac output
1. berikan ultra-short acting IV esmolol : dosis 250µg/kg diikuti dengan infus
50 µg/menit jika tersedia.
2. Berikan IV propanolol 1mg tiap 5 menit sampai takikardi berat dapat
dikontrol. Jika px dapat untuk mengkonsumsi per oral, maka berikan
propanolol 60mg PO tiap 4 jam atau 80mg tiap 8 jam.
Catatan : terapi penyakit kardiovaskular lain dengan tx konvensional seperti
digoksin, diuretic.
PTU (Propylthiouracil) memblokade iodinasi juga konversi T4 menjadi T3.
Dosis : 400-600mg PO atau via Ryle’s tube, diikuti dengan 200-300mg tiap 4
jam.
Catatan : PTU per rectal dapat diberikan jka px NBM. Encerkan pada
pediatric fleet enema dan berikan melalui kateter Nelaton.
Larutan Iodine menghambat pelepasan hormone tiroid; harus diberikan 1-2
jam setelah tx PTU. Dosis : Lugols iodine 5 tetes PO atau via Ryle’s tube tiap
8 jam.
Catatan : Jika NBM, berikan IV sodium Iodida 1g/500ml salin tiap 12 jam.
Deksametason : 2mg IV untuk menghasilkan support glukokortikoid; juga
memblok pengubahan free T4 menjadi free T3.
Penempatan:
Konsultasi ke Endokrin/general medicine dalam rangka antisipasi MRS ke
MICU.
97. Trauma, Dada
Caveats
Manajemen trauma dada mengikuti protocol ATLS :
1. Amankan ABC merupakan protocol.
2. Berikan penanganan secepatnya untuk mendeteksi lesi
3. keterlibatan tim trauma dari RS harus segera dilakukan.
Selama Primary Survey, dokter harus mendeteksi kondisi yang mengancam
nyawa namun bersifat reversible, a.l:
1. Obstruksi jalan nafas (karena laryngeal injury atau fraktur dislokasi
sternoclavicular joint posterior).
2. Tension Pneumothorax (sucking chest wound)
3. Pneumothorax terbuka
4. Flail Chest
5. Hemothorax massif
6. Tamponade jantung
Manajemen Awal
Rujuk px pada Critical care atau area resusitasi pada ED.
Aktifkan in-house Trauma Team menurut protocol institutional
Tangani px sesuai protocol ATLS
Pertimbangkan intubasi pada px menggunakan teknik RSI dengan kondisi:
1. airway compromised
2. ventilasi inadekuat
3. SpO2 tidak dapat dipertahankan diatas 94% walaupun telah menggunakan
non-rebreathing mask.
Catatan : Jika mungkin, perikardiosentesis harus dilakukan sebelum intubasi
karena adanya excessive ventilation pressure yang mengurangi venous return
dapat menyebabkan serangan jantung.
Pasang jalur IV ukuran besar (14G/16G) pada kedua fossa cubiti. Pilihan
pertama cairan resusitasi awal adalah kristaloid (Hartmann’s atau NS).
Cek darah untuk :
1. GXM 6 unit WB
2. FBC, urea/elektrolit/Kreatinin, dan BGA
Pneumothorax terbuka
Patofisiologi : defek dinding dada yang luas dengan adanya kesamaan
tekanan intrathoracic dan tekanan atmosfer akan menyebabkan ‘sucking chest
wound’.
Manajemen :
1. Berikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat
2. tutup defek dengan kassa steril, dengan merekatkan di 3 sisi untuk
menghasilkan efek ‘flutter-valve’.
3. Jangan merekatkan pada keempat sisi karena dapat menyebabkan tension
pneumothorax.
4. kemudian lakukan insersi chest tube.
Catatan: Chest tube tidak boleh diinsersikan melalui luka penetrasi karena
akan secara tepat mengikuti traktus yang terbentuk menuju paru atau
diafragma sehingga akan merusak organ tersebut atau menyebabkan
perdarahan yang massif.
Flail Chest
Definisi : terjadi ketika ada 2 atau lebih tulang rusuk yang fraktur pada 2
tempat yang berbeda.
Diagnosis didasarkan pada :
1. Gerakan paradoksikal segment dinding dada (keadaan ini saja tidak akan
menyebabkan hipoksia).
2. Distress respirasi
3. bukti eksternal adanya trauma dada
4. nyeri pada usaha bernafas
catatan : penyebab utama hipoksia pada flail chest adalah karena underlying
kontusi pulmonal, walaupun adanya nyeri dan restriksi gerakan dinding dada
serta underlying lung injury juga memberikan kontribusi dalam menyebabkan
hipoksia.
Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi yang adekuat
2. Pastikan ventilasi yang adekuat
Catatan : pasien dengan isolated flail chest injury dapat ditangani tanpa
support ventilatory, terutama jika nyeri dada dapat dikurangi secara
adekuat.
3. Berikan terapi cairan dengan bijaksana.
Catatan : overload cairan harus dihindari atau cepat dikoreksi pada px
flail chest dengan kontusio pulmonum atau pada adult respiratory distress
syndrome.
4. Analgesik adekuat yang diberikan melalui IV.
Indikasi Early Mechanical Ventilation pada Flail Chest:
1. Syok
2. ≥ 3 asosiated injuries
3. Cedera kepala Berat
4. Penyakit paru sebelumnya
5. Fraktur tulang rusuk ≥ 8
6. usia > 65 tahun
Catatan : ketika px membutuhkan ventilatory support, lebih aman untuk
mengaplikasikan ‘prophylactically’ sebelum kegagalan nafas yang sebenarnya
terjadi.
Terapi Kontroversial : Splinting flail segment dapat memperburuk ventilasi
Haemothorax Massif
Definisi : kehilangan darah > 1500 ml ke dalam cavum dada pada initial
output.
Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi adekuat (berikan oksigen 100%)
2. Pasang 2 jalur IV besar dan lakukan resusitasi cairan
3. transfuse darah dan koreksi koagulopati
4. Tube thoracocentesis
5. Waspada terhadap penghentian mendadak dengan drainase, cek untuk
blocked tube.
Indikasi Thorakotomy (konsul TKV secepatnya):
1. Drainase darah awal > 1500 ml
2. ongoing drainase > 500 ml/jam pada jam pertama, 300ml/jam pada 2 jam
berikutnya atau 200 ml/jam pada 3 jam berikutnya.
3. kasus yang membutuhkan transfusi darah persisten
4. retained pneumothorax besar, terutama jika terkait dengan perdarahan
yang terus menerus.
5. instabilitas hemodinamik yang terus-menerus
6. kecurigaan injury esophageal, cardiac, pembuluh darah besar atau bronkus
utama.
Catatan : pikirkan kemungkinan kerusakan pembuluh darah besar, struktur
hilar dan jantung pada luka penetrasi dada bagian anterior, sebelah medial dari
nipple line dan luka dada posterior medial dari scapula.
Tamponade jantung
Dx membutuhkan kecurigaan yang tinggi. Kombinasi dari keadaan dibawah
ini akan membawa kita pada kemungkinan dx.
1. Trauma dada dan hipotensi
2. Trias Beck’s (hipotensi, muffled heart sound/suara jantung yang terdengar
jauh, distensi pembuluh vena di leher)
Catatan : Trias Beck’s hanya terlihat pada 50% kasus. Vena di leher yang
mengalami distensi tidak akan didapatkan pada tamponade jantung sampai
paling tidak terjadi koreksi parsial hipovolemi. Muffled heart sound
merupakan tanda yang paling sedikit terjadi pada trias Beck’s.
3. Trauma dada dan pulseless electrical activity
4. Tanda Kussmaul (peningkatan neck distension selama inspirasi dan pulsus
paradoksus)
Bukti lain yang menyokong dx, a.l:
1. pembesaran jantung yang terlihat pada CXR (jarang) atau
2. Voltase EKG yang rendah (tidak lazim) atau
3. Cairan pericardial yang terlihat pada 2D Echo atau FAST (definitive)
Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi yang adekuat (O2 100%)
2. pasang jalur IV ukuran besar
3. Berikan Cairan IV bolus 500 ml
4. lakukan perikardiosentesis dengan :
a. Panduan EKG (dengan Lead EKG yang terhubung dengan jarum
perikardiosentesis)
b. Panduan 2D Echo. Dapat bersifat diagnostic atau terapetik.
Catatan : Resusitasi cairan yang agresif akan membantu mempertahankan
cardiac output dan memberikan waktu untuk px. Jangan melakukan
tusukan dengan jarum tanpa panduan karena risiko iatrogenic cardiac
injury sangatlah tinggi.
Kontusio Pulmonal
Injury yang terjadi akibat rusaknya susunan jaringan paru, kerusakan
membrane alveoli dengan perdarahan dan edema pada alveolar space.
Manifestasi kontusio pulmonum biasanya butuh waktu untuk timbul.
Penyebab, a.l:
1. trauma tumpul atau penetrasi
2. blast injury
3. compressive injuries
Tanda klinis yang mungkin, a.l:
1. Distress respiratori
2. penurunan suara nafas
3. krepitasi pada lapang paru yang terkena
4. Hipoksemia
Manajemen :
1. Berikan supplementasi O2
2. berikan support vantilasi, jika diperlukan
3. Lakukan terapi cairan dengan bijaksana
Tracheobronchial Injuries
Sulit diketahui pada px trauma.
Etiologi yang mungkin:
1. Trauma penetrasi
2. dorongan akselerasi-deselerasi
3. blast injuries
tanda klinis meliputi:
1. Haemoptysis
2. Emfisema subkutaneus
3. Tension pneumothorax
4. pnumothorax persistent setelah terapi
Manajemen :
1. berikan suplementasi O2
2. berikan support ventilasi
3. px mungkin membutuhkan lebih dari 1 buah chest tube
4. konsultasi TKV dini
Fraktur Costae
Manajemen dipengaruhi oleh level dan jumlah costae yang terkena juga pada
underlying visceral injuries.
Catatan : banyak fraktur costae yang tidak terlihat pada CXR. Tujuan utama
CXR pasien dengan kemungkinan fraktur costae adalah untuk mengeliminasi
haemothorax yang terkait, pneumothorax, kontusio paru, serta injury organ
lain.
Trauma Esofageal
Indikasi adanya trauma esophageal:
1. Emfisema subkutaneus
2. udara mediastinum tanpa adanya pneumothorax
3. Udara retrofaringeal pada x ray leher lateral
4. Left-side pleural effusion : tes drainase positif untuk amylase
5. left pneumo atau haemothorax tanpa fraktur kosta.
