Anda di halaman 1dari 208

1.

Altered Mental State

Caveats
Fokus perhatian utama dalam evaluasi ED pada pasien dengan Altered Mental State
(AMS) antara lain :
 Untuk menentukan penyebab reversibel yang mudah terjadi seperti hipoksemia,
hiperkarbi, hipoglikemi
 Untuk membedakan penyebab struktural dengan penyebab toksik metabolic dimana
penyebab yang pertama lebih memerlukan pemeriksaan pencitraan CNS secepatnya,
sedangkan penyebab yang kedua lebih mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan
laboratoris.
 Menentukan sistem skor yang sering digunakan menurut Glasgow Coma Scale untuk
mendefinisikan keadaan koma yang terjadi.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


 Selalu mempertimbangkan penyebab AMS yang reversible sehingga dapat segera
memberikan terapi awal, misalnya : hipoglikemi (pemberian minuman gula per oral atau
dextrose 50% iv), hipoksemia (pemberian Oksigen), Heat stroke/serangan panas (upaya
mendinginkan dan pemberian normal saline iv) sebelum merujuk pasien kepada ED
dengan menggunakan ambulan.
Manajemen :
Prioritas Awal :
 Lihat bagan 1 untuk mengetahui diagnosa banding penyebab Altered Mental State
 Pasien harus segera ditangani pada area gawat darurat
 Jika penyebab AMS yang reversibel telah dapat ditentukan, maka pasien dapat ditangani
pada area intermediate acuity.
 Kontrol jalan nafas/imobilisasi C spine
1. Buka jalan nafas dan cari adanya benda asing didalamnya
2. Masukkan oral atau nasofaringeal airway
3. Aplikasikan stiff collar atau imobilisasi manual jika tidak dapat menyingkirkan
riwayat adanya trauma.
4. Aplikasikan definitive airway jika pasien koma, intubasi dengan atau tanpa
rapid sequence intubation atau lakukan pembebasan jalan nafas secara pembedahan
misalnya dengan emergency krikotirotomi.
 Oksigenasi/ventilasi
1. Pemberian oksigen dengan aliran yang tinggi
2. Jika ada indikasi peningkatan tekanan intrakranial, maka usahakan sedikit
menurunkan hiperventilasi yang terjadi untuk mencapai PCO2 sebesar 30-35 mmHg.
Pada kasus bisaa, kadar PCO2 seharusnya berada pada kisaran 35-40 mmHg.
 Output jantung
1. Periksa adanya pulsasi, jika tidak ada maka mulailah CPR !
2. Perdarahan eksternal yang jelas terlihat harus dihentikan dengan penekanan
langsung.
 Periksa kadar gula darah kapiler
 Monitoring EKG, pulse oksimetri, tanda-tanda vital tiap 5-15 menit.
 Mulai pemberian infus intravena dengan tetesan kecil (kecuali terjadi hipoperfusi) dengan
menggunakan cairan kristaloid isotonic.
 Lab: FBC, ureum/elektrolit/kreatinin, BGA (cari adanya asidosis metabolic & hiperkarbia)
Catatan : keracunan CO2 biasanya langsung timbul pada keadaan distress respiratori,
biasanya keadaan tersebut muncul pada keadaan depresi respiratori. Perhatikan kalsium
serum, drug screen, serum etanol, kadar karboksihemoglobin, GXM.
 Jenis cairan yang digunakan pada keadaan AMS: pertimbangkan untuk menggunakannya
separuh atau seluruhnya
1. D50 W 40 ml iv jika pasien mengalami hipoglikemia, diikuti dengan infus 5 10 W
selama 3-4 jam.
2. Naloxon (Narcan) 0,8-2,0 mg iv bolus
3. Thiamine 100 mg iv bolus pada pasien dengan keracunan alcohol atau malnutrisi.
4. Flumazenil (Anexate) 0,5mg iv bolus
a.Dapat diulang setiap 5 menit jika diperlukan
b. Jangan digunakan berdasarkan perkiraan saja, harus ada riwayat OD. Jika
pasien telah mengkonsumsi antidepressant golongan siklik atau menggunakan
benzodiazepine dalam jangka lama, maka penggunaan Flumazenil dapat
mengakibatkan intractabel fits.
5. Foto C-spine dengan cross tabel lateral film jika riwayat trauma tidak dapat
disingkirkan.
Bagan 1. Bagan Pendekatan Diagnosa Banding Pada Keadaan AMS

Altered Mental State

Airway Cek SpO2


Breathing Berikan 02 100%
Circulation Periksa Nadi

Tanda-tanda vital/temperature
Monitoring EKG
Periksa kadar gula darah

Target anamnesa dan Pemeriksaan Fisik :


Adanya trauma kepala
Kekakuan pada leher
Laju nafas dan ukuran pupil
Tanda deficit neurologik fokal 1
Tanda kegagalan organ kronik

Penyebab Struktural Penyebab toksik/metabolik

Trauma kepala Non Trauma kepala Febris Afebris


Perdarahan intra Perdarahan abses serebral Keracunan
kranial intracerebral meningitis Over dosis obat : opioid, BZD,
Perdarahan Ensefalitis barbiturate, TCA, ketamin,
subarachnoid Malaria ekstasi
Stroke braintem serebral Alkohol
Stroke cerebellar Bakteremia Wernicke’s ensefalopati
Tumor cerebral Septisemia Karbonmonoksida
ISK pd lansia Metabolik
Heat Stroke Hipoglikemi, hipoperfusi serebral,
hiperkarbia, koma diabetikum,
hipotermi, dehidrasi,
Catatan : abnormalitas elektrolit & asam
Penyebab struktural biasanya akan mengakibatkan terjadinya tanda basa
deficit neurologik fokal, sedangkan penyebab toksik/metabolic tidak Kegagalan organ
ada. SAH biasanya tidak menunjukkan tanda deficit neurologik fokal. Uremia, hepatic, respirasi, kardiak
Pada SAH dan beberapa penyebab toksik/metabolic, dapat terjadi (jantung)
panas/demam. Post ictal state
Stupor psikogenik merupakan suatu keadaan disosiatif dimana pasien Psikiatrik
terlihat sangat sadar, namun tidak dapat membuat suatu gerakan Stupor psikogenik 2
spontan serta hanya sedikit merespon stimulus dari luar. Biasanya Demensia
terkait pada suatu kejadian yang bersifat “stressful” dengan onset
yang mendadak. Pasien yang sering mengalami “flickering”/kedipan
pada kelopak matanya merupakan diagnosa eksklusinya.
Tabel 1 : Petunjuk anamnesa dan pemeriksaan fisik yang mengacu pada penyebab AMS

Penyebab Non-struktural Penyebab Struktural


1. Ditemukannya wadah obat yang 1. Keluhan nyeri kepala sebelum 
kosong terjadinya AMS E
2. Riwayat medis : epilepsy, penyakit 2. Riwayat tumor otak
hati, diabetes 3. Trauma
3. Kemungkinan paparan CO 4. Adanya tanda neurologik fokal
4. Tidak adanya tanda neurologik fokal 5. Trauma kepala
5. Tanda asidosis metabolic
6. Tanda antikolinergik
valuasi klinik : fokusnya adalah membedakan penyebab AMS, yaitu struktural atau toksik-
metabolik (tabel 1)
 Riwayat anamnesa : cari petunjuk melalui heteroanamnesa kepada keluarga pasien, teman,
informasi lain dari petugas ambulan atau paramedic yang berada langsung pada tempat
kejadian.
 Pemeriksaan : pemeriksaan fisik eksternal singkat untuk mencari tanda kecacatan yang
terjadi pada berbagai proses penyakit. Pemeriksaan dari kepala hingga ujung kaki tetap
penting, namun lebih difokuskan pada pencarian gejala neurologik.

AMS yang dicurigai karena penyebab struktural :


 Berikan suplemen Oksigen untuk mempertahankan SpO2 pada kisaran 95%
 Mulai pemberian infus dengan aliran lambat
 Lakukan CT scan kepala
 Turunkan tekanan intracranial jika ada indikasi
1. kontrol ventilasi : kerjakan dengan lebih cepat.
2. Mannitol iv bermanfaat dilakukan dengan konsultasi pada bagian bedah saraf.
Dosis 1g/kgBB. BB x 5 mls/KgBB dengan menggunakan larutan manitol 20%.
3. penggunaan steroid masih diperdebatkan.

AMS yang dicurigai karena penyebab toksik-metabolik


 Lakukan Gastric Lavage; dilakukan dengan tetap melindungi airway
 Gunakan bahan arang aktif pada kasus yang dicurigai overdosis obat. Lihat BAB
Prinsip Penanganan Umum Keracunan.
 Periksa temperature rectum dan pertimbangkan adanya heat stroke jika temperature
> 40oC dan mengkonsumsi antikolinergik.
 Jika ada kecurigaan meningitis, pertimbangkan pungsi lumbal lebih dini (setelah CT
scan kepala). Mulai pemberian antibiotik berdasarkan data empiris sebelum
melakukan tes serta konsul pada bagian neurologi. Rujuk kepada keadaan
meningitis.

Disposition
 MRS-kan seluruh pasien AMS. Masukkan pasien yang diintubasi atau dengan keadaan
hemodinamik yang tidak stabil ke dalam ICU.

2. Perdarahan GIT
Caveats
 Manajemen penting pada perdarahan GIT yaitu dapat :
1. Identifikasi adanya syok dan resusitasi.
2. Identifikasi penyebab potensial perdarahan dan usahakan mengembalikan keadaan
yang terjadi (misalnya dengan pemberian antikoagulasi).
3. Identifikasi keadaan fisiologis lain yang terjadi akibat syok (iskemik jantung, renal
compromised atau anemia simptomatik yang membutuhkan transfuse darah).
 Selalu waspada terhadap terjadinya aneurisme aorta yang manifestasinya mirip
dengan perdarahan GIT.
 Selalu lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan apakah frank melena
terjadi atau adanya perdarahan local pada area anal kanal/perianal.
 Melena yang terjadi akibat terapi dengan Fe akan berwarna hijau/hitam.
 Penyebab umum perdarahan GIT antara lain:
1. Ulkus peptikum
2. erosi gastric
3. varises GIT bagian atas
4. hemoroid pada GIT bagian bawah
5. malignansi
Tips Khusus Untuk Dokter Umum :
 Periksa adanya syok (takikardi dan atau hipotensi) jika ada, hubungi ambulan dan kirim ke
ED terdekat. Pasang iv line dengan infus NS.
 Jika terdapat muntah darah dan pasien tetap sadar, tempatkan pada posisi recovery serta
pasang iv line.
 Periksa abdomen untuk mencari adanya nyeri tekan serta lakukan RT untuk
mengkonfirmasi adanya melena.
 Cari adanya riwayat penyalahgunaan alcohol atau terapi antikoagulan.
 Selalu periksa pulsasi abdomen dan pikirkan kemungkinan aneurisme aorta.
 Tanyakan pasien mengenai penggunaan NSAID dan obat cina tradisional. (Traditional
Chinese Medicine = TCM).
 Sarankan pasien untuk tetap NBM.

Manajemen
Perawatan suportif
A. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
 pasien harus ditempatkan pada area critical care
 pertahankan airway. Pertimbangkan intubasi jika hematemesis terjadi berlebihan
dan pasien tidak dapat mempertahankan jalan nafasnya sendiri, misalnya pada
keadaan depresi mental akibat CVA.
 Berikan O2 aliran tinggi untuk mempertahankan SpO2 >94%.
 Monitoring EKG, tanda vital tiap 5 menit, pule oksimetri.
 Lakukan pemerikasaan EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya disritmia
kardiak.
 Pasang 2 atau lebih iv line perifer dengan jarum yang besar (14/16G).
 Lab :
1. GXM paling tidak 4 unit.
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
3. Lakukan tes fungsi hati jika pasien mengalami jaundice
4. Periksa enzim jantung jika ada indikasi iskemik/injury miokard pada
EKG.
 Infus 1 liter NS secara cepat dan periksa kembali parameter. Lakukan transfusi
darah jika tidak ada perbaikan dengan pemberian fluid challenge.
 Masukkan NGT untuk tujuan drainase dan kepentingan diagnostic (serta untuk
mencegah terjadinya aspirasi jika terjadi muntah/vomit) jangan masukkan NGT
jika ada kecurigaan varises esophagus.
 Pasang kateter untuk monitoring output urin.
Catatan : Peran dari Omeprazole (Proton-pump Inhibitor). Bukti terbaru
menyebutkan bahwa ada beberapa keuntungan dalam menurunkan perdarahan yang
terjadi dalam jangka pendek (meningkatkan pH lambung, memungkinkan terjadinya
kondisi yang mendukung terbentuknya clot) namun, penelitian yang lebih lanjut
diperlukan untuk mengetahui efek mortalitas dan morbiditasnya. Berikan omeprazole
40 mg secara iv.
B. Pasien dengan hemodinamik normal
 Pasien dapat ditangani pada area intermediate care walaupun harus tetap diingat
bahwa pasien dapat mengalami dekompensasi setelah evaluasi yang pertama
karena kehilangan darah yang terus menerus.
 Berikan oksigen untuk mempertahankan SpO2 >94%.
 Monitoring tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri. Pasang iv line paling
tidak 1 buah dengan jarum 14/16G.
 Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead.
 Lab :
1. GXM 2 unit.
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
3. Lakukan tes fungsi hati jika pasien mengalami jaundice, atau
menunjukkan tanda penyakit liver kronis.
4. Periksa enzim jantung jika ada indikasi iskemik/injury miokard pada
EKG.
 Mulai pemberian infus salin 500ml selama 1-2 jam.
 Pasang NGT dengan tujuan drainase dan kepentingan diagnostik (serta untuk
mencegah terjadinya aspirasi jika terjadi muntah/vomit).
 Berikan omeprazole 40 mg secara iv.
 Pindahkan pasien ke area critical care jika terjadi ketidakstabilan kondisi.
Pemeriksaan Spesifik
 Cari adanya luka bekas operasi aneurisma aorta abdominalis sebelumnya; perdarahan
GIT yang terjadi mungkin akibat adanya fistula aortoenterik. Jika kecurigaan terbukti
ada, maka konsulkan pada bagian bedah umum dan TKV.
 Jika ada kecurigaan varises esophagus pertimbangkan penggunaan somatostatin 250µg
bolus iv, kemudian diikuti dengan infus iv 250 µg/jam (sukses diberikan pada 85-90%
pasien). Jika somatostatin tidak berhasil menghentikan perdarahan, serta ada risiko
sebelum endoskopi dapat dilakukan, maka insersi Sengstaken-Blakemore tube dapat
dipertimbangkan. Insersi alat ini hanya dapat dilakukan oleh operator yang
berpengalaman.

Disposition/penempatan
 Konsultasi MRS pada bagian bedah umum atau bagian Gastroenterologi tergantung
pada kebijakan tiap institusi.
3. Perdarahan per-Vaginam Abnormal
Caveats
 Riwayat anamnesa yang teliti sangatlah penting untuk assessment perdarahan vaginal
yang abnormal. Harus meliputi riwayat menstruasi yang lengkap (termasuk HPHT),
riwayat medis dan obat-obatan, riwayat obstetric dan riwayat seksual (termasuk
penggunaan kontrasepsi pengatur kelahiran). Adanya gejala nyeri, lokasinya,
durasinya, onset dan tingkat keparahan juga harus diperiksa.
 Kehamilan harus dieksklusi pada pasien usia subur.
 Juga penting untuk mengeksklusi perdarahan yang terjadi diluar vagina, misalnya
perdarahan saluran kemih atau dari usus besar.
 Lihat tabel 1 untuk mengetahui penyebab perdarahan per vaginam abnormal yang
bersifat emergency
 Lihat tabel 2 untuk mengetahui penyebab penting lain yang mengancam nyawa namun
tidak segera/immediate
Tabel 1 : Penyebab Perdarahan Pervaginal Abnormal yang Bersifat Emergency
1. Kehamilan Ektopik
2. Abortus inkomplit (mungkin juga septic) dan abortus inevitabel
3. Plasenta previa
4. Abruptio plasenta
5. Perdarahan post partum (1-5 merupakan komplikasi kehamilan)
6. Trauma vagina
7. Menorrhagi pada pasien yang tidak hamil
8. Perdarahan dari tumor pada traktus genitalis bagian bawah (misalnya carcinoma
cervix atau endometrial)

Tips khusus Untuk Dokter Umum


 Kehamilan harus dapat dieksklusi pada pasien yang berusia subur.
 Rujuk semua pasien dengan perdarahan pada kehamilan pada ED. Sebuah
pengecualian yaitu pada pasien dengan abortus iminen namun tidak ada nyeri, serta
dimana viabilitas fetal dapat diperiksa/diketahui.

Tabel 2 : Penyebab Penting Perdarahan Vaginal yang Abnormal Serta Mengancam


Nyawa namun tidak Immediate/segera
1. Terkait Kehamilan
 Abortus imminent (Threatened miscarriage)
 Missed abortion
 Gestational trophoblastic disease (jarang terjadi)
 Show (dapat terjadi pada kehamilan normal sebelum persalinan)
 Lochia (timbul normalnya setelah persalinan)
2. Tidak terkait Kehamilan
 Perdarahan pada gadis pre-pubertas
 Perdarahan vaginal irregular
 Perdarahan vaginal yang memanjang (prolonged)
 Perdarahan post coital
 Perdarahan intermenstrual
 Perdarahan post menopause
Manajemen
 Pastikan stabilitas tanda vital. Infus intra vena untuk menggantikan volume yang hilang
harus segera dilakukan jika pasien tidak stabil. Bahan specimen untuk pemeriksaan FBC,
GXM dan kehamilan harus didapatkan.
 Jika terdapat perdarahan yang berat, berikan suplementasi oksigen, monitoring pulse
oksimetri, dan blood pressure.
 Jumlah perdarahan dapat diperkirakan dari riwayat anamnesa serta memeriksa
kain/pakaian yang digunakan.
 Resusitasi umum harus dilakukan sementara menunggu pemeriksaan dari para spesialis.
 Pasien dengan perdarahan pada awal kehamilan harus diperiksa dengan USG untuk
mengetahui viabilitas fetal dan lokalisasinya. Namun, apabila ada tanda-tanda perdarahan
intrabadomen (misalnya rupture kehamilan ektopik), diindikasikan untuk melakukan
resusitasi diikuti dengan pembedahan segera. Lihat BAB kehamilan ektopik untuk lebih
detailnya.
 Pada pasien yang hamil dimana uterusnya teraba melalui abdomen, Doptone dapat
dilakukan untuk mengetahui viabilitas fetal.
 Pasien dengan perdarahan antepartum harus dirujuk segera pada kamar bersalin.
Pemeriksaan koagulasi harus dilakukan. Namun kadangkala sulit untuk membedakan
show dengan perdarahan antepartum. Jika meragukan pasien harus dikirim ke kamar
bersalin. Perdarahan Pervaginam Abnormal

Hamil Tidak Hamil

Hemodinamik Hemodinamik Hemodinamik Hemodinamik stabil


tidak stabil stabil tidak stabil

Resusitasi Rujuk ke OBG Resusitasi Berikan progesterone 50-200mg im


Cek Hb

Rujuk ke OBG Butuh pelvic


dan Bedah TKV scan 1. Hb<8mg% 1. Hb N atau
2. Perdarahan > 8mg%
terus berlangsung 2. Perdarahan
setelah pemberian berhenti 1-2 jam
progesterone im setelah
pemberian
progesterone im

Rujuk ke OBG
untuk MRS KRS dengan :
 Kontrol pada poli spesialis OBG
dalam 2 hari
Gambar 1. Rencana Manajemen Pada  Norethisterone 5 mg 2 x/hari –
perdarahan Per Vaginam Abnormal 10mg 3x/hari
 Suplemen zat besi dan folat jika
5. Breathlessness (Henti Nafas),
anemisAkut
Caveats
 Ketika menghadapi pasien yang menderita henti nafas yang akut, selalu
pertimbangkan penyebab yang dapat diatasi segera (dalam beberapa detik atau menit).
1. Obstruksi jalan nafas atas akut : dengan Heimlich maneuver atau Magill’s forceps
2. Tension pneumothorax akut : thoracostomy dengan jarum, diikuti dengan insersi
chest tube.
3. Gagal nafas akut : intubasi endotrakeal.
 Penyebab umum henti nafas tertera pada tabel 1
 Ingat bahwa hiperventilasi psikogenik merupakan diagnosa eksklusi.
 Secara umum, sangatlah bermanfaat untuk membagi penyebab henti nafas yaitu pasien
tanpa kelainan paru (istilah hiperventilasi) atau pasien dengan kelainan paru.
 Ingat bahwa tidak semua pasien wheezing menderita asma atau cold..!
 Pertimbangkan diagnosis dari kondisi lain seperti asma kardiak, anafilaksis, dan
aspirasi.
 Lihat tanda dan gejala gagal jantung, misalnya orthopneu, edema pedis dan
peningkatan tekanan vena jugularis, untuk membedakan asma kardiak dengan asma
respiratori.
 Tidak semua pasien takipneu dengan krepitasi menyeluruh disebabkan oleh edema
pulmonary. Mungkin pasien mengalami pneumonia atau bronkiektasis.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


 Berikan oksigen dan akses intravena pada pasien henti nafas yang harus dirujuk ke
ED.
 Kirim pasien dengan ambulan jika ada kecurigaan keadaan patologis yang serius.
Tabel 1 : Penyebab Umum Henti nafas akut
Kardiak Acute Pulmonary Edema Lihat bab Pulmonary oedema, Cardiogenic
Gagal jantung Lihat bab Gagal jantung
Cardiac tamponade
Respiratori Asma berat atau Chronic Obstructive Lihat bab Asma dan Chronic Obstructive Lung
Airway Disease Disease
Chest infection Lihat bab pneumonia
Pulmonary embolism Lihat bab pulmonary embolism
Pneumothorax : tension dan simple Lihat bab pneumothorax
Efusi pleura
Trauma dada, misalnya : tension Lihat bab trauma, dada
pneumothorax, hemothorax, kontusio
pulmonal, flail chest
Aspirasi, termasuk obstruksi benda
asing akut
Keadaan nyaris tenggelam Lihat bab keadaan nyaris tenggelam
Lainnya Kompensasi respiratori pada asidosis
metabolic karena DKA, uremia
Keracunan, misalnya keracunan salisilat Lihat bab Keracunan, salisilat
Adult respiratory distress syndrome
Demam Lihat bab demam
Anafilaksis Lihat bab reaksi alergi/anafilaksis
Hyperventilation syndrome Lihat bab hiperventilasi
Manajemen
 Gunakan pendekatan ABC dan resusitasi secepatnya: kebanyakan pasien dispneu akan
membutuhkan evaluasi pada area intermediate atau area high acuity.
 Anamnesa yang baik akan membantu menentukan diagnosis. Misalnya factor yang
menyebabkan eksaserbasi atau factor yang memperingan, juga gejala apa saja yang
terkait, akan sangat membantu. Mungkin saja tidak didapatkan adanya riwayat
terpapar allergen atau racun, namun tetap saja pertimbangkan kemungkinan
anafilaksis dan keracunan.
 Selalu aplikasikan pulse oksimetri dan monitoring laju nafas.
 Pemeriksaan dapat dipandu dengan anamnesa serta dapat meliputi EKG, FBC, BGS,
GDA dan CXR.
 Penempatan pasien tergantung pada diagnosis dan keadaan klinis pasien.
1. Pasien dengan gagal jantung ringan bukan disebabkan oleh infark miokard dan
secara klinis masih merasa nyaman tanpa adanya takikardi atau bukti adanya
edema pulmonal pada CXR dapat ditangani dan dirujuk ke spesialis jantung
sebagai pasien rawat jalan. Lihat bab Gagal Jantung.
2. pasien dengan hyperventilation syndrome mungkin memerlukan bantuan pekerja
social medis atau dirujuk pada psikiatrik, terutama jika terjadi berulang kali. Lihat
bab hiperventilasi.
 Mulai terapi sesuai penyebab henti nafas akut yang telah teridentifikasi.

14. Demam (Fever)


Caveats
 Demam dapat disebabkan oleh banyak penyebab yang bervariasi mulai dari sakit
ringan, akibat infeksi virus yang bersifat self limiting hingga septisemia sistemik.
 Sangatlah penting untuk mengidentifikasi dan menangani pasien febrisdengan
penyebab infeksi, terutama pasien anak dan lansia, dimana demam dapat merupakan
gejala satu-satunya dari severe sepsis.
 Terapi pasien febris yang tidak stabil dengan sepsis berat meliputi maintenance
oksigenasi yang adekuat serta perfusi organ, mendapatkan specimen untuk kultur serta
mulai pemberian terapi antibiotik sesuai data empiris.
 Pertimbangkan kemungkinan meningococcaemia pada pasien febris dengan purpuric
rash.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


 Penting untuk mengidentifikasi febrile septic patiens dengan atau tanpa lokasi sumber
sepsis yang jelas kemudian rujuk pada RS secepatnya.
 Antibiotik tidak diberikan sembarangan pada kasus non specific viral fever atau
infeksi saluran nafas bagian atas
 Berikan penisilin 4 mega unit iv pada seluruh pasien dengan suspek meningococcemia
sebelum merujuk pasien ke RS dengan ambulan.
 Manifestasi klinik pada pasien geriatric biasanya tidak spesifik, misalnya adanya
kelemahan umum, kebingungan dan letargi. Demam ditemukan pada 50% kasus
sepsis pada lansia.

Pemeriksaan
 Anamnesa melputi berat dan lamanya demam, tanda dan gejala local, penyakit lain
yang menyertai, riwayat melakukan perjalanan, riwayat imunisasi, riwayat kontak,
riwayat pengobatan, alergi, penyalahgunaan obat atau alkohol.
Catatan : jika terdapat riwayat perjalanan maka daerah tujuan sangat penting untuk
diketahui karena ada penyekit tertentu terkait dengan daerah tertentu, misalnya di
Thailand, malaria falsiparum sudah resisten terhadap berbagai obat-obatan.

 Pemeriksaan Fisik harus meliputi :


1. AMS : mengantuk dan letargi mungkin merupakan indicator tunggal pada sepsis
berat pada pasien pediatric dan geriatric.
2. Kaku leher
3. Rash : bervariasi mulai dari makulopapular yang disebabkan oleh eksantema viral,
cacar atau rubella, ptechiae yang disebabkan oleh DHF sampai purpura yang
disebabkan oleh disseminated meningococcaemia.
4. Lonjungtivitis, jaundice, tanda otitis eksterna atau media
5. Faringitis, tonsillitis dan sinusitis.
6. Periksa krepitasi pada paru yang mengindikasikan pneumonia atau pada
pericardial rub, atau adanya murmur kardiak untuk mengindikasikan
mioperikarditis atau endokarditis bacterial.
7. Nyeri tekan pada perut mengindikasikan adanya peritonitis, apendisitis,
kolesistitis, hepatitis atau divertikulitis.
8. Dysuri, frekuensi atau urgensi mengindikasikan adanya UTI
9. Selulitis, deep venous thrombosis pada ekstremitas bawah atau vena pelvic atau
adanya ulkus dekubitus terinfeksi.

Manajemen
 Manajemen pasien febris tergantung pada keadaan pasien apakah pasien stabil dengan
penyakit ringan yang bersifat self-limiting atau tidak stabil dengan penyebab potensial
untuk menyebabkan kematian.

Pada pasien Febris yang Stabil


 adalah secara hemodinamik stabil, sadar penuh dan secara klinis non-toksik
 dapat mentolerir demam yang terjadi tanpa adanya dekompensasi
 tidak ada underlying disease yang serius
 pemeriksaan fisik didapatkan normal
 kemungkinan mengalami infeksi viral saluran nafas atau demam akibat virus non
spesifik jika demam yang terjadi kurang dari 1 minggu.
 Meliputi pasien dengan demam dan rash yang mengindikasikan adanya measles,
varicella, rubella atau infeksi mononucleosis.

Pada Pasien Febris yang Tidak Stabil


 Jika ada hipotensi, dengan AMS, pasien berada dalam keadaaan syok septi atau toksis
secara klinis.
 Demam memanjang lebih dari 1 minggu tanpa adanya respon terhadap terapi.
 Demam dengan penyebab local yang serius misalnya meningitis atau apendisitis
 Terdapat underlying disease yang serius seperti diabetes atau sedang dalam keadaan
immunocompromised akibat kemoterapi kanker atau terapi steroid jangka lama.
 Termasuk pasien dengan rash yang mengindikasikan DHF atau disseminated
meningococcaemia atau malaria (tanpa rash).

Pemeriksaan penunjang (Biasanya tidak diperlukan pada pasien febris yang stabil)
 FBC : termasuk hitung lekosit total, diff count, hitung netrofil absolute, trombosit.
 Cek GDA untuk mengetahui adanya komplikasi hiperglikemi seperti KAD, terutama
pada seluruh pasien febris toksik, bahkan pada pasien tanpa riwayat diabetes
sebelumnya.
 Urine dipstick dan kultur
 Blood film untuk mencari parasit malaria
 Kultur darah
 CXR

Penatalaksanaan
 Jika pasien dalam keadaan syok septic, lihat bab Sepsis/septic shock
 Terapi simtomatis dengan antipiretik, seperti paracetamol 1g tiap 6 jam atau
pemberian NSAID seperti diklofenac (Voltaren) atau ibuprofen.
Catatan : Diklofenak (Voltaren), meskipun secara umum dapat digunakan sebagai
antipiretik, namun tidak diindikasikan untuk mengatasi gejala demam yang timbul secara
tunggal.
 Antibiotik empiris (Ceftriaxone 1 g iv) harus diberikan pada pasien sepsis setelah
memperoleh specimen untuk pemeriksaan kultur darah.
 Pada pasien dengan sepsis neutropeni, Ceftazidime 1 g dengan 1-1,5mg/kgBB
Gentamycin harus diberikan pada pasien. Lihat bab Oncology Emergencies
 Untuk sepsis intraabdominal, ampicillin iv 500mg bersama dengan gentamycin
80mg iv dan metronidazole 500mg iv atau Ceftriaxone 1 g dengan metronidazole
500mg harus mulai diberikan.

Penempatan
 MRS-kan pasien febris yang tidak stabil pada medical department (High Dependency
Unit atau ICU)
 Jika ada sepsis netropenik, MRS kan pada bagian High Dependency Oncology Ward.
 Jika berpotensi untuk dilakukan operasi akibat sepsis intraabdominal, masukkan pada
bagian Bedah.
 Rujuk pasien yang dicurigai menderita Dengue Fever pada Medical SOC untuk FBC
ulang. Lihat Bab Dengue fever.
16. Haemoptysis

Definisi
 Haemoptysis didefinisikan sebagai pengeluaran/batuk darah atau sputum yang
mengandung darah yang berasal dari bagian bawah vocal cord atau yang telah
teraspirasi ke dalam tracheobronchial tree.
 Haemoptysis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Ringan : darah kurang dari 5 ml dalam 24 jam.
2. Massif : 50 ml pada setiap kali usaha pengeluaran/batuk atau lebih dari 600ml
darah dalam 24 jam. Ini terjadi pada 5% dari seluruh kasus Haemoptysis.
Caveats
 Haemoptysis dapat dikaburkan dengan hematemesis (tabel 1).
 Pemeriksaan fisik digunakan untuk menentukan keparahan Haemoptysis namun tidak
dapat menetukan lokasi perdarahannya.
 Pencarian deep vein thrombosis pada ekstremitas bawah diindikasikan untuk
mengetahui adanya pulmonary embolism sebagai salah satu penyebab Haemoptysis.
(tabel 2)
 Haemoptysis massif dapat mengancam nyawa karena ancaman asfiksia, daripada
exsanguination. Sedikitnya 150ml darah dapat menyebabkan sufokasi.
 Perdarahan yang sampai berakibat pada distress respiratori dan perubahan pertukaran
gas akan mengancam nyawa, tidak bergantung pada jumlah darah yang dikeluarkan.
 Penyebab umum Haemoptysis ringan adalah URTI.

Tabel 1 : Poin Pembeda Haemoptysis dengan Hematemesis


Poin Pembeda Haemoptysis Hematemesis
Adanya Riwayat Batuk Gejala GIT
Warna sputum Merah terang Merah tua
pH Alkalis Asidik
Karakter berbusa Halus tidak berbusa

Tabel 2 : Penyebab Umum Haemoptysis


Respiratori Bronchitis
Tuberkulosis
Carsinoma paru
Bronkiektasis
Aspirasi darah dari epistaksis
Sinusitis
Kardiovaskular Pulmonary oedema
Pulmonary embolism
Mitral stenosis
Aorto-bronchial fistula
Kelainan Koagulasi Bleeding dyscrasias (congenital atau didapat)
Lain-lain Aspirasi benda asing
Protracted coughing

Tips khusus bagi Dokter Umum :


 Disarankan untuk merujuk kasus Haemoptysis kecuali CXR dapat dilakukan di klinik.
 Insersikan 2 buah kanul intravena ukuran besar sebelum merujuk pasien dengan
Haemoptysis massif.
Manajemen Haemoptysis Masif
 Transfer pasien pada area resusitasi
 Lindungi airway dan berikan oksigen. Pasien dengan kesadaran yang berkurang atau
berisiko untuk mengalami asfiksia harus diintubasi.
 Pasang 2 jalur iv ukuran besar dan lakukan resusitasi cairan.
 Lab :
1. FBC
2. urea/elektrolit/kreatinin
3. profil koagulasi
4. GXM 4-6 unit darah
5. BGA
 CXR disarankan pada pasien Haemoptysis.
 Pasien dengan Haemoptysis yang berasal dari satu paru (jika diketahui) harus
diposisikan agar tidak mengenai paru kontralateralnya.
 Disposition/penempatan :
1. Pasien dengan Haemoptysis ringan dapat dipulangkan untuk istirahat dan
diberikan obat yang mensupresi batuk.
2. Rujuk pada spesialis paru pada polikliniknya untuk follow up dini kecuali terdapat
penyebab lain seperti sinusitis atau epistaksis yang harus dirujuk pada spesialis
THT.
3. Pertimbangkan MRS pada seluruh pasien lainnya. Pasien dengan Haemoptysis
massif membutuhkan perawatan pada ICU.
17. Sakit Kepala (Headache)

Caveats
 Penyebab sakit kepala yang berpotensi mengancam nyawa dan penglihatan antara
lain :
1. SAH (Subarachnoid Haemorrhage): pasien datang dengan sakit kepala yang
onsetnya tiba-tiba, sering terkait dengan nausea, vomiting, penurunan kesadaran
(yang dapat terjadi secara singkat) serta kaku kuduk, lihat bab Subarachnoid
Haemorrhage.
2. Meningoencefalitis : pasien biasanya febris dan mengantuk dengan tanda-tanda
meningeal.
3. Space-occupying atau lesi massa (abses otak, tumor otak): sakit kepala kadang
memburuk pada pagi hari dan bertambah dengan adanya valsava maneuver dan
batuk. Pasien sering memiliki gejala neurologik fokal atau kejang.
4. Arteritis temporalis : pasien biasanya wanita, usia lebih dari 50 th dan sering
muncul dengan sakit kepala berdenyut yang keras, rasa terbakar dan unilateral.
Ada nyeri tekan pada arteri temporal ipsilateral. Lihat bab Temporal Arteritis.
5. Glaukoma : Sakit kepala biasanya terdapat didalam dan di sekitar bola mata.
Terdapat injeksi atau kemerahan pada mata, terdapat edema kornea dan dilatasi
ringan pupil. Lihat bab Blurring of Vision, Acute.
 Perhatikan pasien yang datang dengan keluhan sakit kepala berat untuk pertama
kalinya atau dengan perubahan kualitas dan intensitas sakit kepala yang berbeda
dengan sakit kepala sebelumnya.
 Hipertensi merupakan suatu keadaan yang sering dikaitkan sebagai penyebab sakit
kepala. Jangan menyimpulkan peningkatan tekanan darah yang terjadi sebagai
penyebab sakit kepala kecuali tekanan diastolic melebihi 130 mmHg.
 Seluruh pasien dengan riwayat kecemasan/worrisome membutuhkan pemeriksaan
lanjutan dengan CT scan kepala, dan jika negative dapat dilakukan pungsi lumbal
untuk menyingkirkan adanya SAH.

Tips Khusus bagi Dokter Umum :


 Jangan mendiagnosa migren jika episode pertama sakit kepala hebat terjadi di atas usia
50 th.
 Jangan memberikan opioid parenteral pada pasien dengan sakit kepala karena efek
mengantuk yang dihasilkan akan memberikan kesulitan dalam penilaian status
neurologik.

Manifestasi yang penting/esensial sebagai Fokus Pemeriksaan Fisik


 Tanda Vital (terutama temperature tubuh dan tekanan darah)
 Fundi
 Pupil, lapang pandang, wajah dan ekstremitas untuk mencari kelaianan neurologik.
 Gait (cara berjalan)

Manajemen
 Pasien dengan tanda vital dan tingkat kesadaran yang abnormal harus ditangani pada
area critical care.
 Pasien dengan tanda vital normal dapat ditangani pada area intermediate.
 Monitoring EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri.
 Pasang jalur intra vena perifer pada ‘keep open’ rate.
 Lihat bab Manajemen Nyeri untuk mengurangi gejala sakit kepala yang ada.
 Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, GXM 2 unit, ESR (jika
mencurigai adanya arteritis temporalis).
 EKG, CXR.

Indikasi Pemeriksaan CT scan Kepala


 Onset Sakit kepala pada serangan pertama atau serangan hebat yang bersifat akut.
 Peningkatan frekuensi dan keparahan sakit kepala.
 Sakit kepala dengan onset pertama kali di atas usia 50 th.
 Sakit kepala dengan onset pertama kali disertai dengan riwayat kanker atau
immunodefisiensi.
 Sakit kepala dengan perubahan status mental.
 Sakit kepala dengan demam, kaku kuduk, dan tanda meningeal.
 Sakit kepala dengan deficit neurologik fokal jika sebelumnya tidak memiliki riwayat
migren dengan aura.

Penempatan
MRS dengan ketentuan :
 Seluruh penyebab sakit kepala yang dapat mengancam nyawa dan penglihatan
 “Sakit Kepala migren” yang tidak berespon terhadap analgesic opioid.
 Sakit kepala migren onset baru dengan komplikasi.
 Sakit kepala yang membutuhkan CT scan kepala.
KRS kan pasien sakit kepala yang dapat diatasi dengan analgesik dan rujuk pada poliklinik
neurology untuk follow up kecuali sakit kepala yang terjadi diakibatkan oleh demam atau
tension headache.
18. Hiperventilasi

Caveats
 Walaupun sering terjadi dan bersifat benign, serangan hiperventilasi (HA)/serangan panic
merupakan diagnosis eksklusi yang dapat dicapai secara principal pada anamnesa dan
pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan yang ekstensif.
 Episode typical terkait dengan kejadian pencetus yang bersifat stressful dengan riwayat
kekambuhan yang serupa.
 Gejala umum lain yang terkait meliputi kekakuan dan atau kram pada tangan dan kaki,
tingling/perasaan geli pada daerah perioral, kepeningan yang non-spesifik, kesesakan pada
dada, sensasi sufokasi dan perasaan nyaris sinkope.
 Jangan mendiagnosa pasien dengan HA jika hasil SpO2 pada udara ruangan dibawah 97%.
 Tabel 1 menunjukkan Diagnosa banding dari Hiperventilasi

Tabel 1 Diagnosa Banding Hiperventilasi


1. Sistem Respirasi  Asma berat (dengan silent Chest)
 Pulmonary embolism
 Tension pneumothorax
 Primary pulmonary hypertension
2. Sistem Kardiovaskular  Kardiak tamponade
3. Penyebab metabolik  KAD
 Gagal ginjal kronik
 Asidosis laktat dari sepsis berat atau syok
dengan berbagai penyebab
 Keracunan terutama oleh salisilat
4. Sistem Neurologik  Central Neurogenic hyperventilation
5. Sistem gastrointestinal  Distensi abdomen dengan berbagai penyebab
disertai dengan splinting diafragma
6. Hyperventilation attack/panic
attack

Tips Khusus bagi Dokter umum :


 Penting untuk mengeksklusi kondisi medis serius lain seperti asidosis metabolik,
misal diabetic ketoasidosis, sebelum mendiagnosa HA.
Manajemen
 Pasien harus ditangani pada area intermediate. Namun bila terdapat keadaan AMS atau
terdapat instabilitas hemodinamik, maka pasien kemungkinan besar tidak mengalami
HA, tetapi ada proses penyaklit lain yang lebih serius yang membutuhkan penanganan
pada area critical care.
 Lakukan pemeriksaan SpO2 pada tiap pasien sebelum mendiagnosa HA.
 Berikan terapi untuk menyamankan perasaan pasien.
 Anjurkan untuk malakukan teknik bernafas yang baik.
Catatan : Rebreathing ke dalam sebuah kantong telah dinyatakan berbahaya karena dapat
menyebabkan hipoksemia, serta tidak efektif dalam meningkatkan kadar PCO 2 pada level
yang signifikan.
 Monitoring : sebagian besar kasus hanya membutuhkan monitoring pulse oksimetri.
Catatan : Pasien dengan HA yang sebenarnya akan memiliki hasil SpO2 yang normal.
 Lab :
1. Harus dilakukan : pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi keadaan hiperglikemi
2. Pilihan : BGA akan menunjukkan alkalosis respiratori pada HA. Alternatifnya, tes
ini dapat menunjukkan adanya asidosis metabolic.
 CXR : untuk menginvestigasi adanya pneumotoraks, pneumonia, atau emboli paru.
 EKG (terutama >40 tahun) untuk mengetahui kemungkinan emboli pulmonal,
perikarditis atau iskemia.
 Terapi obat (pada pasien yang tidak merespon pada usaha ‘istirahat’ dan
‘reassurance’) :
1. Valium (diazepam) dosis 5 mg po
2. Dormicum (midazolam) dosis 2,5 mg iv (jarang diperlukan)
 Penempatan : sebagian besar kasus dapat KRS. Jika keadaan ini sangat mengganggu
pasien, maka rujuk ke bagian psikiatrik untuk rawat jalan. Pada beberapa pasien akan
bermanfaat apabila diberikan resep alprazolam (Xanax) 1-2 dosis per oral.
20. Nyeri, Abdominal

Caveats
 Peran dari dokter pada bagian emergency yaitu dapat mengidentifikasi adanya ‘acute
abdomen’, bukan untuk menentukan diagnosa spesifik.
 Identifikasi pasien tersebut melalui postur yang signifikan; misalnya dapat berbaring
terlentang (perforasi/peritonitis),atau pasien terlihat sangat kesakitan sehingga selalu
berubah posisi (kolik usus besar/kolik ureter).
 Selalu pertimbangkan etiologi yang dapat mengancam nyawa. Lihat tabel 1
 Selalu pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur.
 Pasien pria dengan nyeri daerah fossa iliaka kanan harus dicurigai apendisitis sampai
terbukti lain.
 Ada 3 alasan untuk dilakukan abdominal X ray :
1. Untuk mengidentifikasi ‘free air’ atau udara bebas (pada perforasi viscus)
2. Untuk mengidentifikasi udara/cairan ‘interfaces’ (pada obstruksi intestinal).
3. Untuk mengidentifikasi kalsifikasi ektopik (urelitiasis, kalkuli hepatobiliari,
pankreatitis, AAA)

Tabel 1 : Penyebab Nyeri Abdomen yang Dapat Mengancam Nyawa

1. Intraabdominal
a. Perforasi ulkus peptikum
b. Obstruksi intestinal
c. Abdominal Aortic Aneurysm (AAA)
d. Apendisitis
e. Pankreatitis
f. Kehamilan ektopik
g. Iskemia usus besar
h. Peritonitis bacterial spontan pada sirosis hepatic
i. SLE peritonitis
j. Peritonitis pada pasien renal CAPD
2. Ekstra abdominal
a. infark miokard akut
b. pneumonia lobus bawah
c. basal pulmonary embolism
d. KAD

 Chest X Ray digunakan untuk mengidentifikasi:


1. Udara subdiafragmatik
2. Basal consolidation
3. Pulmonary embolism

Catatan : jika dicurigai terdapat perforasi ulkus peptikum dan dan gambaran CXR
menunjukkan udara subdiafragma yang tidak jelas, maka pemasukan 200ml udara kedalam
lambung melalui NGT dapat menunjukkan gambaran udara bebas pada X ray. Praktek ini
dipertimbangkan pada beberapa tempat dan menjadi kebisaaan, dan masih bersifat
controversial; dimana ada pendapat yang menyatakan bahwa pada keadaan adanya tanda-
tanda perforasi, pemasukan udara ke dalam lambung tidak akan merubah
manajemen/penatalaksanaan (misalnya operasi), serta dapat memperburuk ‘spillage’ isi usus
besar ke dalam kavum peritoneum.

Tips Khusus bagi Dokter Umum :


 Lokasi dan sifat dari nyeri abdomen akan memberi petunjuk terbaik mengenai
penyebabnya.
 Selalu mencurigai adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur
 Salalu mencurigai apendisitis pada tiap pasien pria dengan nyeri abdomen bagian
bawah.
 Jangan lupa untuk merasakan pulsasi epigastrial
 Infark miokard dapat timbul sebagai nyeri abdominal bagian atas, maka lakukan
pemeriksaan EKG.

Manajemen
Pada Pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil
 Pasien harus ditangani pada area critical care
 Pertahankan airway dan beri oksigen aliran tinggi
 Monitoring : EKG, tanda-tanda vital tiap 5 menit, pulse oksimetri
 Pasang 2 jalur iv perifer (14-16G); berikan ‘fluid challenge’ sebanyak 1 L kristaloid
(jika tidak ada kecurigaan IMA). Lakukan pemeriksaan ulangan.
 Lab :
1. Wajib : GDA; GXM 2-4 unit; FBC; urea/elektrolit/kreatinin; serum amylase; tes
urin kehamilan (kalau relevan); kultur urin dan darah (kalau ada kecurigaan
sepsis).
2. Pilihan : urinalisis, enzim kardiak, tes fungsi hati, profil koagulasi.
 Antibiotik iv pada kasus sepsis; misalnya Ceftriaxon 1g dan metronidazol 500 mg.
tergantung pada kebijakan tempat praktek, antibiotik lain untuk mengatasi organisme
gram negative dan positif dapat digunakan.

Catatan : aminoglikosida harus dihindari pada pasien yang memiliki risiko atau kelaianan
pada ginjal.
 X-rays : CXR, KUB
 EKG untuk mengidentifikasi IMA atau sebagai persiapan operasi pada beberapa
kelompok usia.
 Pasang kateter urin.
 Usahakan pasien tetap ‘nil by mouth/NBM’ (puasa)
 Konsultasi segera dengan :
1. Bagian bedah umum
2. Bagian OBG untuk kasus yang dicurigai kehamilan ektopik.
3. Bagian TKV untuk suspek aneurisma aorta abdominalis
4. Bagian medical atau Kardiologi untuk kasus suspek pneumonia basiler atau infark
miokard.
Pada Pasien dengan Keadaan hemodinamik yang Stabil
 Pasien dapat ditangani pada area intermediate
 Usahakan pasien tetap NBM (puasa) sampai penempatan pasien dapat
diputuskan.
 Pertimbangkan pemasangan jalur intravena.
 Pemeriksaan lab harus berdasarkan kecurigaan klinis berdasarkan jenis
nyeri abdomen pada tiap pasien.
 Pertimbangkan KUB (kidney, ureter, bladder X ray), CXR, EKG
 Evaluasi adanya tanda akut abdomen dengan pemeriksaan berulang
abdomen.

Diagnosa banding Nyeri RHC (Right Hypochondrial)


Jika Pasien Febris
 Pertimbangkan :
1. Kolesistitis
2. Kolangitis
3. Abses hati
4. Abses susdiafragmatika
5. Hepatitis
6. Pielonefritis
7. Pneumonia basilar lobus kanan
8. Divertikulitis
 Evaluasi adanya akut abdomen
 Pasang jalur intra vena
 Berikan cairan kristaloid pada tetesan ‘maintenance’
 Lab : FBC; urea/elektrolit/kreatinin, serum amylase, urinalisis, liver panel
dan marker hepatitis (bersifat optional); kultur darah dan urin jika pasien sepsis.
 KUB; pertimbangkan CXR, EKG
 Analgesik : NSAID atau antispasmodic
 Usahakan pasien NBM (puasa)
 Penempatan : MRS-kan ke bagian Bedah umum.

Jika Pasien Afebris


 Ingat bahwa pada pasien geriatric dengan riwayat pembedahan abdomen mungkin
tidak dapat mengeluarkan respon febris.
 Pertimbangkan:
1. Kolik bilier : lihat bab Hepatobiliary Emergencies
2. Referred pain dari daerah dada
3. Hepatitis
 Evaluasi tanda akut abdomen
 Lab : FBC; urea/elektrolit/kreatinin, serum amylase, urinalisis, liver panel dan marker
hepatitis (bersifat optional);
 KUB; pertimbangkan CXR, EKG
 Analgesik : NSAID atau antispasmodic im
 Penempatan : dapat Di KRS-kan untuk kontrol pada poliklinik bedah umum jika
nyeri menghilang, abdomen tetap tenang; atau MRS-kan ke bagian bedah umum. Jika
ada kecurigaan hepatitis pasien dapat dirujuk ke bagian klinik gastroenterologi.

Diagnosa Banding Flank Pain


 Pertimbangkan :
1. Pielonefritis
2. Batu ureter dengan atau tanpa obstruksi; lihat bab Urolithiasis
 Pertimbangkan AAA jika pasien berusia lebih dari 50 th, atau aortic dissection pada
pasien dengan factor risiko (lihat bab Aortic dissection).
Catatan : secara klasik, AAA terjadi dengan gejla nyeri pada bagian central abdomen yang
menembus ke punggung. Namun apabila aneurisma melibatkan renal pedicle, maka nyeri
tersebut dapat menyerupai kolik ureter.
Jika Pasien Febris
 Lab: FBC; urea/elektrolit/kreatinin, kultur darah (paling tidak 7,5 ml darah
tiap botol); kultur urin jika ada kecurigaan urosepsis.
 KUB; pertimbangkan CXR, EKG
 Antibiotik intra vena : meliputi Gram negatif dan organisme anaerob jika ada
kecurigaan nyeri berasal dari hepatobilier atau enteric.
 Analgesik : NSAID atau narkotik.
 Penempatan :
1. MRS ke bagian urologi pada semua kasus urolithiasis dengan komplikasi
2. MRS ke bagian General Medicine untuk pielonefritis akut
Jika Pasien Afebris
 Lab : urinalisis, mencari adanya darah dan atau WBC dan hasil positif/ditemukannya
nitrit
 KUB untuk mengetahui lokasi kalsifikasi ektopik dari kalkulus dan untuk mengetahui
ukuran dari ginjal.
 Analgesik : NSAID atau narkotika.
 Penempatan :
1. MRS jika tidak ada pengurangan nyeri yang adekuat pada ED atau terdapat
petunjuk adanya obstruksi ureter disertai dengan infeksi. Informasikan kepada
bagian urologi jika ada keterlambatan dalam proses MRS.
2. KRS untuk kontrol kembali pada klinik urologi jika pasien telah bebas nyeri dan
tetap afebris pada ED. Sarankan untuk kembali jika:
a. Terjadi demam
b. Timbul gross hematuri
c. Penurunan output dari urin

Diagnosa Banding Nyeri Abdomen Bagian Bawah


 Selalu pertimbangkan apendisitis (lihat bab Appendicitis) dan
kehamilan ektopik (lihat bab Ectopic pregnancy)
 Pemeriksaan rectal sangat bermanfaat pada pria dan wanita, dan
juga dapat sekalian memeriksa servik dan adneksa, tidak perlu stress untuk melakukan
pemeriksaan vagina.
 Lab :
1. Wajib : pemeriksaan HCG urin untuk mengetahui kehamilan pada wanita usia
subur.
2. Optional : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, tes urin dipstick

Diagnosa Banding Nyeri Epigastrial


 Pertimbangkan kedua penyebab abdominal dan ekstraabdominal. Suspek AAA pada
pasien > 50th terutama bila nyeri menjalar pada punggung bagian bawah atau pada
salah satu area flank :
1. Penyebab intraabdominal lain meliputi :
a. Eksaserbasi akut dari penyakit ulkus peptikum; lihat bab Peptic Ulcer
Disease
b. Refluks esofagitis
c. Penetrasi ulkus peptikum posterior
d. Pankreatitis : lihat bab Pancreatitis
e. Aortic dissection/ rupture AAA
3 kondisi terakhir terkait dengan penjalaran nyeri ke daerah punggung bawah.
2. Penyebab Ekstraabdominal meliputi
a. IMA; lihat bab Myocardial Infarction, Acute
b. Pneumonia; lihat bab Pneumonia, Community acquired
c. Pulmonary embolism Lihat bab Pulmonary embolism
d. Ketoasidosis Diabetikum; lihat bab Diabetic Ketoacidosis
 Pasang jalur intra vena perifer
 Berikan kristaloid dengan tetesan maintenance
 Lab : GDA; FBC; serum amylase; urea/elektrolit/kreatinin; enzim kardiak jika ada
kecurigaan.
 Periksa EKG
 Periksa CXR posisi berdiri dan KUB
 Berikan analgesic yang adekuat
 Puasakan pasien
 Penempatan : dapat KRS untuk kontrol pada klinik bedah umum jika nyeri berkurang;
abdomen tetap baik/tenang dan pemeriksaan normal; atau dapat juga di MRS-kan
kebagian bedah umum.

Diagnosa Banding Nyeri kolik Abdomen Bagian Tengah


 Sifat nyeri kolik biasanya mengindikasikan adanya obstruksi atau iritasi dari viscus
yang berongga. Pertimbangkan :
1. Gastroenteritis akut : lihat bab Diarrhoea and Vomiting.
2. Obstruksi Intestinal pada usus besar atau usus kecil: lihat bab Intestinal
Obstruction
3. Ischaemic bowel, terutama jika nyeri sulit dikenali sumbernya melalui
pemeriksaan fisik: lihat Bab Ischaemic Bowel.
Catatan : Adhesion colic (kolik adhesi) sebagai satu diagnosa tidak dipergunakan lagi,
karena suatu adhesi tanpa komplikasi biasanya tidak menyebabkan nyeri. Namun, pada
pasien post operasi suatu obstruksi bowel inkomplit atau sub akut yang disebabkan oleh
adhesi dapat menghasilkan suatu nyeri kolik yang khas.
21. Nyeri, Dada, Akut

Caveats
 Anamnesa yang baik tetap memegang peranan penting dalam penegakan diagnosa
penyebab nyeri dada yang dapat mengancam jiwa. (Tabel 1)
 Setelah mengeksklusi 6 penyebab nyeri dada yang dapat mengancam jiwa, penyebab
penting lain namun tidak mengancam jiwa yang terlihat pada tabel 2 juga harus
dieksklusi.

Tabel 1 : Penyebab Nyeri Dada yang Dapat Mengancam Jiwa

Manifestasi klinik Utama


1. IMA Lihat bab Myocardial Infarction
2. Unstabel angina (memiliki prognosis Lihat bab Coronary Syndromes, acute
jangka pendek yang sama dengan
IMA) Lihat bab Aortic Dissection
3. Aortic Dissection Lihat bab Pulmonary Embolism
4. Pulmonary Embolism (PE) Lihat bab Trauma, chest
5. Tension Pneumothorax Nyeri dada diikuti dengan vomit hebat dan
6. Ruptur esophageal CXR menunjukkan pneumomediastinum
Catatan : IMA dan unstabel angina juga dikenal sebagai Acute Coronary Syndromes

Tabel 2 : Penyebab Nyeri Dada Penting Namun Tidak Mengancam Jiwa


1. Kardiak Angina stabil
Angina prinzmetal
Pericarditis/myocarditis
2. Respiratory Pneumothorax simple
Pneumothorax dengan pleurisy
3. Gastrointestinal Refluks esofagitis
Spasme esofageal (biasanya menjadi diagnosa eksklusi karena
gejalanya sangat mirip dengan nyeri dada iskemik)
4. Referred Pain Gastritis/ penyakit ulkus peptikum
Biliary disease
Abses subphrenic/inflamasi

 Catat penyebab yang benign/ringan seperti nyeri musculoskeletal, kostokondritis,


nyeri dada psikogenik dan neuralgia pada early herpes zoster, harus didiagnosa
eksklusi.
 Pada Multicentre Chest Pain Study (MCPS), perasaan chest discomfort yang serupa
seperti serangan awal MI atau lebih buruk dari angina yang sering dirasakan pasien
merupakan factor risiko independen terkuat untuk MI dan kecenderungan untuk
menderita Acute Coronary Ischaemia.
 Pada MCPS, faktor risiko tinggi untuk menderita IMA dan iskemik antara lain :
1. Waktu sejak onset nyeri ≤ 4 jam
2. Episode terpanjang nyeri ≥ 30 menit
3. Nyeri digambarkan sebagai perasaan ‘tertekan’
4. Penjalaran nyeri pada lengan kiri, bahu, leher atau dagu
5. Riwayat angina atau MI
6. terdapat perubahan EKG pada ED yang menunjukkan iskemik atau infark
 Prediktor tunggal terbaik dari ACS adalah diketahuinya riwayat IMA atau adanya
CAD. Risiko kejadian pada arteri koronaria adalah 5 kali lebih tinggi pada pasien
dengan CAD.
 Menurut Framingham study (Faktor risiko misal usia, jenis kelamin pria, merokok,
hipertensi, DM, hiperkolesterolemia, riwayat keluarga) telah menunjukkan bahwa
factor tersebut bisa menjadi prediktor bagi terjadinya CAD dalam periode 14 tahun
pada setting rawat jalan, namun penelitian ini tidak pernah mengidentifikasi pasien
nyeri dada di bagian ED manakah yang menderita iskemik kardiak akut. Sehingga
tidak ada satupun factor risiko spesifik tunggal yang dapat menjadi prediktor bagi
terjadinya IMA atau iskemik koronari akut. Dengan demikian, profil factor risiko tidak
dapat distratifikasi juga tidak dapat digunakan untuk memprediksi IHD pada ED.
 Nyeri dada bersifat pleuritik atau tereksaserbasi dengan adanya pergerakan pada 5-8%
pasien IMA.
 5% pasien IMA juga menderita nyeri tekan dinding dada secara bersamaan.
 3 keadaan dibawah ini apabila terjadi bersamaan, akan membawa kita pada kecurigaan
iskemik kardiak, antara lain :
1. Nyeri dada yang tajam atau seperti tikaman.
2. Tidak ada riwayat angina atau MI
3. nyeri timbul dengan penekanan dinding dada atau dengan perubahan posisi atau
karena komponen pleuritik.
 Chest discomfort yang terkait dengan nausea harus diasumsikan sebagai iskemik
kardiak sampai terbukti tidak. Juga pada pasien dengan gejala ‘heartburn’ atau
gangguan pencernaan sampai terbukti bukan kardiak, atau telah menjalani
pemeriksaan yang lengkap dan diterapi sebelumnya.
 Pikirkan tentang aortic dissection pada pasien dengan nyeri dada yang dicurigai IMA
namun diikuti juga dengan gejala neurologik.
 Gejala terkait lainnya seperti diaphoresis, dispneu dan sinkope juga terlihat pada
pasien IMA, PE serta aortic dissection, sehingga kurang dapat menjadi criteria untuk
mendiagnosa banding ketiganya. Akan tetapi adanya gejala-gejala tersebut
mengindikasikan adanya suatu keadaan penyakit yang serius.
 Pada nyeri dada, hasil EKG yang normal tidak dapat menyingkirkan ACS, namun
menempatkan pasien pada posisi risiko yang lebih rendah untuk mengalami gejala
sampingan. Hanya sekitar 65-78% hasil EKG pasien yang MRS, yang menunjukkan
adanya kemungkinan MI. Kuncinya adalah lakukan pemeriksaan EKG secara serial.
 Individu dengan usia diatas 65 th memiliki kemungkinan gejala yang tidak khas
dengan hasil ‘missed diagnose’ atau ‘delayed’
Tips Khusus untuk Dokter Umum :
 Rujuk semua pasien pada ED dengan :
1. Riwayat khas IMA namun hasil EKG normal
2. Riwayat tidak khas namun memiliki faktor risiko untuk CAD
 Faktor risiko utama/mayor CAD antara lain:
1. Diabetes mellitus
2. Hipertensi sistemik
3. Hiperlipidemia
4. Merokok
Catatan : pasien yang telah berhenti merokok selama < 2 tahun tetap dianggap
sebagai perokok dan memiliki factor risiko CAD.
 Berikan aspirin 300mg pada semua pasien dengan ACS sebelum mengirimnya ke RS.
 Semua kasus IMA harus dikirim melalui ambulan ke RS.
Manajemen
 Pastikan tanda-tanda vital stabil. Jika tidak stabil, pasien mengalami distress atau
diaforesis, bawa pasien untuk resusitasi pada area immediate secepatnya. Rawat
pasien dengan ACS secepatnya.
 Berikan olsigen, pasang pulse oksimetri, monitoring continuous EKG, monitoring
tekanan darah.
 Periksa segera EKG 12 lead. Peran EKG dalam kasus nyeri dada adalah termasuk
criteria diagnosa IMA, iskemik dan PE.
 Jika EKG normal atau mencurigakan namun belum menunjukkan ACS, lakukan
pemeriksaan EKG serial dengan interval yang dekat.
 Pasang iv plug dan lakukan pemeriksaan darah untuk enzim kardiak serta biomarker
lainnya, misalnya mioglobin dan troponin T.
Ingat : Jangan sampai membuat kesalahan dengan mengeksklusi nyeri dada iskemik
hanya dengan melihat hasil troponin T atau enzim kardiak lain yang normal pada saat
berada pada ED. Lihat tabel 3 untuk interpretasi bermacam-macam marker kardiak.
 Berikan obat peringan nyeri tergantung pada diagnosa yang dibuat.
 Lakukan CXR. Peran CXR pada nyeri dada dalam penegakan diagnosa:
1. Komplikasi IMA, seperti gagal jantung dan edema pulmonal
2. Aortic dissection
3. Dengan penyebab respiratori, misal pneumothorax, pneumonia, keganasan paru,
fraktur tulang iga.
4. PE perifer
5. Pneumomediastinum, misal rupture spontan bullae paru, rupture esophagus.
 Beberapa pedoman mengenai penempatan pasien dengan nyeri dada :
1. MRS-kan ACS dengan perubahan EKG atau nyeri yang terus menerus ke dalam
CCU.
2. MRS-kan unstabel angina tanpa ada perubahan EKG, atau jika nyeri telah hilang
pada bangsal umum kardiologi.
3. MRS-kan pasien dengan diagnosa sindrom nyeri dada tidak khas (atypical chest
pain syndrome) dengan factor risiko CAD pada bangsal umum kardiologi, kecuali
ED memiliki Chest pain Observational Unit untuk pengawasan yang
berkelanjutan.
4. Stabel angina dapat di KRS-kan dengan memulai pengobatan (aspirin 300mg
kemudian cardiprin 100mg OM (occipitomental), isosorbide dinitrat 5-10mg
dibagi dalam 3 dosis, propanolol 20mg dibagi dalam 2 dosis) apabila tidak ada
kontraindikasi, kemudian rujuk pada poliklinik kardiologi untuk follow up.
(Kelompok pasien ini kemungkinan bukan merupakan pasien CAD apabila datang
pada ED dengan riwayat stabel angina. Disarankan untuk memasukkan/merawat
pasien nyeri dada dengan riwayat CAD ke dalam RS.)
5. MRS-kan pasien dengan aortic dissection pada CT ICU.
Catatan : onset angina terbaru yang menyerupai angina stabel yang didapat menurut riwayat
dalam anamnesa, dipertimbangkan sebagai Unstabel angina (UA). Sehingga seluruh serangan
angina yang terjadi untuk pertama kali harus diMRS-kan walaupun hasil EKG-nya normal.
 Untuk terapi kasus dengan penyebab nyeri dada yang mengancam jiwa, lihat pada
pembahasan masing-masing bab.
Tabel 3 : Marker Kardiak
Kinetika Pelepasan Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Marker
Dapat Kembali Keuntungan Kerugian untuk mendiagnosa untuk mendiagnosa
kardiak Peak level
Dideteksi normal IMA (95% CI) IMA (95% CI)
Mioglobin 1-2 jam 6-9 jam 24-36 jam 1. Marker terawal yang meningkat 1. Tidak Spesifik bagi otot jantung. To 49 (43-55) To 91 (87-94)
pada IMA Kondisi lain yang terkait dengan Ts 89 (80-94) Ts 87 (80-92)
2. Bermanfaat untuk menegakkan peningkatan mioglobin antara lain :
diagnosa IMA dini karena a. Penyakit skeletal dan neuromuscular
mioglobin meningkat dalam b. Gagal ginjal
waktyu 6 jam pada hamper c. Injeksi intramuscular
semua kasus IMA. d. Exercise yang berat
e. Post pembedahan by pass koronaria
f. Pemakai etanol berat
Sehingga mioglobin tidak dapat
digunakan secara tunggal, namun harus
diikuti dengan pemeriksaan enzim
kardiak lainnya.
Creatinin 4-6 jam 18-24 jam 48-72 jam 1. Gold standart serologis untuk 1. Tidak spesifik untuk otot jantung To 42 (36-48) To 97 (95-98)
kinase (CK)- IMA. Digunakan untuk criteria 2. Dapat terjadi false positif pada pasien Ts 79 (71-86) Ts 96 (95-97)
MB diagnosa IMA menurut WHO dengan gagal ginjal.
3. Diagnostic window-nya sempit
4. Kegagalan peningkatan total CK pada
angka yang abnormal pada seluruh
pasien IMA. Untuk meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitasnya,
persentase indeks relative yang
didefinisikan sebagai CK-MB
(ng/ml) x 100% CK (U/L) kemudian
digunakan. Apabila ≥ 5% maka
kemungkinan IMA.
Troponin T 4-6 jam 12-120 10-14 hari 1. Bermanfaat untuk IMA dengan 1. Beberapa hasil false positif terlihat To 39 (26-53) To 93 (90-96)
jam presentasi lambat pada pasien gagal ginjal dan pasien Ts 93 (85-97) Ts 85 (76-91)
2. Bermanfaat sebagai indicator dialysis, terutama pada pemeriksaan
prognostic pada angina unstabel. troponin T generasi pertama.
Pasien UA dengan troponin T +
memiliki prognosis yang lebih
buruk dari pada pasien dengan
troponin T - .
3. Merupakan indikator prognostic
terbaik dibanding troponin
lainnya.
Troponin I 4-6 jam 12-36jam 7-9 hari 1.Marker jantung yang paling 1. Tidak tersedia secara luas To 39 (10-78) To 93 (88-97)
spesifik. Ts 90-100 Ts 83-96
2.Tidak ada hasil false positif pada
pasien gagal ginjal.
3.Dapat digunakan sebagai indicator
prognostic pada UA seperti
halnya troponin T.
To : Time of presentation Ts : Serial Biomarkers
22. Nyeri, Punggung Bagian Bawah

Caveats
 Pasien dengan Low Back Pain (LBW) akut yang membutuhkan perawatan immediate antara
lain :
1. Hemodinamik tidak stabil (kelompok yang paling kritis)
2. Dengan trauma yang signifikan
3. Nyeri musculoskeletal yang tidak tertahankan
 Pasien dengan nyeri punggung bersamaan dengan nyeri abdomen merupakan pasien yang
berada dalam risiko serius adanya perdarahan intrabdominal atau retroperitoneal dan
membutuhkan evaluasi yang tepat serta monitoring yang ketat.
 Pasien yang sangat menderita akibat musculoskeletal back pain dengan tanda vital stabil
dapat diberi obat analgesik apabila telah melalui pemeriksaan awal.
 Pasien dengan defisit neurologik progresif atau dengan disfungsi kandung kemih atau
disfungsi usus besar membutuhkan tindakan dekompresi melalui pembedahan.
 Ada beberapa indikasi untuk foto polos lumbosakral pada ED :
1. Manifestasi klinis yang muncul mendukung adanya malignansi dengan kemungkinan
metastase pada tulang belakang bagian lumbal.
2. Ada riwayat trauma vertebrae yang bermakna.
3. Demam dan nyeri tekan yang terlokalisir yang menyokong adanya osteomielitis.
4. Ada deficit neurologist yang tidak dapat terjelaskan dan bersifat akut.
 Terapi konservatif merupakan manajemen utama, meliputi relaksasi otot melalui bed rest,
terapi panas atau dingin, obat-obatan muscle-relaxing, serta analgesik yang adekuat. 90%
pasien akan berespon terhadap terapi tersebut.
 Manajemen pasien biasanya dilakukan dengan rawat jalan, dimana usulan MRS dilakukan
pada pasien dengan defisit neurologi atau nyeri yang terus menerus.

