Anda di halaman 1dari 44

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ternak salah satu hewan yang dipelihara oleh manusia yang membutuhkan

pakan untuk kelangsungan hidupnya. Zat-zat makanan tidak dapat diserap dalam

bentuk alami sebelum adanya proses pencernaan berlangsung. Saluran pencernaan

merupakan pemecahan pakan yang dimulai dari mulut hingga anus. Saluran

pencernaan tiap-tiap ternak mempunyai perbedaan dan ciri khas tersendiri

tergantung pada jenis pakan yang diberikan.


Ternak terdiri dari tiga jenis ternak meliputi ruminansi, pseudoruminansi,

dan monogastrik. Pada saluran ruminansia memiliki karakteristik yaitu melakukan

ruminasi atau memamah biak, dan pada lambung terdiri dari rumen, retikulum,

omasum, dan abomasum. Lambung ruminansia dapat mencerna serat kasar dari

pakan hijauan dengan bantuan mikroba yang ada di dalam lambungnya. Saluran

pseudoruminansia memiliki ciri khas pada sekum yang lebih besar dari ternak

lainnya serta melakukan corprophagy. Pada sekum pseudoruminansia mempunyai

mikroba untuk menghancurkan serat kasar. Jika pada kotorannya masih terdapat

nutrisi yang masih dibutuhkan tubuhnya maka akan di makan kembali sebelum

menyentuh tanah. Sedangkan saluran pencernaan pada monogastrik terutama

unggas memiliki karakteristik yaitu tidak memamah biak, tetapi mempunyai

tembolok dan gizzard, serta memiliki kloaka yang memiliki fungsi sebagai alat

reproduksi dan alat ekskresi. Unggas tidak memiliki gigi untuk menghancurkan

pakan tetapi dapat menghancurkan pakan yang masuk. Pakan yang masuk di
2

dalam gizzard berupa butiran diremas dan dihancurkan oleh otot muskularis

dengan bantuan kerikil yang sebelumnya sudah ditelan.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan pada praktikum ini adalah untuk mengidentifikasi panjang saluran

pencernaan, ciri-ciri, dan persentasenya serta fungsi pada masing-masing bagian

dari saluran pencernaan ruminansia, pseudoruminansia, dan monogastrik. Manfaat

dari praktikum ini adalah untuk dapat mengetahui fungsi masing-masing organ

dan panjang dan persentase masing-masing organ.


3

BAB II

MATERI DAN METODE

Praktikum Anatomi Organ Digesti dilaksanakan pada hari kamis tanggal

9 April 2015 pukul 09.00 – 11.00 WIB di Laboratorium Fisiologi dan Biokimia

Ternak, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

2.1. Materi

Praktikum ini mengunakan materi yaitu ayam, kelinci dan awetan saluran

pencernaan kambing. Alat yang digunakan adalah pisau bedah yang digunakan

untuk menyembelih dan membedah ayam, penggaris yang digunakan untuk

mengukur panjang organ pencernaan, masker digunakan untuk menghindari bau

dari organ pencernaan terutama pada saluran pencernaan yang diawetkan , dan

alat tulis yang digunakan untuk mencatat hasil praktikum.

2.2. Metode

Metode yang digunakan pada preparat awetan adalah meletakan preparat

pada baki bedah, gunakan pisau untuk menyayat preparat untuk melihat organ

dalamnya, ukur panjang total dan masing-masing organ pencernaan, serta catat

hasil praktikum. Metode yang menggunakan preparat baru adalah dengan cara

memotong saluran vena jugularis, setelah itu kuliti hewan yang akan digunakan

pada praktikum, setelah itu keluarkan saluran pencernaanya dan dibersihkan, ukur
4

panjang total dan masing-masing dari organ pencernaan, serta catat hasil

praktikum.
5

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Anatomi dan Fungsi Fisiologis Saluran Pencernaan Ruminansia

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada saluran pencernaan

ruminansia maka diperoleh data yang disajikan sebagai berikut :

Tabel 1. Saluran pencernaan ruminansia

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber : stokishcs.com, 2015.


Fisiologi Ternak, 2015.
Gambar 1. Saluran Pencernaan Ruminansia

Keterangan : 1. Mulut, 2. Esofagus, 3. Rumen, 4. Retikulum, 5.Omasum


6. Usus Kecil, 9. Usus Besar, 10. Anus

Berdasarkan hasil praktikum saluran pencernaan pada kambing terdiri dari

esophagus, rumen, retikulum, omasum, abomasum, usus halus (deodenum,

jejenum, ileum), sekum, usus besar dan anus. Menurut pendapat Rahmadi et al.

(2003) bahwa lambung ternak ruminansia terdiri atas 4 kompartemen yaitu

reticulum (perut jala), rumen (perut beludru), omasum (perut buku) dan
6

abomasum (perut sejati). Menurut Parish et al. (2009) bahwa sistem pencernaan

pada ternak ruminansia terdiri dari mulut, esofagus, lambung yang terdiri dari

rumen, retikulum, omasum, abomasum, usus besar dan anus.

3.1.1. Mulut

Pencernaan dalam mulut dimulai dengan penempatan pakan dimana

terdapat pemamahan atau pelumatan dengan pengunyahan menggunakan gigi

secara proses mekanik. Mulut merupakan tempat masuknya makanan, pada mlut

terjadi proses mekanis yaitu berupa pengunyahan pakan (mastikasi) denggan

menggunakan gigi, lidah dan kelenjar. Hal ini sesuai dengan pendapat Rianto dan

Purbowati (2011) yang menyatakan bahwa di dalam mulut, pakan mengalami

penghancuran pertama secara mekanis oleh gigi. Hal ini didukung oleh pendapat

Sloane (2003) yang menyatakan bahwa di dalam mulut, pakan juga mengalami

pencampuran dengan saliva yang merupakan pencernaan secara mekanik dan

kimia.

3.1.2. Esofagus

Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan kavum oris dengan

ventrikulus. Hasil mastikasi dari mulut berupa bolus-bolus pakan akan melalui

esofagus menuju ventrikulus. Hal ini sesuai dengan pendapat Praseno (2003) yang

menyatakan bahwa gerak bolus dalam esofagus disebabkan kontraksi stratum

sirkulare, stratum longitudinale, dan stratum oblique yang tersusun spiralis.

Kontraksi muskuli tersebut menghasilkan gerak peristaltik. Hal ini diperkuat oleh
7

pendapat Wahyuni (2010) gerakan pakan di saluran pencernaan dilakukan oleh

adanya kontraksi atau gerakan peristaltik otot sirkuler dinding saluran pencernaan.

3.1.3. Lambung

Pada lambung ruminansia memiliki lambung sejati yaitu rumen, retikulum,

omasum, dan abomasum. Lambung pertamanya yaitu rumen di rongga perut

bagian kiri. Lambungnya terjadi pencernaan enzimatik karena mempunyai

banyak kelenjar. Menurut Darmono (2005) yang menyatakan bahwa lambung

ruminansia merupakan lambung yang komplek yang terdiri dari 4 bagian, yaitu

paling depan disebut rumen, kemudian retikulum, omasum, dan abomasum yang

berhubungan dengan usus. Menurut Rahmadi et al. (2003) bahwa lambung ternak

ruminansia terdiri atas 4 kompartemen yaitu reticulum (perut jala), rumen (perut

beludru), omasum (perut buku) dan abomasum (perut sejati).

