Anda di halaman 1dari 114

PENGARUH PEMBERIAN KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS

TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN STATUS GIZI LANSIA DI


PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI
KABUPATEN GOWA SULAWESI SELATAN

INFLUENCE OF GIVING SNAKEHEAD FISH EXTRACT


CAPSULE ON ALBUMIN CONTENT AND NUTRITIONAL
STATUS OF OLDFOLKS AT OLDFOLKS HOME TRESNA
WREDHA GAU MABAJI GOWA REGENCY SOUTH
SULAWESI

DIAN CHOLIKA HAMAL

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008

i
PENGARUH PEMBERIAN KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS
TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN STATUS GIZI LANSIA DI
PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI
KABUPATEN GOWA SULAWESI SELATAN

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Kesehatan Masyarakat

Disusun dan Diajukan Oleh

DIAN CHOLIKA HAMAL

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008

ii
A. Halaman Pengesahan Ujian Hasil

PENGARUH PEMBERIAN KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS


TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN STATUS GIZI LANSIA DI PANTI
SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI KABUPATEN GOWA
SULAWESI SELATAN

DIAN CHOLIKA HAMAL


Nomor Pokok P180 32 06 008

Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, MSc. Sp.GK Dr. Drs. Faisal Attamimi, MSc
Ketua Komisi Penasihat Anggota Komisi Penasihat

Ketua Program Studi Kesehatan Ketua Konsentrasi Gizi


Masyarakat

Dr. drg. A. Zulkifli Abdullah, MS Dr. dr. Burhanuddin Bahar, MS


Nip. 131 909 788 Nip. 131 569 699

iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : DIAN CHOLIKA HAMAL


Nomor Mahasiswa : P1803206008
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi : Gizi

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebahagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang
lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Desember 2008


Yang Menyatakan,

Dian Cholika Hamal

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan hasil penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kapsul

Ekstrak Ikan Gabus terhadap Kadar Albumin dan Status Gizi Lansia di

Panti Sosial Tresna Wredha Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi

Selatan”.

Penyusunan hasil penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan

sempurna tanpa bimbingan dan arahan dari penasehat kami. Oleh karena

itu, pada kesempatan ini izinkanlah kami menyampaikan ucapan terima

kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, MSc.

Sp.GK selaku ketua komisi penasihat dan Dr. Drs. Faisal Attamimi, MSc

selaku anggota penasihat. Semoga dengan segala bimbingan dan arahan

yang diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Amin. Terkhusus penulis sampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada semua bapak/ibu, kakek/nenek yang ada di panti sosial tresna

wreda gau mabaji yang telah bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.

Semoga segala bantuan yang diberikan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.

Amin.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih

yang tak terhingga kepada :

v
1. Rektor dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bisa

melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pascasarjana.

2. Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat beserta staf yang

telah banyak memberikan bantuan bagi penulis demi kelancaran

penelitian ini.

3. Ketua Konsentrasi Gizi dan Seluruh dosen Program Studi Ilmu

Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan begitu banyak ilmu

kepada penulis selama penulis dalam proses perkuliahan

4. Tim Penguji Tesis : Prof. Dr. dr. Nurpudji A. Taslim, MPH. SpGK, Dr.

dr. Burhanuddin Bahar, MS, atas segala masukan dan saran yang

diberikan bagi penulis.

5. Kepala Panti Sosial Tresna Wredha Gau Mabaji Kabupaten Gowa

beserta seluruh staf yang telah memberikan izin dan bantuan untuk

melakukan penelitian

6. Kepala Laboratorium Kesehatan Sulawesi Selatan beserta staf atas

bantuannya dalam melakukan pemeriksaan Albumin serum pada

lansia.

7. Kepala Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat beserta

seluruh staf atas bantuannya dalam penggunaan alat.

8. Seluruh teman-teman di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

khususnya teman-teman angkatan 2006 dan 2007 konsentrasi gizi

reguler dan nonreguler

vi
9. Terkhusus penulis sampaikan rasa hormat dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada ayahanda H. Hamal, M, ibunda Hj. St.

Ruhana dan kakak-kakakku tercinta Ir. Haruna Hamal, Ir. Basri Hamal

M.P, Ir. Hasriani Hamal, Ir. Wartini Hamal, Ulfa Maulin Hamal A,Md. Ir.

Ratnasari Rahman, MP, Ratnasari Rachim A,Md, Ir Zaqlul Mas’ud,

Nasution, SE, serta semua ponakan-ponakanku.

10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan hasil penelitian

ini, semoga segala apa yang telah mereka berikan bernilai ibadah dan

mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih

sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sangat

mengharapkan segala bentuk masukan dan saran demi penyempurnaan

dan perbaikan hasil penelitian ini.

Makassar, Desember 2008

Penulis

vii
ABSTRAK
DIAN CHOLIKA HAMAL. Pengaruh Pemberian Kapsul Ekstrak Ikan
Gabus Terhadap Kadar Albumin dan Status Gizi Lansia di Panti Sosial
Tresna Wredha Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan (Dibimbing
oleh Suryani As’ad dan Faisal Attamimi)
Lansia adalah salah satu kelompok yang rentan malnutrisi. Serum
Albumin merupakan parameter penting dalam mengukur status gizi lansia .
Salah satu sumber makanan yang kaya akan albumin adalah ikan gabus.
Ikan gabus mengandung albumin yang lebih tinggi dibandingkan dengan
jenis ikan lain yang diperlukan oleh tubuh yang berfungsi meningkatkan
daya tahan tubuh, mempercepat penyembuhan luka dan membantu proses
metabolisme tubuh lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
kapsul ekstrak ikan gabus terhadap kadar albumin, status gizi, dan asupan
zat gizi lansia di panti sosial tresna wredha gau mabaji kabupaten gowa
sulawesi selatan.
Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi Eksperimental
dalam bentuk randomized control group pre-post test design. Sampel
dalam penelitian ini adalah lansia berumur diatas 55 tahun. Sampel terdiri
atas kelompok intervensi yang mendapat kapsul ekstrak ikan gabus dan
kelompok kontrol yang mendapat kapsul placebo, masing-masing
berjumlah 27 orang. Sebelum intervensi, dilakukan pengukuran kadar
albumin, asupan zat gizi dan status gizi (IMT). Setelah 30 hari intervensi,
dilakukan pengukuran albumin, asupan zat gizi, status gizi (IMT). Data
dianalisis dengan menggunakan uji paired t-test dan independent t-test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi
terjadi peningkatan bermakna untuk serum albumin (p < 0,05), sedangkan
asupan energi dan karbohidrat mengalami peningkatan yang tidak
bermakna. Berat badan, IMT, asupan protein, dan lemak mengalami
penurunan yang tidak bermakna (p > 0,05). Pada kelompok kontrol hanya
serum albumin yang meningkat secara bermakna. Berat badan dan IMT,
menurun secara bermakna, sedangkan asupan energi, protein, dan lemak
mengalami penurunan secara tidak bermakna dan asupan karbohidrat
mengalami peningkatan yang tidak bermakna (p > 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian
kapsul ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan kadar albumin,
asupan energi, dan karbohidrat masing-masing sebesar 1,79 mg/dl; 103,5
kal; dan 70,3 g, tetapi tidak memberikan peningkatan terhadap berat
badan, IMT, asupan protein dan lemak.

Kata Kunci : Ikan gabus, lansia, albumin, status gizi

viii
ABSTRACT

ix
DAFTAR ISI

ISI
HALAMAN

HALAMAN JUDUL.................................................................................i

HALAMAN PENGAJUAN .....................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS....................................iv

KATA PENGANTAR..............................................................................v

ABSTRAK...........................................................................................viii

DAFTAR ISI...........................................................................................x

DAFTAR TABEL.................................................................................xiv

DAFTAR GAMBAR.............................................................................xvi

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................xviii

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .........................................................................1

B. Rumusan Masalah ....................................................................9

C. Tujuan Penelitian

1.Tujuan Umum .......................................................................10

2.Tujuan Khusus .....................................................................10

D. Manfaat Penelitian ..................................................................11

II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Usia Lanjut..................................................12

1. Pengertian Lansia...............................................................12

2. Batasan-batasan Lanjut Usia.............................................14

x
3. Proses Penuaan.................................................................17

4. Status Gizi pada Lansia.....................................................29

5. Patofisiologi Malnutrisi pada Lansia...................................35

6. Hipoalbuminemia pada Lansia...........................................37

7. Asupan Makan Lansia........................................................41

B. Peranan Protein dalam Proses Fisiologis................................44

1.Absorpsi dan Metabolisme Protein.......................................48

2.Kebutuhan Protein................................................................53

C. Albumin....................................................................................54

1.Fungsi Albumin.....................................................................54

2.Sifat Biokimia Albumin..........................................................55

D. Ikan Gabus (Ophiocephalus Streatus)....................................59

E. Penilaian Status Gizi................................................................64

1.Penilaian Status Gizi secara Antropometri...........................64

2.Penilaian Status Gizi secara Biokimia..................................68

F. Kerangka Pikir..........................................................................70

G. Kerangka Konsep dan Variabel Penelitian..............................75

1. Kerangka Konsep...............................................................72

2. Variabel Penelitian..............................................................73

H. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif................................74

I. Hipotesis Penelitian.................................................................76

BAB III METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian..............................................................77

B. Lokasi dan Waktu Penelitian....................................................79

xi
C. Populasi dan Sampel...............................................................79

1. Populasi..............................................................................79

2. Sampel...............................................................................79

3. Besar Sampel.....................................................................80

4. Prosedur Penelitian............................................................81

D. Instrumen Penelitian................................................................82

E. Teknik Pengumpulan Data.......................................................82

F. Pengolahan, Penyajian dan Analisis Data...............................83

G. Kontrol Kualitas........................................................................85

H. Pertimbangan Etik....................................................................85

I. Proses Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian......................86

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian........................................87

B. Hasil Penelitian........................................................................88

1. Analisis Deskriptif...............................................................88

2. Analisis Paired t-test...........................................................94

3. Analisis Uji T Independent..................................................98

C. Pembahasan..........................................................................101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan.............................................................................119

D. Saran......................................................................................119

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................120

LAMPIRAN ......................................................................................124

xii
DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

2.1 Kandungan protein ikan per 100 gram


63
2.2 Kandungan Zat Gizi dalam 100 CC ekstrak
ikan gabus
64
2.3 Kandungan zat gizi dalam 100 gram tepung
ikan gabus
66
4.1 Distribusi karakteristik sampel menurut umur
di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008
92
4.2 Distribusi karakteristik sampel menurut jenis
kelamin di PSTW Gau Mabaji Kabupaten
Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008
92
4.3 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan
tingkat pendidikan di PSTW Gau Mabaji
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun
2008
93
4.4 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan
IMT di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008
93
4.5 Analisis perbedaan kadar albumin kelompok
intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan
sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji

xiii
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun
2008
94
4.6 Analisis perbedaan berat badan kelompok
intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan
sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun
2008
95
4.7 Analisis perbedaan IMT kelompok intervensi
dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah
intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten
Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008
96
4.8 Analisis perbedaan asupan zat gizi kelompok
intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan
sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun
2008
97
4.9 Analisis perbedaan kadar albumin pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol di
PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008
100
4.10 Analisis perbedaan berat badan pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol di
PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008
100
4.11 Analisis perbedaan IMT pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol di PSTW

xiv
Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi
Selatan, Tahun 2008
101
4.12 Analisis perbedaan asupan zat gizi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol di
PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi
Selatan, Tahun 2008
102