Catastrophic Illnesses
Dapat bermanifestasi sebagai LBP
 Ruptur AAA (Abdominal Aortic Aneurysm) : biasanya terjadi pada pasien pria usia
pertengahan atau usia tua dengan riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskular, yang
muncul dengan LBP dan nyeri abdomen yang diikuti dengan pulsasi yang cepat, sinkop,
serta hipotensi borderline atau hipotensi yang nyata.
 Ruptur Kehamilan Ektopik : seorang wanita berusia subur dengan factor risiko
terjadinya kehamilan ektopik, muncul dengan LBP onset akut, terkait dengan perdarahan
vagina, sinkop dan nyeri abdomen unilateral.
 Cauda equina Syndrome : merupakan sebuah kasus lumbar disc disease yang jarang
terjadi namun memiliki komplikasi yang sangat serius. Pasien muncul umumnya dengan
gejala LBP, dengan penjalaran unilateral atau bilateral, anestesi perifer, kelemahan
motorik dari ekstremitas bawah, dan disfungsi sfingter (biasanya retensi urin). Secara
klasik, intervensi bedah dalam 6 jam sejak onset gejala, dipertimbangkan sebagai tindakan
preventif esensial untuk mencegah defisit neurologik permanent.
 Acute spinal cord compression : akibat proses ekspansi dari massa tumor, dapat muncul
sebagai LBP dengan deficit ekstremitas bawah, deficit bowel dan kandung kemih.
Keadaan ini memerlukan intervensi immediate unutk mencegah deficit neurologik
permanent.
Tips khusus untuk dokter umum :
 Pasien yang datang dengan nyeri musculoskeletal serta tanda vital yang stabil dapat
diterapi dengan analgesic. Nyeri yang hebat tanpa ada respon terhadap pengobatan
yang diberikan harus dirujuk pada ED atau spesialis ortopedi secepatnya.
 Nyeri punggung dengan tanda neurologik fokal atau disfungsi bowel serta kandung
kemih merupakan suatu keadaan yang memerlukan tindakan pembedahan emergency
di rumah sakit.
 Selalu lakukan pemeriksaan abdomen dan perhatikan adanya aneurisme aorta.

Manajemen
Pasien dengan Instabilitas Hemodinamik dan atau memiliki riwayat trauma yang
Bermakna
 Pasien selalu ditangani dalam area critical care
 Peralatan intubasi dan resusitasi harus selalu berada dalam keadaan siap pakai
 Berikan oksigen aliran tinggi melalui reservoir mask
 Pasang setidaknya 2 jalur intra vena yang besar.
 Berikan Hartmann’s solution secara iv 1 liter kemudian ulangi pemeriksaan parameter
yang ada.
 Berikan transfuse darah yang spesifik bila diperlukan.
 Lab : GXM 4-6 unit, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, HCG urin jika diperlukan.
 Monitoring EKG, tanda-tanda vital tiap 5-10 menit, pulse oksimetri.
 Penempatan :
1. Konsultasi awal dengan bedah TKV (untuk suspek AAA) atau
2. Bedah umum dan ortopedi (dalam kasus trauma), atau
3. OBG (dalam kasus kehamilan Ektopik)

Pasien dengan Nyeri Muskuloskeletal yang Hebat dan Tidak Tertahankan


 Harus ditangani paling tidak pada area intermediate care dan lakukan evaluasi secara
tepat.
 Berikan kenyamanan pada pasien dan pindahkan pasien secara hati-hati.
 Monitor tanda vital tiap 30-60 menit.
 Analgesik
1. Pethidine (meperidine). Dosis : 50-100mg IM atau IV
2. Tramal (tramadone). Dosis : 50-75mg IM atau IV
3. Voltaren (diclofenak). Dosis : 50-75mg IM
 Obat muscle relaxan : valium (diazepam) dosis : 5-10 mg po atau 2-5 mg iv (apabila
diberikan melalui iv maka pasien harus berada dalam pengawasan petugas medis).
 Pemeriksaan ulang setelah 1 jam dan lakukan pemeriksaan menyeluruh pada pasien dalam
4 posisi : berdiri, supinasi, pronasi dan duduk.
 Lakukan pemeriksaan rectal serta periksa tonus anus.
 Periksa adanya kehilangan sensasi sensorik pada daerah perianal.
 Pertimbangkan foto polos lumbosakral.
 Penempatan :
1. Kasus yang tidak ada komplikasi : KRS untuk bed rest pada permukaan yang lunak
dengan pemberian analgesic yang adekuat serta musle relaxan.
2. Kasus dengan komplikasi dan nyeri yang hebat ± ada perubahan neurologik ringan
serta tidak ada gejala disfungsi sfingter : MRS pada bagian ortopedi untuk
penatalaksanaan nyeri dan pemasangan traksi.
3. Jika ada bukti adanya spinal cord compression atau cauda equine syndrome, maka
konsul pada bagian NS.
4. Pasien lain yang harus MRS termasuk :
a. Pasien dengan infeksi yang membutuhkan terapi antibiotik iv, misalnya
pielonefritis dan prostatitis.
b. Pasien dengan fraktur kompresi lumbar spine untuk manajemen nyeri.
c. Pasien dengan fraktur prosessus transversus untuk evaluasi yang terkait
dengan injury.
d. Pasien dengan nyeri tidak tertahankan yang tidak mampu untuk berjalan atau
tidak dapat merawat dirinya sendiri.
e. Pasien dengan suspek metastase pada tulang belakang yang membutuhkan
terapi dexamethasone iv secepatnya. Lihat bab Oncology Emergencies.
24. Palpitasi

Caveats
 Denyut jantung yang abnormal hampir selalu disebabkan karena gangguan pada ritme
kardiak, atau disritmia dan apa yang dirasakan oleh pasien merupakan perubahan sekunder
pada output kardiak (ingat bahwa cardiac output berkaitan langsung dengan stroke volume
dan Heart rate).
 Takidisritmia menyebabkan peningkatan heart rate dan pengurangan stroke volume,
sedangkan premature ventricular contractions (PVCs) menghasilkan peningkatan stroke
volume pada setiap denyut yang mengikuti PVC sebagai hasil dari peningkatan filling time
selama compensatory pause.
 Jangan membuang waktu untuk mengidentifikasi sifat disritmia yang paling tepat, namun
prioritaskan untuk:
1. Periksa status hemodinamik pasien
2. Putuskan apakah keadaan tersebut termasuk narrow atau wide complex dysrhythmia (tabel 1)
 Jika keadaan pasien tidak stabil dengan tanda-tanda serius seperti (1) gagal jantung atau
dispneu; (2). Syok; (3). AMS; (4). Nyeri dada, maka lakukan immediate synchronized
electrical cardioversion (untuk kedua tipe : narrow dan wide complex).
 Bukti-bukti yang ada tidak mendukung penggunaan lignokain untuk membedakan perfusi
Ventricular tachycardia (VT) dan Wide complex Tachycardia dengan asal yang tidak
diketahui pasti.
 Bukti-bukti tidak mendukung penggunaan Adenosine untuk membedakan perfusi VT dan
Supraventrikular (SVT) dengan aberrant ventricular contraction (SVT yang dikonduksi oleh
1 ventrikel saja akibat transient bundle branch block).
 Amiodarone saat ini merupakan DOC pada manajemen takidisritmia stabil, karena efek
spectrum antidisritmia-nya yang luas serta lebih sedikit menimbulkan efek inotropik negative
dibandingkan dengan obat lainnya.

Tabel 1 : Klasifikasi takidisritmia berdasarkan EKG


Narrow Complex Wide complex
Regular Irregular Regular Irregular
Sinus takikardi Atrial FibrillationMonomorfik VT (gambar 3, 4 Polimorfik VT
dan 5 serta tabel 2)
Supraventricular Atrial Flutter SVT dengan aberrancy Semua complex
Takikardi (SVT) dengan berbagai (Gambar 6 dan tabel 2) tachycardia dengan BBB
(Gambar 1) variasi Block yang ireguler atau WPW
syndrome (Gambar 7)

Atrial Flutter dengan Multifocal atrial Setiap narrow complex


konduksi 1:1 atau 2:1 tachycardia tachycardia dengan BBB, yang
(Gambar 2) regular, atau Wolff-Parkinson-
White (WPW) syndrome

Tips khusus Untuk Dokter Umum :


 Pasien yang datang pada tempat praktek dengan palpitasi, kemungkinan memiliki gejala
dengan sifat yang ringan dan minimal dari isolated PVCs atau suatu short bursts dari
sebuah takidisritmia yang intermitten.
 Jangan membuang waktu dengan mengartikan/manganalisa hasil EKG; namun
prioritaskan untuk memeriksa status klinis dari pasien.
 Lakukan EKG 12 lead. Disritmia dapat bersifat Self limiting dan akan sangat membantu
bagi dokter di rumah sakit untuk mencari jejak adanya disritmia.
 Berikan oksigen dengan nasal kanul pada aliran 2-6l/menit, sesuaikan dengan
kenyamanan pasien.
 Ukur tekanan darah secara berkala.
 Pasang jalur intra vena perifer dengan NS pada aliran yang lambat.
 Berikan kenyamanan pada pasien karena pasien sering mengalami kecemasan dan
ketakutan untuk mati
 Pindahkan pasien ke RS, lebih baik dengan menggunakan ambulan yang dilengkapi
dengan peralatan untuk memonitoring EKG secara terus menerus.
 Catat PVCs yang disertai dengan ‘R on T phenomenon’ sebagai salah satu risiko tinggi
untuk terjadinya VF (gambar 8).
Gambar 1 : Supraventricular AV nodal reentrant tachycardia pada wanita usia 35 th yang datang
dengan keluhan palpitasi

Catatan : (1) regular, narrow QRS tachycardia sekitar 200/menit. (2) Tidak ada gelombang P
yang terlihat. Pemeriksaan elektrofisiologi lanjutan mengkonfirmasikan bahwa pasien menderita
supraventricular AV nodal reentrant tachycardia.

Gambar 2 : Atrial flutter dengan konduksi AV 2:1

Catatan : Selama konduksi AV 2:1, gelombang flutter ‘F’ tersembunyi diantara QRS complexes
dan segmen ST/gelombang T. harus ada bukti yang menunjukkan adanya peningkatan konduksi
AV yang berakibat pada perlambatan ventricular rate (lihat tanda panah). Arah panah
menunjukkan gelombang Flutter (‘F’).

Manajemen
Lihat bab Cardiac Dysrhytmias/Resuscitation Algorithms untuk ringkasan penatalaksanaannya.

Terapi Suportif
 Pasien harus ditangani pada area critical care, dimana monitoring EKG secara terus-
menerus dapat dilakukan, dan tersedia peralatan resusitasi serta defibrillator.
 Berika oksigen jika terjadi penurunan SpO2.
 Monitoring EKG, tanda vital tiap 15 menit, pulse oksimetri.
 Pasang jalur iv perifer.
 Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead : apakah terdapat narrow atau wide complex
disritmia?

Gambar 3 : Ventricular tachycardia pada pasien dengan Infark Myocard acute


Catatan : (1) Wide QRS tachycardia terjadi regular, sekitar 166x/menit. (2) morfologi QRS
superficial menyerupai pola left bundle branch, kecuali gelombang r pada V1 dan V2 (arah
panah) yang melebar, sehingga menyebabkan ventricular ectopy. (3) gambar ritme pada bagian
bawah EKG menunjukkan fusion beats (arah panah) dimana memiliki morfologi yang berbeda.
Juga terdapat kemungkinan suatu AV dissociation, karena ada bagian segmen ST/gelombang T
dari ventricular complex yang berurutan memiliki sedikit perbedaan morfologi dan terlihat
sebagai deformitas, yang kemungkinan besar karena adanya superimposisi gelombang P yang
timbul kadang-kadang, berbeda dengan QRS complex yang ada.
Gambar 4 : Ventricular tachycardia
Catatan : (1) rapid ventricular rate 158x/menit. (2) wide QRS complex yang regular (0,16 detik).
(3) gelombang R monofasik pada V1 (4). rS complex pada V5 dan V6 (5) aksis indeterminate
sekitar 170o.

Pemeriksaan fisik singkat yang penting untuk menentukan stabilitas hemodinamik


 Tingkat Kesadaran : apakah pasien sadar dan orientasinya baik, merespon pertanyaan
dengan baik? Penurunan ‘mentation’ mungkin mengindikasikan immediate synchronized
electrical cardioversion (lihat komentar selanjutnya).
 Keadaan umum : termasuk adanya diaforesis, sianosis dan gejala yang dapat ditoleransi.
 Tanda-tanda vital

Gambar 5 : Ventricular tachycardia menunjukkan pola concordance


Catatan : (1) regular, takikardi wide QRS (190x/menit). (2). Seluruh QRS complexes pada lead
precordial dari V1 sampai V6 negatif pada polarity.

 Teknik Cardioversion
1. Tempatkan chest patches pada lokasi infraclavicular kanan dan apical (seperti halnya
defibrillation).
2. Berikan diazepam iv atau midazolam untuk efek sedasi (jika tersedia).
3. Tekan tombol SYNC (synchronization) (tidak seperti defibrillation).
4. Pilih level energi, dimulai dari 100 joule untuk dewasa dilanjutkan dengan 200 J,
300J, dan 360 J secara berurutan bila diperlukan.

Gambar 6 : takikardi Supraventrikuler dengan induksi konduksi ventrikuler tambahan


pada laboratori elektrofisiologi seorang pasien usia 25 th yang datang dengan keluhan
palpitasi.

Catatan : (1) heart rate yang cepat yaitu 160x/menit (2) regular dan wide QRS complexes (0,12
detik) dengan konfigurasi right bundle branch block yang khas (pola trifasik rSR’ pada V1). (3)
tidak ada gelombang p yang jelas terlihat.
Gambar 7 : Atrial fibrillation pada pria 22 tahun dengan WPW syndrome
Catatan : (1) ritme irregular dan ventricular rate yang sangat cepat. (2) QRS complexes
lebarnya bervariasi.

Fokus Anamnesa (sangat bermanfaat jika waktu tersedia)


 Riwayat palpitasi sebelumnya : jika positif, bagaimana keadaan tersebut diterapi, apakah
dengan maneuver fisik, medikasi atau terapi elektrik.
 Apa yang telah pasien lakukan untuk mengatasi palpitasi? Apakah pasien telah diajarkan
untuk melakukan maneuver valsava dirumah? Jika telah dilakukan, bagaimanakah
hasilnya?
 Gejala terkait lain seperti nyeri dada, dispneu, lightheadedness atau kebingungan:
indikasi adanya hipoperfusi end-organ dan dekompensasi.
 Riwayat penyakit kardiovaskular pada pasien atau keluarga atau riwayat obat yang
dikonsumsi, misal penggunaan obat simpatomimetik, obat yang mengandung
bronkodilator atau teofilin, atau amfetamin seperti yang terkandung didalam pil penurun
berat badan.
Pemeriksaan fisik yang menjadi focus sekunder
 Ulangi tanda-tanda vital : penting untuk mendeteksi kemajuan atau deteorasi
 Ulangi pemeriksaan tingkat kesadaran dan perfusi perifer

Terapi
Narrow Complex Tachydysrhythmias
 Terapi sangat tergantung dari diagnosa, misal sinus takikardi membutuhkan terapi
penyebabnya (nyeri, perdarahan, ansietas, efek antikolinergik, dsb).
 Non farmakologis : penting dimana 25% pasien dengan SVT dapat dibantu dengan
valsava maneuver atau pemijatan sinus carotid (carotid sinus massage = CSM).
Catatan : Sinus carotid berlokasi di sudut mandibula, kemudian dengarkanlah suara ‘bruits’
sebelum melakukan CSM. Beberapa klinisi menghindari CSM secara total pada pasien di atas 50
th untuk mengantisipasi eksistensi plak, tanpa memperhatikan kehadiran atau tidak adanya bruit.
Jangan lakukan CSM pada pasien yang diketahui memiliki riwayat CVA atau TIA.

Gambar 8: ‘R on T’ ventricular ectopic beats dan ventricular fibrillation pada pasien


dengan infark akut inferior
Catatan : (1) Perubahan ‘hiperacute’ pada infark transmural inferior sebagaimana terlihat pada
peningkatan segmen ST pada lead II. (2) ‘R on T’ ventricular ectopic beats (E) menginisiasi
ventricular fibrillation (VF).
 Farmakologi : pilihan meliputi adenosine, verapamil atau amiodarone; semua telah
dibuktikan sama efektif dan dapat digunakan jika salah satu obat gagal untuk mengatasi
narrow complex tachycardia. Pilihan obat tergantung pada ketersediaan dan pengalaman
klinisi.
1. Adenosine merupakan ultra-short-acting AV nodal blocker (Tabel 2).
Dosis : 6 mg iv bolus cepat pada vena proksimal (bukan pada lengan atau pergelangan
tangan), diikuti secepatnya dengan aliran 20 ml saline dan elevasi dari lengan. Dapat
diulang 2 kali pada dosis 12 mg iv samapi total 30 mg.
2. Verapamil (Calsium channel blocker) sama efektifnya dengan adenosine. Kerugiannya
antara lain: (1) onset aksinya lama; dan (2) efek samping yang bermakna dari
penurunan kontraktilitas miokard dan vasodilatasi perifer.

Catatan : pretreatment dengan bolus cairan dan kalsium klorid (0,5 – 1g iv selama 5 menit)
cukup bermanfaat untuk mencegah hipotensi yang diinduksi verapamil.
Perhatian : verapamil tidak boleh digunakan bersamaan dengan beta blockers iv, dan
harus dihindari pada pasien dengan wide complex tachycardias.
Dosis : 2,5-10mg iv; dapat diulang 15 -20menit kemudian; dosis total maksimum 20mg.

3. Amiodarone digunakan jika adenosine gagal dan terdapat tanda-tanda gagal jantung
kongestif.
Dosis : 150mg iv selama 10 menit; dapat diulang 1 kali.
4. Diltiazem (Calsium channel blocker) sama efektifnya dengan verapamil dalam
mengatasi narrow complex SVT. Keuntungan bila dibanding verapamil adalah
diltiazem lebih sedikit menyebabkan depresi miokard.
Dosis : 10-20mg iv selama 2 menit. Jika tidak efektif dapat diikuti 15 menit kemudian
dengan bolus yang kedua sebanyak 0,35 mg/kg iv. Jika diperlukan, infus 5-15 mg/jam
x 24 jam dapat diberikan.
5. Beta-blocker seperti esmolol dan propanolol juga efektif.
Esmolol memiliki T ½ yang sangat singkat dan bersifat kardioselektif. Dosis : 0,5
mg/kg bolus selama 1 menit diikuti dengan infus 0,05 mg/kg/menit. Loading dose
dapat diulang dan tetesan infus dapat ditingkatkan sebanyak 0,05 mg/kg/menit tiap 5
menit prn sampai maksimal 0,2mg/kg/menit.
Propanolol merupakan DOC untuk SVT pada thyrotoxicosis karena ia memblok
sebagian proses pengubahan T3 dan T4. Perhatian : hindari penggunaannya pada
pasien COLD, CCF atau asma, dan pada pasien yang telah diterapi dengan Calsium
channel blockers. Dosis : 1 mg iv selama 1 menit; dapat diulang tiap 5 menit sampai
total 0,1-0,5mg/kg.
6. Digoxin : obat yang bersifat vagotonik. Kerugiannya adalah onset kerjanya lebih
lambat dibandingkan dengan obat yang tersebut diatas (dapat membutuhkan beberapa
jam). Dosis : 0,5mg iv bolus sebagai dosis awal, dengan dosis ulangan 0,25mg tiap
30-60 menit prn. Dosis total tidak boleh melebihi 0,02 mg/kg.

Tabel 2 : Keuntungan dan Kerugian pemberian Adenosine dibanding Verapamil

Keuntungan Kerugian
T ½ yang pendek <10 detik - Efek samping flushing, dispneu dan nyeri dada
Efek hipotensi dan depresi miokard - Rekurensi SVT sering terjadi (pada 50-60%
yang lebih rendah pasien)
- Interaksi obat cukup bermakna: antagonis dengan
teofilin dan kafein, potensiasi dengan
dipyridamole dan carbamazepine
Catatan : Adenosine biasanya tidak mengubah
disritmia pada paroxysmal atrial tachycardia,
atrial flutter atau atrial fibrillation, namun akan
mengurangi ventricular rate karena penurunan
konduksi atrioventricular.

Atrial Fibrillation (AF) dengan rapid ventricular fibrillation


Adanya pasien dengan atrial fibrilasi dan rapid ventricular fibrillation merupakan masalah yang
special. Jika hemodinamik pasien stabil, peran dokter spesialis EM adalah untuk memperlambat
respon ventrikuler dan BUKAN merubah ritme jantung menjadi Sinus rhythm kecuali dokter
tersebut yakin bahwa durasi AF terjadi < 48 jam. Pengubahan ke sinus rhythm tanpa pemberian
antikoagulasi yang adekuat akan menyebabkan embolisasi klot yang terekat pada dinding atrium
kanan. Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Calsium Channel Blocker (diltiazem atau
verapamil) dan beta blocker (esmolol dan metoprolol) merupakan obat yang efektif untuk
mengatur heart rate pada pasien AF yang stabil. Dosis : Diltiazem iv 10-20mg selama 2 menit.
Catatan : Digoxin tidak menunjukkan efektivitas untuk mengontrol heart rate akut. Namun, jika
pasien dalam keadaan gagal jantung, pilihan bisa berupa digoxin atau amiodarone.

Secara keseluruhan, keberhasilan chemical cardioversion hanya sekitar 50%. Literature yang
menerangkan penelitian untuk membandingkan efektivitas obat untuk mengubah AF menjadi
sinus rhythm banyak yang bersifat kontradiktif. Pilihan terapi meliputi :
 Class 1A agents (quinidine dan procainamide) : obat-obatan yang paling tradisional yang
digunakan dalam cardioversion, dengan angka kesuksesan sebesar 40-80%.
 Amiodarone : 93 % berhasil mengembalikan sinus rhythm dalam 24 jam namun tidak
secepat calsium channel blocker atau beta blocker dalam menurunkan heart rate.
 Propafenone : berhasil pada penggunaan melalui iv dan per oral.
 Fleicainide : berhasil sebagai cardioversion dalam 2-3jam ketika digunakan melalui bolus
iv atau po namun kekhawatiran efek prodisritmik menyebabkan keterbatasan
penggunaannya.
 Ibutilide : terminasi cepat AF dengan pengubahan heart rate lebih cepat daripada
procainamide namun dilaporkan bahwa ia menyebabkan torsades de pointes sebesar
4,3%.
Jika pasien dengan rapid atrial fibrillation mengalami ketidakstabilan hemodinamik, keputusan
sulit untuk melakukan electrical cardioversion setelah pemberian heparin 5000 unit iv harus
dilakukan. Risiko tremboembolisme setelah atrial fibrillasi sepertinya terus berlangsung selama
beberapa minggu setelah cardioversion. Sehingga antikoagulan harus terus diberikan selama 3
bulan kecuali didapatkan adanya kontraindikasi.

Catatan : Direct Cardioversion aman dan efektif (90% conversion rate) pada konversi AF
menjadi sinus rhythm.
Hospitalization : tidak harus dilakukan pada seluruh pasien AF, namun perlu dilakukan bila :
 Dengan gangguan hemodinamik
 Terdapat gejala aritmia yang hebat (misal nyeri dada, tanda iskemik koronaria, CCF)
 Terdapat risiko tinggi untuk embolisme (misal gagal jantung, CCF, mitral stenosis,
riwayat CVA, usia >65tahun)
 Terdapat AF>48 jam atau durasi yang tidak pasti untuk mengkontrol heart rate dan
menginisiasi antikoagulasi.
 Terdapat kegagalan cardioversion pada ED
AF dapat dipertimbangkan untuk KRS bila :
 Durasi <48jam, juga mengalami keberhasilan dalam terapi cardioversion di ED, tanpa
adanya tanda gagal jantung atau iskemik.
 Onset awal AF dengan kontrol ventricular rate yang baik, keadaan umum baik, dan
telah mengalami pengaturan terapi antikoagulasi. Atur jadwal kontrol untuk follow up
pada spesialis jantung.

Wide Complex Tachydysrhythmias


Catatan : seluruh regular wide complex tachycardias harus diterapi sebagai ventricular
tachycardia, terutama bila pasien memiliki riwayat CAD.
Pengecualian pada pasien :
 Memiliki riwayat SVT dan suspek aberrancy : berikan adenosine/verapamil
 WPW syndrome dengan preexcitation tacycardias : berikan adenosine/amiodarone
Catatan : Jangan melakukan terapi irregular wide complex tachycardia (gambar 7) dengan
Calsium Channel Blockers (verapamil atau diltiazem), beta blockers atau digoxin karena
blocking pada AV node dapat menyebabkan impuls dari AF ke jalur accessory di bagian bawah
dan dapat menyebabkan VF.

Sebelum memberikan obat apapun, periksa hemodinamik pasien. Adnya instabilitas


mengharuskan untuk memberikan sedasi yang diikuti dengan sinkronisasi electrical
cardioversion.
 Amiodarone : obat ini merupakan obat pilihan karena efektif pada VT, SVT dengan
aberrancy dan SVT. Jika terjadi kegagalan, maka synchronized cardioversion merupakan
indikasi.
Dosis : amiodarone 150 mg iv selama 10 menit; dapat diulang 1 kali.
 Procainamide merupakan obat pilihan kedua.
Dosis : 100mg selama 5 menit; dapat diulang sampai total 1 g, diikuti dengan infus 1-4
mg/menit
Perhatian : Hentikan bolus jika :
1. Disritmia berhenti
2. QRS complex melebar 50%
3. terjadi hipotensi
4. total 1 g telah diberikan
 Lignokain : masih merupakan pilihan popular karena penggunaannya yang cukup lama,
toksisitasnya relative rendah dan mudah dalam pemberiannya. Namun, bukti penelitian
tidak mendukung penggunaannya kecuali sebagai pilihan kedua atau ketiga.
Dosis : 1,0-1,5 mg/kg iv; ulangi dalam 3-5 menit sampai dosis maksimum 3 mg/kg.
Tabel 3 : Cara Membedakan VT dari SVT dengan Aberrant Conduction atau Prior Bundle
Branch Block

VT SVT
Riwayat
IHD; CCF; usia > 35 tahun 90% spesifik untuk VT Bagaimanapun, riwayat (-)
tidak dapat menyingkirkan
diagnosa SVT
Pemeriksaan Fisik
1. Irregular cannon Mungkin ada Tidak ada
gelombang ‘a’ pada
pulsasi vena jugularis
2. Intensitas suara jantung
pertama yang Mungkin ada Tidak ada
bervariasi
EKG
1. Lebar QRS Biasanya >140 ms <140 ms
2. Hubungan AV AV dissociation (<50% VT) (Gambar 3)
Fusion Beats (kombinasi sinus dan
takikardi QRS) (gambar 3)
Capture Beats (depolarisasi total dari
ventrikel oleh konduksi sebuah sinus
beat)

3. Aksis QRS 30o sebelah kiri atau pada kuadran IV


(gambar 4)
4. Pola ‘concordance’ Diagnostic virtual VT (gambar 5)
(terdapat pada QRS
complex yang + atau –
pada semua lead
prekordial
5. Morfologi QRS Pada V1: Gelombang R monofasik…. Pada V1: Trifasik QRS……
Wide complex qR complex………………...
tachycardia dengan ‘left rabbit ear’ lebih besar ‘right rabbit ear’ lebih tinggi
pola RBBB daripada ‘right ear’ ………. daripada ‘left ear’…………
(didefinisikan sebagai Pada V6: Pola QS……………………
QRS positif dominant Rasio r/s <1……………….
pada lead V1) Pada V1-2: Gelombang R awal tinggi dan
lebar >0,04 detik dengan
‘slurring’ bagian awal dari
QRS ……………………..
Pada V6: QS atau predominan defleksi
negative…………………..
25. Keracunan, Prinsip Umum

Caveats

 Riwayat overdosis obat (OD) sering tidak dapat dipercaya. Sehingga seseorang harus
memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi dan asumsikan kemungkinan overdosis berbagai
macam obat termasuk konsumsi alcohol. Lihat Annex untuk mengetahui sumber
keracunan utama di Singapore.
 Berikan perhatian lebih pada pemeriksaan fisik untuk mengetahui petunjuk tipe keracunan
yang terjadi.
 Pasien dengan AMS dengan kecurigaan OD harus di-EKG untuk mengeksklusi
kemungkinan keracunan antidepresan golongan siklik dan periksa GDA untuk
mengeksklusi adanya hipoglikemi. Pertimbangkan beberapa diagnosa banding AMS
lainnya. Lihat bab AMS (Altered Mental State).
 Ingat bahwa manajemen yang bijaksana dalam menangani OD meliputi pemberian
perhatian pada keadaan emosional/psikologis pasien, disamping juga harus menangani
efek klinis dari OD.
 Gastric Lavage jangan digunakan secara rutin pada setiap kasus OD. Lihat baba Gastric
decontamination untuk lebih detilnya.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum


 Jangan menginduksi EMESIS pada pasien dengan OD menggunakan sirup Ipekak.
Karena sirup ipekak dapat memperlambat pemberian atau mengurangi efektivitas dari
arang aktif, antidotum oral, dan iritasi yang terjadi di seluruh bowel.
 Secara umum akan lebih aman untuk merujuk pasien OD ke ED dengan ambulan.
Sebuah pengecualian yang pasti adalah pada pasien anak-anak yang secara tidak
sengaja meminum pil KB, cukup beri KIE dan pasien dapat dipulangkan.
 Pertimbangkan kemungkinan kecelakaan yang tidak disengaja pada pasien pediatric
dengan riwayat keracunan.
 Perhatikan ABC pada pasien OD sebelum dirujuk ke ED.

Riwayat/Anamnesa
 Pasti OD atau OD yang masih belum jelas?
 Apa, kapan, seberapa banyak, bagaimana, dimana, kenapa? Gejala akibat paparan?
 Apa ada risiko bunuh diri? Jika ada, konsul bagian psikiatri.
 Riwayat psikiatri dan penyakit dahulu (termasuk riwayat pengobatan).
 Apa ada percobaan bunuh diri sebelumnya?

Pemeriksaan fisik
Tanda Vital
Lihat tabel 1 untuk lebih detilnya
Bau
 Bau yang jelas : bensin/bahan pemutih/insektisida
 Bau lain dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 1 : Diagnosa Banding Beberapa Tanda Vital Akibat Over Dosis Obat

Temperatur Denyut Nadi/ritme Tekanan Darah Respiratory


HIPOTERMI (“COOLS”) BRADIKARDI (“Paced”) HIPOTENSI (“CRASH”) HIPOVENTILASI
C Carbon monoxide P Propanolol (beta blockers) C Clonidine (atau antihipertensi lain) Opioids
O Opioid A Anticholinesterase drugs R Reserpin
O Oral Hypoglycaemics, insulin C Clonidine, Calsium channel A Antidepresan
L Liquor E Etanol/alkohol S Sedatif hipnotik
S Sedative hypnotics D DigoKSin H Heroin (opiates)
HIPERTERMI (“NASA”) TAKIKARDI (“FAST’) HIPERTENSI (“CT SCAN”) HIPERVENTILASI
N Neuroleptic malignant syndrome, nicotine F Free base (cocaine) C Cocain Salisilat
A Antihistamin A AntiKolinergik, antihistamin, amfetamin T Teofilin CNS stimulant
S Salisilat, simpatomimetik S Simpatomimetik (kokain, PCP) S Simpatomimetik Sianida
A Antikolinergik, antidepressan T Teofilin C Caffein
A Antikolinergik, amfetamin
N Nikotin
DISRITMIA
Digoksin
Siklik antidepressant
Simpatomimetik
Fenotiazine
Khloral hidrat
Antikonvulsan
Tabel 2 : Bau dari Zat Racun
Bau Kemungkinan Racun
Buah-buahan Etanol
Kapur barus Kamper/naftalene
Buah Almond Sianida
Pelitur Sianida
Stove gas Karbonmonoksida
Telur busuk Hidrogen sulfide
Bawang putih Arsenik/parathion
Wintergreen metilsalisilat
Catatan : Karbon monoksida tidak berbau. Stove gas berbau karena adanya zat berbau busuk
yang dikenal senagai merkaptan.

Pemeriksaan Neurologik
 Tingkat Kesadaran : Lihat beberapa jenis obat dan racun yang dapat menyebabkan
koma atau stupor
CNS Depressan Umum Hipoksia selular
Antikolinergik Karbonmonoksida
Antihistamin Sianida
Barbiturat HIdrogen sulfida
Antidepresan gol.siklik Metamoglobinemia
Etanol dan alcohol lain
Fenotiazin
Obat sedative-hipnotik
Zat Simpatolitik Mekanisme lain atau yang tidak diketahui
Klonidin Bromida
Metildopa Hypoglicaemic agents
Opiat Litium
Phencyclidine
Salisilate
 Pupil : obat–obat dan racun yang berefek pada pupil :
MIOSIS (‘COPS’) MIDRIASIS (‘AAAS’)
C Cholinergics, klonidin A Antihistamin
O Opiat, organofosfat A Antidepresan
P Phenotiazines, pilocarpin, pontin bleed A Antikolinergik, atropin
S Sedatif-hipnotik S Simpatomimetik (kokain, amfetamin)

 Fits/kejang disebabkan oleh zat dibawah ini (‘OTIS CAMPBELL’)


O Organofosfat C Camphor, cocaine
T Cylic antidepressant A Amfetamin
I Insulin, isoniazide M Metilxantin
S Sympathomimetics P PCP (Phencyclidine)
B Beta blocker
E Ethanol
L Lithium
L Lead
 Tanda Fokal : lihat penyebab yang lain, misalnya trauma
Kulit
 Diaforesis (‘SOAP”) dan Hipoglikemi
S Simpathomimetics
O Organofosfat
A ASA (Salisilat)
P PCP dan hipoglikemi
 Kulit Kering : Antikolinergik
 Blistering/Melepuh
1. Karbonmonoksida
2. Barbiturat
3. Poison ivy
4. Sulphur mustard
5. lewisite
 Kulit menjadi Berwarna
Merah : Antikolinergik
Sianida
Karbonmonoksida
Biru : Metamoglobinemia
 Terdapat bekas tusuk jarum : opioid

Toxidromes
 Opioid
1. Koma
2. Depresi respiratori
3. Pinpoint pupil
4. Hipotensi
5. Bradikardi
 Kolinergik (‘SLUDGE”) misalnya organofosfat/karbamat
S Salivasi
L Lakrimasi
U Urinasi (BAK)
D Defekasi
G Gastric emptying (pengosongan lambung)
E Emesis
1. ‘Drowning in their own secretions’ (tenggelam dalam sekret mereka sendiri)
a. Bronchorrhoe
b. Spasme bronkus
c. Edema pulmonal
2. AMS
3. Kelemahan otot dan paralise
4. Bau bawang putih
 Antikolinergik; misal antihistamin, siklik antidepressant, homatropin, skopolamin
1. Hipertermi
2. Vasodilatasi kutan
3. Penurunan salivasi
4. Sikloplegia dan midriasis
5. Delirium dan halusinasi
6. Tanda-tanda lainnya
a. Takikardi
b. Retensi urin
c. Penurunan motilitas GIT/ hilangnya bising usus
 Salisilat
1. Demam
2. Takipneu
3. Vomiting
4. Letargi (jarang terjadi koma)
5. Tinnitus
 Simpatomimetik misal : kokain, amfetamin
1. Hipertensi
2. Takikardi
3. Hiperpireksi
4. Midriasis
5. Ansietas atau delirium
 Sedatif-hipnotik misal : barbiturate, benzodiazepine
1. Perubahan pupil yang tidak dapat diprediksi
2. Kebimgungan atau koma
3. Depresi nafas
4. Hipotermi
5. Vesikel atau bulae
 Ekstrapiramidal : Gambaran parkinsonian (‘TROD”)
1. Tremor
2. Rigiditas
3. Opistotonus, krisis okulogirik
4. Disfonia, disfagi
Kategori obat ini termasuk ‘zines’
1. Klorpromazin (Largactil/Thorazine)
2. Proklorperazin (Stemetil/Compazine)
3. Haloperidol (Haldol)
4. Metoklopramide (Maxolon/Reglan)
 Hemoglobinopati
1. Karboksihemoglobinemia
a. Sakit kepala
b. Nausea, vomiting, gejala ‘flu like’ illness
c. Sinkope, takipnoea, takikardi
d. Koma, konvulsi
e. Kollaps kardiovaskular, gagal nafas
2. Metamoglobinemia
a. Manifestasi klinis yangmenonjol adalah sianosis (‘chocolate blood’)
b. Asimtomatik (level metamoglobin <30%)
c. Fatigue, kelemahan, pusing, sakit kepala (level metamoglobin 30-50%)
d. Letargi,stupor, depresi nafas (level metamoglobin >55%)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
 FBC : peningkatan TWC = infeksi/zat besi/teofilin/hidrokarbon
 Elektrolit Serum
1. Anion Gap = [Na+] - [HCO3-]- [Cl-]
2. Anion gap normal = 8 sampai 16 mEq/l
 Asidosis metabolic/peningkatan anion gap
C Carbonmonoxide, sianida M Metanol, metamoglobin
A Alkoholic ketoacidosis U Uremia
T Toluene D Diabetik ketoasidosis
P Paraldehide
I INH/Besi
L Laktic asidosis
E Etilen glikol
S Salisilat, solvent/pelarut
 Serum Urea dan kreatinin : untuk mengidentifikasi adanya disfungsi ginjal
 Pemeriksaan toksikologi terhadap kadar obat, bermanfaat pada :
1. Paracetamol
2. Salisilat
3. Kolinesterase
4. Besi
5. Litium
6. Teofilin
7. Karbonmonoksida
Foto X Ray
 Dada
1. Agen yang toksik terhadap pulmo, contoh hidrokarbon/gas toksik/racun/paraquat
2. edema pulmonal non kardiak, contoh : opiate/fenobarbiton/salisilat/karbonmonoksida
 Abdominal : toksin radioopaque pada foto x ray (‘CHIPES”)
C Chloral hydrate
H Heavy metal /logam berat
I Iron (besi)
P Phenothiazine
E Enteric-coated preps (salisilat)
S Sustained release products (teofilin)
EKG
 Siklik antidepresan mempengaruhi system konduksi kardiak, misal PR yang memanjang
dan QRS interval yang memanjang

Manajemen
Pasien dengan AMS atau instabilitas hemodinamik harus ditangani pada area critical care.
Walaupun banyak kasus OD yang dapat ditangani pada area intermediate care.

Kasus Pada Area Critical Care


 Peralatan manajemen airway harus selalu dalam keadaan tersedia.
Catatan : pasien dengan Oksigenasi
Yang adekuat namun memiliki gangguan gag reflex dan memerlukan gastric lavage akan
membutuhkan intubasi profilaksis orotracheal.
 Obat resusitasi harus selalu tersedia
 Berikan suplemen O2 untuk maintenance SPO2paling tidak 95%)
 Monitoring EKG, tanda-tanda vital, tiap 5- 15 menit, pulse oksimetri
 Pasang jalur iv perifer
 Labs : lihat bab Diagnostic aids laboratory
 Pasang kateter (tergantung kasus)
 Kontrol kejang dan diritmia; penatalaksanaan standart dapat dilakukan kecuali pada
keracunan antidepresan gol. Siklik. Dimana komplikasi kardiak dan CNS dapat dicegah
dengah alkalinisasi darah sampai pH 7,5. hal ini bisa dicapai dengan hiperventilasi atau
pemberian sodium bikarbonat iv, atau keduanya.

“Cairan yang digunakan Pada keadaan Koma”


 Dekstrose 50% : berikan hanya bila hipoglikemi sudah jelas terjadi karena sebenarnya ia
dapat mengganggu penyembuhan gangguan neurologik.
 Nalokson (Narcan):
Mekanisme kerja : efek berkebalikan dari opioid sperti depresi nafas, sedasi dan
hipotensi.
Efek Klinis : Onset terjadi dalam 2 menit.
Dosis : Tidak bergantung pada usia dan ukuran tubuh (kecuali neonatus). Dosis dewasa
dan anak-anak 2mg (dapat diulang sampai 10-20mg).
Jalur pemberian : iv/endoytracheal/intralingual
Indikasi : aman digunakan namun hanya menambah sedikit nilai diagnostic dimana
sensitivitas parameter klinik sebagai prediktor respon terhadap nalokson adalah sebesar
92%.
Perhatian : potensiasi tercetusnya dari gejala withdrawal dapat terjadi pada pasien yang
telah kecanduan opioid. T1/2 nalokson kadang lebih rendah daripada beberapa opioid
lain. Sehingga, ada kebutuhan untuk memonitoring secara terus menerus disertai
pemberian nalokson ulang.
 Perkiraan overdosis opioid : lihat tabel 3
 Perkiraan respon terhadap nalokson : lihat tabel 4.

Tabel 3: Perkiraan Overdosis Opioid


Parameter klinik Sensitivitas (%) Spesivisitas (%)
Laju nafas < 12x/menit 79 94
Pupil Pinpoints 75 85
Bukti yang circumstantial 67 95
Apapun yang tersebut diatas 92 76

Tabel 4 : Perkiraan Respon Terhadap Nalokson


Parameter klinik N Sensitivitas (%)
Laju Nafas < 12x/menit 20 80
Pupil Pinpoint 22 88
Bukti yang circumstantial 15 60
Apapun yang tersebut diatas 24 96

 Flumazenil (Anexate)
Mekanisme Kerja : merupakan suatu Benzodiazepin (BZD) yang secara struktural terkait
dengan midazolam. Flumazenil berkompetisi dengan benzodiazepine lain pada reseptor
omega I pada CNS.
Efek Klinis : Onset 1-2 menit dengan efek puncak dalam 3-5 menit.
Durasi efek : 1-4 jam
Dosis kecil berkebalikan terhadap hypnosis, yaitu sedasi BZD
Dosis Besar berkebalikan terhadap efek antikonvulsan BZD.
Indikasi : Overdosis BZD dalam kondisi sedasi yang masih sadar akan meningkatkan
status pernafasan.
Peningkatan tingkat kesadaran pada kasus OD benzodiazepine untuk mencegah
prosedur intubasi atau invasive.
Dosis : inisial 0,2 mg iv; tunggu 30 detik, kemudian diulangi pada dosis 0,3mg iv; jika
diperlukan, dapat diberikan 0,5 mg/menit lagi sampai dosis total 3-5 mg.
Efek Samping : BZD withdrawal
Kejang, terutama pada pasien ketergantungan siklik antidepresan atau BZD.
Flush
Nausea dan/ atau vomiting
Ansietas, palpitasi, ketakutan
Kontraindikasi : Psien yang mengkonsumsi BZD dalam jangka panjang untuk
mengkontrol kejang.
Penggunaan BZD untuk antisipasi, misal sedasi, relaksasi otot, antikonvulsi.
Toksisitas siklik antidepresan yang terjadi bersamaan.
Trauma kepala yang berat
 Tiamin : umumnya aman; diindikasikan pada semua pasien alkoholik atau pada lansia,
malnutrisi. Dosis : 100 mg iv bolus selama 1-2 menit.
Dekontaminasi
 Tergantung pada agent yang terlibat, perlengkapan proteksi yang tepat harus
digunakan. Pada kadar minimal, petugas harus mematuhi seluruh peraturan dasar yang
berlaku.
 Prosedur dekontaminasi:
1. Pindah dari area yang terkontaminasi
2. Buka seluruh pakaian yang terkontaminasi
3. sikat bersih seluruh kulit dari kontaminasi bubuk untuk menghindari reaksi
eksotermik ketika kontak dengan air yang digunakan untuk dekontaminasi.
4. Cuci seluruh area dengan air dan/atau larutan sabun (dan shampoo rambut).
Gunakan scrub yang halus jika ada.
5. Area yang harus diperhatikan adalah kepala, aksila, ‘groin’ dan punggung.
6. Sikat bagian bawah kuku
7. Irigasi mata jika terkontaminasi
8. semua luka yang terbuka harus didekontaminasi dengan air.
 Tujuan akhir dekontaminasi
1. Sampai terjadi pengurangan rasa nyeri, jika paparan terhadap kulit terjadi secara
primer
2. Jika terjadi kontaminasi pada mata, sampai gejala nyeri menghilang dan/atau ada
kemungkinan perubahan warna pH kertas Litmus sesuai dengan sifat agent yang
terlibat.
3. Dekontaminasi penuh harus dilakukan 5-8 menit.

Dekontaminasi Lambung
 Dilusi : air/susu
 Gastric lavage harus tidak dilakukan sebagi penatalaksanaan rutin pada pasien
keracunan. Pada penelitian eksperimental, jumlah marker yang dikeluarkan melalui
gastric lavage sangatlah bervariasi dan akan menghilang seiring waktu. Tidak ada
bukti yang pasti bahwa penggunaannya akan memperbaiki outcome pasien serta dapat
menyebabkan morbiditas yang cukup bermakna.
Indikasi : Tidak dipertimbangkan kecuali pasien telah menelan sejumlah zat racun
yang berbahaya bagi jiwa dalam waktu 1 jam sejak ditelan. Walaupun
demikian, manfaat klinis belum dapat dipastikan melalui penelitian yang ada.
Kontra indikasi Penelanan zat korosif
Penelanan zat distilasi petroleum
Keadaan yang menuju kejang
Penelanan zat Non toxic
Penelanan bahan yang tajam
Diatesis hemorhagik signifikan
Prosedur : Gunakan Tube yang paling besar
Untuk memproteksi jalan nafas
Tempatkan pasien pada posisi left lateral dan posisi mild tredelenburg
Periksa penempatan tube dengan benar
Aspirasi isi lambung dan simpang specimen untuk dikirim/diperiksa
Lakukan cuci lambung dengan cairan
Gerakkan lambung
Ulangi hingga cairan yang dicuci telah jernih
 Arang aktif
1. Dosis tunggal : jangan diberikan secara tunggal pada penatalaksanaan keracunan.
Berdasarka penelitian yang menggunakan sukarelawan, efektivitas arang karbon
aktif akan menurun seiring waktu; manfaat terbaik ditemukan dalam waktu 1 jam
setelah dikonsumsi/ditelan.
2. Indikasi : dapat dipertimbangkan jika pasien telah menelan sejumlah zat toksik
(yang dapat diserap oleh arang aktif) dalam waktu 1 jam; data yang ada belum
cukup untuk menentukan keefektivitasan penggunaaan arang aktif bila digunakan
lebih dari 1 jam sejak penelanan racun. Juga tidak ada bukti yang menyatakan
adanya kemajuan output klinik setelah penggunaan arang aktif.
3. Dosis multiple : pemberian ulang (>2 dosis) bertujuan untuk meningkatkan efek
eliminasi obat. Cara kerjanya:
A. Berikatan dengan obat yang berdifusi dari sirkulasi ke dalam lumen usus.
Setelah absorbsi, obat akan masuk kembali ke dalam usus dengan difusi
pasif yang dihasilkan karena konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan
dengan di darah. Laju difusi pasif bergantung pada gradient konsentrasi
dan aliran darah. Gradient konsentrasi ini dipertahankan dan obat akan
terus masuk ke lumen usus dimana kemudian ia akan diabsorbsi oleh arang
aktif. Proses ini dikenal sebagai “Gastrointestinal Dialysis”.
B. Mengganggu sirkulasi obat pada siklus enterohepatik dan enterogastrik.
4. Indikasi : Dosis multiple arang aktif harus dipertiombangkan hanya jika pasien
menelan sejumlah obat yang mengancam jiwa, misalnya carbamazepin, dapsone,
fenobarbitone, quinine atau teofilin.
5. Obat-obatan yang dapat diserap oleh Arang aktif:
Asetaminofen Digoksin Meprobamate Fenilpropanolamin
Amfetamin Ethchlorvynol Mercuric Chloride Fenitoin
Arsenik Glutethamide Metilsalisilat Propoksifen
Aspirin Imipramide Morfin Quinidin
Chlorpheniramine Iodine Nortryptilin Quinine
Klorpromazine Ipekak Paraquat Salisilat
Kokain Isoniazide Fenobarbitone Secobarbitone
6. Substansi yang tidak diabsorbsi oleh arang aktif
a. Ion sederhana : besi, litium, sianida
b. Asam dan basa kuat
c. Alkohol sederhana : methanol, etanol
 Katartik : pemberian katartik secara tunggal tidak memiliki peran pada pasien yang
keracunan., serta tidak direkomendasikan sebagai metode untuk dekontaminasi usus.
Berdasarkan data yang tersedia, penggunaaan rutin katartik sebagai kombinasi dengan
arang aktif tidak dibenarkan. Jika menggunakan katartik maka harus dibatasi sebagai
dosis tunggal untuk meminimalisir efek samping yang ada.
Mekanisme kerja : penurunan waktu transit gastrointestinal (kontroversi)
Menetralisir efek konstipasi dari arang aktif
Juga berguna untuk irigasi bowel.
Kontraindikasi Diare yang sebelumnya telah terjadi
Obstruksi bowel/ileus
Keadaan deplesi volume cairan tubuh
Bayi
Gagal ginjal sebagai kontraindikasi penggunaan magnesium yang
mengandung katartik
Trauma abdomen

Tindakan untuk meningkatkan usaha Eliminasi


 Forced alkaline diuresis
Alkalinisasi : alkalinisasi urin untuk meningkatkan eliminasi asam lemah memiliki
peran yang terbatas pada salisilat, fenobarbitone, dan herbisida 2,4 (asam
diklorofenoksiacetik [2,4-D]).
Regimen Siklus 1,5 L cairan/3jam:
500 ml Dekstrose 5% + NaHCO3 8,4% pada 1-2ml/kgBB
500 ml Dekstrose 5% + 30ml potassium chloride 7,45%
500 ml NS
IV furosemide 20 mg pada akhir dari siklus
Monitor pH serum dan elektrolit : pH urin harus dipertahnakan pada pH ≤ 8.
Perhatian : Usia lansia
Pasien dengan gangguan jantung
Pasien dengan penyakit ginjal
Penelanan zat yang bersifat cardiotoksik dan nefrotoksik
 Hemoperfusi : indikasinya adalah pada keracunan yang berat, yaitu teofilin dan
barbiturate
 Hemodialisis, indikasinya pada :
1. Etilenglikol
2. Metanol
3. Lithium (dengan perubahan CNS yang signifikan)
4. Salisilat (dengan kejang, AMS, asidosis metabolic yang hebat serta level serum >
100mg/dl).
 Antidotum spesifik : lihat tabel 5 untuk detilnya
 Penempatan : MRS harus ke bagian General Medicine untuk mengantisipasi transfer
ke bagian psikiatri. OD yang tidak mengancam jiwa tanpa adanya kecurigaan
percobaan bunuh diri yang kuat dapat di KRS-kan setelah konsul pada bagian
psikiatri.
Tabel 5 : Antidotum Spesifik terhadap Toksin
Toksin Antidotum Dosis
Asetaminofen, N-acetylcysteine (parvolex) 150mg/kg iv dalam 200ml D5W x 15 menit,
parasetamol tiap 1 ml mengandung 200mg kemudian iv 50mg/kg dalam 500ml D5W x 4
Parvolex) jam, kemudian iv 100mg/kg dalam 1000ml
D5W x 16 jam
Arsenik, merkuri, BAL (Dimercaprol) 5mg/kgBB IM
lead
Atropin Physostigmine 0,5-2mg IV
Benzodiazepin Flumazenil (anexate) Lihat bagian “Coma cocktail/Cairan yang
digunakan Pada keadaan Koma”
Karbonmonoksida Oksigen O2 100% (hiperbarik untuk paparan moderate-
severe dan paparan yang terjadi pada wanita
hamil) Lihat Bab Poisoning, Carbomonoxide
Inhalasi yang berisi 1-2 pearls
Sianida Amyl nitrite pearls Dewasa : IV 300 mg (10 ml) selama 2-5 menit)
Sodium nitrit (larutan 3%) Anak-anak : IV 0,2-0,33ml/kg (6-10mg)
Dewasa : 50 ml IV (12,5g) selama 10 menit;
dapat diulang separuh dosis x 1 prn; anak-anak :
Sodium tiosulfat (larutan 25%) 1,65 ml/kg IV selama 10 menit
Loading dose : 800mg/kg
Etanol (10%) dicampur dengan Maintenance : 1-1,5ml/kg/jam
Ethylen glycol, D5W 1,5mg/kg/jam IV
methanol Desferoksamin 1000-1500mg/m2/hari IV dengan continous
Besi EDTA : kalsium disodium infus
Lead edetate 1-2mg/kg IV x 5 menit
Methylen blue (larutan 1%) 2-4mg IV tiap 5-10 menit prn (dewasa)
Nitrit Atropin 0,5 mg/kg IV tiap 5 menit prn (anak-anak)
Organofosfat 25-50mg/kg IV (sampai 1 g)
Pralidoxime (2-PAM) Lihat bagian “Coma cocktail/Cairan yang
Nalokson digunakan Pada keadaan Koma”
Opioids 2mg IV/IM
Benxtropin (cogentin) 50mg IV/IM/PO
Fenotiazin Difenhidramin 5 g IV (dapat diulang jika kejang terus ada)
Piridoksin Level digoksin yang tidak diketahui: 5-10 vial
Isoniazid (INH) Digitalis fab fragment IV (40µg Fab/vial): dapat diulang.
Digoksin, (Digibind) Kadar digoksin diketahui : # vial digibind =
digitoksin, oleander (serum digoksin) x 5,6L/kg x wt in kg
1000
0,6
Annex
Penyebab Umum keracunan di Singapura
Paracetamol
Benzodiazepin
Bahan pemutih
Detergen rumahan
Antidepressan
Salisilat
Organofosfat
27. Kejang
Caveats
 Lihat tabel 1 untuk mengetahui penyebab kejang yang sering terjadi
 Riwayat yang didapat dari saksi sangat penting untuk diagnosa
 Tanya riwayat medikasi bila pasien telah diketahui memiliki epilepsy

Tips khusus bagi Dokter Umum


 Selalu pertimbangkan kemungkinan meningitis jika ada pasien kejang dengan disertai
demam.
 Rujuk semua pasien dengan kejang pada ED
 Lakukan pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi hipoglikemi sebelum merujuk pasien
ke ED

Manajemen
Isolated Seizure pada sebuah keadaan Epileptik
 Ambil darah untuk mengetahui kadar antikonvulsan
1. Jika rendah, berikan obat dengan dosis dua kali lipat
2. Jika pasien ‘non-compliance, maka buat keadaan menjadi ‘compliance’.
3. Jika keadaan pasien telah compliance terhadap obat, maka tingkatkan dosis jika dosis
maksimum belum tercapai.
4. Jika dosis maksimum telah tercapai, maka konsul neurologist untuk pemberian
antikonvulsan yang lain.
Tabel 1 : Penyebab Umum Kejang

Epilepsi idiopatik
Epilepsi Jaringan parut/scar (sekunder akibat stroke sebelumnya atau trauma kepala)
Meningitis atau ensefalitis
Tumor otak (primer atau sekunder)
Ketidakseimbangan elektrolit seperti hipoglikemi, hipokalemi, hipomagnesemia
Obat-obatan atau alcohol
Convulsive syncope karena disritmia jantung (ventricular fibrilasi/takikardi, torsades de pointes)
Kejang demam (pada anak kecil usia 6 bulan sampai 5 tahun)

 Penempatan : Observasi di ED selama 2-3 jam; KRS bila sudah tidak ada kejang. Rujuk
ke klinik neurology.

Kejang pertama pada pasien yang tidak diketahui memiliki riwayat epilepsy
Catatan : kejang dengan tidak adanya pulsasi utama harus diasumsikan disebabkan karena
ventricular fibrilasi sampai terbukti bukan.
 Dengan demam
1. Periksa GDA
2. Lab: FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium
3. penempatan :
a. meningitis
b. ensefalitis
c. abses serebral
d. Subarachnoid hemorrhage
 Tanpa demam : eksklusi penyebab yang mungkin:
1. Cek GDA
2. Lab : urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium
3. EKG pada pasien tua untuk mencari tanda iskemik atau disritmia
4. Pertimbangkan foto polos kepala jika terdapat riwayat trauma
5. Penempatan :
a. Observasi pada ED selama 2-3 jam. Jika pasien baik, dan tidak ada
abnormalitas pada hasil laboratorium, KRS-kan pasien untuk kontrol ke poli
neurology.
b. Tidak perlu untuk memulai pemberian antiepilepsi
c. Peringatkan pasien agar tidak mengemudi, mengendarai sepeda, minum
alcohol, berenang atau kegiatan memanjat.
d. MRS jika (1) penyebab ditemukan, contoh : faktor risiko positif untuk
abnormalitas intra cranial seperti trauma, alkoholisme, malignansi, shunts,
HIV positif, CVA lama; (2) ada abnormalitas neurologik; (3) pasien tidak bisa
melakukan kontrol untuk follow up; atau (4) pasien atau keluarga pasien
memaksa untuk dirawat.
Status epileptikus
Didefinisikan sebagai kejang ≥ 2 kali tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan atau kejang
yang terus-menerus ≥ 30 menit.
 Terapi suportif
1. Jalan nafas : tempatkan pasien pada posisi recovery
2. Buka dan pertahankan jalan nafas
3. lakukan ‘suction’ pada setiap vomit yang terjadi dengan kateter Yankauer
Catatan : jika pasien tetap kejang, jangan mencoba memasukkan ‘oral airway’,
membersihkan sekresi oral atau mengintubasi pasien.
4. Berikan oksigen aliran tinggi melalui reservoir mask
5. Persiapkan peralatan intubasi kalau saja anda tidak mampu untuk mempertahankan
jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat.
6. Monitoring : tanda vital, EKG, dan pulse oksimetri
7. Akses IV
8. Lab :
a. Cek GDA
b. FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium, fosfat, BGA
c. Pertimbangkan untuk periksa LFT, antikonvulsan individual, toksikologi
serum termasuk etanol.
d. CXR dan urinalisis utnuk mengeksklusi penyebab
e. Kateter urin
 Terapi obat
1. Benzodiazepin
Dosis : Untuk dewasa, IV valium 5 mg bolus pelan tidak melebihi 2 mg per menit;
dapat diulang tiap 5 menit (sampai total 20mg). untuk bayi dan anak, IV valium
0,02mg/kg pelan, tidak melebihi 2mg/menit; dapat diulang tiap 5 menit (sampai total
10 mg), valium per rectal 5mg suppositoria x 1 PR.
2. Fenitoin
Dosis : infus fenitoin iv 18mg/kgBB pelan-pelan, tidak melebihi 50mg/menit. Namun
Pemberiannya melalui infus tidak boleh melebihi 60 menit karena presipitasi
cenderung terjadi setelah waktu tersebut. Iv fenitoin diberikan tanpa
dilusi/pengenceran (membutuhkan monitoring EKG dan tekanan darah).
3. Barbiturat jangka panjang : fenobarbitone
Dosis : IV fenobarbitone 10 mg/kg bolus lambat dengan kecepatan 100mg/menit,
diikuti dengan jika diperlukan, iv fenobarbitone 10 mg/kg bolus lambat pada
kecepatan 50 mg/menit.
4. Pertimbangkan intubasi rapid sequence : lihat bab Airway Management/rapid
sequence Intubation
 Penempatan : MRS di bagian Neurologi HD/MICU setelah konsultasi.
28. Syok/Keadaan Hipoperfusi

Definisi
 Syok merupakan kondisi patofisiologis dimana perfusi jaringan dan organ yang tidak
adekuat menyebabkan keadaan hipoperfusi dan hipoksia seluler yang kemudian diiukuti
dengan keadaan sequele lainnya. Outcome pada semua pasien syok tidak tergantung dari
penyebabnya (lihat tabel 1).
 Biasanya, tekanan darah sistolik kurang dari normal menurut usia dengan tanda klasik
hipoperfusi seperti pucat, kulit yang dingin, takikardia, diaforesis, atau syok dengan
AMS. Pengecualian yaitu pada Syok septic, dimana pada keadaan dini, terdapat sirkulasi
hiperdinamik dengan kulit yang hangat dan pulsasi yang bounding. Lihat tabel 2 untuk
mengenali berbagai tipe syok.
Caveats
 Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling sering terjadi di ED, dan semua
tahap dari syok tersebut harus ditangani seperti saat awal sampai etiologinya dapat
disingkirkan.
 Pengenalan yang tepat serta inisiasi terapi sangatlah penting untuk mengurangi mortalitas
akibat syok. Evaluasi penyebab syok dilakukan bersamaan dengan penatalaksanaannya.

Tabel 1 : Tipe Syok


Penyebab
Hipovolemik Perdarahan akibat trauma multiple
Perdarahan gastrointestinal
Luka bakar
Ruptur aneurisme aorta
Ruptur kehamilan ektopik
Kehilangan cairan akibat GE akut hebat atau pankreatitis akut
Kardiogenik Infark Miokard akut
Disritmia
Obstruktif Tension pneumothorax
Tamponade jantung
Emboli paru
Septik
Neurogenik Trauma spinal
Anafilaksis

Tabel 2 : Bagaimana mengenali berbagai macam Syok


Informasi Hipovolemik Kardiogenik Neurogenik Septik (keadaan
diagnostik hiperdinamik)
Tanda dan Pucat; kulit lembab, Kulit lembab, Kulit hangat, Rigours, demam,
gejala dingin, takikardi, dingin, taki- dan Heart rate kulit hangat,
oliguri, hipotensi, bradikardi, normal/lambat, takikardi, oliguri,
peningkatan disritmia, oliguri, outpun urin hipotensi,
tahanan peripheral hipotensi, rendah, penurunan
peningkatan hipotensi, tahanan periferal
tahanan periferal penurunan
tahanan periferal
Data Hematokrit rendah Enzim kardiak, Normal Hitung Netrofil,
laboratorium (late) EKG pewarnaan Gram,
kultur
 Syok merupakan suatu keadaan klinis. Pasien dengan tekanan darah normal mungkin masih
berada dalam keadaan syok. Hal ini terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi. Namun,
tidak semua pasien hipotensi mengalami syok.
 Bahkan jika indicator syok menunjukkan hasil normal, syok selular, jaringan atau organ
mungkin masih terus berlangsung. Banyak literatur yang mendiskusikan tentang pemeriksaan
obyektif yang digunakan sebagai target resusitasinya.
Tips Khusus Bagi Dokter Umum :
 Semua pasien syok harus dirujuk ke RS secepatnya untuk evaluasi lebih lanjut
 Hati-hati terhadap gejala yang meragukan pada pasien geriatric dan pediatric, yang
mungkin memiliki tanda yang tidak spesifik pada syok septic. Diperlukan kecurigaan
yang tinggi dalam kasus seperti ini.
Manajemen
 Semua pasien syok harus ditangani pada area critical care.
 Pasien harus dilakukan pemantauan yang terus menerus terhadap jantung, tekanan darah,
pulse oksimetri. Periksa keberadaan ortostatik hipotensi.
 Jalan nafas harus dijaga dan pemberian oksigen 100% dengan non-rebreather mask harus
dilakukan. Pertimbangkan intubasi pada pasien yang parah dengan oksigenasi dan
ventilasi yang tidak adekuat.
 Cari bukti adanya trauma tumpul atau tajam pada dada yang mengindikasikan
kemungkinan tension pneumothorax atau tamponade jantung.
1. lakukan dekompresi terhadap tension pneumothorax dengan insersi kanul 14G diatas ICS
2 pada midclavicular line.
2. Pada kecurigaan tamponade jantung, lakukan konsultasi kepada TKV secepatnya. Mulai
pemberian 500 ml NS iv dan atau infus dopamine iv pada 5 µg/kg/menit dan persiapkan
perikardiosentesis.
 Untuk Syok hipovolemik :
1. Pasang 2 jalur kanul intra vena yang besar (14G/16G) pada kedua fossa antecubital.
2. Lab :
a. FBC, urea/elektrolit/kreatinin
Catatan : (1) hematokrit (hct) merupakan tes yang paling tidak reliable.
Karena hasilnya dapat normal pada tahap awal kehilangan darah yang akut.
Sebagai alternative, peningkatan hct dapat diobservasi pada psien trauma yang
juga pengguna alcohol akut, karena adanya efek diuretic alcohol. (2). Hitung
netrofil absolute juga tidak sensitive dan tidak spesifik pada syok septic,
karena dapat normal, meningkat atau menurun.
b. Troponin T dan enzim kardiak
c. Profil koagulasi dengan DIVC screen jika diperlukan dan GXM (6 unit
WB/whole blood pada kondisi kehilangan darah akut).
d. Pencocokan jenis darah secara cepat harus dapat dilakukan oleh bank darah
jika transfuse darah bersifat urgen.. BGA harus dilakukan jika diperlukan,
terutama pada pasien syok yang parah.
Catatan : Asidosis metabolic, peningkatan laktat dan deficit basa bermaklna
merupakan petunnjuk buruknya prognosis. Kemampuan memperbaiki
abnormalitas ini akan meningkatkan outcome-nya. Namun, sodium bikarbonat
tidak rutin digunakan karena hanya berpengaruh sedikit terhadap perbaikan
morbiditas dan angka keselamatan.
3. berikan infus kristaloid minimal 1 liter secara cepat dalam 1 jam dan segera periksa
responnya. Selanjutnya berikan koloid atau WB. Pada psien pediatric, ‘fluid
challenge’ adalah sebesar 20ml/kgBB dengan Hartmann’s solution.
4. Jalur vena sentral kadang diperlukan untuk resusitasi cairan yang berkelanjutan.
 Pemeriksaan EKG dan CXR juga harus dilakukan. Apakah terdapat nyeri dada dan
hentinafas yang mendukung adanya IMA atau emboli paru. Lihat bab myocardial
infection, acute, and pulmonary embolism.
 Tempatkan nkateter urin dan periksa urin dipstick untuk mencari infeksi saluran kemih
atau lakukan tes kehamilan jika ada kecurigaan kehamilan ektopik. Apakah terdapat nyeri
abdomen pada wanita usia subur yang tidak mendapatkan menstruasi terakhir?(catat
HPHT-nya.pasang kateter wanita yang dicurigai kuat mengalami kehamilan ektopik jika
pasien mampu memproduksi specimen urin untuk konfirmasi kehamilan. Lakukan konsul
bagian Ginekologi untuk kecurigaan kehamilan ektopik. Monitor output urin.
 Pada pasien dengan suspek AAA, periksa pulsasi abdominal. Konsul segera TKV.
 Apakah ada demam atau predisposisi lain untuk sepsis karena adanya efek pemasangan
kateter atau pada pasien immunocompromised akibat kemoterapi pasien kanker? Lihat
bab Oncology Emergencies.
1. Sepsis intra abdominal karena gall bladder disease atau peritonitis akibat perforasi
apendiks dan pneumonia bukan merupakan penyebab umum dari syok septic. Pasien
geriatric sama halnya dengan pasien berusia muda dapat menunjukkan gejala yang
non-spesifik dari syok septic.
2. Kultur darah (aerobic dan anaerobic) serta kultur urin harus dilakukan pada pasien
syok septic.
3. Antibiotik broad spectrum harus diberikan setelah darah diambil untuk kultur. Lihat
bab Sepsis/Septic shock.
 Jika dicurigai syok neurogenik akibat trauma spinal cord yang terkait dengan fraktur
vertebral, konsultasikan dengan bagian ortopedik. Lihat bab Spinal cord injury.
 Jika ada riwayat gigitan atau sengatan atau allergen lain yang potensial seperti obat dan
makanan yang mengindikasikan syok anafilaktik, Lihat bab Allergic
reactions/anaphylaxis.
 Setelah evaluasi yang tepat serta terapi awal, terapi suportif dapat diberikan utnuk
mempertahankan tekanan darah :
1. IV dopamine 5-10 µg/kg/menit
2. IV dobutamine 5-10 µg/kg/menit terutama pada syok kardiogenik.
3. IV norepinefrin 5-20µg/menit, titrasi sampai timbul efek.

Penempatan
 Semua pasien dengan syok harus dimasukkan pada HDW atau ke ICU sesuai dengan
bagian yang menangani setelah melakukan konsultasi.
 Jika ada keterlibatan trauma multiple, maka team trauma harus segera di aktifkan. Lihat
bab Trauma, Multiple.
29. Stridor

Caveats
 Jika jalan nafas pasien paten dan terjaga, jangan mengganggu atau memanipulasi jalan
nafas.
 Usahakan pasien memperoleh posisi yang nyaman, contoh pada anak yang ingin
dipangkuan ibunya.
 Jangan biarkan pasien meninggalkan ED, contoh untuk X ray.

Tips Khusus Untuk Dokter Umum


 Jangan menstimulasi orofaring sebagai percobaan untuk membuat diagnosa
definitive.
 Usahakan pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman, contoh pada anak yang
ingin dipangkuan ibunya.
 Lakukan pemindahan pasien ke RS dengan ambulan daripada dengan mobil pribadi.

Manajemen
 Lihat Tabel 1 untuk membedakan Croup/ALTB dengan epiglotitis

Tabel 1 : Membedakan Croup/ALTB dari epiglotitis pada pasien pediatric


Croup/ALTB Epiglotitis
Usia 3 ½ - 5 tahun 2-7 tahun
Organisme Biasanya Virus: parainfluensa Bakterial : H. influenzae
Onset Hari Jam
Prodomal Ya Tidak
Appearance Non-toksik Toksik
Demam +/- ++
Batuk Menggonggong Tidak ada
Suara Serak Muffled (Diam)
Drooling Tidak ada Ya
Keparahan Bervariasi Biasanya parah
X ray Steeple sign Thumb sign

Terapi suportif
 Kasus moderat sampai parah/berat harus ditangani di area critical care. Hanya kasus
ringan yang dapat ditangani pada area intermediate acuity (tabel 2).
 Lihat tabel 3 untuk mengetahui apa dan apa yang tidak pada penanganan anak-anak
dengan stridor.
 Peralatan manajemen jalan nafas,termasuk krikotirotomi harus selalu tersedia.
 Persiapkan team yang meliputi ahli anestesi dan bedah THT.
 Obat-obatan resusitasi harus tersedia.
 Berikan oksigen aliran tinggi untuk mempertahankan SpO2 >95%.
 Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
 Pasang jalur intravena.
 Lab : bersifat optional
1. FBC, urea/elektrolit/kreatinin preoperative
2. BGA, COHb pada inhalasi asap
3. kultur darah pada suspek epiglotitis
 X ray jaringan lunak leher dari arah lateral dan CXR jika waktu dan kondisi pasien
memungkinkan.