3.1.3.1. Rumen, Proses pencernaan dimulai dari tahap merenggut rumput dengan

gigi seri dan ditelan untuk sementara disimpan dalam rumen. Menurut pendapat

Wijaya (2008) bahwa makanan yang berada dalam rumen dan retikulum akan

dicerna oleh sejumlah jasad renik yang secara normal ada dalam lambung sapi.

merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan

mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Mikroba dalam rumen sangat

banyak karena mikroba membantu untuk proses pencernaan serat kasar. Hal ini

sesuai dengan pendapat Mc Donald et al. (2002) yang menyatakan bahwa

mikroba rumen sebagian besar dihuni oleh bakteri, jumlah bakteri dalam rumen

mencapai 109 sel/ml sedangkan jumlah protozoa dalam rumen lebih sedikit dari
8

bakteri yaitu sekitar 106 sel/ml. Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dan

mikroorganisme yang paling sesuai dan dapat hidup serta ditemukan didalamnya.

3.1.3.2. Retikulum, merupakan lambung kedua yang terdapat pada bagian rongga

perut dibagian kiri. Menurut Nuswantara (2002) Retikulum mempunyai fungsi

dalam statusnya sebagai saluran pencernaan terutama lambung bagian kedua yang

memperluas makanan untuk dicerna/ingesta itu akan kembali kerumen karena

tidak adanya klep yang membatasi antar rumen dan retikulum kembali. Diperjelas

dengan pendapat Hernawati (2009) yang menyatakan bahwa siklus kontraksi

dimulai dari retikulum dimana terjadi dua kontraksi selama istirahat atau aktivitas

makan, yaitu kontraksi pencampuran (mixing contraction) dan kontraksi

pengosongan (evacuation contraction).

3.1.3.3. Omasum, dibagian ini merupakan lambung depan terakhir yang dimiliki

ternak ruminansia. Menurut Wijaya (2008) bahwa omasum merupakan bagian

perut setelah retikulum yang mempunyai bentuk permukaan berlipat-lipat dengan

struktur yang kasar. Perut depan bagian tersebut masih tergolong perut semu

karena belum mensekresikan getah pencernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat

Nuswantara (2002) yang menyatakan bahwa dilihat dari anatominya omasum

berbentuk seperti lembaran-lembaran atau lipatan-lipatan yang disebut dengan

laminae, perut bagian ini sering disebut juga dengan perut buku-buku. Omasum

memiliki fungsi sebagai absorbsi produk fermentasi air.


9

3.1.3.4. Abomasum, terletak ventral dari omasum dan terentang pada sisi kanan

dari rumen. Abomasum adalah lambung sejati karena mengeksresikan getah

pencernaan seperti HCl dan pepsin. Menurut pendapat Sarwono dan Arianto

dalam Wijaya (2008) abomasum menghasilkan saliva untuk membantu proses

pengunyahan pakan di mulut. Lambung tersebut dapat dibagi dalam tiga bagiar

yaitu cardia, fundus dan pilorus. Hal ini sesuai dengan pendapat Nuswantara

(2002) yang menyatakan bahwa bagian cardia merupakan gland mucus dimana

bagian ini berdekatan dengan omasum, antara abomasum dan omasum ini

dihubungkan oleh suatu celah yang disebut dengan omaso-abomas orifice.

3.1.4. Usus Halus

Usus halus terbagi atas tiga bagian yaitu duodenum, jejenum dan ileum.

Berdasarkan pada perbedaan-perbedaan struktural histologis atau mikroskopis.

Duodenum merupakan bagian yang pertama kali dari usus kemudian

menyambung dengan jejenum yaitu terdapat seperti bintil putih sebagai pembatas.

Bagian terakhir dari usus halus adalah ileum. Bagian terminal dari ileum

tersambung dengan usus besar atau sekum dan kolon pada ruminansia, pada

bagian kanan dari rongga abdomal. Hal ini sesuai dengan pendapat Praseno

(2003) yang menyatakan bahwa usus halus (intestinum tenue) merupakan saluran

ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu duodenum, jejenum, dan ileum. Menurut

Wijaya (2008) bahwa usus halus akan mencerna beberapa protein murni lolos dari

degradasi oleh mikroba rumen sehingga masuk abomasum masih dalam keadaan

utuh
10

3.1.5. Sekum

Sekum merupakan organ yang memisahkan antara usus besar dengan usus

halus yang di dalamnya sekum terjadi proses pencernaan fermentatif. Menurut

Rianto dan Purbowati (2011) yang menyatakan bahwa aktivitas microbial yang

besar di dalam usus besar terutama terjadi di dalam sekum. Sekum adalah suatu

kantong buntu berhubungan dengan proksimalcolon pada titik temu ileocaecal.

Keduanya menunda aliran bahanyang tidak dapat dicerna dan selanjutnya menjadi

tempat untuk fermentasi mikrobia. Diperjelas oleh pendapat Murwani (2009)

menyatakan bahwa pada usus halus terjadi penyerapan nutrien paling besar dari

makanan.

3.1.6. Usus besar

Usus besar memiliki fungsi sebagai penyerapan kembali air yang

terdapat pada sisa sisa makanan yang sudah tidak dipakai didalam usus besar.

feses yang terdapat pada ususbesar masihlah lunak karena masih mengandung air

yang cukup Menurut Wijaya (2008) usus halus mengatur aliran ingesta ke dalam

usus besar dengan gerakan peristaltik. Menurut Sutama (2009) bahwa tiga organ

pokok yang ada di usus besar yaitu kolon, sekum, dan rektum.

3.1.7. Anus

Fases merupakan sisa hasil penyerapan nutrient makanan atau pakan yang

tidak tercerna. Diperkuat dengan pendapat Mangisah (2003) anus merupakan

lubang untuk pengeluaran sisa hasil pencernaan yang tidak dapat diserap oleh
11

tubuh. Menurut Wahyuni (2010) bahwa feses adalah sisa pencernaan dan

dikeluarkan dari saluran pencernaan atau tractus digestivus melalui anus.

3.2. Anatomi dan Fungsi Fisiologis Saluran Pencernaan


Pseudoruminansia

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada saluran pencernaan

pseudoruminansia maka diperoleh data yang disajikan sebagai berikut :

Tabel 2. Saluran pencernaan pseudoruminansia


1

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber : wordpress.com, 2015.