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

2.1 Patofisiologi Malnutrisi pada Lanjut Usia


38
2.2 Metabolisme Protein (Linder, 1992)
51
2.3 Ikan Gabus
66
2.4 Kapsul Ekstrak Ikan Gabus
66
4.1 Perbedaan kadar albumin sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol
94

xv
4.2 Perbedaan berat badan sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol
95
4.3 Perbedaan IMT sebelum dan sesudah intervensi
pada kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol
96
4.4 Perbedaan asupan energi sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol
98
4.5 Perbedaan asupan protein sebelum dan
sesudah intervensi pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol
98
4.6 Perbedaan asupan lemak sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol
98
4.7 Perbedaan asupan karbohidrat sebelum dan
sesudah intervensi pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol
99

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Teks Halaman

xvi
1 Kuesioner pengumpulan data
124
2 Formulir food recall 24 jam
125
3 Pengukuran berat badan
126
4 Pengukuran tinggi badan
127
5 Pengukuran tinggi lutut
128
6 Inform Concent
129
7 Gambar pada saat recall 24 hours
130
8 Gambar pengambilan darah
131
9 Surat-surat ijin penelitian
132

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang – undang Kesehatan No.23 pasal 4 tentang hak dan kewajiban

dijelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat

kesehatan yang optimal, tidak terkecuali orang yang berusia lanjut. Salah satu hasil

pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah meningkatnya umur harapan hidup.

Sejalan dengan hal tersebut akan meningkat pula kelompok lansia di masyarakat. Dari

data USA- Bureau of the Census 1993, melaporkan bahwa Indonesia diperkirakan akan

mengalami pertambahan warga lansia terbesar di dunia, antara tahun 1990 – 2025, yaitu

sebesar 414%, suatu angka tertinggi di seluruh dunia, dan pada tahun 2020 Indonesia

merupakan urutan ke 4 jumlah usia lanjut paling banyak sesudah Cina, India dan Amerika

(Kinsella & Taeuber, 1993).

Data BPS memperlihatkan bahwa angka usia harapan hidup (UHH) untuk

penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, dari 60 tahun pada

tahun 1990 meningkat menjadi 65 tahun pada tahun 2000, tahun 2004 UHH 66 tahun,

kemudian meningkat menjadi 69 tahun pada tahun 2006, bahkan diperkirakan pada tahun

2018 akan meningkat menjadi 70 tahun. UHH untuk Penduduk provinsi Sulawesi Selatan

juga mengalami peningkatan dari 64 tahun pada tahun 1998 meningkat menjadi 68 tahun

pada tahun 2000, 2001, dan 2003 (BPS 2004). Lansia yang jumlahnya akan semakin

meningkat ini secara alami akan mengalami perubahan fisik, mental, dan psikososialnya.

Oleh sebab itu maka sangat diharapkan terjadinya peningkatan kualitas hidup pada lansia

seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup setiap tahunnya.

xviii
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap

sosial ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam pemerintah. Setiap

penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut.

Diperkirakan angka ketergantungan usia lanjut pada tahun 1995 adalah 6,93% dan tahun

2015 menjadi 8,74% yang berarti bahwa pada tahun 1995 sebanyak 100 penduduk

produktif harus menyokong 7 orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas sedangkan

pada tahun 2015 sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong 9 orang usia lanjut

yang berumur 65 tahun ke atas (Wirakartakusuma dan Anwar, 1994). Ketergantungan

lanjut usia disebabkan kondisi orang lanjut usia banyak mengalami kemunduran fisik

maupun psikis, artinya mereka mengalami perkembangan dalam bentuk perubahan-

perubahan yang mengarah pada perubahan yang negatif (http://www.damandiri.or.id).

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi

normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan

yang diderita (Nugroho, 2000).

Masalah umum yang dialami lanjut usia yang berhubungan dengan kesehatan

fisik, yaitu rentannya terhadap berbagai penyakit karena berkurangnya daya tahan tubuh

dalam menghadapi pengaruh dari luar. SKRT tahun 1980 menunjukkan angka kesakitan

penduduk usia 55 tahun ke atas sebesar 25,7 persen. Berdasarkan SKRT tahun 1986

angka kesakitan usia 55 tahun 15,1%, dan menurut SKRT 1995 angka kesakitan usia 45-

59 sebesar 11,6 persen (Wirakartakusumah, 2000) Dalam penelitian Profil Penduduk Usia

Lanjut Di Kodya Ujung Pandang ditemukan bahwa lanjut usia menderita berbagai penyakit

yang berhubungan dengan ketuaan antara lain diabetes melitus, hipertensi, jantung

koroner, rematik dan asma sehingga menyebabkan aktifitas bekerja terganggu (Ilyas,

1997). Demikian juga temuan studi yang dilakukan Lembaga Demografi Universitas

Indonesia di Kabupaten Bogor tahun 1998, sekitar 74 persen lansia dinyatakan mengidap

penyakit kronis. Tekanan darah tinggi adalah penyakit kronis yang banyak diderita lanjut

usia, sehingga mereka tidak dapat melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari

(Wirakartakusumah, 2000).

xix
Proses menua merupakan suatu proses normal yang ditandai dengan

perubahan secara progresif dalam proses biokimia, sehingga terjadi kelainan atau

perubahan struktur dan fungsi jaringan, sel dan non sel. (Widjayakusumah, 1992). Proses

menjadi tua disebabkan oleh faktor biologi, berlangsung secara alamiah, terus menerus

dan berkelanjutan yang dapat menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, biokemis

pada jaringan tubuh dan akhirnya mempengaruhi fungsi, kemampuan badan dan jiwa

(Constantinides,1994).

Penderita usia lanjut lebih mudah terkena penyakit akut (infeksi dan penyakit

akut lain), namun terjadinya perubahan pada semua orang yang mencapai usia lanjut

tidak disebabkan oleh proses penyakit, (Brocklehurst and Allen,1987). Usia lanjut

merupakan kelompok yang rentan terhadap malnutrisi (WHO, 2002). Pertambahan usia

akan menurunkan kemampuan indera perasa, umumnya dimulai pada usia 60 tahun,

perubahan ini akan menyebabkan gangguan pada selera makan lansia sehingga dapat

memicu timbulnya masalah gizi (malnutrisi) (Wirakusumah, 2004).

Dengan menurunnya fungsi biologis sel dan organ, maka daya adaptasi

fungsi-fungsi tersebut untuk mengatasi gangguan fisik dan mental juga menurun.

Gangguan pada indera pengecap yang dihubungkan dengan kekurangan kadar Zn dapat

menurunkan nafsu makan. Gangguan fungsi mengunyah akibat banyaknya gigi geligi

yang sudah tanggal berdampak pada kurangnya asupan zat gizi baik itu zat gizi makro

maupun zat gizi mikro. Penurunan mobilisasi usus, menyebabkan gangguan pada saluran

pencernaan seperti perut kembung, nyeri yang menurunkan nafsu makan usia lanjut.

Menurunnya indera penglihatan dan pendengaran serta adanya osteoartritis akan

mempengaruhi mobilisasi sehingga mengurangi akses untuk memperoleh makanan. Di

lain pihak, kondisi mobilisasi sendiri akan menurunkan kadar albumin serum yang bila

berlanjut akan menjadi malnutrisi. (Harjodisastro dkk, 2006).

Perubahan yang terjadi pada lanjut usia ini sangat mempengaruhi kehidupan

lanjut usia dan sering menimbulkan gangguan psikososial seperti depresi, apatis dan

isolasi sosial. Interaksi faktor-faktor tersebut semakin memperbesar penurunan asupan

makanan, sehingga rentan terjadi malnutrisi. Malnutrisi energi protein merupakan

xx
penyebab utama imunodefisiensi, hal ini disebabkan sel imun mempunyai ketergantungan

yang tinggi terhadap energi dan asam amino yang diperlukan saat pemisahan sel dan

sintesa protein. Sistem daya tahan (sistem imun) tubuh lansia akan berkurang fungsinya,

yang mana sistem imun tidak bereaksi secepat atau seefisien yang didapati pada usia

yang lebih muda. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem imun meliputi

perubahan di dalam sel, perubahan kimiawi dan protein pada pembungkus (membran) sel,

maupun pada organ tubuh (www.waspadaonline.com 2006). Dari studi pendahuluan yang

kami lakukan, ditemukan bahwa rata-rata asupan energi pada lansia sebesar

1494.07±359.45 kkal dan rata-rata asupan protein pada lansia sebesar 51.08±12.81 gram.

Dari hasil studi pendahuluan tersebut terlihat bahwa asupan energi dan protein pada

lansia defisit.

Salah satu indikator malnutrisi adalah rendahnya albumin serum. Hal ini

akibat asupan protein yang tidak cukup dalam periode waktu yang lama atau akibat

kesalahan sintesis dari albumin. (Robinson, et al, 1990). Malnutrisi biasanya terjadi

apabila kadar albumin serum rendah. Peran protein albumin untuk tujuan klinis semakin

penting terutama untuk mencegah kekurangan energi protein. Serum albumin merupakan

salah satu parameter penting dalam mengukur status gizi pada pasien-pasien dengan

usia lanjut sebab kekurangan albumin pada darah lebih banyak terjadi pada usia lanjut

(The Cleveland Clinic Foundation, 2005). Beberapa studi menunjukkan bahwa lanjut usia

memerlukan lebih banyak protein dibanding orang dewasa muda untuk memelihara

keseimbangan nitrogen. Walaupun yang lain telah mengusulkan asupan protein yang

rendah (Robinson, et al, 1990).

Gersovitz dan Comorkers menemukan bahwa lansia sehat (70 sampai 99

tahun) akan mengalami keseimbangan nitrogen negatif ketika mereka diberi makan

protein telur dengan RDA (0,8 gram per kg). Mereka direkomendasikan dengan protein

yang lebih tinggi dibanding RDA untuk umur diatas 70 tahun (Robinson et al., 1990).

Konsentrasi serum albumin normal pada orang dewasa sehat sekitar 35

sampai 50 g/dl. Angka ini akan berkurang pada keadaan hypoalbuminemia pada pasien-

pasien dengan penyakit serius demikian pula pada lansia (Kashmita et al., 1999).

xxi
Albumin dapat dipergunakan untuk mengukur status gizi sebagai prediksi

protein energi malnutrisi. Abumin meskipun tidak berhubungan dengan penurunan berat

badan tetapi berhubungan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian. Level

serum albumin merupakan elemen yang akurat dalam menyimpulkan status gizi yang

dapat dilanjutkan dengan perencanaan terapi gizi yang efektif untuk mengatasi kesakitan

dan kematian (Kirby, 2002).