Terapi Obat
 Pada Angioedema
1. Adrenalin : larutan 1 : 10.000 5µg/kg (0,05 ml/kg) iv atau melalui ETT. Berikan
separuhnya sebagai bolus dan separuhnya dititrasi sesuai respon klinik, atau
2. Adrenaline : larutan 1 : 1000 10 µg/kg (0,01 ml/kg) IM dalam, sampai maksimum
yaitu 0,3 ml pada anak-anak dan 0,5 ml pada dewasa.
3. Difenhidramin 2mg/kg IV pada bayi/anak-anak dan 12,5-25 mg IV pada dewasa.
4. Hidrokortison 5 mg/kg IV
 Pada suspek epiglotitis : ceftriaxone (Rocephin) 2 g IV bagi dewasa, atau 100 mg/kg IV
pada anak-anak.
 Pada Croup (ringan / moderat) : 5 ml NS sebagai uap nebulizer dingin tiap 15 menit.
 Pada croup (severe/parah) : Adrenalin dibuat nebulizer sebanyak 5 ml dalam larutan
1:1000 di dalam 2,5 ml air steril.
 Penempatan : Pada kasus yang moderat samapai severe, harus dimasukkan ke dalam ICU
atau OT untuk konsultasi. Croup yang menghilang dengan nebulizer saline dapat di KRS-
kan namun follow up dalam 24 jam harus diatur.
 Kriteria MRS meliputi :
1. Appearance yang toksik
2. dehidrasi atau ketidakmampuan untuk menahan cairan per oral
3. Stridor yang memburuk atau retraksi pada saat istirahat.
4. Orang tua yang tidak bisa diandalkan
5. tidak ada perbaikan dengan nebulisasi adrenalin, atau memburuk dalam 2-3 jam
setelah pemeberian adrenalin.

Keadaan Tertentu yang Ditandai dengan Stridor


Epiglotitis
 Dikenal sebagai penyakit yang terjadi pada anak-anak, namun saat ini juga terjadi pada
dewasa.
 Organisme penyebab yang sering : H. influenzae, S. pneumoniae, dan Streptococcus beta
hemoliticus.
 Manifestasi klinis :
1. Luka tenggorokan yang parah terkait dengan odinofagi (nyeri saat menelan)
2. Demam tinggi
3. Suara Muffled
4. sesak nafas
5. Stridor
6. Nyeri tekan pada laring
7. Pasien cenderung untuk duduk tegak dan membungkuk ke depan untuk mengurangi
gejala obstruktif akibat pembengkakan supra glotik.
 Jika telah dilakukan foto jaringan lunak leher posisi lateral, maka periksa adanya :
1. Pembengkakan bagian anterior jaringan lunak samapi vertebral bodies (Normalnya
sampai 1/3 lebar vertebral body)
2. ‘air fluid level’ pada retropharyngeal space (tidak sering)
 Jika dibutuhkan intervensi jalan nafas yang cepat, pertimbangkan posisi kepala “down
ward’ dan hiperekstensi untuk mencegah aspirasi bila abses rupture.
 Berikan antibiotik IV untuk mengatasi bakteri pathogen termasuk yang anaerob. DOC :
penicillin dengan clindamycin sebagai alternative yang dapat diterima.
 Tim khusus harus diatur untuk memindahkan pasien ke OT.

Aspirasi Benda Asing Pada Tracheobronchial


 Cenderung untuk terjadi pada usia ekstrim terutama pada dewasa dengan serangan
kardiopulmonari; FB umumnya ditemukan selama intervensi jalan nafas.
 Pada anak-anak, fakta yang ditemukan antara lain:
1. 80% kasus terjadi pada anak usia < 3 th
2. Tidak lebih dari 15% FBs tersangkut pada atau di atas trakea
3. kurang dari 10% aspirasi FBs bersifat radioluscen.
4. 24% pasien anak dengan aspirasi FBs telah mengalami misdiagnosa sebagai chest
infection.
5. Esofageal FBs dapat juga menyebabkan airway compromise melalui kompresi trakeal.
 Penatalaksanaan pasien dengan FB pada saluran nafas atas secara cepat dan kegagalan
nafas meliputi seri 5 pukulan/tepukan pada punggung serta 5 pijatan dada ‘chest thrusts’
pada pasien dengan usia <1 tahun, serta maneuver Heimlich pada usia >1 th, termasuk
pada dewasa. Secara langsung, periksa orofaring diantara ‘thrusts/pijatan’ dan jangan
lakukan blind finger sweeps.
1. Jika tindakan di atas tidak berhasil, secara langsung periksa hipofaring melalui
laringoskop. Keluarkan FB dengan forsep Magill jika terjangkau.
2. Jika tindakan diatas tidak berhasil, pertimbangkan intubasi endotracheal atau
pembedahan jalan nafas dibawah situasi yang terkontrol.
3. Team spesialis harus mengatur tindakan laringoskopi atau bronkoskopi.
Tabel 2 : Manajemen Yang Disarankan untuk Croup Berdasarkan Keparahan Hasil Pemeriksaan
klinis
Severitas Manifestasi Klinis Terapi
Ringan Tidak ada retraksi, LOC normal Terapi dengan uap dingin saja, follow
dan berwarna up pada esok harinya.
Ringan sampai Retraksi ringan, warna normal, Terapi sebagai pasien rawat jalan
Moderat sulit bernafas jika terganggu hanya jika pasien membaik setelah
pemberian uap di ED, lebih tua dari 6
bulan dan keluarganya tidak bisa
diandalkan.
Moderat Stridor ringan pada saat istirahat, Berikan adrenalin nebulizer
sianotik dan letargi
Severe / parah Sianotik dengan retraksi berat, Terapi dengan adrenalin nebulizer dan
stridor hebat saat istirahat. MRS ke ICU

Tabel 3 : Apa yang Dilakukan dan Tidak boleh Dilakukan pada Anak Dengan Stridor
Yang Harus Dilakukan Yang tidak Boleh Dilakukan
Perlakukan dengan lembut Jangan melihat ke dalam tenggorokan
Biarkan anak pada posisi yang nyaman Memaksa anak untuk berbaring
Berikan Oksigen yang lembab Melakukan venepuncture sebelum pemeriksaan
Bentuk tim airway : terdiri dari tim anestesi airway oleh ahli anestesi
dan ENT Memaksa melakukan x-ray leher lateral
Atur bed pada ICU jika diperlukan

Angioedema / anafilaksis
 Patensi dan proteksi jalan nafas merupakan prioritas in manajemen
 Pemberian oksigen tidak ditujukan untuk meningktakan agitasi dan mencetuskan henti
nafas.
 Pasang akses iv peripheral untuk ‘fluid challenge’ dengan larutan kristaloid.
 Terapi Obat : lihat Terapi utama pada bab Stridor

Inhalasi Asap
 Injury ditangani awalnya dengan terapi oksigen yang lembab dan dingin
 Jalan nafas buatan mungkin diperlukan karena secret yang dihasilkan akan berlebihan
 Indikasi untuk Intubasi endotrakeal :
1. Hipokesmia yang tidak berespon terhadap supplemental oksigen
2. peningkatan PCO2
3. Obstruksi jalan nafas yang semakin memburuk
 Cek BGA specimen (termasuk COHb). Lihat bab Poisoning, Carbonmonoxide.
 Lakukan EKG untuk mengeksklusi iskemik.
 Lakukan CXR untuk mengeksklusi barotraumas.
30. Sinkope

Definisi
Sinkope merupakan keadaan yang mendadak, hilangnya kesadaran ringan karena gangguan
sirkulasi serebral transient karena berbagai sebab, biasanya terjadi tanpa adanya penyakit organic
atau serebrovaskular.

Caveats
 Banyak kemungkinan penyebab sinkope namun yang paling sering sesuai dengan
evidence yang telah dipublikasikan antara lain:
1. Kardiak (4-25%)
2. Vasodepresor vasovagal (8-37%)
3. Hipotensi ortostatic (4-10%)
4. Sinkope Micturition (1-2%)
5. Hipoglikemi (2%)
6. Etiologi Tidak diketahui (13-41%)
Lihat gambar 1 untuk mengetahui penyebab sinkope
 Kehilangan darah merupakan sinkop yang mengancam jiwa. Kemungkinan perdarahan
GIT harus dicari pada semua pasien. Pada pasien wanita yang memiliki kemampuan
untuk hamil, pertimbangkan kehamilan ektopik.
 Pencarian penyebab sinkope jangan diteruskan jika hipotensi postural talah ditemukan.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


 Walaupun mekanisme Vagal merupakan penyebab benign yang tersering, keadaan
tersebut harus didiagnosa eksklusi. Pertimbangkan penyebab lain yang lebih serius,
seperti kardiak, perdarahan dan kehamilan ektopik.

Manajemen Awal Pada Pasien Sinkope


 Pada setting rumah sakit, kasus tersebut biasanya diperiksa melalui triage lebih dahulu.
Pasien harus dipindahkan ke rea critical care jika parameter ditemukan tidak stabil. Pasien
yang stabil dapat diistirahatkan pada area intermediate care.
 Pasien harus dimonitoring pulsasinya, tekanan darah dan rimt jantungnya.
 ABC pasien harus cepat diperiksa dan oksigen aliran lambat melalui nasal prong harus
diberikan.
 Jalur iv harus dipertimbangkan, terutama parameter awal dari pasien tidak normal atau
ada kecurigaan bahwa penyebabnya adalah karena masalah jantung atau kehilangan
volume (contoh hemorrhage/perdarahan)

Pemeriksaan pasien
 Riwayat yang lengkap sulit untuk didapatkan karena sering sekali pasien lupa kejadian
yang dialaminya. Juga sulit untuk membedakan secara bersamaan antara kejadian
syncopal dari kejang (tabel 1).
 Pemeriksaan fisik yang penting untuk evaluasi sinkope adalah :
1. Tanda kehilangan darah : pucat, takikardi, tekanan darah pada posisi berdiri atau
berbaring.
2. Tingkat kesadaran pasien : jika mengantuk, pikirkan keadaan post ictal, perdarahan
subarachnoid, atau hipoglikemi.
3. pemeriksaan kardiovaskular untuk abnormalitas ritme jantung, murmur, dan gejala
gagal jantung.
4. Carotid bruit mungkin mengindikasikan adanya TIA sebagai penyebab
5. Bukti adanya deficit neurologist, mengindikasikan adanya keadaan iskemik.
6. pemeriksaan rectum untuk mencari adanya darah
 Tekanan Darah harus dilakukan pada semua pasien. Harus dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1. 2 orang diperlukan (untuk mencegah pasien dari “falling”)
2. periksa tekanan darah posisi berbaring dan nadi setelah 10 menit posisi berbaring
3. Pasien berdiri selama 2 menit
4. Lakukan pemeriksaan BP dan nadi
5. Jika pasien tidak dapat melakukannya, lakukan pemeriksaan sambil duduk, dengan
posisi kaki tergantung dibawah kursi.
6. Definisi hipotensi posturtal : penurunan pada SBP > 20 mmHg atau peningkatan PR
>20x/menit.
Gambar 1 : Penyebab Sinkope

Vasovagal Cth: mixturition, defekasi

Takikardi Cth: VT paroksismal, VF


Disritmia
Bradikardi Cth: serangan stokes-Adams

Obstruksi aliran Cth: stenosis aorta,


ventricular kiri kardiomiopati obstruktif
Kardiak Effort syncope hipertropik

Pengisian ventricular
yang inadekuat Tamponade perikardial

Fungsional Cth: Infark Miokard Akut

Cth: rupture Kehamilan ektopik,


Kehilangan cairan aortic dissection, heat stroke

Sinkope Hipotensi Obat-obatan Cth: Diuretik, prazosin,


ortostatik fenotiazine

Neuropatik otonomik Cth: diabetes mellitus

Primer Cth: TIA, SAH, kejang

Serebral
Cth: emboli paru, suclavian
Sekunder steal syndrome, aortic arch
(vascular) syndrome
Neurogenik

Bradikardi
Sindrom
hipersensitivitas
sinus karotid
Reaksi
vasodepressor

Metabolik Cth: hipoglikemi,


hipokalsemi, intoksikasi

Psikiatrik Cth: hiperventilasi psikogenik


Tabel 1 : Diagnosa Banding Sinkope

Kejang Sinkope
Posisi pasien Posisi apapun Jarang pada posis berbaring kecuali
pada Stokes-Adams attack
Warna pasien Mungkin tidak berhenti, Pucat
walaupun mungkin tidak ada
sianosis
Onset Dengan aura, luka akibat jatuh Tanpa aura, injury akibat jatuh jarang
sering terjadi terjadi. Namun, lebih sering untuk
mengalami pengeluaran keringat atau
nausea sebelum kejadian.
Sering tidak ada walaupun ada
Gerakan tonik-klonik Sering aktivitas seperti kejang klonik ringan
dengan buka-tutup dapat mengikuti episode pingsan
mata, lidah tergigit Lebih singkat
Periode Tidak sadar Lebih lama Jarang
Inkontinensia Urin Sering Cepat
Kembalinya kesadaran Lambat Kelemahan fisik dengan sensorium
Sequele Kebingungan mental, sakit yang jelas
kepala, mengantuk, dan nyeri
otot sering terjadi Biasanya tidak ada
Perkataan berulang Mungkin ada
secara tidak sadar pada
individu muda

Pemeriksaan Penunjang
 EKG, harus dilakukan pada semua pasien
1. EKG yang normal membuat kemungkinan iskemik kardiak sebagai penyebab menjadi
mengecil, namun tidak mengeksklusi disritmia.
2. Hasil EKG yang abnormal mengindikasikan adanya risiko hubungan antara keadaan
sinkope dengan penyakit kardiovaskular. Lihat kondisi yang dapat menjadi
predisposisi untuik terjadinya disritmia, contoh : sindroma Wolff-Parkinson-White
atau sindroma QT yang memanjang.
 Pemeriksaan optional, tergantung pada indeks kecurigaan, yang meliputi:
1. GDA untuk mengetahui hipoglikemi
2. HCG urin untuk kecurigaan kehamilan ektopik
3. CT scan kepala jika dicurigai ada keadaan patologis CNS
4. Elektrolit dan FBC tidak dilakukan secara rutin.

Stratifikasi Risiko
 Stratifikasi risiko akan mempermudah pemeriksaan obyektif untuk tatalaksana dan
penempatan pasien dengan sinkope.
Kategori Risiko Tinggi
 Infark Miokard akut, miokarditis, disritmia, block jantung tingkat 2 dan 3, disfungsi pace
maker, ventricular takikardi, sindroma QT memanjang, masalah OBG, kehamilan ektopik,
perhdarahan antepartum, perdarahan GIT yang hebat, emboli paru, heat stroke,
perdarahan subarachnoid.
 Yang harus dilakukan :
1. Pindahkan ke area critical care jika hal tersebut tidak dilakukan lebih awal
2. Resusitasi secepatnya
3. Pertimbangkan MRS pada intensive care
4. lakukan konsultasi pada spesialis/bagian yang terkait
Kategori Risiko Sedang
 Bukti klinis adanya obstruksi aliran keluar LV, seperti AS, suspek CVA atau TIA,
hipovolemi, perdarahan GIT ringan sampai moderately severe, menorrhagi, GE yang
parah, heat exhaustion, hipoglikemi, pasien dengan IHD, CCF atau SVT dan sinkop yang
diinduksi oleh obat.
 Yang Harus Dilakukan :
1. Stabilakn pasien
2. Pertimbangkan untuk meng-MRS-kan pasien
Kategori Risiko Rendah
 Sinkope vasovagal, heat sinkope, sinkope karena situasional (micturition syncope,
postprandial, tussive), sinkope psikogenik, gangguan ansietas dan panic, hiperventilasi,
hipotensi supine jangka pendek (setelah emeriksaan OBG) dan sinkope lain yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya (hasil normal).
 Yang Harus Dilakukan :
1. Eksklusi semua keadaan yang termasuk risiko tinggi dan sedang
2. Observasi selama 2 jam
3. KRS-kan pasien jika sadar, penuh perhatian, serta parameternya stabil.
4. Pada pasien dengan sinkope akibat vasovagal yang rekuren, pertimbangkan untuk
merujuk pada bagian kardiologi untuk tilt tabel test.
31. Trauma, Multipel
Penatalaksanaan Awal

Pendahuluan
Terapi untuk trauma yang serius membutuhkan pemeriksaan yang cepat, juga terapi awal yang
dapat menyelamatkan jiwa. Tindakan ini dikenal sebagai Initial assessment dan meliputi :
 Persiapan
 Triage
 Primary survey (ABCDE)
 Resusitasi terhadap fungsi vital
 Riwayat kejadian
 Secondary survey (evaluasi dari kepala- ujung kaki)
 Monitoring post resusitasi yang berkelanjutan
 Reevaluasi
 Perawatan definitive
Catatan :
 Kedua pemeriksaan yaitu primary dan secondary survey harus diulang secara berkala
untuk memastikan tidak adanya proses deteriorasi.
 Pada bab ini tindakan yang dilakukan akan dipresentasikan secara longitudinal. Pada
setting klinik yang sebenarnya, banyak aktivitas ini terjadi secara simultan.
 Serangan jantung yang terjadi pre hospital biasanya akan berakibat fatal apabila terjadi
lebih dari 5 menit.

Persiapan Di Rumah sakit


Rencana tambahan bagi pasien trauma sangatlah penting. Tiap rumah sakit harus memiliki
Protocol Trauma.

Triage
Merupakan kegiatan yang dilakukan pada setting prehospital, namun kadang-kadang dapat
dilakukan pada ED, jika :
 Fasilitas yang tidak mencukupi : pasien yang terlihat paling parah yang akan ditangani
lebih dulu.
 Jika fasilitas sangat mencukupi : pasien yang paling potensial untuk diselamatkan yang
akan ditangani lebih dulu.

Primary Survey (ABCDE) dan Resusitasi


Selama dilakukannya Primary Survey, kondisi yang mengancam jiwa harus diidentifikasi dan
ditangani secara simultan. Ingat bahwa tindakan lanjutan yang logis harus disesuaikan dengan
prioritas yang didasari oleh pemeriksaan pasien secara keseluruhan.
Catatan : Prioritas penanganan pasien pediatric dasarnya sama dengan penanganan pada
dewasa, walaupun kuantitas darah, cairan, dan obat-obatan mungkin berbeda. Lihat bab Trauma,
Paediatric.

Pemeriksaan Jalan Nafas dengan kontrol Cervical Spine


 Pemeriksaan : Jalan nafas dan cari adanya :
1. Benda asing
2. Fraktur mandibula/facial
3. Fraktur trakeal/laryngeal
 Pemeriksaan singkat Untuk mencari Obstruksi jalan nafas
1. Stridor
2. Retraksi
3. Sianosis
 Manajemen : Pertahankan jalan nafas yang paten
1. Lakukan manuver ‘chin lift’ atau ‘jaw thrust’
2. bersihkan jalan nafas dari benda asing
3. Masukkan orofaringeal atau nasofaringeal airway
4. Pertahankan definitive airway
a. Intubasi orotracheal atau nasotrakeal
b. Needle cricothyrotomy dengan jet insufflation pada jalan nafas
c. Krikotirotomi dengan pembedahan
 Caveats
1. asumsikan bahwa trauma cervical spine merupakan trauma multisistem, terutama
dengan gangguan kesadaran atau trauma tumpul diatas clavicula.
2. Tidak adanya deficit neurologik bukan berarti kita dapat mengeksklusi trauma pada
servical spine.
3. jangan membuat pasien paralise sebelum memeriksa jalan nafas yang lebih dalam dan
sulit
4. Penyebab cardiac arrest/serangan jantung selama atau sesaat setelah intubasi
endotrakeal :
a. Oksigenasi yang inadekuat sebelum intubasi
b. Intubasi esophageal
c. Intubasi bronchial pada bagian mainstem atau cabang utamanya.
d. Tekanan ventilasi yang berlebihan menyebabkan memperlambat venous
return.
e. Tekanan ventilasi yang berlebihan menyebabkan tension pneumothorax.
f. Emboli udara
g. Respon vasovagal
h. Alkalosis respiratori yang berlebihan.

Bernafas (Ventilasi dan oksigenasi jalan nafas secara tunggal tidak akan mendukung ventilasi
yang adekuat).
 Pemeriksaan
1. periksa bagian leher dan dada : pastikan immobilisasi leher dan kepala.
2. Tentukan laju nafas dan dalamnya pernafasan.
3. Inspeksi dan palpasi leher dan dada untuk mencari deviasi trakeal, gerakan dada yang
unilateral atau bilateral, penggunaan otot aksesorius, dan adanya tanda-tanda injury.
4. Auskultasi dada secara bilateral, basal dan apeknya.
5. Jika terdapat suara yang berbeda antara kedua sisi dada, maka perkusi dada untuk
mengetahui adanya ‘dullness’ atau ‘hiperresonan’ untuk menentukan adanya
hemotorak atau pneumothorax secara berturut-turut:
a. Tension pneumothorax
b. Flail chest dengan kontusio pulmonal Dapat mengganggu
c. Pneumothorax terbuka pernafasan secara akut
d. Hemothorax massive

 Manajemen
1. Pasang pulse oksimetri pada pasien
2. Berikan oksigen konsentrasi tinggi
Catatan : FiO2 > 0,85 tidak dapat dicapai dengan nasal prongs atau dengan face mask yang
simple. Non-rebreather mask dengan reservoir diperlukan untuk mencapai FiO2 100%.
3. Ventilasi dengan bag-valve mask
4. Ringankan keadaan tension pneumothorax dengan memasukkan jarum ukuran besar
secara cepat kedalam ICS 2 pada midklavikular line dari sisi paru yang terkena,
kemudian diikuti dengan pemasangan chest tube pada ICS 5 anterior dari mid aksilari
line.
5. Tutup penumothorax yang terbuka dengan pelekat kassa steril, cukup besar untuk
menutupi tepi luka, dan lekatkan pada tiga sisi untuk menciptakan efek flutter-valve.
Kemudian masukkan chest tube pada sisi sisanya.
6. pasang peralatan monitoring end tidal CO2 (jika tersedia) pada endotrakeal tube.

Caveats
1. Membedakan gangguan pernafasan dengan airway compromised mungkin akan sulit,
karena jika gangguan pernafasan yang terjadi akibat pneumothorak atau tension
pneumothorax namun disalahartikan sebagai suatu masalah jalan nafas sehingga jika
pasien diintubasi, keadaan pasien akan semakin memburuk.
2. Intubasi dan ventilasi dapat menyebabkan terjadinya pneumothoraks; sehingga CXR
harus dilakukan segera setelah intubasi dan ventilasi.
3. jangan paksa pasien untuk berbaring pada trolley terutama bila pasien lebih nyaman untuk
bernafas pada posisi duduk.
Sirkulasi dengan Kontrol perdarahan
 Hipotensi setelah terjadi injury harus dipertimbangkan sebagai akibat hipovolemik sampai
terbukti tidak. Identifikasi sumber perdarahannya.
 Pemeriksaan cepat dan akurat terhadap status hemodinamik sangat penting. Elemen yang
penting a.l:
1. Tingkat kesadaran : Penurunan tekanan perfusi serebral dapat terjadi akibat
hipovolemi.
2. Warna kulit : kulit kemerahan : jarang menandakan hipovolemia. wajah keabu-
abuan/kelabu, kulit ektremitas putih menunjukkan hipovolemi; biasanya
mengindikasikan kehilangan volume darah setidaknya 30%.
3. Nadi
4. BP jika waktu mengijinkan
a. jika nadi pada radialis teraba, BP >80mmHg
b. Jika hanya ada di Carotid BP > 60 mmHg.
c. Periksa kualitas nadi; penuh dan cepat
d. Nadi irregular menandakan kemungkinan cardiac impairment
 Manajemen
1. tekan langsung daerah perdarahan eksternal
2. pasang jalur IV dengan ukuran 14G atau 16G
3. Darah untuk : GXM 4-6 unit darah, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi
dan BGA jika diperlukan
Catatan : Jika darah gol. O negatif tidak tersedia, gunakan tipe darah yang spesifik
4. berikan terapi cairan IV dengan kristaloid hangat (NS atau Hartmann’s) dan transfuse
darah.
5. pasang monitor EKG :
a. Disrritmia, pertimbangkan tamponade jantung
b. Pulseless electrical activity : pertimbangkan tamponade jantung, tension
pneumothorax, hipovolemia
c. Bradikardi, konduksi abberant, ventricular ektopik,: pertimbangkan hipoksia,
hipoperfusi
6. Pasang kateter urin dan NGT kecuali ada kontraindikasi.
Catatan : output urin adalah indicator sensitive untuk mengetahui status volume tubuh. Kateter
urin merupakan kontra indikasi jika ada kecurigaan injury pada urethra, misal:
a. darah pada meatus uretra
b. Henatom skrotum
c. Prostate tidak bisa dipalpasi
Gastric tube diindikasikan untuk mengurangi distensi lambung dan menurunkan
risiko aspirasi. Darah pada cairan aspirasi lambung mungkin berarti :
a. darah orofaring yang tertelan
b. akibat tauma pemasangan NGT
c. injury pada GIT bagian atas
Jika ada epistaksis atau serebrospinal fluid rhinorrhea yang mengindikasikan
adanya fraktur cribriform plate, pasang NGT per oral daripada melalui nasal.
7. cegah hipotermi

 Caveats:
1. hipotensi persisten pada pasien trauma biasanya terjadi karena hipovolemi akibat
perdarahan yang terus-menerus.
2. pada lansia, anak-anak, atlet, dan pasien lain dengan kondisi medis kronik, tidak adanya
respon terhadap hilangnya volume merupakan keadaan yang bisa terjadi. Lansia mungkin
tidak menunjukkan takikardi saat kehilangan darah, lebih parah lagi pada pasien
pengguna beta blocker. Pasien anak yang resah akan sering menunjukkan tanda
hipovolemi yang parah.
3. coba jangan memasukkan emergency suclavian line pada sisi yang sehat dari pasien
trauma dada. Jalur IV femoral dapat digunakan. Jika central line digunakan untuk
resusitasi harus digunakan jarum ukuran besar (>8Fr)

Disabilitas (Evaluasi Neurologik)


Cek tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
 Metode AVPUP
A Alert
V respon terhadap rangsang Vokal
P respon terhadap rangsang Pain
U Unresponsif
P ukuran dan reaksi Pupil
Catatan : GCS lebihdetil namun termasuk pada secondary survey; kecuali jika akan
melakukan intubasi maka pemeriksaan GCS harus dilakukan lebih dulu.
1. tentukan tingkat kesadaran dengan metode AVPUP
2. Periksa pupil untuk ukurannya, equalitas dan reaksinya.
Caveats
Jangan anggap AMS hanya terjadi akibat trauma kepala saja, pertimbangkan :
1. Hipoksia
2. Syok
3. intoksikasi alcohol/obat
4. hipoglikemi
5. sebaliknya jangan anggap AMS terjadi akibat intoksikasi alkohol atau obat, dokter harus
dapat mengeksklusi adanya cedera kepala.

Kontrol terhadap paparan/lingkungan


Lepas semua pakain pasien, cegah hipotermi dengan memakaikan selimut dan atau cairan IV
yang hangat, berikan cahaya hangat.
 Monitoring nadi, BP, pulse oksimetri, EKG, dan output urin terus-menerus.
 Lakukan X ray
1. Lateral cervical spine
2. Dada AP
3. Pelvis AP
Secodary Survey
 Evaluasi keseluruhan termasuk tanda vital, BP, nadi, respirasi dan temperature
 Dilakukan setelah primary survey, resusitasi, dan pemeriksaan ABC.
 Dapat disingkat menjadi ‘tubes and fingers in every orifice’
 Dimulai dengan anamnesa AMPLE :
A Alergi
M Medikasi yang dikonsumsi baru-baru ini
P Past illness (RPD)
L Last meal (makan terakhir)
E Event/environment yang terkait injury

Kepala dan Wajah


 Pemeriksaan
1. inspeksi adanya laserasi, kontusio dan trauma panas
2. Palpasi adanya fraktur
3. Evaluasi ulang pupil
4. Fungsi nervus cranial
5. Mata : perdarahan, penetrating injury, dislokasi lensapemakaian contact lenses
6. Inspeksi telinga dan hidung untuk mencari CSF leakage
7. Inspeksi mulut untuk mencari perdarahan dan CSF
 Manajeman
1. Pertahankan airway
2. Kontrol perdarahan
3. Hindari brain injury sekunder
4. Lepaskan contact lenses

Leher
 Pemeriksaan
1. Inspeksi : trauma tumpul dan tajam, deviasi trakea, penggunaan otot pernafasan
tambahan
2. Palpasi : nyeri tekan, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutaneus, deviasi
trakea
3. Auskultasi : periksa ‘bruit’ pada arteri karotis
4. X ray lateral, cross-tabel cervical spine
 Manajemen
Pertahankan immobilisasi cervical spine in-line yang adekuat
Dada
 Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dan tajam, penggunaan otot pernafasan tambahan,
penyimpangan pernafasan bilateral.
2. Auskultasi : nafas dan suara jantung
3. Perkusi : ‘dull’ atau resonan
4. Palpasi : trauma tumpul dan tajam, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
 Manajemen
1. Pasang chest tube
2. dekompresi menggunakan jarum venule 14G pada ICS 2
3. tutup luka pada dada dengan benar
4. Lakukan CXR
Catatan : tidak direkomendasikan untuk melakukan Perikardiocentesis. Torakotomi pada
Emergency Room lebih diperlukan pada pasien tamponade jantung. Rata-rata keberhasilan pasien
dengan luka penetrasi pada dada abdomen, serta pada pasien yang baru mengalami serangan
jantung, juga pada pasien dengan trauma tumpul. Sehingga prosedur ini secara umum tidak
diindikasikan pada trauma tumpul.

Abdomen
 Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dantajam
2. Auskultasi : Bising usus
3. Perkusi : nyeri tekan
4. Palpasi
5. X ray Pelvis
 Manajemen
1. Pemeriksaan klinis pada trauma multiple biasanya sering menghasilkan pemeriksaan
abdomen yang kurang terperinci. Sehingga diindikasikan pemeriksaan FAST (Focuses
Assessment using Sonography in Trauma), CT scan abdomen atau peritoneal lavage.
Lihat Bab Trauma, abdominal.
2. Pindahkan pasien ke ruang operasi, jika diperlukan.

Pemeriksaan Perineal dan Rektum


 Evaluasi
1. Tonus sphincter ani
2. Darah pada rectal
3. Integritas dinding usus
4. Posisi prostate
5. Darah pada meatus urinary
6. Hematoma scrotum
 Pemeriksaan Perineal
1. kontusio, hematom
2. Laserasi
 Pemeriksaan Vagina
1. adanya perdarahan pada vaginma
2. Laserasi vagina
 Pemeriksaan Rektum
1. Perdarahan rectum
2. Tonus sphincter ani
3. integritas dinding usus
4. bony fragments
5. Posisi prostate

Punggung
 Logroll pasien untuk mengevaluasi :
1. Deformitas tulang
2. adanya trauma tajam atau tumpul

Ekstremitas
 Pemeriksaan
1. inspeksi : deformitas, perdarahan yang meluas
2. Palpasi : nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal
 Manajemen
1. Splinting fraktur yang tepat
2. hilangkan nyeri
3. Imunisasi tetanus

Neurologik
 Pemeriksaan : reevaluasi pupil dan tingkat kesadaran, skor GCS
1. Evaluasi Sensorimotor
2. Paralise
3. Parese
 Manajemen
Imobilisasi pasien secara adekuat

Perawatan Definitif/Pemindahan
 Jika trauma pada pasien membutuhkan penanganan yang lengkap, pindahkan pasien
secepatnya.
34. Kedaruratan Asam Basa

Caveats
 Gejala dan tanda kedaruratan asam basa biasanya sangat bervariasi dan kurang
jelas/samar-samar.
 Peran dokter EM adalah untuk mengenali adanya gangguan asam basa, mendiagnosa
penyebab yang mungkin dan menangani pasien dalam optimalisasi resusitasi.
 Selalu pertimbangkan gangguan asam basa/elektrolit pada pasien AMS
 Level PaO2 100mmHg pada pasien yang menerima supplemental oksigen mungkin tidak
normal. Selalu kalkulasikan gradient oksigen alveolar-arterial (A-a gradient).

Tips Khusus Untuk Dokter Umum


 Hiperventilasi merupakan diagnosa eksklusi pasien takipneu. Selalu eksklusi
metabolic asidosis yang menjadi underlying, dengan pernafasan kussmaul, emboli
paru dan asma berat. Lihat bab Hyperventilation.
 Pemeriksaan dengan paper bag rebreathing pada hiperventilasi secara rutin akan
berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia yang signifikan dimana juga terjadi
peningkatan PCO2 yang ringan.

Diagnosa Gangguan Asam Basa


Formula penting
 Persamaan Henderson-Hasselbalch (H-H)
pH = 6,1 + log [HCO3-] (dalam mmol/L) (dimana 6,1 = pKA)
0,03xPaCO2 (dalam mmHg)
1. Pengukuran kadar CO2 Venous Total
Total CO2 = [HCO3-] + CO2 terlarut
= [HCO3-] + 0,03 x PaCO2 (dalam mmHg)
= [HCO3-] + 1,2 (jika PCO2 = 40 mmHg)
2. Karena itulah CO2 venous dapat digunakan untuk memperkirakan kadar bikarbonat
serum. Ingat bahwa hasil yang didapatkan akan lebih tinggi 1 mmHg dibanding
dengan kadar bikarbonat yang sebenarnya.
 Anion gap (AG) : [Na+]-[HCO3-]-[Cl-]
1. Normal = 3-11 mmol/L. perubahan teknik pengukuran elektrolit yang baru telah
memberikan hasil kisaran harga normal AG yang lebih rendah, dan kevaliditasannya
telah dibuktikan melalui penelitian.
2. Peningkatan AG menyokong adanya high anion gap metabolic asidosis (HAGMA).
3. Jika AG sangat rendah, pertimbangkan :L
a. Hipoalbunemia
b. AG turun 2,5mmol/L untuk setiap 1 g/dL penurunan albumin
c. Paraproteinemi
d. Hiponatremi
e. Hipermagnesemi
f. Hiperkloremia palsu
g. Kesalahan lab

Langkah-langkah untuk mendeteksi gangguan asam basa


 Cari abnormalitas pH, [HCO3-], PCO2, dan AG
1. Ketidaknormalan pada salah satu dari 3 variabel persamaan H-H berarti terkait dengan
gangguan asam basa tanpa kecuali.
2. Peningkatan AG merupakan penanda HAGMA, walaupun harga pH atau [HCO3-]
normal.
 Periksa konsistensi internal dari hasil yang didapatkan dengan menggunakan persamaan
H-H jika diperlukan.
 Identifikasi abnormalitas sekunder dimulai dari pH.
1. pH < 7,35 dan [HCO3-] < 20 mmol/L Asidosis metabolic
2. pH < 7,35 dan PCO2 > 45 mmHg Asidosis respiratori
3. pH > 7,45 dan [HCO3-] > 24 mmol/L Alkalosis metabolic
4. pH > 7,45 dan PCO2 < 35 mmHg Alkalosis respiratori
 Identifikasi abnormalitas sekunder dengan memeriksa adekuat atau tidaknya kompensasi.
1. Asidosis metabolic : Expected PCO2 = (1,5 x [HCO3-]) + 8 mmHg (± 2)
a. Jika PCO2 yang didapat lebih rendah dari yang diharapkan, berarti juga ada
alkalosis respiratori.
b. Jika PCO2 yang didapat lebih tinggi dari yang diharapkan, berarti juga ada
asidosis respiratori.
c. Untuk HAGMA, cari adanya kelebihan atau kekurangan anion dengan
memperhitungkan excess anion gap.
(1) Excess anion gap, ΔAG = AG -11
(2) Masukkan ΔAG untuk mengukur [HCO3-]
(3) Jika total = normal [HCO3-], simple HAGMA
(4) Jika total > normal [HCO3-], ion HCO3- berlebihan, concurrent
alkalosis metabolik
(5) Jika total < normal [HCO3-], ion HCO3-kurang, Concurrent NAGMA
2. Alkalosis Metabolik : Expected PCO2 = (0,6 x [HCO3- - 24]) + 40 mmHg
a. Jika PCO2 yang didapat lebih rendah dari yang diharapkan, berarti juga ada
concurrent alkalosis respiratori.
b. Jika PCO2 yang didapat lebih tinggi dari yang diharapkan, berarti juga ada
concurrent asidosis respiratori.
3. Asidosis atau alkalosis respiratori
a. Akut
(1) Perubahan [HCO3-]1 sampai 2 mmol/L untuk setiap perubahan 10
mmHg PCO2
(2) Perubahan pH 0,08 untuk setiap perubahan 10 mmHg PCO2.
b. Kronik
(1) Perubahan [HCO3-]4 sampai 5 mmol/L untuk setiap perubahan 10
mmHg PCO2
(2) Perubahan pH 0,03 untuk setiap perubahan 10 mmHg PCO2.
c. Jika [HCO3-] yang didapat lebih rendah dari yang diharapkan, berarti juga ada
concurrent asidosis metabolic.
d. Jika [HCO3-] yang didapat lebih tinggi dari yang diharapkan, berarti juga ada
concurrent alkalosis metabolic.
 Jika pH normal, periksa gangguan keseimbangan asam basa.
1. [HCO3-] < 20 PCO2 < 35 Asidosis metabolic +
Alkalosis respiratori
-
2. [HCO3 ] >24 PCO2 > 45 Alkalosis metabolic +
Asidosis Respiratori
-
3. [HCO3 ], PCO2 normal AG > 11 HAGMA + Alkalosis metabolic
4. [HCO3-], PCO2 normal AG normal Normal (tidak seperti HAGMA + Alkalosis
metabolic)
‘Three Rules” atau 3 Peraturan at 3 am
 Rule 1 : arah perubahan pH merupakan merupakan abnormalitas yang primer. Mekanisme
kompensasi tidak “overcompensate” atau bahkan mengembalikan keadaan menjadi
normal.
 Rule 2 : Adanya anion gap yang sangat tinggi (> 20) menyokong adanya HAGMA bahkan
bila pHnya atau [HCO3-] normal. Tubuh tidak menghasilkan peningkatan anion gap untuk
mengkompensasi alkalosis yang terjadi.
 Rule 3 : Jumlah excess anion gap pada HAGMA dan hasil [HCO 3-] harus equal dengan
[HCO3-] normal. Jika terdapat kelebihan [HCO 3-], maka terdapat concurrent alkalosis
metabolic. Dan jika [HCO3-] terlalu sedikit, maka terdapat concurrent NAGMA.

Interpretasi sisa Hasil BGA


 Oxygen Delivery dan Oksigenasi
1. penting untuk mencatat jumlah supplementasi oksigen yang diberikan pada pasien
untuk menginterpretasi hasil dengan tepat.
2. FiO2 delivery dapat diestimasi :
a. Nasal prong (2-4L/menit) 21% + 4 % untuk setiap liter per menit.
b. Standart mask (6-8 L/menit) : FiO2 50-60%
c. Reservoir mask (non-rebreather mask) : 80-85%
3. Oxygen delivered dengan aliran yang lambat misalnya dengan menggunakan kanul
intra nasal dipengaruhi oleh udara atmosfer, sehingga FiO2 delivered dapat inkosisten
dan tidak akurat.
4. Idealnya, supplemental oxygen harus diberikan dengan system yang tetap seperti
Venturi mask, yang memungkinkan setting FiO2 yang akurat.
 Alveolar-arterial oxygen gradient (A-a gradient) merupakan alat yang bermanfaat untuk
mengevaluasi oksigenasi pasien.
1. P (A-a) O2 = PAO2 –PaO2 (mmHg)
= [(760-47) x FiO2 – PaCO2/0,8] –PaO2
Dimana FiO2 dalam decimal.
2. Normal = 10 sampai 20 mmHg. Kadar > 50 mmHg menandakan disfungsi pulmonal
hebat.
3. A-a gradient meningkat sesuai usia pasien dan FiO2.
a. tambahkan 3,5mmHg untuk setiap decade usia, gunakan rumus
[ Normal = Usia + 4 ]
4
b. Tambahkan 5-7 mmHg untuk setiap peningkatan 0,1 FiO2.
c. Catat bahwa tidak ada koreksi untuk perokok
4. Penyebab peningkatan A-a gradient meliputi V/Q mismatch, shunt dari kiri ke kanan,
abnormalitas difusi.
5. namun, literature masih belum jelas mengenai interpretasi A-a gradient yang normal
pada psien yang dicurigai PE.
6. Alat lain untuk estimasi oksigenasi adalah PaO2/FiO2 ratio.
a. Normal = 500-600
b. Kadar < 300 menunjukkan adanya ARDS pada pasien dengan infiltrate
alveolar pada kuadran paru 3 atau4 serta tekanan kapiler pulmonal yang
normal.
 Pengaturan Kerja untuk kasus asam basa
1. Pindahkan pasien pada area pengawasan jika diperlukan.
2. Resusitasi jika diperlukan.
3. Review pasien untuk efek klinik dan penyebabnya
a. Anamnesa dan pemeriksaanklinis
b. BGA dan elektrolit

Asidosis Metabolik
 Definisi : pH < 7,35 dan [HCO3-] < 20 mmol/L
1. HAGMA : [HCO3-] < 20 mmol/L dan anion gap > 11 mmol/L
2. NAGMA (asidosis metabolic hiperkloremik) : [HCO3-] < 20 mmol/L dan anion gap <
11 mmol/L
 Penyebab : Penyebab HAGMA dapat diringkas dengan SULK atau CATMUDPILES
(tabel 1). Sedangkan penyebab NAGMA dapat diringkas dengan USEDCARP (tabel 2).
 Terapi asidosis metabolic : ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mendasari :
1. KAD (hidrasi dan terapi insulin)
2. Syok (hidrasi, inotropik, terapi sepsis)
3. Gagal ginjal (dialysis)
4. penelanan methanol/etilenglikol (etanol)
 Terapi bikarbonat: controversial
1. efek samping potensial meliputi gangguan elektrolit (cth : hipokalemia, hipokalsemia,)
asidosis intraserebral dan intraselular paradoksikal, post treatmen alkalosis, overload
cairan, hipernatremi/hiperosmolaritas. Lebih jauh lagi terapi bikarbonat tidak
menunjukkan perbaikan hasil.
2. keuntungan yang mungkin didapatkan perbaikan kontraktilitas miokard, respon terhadap
katekolamin dan status hemodinamik.
3. Patofisiologinya terapi bikarbonat mungkin lebih bermanfaat pada kasus NAGMA
daripada HAGMA. Karena pada NAGMA membutuhkan waktu beberapa hari untuk
penyembuhan ginjal maka ion bikarbonat akan bermakna. Sedang pada HAGMA, terapi
terhadap penyebab dasar menyebabkan perubahan excess anion menjadi bikarbonat.
4. Pasien harus mampu untuk memventilasikan peningkatan CO2 sebelum terapi bikarbonat
diberikan.
5. Rekomendasi terbaru tidak menyarankan terapi bikarbonat secara rutin, kecuali pH < 7,1
dan pasien dalam keadaan compromised hemodinamik.
a. target yang disarankan termasuk pH > 7,1, [HCO3-] > 5 mmol/L
b. Titrasi 50 sampai 100 ml NaHCO3 8,4 % (dengan aliran infus yang lambat dalam
D5%) dan periksa ulang 30 menit setelah selesai.
Catatan : tidak ada rumus yang sempurna untuk menghitung jumlah bikarbonat yang
diperlukan untuk mengkoreksi pH karena status asam basa mengalami perubahan secara
konstan seiring dengan progresivitas penyakit dan terapi.
c. Rumus yang digunakan :
HCO3- (mmol) yang diperlukan = 0,5 x berat badan (kg) x [target - hasil
pengukuran HCO3-] (mmol)
Tabel 1 : Penyebab High anion gap Metabolic Asidosis
S Salisilat, toksin eksogenus (mtformin, C cyanide, CO
matanol, toluene, etilenglikol, besi, A Alkoholik ketoasidosis
paraldehyde) T Toluene
U Uremia M Metanol, metaemoglobin
L Laktic asidosis (cth : segala penyebab U Uremia
syok, hipoksia, metformin, phenformin, D Diabetik ketoasidosis
sianoda, keracunan CO, INH, besi) P Paraldehyde
K Ketoasidosis (diabetic alkoholik, I INH/besi (melalui asidosis laktik)
kelaparan) L Laktic asidosis (cth : semua penyebab syok,
hipoksia, metformin, phenformin, keracunan sianida)
E ethyleneglicol (BUKAN etanol)
S salisilat, solvent

Tabel 2 : Penyebab Normal Anion Gap Metabolic Asidosis


Tipe hiperkalemik Renal U Ureterosigmoidostomi
Renal tubular asidosis (tipe IV) S Small bowel fistule
Potassium sparing diuretic E Extra Chloride
Hipoaldosteronisme/penyakit Addison D Diare
Obstruktif uropathy dini C Carbonic anhydrase inhibitor
Asidosis uremik dini A Adrenal Insufficiency
Perubahan KAD R Renal tubular acidosis
Asupan Cl- eksogen P Pankreatik fistula
Asam Hidroklorik (HCl)
Ammonium klorida (NH4Cl)
Lysine-HCl, arginine-HCl
Tipe Hipokalemik Gastrointestinal
Diare (kehilangan HCO3- >
kehilangan Cl-)
Diversi urinary ke usus (cth :
ureterosigmoidostomi)
Fistula akibat pembedahan, drain
Renal
Renal Tubular Asidosis (tipe I, II)
Acetazolamide (RTA fungsional)
Dilution Acidosis Infus NaCl berlebihan akan
-
mendilusikan HCO3 plasma

Asidosis Respiratori
 Definisi : pH < 7,35 dan PCO2 > 45 mmHg
 Penyebab : asidosis respiratori terjadi ketika ekshalasi CO2 berkurang . lihat tabel 3
untuk mengetahui penyebabnya.

Tabel 3 : Penyebab Asidosis Respiratori


Penyebab Sntral terhadap usaha respirasi Obat-obatan (sedasi, opiate)
Trauma kepala
Lesi CNS
Alkalosis Metabolik
Hilangnya kendali hipoksik pada gagal nafas
tipe II kronik yang diterapi dengan oksigen
Obstruksi Jalan Nafas Asma
COLD
Abnormalitas thoracic cage Kiposkoliosis
Obesitas yang morbid
Trauma dada
Abnormalitas neurologik/neuromuskular Miastenia gravis
GBS
Injury cervical/high thoracic spine
 Terapi asidosis respiratori ditujukan untuk mengatasi penyebabnya:
1. terapi suportif ventilasi mungkin diperlukan. Pilihannya meliputi intubasi atau non-
invasive positive pressure ventilation (NIPPV).
2. Terapi bikarbonat biasanya tidak diperlukan.
3. supplemental oksigen untuk pasien gagal nafas tipe II harus dilakukan dengan fixed
system untuk memastikan titrasi yang akurat dan mencegah supresi hypoxic drive.

Alkalosis metabolic
 Definisi : pH > 7,45 dan [HCO3-] > 25 mmol/L
 Penyebab : kelebihan bikarbonat menyebabkan alkalosis metabolic yang biasanya
dikeluarkan oleh ginjal. Alkalosis metabolic timbul bila penyebab akut terus berlangsung,
atau mekanisme kompensasi renal terganggu terus menerus tabel 4).

Tabel 4 : Penyebab Alkalosis Metabolik


Penyebab akut ( mekanisme awal dari alkalosis metabolic)
Peningkatan Intake HCO3-  Penyalahgunaan antacid
 Intake NaHCO3 yang berlebihan
 Transfusi darah Massive (karena pecahnya sitrat)
Hilangnya Asam  Vomiting yang hebat (cth : hiperemesis gravidarum,
bulimia), suction nasogastric, obstruksi gastric
outlet
 Diare hebat (cth : GE, penyalahgunaan laksatif)
ketika hilangnya HCO3- < hilangnya Cl, edema
villi, penyebab yang jarang seperti diare kloride
 Renal losses, seperti diuresis loop dan distal.
Acid shifts
 Hipokalemia
Mekanisme Asidosis Metabolik
Hipovolemi  Contraction alkalosis (karena berkurangnya
distribusi volume bikarbonat dan hilangnya H+
renal paradoksikal
Hipokloremi (respon thd salin)  Penyebab hilangnya HCl akut (seperti diatas).
 Penyebab deplesi Cl-, seperti aklorhidria dan
fibrosis kistik.
Hipokalemi (tidak respon thd  Peningkatan aktivitas mineralokortikoid, seperti
salin) hiperaldosteronism, penyakit cushing, liquorice
abuse, liddle’s syndrome.
 Hilangnya potassium renal, seperti penggunaan atau
penyalahgunaan diuretic, penyakit congenital yang
jarang (Bartter’s and Gitelmann’s syndrome)

 Terapi Alkalosis Metabolik:


1. berikan suplementasi oksigen
2. terapi penyebab akut
a. stop intake bikarbonat
b. kurangi hilangnya asam
(1) Stop suction NG
(2) Berikan H2-Blockers atau proton Pump Inhibitor
(3) Stop diuretic loop atau distal, ubah menjadi diuretic hemat kalium
c. Kurangi perpindahan asam/“acid shifts” dengan mengkoreksi hipokalemi
3. tipe sensitivitas klorid (responsive saline)
a. Replacement Chloride, bisanya dengan infus saline
(1) deficit klorid (mmol/L) = 0,3xBB(kg)x(100-[Cl-])
(2) 1 L NaCl 0,9% berisi 154 mmol Na+ dan Cl-.
(3) Sehingga jumlah yang dibutuhkan (L) = deficit Cl- / 154.
b. Replacement kalium jika diperlukan
c. Reduksi hilangnya asam lambung dengan proton pum inhibitor atau antagonis
H2.
4. tipe resisten klorid (saline unresponsive)
a. replacement kalium untuk membatasi ekskresi H+ ginjal
b. antagonis mineralokortikoid dengan spironolakton atau triamterene
5. target terapi yang disarankan : pH < 7,55, HCO3- < 40 mmol/L
Alkalosis respiratori
 Definisi : pH > 7,45 dan PCO2 < 35 mmHg
 Penyebab : lihat tabel 5
Tabel 5 : Penyebab Alkalosis Respiratori
Peningkatan Respiratory Nyeri, ansietas (hiperventilasi)
drive Demam
Lesi CNS primer (cth: tumor, infeksi, CVA)
Obat-obatan (cth : salisilat)
Kehamilan
Emboli paru
Hipoksia Pneumonia
Pneumothorax
Asma ringan
Anemia berat
High altitude
Keracunan CO
 Terapi alkalosis respiratori ditargetkan pada penyebab dasarnya :
1. Oksigen pada kondisi hipoksia
2. analgesic untuk nyeri
3. Antibiotik untuk pneumonia
4. Chest tube untuk pneumothorax
Alkalosis respiratori sendiri tidak butuh terapi, dan harus terkait dengan manajemen kondisi
penyebab.
 Efek klinis pengaturan kembali asam basa : pengaturan kembali yang sering dilakukan adalah
pada asidosis metabolic. Efek samping pengaturan kembali serupa dengan asidosis atau
alkalosis dengan perbedaan kecil pada manifestasinya:
1. Altered mental States
a. Letargi, mengantuk
b. Iritabilitas, kebingungan
c. Obtundation, koma
d. Sebagai tambahan, alkalosis dapat menyebabkan perasaan mabuk/pusing serta sakit
kepala akibat vasokonstriksi serebral karena hipokarbia. Spasme karpopedal, tetanus,
mati rasa pada perioral dan peripheral, bahkan kejang dapat terjadi akibat
hipokalsemia ionic.
2. Kardiovaskular
a. depresi miokardial, hipotensi
b. gangguan respon katekolamin
c. perubahan EKG dan disritmia karena abnormalitas elektrolit
d. hipokalsemia pada alkalosis dapat menyebabkan efek karsiodepresif tambahan
e. kollaps kardiovaskular
3. Respiratori
a. Hiperventilasi pada asidosis metabolic dan alkalosis respiratori
b. Hipoventilasi pada alkalosis metabolic
c. Takipneu dan sensasi sesak terkait dengan asidosis respiratori
d. Bau buah-buahan terkait dengan ketonemia KAD
e. Asidosis menyebabkan shift to right dari kurva disosiasi hemoglobin oksigen,
berakibat pada loading oksigen pulmonal ke hemoglobin dengan jaringan yang
hipoksemia.
f. Alkalosis menyebabkan shift to the left kurva disosiasi hemoglobin oksigen, dengan
penurunan oksigen perifer dan jaringan hipoksemia.
4. Ketidakseimbangan elektrolit
a. Asidosis terkait dengan hiperkalemi akibat ekskresi kompetitif ion hydrogen
b. Alkalosis terkait dengan hipokalemi akibat ekskresi ginjal ion potassium. Alkalosis
menginduksi peningkatan ikatan kalsium ke protein, menghasilkan penurunan fraksi
ion kalsium bebas.
5. Gastrointestinal
a. Nausea/vomiting
b. Diare
c. Nyeri abdomen pada KAD
 Disposisi/penempatan : Tergantung penyebab dasar, status hemodinamik dan abnormalitas
elektrolit, pasien harus dimasukkan ke ICU, High dependency Unit, atau jika klinisnya
stabil dan baik, masukkan ke bangsal umum.
35. Aneurisma Aorta Abdominal (AAA)

Definisi
Dilatasi arteri terlokalisisr lebih dari 50% diameter normal. Dilatasi kurang dari 50% diameter
arteri normal disebut sebagai ectasia.

Caveats
 Terjadi pada 5-7% individu berusia > 60 tahun.
 Di Singapura, rasio Pria : wanita 2 : 1, dengan insiden yang rendah pada ras India.
 Dapat bermanifestasi sebagai :
1. rupture intraperitoneal katastropik yang menyebabkan kollaps, syok dan kematian.
Sering terjadi perdarahan masuk ke retroperitoneum, yang kemudian menjadi rupture
pada intraperitoneal.
2. nyeri abdomen, flank area atau punggung (kadang menyerupai kolik ureterik).
Catatan : nyeri punggung bisa terjadi karena ekspansi AAA akibat erosi spinal vertebrae
atau menunjukkan adanya rupture aneurisme, yang membutuhkan pembedahan segera.
3. Massa abdomen, sering berdenyut, namun kadang tidak berdenyut.
4. Sinkope dengan hipotensi postural
5. embolisasi menyebabkan iskemik tungkai bawah akut atau ‘mottling’ trunkus bawaj
dan ekstremitas. Embolisasi peripheral dapat menyebabkan ‘blue toe syndrome’
6. fistula aortoenterik timbul sebagai melena.
7. Kompresi bowel, lambung, dan esog\fagus dapat menyebabkan disfagia, perasaan
cepat kenyang, nausea dan vomiting.
Catatan : Mayoritas (75%) asimptomatik.
 Sifat AAA simptomatik yang difus dan nonspesifik dapat menyebabkan salah diagnostic.
Pasien lansia dengan hipotensi, syok dan nyeri punggung harus dieksklusi dari rupture
AAA. Kesalahan diagnosa tersering disebabkan kegagalan meraba massa yang berdenyut.
 Cari expansile versus transmitted pulsation dengan menempatkan jari sepanjang pulsasi;
deviasi jari kea rah lateral biasanya diakibatkan oleh aneurisme.
 Semua pasien dengan massa yang berdenyut > 3 cm harus di USG
 Angka mortalitas dari pembedahan emergency adalah 75-90%, dimana pada tindakan
operasi repair elektif hanya sekitar 3-5%.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


 Aneurisme aorta dapat bermanifestasi sebagai nyeri abdomen, nyeri punggung, nyeri
iskemik pada tungkai atau kolik.
 Diagnosis sering dibuat dengan pemeriksaan fisik dari abdomen.
 Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan USG B-Mode.
 Intervensi pembedahan elektif diindikasikan pada semua pasien AAA dengan diameter
> 5 cm, untuk mencegah ruptu/kematian.
 Aneurisme yang lebih kecil harus dimonitoring dengan USG berkala.

Patofisiologi
 Sebagian besar aneurisme aorta terkait dengan aterosklerosis, sementara etiologi lain
meliputi nekrosis kistik medial, Ehlers-danlos syndrome, dan disseksi.
 Penelitian menunjukkan penurunan jumlah elastin dan kolagen pada dinding AAA.
 Komponen immunologic pada penyakit atherosclerotic pembuluh darah juga telah
dikenali., dengan infiltrasi makrofag dan limfosit T&B pada dinding aorta. Factor penting
dalam patogenesa AAA adalah ketidakseimbangan antara protease dinding aorta dan
antiprotease.
 Susceptibilitas genetic terjadi pada 15-20% insiden AAA diantara hubungan ‘first degree
relative’.

Factor risiko
 Hipertensi : pada 40% AAA
 Merokok : 8 kali lebih tinggi untuk menderita AAA dibanding tidak merokok
 Hiperlipidemi dan hiperhomosisteinemia

Risiko rupture
 Berdasarkan Diameter aneurisme :
1. Aneurisme dengan diameter 4-5,5 cm memiliki risiko rupture sebesar 5%
2. Aneurisme dengan diameter 6-7 cm memiliki risiko rupture sebesar 33%
3. Aneurisme dengan diameter >7 cm memiliki risiko rupture sebesar 95%
 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hipertensi dan COLD merupakan prediktor
utama rupur AAA dengan ukuran kecil.
 Percobaan terbaru pada UK Small Aneurysm Trial dan ADAM Trial menunjukkan tidak
adanya angka keselamatan jangka panjang pada tindakan pembedahan pada aneurima < 4
cm.

Manajemen Ruptur Aneurisme Aorta


General Measures
 Tangani pasien pada area critical care
 Peralatan intubasi dan resusitasi harus tersedia
 Inform tim bedah
 Primary survey ABC, pastikan patensi jalan nafas dan lakukan tindakan resusitasi jika
diperlukan.
 Monitor EKG, tanda vital dan pulse oksimetri
 Pasang setidaknya 2 jalur intravena dengan ukuran kanul besar, dengan NS. Namun
jangan sampai melakukan overresuscitate pasien. Biarkan apabila hipotensi terjadi pada
kisaran sistolik 90-100mmHg,
 Lab : GXM 6 unit WB, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, BGA, pastikan
ketersediaan darah dengan golongan yang sesuai.
 CXR portabel (lihat adanya dissestion atau pelebaran mediastinal).
 Foto polos abdomen akan menunjukkan kalsifikasi pada 50% kasus, namun harus dilihat
pada posisi lateral dan AP untuk mendiagnosa AAA. Jika terdapat ‘egg-shell appearance’,
tingkat kepercayaan diagnosa AAA tinggi. Hasil foto polos abdomen yang negates tidak
dapat mengeksklusi diagnosa AAA dan membatasi nilai dignostik pemeriksaan ini.
 Pasang kateter urin.
Spesific Measures
 Jangan mengulang palpasi abdominal begitu AAA terdiagnosa.
 Pemeriksaan USG bed side sangat bermanfaat pada ED namun sangat tergantung pada
kemahiran operator. Namun tidak dapat digunakan untuk mendetekdi rupture.
 Ruptur AAA merupakan pembedarahan emergency dan psien harus dipersiapkan
secepatnya. Tidak ada tempat untuk melakukan CT scan abdomen secara rutin.
 Jika pasien stabil, CT scan merupakan pilihan untuk mengetahui diagnosa AAA, namun
tidak boleh menghambat terapi definitive rupture AAA.
Penempatan
 MRS kebagian bedah TKV atau Bedah Umum sesuai protocol local.
38. Reaksi Alergi/Anafilaksis

Definisi
 Urtikaria : plak edematous dan gatal dengan bagian tengah yang pucat dan tepi yang
meninggi.
 Angioedema : Edema pada lapisan dalam kulit yang tidak gatal namun dapat terasa
seperti terbakar, mati rasa atau nyeri.
 Anafilaksis : reaksi alergi sistemik yang hebat terhadap antigen yang dipresipitasi oleh
pelepasan mediator kimia pada pasien yang tersensitisasi. Paparan sebelumnya terhadap
antigen merupakan syarat yang diperlukan untuk terjadinya syok anafilaksis.
 Reaksi Anafilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis, namun tidak membutuhkan kontak
dengan zat karena bukan merupakan proses yang dimediasi oleh system imun. Kedua
keadaan tersebut terjadi karena pelepasan histamine dari mast cell dan makrofag.

Caveats
 Keadaan ini menunjukkan spectrum reaksi hipersensitivitas yang bervariasi dari urtikaria
ringan samapai pada anafilaksis yang dapat mengancam jiwa; progresivitas dari bentuk
yang ringan sampai pada anafilaksis yang full-blown dapat terjadi.
 Frekuensi
Urtikaria 200 kasus
Angioedema 20 kasus
Anafilaksis 1 kasus
 Reaksi ini dimediasi oleh IgE atau IgG4 dan bertanggungjawab terhadap reaksi
anafilaksis yang terjadi, contoh pada reaksi drug-induced (paling sering : Penisilin dan
NSAID) serta :
1. Makanan (kerang, putih telur, kacang)
2. Racun Hymenoptera (lebah, tawon, hornets/penyengat)
3. Reaksi lingkungan (debu, serbuk sari, dll)

Anafilaksis
Syok, stridor, bronkospasme
Evaluasi Klinis Gejala
 Tanda awal impending anafilaksis
1. Rasa gatal pada hidung atau stuffiness/kesesakan
2. pembengkakan pada tenggorokan (edema laryngeal atau uvular) atau suara serak
3. Lightheadedness dan sinkope.
4. Nyeri dada, sesak nafas dan takipneu
5. Komplain pada kulit : hangat dan tingling pada wajah (terutama pada mulut), dada
bagian atas, manifestasi pada telapak tangan atau telapak kaki biasanya timbul
pertama kali pada reaksi anafilaksis.
6. Keluhan GIT : nausea, vomiting, diare dengan tenesmus atau nyeri abdomen yang
bersifat kram.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum:


 Lebih aman untuk merujuk pasien dengan presentasi reaksi alergi yang bermacam-
macam pada ED, kecuali dengan rash urtika yang ringan .
 Selalu tanyakan adanya ‘a lump in the throat’ dan terapi dengan SQ adrenaline (kalau
tidak ada kontraindikasi seperti IHD), sebelum mengirim pasien ke ED dngan
ambulan, karena ini merupakan tanda awal dari edema laring atau uvular.
 Adrenalin merupakan terpai utama pada anafilaksis. Pada pasien normotensive,
berikan adrenalin 1 : 1000 SQ atau IM 0,01 ml/kg (sampai 0,3 ml). pada pasien
hipotensi berikan 0,1 ml/kg (sampai 0,5ml) larutan adrenalin 1 : 10000 IV selama 5
menit, atau dengan IMdalam jika akses IV tidak dapat dilakukan.
 Pasang IV line perifer dan berikan infus kristaloid dan antihistamin sebelum mengirim
pasien ke ED dengan ambulan.

 Anafilaksis yang Full-blown


1. angioedema lidah, palatum molle dan laring dapat menyebabakan obstruksi jalan
nafas atas secara cepat.
2. Hipotensi, takikardi (atau disritmia lain), AMS, kebingungan, wheezing, dan sianosis
dapat cepat menyebabkan serangan jantung.
Catatan : batuk merupakan tanda buruk yang menandakan adanya onset edema pulmonal.
3. kulit mungkin menunjukkan atau tidak menunjukkan reaksi klasik wheal and flare.
Jika perfusi pada kulit pasien buruk atau memiliki kulit yang gelap, reaksi kulit
mungkin akan sulit untuk dinilai.

Manajemen
 Supportif
1. jika relevan, hentikan allergen yang dicurigai
2. Jika relevan, ‘cungkil keluar’ bekas sengatan dengan pisau. jangan meremas, karena
akan menyebabkan masuknya venom lebih dalam.
3. jika allergen telah ditelan, pertimbangkan gastric lavage dan karbon aktif
4. Jika nadi tidak ada, lakukan external cardiac massage
5. Pasien harus ditangani pada area resusitasi
6. berikan oksigen aliran tinggi
7. Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5 menit
8. Pasang jalur intra vena besar 14G/16G
9. support sirkulasi : 21 Hartmann’s atau NS bolus.
10. Bersiap untuk melakukan Intubasi atau krikotiroidotomi
Catatan : Perhatian ekstra diindikasikan pada pemberian sedasi dan paralysis sebelum
intubasi. Pertimbangkan menggunakan Awake Oral Intubation’; lihat bab Airway
Management/Rapid Sequence Intubation untuk detilnya. Sedasi dan paralysis merupakan
kontraindikasi karena gangguan jalan nafas setelah paralisis dapat menghalangi intubasi.
11. lakukan konsul anestesi dan THT untuk asistensi manajemen airway.
12. Labs : tidak diperlukan segera
 Terapi Obat
1. Adrenalin : DOC
a. Pasien normotensi : 0,01ml/kg (sampai 0,5 ml) larutan 1 : 1000 SC/IM dalam.
b. Pasien Hipotensi : 0,1 ml/kg (sampai 5 ml) larutan 1 : 10.000 diberikan
perlahan IV selama 5 menit (atau dengan injeksi IM dalam jika akses IV tidak
tersedia).
c. Pada kasus lain setengah dosis dapat diinfiltrasikan di sekitar lokasi sengatan.
2. Glukagon : pertimbangkan menggunakannya jika adrenalin merupakan kontraindikasi
relative, cth : IHD, hipotensi berat, kehamilan, pasien pengguna beta blocker, atau
yang tidak berespon terhadap adrenalin. Dosis : 0,5-1,0 mg IV/IM; dapat diulang
sekali setelah 30 menit.
3. Pilih salah satu antihistamin pada tabel 1.
Tip : encerkan tiap ml dari 25 mg promethazine (ohenergan) sampai 10 ml dengan NS dan
berikan IV pada kecepatan tidak lebih dari 2,5 mg/menit untuk menghindario efek
samping hipotensi transient.
4. Cimetidine (Tagamet : sebuah H2-blocker) unutk gejala persistren yang tidak
merespon terapi diatas. Dosis 200-400 mg IV bolus.
5. Bronkodilator nebulisasi untuk bronkospasme yang persisten. Berikan salbutamol
(Ventolin) 2 : 2 dengan nebulizaer tiap 20-30 menit.
6. kortikosteroid untuk mempotensiasi efek adrenalin dan menurunkan permeabilitas
kapiler; efek tidak didapat dengan cepat. Dosis Hidrokortison 200-300mg IV bolus;
dapat diulang tiap 6 jam.
 Penempatan
Pasien Di-MRS-kan pada ICU/HD setelah konsultasi, untuk observasi dan pengulangan
dosis antihistamin dan steroid.

Tabel 1 : Tipe Antihistamin dan Dosis


Tipe Antihistamin Dosis
Difenhidramin Dewasa : 25 mg IM/IV
Pediatrik 1mg/kg IM/IV
Chlorpheniramine 10 mg IM/IV
(Piriton; sebuah H1-blocker)
Promethazine (Phenergan) Dewasa : 25 mg IM/IV
Anak > 6 tahun : 12,5 mg IM/IV
Anak < 6 tahun : 6,25-12,5mg IM/IV
Angioedema
Angioedema yang diinduksi Obat
ACE inhibitor merupakan penyebab yang paling sering;
 Manifestasi klinis : area tubuh yang sering terkena :
1. wajah dan leher (predileksi : bibir, palatum molle, dan laring)
2. foreskin dan skrotum
3. tangan dan kaki
 Manajemen bersifat simptomatik, namun harus menyiapkan tindakan definitive airway
karena deteorasi menjadi anafilaksis dapat muncul kapan saja.
 Terapi Supportif
1. Pasien harus ditangani setidaknya di Intermediate care.
2. Monitoring: tanda vital tiap 15 menit, pulse oksimetri, EKG
3. Pasang IV plug perifer
4. Oksigen supplemental untuk memperthanakan SpO2 > 94%.
5. bersiaplah untuk intubasi atau krikotiroidotomi : pertimbangkan ‘awake oral
intubation’
 Terapi Obat
1. Adrenalin
a. IM 0,3-0,5 ml larutan 1 : 1000 SQ tiap 20 menit pada dewasa > 45 kgBB
b. IM 0,01 ml/kg (sampai 0,3 ml) larutan 1 : 1000 SQ tiap 20 menit pada anak-
anak dan dewasa < 45 kg.
2. Antihistamin : lihat dosis pada tabel 1
a. Difenhidramin
b. Chlorpheniramine
c. Promethazine
3. prednisolon
a. Dosis : 40-60 mg PO pada dewasa
b. 2 mg/kgBB Po pada anak-anak
 Penempatan : MRS untuk observasi 12-24 jam karena ‘rebound’ dapat terjadi 6-12 jam
setelah onset. Jika pembengkakan kelopak mata merupakan gejala/tanda satu-satunya,
maka pasien dapat diKRS-kan setelah resolusi.