6. hantaman yang kuat pada bagian bawah sternum atau epigastrium dan
pasien mengalami nyeri atau shock out proportion terhadap injury yang
terlihat.
7. adanya cairan pada chest tube setelah darah menjadi jernih.
Px harus dirujuk ke bedah umum untuk penanganan lebih lanjut.
Trauma Laring
Walaupun merupakan injury yang jarang terjadi, yang dapat terjadi bersamaan
dengan obstruksi jalan nafas akut.
Diagnosis berdasarkan trias sbb:
1. Hoarseness (suara parau)
2. emfisema subkutaneus
3. Fraktur yang dapat terpalpasi
Manajemen :
1. jika jalan nafas px mengalami obstruksi total atau jika px berada dalam
keadaan distress respiratori hebat, maka lakukan intubasi
2. jika intubasi tidak berhasil dilakuakan, emergency tracheostomi
merupakan indikasi.
3. surgical cricothyroidotomy, walaupun tidak disukai pada situasi ini, dapat
menyelamatkan nyawa jika terdapat kegagalan trakeostomi.
4. kontak spesialis THT dan ahli anestesiologi secepatnya.
98. Trauma dan Infeksi, Tangan
Hematoma Subungual
Klasifikasi : persentase area dibawah kuku yang menunjukkan adanya darah
Terapi : trephine dengan sebuah red hot tip dari unfolded paper clip
(gambar1).
1. Blok digital tidak diperlukan kecuali pada px yang ketakutan. Nail plate
akan terbakar dan mengalami evaporasi saat ‘tip’ yang telah dipanaskan
dipenetrasikan. Ujung klip kertas yang telah dipanaskan kemudian akan
menjadi dingin secara langsung karena aliran darah, dan penetrasi yang
lebih jauh serta cedera nail bed jarang terjadi. Jangan melakukan tekanan,
namun biarkan panas berpenetrasi ke nail plate karena keadaan ini akan
menghindarkan keadaan benturan klip kertas ke dalam nail bed (risiko
osteomielitis).
2. usap jari yang terluka dengan povidone iodine (bukan alcohol karena
bersifat mudah terbakar).
3. tempatkan 2 lubang pada dua sisi disebelahnya untuk memfasilitasi
drainase. Hematoma dievakuasi dengan memijat lembut diikuti dengan
menghisap povidone iodine.
Follow up dengan salep antibiotik, kassa dan protective splint
Untuk hematoma subungual lebih dari 50%, disarankan untuk melepaskan
kuku, eksplorasi dan suturing nail bed.
Laserasi simple dari Nail Bed
Prinsip terapi : debridemen minimal, sisakan jaringan lunak sebanyak
mungkin, dan splinting dengan nail plate.
1. Block digital dengan lignokain 1% (biarkan 10 menit untuk efek
maksimal).
2. tempatkan pembalut karet atau penrose tourniquet pada basis jari.
3. ujung jari dibersihkan
4. nail plate harus diangkat lembut dengan forcep tumpul dan perlahan
pindahkan dengan haemostat menggunakan tekanan yang tetap.
5. Laserasi diperbaiki dengan benang 6/0 plain catgut atau dexon suture.
6. nail plate diirigasi dengan NS dan bebat pada nail bed yang telah di-repair.
Non-absorbable suture, cth prolene, ditempatkan melalui nail plate dan
kemudian pada proksimal nail sulcus sebagai sebuah ‘anchor/jangkar’
(suture diangkat 3 minggu kemudian).
7. Jika nail plate tidak tersedia, kertas perak pembungkus suture dapat
digunakan untuk membiarkan lipatan kuku tetap terbuka.
KIE : nail plate tumbuh membutuhkan waktu 6-12 bulan, dan deformitas kuku
mungkin tidak dapat dihindari.
Penempatan : rujuk ke Hand surgery untuk follow up dalam 2-3 hari.
Cara memeriksa integritas flexor digitorum superficialis (FDS) dan Flexor Digitorum
Profundus (FDP)
Cara memeriksa fungsi FDS (gambar 2a), dengan jari yang berdekatan
ekstensi penuh (menghambat gerakan FDP), usaha fleksi jari menghasilkan
gerakan isolated FDS, dimana diindikasikan dengan adanya solitary flexion
PIP joint.
Cara memeriksa fungsi FDP (gambar 2b). isolated DIP flexion anya dapat
dilakukan dengan intake-nya FDP muskulotendinous unit.
Catatan : terlihatnya tendon yang intake pada lacerated sheath tidak berarti
bahwa tendon tidak cedera. Tendon mungkin berada pada posisi yang lain ketika
cedera terjadi juga pada saat pemeriksaan dilakukan. Bagian tendon yang
mengalami laserasi telah pindah kebagian proksimal atau distal. Periksa dan
dokumentasikan integritas nervus digital yang terlibat (menggunakan 2-point
discrimination dengan menggunakan ujung klip kertas, dengan jarak sekitar
5mm).
Riwayat/anamnesa :
Mekanisme injury : laserasi dan trauma tertutup/tumpul.
Okupasi
Tangan yang dominant
X ray jari dengan tujuan :
Eksklusi FB pada luka laserasi
Eksklusi avulse FDP insertion pada bagian dasar distal phalanx pada fraktur
yang tertutup (lateral film).
Deformitas Boutonniere
Kerusakan central slip dari tendon ekstensor PIPJ. Lateral band yang secara
normal berada pada dorsal dari aksis rotasi sehingga dapat membuat gerakan
meluruskan jari, saat ini menjadi jatuh ke volar dari aksis tersebut dan gerakan
yang dihasilkan jadi berkebalikan yaitu menyebabkan fleksor PIPJ.
Mekanisme cedera:
1. pukulan langsung pada dorsum PIPJ.
2. Beban aksila yang memaksa fleksi PIPJ saat jari sedang ekstensi.
3. Laserasi di sepanjang atau distal dari PIPJ.
Presentasi klinis:
1. Nyeri dan pembengkakan PIPJ
2. Pasien awalnya dapat melakukan ekstensi penuh dari PIPJ (karena lateral
slip functioning) walaupun kebanyakan px dengan cedera seperti ini
menunjukkan kelemahan pada saat ekstensi PIPJ.
3. deformitas Boutonniere biasanya tidak muncul langsung setelah cedera
namun sering timbul setelah 10-14 hari.
4. kebanyakan memiliki associated dislocation yang telah direduksi sebelum
datang ke ED; ditunjukkan dengan pergerakan yang terbatas akibat nyeri.
X ray jari: jika terdapat fraktur avulse dari dorsal basis middle phalanx.
Diagnosis: membutuhkan kecurigaan yang tinggi, dx biasanya tidak terlihat
saat itu karena adanya pembengkakan akut.
Manajemen :
1. Cedera tertutup : boutonnire splint. Follow up pada hand surgery dalam 5
hari.
2. cedera terbuka : MRS untuk primary repair.
Boutonniere Splint
pasang volar splint pada PIPJ, posisikan pada ekstensi penuh, DIPJ dan MCPJ
bebas. (gambar 5).
Infeksi Tangan
Paronychia
Abses nail fold
Pembengkakan jaringan subungual dan kemerahan dengan atau tanpa frank
pus.
Screening untuk DM
Terapi :
1. Awal : antibiotik oral, cth cloxacilin (versus S. aureus) dan rendam air
hangat setiap hari.
2. Lanjut : antibiotik oral dan I&D abses dibawah blok digital.
Metode drainase (lihat gambar 6 dan 7)
1. Iris mess/blade ke dalam nail sulcus di dekat titik dengan nyeri tekan yang
paling maksimal.
2. Hilangkan sebuah potongan longitudinal kuku jika terdapat abses
subungual.
Penempatan : rujuk ke Hande sugery untuk follow up pada hari kerja
berikutnya untuk dibalut.
Felon
Infeksi distal pulp space dari sebuah jari.
Pembengkakan, nyeri dan kemerahan dari ujung jari
X ray : singkirkan FB dan keterlibatan tulang
Terapi : insisi dan drainase dibawah block digital
Metode drainase
1. Insisi high lateral (hindari neurovascular bundle) dimulai 5mm distal dari
lipatan kulit DIPJ dan teruskan sampai bagian akhir nail plate.
2. insisi palmar longitudinal : pilihan insisi tergantung penemuan titik nyeri
tekan yang paling maksimal.
3. Septa fibrous pada finger pad harus diinsisi secara tajam untuk
menghasilkan drainase yang adekuat dari space yang tertutup.
Antibiotik : Cloxacilin (versus S.aureus)
Penempatan
1. kontrol ke Hand surgery untuk follow up setelah I&D.
2. MRS pada Hand suregery untuk amanajemen adanya komplikasi seperti
osteitis atau osteomielitis dari phalanx distal, piogenik arthritis DIPJ,
pyogenic Flexor tenosynovitis.
Caveats
Cedera kepala merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas setelah
trauma.
Walaupun biasanya tidak ada terapi spesifik untuk mengatasi primary brain
injury, beberapa secondary brain injury dapat dicegah atau diterapi.
Catatan : Primary brain injury merupakan kerusakan yang terjadi secara
langsung oleh trauma/gerakan mekanikal. Secondary brain injury terjadi setelah
initial trauma.
Hipoksemia dan hipotensi merupakan penyebab sistemik yang paling sering
menyebabakan secondary brain injury.
Jangan mengasumsikan AMS pada px trauma kepala terjadi karena intoksikasi
alcohol. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh hipoglikemi, hiperkarbi,
hipotensi atau concomitant dengan intoksikasi obat.
Fraktur tulang tengkorak meningkatkan kecenderungan adanya underlying
cedera otak (tabel 1).
Lucid interval harus menjadi penanda untuk menyingkirkan adanya hematoma
ekstradural yang akut.
Semua px dengan trauma mayor harus dianggap mengalami cedera kepala atau
fraktur cervical spine sampai terbukti tidak.
Seorang pemeriksa tidak dapat mengandalkan hasil pemeriksaan neurology
sebelum perfusi dan oksigenasi yang adekuat telah diberikan.
Observasi px cedera kepala meliputi pemeriksaan neurology yang berulang.
Jangan menganggap hipotensi yang terjadi pada px trauma timbul hanya
akibat cedera kepala. Sumber perdarahan lain tetap harus dicari.
Hipertensi dan bradikardi (Cushing reflex) menunjukkan adanya peningkatan
tekanan intracranial.