Peningkatan serum albumin selama ini dilakukan salah satunya berupa

pemberian makanan yang mengandung kadar albumin yang tinggi yaitu pemberian telur

(putih telur). Dengan mengkonsumsi telur maka pasien yang rendah albuminnya akan

mengalami peningkatan, namun terjadi pula peningkatan kadar kolesterol yang

mengganggu proses metabolisme tubuh. (Johannes, 1998). Selain itu, untuk mengatasi

hipoalbuminemia, pasien diberikan preparat albumin sebanyak 4 ampul dengan harga

satuan sekitar Rp 1.500.000. Bagi pasien dengan penghasilan rendah, tentu harga ini

sangat mahal, oleh karena itu perlu dicari alternatif lain sebagai sumber protein albumin.

Ikan gabus merupakan alternatif lain sebagai sumber protein albumin karena

diketahui mengandung senyawa-senyawa penting bagi tubuh manusia diantaranya protein

yang cukup tinggi, lemak, air dan mineral. Terutama mineral zink (Zn) yang merupakan zat

gizi mikro sangat penting diperlukan oleh tubuh dalam meningkatkan daya tahan tubuh,

mempercepat penyembuhan luka dan membantu proses metabolisme tubuh lain

(Anonimous, 2003). Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu utama absorbsi Zn.

Albumin merupakan alat tranport utama Zn. Absorbsi Zn menurun bila nilai albumin

menurun misalkan dalam keadaan gizi kurang. Absorbsinya sangat tergantung dari

sumber bahan makanan. Zn lebih banyak ditemukan pada sumber protein yang berasal

dari binatang seperti ikan dan daging, dimana Zn akan terikat pada asam amino sehingga

mudah diabsorbsi (As’ad, 2001). Menurut Wirakusumah (2002) Zink dibutuhkan tubuh

untuk melawan infeksi, memperbaiki jaringan tubuh, serta mencegah gangguan prostat

dan ketidaksuburan atau infertilisasi. sehubungan dengan proses penuaan mineral ini

dapat mengembalikan fungsi kekebalan dan melawan radikal bebas. Zink juga dapat

kembali mengaktifkan kelenjar thymus untuk memprosuksi hormon timulan yang berfungsi

xxii
merangsang sel T. Disamping itu, meningkatkan produksi interleukin-1 yang mempunyai

fungsi sama dengan hormon timulan (Suara merdeka, 2004). Kandungan protein pada

ikan gabus yaitu 25,2 gram relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa jenis

ikan lainnya, misalnya ikan bandeng 20 gram, kembung 22 gram, dan ikan teri 16 gram.

Protein ikan mempunyai daya cerna 95% (Johanes, 1998).

Albumin dari ikan gabus tersebut dapat menggantikan albumin telur yang

selama ini dipergunakan, yang berasal dari putih telur. Hasil penelitian sebelumnya

diketahui bahwa dengan pemberian konsumsi ikan gabus masak beserta fitrat hasil

rebusannya ternyata mampu meningkatkan kadar albumin darah dan pengurangan luas

permukaan luka pada pasien (Johannes, 1998).

Pemberian albumin telah banyak dilakukan. Telah dilaporkan bahwa penelitian

yang dilakukan oleh Suprayitno menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak dari 2 kilogram

ikan gabus per hari pada sejumlah pasien yang memiliki kadar albumin rendah (1,8g/dl),

dapat meningkatkan kadar albumin dalam darah pasien menjadi normal, yakni 3,5-5,5

g/dl. (http:www.gatra.com/2003). Telah ditunjukkan pula bahwa pemberian ekstrak ikan

gabus sebanyak 100 ml setiap hari selama 10 hari dapat meningkatkan kadar albumin dan

protein total pasien. Hal ini tampaknya diikuti oleh peningkatan status gizi dan konsumsi

pada kelompok intervensi. Rata-rata besar peningkatan kadar albumin yang terlihat

dalam penelitian ini sebesar 0.6 g/dl dibandingkan dengan kelompok kontrol (Taslim, dkk

2005). Walaupun demikian, mekanisme pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap

kadar albumin dan status gizi terutama pada lansia, sampai saat ini masih belum diketahui

dengan pasti begitu pula bagaimana mekanisme imun yang terjadi masih dalam tahap

pencarian.

B. Rumusan Masalah

 Rendahnya kadar albumin (hipoalbuminemia) sebagai akibat malnutrisi pada

lansia menimbulkan perkiraan adanya hubungan antara hipoalbuminemia dengan

malnutrisi pada lansia

xxiii
 Belum diketahuinya patomekanisme hubungan hipoalbuminemia dengan

terjadinya malnutrisi pada lansia. Khususnya peranan ekstrak ikan gabus dalam

mekanisme tersebut.

Kedua hal tersebut diatas memotivasi kami untuk melakukan penelitian

intervensi pada lansia hipoalbuminemia dengan suplementasi protein albumin ikan gabus.

Pertanyaan Penelitian

1. Apakah pemberian ekstrak ikan gabus berpengaruh terhadap perubahan

berat badan lansia

2. Apakah pemberian ekstrak ikan gabus berpengaruh terhadap perubahan

kadar albumin serum lansia.

3. Apakah pemberian ekstrak ikan gabus berpengaruh terhadap perubahan

asupan makan lansia.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap perubahan

status gizi lansia.

2. Tujuan Khusus

a. Menilai besar perbedaan peningkatan berat badan kelompok intervensi

dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pemberian ekstrak ikan gabus.

b. Menilai besar perbedaan peningkatan kadar albumin serum kelompok

intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pemberian ekstrak ikan

gabus.

c. Menilai besar perbedaan peningkatan asupan makan kelompok intervensi

dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pemberian ekstrak ikan gabus.

D. Manfaat Penelitian

xxiv
a. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk

peningkatan pelayanan gizi masyarakat dalam upaya pelayanan kuratif, preventif, dan

promotif untuk lansia.

b. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui strategi alternatif untuk penanggulangan

masalah kesehatan dengan pemberian albumin dan makanan lengkap yang cukup

dan seimbang pada lansia.

c. Bermanfaat untuk penyusunan kebijakan program penanggulangan gizi secara

umum dan perhatian terhadap status gizi lansia secara khusus.

d. Bertambahnya wawasan dan informasi peneliti dalam bidang gizi khususnya pada

asuhan nutrisi lansia.

xxv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Usia Lanjut

1. Pengertian Lansia

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi

normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan

yang diderita (Nugroho, 2000).

Menua adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya

(Darmodjo, 2002). Menjadi tua atau menua adalah suatu keadaan yang terjadi karena

suatu proses, yang disebut proses menua. Proses menua adalah proses sepanjang hidup,

tidak dimulai dari suatu waktu yang pasti, berlangsung sejak awal sampai akhir kehidupan

(Rohmah, 2002).

Proses menua yang berlangsung sebelum usia 30 tahun, akan berjalan

bersamaan dengan proses tumbuh kembang, dan akan mengakibatkan perubahan

anatomi, fisiologi dan biokimia menuju titik kehidupan maksimal sebagai seorang manusia

pada puncak kehidupan produktif. Selama proses menua, akan terjadi perubahan-

perubahan yang meliputi jumlah, konfigurasi, komposisi sel serta perubahan perbandingan

komposisi tubuh. Perubahan-perubahan yang terjadi menyebabkan meningkatnya jumlah

persentase jumlah sel lemak, menurunnya jumlah sel solit, massa tulang dan air dalam

tubuh (Mariman, 1989). Proses menua pada akhir kehidupan adalah suatu proses yang

mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang rapuh, disertai penurunan

kapasitas fisiologis hampir seluruh tubuh, dan peningkatan secara eksponensial

xxvi
kerentanan orang tersebut terhadap penyakit dan kematian (Miller R.A., 1994 dalam

Nurhayati, 2005).

Manula adalah fenomena alamiah sebagai faktor akibat proses menua. Oleh

karena itu fenomena ini bukanlah suatu penyakit yang terjadi pada manula, melainkan

suatu keadaan yang terjadi secara wajar yang bersifat universal. Proses menua bersifat

regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologis serta sosial budaya (Sirait dan

Riyadina, 1999).

Usia lanjut adalah seorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas

(Darmodjo R.B, 1999). Sedangkan menurut Arisman (2004) usia lanjut adalah mereka

yang berumur 65 tahun ke atas.

Berbagai perubahan fisik dan psikososial akan terjadi sebagai akibat proses

menua. Telah banyak teori yang menjelaskan tentang proses menua, salah satunya

adalah teori kerusakan akibat radikal bebas. Kerusakan acak di jaringan akibat

terbentuknya radikal bebas pada metabolisme aerob normal dianggap penyebab proses

menua. Radikal bebas juga menyebabkan disfungsi sel yang dapat mengakibatkan

terjadinya penyakit degeneratif. Tubuh sebenarnya telah menyiapkan pertahanan berupa

antioksidan terhadap serangan radikal bebas di tingkat sel, membran dan ekstra sel,

sehingga akan ada keseimbangan antara akibat produksi radikal bebas dan kerja

antioksidan (Istanti, 2002).

2. Batasan-Batasan Lanjut Usia

Mengenai kapan orang disebut usia lanjut, sulit dijawab secara memuaskan.

Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan umur usia lanjut.

a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

Menurut WHO, usia lanjut meliputi:

1) Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45

sampai 59 tahun

2) Lanjut usia (elderly) = antara 60 dan 74 tahun

3) Lanjut usia tua (old) = antara 75 dan 90 tahun

xxvii
4) Usia sangat tua (very old) = diatas 90 tahun

b. Menurut Prof. DR. Ny. Sumiati Ahmad Mohammad

Beliau adalah Guru Besar Universitas Gajah Mada pada Fakultas Kedokteran,

membagi periodisasi biologis perkembangan manusia sebagai berikut:

1) 0 – 1 tahun : masa bayi

2) 1 – 6 tahun : masa prasekolah

3) 6 – 10 tahun : masa sekolah

4) 10 – 20 tahun : masa pubertas

5) 40 – 65 tahun : masa setengah umur

6) 65 tahun ke atas : masa usia lanjut

c. Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (Psikolog UI)

Beliau mengatakan bahwa usia lanjut merupakan kelanjutan dari usia

dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian:

1) Fase iuventus : antara 25 dan 40 tahun

2) Fase verilitas : antara 40 dan 50 tahun

3) Fase praesenium : antara 55 dan 65 tahun

4) Fase senium : antara 65 hingga tutup usia

d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro

Pengelompokan usia lanjut sebagai berikut:

1) Usia dewasa muda (elderly adulthood) : 18 atau 20-25 tahun

2) Usia dewasa penuh (middle years) : 25-60 atau 65 tahun

3) Lanjut usia (geriatric age) : Lebih dari 65 atau 70 tahun

e. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1965 Pasal 1

Bantuan penghidupan orang jompo/usia lanjut yang termuat dalam pasal 1

dinyatakan sebagai berikut : ”seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau

usia lanjut setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai

atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan

menerima nafkah dari orang lain”. Namun pengertian ini sudah diperbaharui dengan

adanya Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998, tentang kesejahteraan usia lanjut

xxviii
yang berbunyi sebagai berikut: ” Usia lanjut adalah seseorang yang mencapai usia 60

tahun ke atas (Nugroho, 1999)

f. Menurut Widya Karya Pangan dan Gizi

Widya Karya Pangan dan Gizi (1988) yang digolongkan manula adalah

mereka yang berumur di atas 60 tahun

g. Birren dan Jenner

Tahun 1977, Birren dan Jennifer mengusulkan untuk membedakan antara:

1) Usia Biologis, yang menunjukkan kepada jangka waktu seseorang sejak

lahirnya berada dalam keadaan hidup, tidak mati.