Fisiologi Ternak, 2015.
Gambar 2. Saluran Pencernaan Pseudoruminansia

Keterangan: 1. Esofagus, 2. Lambung, 3. Usus halus, 4. Sekum, 5. Usus besar,


6. Anus

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa

pada sistem pencernaan pseudoruminansia terdapat beberapa organ seperti

esofagus, lambung, usus halus, sekum, usus besar, dan anus. Karakteristik dari

saluran pencernaan ini yaitu melakukan corprophagy (memakan kembali kotoran

yang belum jatuh ke tanah) dan mempunyai lambung tunggal atau monogastrik.
12

Karakteristik lainnya yaitu sekum pada pseudoruminansia lebih besar dari sekum

ternak lainnya.

3.2.1. Esofagus

Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa esophagus merupakan

saluran penghubung antara mulut dan lambung. Pada esophagus terdapat gerak

peristaltik yang berfungsi melancarkan pakan ke lambung. Hal ini diperkuat oleh

pendapat Wahyuni (2010) gerakan pakan di saluran pencernaan dilakukan oleh

adanya kontraksi atau gerakan peristaltik otot sirkuler dinding saluran pencernaan.

Menurut pendapat Murwani (2009) yang menyatakan bahwa diantara esofagus

dan lambung terdapat katup yang disebut Cardiac sphincter yang berfungsi

mencegah pakan kembali lagi ke mulut.

3.2.2. Lambung

Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa setelah dari esophagus

pakan akan masuk ke lambung. Dalam lambung terjadi pencernaan secara

kimiawi dan enzimatis yaitu proses pencernaan HCl yang menyebabkan lambung

bersifat asam. Hal ini sesuai dengan pendapat Murwani (2009) bahwa terjadi

pemecahan kimiawi makanan dengan adanya HCl dan pemecahan enzimatis

dengan adanya pepsin. Menurut pendapat Wahyuni (2010) menyatakan bahwa

lambung berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan dan tempat terjadinya

proses pencernaan.
13

3.2.3. Usus Halus

Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa usus halus pada

pseudoruminansia terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan illeum.

Menurut pendapat Murwani (2009) bahwa pada usus halus terjadi penyerapan

nutrien paling besar dari makanan. Menurut pendapat Wahyuni (2010) bahwa

duodenum yaitu bagian yang menghubungkan dengan lambung, jejenum adalah

bagian tengah dan ileum yang menghubungkan dengan usus besar.

3.2.4. Sekum

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa sekum

pseudoruminansia lebih besar dari sekum pada ternak lainnya, karena sekum

pseudoruminansia mengalami perkembangan. Menurut Rahmat (2000)

menyatakan bahwa pakan yang telah dicerna dalam sekum akan menuju usus

besar dan terjadi penyerapan air sehingga feses ada yang lembek dan ada yang

kering. Karakteristik lain pada sekum pseudoruminansia yaitu terjadi proses

ruminasi semu dengan cara memakan kotorannya kembali yang belum jatuh ke

tanah atau bisa disebut corprophagy. Hal ini sesuai dengan pendapat Murwani

(2009) menyatakan bahwa kelinci mempunyai kebiasaan yaitu memakan

kotorannya sendiri.

3.2.5. Usus Besar

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa setelah melewati

sekum pakan selanjutnya menuju usus besar. Usus besar berfungsi sebagai
14

penyerapan air karena sebagian besar sari-sari makanan sudah terserap di usus

halus. Menurut pendapat Wijaya (2008) usus besar terdapat ascenden dan colon

transverasum, colon descenden dan colon sigmoideum yang belum jelas. Menurut

pendapat Wahyuni (2010) pencernaan dalam usus besar adalah sisa-sisa kegiatan

oleh lipase, trypsin, chemotrypsin dari usus halus, dan didalam usus besar terdapat

banyak kegiatan mikrobia yang mampu menghidrolisis selulosa serta vitamin B.

3.2.6. Anus

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil bahwa anus merupakan

organ terakhir pada saluran pencernaan yang berfungsi sebagai tempat

pembuangan feses. Hal ini sesuai dengan pendapat Mangisah (2003) anus

merupakan lubang untuk pengeluaran sisa hasil pencernaan yang tidak dapat

diserap oleh tubuh. Hal ini juga diperkuat oleh Wahyuni (2010) bahwa feses

adalah sisa pencernaan dan dikeluarkan dari saluran pencernaan atau tractus

digestivus melalui anus.


15

3.3. Anatomi dan Fungsi Fisiologis Saluran Pencernaan Monogastrik

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada saluran pencernaan

monogasrtik maka diperoleh data yang disajikan sebagai berikut :

Tabel 3. Saluran pencernaan monogastrik


1

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber : wordpress.com, 2015.


Fisiologi Ternak, 2015.
Gambar 3. Saluran Pencernaan Monogastrik

Keterangan : 1. Esophagus, 2. Tembolok, 3. Proventrikulus, 4. Gizzard,


5. Usus Halus, 6.Usus Buntu, 7. Kloaka

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa

pada sistem pencernaan monogastrik terdapat beberapa organ seperti esofagus,

tembolok, proventrikulus, ventrikulus, usus halus, seka, usus beasr dan kloaka.

3.3.1. Esogasus

Kelenjar ludah dalam jumlah sedikit dikeluarkan dalam mulut untuk

membantu menelan makanan untuk melicinkan makanan yang masuk menuju

esophagus dan diteruskan ke tembolok. Menurut Fadilah dan Polana (2011) yang
16

menyatakan bahwa keronggongan berfungsi untuk menyalurkan makanan dari

mulut ke tembolok. Esofagus berfungsi sebagai saluran masuk makanan. Menurut

Zainuddin et al. (2014) tembolok adalah modifikasi dari esofagus dan fungsi

utama dari organ ini adalah untuk menyimpan makanan sementara dan tempat

maserasi biji-bijian.

3.3.2. Tembolok

Tembolok adalah modifikasi dari esofagus. Fungsi utama dari organ ini

adalah untuk menyimpan makanan sementara dan tempat maserasi biji-bijian.

Menurut Fadilah dan Polana (2011) yang menyatakan bahwa tembolok berfungsi

sebagai penampung sementara makanan sebelum proses selanjutnya. Adanya

tembolok memungkinkan unggas untuk menerima makanan lebih cepat dari pada

absorpsinya. Bila unggas dipuasakan makanan pertama yang dimakan langsung

masuk proventrikulus, lubang ke tembolok tertutup. Menurut Sjofjan et al. (2003)

dalam Sari et al. (2013) yang menyatakan bahwa tembolok ayam yang baik

memiliki pH 4- 5 akibatnya organsme yang tidak tahan asam tidak dapat

berkembang secara normal. Makanan berikutnya disimpan dalam tembolok

selama beberapa menit sampai beberapa jam, tergantung pada konsistensinya dan

respons ventrikulus.

3.3.3. Proventrikulus

Lambung pada ayam terdiri atas dua bagian, yaitu lambung kelenjar

(proventrikulus) dan lambung otot (ventrikulus). Menurut Dian, (2012)


17

proventrikulus menghasilkan asam klorida (HCl) dan beberapa enzim pencernaan

seperti pepsin. Proventrikulus merupakan perbesaran terakhir dari esofagus, juga

merupakan kelenjar tempat terjadinya pencernaan secara enzimatis. Menurut

Nurhayati (2014) sel kelenjar secara otomatis akan mengeluarkan cairan kelenjar

pada saat makanan melewati proventrikulus dengan cara berkerut secara mekanis.