Dilatasi pupil unilateral atau respon cahaya yang lemah mengindikasikan
adanya massa yang berkembang pada sisi yang sama dengan pupil yang
berdilatasi. Tanda ini terjadi pada tahap akhir keadaan peningkatan
intracranial.
CT scan
Indikasi emergent CT scan setelah cedera kepala
1. GCS ≤ 13 tanpa adanya intoksikasi alcohol atau fraktur tulang tengkorak.
2. GCS ≤ 14 dengan adanya fraktur tulang tengkorak
3. Pupil yang berdilatasi unilateral pada keadaan AMS
4. depressed skull fracture
5. Defisit neurologik fokal
6. pasien cedera kepala yang membutuhkan ventilasi
7. pasien cedera kepala yang membutuhkan anestesi general untuk operasi
lainnya.
Catatan: CT scan emergent masih controversial. Menurut ATLS, semua px
bahkan dengan cedera kepala ringan membutuhkan CT scan kepala, namun
akan sangat membutuhkan biaya yang besar.
Resusitasi
Prioritas resusitasi menurut ATLS, a.l :
kontrol jalan nafas dan cervical spine
pernafasan
Catatan : penyebab respiratory impairment meliputi : (1) penyebab sentral
seperti obat-obatan dan brain stem injury, (2) penyebab perifer seperti
obstruksi jalan nafas, aspirasi darah/vomit, trauma dada, adult respiratory
distress syndrome dan edema pulmonary neurogenik.
Sirkulasi
1. Pemeriksaan darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, GXM
± kadar serum etanol.
Catatan : kadar alcohol darah < 2g/l menunjukkan bahwa AMS yang
terjadi adalah akibat cedera kepala bukan karena intoksikasi alcohol.
Namun tingginya kadar alcohol tidak dapat dikatakan sebagai penyebab
terjadinya keadaan AMS pada px cedera kepala tersebut.
2. lakukan pemeriksaan GDA pada semua px cedera kepala dengan
penurunan kesadaran untuk mengeksklusi adanya hipoglikemi.
Pemeriksaan neurologik
Indikasi Intubasi pada cedera kepala
1. Koma (GCS <8)
2. deteriorasi GCS yang cepat ≥ 2.
3. GCS ≤ 14 dengan adanya dilatasi pupil unilateral.
Catatan : dilatasi atau fixed pupil pada px trauma biasanya disebabkan oleh
hematoma atau kerusakan otak, namun juga disebabkan oleh expanding
trauma mata, cedera langsung pada nervus kranialis ketiga, bermacam-macam
obat, aneurisme intracranial, hipoksia, hipotensi, kejang dan expanding
aneurisme intrakrnial.
4. distress respirasi secara klinis, RR > 30x/menit atau < 10x/menit,
abnormalitas pola pernafasan atau hipokemia yan gtidak terkoreksi dengan
O2 100% yang diberikan melalui non-rebreather mask.
5. concomitant maxillofacial injuries
6. konvulsi berulang
7. concurrent edema pulmonal berat, cedera kardiak atau abdominal bagian
atas.
Catatan : hiperventilasi harus digunakan untuk mencapai PCO2 antara 30-35
mmHg jika ada indikasi peningkatan tekanan intrakrnial. Dalam keadaan
bisaa, PCO2 harus berada pada kisaran 34-40 mmHg. Cek ulang BGA 10-15
menit setelah hiperventilasi.
Indikasi penggunaan Mannitol pada cedera kepala :
1. pasien koma yang awalnya memiliki pupil yang normal dan reaktif namun
kemudian berkembang menjadi dilatasi disertai atau tanpa adanya
hemiparesis.
2. Dilatasi pupil bilateral dan nonreaktif tetapi tidak hipotensive.
Dosis Mannitol : 1g/kgBB, cth [5x BB (kg)] ml larutan mannitol 20%
dalam infus cepat selama 5 menit.
Perhatian sebelum menggunakan mannitol :
a. Pasang kateter urinary
b. Pastikan px tidak hipotensi
c. Pastikan px tidak menderita gagal ginjal kronis
Catatan : hiperventilasi dan IV mannitol akan membutuhkan waktu
selama 2jam, dan tidak boleh ada waktu yang terbuang dalam
pembuatan keputusan terapi definitive.
Caveats
Walaupun cedera tulang terlihat serius, kasus tersebut sering tidak mengancam
nyawa dan termasuk dalam secondary survey pada pasien trauma.
Semua dislokasi biasanya bukan merupakan kasus serius dan hanya
membutuhkan analgesic yang adekuat, kecuali pada 3 kasus sbb, yang
membutuhkan reduksi secepatnya:
1. Dislokasi lutut (karena popliteal artery compromise)
2. dislokasi pergelangan kaki (karena nekrosis kulit)
3. Dislokasi panggul (karena avaskular nekrosis panggul)
Untuk semua dislokasi sendi yang membutuhkan manipulasi dan reduksi pada
ED, jangan berikan opioids IM, namun berikan secara IV. Karena opioid yang
diberikan lewat IM absorbsinya baik. Sehingga ketika dibutuhkan conscious
sedation, seseorang harus memastikan dosis efek penghilang nyerinya. Hal ini
akan menyebabkan supresi pernafasan dan hipotensi ketika dosis total opioid
IM diabsorbsi ke dalam sirkulasi.
Dislokasi Patellar
Mekanisme
1. riwayat khas : saat sedang berlari, lutut terbentur dan px jatuh. Px sering
memperlihatkan tonjolan di bagian medial yang prominent dari condilus
medialis femur (walaupun patella biasanya mengalami dislokasi ke
lateral).
2. dislokasi patella dapat berkurang secara spontan
Manifestasi Klinis
1. effuse mild knee
2. nyeri tekan pada bagian medial lutut
X ray : AP, lateral dan skyline view. Skyline view digunakan untuk
menyingkirkan fraktur lain pada kondilus lateral dari femur.
Terapi :
1. berikan analgesic dan reduksi dislokasi
2. Aplikasikan cylinder backslab selama 6 minggu pada dislokasi yang
pertama untuk mencegah dislokasi yang rekuren.
3. jika terjadi dislokasi rekuren, aplikasikan pressure bandage selama 1-2
minggu.
Dislokasi Lutut
Merupakan Keadaan yang Emergensi!
Mekanisme trauma : biasanya karena kecelakaan lalu lintas, terutama dash
board injury
Manifestasi klinis : pembengkakan, deformitas yang besar, sering dengan
marked posterior sag.
X ray : AP dan lateral view dari lutut
Komplikasi :
1. Cedera arteri popliteal : cari keadaan pucat, dingin, pulseless atau parestesi
pada tungkai bawah.
2. Palsy nervus peronealis
Terapi
1. berikan analgesic IV
2. Reduksi dislokasi secepatnya, terutama jika terdapat keterlambatan dalam
X ray.
3. Aplikasikan cylinder backslab.
4. hubungi bedah TKV dan ortopedi serta atur angiogram.
Penempatan
1. MRSkan semua pasien
Haemarthrosis Lutut/effusi
Mekanisme trauma : biasanya karena trauma pada daerah lutut.
Haemarthrosis pada lutut yang terjadi cepat disebabkan oleh :
1. robeknya ligament cruciatum
2. Robeknya ligamentum collateral
3. Fraktur osteokondral
4. peripheral meniscal tear
Effusi yang terlambat biasanya terjadi akibat meniscal tear
Manifestasi klinis: pembengkakan yang besar dari haemarthrosis atau effuse.
X ray :
1. AP dan Lateral View dari lutut. Catat bahwa fat fluid level pada bursa
suprapatellar mengindikasikan adanya fraktur intraartikular walaupun
fraktur tidak terlihat. (gambar 2).
2. skyline view digunakan pada subtle fracture dari condilus femoralis
(terutama pada dislokasi lateral patella) dan patella.
Komplikasi : hati-hati bahwa px mungkin tidak mengalami dislokasi lutut
atau concomitant fraktur lutut.
Terapi :
1. jika haemarthrosis lutut tidak tegang, px dapat KRS dengan istirahat, es,
kompresi (aplikasikan crepe bandage) dan terapi elevasi (RICE).
2. berikan analgesic
Penempatan
1. rujuk ke klinik ortopedi dalam 24-48 jam
2. jika terdapat tense haemarthrosis, px harus MRS untuk aspirasi.
Fraktur Tibia/Fibula
Mekanisme trauma :
1. tekanan torsional (cedera olahraga)
2. Kekerasan yang ditransmisikan melalui kaki (cth : jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas)
3. Hentakan langsung (cth kecelakaan lalu lintas, tertimpa benda yang berat)
Isolated fracture tibia atau fibula dapat terjadi akibat kekerasan secara
langsung walaupun relative jarang. Kekerasan tidak langsung menyebabkan
fraktur pada tibia sekaligus fraktur fibula.
Manifestasi klinis :
1. nyeri
2. pembengkakan
3. Deformitas
4. Nyeri tekan
5. Fraktur krepitus
6. sering berupa fraktur terbuka karena 1/3 tibia adalah subkutaneus
X ray : AP dan Lateral view dari tibia/fibula (harus meliputi lutut dan
pergelangan kaki)
Komplikasi : compartment syndrome pada fraktur tertutup dan infeksi pada
fraktur terbuka.
Terapi:
1. fraktur tertutup undisplaced dari tibia dan fibula
a. berikan analgesic IM/IV sebelum X ray
b. aplikasikan backslab diatas lutut
c. ulangi X ray untuk mengecek final position dari fraktur.
d. MRS untuk observasi
2. Fraktur tertutup displaced dari tibia dan fibula
a. Berikan narkotik IV sebelum X ray
b. Dibawah conscious sedation dengan IV Midazolam dan narkotik,
coba untuk mereduksi fraktur.
c. Aplikasikan backslab diatas lutut
d. Ulangi X ray sebelum MRS
3. Fraktur terbuka tibia dan fibula
a. berikan analgesic IM/IV
b. lakukan swab c/s dari luka
c. tutup luka dengan dibalut
d. cek status immunisasi tetanus px.
e. Berikan antibiotik (Cefazolin)
f. Aplikasikan long leg backslab atau temporary splint
g. Rencanakan debridemen luka
4. Isolated Closed Fracture of Fibula
a. Berikan analgesic IM
b. Singkirkan fraktur tibia dengan cedera pada sendi pergelangan kaki
c. Crepe bandage
d. KRS dengan diberikan analgesic
e. Rujuk ke klinik ortopedi.