2) Usia Psikologis, yang menunjukkan kepada kemampuan seseorang

untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang

dihadapinya.

3) Usia Sosial, yang menunjukkan kepada peran-peran yang diharapkan

atau diberikan masyarakat kepada seseorang sesuai dengan usianya.

3. Proses Penuaan

a. Karakteristik Proses Penuaan

1) Menurut H.P. Von Hahn (1975), proses penuaan merupakan suatu proses

biologis yang kompleks:

a) Adanya perubahan dalam tubuh yang terprogram oleh jam

biologis (biological clock).

b) Terjadi aksi dari zat metabolik akibat mutasi spontan, radikal

bebas dan adanya kesalahan di molekul DNA (Strehler, 1962).

c) Perubahan yang terjadi di dalam sel dapat primer akibat

gangguan sistem pengaturan pertumbuhan, atau secara sekunder akibat

pengaruh dari luar sel.

2) Menurut Vincent J. Cristofalo (1990), beberapa karakteristik tentang

proses penuaan yang terjadi pada hewan menyusui dan manusia adalah

sebagai berikut:

a) Peningkatan kematian sejalan dengan peningkatan usia.

xxix
b) Terjadinya perubahan kimiawi dalam sel dan jaringan tubuh

mengakibatkan massa tubuh berkurang, peningkatan lemak dan

lipofuscin yang dikenal sebagai age pigment, serta perubahan di serat

kolagen yang dikenal dengan cross-linking.

c) Terjadinya perubahan yang progresif dan merusak.

d) Menurunnya kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan

di lingkungannya.

e) Meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit tertentu.

b. Teori Penuaan

Penuaan merupakan proses yang secara berangsur mengakibatkan

perubahan yang kumulatif dan mengakibatkan perubahan di dalam yang berakhir

dengan kematian. Penuaan juga menyangkut perubahan struktur sel, akibat interaksi

sel dengan lingkungannya, yang pada akhirnya menimbulkan perubahan degeneratif

(Mary Ann Christ et al. 1993).

Teori biologis tentang proses penuaan dapat dibagi menjadi teori intrinsik dan

ekstrinsik. Intrinsik berarti perubahan yang berkaitan dengan usia timbul akibat

penyebab di dalam sel sendiri, sedangkan teori ekstrinsik menjelaskan bahwa

perubahan yang terjadi diakibatkan oleh pengaruh lingkungan.

1) Teori Genetik

Teori ini merupakan teori intrinsik yang menjelaskan bahwa di dalam tubuh

terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan jalannya proses

penuaan. Setiap spesies mempunyai jam biologis sendiri dan masing-masing

spesies mempunyai batas usianya. teori genetik mengakui adanya mutasi somatik

(somatic mutation), yang mengakibatkan kegagalan atau kesalahan di dalam

penggandaan desoxyribonucleic acid atau DNA. Sel tubuh sendiri membagi diri

maksimal 50 kali (Hayflick limit).

Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya program jam

genetik didalam nuklei. Jam ini akan berputar dalam jangka waktu tertentu dan

jika jam ini sudah habis putarannya maka, akan menyebabkan berhentinya proses

xxx
mitosis. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Haiflick, (1980) dikutif Darmojo

dan Martono (1999) dari teori itu dinyatakan adanya hubungan antara

kemampuan membelah sel dalam kultur dengan umur spesies Mutasi somatik

(teori error catastrophe) hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam

menganalisis faktor-aktor penyebab terjadinya proses menua adalah faktor

lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum

diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur. Menurut teori

ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan

terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut.

Kegiatan gen pada manusia dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu yang

mengontrol perkembangan organisme dan yang lain berperan dalam

pemeliharaan struktur serta fungsi organisme yang telah dewasa. Dengan

demikian di samping mempengaruhi proliferasi sel, gen berperan dalam

pembentukan berbagai enzym yang melindungi sel dari zat-zat yang berbahaya

seperti radikal bebas seperti superoxide dismutase, hidrogen peroksidase,

glutathione peroksidase, glutathione reduktase.

Gen berpengaruh juga pada pembentukan enzym DNA polymerase, yang

berperan pada penggandaan DNA dan perbaikan DNA yang rusak, sehingga

mengurangi akibat dari mutasi sel.

Beberapa gen bertanggungjawab atas pembentukan enzym proteolitik, yang

dapat menemukan dan memperbaiki sel yang mengalami degradasi protein.

Dengan demikian gen akan mengurangi pengaruh protein yang abnormal, yang

sering terdapat pada kelompok Lanjut Usia.

Berdasarkan penyelidikan mutakhir ditemukan gen yang menghambat proses

methylasi DNA yang sering terjadi pada usia lanjut. Methylasi DNA dikaitkan

dengan X-kromosom yang tak aktif, sehingga menimbulkan kerusakan sel pada

lanjut usia.

2) Teori Non Genetik

Teori ini merupakan teori ekstrinsik dan terdiri dari berbagai teori seperti:

xxxi
a) Teori Radikal Bebas

Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti asap kendaraan bermotor

dan rokok, zat pengawet makanan, radiasi, sinar ultraviolet mengakibatkan

terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan.

Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas dalam

tubuh manusia. Radikal bebas dapat berupa : superoksida (O2), Radikal

Hidroksil (OH) dan Peroksida Hidrogen (H2O2). Radikal bebas sangat

merusak karena sangat reaktif , sehingga dapat bereaksi dengan DNA,

protein, dan asam lemak tak jenuh. Menurut Oen (1993) yang dikutip dari

Darmojo dan Martono (1999) menyatakan bahwa makin tua umur makin

banyak terbentuk radikal bebas, sehingga poses pengrusakan terus terjadi ,

kerusakan organ sel makin banyak akhirnya sel mati.

Radikal bebas merupakan molekul, fragmen molekul atau atom dengan

elektron bebas tak berpasangan. Radikal bebas ini terjadi dalam sistem

metabolik, akibat polusi asap industri atau kendaraan bermotor, radiasi,

pestisida, zat pengawet makanan, kerusakan sel atau sel mati pada penyakit

seperti hepatitis dan kanker. Karena radikal bebas sangat aktif, zat ini mudah

terikat dengan molekul lain dan fungsi molekul berubah. Radikal bebas dapat

terikat pada DNA dan RNA pada inti sel, sehingga terbentuk protein yang

abnormal dan menimbulkan gangguan fungsi sel.

Radikal bebas cepat dirusak oleh enzym di dalam tubuh seperti superoxide

dismutase, catalase dan glutathione peroxidase. Radikal bebas yang tak

terikat merusak sel dan mengganggu fungsi sel dan dapat menimbulkan

penyakit, degenerasi sel serta mempercepat proses penuaan. Di dalam sel,

umumnya radikal bebas terdapat dalam bentuk peroxydase dan molekul yang

terjadi akibat interaksinya dengan sel.

b) Teori Cross-link (Cross-link Theory)

Teori ini menjelaskan bahwa molekul kolagen dan zat kimia mengubah fungsi

jaringan, megakibatkan terjadinya jaringan yang kaku pada proses penuaan.

xxxii
c) Teori Kekebalan (Immunologic Theory)

Teori ini menjelaskan bahwa perubahan pada jaringan limfoid mengakibatkan

tidak adanya keseimbangan dalam sel T sehingga produksi antibody dan

kekebalan menurun.

Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein pasca translasi yang

dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh

mengenali dirinya sendiri (Self recognition). Jika mutasi somatik

menyebabkan terjadinya kelainan pada permukaan sel, maka hal ini akan

mengakibatkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami

perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya Goldstein

(1989) dikutip dari Azis (1994). Hal ini dibuktikan dengan makin bertambahnya

prevalensi auto antibodi pada lansia (Brocklehurst,1987 dikutip dari Darmojo

dan Martono, 1999). Dipihak lain sistem imun tubuh sendiri daya

pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya

terhadap antigen menjadi menurun, sehingga sel-sel patologis meningkat

sesuai dengan meningkatnya umur (Suhana,1994 dikutip dari Nuryati, 1994)

Sistem kekebalan tubuh merupakan bagian dari pertahanan tubuh dan

bersifat seluler dan humoral. Sistem ini diperlukan seseorang dalam

interaksinya dengan lingkungan. Berbagai faktor eksternal sepert usia tua,

makanan, pencemaran lingkungan, zat kimia, radiasi sinar ultraviolet,

genetika, penyakit terdahulu dan sistem hormonal mempengaruhi sistem

kekebalan tubuh.

Pada usia lanjut fungsi kekebalan dan mekanisme pertahanan tubuh menurun

sejalan dengan bertambahnya usia dan hal-hal ini terkait dengan

meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian akibat penyakit infeksi

tertentu seperti meningitis, tuberkulosis, pneumonia, pneumokokkus,

influenza, AIDS dan bakteriaemia.

xxxiii
Peningkatan angka kesakitan dan kematian pada lanjut usia ini sejalan pula

dengan mengecilnya kelenjar thymus. Pegaruh kelenjar thymus sangat

penting dalam upaya mengendalikan reaksi kekebalan tubuh.

Sistem kekebalan terlaksana berkat berfungsinya dengan baik jaringan

kelenjar limfa, limpa, sumsum tulang, tonsil, kelenjar thymus dan kelenjar

limfa yang terletak dekat saluran pencernaan makanan dan saluran

pernafasan. Jaringan ini terdiri dari sekumpulan sel yang berfungsi mengatur

kekebalan atau berdiferensiasi menjadi sel plasma, granulosit dan limfosit,

yang terdiri dari sel B pembentuk immunoglobulin dan sel T (Thymus derived)

yang berada di Reticulo Endothelial System.

Sel T juga mempengaruhi sel-sel lainnya seperti monocyte, makrophag untuk

membunuh antigen dan sel NK (Natural Killer) yang berfungsi menghancurkan

sel tumor dan mematikan kuman.

