Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

STUDI KASUS
PPOK

OLEH :

KELOMPOK 6
KELAS C
NIRWANI ANWAR O1A116097
AYU RISKI GAMORO O1A116098
CINDY FRESHIA RAQWAN O1A116102
ARDHITA NUR RAHMA AWALIYA TARANG O1A116115
DIANTY MUTHI’AH EKHA PRATIWI O1A116126

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
hikmah dan hidayah-Nya atas terselesaikannya penulisan makalah ini yang berjudul
“PPOK”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Farmakoterapi. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan di
seluruh dunia. Prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK mulai meningkat
diseluruh dunia dan diperkirakan merupakan masalah kesehatan yang membutuhkan
perhatian khusus dalam penatalaksanaan pencegahan terhadap penurunan progesivitas
fungsi paru. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang
mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler
genetik. Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang
sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama
yang berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sistemik,
penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan
depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK.
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetik
dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat kerja (terhadap
batubara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor risiko penting yang
menunjang pada terjangkitnya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang
lebih dari 20 sampai 30 tahun. PPOK juga ditemukan pada individu yang tidak
mempunyai enzim yang normal tertentu. PPOK tampak timbul cukup dini dalam
kehidupan dan merupakan kelainan yang mempunyai kemajuan lambat yang timbul
bertahun-tahun sebelum awitan gejala-gejala klinis kerusakan fungsi paru.
Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi
karena peningkatan penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara maju
dan risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya
bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara
miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan perempuan hampir sama
(Ismail dkk., 2017).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1. Apa yang dimaksud dengan PPOK ?
2. Bagaimana epidemiologi dari PPOK ?
3. Bagaimana patofisiologi dari PPOK ?
4. Bagaimana gejala dan tanda pada PPOK ?
5. Bagaimana faktor resiko pada PPOK ?
6. Bagaimana diagnosis pada PPOK ?
7. Bagaimana prinsip tata laksana terapi PPOK ?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui pengertian PPOK
2. Untuk mengetahui epidemiologi dari PPOK
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari PPOK
4. Untuk mengetahui gejala dan tanda pada PPOK
5. Untuk mengetahui faktor resiko pada PPOK
6. Untuk mengetahui diagnosis pada PPOK
7. Untuk mengetahui prinsip tata laksana terapi PPOK

D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian PPOK
2. Dapat mengetahui epidemiologi dari PPOK
3. Dapat mengetahui patofisiologi dari PPOK
4. Dapat mengetahui gejala dan tanda pada PPOK
5. Dapat mengetahui faktor resiko pada PPOK
6. Dapat mengetahui diagnosis pada PPOK
7. Dapat mengetahui prinsip tata laksana terapi PPOK
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian PPOK
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD),
PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi di-karenakan bahan yang merugikan atau gas
(Oeminati, 2013).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama dar
morbiditas di seluruh dunia yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yan
progesif dan sebagian besar yang irreversible. PPOK adalah penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya
reversible. Hambatan udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas racun yang berbahaya. Selain itu juga,
PPOK merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan tanda pernapasan
yaitu batuk kronik, berdahak, dispnea dengan derajat yang bervariasi, dan penurunan
aliran udara ekspirasi yang signifikan dan progresif (Saminan, 2014).

B. Epidemiologi PPOK
Menurut World Health Organization PPOK merupakan salah satu penyebab
utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-tiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker. Pada tahun 2002, 2004 dan 2005 Proportional Mortality
Ratio (PMR) akibat PPOK di beberapa negara maju masing-masing sebesar 3,9%,
3,5% dan 3,9%. Di negara berkembang masing-masing sebesar 7,6%, 7,45% dan
8,1% serta di negara miskin masing-masing sebasar 3,1%, 3,6% dan 3,4%. Angka-
angka tersebut menunjukkan semakin meningkatnya kematian akibat PPOK di dunia.
WHO menyatakan bahwa sebanyak 201 juta manusia mengalami PPOK dan hampir
3 juta manusia meninggal akibat PPOK pada tahun 2005. Diperkirakan pada tahun
2030, PPOK akan menjadi penyebab ketiga kematian di seluruh dunia (Saminan,
2014).
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, batuk kronis, sebagai
mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria
paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah, pada wanita sebanyak 8-22%.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering
peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian
tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 Negara Asia
Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun
keatas, dengan rata-rata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan
angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 16,7%. Indonesia sendiri
belum memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan
Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan
asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di
Indonesia (Susanti, 2016).

C. Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil
bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang
menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan
emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada,
mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang
nyata. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi
yang persisten.
Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamousa akan mengalami metaplasia,
sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan
direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses
remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi
dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan
memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel
goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin
dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidakseimbangan
pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis
PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan
melepaskan mediator mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada
saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran
nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah
berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat
keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator
yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic
factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α, IL-
1ß dan TGFß.
Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya
stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti
produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor κß
sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran
nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada
emfisema paru (Susanti, 2015).

D. Gejala dan Tanda


Gejala yang ditimbulkan pada pasien PPOK berupa sesak nafas, batuk disertai
dengan sputum, aktifitas yang terbatas, penurunan berat badan (Saftarina dkk., 2017).