Catatan : pasien dapat diijinkan untuk menahan berat badan.
Cedera Ankle (pergelangan kaki)
Mekanisme trauma : ketika pergelangan kaki mengalami deformitas, harus
curigai adanya dislokasi ankle. Ini merupakan keadaan emergency!
Catatan : Dislokasi ankle harus direduksi secepatnya untuk mencegahg nekrosis
kulit.
Manifestasi klinis : pada suspek cedera ankle, lakukan palpasi 4 bagian
tulang, sbb:
1. Malleolus medialis
2. Malleolus lateralis
3. Seluruh bagian panjang fibula
4. Basis metatarsal ke-5
X ray : tidak harus dilakukan pada kasus sprained ankle
Indikasi X ray pada cedera ankle :
1. Nyeri tekan pada tepi posterior (distal 6cm) atau ujung malleolus lateralis.
2. Nyeri tekan pada tepi posterior (distal 6cm) atau ujung malleolus medialis.
3. tidak mampu untuk menahan berat badan
4. pada kasus dimana terdapat pembengkakan yang nyata sehingga tidak
memungkinkan palpasi yang akurat.
5. pada kasus dimana terdapat instabilitas klinis.
6. pada px usia > 50 tahun dimana menurut penelitian klinis mengindikasikan
kemungkinan insiden fraktur sekitar 30%.
7. untuk alasan social, cth : pada seorang atlit.
Catatan: Kriteria 1 sampai 3 dikenal sebagai Ottawa Ankle Rules.
X ray yang disarankan:
1. AP dan lateral view dari ankle untuk suspek fraktur ankle.
2. Seluruh fibula jika terdapat nyeri tekan pada fibula yang dapat
menyingkirkan fraktur Maissoneuve.
3. Posisi PA dan lateral dari kaki jika terdapat nyeri tekan pada basis
metatarsal ke-5.
Komplikasi : Nekrosis kulit pada delayed reduction dislokasi ankle.
Terapi :
1. sprained ankle :
a. berikan analgesic pada ED
b. KRS dengan terapi RICE dan analgesic
c. Rujuk ke fisioterapi untuk strapping ankle pada severe sprain.
2. Fraktur ankle :
a. Aplikasikan backslab dibawah lutut
b. MRS untuk fiksasi internal kecuali pada isolated stabel fracture
of lateral malleoulus dibawah ankle mortise yang dapat diterapi
secara konservatif.
3. Dislokasi ankle
a. Pasang heparin plugdan berikan narkotik IV sebelum
dilakukannya X ray
Catatan : dislokasi ankle harus direduksi secepatnya dibawah
conscious sedation dengan midazolam dan narkotik, atau inhalasi
Entonox (N2O/O2) untuk mencegah nekrosis kulit. Sehingga, jika
terdapat katerlambatan X ray > 10-15 menit atau jika terdapat tanda
circulatory compromise, ankle tersebut harus direlokasi bahkan
sebelum X ray dilakukan.
b. Aplikasikan short leg backslab setelah reduksi
c. Lakukan post reduksi X ray
d. MRS untuk fiksasi internal.
Fraktur Calcaneum
Mekanisme trauma : jatuh dari ketinggian pada tumit
Catatan : ingat untuk menyingkirkan fraktur calcaneal bilateral dan wedge
fracture of spine.
Manifestasi klinis :
1. tumit ketika dilihat dari arah belakang akan nampak melebar, memendek,
mendatar atau miring ke lateral membentuk valgus.
2. Pembengkakan yang menegang pada tumit
3. Nyeri tekan local yang jelas
4. Jika px muncul kemudian, mungkin akan timbul bruising yang dapat
menyebar ke sisi medial telapak kaki dan proksimal dari betis.
X ray : AP, lateral, dan axial view dari calcaneum
Terapi :
1. jika sendi subtalar tidak terlibat
a. aplikasikan firm bandaging over wool
b. KRS dengan crutches (tongkat penyangga), analgesic, dan
sarankan untuk melakukan elevasi tungkai di rumah.
2. Jika fraktur kalkaneum bilateral ada, sarankan untuk istirahat.
3. Jika kalkaneum mengalami pergeseran atau ‘crushed’:
a. aplikasikan backslab di bawah lutut
b. MRS
FOOT INJURY
Catatan : yang paling sering terjadi a.l :
Fraktur kalkaneum
Dislokasi Tarso-metatarsal
Fraktur metatarsal
Fraktur phalangeal/dislokasi
Dislokasi Tarso-metatarsal (Lisfranc’s)
Mekanisme trauma:
1. jatuh pada plantar flexed foot
2. Hantaman pada forefoot seperti pada kecelakaan lalu lintas
3. hantaman pada tumit ketika berada pada posisi berlutut/bersujud
4. run over kerb side accident
5. Inverse, eversi atau abduksi dari forefoot yang dipaksakan.
Manifestasi klinis : bengkak dan ‘penyimpangan’ dari kaki
X ray : AP dan Oblique view dari kaki (gambar 3)
Catatan : Lisfranc’s dislocation tidak selalu menyediakan bukti yang jelas pada
radiografi, dan tetap menjadi fraktur kaki yang paling sering mengalami
missdiagnosa.
Komplikasi : arteri dorsalis pedis atau anastomosis medial plantar dapat
berada dalam ancaman.
Terapi :
1. berikan analgesic sebelum X ray
2. Aplikasikan backslab
3. MRS untuk open reduction and Internal Fixation (ORIF)
Fracture Metatarsal
Mekanisme : sering disebabkan karena Crushing injury
X ray : AP dan Oblique view dari kaki
Prinsip manajemen :
1. Jika fraktur undisplaced tanpa kerusakan jaringan lunak
a. bereikan analgesic sebelum X ray
b. Terapi simptomatik dengan crepe bandage atau short backslab dari
bagian distal sampai atas jari kaki
c. KRS dengan non-weight bearing crutches (NWB) dan analgesic.
d. Rujuk ke klinik ortophedi
2. Jika fraktur multiple dan undisplaced, terapi konservatif seperti diats.
3. Jika fraktur multiple dan displaced :
a. MRS untuk operasi jika fraktur terbuka
b. Aplikasikan backslab dan KRS dengan analgesic dan crutches
NWB kemudian rujuk segera ke klinik ortopedik untuk review
ORIF, jika fraktur tertutup.
Phalangeal Fracture/dislokasi
X ray : AP dan oblique view dari kaki
Prinsip manajemen :
1. tangani cedera jaringan lunak serta nail bed injury terlebih dahulu.
2. Reduksi dislokasi menggunakan digital block atau Entonox.
3. Immobilisasi Fraktur dan dislokasi menggunakan adhesive strapping pada
jari kaki yang berdekatan.
4. KRS dengan analgesic dan rujuk ke klinik ortopedik.
5. Untuk dislokasi jari kaki multiple, MRS untuk reduksi.
102. Trauma, Pelvik
Caveats
Kesulitan yang paling banyak terjadi dalam manajemen trauma
pelvic meliputi:
1. Kegagalan mempertimbangakan fraktur pelvic pada px dengan trauma
multisistem.
2. kegagalan untuk memberikan resusitasi yang adekuat
3. kegagalan untuk mengenali injury lain yang terkait.
Terdapat kehilangan darah yang sangat banyak pada fraktur pelvic terbuka
(berkebalikan dengan yang tertutup) karena efek tamponade peritoneum
hilang.
Wanita tua sering menderita fraktur pelvic dengan trauma jatuh yang minimal
karena adanya osteoporosis.
Mekanisme trauma:
1. Simple falls, avulsi dari attachment muscular.
2. hantaman/pukulan secara langsung
3. jatuh dari ketinggian, kecelakaan sepeda motor, tabrakan mobil
berkecepatan tinggi
Trauma lain yang terkait : mortalitas dan morbiditas yang terjadi pada fraktur
pelvis kebanyakan terkait dengan trauma lain yang mempengaruhi pembuluh
darah, nervus, genitourinary, dan traktus gastrointestinal bagian distal.
Penyebab kematian: perdarahan yang tidak terkontrol
Tips Khusus Bagi Dokter Umum:
Pertimbangkan dx fraktur ramus pubis pada lansia dengan nyeri pangkal
paha/panggul setelah terjatuh.
Manajemen
ABC merupakan manajemen yang utama
Koreksi hipovolemia : paling tidak 2 jalur IV ukuran besar terpasang pada px.
Kirim darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, dan GXM
4-6 unit rapid matched blood.
Lakukan pemeriksaan Fisik :
1. Pembengkakan area suprapubik atau groin area.
2. ekimosis pada genitalia eksterna, paha bagian medial dan area flank.
3. darah dari urethra.
4. abrasi, kontusio dari tulang yang menonjol
5. step-off, instabilitas
6. krepitus pada palpasi bimanual iliac wing
catatan : (1) jangan mencoba untuk melakukan spring/menutup pelvis untuk
medapatkan stabilitas karena hal ini tidak reliable, tidak diperlukan dan dapat
menyebabkan perdarahan tambahan. (2) laserasi perineum, groin atau buttock setelah
trauma mengindikasikan adanya fraktur pelvic terbuka kecuali terbukti bukan. (3)
pemeriksaan neurology harus dilakukan dimana injury pleksus sakralis dapat terjadi.
Injury lain yang terkait :
1. inspeksi perineum untuk mencari luka terbuka
2. lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan posisi prostate, merasakan
spikula tulang dan mencari adanya darah.
3. lakukan pemeriksaan vagina untuk mencari luka terbuka.
4. jika ada bukti injury uretra, misalnya darah pada meatus, memar pada
skrotum atau prostate letak tinggi, hati-hati pada fraktur pelvic yang dapat
tidak stabil.
Jangan masukkan kateter. Konsulkan pada urologist untuk kemungkinan
pemasangan kateter suprapubik.
Lakukan X ray pelvic untuk mencari kerusakan dan asimetri dari simphisis
pubis.
Berikan analgesic yang adekuat.
Mulai pemberian antibiotik pada kasus fraktur terbuka.
Gunakan Sandbags untuk mensupport fraktur pelvic yang tidak stabil.
Rujuk ke orthopaedics untuk mengurangi dan meng-imobilisasi fraktur dengan
C-clamp external fixator.
Jika kontrol perdarahan gagal, pertimbangkan angiografi dan embolisasi.