Hereditary Angioedema (HAE)


Penyebab defisiensi C1-esterase inhibitor dan biasanya dicetuskan oleh trauma atau stress.
 Manifestasi klinis
- Edema, pembengkakan bibir dan lidah, palatum molle, dan struktur laryngeal
- Nyeri abdomen disertai nausea, vomiting, dan diare
 Manajemen
1. Berikan Fresh Frozen plasma ( mengandung C1-inhibitor)
2. Adrenalin seperti tersebut diatas mungkin efektif.
Catatan : kasus HAE sering tidak respon terhadap kortikoid, antihistamin atau dosis
standar adrenalin, dan definitive airway mungkin diperlukan.
 Penempatan : MRS-kan pasien pada High dependency Unit selama 12-24 jam untuk
memberikan tendensi apabila terjadi resistensi terapi.

Urtikaria

Tabel 2 : Penyebab Umum Urtikaria


Reaksi Obat Penisilin
Aspirin
Obat gol. Sulfa
NSAID
TCMs
Infeksi Infeksi mononucleosis
Hepatitis B
Xsackie virus
Infestasi parasitic
Lain-lain Makanan : kacang, pengawet makanan dan
penambah rasa makanan
Paparan sinar matahari, panas dan dingin
Malignansi
Kehamilan
 Manajemen : sebagian besar simptomatik, namun hati-hati terhadap
terjadinya anafilaksis
 Supportif : tangani pada area intermediate care; manajemen pada area low
acuity cukup ekonomis namun harus tetap di evaluasi ulang untuk mendeteksi deteriorasi.
 Terapi Obat:
1. Antihistamin : lihat dosis di tabel 1
a. Difenhidramin
b. Chlorpheniramine
c. Promethazine
2. Prednisolone : dosis 40-60mg PO pada dewasa jika lesi luas, atau merupakan episode
ulangan, atau pasien telah mengalami angioedema sebelumnya. Resepkan penggunaan
di rumah selama 5 hari dan tidak dibutuhkan tapering dose.
 Penempatan
1. KRS jika respon terhadap terapi baik dan tidak ada angioedema.
2. KRS dengan antihistamin sedikitnya untuk 3 hari.
3. pertimbangkan MRS jika punya riwayat MRS dengan urtikaria.

Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anfilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis, namun tidak didahului dengan paparan
allergen sebelumnya karena bukan merupakan keadaan yang dimediasi oleh proses
imunologi. Keadaan ini disebabka oleh pelepasan histamine langsung dari sel Mast dan
makrofag.
Manajemen
 Penyebab yang sering : bahan kontras radiografik, aspirin, NSAID, opiate.
 Terapi : sama dengan anafilaksis
39 Disseksi Aorta (Aortic Dissection)

Definisi
 Diseksi aorta merupakan robeknya tunika intima, hematoma intramural atau separasi
tunika media yang terjadi pada pasien dengan factor risiko seperti Marfan’s syndrome,
hipertensi, merokok, aterosklerotik aorta atau pasien yang hamil.
 2 Klasifikasi primer : the DeBakey dan Stanford classification
 Sistem DeBakey :
1. Tipe I melibatkan aorta ascending, aortic arch dan aorta descending.
2. Tipe II melibatkan aorta ascending, namun tidak meluas ke atas arteri subclavian
sinistra.
3. tipe 3 melibatkan hanya aorta descending, dimulai pada atau distal dari arteri
subclavian sinistra.
 System Stanford :
1. tipe A melibatkan aorta ascending (dengan atau tanpa keterlibatan aorta descending)
2. Tipe B melibatkan aorta descending saja
Klasifikasi Stanford lebih sederhana dan terkait dengan terapi.

Caveats
 Pertimbangkan diagnosis disseksi aorta pada pasien dengan:
1. nyeri dada/abdomen atas yang mendadak, hebat dan merobek yang menjalar ke
punggung, maksimal pada outset dan migrating/berpindah sejalan dengan waktu.
Nyeri pada IMA tidak bersifat migratory, dan jika keduanya terjadi bersamaan, diseksi
aorta biasanya terjadi lebih dulu daripada IMA.
2. nyeri dada terkait dengan gejala neurologik, sinkope, TIA, stroke atau paraplegia.
3. Nyeri dada dengan peningkatan risiko diseksi aorta, cth : hipertensi, Marfan’s
Syndrome.
4. Defisit Nadi atau perbedaan tekanan darah sistolik pada kedua lengan > 20 mmHg
atau tekanan darah pada tungkai bawah lebih rendah daripada ekstremitas atas.
5. Nyeri dada dengan onset baru murmur aortic regurgitation.
6. nyeri dadadengan mediastinum melebar > 8 cm pada PA CXR.
 Diagnosa yang menyebabkan kebingungan dengan disseksi aortic thoracic, meliputi :
1. Infark miokard atau unstabel angina
2. Abdominal disease
3. stroke
4. Iskemik trombosis ekstremitas bawah
5. Pneumonia
6. Penyakit pericardial
Catatan : Diseksi aorta dapat terjadi bersamaan dedngan salah satu penyakit diatas.
 Jika diagnosa awal pasien adalah diseksi aorta, sedangkan lebih lanjut tidak ditemukan,
ingat :
1. Pada beberapa kasus, multiple test (transesofageal echocardiography [TEE] diikuti
dengan CT scan, dll) diperlukan untuk mendeteksi penyakit.
2. penyebab paling mungkin selanjutnya adalah penyakit jantung yang serius.
3. jika pasien perlu dievaluasi sebagai diseksi aorta, MRSkan pasien
4. pasien dengan hasil pemeriksaan diseksi eorta yang negative emiliki kemungkinan
mengalami IMA (23%) atau unstabel angina
 ingat bahwa diseksi aorta akut lebih sering terjadi 2-3 kali dibanding rupture aneurisme
aorta, dan rata-rata misdiagnosa sebesar 90%. Lebih lanjut, mortalitas pada diseksi tipe a
yang tidak diterapi adalah 1% tiap jam pada 48 jam pertama.

Tips khusus Bagi Dokter Umum


 Diseksi aorta merupakan kondisi serius yang sering terlewatkan. Harus
dipertimbangkan bila hasil EKG (pada suspek IMA) ternyata normal atau nyeri dada
disertai dengan deficit neurologik. Ingat bahwa keadaan ini termasuk 6 penyebab
nyeri dada yag mengancam jiwa.
 Ketika diagnosa dicurigai ada, jangan kirim pasien ke ED dengan mobil pribadi.
Panggil ambulan. Sementara itu, jika mungkin, pasang 1-2 jalur IV, kontrol BP pasien
dan kurangi nyeri.
 Jika dicurigai ada diseksi aortic, ingat bahwa antiplatelet dan terapi trombolitic
merupakan kontraindikasi.
Manajemen
Catatan : target terapi adalah untuk mencegah kematian dan kerusakan end-organ yang
irreversible. Tujuan terapi medical adalah untuk menurunkan laju peningkatan tekanan darah
(dP/dT) dan untuk menurunkan rata-rata BP dan Heart Rate.

 Monitor tanda vital


 Berikan oksigen aliran tinggi
 Pasang 2 jalur IV dengan jarum ukuran besar. Kirim darah untuk :
1. FBC
2. Urea/elektrolit/kreatinin
3. profil koagulasi
4. GXM 4-6 unti; jika hipotensive, 2 unit rapid match blood juga diperlukan.
5. Enzim kardiak.
 Periksa EKG 12 lead untuk mengekslusi IMA
 CXR. Lihat tabel 1
catatan : skrining upright CXR abnormal pada 80-90% kasus disseksi aortic. Namun CXR
normal tidak mengesklusi diagnosa.
 Beri obat untuk memperingan nyeri dengan IV morfin 2,5-5,0 mg dititrasi sesuai klinis
 Pasang kateter urin untuk monitoring urine dan mengeksklusi anuri/oliguri yang
menandakan keterlibatan arteri ginjal.
Catatan : sebagian besar pasien diseksi aotic menunjukkan hipertensi. Persentase yang kecil
menunjukkan hipotensi dari rupture aorta ke dalam ruang pleural atau ke dalam pericardium
dengan subsequent tamponade.

Tabel 1 : Penemuan Chest X Ray pada Aortic Dissection

1. Pelebaran mediastinum superior (> 8 cm pada film PA; paling sering yaitu pada 75%
CXR).
2. Ekstensi aortic shadow > 5 mm diatas dinding yang terkalsifikasi (‘eggshell’ atau
‘calsium’ sign; hal ini terjadi karena diseksi akut memisahkan tunika adventitian dan
intima yang terkalsifikasi; merupakan yang paling spesifik namun jarang terjadi.).
3. Obliterasi aotic knob atau tonjolan yang terlokalisir.
4. pembesaran aortic
5. densitas dobel aorta (false lumen kurang radioopaque)
6. hilang ruang antara aorta dan arteri pulmonal.
7. Pelebaran jalur/garis paravertebral.
8. efusi pleural baru (hemathorax bebas)
9. apical Pleural cap ( hemothorax apical yang terlokalisir).
10. Depresi cabang utama bronkus kiri > 140o.
11. pergeseran dan elevasi cabang utama bronkus kanan.
12. Deviasi trakea/endotrakeal tube/NG tube kea rah kanan (menjauhi hematoma yang
terbentuk)
 Observasi pasien pada chart sirkulasi dan neurology
 Mulai terapi hipotensif jika pasien hipertensi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan
sistolik sampai 100-120 mmHg. Pertahankan output urin > 30ml/jam. Berikan :
1. IV nitroprusside dengan menambahkan 50 mg pada 500 ml D5%. Mulai infus pada
6ml/jam (10µg/menit) dan tingkatkan bertahap 10µg/menit tiap 5 menit jika
diperlukan, serta berikan Iv propanolol 1 mg tiap 5 menit sampai target HR 60-
80x/menit tercapai (berikan sebelum atau simultan dengan nitropruside karena
nitropruside dapat menyebabkan refleks takikardia). atau
2. Infus IV Iabetalol, Iv labetalol lebih mudah diakses dan merupakan alternative yang
baik karena dapat menyebabkan blok alfa dan beta adrenergic. Buat larutan 1 mg/ml
dengan mendilusikan 200mg dalam 200 mL NS atau D5%. Mulai dengan 15 mL/jam
dan tingkatkan setiap 15 menit jika perlu. Alternatifnya berika IV labelatol 20mg
bolus yang diikuti dengan 20-80mg setiap 5-10 menit sampai target HR tercapai,
kemudian mulai infus pada 1-2 mg/jam.
Kontraindikasi penggunaan beta blocker termasuk pasien dengan riwayat gagal
jantung kongstif, heart block, asma, chronoc obstructive lung disease, IV diltiazem
dapat diberikan pada kasus ini menggantikan beta blocker.campurkan 125 mg dalam
100 ml D5% (1 mg/1ml) dan berikan sebagai 20 mg bolus diikuti dengan bolus ulang
dalam 15 menit atau mulai infus pada 5-15 mg/jam.
 Jika hipotensif, mulai resusitasi cairan IV. Terapi tamponade jantung yang tidak respon
terhadap resusitasi cairan adalah immediate perikardiosentesis.
Catatan : semua pasien mendapatkan terapi medis awal, tidak memperdulikan tipe diseksinya.
 Semua pasien dengan diseksi aortic yang normotensiv atau tidak nyeri harus diterapi
dengan regimen medical. Penurunan tekanan darah dan HR tidak akan menyebabkan
kerusakan serta membantu progresivitas diseksi sama halnya dengan pasien hipertensi.
 Indikasi surgical repair disseksi aortic :
1. Semua Diseksi Stanford tipe A
2. Diseksi tipe B dengan komplikasi (rupture, iskemik distal severe, nyeri tak
tertahankan, progresif, hipertensi tidak terkontrol). Diseksi tipe B saja dapat diterapi
medis
3. Hipertensi tidak terkontrol.
4. Progresi Diseksi.
5. hubungi kardiologis on call untuk TEE atau atur untuk Ct thorax jika diagnosa
dicurigai
Catatan: TEE merupakan pemeriksaan untuk diagnosa definitive diseksi aortic pada
pasien yang tidak stabil.
 Hubungi bedah TKV secepatnya setelah dx dicurigai ada dan terapi medis sedang
diberikan.
42. Asma
Caveats
 ‘Tidak semua Wheezing adalah ASMA’ : diagnosa lain seperti gagal jantung
kongestif, obstruksi jalan nafas atas, karsinoma bronkogenik dengan obstruksi atau
metasatase karsinoma dengan metastasis limfangitik.
 Asma merpakan kelainan inflamasi kronik yang dikarakterisasi dengan
peningkatan responsivitas jalan nafas sehingga terapi yang diperlukan adalah steroid.
 Trias ASMA : dispneu, wheezing dan Batuk.
 Tujuan terapi pada ED adalah untuk menghilangkan obstruksi aliran udara,
memastikan kuatnya oksigenasi dan mengurangi inflamasi.

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


 Selama serangan asma akut, penggunaan kortikosteroi oral secara dini akan
mengurangi risiko kematian akibat asma. Sehingga hamper smua pasien yang
membutuhkan nebulizaer untuk serangan asam akut yang berat di klinik juga
membutuhkan prednisolon oral 0,5mg/kg/hari selama 7-10 hari tanpa tapering off.
 Pasien yang membutuhkan nebulizer berulang (lebih dari sekali dalam 6-12 bulan)
untuk serangan asma memiliki risiko tinggi untuk mengalami kematian.
 Penggunaan kortikosteroid inhalasi setiap hari akan mengurangi risiko eksaserbasi
yang hebat sehingga mengurangi risiko tinggi kematian serta hemat secara ekonomis.

Manajemen
 Pada ED, tanda dan gejala serangan asma berat harus diketahui dan ditangani pada area
critical care.
 Tingkat keparahan serangan terlihat pada tabel 1.
 Tabel 2 menunjukkan factor risiko menderita asma.
 Manajemen meliputi suportif dan terapetik. Terapi awal pada asma yang tidak
mengancam jiwa (ringan dan sedang) meliputi kombinasi inhalasi beta
agonis/antikolinergik dengan steroid oral. Lihat flow chart pada gambar 1.
 Non-responder akan mebutuhkan nebulisasi intensif, steroid intra vena dan infus
magnesium sulfat jika ada indikasi.
 Pasien terus dimonitor dan diperiksa. Pasien yang berespon terhadap terapi ED
membutuhkan follow up (maksimum dalam 24-48 jam) pada dokter ahli paru. Pasien
yang tidak berespon terhadap terapi ED disarankan MRS.

Tabel 1 : Klasifikasi keparahan eksaserbasi Asma


Ringan Sedang Berat Ancaman gagal
nafas
Gejala Saat berjalan Saat bicara Saat istirahat Kepayahan
Sesak Dapat berbaring Lebih suka Duduk tegak Usaha nafas
duduk lemah

Bicara Kalimat Frase Kata Sulit untuk bicara

Status mental Dapat agitasi Biasanya agitasi Biasanya agitasi Mengantuk atau
kebingungan
Tanda
Laju Nafas Meningkat Meningkat Sering>30x/menit Menurun
Penggunaan otot Biasanya tidak Sering Sering Paradoksikal
Bantu nafas gerakan
thorakoabdominal
Wheezing Sedang, kadang Nyaring, saat Biasanya nyaring Tidak ada
saat akhir ekshalasi saat inhalasi dan wheezing (‘silent
ekspirasi ekshalasi chest’)
Nadi/menit <100 100-120  Bradikardi
SaO2% (udara >95% 91-95% > 120 Klinis sianosis
ruang) 
< 91%

Gambar 1 : Diagram Alur manajemen Asma  Batuk
 SOB
Pasien Asma  Wheezing
NO (TIDAK ADA)
Apakah ada gejala yang
mengancam nyawa?
YA (ADA)

 Silent chest
 Sianosis, SaO2<91%, bradikardi
 Usaha nafas lemah, gerakan thorakoabdominal yang
paradoksikal
 Kepayahan, kebingungan atau obtundation

 Siapkan intubasi secepatnya : sediakan obat sedasi dan paralysis (lihat bab
Airway Management/Rapid Sequence Intubation).
 Lakukan serial BGA untuk mendeteksi hipksemia progresif, hiperkapnea dan
asidosis
 Indikasi intubasi: hiperkarbi persisten, hipoksia hebat dengan PaO 2 < 60mmHg

Terapi Suportif
1. Tangani pada Area critical care dengan oksigen aliran tinggi
2. Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5-10 menit
3. Akses IV kristaloid 500ml selama 3-4 jam
4. CXR : pasien yang tidak berespon terhadap terapi awal : cari adanya pneumothorax,
pneumonia atau CCF

Terapi Obat-obatan
1. MDI (Metered Dose Inhaler) dengan jarak : 4 hirupan salbutamol (100µg) + 4 hirupan
atrovent (20mg) tiap 15 menit sampai 1 jam diulangsesuai siklus 2-4jam sekali.
2. Terapi nebulizer Salbutamol (Ventolin) : 1 ml (5mg) salbutamol dengan 2 ml ipatropium
bromide dan 2 ml NS sehingga menjadi 5 ml. (Pada anak 0,03ml/kg Ventolin didilusikan
dalam 2 ml saline : diulang dua kali). Terapi alternative pada 1 kecuali suspek SARS;
dapat digunakan jika pilihan terapi obat pertama gagal.
3. Prednisolone oral 0,5-1mg/kg (maksimum 60mg).

Perbaikan Non-Responder/Berespon sebagian Pertimbangkan MRS


1. cek pasien dan PEFR : 1. PEFR<50% diprediksi min 60menit: 1. Pasien tidak
(optional dan juga harus ulang nebul 2-3x menggunakan mampu untuk
memeriksa tinggi) baseline dan salbutamol 5mg atau 7,5mg dengan mempertahankan
setelah 2 kali nebulizer. 2ml ipatropium, 1,5ml NS dicampur PEFR≥50%
2. Reassessment: jika PEFR ≥ hingga 5ml. setelah terapi dan
50% dan perbaikan subyektif, 2. kortikosteroid: hidrokortison IV 400- observasi 1-2 jam
pertimbangkan KRS dengan 500mg, 4-6mg/kg pada anak. 2. Previous
follow up dalam waktu 48 jam 3. MgSO4 IV 1-2mg bolus perlahan intubation/MRS di
(klinik Spesialis Paru). (20menit) ICU.
3. Semua pasien yang KRS harus 4. Adrenalin: (gunakan hati-hati pada 3. Bukti Xray
menerima prednisolone oral 0,5- lansia, IHD atau hipertensi berat) menunjukkan
1mg/kg/hari (40mg maksimum 0,3-0,5ml larutan 1:1000 SC tiap pneumothorax,
tanpa tap off) selama 7-10 hari dan 20menit pada dewasa>45kg atau infeksi atau
follow up. 0,01ml/kg (sampai 3ml) latrutan concomitant CCF.
4. Tambahan : inhalasi steroid 1:1000 pada dewasa <45kg atau pada
(pulmicort turbuhaler 200µg anak-anak.
2x/hari. ATAU Terbutalin : (lebih β2 selektif
daripaada adrenalin) 0,25ml SC tiap
20-30mmenit prn pada dewasa,
0,01ml/kg larutan 1mg/ml sampai
0,25ml pada anak-anak.
Tabel 2 : Faktor Risiko Kematian pada AsmaEvaluasi Ulang
Riwayat terdahulu : serangan asma berat
Sebelumnya pernah mengalami intubasi akibat asma
Sebelumnya MRS pada ICU akibat asma
≥2 kali MRS karena asma pada tahun lalu
≥3 kali kunjungan ke Emergency care karena asma pada tahun lalu
MRS atau kunjungan ke Emergency care karena asma pada bulan sebelumnya.
Penggunaan > 2 unit/bulan inhalan beta agonis short acting
Baru saja menggunakan kortikosteroid sistemik atau recent withdrawal dari kortikosteroid
sistemik
Merasakan obstruksi aliran udara
Komorbid dengan penyakit kardiovaskular atau COPD
Penyakit psikiatrik yang serius atau memiliki masalah psikososial
Status sosioekonomi yang rendah serta bertempat tinggal di perkotaan
Pengguna obat-obatan terlarang
48. Coronary syndromes, akut

Definisi
Acute Coronary Syndromes (ACS) meliputi kondisi yang meiliki kesamaan patofisiologi oklusi
koronaria, contoh unstabel angina, non ST elevasi MI (NSTEMI) dan ST-segment elevation MI
(STEMI). Manajemen unstabel angina dan NSTEMI pada dasarnya serupa.

Caveats
 Pasien biasanya datang dengan gejala :
1. Onset baru (<2bulan) severe angina.
2. Angina yang memburuk, dengan gejala yang lebih sering, lebih parah, atau leboih
lama dan kurang berespon terhadap gliseril trinitrat. (GTN).
3. Angina yang memanjang padaa saat istirahat (>15 menit).
Catatan : Non-STEMI harus didiagnosa pada pasien dengan peningkatan enzim kardiak
tanpa adanya gelombang Q pada IMA. Sebuah keadaan NSTEMI tidak harus ditandai
dengan perubahan EKG.
 EKG mungkin menunjukkan :
1. Depresi ST segment
2. Elevasi ST segment transient yang akan mengalami resolve secara spontan setelah
GTN.
3. Inversi gelombang T
4. bukti adanya miokard infark sebelumnya.
5. Left Bundle Branch Block
6. perubahan minor yang tidak spesifik.
7. atau bisa juga normal
EKG tidak harus menunjukkan elevasi akut ST segment yang persisten.
 Enzim kardiak konvensional (CK,CK-MB, AST, LDH) dapat normal atau meningkat.
Peningkatan troponin T atau I spesifik untuk kerusakan miokard. Troponin T > 0,1 µg/l,
tes kualitatif troponin T yang positif dan troponin I > 0,4 µg/l, merupakan penanda yang
terkait dengan peningkatan risiko kematian dini pada pasien ACS tanpa ST elevasi pada
hasil EKG. Semakin tinggi konsentrasi troponin semakin besar risiko kematian selama
hari 30-42. Konsentrasi troponin yang normal atau tidak terdeteksi dalam > 12 jam setelah
onset mengindikasikan pasien memiliki risiko yang rendah unutk mengalami komplikasi.
 Penelitian membandingkan troponin T dengan troponin I menunjukkan keduanya
sensitive dan spesifik, punya signifikansi indikasi prognostic yang serupa, serta berperan
pada stratifikasi risiko.
 Pasien ACS memiliki risiko efek samping dini yang meningkat dibawah kondisi berikut:
1. Usia > 65 tahun
2. Komorbid terutama dengan DM
3. Nyeri jantung yang memanjang pada saat istirahat (>15 menit).
4. Iskemik EKG depresi ST segment pada saat MRS atau selama gejala muncul.
5. EKG menunjukkan inverse gelombang T
6. Bukti adanya kerusakan fungsi ventrikel kiri (preexisting atau selama iskemik
miokard).
7. Pelepasan troponin jantung yang positif
8. Peningkatan C-reactive protein
 Kategori risiko rendah : troponin jantung normal pada 12 jam setelah onset gejala.
Kelompok ini juga memiliki EKG yang normal serta CK-MB yang normal, serta tidak
perlu MRS di CCU atau high dependency ward.
 Terapi bertujuan : kontrol gejala dan mencegah MI serta kematian. Dapat dicapai dengan
menggunakan antiiskemik dan antitrombotik, jika tidak berhasil dilanjutkan dengan
revaskularisasi mekanis.
 Penting untuk menangani hipertensi dan gagal jantung pada fase akut ACS.
 Terapi trombolitik tidak menunjukkan manfaat pada pasien ACS tanpa ST elevasi pada
EKG (kecuali pada suspek IMA dan left bundle branch Block).

Tips khususBagi Dokter Umum:


 Rujuk semua kasus ACS ke ED.
 Berikan aspirin 300mg sebelum mengirim pasien ke RS.
Manajemen
Nyeri Dada iskemik berkelanjutan/perubahan EKG menunjukkan Unstabel angina atau
NSTEMI
 Monitoring tanda vital pada area critical care
 Berikan O2 via mask
 Aspirin oral 300mg
Catatan : ini merupakan terapi dasar ACS, yang akan mencapai platelet inhibition dalam 1
jam. Hindari enteric-coated aspirin, karena onset akan lebih lambat sampai 3-4 jam. Aspirin
mengurangi risiko kematian jantung dan infark miokard non-fatal pada sekitar 50% kasus
dalam 3 bulan.
 IV plug dan pemeriksaan darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak, troponin T
atau I, profil koagulasi, GXM 2 unit packed cells.
 Berikan IV GTN 20-200 µg/menit untuk mengurangi nyeri atau iskemik. Tingkatkan 5-10
µg/lmenit pada interval 5-10 mneit sampai nyeri dada hilang atau MAP turun 10%.
Hentikan jika terjadi hipotensi.
Catatan : IV GTN bermanfaat pada ACS dan hipertensi/gagal jantung. Tidak ada bukti
bahwa IV infusion lebih efektif dibanding dengan long-acting nirate yang diberikan melalui
rute lain, namun titrasi dosis dapat lebih cepat dan lebih mudah dilakukan dengan jalur IV.
GTN merupakan kontraindikasi bagi infark ventricular kanan.
 Berikan IV morfin secara titrasi untuk mengurangi nyeri jika nyeri menetap setelah
pemberian GTN.
 Berikan beta-blocker untuk mengurangi risiko infark jika tidak ada kontraindikasi, cth
gagal jantung, gagal nafas, heart block derajat 2 atau lebih, tekanan darah sistolik <
90mmHg. Contoh : atenolol/metoprolol oral 50-100mg/hari.
 Berikan Calsium Channel Blocker bersama dengan beta blocker atau pada pasien dengan
kontraindikasi betablocker namun tidak meilki gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri.
Titrasi sampai HR 60x/menit. Cth : Diltiazem IV 5mg selama 2-5menit, diulang tiap 5-10
menit samapai dosis total 50mg. diikuti dengan infus 5 mg/menitsampai 15mg/menit.
 Heparin, ketika digunakan IV, mengurangi insiden iskemik berulang dan progresi Q-wave
MI.
Penggunaan IV heparin butuh monitoring hati-hati. Namun tidak diperlukan bila
menggunakan heparin molekul kecil dan cara kerjanya lebih mudah diprediksi karena
memiliki bioavaibilitas yang nyaris komplit. Diberikan 2 kali sehari dengan injeksi SC
selama 3 hari.
Catatan : risiko komplikasi pada pasien unstabel angina dan non-STEMI akan berkurang
pada keadaan dibawah ini:
1. unfractioned heparin tanpa aspirin lebih efektif ddari pada placebo.
2. Unfractioned heparin dikombinasikan dengan aspirin lebih efektif dibanding dengan
aspirin saja.
3. Low molecular weight heparin dikombinasikan dengan aspirin lebih efektif daripada
aspirin saja.
 Kasus risiko tinggi harus diterapi dengan intravenous small molecule platelet glycoprotein
IIb/IIIa inhibitor selama 96 jam. Juga harus diberikan pada pasien dengan troponin T yang
meningkat yang dijadwalkan menjalani intervensi koronari perkutaneus menggunakan
unfractioned heparin. 3 jenis agent yang digunakan adalah : abciximab, tirofiban dan
eptifibatide.
 Deteksi dan koreksi factor pencetu yang jelas : anemia, demam, tirotoksikosis, hipoksia,
takidisritmia, stenosis aorta atau obat simpatomimetik.
 Lakukan CXR.
 MRS pada CCU.

Diagnosa Unstabel Angina berdasarkan keadaan klinis tanpa perubahan


EKG/perubahan ECG non-spesific serta pasien telah bebas dari nyeri dada
 Monitoring pada area intermediate.
 Berikan aspirin oral 300mg
 Pasang IV plug dan periksa darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim jantung, troponin
T atau I jantung, profil koagulasi, cross match 2 unit packed cells.
 Aplikasikan nitroderm patch 5-10mg tergantung pada tekanan darah.
 Lakukan CXR.
 MRS pada bangsal kardiologi.

50 Dengue Fever

Definisi
Dengue fever merupakan penyakit infeksi demam akut, disebabkan oleh virus dari genus
Flavivirus, vector : Aedes aegypti. Patofisiologi penyakit terjadi karena peningkatan
permeabilitas kapiler yang berlebihan, dengan keluarnya plasma kapiler yang difus,
hemokonsentrasi, dan beberapa kasus terjadi syok hipovolemik hemorrhagic.. periode inkubasi :
3-6 hari; bebepara kasus mencapai 15 hari.

Manifestasi klinis
Dengue fever (DF)
 Gejala klinis dengue fever pada tahap awal serupa dengan pasien infeksi virus.
 Ditandai dengan demam dan trombositopenia.
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
 Fase awal tidak dapat dibedakan dengan DF.
 Setelah 2-5 hari, beberapa kasus pada infeksi yang pertama atau lebih sering setelah
infeksi yang berulang akan menunjukkan trombositopenia (<100.000/mm3) dan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20% atau >45%).
 Manifestasi perdarahan dapat muncul atau tidak; limphe tidak teraba, terdapatnya
pembesaran hepar serta nyeri tekan merupakan tanda prognosis yang buruk.
 Manifestasi lain: efusi pleural, hipoalbunemia, ensefalopati dengan cairan serebrospinal
yang normal.
 Acute liver failure dengan perubahan kesadaran yang jarang terjadi serta didapatkan tanda
neurologik yang abnormal (Hiperrefleksia) dapat timbul. Pasien seperti itu akan mudah
mengalami perdarahan hebat, gagal ginjal, edema otak, edema paru dan infeksi sekunder.
Intervensi dini diperlukan. Pelepasan plasma dari kapiler secara difus bertanggungjawab
terhadap terjadinya hemokonsentrasi.
 Klasifikasi DHF menurut WHO :
Grade I demam, gejala konstitusional, tes tourniquet positif
Grade II Grade I dengan adanya perdarahan spontan
Grade III Grade II dengan instabilitas hemodinamik dan mental confusion
Grade IV Grade III dengan syok
Kasus disertai dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Grade III dan IV dinamakan Dengue Shock Syndrome (DSS).

Caveats
 Diagnosa DF pada ED muncul bila didapatkan riwayat demam > 3 hari dan tidak
merespon terapi yang diberikan.
 Gejala abdomen seperti nausea, vomiting, nyeri epigastrial, dan diare sering menyebabkan
misdiagnosa manjadi GE atau gastritis viral, terutama pada anak-anak.
 Demam biasanya tinggi dan memnjang, resisten terhadap terapi. Biasanya nyata pada
pasien yang tinggal di daerah endemis dengue.
 Beberapa pasien dapat menunjukkan nyeri punggung yang hebat.
 Pasien dengan riwayat keluarga positif dengue, memiliki risiko lebih tinggi untuk
menderita infeksi yang sama, sehingga diperlukan monitoring hitung trobosit.

Tips Khusus bagi Dokter Umum:


 Skin rash seperti eritema menyeluruh dengan pockets of sparing di ekstremitas bawah
tidaklah selalu konsisten. Namun wajah pasien dengan dengue biasanya akan terlihat
flushing/memerah. Kadang pasien datang dengan keluhan perdarahan gusi.
 Rujuk semua kasus suspek DHF atau DSS secepatnya ke RS.

Manajemen
 Tidak ada terapi dengue yang spesifik. Pemberian terapi suportif (replacement cairan dan
koreksi ketidakseimbangan elektrolit) merupan kunci penanganan pasien infeksi dengue.
1. Monitor hitung trombosit tiap hari sampai menunjukkan peningkatan.
2. Monitor profil koagulasi : ulang tes jika diperlukan.
 Pasien yang serius ditangani pada area critical care untuk dimonitoring.
 FBC penting pada semua pasien demam tinggi yang terus menerus tanpa sumber infeksi
yang jelas. Penemuan penting pada pasien dengue :
1. lekopeni; adanya lekositosis dan netrofilia mengeksklusi adanya kemungkinan
dengue, dan infeksi bacterial harus dipertimbangkan.
2. Trombositopeni (< 100.000/mm3): leptospirosis, measles, rubella, meningococcemia,
septisemia, malaria, dan SARS juga dapat menyebabkan trombositopeni namun rash
tidak sering timbul pada malaria tanpa komplikasi.
3. Hematokrit menunjukkan hemokonsentrasi.
4. Urea dan elektrolit : hiponatremia
5. LFT : abnormalitas enzim hati.
 Monitoring tanda vital, adanya hemokonsentrasi, penggantian cairan intravascular dengan
RL atau isotonic salin, koreksi asidosis metabolic, serta pemberian oksigen merupakan
tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa pasien DSS. Ketika pasien stabil, leakage
kapiler berhenti dan resorpsi cairan ekstravaskular dimulai, penanganan cairan intravena
harus hati-hati untuk menghindari edema pulmonal.
 Salisilat harus dihindari sebagai analgesic, karena potensinya dalam menyebabkan
perdarahan diatesis dank arena dengue terkait dengan Reye’s syndrome pada beberapa
kasus. Obat hepatotoksik dan sedative long-acting juga harus dihindari.
 Penempatan : MRS untuk terapi cairan IV jika diperlukan pada kasus :
1. dehidrasi signifikan (>10% berat badan normal) telah terjadi dan ekspansi volume
secara cepat diperlukan atau ketika terjadi perdarahan spontan. Berarti pasien dengan
grade I yang merespon terapi cairan per oral serta tidak memiliki kompplikasi saja
yang dapat dipulangkan.
2. Kecenderungan untuk terjadi perdarahan
3. Trombositopenia berat (<100.000).
4. Hitung platelet <20.000 akan membutuhkan bed rest karena ditakutkan akan terjadi
perdarahan spontan dan trauma yang tidak disengaja.
5. pasien lansia, atau yang sangat muda serta pasien dengan penyakit lain (cth : alergi,
DM, IHD).
Catatan: pasien dengan hitung trombosit 100.000-140.000 dapat dipulangkan namun harus
melakukan pemeriksaan FBC berkala sampai trombosit normal.
51. Dermatologi pada Emergency Care

Caveats
 pasien febris dengan rash purpurik, pertimbangkan meningococcaemia.
 Pada pasien dengan rash ptechiae, pikirkan kemungkinan DIVC akibat sepsis.
 Pada pasien hipotensiv dengan nyeri sendi dan ‘bruising’, pertimbangkan kemungkinan
necrotizing soft tissue infection yang dapat memperdaya pemeriksa pada awal presentasi
penyakit.
 Ada kemungkinan untuk melakukan vaksinasi pada seseorang yang mengalami chicken
pox walaupun ringan dan mungkin salah artikan sebagai ‘viral fever’.
 Pikirkan varicella pneumonitis jika pasien menderita takipneu, batuk dan demam tinggi 3-
5 hari.

Tips Khusus bagi Dokter Umum


 Rujuk cepat pasien Meningococcaemia dengan memberikan profilaksis ciprofloxacin
500mg dosis tunggal.

Varicella (Chicken Pox)


Agent : Varicella Zoster Virus (VZV).
Manifestasi klinis
 Periode inkubasi : 10-21 hari, namun biasanya 14-17 hari.
 Biasanya didahului dengan gejala prodromal : demam low-grade, malaise, mialgia (dapat
tidak terjadi pada anak kecil)
 Lesi awal dapat berupa macula atau popular sebelum timbul vesikel, diikui dengan krusta.
 Distribusi meliputi kulit kepala, area genital, mukosa mulut, dan konjungtiva, namun
terutama pada trunkus.
 Lesi timbul dengan usia yang berbeda, antara vesikel dengan krusta.
 Pasien bersifat infeksius pada 48 jam sebelum onset timbul rash vesikel, selama periode
pembentukan vesikel, biasanya 4-5 hari, dan sampai vesikel menjadi krusta.

Manajemen
 Pertimbangkan asiklovir jika pasien datang pada 24-72 jam pertama sejak onset rash.
Dosis 800mg (dewasa) atau 20mg/kgBB (pediatric) 5 x per hari x 5hari.
 Antihistamin untuk mengontrol gatal dapat dipertimbangkan, misal CTM 4mg 3x/hari.
 Jangan berikan aspirin sebagai antipiretik karenadapat menyebabkan Reye’s syndrome.
 Pertimbangkan antibiotik oral jika ada gejala infeksi bacterial, cth : penisilin V
(Streptococcus grup A merupakan penyebab tersering)/cephalexin/doxyciclin (jika alergi
penisilin atau cephalexin) atau Cloxacillin jika dicurigai karena Staphylococcus aureus.
 Pasien dengan immunocompromised harus diMRS-kan.

Komplikasi
 Terjadi terutama pada dewasa dan pasien immunocompromised: aseptic meningitis,
encephalitis, pneumonia, pneumonitis, transverse myelitis dan Reye’s syndrome.
 Foetal Varicella syndrome terkait dengan phocomelia: neonatal varicella dapat fatal dan
ditularkan saat persalinan.
 Imunitas dapat ditentukan dengan IgG.

Isolasi
 Sarankan isolasi sampai tidak ada vesikel baru yang muncul dan lesi menjadi krusta.
 Wanita hamil yang tidak memiliki imunitas harus dipertimbangkan untuk VZIg.

Herpes Zozter (‘Shingles’)


Menandakan reaktivasi varicella zoster virus yang laten.
Manifestasi klinis
 Vesikel yang nyeri dengan distribusi dermatoe yang unilateral.
 Daerah yang sering adalah torso, kulit kepala dan wajah.
 Onset herpes zoster ditandai dengan nyeri yang sangat pada dermatom yang muncul
sebelum adanya lesi dalam 48-72 jam, diikuti dengan rash makulopapular yang eritem
yang kemudian berubah menjadi vesikel dengan cepat.
 Durasi total penyakit ini biasanya antara 7-10hari; namun dibutuhkan waktu 2-4minggu
untuk mengembalikan kulit menjadi normal.
 Manifestasi yang tidak khas :
1. nyeri tidak disertai dengan lesi yang khas.
2. dapat tersebar pada pasien immunocompromised.
 Trigeminal Herpes zoster dengan keterlibatan nervus ophthalmicus (Zoster ophthalmicus)
dapat menyebabkan ulkus kornea dan hilangnya penglihatan. Selalu lakukan tes
pewarnaan fluoresensi untuk menyingkirkan ulkus kornea jika vesikel terdapat pada
bagian bridge of the nose dandisekitar mata dan daerah dahi.
 Komplikasi yang paling mengganggu dari herpes zoster adalah rasa nyeri yang terkait
dengan neuritis akut dan neuralgia postherpetik.

Manajemen
 Kontrol nyeri dengan anlgesik pada fase akut. Trisiklik antidepresan seperti amitryptilin
10 mg dapat dipertimbangkan bila nyeri persisten setelah vesikel mulai menghilang
(postherpetic neuralgia); obat lain seperti gabapentin dan narkotik digunakan pada kasus
yang berat.
 Obat antiviral, cth :Acyclovir :
1. menunjukkan pemendekan manifestasi herpes zoster bila diberikan dalam 48-72 jam
pertama sejak onset rash muncul.
2. Dosis : 5 x 800mg selama 7-10 hari.
3. Berikan acyclovir IV pada pasien immunocompromised atau dengan penyakit yang
meluas.
 Steroid dapat mencegah postherpetic neuralgia.
 Rujuk ke ophthalmologist jika ada keterlibatan corneal.

Pemfigoid dan Pemfigus


 Keduanya merupakan penyakit bullous karena proses autoimun.
 Dasar terapi adalah memberikan antiinflamasi
 Biopsy kulit sering diindikasikan untuk mengkonfirmasi diagnosa.
 Lihat bab 1 untuk membedakan manifestasi klinis.

Tabel 1 : Faktor Pembeda Pemfigoid dengan Pemfigus

Feature Pemfigoid Pemfigus


Usia Lansia Usia muda/pertengahan
Lesi Bulla yang tegang Bulla lebih lunak yang mudah pecah
kemudian menyisakan erosi
Gatal Nyeri
Membran mukosa kadang Membrane mukosa sering terlibat; sering
terlibat menampakkan manifestasi.
Prognosis Lebih benign Potensial mematikan.

Manajemen
 Pada umumnya keduanya membutuhkan manajemen yang melelahkan :
1. steroid sistemik ± immunosupresif
2. Perawatan luka local.
3. terapi infeksi
4. Koreksi kehilangan cairan dan elektrolit dari luasnya kulit yang luka.

Necrotizing Soft Tissue Infections


 Sekelompok infeksi bacterial pada jaringan lunak yang dapat mengancam nyawa dan
ditandai dengan nekrosis jaringan.
 Istilah spesifik digunakan berdasarakan jaringan yang terlibat serta organisme
penyebabnya:
1. Necrotizing fasciitis
2. Necrotizing myositis
3. Fournier’s gangrene (genitalia)
 Organisme :
1. Streptococcus grup A
2. Polymikrobial
3. Staphylococcus aureus.

Manifestasi Klinik
 Toksik, demam, dan sering hipotensif ± confusion dan delirium.
 Penampakan kulit yang minor dapat memperdayakan dibandingkan dengan manifestasi
klinis pasien yang toksik.
 Terdapat edema dan eritema pada awalnya, menjadi pucat dan keabu-abuan dengan
perdarahan bullae (karena iskemik ketika pembuluh darah rusak) atau gangrene.
 Nyeri abdomen juga sering muncul sebagai keluhan.

Diagnosa Diferensial
 Selulitis dan infeksi jaringan lunak non-necrotizing lain
 Erisipelas, memiliki batas demarkasi yang jelas serta streaking pada limphangitis juga
menonjol; vesikel dan bula dapat terjadi pada infeksi berat (penyebab : Streptococcus beta
hemolitikus grup A)

Manajemen
 Ditangani pada area Critical Care
 Resusitasi cairan dan inotropic support jika diperlukan
 Pertimbangkan X ray jaringan lunak yang terlibat untuk mencari ‘free air’ pada jaringan
subkutan.
Catatan : Tidak adanya penemuan tersebut tidak akan menyingkirkan diagnosa.
 Lakukan kultur darah
 Beri antibiotik spectrum luas, IV kristaline penicillin + Clindamycin (untuk streptococcus
grup A + Anaerob dengan beberapa Staphylococcus) + Ceftazidime (untuk bakteri batang
Gram negative dan Meliodosis).
 Rujuk ke ortopedik/bedah umum (tergantung pada daerah yang terlibat) untuk eksplorasi
bedah secepatnya serta debridemen.
 Penempatan : HD atau ICU tergantung stabilitas pasien.

Meningococcaemia
Penyebab : N. meningitides (Diplococcus Gram negative pada pewarnaan Gram CSF).

Manifestasi Klinis
 Onset yang tiba-tiba dari demam, malaise, mialgia, athralgia, nyeri kepala, nausea, dan
vomiting.
 Bersifat toksik dengan progresivitas yang cepat menjadi tanda meningitis.
 Penemuan kulit yang terkait : jaringan parut berwarna merah muda atau papula purpurik
(lesi yang teraba < 1,5 cm) yang dapat menjadi vesicular atau pustular.
 Dapat berkembang menjadi purpura fulminan : plak irregular namun berbatas tegas,
berupa purpura ungu dengan bagian tengah yang keabu-abuan, kehitaman, ungu gelap
atau nekrosis kehitaman.

Manajemen
 Pasien harus ditangani pada area critical care
 Resusitasi cairan dan support inotropik jika diperlukan
 Kultur darah
 Antibiotik dapat dimulai sebelum pungsi lumbal
 Antibiotik pilihan : IV Penicillin G 4 juta U setiap 4 jam (pertimbangkan Cloramfenikol
jika alergi penisilin) atau Ceftriaxon 2 g 2x/hari.
 Penempatan : HD atau ICU (membutuhkan isolasi).

Profilaksis
 Indikasi :
1. Kontak dekat setidaknya 4 jam pada seminggu sebelum onset penyakit, cth : orang
yang tinggal serumah, kontak sehari-hari, teman satu ruang.
2. terpapar secret nasofaringeal pasien, cth : melalui ciuman, resusitasi mulut ke mulut,
intubasi, suction nasotracheal.
 Regimen
1. Ciprofloxacin po 500mg single dose atau rifampisisn 600mg po bd x 4 dosis (dewasa)
2. Rifampicin 10mg/kg po bd x 4 dosis (pediatric).
Urtikaria Akut
Manifestasi Klinik:
 Rash merah muda, non-scaling, permukaan atas datar yang terjadi berpindah-pindah.
 Lesi terasa gatal
Penyebab :
 Viral: diyakinkan dengan adanya riwayat demam, mialgia, dan gejala URTI.
 Obat-obatan: Penisikin, sulfa NSAID
 Alergi makanan
 Factor lingkungan : dingin, sinar matahari, tekanana
 Tidak diketahui
Manajemen
 Identifikasi dan eliminasi factor penyebab jika mungkin
 Terapi simptomatis
 Antihistamin
1. pilihan rute parenteral
Promethazine : IM 25 mg (dewasa) atau
0,5 mg/kg (anak-anak)
Difenhidramin IM 25 mg (dewasa) atau
1 mg/kg (anak-anak)
2. Pilihan per Oral
CTM (piriton) tab 4 mg 3x/hari
Hydroxyzine (Atarax) tab 25 mg 3x/hari
Pilihan terbaru yang kurang sedative : Cetirizine (zyrtec), loratadine (Clarityne)
 Steroid
1. dipertimbangkan jika lesi luas dan rekuren, atau terkait dengan angioedema
2. Prednisolone tab 1mg/kg OM selama 5 hari
 Penempatan : dapat KRS jika respon thd terapi baik, dan tidak ada angioedema.

Erythema Multiforme
Merupakan reaksi hipersensitifiatas, diklasifikasikan:
 EM minor : ringan dan paling sering
 EM major/bullous/stevens-Johnson syndrome : bula dan erosi membrane mukosa yang
signifikan.

Manifestasi klinis
 Papula merah, permukaan datar ukuran 1-3 cm.
 Tidak gatal dan bersisik
 Bull’s eye atau lesi target : kehitaman, violaceous atau bagian tengah kecoklatan.
 Lesi menetap
 Biasanya dimulai pada tangan dan kaki, termasuk telapak tangan dan kaki, sebelum
kemudian menyebar.
 Bula dapat muncul pada lesi target.
 Erosi membrane mukosa dapat terjadi.

Penyebab
 Infeksi : HSV, EBV, Streptococcus, Mycoplasma merupakan yang paling sering.
 Obat : Sulfa, penisilin, tetrasiklin, antikonvulsan (cth : fenitoin, carbamazepin,
barbiturate) NSAID, allopurinol, hidroclorothiazide, procainamide.
 Lain-lain : penyebab autoimun.

Manajemen
 Tentukan penyebab dan eliminasi allergen jika mungkin
1. review medikasi pasien
2. review simptomatologi untuk penyakit infeksi yang sering terjadi
3. Alergi makanan
4. Gigitan serangga/sengatan
5. Penyakit autoimun
 EM minor
1. berikan kenyamanan
2. Medikasi biasanya tidak diperlukan karena biasanya rash tidak gatal dan tidak nyeri.
3. foolow up pada klinik kulit/general medicine.
 EM major
1. MRS untuk perawatan inpatient
2. perawatan suportif umum : maintenance cairan dan elektrolit
3. Perawatan luka
4. Kontrol infeksi
5. perhatikan bahwa steroid sistemik adalah controversial.
6. MRS pada Unit Luka Bakar atau HD jika terjadi skin loss yang signifikan atau toxic
epidermal.

Erythema Nodosum
Merupakan reaksi hipersensitivitas
Manifestasi klinis
 Onset akut nodul kemerahan yang nyeri
 Terdistribusi terutama pada kaki bagian bawah
Penyebab
 Infeksi : Streptococcus, tuberculosis, infectious mononucleosis, Chlamydia, Yersinia.
 Terkait dengan sarcoidosis, Hodgkin’s disease, ulcerative disease.
 Obat: kontrasepsi oral, sulfonamide, penisilin, tetrasiklin
Manajemen
 Review sistemik untuk mengetahui kemungkinan infeksi
 Eliminasi penyebab/pencetus
 Terapi simptomatik, cth NSAID sebagai analgesic.
 Sarankan ke ahli dermatologi untuk follow up.
52. Diabetic ketoacidosis (DKA)

Caveats
 DKA disebabkan penurunan kadar insulin secara absolute atau relative yang terjadi pada
saat terjadi kelebihan glukagon. Kriteria diagnosa :
1. Hiperglikemia dengan glukosa darah ≥ 14 mmol/L
2. Asidemia dengan pH arteri < 7,3, bikarbonat < 15 mmol/L
3. Ketonemia atau ketonuria
 Kadar glukosa plasma yang tinggi menyebabkan diuresis osmotic dengan hilangnya
sodium dan air, hipotensi, hipoperfusi dan syok. Pasien datang dengan signifikan poliuri,
polidipsi, berat badan turun, dehidrasi, kelemahan dan sensorium yang berkabut.
 Pasien muda yang tidak didiagnosa diabetes sering muncul dengan DKA yang
berlangsung selama 1-3 hari. Kadar glukosa plasma mungkin tidak meningkat tajam.
 Keluhan GIT seperti nausea, vomiting dan nyeri abdomen merupakan keluhan yang
paling sering didapatkan, terutama pada usia muda. Keadaan ini sering disalahartikan
sebagai ‘acute surgical abdomen’. Kadar amylase serum sering meningkat tanpa adanya
pankreatitis.
 Hiperventilasi dengan nafas yang cepat dan dalam (‘air hunger’) serta bau nafas acetone
merupakan tanda khas DKA.
 Penyebab:
1. Infeksi : UTI, respiratory tract, kulit
2. Infark: miokard, CVA, GIT, vaskularisasi perifer.
3. Insulin insuffisien
4. Intercurrent illness
 Tanda infeksi kadang tidak jelas. Temperature jarang meningkat, dan peningkatan hitung
total sel darah putih mungkin hanya merefleksikan ketonemia, namun adanya demam
walaupun tidak tinggi mengindikasikan adanya sepsis. Jika ragu, akan lebih aman untuk
memberikan antibiotik broad spectrum.
 Replacement cairan yang terlalu cepat dapat mengakibatkan gagal jantung, edema
serebral, dan ARDS, terutama pada pasien dengan underlying cardiac disease atau pada
lansia. Monitoring CVP mungkin diperlukan.

Manajemen
Terapi suportif
 Harus ditangani pada area yang dapat dimonitoring
 Oksigen aliran tinggi
 Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 15-30 menit, kadar glukosa darah,
keton, potassium dan keseimbangan asam basa tiap 1-2 jam.
 Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin/kalsium/magnesium/fosfat, enzim kardiak, DIC screen
(jika sepsis), urinalisis (untuk keton dan lekosit), serum keton (beta-hydroxybutyrate) dan
BGA.
 Pertimbangkan kultur darah (paling tidak 7,5 ml tiap botol).
 EKG 12 lead, CXR, urin dipstick: cari penyebab DKA.
 Support sirkulasi : IV NS sebagai dasar dari resusitasi cairan, ganti menjadi NS 0,45%
jika perfusi membaik dan BP normal, kemudian D5W/0,45% NS jika glukosa serum
turun. Total kehilangan cairan pada DKA biasanya 4-6 liter.
 Kateter urin untuk monitoring output.
Terapi spesifik
 IV Volume Replacement : Berikan NS 15-20ml/kg/jam pada jam I, dengan pemberian
koloid jika pasien tetap hipotensi. Jika pasien tidak hipotensif atau hiponatremia, barikan
0,45% NS 10-20ml/kg/jam selama 2-4jam kemudian dengan monitoring yang ketat dari
kadar glukosa serum. Ganti menjadi D5W/0,45% NS jika kadar glukosa serum turun
dibawah 14 mmol/L. Normal atau setengah NS dapat diteruskan bersamaan dengan IV
D5% untuk mengkoreksi derangement cairan dan elektrolit. Monitoring output urin setiap
jam, dan cek elektrolit serta kreatinin tiap 2-4 jam sampai stabil.
Catatan : Replacement cairan harus dapat mengkoreksi deficit yang diperkirakan (4-6 liter)
dalam 24 jam pertama, namun osmolaritas serum tidak boleh turun lebih dari 3 mOsm/kg/jam
untuk menghindari terjadinya edema serebral.
 Restorasi keseimbangan Elektrolit : replacement potassium lebih awal merupakan
standar terapi. Jika terjadi oliguri, tes fungsi ginjal mungkin meningkat. Jika abnormal,
replacement potassium harus diturunkan. Pastikan terdapat urin outpun, kemudian
lakukan replacement dengan ketentuan :
1. Serum k+ < 3,3mmol/l, berikan 20-40 mEq KCL per jam
Catatan: infus insulin secara bersamaan tidak akan mengurangi potassium serum.
2. Serum K+ 3,3-4,9mmol/l, berikan 10-20 mEq K+ per jam (dapat diberikan 2/3 KCL
dan 1/3 KHPO4; replacement phosphate diindikasikan jika serum fosfat < 0,3mmol/l)
atau jika pasien anemis atau dalam distress cardiorespiratori.
3. Serum K+ > 5,0 mmol/l, tahan potassium namun teru periksa tiap 2 jam.
 Restorasi keseimbangan asam basa : sodium bikarbonat diberikan jika terdapat
hiperkalemi hebat atau jika pH arteri <7,0 dimana replacement volume IV dan pemberian
insulin akan memperbaiki asidosis metabolic. Jika pH 6,9-7,0, berikan IV NaHCO 3 8,4%
50ml didilusikan dalam 200ml NS dan berikan selama 1 jam. Jika pH <6,9, berikan
100ml NaHCO3 8,4% didilusikan dalam 400ml NS selama 2 jam.
Catatan : tidak ada efek menguntungkan bila diberikan pada pH yang lebih tinggi. Ulangi
BGA setelah 1 jam hidrasi dan terapi bikarbonat; jika pH masih < 7,0, berikan NaHCO 3 8,4%
50ml dalam 200ml NS selama 1-2 jam dalam infus.
 Pemberian Insulin : dosis besar tidak diperlukan untuk mengatasi DKA. Hipoglikemi
dan hipokalemi akan mudah terjadi dengan pemberian terapi insulin dosis besar.
1. Berikan bolus dosis 0,15 unit/kgBB IV SI pada dewasa, diikuti dengan dosis rendah
infus 0,1 unit/kgBB/jam pada dewasa dan anak-anak. Sesuaikan laju infus untuk
menurunkan kadar glukosa serum sekitar 3-4mmol/l per jam. Monitoring glukosa
darah tiap jam.
2. Jika kadar glukosa darah turun dibawah 14 mmol/l, bagi dua laju infus IV SI sampai
0,05-0,1 unit/kg/jam dan tambahkan dekstrose pada cairan IV untuk menghasilkan
kadar glukosa darah 8-12 mmol/l. Pertahankan infus SI sampai asidosis hilang (pH >
7,3 dan HCO3 > 15). SC SI tiap 4 jam kemudian dapat diberikan dalam periode yang
overlap 1-2 jam. Jangan hentikan IV SI begitu kadar glukosa darah telah normal.
 Tangani Faktor Pencetus, seperti sepsis, IMA.

Penempatan:
 MRS-kan semua kasus DKA
 Pasien dengan hipotensi atau oliguri sebagai rehidrasi dini, atau pasien yang memiliki
gangguan mental/koma, dengan osmolalitas serum total > 340 mOsm/kg, harus
dipertimbangkan untuk HD atau MICU.
 Kasus ringan dapat dimasukkan pada general Ward atau tangani pada ED dengan
konsultasi pada general medicine.
56. Trauma Elektrik dan lightning (Petir)

Caveats
 Trauma elektrik tegangan rendah (<1000 volt) lebih jarang menyebabkan keadaan yang
serius daripada trauma tegangan tinggi. Semakin tinggi tegangan, maka semakin
cenderung untuk menyebabkan luka bakar.
 Resistensi bervariasi pada tiap jaringan, dimana tulang merupakan jaringan yang paling
resisten.
 Semakin tinggi durasi kontak, maka semakin parah injury.
 Kulit yang kering membutuhkan 3000 volt untuk menginduksi VF, sedangkan kulit yang
basah membutuhkan 220-240 volt.
 Alternating Current (AC) lebih berbahaya dibanding dengan Direct Current (DC),
menyebabkan kontraksi tetanik otot fleksor, sehingga korban akan mengalami ‘freezing’
ketika kontak dengan sumber elektrik.
 DC menyebabkan kontraksi otot tunggal yang dapat menyebabkan korban terlempar dari
lokasi awal; demikian juga dengan efek Petir.
 Pathway : ketika kulit tersentuh, aliran listrik berjalan melalui jaringan yang kurang
resisten (nervus, pembuluh darah, otot) dengan kerusakan yang berbanding terbalik
dengan diameter cross-sectional dari jaringan yang terkena.
 Konduksi true-electrical injury lebih mirip dengan ‘crush injury’ daripada thermal injury,
dimana jumlah total kerusakan sering tidak terlihat secara nyata.
 Manajemen cairan yang baik sangat penting untuk menghindari gagal ginjal akut.
Catatan : Replacement cairan tidak dapat dikalkulasi berdasarkan Wallace Rule of 9 seperti
luka bakar.
 Jangan lupa untuk mencari trauma lain:
1. trauma servical spine
2. Toksik inhalasi
3. Jatuh dengan Fraktur/dislokasi
4. perawatan luka bakar dengan injury inhalasi
5. fetal injury selama kehamilan

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


 Pastikan sumber elektrik sudah dimatikan sebelum menolong korban, jika dipanggil
langsung pada lokasi kejadian.

Tipe Trauma Elektrik


 True Electrical Injuries : terjadi ketika aliran listrik masuk melewati tubuh menuju ke
tanah.
 Flash burns :
1. aliran tidak melibatkan bagian dalam tubuh
2. Luka dikarakterisasi dengan bagian tengah berwarna keputihan yang dikelilingi
dengan eritema; merupakan luka bakar yang simple.
 Flame burns:
1. Disebabkan terbakarnya pakaian dan tidak dipertimbangkan sebagai True electrical
injury.
2. Ditangani sebagai luka bakar ketika trauma elektrik telah disingkirkan.
 Lightning Injury : lihat tabel 1 untuk detail komplikasinya.
1. Aliran langsung voltase tinggi (dalam ‘juta’).
2. Cardiac injury berakibat pada asistole : terapi via protocol ACLS dengan delayed
recovery yang mungkin.
3. kulit disekitar luka masuk dapat menunjukkan spidery atau pine tree appearance.

Manajemen
Terapi suportif
 Pasien dengan AMS atau disritmia kardiak harus ditangani pada area critical care
 pertahankan jalan nafas dengan imobilisasi cervical spine
 Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
 Pasang akses IV peripheral (2 jika hemodinamik tidak stabil).
 Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, DIVC screen, urinalisis termasuk mioglobin, cardiac
screen, kreatininminase, BGA dan kadar COHb pada keterlibatan trauma inhalasi dan
GXM jika dibutuhkan.
 EKG pada semua trauma elektrik.
 IV kristaloid untuk memaintenance perfusi jaringan perifer dan urin output sebesar 1-
1,5ml/kg/jam.
 X ray : C spine; jika ada injury, CXR pada injury inhalasi.
 Manajemen nyeri:
1. Pethidine 50-75mg IM atau 25mg IV atau
2. Sodium diklofenac (Voltaren) 50-75mg IM
 Pasang kateter foley
 Pertimbangkan alkalinisasi urin untuk mencegah renal tubular necrosis jika mioglobin
terdapat pada urin. Dosis : IV sodium bikarbonat 1 mmol/kg/bb selama 2 jam (1ml
sodium bikarbonat 8,4% = 1mmol).
 Pertimbangkan placement Ryle’s tube jika ada kecurigaan ileus paralitik.
 Berikan ATT 0,5ml IM sesuai protocol standar.
 Pertimbangkan fasciotomi dan konsul ke Hand Surgery atau orthopedics pada kasus:
1. Muscle tightness
2. Hilangnya sensori
3. Circulatory compromise
4. pembengkakan jaringan yang cepat
 Pada kasus serangan jantung, ikuti protocol standart ACLS kecuali pada recovery
prolonged asistole yang membutuhkan usaha resusitasi yang lebih panjang.

Situasi Khusus
 Pasien anak-anak
1. luka bakar commisura oral secara eksklusif terjadi pada anak-anak dan dapat
menyebabkan morbiditas.
2. fatalitas jarang dimana sirkuit elektrik terletak pada mulut.
3. terdapat penonjolan local jaringan pada hari ke 7 samapi hari ke 10 dan dapat
menyebabkan perdarahan yang cepat.
4. MRSkan pasien dengan luka bakar seperti itu
 Konsiderasi Obstetrik
1. Injury fetal tergantung pada aliran listrik yang masuk ke tubuh ibunya.
2. fetal injury yang signifikan (kematian atau IUGR) dapat terjadi setelah terkena aliran
listrik walaupun dalam derajat yang rendah, terutama pada kasus oligohidramnion.
3. Konsultasi OBG pada tiap kasus trauma elektrik selama kehamilan dan lakukan
monitoring fetal.

Penempatan
 Kriteria MRS
1. semua pasien dengan high voltage injury (> 1000 volt).
2. Semua pasien dengan keterlibatan system organ spesifik.
3. Semua pasien dengan suspek neurovascular compromise pada ekstremitas.
4. Semua pasien dengan luka bakar komisura oral
5. Luka bakar dalam pada tangan
 Kriteria KRS
1. Pasien tanpa bukti luka bakar
2. pasien dengan trauma minor, disarankan untuk kontrol pada unit rawat jalan.
Tabel 1 : Komplikasi Trauma Elektrik dan Lightning/petir
Sistem Dalam Tubuh yang Terlibat Komplikasi yang terkait Manifestasi yang Unik
CVS Disritmia ventricular, BP yang rendah (hilangnya cairan), BP yang Infark miokard jarang terjadi dan cenderung ditemukan terlambat
tinggi (release katekolamin), iskemik miokardial pada kedua tipe injury.

Neurologik LOC, AMS, konvulsi, afasia, amnesia, neuropathy peripheral Paralise pernafasan pusat, ICH, edema serebral dan infark,
parkinsonisme merupakan manifestasi dari lightning injury.
Neuralgia merupakan manifestasi yang terlambat.

Kulit Kontak elektrothermal , non kontak arc dan flash burn, luka bakar Jaringan parut, dan kontraktur merupakan manifestasi yang
thermal sekunder dengan berbagai kedalaman (terbakarnya pakaian terlambat.
dan pemanasan perhiasan dari metal)

Vaskular Trombosis, nekrosis koagulasi, nekrosis intravascular, hemolisis Koagulasi intravascular disseminated pada lightning injuries
intravascular, ruptur pembuluh darah yang delayed, kompartemen
syndrome.

Respiratori Respiratory arrest, aspirasi pneumonia, kontusio pulmonal Infark pulmonal dan pneumonia merupakan manifestasi yang
terlambat
Mioglobiuria, hemoglobinuria, asidosis metabolic, hipokalemi, Gagal ginjal jarang terjadi
Ginjal/metabolic hipokalsemi, hiperglikemi

GIT Atonia gaster dan ileus intestinal, perforasi bowel, perdarahan


intramural esophageal, nekrosis hepatic dan pankreatik, perdarahan
GIT.

Otot Kompartemen Sindrom, miositis clostridial dan mionekrosis.

Skeletal Trauma tumpul sekunder pada kedua tipe meliputi fraktur kompresi
vertebral, fraktur tulang panjang, dislokasi sendi besar, nekrosis
aseptic, periosteal burn, osteomielitis.
Mata Luka bakar kornea, perdarahan intraokuler atau trombosis, uveitis, Late injury meliputi delayed katarak, degenerasi macular dan
retinal detachment, fraktur orbita. atrofi optic.

Telinga Hilangnya pendengaran (sementara), tinnitus, hemotimpanum, CSF Rupture membrane tymphani jarang terjadi
rhinorrhea

Luka bakar Oral Perdarahan arteri labial delayed (pada anak yang menggigit kabel Injury ini hamper selalu terlihat pada trauma elektrik saja.
listrik) dengan jaringan parut dan deformitas wajah, keterlambatan
kemampuan berbicara, gangguan perkembangan mandibular/ gigi
geligi.

Fetal Abortus spontan, kematian janin, oligohidramnion, retardasi


pertumbuhan intrauterine, hiperbilirubinemia.

Psikiatrik Histeria, kecemasan, gangguan tidur, depresi, fobi terhadap badai, Manifestasi ini cenderung untuk sering terjadi pada lightning
disfungsi kognitif. injuries.
59 Gagal Jantung

Caveats
 Gagal jantung akut dapat dibagi menjadi 3 kelompok klinis:
1. Acute cardiogenic pulmonary oedema (lihat bab Pulmonary Oedema,
Cardiogenic)
2. Cardiogenic shock (lihat bab Shock/Hypoperfusion states)
3. Acute Decompensation of Chronic left heart failure yang merupakan focus
pembahasan pada bab ini.
 Singkirkan diagnosa gagal ginjal sebagai penyebab overload cairan sebelum
mendiagnosa gagal jantung.
 Gagal jantung dapat bermanifestasi sebagai keluhan yang tidak spesifik :
1. Kelemahan
2. Lightheadeness
3. nyeri abdomen
4. Malaise
5. Wheezing
6. nausea
 Selalu cari factor pencetus gagal jantung (tabel 1)
 Kondisi jantung dikombinasikan dengan asma atau gejala chronic obstructive
airway disease merupakan kasus klinis yang sulit dan membutuhkan keterlibatan
multidisiplin.
 Pasien yang juga memiliki diabetes mellitus insulin dependent memiliki risiko
kematian tinggi yang signifikan.

Tabel 1 : Faktor Penyebab Gagal jantung


Kardiak Non-kardiak
Iskemik miokard atau infark Emboli paru
Disritmia Superimposed infeksi sistemik
Valvular heart Disease Penyakit sistemik, cth : hipertensi berat, anemia
Non-compliance dengan regimen berat, tirotoksikosis, konsumsi alcohol berat
terapi termasuk kegagalan Obat : kokain, amfetamin, penggunaan berlebih
restriksi intake cairan dari bronkodilator, antagonis kalsium
Endokarditis bakterial generasi-1, beta blocker, NSAID
Kehamilan

Tips Khusus bagi Dokter Umum :


 Selalu cari penyebab gagal jantung pada pasien terutama bila telah menjalani
pengobatan jangka panjang. Kejadian Coronary atau kerusakan ginjal harus
diidentifikasi.
 Pasien dengan gagal jantung berat dapat mengeluh wheezing. Ini merupakan Cardiac
Asthma dan membutuhkan penanganan agresif pada ED sebelum keadaan menjadi
edema pulmonal. Nebulizer ventolin tidak akan memperbaiki gejala yang ada.
 Pasien lansia memiliki regulasi otonom yang berubah, serta sensitive terhadap efek
samping obat gagal jantung, sehingga memerlukan perhatian yang khusus.

Manajemen
 Tangani pasien pada area yang dapat diawasi : tanda vital, pulse oksimetri,
monitoring EKG terus menerus.
 Pertahankan jalan nafas
 Berikan oksigen, awalnya 100% non-rebreather face mask untuk mempertahankan
SpO2 >95%.
 Pasang jalur IV dan periksa darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim
jantung dan marker kardiak serum.
 Untuk menurunkan venous return, pasien dapat duduk tegak dengan kaki
menggantung dari tempat tidur.
 Lakukan EKG untuk mendiagnosa concomitant iskemik kardiak, MI yang
sebelumnya, disritmia jantung, hipertensi kronik, dan penyebab hipertrofi
ventrkular kiri lain.
 Lakukan CXR untuk mencari kardiomegali, dan diversi lobus atas. Penemuan
radiografik akan menetap selama beberapa hari walaupun pemulihan sedang
berjalan.
 Berikan diuretic, IV furosemide 40-60mg jika hemodinamik pasien stabil.
 Nitrodisc 5-10mg dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi gejala akibat
kongesti paru.
 Pada kasus yang parah, Infusion GTN akan menurunkan left ventricular end-
diastolic volume and pressure secara cepat dengan resolusi dari gejala.
 Monitor output urin untuk mengecek respon terapi.

Penempatan
 Belum ada penelitian yang menyatakan criteria pasien gagal jantung untuk MRS
 KRS jika pasien :
1. tidak ada nyeri dada atau penyakit lainnya.
2. respon terhadap diuretic yang diberikan di ED (nyaman saat istirahat pada
udara ruangan, SpO2 pada udara ruang ≥ 95%).
3. tidak menunjukkan bukti radiologik adanya gagal jantung
 KRS dengan ketentuan follow up pada klinik rawat jalan jika:
1. loop diretik, cth : lasix 40 OM, dan suplemen potassium, cth span K 1,2 mg
OM jika pasien tidak menggunakan diuretic sebelumnya dan
urea/elektrolit/kreatinin normal.
2. tingkatkan dosis diuretic jika sebelumnya pasien telah menjalani pengobatan
tersebut.
3. jika terdapat concurrent hipertensi, disamping loop diuretic, berikan ACE
inhibitor cth Captopril 6,25-12,5mg 3x/hari atau hidralazin 25 mg 3x/hari.
4. nasehatkan diet rendah garam dan restriksi cairan.
 MRS jika pasien :
1. Disritmia simptomatik
a. Sinkope atau presinkope
b. Serangan jantung
c. Multiple discharge dari implantabel defibrillator
2. MI baru atau iskemik
3. Onset baru dengan gejala baru gagal jantung
4. Dekompensasi gagal janutng kronik
5. Faktor pencetus kurang reversible
6. Edema anasraka atau signifikan
7. Kurangnya support keluarga
8. Hipotensi

60 Hepatic Encephalopathy, Acute

Definisi
Hepatic encephalopathy didefinisikan sebagai sindrom AMS dan keadaan neuropsikiatrik
reversible sebagai komplikasi dari penyakit liver.