Sel B membentuk immunoglobulin, yang terbagi dalam:

IgM : membantu phagositosis.

IgA : berada di selaput lendir.

IgD : berada di permukaan sel B.

IgE : berada di saluran pernafasan.

IgG1 : membunuh bakteri, virus.

IgG2 : membunuh bakteri, virus.

IgG3 : membunuh bakteri, virus.

IgG4 : membunuh bakteri, virus.

Pada lanjut usia perubahan fungsi kekebalan yang dapat diukur adalah:

1. Penurunan produksi kelenjar thymus.

2. Produksi dan reaksi terhadap IL-2 (T Cell Growth Factor, TGCF) terbukti

in vitro

3. Penurunan proliferasi sel.

4. Menurunnya T cell dengan CD8 antigen (Cytotoxic/suppressor Cell).

5. Sensitivitas sel terhadap Prostaglandin E2.

xxxiv
6. Sintesa Anti-idiotype antibodies.

7. Penurunan tingkat reaksi antibodi.

8. Peningkatan autoimmune antibodies.

9. Peningkatan serum monoclonal immunoprotein.

10. Fungsi sel NK tak berubah

11. Limfosit B tak berubah.

12. Hipersensitivitas hilang.

13. Tak ada perubahan limfosit di darah tepi.

d) Teori Fisiologi

Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik. Terdiri dari teori oksidasi

stress (oxidative stress theory) dan teori dipakai aus (wear-and-tear theory)

Penyebab terjadinya stres oksidasi adalah penyakit seperti penyakit

Parkinson dan penyakit degenerasi basal ganglion lainnya, penyakit

Alzheimer dan penyakit motoneuron.

Keadaan ini menimbulkan terjadinya toksin dan keracunan, seperti keracunan

MPP 5-OHDA, Nitric oxide dan amyloid toxicity. Hal ini menyebabkan

kematian (Jenner, 1994).

Setelah menginjak usia dewasa, sel dan jaringan tidak tumbuh lagi.

Selanjutnya terjadi fase disintegrasi jaringan dan organ tubuh yang sering

dipakai. Bila tidak ada proses perbaikan atau penggantian sel atau jaringan,

proses tersebut akan diakhiri dengan kematian. Mekanisme dipakai dan aus

merupakan hal yang dialami oleh organisme.

Proses perbaikan dan penggantian sel dimungkinkan bila pada lanjut usia

tersedia daya dan sarana yang memang ada pada saat itu atau telah

disiapkan jauh sebelumnya, misalnya mempertahankan kebugaran tubuh

pada saat masih muda (Kirkwood, 1981) perbaikan juga dimungkinkan oleh

reaktivasi sistem cell untuk mengembalikan fungsi sel yang berkurang atau

rusak.

c. Perubahan Sel dalam Proses Penuaan

xxxv
Dalam abad ke-19, seorang ahli biologi bernama Weissman membedakan

dua jenis sel manusia, yaitu sel tubuh (somatic cells) dan sel kelamin (germ cells).

Karena diferensiasi sel tubuh dan kegagalan untuk membelah diri, akhirnya sel tubuh

mengalami proses penuaan dan akhirnya terjadi kematian pada manusia tersebut.

Pendapat tersebut ditentukan oleh Alexis Carel dari Universitas Rockefeller

pada tahun 1911, yang berhasil mempertahankan kehidupan sel jantung anak ayam

selama 34 tahun. Menurut pendapatnya, sel tubuh dapat dipertahankan lama, yang

mengalami proses penuaan justru jaringan tubuh.

Pada awal tahun 1960, Hayflick dan Moorhead melakukan percobaan

menanam sel tubuh manusia dalam kultur jaringan dan menemukan bahwa setelah

terjadi proliferasi atau pembelahan sel yang cepat, disusul dengan penurunan

proliferasi yang diartikan mereka sebagai proses penuaan sel dan kemudian disusul

dengan kematian sel.

Dengan demikian, kematian timbul bila seseorang kehilangan kapasitas untuk

menjalankan fungsinya, menyusul kehilangan fungsi sel-selnnya, baik sel fibroblast,

sel otot polos, sel endotel, sel glia dan limfosit. masing-masing sel mempunyai jalur

perjalanan menuju masa penuaannya sendiri dan bila sel tidak dapat lagi

mempertahankan homeostasisnya, jalur perjalanannya terhenti walaupun sel lainnya

belum mati.

1) Perubahan yang terjadi pada sel ketika seseorang menjadi

lanjut usia adalah:

a) Adanya perubahan genetik yaang mengakibatkan

terganggunya metabolisme protein.

b) Gangguan metabolisme nuclic acid dan deoxynucleic acid

(DNA).

c) Terjadinya ikatan DNA dengan protein stabil yang

mengakibatkan gangguan genetik.

d) Gangguan kegiatan enzym dan sistem pembuatan

enzym.

xxxvi
e) Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah

dan hati.

f) Terjadinya pengurangan parenchym.

g) Penambahan lipofuscin.

2) Perubahan juga terjadi di sel otak dan saraf, berupa:

a) Jumlah sel menurun, dan fungsi digantikan sel yang

tersisa

b) Terganggunya mekanisme perbaikan sel

c) Kontrol nukleus sel terhadap cytoplasma menurun.

d) Terjadi perubahan jumlah dan struktur mitochondria.

e) Degenerasi lysosom yang mengakibatkan hidrolisa sel.

f) Berkurangnya butir Nissl.

g) Terjadi penggumpalan kromatin.

h) Terjadi penambahan pigmen lipofuscin

i) Terjadi vakuolisasi protoplasma

3) Perubahan yang terjadi di otak lanjut usia adalah:

a) Otak menjadi atrofis, beratnya berkurang 5-10%,

ukurannya mengecil, terutama di bagian parasagital, frontal dan parietal

(Perry dan Perry).

b) Jumlah neuron berkurang dan tak dapat diganti baru

(Pearson, Gatter, Powell, 1983). Disamping itu terjadi penyusutan sel

pyramidal cortex cerebral dan pengurangan sel non pyramidal.

c) Terjadi pengurangan neutrotransmitter (Jones, 1980).

- Sel Pyramidal : Asam amino, asam glutamik dan asam aspartik

- Sel non Pyramidal : Gamma Amino Butyric Acid (GABA), neuropeptides,

somatostatin.

- Lain-lain : Monoamines, dopamine, noradrenaline, serotonin.

xxxvii
d) Terbentuknya struktur abnormal di otak dan

terakumulasinya pigmen organik-mineral seperti lipofuscin, amyloid, plak dan

neurofibrillary tangle.

e) Perubahan biologis lainnya yang mempengaruhi otak,

seperti gangguan indera telinga, mata, gangguan kardiovaskular, gangguan

kelenjar thyroid dan kortikosteroid.

4) Perubahan jaringan:

a) Terjadi penurunan cytoplasma protein

b) Peningkatan metaplasmic protein seperti kolagen dan

elastin

4. Status Gizi pada Lansia

Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang

masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output) akan zat

gizi tersebut (Supariasa, 2002).

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2001).

Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat mengalami keadaan

gizi lebih maupun kekurangan gizi. Gangguan gizi yang muncul pada usia lanjut dapat

menjelaskan munculnya penyakit. Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena

sebab-sebab yang bersifat primer dan sekunder. Sebab-sebab primer meliputi

ketidaktahuan, isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup,

gangguan fisik, gangguan panca indera, gangguan mental, kemiskinan. Sebab sekunder

meliputi gangguan nafsu makan/selera, ganguan mengunyah, malabsorbsi, obat-obatan

dan peningkatan kebutuhan zat gizi.

Pola makan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi

atau pemenuhan kebutuhan gizi. Kebutuhan gizi seseorang bervariasi yaitu gizi menurut

golongan umur, jenis kelamin, aktivitas dan kondisi khusus seperti pada masa kehamilan

dan menyusui. Kebutuhan gizi usia lanjut tidak hanya dilihat dari kuantitas tetapi harus

diperhatikan unsur kualitasnya.

xxxviii
Laju metabolisme tubuh pada usia lanjut cenderung menurun, sehingga

tingkat kegiatan tubuh biasanya berkurang yang mengakibatkan kebutuhan kalori relatif

lebih rendah daripada ketika masih muda atau dewasa. Kebutuhan nutrisi seperti vitamin,

mineral, protein, dan sebagainya boleh jadi tidak berkurang, bahkan bertambah. Kalsium,

misalnya, dibutuhkan lebih banyak oleh orang dewasa, terlebih wanita yang telah

mencapai masa menopause. Hal ini untuk memperbaiki kerusakan–kerusakan pada

jaringan tulang (osteoporosis) sehingga tulang tidak cepat rapuh.

Pola makan yang sehat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

keadaan kesehatan seseorang. Agar usia lanjut selalu sehat, maka pola makan setiap hari

diusahakan bisa memenuhi gizi seimbang, yaitu makanan yang dikonsumsi harus dapat

memenuhi kebutuhan setiap zat gizi, yaitu mengandung zat penghasil tenaga, zat

pembangun, dan zat pengatur. Pola makan yang memenuhi gizi seimbang dapat

dilakukan dengan menerapkan 13 Pesan Umum Gizi Seimbang (PUGS) (Depkes, 1995),

namun bagi usia lanjut hanya meliputi 7 (tujuh) pesan (Depkes, 2002), yaitu:

a. Makanlah aneka ragam makanan

b. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi

c. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat

kecukupan energi

d. Makanlah makanan sumber zat besi

e. Biasakan sarapan pagi

f. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya

g. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur.

Proses biologis yang terlihat secara fisik dengan perubahan yang terjadi pada

tubuh dan berbagai organ serta penurunan fungsi organ tersebut. Perubahan secara

biologis ini dapat mempengaruhi status gizi pada masa tua, yaitu:

1. Massa otot yang berkurang dan massa lemak yang bertambah, mengakibatkan

jumlah cairan tubuh juga berkurang, sehingga kulit kelihatan mengerut dan kering,

xxxix
wajah keriput serta muncul garis-garis yang menetap. Oleh karena itu pada usia lanjut

sering kelihatan kurus. Penuaan menyusutkan massa otot dan sekaligus

menyuburkan massa lemak. Massa tubuh yang tidak berlemak berkurang sebanyak

6,3%, sementara massa lemak meningkat 2% dari berat badan per dekade setelah

usia 30 tahun. Dengan demikian, pertumbuhan lemak total sepanjang hayat

diperkirakan sebesar 10 – 15%. Penyusutan massa otot ditaksir mencapai 5 kilogram

(untuk wanita) sampai 12 kilogram (untuk pria) pada usia 25 – 70 tahun, sementara

ukuran otot mengkerut hingga 40%. Organ tubuh lain yang juga ikut mengecil ialah

ginjal (9%), hati (18%), dan paru-paru (11%). Sejalan dengan pengecilan ini, jumlah

total cairan tubuh ikut berkurang, dari 70% menjadi 60% (Arisman, 2004).