104. Trauma, Ekstremitas Atas
Caveats
Walaupun cedera tulang terlihat serius, kasus tersebut sering tidak mengancam
nyawa dan termasuk dalam secondary survey pada pasien trauma.
Untuk semua dislokasi sendi yang membutuhkan manipulasi dan reduksi pada
ED, jangan berikan opioids IM, namun berikan secara IV. Karena opioid yang
diberikan lewat IM absorbsinya baik. Sehingga ketika dibutuhkan conscious
sedation, seseorang harus memastikan dosis efek penghilang nyerinya. Hal ini
akan menyebabkan supresi pernafasan dan hipotensi ketika dosis total opioid
IM diabsorbsi ke dalam sirkulasi.
Untuk setiap cedera ortopedi, selalu ingat untuk mencatat status neurovascular
sebelum dan sesudah manipulasi/reduksi atau aplikasi gips.
Fraktur Klavikular
Mekanisme trauma
1. Sebagian besar terjadi karena jatuh dengan tangan yang terulur.
2. Dapat juga terjadi karena hantaman langsung pada bahu, cth: terjatuh pada
posisi samping.
Manifestasi klinis :
1. Nyeri Tekan pada lokasi fraktur
2. Deformitas dengan pembengkakan local.
X Ray: biasanya Foto AP bahu cukup adekuat.
Komplikasi : jarang, fragment fraktur dapat membahayakan struktur
neurovascular subklavial.
Terapi: Broad arm sling dan kontrol ke klinik ortopedik 5 hari kemudian.
Dislokasi Sternoklavikular
Mekanisme trauma : biasanya akibat jatuh atau hantaman pada daerah anterior
bahu:
1. Asimetri dari inner end klavikula
2. Nyeri tekan local
Manifestasi klinis:
1. Nyeri tekan dan bengkak pada sendi sternoklavikular
2. Nyeri pada saat lengan digerakkan dan pada saat kompresi bahu ke lateral.
3. Dengan cedera berat, klavikula medial bergeser relative terhadap
manubrium.
4. Dispneu, disfagi, atau tersedak (pada px dengan dislokasi posterior karena
kompresi struktur mediastinal).
X ray : AP dan Oblique view sulit untuk diinterpretasi. Dx biasanya
berdasarkan pemeriksaan klinis. Namun tomogram atau CT mungkin dapat
dilakukan.
Komplikasi : jarang, dislokasi mungkin dapat membahayakan pembuluh darah
posterior dari klavikula.
Terapi:
1. Subluksasi minor : Broad arm sling, Analgesic dan kontrol ke klinik
ortopedi setelah 3 hari.
2. Gross Displacement : MRS dibagian Ortopedi untuk eksplorasi / reduksi di
bawah GA.
Catatan : Cedera yang mengancam nyawa, bila mengenai struktur didekatnya
terjadi pada 25% kasus dislokasi posterior.
Fraktur Skapula
Mekanisme trauma : biasanya karena trauma langsung pada dada
posterolateral.
Manifestasi klinis : nyeri local dan pembengkakan serta adanya associated
injury.
X ray : AP bahu, dengan atau tanpa Scapular View.
Komplikasi : Fraktur scapular biasanya terkait dengan cedera intrathorax yang
signifikan seperti kosta, fraktur vertebral, fraktur klavikular, cedera pembuluh
darah pulmonal dan pleksus brachialis.
Terapi :
1. Isolated Scapular Fracture : Broad arm sling dan analgesic, kontrol ke
klinik ortopedi setelah 3 hari.
2. Bersamaan dengan cedera intratoraks yang lain: MRS ke bedah umum.
Dislokasi bahu
Secara statistic : 96% dislokasi anterior, 3,4% posterior, 0,1% inferior (luxatio ercto).
Dislokasi Anterior
Mekanisme trauma : jatuh yang menyebabkan rotasi eksternal bahu.
Manifestasi :
1. Khas : px biasanya menyangga lengan yang cedera pada bagian siku
dengan menggunakan tangan sebelahnya .
2. lengan dalam posisi abduksi ringan
3. Kontur terlihat ‘squared off’
4. Nyeri yang sangat.
X ray : AP dan axial atau Y-Scapular view akan membantu membedakan
dislokasi anterior dengan posterior.
Catatan : X ray sangat penting menurut standar medikolegal untuk
menyingkirkan fraktur lain yang terjadi sebelum dilakukannya manipulasi dan
Reduksi ( M & R). ada peningkatan bukti yang menunjukkan bahwa dislokasi
bahu yang rekuren dan atraumatis tidak membutuhkan pre-M&R X ray.
Namun, keadaan ini tidak diterima secara luas dalam kalangan ahli ortopedi.
Komplikasi :
1. Rekuren
Catatan : Hill-Sachs lesion (fraktur kompresi aspek posterolateral dari humeral
head) dapat terlihat pada px yang sebelumnya menderita dislokasi anterior.
2. Avulsi Tuberositas mayor (banyak terjadi pada px > 45 tahun).
3. Fraktur anterior Plenoid lip
4. Kerusakan arteri aksilaris dan pleksus brakialis.
Catatan : Harus memeriksa :
1. Fungsi Nervus axillaris dengan memeriksa sensasi jarum pada deltoid atau
‘regimental badge’area.
2. Pulsasi pada pergelangan tangan
3. Fungsi Nervus radialis.
Terapi :
1. Isolated anterior dislocation : M&R (dengan bermacam-macam teknik)
dibawah conscious sedation.
2. Dislokasi anterior dengan fraktur tuberositas humerus mayor atau minor :
M&R dibawah conscious sedation.
3. dislokasi anterior dengan fraktur proksimal shaft humeral : M&R dibawah
GA, pertimbangkan ORIF.
Manajemen lanjutan : analgesic IV, BUKAN IM (tempatkan IV plug untuk
antisipsi M&R), kemudian X ray yang diikuti M&R dibawah conscious
sedation.
M&R : merupakan teknik traksi yang disukai untuk digunakan daripada teknik
terdahulu seperti maneuver Hippocratic/Kocher’s.
Traksi harus dilakukan pada area critical care atau intermediate care dimana
px dapat dimonitoring, dan px berada pada kondisi conscious sedation (lihat
bab Conscious sedation).
1. Teknik Cooper-Milch
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan px pada posisi supine
dengan siku fleksi 90o.
b. Luruskan siku dan dengan sangat perlahan pindahkan lengan pada
posisi abduksi penuh yang ditahan pada traksi lurus dimana
seorang asisten mengaplikasikan tekanan yang lembut pada sisi
medial dan inferior dari humeral head.
c. Adduksi lengan secara bertahap.
d. Pasang collar dan cuff, kemudian lakukan X ray post reduksi.
2. Teknik Stimson’s
Metode yang memanfaatkan gaya gravitasi, yang sering dilakukan pada
ED yang sangat sibuk.
a. berikan analgesic IV dimana px berbaring pada posisi pronasi
dengan lengan tergantung di sebelah trolley dengan beban seberat
2,5-5kg terikat pada lengan tersebut.
b. Perlahan setelah 5-30 menit, lakukan relokasi bahu.
c. Pasang collar dan cuff, periksa x ray post reduksi.
3. Teknik Countertraction
Bermanfaat sebagai sebuah maneuver back-up ketika cara-cara diatas
gagal.
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan px berbaring supine dan
tempatkan rolled sheet dibawah aksila dari bahu yang terkena.
b. Abduksi lengan sampai 45o dan aplikasikan sustained in line
traction sementara. Asisten memasang traksi pada arah yang
berlawanan menggunakan rolled sheet.
c. Setelah relokasi, paang collar dan cuff, periksa X ray post reduksi.
d. Penempatan : klinik ortopedik setelah 3 hari.
4. Teknik Spasso, walaupun teknik ini tidak dikenal secara luas, namun
teknik ini telah digunakan pada departemen kami, dan kami anggap bahwa
metode ini merupakan metode yang paling mudah dilakukan dengan angka
keberhasilan yang tinggi.
a. Dibawah conscious sedation, letakkan lengan yang sakit dengan
dengan dinding dada.
b. Fleksikan lengan pada bahu, dan lakukan rotasi eksternal secar
simultan. Pada kebanyakan kasus, sebelum bahu mencapai fleksi
kedepan 90o, akan terdengar bunyi ‘clunk’, dan head humerus telah
kemabali pada posisinya.
c. Adduksi lengan
d. Pasang collar & cuff dan periksa X ray post reduksi.
Dislokasi posterior
Mekanisme Trauma
1. Biasanya karena jatuh pada tangan yang terotasi ke dalam serta terjulur
atau karena hantaman pada bagian depan bahu.
2. Terkait dengan kontraksi otot saat kejang atau cedera akibat tersetrum
listrik.
Manifestasi
1. Lengan terletak berotasi internal dan adduksi
2. Px merasakan nyeri, dan terdapat penurunan peregerakan dari bahu
X ray : AP (Gambar 2a) dan Y scapular view (Gambar 2b)
Catatan : sangat mudah terjadi missdiagnosa dislokasi bahu posterior pada
bahu AP. Suspek dislokasi posterior jika terdapat ‘light bulb sign’ karena rotasi
internal bahu dan terdapat overlap antara head humerus dan glenoid labrum
pada foto bahu AP.
Komplikasi : kerusakan arteri aksilaris dan nervus brakialis.
Terapi : prinsip sama dengan dislokasi anterior
1. Untuk isolated dislokasi posterior, coba M&R dibawah IV conscious
sedation.
2. Untuk dislokasi posterior dengan fraktur tuberositas, coba M&R dibawah
conscious sedation.
3. Untuk dislokasi posterior dengan fraktur humeral shaft, MRS untuk M&R
di bawah GA, pertimbangkan ORIF.
Teknik :
1. Dibawah kondisi IV conscious sedation, pasang traksi pada lengan pada
posisi abduksi 90o.
2. Kadang countertraction dengan seorang asisten menggunakan rolledsheet
dibawah aksilla perlu dilakukan.
3. Secara perlahan lengan dirotasikan ke eksternal.
4. Setelah relokasi dilakukan pada kasus yang pertamakali terjadi pada
seorang dewasa muda, aplikasikan strapping bersama dengan collar dan
cuff.
5. Setelah relokasi pada lansia, aplikasikan collar & cuff dan pertimbangkan
early mobilization.
Penempatan : Klinik ortopedi setelah 3 hari.
Dislokasi Inferior
Mekanisme trauma : biasanya karena jatuh dengan lengan berada pada posisi
abduksi.