Klasifikasi
 Encephalopathy terkait kegagalan liver akut
 Encephalopathy terkait sirosis hati dan hipertensi portal

Tips Khusus bagi Dokter Umum:


 Hindari narkotik, transquilizer dan sedative yang dimetabolisme di hati.
 Hati-hati karena tidak semua hepatic ensefalopati terjadi pada pasien sirosis hati
kronis; acute hepatic failure dapat terjadi karena ingesti toksin, recreational drug use,
dan hepatitis A,B dan E.

Ensefalopati terkait dengan acute liver failure


 Merupakan keadaan emergensi yang membutuhkan terapi yang tepat karena
keadaan ini akan menyebabkan deteriorasi menjadi koma dan membutuhkan
transplantasi hati.
 Sebelumnya keadaan pasien baik tanpa adanya riwayat penyakit hati.
 Gejalanya tidak spesifik, cth malaise dan fatigue dengan nausea; jaundice dan
ensefalopati dapat mengikuti, serta dapat berubah menjadi koma.
 Anamnesa :
1. Overdosis paracetamol
2. penelanan toksin seperti fenfluramin
3. penggunaan kokain dan ekstasi.
4. penggunaan obat IV.
5. riwayat perjalanan dengan maksud menyingkirkan kemungkinan hepatitis A
dan E
6. Riwayat hubungan seksual untuk mengetahui kemungkinan hepatitis B.
 Pemeriksaan fisik harus tidak menunjukkan chronic liver disease, tanda
neurologik fokal atau demam tinggi, untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab ensefalopati yang lain.
 Grade ensefalopati :
I Kurangnya kewaspadaan ringan, ansietas, euphoria, atensi jangka pendek.
II Letargi atau apati dengan disorientasi minimal terhadap waktu dan tempat,
pasien mungkin menunjukkan perubahan kepribadian atau perilaku
III Stupor dan kebingungan
IV Koma
 Manajemen :
1. Tangani di area critical care
2. Pertahankan jalan nafas dan oksigenasi, kalau perlu lakukan intubasi (jika px
koma atau ada airway compromise)
3. Monitoring EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
4. Pasang jalur IV perifer
5. Cairan IV : infus NS untuk mempertahankan perfusi perifer
 Terapi obat : IV manitol 20% : 1g/kgBB
 Pemeriksaan Penunjang :
1. GDA
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, LFT
3. Serum toksikologi (jika relevan)
4. Skrining hepatitis A,B,C, D dan E (anti-HAV IgM, HbsAg, anti-HBS, anti-
HCV, anti-delta, anti-HBE).
5. CT scan kepala urgen untuk mendeteksi edema serebral.
 Penempatan : konsul gastroenterology dan MRS pada ICU.

Ensefalopati terkait dengan sirosis hati dan hipertensi portal


 Px telah terdiagnosa menderita liver disease sebelumnya, dan mengalami
gangguan kesadaran yang timbul pada periode singkat, berfluktuasi, serta bisa
menjadi fenomena yang kronik.
 Klasifikasi meliputi 3 kategori : episodic, persisten atau minimal. Ensefalopati
pada sirosis disebabkan karena shunting portosistemik dan perubahan
metabolisme asam amino dengan ammonia yang memainkan peran penting seperti
neurotransmitter yang lain.
 Riwayat : pengenalan ri wayat sirosis sangatlah penting.
 Kejadian pencetus :
H Hemorrhage dari GIT cth varises atau erosi
E Electrolyte imbalance (hipokalemia, alkalosis seperti pada penggunaan
diuretic, vomiting dan diare) hipoglikemi.
P Protein Intake (berlebihan)
A Azotemia dari kontraksi volume, diuretic
T Tranquilizer, sedative lain
I Infeksi, cth : peritonitis bacterial spontan, UTI atau pneumonia, pembedahan
C Constipation
 Pemeriksaan Fisik :
1. dapat menunjukkan chronic liver disease, cth : spider naevi, ginekomasti,
liver palms, leuchonychia dan hepatic flap.
2. Dapat menunjukkan pembesaran hati atau lien juga ascites.
3. harus meliputi pemeriksaan rectum untuk mencari melena.
 Manajemen :
1. Tangani pada area critical care
2. Pertahankan jalan nafas dan oksigenasi : jika px koma lakukan intubasi.
3. Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
4. Pasang jalur IV perifer
5. Cairan IV : infus NS untuk mempertahankan perfusi perifer
 Pemeriksaan penunjang : ditujukan untuk mengkonfirmasi Dx Ensefalopati akibat
komplikasi sirosis juga untuk mencari factor pencetusnya.
1. GDA
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, ammonia, profil koagulasi, LFT.
3. Kultur darah dan urinalisis
4. CXR
 Terapi obat:
1. IV D50% 40ml pada hipoglikemi, dan IV thiamine 100mg jika pasien
menderita sirosis alkoholik.
2. IV nalokson 2mg jika px memiliki significant obtundation.
3. IV Flumazenil 0,5mg diulang setelah 5 menit
 Membalikkan Keadaan Ensefalopati :
1. Lactulosa 30ml PO atau lactulosa enema: menyebabkan diare osmotic yang
membantu flora normal untuk menurunkan produksi ammonia.
2. Antibiotik Oral : RCT menunjukkan manfaat klinis pada penggunaan
antibiotik.
3. Proteksi mukosa GI : Omeprazole 20-40mg IV perlahan selama 5 menit.
 Penempatan : konsul gastroenterology untuk meng-MRSkan pasien ke unit HD
(atau ICU jika px diintubasi).
61 Kedaruratan Hepatobiliari

Masalah akut yang berasal dari system hepatobiliari yang datang pada dokter emergency
biasanya dengan komplikasi biliary stone disease. Macam-macam presentasinya adalah
dibawah ini.

Kolik Bilier
 Manifestasi terseing dari biliary stone disease.
 Dapat terjadi pada pasien remaja, walaupun sering diderita oleh pasien
wanita yang mengalami obesitas pada usia 30 dan 50 tahun.
 Nyeri terdapat pada bagian tengah kuadran kanan atas atau
epigastrium.
 Nyeri biasanya mulai secara akut dan dapat menjalar ke sudut inferior
pada scapula kanan.
 Nyeri bersifat kolik tanpa interval bebas nyeri antara eksaserbasi (tidak
seperti kolik ureterik dimana terdapat interval bebas nyeri)
 Nyeri dapat dicetuskan oleh ingestion makanan dan terutama yang
berlemak atau makanan besar.
 Gambaran lain yang terkait adalah sensasi distensi pada abdominal
bagian atas atau ‘bloating’, nausea dan vomiting.
Caveats
 Selalu cari gejala obstruktif jaundice dimana keadaan ini lebih sering
menunjukkan adanya biliary ductal daripada gallstone disease.
 Adanya nyeri ditambah demam menunjukkan adanya kolesistitis akut telah
terjadi.
 Adanya nyeri dengan demam serta obstruktif jaundice menunjukkan adanya
kolangitis.

Kolesistitis Akut
 Biasanya datang dengan keluhan nyeri visceral awal yang menyerupai kolik bilier.
Nyeri dapat berubah seiring waktu dan menjadi nyeri parietal yang konstan yang
terlokalisir tajam pada hipokondrium kanan. Nyeri bertambah seiring waktu dan
timbul dengan adanya gerakan.
 Sering terdapat latar belakang episode nyeri abdomen atas mirip dengan kolik
bilier, yang semakin memburuk dalam frekuensi dan severitasnya.
 Gejala terkait lain meliputi demam dengan atau tanpa menggigil, hilangnya nafsu
makan, nausea dan vomiting.
 Pada pemeriksaan, nyeri yang terlokalisir pada hipokondrium kanan dapat
menjadi petunjuk lebih lanjut.
 Massa palpable yang lunak, dan globular dibawah batas kosta kanan yang ikut
turun saat respirasi menunjukkan adanya masa inflamasi yang dibentuk oleh
omentum disekitar kandung empedu yang mengalami inflamasi, atau sebuah
empiema kandung empedu.
 Murphy’s sign ada ketika pasien mengeluh nyeri dan menahan nafas saat dipalpasi
di hipokondrium kanan; hal ini terjadi karena kandung empedu menjadi bersentuhan
dengan ujung jari pemeriksa selama inspirasi.
Caveats
 Nyeri tekan pada hipokondrium kanan tidak patognomonis untuk kolesistitis,
tanda ini juga ada pada kolangitis.
 Secara klasik, tidak terdapat tanda obstruktif jaundice.
 Selalu cari tanda dehidrasi atau labilitas hemodinamik pada pasien dengan
kolesistitis akut. Karena px sering mengalami vomiting dan anoreksia dan dapat
berkembang menjadi syok karena septisemia.
Kolangitis
 Tanda klasik adalah Charcot’s triad (nyeri abdomen kanan atas, demam dan
obstruktif jaundice).
 Mungkin ada riwayat batu embedu yang asimptomatik yang ditangani secara
konservatif, atau dengan pembedahan. Penelitian local menunjukkan 35,7%
pasien kolangitis menunjukkan Charcot’s triad, namun sebagian besar pasien
(95,7%) mengalami nyeri abdomen atas sebagai keluhan utama.
Caveats
 Sama dengan kolesistitis, pertimbangkan adanya dehidrasi dan labilitas
hemodinamik.

Diagnosa Banding
 Hepatitis, abses hati, eksaserbasi dyspepsia ulkus, perforasi ulkus peptic akut,
kolik ureterik, pankreatitis, divertikulosis juga pneumonia basalis kanan.

Manajemen
Pasien yang Stabil
 Tangani pada area intermediate acuity care
 Puasakan pasien selama investigasi dan terapi.
 Lab : ditujukan untuk menyingkirkan ddx juga menyingkirkan adanya komplikasi
(kolangitis atau kolelitiasis).
 FBC : lekositosis PMN yang positif konsisten dengan adanya infeksi bacterial
(kolangitis atau kolesititis).
 LFT :
1. Tes ini normal pada kolik bilier.
2. Khas pada kolangitis : peningkatan bilirubin terkonjungasi dan
peningkatan enzim kolestatik duktus hepatikus (ALP/GGT), peningkatan
enzim hepatic intraselular (AST/ALT).
3. Biasanya tidak terdapat kolestatis pada kolesistitis akut.
 Urea/elektrolit/kreatinin : untuk mendeteksi abnormalitas elektrolit dan disfungsi
sekunder akibat vomiting dan deplesi volume.
 PT dan PTT : dilakukan saat terjadi jaundice untuk mendeteksi koagulopati
 Serum amylase : menyingkirkan coexisting pankreatitis akut.
 Urinalisis : untuk menyingkirkan kemungkinan urolitiasis dan pielonefritis
 EKG : untuk menyingkirkan iskemik miokard.
 CXR posisi berdiri : untuk menyingkirkan pneumonia basiler dan udara
subdiafragmatik.
 KUB : untuk mendeteksi kalsifikasi intrabadominal, udara bebas, dan air-fluid
level.

Pasien yang tidak stabil (hemodinamik labil atau menunjukkan sepsis)


 Tangani pada area critical care
 Konsultasi dini pada ahli bedah
 Monitoring : tanda vital tiap 10-15, ECG, pulse oksimetri
 Berikan oksigen
 Pasang jalur IV dengan ukuran jarum besar (14/16G) untuk resusitasi cairan.
 Lab: seperti diatas.
 Lakukan kultur darah (dari 2 bagian tubuh minimum 10 ml darah/botol)
 Berikan antibiotik IV : sefalosporin seperti ceftriaxon atau cefuroxime untuk
organisme Gram Negatif, dan metronidazole 500mg IV.
Catatan : (1) jika alergi penisilin, ciprofloxacin merupakan alternative. (2) hindari
penggunaan antibiotik nefrotoksik seperti gentamycin.
 Pertimbangkan terapi suportif inotropik pada pasien yang tidak responsif terhadap
fluid challenge yang adekuat.
 Tetap puasakan px dan masukkan NGT untuk dekompresi lambung
 Pasang kateter urin untuk monitoring output urin.
 Berikan analgesic : dosis kecil agonis opioid via IV dititrasi sampai berespon.
Hindari antispasmodic dan NSAID.
Penempatan :
 Px dengan kolik bilier saja serta tanpa jaundice dan sepsis dapat diKRS-kan
sebagai pasien rawat jalan bagian bedah, dimana nyeri telah dikontrol dengan
analgesic.
 Px dengan kolesistitis atau kolangitis akut di MRS-kan, pertimbangkan high
dependency unit atau ICU pada px yang tidak stabil, dengan konsultasi pada
bagian bedah.
62. Hyperosmolar Hyperglycaemic State (HHS)
Juga dikenal sebagai Hiperosmolar Hiperglikemik Non-Ketotik State (HHNK)

Caveats
 Riwayat penyakit terjadi dalam hitungan hari bukan dalam jam terkait dengan
keadaan diabetic ketoasidosis.
 Cenderung untuk terjadi hilangnya cairan, yang lebih besar daripada pada DKA.
 Beberapa pasien dengan HHS sensitive terhadap insulin.
 HHS terkait dengan mortalitas yang tinggi dan harus diidentifikasi secara dini.
 Kriteria dignosa HHS :
1. Glukosa darah > 33mmol/l
2. pH arteri > 7,3 bikarbonat > 15 mmol/l
3. Tidak adanya ketonemia atau ketonuria hebat.
4. osmolalitas talal serum > 330 mOsm/kg H2O, atau serum osmolalitas efektif
(2 x Na+ + kadar glukosa + urea) > 320 mOsm/kg H2O
 Singkirkan penyebab lain seperti meningitis jika osmolalitas serum
tidak cukup tinggi untuk menegakkan HHS.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum:


 Pertimbangkan dx HHS pada lansia dengan abnormalitas tanda vital atau status
mental, atau dengan keluhan kelemahan, anoreksia atau fatigue.
 HHS dapat ditemukan bersamaan dengan pasien CVA, luka bakar, MI, infeksi,
pankreatitis atau obat (cth : diuretic, beta blocker, glukokortikoid, neuroleptik,
fenitoin, dan Calsium Channel Blocker). Kemudian cek kadar GDA pada pasien lansia
untuk menyingkirkan adanya HHS atau DKA.
 Berikan infus NS sebelum mengirim pasien ke RS.

Manajemen
Terapi Suportif
o Pasien harus ditangani pada area yang dapat dimonitoring
o Berikan oksigen aliran tinggi
o Monitoring: EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 15-30 menit, kadar glukosa
dan potassium tiap 1-2 jam
o Suportif sirkulasi : deficit cairan rata-rata pada HHNK adalah 6-10 liter. Separuh
deficit air yang diperkirakan perlu untuk diganti selama 12 jam pertama.
o Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin/kalsium/magnesium/fosfat, osmolalitas
serum, BGA, urinalisis.
o EKG, CXR untuk mencari penyebab keadaan HHS.
o Kateter urin untuk monitoring output urin.
Terapi Spesifik
o Replacement Volume intravena
1. jika pasien menunjukkan hipoperfusi jaringan signifikan, gunakan NS sebagai
bolus cepat sampai perfusi meningkat dan BP stabil. Berikan setidaknya 1 liter
NS pada jam pertama; selanjutnya diberikan dalam 2 jam. Kemudian ganti
menjadi 1 liter NS 0,45% selama 4 jam berikutnya.
2. Jika pasien hipertensi atau mengalami hipernatremi signifikan (>155 mmol/l)
berikan NS 0,45% dan ganti menjadi D5W IV ketika kadar glukosa serum
mencapai 16 mmol/l.
o Replacement Potassium : kurangnya potassium total tubuh pada HHNK biasanya
lebih besar dari DKA. Pastikan terdapat output urin sebelumnya, kemudian
berikan :
1. Serum K+ <3,3 mmol/l berikan 20-40 mEq KCl pada jam pertama
2. Serum K+ 3,3-4,9 mmol/l berikan 10-20 mEq K+ per liter cairan IV (dapat
diberikan 2/3 KCl dan 1/3 KHPO4; penggantian fosfat diindikasikan jika
fosfat serum < 0,3 mmol/l).
3. Serum K+ > 5,0 mmol/l, tahan pemberian K+ namun periksa serum potassium
setiap 1-2 jam.
o Pemberian insulin : bolus tidak diperlukan karena pasien sanagt sensitive sekali
terhadap insulin. Berikan secara infus insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam.
Sesuaikan infus insulin untuk menjaga kadar glukosa darah pada 14-16 mmol/l,
sampai osmolalitas serum ≤ 315 mOsm /l dan pasien dalam keadaan sadar.
Catatan : Kadar glukosa darah vena harus diperiksa tiap 1-2 jam karena dapat
berkembang menjadi HHH.
Panduan
o Osmolalitas Serum dapat diperhitungkan dengan persamaan ini: (2 x Na +) +
glukosa + urea mOsm. (normal = sekitar 280-290 mOsm).
o Osmolal gap ditentukan dengan rumus diatas dan dibandingkan dengan hasil
lab yang diukur dengan metode molal freezing point depression. Perbedaan
yang didapat harus sekitar 10; jika lebih tinggi, partikel aktif osmotic yang
lain terdapat dalam serum seperti alcohol atau IVP dye.
Penempatan
o Lakukan konsultasi dengan bagian General medicine atau endokrin, lakukan
pengawasan pada HD. Setelah mendapatkan volume replacement awal, biasanya
pasien tidak membutuhkan MRS dibagian ICU.
63. Krisis Hipertensi

Definisi
 Hipertensi : tekanan darah (BP) 140/90 mmHg atau lebih, walaupun harus
diketahui bahwa tekanan darah merupakan suatu variable berkelanjutan. Tabel 1
menunjukkan klasifikasi berdasarkan JNC VII (seventh report of the Joint National
Committee) terhadap prevensi, deteksi, evaluasi, dan terapi tekanan darah tinggi.
 Krisis hipertensi : peningkatan kritis BP dengan dengan peningkatan tekanan darah
diastolic. Tidak ada kadar BP absolute yang dapat mendefinisikan krisis hipertensi,
namun bila tekanan diastolic 120-130 mmHg dapat digunakan sebagai pedoman.
Krisis hipertensi meliputi hipertensi emergencies dan urgencies.
1. Hipertensi emergency : jika peningkatan BP terkait dengan disfungsi atau
kerusakan end-organ yang akut atau sedang terjadi.
2. Hipertensi Urgensi : jika peningkatan BP terkait dengan disfungsi atau kerusakan
end-organ imminen. Hipertensi berat merupakan merupakan keadaan
asimptomatik pada pasien yang tidak berkaitan dengan hipertensi emergency dan
lebih sering digambarkan sebagai urgensi.
 Macam-macam keadaan hipertensi emergensi :
1. Hipertensive encephalopathy : dibedakan antara stroke/perdarahan subarachnoid
2. Hipertensive left ventricular failure (edema paru akut)
3. Diseksi aorta akut
4. Infark Miokard Akut/ ACS
5. Stroke Perdarahan atau iskemik/perdarahan subarachnoid
6. gagal ginjal akut
7. Eklampsia/preeklampsia (lihat bab eklampsia)
8. Krisis phaeochromocytoma
9. Obat terlarang (cth ekstasi)
 Hipertensi urgensi meliputi :
1. Peningkatan BP dengan perubahan retina (tanpa terkait dengan kerusakan end-
organ)
2. Gagal ginjal kronik
3. Preeklampsia

Tabel 1 : Klasifikasi BP pada Dewasa 18 tahun keatas berdasarkan JNC VII


BP (mm Hg) Sistolik Diastolik
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
Stage 1 140-159 90-99
Stage 2 ≥ 160 ≤ 100

Caveats
 Jika hasil BP terlalu tinggi atau terlalu rendah pada pemeriksaan dengan
menggunakan monitor, ulangi menggunakan pengukuran manual, dengan ukuran
cuff yang sesuai.
 Krisis hipertensi biasanya terjadi pada pasien yang diketahui telah menderita
hipertensi. Penyebab sekunder hipertensi juga banyak ditemukan pada pasien
krisis hipertensi.
 Istilah accelerated hypertension, malignant hypertension, dan accelerated-
malignant hypertension digunakan untuk mendeskripsikan hipertensi berat yang
terkait dengan perubahan retina sesuai dengan Keith-Wagener-Barker grading.
Dimana dulu, grade 3 (perdarahan, cotton wool patches, arteriosclerosis) dan
grade 4 (papiledema) terkait dengan prognosis yang buruk. Saat ini dinyatakan
bahwa prognosis tidak berkaitan dengan pemeriksaan funduskopi. Istilah
‘hipertensi emergency’ atau hipertensi urgensi’ lebih disukai untuk digunakan saat
ini.
 Hipertensi ensefalopati saat ini dipercaya jarang terjadi, dan keadaan AMS
sering ditemukan terjadi sekunder akibat stroke. Menyingkirkan diagnosa tersebut
sangat penting karena tindakan menurunkan BP pada pasien stroke akut dapat
berakibat serius. Pada stroke biasanya BP hanya meningkat secara ringan. CT
scan kepala dapat membantu untuk membedakan kedua keadaan tersebut.
 Hipertensive left ventriculare failure (dikenal sebagai edema pulmonal akut)
terjadi ketika hipertensi berat berakibat pada kegagalan LV akut akibat overload
berlebihan yang menyebabkan dekompensasi. Lihat bab edema paru, cardiogenik.
 Hipertension dengan diseksi aortic perlu dipertimbangkan jika pasien
mengalami nyeri dada akut, atau IMA (ketika diseksi mempengaruhi arteri
koronaria) atau murmur regurgitasi aorta baru terdeteksi. Riwayat klasik adanya
rasa nyeri seperti terobek yang menjalar ke punggungmungkin tidak ditemukan.
Lihat bab Aortic dissection.
 Hipertensi dengan IMA/ACS terjadi ketika hipertensi berat menyebabkan
peningkatan ketegangan dinding ventrikel dan kebutuhan oksigen miokard. BP >
180/110 mmHg merupakan kontraindikasi untuk pemberian trombolisis.
 Preeklamsia dan eklampsi perlu dipertimbangkan pada wanita hamil setelah
mengalami amenore lebih dari 20 minggu. Lihat bab Eclampsia
 Jangan pernah memberikan terapi pada hasil pengukuran BP secara tunggal
: ketika memeriksa BP, pastikan pasien nyaman dan gunakan cuff yang sesuai.
 Over-zealous correction BP dapat berbahaya dan bisa menyebabkan CVA atau
IMA. BP dapat diturunkan dengan obat oral dan kontrol jangka panjang BP
merupakan factor penting dalam menentukan prognosis hipertensi. Hindari
calsium channel blocker sublingual; absorpsinya tidak dapat diprediksi dan BP
dapat turun terlalu cepat.

Tips khusus bagi Dokter Umum:


 Control BP yang baik akan mengurangi jumlah kasus hipertensi emergency atau
urgency.
 Penggunaan nifedipine sublingual, walaupun popular di masa lalu, dapat menurunkan
BP secara cepat dan ditemukan berkaitan dengan efek samping yang serius. Saat ini
tindakan ini merupakan tindakan yang tidak disarankan.

Manajemen
Tangani pasien pada area yang dapat dimonitoring (critical atau intermediate)
 Berikan oksigen aliran rendah
 Monitor : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5-10 menit
Apakah hasil pemeriksaan BP benar ?
 Ulangi dengan manual sphygmomanometer
 Periksa cuff yang benar
 Periksa lengan yang lain
 Ulang pemeriksaan kemudian jika asimptomatik
Apakah merupakan hipertensi emergency atau urgensi?
 Cari bukti adanya kerusakan end-organ
 Pemeriksaan klinik harus mencakup:
1. funduskopi untuk mencari pardarahan, eksudat, papil edema.
2. pemeriksaan neurologik untuk AMS, deficit fokal.
3. pemeriksaan kardiovaskular untuk kegagalan ventrikel kiri, murmur
regurgitasi aorta baru, bukti diseksis aortic.
 Bedside investigation : EKG, urin dipstick untuk hematuri dan proteiuria, tes
kehamilan urin pada wanita usia subur.
 Pemeriksaan lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, cardiac enzyme screen, troponin
T.
 Radiologi :
1. CXR untuk kegagalan ventrikel kiri, pelebaran mediastinum.
2. CT scan kepala jika terdapat AMS.
3. CT thoraxjika ada kecurigaan diseksi aortic.
Apakah BP perlu diturunkan secara akut? Jika demikian, bagaimana caranya?
 Penurunan BP yang optimal belum ditentukan secara pasti.
 Jika hipertensi emergency terjadi, target adalah menurunkan 20-25% MAP
(diastolic + 1/3 Pulse pressure) dalam beberapa jam, atau DBP sampai mencapai
lebih dari 100-110 mmHg, kemudian menjadi 160/100 mmHg dalam waktu 2-6
jam.
 Untuk px dengan stroke syndrome, jika CT scan kepala dapat dilakukan maka
disarankan untuk menunda BP sampai perdarahan intracerebral dapat dilihat.
Lihat bab Stroke.
 Terapi Obat
1. Sodium nitroprusside : bermanfaat untuk semua hipertensi emergency kecuali
pada eklampsia. Dibatasi oleh toxic metabolite thiocyanate terutama setelah
penggunaan yang lama (24-48 jam), yang dapat menyebabkan toksisitas
sianida atau thiocyanate, bermanifestasi seperti laktat asidosis, AMS dan
deteriorasi. Perlu untuk dilindungi dari sinar matahari.
Dosis: infus IV mulai dari 0,25µg/kg/menit dititrasi sampai berespon.
Dosis efektif rata-rata adalah 3 µg/kg/menit, dengan range 0,25 sampai 10
µg/kg/menit (dosis maksimal untuk 10 menit saja).
2. Labetalol hydrochloride: gunakan secara primer, atau pada kasus gagal terapi
dengan nitroprusside. Bermanfaat bagi px dengan IHD dengan mengurangi
kebutuhan oksigen miokard dan takikardi. Juga efektif pada diseksi aortic
dengan mengurangi force of systolic ejection dan shear stress.
Kontraindikasi adalah pada pasien asma, COLD, CCF, bradikardi dan AV
block. Bermanfaat bagi phaeochromocytoma, dosis rendah dapat berakibat
hipertensi paradoksikal karena efek beta-blocking lebih kuat daripada efek
alfa blocker.
Dosis : berikan IV 25-50mg bolus, diikuti dengan 25-50mg tiap 5-10 menit
sampai maksimum 300mg (efek bertahan sekitar 50 menit), atau dengan infus
dengan rata-rata 0,5-2,0 mg/menit.
3. Nitrogliserin : DOC untuk hipertensi moderate dengan komplikasi unstabel
angina. Komplikasi nyeri kepala dan vomiting, dan dapat memiliki manfaat
yang terbatas pada pasien hipertensi encefalopati. Dosis : infus IV pada 5-100
µg/menit, titrasi sampai berespon.
4. Propanolol : dapat digunakan bersama dengan nitroprusside pada diseksi
aortic thoracic. Digunakan juga dengan phentolamine untuk krisis
katekolamin. Dosis : 1 mg IV bolus dan titrasi.
5. Esmolol : short acting beta-blocker. Gunakan pada diseksi aortic. Dosis : 250-
500 µg/kg/menit selama 1 menit, kemudian 50-100 µg/kg/menit selama 4
menit; dapat diulang.
6. Phentolamine : merupakan alpha-blocking agent, digunakan dengan
propanolol IV untuk krisis katekolamin. Dosis : 5-15mg IV.
7. Hidralazine : terapi pilihan eklampsia. Dosis : 5-10 mg bolus IV tiap 15 menit
dan titrasi.
 Jika hipertensi urgensi telah didiagnosa, targetnya adalah untuk menurunkan BP
secara bertahap selama periode 24-48 jam sampai target DBP 100-110 mmHg.
Obat hanya diberikan per oral. Obat yang dimiliki pasien dapat diteruskan.
 Terapi obat
1. Felodipine
a. berikan PO 2,5 mg pada usia > 65th
b. Berikan PO 5,0 mg pada usia < 65 th, kemudian 5,0 mg 2 x/hari
2. captopril : Berikan PO 25,0 mg, kemudian 2 x sehari atau 3 x sehari.

Penempatan
 Hipertensi Emergency : pasien harus MRS di ICU dengan konsultasi pada
General Medicine
 Hipertensi urgensi : dapat KRS jika respon baik dan BP dapat diterima setelah 4
jam monitoring, namun follow up harus dilakukan dalam 48 jam. Jika pasien baru
pertama kali didiagnosa hipertensi dengan penyebab yang belum pasti, maka
MRS pada bagian General medicine untuk evaluasi dan eksklusi penyebab
sekunder hipertensi.
65. Hipoglikemi

Definisi
Merupakan kadar glukosa darah yang rendah, biasanya kurang dari 3,0 mmol/l pada
pemeriksaan vena, disertai dengan gejala dan tanda yang khas, yang akan kembali
membaik setelah dilakukannya koreksi.
Caveats
 Selalu periksa GDA pada pasien AMS atau kejang.
 Hasil pemeriksaan gula darah kapiler akan lebih rendah daripada hasil pada vena
dan dapat terlihat rendah pada pasien hipotensi, hipotermi dan edema; sehingga
selalu konfirmasikan adanya hipoglikemi dengan sample vena ke lab.
Penyebab
 Separuh jumlah kasus terjadi pada pasien diabetes yang sedang menjalani
pengobatan dengan insulin atau sulphonylurea.
 Penyebab hipoglikemi pada pasien yang terlihat sehat:
1. Medikasi/obat
a. Alkohol
b. Salisilat
c. Non selective beta blocker (dengan kelemahan respon adrenergic
terhadap stress)
d. Factitious hypoglycaemia atau overdosis insulin atau obat
hipoglikemik oral.
3. latihan/exercise yang berlebihan
4. Insulinoma
 Penyebab hipoglikemi pada pasien yang terlihat sakit
1. Sepsis dan syok
2. Infeksi : malaria, terutama dengan terapi quinine atau quinidine
3. Starvasi/kelaparan, anoreksia nervosa
4. gagal hati
5. Gagal Jantung (diffuse disfungsi liver)
6. Gagal ginjal (gluconeogenesis yang terganggu)
7. Endokrin
a. Insufisiensi Hipothalamus-pituitary-adrenal axis pada kortisol dan
growth hormone.
b. Insulin antibodies
8. Non islet cell tumour, cth sarcoma, mesothelioma
9. masalah hati congenital termasuk defek karbohidrat, asam amino dan
metabolisme asam lemak.
Manifestasi klinis
Hipoglikemi dapat muncul dengan manifestasi spectrum luas kelainan neurologik, a.l:
 Neurogenic/autonomic (BSL sekitar 2,8-3,0 mmol/l): keadaan simpatetic yang
berlebihan dengan diaforesis, takikardi, gugup, dan pucat.
 Neuroglycopenia (BSL < 2,5-2,8 mmol/l)
1. gangguan perilaku seperti iritabilitas, confusion dan agresi
2. penurunan tingkat kesadaran
3. Kejang
4. Defisit neurologik fokal
Tips khusus Bagi Dokter
 Prevensi labih baik daripada penyembuhan
 KIE yang baik dalam ketaatan berobat obat hipoglikemik, insulin dan makanan serta
kudapan yang sesuai.
 Hindari long-acting sulfonylurea, terutama glibenklamide dan chlorpropamide, pada
pasien usia tua, atau memiliki gangguan hati, ginjal atau jantung.
 Monitoring ketat glukosa darah pasien, termasuk self-blood glucose monitoring, akan
membantu untuk mengurangi insiden hipoglikemi pada pasian DM.
 Pastikan keamanan penggunaan obat dirumah:
1. jauhkan obat dari jangkauan anak
2. kurangi kebisaaan menempatkan obat pada container lain untuk mencegah
kebingungan.
3. Beri label dengan jelas
 Cek GDA pada semua px AMS. Terapi dini pada hipoglikemi akan mengurangi
morbiditas dan mortalitas.
Manajemen
 Tempatkan pada area yang dapat diawasi
1. monitor: EKG, pulse oksimetri, tanda vital
2. berikan oksigen aliran rendah
3. Cek GDA untuk semua px AMS
 Anamnesa dan Pemeriksaa
1. cek riwayat DM, pengobatan, perubahan dosis, penyakit yang baru atau sudah
lama diderita px.
2. Jika px tidak sadar, lakukan heteroanamnesa, dan pemeriksaan lain.
 Pemeriksaan penunjang
1. Glukosa darah vena, urea/elektrolit/kreatinin, LFT, FBC
2. Jika px tidak diabet, ambil 1-2 ekstra tube darah on ice untuk insulin serum,
C-peptide dan kortisol sebelum memberi terapi dan evaluasi endokrinologi
lanjutan.
3. jangan menunggu hasil lab akhir untuk memberikan terapi.
 Terapi, tergantung pada tingkat kesadaran dan kerjasama px
1. pasien sadar dan kooperatif
a. terapi oral lebih disukai
b. berikan minuman kaya glukosa (cth glukolin, lucozade, ensure, isocal,
milo, horlicks) dan beri makan px. Catat bahwa 1 kaleng Ensure
memiliki 250 kalori, cf 1 pint D5W memiliki 100 kalori.
2. pasien yang tidak sadar atau tidak kooperatif
a. jika akses IV tersedia, berikan IV dekstrose 50% 40-50ml. ingat
untuk mencampurnya dengan NS karena larutan hipertonik dapat
menyebabkan tromboplebitis.
b. Jika akses IV tidak tersedia, atau jika px sangat tidak kooperatif, IM
atau SC glukagon 1 mg dapat diberikan. Ingat bahwa IM atau SC
glukagon memerlukan waktu beberapa menit lebih lama daripada IV
dekstrose. Juga dapat digunakan pada hipoglikemi yang terjadi akibat
sulfonylurea atau gagal hati.
3. Jika dicurigai alkoholik kronis, berikan IV thiamine 100mg
4. Jika dicurigai ada insufisiensi adrenal, berikan IV hidrokortison 100-200mg.
5. Jika ada trauma lain, berikan profilaksis tetanus.
 Monitoring
1. periksa GDA 15 menit kemudian, selanjutnya setiap 30 menit pada 2 jam
pertama, dan setiap jam selanjutnya. Monitoring jangka panjang dibutuhkan
bila ada overdosis sulfonylurea dengan glibenklamide atau chlorpropamide.
2. Pertimbangkan dosis ulangan jika tidak respon terhadap terapi, atau berikan
infus D5% atau 10% continous, jika ada kemungkinan penurunan kadar gula
darah yang terus menerus.
3. mayoritas pemulihan pasien terjadi dalam 20-30 menit.
4. jika terdapat keadaan AMS yang persisten, walaupun hipoglikemi telah
teratasi, pertimbangkan keadaan patologis lain, serta lakukan CT scan kepala.
 Penempatan
1. Bergantung pada beberapa factor :
a. Etiologi hipoglikemi, termasuk agen penyebab.
b. Severitas deficit neurologik dan responnya terhadap terapi.
c. Respon kadar glukosa darah dan butuh replacement yang terus
menerus.
d. Adanya komorbiditis, seperti cedera kepala
e. Lingkungan social, ketersediaan yang merawat px, keinginan px untuk
bunuh diri.
2. secara umum, sebagian besar pasien harus di-MRS-kan dibawah pengawasan
bagian endokrinologi, General Medicine atau spesialis lain tergantung etiologi
dan komorbiditas. Semua kasus hipoglikemi karena sulfonylurea harus di-
MRS-kan karena efek jangka panjangnya.
3. pada kondisi yang menyebabkan kecenderungan hipoglikemi (overdosis
OHGA, kegagalan hati akut, sepsis berat), pertimbangkan MRS di ICU.
4. Jika penyebab hipoglikemi telah diketahui pasti dan bersifat reversible (cth
karena lupa makan setelah injeksi insulin), maka px dapat dipulangkan setelah
keadaan membaik.
70. Infark Miokard, Akut

Caveats
 2-4% kasus MI secara tidak tepat dipulngkan ke rumah masing-masing. Mayoritas
kasus meliputi kasus pada pasien muda yang tidak dicurigai AMI, px lansia yang
tidak menunjukkan gx yang khas. Sehingga AMI harus dieksklusikan pada px tua,
juga pasien diabetes dengan gejala kardiak, respirasi, dan neurology yang tidak
terjelaskan.
 Faktor menyebabkan miss diagnosa MI:
1. kegagalan untuk melakukan pemeriksaan penunjang (EKG, serum marker)
2. Tidak dipertimbangkannya dx
3. KRS yang tidak tepat dari ED
4. interpretasi yang salah dari hasil tes (EKG atau serum marker)
5. Terlalu bergantung pada hasil pemeriksaan yang negative (EKG dan single
serum marker yang negative)
 Karakteristik AMI yang tidak spesifik :
1. kepribadian (maskulinitas, calmness, independent, kecemasan yang rendah)
2. Pola perilaku (kunjungan ke dokter yang rendah, pasien yang menyangkal)
3. ambang nyeri yang tinggi (kardiak dan non kardiak)
4. depresi mayor atau psikosa
5. pasien dementia
6. misinterpretasi antara dokter-pasien tentang gejala dan tanda AMI
7. sensori, motorik dan autonomic neuropati
8. kurangnya pengenalan gangguan CNS akibat iskemik
 dibawah ini merupakan keluhan anginal equivalent, sindrom dan manifestasinya:
1. anginal equivalent complaints : dispneu, nausea/vomiting, diaforesis,
kelemahan/kepeningan, batuk dan sinkope.
2. Anginal equivalent syndromes : delirium, kebingungan, CVA
3. Anginal equivalent presentation and findings : cardiac arrest, disritmia onset
baru, gagal jantung kongestif onset baru, bronkospasme yang tidak
terjelaskan, takikardi yang tidak dijelaskan, edema peripheral.
 Di bawah ini merupakan tips manajemen risiko pada pasien dengan kemungkinan
MI
1. usia dan jenis kelamin yang perempuan bukan berarti dapat menyingkirkan dx
iskemik atau infark.
2. riwayat penyakit jantung merupakan factor yang kritikal. Adanya factor risiko
telah membatasi signifikansi diagnosa karena adanya penyakit kardiovaskular
merupakan fakta yang telah diketahui.
3. factor risiko yang relevan dengan nyeri dada : riwayat keluarga, DM,
hipertensi, hiperlipidemia, merokok dan penggunaan kokain.
4. pertimbangkan kebijaksanaan untuk memeriksa rutin EKG pada pasien tua
dengan manifestasi klinis yang berpotensi kardiak.
5. nyeri dada pada left bundle branch block baru harus dipertimbangkan sebagai
AMI, serta diberi terapi trombolisis.
6. nyeri dada saat istirahat pada px yang diketahui menderita penyakit jantung
harus dipertimbangkan sebagai penemuan yang tidak menyenangkan.

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


 Pasien AMI dapat menunjukkan klinis dan EKG yang tidak khas
 Hati-hati pada presentasi klinis AMI yang tidak khas pada px tua, diabet, dan px usia
muda dengan factor risiko.
 Ketika AMI telah terdiagnosa, jangan kirim px ke ED dengan mobil pribadi. Panggil
ambulan!
 Berikan aspirin 300mg secepatnya sebelum merujuk px ke RS.

Manajemen
 oksigen dengan masker, monitoring tanda vital
 Aspirin oral 300mg
 S/L GTN 1 tab dan ulang setelah 5 menit (untuk menyingkirkan perubahan EKG
karena spame koroner).
 Lakukan right-side ECG pada MI inferior untuk menyingkirkan concomitant
right ventricular infarct.
 Pasang IV plug dan tes darah, cth: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak,
Troponin T, PT/PTT, dan GXM 2U PCT. Hindari arterial puncture.
 IV morfin 2-5mg bolus lambat. Ulangi dengan interval 10 menit sampai nyeri
berkurang.
 Pertimbangkan IV metoklopramid 10 mg sebagai antiemetik.
 IV GTN 20-200µg/menit, terutama pada:
1. nyeri dada iskemik yang terus-menerus
2. gagal ventrikel kiri
3. Hipertensi
Meningkat 5-10 µg/menit, pada interval 5-10 menit sampai nyeri dada
menghilang atau MAP turun 10%. Hentikan bila terjadi hipotensi. Hati-hati pada
MI inferior karena pasien dapat mengalami concomitant right ventricular infarct,
dimana nitrat merupakan kontraindikasi.
 Pertimbangkan Myocardial salvage therapy, contoh PCI (procedural coronary
intervention) versus trombolisis (PCI lebih disukai bila tersedia). Lihat tabel 1.

Tabel 1 : Tindakan Reperfusi pada AMI, keuntungan dan Kerugian 2 strategi Reperfusi
Trombolisis PCI
Keuntungan Pemberian cepat Efikasi klinis yang lebih baik, cth
Tersedia luas patensi pembuluh darah
Nyaman digunakan superior, TIMI grade 3 flow
rate dan penurunan oklusi
Lebih sedikit perdarahannya
Definisi dini dari anatomi koroner
memudahkan terapi
penyesuaian dan stratifikasi
risiko yang lebih efisien

Kerugian Patensi terbatas, cth arteri terkait Terbatas pada efikasi yang
infark, terjadi pada 60-85% pada terlambat
pasien, dengan normal TIMI Kurang luas tersedia
grade 3 epikardial coronary flow Membutuhkan tenaga ahli
pada 45-60% pasien
Efikasi klinis yang lebih rendah,
cth : reperfusi optimal tidak
tercapai pada >50% pasien, dan
reoklusi infark pembuluh darah
terjadi 5-15% pada minggu I dan
20-30% dalam 3 bulan
Risiko perdarahan
 Pertimbangkan apakah pasien merupakan kandidat untuk terapi
trombolitik dengan criteria sbb:
1. nyeri dada khas AMI
2. peningkatan segment ST paling tidak 1mm pada setidaknya 2 lead EKG
inferior atau elevasi paling tidak 2mm pada setidaknya 2 lead EKG anterior
3. Kurang dari 12 jam dari onset nyeri dada
4. Kurang dari usia 75 tahun
 Jika pasien memenuhi criteria untuk trombolisis, lihat daftar kontraindikasinya:
1. Suspek aortic dissection
2. riwayat stroke
3. neoplasma intracranial yang diketahui
4. baru mengalami cedera kepala
5. patologi intracranial yang lain
6. hipertensi berat (BP > 180/110)
7. ulkus peptikum akut
8. perdarahan internal akut
9. baru mengalami perdarahan internal (< 1 bulan)
10. baru mengalami pembedahan major
11. baru menjalani pengobatan antikoagulan
12. perdarahan diathesis yang diketahui
13. prolonged CPR (> 5 menit)
14. pemberian trombolitik sebelumnya
15. kehamilan
16. diabetic retinopati
17. Hipotensi (SBP < 90 mmHg)
18. EKG menunjukkan LBBB
19. masalah kesehatan lain yang dapat menghalangi penggunaan trombolitik.
Jika jawaban terhadap salah satu keadaan diatas ada yang ‘ya’ maka jangan
berikan trombolitik. Diskusikan dengan ahli kardiologi terlebih dahulu.
 Jika tidak ada kontraindikasi, pertimbangkan pilihan trombolitik, cth :
Streptokinase (SK) versus recombinant tissue plasminogen activator (rtPA):

SK rtPA
1. paling sering digunakan dan 1. dapat digunakan pada kedua gender
ekonomis 2. kurang dari usia 50th
2. pilihan yang lebih baik jika risiko 3. anterior AMI
perdarahan intracranial lebih besar 4. kurang dari 12 jam dari onset nyeri
(cth: usia tua) karena penggunaan dada
rtPA berakibat terhadap peningkatan
risiko perdarahan intracranial.

 KIE tentang untung rugi tx trombolitik.


 Efek samping dari terapi trombolitik meliputi:
1. risiko perdarahan intracranial (1%) lebih tinggi jika
a. usia pasien > 65th
b. berat badan rendah < 70kg
c. hipertensi pada saat datang
d. rtPA digunakan, dibandingkan SK
2. alergi SK terjadi pada 5% pasien yang diterapi untuk pertama kalinya, terutama
pada px yang baru saja mengalami infeksi streptococcus, dan 0,2 % pasien
mengalami reaksi anafilaksis yang serius.
3. Hipotensi selama IV SK infusion (15%), penurunan laju infus dan ekspansi
volume.
 Dosis terapi trombolitik
SK rtPA
1. IV SK 1,5 mega unit dalam 100ml 1. 100mg rtPA dilarutkan dalam 100ml
NS selama 1 jam air steril
2. berikan 15mg IV bolus
3. Berikan infus IV 0,75mg/kg selama
30 menit (tidak lebih dari 50mg)
4. diikuti dengan infus IV 0,5mg/kg
selama 60 menit (tidak lebih dari
35mg)
 jika pasien syok, selalu cari factor penccetusnya:
1. lakukan pemeriksaan rectum untuk mencari perdarahan GIT.
2. jika pasien bradikardi, terapi menurut pedoman ACLS
3. jika pasien takikardi, terapi menurut pedoman ACLS
4. jika pasien memiliki right ventricular infarct
a. lakukan right-side lead pada adanya ST elevasi di lead II, III dan aVF
seperti AMI inferior (gambar 1a). cari paling tidak 1 mm ST elevasi pada
V4R, V5R dan V6R (gambar 1b).
b. jika demikian, berikan fluid challenge 100-200ml NS selama 5-10 menit
dan periksa responnya.
c. Bisa diulang jika pasien tidak menjadi sesak dan tidak ada tanda klinis
edema pulmonal.
d. Mulai inotropik (IV dobutamin/dopamine 5-20 µg/kg/menit) jika BP tetap
rendah dengan pemberian 500ml cairan IV.
5. jika pasien syok kardiogenik karena komplikasi mekanik, cth disfungsi otot
papillary atau rupture, septal rupture atau tamponade jantung dari rupture dinding
dada.
a. konsul kardiologis dan bedah TKV
b. sementara itu mulai terapi support inotropik, cth dobutamin/dopamine 5-
20 µg/kg/menit.
c. Pasang kateter untuk mengukur output urin.
71 Near Drowning (Nyaris Tenggelam)

Definisi
Drowning syndrome bervariasi dari minimal aspirasi air dengan angka keselamatan
mulai dari yang baik sampai pada severe pulmonary injury dengan kematian. Bermacam-
macam terminology digunakan untuk mendiskripsikan keadaan sebagai berikut:
 Tenggelam : proses dimana usaha bernafas untuk menghirup udara terendam
didalam cairan.
 Near Drowning : tenggelam sebagian dengan temporary survival.
 Submersion incident : istilah yang paling ntral untuk mendeskripsikan seseorang
yang mengalami efek berkebalikan setelah mengalami tenggelam sebagian di
dalam air.
Caveats
 Penyelamatan segera (< 5 menit) dan resusitasi awal di tempat kejadian
merupakan kunci keselamatan pasien.
 Bagian penting pemeriksaan adalah unuk mencari penyebab (cth trauma, usaha
bunuh diri, keracunan, sengatan organisme laut).
 Hipotermi merupakan komplikasi yang potensial, terutama pada usia yang lebih
muda.

Tips khusus Bagi Dokter Umum


 Resusitasi di dalam air sulit dilakukan dan membahayakan jiwa penyelamat.
 Coba untuk mengeluarkan air yang tertelan dengan bermacam cara, seperti manuver
Heimlich, masih controversial.

Manajemen prehospital awal


 Penyelamatan cepat mengeluarkan korban dari air
 Pemeriksaan ABC
 Lakukan CPR jika diperlukan
 Berikan oksigen
 Pasang akses intravena (jika peralatan tersedia).

Manajemen
 Focus manajemen adalah menyelamatkan ABC dan koreksi hipoksia
 Membedakan jenis air, fresh water (surfaktan selamat dari washout) dan salt
water (surfaktan hilang dengan denaturasi), wet atau dry (asfiksisasi karena
laringospasme yang dicetuskan oleh masuknya air ke dalam laring) cukup
bermanfaat untuk memahami kemungkinan mekanisme patofisiologi morbiditas
dan mortalitas namun tidak mempengaruhi manajemen pasien di ED.
 Prosedur drainase paru seperti Heimlich maneuver bersifat controversial.
Tindakan ini tidak direkomendasikan karena efektivitasnya belum terbukti,
bahkan dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
 Antibiotik dan steroid tidak terbukti bermanfaat pada korban near-drowning
 Diuretik tidak membantu pada non-cardiogenic pulmonary oedema.

Manajemen awal di Rumah Sakit


 Pindahkan psien ke high acuity area
 Primary Survey:
1. cek ABC. Pertimbangkan intubasi jika diperlukan
2. C-spine harus distabilkan, hindari gerakan leher
3. berikan oksigen 100%. Beri ventilasi jika pernafasan tidak adekuat.
4. berikan PEEP untuk membantu oksigenasi.
5. resusitasi : mulai CPR jika pasien collaps
6. pasang IV line, periksa darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, dan BGA
7. monitoring penuh px : EKG, parameter dan pulse oksimetri
8. CXR untuk mengetahui severitas aspirasi
9. pastikan px dalam keadaan hangat
10. terapi hipotermia (biasanya didaerah tropis jarang terjadi, dan biasanya
ringan : 32-35oC)
a. semua pakaian yang basah harus dipindahkan dan px dikeringkan
b. berikan insulation yang adekuat (bungkus pasien dengan selimut
kering)
c. cairan untuk pasien harus hangat
 Secondary Survey
1. lakukan pemeriksaan kepala sampai kaki untuk mencari penyebab tenggelamnya
px
2. Berikan perhatian khusus pada :
a. perubahan sensorium setelah resusitasi : pengguna alcohol dan obat
b. cedera kepala : lihat tanda pada kepala dan wajah
c. cedera cervical spine merupakan penyebab near drowning
d. Epilepsi : abrasi dan injury pada lidah merupakan petunjuk
e. Disritmia jantung : pemeriksaan EKG dan monitoring penting
f. Diving injury : decompression illness (DCI) atau Cerebral Arterial Gas
Embolism (CAGE)
3. lakukan pemeriksaan serial GCS

Penempatan
 biasanya semua kasus near drowning diMRS-kan
 pasien yang terlihat baik harus ditangani dan diawasi selama 12 jam dan di-KRS-
kan bila:
1. pasien terlihat baik dan sadar
2. tidak ada abnormalitas tanda vital
3. CXR normal
4. memiliki pengawas yang dapat diandalakan di rumah
 MRS di ICU jika:
1. pasien diintubasi
2. AMS berkelanjutan
3. parameter tidak stabil setelah resusitasi
Prognosis
 Buruk jika :
1. anak usia < 3 tahun
2. durasi tenggelam diperkirakan > 5 menit
3. tidak resusitasi selama 10 menit setelah penyelamatan
4. datang pada ED dalam keadaan koma atau kollaps
5. delayed respiratory gasp hanya 20 menit setelah penyelamatan.
73 Pankreatitis Akut

Definisi
 proses inflamasi akut pada pancreas dengan keterlibatan bermacam-macam jaringan
regional atau system organ lain.
 Secara klasik, dikarakterisasi dengan adanya nyeri abdomen dan terkait dengan
adanya hiperamilasemia.
Caveats
 Secara klasik, pankreatitis akut terkait dengan kadar serum amylase yang tinggi
(nilai ambang dengan spesifisitas tinggi diatas 1000U/L atau 4 kali normal).
Keadaan ini tidak selalu harus ada.
 Pasien dengan eksaserbasi akut pankreatitis akut sering menunjukkan
‘subtreshold’ peningkatan serum amylase karena penurunan volume jaringan
pancreas yang berfungsi.
 Peningkatan kadar amylase dapat terlihat pada semua patologi abdomen yang akut
namun tidak mencapai nilai ambang yang klasik.
 Lihat tabel 1 untuk mengetahui ddx pankreatitis
Tips khusus Bagi Dokter Umum
 Hati-hati terhadap presentasi yang tidak khas : nyeri sering terdapat pada abdomen
bagian tengah atau epigastrium, tapi tidak selalu demikian. Jika terkait dengan
patologi lain, cth batu common bile duct (CBD) dan/atau kolangitis, px dapat
melaporkan gx yang terkait dengan patologi, cth kolik bilier dari batu CBD. Ketika
pankreatitis mempengaruhi corpus pancreas dan tail, nyeri dapat juga terjadi di
hipokondrium kiri daripada di sentral. Pankreatitis akut harus selalu dipertimbangkan
sebagai diagnosa yang mungkin pada pasien dengan nyeri abdomen bagian atas.

Target Manajemen
Mengetahui:
 Apa penyebab penkreatitis? Penyebab mungkin antara lain batu empedu dimana
px memiliki riwayat kolik bilier sebelumnya atau fat dyspepsia. Konsumsi alcohol
kronik juga merupakan penyebab umum, dimana keluhan nyeri abdomen
ditemukan pada pengkonsumsi alcohol berat. Lihat tabel 2.
 Seberapa parah pankreatitis? Lihat petunjuk sbb:
1. Tanda kehilangan cairan yang berlebihan (‘Third space losses’) dan
compromised end organ perfusion.
a. Secara klinis dehidrasi
b. Kebingungan
c. Ascites
d. Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat > 10%)
e. Peningkatan urea/creatinin
f. Asidosis metabolic
2. Tanda kegagalan organ
a. Koagulopati (DIC screen posistif)
b. Gagal ginjal (peningfkatan kreatinin, asidosis metabolic, hiperkalemia)
c. Distress respiratori dan hipoksia (PaO2 dan SaO2 rendah)
3. Tanda sepsis
a. komplikasi septic local (abses pankreatik, atau nekrosis pankreatik
terinfeksi) tidak terjadi awal, namun setelah 1 minggu kemudian,
disertai tanda sepsis (demam tinggi dan peningkatan TWC).
b. Jika demam tinggi terjadi pada awal prankreatitis, pertimbangkan
penyebab sepsis non pankreatik. Penyebab umum adalah kolangitis
sekunder obstruksi bilier. Cari gambaran kolestatik pada hasil LFT.
4. Tanda lain dari severe pankreatitis
a. ekimosis abdomen. Mungkin di daerah flank (tanda Grey-Turner) atau
area periumbilikal (tanda Cullen’s)
b. tanda hipokalsemi, cth spasme karpopedal dan tetanus.
c. Glukosa darah > 10mmol/l
Tabel 1 : Diagnosa Banding Pankreatitis
Lokasi patologi Contoh
Abdomen Perforasi Ulkus peptikum
Eksaserbasi akut dyspepsia ulkus peptikum
Kolik bilier
Kolangitis
Iskemik bowel
Aneurisme aorta abdominal
Diseksi aorta abdominal
Supradiafragmatika Pneumonia basalis
Acute coronary syndrome
Protokol Manajemen
 Pada semua pasien pankreatitis akut
1. puasakan px
2. mulai drip saline. Bila tidak ada dehidrasi, berikan dengan maintenance rate
2,5-3 liter/hari.
3. berikan oksigen dengan masker
4. jika px vomit (karena gastroparesis) masukkan NGT untuk dekompresi
lambung
5. berikan analgesic parenteral. Opiate seperti pethidin tidak secara tegas
menjadi kontraindikasi dan memberikan penghilang nyeri yang terbaik.
Hindari NSAID pada px dehidrasi atau organ compromise karena risiko
nefrotoksik.
6. jika pasien memiliki riwayat penyakit ulkus peptikum, berikan profilaksis
terapi supresi asam. Reduksi asam tidak mempengaruhi keparahan
pankreatitis.
7. lakukan penentuan serum amylase.
8. lakukan CXR, untuk mencari respiratory compromise dan mengeksklusi ddx
lain, seperti pneumonia basalis atau perforasi viscus.
9. pada px dengan factor risiko kardiak, lakukan EKG dan enzim kardiak untuk
mengeksklusi angina atypical/AMI.
10. pada pasien dengan tanda kolangitis (demam tinggi, peningkatan TWC dan
kolestatik LFTs) berikan antibiotik IV setelah sebelumnya melakukan kultur
darah. Gunakan cephalosporin generasi ketiga, cth : cefuroxime atau
ceftriaxon, bersamaan dedngan metronidazole. Jika px sensitive terhadap
penicillin, ganti cephalosporin dengan ciprofloxacin. Hindari gentamycin
karena bersifat nefrotoksik.
Catatan : tidak perlu memberikan antibiotik untuk pankreatitis tanpa komplikasi
11. mulai input/output charting untuk pemeriksaan kehilangan cairan
12. tidak perlu untuk selalu melakukan seluruh pemeriksaan lab pada saat di ED.
Pemeriksaan dapat dilakukan setelah px berada di bangsal.
13. kasus ringan pankreatitis akut dapat di MRS-kan pada bagian bedah umum
atau bagian gastroenterology.
 Pada px dengan tanda pankreatitis berat:
1. lakukan pemeriksaan tersebut diatas
2. monitor pasien
3. jika terjadi kegagalan nafas, lakukan intubasi dan ventilasi pasien
4. Lakukan pemeriksaan lab:
a. FBC
b. Urea/elektrolit/kreatinin termasuk kalsium
c. Liver function test
d. BGA
e. Kultur darah
5. mulai pemberikan profilaksis antibiotik sistemik.
6. tidak ada penelitian mengenai manfaat menggunakan obat lain seperti
somatostatin atau octreotide.
7. ketika terdapat gambaran pankreatitis akut, atau jika pankretitis didiagnosa
pada pasien lansia (>70th), konsul ke bedah umum, untuk kemungkinan
intervensi pembedahan pada komplikasi yangmungkin terjadi cth nekrosis
pakreatik terinfeksi atau abses pankreatik.
8. Pasien pankreatitis severe MRS di bagian high dependency care. Pasien
dengan tanda gagal organ harus MRS di SICU untuk perawatan definitive.
82. Keracunan, Organofosfat

Caveats
 Agent aktif pada banyak pestisida dan insektisida adalah parathion, yang
berikatan secara irreversible dengan kolinesterase untuk membentuk ikatan
dietilfosfat.
 Atropin merupakan antidote fisiologi antimuskarinik yang bekerja secara
kompetitif memblok efek muskarinik asetilkolin.
 Atropin tidak memiliki efek pada reseptor nikotinik pada myoneural junction pada
otot bergaris, yaitu tidak akan mengembalikan paralysis.
 Pralidoxime merupakan antidote biokimia yang bereaktivasi dengan kolinesterase
yang menyebabkan proses fosforilasi oleh organofosfat. Naumn pralidoxine harus
diberikan dalam waktu 24-36 jam pertama setelah paparan. Jika tidak, molekul
kolinesterase dapat berikatan erat serta kolinesterase baru akanmembutuhkan
waktu berminggu-minggu untuk regenerasi.
 Presentasi klasik : pasien dengan vomiting dan diare, diaforesis, nafas berbau
insectisida dan pupil yang kecil. Hati-hati dx yang berlebihan terhadap
gastroenteritis.

Tips Khusus bagi Dokter Umum:


 Rujuk semua px demngan suspek keracunan oragnofosfat walaupun masih
asimptomatik.
 Waspada bahwa vomiting, diare dan hipotensi dapat terjadi dan dapat salah diagnosa
sebagai severe GE. Cari tanda dan gejala DUMBELS .
 Pastikan bahwa wadah tempat insektisida yang dicurigai dibawa ke rumah sakit.

Patofisiologi
 Organofosfat menghambat asetilkolinesterase, yang akan berakibat pada
akumulasi asetilkolin yang berlebihan pada myoneural junction dan sinaps.
 Asetilkolin yang berlebihan akan mengeksitasi kemudian membuat paralise,
neurotransmisi pada motor end plate dan menstimulasi nikotinik dan muskarinik:
1. efek muskarinik : singkatan DUMBELS berguna untuk mengingat karena
gejala dan tanda ini berkembang lebih awal, 12-24 jam setelah ingestion.
D Diare
U Urinasi
M Miosis (absent pada 10% kasus)
B Bronchorrhoe/bronkospasme/bradikardi
E Emesis
L Lacrimasi
S Salivation dan Hipotensi
2. Efek Nikotinik
a. Diaforesis, hipoventilasi, dan takikardi
b. Fasikulasi otot, kram dan kelemahan yang menyebabkan flaccid
muscle paralysis
3. Efek CNS
a. Ansietas dan insomnia
b. Depresi nafas
c. Kejang dan koma

Manajemen
Terapi suportif
 Pastikan semua staff menggunakan perlengkapan proteksi karena absorsi
perkutaneus dan inhalasi dapat menyebabkan keracunan.
 Px ditangani pada area critical care, dengan perlengkapan resusitasi yang selalu
tersedia.
 Lakukan detoksifikasi dengan melepas pakaian px dan cuci kulit px seluruhnya.
 Pertahankan patensi jalan nafas, lakukan intubasi orotrakeal jika px apneu, atau
tidak memiliki gag reflex. Suction aktif berkala dibutuhkan bila ada
bronkorhoea.
 Berikan oksigen aliran tinggi via non-rebreather reservoir mask.
 Lakukan gastric lavage jika ada indikasi, terutama pada beberapa jam pertama
setelah ingestion.
 Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
 Pasang jalur IV.
 Cairan IV : kristaloid untuk menggantikan hilangnya cairan melalui vomiting
dan diare.
 Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, kolinesterase plasma gaster dan specimen
toksikologi serum

Terapi Obat
 Arang aktif via gastric lavage tube. Dosis 1g/kgBB
 Atropin : obat pertama yang diberikan pada keracunan simptomatik.
1. Penggunaan utamanya adalah reduksi bronkorrhoea/bronkospasme
2. Dosis besar mungkin dibutuhkan untuk mengontrol sekresi jalan nafas.
Dosis : dewasa : 2 mg IV tiap 10-15 menit prn; dosis dapat digandakan tiap 10
mneit sampai sekresi terkontrol atau tanda atropinisasi jelas (flush, kulit kering,
taikardia, midriasis, dan mulut kering).
Anak-anak : 0,05 mg/kgBB tiap 15 menit prn, dosis dapat digandakan tiap 10
menit sampai sekresi terkontrol.
 Pralidoxime (2-PAM, Protopam)
1. pralidoxime harus diberikan dengan atropine pada tiap pasien simptomatik
2. efek akan terlihat dalam 30 menit dan meliputi hilangnya kejang dan
fasikulasi, perbaikan kekuatan otot dan pemulihan kesadaran.
3. pemverian pralidoxim biasanya mengurangi jumlah atropine yang diberikan
serta dapat unmask toksisitas atropine.
Dosis : Dewasa : 1gm IV selama 15-30 mneit; dapat diulang dalam 1-2 jam prn
Anak-anak : 20-25 mg/kgBB IV selama 15-30 menit; dapat diulang 1-2 jam.
 Diazepam (Valium) : digunakan untuk mengurangi kecemasan dan restlessness
dan mengontrol kejang.
Dosis : 5-10 mg IV untuk kecemasan/restlessmess
Catatan : dosis dinaikkan sampai 10-20 mg IV mungkin diperlukan untuk
mengkontrol kejang.

Penempatan
 Lakukan konsultasi pada general medicine pada HD/ICU
 Untuk kasus terapi keracunan subklinis yang tidak diperlukan, namun px harus
MRS setidaknya 24 jam untuk meyakinkan bahwa keracunan yang delayed tidak
akan berkembang.
85. Emboli Pulmonal

Caveats
 Thrombotic Pulmonary Embolism (PE) bukan merupkan penyakit yang terpisah
dari dada, namun merupakan komplikasi venous thrombosis. Deep venous
Thrombosis (DVT) dan PE merupakan bagian dari proses yang sama, venous
thromboembolism.
 DVT pada kaki ditemukan pada 70% pasien PE. Sebaliknya PE terjadi pada 50%
dengan DVT di kaki (yang melibatkan popliteal dan atau vena yang lebih
proksimal) dan kurang sering terjadi ketika thrombus didapatkan pada vena
daerah betis.
 Faktor predisposisi PE dan DVT sama dan memenuhi trias Virchow stasis vena,
cedera dinding vena dan peningkatan koagulabilitas darah. (tabel 1)

Tabel 1 : Beberapa Faktor Risiko yang sering didapatkan pada Venous


Thromboembolic Disease
Stasis aliran Immobilisasi lama meliputi perjalanan yang lama, stroke
Trauma mayor atau pembedahan dalam 4 minggu
Gagal jantung kongestif
Obesitas
Peningkatan usia
Cedera spinal cord
Shock syndromes
Kerusakan endotel Trauma local
Pembedahan pada kaki dan pelvis
Vaskulitis
Luka bakar
Shock elektrik
Infeksi
Riwayat thromboembolisme sebelumnya
Abnormalitas koagulasi Polysitemia
Abnormalitas platelet
Obat kontrasepsi oral yang tinggi estrogen
Neoplasia malignan
Defisiensi antitrombin III, protein C atau S
Catatan : pada pembedahan serial, risiko venous thrombolisme meningkat dengan cepat seiring
usia, panjangnya waktu pembiusan, dan adanya previous venous thromboembolism atau kanker.
Insiden tertinggi terdapat pada px yang akan menjalani pembedahan emergency setelah trauma
(cth fraktur panggul) dan pembedahan pelvis. Pada medical series, venous thromboembolism
sering terjadi pada cardiorespiratory disorder (cth gagal jantung kongestif, irreversible airway
disease), dengan immbilitas kaki (disebabkan oleh stroke dan penyakit neurologik lain), juga oleh
kanker.

Tabel 2 : Bentuk klinis Embolisme Paru


Emboli Paru Riwayat Obstruksi vaskular Manifestasi
Akut minor Singkat, onset < 50% Dispneu dengan atau
mendadak tanpa nyeri pleuritik dan
hemoptisis.
Akut massif Singkat, onset > 50% Right heart strain dengan
mendadak atau tanpa instabilitas
hemodinamik dan sinkop.
Subakut massif Beberapa > 50% Dispneu dengan right
minggu heart strain

Catatan :
1. PE massif tanpa hipoksemia jarang terjadi jika arterial oxygen tension (PaO2) normal,
merupakan diagnosis alternative harus dipertimbangkan.
2. Walaupun PE mengganggu eliminasi karbondioksida, hiperkapnia jarang terjadi.
3. Px dengan PE massif jelas akan Nampak dispneu namun tidak orthopnoeic.
4. Sub akut massif PE menyerupai gagal jantung atau indolent pneumonia, terutama pada
lansia.

Catatan : Identifikasi factor risiko juga dapat memandu keputusan penggunaan


profilaksis dan pengulangan pemeriksaan pada kasus borderline.
 Case Fatality rate kurang dari 5% pada px yang stabil hemodinamikanya, dan pada px
dengan hipotensi persisten adalah sekitar 20%.
 PE dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe utama (tabel 2)
 Hampir semua px PE akan memiliki satu atau lebih manifestasi sbb:
1. Dispneu dengan onset mendadak
2. Takipneu (>20x/menit)
3. Nyeri dada (pleuritik atau substernal)
Catatan : jika manifestasi ini juga diserta tanda pada EKG yaitu right ventricular
strain dan atau gambaran radiologist menunjukkan tanda plump hilum, infark
pulmonal atau oligaemi, kemungkinan terjadinya PE adalah tinggi. Kemudian
keadaan ini akan menjadi factor risiko untuk venous thromboembolism dan arterial
hipoksemia tanpa hipokapnia. Sebaliknya tidak munculnya 3 manifestasi tersebut
akan menyingkirkan dx PE.

Tabel 3 Estimasi pretest kemungkinan klinis untuk menderita PE


Tinggi ( kemungkinan > Onset mendadak dispneu, takipneu, atau nyeri dada dan
85%) paling tidak memenuhi 2 keadaan ini :
Adanya factor risiko yang signifikan (immobilitas,
fraktur kaki, pembedahan mayor)
Pingsan dengan tanda baru right ventricular overload
pada EKG
Tanda kemungkinan DVT pada kaki (nyeri unilateral,
nyeri tekan, eritema, warmth, atau pembengkakan
Tanda radiografik infark, plump hilum, atau oligaemia

Tidak memenuhi criteria kemungkinan kecenderungan


Intermediate (kemungkinan yang tinggi ataupun rendah
15-85%)
Tidak adanya onset mendadak dispneu dan takipneu
Rendah (kemungkinan < serta nyeri dada
15%) Dispneu, takipneu, atau nyeri dada ada, namun dapat
dijelaskan oleh adanya kondisi lain
Tidak adanya factor risiko
Radiografi yang abnormal dapat dijelaskan oleh kondisi
yang lain
Antikoagulasi yang adekuat (INR > 2 atau aPPT > 1,5
kali kontrol) selama minggu sebelumnya.

Catatan : Px dengan kemungkinan PE yang rendah, jika di tes dengan D-Dimer ELISA Assay
yang negative, maka dapat menyingkirkan dx PE dengan meyakinkan. Dengan kontras, jika D-
dimer positif pada px dengan probabilitas pretest yang rendah, maka px harus direevaluasi. D-
dimer yang negative tidak dapat digunakan secara meyakinkan untuk menyingkirkan PE pada px
dengan risiko tinggi atau intermediate.

Manajemen PE massif dengan tanda instabilitas hemodinamik


 Monitoring tanda vital pada area critical care
 Berikan oksigen via non-rebreather mask atau intubasi jika tidak mampu untuk
mempertahankan oksigenasi.
Catatan : intubasi dapat menurunkan keadaan hemodinamik dengan menyebabkan
impending venous return.
 Pasang 2 jalur IV ukuran besar dan kirim darah untuk pemeriksaan. Mulai
resusitasi cairan.
Catatan : terapi trombolitik dipertimbangkan, dan jalur antecubital lebih disukai.
 Jika BP masih rendah walaupun telah dilakukan resusitasi, maka mulai pemberian
inotropik.
Catatan : inotropik mungkin tidak akan berefek selain mencetuskan disritmia ketika
cardiac output menurun, dilatasi ventrikel kanan akan menjadi hipoksik dan akan
mendekati stimulasi hampir maksimal dari konsentrasi tinggi katekolamin endogen.
Penggunaan yang bijaksana dari IV Noradrenalin dititrasi terhadap peningkatan
moderat BP mungkin akan bermanfaat.
 Berikan analgesik
Catatan : Opiates harus digunakan dengan hati-hati pada px hipotensi.
 Kontak TKV untuk MRS pada CT ICU

Tips khusus Bagi Dokter Umum :


 Ingat bahwa PE termasuk dalam 6 penyebab nyeri dada yang mengancam nyawa.
 Manifestasi klinik PE tidak spesifik, namun PE cenderung tidak terjadi tanpa adanya
keluhan : dispneu, takipneu dan nyeri dada.
 Ketika EKG pada px nyeri dada dilakukan, dan didapatkan inverse gelombang T pada
lead III, cari adanya S1Q3T3 dan gambaran EKG lain yang terkait dengan PE.