2. Penurunan indera penglihatan akibat katarak pada usia lanjut sehingga

dihubungkan dengan kekurangan vitamin A, vitamin C dan asam folat. Sedangkan

gangguan pada indera pengecap yang dihubungkan dengan kekurangan kadar Zn

dapat menurunkan nafsu makan. Penurunan indera pendengaran terjadi karena

adanya kemunduran fungsi syaraf pendengaran.

3. Banyaknya gigi-geligi yang sudah tanggal, mengakibatkan gangguan fungsi

mengunyah yang berdampak pada kurangnya asupan zat gizi pada usia lanjut.

4. Penurunan mobilitas usus, menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan

seperti perut kembung, nyeri yang menurunkan nafsu makan usia lanjut. Penurunan

mobilitas usus dapat juga menyebabkan susah buang air besar yang dapat

menyebabkan wasir.

5. Kemampuan motorik menurun, selain menyebabkan usia lanjut menjadi lamban,

kurang aktif dan kesulitan untuk menyuap makanan, dapat mengganggu

aktivitas/kegiatan sehari-hari.

6. Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sel otak, yang menyebabkan penurunan

daya ingat jangka pendek menyebabkan melambatnya proses informasi, kesulitan

berbahasa, kesulitan mengenal benda-benda, kegagalan melakukan aktivitas.

xl
7. Akibat proses menua, kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah

besar juga berkurang. Akibatnya dapat terjadi pengenceran Natrium sampai terjadi

hiponatremia yang menimbulkan rasa lelah.

8. Incotenensia Urine (IU) adalah pengeluaran urine di luar kesadaran, menjadi

masalah yang dialami usia lanjut, sehingga mereka sering mengurangi minum yang

dapat menyebabkan dehidrasi (Arisman, 2004)

Khomsan A, (2002) mengemukakan ada lima faktor fisiologis yang

menyebabkan usia lanjut rawan terhadap masalah gizi, yaitu:

1. Kemampuan indera menurun. Sensitivitas terhadap rasa manis dan asin

berkurang, dan indera penciuman juga mengalami penurunan, sehingga tidak bisa

lagi menikmati makanan secara maksimal.

2. Berkurangnya sekresi hormon saliva, berdampak pada merusaknya gigi-geligi.

Diperkirakan 50% golongan usia 65 tahun ke atas sudah kehilangan semua giginya.

Keadaan ini akan mempengaruhi penerimaan usia lanjut pada makanan.

3. Sekresi HCl berkurang, menyebabkan rendahnya penyerapan kalsium, vitamin C

dan zat besi. Bila berlanjut terus, keadaan ini dapat menyebabkan anemia.

4. Berkurangnya sekresi empedu menyebabkan pencernaan lemak menjadi lambat.

Akhirnya penyerapan vitamin A, D, E dan K juga menurun.

5. Berkurangnya motilitas gastrointestinal menyebabkan terjadinya konstipasi (sulit

buang air besar).

Pada usia lanjut terjadi perubahan-perubahan yang

mempengaruhi gizi yaitu :

1. Menurunnya kebutuhan berbagai zat gizi

Penurunan kebutuhan energi disebabkan menurunnya aktivitas fiisk

pada usia lanjut disamping menurunnya metabolisme basal. Apabila

masukan energi tidak dikurangi akan menyebabkan terjadinya obesitas

pada usia lanjut. Makanan yang mengandung lemak lebih disenangi

xli
para usia lanjut selain karena gurih juga makanan lebih empuk. Kondisi

demikian itu memicu naiknya masukan lemak makanan yang

berpengaruh terhadap kadar lemak dan kolesterol darah yang

merupakan awal dari penyakit jantung koroner.

Demikian pentingnya pembahasan konsumsi energi pada usia lanjut

terbukti dari hasil penelitian Schlenker terhadap sejumlah wanita pada

tahun 1948. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi energi

terutama karbohidrat dan lemak rendah.

b. Gangguan kemampuan menikmati cita rasa makanan

Penelitian oleh Cohen dan Gitman menunjukkan pada usia lanjut,

39,9% wanita dan 25,8% pria mengalami kemunduran indera

pengecap. Dan indera yang paling banyak terganggu adalah indera

pengecap rasa manis dan rasa asin. Karena itu pada usia lanjut,

makanan yang bercitarasa dan aroma keras lebih disenangi.

Pemakaian garam, gula dan berbagai bumbu penyedap jadi lebih tinggi.

Penyakit diabetes mellitus, hipertensi pada usia lanjut menjadi lebih

mudah terjadi akibat keadaan itu.

c. Penurunan fungsi saluran pencernaan

Penurunan fungsi saluran cerna pada usia lanjut menyebabkan

berkurangnya sekresi getah cerna. Derajat keasaman cairan lambung

berkurang dan hal itu menyebabkan terganggunya penyerapan zat

kapur, zat besi dan mineral lain. Lembaga Usia Lanjut Amerika Serikat

menduga anemia gizi merupakan salah satu penyebab terjadinya “

sindroma otak “ pada usia lanjut, seperti mudah lupa, kepikunan, dan

xlii
sebagainya. Gastritis khronis dan konstipasi juga berkenaan dengan

penurunan fungsi saluran pencernaan.

d. Gangguan keseimbangan hormonal

Pada usia lanjut produksi berbagai hormon sangat menurun. Produksi hormon

thyrosin, insulin, adrenalin glucagon, epinerphrin, ergosteron, testosteron dan hormon

lain sangat menurun pada usia lanjut sehingga keseimbangan hormon dalam tubuh

terganggu. Hal ini membawa dampak terhadap metabolisme zat gizi, sehingga

penyakit gangguan metabolisme lebih sering terjadi pada usia lanjut (Moehji, 2003).

5. Patofisiologi Malnutrisi pada Lansia

Sejalan dengan bertambahnya usia, maka kemampuan indera

penciuman dan pengecapan perlahan-lahan mulai menurun. Perubahan ini

acap kali tidak disadari oleh yang bersangkutan. Perubahan cita rasa kerap

kali terjadi pada usia lanjut. Cita rasa dikontrol oleh jumlah dan tingkat

fungsi perasa di lidah dan faring serta integritas suplai persyarafan ke

wilayah tersebut. Pada usia lanjut terjadi penurunan jumlah perasa serta

atrofi pada perasa yang ada. Perubahan yang ternyata lebih berperan

adalah meningkatnya ambang rasa terhadap rasa manis, asin, asam dan

pahit. Kebutuhan terhadap rasa manis meningkat pada sebagian orang

tua. Berkurangnya saliva turut mengurangi makanan yang dapat dilarutkan,

sementara perasa hanya dapat membedakan rasa makanan yang terlarut.

Selain itu, dengan berkurangnya saliva, makanan di dalam mulut tidak

dicerna secara sempurna karena enzim yang diperlukan untuk pencernaan

awal, yang terdapat pada saliva, berkurang. Kondisi mulut kering

(xerostomia) juga merupakan faktor risiko terjadinya karies dan hygiene

xliii
mulut yang makin buruk karena aliran bolus menjadi kurang lancar.

Pemakaian gigi palsu serta buruknya hygiene mulut akan menimbulkan

rasa residu/tersisa sehingga menutupi rasa yang lain. Obat-obat tertentu

juga dapat turut berkontribusi dalam berkurangnya cita rasa. Status gizi

sendiri akan mempengaruhi cita rasa, demikian pula berkurangnya kadar

zink walaupun bukan merupakan penyebab utama berkurangnya cita rasa

pada usia lanjut (Harjodisastro,2006).

Pengecapan, Ganguan gigi Penglihatan,


penciuman menurun mulut pendengaran menurun

Nafsu makan Gangguan Mobilisasi


menurun mengunyah menurun

Aktivitas fisik Asupan makanan Albumin serum


menurun menurun menurun

Penyakit kronik MALNUTRISI Kemiskinan

Absorbsi zat gizi Isolasi Gangguan kognitif


terganggu

Gangguan
pencernaan

Gambar 2.1. Patofisiologi Malnutrisi pada Usia Lanjut

6. Hipoalbuminemia pada Lansia

Hipoalbuminemia, atau rendahnya albumin di dalam darah, adalah suatu

kondisi yang umum terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit yang serius dan

dihubungkan dengan peningkatan kesakitan dan kematian

xliv
Hipoalbuminemia adalah kekurangan albumin pada darah, lebih banyak

terjadi pada pasien usia lanjut. Albumin adalah protein yang terdapat dalam darah.

Beberapa penyebab rendahnya serum albumin yaitu sebagai berikut:

1. Status gizi yang buruk

2. Meningkatnya ekskresi atau kehilangan albumin dalam tubuh

Kadar Albumin serum yaitu dari 3.5-4.5 gr/dL, dengan total 300-500 gram.

Sintesis terjadi hanya di dalam hati dengan jumlah kadar kira-kira 15 gr/dL pada orang

yang sehat, tetapi kadar itu bisa berubah tergantung dari tekanan physiologic. Waktu

paruh dari albumin serum adalah kira-kira 20 hari, dengan derajat penurunan kira-kira 4%

per hari. Hypoalbuminemia adalah suatu masalah yang umum terjadi pada orang-orang

dengan kondisi medis akut dan kronis. Di rumah sakit 20% dari pasien-pasien menderita

hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk

sindrom nephrotic, cirrhosis hepatic, gagal jantung, dan malnutrisi. Bagaimanapun,

kebanyakan kasus-kasus dari hipoalbuminemia disebabkan oleh penyakit-penyakit akut

dan kronis.

Di Amerika Serikat hipolabuminemia lebih sering di dapati pada pasien-pasien

yang lebih tua. Albumin serum yang rendah merupakan alat ukur yang penting dalam

kesakitan dan kematian. pada sebuah studi kohor meta analisis ditemukan bahwa dengan

setiap penurunan albumin serum sebanyak 10 g/L, akan meningkatkan kematian

sebanyak 137% dan kesakitan sebanyak 89%. Pasien-pasien dengan albumin serum

yang kurang dari 35 gr/dl pada 3 bulan yang dikeluarkan dari rumah sakit 26 kali lebih

besar mengalami kematian di tahun ke lima dibanding mereka yang mempunyai albumin

serum lebih besar dari 40 gr/dL.

Perubahan konsentrasi albumin serum biasanya terjadi dalam bentuk

penurunan (hipoalbuminemia). Berbagai keadaan dapat menyebabkan hipoalbuminemia.

Secara sistematis, penyebab hipoalbuminemia dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok

besar. Kelompok pertama ialah hipoalbuminemia yang disebabkan oleh kurangnya

ketersediaan bahan mentah sintesis protein, yaitu asam-asam amino yang berasal dari

makanan. Kelompok kedua ialah yang disebabkan oleh gangguan tempat sintesis, yaitu

xlv
organ hati. Kelompok ketiga disebabkan oleh terjadinya kehilangan albumin melalui alat

pembuangan atau eksresi.