3.3.4. Gizzard

Gizzard atau empedal berbentuk bulat telur dan tersusun dari serabut otot

yang pada dan kuat, di ujung depan gizzard berhubungan dengan proventrikulus

dan agak masuk berhubungan dengan usus halus. Menurut Murwani (2009) yang

menyatakan bahwa fungsi utama empedal adalah mengiling dan meremas pakan

yang masih keras sehingga ukurannya semakin kecil dan meningkatkan

permukaan partikel pakan. Menurut Limbang (2009) bahwa empedal memilki

dinding seperti otot dan berfungsi menggiling dan meremas pakan yang masih

keras sehingga ukurannya semakin mengecil dan meningkatkan permukaan

partikel pakan

3.3.5. Usus halus

Usus halus merupakan organ utama tempat berlangsungnya pencernaan

dan absorpsi produk pencernaan, terdapat berbagai enzim dalam usus halus yang

berfungsi mempercepat dan mengefisiensikan pemecahan karbohidrat, protein,

serta lemak untuk mempermudah proses absorpsi. Menurut Gagah (2010) usus

halus terdiri atas duodenum (bagian depan), jejunum (bagian tengah), dan
18

berakhir di ileum (bagian belakang). Mangisah (2003) yang menyatakan bahwa

di sebelah usus kecil terdapat bangunan lain yaitu pancreas, kelenjar empedu dan

hati Usus halus merupakan tempat terjadinya proses pencernaan dan penyerapan

zat–zat makanan. Usus halus berfungsi sebagai penggerak aliran ransum dalam

usus dan meningkatkan penyerapan zat makanan. Kemampuan ini ditunjang oleh

adanya selaput lendir yang dilengkapi dengan jonjot usus yang lembut dan

menonjol sehingga penyerapan zat makanan bisa maksimal.

3.3.6. Usus Buntu / Seka

Usus buntu terletak di bagian depan usus besar dan umumnya kurang

memiliki fungsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Murwani (2009) yang

menyatakan bahwa disini (sekum) terjadi pencernaan serat dalam jumlah kecil

atau terbatas dimana mikroba. menghasilkan enzim selulase yang memecah

selulosa (serat kasar). Usus buntu berfungsi dalam membantu penyerapan air serta

mencerna karbohidrat dan protein dengan bantuan bakteri yang ada dalam usus

buntu. Sebagian kecil serat dapat dicerna di dalam usus buntu yang disebabkan

adanya bakteri fermentasi, namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan

sebagian spesies mamalia. Usus besar merupakan tempat penyerapan kembali air

dari usus halus. Menurut Gagah (2010) usus besar berfungsi sebagai penyalur

makanan dari usus kecil menuju kloaka untuk dibuang.


19

3.3.7. Kloaka

Kloaka merupakan saluran yang membuka dan berhubungan dengan anus

dibagian terujung. Kloaka merupakan saluran tiga muara yaitu saluran

pencernaan, saluran urinaria dan saluran reproduksi. Menurut Yuwanta (2000)

menyatakan bahwa Kloaka merupakan tempat keluarnya ekskreta. Menurut

pendapat Fadila dan Polana (2011) menyatakan bahwa kloaka berfungsi sebagai

lubang pengeluaran sisa pencernaan.


20

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa saluran pencernaan

hewan dibedakan dari lambungnya. Lambung tunggal disebut monogastrik,

sedangkan lambung majemuk disebut poligastrik. Hewan yang digunakan dalam

praktikum tergolong kelinci dan ayam adalah monogastrik. Sedangkan, hewan

poligastrik adalah ruminansia. Pada pseudoruminasia yang membedakan dengan

hewan lain adalah sekum yang besar, pada monogastrik yang membedakan

adalah mempunyai tembolok, ventrikulus dan proventrikulus. Sedangkan pada

ruminansia organ yang membedakan dengan hewan lain adalah rumen, retikulum,

omasum dan abomasum.

4.2. Saran

Berdasarkan paktikum yang telah dilakukan pada tanggal 9 april 2015 di

laboratorium Fisiologi dan Biokimia. Kami menyarankan agar dalam praktikum

selanjutnya dapat lebih teliti dalam praktikum serta kelengkapan alat-alat dapat

diperbaiki sehingga kita bisa lebih fokus dalam praktikum.


21

DAFTAR PUSTAKA

Darmono. 2005. Tatalaksana Usaha Sapi Kareman. Yogyakarta, Kanisius.

Fadilah, Roni dan Polana, Agustin. 2011. Mengatasi 71 Penyakit Pada Ayam.
Jakarta : ArgoMedia Pustaka

Gagah, Wijaya. 2010. Peresentase Lemak Abdominal dan Organ dalam Ayam
Broiler yang Diberi Ransum Dengan Penambahan Cassabio. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Nuswantara, L. K. 2002. Ilmu Makanan Ternak Ruminansia.

Mangisah, I. 2003. Diktat kuliah ilmu nutrisi dan makanan ternak babi.
Universitas Diponegoro, Semarang.

Murwani, R. 2009. Modul Perkuliahan Ilmu Nutrisi dan Pakan. Fakultas


Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Parish, J. A., Rivera, J. D., Boland, H. T. 2009. Understanding the ruminant


animal digestive system. Mississippi State University.

Praseno, K., Isroli., dan B. Sudarmoyo. 2003. Fisiologi Ternak. Semarang, Proyek
Semique.

Rahmadi, D., Sunarsono, J. Achmadi, E. Pangestu, A. Muktiani, M. Christiyanto,


Surono. 2003. Ruminologi Dasar. (Diktat).

Rahmat, H. 2000. Produksi Kelinci dan Marmut. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Sari, M. S., Arbar, Arfan dan Merint. 2013. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam
pada usus ayam broiler. Agripet Vol 13(1).

Sutama, I. K. 2009, Panduanlengkapkambingdandomba. Penebar Swadaya,


Jakarta.

Wahyuni, T.A. 2010. Pengaruh substitusi jerami kacang tanah dengan silase daun
pisang (Musa paradisiaca) terhadap kecernaan bahan kering dan bahan
organik ransum pada kelinci New zealandwhite jantan. Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.

Wijaya, Agus. 2008. Pengaruh Imbangan Hijauan Dengan Konsentrat Berbahan


Baku Limbah Pengolahan Hasil Pertanian Dalam Ransum Terhadap
Penampilan Sapi Pfh Jantan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
(Skripsi)
22

Zainuddin, Masyitha, D., Mulyana, Y., Fitriani, 2014. Struktur Histologi


Proventrikulus Ayam Kampung (Gallus domesticus), Bebek (Anser anser
domesticus) Dan Merpati (Columba domesticus). Jurnal Ilmiah Peternakan
2 (1) : 5-10.