Manifestasi klinis :
1. Abduksi lengan atas dengan posisi ‘hand over head’
2. Hilangnya kontur bulat dari bahu.
X ray : foto AP cukup untuk mendiagnosa.
Komplikasi : kerusakan arteri aksilaris dan nervus brakialis.
Terapi : prinsipnya sama dengan dislokasi yang lain:
1. Untuk dislokasi dengan atau tanpa fraktur tuberosita, coba M&R dibawah
IV conscious sedation.
2. Untuk dislokasi dengan fraktur humeral neck, coba M&R dibawah GA,
KIV ORIF>
Teknik :
1. Dibawah kondisi IV conscious sedation, aplikasi traksi yang steady pada
lengan yang dibduksi.
2. kadang diperlukan counter traction dengan seorang asisten menggunakan
rolled sheet yang ditempatkan pada akromion.
3. Setelah relokasi, pasang collar & cuff.
Penempatan : kontrol ke poli ortopedi setelah 3 hari.
Dislokasi Siku
Mekanisme trauma : karena pada posisi tangan terulur, yang paling sering
ditemukan adalah dislokasi posterolateral.
Manifestasi :
1. Deformitas siku dengan nyeri tekan dan bengkak
2. Bentukan segitiga antara olekranon, epicondilus lateral dan medial
mengalami kerusakan.
X ray : AP dan lateral siku.
Komplikasi : cedera arteri brakialis, nervus ulnaris atau medianus
Terapi : M & R di bawah IV conscious sedation
1. Dengan posisi px supine, paang traksi pada garis lengan
2. Fleksi ringan siku mungkin dipelukan selama mempertahankan traksi.
3. setelah relokasi, pasang long arm back slab
4. Jika tidak ada bukti kerusakan neurovascular, kontrol ke klinik ortpedi
setelah 3 hari.
5. jika terdapat kerusakan neurovascular walaupun sangat ringan, MRS di
bagian ortopedi untuk observasi.
6. pastikan bahwa sendi telah tereduksi, X ray kadang bisa menipu.
Pulled Elbow (Subluksasi Radial head)
Mekanisme trauma : biasanya terjadi pada anak usia 9 bulan-6 tahun, karena
tarikan yang kuat pada tangan yang terulur, yakni adanya tenaga yang menarik
dengan kuat pada ligament annular di radial head.
Manifestasi :
1. Lengan tergantung lemah
2. Anak mengeluh nyeri pada lengan dan tidak mau menggerakkannya.
3. Nyeri tekan local pada bagian proksimal lengan bawah.
4. Nyeri yang ditimbulkan sat memfleksikan siku atau men-supinasikan
lengan bawah.
5. tidak ada pembengkakan dan deformitas
X ray : pada situasi klasik tidak dibutuhkan, namun bila terdapat riwayat jatuh
atau adanya hantaman langsung pada lengan bawah pada posisi foto AP dan
lateral siku.
Terapi : manipulasi tanpa anestesi dapat dilakukan.
1. Pegang tangan dari lengan yang cedera dengan posisi berjabat tangan
sementara tangan pemeriksa yang lain memegang belakang siku dengan
ibu jari terletak pada head radius.
2. Secara lembut dan perlahan, dorong lengan bawah ke dalam siku, dan
paksa untuk mensupinasikan lengan atau secara cepat ganti ke posisi
pronasi dan supinasi sampai mendengar atau merasakjan bunyi ‘pop’.
Tidak diperlukan sling karena anak akan mulai menggunakannya secara
normal dalam 5-10 menit.
3. jika maneuver tersebut tidak berhasil, lengan harus diistirahatkan pada
sebuah sling, dan reduksi spontan biasanya terjadi dalam waktu 48 jam.
4. Tidak dibutuhkan kontrol ke klinik ortopedi. KIE pada keluarga bahwa
mereka jangan mengangkat anak mereka secara langsung dengan menarik
lengannya.
Fraktur Olekranon
Mekanisme trauma : biasanya karena jatuh pada siku, juga karena kontraksi
yang kuat pada otot trisep.
Manifestasi klinis : nyeri tekan local dan bengkak/bruising (memar) di daerah
olekranon.
X ray : AP dan lateral siku.
Terapi :
1. Jika tidak terdapat displacement dari fraktur, atau ada tapi minimal, pasang
long arm back slab dan kontrol ke klinik ortopedi setelah 5 hari.
2. Jika fraktur displaced, pasang long arm back slab dan MRS untuk M&R
dibawah GA, KIV ORIF
Fraktur Colle’s
Mekanisme trauma : biasanya karena jatuh dengan tangan terulur.
Manifestasi klinis : khas : Deformitas bentuk ‘dinner fork’ dengan nyeri tekan
local.
X ray : lateral (gambar 4a) dan AP (gambar 4b) pergelangan tangan.
Komplikasi : malunion : delayed rupture dari M. Extensor pollicis longus;
kompresi nervus medianus; sudeck’s atrophy.
Terapi reduksi :
1. pasang longitudinal traction untuk ‘disimpact’ fracture.
2. Kemudian pasang flexion and ulnar deviation force pada fragmen
menggunakan jari atau ibu jari.
3. Setelah reduksi pasang short arm backslab dengan posisi lengan bawah
pronasi, ulnar deviasi dan fleksi ringan pada pergelangan tangan.
4. Jika X ray ulang menunjukkan reduksi yang memuaskan, pasang sling
dansarankan px untuk mobilisasi bahu, siku dan jari.
Penempatan :
1. jika reduksi memuaskan : kontrol ke klinik ortopedi dalam 2 hari.
2. Jika fraktur terbuka atau intraartikular, MRS ke bagian ortopedi untuk
M&R dibawah GA atau ORIF.
Fraktur Barton’s
Merupakan bentuk fraktur Smith dimana hanya bagian anterior radius yang terlibat.
Mekanisme trauma : karena jatuh pada saat tangan terulur.
Manifestasi klinis: nyeri tekan local, pembengkakan dan deformitas.
X ray : foto AP dan lateral pergelangan tangan.
Terapi : pasang short arm volar slab dan MRS pada bagian ortopedi untuk
ORIF.
Dislokasi Lunate
Mekanisme trauma : biasanya karena jatuh dengan tangan yang terulur.
Manifestasi klinis : nyeri tekan local dan bengkak
X ray : AP dan lateral pergelangan tangan (gambar 8)
Komplikasi : palsy nervus medianus/avaskularnekrosis/sudeck’s atrophy.
Terapi :
1. Reduksi dibawah Bier’s Block
2. Monitor tanda vital dan EKG.
Teknik Reduksi
1. Pasang traksi untuk mensupinasi pergelangan tangan
2. Luruskan pergelangan tangan, pertahankan tarikan tersebut.
3. Aplikasikan tekanan dengan ibu jari pada lunate.
4. Fleksikan pergelangan tangan secepatnya ketika anda merasakan lunate
masuk ke dalam tempatnya.
5. Pasang short arm back slab pada posisi pergelangan tangan agak fleksi.
Penempatan
1. bila reduksi berhasil, kontrol ke klinik ortopedi setelah 2 hari.
2. Jika percobaan reduksi tidak berhasil, pasang backslab dan MRS untuk
ORIF
Dislokasi Perilunate
Mekanisme trauma : karena jatuh saat tangan terulur atau hantaman langsung
pada tangan.
Manifestasi klinis : nyeri tekan local, bengkak, dan deformitas.
X ray : AP dan oblique view dari metacarpal.
Terapi :
1. Jika fraktur undisplaced, pasang short arm backslab dan kontrol ke klinik
ortopedi dalam 2-3 hari.
2. Jika fraktur displaced, coba reduksi di bawah Bier’s block, diikuti dengan
aplikasi backslab. Kontrol ke klinik ortopedi dalam 2-3 hari.
3. Jika fraktur melibatkan metacarpal neck, splint harus diluruskan diluar
PIPJ dengan MCJP pada saat fleksi 90o. kontrol ke klinik ortopedi dalam
2-3 hari.
Fraktur Rennett’s
Merupakan fraktur metacarpal ibu jari, dimana ada fragmen medial kecil dari tulang
yang miring, namun tetap terhubung dengan ‘trapezium’.
X ray : AP dan Lateral view dari metacarpal ibu jari.
Catatan : garis vertical fraktur melibatkan trapezo-metacarpal joint dan
terdapat subluksasi proksimal dan lateral dari metacarpal ibu jari.
Terapi : pasang scaphoid thumb spica backslab dan MRs pada bagian hand
surgey untuk ORIF.
Caveats
Anak dengan cedera multisistem dapat mengalami deteriorasi yang cepat serta
akan mengalami komplikasi yang serius.
Karakteristik anatomic yang unik membutuhkan pertimbangan yang khusus
dalam pemeriksaan dan tatalaksananya.
Tulang pada anak lebih lentur, sehingga kerusakan organ dalam dapat terjadi
tanpa adanya fraktur. Sehingga bila didapatkan adanya fraktur kosta, dapat
dipastikan anak tersebut telah mengalami high impact injury yang multiple,
sehingga harus dicurigai adanya cedera pada organ lain yang serius.
Waspada terhadap kemungkinan non-accidental injury sebagai penyebab
cedera yang terlihat.
Manajemen
Jalan Nafas
Intubasi orotrakeal dibawah direct vision dengan immobilisasi yang adekuat
serta proteksi terhadap cervical spine.
Preoksigenasi sebelum melakukan intubasi.
Gunakan uncuffed endotracheal tubes (ETT) untuk intubasi anak-anak.
Ukuran ETT dapat diperkirakan dengan mengukur diameter external nares
atau jari kelingking anak tersebut. Lihat Bab Paediatrics Drugs Equipment
Atropin (0,1-0,5mg) harus diberikan sebelum intubasi untuk mencegah
bradikardia selama intubasi.
Ketika akses dan kontrol jalan nafas tidak bisa dipenuhi oleh bag-valve mask
atau orotracheal intubation, maka needle cricothyroidotomy merupakan
metode yang dipilih. Surgical cricothyroidotomy jarang digunakan, jika ada,
harus ada indikasinya.
Bernafas
Respiratory Rate (RR) pada anak menurun seiring usia
Bayi : 40-60 x/menit
Anak yang lebih besar : 20 x/menit
Pemberian Ventilasi berlebihan dengan high tidal volume dan airway pressure
dapat berakibat pada iatrogenic bronchoalveolar injury. Volume tidal : 7
sampai 10ml/kg.