Sumber bahan baku untuk sintesis protein apapun di dalam tubuh ialah asam-

asam amino yang berasal dari hasil hidrolisis protein makanan. Apabila jumlah bahan

baku ini, yaitu protein makanan, tidak mencukupi keperluan yang paling dasar, tubuh tidak

akan mampu mensintesis protein termasuk albumin, dalam jumlah yang cukup. Keadaan

seperti ini terjadi pada bencana kelaparan dan pada penyakit kekurangan kalori dan

protein (KKP), yang lazim juga disebut sebagai malnutrisi (malnutrition). Keadaan

hipoalbuminemia juga dapat terjadi, meskipun jumlah protein yang masuk ke dalam tubuh

cukup dan sel-sel hati berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hal ini gangguan dapat

terjadi misalnya dalam enzim-enzim pencernaan sehingga pemecahan protein menjadi

asam-sam amino tidak berjalan dengan lancar. Akibatnya, jumlah asam-asam amino yang

dihasilkan dalam proses pencernaaan untuk diserap menjadi tidak cukup lagi. Bila

keadaan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, tentu akan terjadi kekurangan

asam amino yang kronis sehingga proses sintesis protein akan terganggu. Selain itu,

mungkin saja fungsi pencernaan berjalan sempurna, tetapi sel-sel mukosa usus yang

berfungsi melakukan penyerapan mengalami gangguan, sehingga jumlah asam amino

yang sampai ke berbagai organ, termasuk hati yang mensintesis albumin, juga berkurang.

Jelaslah bahwa salah satu dari keadaan tersebut akan menyebabkan berkurangnya asam

amino yang tersedia bagi sintesis protein oleh berbagai organ, termasuk hati.

Berbagai gangguan pada sel-sel hati, tempat sintesis albumin akan

menyebabkan berkurangnya konsentrasi protein ini di dalam darah, meskipun tidak ada

masalah sama sekali dengan pasokan, asupan protein dan ketersediaan asam amino bagi

sel-sel hati. Pada kenyataannya, memang dalam kelainan hepatosit yang disebabkan oleh

faktor apapun juga, hipoalbuminemia merupakan gejala umum yang selalu ditemukan.

Penyakit-penyakit seperti radang hati (hepatitis) yang disebabkan oleh berbagai virus atau

mikroorganisme lain seperti cacing, kerusakan sel-sel hati yang disebabkan oleh

keracunan berbagai senyawa kimia, termasuk obat-abatan dan alkohol, penyakit

xlvi
degenerasi hati seperti sirosis hati, sampai kanker sel-sel hati, selalu ditandai oleh

keadaan hipoalbuminemia.

Albumin akan hilang dari darah melalui alat eksresi, terutama ginjal. Dalam

beberapa penyakit ginjal, seperti radang glomerulus (glomerulonefritis), penyakit nefrosis

atau sindroma nefrotik terjadi kebocoran albumin melalui pori-pori membran basal dari

glomerulus. Seharusnya, membran ini tidak dapat ditembus oleh albumin, oleh karena

pori-porinya lebih kecil daripada ukuran molekul protein ini. Akan tetapi dalam penyakit-

penyakit ginjal, albumin dapat lolos melalui lubang pori tersebut dan keluar bersama air

kemih. Akibatnya, di samping mengalami hipoalbuminemia, orang tersebut juga

mengalami albuminuria (adanya albumin di dalam air kencing). Selain dalam kelainan

ginjal, albuminuria ini juga terjadi pada penyakit kehamilan, yaitu eklampsia dan

preeklampsia.

Hipoalbuminemia selalu menyebabkan terjadinya pergeseran air ekstrasel

dari dalam ruang pembuluh darah ke ruang antar sel di luar pembuluh darah. Keadaan ini

akan menyebabkan sembabnya jaringan, yang dapat dilihat dan diraba. Keadaan ini

dikenal juga sebagai edema. Dari fakta ini dapat disimpulkan, bahwa salah satu dari

fungsi albumin ialah mempertahankan keseimbangan cairan antara ruang intravaskuler

dengan ruang interstisial. Menurunnya konsentrasi albumin akan menyebabkan

berkurangnya jumlah molekul yang mempertahankan air di dalam ruang intravaskuler,

sehingga air akan mudah bergeser ke jaringan interstisial di luar ruang pembuluh darah.

7. Asupan Makan Lansia

Berkurangnya asupan makan lansia juga biasanya disebabkan masalah pada

gigi geligi dan menurunnya nafsu makan. Berkurangnya nafsu makan pada usia lanjut

antara lain disebabkan faktor fisik dan sosial, seperti rasa terisolasi (sendiri tanpa ada

teman), masalah keuangan, depresi, dan beberapa penyakit seperti parkinson dan

konstipasi (Liza, 2007).

Dengan meningkatnya usia, fungsi fisiologis tubuh akan menurun. Hal yang

sama juga terjadi pada nafsu makan karena fungsi organ pencernaan termasuk gigi geligi

menurun fungsinya. Daya kecap serta daya penciuman juga sudah tidak setajam saat

xlvii
masih muda. Waktu pengosongan lambung berjalan lebih lambat yang akan

menyebabkan lansia selalu merasa kenyang. Sehingga selain gizi seimbang, beberapa

vitamin dan mineral seperti beta karoten (pro-vitamin A), B, C, D, E, Zink (Zn), Mangan

(Mn) dan Tembaga (Cu), Zat Besi, Kalsium, dan Fosfor perlu ditambahkan pada makanan

lansia.

Lestiani, dari Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia menjelaskan bahwa defisiensi kalsium, fosfor dan vitamin D akan menyebabkan

terjadinya osteoporosis dan fraktur tulang. Defisiensi Zink menyebabkan menurunnya

kekebalan tubuh, nafsu makan dan penyembuhan luka yang lama.

Sementara defisiensi asam folat dan vitamin B12 menyebabkan anemia dan

kepikunan. Vitamin C dan E diperlukan untuk mengatasi stress oksidatif. Mn diperlukan

untuk mengatasi kelelahan otot dan hipertensi, Zat besi diperlukan untuk anemia zat besi.

Nafsu makan lansia menurun karena faktor sosial, psikologis dan penyakit

sehingga status nutrisinya terganggu. Tiap lansia rata-rata menderita empat jenis

penyakit, antara lain hipertensi, gangguan kolesterol, ginjal dan rematik. Hal itu

menyebabkan para lansia cepat merasa lelah dan lemah serta mudah bingung (Balipost,

2008).

Semakin bertambahnya umur pada lansia, maka indera mereka makin

berkurang kemampuannya. Kepekaan terhadap rasa manis dan rasa asin makin

berkurang. Disamping itu indera penciuman juga mundur. Oleh karena itu menjelang usia

senja orang tidak lagi menikmati makanan secara maksimal. Reaksi orang dalam keadaan

demkian bisa bermacam-macam sehingga hal ini menimbulkan beberapa akibat buruk

bagi tubuh, pertama, mulai menghindari makanan atau tidak mau makan sehingga

keadaan gizi dan kesehatan makin merosot. Akibatnya banyak lansia yang menderita

busung lapar (honger oedeem).

Berkurangnya produksi air liur pada lansia akan mengurangi kemampuan

untuk menelan makanan. Air ludah yang berkurang ini juga akan menyebabkan kerusakan

gigi karena salah satu fungsi air ludah adalah sebagai pembersih gigi. Lansia dengan gigi

yang tidak lengkap lagi akan mempunyai masalah dalam mengunyah makanan. Lambat

xlviii
laun daya penerimaan makanan oleh lambung makin berkurang. Ada kecenderungan

mereka hanya makan yang lunak-lunak, seringkali berenergi ( kalori dan lemak) tinggi,

tetapi kandungan zat gizi lainnya rendah. Produksi asam lambung juga berkurang yang

menyebabkan rendahnya penyerapan zat kapur (kalsium) dan zat besi, juga penyerapan

vitamin B12 menurun. Apabila keadaan ini berlangsung cukup lama maka akan muncul

gejala kurang darah (anemia). Kekurangan zat kalsium akan menyebabkan tulang

belulang menjadi cepat rapuh dan mudah patah.

Berkurangnya produksi empedu menyebabkan pencernaan lemak menjadi

lebih lambat. Akhirnya penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K juga menurun.

Kemampuan mencerna protein juga menurun. Berkurangnya gerakan usus menyebabkan

terjadinya sembelit sehingga sisa ampas makanan semakin banyak.

Sejalan dengan bertambahnya usia, maka kemampuan indera penciuman dan

pengecapan perlahan-lahan mulai menurun. Perubahan ini acapkali tidak disadari oleh

yang bersangkutan. Perubahan cita rasa kerapkali terjadi pada usia lanjut. Cita rasa

dikontrol oleh jumlah dan tingkat fungsi perasa di lidah dan faring serta integritas suplai

persyarafan ke wilayah tersebut. Pada usia lanjut terjadi penurunan jumlah perasa serta

atrofi pada perasa yang ada. Perubahan yang ternyata lebih berperan adalah

meningkatnya ambang rasa terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit (Harjodisastro

dkk, 2006).

B. Peranan Protein dalam Proses Fisiologis

Protein merupakan zat gizi penting karena yang paling erat hubungannya

dengan proses-proses kehidupan serta merupakan polimer asam amino yang mencapai

jumlah sekitar 17% dari jaringan tubuh. Secara umum fungsi protein adalah untuk

memelihara stuktur tubuh, mobilisasi konsentrasi myosin/aktin pada otot rangka, sebagai

alat transport membran, untuk sintesis protein visceral seperti albumin dan imunoglobulin

(Stepanuk, 2000, Linder, 1992). Asam amino terdapat dalam tubuh yang setiap saat siap

untuk dipergunakan sebagai cadangan, terdiri atas asam amino di dalam darah maupun di

dalam jaringan hati dan otot (Kartasapoetra, 2005).

xlix
Sejumlah asam amino terdapat dalam tubuh yang setiap saat siap untuk

dipergunakan sebagai cadangan. Cadangan ini terdiri atas asam amino di dalam darah

maupun di dalam jaringan (hati, otot) yang cukup labil dan mudah dimobilisasikan untuk

penggunaan yang lebih penting (Stepanuk, 2000).

Sepertiga kebutuhan asam amino diperlukan setiap hari dalam diit dan

sebagai sintesis albumin dan protein plasma yang kemudian memasuki sirkulasi. Hampir

semua protein plasma didegradasi terutama oleh hati, tetapi tidak ada satu organ yang

menjadi tempat katabolisme utama (Linder, 1992).

Albumin sebagai protein transport mempunyai fungsi sebagai cadangan atau

sumber asam amino yang siap digunakan, sebagai alat transport asam amino ke jaringan

permukaan untuk menggantikan yang hilang, sintesis di hati, otot dan organ lain, berfungsi

dalam sistem enzimatik, dan bertanggung jawab dalam kekebalan alamiah (Price, 1984,

Stepanuk, 2000).