E. Faktor Resiko
Faktor resiko PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru,
akan ditandai dengan hipersekresi mukus dan sumbatan aliran udara yang
persisten. Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di
bronkus pada perokok dan membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak
faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko
yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru,
stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi,
nutrisi dan komorbiditas (Susanti, 2015).
Beberapa faktor risiko antara lain
1. Pajanan dari partikel antara lain :
a. Merokok: Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95%
kasus) di negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami
hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada
hubungan antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok.
Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas
dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat
menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat hamil
juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi
pertumbuhan paru-parunya.
b. Polusi indoor: memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi
dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap
bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%.
Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah
(indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall,
dan kendaraan. Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2
dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-
zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair,
bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta
perokok pasif.
c. Polusi outdoor: polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1,
inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc
dan debu. Bahan asap pembakaran/pabrik/tambang.
d. Polusi di tempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu
organik (debu sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur),
industri tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri
(pertambangan, industri besi dan baja, industri kayu, pembangunan
gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan
mencapai 19%.
2. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): Faktor risiko dari genetik
memberikan kontribusi 1 –3% pada pasien PPOK (Oemiati, 2013).
F. Diagnosis PPOK
Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru
diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi atau anak, misalnya
berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1) Inspeksi
a) Purse-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
b) Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
c) Penggunaan otot bantu napas.
d) Hipertropi otot bantu napas
e) Pelebaran sela iga
f) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis i leher dan edema tungkai Penampilan pink puffer atau
blue bloater
2) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
4) Auskultasi
a) Suara napas vesikuler normal, atau melemah
b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
c) Ekspirasi memanjang
d) Bunyi jantung terdengar jauh (Susanti, 2015).
G. Prinsip Tatalaksana Terapi
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non
farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi
gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan
komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas
hidup dan mengurangi angka kematian.
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan
merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta
memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan
panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan
perburukan penyakit.
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan
merupakan pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti
kortikoteroid, antibiotic dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu.
Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan denganklasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator :
1) Golongan antikolinergik. Digunakan pada derajat ringan sampai berat,
disamping sebagaibronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal
4 kaliperhari).
2) Golonganβ–2 agonis. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi
akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
3) Kombinasi antikolinergik dan β–2 agonis. Kombinasi kedua golongan obat
ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai
tempat kerja yang berbeda.
4) Golongan xantin. Pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi
sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan
kadar aminofilin darah (Susanti, 2015).
Terapi PPOK bersifat medikamentosa dan non-medikamentosa. Dimana pada
medikamentosa berupa pemberian bronkodilator, kortikosteroid, mukolitik, dan lain-
lain. Sedangkan terapi pada non medikamentosa yaitu berupa edukasi tentang
penyakit tersebut kepada pasien dan keluarganya, berhenti merokok, serta
menghindari faktor yang dapat memperberat terjadinya PPOK seperti debu, asap
rokok, dan polusi udara lainnya. Pada prinsipnya, terapi pada pasien PPOK ialah
menangani keadaan eksaserbasi akut dan mencegah perburukan dari PPOK itu
sendiri. Oleh karena itu, PPOK merupakan masalah kompleks pada pasien dan
keluarganya. Hal ini dipengaruhi oleh masalah internal dan eksternal dari pasien
maupun keluarga pasien. Dibutuhkan partisipasi dan dukungan pelaku rawat keluarga
yang optimal dalam memotivasi, mengingatkan, serta memperhatikan pasien dalam
penatalaksanaan penyakitnya. Pada penerapannya, pelayanan kedokteran keluarga
sangat cocok diterapkan pada pasien PPOK. Hal ini dikarenakan pada pelayanan
kedokteran keluarga bersifat holistik, komperhensif, kotinu, koordinatif, dan
kolaboratif (Saftarina dkk., 2017).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara
di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan udara ini bersifat
progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas
racun yang berbahaya. Selain itu juga, PPOK merupakan suatu sindrom yang ditandai
dengan gejala dan tanda pernapasan yaitu batuk kronik, berdahak, dispnea dengan
derajat yang bervariasi, dan penurunan aliran udara ekspirasi yang signifikan dan
progresif.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat menjadikan tambahan ilmu bagi pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya. Namun, penulis juga membutuhkan kritik
yang membangun untuk menjadikan tambahan ilmu bagi penulisnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, L., Sahrudin., dan Karma I., 2017, Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Wilayah Kerja Puskesmas Lepo-Lepo Kota
Kendari Tahun 2017, JIMKESMAS, Vol. 2 (6).
Oemiati, R., 2013, Kajian Epidemiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
Media Litbangkes, Vol. 23 (2).
Saftarina, F., Dian I. A., dan Muhammad R., 2017, Penatalaksanaan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik Pada Pasien Laki-Laki Usia 66 Tahun Riwayat Perokok
Aktif Dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di Kecamatan Tanjung Sari
Natar, J AgromedUnila, Vol. 4 (1).
Saminan, 2014, Efek Paparan Partikel Terhadap Kejadian Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK), Idca Nursing Journal, Vol. V (1).
Susanti, P. F. E., 2015, Influence Of Smoking On Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD), J MAJORITY, Vol. 4 (5).

Anda mungkin juga menyukai