Dekompresi pleural dilakukan dengan tube thoracostomy, sama seperti dewasa
yakni pada ICS 5, anterior dari midaxillary line. Chest tube ditempatkan pada
cavum thorax dengan memasukkan tube melewati kosta pada lokasi kulit yang
telah diinsisi.
Sirkulasi
Peningkatan physiologic reserves pada anak memberikan kemungkinan untuk
mempertahankan tanda vital berada pada kisaran normal, walaupun px berada
pada keadaan severe shock. Tanda awal adanya syok hipovolemik pada anak
adalah takikardia dan perfusi kulit yang buruk. Penurunan volume darah
sirkulasi minimal sebesar 25% akan menunjukkan tanda/manifestasi syok:
1. Takikardi
2. Perfusi kulit yang buruk
3. Penurunan pulse pressure
4. Skin mottling
5. ekstremitas dingin bila dibandingkan dengan kulit bagian torso.
6. penurunan tingkat kesadaran dengan respon yang tumpul terhadap nyeri.
7. penurunan BP
8. urin output yang sedikit
Hipotensi pada anak menunjukkan keadaan shock yang tidak terkompensasi
dan mengindikasikan kehilangan darah yang banyak > 45% dari volume darah
sirkulasi. Takikardi akan berubah menjadi bradikardi sering disertai dengan
keadaan hipotensi serta tanda lainnya :
SBP = 70 + (2x usia dalam tahun)
DBP = 2/3 x SBP
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan pada anak didasarkan pada berat badan anak. Gunakan
Broselow resuscitation measuring tape.
Untuk syok, bolus cairan 20ml/kg kristaloid yang hangat dapat diberikan.
Mungkin akan diperlukan total cairan sebesar 3 bolus 20ml/kgBB jika terjadi
kehilangan darah 25% volume darah sirkulasi.jika sedang memberikan bolus
cairan yang ketiga, pertimbangkan untuk pemeberian 10ml/kg darah dengan
tipe yang spesifik untuk px. Rujuk ke bagian bedah jika tidak ada perbaikan
setelah pemberian bolus cairan yang pertama.
Lokasi akses vena pada anak a.l:
1. perkutaneus peripheral (2 percobaan)
2. intraosseus (anak usia < 6 tahun)
3. Venous cutdown : vena saphena pada pergelangan kaki.
4. perkutaneus placement : vena femoralis
Infus intraosseus harus dihentikan ketika akses peripheral yang baik telah
didapatkan. Lokasi infus intraosseus yang disarakan adalah pada permukaan
anteromedial tibia proksimalis, 2 cm dibawah tuberoseus tibia. Lokasi ini tidak
disarankan bila terdapat fraktur pada bagian proksimalnya; kanulasi kemudian
dapat dilakukan pada bagian distal femur. Output urin yang diharapkan pada
px yang telah mendapatkan resusitasi adekuat adalah 1-2ml/kg/jam.
Trauma Kepala
Manajemennya sama seperti pada orang dewasa. GCS sangat bermanfaat.
Namun komponen skor verbal pada anak harus dimodifikasi :
Respon Verbal Skor V
1. kata-kata yang terarah, atau tersenyum, menurut 5
2. Menangis, namun dapat dihibur 4
3. ‘lekas marah/irritabel’ yang persisten 3
4. Gelisah, agitasi 2
5. Tidak ada respon 1
Sama seperti dewasa, hipotensi jarang terjadi, jika ada, kemungkinan
disebabkan oleh cedera kepala itu sendiri, serta penyebab lainnya. Pada bayi,
sekalipun jarang terjadi, hipotensi akibat kehilangan darah terjadi akibat
perdarahan di sub galeal atau epidural space, karena sutura krnialis dan
fontanella yang masih terbuka pada bayi.
Restorasi yang cepat dan adekuat dari volume darah sirkulasi harus dilakukan,
juga harus menghindari terjadinya hipoksia.
Pada anak kecil dengan fontanella terbuka dan garis sutura cranial yang
mobile, tanda expanding mass mungkin tidak terlihat sampai timbul
dekompensasi yang cepat. Sehingga harus diterapi sebagai cedera kepala berat.
Vomiting, kejang dan amnesia sering terjadi pada anak setelah cedera kepala.
Selidiki anak yang mengalami vomiting persisten atau memburuk, atau kejang
yang berulang dengan CT scan kepala.
Obat-obatan yang sering digunakan pada cedera kepala anak a.l:
1. Fenobarbital 2-3 mg/kg
2. Diazepam 0,25 mg/kg, bolus Iv pelan
3. Fenitoin 15-20 mg/kg, diberikan pada 1mg/kg/menit sebagai loading dose,
kemudian 4-7 mg/kg/hari untuk maintenance
4. Mannitol 0,5-1,0g/kg (jarang diperlukan). Obat ini dapat memperburuk
hipovolemi dan harus diberikan hati-hati pada awal resusitasi pada anak
dengan cedera kepala.
Definisi
Rapid sequence Intubation (RSI) merupakan pemberian agen induksi potensial yang
secepatnya diikuti dengan rapidly acting neuromuscular blocking agent untuk
menginduksi penurunan kesadaran serta paralysis motorik untuk intubasi trakea pada
px dengan risiko aspirasi gastric. Asumsi pada RSI:
Pasien tidak berpuasa sebelum dilakukannya intubasi, sehingga merupakan
factor risiko terjadinya aspirasi.
Pasien tidak diketahui atau tidak pernah pernah diperiksa mengenai apakah
akan terdapat kesulitan dalam intubasinya.
Pemberian obat-obatan didahului dengan fase preoksigenasi (lihat pada ‘P’
yang kedua pada RSI untuk lebih detailnya) untuk memungkinkan
terlewatinya periode apneu dengan selamat selama pemberian obat-obatan dan
intubasi trakea tanpa memberikan bantuan ventilasi tambahan.
Gunakan tekanan pada krikoid atau Sellick’s manoeuvre untuk mencegah
aspirasi cairan gaster.
Indikasi
Keputusan intubasi berdasarkan 3 hasil pemeriksaan klinik yang fundamental :
1. Apakah ada kegagalan mempertahankan atau memproteksi jalan
nafas?
Catatan: jalan nafas yang adekuat dikonfirmasi dengan kemampuan px
untuk bicara/mengeluarkan suara. Kemungkinan adanya jalan nafas yang
inadekuat adalah ketidakmampuan px untuk mengeluarkan fonasi
sederhana, stridor, serta AMS. Gag reflex juga tidak sensitive atau spesifik
digunakan sebagai indicator hilangnya refleks proteksi jalan nafas.
2. Apakah ada kegagalan Ventilasi (cth status asmatikus) atau oksigenasi
(cth severe pulmonary oedema)?
3. Apa manifestasi klinik lain yang harus diantisipasi?
Px akan dapat mengalami deteriorasi dalam usaha nafas bila mengalami
multiple major injuries.
Jika laringoskopi tidak berhasil, pertimbangkan:
1. apakah posisi px optimal?
2. gunakan straight blade jika epiglottis panjang, terkulai, atau ‘in the way’
3. apakah petugas yang melakukan sellick’s manoeuvre menekan airway
keluar dari midline yang mengaburkan lapang pandang?
4. BURP (Backward, Upward, Rightward, Pressure) displacement dari laring
Manajemen
Ingat 7 Ps RSI.
Preparation (persiapan)
1. Px harus ditangani pada area resusitasi
2. Monitoring EKG, pulse oximetry, tanda vital tiap 5 menit.
3. Sediakan obat sedative dan obat paralyzing yang dapat dijangkau segera.
4. Persiapkan perlengkapan airway meliputi stylets, Mess berbagai ukuran,
orofaringeal airway atau cricothrotomy tray yang dapat dijangkau segera.
5. susun rencana alternative bila gagal melakukan intubasi.
6. harus memiliki asisten yang terampil.
7. Pasang setidaknya 2 jalur IV peripheral: Hartmann’s atau NS.
8. selalu antisipasi vomiting pada semua pasien trauma. Jika px muntah,
lakukan 3 manuver berikut ini :
a. lakukan suction segera dengan large bore yankauer sucker
b. putar pasien ke posisi lateral atau pada posisi recovery.
c. Letakkan px pada posisi trendelenburg (jika mungkin).
9. pemeriksaan pada ‘jalan nafas yang sulit’ harus dilakukan. Gunakan
‘LEMON law’ :
L Look externally (cth trauma maksilofasial, trauma penetrasi pada leher,
trauma tumpul leher, dan identifikasi kesulitan ventilasi seperti pasien
yang berjenggot, obesitas morbid, cachexia yang ekstrim, ‘edentulous
mouth dengan pipi yang cekung, struktur wajah yang abnormal).
E Evaluate ‘2-3 rule’ yakni paling tidak 2 jari pemeriksa dapat melewati
mulut atau Patil’s test (indikasi pembukaan mulut yang adekuat),
sedangkan 3 jari harus bisa ditempatkan antara tepi atas kartilago tiroid
dan tepi dalam mentum, yang merupakan jarak thyromental
(mengindikasikan bahwa lokasi laring pada leher cukup rendah untuk
dilakukannya akses melalui jalur oral).
M Mallampati Score (gambar 1) dan Grade dari laryngeal view (Gambar
2) untuk memprediksi kesulitan airway. Skor Mallampati (oropharyngeal
visualization) berkorelasi dengan laryngeal visualization.
Skor Mallampati :
Kelas I : pallatum molle, uvula, fauces, pillars terlihat : Tidak ada kesulitan
Kelas II: pallatum molle, uvula, fauces terlihat : Tidak ada kesulitan
Kelas III : Pallatum molle, basis uvula terlihat : kesulitan Moderate
Kelas IV : Hanya terlihat pallatum durum : Kesulitan Berat
Grade Laringeal view: Cormack-Lehane Laryngoscopic grading system
Grade 1: terlihat seluruh aperture glottis
Grade 2: hanya terlihat kartilago arytenoid atau bagian posterior aperture
glottis.
Grade 3 : Hanya terlihat epiglottis
Grade 4 : Hanya terlihat lidah dan palatum molle
Mallampati kelas I dan II berkaitan dengan superior laryngeal exposure
(laryngeal grade 1 dan 2) pada saat intubasi serta kegagalan intubation
yang rendah. Mallampati view kelas III dan IV berkaitan dengan poor
laryngeal visualization (laryngeal grade 3 dan 4) dan dengan angka
kegagalan intubasi yang tinggi. Pada ED, Assessment skor Mallampati
formal, sering tidak mungkin untuk dilakukan walaupun pemeriksaan
pasien pada posisi supine dengan tongue blade dapat bermanfaat.