Investigasi General Emergency


 Hasil pemeriksaan EKG pada PE:
1. biasanya non-spesifik
2. Non-spesifik ST depresi dan inverse gelombang T merupakan penemuan yang
paling sering ditemukan.
3. pada PE minor, tidak didapatkan stress hemodinamik, yang ada hanyalah sinus
takikardi.
4. pada PE massif akut atau subakut, bukti adanya right heart strain dapat terlihat
a.l :
a. rightward shift aksis QRS
b. Transient RBBB
c. Inverse gelombang T pada lead V1-3
d. P pulmonal
e. Classical S1Q3T3 (hanya terjadi 12%)
5. EKG normal (6%)
6. nilai utama EKG adalah meneksklusikan diagnosa potensial yang lain, seperti
infark miokard atau perikarditis. Lihat gambar 1 untuk EKG pada PE
 BGA : khas : penurunan PaCO2 dan PaCO2 yang normal atau menurun karena
hiperventilasi. PaO2 sering tidak pernah normal pada PE , kecuali pada minor PE,
terutama karena hiperventilasi. Pada kasus tersebut pelebaran gradient alveolo-
arterial PO2 (AaPO2 > 20 mmHg) dapat lebih sensitive daripada PaO2 sendiri
(lihat bab Acid-base Emergencies and useful formulae) hipoksemia dan pelebaran
AaPO2 dapat jelas terjadi karena banyak penyebab. BG, dapat meningkatkan
kecurigaan PE namun tidak sufficient untuk mengeksklusi diagnosa PE.Catat
FiO2 pada saat blood sampling.
 FBC
 Urea/elektrolit/kreatinin
 DIVC Screen : D-dimer assay memiliki sensitivitas 85-94% untuk mendiagnosa
PE. Spesifisitasnya sekitar 67-68%. D-dimer ELISA yang normal berguna untuk
menyingkirkan dx PE pada px dengan probabilitas pretest PE yang rendah atau
memiliki non-diagnostik lung scan.
 GXM 4-6U packed cells
 CXR : pada PE :
1. secara umum, CXR tidak spesifik untuk diagnostic PE, namun
membandingkan dengan foto terdahulu akan memberikan manfaat.
2. hasil dapat menunjukkan :
a. Normal (~ 40%)
Catatan : film yang normal dapat terjadi pada semua tipe PE akut.
Namun hasil yang normal pada px severe acute dyspnoea tanpa
wheezing sangat mencurigakan adanya PE.
b. Bukti adanya infark pulmonal : opasitas perifer, kadang berbentuk baji
dengan apeks menunjuk pada hilum atau semisirkular dengan basis
pada permukaan pleural. (Hampton’s hump)
c. Oligaemia pulmonal fokal pada sebagian paru yang terkena emboli
(Westermark sign) , namun sulit untuk terlihat pada foto yang didapat
pada keadaan akut.
d. Atelektasis
e. Efusi pleural kecil
f. Diafragma yang meningkat
Catatan : gambaran d, e dan f memiliki spesifisitas yang rendah untuk PE
g. infiltrate yang terlokalisir
h. konsolidasi
i. ‘plump’ pulmonary arteries pada PE massif
3. CXR bernilai untuk mengeksklusi kondisi yang menyerupai PE
(pneumothorax, pneumonia, gagal jantung kiri, tumor, fraktur kosta, efusi
pleura massif, kollaps lobar), namun PE dapat terjadi bersamaan dengan
proses kardiopulmonal lainnya.
Pemeriksaan Definitif
 Lung scintigraphy
1. perfusi yang normal sangant penting untuk menyingkirkan dx yang relevan
dengan recent PE karena occlusive PE pada semua tipe akan menyebabkan
defek perfusi.
2. namun banyak kondisi selain PE seperti tumor, konsolidasi, gagal jantung kiri,
lesi bullous, fibrosis paru, dan obstructive airway disease, yang dapat
menyebabkan defek perfusi.
3. PE biasanya menyebabkan defek perfusi namun tidak dengan ventilasi
(‘mismatch’)dimana kondisi lain menyebabkan defek perfusi pada area yang
sama dengan defek perfusi (‘matched defects’).
4. probabilitas defek perfusi sebagai penyebab PE dapat di nyatakan sebagai
tinggi, intermediate, atau rendah tergantung pada tipe scans abnormalitas
(tabel 4).

Tabel 4 : probabilitas (%) underlying PE menurut Kriteria penelitian PIOPED


Probabilitas Scan
Kemungkinan
Normal/ Non-diagnostik
Klinis Tinggi
sangat rendah Rendah Intermediate
Rendah 2 4 16 56
Intermediate 6 16 28 88
Tinggi 0 40 66 96

 Computed Tomography (CT, spiral atau electron beam)


1. merupakan modalitas non invasive untuk menggantikan standar lung scintigrafi
2. Keuntungan :
a. lebih cepat
b. kurang rumit
c. kurang tergantung pada kemahiran operator dibanding dengan pulmonary
angiografi
d. memiliki insufficient examination sama dengan pulmonary angiografi (5%),
dibanding dengan scintigram non-diagnostic (70%).
e. Kesamaan interpretasi antar ahli yang lebih tinggi dibandingkan dengan
scintigrafi.
f. Gambaran parenkim paru dan pembuluh darah besar sangat mungkin
didapatkan (cth massa pulmonal, pneumonia, emfisema, efusi pleura,
adenopathy mediastinal,) dan dx dapat dibut jika PE tidak didapatkan. CT
membantu mendiagnosa alternative adanya dispneu, juga dapat mendiagnosa
dilatasi ventrikel kanan, yang mnunjukkan PE yang berat dan fatal.
3. CT memiliki spesifisitas dan sensitivitas 90% dalam mendiagnosa PE (lebih besar
dibandingkan dengan lung scintigrafi) pada arteri pulmonal utama, lobar dan
segmental, emboli subsegmental juga dapat terlihat. Sensitivitas CT akan turun
bila digunakan untuk mendeteksi non-diagnostic lung scan.
4. Saat ini, karena ada sumber yang bermakna yang menyatakan CT memberikan
hasil yang false negative dan false positif, maka CT belum dapat digunakan
sebagai Gold Standart yang baru untuk menggantikan angiografi.
Pulmonary angiografi
1. Masih merupakan Gold standart
2. indikasi : (1) jika kardiovaskular kollaps dan terdapat hipotensi , dan (2) ketika
pemeriksaan lain tidak dapat membuat kesimpulan
3. Kerugian : (1) avaibilitas yang terbatas, dan (2) mortalitas kecil (< 0,3%) namun
merupakan risiko definitive.
4. kontraindikasi relative : (1). Kehamilan, (2) risiko perdarahan signifikan, (3)
insufisiensi renal, dan (4) thrombus right heart yang diketahui
Echocardiografi : dapat digunakan secara cepat pada px yang critically ill, dengan
kecurigaan PE massif, juga dengan kollaps kardiovaskular, untuk menyingkirkan dx
banding, atau dengan menegakkan dx dengan menemukan clots pada arteri pulmonal
sentral pada right heart. Jika ada bukti right heart strain tanpa clots pada echo, spiral CT
atau pulmonary angiografi harus dilakukan.
Suspek PE
 Mulai IV heparin 5,000 U bolus atau SC fraxiparine 0,4ml untuk BB<50kg, 0,5ml
untuk BB 50-65kg, 0,6ml untuk BB > 65kg.
 Lakukan investigasi
 Kontak general medicine atau bagian paru.
 MRS-kan px ke Bagian Paru
86. Edema Pulmonal, Kardiogenik

Caveats
 Mekanisme patogen utama adalah sympathetic overdrive dengan distribusi sentral
volume darah yang dihasilkan oleh peningkatan left ventricular end-diastolic
volume and pressure.
 Karena tidak ada overload volume, manajemen dengan penggunaan vasodilator
harus menjadi dasar terapi utama dibandingkan dengan diuretic.
 Target terapi edema pulmonal adalah resolusi sympathetic drive, yang ditandai
dengan normalnya nadi, restorasi ekstremitas yang kering dan hangat serta
kenyamanan px.
 BP akan menjadi panduan untuk mengetahui keberhasilan terapi dibanding
dengan target terapi itu sendiri.
 CPAP mask adalah efektif, namun membutuhkan px yang sadar dan kooperatif,
penggunaannya pada edema pulmonal kemungkinan sangat terbatas.

Diagnosa edema pulmonal


 Dx dibuat secara klinis, a.l:
1. distress respirasi yang severe, dengan ketidakmampuan mempertahankan
posisi berbaring/supine.
2. ekstremitas yang dingin dan lembab
3. thready pulse
4. SpO2 (banyak pasien yang parah yang memiliki saturasi sekitar 80-90%),
karena true hipoksia vasokonstriksi perifer mempengaruhi sensorik.
 Manifestasi klinis yang menandakan impending respiratory failure adalah sebagai
berikut :
1. AMS, cth kebingungan, gangguan sensorium
2. usaha nafas yang lemah dan tidak terkoordinasi
3. desaturasi yang progresif, ditunjukkan dengan pulse oksimetri
4. jika BGA cito menunjukkan:
a. PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg
b. Normalisasi PaCO2
 Karena deteriorasi dapat terjadi dengan cepat, keputusan klinis untuk melakukan
intervensi yang agresif harus dibuat tanpa pemeriksaan BGA. Nilai ambang yang
rendah untuk intubasi dan ventilasi mekanik harus dilakukan untuk
menyelamatkan nyawa.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum


 Dudukkan px edema pulmonal pada posisi tegak dan berikan suplemen
oksigen
 Pasang jalur IV dan berikan IV furosemide 40-80mg bolus
 Berikan SL GTN atau nitrogliserin spray jika tersedia
 Jika ada waktu, lakukan EKG 12 lead
 Rujuk px ke RS dengan ambulan

Manajemen
 Harus ditangani pada area critical care
 Monitoring penuh, pasang defibrilator
 Periksa ABC dan lihat kemungkinan untuk dilakukannya intubasi jika terjadi
impending respiratory failure.
 Berikan oksigen 100% dengan non-rebreather reservoir mask
 Pasang akses IV
 Lakukan EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya inferior/right ventricular
infarction (yang merupakan kontraindikasi nitrat)
 Cek Darah: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak, dan troponin T
 BGA diambil sebagai dasar penilaian
 CXR portabel
 Kateterisasi untuk mengukur urin output.

Terapi farmakologis
 Pilihan Obat
1. Nitrogliserin : 10-200µg/menit. Mulai dengan 10 µg/menit, perlahan
meningkat sampai 5 µg setiap 5 menit.
Titrasi untuk respon dan efek BP. Tidak ada monitoring invasive yang
diperlukan. Turunnya BP dapat terjadi cepat dengan menggunakan dosis
tinggi. Lakukan monitoring berlanjut terhadap BP. Infus harus diturunkan
ketika MAP mencapai 90mmHg.
2. nitropruside : 0,25-10 µg/kg/menit. Mulai pada dosis rendah dan titrasio
sampai berespon. Merupakan vasodilator yang sangat kuat. Monitoring
invasive biasanya diperlukan. Perawatan harus dilakukan untuk mencegah
penurunan BP.
3. Hydralazine : IV 10mg setiap 30 menit
Vasodilatasi kuat, efek dapat bertahan sementara waktu. Harus dilakukan
untuk monitoring px, terutama bila dikombinasi dengan obat lain.
 Obat lainnya
1. furosemide : 40-80 mg IV bolus
Efektif namun bervariasi pada onset efek yaitu antara 20 menit sampai 2 jam.
Efek tidak dapat dititrasi. Efeknya tidak fisiologis. Dosis tinggi diperlukan
pada px gagal ginjal.
2. Morfin : 0,1 mg/kg. Diberikan sebagai bolus tambahan 1 mg. beberapa
regimen dimulai dengan IV morfin 3-5mg. merupakan venodilator yang lemah
dibanding dengan obat lain, tidak mudah dititrasi, juga menurunkan
respiratory drive. Hindari bolus dalam jumlah besar karena dapat
menyebabkan apneu.
 Obat Oral : dapat diberikan bila akses IV terlambat atau tidak mungkijn
dilakukan. Dapat ditambahkan sebagai kombinasi untuk edema pulmonal akut.
1. Gliseril trinitrat : 0,5 -1,5 mg dapat diberikan SL. Dalam bentuk tablet atau
aerosol spray. Efek serupa dengan bentuk IV .
2. Captopril : SL captopril 6,25 mg atau 12,5mg. Dosis tergantung pada BP dan
bila digunakan secara tunggal atau dengan kombinasi dengan obat lain. Efek
tidak mudah dititrasi.
 Regimen Kombinasi
1. IV GTN ditambah dengan Furosemide : Furosemid diberikan dalam stat dose,
sedangkan IV GTN diberikan sebagai infus yang dititrasi. Dosis infus IV
GTN harus lebih rendah.
2. IV GTN ditambah dengan Captopril : SL captopril diberikan sebagai stat dose,
IV GTN diberikan seperti diatas.
3. Furosemide ditambah dengan morfin : kombinasi tradisional.

Hipertensi pada Edema Pulmonal


 Sering sulit dijelaskan apakah hipertensi menjadi penyebab edema pulmonal
karena hampir semua pasien memiliki respon simpatetik yang akan menyebabkan
peningkatan BP.
 Manifestasi yang menunjukkan bahwa hipertensi merupakan penyebab primer a.l:
1. Riwayat hipertensi berat yang tidak terkontrol.
2. Florid fundal changes, retinopati grade III atau IV
 Jika bukti menunjukkan adanya krisis hipertensi sebagai penyebab edema
pulmonal, manajemen kasus tersebut harus melibatkan penggunaaan vasodilator
dengan tujuan untuk menurunkan BP secara cepat namun aman.

Hipotensi pada Edema Pulmonal


 Hipotensi mengindikasikan adanya gagal jantung yang severe dengan cardiac
output yang rendah (Killip Class IV). Manajemen edema pulmonal dengan
hipotensi memberikan tantangan yang besar bagi seorang dokter emergency.
 IV dobutamin (5-20 µg/kg/menit) atau IV Dopamin (5-20 µg/kg/menit) dapat
ditambahkan pada regimen terapi edema pulmonal untuk membantu
mempertahankan BP setidaknya 90mmHg SBP. Pada situasi seperti itu, agent
yang diberikan pada edema pulmonal harus dalam bentuk IV, dengan kerja yang
cepat serta dapat dititrasi dengan efektif.
 Pasien dapat diintubasi lebih awal karena sebagian besar obat yang digunakan
pada edema pulmonal dapat menyebabkan penurunan BP. Hindari obat yang
meiliki efek negative inotropik seperti thiopentone.
 IV etomidate merupakan pilihan baik karena stabil terhadap kardiovaskular.

CPAP pada Edema pulmonal


CPAP (Continous Positive Airway Pressure) ventilasi dapat bermanfaat pada px yang
tidak berespon terhadap suplementasi oksigen. CPAP akan membantu mencegah kollaps
alveoli dan memperbaiki pertukaran gas. Tekanan dimulai 5-10 cmH2O dan harus
disesuaikan untuk mencegah penurunan cardiac output dan BP. Pasien harus selalu sadar,
kooperatif, dan memiliki usaha nafas yang baik untuk menjalani terapi ini.

Penempatan
 MRS-kan px dibawah ini pada CCU:
1. pasien yang diintubasi
2. concomitant ACS
 MRS-kan px yang membutuhkan CPAP pada high Dependency unit
 MRS-kan px sisanya pada bangsal umum kardiologi.
87. Renal Emergencies

Hiperkalemia
Caveats :
 Severitas hiperkalemia terkait dengan kadar potassium plasma namun tergantung
juga pada variabilitas antar pasien. Perkembangan hiperkalemia dapat berefek
secara signifikan pada keadaan klinis pasien. Jangan menunggu selesainya
pemeriksaan kadar potassium untuk memberikan terapi bila pemeriksaan klinis
serta EKG menunjukkan hiperkalemia.
 Manifestasi klinis dapat menyebabkan protean. Perubahan EKG jika terjadi akan
sangat berguna namun cukup sulit untuk dinterpretasi dan mungkin juga tidak
muncul pada beberapa pasien hiperkalemia berat. Asidosis metabolic dan
hipokalsemi dapat memburuk pada severe hiperkalemi.
 Pada setting klinik (cth gagal ginjal kronis, diabetic neuropathy) dengan
perubahan EKG konsisten dengan hiperkalemi berat (lihat gambar 1), akan lebih
tepat untuk mempertimbangkan terapi empiris jika hasil potassium serum tidak
bisa didapatkan secara cepat.
 Kadar potassium serum lebih besar dari 5,5 mmol/l dipertimbangkan sebagai
hiperkalemi. Pseudohiperkalemia banyak terjadi karena hemolisis ekstravaskular.
Penyebab lain meliputi trombositosis berat dan lekositosis.
 Beratnya hiperkalemi adalah sebagai berikut:
Ringan : kadar potassium < 6,0 mmol/l dan EKG dapat normal atau hanya
menunjukkan peaked T wave.
Moderat : kadar potassium 6,0-7,0 mmol/l dan EKG dapat menunjukkan peaked T
waves
Severe : kadar potassium 7,0-8,0 mmol/l dan EKG menunjukkan pendataran
gelombang P serta pelebaran QRS; 8,0-9,0 menunjukkan fusi QRS dengan
gelombang T (sine wave) yang menyebabkan disosiasi A-V, disritmia ventrikel,
dan kematian.

4 langkah manajemen Hiperkalemi

Langkah 1 : Stabilisasi potensial membrane


 Berikan Kalsium Kloride atau glukonat 10% : 10-20ml IV selama 3-10 menit,
sampai maksimum 20ml. Onset : 1-2 menit. Ulangi dosis yang sama jika tidak ada
perubahan. Durasi : 30-60 menit.
Catatan : Kalsium IV digunakan jika ada bukti EKG yang menunjukkan
hiperkalemia, kelemahan neuromuscular yang signifikan atau potassium serum >7,0
mmol/l. hati-hati pada pasien yang memakai digoksin karena akan menyebabakan
kercunan digitalis yang berat. Pastikan jalur IV berlaku dengan baik karena
ekstravasasi kalsium pada jaringan subkutan dapat menyebabkan nekrosis kulit.

Gambar 1 : manifestasi Hipokalemi dan hiperkalemi pada EKG


Langkah 2 : perpindahan potassium ECF ke ICF
 Berikan Dekstrose/insulin : 40-50 ml D50W IV selama 5-10 menit dan 10 unit
insulin regular sebagai bolus terpisah. Onset : 30 menit, durasi : 4-6 jam.
Direkombinasikan setelah terapi sodium bikarbonat.
 Berikan sodium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV sebagai bolus selama 5 menit pada
pasien dengan asidosis metabolic moderat sampai severe; ulangi setelah 5 menit
pada asidosis metabolic. Onset : 5 menit, durasi 1-2 jam.
Catatan : lebih bermanfaat pada pasien asidosis yang hebat (dapat tidak berefek pada
pasien non-asidosis). Harus digunaikan dengan hati-hati pada pasien CRF karena
dapat menyebabkan overload cairan dan memprovokasi hipokalsemi tetani atau
kejang karena alkalosis akut
 Berikan salbutamol : tambahkan 5 mg 3-4 ml salin dan nebulisasikan selama 10
mneit. Onset : 30 menit, durasi 2 jam. Salbutamol dapat digunakan dengan hati-
hati dengan iskemic heart disease yang dicurigai atau telah ada.

Langkah 3 : Hilangkan potassium dari tubuh


 Resonium A: 15 g PO 4 -6 jam sekali. Onset 1-2 jam, durasi : 2 jam. Perhatian
pada pasien dengan konstipasi atau ileus yang signifikan.
 Hemodialisis (kontak renal medicine dulu): onset : dalam menit, durasi : 4jam.

Langkah 4 : hindari peningkatan potassium lebih lanjut


 Review semua medikasi : cth Span K, ACE inhibitor, beta blocker.
 Review Diet dan KIE.
Catatan: Langkah 3a dan 4 biasanya mencukupi untuk hiperkalemi ringan dan
moderat. Pengulangan pemeriksaan kadar potassium serum dapat digunakan untuk
memastikan tidak adanya peningkatan potassium dan peningkatan kadar potassium
serum.

CRF dengan overload cairan dan tidak dalam dialysis


 Tangani pada area critical care
 Tempatkan pasien pada posisi tegak
 Berikan oksigen aliran tinggi
 Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-10 menit, pulse oksimetri
 Sisakan salah satu pembuluh darah di lengan untuk akses arterio venous
(jangan digunakan untuk mengambil darah)
 Lakukan tes darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, dan BGA juga enzim
kardiak jika ada kecurigaan iskemik kardiak.
 Terapi obat:
1. morfin : 2,5-5 mg IV ( jika tidak terdapat edema pulmonal)
2. GTN 0,5 mg SL atau nitroderm 5-10 patch atau IV 10-200µg/menit.
3. Felodipine 2,5mg PO jika BP tinggi
4. Furosemide 120-240 mg IV
 Pertimbangkan dialysis jika tidaka ada overload cairan yang hebat, hiperkalemi,
asidosis metabolic atau pasien yang tidak respon terhadap pada terapi diatas.

CRF dengan overload cairan tanpa adanya akses intravena yang tercapai
 Lakukan 4 langkah diatas
 Terapi obat
1. Morfin 5-10mgIM
2. GTN 0,5mg SL atau nitroderm 5-10mg patch
3. Felodipine 2,5mg PO jika BP tinggi
4. Furosemide 120-240 mgPO

Asidosis Metabolik Yang Berat


Caveats
 Pasien sering muncul dengan gejala yang nonspesifik dengan efek klinik yang
tertutupi oleh tanda dan gejala dari penyakit lainnya.
 Asidosis metabolic harus dicurigai pada pasien dengan hiperventilasi, AMS dan
instabilitas hemodinamik.

Manajemen
 Terapi suportif
1. Tangani pada area critical care
2. pastikan patensi jalan nafas
3. Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-10 menit
4. Pasang jalur IV dengan NS
5. Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, GDA, BGA, osmolalitas serum, urinalisis,
EKG
6. X ray : tidak ada manfaat yang spesifik pada keadaan asam basa. Namun KUB
dapat digunakan untuk mengidentifikasi substansi yang telah ditelan, cth :
tabelt besi, atau masalah GI yang menyebabkan ketidakseimbangan asam
basa, seperti obstruksi bowel atau iskemik bowel.
Prioritas Keputusan
 Ketika hasil lab telah ada, dan akurat, 3 langkah untuk melanjutkan evaluasi
keadaan asidosis. Lihat bab Acid Base Emergencies dan rumus yang disarankan
untuk lebih detilnya.
1. tentukan abnormalitas asam basa primer dan sekunder
2. Perhitungkan osmolal gap untuk mendeteksi adanya low molecular weight
osmotically active substance (lihat rumus yang disarankan).
3. review kadar potassium yang berhubungan dengan pH abnormal (lihat bab
Useful Formulae).

Terapi Spesifik
 Terapi bikarbonat adalah untuk mengembalikan keadaan asidosis organic yang
hebat serta yang dapat kembali dengan mudah. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan pH arterial diatas 7,2. Tidak perlu untuk mengkoreksi pH jika pH
7,2 atau lebih kecuali ada maalah yang mengancam nyawa yang perlu ditangani.
Tidak ada rumus yang sempurna namun rumus dibawah ini dapat digunakan :
Dosis NaHCO3 [mEq] = ([HCO3-] yang diinginkan – [HCO3] yang terukur) x
50% berat badan dalam kg. setengah dosis diberikan pada awal, sedang sisanya
disesuaikan dengan hasil lab. Jangan bertujuan untuk mengkoreksi bikarbonat
sampai pada kadar yang normal.
Dosis : terapi bolus direkomendasikan hanya pada asidosis berat atau jika ada
hemodinamik compromise. Pasien dengan asidosis yang kurang mengancam
nyawa dapat diterapi dengan infus IV bicarbonate. Tambahkan 100-150mEq
NaHCO3- (2-3 ampul NaHCO3- 8,4%) pada 1 liter D5W serta berikan selama 1-2
jam dengan mengulangi BGA sebagai pedoman terapi.
Komplikasi potensial; terapi adalah hipernatremi, hiperosmolalitas, overload
volume, hipokalemi, dan alkalosis posttreatment.

Indikasi Dialisis
 Edema pulmonal severe
 Hipertensi berat tidak terkontrol dari overload cairan yang severe tidak
berespon terhadap diuretic.
 Hiperkalemi
 Asidosis metabolic yang berat
 Beberapa keracunan, cth : methanol, ethylene glikol, salisilat (severe)
 Uremia, termasuk perikarditis dan ensefalopati

Masalah yang Terkait dengan Dialisis

Hemodialisis
A. komplikasi terkait akses vascular
 Perdarahan
1. tekan pembuluh darah namun jangan menyumbatnya dengan
tekanan yang berlebihan
2. catat adanya thrill
3. lanjutkan dengan konsultasi pada Dialysis Access Team serta
Renal medicine.
 Loss of thrill in shunt : konsultasi cepat pada Dialysis Access Team serta
Renal medicine.
 Infeksi
1. sementara tanda klasik sering muncul, namun pasien juga dapat
muncul dengan keluhan demam saja.
2. lakukan FBC dan kultur darah, berikan dosis awal antibiotik, cth: IV
ceftazidime 1-2g.
3. MRS pada Renal medicine;
B. Komplikasi terkait dengan non-vaskular
 Hipotensi
1. hipotensi post hemodialisis dapat terjadi karena penurunan volume
intravaskuler di sirkulasi. Cek seberapa banyak cairan hilang pada saat
melakukan hemodialisa.
2. masalah yang serupa juga terjadi pada peritoneal dialysis, yaitu
hilangnya cairan selama peritoneal dialisa.
3. sebagian besar kasus membutuhkan observasi setelah dialisa, namun
juga membutuhkan cairan IV.
4. Pertimbangkan dan eksklusikan :
a. Occult Haemorrhage : lakukan PR untuk
mendeteksi perdarahan GIT.
b. AMI akut/ disritmia atau tamponade jantung
c. Hiperkalemi yang mengancam nyawa; berikan
terapi empiris.
d. Infeksi.
e. Emboli udara atau pulmonal dan hemolisis akut saat
hemodialisis
 Dispneu
1. sebagian besar karena overload volume: pertimbangkan gagal jantung
mendadak, tamponade jantung, efusi pleural, asidosis berat, anemia
berat (yang berasal dari kehilangan darah akut dan kronis) serta sepsis.
2. Eksklusi MI akut ; juga emboli udara dan emboli pulmonal atau dan
hemolisis pada hemodialisis.
 Nyeri dada
1. sebagian besar iskemik yang berasal dari underlying IHD dan di
eksaserbasi dengan hipotensi transient dan hipoksemia terkait dengan
proses dialysis. Juga pertimbangkan emboli pulmonal, hemolisis akut
dan emboli udara pada hemodialisis.
2. manajemen : EKG, monitoring, enzim kardiak.
3. Konsultasi dengan renal medicine dan atau bagian kardiologi.
4. pertimbangkan penyebab nyeri dada non iskemik seperti pericarditis,
penyakit paru/pleural, refluks esofagitis, gastritis atau ulkus peptikum.
 Disfungsi Neurologi
1. Eksklusi abnormalitas elektrolit, infeksi, katastropik intracranial
mayor.
2. Manajemen :
a. Cek GDA, urea/elektrolit/kreatinin, BGA
b. Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
c. Cari abnormalitas neurologik fokal baru dan lakukan CT scan
3. Kejang : terapi seperti biasanya. Konsul renal medicine dan atau
bagian neurology.

Peritoneal Dialisis
Komplikasi terkait dengan Dialisis
 Peritonitis
1. Cloudy Effluent, nyeri abdomen non-spesifik, malaise, demam, dan kasus
kedinginan yang ringan sampai moderate.
2. Vomiting, nyeri hebat, syok, dan tanda klasik peritonitis pada beberapa kasus
yang severe.
3. manajemen
a. cek FBC, urea/elektrolit/kreatinin dan kultur darah
b. berikan antibiotik cth IV Ceftazidime 1-2 g
4. Informasikan pada Renal Medicine
 Kebocoran kateter
 Hipotensi
 Akut abdomen
1. karena kondisi intraabdomen yang serius yang mirip dengan peritonitis
2. konsultasi pada Renal medicine dan bedah umum.
Catatan : pasien CAPD memiliki risiko hernia abdominal/inguinal karena
peningkatan tekanan intrabdomen, serta obstruksi intestinal sekunder akibat
adhesi.
 Infeksi tunnel/kateter ext site
1. sering sulit untuk dideteksi secara klinis
2. Konsultasikan pada Renal Medicine.
88. Gagal Nafas, Akut

Definisi
 Tipe I : PaO2 ≤ 60 mmHg (8 kPa)
 Tipe II : PaCO2 ≥ 55 mmHg (7 kPa) dengan atau tanpa oksigenasi
yang rendah.

Caveats
 Pasien dengan gagal nafas tipe II saja dapat terlihat ‘nyaman namun
memperdayakan’, dimana px tidak menunjukkan takipneu. Pasien hiperkarbi
terlihat mengantuk, sedangkan pasien hipoksia sering terlihat agitasi, dan kadang
berlaku kasar. Mereka membutuhkan pemeriksaan BGA ulang untuk monitoring
PaCO2 atau end tidal CO2.
 SaO2 91% berespon terhadap PaO2 60 mmHg secara umum, namun keadaan ini
dipengaruhi pH, temperature dan level 2,3 DPG.
 Jangan memberi terapi kadar PaCO2 yang tinggi pada pasien dengan chronic
compensated gagal nafas tipe II, cth jika pH normal (pH > 7,35).
 Selalu berikan oksigen sebanyak mungkin yang diperlukan untuk mengkoreksi
hipoksia (SaO2 > 90% namun tidak > 95%)
 Gunakan pulse oksimetri untuk mentitrasi oksigenasi (SaO2) dan BGA untuk
mengevaluasi ventilasi (CO2 dan pH).
 Jika CO2 mulai meningkat karena hilangnya hipoksik drive, pasien butuh support
ventilasi dalam bentuk biphasic positive airway pressure (BIPAP), atau
Intermittent positif Pressure Ventilation (IPPV).
 Penyebab umum meliputi :
1. Edema pulmonal
2. Pneumonia
3. Emboli paru
4. asma berat/COLD
5. trauma dada
6. Tenggelam
7. Aspirasi
8. acute respiratory distress syndrome
9. Metastase pulmonal
Catatan : untuk pasien hiperventilasi dengan penemuan normal pada dada. Lihat
Hiperventilasi.
 Pertimbangkan serius dx Emboli paru pada pasien hipoksik dengan
CXR normal. Lihat bab Pulmonary Embolism.
 Pasien yang mengalami aspirasi, mungkin mengalami perunbahan CXr
yang terlambat.
 Terapi oksigen; lihat tabel 1.

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


 Berikan oksigen pada semua pasien yang mengalami dispneu sampai ambulan
datang walaupun px tidak terlihat sianosis.

Tabel 1 Peralatan yang digunakan untuk memberikan terapi oksigen

Peralatan Features Keuntungan Kerugian Indikasi


Nasal prongs 1. aliran 1. mudah 1. FiO2 tidak pasti 1. pasien kurang
rendah (1-6 digunakan 2. FiO2 maksimum < hipoksik
l/menit) 2. tidak 40% 2. pasien dengan
2. FiO2 mengganggu riwayat
0,24-0,40 aktivitas retaining Cos
(rata-rata 3- bicara dan
4%/l) makan
3. FiO2 3. compliance
bervariasi lebih baik
Simple mask 1. menghasilkan 1.kurang nyaman, 1. pasien
FiO2 yang panas dan hipoksia
1. aliran lambat lebih tinggi membatasi sedang yang
(5-10l/menit) daripada nasal 2.mengganggu saat tidak
2. FiO2 0,35-0,50 prongs bicara dan makan memiliki
(sekitar 3-4%) 3.dapat COLD
menyebabkan
rebreathing CO2
jika aliran di set
terlalu rendah
4.FiO2 bervariasi

Venturi mask 1. FiO2 yang 1. butuh 2 setting 1. terapi oksigen


1. aliran tinggi lebih tepat dan risiko terkontrol, cth
sampai 60 2. maksimum tinggi dalam gagal nafas
l/menit FiO2 50% aplikasinya* tipe II dari
2. FiO2 0,24- 2. compliance COLD
0,50 yang buruk
3. kemungkinan
rebreathing
CO2 jika alran
tidak adekuat
4. Kesulitan untuk
bicara dan
makan

Non- 1. FiO2 1. compliance 1. FiO2 tinggi


rebreathing 1. aliran rendah maksimum 80% yang rendah perlu untuk
mask (6-15 l/menit ) 2. obstruksi akses mengkoreksi
2. FiO2 0,50- ke mulut hipoksia.
0,80 3. Claustrophobic

* Koreksi aplikasi untuk Venturi masks


1. putuskan FiO2 yang diinginkan (24-30% : gunakan green diluter on mask ; 35-50%;
gunakan white diluter)
2. pasang oksigen pada aliran yang tepat sesuai FiO2 yang diinginkan
3. Atur ukuran venture mask sesuai FiO2 yang diinginkan.

Manajemen
 tangani pada area resusitasi
 berikan oksigen aliran tinggi via face mask dan monitoring jantung secara
kontinous, RR dan saturasi oksigen. Kurangi FiO2 sesuai pulse oksimetri dan atau
monitoring blood gas yang berkala setelah perbaikan pada px COLD. Target
saturasi O2 pada px COLD adalah 90-92% namun tidak > 92%. Awasi px
mungkin saja terdapat perburukan retensi CO2 dan narcosis.
 Tanda klinis perburukan retensi CO2 dan asidosis respiratori tidak dapat
dipastikan. Pemeriksaan BGA diperlukan.
 Semua px dengan COLD membutuhkan pemeriksaan BGA setelah titrasi oksigen
dan terapi awal diberikan dengan pengulangan nebulisasi bronkodilator.
 Lakukan anamnesa secara cedpat untuk menentukan target pemeriksaan dalam
mencari penyebab dasar gagal nafas.
 Terapi penyebab yang mendasari.
 Jika px tidak membaik dengan pemberian oksigen dan terapi penyebab dasar,
pertimbangkan support ventilasi mekanis.
 Pada hipoksia berat atau gagal nafas tipe I akut, pertimbangkan CPAP (non
invasive) atau PEEP (intubasi px)
 Pada hiperkapnia berat atau gagal nafas tipe II akut, pertimbangkan IPPV atau
non invasive lain atau post intubasi.
 Pertimbangkan BIPAP bagi pasien COLD dengan retensi CO2 dan pH antara 7,26
dan 7,32. pasien dengan pH < 7,26 biasanya membutuhkan intubasi dan ventilasi
mekanik.
 Jangan memberikan sodium bikarbonat pada px dengan pH yang rendah karena
adanya retensi CO2. hal ini akan mengeksaserbasi asidosis respiratori.

89. Sepsis / Syok septik

Definisi
 Infeksi : fenomena microbial yang ditandai dengan respon inflamasi terhadap
adanya mikroorganisme atau invasi jaringan tubuh yang steril oleh organisme
tersebut.
 Bakteremia : adanya bakteri yang viable pada darah.
 Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) : merupakan respon
inflamasi sistemik terhadap berbagai hasil klinis yang parah. Respon tersebut
bermanifestasi dalam ≥ 2 kondisi dibawah ini :
1. Temperatur > 38oC atau < 36 oC
2. Heart rate > 90 x/menit
3. RR > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit > 12.000/mm3, < 4.000/mm3, atau terdapat > 10% bentukan yang
immature (band)
 Sepsis : merupakan respon sistemik terhadap infeksi, ditandai oleh ≥ 2 kondisi
sebagai berikut:
1. Temperatur > 38oC atau < 36 oC
2. Heart rate > 90 x/menit
3. RR > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit > 12.000/mm3, < 4.000/mm3, atau terdapat > 10% bentukan yang
immature (band)
 Severe Sepsis : sepsis yang terkait dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau
hipotensi. Hipoperfusi dan abnormalitas perfusi dapat terkait namun tidak terbatas
terhadap asidosis laktak, oliguri, atau perubahan status mental yang akut.
 Syok Septik : sepsis yang diinduksi hipotensi walaupun telah dilakukan resusitasi
cairan yang adekuat selama adanya abnormalitas perfusi yang dapat terlibat
namun tidak terbatas pada asidosis laktat, oliguri, atau perubahan status mental
yang akut. Pasien yang menerima obat inotropik atau vasopressor mungkin tidak
akan mengalami hipotensi pada saat terjadi abnormalitas perfusi.
 Sepsis yang diinduksi hipotensi: sebuah SBP < 90 mmHg atau penurunan ≥ 40
mmHg dari baseline dimana tidak ada penyebab hipotensi yang lain.
 Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) : adanya perubahan fungsi
organ pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostatis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi.

Caveats
 Pada pasien lansia, anak kecil, atau immunocompromise, manifestasi klinis dapat
tidak khas tanpa adanya demam atau lokalisasi yang jelas dari sumber infeksi.
(lihat bab Geriatric Emergencies).
 Gejala sepsis meliputi demam, kedinginan dan gejala konstitusional seperti
fatigue, malaise, kecemasan atau kebingungan. Gejala ini tidak pathognomonik
untuk infeksi dan mungkin dapat terlihat dalam variasi yang luas dari kondisi
inflamasi non-infeksi.
 Abnormalitas tanda vital seperti takipneu, takikardi dan peningkatan pulse
pressure dapat menunjukkan sepsis walaupun tidak didapatkan demam.
Catatan : pada tahap awal sepsis, cardiac output dipertahankan dengan baik atau
meningkat, berakibat pada kulit dan ekstremitas yang hangat. Seiring perjalanan
sepsis, pasien mulai menunjukkan tanda perfusi distal yang buruk, cth : kulit dan
ekstremitas yang dingin. Sehingga, late syok septic tanpa adanya demam sulit
dibedakan dengan tipe syok yang lain dan tingkat kecurigaan yang tinggi sangat
diperlukan.
 Lokasi infeksi yang paling sering ditemukan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 : Faktor Predisposisi Bakteremia Gram Negatif dan Gram positif
Bakteremia Gram Negatif Bakteremi Gram positif
Diabetes mellitus Kateter vascular
Penyakit Lymphoproliferatif Indwelling mechanical devices
Sirosis hepatic Luka bakar
Burns Injeksi obat intravenous
Kemoterapi

Tips khusus bagi Dokter Umum :


 Jika terdapat keterlambatan dalam merujuk ke rumah, segera mulai resusitasi
cairan IV
 Pada pasien dengan tanda meningococcaemia, mulai IV kristaline penicillin 4
mega unit segera karena pasien dapat mengalami deteriorasi selama beberapa
jam.

Manajemen
 Harus ditangani pada area resusitasi
 Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5 menit, pulse oksimetri
 Pertahankan jalan nafas, berikan oksigen aliran tinggi. Intubasi endotrakeal
harus dipertimbangkan jika jalan nafas terncam atau jika ventilasi dan oksigenasi
tidak adekuat.
 Pasang 2 jalur IV dan koreksi hipotensi secara agresif dengan resusitasi
cairan ( 1-2 liter kristaloid). Pertimbangkan central venous line.
 Lab :
1. GDA
2. FBC
3. kultur darah (2 tempat yang berbeda)
4. DIVC screen
5. Urea/elektrolit/kreatinin
6. BGA
7. Kultur Urin
 CXR untuk mencari tanda konsolidasi dan ARDS
 Pertimbangkan EKG
 Pasang kateter urin untuk monitoring urin output.
 Semua px harus menerima terapi antibiotik empiris segera mungkin.
Jalur pemberian harus IV.
Catatan : tabel 2 merupakan suatu panduan. Spectrum sensitivitas bakteri terhadap
antibiotik bervariasi pada masing-masing RS.

Tabel 2 : Panduan Pilihan Antibiotik


Suspek Infeksi Antibiotik yang Disarankan
Immunokompeten tanpa sumber yang pasti Cephalosporin Generasi ketiga (cth : IV
Ceftriaxone 1g) atau quinolon (cth
ciprofloxacin 200mg)

Immunocompromised tanpa sumber yang Antipseudomonal beta laktamase


pasti susceptible penicillin (cth IV Ceftazidime
1g) atau quinolon ditambah aminoglikosid
(cth : gentamisin 80mg)

Gram Positif IV Cefazolin 2g. Pertimbangkan IV


Vancomycin 1g jika terdapat riwayat
penyalahgunaan obat IV atau indwelling
kateter atau alergi penisilin.

Anaerobic (Intraabdominal, bilier, traktus IV metronidazole 500mg tambahkan


genitalia wanita, pneumonia aspirasi) Ceftrixone 1 g dan IV gentamycin 80mg
untuk bakteri Gram Negatif.
 Inotropic vasoactive agents support dapat digunakan jika tidak ada respon
terhadap Fluid challenge. Noradrenalin merupakan pilihan pada syok septic,
dimulai pada 1µg/kg/menit. Sebagai alternative, dopamine dapat digunakan (dosis
5-20 µg/kg/menit). Resusitasi cairan diindikasikan oleh stabilisasi mentation, BP,
respirasi, nadi, perfusi kulit serta baiknya output urin.
 Penggunaan kortikosteroid pada syok septic masih controversial.namun ia
memiliki peran utama jika terdapat insufisiensi adrenal.
 Konsul ke tim di ICU untuk melakukan pemindahan pasien.
90. Spinal Cord injury

Mekanisme injuri
 Penetrating injury
 Trauma tumpul dengan gangguan kolumna vertebralis yang menyebabkan
transeksi atau kompresi elemen neural.
 Kerusakan primer vascular pada spinal cord, cth kompresi oleh hematoma
ekstradural

Caveats
 Spinal cord injury harus dicurigai dan immobilisasi servikal dipertahankan sejak
awal injury pada px :
1. Pasien trauma yang tidak sadar
2. korban selamat dari kecelakaan dengan kecepatan tinggi
3. adanya trauma lain yang terkait:
a. trauma kepala atau wajah yang signifikan : 4-20% insiden yang terkait
dengan trauma cervical
b. kontusio scapular : dapat menunjukkan flexion-rotation thoracic spine
c. seat belt injuries : dapat terkait dengan thoracic dan lumbar injury
d. injury pada kaki/pergelangan kaki akibat jatuh dari ketinggian: dapat
terkait dengan kompressi pada lumbar spine.
 Cari tanda spinal cord injury
1. tanda vital : syok neurogenik (hipotensi dengan bradikardi)
catatan : walaupun syok neurogenik harus dipertimbangkan pada px trauma
dengan hipotensi tanpa adanya takikardi, hipovolemi akibat kehilangan darah
harus tetap disingkirkan lebih dulu dimana px mungkin tidak menunjukkan
respon takikardi, cth px yang menjalani terapi beta blocker.
2. Pada inspeksi :
a. pernafasan diafragma
b. postur tubuh yang tertekuk dari upper limb menunjukkan adanya
kecurigaan cervical cord injury
c. fasikulasi otat spontan
d. Priapismus
3. pada pemeriksaan:
a. pola miotomik pada hilangnya kekuatan,lihat tabel 1
b. pola dermatom pada hilangnya sensorik
c. lesi komplit spinal cord : hilangnya kekuatan motorik dan sensasi
secara komplit pada sebelah distal dari lesi spinal cord injury. DDx
spinal shock (biasanya kurang dari 24 jam). Cari adanya sacral
sparing (factor prognosa untuk pemulihan fungsional) :
Sensasi perianal yang intack
Tonus Sphincter rectal yang intack
Gerakan fleksi ringan dari jari
Adanya refleks bulbocavernosus : kontraksi sphincter anal eksterna dapat
terasa dengan jari yang dilapisi sarung tangan ketika glans penis/klitoris
diremas atau saat kateter foley ditarik secara lembut/perlahan.
d. lesi inkomplit spinal cord : diklasifikasikan dalam 3 tipe
(1). Central Cord Syndrome (gambar 2), biasanya terlihat pada
arthritis degeneratif dari cervical spine.
Hilangnya kekuatan yang lebih besar secara disproporsional
dari upper limb dibandingkan dengan lower limb.
Terdapat beberapa derajat hilangnya sensori
Serta-serat yang mengkontrol bowel secara volunteer serta
funsi bowel terletak secara sentral dan sering terpengaruh,
walaupun biasanya terdapat ‘sacral sparing’
Mekanisme : hiperekstensi, cth : secara khas pada keadaan
jatuh kedepan pada bagian muka yang terjadi pada px lansia.
(2). Brown Sequard syndrome (gambar 3)
Paralisis motorik ipsilateral
Hilangnya sensasi positioning dan vibrasi ipsilateral (tes
dengan tuning fork) (pada kolumna posterior)
Hilangnya sensasi nyeri dan temperature kontralateral (traktus
spinothalamikus)
Mekanisme : trauma tajam/penetrasi atau fraktur lateral mass
dari vertebra yang berakibat pada hemiseksi cord.
(3). Anterior Cord Syndrome (gambar 4)
Paraplegi
Hilangnya sensori disosiatif : hilangnya sensasi nyeri dan
temperature, namun tetap terdapat sensasi posisi/vibrasi
(kolumna posterior).
Mekanisme : cervical flexion injury yang menyebabkan
kontusio korda atau gangguan arteri spinalis anterior, cth pada
komplikasi injury pada aorta descenden.
 Pertimbangkan dx traumatic carotid atau vertebral artery dissection pada px yang
mengeluh nyeri yang signifikan pada leher atau wajah, sakit kepala dan gangguan
neurologik lain setelah trauma, cth : setelah terjadi flexi-extension injury typical
dari kecelakaan lalu lintas. Penemuan neurologik dapat ditemukan pada
pemeriksaan awal, atau berkembang beberapa jam kemudian. CT scan kepala
normal. Diagnosa membutuhkan Doppler ultrasonography dan MRI-A.

Tabel 1 : Fungsi Saraf


Nerve root Motor/fungsi Sensoris Refleks
C4 Diafragma/ventilasi Suprasternal notch
C5 Deltoid/ mengangkat bahu Dibawah klavikula Bisep
C6 Biseps/fleksi siku, ekstensi Ibu jari Bisep
pergelangan tangan
C7 Trisep/ekstensi siku Jari tengah Trisep
C8 Flexor digitorum/Fleksi jari Jari kelingking
T1 Interossei/merentangkan jari medial lengan
bawah
T4 Intercostal/ventilasi papilla mammae
T8 Xiphoid
T10 Abdominal musculature Umbilikus
T12 Simfisis pubis
L1/L2 Iliopsoas/fleksi pinggul Paha atas
L3 Quadriceps/ekstensi lutut Paha medial Patella
L4 Quadriceps/ekstensi lutut Jari 1 kaki Patella
L5 Extensor hallucis longus Jari tengah kaki
/dorsifleksi jari 1 kaki
S1 Gastrocnemius dan soleus/ Jari kelingking kaki Achilles
plantarfleksi pergelangan
kaki
S2/S3/S4 Sphinter anal/ bowel dan Area perianal Bulbocavernosus
kandung kemih

Tips khusus dokter Umum:


 Selalu imobilisasi leher px trauma sejak terjadinya kecelakaan sampai dirujuk
ke RS.
 Trauma sentakan atau neck sprain sering tidak dirasakan nyeri pada awalnya,
namun peringatkan px bahwa kekakuan leher dapat memburuk selama
beberapa hari setelah trauma, lakukan pemeriksaan ke ED untuk mencari
gejala dan tanda gangguan neurologik.
Manajemen
 Tangani sebagai kasus yang mengancam nyawa, dengan meminimalisasi gerakan
kolumna spinalis.
 Immobilisasi spine pada posisi yang netral.
 Catat adanya deficit neurologik
 Pemeriksaan radiologist :
1. C-spine X ray : harus posisi AP/lateral . pertimbangkan :
a. swimmer’s view jika C7/T1 junction tidak terlihat pada
posisi lateral
b. open mouth odontoid view jika curiga injury pada
C1/C2, ketika ada nyeri cervical atas/oksipital.
2. X ray thorakal dan lumbal : posisi AP/lateral
3. CT scan diindikasikan jika:
a.gambaran yang baik C-spine bagian bawah tidak didapatkan pada xray
b. kecurigaan abnormalitas yang terlihat pada xray
4.MRI :
a. memberikan data yang paling akurat adanya deficit neurologik
b. terbatasnya ketersediaan pada stting gawat darurat
 cairan IV :
1. Hindari pemberian cairan berlebihan karena dapat menyebabkan edema
pulmonal
2. pasang kateter urin untuk monitor output urin
3. untuk syok neurogenik, pertimbangkan vasopressur jika BP tidak meningkat
setelah fluid challenge
 pertimbangkan metilprednisolon :
1. indikasi :
a. injury spinal cord non-penetrating
b. dalam 8 jam post injury
2. Dosis : 30mg/kg selama 15 menit diikuti dengan 5,4 mg/kg/jam untuk 23
jam berikutnya.
3. Kontraindikasi
a. pediatric : < 13 tahun
b. Kehamilan
c. Trauma ringan terbatas pada cauda equine/nerve root
d. Adanya trauma abdomen
e. Morbiditas serta mengancam nyawa
 Penempatan : lihat bab bedah ortopedi dan atau
neurosurgery pada tempat praktek.
91. Stroke

Diagnosa
 Stroke akut ditandai dengan onset mendadak dari deficit neurologik fokal,
biasanya terjadi pada teritorium pembuluh darah otak. Manifestasi klinis yang
sering timbul : hemiparesis, hilangnya hemisensori, kelemahan wajah, disartria,
afasia dan gangguan penglihatan, terjadi secara tunggal atau dalam kombinasi.
 Stroke diklasifikasikan :
1. Stroke iskemik (IS, 70-90%, insiden lebih tinggi pada ras kaukasian).
Etiologi yang sering meliputi atherothrombosis arteri besar,
kardioembolisme, dan small vessel disease (stroke lakunar)
2. Stroke Hemorragic, dimana terjadi perdarahan intraserebral (ICH, 10-
30%, lebih tinggi insidennya pada ras non-kaukasian) dan subarachnoid
haemorrhage (SAH, sekitar 2%).
Caveats
 Pertimbangkan beberapa keadaan yang menyerupai stroke, yang
terlihat pada tabel 1. selalu lakukan pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi
hipoglikemi.
 Stroke dikenal sebagai keadaan yang sangat sensitive dengan
waktu, terutama pada penggunaan rtPA sebagai terapi stroke iskemik yang akut,
dimana akan sangat bermanfaat bila diberikan pada 3 jam pertama setelah onset
serangan. Pasien suspek stroke harus dirujuk menggunakan ambulan pada ED
terdekat.
 Defisist neurologist terkait dengan sakit kepala, nausea,
vomiting, penurunan tingkat kesadaran dan peningkatan BP yang besar cenderung
menunjukkan stroke hemorrhagic.
 Terapi hipertensi pada stroke akut sering controversial dan harus
ditangani hati-hati.
Tabel 1 : Diagnosa Banding Stroke
Hipoglikemia/hiperglikemi
Post epileptic (Todd’s) paralysis
Tips khusus bagi Dokter Umum:
Complicated migraine
 Pasienensefalopati
Hipertensi stroke yang merupakan kandidat potensial untuk trombolisis (gambar 1)
Traumaharus dipindahkan
kepala (hematomake epidural/subdural)
ED dengan ambulan tanpa penundaan.
 Sebagian
Tumor otak/abses besar pasien dengan suspek stroke harus diperiksa secara cepat pada ED
pada saat kedatangan untuk manajemen secepatnya. Home visit dan pemeriksaan
Meningitis/ensefalitis
rawat
Disseksi jalan tidak dibenarkan kecuali px datang dengan gejala kelemahan yang
aorta
Bell’sringan
palsy dan tidak progresif serta telah berlangsung lebih dari 48 jam.
 Dokter umum (psikiatrik)
Kondisi fungsional dapat berperan dalam meng-KIE pasien yang berisiko tinggi (cth :
Hipertensi, DM, hiperkolesterolemi, penyakit jantung, perokok dan riwayat stroke
atau Transient Ischemic Attack (TIA) , juga pada keluarga untuk mengetahui gejala
awal stroke, kemudian segera memfasilitasi px ke RS bila terjadi serangan stroke.
 Selalu periksa GDA untuk menyingkirkan hipoglikemi
 Bell’s palsy sering membingungkan dx stroke. Bell’s palsy (isolated lower motor
neuron-type facial nerve palsy) ditandai dengan paralysis komplit separuh bagian
wajah tanpa mengecualikan otot dahi. Membedakannya dengan pasti sangatlah
sulit pada kasus kelemahan wajah partial, dan merujuk ke bagian neurology sangat
disarankan.
 Px dengan TIA (deficit neurology akut yang berkaitan dengan etiologi
serebrovaskular dengan remisi komplit dalam 24 jam sejak onset gejala) memiliki
risiko tinggi menderita stroke iskemik lebih dini pada periode post TIA. Mereka
membutuhkan rujukan segera ke neurologist atau ke klinik stroke. Jika pertemuan
dengan ahli saraf tidak bisa dilakukan pada hari yang sama, maka berikan obat
antiplatelet (aspirin 150-300mg, diikuti dengan 75-100mg/hari) bila tidak ada
kontraindikasi. Pasien dengan TIA berulang atau crescendo TIAs harus segera
dirujuk ke ED.
Manajemen
Manajemen pada pasien suspek stroke di ED, meliputi:
 Pertahankan status fisiologis yang optimal, termasuk oksigenasi, hidrasi dan kadar
gula darah yang baik. Semua pasien harus dipuasakan, dan diberikan infus
isotonic saline. Demam harus diselidiki penyebabnya serta dikontrol degan
antipiretik. Manajemen BP didiskusikan dibawah ini.
 Diagnosis definitive stroke dan subtype stroke (IS, ICH atau SAH). Keadaan ini
membutuhkan CT scan kepala dalam 24 jam pertama.
 CT scan kepala emergent dilakukan pada ED diindikasikan pada :
1. pasien IS merupakan kandidat pemberian trombolitik atau terapi antikoagulasi
cth datang dalam 3 jam pertama sejak onset gejala, atrial fibrilasi.
2. Suspek ICH, cth peningkatan BP grossly, sakit kepala, vomiting, kebingungan,
hitung platelet yang rendah, profil koagulasi yang terganggu, penggunaan
antikoagulan atau kecanduan pada obat stimulant.
3. Suspek SAH, cth nyeri kepala yang berat, meningism atau hilangnya kesadaran.
Lihat bab SAH
4. pasien yang berisiko mengalami deteriorasi dini, cth stroke kortikal yang berat
dengan hemiplegic, deviasi mata, dan afasia atau hemineglect, suspek stroke
pada fossa posterior.
Hasil pada CT scan kepala pada kelompok ini akan membantu penentuan tx.

Manajemen Hipertensi pada stroke akut


Stroke Haemorrhagic
 penurunan akut BP dapat mengurangi perdarahan ulang dan ekspansi hematoma.
 Namun penurunan BP yang terlalu agresif dapat mengeksaserbasi iskemik pada
daerah yang terkena hematoma
 Target manajemen pada pasien stroke hemorhagik akut :
SBP < 180 mmHg Biasanya tidak membutuhkan terapi di ED, terapi
DBP < 105 mmHg yang lebih agresif dapat dipertimbangkan setelah
MRS
SBP 180-220 mmHg Transdermal nitrogliserin 5-10mg, atau IV
DBP 105-120 mmHg labetalol, esmolol, enalapril atau diltiazem pada
dosis kecil yang dititrasi
SBP > 220 mmHg IV nitrogliserin 0,6-6mg/jam
DBP > 120 mmHg

Stroke iskemik
 Tidak ada data yang menyebutkan keuntungan kontrol BP secara agresif pada
stroke iskemik akut
 Sebagian besar pasien BP akan secara spontan membaik pada beberapa jam dan
kembali ke baseline setelah beberapa hari sejak onset gejala stroke.
 Kebanyakan ahli saraf menyatakan bahwa penurunan BP secara signifikan akan
membahayakan px karena dapat menurunkan perfusi kollateral pada daerah
iskemik penumbra, yang berakibat pada ekstensi dari infark.
 Kontrol BP diindikasikan pada px stroke dengan:
1. Gagal jantung kongestif
2. acute Myocard iskemik/infark.
3. gagal ginjal akut
4. hipertensi ensefalopati
5. Diseksi aorta
6. terapi dengan trombolitik atau antikoagulan
 target manajemen BP pada stroke iskemik akut
SBP < 220 mmHg Jangan diterapi, kecuali ada indikasi untuk
DBP < 120 mmHg mengkontrol BP

SBP >220 mmHg Transdermal nitrogliserin 5-10mg, atau IV


DBP 121-140 mmHg labetalol 10-20mg dibawah monitoring EKG,
diulang tiap 10 menit sampai dosis maksimum
100mg/jam, atau IV enalapril 1,25 mg.
DBP > 140 mmHg IV nitrogliserin 0,6-6mg/jam

Penempatan
 seluruh px stroke harus MRS untuk evaluasi, terapi dan rehabilitasi lebih lanjut.
Namun px yang stabil dengan lakunar infark > 48 jam yang tidak progresif serta
tidak memiliki disabilitas neurology/deficit dapat KRS dengan follow up segera di
poliklinik.
 Sebagian besar px TIA yang datang ke ED harus MRS untuk workup dan inisiasi
terapi medis. Merujuk ke spesialis neurology segera pada hari yang sama
merupakan alternative lain yang dapat dilakukan.
Px datang dengan gx stroke < durasi 7hari, cth:
 Kelemahan pada 1 sisi tubuh
 Inkoordinasi limb pada 1 sisi
 Bicara yang ‘pelo’
 Rasa pusing/mabuk dengan kesulitan bicara
 Matirasa pada salah satu sisi tubuh
Gambar 1 : Jalur klinis Stroke pada ED  Ketidakmampuan untuk mengekspresikan suatu pikiran, atau
untuk mengerti yang lainnya.
 Kebutaan yang mempengaruhi sebagian atau seluruh lapang
pandang pada satu atau kedua mata
 Diplopia atau kelemahan wajah dan atau limb
Dengan Ambulan
Area critical care Px datang sendiri
atau intermediate

Gejala < 3jam (trombolisis


IV jika mungkin) Suspek SAH* Kebingungan atau koma atau BP tinggi
(>220/120 mmHg) dengan pemeriksaan Gejala >3jam/sadar dan BP dapat
manual ulang dengan GTN patch 5-10mg. diterima dengan pengukuran manual
review BP dan tangani sesuai rekomendasi
 Oksigen dititrasi sampai SpO2 95% (atau 90% untuk COPD) setelah hasil CT scan kepala
 Monitoring BP
 Oksigen dititrasi sampai SpO2 95% (atau 90%
 GTN patch5-10mg jika BP > 220/120mmHg dalam 2x CT scan urgen pada COPD)
pengulangan setelah 5-10menit (pada tipe stroke yang belum
CT scan Kepala Urgen  NBM
diketahui)
 Heparin plug dengan NS IV pada tetesan
 Review control BP dan pilih obat antihipertensi setelah
maintenance
pembacaan CT scan kepala
 Stat GDA; bertujuan untuk normoglikemia
 Cek GDA-terapi ketika H/C <4 atau >11mmol/l
Perdarahan Tanpa perdarahan  Darah: FBC, PT, aPTT,
 Cek darah-FBC, PPT/aPtt, urea/elektrolit/kreatinin, enzim
urea/elektrolit/krestinin, enzim kardiak
kardiak, GXM
 EKG
 CT scan kepala emergent, EKG dan CXR
 CXR
 NBM CT menunjukkan Konsul Neurologi  CT Scan kepala dalam 24 jam
perdarahan
Cek criteria IV rtPA inklusi** Konsul Neurosurgery Sepertinya bukan intervensi bedah

STAT konsultasi neurology untuk Unit Monitoring neurology Bangsal Neurologi


Keputusan untuk melakukan downgrade
trombolisis

* Suspek SAH: ** criteria Inklusi untuk rtPA IV:


1). 2 dari 3 kriteria: sakit kepala, LOC, meningism (deficit neurology dapat muncul/tidak 1). Usia 18-80 th (batas atas usia dapat berbeda sesuai institusi/dokter
2). Isolated headache yang berat, atau onset mendadak, dan merupakan episode 1 2). Stroke akut <3 jam (waktu pemeriksaan-waktu onset). Estimasi waktu konservatif yang diambil yaitu
waktu onset = waktu dimana px teraakhir terlihat sehat
3). Defisit motorik, visual atau bahasa yang dapat terukur
92. Subarachnoid Haemorrhage (SAH)

Caveats
 SAH meningkat seiring usia, dan mengalami plateu setelah usia 60 th, dengan
insiden tertinggi pada 40-60 tahun.
 Kecepatan timbulnya onset sakit kepala (mendadak, seperti thunder-clap)
lebih berguna sebagai pedoman daripada severitas dari sakit kepala.
 Pada saat kunjungan, 50% pasien sadar, 30% letargi, dan sisanya 20% stupor
atau koma.
 Kaku kuduk membutuhkan waktu 2-3 jam untuk muncul.
 Pemeriksaan funduskopi menunjukkan perdarahan preretinal pada 20% pasien.
 Gejala dan tanda neurologik non-fokal sering muncul, cth: nausea, vomiting,
demam, sinkope, kebingungan, migraine like headache, atau koma.
 Pasien dengan posterior cerebral artery communicating aneurysm dapat
muncul dengan pupil berdilatasi ipsilateral, atau deviasi mata akibat palsy
Nervus kranialis ketiga.
 Pasien dengan middle cerebral artery aneurysm dapat memiliki hemiparesis
kontralateral sekunder akibat perdarahan pada lobus temporalis atau fissure
Sylvia.
 Nistagmus dan ataksia dapat muncul ketika perdarahan terjadi pada fossa
posterior (10% berry aneurysm).
Catatan: sebagian besar (90%) aneurisme serebral spontan dapat ditemukan pada
sirkulasi anterior yang meliputi arteri communis kanan anterior dan posterior serta
pada arteri middle serebral.
 Pada saat kedatangan, 20-50% pasien melaporkan sakit kepala berat dalam
waktu beberapa hari sampai minggu sebelum kedatangannya ke ED. Keadaan
ini dikenal sebagai warning/peringatan atau sentinel. Sakit kepala merupakan
sekunder dari perdarahan aneurisma sac dan subsequent trombosis.
 Pasien dengan aneurisme SAH, px dengan perdarahan sekunder terhadap
arteriovenous malformation (AVMs) lebih cenderung untuk muncul dengan
kejang, cerebral bruit, disfagi dan iskemik.
 Jangan mendiagnosa migren jika episode pertama sakit kepala terjadi setelah
usia 50 th.
 SAH banyak terjadi karena perdarahan saccular (berry) aneurysm atau AVM
(3-6%), namun juga dapat terjadi akibat trauma. Riwayat akan berguna untuk
membedakan keduanya namun, kadangkala perdarahan akan terjadi akibat
keadaan traumatic. Riwayat yang dicari dengan berhati-hati sangatlah penting.
Penyebab yang jarang terjadi adalah mikotik, onkotik, dan aneurisme terkait
dengan aliran darah.
 Perubahan EKG yang bervariasi, cth: peak atau symmetrically inverted T
waves, gelombang U, prolongasi QRS complex, prolonged interval QT dan
disritmia, dapat terjadi terkait dengan SAH dan membingungkan dokter dalam
menegakkan dx kardiak.

Tabel 1 : Klasifikasi SAH menurut Hunt dan Hess


Grade Tanda Survival (%)
1 Keadaan mental Normal 70
Sakit kepala ringan
Tidak ada deficit neurologis
Tidak ada tanda meningeal
2 Sakit kepala moderate sampai hebat 60
Palsy nervus kranialis
3 Kebingungan, 50
Deficit neurologik fokal ringan
4 Stupor 40
Hemiparesis, early vegetative posturing
5 Koma 10
Posturing Decerebrate

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


 Missdiagnosa awal untuk SAH adalah 20-50%.
 Dengan tidak adanya sakit kepala, sulit untuk membuat dx SAH
 Ditandai oleh onset gejala yang tiba-tiba (biasanya sakit kepala dan vomiting)
dan terdapat peningkatan deficit neurologist.
 BP pada awal biasanya tinggi
 Px dengan suspek SAH harus dirujuk dengan ambulan.

Manajemen
Terapi Suportif

Tangani pada area critical care

Sediakan peralatan intubasi dan resusitasi.

Pastikan patensi jalan nafas.

Berikan oksigen aliran tinggi via reservoir mask

Tinggikan kepala 30o

Monitoring: EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri

Pasang jalur IV perifer

Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, PT/aPTT, GXM 2 unit.

EKG, CXR (hati-hati akan terjadinya edema pulmonal)

Hati-hati terhadap komplikasi akut (0-48 jam setelah terjadinya perdarahan) :
1. Rebleeding : merupakan komplikasi akut spontan yang paling
signifikan. Risiko rebleeding adalah 4% pada hari I setelah SAH
spontan dan meningkat 1,5% setiap harinya sampai hari ke-13.
2. Cerebral salt wasting menyebabkan hiponatremi.
3. Hidrosefalus akut (15%)
4. kejang (6%)
5. neurocardiac disease (10%)
6. neurogenic pulmonary Oedema: dapat terjadi dalam hitungan menit
setelah perdarahan awal.
Terapi Spesifik
 analgesic non-opioid, cth: diklofenak IM, dapat diberikan untuk mengurangi
sakit kepala.
 Antiemetik : IM Prochlorperazine 12,5mg atau IM metoklopramide 10 mg.
 Nitrogliserin dengan infus IV jika DBP > 130 mmHg dengan pengukuran
manual. Mulai pada 10µg/menit dan titrasi sampai berespon namun hindari
menurunkan DBP lebih rendah daripada 100mmHg untuk mempertahankan
perfusi cerebral.
 Lakukan CT scan kepala (tanpa kontras) sesuai dengan konsultasi dengan
neurology
Catatan:
1. CT scan tidak dapat mendeteksi SAH. Sensitivitas untuk mendeteksi SAH
hanya 93%. Sensitivitas CT menurun dengan waktu. Paling sensitive dalam 12
jam dan secara dramatis turun setelah 2-7 hari.
2. pungsi lumbal sangat penting untuk work up SAH jika CT scan negative.
Adanya xanthochromia pada specimen CSF yang segar merupakan penemuan
yang patognomonis pada SAH.

Penempatan:
 MRS-kan pasien ke bagian Neurologi atau neurosurgery.
94. Tetanus

Caveats
 Kecurigaan yang tinggi harus dilakukan untuk menangani px yang datang dengan
gejala tetanus.
 Debridement luka juga penanganan di ICU dilakukan pada semua suspek tetanus.

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


 Pemberian antitetanus dilakukan pada px dengan luka yang berisiko tetanus,
juga pada pasien yang menunjukkan kekakuan pada otot lokal atau
generalisata dengan atau tanpa adanya luka yang berisiko tetanus.
 Semua suspek tetanus harus secepatnya dirujuk ke ED untuk penanganan lebih
lanjut.

Patofisiologi
 Tetanus disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani,
mikrorganisme batang Gram negative anaerob yang masuk ke dalam luka.
C.tetani biasanya masuk ke dalam luka dalam bentuk spora, dalam keadaan
non-invasive, namun dapat menghasilkan toksin, dan berubah menjadi bentuk
vegetatif jika jaringan tubuh host mengalami compromised dan tekanan
oksigen jaringan turun.
 Tetanus berada pada luka tusukan yang dalam, laserasi, crush injury juga pada
orang yang menyalahgunakan obat-obatan suntik dimana kondisi yang
anaerob memfasilitasi pembentukan spora.
 Tanda dan gejala klinik berkembang karena perpindahan eksotoksin ke CNS,
dimana ia akan memblok transmisi pada inhibitory interneuron yang
menyebabkan spasme otot yang bertentangan.

Manifestasi Klinik
 Periode inkubasi dapat bervariasi dari 3-21 hari sejak onset infeksi
 Tanda tetanus generalisata meliputi kekakuan yang terasa sakit pada rahang
dan otot-otot trunkus.
 Bentuk khas tetanus, meliputi risus sardonikus, disfagia, opistotonus, fleksi
lengan, tangan yang mengepal, kekakuan otot abdomen, ekstensi ekstremitas
bawah, yang disebabkan oleh kontraksi tonik intermittent dari kelompok otot
yang terlibat.
 Fraktur spine atau tulang panjang dapat terjadi akibat spasme konvulsif otot-
otot skeletal juga akibat kejang.
 Kesadaran biasanya tidak menghilang kecuali terjadi laringospasme atau
spasme otot pernafasan.
 Instabilitas otonomik terjadi berupa demam, diaforesis, takikardi, dan
hipertensi.