Zainuddin, Masyitha, D., Mulyana, Y., Fitriani, 2014. Struktur Histologi


Tembolok (Ingluvies) Pada Unggas. Jurnal Medika Veterinaria, 2 (8): 47 –
50.
23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Darah merupakan salah satu parameter dari kesehatan hewan yang

merupakan komponen dari fungsi penting dalam pengaturan fisiologis didalam

tubuh. Fungsi darah secara umum berkaitan dengan transportasi komponen di

dalam tubuh seperti nutrisi, oksigen, karbondioksida, metabolisme, hormon dan

kelenjar endokrin, panas dan sistem imun tubuh. Nutrisi yang diserap pada saluran

pencernaan yang kemudian dibawa ke dalam darah untuk memenuhi kebutuhan

pada jaringan tubuh.

Hematrokit adalah presentasi sel-sel darah merah terhadap seluruh darah.

Presentase tersebut diukur dengan mensentrifuge darah pada tabung khusus yaitu

tabung hematrokit, dan presentase tersebut ditunjukkan oleh tingginya kadar

warna merah pada tabung. Fungsi dari perhitungan kadar hematokrit yaitu untuk

menentukan derajat anemia yang mempunyai fungsi sebagai gejala kekurangan

eritosit pada darah. Pemeriksaan hematokrit biasanya dilakukan dengan

mengambil sample darah pada pembuluh vena dengan menggunakan jarum

suntik. Rendah tingginya kadar hematokrit ini bisa dipengaruhi oleh konsumsi

pakan yang tidak sesuai dengan umur, selain itu kandungan serat kasar yang

terlalu tinggi sehingga kadar hematokrit rendah dan mengakibatkan konsumsi

kurang.

Hemoglobin merupakan bagian dari eritrosit yang mempunyai senyawa

kompleks dengan fungsi mengikat oksigen (O2) yang datang dari saluran
24

pernafasan. Hemoglobin dibentuk 4 sub unit, masing- masing mengandung suatu

gugusan hem yang dikonjugasi ke suatu polipeptida. Hemoglobin menjadi satu

dengan oksigen udara yang terdapat di dalam paru-paru hingga terbentuk yaitu

oksihemoglobin, yang nantinya melepaskan oksigen menuju sel-sel jaringan

tubuh. Faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah umur hewan, spesies,

lingkungan, pakan, ada tidaknya kerusakan eritrosit, dan penanganan darah pada

saat pemeriksaan.

Jumlah eritrosit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

umur, jenis kelamin, bangsa, penyakit, temperatur, lingkungan, keaadaan

geografis, kebuntingan dan kegiatan fisik. Eritrosit berfungsi dalam transportasi

gas oksigen (O2) maupun karbondioksida (CO2). Kenaikan jumlah eritrosit dapat

terjadi akibat adanya aklimatisasi pada dataran tinggi. Pembentukan eritropoiesis

prenatal (stadium embrional) terjadi di dalam sacus vitellinus.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan praktikum untuk mengukur kadar hematokrit, menghitung jumlah

eritrosit dan leukosit, mengukur kadar hemoglobin, menghitung leukosit pada

preparat apus darah. Manfaat dari praktikum agar praktikan dapat mampu

mengetahui kadar dari darah yang meliputi kadar hematocrit, jumlah eritrosit dan

leukosit, kadar hemoglobin, dan dapat menghitung leukosit dari preparat apus

darah.
25

BAB II

MATERI DAN METODE

Praktikum Fisiologi ternak dengan materi Fisiologi Darah dilaksanakan

pada hari kamis tanggal 16 April 2015 dan 7 Mei 2015 pukul 09.00 - 11.00 WIB

di Laboratorium Fisiologi dan Biokimia Fakultas Peternakan dan Pertanian

Universitas Diponegoro Semarang.

2.1. MATERI

Materi yang digunakan dalam darah ayam kampung usia 5 minggu adalah

kapas yang digunakan sebagai penutup, sealing compoun/lilin yang digunakan

untuk menutup tabung, aqquadestiala, cebfrifuge untik memutar pipa mikropiler.,

tabel jenetky untuk menentukan kadar hematokrit, Larutan HCI 0,1,

aqquadestilata untuk pelarut, hemometer sahli untuk standar dalam pengukuran

kadar hemoglobin, pipa isap untuk menghisap darah, larutan hayem untuk

dicampurkan dengan darah, bilik hitung improve neubauer, mikroskop, hand

couter untuk menghitung, larutan turk.

2.2. METODE

Metode yang digunakan dalam praktikum Fisiologi darah terdiri atas

Mengukur Kadar Hematokrit (Hct) Darah, Mengukur Kadar Hemoglobin (Hb)

dan Mengukur Sel Darah Merah (Eritrosit).


26

Mengisi tabung mikropipet dengan darah sampai sekitar tiga perempatnya,

menutup tabung dengan cara menekan pada sealing compound (bahan penutup)

dan memutar hingga membentuk lubang, meletakkan tabung mikrokapiler

tersebut pada sentrifuge dengan posisi ujung yang berisi darah diluar memutar

selama 3 menit dengan 2000 – 4000 rpm, selesai sentrifuge mengukur kadar

hematokrit pada tabel Jenetsky. Dengan menggunakan sebagai berikut :

Mengisi tabung sahli dengan HCl sampai 10% (sampai angka 2),

menghisap darah menggunakan pipet hemoglobin sampai batas skala 20 dengan

cepat, kemudian memindah ke tabung sahli dengan cara meniupnya, mengaduk

sampai merata dan menununggu 3 – 10 menit (agar terbentuk asam hematin yang

berwarna coklat), menambahkan tetes demi tetes air suling ke larutan hematin

(mengaduk setiap kali meneteskan) sampai diperoleh warna hematin dalam tabung

sama dengan warna tabung standar pada comparator block, membaca skala serta

mencatat hasil yang diperoleh.

Menyiapkan pipit RBC (Red Blood Cell) dan bilik hitung hemocytometer.

Memasang karet pinghisap pada pipet RBC dan mengusahakan pipet dalam

kondisi horisontal menghisap darah kedalam pipet sampai pada angka 0,5.

Menempatkan ujung pipet pada cairan larutan hayem dan menghisap larutan

tersebut ke pipet sampai mencapai tanda 101. Melepaskan karet penghisap tutup

kedua ujung pipiet dengan ibu jari dan mengkocok pipet dengan jari tengah

mengikuti angka 8 selama 2 menit. Setelah sel-sel larut membuang 2 – 3 tetes dari
27

pipet, menempelkan ujung pipet pada coverslip yang telah disiapkan pada

hemocytometer membiarkan selama 2 menit. Meneteskan larutan sel darah merah

dalam bilik hitung dan menutup dengan cover glass. Mengamati dan menghitung

jumlah eritrosit pada bilik hitung dibawah mikroskop pada 5 kotak kecil (4 kotak

di pojok, 1 di tengah). Mencatat semua jumlah eritrosit yang berhasil hitung.