O Obstruction (cth adanya benda asing pada jalan nafas, kerusakan
integritas jalan nafas).
N Neck Mobility : untuk keberhasilan ventilasi, leher px harus diposisikan
pada ‘sniffing morning air position’, yaitu fleksi pada cervical spine, dan
ekstensi pada atlanto-occipital joint. Terdapat penurunan mobilitas leher
pada px trauma yang diimmobilisasi serta px dengan systemic arthritis.
Preoksigenasi
1. Merupakan usaha untuk membuat ‘oxygen reservoir’ didalam paru dan
jaringan tubuh untuk memberikan waktu beberapa menit pada keadaan
apneu yang terjadi, tanpa arterial oxygen desaturation. Hal ini sangat
esensial pada prinsip ‘no bagging’ dalam RSI.
2. Pemberian oksigen 100% dengan non-rebreathing mask’ selama 5 menit
menggantikan nitrogen yang terdapat dalam udara ruang pada Functional
Residual Capacity (FRC) pada paru dengan oksigen, memberikan keadaan
apneu selama beberapa menit (pada dewasa sehat dengan BB 70kg, dan
waktu apneu sampai 8 menit) sebelum SpO2 < 90%.
3. Jika px tidak bisa dilakukan preoksigenasi selama 5 menit sebelum
mendapatkan obat paralitik, biarkan px untuk mendapatkan 3-5 vital
capacity breaths dalam rapid sequence dengan oksigen 100%.
Pretreatment
1. Merupakan tindakan pemberian obat-obatan (Tabel 1) untuk mengurangi
efek samping yang terkait dengan intubasi.
2. Diberikan 3 menit sebelum intubasi.
Paralysis dengan Induction (lihat tabel 2 untuk ringkasan obat induksi)
1. Merupakan langkah yang paling vital/penting
2. Agen induksi diberikan sebagai bolus cepat diikuti dengan bolus cepat
succinylcholine.
Protection dan positioning
1. Sellick’s maneuver atau aplikasi tekanan pada cricoid harus dilakukan
sejak awal secara cepat dimana pada saat observasi px menunjukkan
penurunan kesadaran.
2. pasien kemudian diposisikan untuk dilakukan laringoskopi.
Placement dan Proof
1. penempatan tube di dalam trakea harus dikonfirmasi menggunakan
monitoring end tidal CO2 dan teknik aspirasi seperti oesofageal detection
device.
2. Tekanan pada cricoid dilepaskan setelah ketepatan penempatan tube
dikonfirmasi dan endotracheal tube telah diamankan.
Postintubation management
1. Amankan endotracheal tube
2. Mulai ventilasi mekanik
3. Lakukan CXR untuk memastikan bahwa mainstem intubation tidak terjadi.
Cara lain yang dilakukan secara cepat adalah memastikan bahwa proximal
end dari Cuff ditempatkan pada 2-3 cm distal dari vocal cord atau dimana
black marking dari ETT telah ditempatkan.
Terapi Obat
Obat Induksi
Penting bagi px yang sadar ketika RSI dilakukan untuk mengurangi efek fisiologi dan
efek memori dari prosedur yang dilakukan terhadap diri px. (lihat ringkasan obat-
obatan induksi pada tabel 2).
Tabel 2: Ringkasan Obat-obatan Induksi
Obat Induksi Onset Pemulihan Keuntungan Kerugian Efek Penggunaan Khusus
(Dosis) Penuh Samping/peringatan
Thiopentone 15-30 detik 3-5 menit Serebroprotektif Depresi respirasi Hipotensi, asma, Cedera kepala dengan
Lansia : 2,5-3mg/kg sentral, porfiria intermittent peningkatan ICP
Dewasa : 3-4mg/kg Hipotensi, akut, variegate porfiria
Anak-anak : 5-6 histamine
mg /kg releasing
Etomidate 0,3mg/kg 15-30 detik 15-30 menit Serebroprotektif Nausea, vomiting, Merupakan obat induksi
(vena besar) stabilitas nyeri saat injeksi, dengan hemodinamik yang
hemodinamik gerakan mioklonik, paling stabil, cedera
hiccups kepala, px hipotensi
Ketamin 2mg/kg 15-30 detik 15-30 menit Pelepasan Peningkatan ICP Peningkatan ICP Px bronkospastik, px
katekolamin hipotensi tanpa cedera
Analgesic, kepala, instabilitas
amnestik hemodinamik karena
tamponade jantung atau
penyakit miokard.
Tabel 3 : Hipotensi pada Periode Post intubasi
Penyebab Deteksi Tindakan
Tension Peningkatan peak Thoracostomy immediate
pneumothorax inspiratory Pressure (PIP),
kesulitan Bagging,
penurunan suara nafas
Obat Paralyzing
Obat yang optimum memiliki onset yang cepat dan durasi yang pendek. Agen depolarizing lebih
superior daripada agent non-depolarizing untuk RSI.
Suksinil kolin : agen utama yang digunakan untuk paralysis emergency yang bertujuan
mengontrol jalan nafas. Efek samping yang signifikan:
1. Bradikardi (terutama pada anak dan px dengan preeksistensi bradikardi).
2. Peningkatan tekanan intraocular /intraoccular (kontraindikasi pada penetrating globe
trauma).
3. Peningkatan tekanan intragastrik (dapat mencetuskan emesis).
4. Hiperkalemi (terutama pada px dengan paralysis otot kronik, cth cerebrovascular
accident dan spinal cord injuries).
Catatan : peningkatan potassium plasma setelah pemberian suksinilkolin (biasanya < 0,5
mmol/l).
5. hiperkalemia pada px gagal ginjal kronik sebelum potassium serum diketahui.
Catatan : ada bukti terbaru yang menyebabkan suksinilkolin cukup aman pada
hiperkalemia, walaupun risiko akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar
potassium. Tindakan terbaik adalah menghindari penggunaan suksinilkolin pada px
dengan serum K+ > 6 mmol/l; rocurium merupakan alternative yang baik pada kasus
tersebut. Jika kadar K+ tidak diketahui dan EKG normal, penggunaan suksinilkolin dapat
dilakukan, walaupun px menderita ESRF. Suksinilkolin dieliminasi secara independent
terhadap renal secretion, suatu kondisi yang diinginkan dalam ESRF.
6. Fasikulasi : agravasi trauma musculoskeletal tambahan
7. jarang terjadi hipertermi malignan
Dosis suksinilkolin : 1,0-1,5mg/kgBB IV (2mg/kg pada anak).
Catatan : Rocuronium dipertimbangkan sebagai alternative untuk suksinilkolin karena
onset yang cepat sekitar 1 menit. Namun, memiliki durasi aksi yang lebih panjang
dibandingkan dengan suksinilkolin.
Rocuronium : non-depolarizing agent yang digunakan untuk mencegah fasikulasi otot
yang diinduksi suksinilkolin, atau untuk menghasilkan efek paralysis yang lebih panjang
selama prosedur, cth CT scan.
Dosis: 0,6mg/kgBB IV bolus sebelum suksinilkolin. Durasi kerja efektif adalah 20-45
menit.
Atracurium (Tracium) : non-depolarizing agent.
Dosis : 0,3-0,6mg/kg IV bolus. Kerugian obat ini adalah bahwa ia menyebabkan
pelepasan histamine; hati-hati pada px yang menderita asma.
Penempatan
Pasien yang menjalani RSI merupakan kandidat untuk masuk pada ICU atau langsung menuju ke
OT sesuai konsultasi yang telah dilakukan.
115. Cervical Spine Clearance
Caveats
X ray dari C-spine tidak dibutuhkan jika terdapat criteria sbb:
1. Pasien sadar, bangun dan tenang
2. tidak ada keluhan nyeri pada leher
3. tidak ada distracting injuries pada tubuh atau nyeri selama pemeriksaan
4. tidak ada nyeri tekan pada pemeriksaan Spine.
5. dapat menggerakkan leher kekanan dan kekiri serta melakukan fleksi dan ekstensi
tanpa nyeri
6. Tidak ada deficit neurologist
Jika memenuhi criteria diatas, banyak penelitian yang menyatakan bahwa pasien tidak
mengalami C-spine injury yang bermakna.
Pada px trauma yang lainnya, lakukan pemeriksaan:
1. Foto polos C-Spine
c. posisi AP
d. Posisi lateral atau swimmer’s view : basis oksiput sampai batas atas T1
harus terlihat
e. Open Mouth Odontoid View. Tidak mungkin dilakukan bila px tidak
kooperatif untuk melakukan foto dengan mulut terbuka. Posisi oblique
dari proscesus odontoid atau gambaran foramen magnum dapat diperiksa
untuk melihat densitas.
2. CT scan : diindikasikan sebagai pengganti foto polos C-spine pada area yang
mencurigakan atau area yang tidak adekuat untuk dilihat.
C-collar harus dipasang pada situasi sbb:
1. ada keraguan pada pemeriksaan foto polos
2. Adanya masalah pembedahan akut lain yang membutuhkan pengiriman pasien ke OT
yang mendesak sebelum pemeriksaan Spine selesai dilakukan.
3. koma, AMS dan pasien pediatric (yang terlalu muda untuk menyatakan keluhannya),
sampai mendapatkan evaluasi yang tepat oleh orthopaedics atau neurosurgeon.
Gambar 1 : Cervical Spine Clearance di ED
Periksa Pasien
Tidak
Apakah Px sadar,
bangun dan tenang ?
Ya
Periksa adanya deficit Neurologikal
Tidak
Defisit neurologik Lepaskan C-collar
Ya
Ya
Tidak
Ya Nyeri atau
Tidak perlu
Nyeri tekan
X-ray
positif?
Lepaskan C-Collar
Pemeriksaan Radiologis:
1. C-spine X ray
Wajib pada posisi lateral. Coba untuk menekan bahu kebawah untuk mendapatkan
paparan yang adekuat terhadap T1. lakukan swimmer’s view jika paparan tidak adekuat.
Posisi AP jika mungkin
Open mouth Odontoid view jika mungkin
2. C-Spine lateral view dimana px secara sukarela melakukan fleksi dan ekstensi dari lehernya
Dipertimbangkan bila screening 3 view C-spine normal, namun px mengeluhkan nyeri
leher yang bermakna.
Maneuver ini harus dilakukan dibawah pengawasan dokter yang berpengalaman.