Manajemen
 Penanganan terbaik dihasilkan bila px ditempatkan pada tempat isolasi yang
sunyi, pada lingkungan ICU.
 Terapi utama meliputi paralysis neuromuskular, intubasi orotrakeal dan
ventilasi. Trakeostomi sering diindikasikan untuk perawatan ventilasi jangka
panjang.
 Debridemen luka penting untuk meminimalisasi perkembangan penyakit yang
lebih lanjut.
 Single dose human Tetanus Immunoglobulin IM 3.000-5000 IU harus
diberikan.
 Pemberian anti tetanus toxoid (ATT) 0,5ml harus diberikan jika px telah
melewati fase akut, kemudian dilanjutkan setelah 6 minggu serta 6 bulan
kemudian.
 Penicillin G IV 10 juta IU/hari dibagi dalam beberapa dosis harus diberikan.
Antibiotik lain meliputi IV metronidazole 500mg tiap 6 jam atau IV
Doksisiklin 100mg tiap 12 jam. Jika px alergi penisilin, IV erythromycin 2
g/hari atau tetrasiklin 2 g/hari dapat menjadi penggantinya.
 Relaksasi otot dengan IV Diazepam 10 mg tiap 1-3 jam/prn sangat penting
untuk mengontrol refleks nyeri akibat spasme otot.
 Blockade neuromuscular yang memanjang dapat dicapai dengan pemberian IV
atracurium atau pancuronium.
 Instabilitas otonomik harus dikontrol dengan medikasi yang tepat, konsulkan
ke bagian Intensivist.
95. Krisis Thyrotoksik

Caveats
 Krisis thyrotoksik didefinisikan sebagai eksaserbasi yang mendadak yang
mengancam nyawa dari hipertiroidisme yang terkait dengan dekompensasi
multiple organ.
 Suspek keberadaan thyroid storm pada semua kasus hipertiroidisme yang
mengalami demam.
 Thyroid storm merupakan kasus yang fatal : angka mortalitasnya 20-50%.
 Hindari antipiretik berbasis aspirin: karena dapat mengebabkan pelepasan free
T4 dan T3 dari protein bond site-nya.
 Manifestasi klinis:
1. Demam sebagai indicator adanya sepsis atau konsekuensi thyroid
storm.
2. Takikardi out of proportion to fever secara khas terjadi saat px tidur.
3. Adanya gejala dan tanda tirotoksis yang jelas seperti penurunan
berat badan, tremor.
4. MOD :
a. Disfungsi CNS : AMS dengan kebingungan mental, delirium,
agitasi, stupor, koma
b. Disfungsi GIT : nyeri abdomen, diare, dan vomiting, jaundice
dapat terjadi dengan disfungsi hati.
c. Disfungsi CVS : Hiper- atau hipotensi sistolik, gagal jantung,
atrial fibrilasi yang cepat/Flutter.
5. Riwayat terbaru thyroid disease yang membutuhkan terapi, kejadian
pencetus seperti sepsis, pembedahan, kontras CT iodine.
6. Pasien trauma dengan peningkatan nadi dan BP.
7. Deplesi volume dari demam, metabolisme yang meningkat, diare.

 Hati-hati terhadap manifestasi yang tidak khas terutama pada lansia, yang
biasanya hanya menunjukkan kelemahan, gagal jantung atau atrial fibrilasi,
dimana goiter mungkin tidak terlihat.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum:


 Thyroid storm harus dapat dikenali dan diterapi berdasarkan pemeriksaan
klinis, karena konfirmasi laboratorium terhadap penyakit biasanya tidak
bisa didapatkan secara cepat.

Pemeriksaan Fisik meliputi:


1. Hiperpireksia merupakan indicator underlying sepsis atau konsekuensi dari
thyroid storm.
2. Hiper- atau hipotensi sistolik, gagal jantung, rapid atrial fibrillation/flutter.
3. Takikardia out of proportion to fever
4. AMS (criteria diagnostic yang harus ada!!!) delirium, agitasi, stupor, koma.
5. deplesi volume dari demam, peningktan metabolisme, diare.
6. Stigmata hipertiroidisme adalah goiter, tremor, lid lag/retraksi, miopati.
Manajemen
Terapi Supportif
 Tangani pada area critical care karena dapat mengancam nyawa
 Berikan oksigen aliran tinggi dengan non-rebreather reservoir mask
 Monitoring: EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri.
 Pasang jalur IV perifer
 Cairan IV : Dekstrose-Saline melalui infus pelan dengan elektrolit dan vitamin
yang cukup; koreksi deplesi volume hati-hati untuk menghindari tercetusnya
atau memburuknya gagal jantung; namun hilangnya cairan dapat
membutuhkan replacement sebesar 3-5 liter/hari.
 Labs :
1. FBC
2. Urea/elektrolit/kreatinin
3. Liver panel
4. Thyroid screen untuk memeriksa TSH, free T4.
5. CXR untuk mengetahui gagal jantung dan infeksi
6. EKG untuk menentukan adanya iskemik, infark, atau disritmia
7. Urinalisis dengan reagen dipstick: C&S jika ada kecurigaan sepsis.
 Koreksi factor pencetus, cth: sepsis, AMI
 Berikan paracetamol 500mg PO, aplikator/teknik untuk mendinginkan, untuk
menurunkan demam.

Terapi Obat
 Beta Blocker : pada keadaan kegagalan gagal jantung high cardiac output
1. berikan ultra-short acting IV esmolol : dosis 250µg/kg diikuti dengan infus
50 µg/menit jika tersedia.
2. Berikan IV propanolol 1mg tiap 5 menit sampai takikardi berat dapat
dikontrol. Jika px dapat untuk mengkonsumsi per oral, maka berikan
propanolol 60mg PO tiap 4 jam atau 80mg tiap 8 jam.
Catatan : terapi penyakit kardiovaskular lain dengan tx konvensional seperti
digoksin, diuretic.
 PTU (Propylthiouracil) memblokade iodinasi juga konversi T4 menjadi T3.
Dosis : 400-600mg PO atau via Ryle’s tube, diikuti dengan 200-300mg tiap 4
jam.
Catatan : PTU per rectal dapat diberikan jka px NBM. Encerkan pada
pediatric fleet enema dan berikan melalui kateter Nelaton.
 Larutan Iodine menghambat pelepasan hormone tiroid; harus diberikan 1-2
jam setelah tx PTU. Dosis : Lugols iodine 5 tetes PO atau via Ryle’s tube tiap
8 jam.
Catatan : Jika NBM, berikan IV sodium Iodida 1g/500ml salin tiap 12 jam.
 Deksametason : 2mg IV untuk menghasilkan support glukokortikoid; juga
memblok pengubahan free T4 menjadi free T3.

Penempatan:
 Konsultasi ke Endokrin/general medicine dalam rangka antisipasi MRS ke
MICU.
97. Trauma, Dada

Caveats
 Manajemen trauma dada mengikuti protocol ATLS :
1. Amankan ABC merupakan protocol.
2. Berikan penanganan secepatnya untuk mendeteksi lesi
3. keterlibatan tim trauma dari RS harus segera dilakukan.
 Selama Primary Survey, dokter harus mendeteksi kondisi yang mengancam
nyawa namun bersifat reversible, a.l:
1. Obstruksi jalan nafas (karena laryngeal injury atau fraktur dislokasi
sternoclavicular joint posterior).
2. Tension Pneumothorax (sucking chest wound)
3. Pneumothorax terbuka
4. Flail Chest
5. Hemothorax massif
6. Tamponade jantung

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


 Selalu pertimbangkan dx tension pneumothorax pada px dengan tanda
simple pneumothorax, instabilitas hemodinamik, distress respiratori severe,
dan neck vein distension.
 Pasang needle thoracostomy secepatnya, terutama menggunakan ukuran
14G/16G IV venula pada ICS2 midklavikular line.
 Keterlambatan melakukan tindakan ini akan menyebabkan pasien mati!
Salah dx hanya akan menyebabkan px memiliki chest tube insertion,
namun tidak akan membunuh pasien!
 Pada pasien dengan pneumothorax terbuka, lindungi luka dengan kassa
steril yang dilekatkan hanya pada ketiga sisi saja untuk mendapatkan efek
flutter-valve. Jangan merekatkan kassa pada keempat sisinya karena dapat
menyebabkan tension pneumothorax!
 Jangan melakukan splinting pada segment flail chest, karena merupakan
tindakan yang controversial. Namun bila dilakukan pada saat proses
pengiriman px, tindakan ini dapat dipertimbangkan untuk mengurangi
nyeri.

Manajemen Awal
 Rujuk px pada Critical care atau area resusitasi pada ED.
 Aktifkan in-house Trauma Team menurut protocol institutional
 Tangani px sesuai protocol ATLS
 Pertimbangkan intubasi pada px menggunakan teknik RSI dengan kondisi:
1. airway compromised
2. ventilasi inadekuat
3. SpO2 tidak dapat dipertahankan diatas 94% walaupun telah menggunakan
non-rebreathing mask.
Catatan : Jika mungkin, perikardiosentesis harus dilakukan sebelum intubasi
karena adanya excessive ventilation pressure yang mengurangi venous return
dapat menyebabkan serangan jantung.
 Pasang jalur IV ukuran besar (14G/16G) pada kedua fossa cubiti. Pilihan
pertama cairan resusitasi awal adalah kristaloid (Hartmann’s atau NS).
 Cek darah untuk :
1. GXM 6 unit WB
2. FBC, urea/elektrolit/Kreatinin, dan BGA

Indikasi Chest Tube Insertion setelah trauma


 Pneumothorax, Hemathorax, atau luka terbuka pada dada
 Fraktur tulang iga yang membutuhkan ventilasi tekanan positif
 Px dengan suspek severe lung injury, terutama mereka yang ditransfer melalui
jalur udara atau kendaraan darat.
 Pasien yang akan menjalani general anestesi dalam rangka terapi injury yang
lain (cth : cranial, atau ekstremitas), yang dicurigai mengalami lung injury
yang signifikan.

Indikasi Thorakotomi di ruang ED pada trauma setting


 Kehilangan darah pada ED yang tidak berespon terhadap infus kristaloid cepat
 Witnessed arrest atau deteriorasi akut
 Trauma penetrating dengan tanda vital atau tanda kehidupan (refleks cahaya
pupil, respirasi spontan, respon gerakan terhadap nnyeri, non-agonal cardiac
rhythm) pada ED.
 Luka penetrasi pada thorax bahkan tanpa tanda kehidupan pada tempat
kejadian atau pada ED (yang terbaik bila disertai dengan short duration of
CPR).
ED thoracotomy yang tidak direkomendasikan
 Trauma penetrasi non-thoracic tanpa tanda kehidupan yang vital di tempat
kejadian.
 Trauma tumpul tanpa tanda kehidupan di ED.

Diagnosa 3 Kondisi yang potensial Mengancam Nyawa:


 Trauma dada dan hipotensi. Pertimbangkan 3 penyebabnya:
1. Haemothorax massif
2. Tension pneumothorax
3. Tamponade pericardial
 Sangat penting untuk mengatasi keadaan tersebut dalam hitungan menit
Karena dapat menyebabkan kematian ! tidak ada waktu untuk melakukan
pemeriksaan investigasi.

Terapi untuk Kondisi dada yang Spesifik


Tension Pneumothorax
 Kunci Gambaran Diagnostik : tanda trauma dada, tanda pneumothorax,
hipotensi, severe respiratory distress dan neck vein distension.
 Terapi Immediate:
1. Lakukan Needle Thoracotomy : jarum 14G, pada ICS 2 midklavikular line.
2. diikuti dengan Tube Thoracotomy pada ICS 5, antara anterior dan
midaxillary line.
 Poin penting:
1. Diagnosa didasarkan pada klinis, dan keputusan terapi sangat bergantung
pada Kecurigaan yang tinggi.
2. Melakukan CXR untuk mengkonfirmasi dx akan menyebabkan
keterlambatan dan kematian.
Catatan: sebuah simple traumatic pneumothorax jangan diacuhkan karena
dapat berkembang menjadi tension pneumothorax.

Pneumothorax terbuka
 Patofisiologi : defek dinding dada yang luas dengan adanya kesamaan
tekanan intrathoracic dan tekanan atmosfer akan menyebabkan ‘sucking chest
wound’.
 Manajemen :
1. Berikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat
2. tutup defek dengan kassa steril, dengan merekatkan di 3 sisi untuk
menghasilkan efek ‘flutter-valve’.
3. Jangan merekatkan pada keempat sisi karena dapat menyebabkan tension
pneumothorax.
4. kemudian lakukan insersi chest tube.
Catatan: Chest tube tidak boleh diinsersikan melalui luka penetrasi karena
akan secara tepat mengikuti traktus yang terbentuk menuju paru atau
diafragma sehingga akan merusak organ tersebut atau menyebabkan
perdarahan yang massif.

Flail Chest
 Definisi : terjadi ketika ada 2 atau lebih tulang rusuk yang fraktur pada 2
tempat yang berbeda.
 Diagnosis didasarkan pada :
1. Gerakan paradoksikal segment dinding dada (keadaan ini saja tidak akan
menyebabkan hipoksia).
2. Distress respirasi
3. bukti eksternal adanya trauma dada
4. nyeri pada usaha bernafas
catatan : penyebab utama hipoksia pada flail chest adalah karena underlying
kontusi pulmonal, walaupun adanya nyeri dan restriksi gerakan dinding dada
serta underlying lung injury juga memberikan kontribusi dalam menyebabkan
hipoksia.
 Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi yang adekuat
2. Pastikan ventilasi yang adekuat
Catatan : pasien dengan isolated flail chest injury dapat ditangani tanpa
support ventilatory, terutama jika nyeri dada dapat dikurangi secara
adekuat.
3. Berikan terapi cairan dengan bijaksana.
Catatan : overload cairan harus dihindari atau cepat dikoreksi pada px
flail chest dengan kontusio pulmonum atau pada adult respiratory distress
syndrome.
4. Analgesik adekuat yang diberikan melalui IV.
 Indikasi Early Mechanical Ventilation pada Flail Chest:
1. Syok
2. ≥ 3 asosiated injuries
3. Cedera kepala Berat
4. Penyakit paru sebelumnya
5. Fraktur tulang rusuk ≥ 8
6. usia > 65 tahun
Catatan : ketika px membutuhkan ventilatory support, lebih aman untuk
mengaplikasikan ‘prophylactically’ sebelum kegagalan nafas yang sebenarnya
terjadi.
 Terapi Kontroversial : Splinting flail segment dapat memperburuk ventilasi

Haemothorax Massif
 Definisi : kehilangan darah > 1500 ml ke dalam cavum dada pada initial
output.
 Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi adekuat (berikan oksigen 100%)
2. Pasang 2 jalur IV besar dan lakukan resusitasi cairan
3. transfuse darah dan koreksi koagulopati
4. Tube thoracocentesis
5. Waspada terhadap penghentian mendadak dengan drainase, cek untuk
blocked tube.
 Indikasi Thorakotomy (konsul TKV secepatnya):
1. Drainase darah awal > 1500 ml
2. ongoing drainase > 500 ml/jam pada jam pertama, 300ml/jam pada 2 jam
berikutnya atau 200 ml/jam pada 3 jam berikutnya.
3. kasus yang membutuhkan transfusi darah persisten
4. retained pneumothorax besar, terutama jika terkait dengan perdarahan
yang terus menerus.
5. instabilitas hemodinamik yang terus-menerus
6. kecurigaan injury esophageal, cardiac, pembuluh darah besar atau bronkus
utama.
Catatan : pikirkan kemungkinan kerusakan pembuluh darah besar, struktur
hilar dan jantung pada luka penetrasi dada bagian anterior, sebelah medial dari
nipple line dan luka dada posterior medial dari scapula.

Tamponade jantung
 Dx membutuhkan kecurigaan yang tinggi. Kombinasi dari keadaan dibawah
ini akan membawa kita pada kemungkinan dx.
1. Trauma dada dan hipotensi
2. Trias Beck’s (hipotensi, muffled heart sound/suara jantung yang terdengar
jauh, distensi pembuluh vena di leher)
Catatan : Trias Beck’s hanya terlihat pada 50% kasus. Vena di leher yang
mengalami distensi tidak akan didapatkan pada tamponade jantung sampai
paling tidak terjadi koreksi parsial hipovolemi. Muffled heart sound
merupakan tanda yang paling sedikit terjadi pada trias Beck’s.
3. Trauma dada dan pulseless electrical activity
4. Tanda Kussmaul (peningkatan neck distension selama inspirasi dan pulsus
paradoksus)
 Bukti lain yang menyokong dx, a.l:
1. pembesaran jantung yang terlihat pada CXR (jarang) atau
2. Voltase EKG yang rendah (tidak lazim) atau
3. Cairan pericardial yang terlihat pada 2D Echo atau FAST (definitive)
 Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi yang adekuat (O2 100%)
2. pasang jalur IV ukuran besar
3. Berikan Cairan IV bolus 500 ml
4. lakukan perikardiosentesis dengan :
a. Panduan EKG (dengan Lead EKG yang terhubung dengan jarum
perikardiosentesis)
b. Panduan 2D Echo. Dapat bersifat diagnostic atau terapetik.
Catatan : Resusitasi cairan yang agresif akan membantu mempertahankan
cardiac output dan memberikan waktu untuk px. Jangan melakukan
tusukan dengan jarum tanpa panduan karena risiko iatrogenic cardiac
injury sangatlah tinggi.

Kontusio Pulmonal
 Injury yang terjadi akibat rusaknya susunan jaringan paru, kerusakan
membrane alveoli dengan perdarahan dan edema pada alveolar space.
 Manifestasi kontusio pulmonum biasanya butuh waktu untuk timbul.
 Penyebab, a.l:
1. trauma tumpul atau penetrasi
2. blast injury
3. compressive injuries
 Tanda klinis yang mungkin, a.l:
1. Distress respiratori
2. penurunan suara nafas
3. krepitasi pada lapang paru yang terkena
4. Hipoksemia
 Manajemen :
1. Berikan supplementasi O2
2. berikan support vantilasi, jika diperlukan
3. Lakukan terapi cairan dengan bijaksana

Tracheobronchial Injuries
 Sulit diketahui pada px trauma.
 Etiologi yang mungkin:
1. Trauma penetrasi
2. dorongan akselerasi-deselerasi
3. blast injuries
 tanda klinis meliputi:
1. Haemoptysis
2. Emfisema subkutaneus
3. Tension pneumothorax
4. pnumothorax persistent setelah terapi
 Manajemen :
1. berikan suplementasi O2
2. berikan support ventilasi
3. px mungkin membutuhkan lebih dari 1 buah chest tube
4. konsultasi TKV dini

Blunt Cardiac Injury (BCI)/ Kontusi Miokard


 Pertimbangan khusus :
1. secara klinis hanya ada beberapa tanda dan gejala yang reliable untuk BCI
2. Adanya fraktur sternum tidak dapat menjadi prediktor adanya BCI.
3. analisa CK-MB atau cardiac troponin T juga kurang berguna dalam
memprediksi keadaan ini.
4. EKG yang abnormal (perubahan ST dan gelombang T) sensitive terhadap
BCI.
 Manajemen
1. triage px ke dalam area critical care
2. Amankan ABC, berikan O2
3. lakukan pemeriksaan EKG
 keputusan penanganan:
1. Jika EKG normal, px dapat dipulangkan (diasumsikan bahwa tidak ada
alas an lain bagi px untuk MRS).
2. Jika EKG abnormal /disritmia, perubahan segmen ST, perubahan iskemik,
AV block, sinus takikardi yang tidak terjelaskan) px harus di-MRS-kan
untuk monitoring kardiak lanjutan.
3. jika hemodinamik px tidak stabil, echocardiogram harus dilakukan.
Catatan: Nuclear medicine studies hanya sedikit membantu jika
dibandingkan dengan Echo sehingga tidak bermanfaat jika Echo telah
dilakukan.

Traumatic Aortic disruption


 sebagian besar px dengan traumatic aortic Disruption mati pada tempat
kejadian.
 Px yang selamat sampai RS mungkin mengalami contained haematoma dan
secara potensial akan mengalami deteriorasi secara cepat.
 Telltale sign:
1. trauma tumpul/penetrasi pada dada atau acceleration/deceleration injury
2. hipotensi tanpa adanya sumber perdarahan eksternal
3. Haemothorax massif
4. pulsasi perifer yang lemah atau negative
5. gambaran CXR yang prinsip :
a. pelebaran mediastinum
b. efusi pleural left sided
c. blunting of left aortic knuckle
 Manajemen :
1. sesuai protocol ATLS
2. CT thorax jika memungkinkan
3. GXM setidaknya 6unit WB : hubungi TKV dan bedah umum

Fraktur Costae
 Manajemen dipengaruhi oleh level dan jumlah costae yang terkena juga pada
underlying visceral injuries.
Catatan : banyak fraktur costae yang tidak terlihat pada CXR. Tujuan utama
CXR pasien dengan kemungkinan fraktur costae adalah untuk mengeliminasi
haemothorax yang terkait, pneumothorax, kontusio paru, serta injury organ
lain.

 Fraktur costa atas (1-3) dan fraktur Skapula


1. Akibat dari large Force
2. meningkatnya risiko trauma kepala dan leher, spinal cord, paru, pembuluh
darah besar
3. mortalitas sampai 35%
 Fraktur Costae tengah (4-9) :
1. peningkatan signifikansi jika multiple. Fraktur kosta simple tanpa
komplikasi dapat ditangani pada rawat jalan.
2. MRS jika pada observasi :
a. Px dispneu
b. Mengeluh nyeri yang tidak dapat dihilangkan
c. Px berusia tua
d. Memiliki preexisting lung function yang buruk.
 Fraktur Costae bawah (10-12) : terkait dengan risiko injury pada hepar dan
spleen
Catatan : insersi chest tube sebagai profilaksis harus dilakukan pada semua
px trauma yang diintubasi pada adanya fraktur kostae. Associated injuries
sering terlewatkan meliputi :kontusio kardiak, rupture diafragmatik dan injury
esophageal.

Traumatic Diafragmatic Rupture


 Indikator :
1. distress respirasi yang persisten atau progresif
2. Bising usus pada dada
3. gambaran CXR
a. Vague dan bayang diafragmatik yang tidak dapat dibedakan
b. Herniasi organ abdominal ke dalam cavitas dada
c. Displacement NGT ke dalam cavitas dada lebih sering terjadi di
sisi kiri
 Diagnosa membutuhkan kecurigaan yang tinggi
 Semua px harus dirujuk pada bedah umum untuk laparotomi

Crush Injuries pada Dada


 Prognosis tergantung pada aplikasi crushing force:
1. < 5 menit (transient force applied dan prognosis bagus)
2. > 5 menit (prognosis buruk)
 Crush injury pada dada menyebabkan traumatic asphyxia
1. Plethora pada tubuh bagian atas
2. Petekiae pada tubuh bagian atas
3. Edema serebral
 Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi
2. Berikan ventilasi
3. terapi associated injuries
4. MRS untuk observasi

Trauma penetrasi pada Dada


 Yang harus diingat adalah :
1. jangan memindahkan benda asing dari luka
2. Untuk luka penetrasi dibawah garis nipple, selalu pertimbangkan
intraabdominal injuries.
Subkutaneus emfisema
 Etiologi:
1. Injury jalan nafas
2. Injury paru dan pleural
3. injury esophagus dan faringeal
4. Blast Injury
 Tanda :
1. Krepitus
2. Pembengkakan wajah, leher dan jaringan yang terlibat.
 Manajemen : emfisema subkutaneus jarang membutuhkan terapi. Tangani
penyebab dasarnya. Asumsikan bahwa emfisema subkutaneus memiliki
penyebab dasar pneumothorax walaupun tidak terlihat pada CXR. Sehingga
tindakan insersi chest tube harus dilakukan sebelum ditempatkan pada
ventilator.

Trauma Esofageal
 Indikasi adanya trauma esophageal:
1. Emfisema subkutaneus
2. udara mediastinum tanpa adanya pneumothorax
3. Udara retrofaringeal pada x ray leher lateral
4. Left-side pleural effusion : tes drainase positif untuk amylase
5. left pneumo atau haemothorax tanpa fraktur kosta.
6. hantaman yang kuat pada bagian bawah sternum atau epigastrium dan
pasien mengalami nyeri atau shock out proportion terhadap injury yang
terlihat.
7. adanya cairan pada chest tube setelah darah menjadi jernih.
 Px harus dirujuk ke bedah umum untuk penanganan lebih lanjut.

Trauma Laring
 Walaupun merupakan injury yang jarang terjadi, yang dapat terjadi bersamaan
dengan obstruksi jalan nafas akut.
 Diagnosis berdasarkan trias sbb:
1. Hoarseness (suara parau)
2. emfisema subkutaneus
3. Fraktur yang dapat terpalpasi
 Manajemen :
1. jika jalan nafas px mengalami obstruksi total atau jika px berada dalam
keadaan distress respiratori hebat, maka lakukan intubasi
2. jika intubasi tidak berhasil dilakuakan, emergency tracheostomi
merupakan indikasi.
3. surgical cricothyroidotomy, walaupun tidak disukai pada situasi ini, dapat
menyelamatkan nyawa jika terdapat kegagalan trakeostomi.
4. kontak spesialis THT dan ahli anestesiologi secepatnya.
98. Trauma dan Infeksi, Tangan

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


 Simpan bagian yang mengalami amputasi dengan dibungkus lembaran kain
bersih yang dilembabkan saline, kemudian tempatkan bungkusan tersebut
pada wadah yang bersih dan kering. Letakkan wadah tersebut pada es.
Jangan menempatkan bagian yang teramputasi langsung pada es.

Nail Bed Injuries Akut


 Klasifikasi
1. Laserasi simple nail bed dan hematoma subungual
2. laserasi crushing (hancur) nail bed
3. Laserasi avulse nail bed
4. Laserasi disertai dengan fraktur
5. Laserasi dengan hilangnya kulit dan pulp
6. amputasi fingertip (ujung jari)
 Nail bed injuries biasanya dapat membaik setelah primary repair atau bahkan
dapat menurun setelah rekontruksi. Sehingga dengan mengecualikan kasus (1),
semua nail bed injuries harus dirujuk pada RS untuk repair di OT yang
memiliki instrument dan loupe magnification.
 X ray dapat dilakukan untuk semua injury yang terjadi pada fingertip dan nail
bed. Adanya fraktur phalanx distal menambahkan 2 pertimbangan
penanganan:
1. membutuhkan Reduction : fraktur yang unstable mungkin membutuhkan
K-wire fixation
2. Risiko infeksi fraktur terbuka : berikan antibiotik broad spectrum.

Hematoma Subungual
 Klasifikasi : persentase area dibawah kuku yang menunjukkan adanya darah
 Terapi : trephine dengan sebuah red hot tip dari unfolded paper clip
(gambar1).
1. Blok digital tidak diperlukan kecuali pada px yang ketakutan. Nail plate
akan terbakar dan mengalami evaporasi saat ‘tip’ yang telah dipanaskan
dipenetrasikan. Ujung klip kertas yang telah dipanaskan kemudian akan
menjadi dingin secara langsung karena aliran darah, dan penetrasi yang
lebih jauh serta cedera nail bed jarang terjadi. Jangan melakukan tekanan,
namun biarkan panas berpenetrasi ke nail plate karena keadaan ini akan
menghindarkan keadaan benturan klip kertas ke dalam nail bed (risiko
osteomielitis).
2. usap jari yang terluka dengan povidone iodine (bukan alcohol karena
bersifat mudah terbakar).
3. tempatkan 2 lubang pada dua sisi disebelahnya untuk memfasilitasi
drainase. Hematoma dievakuasi dengan memijat lembut diikuti dengan
menghisap povidone iodine.
 Follow up dengan salep antibiotik, kassa dan protective splint
 Untuk hematoma subungual lebih dari 50%, disarankan untuk melepaskan
kuku, eksplorasi dan suturing nail bed.
Laserasi simple dari Nail Bed
 Prinsip terapi : debridemen minimal, sisakan jaringan lunak sebanyak
mungkin, dan splinting dengan nail plate.
1. Block digital dengan lignokain 1% (biarkan 10 menit untuk efek
maksimal).
2. tempatkan pembalut karet atau penrose tourniquet pada basis jari.
3. ujung jari dibersihkan
4. nail plate harus diangkat lembut dengan forcep tumpul dan perlahan
pindahkan dengan haemostat menggunakan tekanan yang tetap.
5. Laserasi diperbaiki dengan benang 6/0 plain catgut atau dexon suture.
6. nail plate diirigasi dengan NS dan bebat pada nail bed yang telah di-repair.
Non-absorbable suture, cth prolene, ditempatkan melalui nail plate dan
kemudian pada proksimal nail sulcus sebagai sebuah ‘anchor/jangkar’
(suture diangkat 3 minggu kemudian).
7. Jika nail plate tidak tersedia, kertas perak pembungkus suture dapat
digunakan untuk membiarkan lipatan kuku tetap terbuka.
KIE : nail plate tumbuh membutuhkan waktu 6-12 bulan, dan deformitas kuku
mungkin tidak dapat dihindari.
 Penempatan : rujuk ke Hand surgery untuk follow up dalam 2-3 hari.

Amputasi Ujung jari


Dengan hilangnya kulit/pulp saja
 Untuk diameter defek < 1 cm, terapi konservatif, dengan pembersihan yang
cermat serta dibalut dengan non-adherent gauze. Epitelisasi spontan simple
dan cost effective.
 Kontrol pada Hand surgery dalam 2hari.
 Untuk defek lebih dari 1cm, MRS ke bagain hand surgery untuk skin graft
atau rekontruksi flap.
Dengan tulang yang terekspos
 MRS pada bagian Hand surgery
 Simpan bagian yang teramputasi, yang mungkin bisa digunakan untuk
replantasi.
 Pasang IV plug pada lengan yang tidak terluka.
 Berikan IV Cefazolin 1 g jika tidak ada kontraindikasi. Ambil swab untuk
kultur sebelum pemberian antibiotik.
 Berikan profilaksis untuk tetanus.
 Bagian yang teramputasi disimpan sesuai dengan cara yang telah dijelaskan
sebelumnya.
 X ray bagian yang teramputasi : AP dan lateral.

Cedera Tendon Fleksoris


Sering terlihat di ED. Mekanisme yang sering menjadi penyebab adalah laserasi.
Waspada terhadap tanda kecil yang terkait dengan laserasi parsial dimana dapat
berakibat pada disabilitas jangka panjang.

Cara memeriksa integritas flexor digitorum superficialis (FDS) dan Flexor Digitorum
Profundus (FDP)
 Cara memeriksa fungsi FDS (gambar 2a), dengan jari yang berdekatan
ekstensi penuh (menghambat gerakan FDP), usaha fleksi jari menghasilkan
gerakan isolated FDS, dimana diindikasikan dengan adanya solitary flexion
PIP joint.
 Cara memeriksa fungsi FDP (gambar 2b). isolated DIP flexion anya dapat
dilakukan dengan intake-nya FDP muskulotendinous unit.
Catatan : terlihatnya tendon yang intake pada lacerated sheath tidak berarti
bahwa tendon tidak cedera. Tendon mungkin berada pada posisi yang lain ketika
cedera terjadi juga pada saat pemeriksaan dilakukan. Bagian tendon yang
mengalami laserasi telah pindah kebagian proksimal atau distal. Periksa dan
dokumentasikan integritas nervus digital yang terlibat (menggunakan 2-point
discrimination dengan menggunakan ujung klip kertas, dengan jarak sekitar
5mm).

Riwayat/anamnesa :
 Mekanisme injury : laserasi dan trauma tertutup/tumpul.
 Okupasi
 Tangan yang dominant
X ray jari dengan tujuan :
 Eksklusi FB pada luka laserasi
 Eksklusi avulse FDP insertion pada bagian dasar distal phalanx pada fraktur
yang tertutup (lateral film).

Implikasi ‘zoning’/pembagian wilayah


 Waktu perbaikan
1. Primary repair (dalam 24 jam) direkomendasikan. Jika hal ini terlambat
dilakukan sampai 3 minggu, repair mungkin membutuhkan tendon graft.
2. Zona III, IV dan V (gambar 3) membutuhkan pembedahan/repair segera,
karena sering berkaitan dengan cedera pada daerah disekitarnya.
 Outcome
1. Zona II dikenal sebagai ‘no-man’s land’ karena sulit untuk diperbaiki.
Output yang buruk ketika 2 tendon yang diperbaiki (FDS dan FDP)
diharapkan untuk dapat digerakkan secara luwes sebuah fibrous sheath.
2. Zone III biasanya memiliki outcome yang baik setelah primary repair.

Manajemen cedera tendon fleksoris pada ED


 MRS pada bagian ‘hand surgery’ untuk primary repair.
 Tetanus toxoid menurut regimen.

Laserasi Tendon fleksoris Partial


 Diagnosa : mungkin sulit
 Petunjuk : nyeri yang bertambah pada gerakan yang aktif
 Signifikansi
1. delayed rupture
2. Nyeri dan restricting tenosynovitis
 Semua laserasi parsial dari tendon akan membutuhkan eksplorasi. Cedera yang
melibatkan kurang dari 25% dapat diterapi dengan ‘trimming’ bagian ujung
laserasi. Laserasi > 50% membutuhkan formal repair.
 Manajemen di ED : MRS untuk eksplorasi.
Cedera Tendon Ekstensor
Mallet Finger
 Rusaknya insersi tendon ekstensor pada bagian terminal phalanx
 Mekanisme injury :
1. Trauma tumpul via fleksi akut dari DIPJ dengan beban dari aksila
bertumpu pada terminal phalanx, cth : menangkap bola.
2. Laserasi, yang lebih jarang terjadi
 Manifestasi klinis:
1. Nyeri, bengkak dan nyeri tekan DIPJ
2. ketidakmampuan untuk meluruskan DIPJ
3. Subluksasi volar DIPJ
 X ray jari : cari fraktur pada basis distal phalanx.
 Manajemen tergantung dari tipe cedera:
1. cedera tertutup tanpa fraktur : mallet splint (gambar4) selama 6 minggu.
Follow up di bagian Hand Surgery setelah 5 hari.
2. Avulsi tendon dengan fragment tulang kecil (< 33%) : mallet splint.
Follow up di bagian Hand Surgery setelah 5 hari.
3. Avulsi tendon dengan fragment tulang besar : MRS untuk surgical repair.
4. Cedera terbuka : MRS untuk surgical repair.
Mallet splint
 Pemasangan volar splint pada distal phalanx, yang menjaga DIPJ agar berada
pada posisi sedikit hiperekstensi smentara PIPJ dan MCPJ bebas bergerak.

Deformitas Boutonniere
 Kerusakan central slip dari tendon ekstensor PIPJ. Lateral band yang secara
normal berada pada dorsal dari aksis rotasi sehingga dapat membuat gerakan
meluruskan jari, saat ini menjadi jatuh ke volar dari aksis tersebut dan gerakan
yang dihasilkan jadi berkebalikan yaitu menyebabkan fleksor PIPJ.
 Mekanisme cedera:
1. pukulan langsung pada dorsum PIPJ.
2. Beban aksila yang memaksa fleksi PIPJ saat jari sedang ekstensi.
3. Laserasi di sepanjang atau distal dari PIPJ.
 Presentasi klinis:
1. Nyeri dan pembengkakan PIPJ
2. Pasien awalnya dapat melakukan ekstensi penuh dari PIPJ (karena lateral
slip functioning) walaupun kebanyakan px dengan cedera seperti ini
menunjukkan kelemahan pada saat ekstensi PIPJ.
3. deformitas Boutonniere biasanya tidak muncul langsung setelah cedera
namun sering timbul setelah 10-14 hari.
4. kebanyakan memiliki associated dislocation yang telah direduksi sebelum
datang ke ED; ditunjukkan dengan pergerakan yang terbatas akibat nyeri.
 X ray jari: jika terdapat fraktur avulse dari dorsal basis middle phalanx.
 Diagnosis: membutuhkan kecurigaan yang tinggi, dx biasanya tidak terlihat
saat itu karena adanya pembengkakan akut.
 Manajemen :
1. Cedera tertutup : boutonnire splint. Follow up pada hand surgery dalam 5
hari.
2. cedera terbuka : MRS untuk primary repair.

Boutonniere Splint
 pasang volar splint pada PIPJ, posisikan pada ekstensi penuh, DIPJ dan MCPJ
bebas. (gambar 5).

Kerusakan Ekstensor MCPJ


 Biasanya merupakan cedera terbuka
 Penting untuk mengeksklusikan gigitan manusia/pukulan kea rah gigi (px
sering mengingkari riwayat ini), karena:
1. risiko tinggi septic arthritis jika tooth wound terlewatkan.
2. Debridement luka, berikan antibiotik.
3. penutupan sekunder dipertimbangkan daripada penutupan primer.
 Penemuan : Ekstensi MCPJ dapat terus terjadi karena sagittal bands pada sisi
tendon.
 X ray MCPJ untuk mencari :
1. FB, cth : fragment gigi
2. Radiolusensi pada MCPJ
3. cedera pada metacarpal head
 MRS untuk surgical repair
 Mulai pemeberian antibiotik IV dan beri profilaksis tetanus

Isolated Thermal Burns pada tangan


Luka bakar minor
 Derajat 2 dan 3 (ketebalan superficial dan superficial partial)
 Profilaksis tetanus
 Berikan analgesic
 Terapi local :
1. Pembalutan TG dengan atau tanpa krim silver sulfadiazine (kontra indikasi
pada kehamilan dan alergi sulfa)
2. tangan dibalut dalam polythene bag yang bersih untuk mendorong
mobilisasi.
3. Elevasi tangan dalam arm sling untuk mereduksi pembengkakan.
 Kontrol pada Hand surgery dalam 1-2 minggu.

Deep Dermal Burns


 Derajat ke-3 dan ke-4 (ketebalan deep partial dan full thickness)
 Profilaksis tetanus
 Cedera full thickness sirkumferensial dari limb dapat menginduksi cedera
kompresi di bagian distalnya; penting untuk memeriksa status neurovascular.
Escharotomy urgent mungkin diperlukan.
 Pnempatan : MRS pada bagian Hand Surgery untuk perawatan luka, dan
kemungkinan skin grafting.
Catatan : (1) antibiotik sistemik profilaksis secara rutin tidak disarankan. (2)
cedera partial thickness dapat dibedakan dari full thickness dengan hilangnya
sensasi pada pin prick test, dan (3). Pertimbangkan cedera non-accidental pada
anak.

Luka bakar Akibat bahan kimia pada tangan


 Dalamnya luka bakar secara langsung terkait dengan lama kontak dengan
agent penyebab.
 Dokumentasikan: bahan kimia yang terlibat, lama paparan, terapi awal yang
diberikan pada luka, cth : pencucian luka/antidote.
 Manajemen :
1. bubuk kimia harus dibersihkan
2. Irigasi denganm saline atau air bersih dalam jumlah yang banyak
3. elevasikan tangan
 Luka bakar Hidrofluorik acid : sebuah keadaan emergency pada tangan!
Lihat Burns, Minor
1. Nyeri yang sangat
2. Menyebabkan kerusakan yang dalam samapi ion fluoride dinetralisisr oleh
Ca2+.
3. Untuk cedera superficial, aplikasikan topical calsium gluconate dicampur
dengan KY gel yang steril.
4. Untuk cedera yang dalam dan ekstensif, pertimbangkan injeksi
subkutaneus 10% kalsium glukonat dalam basa dan sekitar luka bakar
menggunakan jarum 27G. usahakan untuk menghindari melakukan digital
block sebagai maneuver analgesic karena tindakan ini memang dapat
mengurangi nyeri, tapi sekaligus menghilangkan satu parameter untuk
menentukan efikasi terapi dengan kalsium glukonat, yaitu : nyeri.

Luka Bakar Elektrik Pada Tangan


 Ada 2 elemen yang dipertimbangkan :
1. flash burn, yang menyebabkan luka bakar deep dermal.
2. jalur lewatnya aliran elektrik di dalam tubuh. Komplikasi yang mungkin
adalah kardiak disritmia dan mioglobinuri dengan resultan ARF.
 Riwayat : membedakan aliran listrik tegangan rendah dengan supply
domestic (240 V 50 MHz) dengan aliran tegangan tinggi dari industri.
 Pemeriksaan
1. Cari luka masuk dan luka kelur
2. dapat mengalami thermal burn sekunder akibat terbakarnya pakaian.
3. periksa sirkulasi ekstremitas dan status neurovascular.
 Manajemen saat di ED:
1. EKG 12 lead, monitoring jantung terhadap aritmia.
2. cek urea/elektrolit/kreatinin, kreatinin kinase, LDH
3. X ray pada suspek dislokasi sendi dari kontraksi katatonik otot sekunder
terhadap listrik tegangan tinggi.
4. terapi luka bakar dermal
 Penempatan : MRs pada bagian General medicine untuk monitoring jantung
jika terjadi disritmia atau kollaps kardiovaskular.

Infeksi Tangan
Paronychia
 Abses nail fold
 Pembengkakan jaringan subungual dan kemerahan dengan atau tanpa frank
pus.
 Screening untuk DM
 Terapi :
1. Awal : antibiotik oral, cth cloxacilin (versus S. aureus) dan rendam air
hangat setiap hari.
2. Lanjut : antibiotik oral dan I&D abses dibawah blok digital.
 Metode drainase (lihat gambar 6 dan 7)
1. Iris mess/blade ke dalam nail sulcus di dekat titik dengan nyeri tekan yang
paling maksimal.
2. Hilangkan sebuah potongan longitudinal kuku jika terdapat abses
subungual.
 Penempatan : rujuk ke Hande sugery untuk follow up pada hari kerja
berikutnya untuk dibalut.

Gambar 6 : Drainage paronychia


(a). lipatan eponychial dielevasi dari kuku dengan simple paronychium, (b). kuku
lateral dihilangkan jika terdapat pus dibawahnya. Insisi eponychial yang kecil
mungkin diperlukan, dan (c). kuku bagian proksimal dihilangkan jika pus terdapat
dibawahnya. Dua insisi akan diperlukan untuk menghilangkannya.

Gambar 7 : Terapi Abses Subungual Proksimal


(a). ekspos tepi kuku bagian proksimal, (b). elevasi dan insisi 1/3 bagian proksimal
nail plate dan bersihkan nail bed. (c) tinggalkan 2/3 bagian distalnya untuk berfungsi
sebagai pembalut fisiologisnya. Perawatan harus dilakukan agar jangan sampai
merusak matriks kuku. Dan (d) gunakan sebuah bismuth impregnated gauze sebagai
sumbu selama 48 jam.

Felon
 Infeksi distal pulp space dari sebuah jari.
 Pembengkakan, nyeri dan kemerahan dari ujung jari
 X ray : singkirkan FB dan keterlibatan tulang
 Terapi : insisi dan drainase dibawah block digital
 Metode drainase
1. Insisi high lateral (hindari neurovascular bundle) dimulai 5mm distal dari
lipatan kulit DIPJ dan teruskan sampai bagian akhir nail plate.
2. insisi palmar longitudinal : pilihan insisi tergantung penemuan titik nyeri
tekan yang paling maksimal.
3. Septa fibrous pada finger pad harus diinsisi secara tajam untuk
menghasilkan drainase yang adekuat dari space yang tertutup.
 Antibiotik : Cloxacilin (versus S.aureus)
 Penempatan
1. kontrol ke Hand surgery untuk follow up setelah I&D.
2. MRS pada Hand suregery untuk amanajemen adanya komplikasi seperti
osteitis atau osteomielitis dari phalanx distal, piogenik arthritis DIPJ,
pyogenic Flexor tenosynovitis.

Suppurative flexor tenosynovitis


 Infeksi pada fleksor tendon sheath yang biasanya terjadi setelah penetrating
injury.
 Manifestasi klinis : Kanavel’s 4 cardinal sign
1. Pembengkakan yang seragam pada jari
2. resting position jari yang semifleksi
3. Nyeri tekan pada semua bagian sheath
4. nyeri pada seluruh sheath dengan ekstensi pasif dari jari
 pengenalan dini serta terapi penting untuk menghindari nekrosis tendon dan
penyebaran ke proksimal.
 X ray jari untuk meneksklusi benda asing.
 Penempatan : MRS pada bagian Hand surgery untuk antibiotik IV dan surgical
drainase.
99. Trauma, Kepala

Caveats
 Cedera kepala merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas setelah
trauma.
 Walaupun biasanya tidak ada terapi spesifik untuk mengatasi primary brain
injury, beberapa secondary brain injury dapat dicegah atau diterapi.
Catatan : Primary brain injury merupakan kerusakan yang terjadi secara
langsung oleh trauma/gerakan mekanikal. Secondary brain injury terjadi setelah
initial trauma.
 Hipoksemia dan hipotensi merupakan penyebab sistemik yang paling sering
menyebabakan secondary brain injury.
 Jangan mengasumsikan AMS pada px trauma kepala terjadi karena intoksikasi
alcohol. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh hipoglikemi, hiperkarbi,
hipotensi atau concomitant dengan intoksikasi obat.
 Fraktur tulang tengkorak meningkatkan kecenderungan adanya underlying
cedera otak (tabel 1).
 Lucid interval harus menjadi penanda untuk menyingkirkan adanya hematoma
ekstradural yang akut.
 Semua px dengan trauma mayor harus dianggap mengalami cedera kepala atau
fraktur cervical spine sampai terbukti tidak.
 Seorang pemeriksa tidak dapat mengandalkan hasil pemeriksaan neurology
sebelum perfusi dan oksigenasi yang adekuat telah diberikan.
 Observasi px cedera kepala meliputi pemeriksaan neurology yang berulang.
 Jangan menganggap hipotensi yang terjadi pada px trauma timbul hanya
akibat cedera kepala. Sumber perdarahan lain tetap harus dicari.
 Hipertensi dan bradikardi (Cushing reflex) menunjukkan adanya peningkatan
tekanan intracranial.
 Dilatasi pupil unilateral atau respon cahaya yang lemah mengindikasikan
adanya massa yang berkembang pada sisi yang sama dengan pupil yang
berdilatasi. Tanda ini terjadi pada tahap akhir keadaan peningkatan
intracranial.

Tabel 1 : Risiko Hematoma Intrakranial setelah cedera kepala


Risiko Hematoma Intrakranial
Orientasi cukup tidak ada Skull fracture 1 dari 6000 kasus
Disorientasi tidak ada Skull fracture 1 dari 120 kasus
Orientasi cukup Skull fracture 1 dari 30 kasus
Disorientasi Skull fracture 1 dari 4 kasus
 Deficit motorik fokal baru merupakan tanda yang penting yang menunjukkan
bahwa px membutuhkan perawatan yang agresif dan immediate.
 Jangan pernah memberikan sedasi pada pasien cedera kepala yang gelisah
sebelum mengetahui hasil CT scan karena hal tersebut dapat meningkatkan
perkembangan hematoma intrakrnial.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum:


 Tidak semua px dengan cedera kepala ringan atau laserasi kepala
membutuhkan X ray kepala. Lihat criteria yang akan disebutkan dibawah.
 Harus ada pengawas di rumah untuk mengamati px bila KRS dilakukan.
Manajemen
Skull X ray (SXR)
 Indikasi: controversial. SXR biasanya tidak diindikasikan untuk cedera kepal
aringan yang akan di MRSkan untuk observasi dengan pengecualian pada
keadaan berikut:
1. Large boggy scalp hematoma yang menghalangi palpasi akurat terhadap
adanya depressed skull fracture (dimana CT scan kepala juga harus
dilakukan).
2. Suspek benda asing radioopaque pada laserasi kulit kepala (cth : karena
pecahan kaca).
50% abnormalitas intrakranial yang terdapat pada kasus trauma kepala, tidak
berkaitan dengan adanya fraktur tulang tengkorak. Sehingga dengan adanya
fraktur tulang tengkorak akan meningkatkan kecurigaan adanya lesi
intracranial, namun dengan tidak adanya fraktur tengkorak tidak akan
menghilangkan pentingnya CT scan untuk dilakukan.
Catatan : simple scalp laceration bukan merupakan criteria dilakukannya
SXR. Luka harus dipalpasi terlebih dahulu sebelum T&S dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan fraktur.
 Apa yang harus dicari pada sebuah SXR
1. fraktur tulang tengkorak linear atau depressed
2. posisi midline dari kalsified glandula pineal. Pergeseran > 3mm pada satu
sisi menandakan adanya hematoma intracranial yang besar.
3. Air-fluid level pada sinus (termasuk sinus sphenoidal)
Catatan : fluid level pada sinus sphenoidal terdeteksi pada SXR lateral yang
diambil dengan horizontal beam menunjukkan basal skull fracture. Base of
skull fracture bukan indikasi urgent untuk dilakukannya CT scan kepala jika
GCS 15, namun merupakan indikasi untuk MRS. Penelitian terbaru
menunjukkan tidak adanya bukti penggunaan profilaksis antibiotik pada basal
skull fracture. Hal ini karena occult CSF leakage dapat berlanjut berbulan-
bulan dan bertahun-tahun serta delayed meningitis dapat muncul kadang-
kadang pada beberapa tahun setelah cedera. Antibiotik diberikan apabila
terdapat posttraumatic meningitis, biasanya karena infeksi Streptococcus
pneumoniae, yang umumnya sensitive terhadap benzyl penicillin.
4. aerocele
5. fraktur facial
6. Benda asing
7. diastasis (pelebaran) sutura.

CT scan
 Indikasi emergent CT scan setelah cedera kepala
1. GCS ≤ 13 tanpa adanya intoksikasi alcohol atau fraktur tulang tengkorak.
2. GCS ≤ 14 dengan adanya fraktur tulang tengkorak
3. Pupil yang berdilatasi unilateral pada keadaan AMS
4. depressed skull fracture
5. Defisit neurologik fokal
6. pasien cedera kepala yang membutuhkan ventilasi
7. pasien cedera kepala yang membutuhkan anestesi general untuk operasi
lainnya.
Catatan: CT scan emergent masih controversial. Menurut ATLS, semua px
bahkan dengan cedera kepala ringan membutuhkan CT scan kepala, namun
akan sangat membutuhkan biaya yang besar.

Resusitasi
Prioritas resusitasi menurut ATLS, a.l :
 kontrol jalan nafas dan cervical spine
 pernafasan
Catatan : penyebab respiratory impairment meliputi : (1) penyebab sentral
seperti obat-obatan dan brain stem injury, (2) penyebab perifer seperti
obstruksi jalan nafas, aspirasi darah/vomit, trauma dada, adult respiratory
distress syndrome dan edema pulmonary neurogenik.
 Sirkulasi
1. Pemeriksaan darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, GXM
± kadar serum etanol.
Catatan : kadar alcohol darah < 2g/l menunjukkan bahwa AMS yang
terjadi adalah akibat cedera kepala bukan karena intoksikasi alcohol.
Namun tingginya kadar alcohol tidak dapat dikatakan sebagai penyebab
terjadinya keadaan AMS pada px cedera kepala tersebut.
2. lakukan pemeriksaan GDA pada semua px cedera kepala dengan
penurunan kesadaran untuk mengeksklusi adanya hipoglikemi.
 Pemeriksaan neurologik
 Indikasi Intubasi pada cedera kepala
1. Koma (GCS <8)
2. deteriorasi GCS yang cepat ≥ 2.
3. GCS ≤ 14 dengan adanya dilatasi pupil unilateral.
Catatan : dilatasi atau fixed pupil pada px trauma biasanya disebabkan oleh
hematoma atau kerusakan otak, namun juga disebabkan oleh expanding
trauma mata, cedera langsung pada nervus kranialis ketiga, bermacam-macam
obat, aneurisme intracranial, hipoksia, hipotensi, kejang dan expanding
aneurisme intrakrnial.
4. distress respirasi secara klinis, RR > 30x/menit atau < 10x/menit,
abnormalitas pola pernafasan atau hipokemia yan gtidak terkoreksi dengan
O2 100% yang diberikan melalui non-rebreather mask.
5. concomitant maxillofacial injuries
6. konvulsi berulang
7. concurrent edema pulmonal berat, cedera kardiak atau abdominal bagian
atas.
Catatan : hiperventilasi harus digunakan untuk mencapai PCO2 antara 30-35
mmHg jika ada indikasi peningkatan tekanan intrakrnial. Dalam keadaan
bisaa, PCO2 harus berada pada kisaran 34-40 mmHg. Cek ulang BGA 10-15
menit setelah hiperventilasi.
 Indikasi penggunaan Mannitol pada cedera kepala :
1. pasien koma yang awalnya memiliki pupil yang normal dan reaktif namun
kemudian berkembang menjadi dilatasi disertai atau tanpa adanya
hemiparesis.
2. Dilatasi pupil bilateral dan nonreaktif tetapi tidak hipotensive.
Dosis Mannitol : 1g/kgBB, cth [5x BB (kg)] ml larutan mannitol 20%
dalam infus cepat selama 5 menit.
Perhatian sebelum menggunakan mannitol :
a. Pasang kateter urinary
b. Pastikan px tidak hipotensi
c. Pastikan px tidak menderita gagal ginjal kronis
Catatan : hiperventilasi dan IV mannitol akan membutuhkan waktu
selama 2jam, dan tidak boleh ada waktu yang terbuang dalam
pembuatan keputusan terapi definitive.

Kriteria Merujuk px ke Bedah Saraf


Dapat berbeda menurut institusi, a.l:
 Cedera kepala dengan deteriorasi GCS
 Depressed skull fracture
 Pneumokranium
 Penetrating skull injuries
 Penemuan yang positif pada CT scan

Kriteria MRS pada cedera kepala ringan


 Hilang kesadaran > 10 menit
 Amnesia
 Kejang post traumatic
 Tanda klinis fracture basis cranii
 Sakit kepala moderate atau severe, atau vomiting
 Intoksikasi alcohol
 Penetrating injury
 Fraktur tulang tengkorak
 Associated injuries yang signifikan
 Tidak adanya pengawas yang dapat diandalkan dirumah

Instruksi pada cedera Kepala


Sebelum KRS, berikan KIE bahwa px harus segera kembali ke RS bila mengalami :
 Sakit kepala hebat
 Muntah yang sering
 Keluarnya cairan dari hidung atau telinga
 Kebingungan yang tidak appropriate
 kejang
100. Trauma, Tungkai bawah

Caveats
 Walaupun cedera tulang terlihat serius, kasus tersebut sering tidak mengancam
nyawa dan termasuk dalam secondary survey pada pasien trauma.
 Semua dislokasi biasanya bukan merupakan kasus serius dan hanya
membutuhkan analgesic yang adekuat, kecuali pada 3 kasus sbb, yang
membutuhkan reduksi secepatnya:
1. Dislokasi lutut (karena popliteal artery compromise)
2. dislokasi pergelangan kaki (karena nekrosis kulit)
3. Dislokasi panggul (karena avaskular nekrosis panggul)
 Untuk semua dislokasi sendi yang membutuhkan manipulasi dan reduksi pada
ED, jangan berikan opioids IM, namun berikan secara IV. Karena opioid yang
diberikan lewat IM absorbsinya baik. Sehingga ketika dibutuhkan conscious
sedation, seseorang harus memastikan dosis efek penghilang nyerinya. Hal ini
akan menyebabkan supresi pernafasan dan hipotensi ketika dosis total opioid
IM diabsorbsi ke dalam sirkulasi.

Tips khusus Bagi Dokter Umum :


 X ray pergelangan kaki tidak selalu dibutuhkan pada cedera pergelangan
kaki. Lihat bagian : Indication for Ordering X ray in Ankle Injury.

Dislokasi Panggul (pangkal Paha)


 Mekanisme cedera
1. Dashboard injury
Catatan : hal ini terjadi karena simultannya fraktur patella, fraktur femoral
shaft dan dislokasi panggul posterior.
2. jatuh bertumpu pada kaki menyebabkan dislokasi panggul posterior jika
kaki mengalami fleksi dan adduksi pada pangkal paha, dislokasi anterior
terjadi jika pangkal paha terlalu abduksi dan dislokasi sentral terjadi jika
femur berada pada posisi antara abduksi atau adduksi.
3. jatuh dengan berat badan bertumpu saat kaki sedang melebar/terbuka, lutut
lurus dan punggung membungkuk ke depan menyebabkan anterior hip
dislocation.
4. melakukan ‘split’ menyebabkan dislokasi panggul anterior.
5. jatuh pada satu sisi menyebabkan dislokasi panggul sentral.
 Manifestasi klinis
1. dislokasi panggul posterior : panggul fleksi ringan, adduksi dan rotasi ke
dalam, kaki terlihat lebih pendek, femoral head terpalpasi pada bokong.
2. Dislokasi panggul anterior : panggul fleksi ringan, abduksi dan rotasi ke
luar, tonjolan dislocated head di bagian anterior terlihat dari arah samping.
3. Dislokasi panggul sentral : kaki dalam posisi yang normal, nyeri tekan
pada trochanter dan pangkal paha, serta masih terdapat gerakan yang
kecil/terbatas.
 X Ray : foto AP yang menunjukkan pelvis, serta lateral view yang
menunjukkan pangkal paha yang terlibat.
Catatan: sangat penting untuk diingat bahwa pada semua nyeri pangkal paha,
harus difoto AP pelvis, serta lateral view dari pangkal paha yang terlibat untuk
alasan sbb:
1. fraktur ramus pubis dapat muncul dengan nyeri pada panggul. Hal ini bisa
terlewatkan apabila hanya melakukan foto AP dari pangkal paha yang
terkena, bukan AP pelvis.
2. AP pelvis memberikan kesempatan untuk membandingkan shenton’s line
pada kedua sisi serta membantu mencari abnormalitas yang lain.
 Komplikasi
1. Foot drop dari sciatic nerve yang terlibat dalam dislokasi pangkal paha
posterior.
2. Paralisis nervus femoralis dan kompresi arteri femoralis pada dislokasi
pangkal paha anterior.
 Terapi/penempatan
1. analgesic dengan narkotik melalui IV dan bukan IM sebelum X ray.
2. Reduksi secepatnya dibawah sedasi yang sadar pada ED.
3. Cek X ray setelah reduksi dan MRS untuk pemasangan traksi
4. jika tidak dapat direduksi, MRS untuk reduksi dibawah general anestesi.

Fraktur Femoral Neck dan Fraktur Trochanter


 Mekanisme trauma : biasanya pada lansia yang jatuh
 Manifetasi klinis :
1. tidak mampu menahan berat badan setelah jatuh, disertai atau tanpa nyeri
pada pangkal paha.
2. rotasi eksternal dan pemendekan tungkai bawah
3. nyeri tekan pada daerah fraktur
4. nyeri pada saat mencoba melakukan gerakan
5. bruising merupakan tanda yang muncul terlambat pada fraktur
ekstrakapsular dan akan absent pada saat terjadi cedera akut.
 X ray
1. foto pelvis AP dan lateral view dari pangkal paha yang terlibat
2. ingat untuk melakukan X ray pada pasien lansia sebelum MRS
 Komplikasi : biasanya tidak ada
 Terapi : analgesi sebelum X ray. Pasang internal fixation.

Fraktur Femoral Shaft


 Mekanisme trauma : biasanya karena kekerasan kecuali pada fraktur
patologik. Biasanya terdapat pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian
atau crushing injuries.
 Manifestasi klinis : weight bearing tidaklah mungkin.
1. mobilitas yang abnormal pada tungkai setinggi fraktur.
2. rotasi kaki eksternal, abduksi dan pemendekan pada pangkal paha.
 X ray : AP dan lateral view dari femoral shaft (meliputi sendi panggul dan
lutut).
 Terapi :
1. IV drip dengan GXM karena walaupun hanya terjadi simple fracture,
terjadi kehilangan darah sebesar ½ - 1 liter ke dalam jaringan dengan
sering disertai syok.
2. berikan analgesic, cth femoral nerve block, narkotik IM atau IV.
3. Aplikasikan Donway’s air Splint
4. pasang traksi atau intramedullary nailing.
Fraktur Patellar
 Mekanisme
1. Kekerasan langsung cth akibat kecelakaan lalu lintas dengan dashboard
injury, jatuh pada permukaan yang keras, serta jatuhnya benda yang berat
diatas lutut.
2. dengan kekerasan tidak langsung sebagai akibat kontraksi otot yang
mendadak.
 Manifestasi klinis
1. ketidakmampuan untuk mengekstensikan lutut.
2. bruising dan abrasi di atas lutut
3. catat lokasi nyeri tekan
4. ada celah yang terpalpasi diatas atau dibawah patella.
5. displacement yang jelas dari bagian proksimal patella
 X ray : AP dan lateral view lutut
 Terapi :
1. berikan analgesic sebelum X ray
2. jika tidak terdapat pergeseran, aplikasikan cylinder backslab dan KRS
dengan diberikan analgesic, serta crutches kemudian dirujuk pada klinik
bedah.
3. jika terdapat pergeseran, aplikasikan cylinder backslab dan MRS untuk
fiksasi

Dislokasi Patellar
 Mekanisme
1. riwayat khas : saat sedang berlari, lutut terbentur dan px jatuh. Px sering
memperlihatkan tonjolan di bagian medial yang prominent dari condilus
medialis femur (walaupun patella biasanya mengalami dislokasi ke
lateral).
2. dislokasi patella dapat berkurang secara spontan
 Manifestasi Klinis
1. effuse mild knee
2. nyeri tekan pada bagian medial lutut
 X ray : AP, lateral dan skyline view. Skyline view digunakan untuk
menyingkirkan fraktur lain pada kondilus lateral dari femur.
 Terapi :
1. berikan analgesic dan reduksi dislokasi
2. Aplikasikan cylinder backslab selama 6 minggu pada dislokasi yang
pertama untuk mencegah dislokasi yang rekuren.
3. jika terjadi dislokasi rekuren, aplikasikan pressure bandage selama 1-2
minggu.

Dislokasi Lutut
Merupakan Keadaan yang Emergensi!
 Mekanisme trauma : biasanya karena kecelakaan lalu lintas, terutama dash
board injury
 Manifestasi klinis : pembengkakan, deformitas yang besar, sering dengan
marked posterior sag.
 X ray : AP dan lateral view dari lutut
 Komplikasi :
1. Cedera arteri popliteal : cari keadaan pucat, dingin, pulseless atau parestesi
pada tungkai bawah.
2. Palsy nervus peronealis
 Terapi
1. berikan analgesic IV
2. Reduksi dislokasi secepatnya, terutama jika terdapat keterlambatan dalam
X ray.
3. Aplikasikan cylinder backslab.
4. hubungi bedah TKV dan ortopedi serta atur angiogram.
 Penempatan
1. MRSkan semua pasien

Haemarthrosis Lutut/effusi
 Mekanisme trauma : biasanya karena trauma pada daerah lutut.
Haemarthrosis pada lutut yang terjadi cepat disebabkan oleh :
1. robeknya ligament cruciatum
2. Robeknya ligamentum collateral
3. Fraktur osteokondral
4. peripheral meniscal tear
Effusi yang terlambat biasanya terjadi akibat meniscal tear
 Manifestasi klinis: pembengkakan yang besar dari haemarthrosis atau effuse.
 X ray :
1. AP dan Lateral View dari lutut. Catat bahwa fat fluid level pada bursa
suprapatellar mengindikasikan adanya fraktur intraartikular walaupun
fraktur tidak terlihat. (gambar 2).
2. skyline view digunakan pada subtle fracture dari condilus femoralis
(terutama pada dislokasi lateral patella) dan patella.
 Komplikasi : hati-hati bahwa px mungkin tidak mengalami dislokasi lutut
atau concomitant fraktur lutut.
 Terapi :
1. jika haemarthrosis lutut tidak tegang, px dapat KRS dengan istirahat, es,
kompresi (aplikasikan crepe bandage) dan terapi elevasi (RICE).
2. berikan analgesic
 Penempatan
1. rujuk ke klinik ortopedi dalam 24-48 jam
2. jika terdapat tense haemarthrosis, px harus MRS untuk aspirasi.

Fraktur Tibial Plateau


 mekanisme trauma : biasanya akibat severe valgus strees
 Manifestasi klinis
1. haemarthrosis
2. Bruising di lateral
3. Abrasi
4. Deformitas valgus pada lutut
 X ray : AP dan lateral view dari lutut
 Komplikasi : dx subtle tibial tabel fracture mungkin terlewatkan. Jika berat
badan px terus menerus bertumpu pada daerah tsb, maka fraktur akan
memburuk.
 Terapi : berikan analgesic dan aplikasikan cylinder backslab.
 Penempatan : fiksasi atau traksi tergantung beratnya fraktur

Fraktur Tibia/Fibula
 Mekanisme trauma :
1. tekanan torsional (cedera olahraga)
2. Kekerasan yang ditransmisikan melalui kaki (cth : jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas)
3. Hentakan langsung (cth kecelakaan lalu lintas, tertimpa benda yang berat)
Isolated fracture tibia atau fibula dapat terjadi akibat kekerasan secara
langsung walaupun relative jarang. Kekerasan tidak langsung menyebabkan
fraktur pada tibia sekaligus fraktur fibula.
 Manifestasi klinis :
1. nyeri
2. pembengkakan
3. Deformitas
4. Nyeri tekan
5. Fraktur krepitus
6. sering berupa fraktur terbuka karena 1/3 tibia adalah subkutaneus
 X ray : AP dan Lateral view dari tibia/fibula (harus meliputi lutut dan
pergelangan kaki)
 Komplikasi : compartment syndrome pada fraktur tertutup dan infeksi pada
fraktur terbuka.
 Terapi:
1. fraktur tertutup undisplaced dari tibia dan fibula
a. berikan analgesic IM/IV sebelum X ray
b. aplikasikan backslab diatas lutut
c. ulangi X ray untuk mengecek final position dari fraktur.
d. MRS untuk observasi
2. Fraktur tertutup displaced dari tibia dan fibula
a. Berikan narkotik IV sebelum X ray
b. Dibawah conscious sedation dengan IV Midazolam dan narkotik,
coba untuk mereduksi fraktur.
c. Aplikasikan backslab diatas lutut
d. Ulangi X ray sebelum MRS
3. Fraktur terbuka tibia dan fibula
a. berikan analgesic IM/IV
b. lakukan swab c/s dari luka
c. tutup luka dengan dibalut
d. cek status immunisasi tetanus px.
e. Berikan antibiotik (Cefazolin)
f. Aplikasikan long leg backslab atau temporary splint
g. Rencanakan debridemen luka
4. Isolated Closed Fracture of Fibula
a. Berikan analgesic IM
b. Singkirkan fraktur tibia dengan cedera pada sendi pergelangan kaki
c. Crepe bandage
d. KRS dengan diberikan analgesic
e. Rujuk ke klinik ortopedi.
Catatan : pasien dapat diijinkan untuk menahan berat badan.
Cedera Ankle (pergelangan kaki)
 Mekanisme trauma : ketika pergelangan kaki mengalami deformitas, harus
curigai adanya dislokasi ankle. Ini merupakan keadaan emergency!
Catatan : Dislokasi ankle harus direduksi secepatnya untuk mencegahg nekrosis
kulit.
 Manifestasi klinis : pada suspek cedera ankle, lakukan palpasi 4 bagian
tulang, sbb:
1. Malleolus medialis
2. Malleolus lateralis
3. Seluruh bagian panjang fibula
4. Basis metatarsal ke-5
 X ray : tidak harus dilakukan pada kasus sprained ankle
Indikasi X ray pada cedera ankle :
1. Nyeri tekan pada tepi posterior (distal 6cm) atau ujung malleolus lateralis.
2. Nyeri tekan pada tepi posterior (distal 6cm) atau ujung malleolus medialis.
3. tidak mampu untuk menahan berat badan
4. pada kasus dimana terdapat pembengkakan yang nyata sehingga tidak
memungkinkan palpasi yang akurat.
5. pada kasus dimana terdapat instabilitas klinis.
6. pada px usia > 50 tahun dimana menurut penelitian klinis mengindikasikan
kemungkinan insiden fraktur sekitar 30%.
7. untuk alasan social, cth : pada seorang atlit.
Catatan: Kriteria 1 sampai 3 dikenal sebagai Ottawa Ankle Rules.
X ray yang disarankan:
1. AP dan lateral view dari ankle untuk suspek fraktur ankle.
2. Seluruh fibula jika terdapat nyeri tekan pada fibula yang dapat
menyingkirkan fraktur Maissoneuve.
3. Posisi PA dan lateral dari kaki jika terdapat nyeri tekan pada basis
metatarsal ke-5.
 Komplikasi : Nekrosis kulit pada delayed reduction dislokasi ankle.
 Terapi :
1. sprained ankle :
a. berikan analgesic pada ED
b. KRS dengan terapi RICE dan analgesic
c. Rujuk ke fisioterapi untuk strapping ankle pada severe sprain.
2. Fraktur ankle :
a. Aplikasikan backslab dibawah lutut
b. MRS untuk fiksasi internal kecuali pada isolated stabel fracture
of lateral malleoulus dibawah ankle mortise yang dapat diterapi
secara konservatif.
3. Dislokasi ankle
a. Pasang heparin plugdan berikan narkotik IV sebelum
dilakukannya X ray
Catatan : dislokasi ankle harus direduksi secepatnya dibawah
conscious sedation dengan midazolam dan narkotik, atau inhalasi
Entonox (N2O/O2) untuk mencegah nekrosis kulit. Sehingga, jika
terdapat katerlambatan X ray > 10-15 menit atau jika terdapat tanda
circulatory compromise, ankle tersebut harus direlokasi bahkan
sebelum X ray dilakukan.
b. Aplikasikan short leg backslab setelah reduksi
c. Lakukan post reduksi X ray
d. MRS untuk fiksasi internal.