28

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Observasi Hematologis Darah Ayam Kampung Super Umur 5 Minggu

Berdasarkan pengamatan yang dialkukan pada berbagai variabel

hematologis maka diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 1. Hasil Observasi Hematologis Darah Ayam Kampung Super.

Variabel Pengamatan Hasil Pengamatan


Hematokrit (%) 58,16%
Hemoglobin (mg/dl) 11,59%
3
Total Eritrosit (juta/mm ) 91.400.000 ribu/mm3
3
Total Leukosit (juta/mm ) 300050 ribu/mm3
Diferensial Leukosit (%)
 Basofil 10%
 Neutrofil -
 Eosinofil 26%
 Limfosit 41%
 Monosit 21%
3
MCV (µ ) 1.62231 × 10 -7
MCHC (%) 1.992.78 %
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Ternak, 2015.

3.1.1. Hematokrit

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan jumlah hematokrit adalah

58,16%. Kadar hematokrit dapat berubah jika dilihat dari nilai atau status gizi

yang dihasilkan dari pakan yang dikonsumsi. Menurut Isroli (2013) fungsi

perhitungan kadar hematokrit yaitu untuk menentukan derajat anemia sebagai

gejala kekurangan eritosit pada darah. Menurut Budiman (2007) dalam

Shawaludin et al. (2013) bahwa fungsi lain dari hematokrit adalah mengukur
29

proporsi sel darah merah, karena hematrokit dapat mengukur konsentrasi sel darah

merah. Pemeriksaan hematokrit dilakukan dengan mengambil sample darah pada

pembuluh vena dengan menggunakan jarum suntik. Rendahnya kadar hematokrit

ini bisa dipengaruhi oleh konsumsi pakan yang tidak sesuai dengan umur, selain

itu kandungan serat kasar yang terlalu tinggi sehingga kadar hematokrit rendah

dan mengakibatkan konsumsi kurang. Menurut Yanti (2013) pengaruh hematokrit

terhadap viskositas darah yaitu semakin besar presentase sel darah merah semakin

besar nilai hematokrit, oleh karena itu viskositas darah meningkat hebat dengan

meningkatnya hematokrit

3.1.2. Hemoglobin

Hasil praktikum memiliki rataan hemoglobin 11,59 mg/dl. Hal ini tidak

sesuai dengan pendapat Hati (2008) yang menyatakan bahwa rataan jumlah

hemoglobin dalam eritrosit 9,0 mg/dl. Hemoglobin merupakan bagian dari

eritrosit yang mempunyai senyawa kompleks dengan fungsi mengikat oksigen

(O2) yang datang dari saluran pernafasan. Hemoglobin merupakan suatu senyawa

kompleks globlin yang dibentuk 4 sub unit, masing- masing mengandung suatu

gugusan hem yang dikonjugasi ke suatu polipeptida. Hem adalah turunan

porofirin yang mengandung zat besi (Fe). Hemoglobin menjadi satu dengan

oksigen udara yang terdapat di dalam paru-paru hingga terbentuk yaitu

oksihemoglobin, yang nantinya melepaskan oksigen menuju sel-sel jaringan

tubuh. Proses oksihemoglobin memerlukan besi dalam bentuk ferro di dalam

molekul hemoglobin. Oksigen yang terikat jumlahnya sama dengan jumlah atom
30

besi. Tiap gram hemoglobin akan mengangkut sekitar 1,34 ml oksigen. Faktor

yang mempengaruhi jumlah hemoglobin yaitu spesies, pakan, umur ternak. Hal

ini sesuai dengan pendapat Wardhana (2001) yang menyatakan bahwa Faktor

yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah umur hewan, spesies, lingkungan,

pakan, ada tidaknya kerusakan eritrosit, dan penanganan darah pada saat

pemeriksaan.

3.1.3. Total Eritrosit

Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa total eritrosit pada darah

ayam kampung berumur 5 minggu yaitu 91.400.000 juta/mm3. Menurut pendapat

Kusumawati (2000) dalam jurnal Hidayat et al. (2013) bahwa jumlah rata-rata sel

darah merah pada unggas adalah 1,25 - 4,50 juta/mm 3. Pada praktikum ini

tergolong memiliki eritrosit lebih dari kisaran normal. Hal ini sesuai dengan

pendapat Ali et al. (2013) bahwa perbedaan jumlah eritrosit dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor diantaranya umur, jenis kelamin, bangsa, penyakit,

temperatur, lingkungan, keaadaan geografis, kebuntingan dan kegiatan fisik.

Eritrosit merupakan komponen seluler dari darah yang mengandung hemoglobin

yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dan karbondioksida. Hal ini sesuai

dengan pendapat Sonjaya (2012) menyatakan bahwa eritrosit mengandung

hemoglobin dan berfungsi sebagai transpor oksigen.


31

3.1.4. Total Leukosit

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan didapatkan jumlah leukosit

adalah 300050 ribu/mm3. Menurut Hamzah et al. (2012) bahwa kisaran jumlah

leukosit yang normal bagi unggas yaitu 12.000-30.000 leukosit per mm3. Menurut

Feldman et al. dalam Julendra et al. (2010) bahwa jumlah sel leukosit normal

pada ayam antara 12.000-30.000 µl. Jumlah total leukosit berbeda jauh dengan

jumlah normal leukosit. Jumlah leukosit dapat meningkat ketika terdapat bahan

aktif di dalam tubuh yang menyebabkan adanya indikasi perlawanan dari antibody

di dalam tubuh. Menurut Julendra et al. (2010) bahwa peningkatan jumlah sel

leukosit dalam darah disebabkan adanya indikasi perlawanan antibody tubuh

terhadap beberapa kandungan bahan aktif cacing tanah.

3.1.5. Diferensial Leukosit

3.1.5.1. Basofil, berdasarkan praktikum didapatkan basofil sebesar 10 %. Menurut

Sturkie dalam Pertika (2004) bahwa basofil sulit ditemuakn di dalam darah, hanya

ada sekitar 0,5%- 1,5% dari seluruh leukosit dalam darah 3,1%. Basofil adalah

granulosit yang bersifat polimorfonuklear-basofilik. Menurut Rohimat (2002)

menyatakan bahwa ukurarmya sedikit lebih besar dari heterofil, dengan inti

berbentuk bulat dan sitoplasmanya relatif tidak berwarna. Ukuran basofik lebih

besar dari heterofil dengan inti berbentuk bulat dan sitoplasma relatif berwarna,

berwarna biru tua-ungu yang sering menutuoi inti yang agak cerah. Menurut

Herry (2012) menyatakan bahwa basofil dibentuk di dalam sumsum tulang.


32

Kemampuan fagositosis dari sel ini dapat dikatakan tidak ada. Basofil mempunyai

fungsi yang sama dengan sel mast, yaitu pencetus peradangan jaringan tertentu.

3.1.5.2. Neutrofil, berdasarkan praktikum didapatkan neutrofil sebesar 0 %,

berkembang dalam sumsum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi. Menurut

pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa sel- sel ini merupakan 60 -70 %

dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus.

Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0;3-0,8um)

mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh campuran jenis

romanovky. Granul pada neutrofil ada dua yaitu Azurofilik yang mengandung

enzym lisozom dan peroksidase dan Granul spesifik lebih kecil mengandung

fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein Kationik) yang dinamakan

fagositin. Menurut Sonjaya (2013) yang menyatakan bahwa neutrophil merupakan

garis pertahanan tubuh untuk melawan infeksi dengan bermigrasi ke daerah yang

dikuasai bakteri untuk memusnahkannya. Neutrofil juga mencerna jaringan mati

pada daerah dan menghasilkan bahan semi cair yang disebut sebagai “pus”.

3.1.5.3. Eosinofil, berdasarkan praktikum didapatkan eosinofil sebesar 26 %.

Menurut pendapat Strukie dalam Crhisty (2004) yang menyatakan bahwa

eosinofil merupakan granulisot polymorfonuklear- eosinofilik yang mempunyai

ukuran hampir sama dengan heterofil. Granulnya berbentuk bulat dan relative

besar, berwarna merah. Diperjelas oleh pendapat Rohimat (2002) jumlah eosinofil

dalam darah berkisar 2-8 % dari jumlah leukosit, berdiameter 10-15 µm.
33

3.1.5.4. Limfosit, berdasarkan praktikum didapatkan basofil sebesar 10 %.

leukosit agranullosit dan merupakan leukosit terbanyak di dalam darah unggas,

mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi. Menurut morfologinya dibedakan

atas tipe besar dan tipe kecil. Tipe kecil merupakan limfosit dewasa, memiliki

diameter 8 um, dengan perbandingan sitoplasma:inti= 1: 9, inti bulat

heterokromatik, serta dikelilingi oleh lingkaran tipis sitoplasma. Menurut Rohimat

(2002) menyatakan bahwa tipe besar merupakan limfosit muda, jarang ditemukan

dalam peredaran darah, mempunyai diameter 12 urn, dengan perbandingan

sitoplasma:inti = 1:1, inti melekuk heterokromatik dan dikelilingi oleh sitoplasma.

Limfosit diproduksi di jaringan limpoid seperti payer's patches, limpa, tonsil,

timus dan bursa fabrisius. Menurut Herry (2012) bahwa fungsi utama limfosit

adalah memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi

antigen yang berlekat pada makrofag. Limfosit tertentu mengikatkan dirinya pada

agen-agen asing dan merusakkannya. Masa hidup limfosit sangat lama bisa

sampai 100-300 hari, bahkan bertahun-tahun.

3.1.5.5. Monosit, berdasarkan praktikum didapatkan monosit sebesar 21 %.

Menurut Pertika (2004) bahwa monosit merupakan sel leukosit terbesar yang

berjumlah 3 - 9 % dari keseluruhan sel darah putih, merupakan leukosit

agranulosit yang sangat besar dengan diameter 15-20 urn, dan perbandingan

sitoplasma: inti = 6:4. Menurut Herry (2012) bahwa sitoplasma monosit lebih

banyak dari pada limfosit dan berwarna abu-abu pucat, sedangkan inti berbentuk

lojong, seperti ginjal atau mirip tapal kuda, dan berjumlsh 3 -9% dari seluruh
34

leukosit. Disamping berperan sebagai makrofag, monosit penting dalam sistem

imunologi. Kontak yang dekat antara limfosit dan monosit diperlukan untuk

respon imunologis yang maksimal. dengan diameter 15 — 20 µm, inti berbentuk

seperti ginjal atau mirip tapal kuda dan sitoplasma yang mengambil warna basofil.

Menurut Rohimat (2002) jumlah eosinofil dalam darah berkisar 2-8 % dari jumlah

leukosit, berdiameter 10-15 µm.

3.1.6. Mean Corpuscular Volume (MCV)

Berdasarkan praktikum didapatkan MCV sebesar 1.62231 × 10 -7 fl.

Menurut Bounous dan Stedman dalam Asterizka (2012) menyatakan bahwa nilai

MCV normal pada ayam adalah 90-140 fl. MCV merupakan ukuran volume

eritrosit secara internasional yang mengukur besar rata-rata sel darah merah.

Menurut Adriani dalam Asterizka (2012) bahwa nilai MCV didapatkan dengan

cara membagi persentase hematokrit dengan jumlah sel darah merah. Faktor-

faktor yang mempengaruhi nilai MCV terlihat pada kekurangan zat besi, anemia

talasemia, sedangkan pada nilai MCV terlihat pada penyakit hati, alkoholism,

terapi antimetabolik, kekurangan folat atau vitamin B12.

3.1.7. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)

Berdasarkan praktikum didapatkan MCHC sebesar 1.992.78 %. Menurut

Bounous dan Stedman dalam Asterizka (2012) nilai MCHC normal pada ayam

adalah 26%-35%. Nilai MCHC adalah besarnya konsentrasi rata-rata hemoglobin

dalam sel darah merah. Nilai MCHC merupakan parameter untuk mengetahui
35

rataan konsentrasi hemoglobin di dalam sel darah merah. Nilai MCHC merupakan

indikator paling penting untuk mengamati terapi anemia. Hal ini dikarenakan

MCHC menggunakan dua penentu paling akurat pada hematologi, yaitu

hemoglobin dan hematokrit, yang digunakan dalam perhitungan. Ukuran ini

diperoleh dengan membagi kadar hemoglobin dengan persentase hematokrit.

Menurut Asterizka (2012) besaran MCHC mengkategorikan sel darah berdasarkan

konsentrasi hemoglobin.
36

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Presentase hematokrit darah ayam yang digunakan nilainya tidak konstan,

karena tergantung dari nilai atau status gizi ayam. Faktor yang mempengaruhi

hemoglobin dalam darah diantaranya yaitu umur, spesies, jenis kelamin, serta

kualitas pakan. Semakin berkualitas pakan yang diberikan semakin baik pula

kadar hemoglobin yang ditunjukan. Perbedaan jumlah eritrosit dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor diantaranya umur, jenis kelamin, bangsa penyakit,

temperatur, lingkungan, keadaan geografis, kebuntingan, dan kegiatan fisik. Total

leukositdapat meningkat ketika terdapat bahan aktif didalam tubuh yang

menyebabkan adanya indikasi perlawanan dan antibody dalam tubuh. Diferensial

leukosit terdiri dari basofil, neutrofil, eosinofil, limfosit, dan monosit. Jumlah sel

darah merah dapat diukur dengan perhitungan MCV, sedangkan jumlah

hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah dapat di ukur dengan

perhitungan MCHC.

4.2. Saran

Berdasrkan praktikum yang telah dilakukan disarankan agar berhati –hati

dan teliti dalam melakukan pengamatan dan pastikan peralatan yang digunakan

untuk praktikum.
37

DAFTAR PUSTAKA

Ali, A.S., Ismoyowati dan I. Diana. 2013. Jumlah eritosit, kadar hemoglobin dan
hematokrit pada berbagai jenis itik lokal terhadap penambahan
probiotik dalam ransum. Jurnal Ilmiah Peternakan. Vol. 1(3): 1001-
1013.

Asterizka, Meta. 2012. Profil Darah Ayam Petelur Yang Diberi Ransum
Mengandung Tepung Daun Dan Bunga Marigold (Tagetes erecta).
Institut Pertanian Bogor, Bogor (skripsi)

Christy .D.P. 2004. Differensiasi Leukosit Darah Ayam Broiler yang Diinfeksi
Leucocytozoon caulleryi Setelah Pemberian Obat Sulfachloropyrazine
Melalui Air Minum. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Effendi, Z. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam Tubuh.
Universitas Sumatera Utara, Medan.

Hamzah, R. A., I. Wiryanti, D. A. Astuti, F. Satrija. 2012. Tanggap kebal dan


tampilan produksi ayam pedaging yang diberi ekstrak buah mengkudu.
Jurnal Veteriner. 13(1): 34 – 42.

Hati, H. Z. 2008. Gambaran leukosit darah ayam broiler yang diberi pakan dengan
suplementasi serbuk bawang putih, serbuk kunyit dan ZnO. (Skripsi)

Hidayat, W., Isroli dan Widiastuti, RR. E. 2013. Kadar hemoglobin, hematokrit,
dan eritrosit burung puyuh jantan umur 0-5 minggu yang diberi
tambahan kototran walet dalam ransum. Animal Agriculture Journal.
Vol. 2(1): 209-216.

Julendra, H., Zuprizal, dan Supadmo. 2010. Penggunaan tepung cacing tanah
(Lumbricus rubellus) sebagai aditif pakan terhadap penampilan
produksi ayam pedaging, profil darah, dan kecernaan protein. 34(1):
21 – 29.

Shawaludin, A., Ismoyati, dan D. Indrasri. 2013. Jumlah eritrosit, kadar


hemoglobin dan hematokrit pada berbagai jenis itik lokal terhadap
penmbahan probiotik dalam ransum. Jurnal imiah peternakan. Vol 1 (3)
1001-1013

Sonjaya, H. 2012. Dasar Fisiologi Ternak. IPB Press, Bogor.


Pertika, C, D. 2004. Diferensiasi Leukosit Darah Ayam Broiler Yang Diinfeksi
Leucocytozoon carrlleryi Setelah Pemberian Obat Sulfaciqloropyrazine
Melalui Air Minum. Institut Pertanian Bogor, Bogor (skripsi)
38

Rohimat, A. 2002. Diferensiasi Leukosit Darah Ayam yang Diinfeksikan Eimeria


Tenella, Setelah Pemberian Serbuk Sambiroto. Institut Pertanian Bogor,
Bogor (skripsi)

Wardhana, A. H., E. Kenanawati, Nurmawati, Rahmaweni, dan C.B. Jatmiko.


2001. Pengaruh Pemberian Sediaan Patikaan Kebo (Euphorbia Hirta L)
terhadap Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin, dan Nilai Hematokrit
pada Ayam yang Diinfeksi dengan Eimeria tenella. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner. Vol. 6 No. 2 Th. 2001. Bogor.
39

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Pengamatan Hematokrit

Tabel 2. Tabulasi Data Pengamatan pada Variabel Hematokrit.

Pengamatan pada Hasil Pengamatan


Ulangan ke-
Kelompok (%)
Kel 4 D3 A 1 60%
2 60%
3 60%
Kel 7 D3 A 1 60%
2 65%
3 60%
Kel 6 D3 A 1 60%
2 60%
3 33%
Kel 6 D3 B 1 60%
2 60%
3 60%
Rataan hasil pengamatan 58.16%
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Ternak, 2015.
40

Lampiran 2. Data Pengamatan Hemoglobin

Tabel 3. Tabulasi Data Pengamatan pada Variabel Hemoglobin.

Pengamatan pada Hasil Pengamatan


Ulangan ke-
Kelompok (mg/dl)
Kel 4 D3 A 1 22 mg/dl
2 15 mg/dl
3 9.2 mg/dl
Kel 7 D3 A 1 6 mg/dl
2 6.5 mg/dl
3 8 mg/dl
Kel 6 D3 A 1 22 mg/dl
2 12.7 mg/dl
3 9.5 mg/dl
Kel 6 D3 B 1 10 mg/dl
2 8.2 mg/dl
3 10 mg/dl
Rataan hasil pengamatan 11.59 mg/dl
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Ternak, 2015.
41

Lampiran 3. Data Pengamatan Total Eritrosit

Tabel 4. Tabulasi Data Pengamatan pada Variabel Total Eritrosit.

Pengamatan pada Hasil Pengamatan


Ulangan ke-
Kelompok (juta/mm3)
Kel 4 D3 A 1 109.350.000 juta/mm3
2
3
Kel 7 D3 A 1 52.000.000 juta/mm3
2
3
Kel 6 D3 A 1 91.400.000 juta/mm3
2
3
Kel 6 D3 B 1 97.750.000 juta/mm3
2
3
Rataan hasil pengamatan 35.850.051,8 juta/mm3
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Ternak, 2015.
42

Lampiran 4. Data Pengamatan Total Leukosit

Tabel 5. Tabulasi Data Pengamatan pada Variabel Total Leukosit.

Pengamatan pada Hasil Pengamatan


Ulangan ke-
Kelompok (juta/mm3)
Kel 6 D3 A 1 300050 ribu/mm3
2
3
Kel ... 1
2
3
Kel ... 1
2
3
Kel ... 1
2
3
Rataan hasil pengamatan
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Ternak, 2015.
43

Lampiran 5. Data Pengamatan Diferensial Leukosit

Tabel 6. Tabulasi Data Pengamatan pada Variabel Diferensial Leukosit.

Pengamatan pada Hasil Pengamatan


Variabel
Kelompok (%)
Kel 6 D3 A  Basofil 10
 Neutrofil -
 Eosinofil 26
 Limfosit 41
 Monosit 21
Kel ...  Basofil
 Neutrofil
 Eosinofil
 Limfosit
 Monosit
Kel ...  Basofil
 Neutrofil
 Eosinofil
 Limfosit
 Monosit
Kel ...  Basofil
 Neutrofil
 Eosinofil
 Limfosit
 Monosit
Rataan hasil pengamatan (%)
 Basofil
 Neutrofil
 Eosinofil
 Limfosit
 Monosit
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Ternak, 2015.
44

Lampiran 6. Data Pengamatan MCV dan MCHC

Tabel 7. Tabulasi Data Pengamatan pada Variabel MCV dan MCHC.

Pengamatan pada
Variabel Hasil Pengamatan
Kelompok
Kel 6 D3 A  MCV (µ3) 1.62231 × 10 -7
 MCHC (%) 1.992.78
Kel ...  MCV (µ3)
 MCHC (%)
Kel ...  MCV (µ3)
 MCHC (%)
Kel ...  MCV (µ3)
 MCHC (%)
Rataan hasil pengamatan
 MCV (µ3)
 MCHC (%)
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Ternak, 2015.

Anda mungkin juga menyukai