Fraktur Calcaneum
 Mekanisme trauma : jatuh dari ketinggian pada tumit
Catatan : ingat untuk menyingkirkan fraktur calcaneal bilateral dan wedge
fracture of spine.
 Manifestasi klinis :
1. tumit ketika dilihat dari arah belakang akan nampak melebar, memendek,
mendatar atau miring ke lateral membentuk valgus.
2. Pembengkakan yang menegang pada tumit
3. Nyeri tekan local yang jelas
4. Jika px muncul kemudian, mungkin akan timbul bruising yang dapat
menyebar ke sisi medial telapak kaki dan proksimal dari betis.
 X ray : AP, lateral, dan axial view dari calcaneum
 Terapi :
1. jika sendi subtalar tidak terlibat
a. aplikasikan firm bandaging over wool
b. KRS dengan crutches (tongkat penyangga), analgesic, dan
sarankan untuk melakukan elevasi tungkai di rumah.
2. Jika fraktur kalkaneum bilateral ada, sarankan untuk istirahat.
3. Jika kalkaneum mengalami pergeseran atau ‘crushed’:
a. aplikasikan backslab di bawah lutut
b. MRS

FOOT INJURY
Catatan : yang paling sering terjadi a.l :
 Fraktur kalkaneum
 Dislokasi Tarso-metatarsal
 Fraktur metatarsal
 Fraktur phalangeal/dislokasi
Dislokasi Tarso-metatarsal (Lisfranc’s)
 Mekanisme trauma:
1. jatuh pada plantar flexed foot
2. Hantaman pada forefoot seperti pada kecelakaan lalu lintas
3. hantaman pada tumit ketika berada pada posisi berlutut/bersujud
4. run over kerb side accident
5. Inverse, eversi atau abduksi dari forefoot yang dipaksakan.
 Manifestasi klinis : bengkak dan ‘penyimpangan’ dari kaki
 X ray : AP dan Oblique view dari kaki (gambar 3)
Catatan : Lisfranc’s dislocation tidak selalu menyediakan bukti yang jelas pada
radiografi, dan tetap menjadi fraktur kaki yang paling sering mengalami
missdiagnosa.
 Komplikasi : arteri dorsalis pedis atau anastomosis medial plantar dapat
berada dalam ancaman.
 Terapi :
1. berikan analgesic sebelum X ray
2. Aplikasikan backslab
3. MRS untuk open reduction and Internal Fixation (ORIF)
Fracture Metatarsal
 Mekanisme : sering disebabkan karena Crushing injury
 X ray : AP dan Oblique view dari kaki
 Prinsip manajemen :
1. Jika fraktur undisplaced tanpa kerusakan jaringan lunak
a. bereikan analgesic sebelum X ray
b. Terapi simptomatik dengan crepe bandage atau short backslab dari
bagian distal sampai atas jari kaki
c. KRS dengan non-weight bearing crutches (NWB) dan analgesic.
d. Rujuk ke klinik ortophedi
2. Jika fraktur multiple dan undisplaced, terapi konservatif seperti diats.
3. Jika fraktur multiple dan displaced :
a. MRS untuk operasi jika fraktur terbuka
b. Aplikasikan backslab dan KRS dengan analgesic dan crutches
NWB kemudian rujuk segera ke klinik ortopedik untuk review
ORIF, jika fraktur tertutup.

Phalangeal Fracture/dislokasi
 X ray : AP dan oblique view dari kaki
 Prinsip manajemen :
1. tangani cedera jaringan lunak serta nail bed injury terlebih dahulu.
2. Reduksi dislokasi menggunakan digital block atau Entonox.
3. Immobilisasi Fraktur dan dislokasi menggunakan adhesive strapping pada
jari kaki yang berdekatan.
4. KRS dengan analgesic dan rujuk ke klinik ortopedik.
5. Untuk dislokasi jari kaki multiple, MRS untuk reduksi.
102. Trauma, Pelvik

Caveats
 Kesulitan yang paling banyak terjadi dalam manajemen trauma
pelvic meliputi:
1. Kegagalan mempertimbangakan fraktur pelvic pada px dengan trauma
multisistem.
2. kegagalan untuk memberikan resusitasi yang adekuat
3. kegagalan untuk mengenali injury lain yang terkait.
 Terdapat kehilangan darah yang sangat banyak pada fraktur pelvic terbuka
(berkebalikan dengan yang tertutup) karena efek tamponade peritoneum
hilang.
 Wanita tua sering menderita fraktur pelvic dengan trauma jatuh yang minimal
karena adanya osteoporosis.
 Mekanisme trauma:
1. Simple falls, avulsi dari attachment muscular.
2. hantaman/pukulan secara langsung
3. jatuh dari ketinggian, kecelakaan sepeda motor, tabrakan mobil
berkecepatan tinggi
 Trauma lain yang terkait : mortalitas dan morbiditas yang terjadi pada fraktur
pelvis kebanyakan terkait dengan trauma lain yang mempengaruhi pembuluh
darah, nervus, genitourinary, dan traktus gastrointestinal bagian distal.
 Penyebab kematian: perdarahan yang tidak terkontrol
Tips Khusus Bagi Dokter Umum:
 Pertimbangkan dx fraktur ramus pubis pada lansia dengan nyeri pangkal
paha/panggul setelah terjatuh.

Manajemen
 ABC merupakan manajemen yang utama
 Koreksi hipovolemia : paling tidak 2 jalur IV ukuran besar terpasang pada px.
 Kirim darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, dan GXM
4-6 unit rapid matched blood.
 Lakukan pemeriksaan Fisik :
1. Pembengkakan area suprapubik atau groin area.
2. ekimosis pada genitalia eksterna, paha bagian medial dan area flank.
3. darah dari urethra.
4. abrasi, kontusio dari tulang yang menonjol
5. step-off, instabilitas
6. krepitus pada palpasi bimanual iliac wing
catatan : (1) jangan mencoba untuk melakukan spring/menutup pelvis untuk
medapatkan stabilitas karena hal ini tidak reliable, tidak diperlukan dan dapat
menyebabkan perdarahan tambahan. (2) laserasi perineum, groin atau buttock setelah
trauma mengindikasikan adanya fraktur pelvic terbuka kecuali terbukti bukan. (3)
pemeriksaan neurology harus dilakukan dimana injury pleksus sakralis dapat terjadi.
 Injury lain yang terkait :
1. inspeksi perineum untuk mencari luka terbuka
2. lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan posisi prostate, merasakan
spikula tulang dan mencari adanya darah.
3. lakukan pemeriksaan vagina untuk mencari luka terbuka.
4. jika ada bukti injury uretra, misalnya darah pada meatus, memar pada
skrotum atau prostate letak tinggi, hati-hati pada fraktur pelvic yang dapat
tidak stabil.
 Jangan masukkan kateter. Konsulkan pada urologist untuk kemungkinan
pemasangan kateter suprapubik.
 Lakukan X ray pelvic untuk mencari kerusakan dan asimetri dari simphisis
pubis.
 Berikan analgesic yang adekuat.
 Mulai pemberian antibiotik pada kasus fraktur terbuka.
 Gunakan Sandbags untuk mensupport fraktur pelvic yang tidak stabil.
 Rujuk ke orthopaedics untuk mengurangi dan meng-imobilisasi fraktur dengan
C-clamp external fixator.
 Jika kontrol perdarahan gagal, pertimbangkan angiografi dan embolisasi.
104. Trauma, Ekstremitas Atas

Caveats
 Walaupun cedera tulang terlihat serius, kasus tersebut sering tidak mengancam
nyawa dan termasuk dalam secondary survey pada pasien trauma.
 Untuk semua dislokasi sendi yang membutuhkan manipulasi dan reduksi pada
ED, jangan berikan opioids IM, namun berikan secara IV. Karena opioid yang
diberikan lewat IM absorbsinya baik. Sehingga ketika dibutuhkan conscious
sedation, seseorang harus memastikan dosis efek penghilang nyerinya. Hal ini
akan menyebabkan supresi pernafasan dan hipotensi ketika dosis total opioid
IM diabsorbsi ke dalam sirkulasi.
 Untuk setiap cedera ortopedi, selalu ingat untuk mencatat status neurovascular
sebelum dan sesudah manipulasi/reduksi atau aplikasi gips.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


 Ingat untuk memberikan analgesic dan splint fraktur atau dislokasi
sebelum merujuk px ke ED. Ingat bahwa splingting merupakan salah satu
cara untuk mengurangi nyeri.
 Jangan berikan opioid IM jika anda tidak yakin apakah px membutuhkan
M & R untuk fraktur atau dislokasinya.

Fraktur Klavikular
 Mekanisme trauma
1. Sebagian besar terjadi karena jatuh dengan tangan yang terulur.
2. Dapat juga terjadi karena hantaman langsung pada bahu, cth: terjatuh pada
posisi samping.
 Manifestasi klinis :
1. Nyeri Tekan pada lokasi fraktur
2. Deformitas dengan pembengkakan local.
 X Ray: biasanya Foto AP bahu cukup adekuat.
 Komplikasi : jarang, fragment fraktur dapat membahayakan struktur
neurovascular subklavial.
 Terapi: Broad arm sling dan kontrol ke klinik ortopedik 5 hari kemudian.

Dislokasi Sternoklavikular
 Mekanisme trauma : biasanya akibat jatuh atau hantaman pada daerah anterior
bahu:
1. Asimetri dari inner end klavikula
2. Nyeri tekan local
 Manifestasi klinis:
1. Nyeri tekan dan bengkak pada sendi sternoklavikular
2. Nyeri pada saat lengan digerakkan dan pada saat kompresi bahu ke lateral.
3. Dengan cedera berat, klavikula medial bergeser relative terhadap
manubrium.
4. Dispneu, disfagi, atau tersedak (pada px dengan dislokasi posterior karena
kompresi struktur mediastinal).
 X ray : AP dan Oblique view sulit untuk diinterpretasi. Dx biasanya
berdasarkan pemeriksaan klinis. Namun tomogram atau CT mungkin dapat
dilakukan.
 Komplikasi : jarang, dislokasi mungkin dapat membahayakan pembuluh darah
posterior dari klavikula.
 Terapi:
1. Subluksasi minor : Broad arm sling, Analgesic dan kontrol ke klinik
ortopedi setelah 3 hari.
2. Gross Displacement : MRS dibagian Ortopedi untuk eksplorasi / reduksi di
bawah GA.
Catatan : Cedera yang mengancam nyawa, bila mengenai struktur didekatnya
terjadi pada 25% kasus dislokasi posterior.

Cedera Sendi akromioklavikular


 Mekanisme trauma : biasanya karena jatuh dengan menumpu pada bahu
dengan lengan teraduksi atau jatuh pada lengan yang terulur.
 Manifestasi : penonjolan lateral end dari klavikula dan adanya nyeri local.
 X Ray : Foto AP dari sendi AC (bagian/sisi inferior dari akromion dan
klavikula harus membentuk suatu garis lurus).
Catatan : Weight Bearing view menunjukkan hasil tambahan yang hanya
sedikit, dan hanya akan menyebabkan nyeri serta tidak akan mengubah terapi
yang diberikan.
 Terapi : Broad arm sling dan kontrol ke klinik ortopedi setelah 5 hari.

Fraktur Skapula
 Mekanisme trauma : biasanya karena trauma langsung pada dada
posterolateral.
 Manifestasi klinis : nyeri local dan pembengkakan serta adanya associated
injury.
 X ray : AP bahu, dengan atau tanpa Scapular View.
 Komplikasi : Fraktur scapular biasanya terkait dengan cedera intrathorax yang
signifikan seperti kosta, fraktur vertebral, fraktur klavikular, cedera pembuluh
darah pulmonal dan pleksus brachialis.
 Terapi :
1. Isolated Scapular Fracture : Broad arm sling dan analgesic, kontrol ke
klinik ortopedi setelah 3 hari.
2. Bersamaan dengan cedera intratoraks yang lain: MRS ke bedah umum.

Dislokasi bahu
Secara statistic : 96% dislokasi anterior, 3,4% posterior, 0,1% inferior (luxatio ercto).

Dislokasi Anterior
 Mekanisme trauma : jatuh yang menyebabkan rotasi eksternal bahu.
 Manifestasi :
1. Khas : px biasanya menyangga lengan yang cedera pada bagian siku
dengan menggunakan tangan sebelahnya .
2. lengan dalam posisi abduksi ringan
3. Kontur terlihat ‘squared off’
4. Nyeri yang sangat.
 X ray : AP dan axial atau Y-Scapular view akan membantu membedakan
dislokasi anterior dengan posterior.
Catatan : X ray sangat penting menurut standar medikolegal untuk
menyingkirkan fraktur lain yang terjadi sebelum dilakukannya manipulasi dan
Reduksi ( M & R). ada peningkatan bukti yang menunjukkan bahwa dislokasi
bahu yang rekuren dan atraumatis tidak membutuhkan pre-M&R X ray.
Namun, keadaan ini tidak diterima secara luas dalam kalangan ahli ortopedi.
 Komplikasi :
1. Rekuren
Catatan : Hill-Sachs lesion (fraktur kompresi aspek posterolateral dari humeral
head) dapat terlihat pada px yang sebelumnya menderita dislokasi anterior.
2. Avulsi Tuberositas mayor (banyak terjadi pada px > 45 tahun).
3. Fraktur anterior Plenoid lip
4. Kerusakan arteri aksilaris dan pleksus brakialis.
Catatan : Harus memeriksa :
1. Fungsi Nervus axillaris dengan memeriksa sensasi jarum pada deltoid atau
‘regimental badge’area.
2. Pulsasi pada pergelangan tangan
3. Fungsi Nervus radialis.
 Terapi :
1. Isolated anterior dislocation : M&R (dengan bermacam-macam teknik)
dibawah conscious sedation.
2. Dislokasi anterior dengan fraktur tuberositas humerus mayor atau minor :
M&R dibawah conscious sedation.
3. dislokasi anterior dengan fraktur proksimal shaft humeral : M&R dibawah
GA, pertimbangkan ORIF.
 Manajemen lanjutan : analgesic IV, BUKAN IM (tempatkan IV plug untuk
antisipsi M&R), kemudian X ray yang diikuti M&R dibawah conscious
sedation.
 M&R : merupakan teknik traksi yang disukai untuk digunakan daripada teknik
terdahulu seperti maneuver Hippocratic/Kocher’s.
Traksi harus dilakukan pada area critical care atau intermediate care dimana
px dapat dimonitoring, dan px berada pada kondisi conscious sedation (lihat
bab Conscious sedation).
1. Teknik Cooper-Milch
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan px pada posisi supine
dengan siku fleksi 90o.
b. Luruskan siku dan dengan sangat perlahan pindahkan lengan pada
posisi abduksi penuh yang ditahan pada traksi lurus dimana
seorang asisten mengaplikasikan tekanan yang lembut pada sisi
medial dan inferior dari humeral head.
c. Adduksi lengan secara bertahap.
d. Pasang collar dan cuff, kemudian lakukan X ray post reduksi.
2. Teknik Stimson’s
Metode yang memanfaatkan gaya gravitasi, yang sering dilakukan pada
ED yang sangat sibuk.
a. berikan analgesic IV dimana px berbaring pada posisi pronasi
dengan lengan tergantung di sebelah trolley dengan beban seberat
2,5-5kg terikat pada lengan tersebut.
b. Perlahan setelah 5-30 menit, lakukan relokasi bahu.
c. Pasang collar dan cuff, periksa x ray post reduksi.
3. Teknik Countertraction
Bermanfaat sebagai sebuah maneuver back-up ketika cara-cara diatas
gagal.
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan px berbaring supine dan
tempatkan rolled sheet dibawah aksila dari bahu yang terkena.
b. Abduksi lengan sampai 45o dan aplikasikan sustained in line
traction sementara. Asisten memasang traksi pada arah yang
berlawanan menggunakan rolled sheet.
c. Setelah relokasi, paang collar dan cuff, periksa X ray post reduksi.
d. Penempatan : klinik ortopedik setelah 3 hari.
4. Teknik Spasso, walaupun teknik ini tidak dikenal secara luas, namun
teknik ini telah digunakan pada departemen kami, dan kami anggap bahwa
metode ini merupakan metode yang paling mudah dilakukan dengan angka
keberhasilan yang tinggi.
a. Dibawah conscious sedation, letakkan lengan yang sakit dengan
dengan dinding dada.
b. Fleksikan lengan pada bahu, dan lakukan rotasi eksternal secar
simultan. Pada kebanyakan kasus, sebelum bahu mencapai fleksi
kedepan 90o, akan terdengar bunyi ‘clunk’, dan head humerus telah
kemabali pada posisinya.
c. Adduksi lengan
d. Pasang collar & cuff dan periksa X ray post reduksi.

Dislokasi posterior
 Mekanisme Trauma
1. Biasanya karena jatuh pada tangan yang terotasi ke dalam serta terjulur
atau karena hantaman pada bagian depan bahu.
2. Terkait dengan kontraksi otot saat kejang atau cedera akibat tersetrum
listrik.
 Manifestasi
1. Lengan terletak berotasi internal dan adduksi
2. Px merasakan nyeri, dan terdapat penurunan peregerakan dari bahu
 X ray : AP (Gambar 2a) dan Y scapular view (Gambar 2b)
Catatan : sangat mudah terjadi missdiagnosa dislokasi bahu posterior pada
bahu AP. Suspek dislokasi posterior jika terdapat ‘light bulb sign’ karena rotasi
internal bahu dan terdapat overlap antara head humerus dan glenoid labrum
pada foto bahu AP.
 Komplikasi : kerusakan arteri aksilaris dan nervus brakialis.
 Terapi : prinsip sama dengan dislokasi anterior
1. Untuk isolated dislokasi posterior, coba M&R dibawah IV conscious
sedation.
2. Untuk dislokasi posterior dengan fraktur tuberositas, coba M&R dibawah
conscious sedation.
3. Untuk dislokasi posterior dengan fraktur humeral shaft, MRS untuk M&R
di bawah GA, pertimbangkan ORIF.
 Teknik :
1. Dibawah kondisi IV conscious sedation, pasang traksi pada lengan pada
posisi abduksi 90o.
2. Kadang countertraction dengan seorang asisten menggunakan rolledsheet
dibawah aksilla perlu dilakukan.
3. Secara perlahan lengan dirotasikan ke eksternal.
4. Setelah relokasi dilakukan pada kasus yang pertamakali terjadi pada
seorang dewasa muda, aplikasikan strapping bersama dengan collar dan
cuff.
5. Setelah relokasi pada lansia, aplikasikan collar & cuff dan pertimbangkan
early mobilization.
 Penempatan : Klinik ortopedi setelah 3 hari.

Dislokasi Inferior
 Mekanisme trauma : biasanya karena jatuh dengan lengan berada pada posisi
abduksi.
 Manifestasi klinis :
1. Abduksi lengan atas dengan posisi ‘hand over head’
2. Hilangnya kontur bulat dari bahu.
 X ray : foto AP cukup untuk mendiagnosa.
 Komplikasi : kerusakan arteri aksilaris dan nervus brakialis.
 Terapi : prinsipnya sama dengan dislokasi yang lain:
1. Untuk dislokasi dengan atau tanpa fraktur tuberosita, coba M&R dibawah
IV conscious sedation.
2. Untuk dislokasi dengan fraktur humeral neck, coba M&R dibawah GA,
KIV ORIF>
 Teknik :
1. Dibawah kondisi IV conscious sedation, aplikasi traksi yang steady pada
lengan yang dibduksi.
2. kadang diperlukan counter traction dengan seorang asisten menggunakan
rolled sheet yang ditempatkan pada akromion.
3. Setelah relokasi, pasang collar & cuff.
 Penempatan : kontrol ke poli ortopedi setelah 3 hari.

Fraktur Humeral Proksimal


Fraktur ini mungkin melibatkan struktur anatomi neck humeral juga tuberositas atau
dengan kombinasi yang bermacam-macam.
 Mekanisme trauma : jatuh pada satu sisi, pukulan langsung pada area tersebut,
atau jatuh dengan tangan yang terulur.
 Manifestasi klinis:
1. Nyeri tekan, pembengkakan pada proksimal humerus.
2. Lebih lanjut, akan terdapat memar yang besar yang menuju pada bagian
bawah lengan karena gravitasi.
 X ray : foto AP dan lateral humerus
 Komplikasi :
1. Adhesive capsulitis (frozen shoulder)
2. Cedera struktur neurovascular
3. Nekrosis avascular humeral head.
 Terapi : pasang collar & cuff
 Penempatan :
1. Fraktur displaced tuberositas mayor yang berat mungkin membutuhkan
MRS untuk ORIF dengan GA.
2. Fraktur displaced yang ringan dapat KRS, kemudian kontrol ke klinik
ortopedik dalam 3 hari.

Fraktur Shaft Humeral


 Mekanisme trauma: biasanya karena indirect force, seperti jatuh pada saat
tangan terulur, atau hantaman langsung pada area tersebut.
 Manifestasi :
1. Nyeri tekan local dan pembengkakan
2. Mungkin dapat timbul deformitas.
 X ray : Foto AP dan lateral humerus
 Komplikasi : Palsy nervus radialis (drop wrist) dan vascular compromise.
 Terapi :
1. untuk fraktur angulasi minimal, pasang U slab, lebih mudah dilakukan
pada saat px duduk pada trolley daripada pada saat px berbaring
terlentang, kemudian diikuti dengan collar& cuff, serta kontrol ke klinik
ortopedi setelah 3 hari.
2. Untuk fraktur displaced yang parah, lakukan M & R dibawah IV conscious
sedation, pasang U salb dan Collar & cuff, kemudian rujuk ke klinik
ortopedi setelah 3 hari.
3. Untuk kasus dengan komplikasi kerusakan neurovascular, MRS dibagian
ortopedi.

Fraktur Shaft Humerus Supracondylar


 Mekanisme trauma : jatuh dengan tangan terulur, biasanya pada anak kecil.
 Manifestasi klinis :
1. Nyeri tekan dan bengkak pada distal humerus dan siku.
2. Deformitas mungkin terjadi
3. Bentukan segitiga yang disusun oleh olekranon, epikondilus lateral dan
medial.
 X ray : AP dan lateral siku (waspada terhadap adanya fraktur kondilus
lateralis, sarankan ORIF). Cari tanda ‘fat pad’ (gambar 3).
 Komplikasi :
1. Kerusakan arteri brakialis
a. Cek pulsasi radialis dan capillary refill.
b. Cari adanya kepucatan dan dingin pada ekstremitas, nyeri, parestasi
atau paralysis pada lengan bawah.
2. Cek jari dan ibu jari untuk mencari deficit neurologist terkait dengan
kerusakan Nervus radialis, ulnaris atau medianus.
Catatan : Dokumentasikan hasil pemeriksaan tersebut.
 Terapi :
1. Jika terdapat displacement minimal (<10-15o) pasang long arm back slab
dan kontrol ke klinik ortopedi setelah 1-2 hari. Berikan KIE yang jelas
mengenai ancaman Compartment syndrome (gejala dan tandanya).
2. Jika terdapat pembengkakan pada daerah siku dengan minimal angulated
fracture. Pertimbangkan meng-MRS-kan px untuk observasi sirkulasi.
3. Jika displacement > 15o, pasang long arm backslab dan rencanakan M&R.
Fraktur Epicondilus Medialis Humerus
 Mekanisme trauma :
1. dapat terjadi avulse oleh ligamentum collateral ulnaris ketika siku
dipaksakan untuk berposisi abduksi.
2. Avulsi karena kontraksi otot fleksor lengan bawah secara mendadak.
3. trauma langsung
 manifestasi klinis : pembengkakan dan nyeri tekan local.
 X ray : AP dan lateral siku
 Komplikasi : disposisi/terapi cedera nervus ulnaris.
1. jika minimal atau tidak ada displacement, pasang long arm back slab dan
kontrol ke poli ortopedi setelah 3 hari.
2. Jika fraktur disertai displaced yang lebih parah, pertimbangkan M&R
dibawah GA, KIV ORIF.

Fraktur Condilus Lateralis Humerus


Catatan : sering terlewatkan karena dikaburkan dengan fraktur suprakondiler.
 Mekanisme trauma : cedera adduksi pada siku
 Manifestasi : nyeri tekan dan pembengkakan local
 X ray : AP dan lateral siku
 Komplikasi : tidak ada komplikasi akut, komplikasi yang terlambat, a.l:
1. mal-union dan non-union menyebabkan posisi cubitus valgus dan tardy
ulnar nerve palsy.
2. Kekakuan siku terutama pada dewasa.
 Terapi :
1. Fraktur undisplaced atau minimal displaced, pasang long arm backslab :
kontrol ke klinik ortopedi setelah 3 hari.
2. jika fraktur displaced > 2mm atau terotasi, MRS pada bagian ortopedi
untuk M7R di bawah GA, ORIF.

Dislokasi Siku
 Mekanisme trauma : karena pada posisi tangan terulur, yang paling sering
ditemukan adalah dislokasi posterolateral.
 Manifestasi :
1. Deformitas siku dengan nyeri tekan dan bengkak
2. Bentukan segitiga antara olekranon, epicondilus lateral dan medial
mengalami kerusakan.
 X ray : AP dan lateral siku.
 Komplikasi : cedera arteri brakialis, nervus ulnaris atau medianus
 Terapi : M & R di bawah IV conscious sedation
1. Dengan posisi px supine, paang traksi pada garis lengan
2. Fleksi ringan siku mungkin dipelukan selama mempertahankan traksi.
3. setelah relokasi, pasang long arm back slab
4. Jika tidak ada bukti kerusakan neurovascular, kontrol ke klinik ortpedi
setelah 3 hari.
5. jika terdapat kerusakan neurovascular walaupun sangat ringan, MRS di
bagian ortopedi untuk observasi.
6. pastikan bahwa sendi telah tereduksi, X ray kadang bisa menipu.
Pulled Elbow (Subluksasi Radial head)
 Mekanisme trauma : biasanya terjadi pada anak usia 9 bulan-6 tahun, karena
tarikan yang kuat pada tangan yang terulur, yakni adanya tenaga yang menarik
dengan kuat pada ligament annular di radial head.
 Manifestasi :
1. Lengan tergantung lemah
2. Anak mengeluh nyeri pada lengan dan tidak mau menggerakkannya.
3. Nyeri tekan local pada bagian proksimal lengan bawah.
4. Nyeri yang ditimbulkan sat memfleksikan siku atau men-supinasikan
lengan bawah.
5. tidak ada pembengkakan dan deformitas
 X ray : pada situasi klasik tidak dibutuhkan, namun bila terdapat riwayat jatuh
atau adanya hantaman langsung pada lengan bawah pada posisi foto AP dan
lateral siku.
 Terapi : manipulasi tanpa anestesi dapat dilakukan.
1. Pegang tangan dari lengan yang cedera dengan posisi berjabat tangan
sementara tangan pemeriksa yang lain memegang belakang siku dengan
ibu jari terletak pada head radius.
2. Secara lembut dan perlahan, dorong lengan bawah ke dalam siku, dan
paksa untuk mensupinasikan lengan atau secara cepat ganti ke posisi
pronasi dan supinasi sampai mendengar atau merasakjan bunyi ‘pop’.
Tidak diperlukan sling karena anak akan mulai menggunakannya secara
normal dalam 5-10 menit.
3. jika maneuver tersebut tidak berhasil, lengan harus diistirahatkan pada
sebuah sling, dan reduksi spontan biasanya terjadi dalam waktu 48 jam.
4. Tidak dibutuhkan kontrol ke klinik ortopedi. KIE pada keluarga bahwa
mereka jangan mengangkat anak mereka secara langsung dengan menarik
lengannya.

Fraktur Olekranon
 Mekanisme trauma : biasanya karena jatuh pada siku, juga karena kontraksi
yang kuat pada otot trisep.
 Manifestasi klinis : nyeri tekan local dan bengkak/bruising (memar) di daerah
olekranon.
 X ray : AP dan lateral siku.
 Terapi :
1. Jika tidak terdapat displacement dari fraktur, atau ada tapi minimal, pasang
long arm back slab dan kontrol ke klinik ortopedi setelah 5 hari.
2. Jika fraktur displaced, pasang long arm back slab dan MRS untuk M&R
dibawah GA, KIV ORIF

Fraktur Radial Head/Neck


 Mekanisme trauma : karena jatuh dengan tangan terulur atau hantaman
langsung pada lengan bawah.
 Manifestasi klinis : nyeri local dan nyeri tekan, dengan pembengkakan pada
siku lateral.
 X ray : AP dan Lateral siku
Catatan : Occult fracture dari radial neck/head mungkin hanya menunjukkan
‘positive posterior fat pad sign’ pada foto lateral (Gambar 3), selalu carilah
tanda ini !
 Terapi :
1. Jika fraktur undisplaced, pasang long arm backslab dan kontrol ke klinik
ortopedi setelah 5 hari.
2. Jika fraktur displaced, pasang long arm back slab dan MRS ke bagian
ortopedi untuk M & R dibawah GA, KIV ORIF.

Fraktur Lengan Bawah


 Mekanisme trauma : biasanya karena trauma langsung, namun juga karena
jatuh dengan tangan terulur.
 Manifestasi klinis : Nyeri tekan dan pembengkakan lengan bawah, dengan
deformitas jika fraktur displaced.
 X ray : AP dan lateral view lengan bawah
Catatan : Pastikan bahwa film menampakkan siku dan peregelangan tangan
sehingga fraktur monteggia atau Galeazzi dapat dieksklusi. Jangan pernah
memebrikan terapi pada single fore arm bone fracture sampai anda telah
menyingkirkan fraktur-dislokasi yang tersebut di atas.
1. Fraktur-dislokasi Monteggia adalah fraktur pada ulna disertai dengan
dislokasi radial head.
Catatan : banyak gugatan hukum diajukan karena missed dx bowed ulna
(green stick)!
2. fraktur-dislokasi Galeazzi adalah fraktur radius dengan dislokasi pada
inferior radio-ulnar joint.
 Komplikasi : cedera vascular atau compartment syndrome.
 Terapi :
1. untuk fraktur dengan minimal atau tidak ada displacement, pasang ong arm
back slab dan rujuk ke klinik ortopedi setelah 3 hari.
2. Untuk fraktur displaced, lakukan M&R di bawah Bier Block.

Fraktur Colle’s
 Mekanisme trauma : biasanya karena jatuh dengan tangan terulur.
 Manifestasi klinis : khas : Deformitas bentuk ‘dinner fork’ dengan nyeri tekan
local.
 X ray : lateral (gambar 4a) dan AP (gambar 4b) pergelangan tangan.
 Komplikasi : malunion : delayed rupture dari M. Extensor pollicis longus;
kompresi nervus medianus; sudeck’s atrophy.
 Terapi reduksi :
1. pasang longitudinal traction untuk ‘disimpact’ fracture.
2. Kemudian pasang flexion and ulnar deviation force pada fragmen
menggunakan jari atau ibu jari.
3. Setelah reduksi pasang short arm backslab dengan posisi lengan bawah
pronasi, ulnar deviasi dan fleksi ringan pada pergelangan tangan.
4. Jika X ray ulang menunjukkan reduksi yang memuaskan, pasang sling
dansarankan px untuk mobilisasi bahu, siku dan jari.
 Penempatan :
1. jika reduksi memuaskan : kontrol ke klinik ortopedi dalam 2 hari.
2. Jika fraktur terbuka atau intraartikular, MRS ke bagian ortopedi untuk
M&R dibawah GA atau ORIF.

Fraktur Smith’s (Reverse Colle’s)


 Mekanisme trauma : biasanya karena jatuh pada punggung tangan, dan
fragmen distal miring ke depan.
 Manifestasi klinis : nyeri tekan local, bengkak dan deformitas.
 X ray : AP (gambar 5a) dan lateral (gambar 5b) dari pergelangan tangan.
 Terapi :
1. Reduksi di bawah Bier’s block, jika fraktur tertutup dan bukan
intraartikular.
2. Membutuhkan monitoring tanda vital dan EKG
 Teknik reduksi :
1. traksi dengan lengan pada posisi supinasi sampai dis-impaksi tercapai.
2. Aplikasikan tekanan ke arah dorsal dari fragmen.
3. Pasang short arm volav slab dengan lengan bawah pada supinasi penuh,
pergelangan tangan pada posisi dorsiflexion dan siku dalam posisi
ekstensi, kemudian pasang long arm backslab dengan siku fleksi 90o.
Penempatan :
1. Jika reduksi memuaskan kontrol ke klinik ortopedi setelah 2 haru.
2. Jika fraktur terbuka atau intraartikular, MRS ke bagian ortopedi untuk M
& R dibawah GA atau ORIF.

Fraktur Barton’s
Merupakan bentuk fraktur Smith dimana hanya bagian anterior radius yang terlibat.
 Mekanisme trauma : karena jatuh pada saat tangan terulur.
 Manifestasi klinis: nyeri tekan local, pembengkakan dan deformitas.
 X ray : foto AP dan lateral pergelangan tangan.
 Terapi : pasang short arm volar slab dan MRS pada bagian ortopedi untuk
ORIF.

Fraktur Scaphoid (Carpal Navicular)


 Mekanisme trauma :
1. biasanya karena jatuh pada posisi tangan terulur
2. kadang karena ‘kickback’ ketika menggunakan ‘starting handle’, pompa
atau kompresor.
 Manifestasi klinis
1. Nyeri pada tepi radial pergelangan tangan
2. nyeri tekan pada anatomical snuffbox dan aspek ventral serta dorsal dari
scapoid.
 X ray : AP dan lateral view dari pergelangan tangan (gambar 7b), juga
Scaphoid view (gambar 7a).
Catatan : Scaphoid view harus dilakukan pada semua px dengan nyeri tekan
pada ‘snuffbox’ area.
 Komplikasi : nekrosis avaskular nekrosis/ non-union/osteoarthritis/suddeck’s
atrophy.
 Terapi :
1. pada kasus fraktur scaphoid definitive : pasang scaphoid spica splint dan
kontrol pada klinik ortopedi setelah 5 hari.
2. Pada kasus dengan kecurigaan fraktur scapoid namun tidak ada gambaran
fraktur pada X ray, maka paang scaphoid spica splint dan kontrol pada
klinik ortopedi setelah 10-14 hari.

Dislokasi Lunate
 Mekanisme trauma : biasanya karena jatuh dengan tangan yang terulur.
 Manifestasi klinis : nyeri tekan local dan bengkak
 X ray : AP dan lateral pergelangan tangan (gambar 8)
 Komplikasi : palsy nervus medianus/avaskularnekrosis/sudeck’s atrophy.
 Terapi :
1. Reduksi dibawah Bier’s Block
2. Monitor tanda vital dan EKG.
 Teknik Reduksi
1. Pasang traksi untuk mensupinasi pergelangan tangan
2. Luruskan pergelangan tangan, pertahankan tarikan tersebut.
3. Aplikasikan tekanan dengan ibu jari pada lunate.
4. Fleksikan pergelangan tangan secepatnya ketika anda merasakan lunate
masuk ke dalam tempatnya.
5. Pasang short arm back slab pada posisi pergelangan tangan agak fleksi.
 Penempatan
1. bila reduksi berhasil, kontrol ke klinik ortopedi setelah 2 hari.
2. Jika percobaan reduksi tidak berhasil, pasang backslab dan MRS untuk
ORIF

Dislokasi Perilunate
 Mekanisme trauma : karena jatuh saat tangan terulur atau hantaman langsung
pada tangan.
 Manifestasi klinis : nyeri tekan local, bengkak, dan deformitas.
 X ray : AP dan oblique view dari metacarpal.
 Terapi :
1. Jika fraktur undisplaced, pasang short arm backslab dan kontrol ke klinik
ortopedi dalam 2-3 hari.
2. Jika fraktur displaced, coba reduksi di bawah Bier’s block, diikuti dengan
aplikasi backslab. Kontrol ke klinik ortopedi dalam 2-3 hari.
3. Jika fraktur melibatkan metacarpal neck, splint harus diluruskan diluar
PIPJ dengan MCJP pada saat fleksi 90o. kontrol ke klinik ortopedi dalam
2-3 hari.

Fraktur Rennett’s
Merupakan fraktur metacarpal ibu jari, dimana ada fragmen medial kecil dari tulang
yang miring, namun tetap terhubung dengan ‘trapezium’.
 X ray : AP dan Lateral view dari metacarpal ibu jari.
Catatan : garis vertical fraktur melibatkan trapezo-metacarpal joint dan
terdapat subluksasi proksimal dan lateral dari metacarpal ibu jari.
 Terapi : pasang scaphoid thumb spica backslab dan MRs pada bagian hand
surgey untuk ORIF.

Fraktur Phalang proksimal dan tengah dari jari


 Jika fraktur displaced, lakukan M&R dengan Entonox atau digital block.
 Kemudian pasang alumunium splint, dari bagian pergelangan tangan sampai
ke ujung jari, dengan MCJP pada posisi fleksi 90o dan IPJ diluruskan.
 Jika fraktur undisplaced, pasang alumunium splint tanpa M&R.

Fraktur Phalang terminalis


 Terapi cedera jaringan lunak harus diutamakan.
 Fraktur tertutup : tidak butuh M&R; pasang short alumunium splintpada
bagian posterior jari.
 Fraktur terbuka (hanya pada bagian terminal tuft) :
1. Irigasi dengan saline minaml 500ml.
2. berikan IV Cefazolin 1 g dalam 1 jam sejak kedatangan px, sebelum
dilakukannya X ray.
3. pasang short alumunium splint pada bagian posterior, kontrol ke klinik
Hand surgery dalam 3 hari.
 Fraktur terbuka (shaft atau basis) : berikan antibiotik IV seperti diatas, pasang
kassa atau alumunium splint dan MRS ke bagian Hand surgery untuk ORIF.
111. Trauma, Pediatrik

Caveats
 Anak dengan cedera multisistem dapat mengalami deteriorasi yang cepat serta
akan mengalami komplikasi yang serius.
 Karakteristik anatomic yang unik membutuhkan pertimbangan yang khusus
dalam pemeriksaan dan tatalaksananya.
 Tulang pada anak lebih lentur, sehingga kerusakan organ dalam dapat terjadi
tanpa adanya fraktur. Sehingga bila didapatkan adanya fraktur kosta, dapat
dipastikan anak tersebut telah mengalami high impact injury yang multiple,
sehingga harus dicurigai adanya cedera pada organ lain yang serius.
 Waspada terhadap kemungkinan non-accidental injury sebagai penyebab
cedera yang terlihat.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


 Ingat ABC. Buka dan pertahankan jalan nafas dengan tetap mengkontrol
cervical. Berikan oksigen aliran tinggi jika anak dapat bernafas spontan.
Atau jika tidak, mulai bag-valve-mask ventilasi.
 Jika mungkin, pasang akses vena dengan kanul ukuran 22G sebelum
ambulan datang.
 Hubungi ambulan secepatnya.

Manajemen
Jalan Nafas
 Intubasi orotrakeal dibawah direct vision dengan immobilisasi yang adekuat
serta proteksi terhadap cervical spine.
 Preoksigenasi sebelum melakukan intubasi.
 Gunakan uncuffed endotracheal tubes (ETT) untuk intubasi anak-anak.
Ukuran ETT dapat diperkirakan dengan mengukur diameter external nares
atau jari kelingking anak tersebut. Lihat Bab Paediatrics Drugs Equipment
 Atropin (0,1-0,5mg) harus diberikan sebelum intubasi untuk mencegah
bradikardia selama intubasi.
 Ketika akses dan kontrol jalan nafas tidak bisa dipenuhi oleh bag-valve mask
atau orotracheal intubation, maka needle cricothyroidotomy merupakan
metode yang dipilih. Surgical cricothyroidotomy jarang digunakan, jika ada,
harus ada indikasinya.
Bernafas
 Respiratory Rate (RR) pada anak menurun seiring usia
Bayi : 40-60 x/menit
Anak yang lebih besar : 20 x/menit
 Pemberian Ventilasi berlebihan dengan high tidal volume dan airway pressure
dapat berakibat pada iatrogenic bronchoalveolar injury. Volume tidal : 7
sampai 10ml/kg.
 Dekompresi pleural dilakukan dengan tube thoracostomy, sama seperti dewasa
yakni pada ICS 5, anterior dari midaxillary line. Chest tube ditempatkan pada
cavum thorax dengan memasukkan tube melewati kosta pada lokasi kulit yang
telah diinsisi.
Sirkulasi
 Peningkatan physiologic reserves pada anak memberikan kemungkinan untuk
mempertahankan tanda vital berada pada kisaran normal, walaupun px berada
pada keadaan severe shock. Tanda awal adanya syok hipovolemik pada anak
adalah takikardia dan perfusi kulit yang buruk. Penurunan volume darah
sirkulasi minimal sebesar 25% akan menunjukkan tanda/manifestasi syok:
1. Takikardi
2. Perfusi kulit yang buruk
3. Penurunan pulse pressure
4. Skin mottling
5. ekstremitas dingin bila dibandingkan dengan kulit bagian torso.
6. penurunan tingkat kesadaran dengan respon yang tumpul terhadap nyeri.
7. penurunan BP
8. urin output yang sedikit
 Hipotensi pada anak menunjukkan keadaan shock yang tidak terkompensasi
dan mengindikasikan kehilangan darah yang banyak > 45% dari volume darah
sirkulasi. Takikardi akan berubah menjadi bradikardi sering disertai dengan
keadaan hipotensi serta tanda lainnya :
SBP = 70 + (2x usia dalam tahun)
DBP = 2/3 x SBP

Resusitasi Cairan
 Resusitasi cairan pada anak didasarkan pada berat badan anak. Gunakan
Broselow resuscitation measuring tape.
 Untuk syok, bolus cairan 20ml/kg kristaloid yang hangat dapat diberikan.
Mungkin akan diperlukan total cairan sebesar 3 bolus 20ml/kgBB jika terjadi
kehilangan darah 25% volume darah sirkulasi.jika sedang memberikan bolus
cairan yang ketiga, pertimbangkan untuk pemeberian 10ml/kg darah dengan
tipe yang spesifik untuk px. Rujuk ke bagian bedah jika tidak ada perbaikan
setelah pemberian bolus cairan yang pertama.
 Lokasi akses vena pada anak a.l:
1. perkutaneus peripheral (2 percobaan)
2. intraosseus (anak usia < 6 tahun)
3. Venous cutdown : vena saphena pada pergelangan kaki.
4. perkutaneus placement : vena femoralis
Infus intraosseus harus dihentikan ketika akses peripheral yang baik telah
didapatkan. Lokasi infus intraosseus yang disarakan adalah pada permukaan
anteromedial tibia proksimalis, 2 cm dibawah tuberoseus tibia. Lokasi ini tidak
disarankan bila terdapat fraktur pada bagian proksimalnya; kanulasi kemudian
dapat dilakukan pada bagian distal femur. Output urin yang diharapkan pada
px yang telah mendapatkan resusitasi adekuat adalah 1-2ml/kg/jam.

Manajemen Cedera yang Spesifik


Trauma dada
 cedera pada dada merupakan petunjuk adanya cedera organ yang lain karena
lebih dari 2/3 anak dengan cedera dada juga mengalami cedera system organ
yang lainnya.
 Fraktur kostae menunjukkan adanya severe injuring force.
 Cedera spesifik serta penatalaksanaannya sama seperti pada dewasa.
Trauma Abdominal
 Cedera penetrasi pada abdomen membutuhkan perhatian yang besar dari ahli
bedah.
 Pemeriksaan abdomen pada anak dengan trauma tumpul dapat sulit dilakukan
karena anak biasanya tidak kooperatif, terutama bila mereka mengalami
ketakutan akibat trauma yang telah dialami.
 Dekompresi gaster dan urinary dapat memfasilitasi evaluasi.
 Alat pembantu diagnostic a.l:
1. Computed tomography (CT)
e. bermanfaat pada anak dengan hemodinamik yang normal dan stabil.
f. Harus dilakukan dengan menggunakan double atau triple contrast.
g. Biasanya membutuhkan sedasi.
h. Tindakan ini tidak boleh sampai menunda terapi yang lain
i. Dapat menunjukkan identifikasi cedera secara tepat.
2. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
a. digunakan untuk mendeteksi perdarahan intraabdominal pada anak
yang hemodinamikanya abnormal.
b. Digunakan NS hangat 10ml/kg (sampai 1000ml) selama 10 menit.
c. Cedera organ retroperitoneal tidak dapat dideteksi
d. Definisi hasil lavage yang positif sama dengan dewasa.
e. Adanya darah pada peritoneum saja tidak menjadikannya sebagai
indikasi untuk dilakukannya laparotomi.
f. Harus dilakukan oleh ahli bedah anak.
3. Focus Assessment using Sonography in Trauma (FAST)
a. Hanya sedikit penelitian mengenai efikasi ultrasonografi pada anak
yang telah dilaporkan.
b. Selektif, manajemen non-operatif pada anak dengan trauma tumpul
pada abdomen dilakukan pada berbagai trauma center. Telah
ditunjukkan bahwa perdarahan yang berasal dari cedera spleen, liver
dan ginjal biasanya bersifat self limiting.
c. Anak-anak ini harus dimonitor secara ketat pada intensive care dengan
pemeriksaan yang berulang oleh ahli bedah.

Trauma Kepala
 Manajemennya sama seperti pada orang dewasa. GCS sangat bermanfaat.
Namun komponen skor verbal pada anak harus dimodifikasi :
Respon Verbal Skor V
1. kata-kata yang terarah, atau tersenyum, menurut 5
2. Menangis, namun dapat dihibur 4
3. ‘lekas marah/irritabel’ yang persisten 3
4. Gelisah, agitasi 2
5. Tidak ada respon 1
 Sama seperti dewasa, hipotensi jarang terjadi, jika ada, kemungkinan
disebabkan oleh cedera kepala itu sendiri, serta penyebab lainnya. Pada bayi,
sekalipun jarang terjadi, hipotensi akibat kehilangan darah terjadi akibat
perdarahan di sub galeal atau epidural space, karena sutura krnialis dan
fontanella yang masih terbuka pada bayi.
 Restorasi yang cepat dan adekuat dari volume darah sirkulasi harus dilakukan,
juga harus menghindari terjadinya hipoksia.
 Pada anak kecil dengan fontanella terbuka dan garis sutura cranial yang
mobile, tanda expanding mass mungkin tidak terlihat sampai timbul
dekompensasi yang cepat. Sehingga harus diterapi sebagai cedera kepala berat.
 Vomiting, kejang dan amnesia sering terjadi pada anak setelah cedera kepala.
Selidiki anak yang mengalami vomiting persisten atau memburuk, atau kejang
yang berulang dengan CT scan kepala.
 Obat-obatan yang sering digunakan pada cedera kepala anak a.l:
1. Fenobarbital 2-3 mg/kg
2. Diazepam 0,25 mg/kg, bolus Iv pelan
3. Fenitoin 15-20 mg/kg, diberikan pada 1mg/kg/menit sebagai loading dose,
kemudian 4-7 mg/kg/hari untuk maintenance
4. Mannitol 0,5-1,0g/kg (jarang diperlukan). Obat ini dapat memperburuk
hipovolemi dan harus diberikan hati-hati pada awal resusitasi pada anak
dengan cedera kepala.

Cedera Spinal Cord (Spinal Cord Injury)


 Cedera spinal cord pada anak jarang terjadi.
 Anak dengan Spinal Cord Injury Without Radiographic Abnormalities
(SCIWORA) lebih banyak ditemukan daripada pada dewasa. Hasil radiografi
spine yang normal ditemukan pada sekitar 2/3 anak dengan spinal cord injury,
sehingga hasil yang normal tersebut tidak dapat digunakan untuk
menyingkirkan dx spinal injury yang signifikan.
 Cedera spinal cord pada anak diterapi sama seperti pada orang dewasa. Untuk
spinal injury non-penetrating yang terjadi dalam 8 jam sejak cedera, dapat
diberikan methylprednisolone 30mg/kg dalam 15 menit pertama, dilanjutkan
dengan 5,4 mg/kg per jam untuk 23 jam selanjutnya.
113. Manajemen Jalan nafas/ Rapid sequence Intubation

Definisi
Rapid sequence Intubation (RSI) merupakan pemberian agen induksi potensial yang
secepatnya diikuti dengan rapidly acting neuromuscular blocking agent untuk
menginduksi penurunan kesadaran serta paralysis motorik untuk intubasi trakea pada
px dengan risiko aspirasi gastric. Asumsi pada RSI:
 Pasien tidak berpuasa sebelum dilakukannya intubasi, sehingga merupakan
factor risiko terjadinya aspirasi.
 Pasien tidak diketahui atau tidak pernah pernah diperiksa mengenai apakah
akan terdapat kesulitan dalam intubasinya.
 Pemberian obat-obatan didahului dengan fase preoksigenasi (lihat pada ‘P’
yang kedua pada RSI untuk lebih detailnya) untuk memungkinkan
terlewatinya periode apneu dengan selamat selama pemberian obat-obatan dan
intubasi trakea tanpa memberikan bantuan ventilasi tambahan.
 Gunakan tekanan pada krikoid atau Sellick’s manoeuvre untuk mencegah
aspirasi cairan gaster.
Indikasi
 Keputusan intubasi berdasarkan 3 hasil pemeriksaan klinik yang fundamental :
1. Apakah ada kegagalan mempertahankan atau memproteksi jalan
nafas?
Catatan: jalan nafas yang adekuat dikonfirmasi dengan kemampuan px
untuk bicara/mengeluarkan suara. Kemungkinan adanya jalan nafas yang
inadekuat adalah ketidakmampuan px untuk mengeluarkan fonasi
sederhana, stridor, serta AMS. Gag reflex juga tidak sensitive atau spesifik
digunakan sebagai indicator hilangnya refleks proteksi jalan nafas.
2. Apakah ada kegagalan Ventilasi (cth status asmatikus) atau oksigenasi
(cth severe pulmonary oedema)?
3. Apa manifestasi klinik lain yang harus diantisipasi?
Px akan dapat mengalami deteriorasi dalam usaha nafas bila mengalami
multiple major injuries.
 Jika laringoskopi tidak berhasil, pertimbangkan:
1. apakah posisi px optimal?
2. gunakan straight blade jika epiglottis panjang, terkulai, atau ‘in the way’
3. apakah petugas yang melakukan sellick’s manoeuvre menekan airway
keluar dari midline yang mengaburkan lapang pandang?
4. BURP (Backward, Upward, Rightward, Pressure) displacement dari laring

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


 Jika initial atau standard bag-valve-mask gagal, pertanyakan 4 hal ini:
1. Apakah saya telah memposisikan px pada optimum sniffing position? Hati-
hati pada px trauma.
2. Apakah saya telah menggunakan semua perlengkapan tambahan untuk
jalan nafas bagian atas?
3. Apakah saya telah melakukan optimum mask seal? Yakni:
a. Aplikasikan KY jelly pada ‘beard/janggut’
b. isi rongga pipi yang cekung dengan kassa/kain tipis yang ditempatkan
antara gigi dengan mukosa bukal.
c. Pasang kembali gigi palsu px.
4. Apakah saya telah merekrut seorang asisten untuk membantu
mengoptimalisasikan teknik BVM?
Pedoman kapan kita tidak Menggunakan Intubasi
 Jika tidak nyaman menggunakan teknik intubasi yang dibutuhkan, dan ventilasi
masih adekuat
 Jika kondisi px membaik selama percobaan dilakukannya intubasi
 Jika respiratory arrest bersifat reversible dengan obat-obatan (nalokson,
flumazenil).
 Jika px memiliki deformitas pada jalan nafas atau lehernya (serta keadaannya
stabil).
 Jika px memiliki ‘do not resuscitate order’.

Manajemen
Ingat 7 Ps RSI.
 Preparation (persiapan)
1. Px harus ditangani pada area resusitasi
2. Monitoring EKG, pulse oximetry, tanda vital tiap 5 menit.
3. Sediakan obat sedative dan obat paralyzing yang dapat dijangkau segera.
4. Persiapkan perlengkapan airway meliputi stylets, Mess berbagai ukuran,
orofaringeal airway atau cricothrotomy tray yang dapat dijangkau segera.
5. susun rencana alternative bila gagal melakukan intubasi.
6. harus memiliki asisten yang terampil.
7. Pasang setidaknya 2 jalur IV peripheral: Hartmann’s atau NS.
8. selalu antisipasi vomiting pada semua pasien trauma. Jika px muntah,
lakukan 3 manuver berikut ini :
a. lakukan suction segera dengan large bore yankauer sucker
b. putar pasien ke posisi lateral atau pada posisi recovery.
c. Letakkan px pada posisi trendelenburg (jika mungkin).
9. pemeriksaan pada ‘jalan nafas yang sulit’ harus dilakukan. Gunakan
‘LEMON law’ :
L Look externally (cth trauma maksilofasial, trauma penetrasi pada leher,
trauma tumpul leher, dan identifikasi kesulitan ventilasi seperti pasien
yang berjenggot, obesitas morbid, cachexia yang ekstrim, ‘edentulous
mouth dengan pipi yang cekung, struktur wajah yang abnormal).
E Evaluate ‘2-3 rule’ yakni paling tidak 2 jari pemeriksa dapat melewati
mulut atau Patil’s test (indikasi pembukaan mulut yang adekuat),
sedangkan 3 jari harus bisa ditempatkan antara tepi atas kartilago tiroid
dan tepi dalam mentum, yang merupakan jarak thyromental
(mengindikasikan bahwa lokasi laring pada leher cukup rendah untuk
dilakukannya akses melalui jalur oral).
M Mallampati Score (gambar 1) dan Grade dari laryngeal view (Gambar
2) untuk memprediksi kesulitan airway. Skor Mallampati (oropharyngeal
visualization) berkorelasi dengan laryngeal visualization.
Skor Mallampati :
Kelas I : pallatum molle, uvula, fauces, pillars terlihat : Tidak ada kesulitan
Kelas II: pallatum molle, uvula, fauces terlihat : Tidak ada kesulitan
Kelas III : Pallatum molle, basis uvula terlihat : kesulitan Moderate
Kelas IV : Hanya terlihat pallatum durum : Kesulitan Berat
Grade Laringeal view: Cormack-Lehane Laryngoscopic grading system
Grade 1: terlihat seluruh aperture glottis
Grade 2: hanya terlihat kartilago arytenoid atau bagian posterior aperture
glottis.
Grade 3 : Hanya terlihat epiglottis
Grade 4 : Hanya terlihat lidah dan palatum molle
Mallampati kelas I dan II berkaitan dengan superior laryngeal exposure
(laryngeal grade 1 dan 2) pada saat intubasi serta kegagalan intubation
yang rendah. Mallampati view kelas III dan IV berkaitan dengan poor
laryngeal visualization (laryngeal grade 3 dan 4) dan dengan angka
kegagalan intubasi yang tinggi. Pada ED, Assessment skor Mallampati
formal, sering tidak mungkin untuk dilakukan walaupun pemeriksaan
pasien pada posisi supine dengan tongue blade dapat bermanfaat.
O Obstruction (cth adanya benda asing pada jalan nafas, kerusakan
integritas jalan nafas).
N Neck Mobility : untuk keberhasilan ventilasi, leher px harus diposisikan
pada ‘sniffing morning air position’, yaitu fleksi pada cervical spine, dan
ekstensi pada atlanto-occipital joint. Terdapat penurunan mobilitas leher
pada px trauma yang diimmobilisasi serta px dengan systemic arthritis.
 Preoksigenasi
1. Merupakan usaha untuk membuat ‘oxygen reservoir’ didalam paru dan
jaringan tubuh untuk memberikan waktu beberapa menit pada keadaan
apneu yang terjadi, tanpa arterial oxygen desaturation. Hal ini sangat
esensial pada prinsip ‘no bagging’ dalam RSI.
2. Pemberian oksigen 100% dengan non-rebreathing mask’ selama 5 menit
menggantikan nitrogen yang terdapat dalam udara ruang pada Functional
Residual Capacity (FRC) pada paru dengan oksigen, memberikan keadaan
apneu selama beberapa menit (pada dewasa sehat dengan BB 70kg, dan
waktu apneu sampai 8 menit) sebelum SpO2 < 90%.
3. Jika px tidak bisa dilakukan preoksigenasi selama 5 menit sebelum
mendapatkan obat paralitik, biarkan px untuk mendapatkan 3-5 vital
capacity breaths dalam rapid sequence dengan oksigen 100%.
 Pretreatment
1. Merupakan tindakan pemberian obat-obatan (Tabel 1) untuk mengurangi
efek samping yang terkait dengan intubasi.
2. Diberikan 3 menit sebelum intubasi.
 Paralysis dengan Induction (lihat tabel 2 untuk ringkasan obat induksi)
1. Merupakan langkah yang paling vital/penting
2. Agen induksi diberikan sebagai bolus cepat diikuti dengan bolus cepat
succinylcholine.
 Protection dan positioning
1. Sellick’s maneuver atau aplikasi tekanan pada cricoid harus dilakukan
sejak awal secara cepat dimana pada saat observasi px menunjukkan
penurunan kesadaran.
2. pasien kemudian diposisikan untuk dilakukan laringoskopi.
 Placement dan Proof
1. penempatan tube di dalam trakea harus dikonfirmasi menggunakan
monitoring end tidal CO2 dan teknik aspirasi seperti oesofageal detection
device.
2. Tekanan pada cricoid dilepaskan setelah ketepatan penempatan tube
dikonfirmasi dan endotracheal tube telah diamankan.

 Postintubation management
1. Amankan endotracheal tube
2. Mulai ventilasi mekanik
3. Lakukan CXR untuk memastikan bahwa mainstem intubation tidak terjadi.
Cara lain yang dilakukan secara cepat adalah memastikan bahwa proximal
end dari Cuff ditempatkan pada 2-3 cm distal dari vocal cord atau dimana
black marking dari ETT telah ditempatkan.

Tabel 1: Obat-obatan Pretreatment untuk RSI


Lignokain (1,0-1,5mg/kg) Untuk airway disease yang reaktif (tight lung)
atau tekanan intracranial yang tinggi (ICP) atau
‘tight brains’.#
Opioid (Fentanyl 2µg/kg Ketika respon simpatetik harus ditahan (ICP yang
diberikan selama 30-60 detik) tinggi, diseksi aorta, rupture aortic atau berry
aneurysm, ischaemic heart disease)*.
Atropin (0,02 mg/kg) Untuk mencegah suksinil kolin menginduksi
bradikardi. Untuk anak ≤ 10tahun dan dewasa
dengan preexisting bradikardi.
Defasikulasi : non-depolarizing Untuk ICP yang tinggi, trauma penetrasi pada
muscle relaxant mata.
# hanya terdapat sedikit bukti yang menyatakan bahwa IV lignokain mensupresi
peningkatan ICP yang terkait dengan RSI pada pasien HI.
* Tidak ada perbedaan respon hemodinamik yang signifikan terhadap intubasi
orotracheal dengan laryngoskopi yang menggunakan pretreatment IV Fentanil.
atau tidak menggunakannya.

Tindakan Pencegahan Terhadap Keadaan ‘Difficult Airway’ yang Telah


Diprediksi
Jangan terburu-buru melakukan RSI. Pertimbangkan melakukan ‘awake Oral
Intubation’. Sedasipx dengan IV Midazolam 1-2 mg. Semprot faring dan laring
dengan lignokain. Lakukan Laringoskopi dan coba untuk melihat laring/vocal cords.
Semprot juga vocal cord. Intubasi bila ada kekhawatiran terjadinya deteriorasi. Jika
tidak, bersiaplah untuk RSI. Sedasi berikutnya mungkin dibutuhkan dengan
menggunakan IV succinilkolin 1,5mg/kg pada dewasa.

Teknik Alternatif jika terjadi Kegagalan Intubasi


Terdapat 2 teknik untuk mempertahankan SpO2 > 90% berdasarkan kemampuan
BVMnya.
 Jika BVM mampu untuk mempertahankan SpO2 > 90%, pertimbangkan
teknik jalan nafas sbb:
1. Intubasi laryngeal mask airway
2. Lighted Stylets
3. Intubasi retrograde
4. Krikotirotomy
 Jika BVM tidak dapat mempertahankan SpO2 > 90%, krikotirotomi
merupakan prosedur pilihan

Terapi Obat
Obat Induksi
Penting bagi px yang sadar ketika RSI dilakukan untuk mengurangi efek fisiologi dan
efek memori dari prosedur yang dilakukan terhadap diri px. (lihat ringkasan obat-
obatan induksi pada tabel 2).
Tabel 2: Ringkasan Obat-obatan Induksi
Obat Induksi Onset Pemulihan Keuntungan Kerugian Efek Penggunaan Khusus
(Dosis) Penuh Samping/peringatan
Thiopentone 15-30 detik 3-5 menit Serebroprotektif Depresi respirasi Hipotensi, asma, Cedera kepala dengan
Lansia : 2,5-3mg/kg sentral, porfiria intermittent peningkatan ICP
Dewasa : 3-4mg/kg Hipotensi, akut, variegate porfiria
Anak-anak : 5-6 histamine
mg /kg releasing

Midazolam 30-60 detik 0,5-2 jam Amnestik, Hipotensi, supresi


0,1mg/kg sedative pernafasan

Etomidate 0,3mg/kg 15-30 detik 15-30 menit Serebroprotektif Nausea, vomiting, Merupakan obat induksi
(vena besar) stabilitas nyeri saat injeksi, dengan hemodinamik yang
hemodinamik gerakan mioklonik, paling stabil, cedera
hiccups kepala, px hipotensi

Ketamin 2mg/kg 15-30 detik 15-30 menit Pelepasan Peningkatan ICP Peningkatan ICP Px bronkospastik, px
katekolamin hipotensi tanpa cedera
Analgesic, kepala, instabilitas
amnestik hemodinamik karena
tamponade jantung atau
penyakit miokard.
Tabel 3 : Hipotensi pada Periode Post intubasi
Penyebab Deteksi Tindakan
Tension Peningkatan peak Thoracostomy immediate
pneumothorax inspiratory Pressure (PIP),
kesulitan Bagging,
penurunan suara nafas

Penurunan Venous Biasanya terlihat pada px Bolus cairan, terapi resistensi


return dengan PIPs yang tinggi jalan nafas (bronkodilator),
sekunder karena tekanan peningkatan expiratory time,
intratorakik yang tinggi coba menurunkan volume
tidal.
Agen induksi Penyebab lain disingkirkan Bolus cairan, expectant

Kardiogenik Biasanya pada compromised Bolus cairan (dengan hati-


pasient, EKG, singkirkan hati), pressors
penyebab lain

Scenario Intubasi yang berbeda


 Hipovolemia (dengan BP yang rendah) : etomidate atau ketamine. Jangan berikan obat
jika syok berat. Hindari thiopentone dan midazolam.
 Isolated Closed Head injury dengan ICP yang tinggi, BP yang normal atau tinggi
(tujuannya adalah untuk menurunkan konsumsi oksigen serebral dan aliran darah serebral
sehingga tekana intracranial akan menurun); thiopentone, etomidate atau midazolam.
Hindari ketamin.
 Closed Head injury (ICP yang tinggi) dan hipovolemi (dengan BP yang rendah, tidak
responsive terhadap cairan): etomidate atau ketamine,. Hindari Thiopentone dan
midazolam.
 Asma : ketamin, etomidate atau midazolam. Hindari thiopentone.

Obat Paralyzing
Obat yang optimum memiliki onset yang cepat dan durasi yang pendek. Agen depolarizing lebih
superior daripada agent non-depolarizing untuk RSI.
 Suksinil kolin : agen utama yang digunakan untuk paralysis emergency yang bertujuan
mengontrol jalan nafas. Efek samping yang signifikan:
1. Bradikardi (terutama pada anak dan px dengan preeksistensi bradikardi).
2. Peningkatan tekanan intraocular /intraoccular (kontraindikasi pada penetrating globe
trauma).
3. Peningkatan tekanan intragastrik (dapat mencetuskan emesis).
4. Hiperkalemi (terutama pada px dengan paralysis otot kronik, cth cerebrovascular
accident dan spinal cord injuries).
Catatan : peningkatan potassium plasma setelah pemberian suksinilkolin (biasanya < 0,5
mmol/l).
5. hiperkalemia pada px gagal ginjal kronik sebelum potassium serum diketahui.
Catatan : ada bukti terbaru yang menyebabkan suksinilkolin cukup aman pada
hiperkalemia, walaupun risiko akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar
potassium. Tindakan terbaik adalah menghindari penggunaan suksinilkolin pada px
dengan serum K+ > 6 mmol/l; rocurium merupakan alternative yang baik pada kasus
tersebut. Jika kadar K+ tidak diketahui dan EKG normal, penggunaan suksinilkolin dapat
dilakukan, walaupun px menderita ESRF. Suksinilkolin dieliminasi secara independent
terhadap renal secretion, suatu kondisi yang diinginkan dalam ESRF.
6. Fasikulasi : agravasi trauma musculoskeletal tambahan
7. jarang terjadi hipertermi malignan
Dosis suksinilkolin : 1,0-1,5mg/kgBB IV (2mg/kg pada anak).
Catatan : Rocuronium dipertimbangkan sebagai alternative untuk suksinilkolin karena
onset yang cepat sekitar 1 menit. Namun, memiliki durasi aksi yang lebih panjang
dibandingkan dengan suksinilkolin.
 Rocuronium : non-depolarizing agent yang digunakan untuk mencegah fasikulasi otot
yang diinduksi suksinilkolin, atau untuk menghasilkan efek paralysis yang lebih panjang
selama prosedur, cth CT scan.
Dosis: 0,6mg/kgBB IV bolus sebelum suksinilkolin. Durasi kerja efektif adalah 20-45
menit.
 Atracurium (Tracium) : non-depolarizing agent.
Dosis : 0,3-0,6mg/kg IV bolus. Kerugian obat ini adalah bahwa ia menyebabkan
pelepasan histamine; hati-hati pada px yang menderita asma.

Tahapan Tindakan dengan menggunakan Mode Hitung Mundur


Waktu (menit)
- 5.00 : Preparasi
- 5.00 : Preoksigensi
- 3.00 : Pretreatment (pertimbangkan ‘LOAD’)
0.0 : Paralisis dengan Induksi
+ 0.30 : Proteksi
+ 0.45 : Placement dan proof
+ 1.00 : Postintubasi manajemen
+ 10.00 : CXR untuk memeriksa kedalaman penempatan ETT

Penempatan
Pasien yang menjalani RSI merupakan kandidat untuk masuk pada ICU atau langsung menuju ke
OT sesuai konsultasi yang telah dilakukan.
115. Cervical Spine Clearance

Caveats
 X ray dari C-spine tidak dibutuhkan jika terdapat criteria sbb:
1. Pasien sadar, bangun dan tenang
2. tidak ada keluhan nyeri pada leher
3. tidak ada distracting injuries pada tubuh atau nyeri selama pemeriksaan
4. tidak ada nyeri tekan pada pemeriksaan Spine.
5. dapat menggerakkan leher kekanan dan kekiri serta melakukan fleksi dan ekstensi
tanpa nyeri
6. Tidak ada deficit neurologist
 Jika memenuhi criteria diatas, banyak penelitian yang menyatakan bahwa pasien tidak
mengalami C-spine injury yang bermakna.
 Pada px trauma yang lainnya, lakukan pemeriksaan:
1. Foto polos C-Spine
c. posisi AP
d. Posisi lateral atau swimmer’s view : basis oksiput sampai batas atas T1
harus terlihat
e. Open Mouth Odontoid View. Tidak mungkin dilakukan bila px tidak
kooperatif untuk melakukan foto dengan mulut terbuka. Posisi oblique
dari proscesus odontoid atau gambaran foramen magnum dapat diperiksa
untuk melihat densitas.
2. CT scan : diindikasikan sebagai pengganti foto polos C-spine pada area yang
mencurigakan atau area yang tidak adekuat untuk dilihat.
 C-collar harus dipasang pada situasi sbb:
1. ada keraguan pada pemeriksaan foto polos
2. Adanya masalah pembedahan akut lain yang membutuhkan pengiriman pasien ke OT
yang mendesak sebelum pemeriksaan Spine selesai dilakukan.
3. koma, AMS dan pasien pediatric (yang terlalu muda untuk menyatakan keluhannya),
sampai mendapatkan evaluasi yang tepat oleh orthopaedics atau neurosurgeon.
Gambar 1 : Cervical Spine Clearance di ED

Periksa Pasien

Tidak
Apakah Px sadar,
bangun dan tenang ?

Ya
Periksa adanya deficit Neurologikal

Tidak
Defisit neurologik Lepaskan C-collar

Ya

Biarkan pasien Supine


Asumsikan Unstabel dan C-spine netral
Spine

Lihat Bab Spinal Cord


Injury
Tanyakan adanya Suruh px untuk
nyeri leher dan Tidak menggerakkan leher
periksa nyeri tekan  Dari kiri ke kanan
pada C-Spine  Fleksi - ekstensi

Ya

Tidak
Ya Nyeri atau
Tidak perlu
Nyeri tekan
X-ray
positif?
Lepaskan C-Collar

Pemeriksaan Radiologis:
1. C-spine X ray
 Wajib pada posisi lateral. Coba untuk menekan bahu kebawah untuk mendapatkan
paparan yang adekuat terhadap T1. lakukan swimmer’s view jika paparan tidak adekuat.
 Posisi AP jika mungkin
 Open mouth Odontoid view jika mungkin
2. C-Spine lateral view dimana px secara sukarela melakukan fleksi dan ekstensi dari lehernya
 Dipertimbangkan bila screening 3 view C-spine normal, namun px mengeluhkan nyeri
leher yang bermakna.
 Maneuver ini harus dilakukan dibawah pengawasan dokter yang berpengalaman.

Anda mungkin juga menyukai