Setiap hari tubuh diperkirakan mensintesis protein aktif sebanyak 205 gram

dan sebanyak 35 gram pada organ lain yang membutuhkan sejumlah asam amino.

Sepertiga dari kebutuhan asam amino ini harus disediakan dari makanan harian (asam

amino eksogen) dan selebihnya dari turnover protein endogen (Linder, 1992; Stepanuk,

2000).

Jumlah ekskresi produk akhir metabolisme protein tergantung dari konsumsi

protein harian dan keadaan fisiologis individu. Bila dalam keadaan puasa dimana

konsumsi protein rendah, maka ekskresinya sedikit. Bila konsumsi meningkat atau

terdapat demam ekskresinya akan meningkat (Linder, 1992, Stepanuk 2000).

Metabolisme protein dimulai setelah protein dipecah menjadi asam amino,

melalui sistem darah porta, asam amino masuk ke hati. Oleh sel-sel hati sebagian besar

asam amino dipergunakan untuk pembentukan protein tubuh. Bila kelebihan asam amino

atau tidak tersedia cukup karbohidrat dan lemak untuk energi, sebagian asam amino

dipecah untuk menghasilkan energi, dan masuk dalam siklus Tricarboxil Citric Acid (TCA).

Hanya sedikit asam amino yang disimpan sebagai cadangan (Amino Acid Pool).

l
Amino acid pool merupakan cadangan yang sewaktu-waktu dapat

dimobilisasikan oleh tubuh, tetapi sebenarnya mempunyai suatu fungsi tertentu di dalam

jaringan, misalnya sebagai albumin dalam cairan darah atau sebagai sel otot skelet atau

pula sebagai protein metabolik yang terdapat dalam sitoplasma. Namun bila diperlukan

dalam sintesa protein lain yang lebih penting, sedangkan bahan dari protein makanan

tidak cukup, maka amino acid pool ini dapat melepaskan fungsi yang sedang dipenuhi dan

tersedia untuk dipergunakan dalam sintesa protein baru tersebut (Sediaoetama, 1985).

Terdapat suatu keseimbangan dinamis antara asam amino di dalam jaringan

dan asam amino di dalam pool, artinya asam amino di dalam pool dan di dalam jaringan

tersebut selalu saling dipertukarkan, dengan flux total yang sama menuju ke kedua

arahnya. Amino acid pool yang terbesar terdapat dalam bentuk jaringan otot skelet. Bila

penyediaan protein dari makanan tidak mencukupi dan diperlukan asam-asam amino

untuk sintesa protein tubuh yang tidak dapat ditunda, maka sel otot-otot tertentu dipecah

dan asam aminonya masuk ke dalam pool untuk dipergunakan. Maka otot-otot menjadi

atrofis, dan kekuatannya menurun. Namun hal ini tidak mengganggu fungsi tubuh secara

keseluruhan, karena otot yang dimanfaatkan tersebut tidak begitu sering dipergunakan

atau diperlukan (Sediaoetama, 1985).

Asam-asam amino dikatabolisme dengan cara : sepertiga asam amino

(alanin, serin, glisin, metionin, triptopan) diubah menjadi piruvat, disebut asam amino

glukogenik; Sepertiga asam amino (fenilalanin, tirosin, leusin, isoleusin, lisin) diubah

menjadi asetil Co-A, disebut asam amino ketogenik, dapat diubah jadi lemak; Sepertiga

asam amino sisanya kecuali asam aspartat diubah menjadi glutamat, dideaminase dan

langsung masuk ke dalam siklus TCA (Linder, 1992; Stepanuk, 2000, Almatsier, 2001).

Deaminase asam amino terjadi bila asam amino digunakan sebagai sumber

energi atau membentuk lemak tubuh. Hasil deaminase adalah asam keto dan ammonia

(NH3). Amonia merupakan basa yang bersifat racun, bila berlebihan dalam tubuh akan

mengganggu keseimbangan asam basa. (Linder, 1992).

Perubahan amonia hasil deaminase asam amino menjadi ureum oleh sel-sel

hati. Kelebihan amonia harus didetoksikasi. Amonia yang tidak digunakan bergabung

li
dengan CO2 dan menghasilkan ureum yang tidak terlalu beracun. Perubahan ini melalui

siklus urea yang kompleks. Ureum oleh hati dikeluarkan melalui peredaran darah melalui

ginjal. Oleh ginjal ureum akan dikeluarkan dari tubuh melalui urine. Dalam keadaan

normal, hati dapat mengubah semua amonia menjadi ureum dan mengeluarkan ke dalam

aliran darah masuk ke ginjal. Ginjal kemudian membersihkan darah dari amonia dan

dikeluarkan dari dalam tubuh melalui urine. Bila konsumsi protein berlebihan, produksi

ureum akan meningkat. Untuk mengeluarkannya diperlukan air agar dapat keluar dalam

keadaan larut (Linder, 1992; Stepanuk, 2000).

Nitrogen yang dilepaskan pada proses deaminase masuk ke dalam siklus

urea dan diekskresikan melalui ginjal dalam air seni. Bila air seni dibiarkan di udara

terbuka, ureum akan dipecah oleh mikroba, menghasilkan amonia yang menguap dan

memberikan bau khas air seni (pesing).

Nitrogen yang dilepaskan pada proses transaminase tidak dibuang ke luar

tubuh, tetapi dipergunakan lagi dalam sintesa protein tubuh. Ada pula nitrogen yang

terbuang di permukaan kulit dalam sel-sel yang aus terlepas atau dalam rambut yang

putus terbuang. Nitrogen juga ada yang ikut terbuang dalam tinja, karena terbuang di

dalam cairan pencernaan atau dalam sel-sel epitel usus yang terlepas dan terbuang aus

(Sediaoetama, 1985; Linder, 1992).

1. Absorpsi dan Metabolisme Protein

Protein yang telah dihidrolisis dalam lambung oleh pepsin menjadi polipeptida dan

asam amino, dalam rongga duodenum mengalami pencernaan lebih lanjut. Polipeptida

dicerna lagi oleh enzim tripsin dan chimotripsin menjadi peptida yang lebih sederhana.

Agar supaya dapat diserap oleh villi usus, peptida dihidrolisir lagi oleh enzim erepsin

menjadi asam amino. Dalam Yeyunum proses pencernan protein telah selesai dengan

hasil akhir protein adalah asam amino yang siap untuk diabsorbsi. Proses absorbsi

sebagian besar terjadi di dinding ileum. Sebagian asam amino diserap melalui villi ileum

secara pasif dan sebagian lainnya diserap secara aktif selektif, kemudian dialirkan melalui

darah ke seluruh sel-sel jaringan tubuh (Tirtawinata, 2006).

lii
Metabolisme protein dimulai setelah protein dipecah menjadi asam amino.

Melalui sistem darah porta, asam amino masuk ke hati. Oleh sel-sel hati sebagian besar

asam amino digunakan untuk pembentukan protein tubuh. Sebagian dari asam amino

hasil pencernaan protein dirubah menjadi senyawa-senyawa lain misalnya darah, enzim,

hormon, dan zat kekebalan tubuh (Kartasapoetra, 2005).

(Sumber: Linder, 1992)

Gambar 2.2 Metabolisme protein manusia (berat badan 62,5 kg dengan 10.900 8 protein1)
240g disintesis dan didegradasi setiap hari2). Angka menunjukkan per hari. (1)
Penyerapan asam amino dan peptida setelah pencernaan; (2) Pengambilan
asam amino oleh hati; (3) sintesis protein hati dan plasma, terutama albumin;
(4) katabolisme kelebihan asam amino; (5) distribusi asam amino ke bagian
tubuh lainnya: (6) Pengambilan oleh sel-sel urat daging pankreas dan epitel; (7)
ekskresi N-asam amino dalam berbagai bentuk. Catatan kaki: 1) 10.900 g
protein berdasarkan pada 17,5 96 protein dari berat badan; 2) 240 g sintesis
protein/degradasi setiap hari berdasar pada kalkulasi Clifford (1980) ; 3) Irwin
(1971b); 4) Cahill (1973); 5) Dihitung dari Tannenbaum (1978). (Sumber:
Modifikasi dari Munro dan Crim, 1980).

liii
Hasil metabolisme protein diperlukan untuk pembentukan sel-sel jaringan baru

yang menghasilkan pertumbuhan badan, membentuk otot dan struktur tubuh serta untuk

menggantikan sel-sel yang telah usang. Disamping itu digunakan pula untuk pembentukan

sel-sel antibodi dari sistim kekebalan tubuh yang berperan dalam mempertahankan badan

terhadap macam-macam penyakit, demikian juga untuk pembentukan sel-sel darah

merah, berbagai enzim dan hormon ikut serta mempertahankan keseimbangan asam

basa (Tirtawinata, 2006, Prosiding, 2004, Hill L., 2000).

Asam amino diperlukan sekitar 1/3 setiap hari dalam diit dapat dilaporkan

sebagai sintesis albumin dan protein plasma lain yang kemudian memasuki sirkulasi.

Hampir semua protein plasma di degradasi terutama oleh hati, tetapi tidak ada satu organ

yang menjadi tempat katabolisme utama. Jadi yang mungkin adalah bahwa albumin

sebagai asam amino simpanan/yang disimpan sementara atau sebagai alat pengangkut

asam amino kejaringan permukaan untuk menggantikan yang hilang (Linder, 1992). Pada

keadaan sakit berat kehilangan nitrogen dalam urine biasanya meningkat 50 sampai

100%. Karena 1 gr nitrogen mewakili kira-kira 30 gr massa otot tubuh. Penyakit berat akan

menyebabkan hilangnya 0,6 kg massa otot tubuh perhari, sebagian besar kehilangan ini

berasal dari otot rangka dan pengeluaran asam amino dari otot rangka meningkat 2-6 kali

lipat pada pasien yang sakit kritis. Peningkatan pengeluaran dari otot rangka disebabkan

oleh peningkatan katabolisme protein dari pada penurunan sintesa protein

(Harrison,1999).

Setiap hari tubuh diperkirakan mensintesis protein aktif sebanyak 205 gram dan

sebanyak 35 gram pada organ lain yang membutuhkan sejumlah asam amino. Sepertiga

dari kebutuhan asam amino ini harus disediakan dari makanan harian (asam amino

eksogen) dan selebihnya dari turnover protein endogen (Linder, 1992).

Dalam keadaan darurat, apabila glikogen dan lemak sebagai cadangan energi

habis terpakai, misalnya waktu bekerja berat atau kelaparan, maka asam amino dapat

dimetabolisme untuk menghasilkan energi (Almatsier, 2002). Mula-mula asam amino

mengalami deaminase yaitu melepaskan gugus amino (NH2). Proses ini membutuhkan

liv
vitamin B6 sebagai ko-enzim. Kemudian asam amino mengalami katabolisme (Tirtawinata,

2006).

Asam-asam amino dikatabolisme dengan cara: Sepertiga asam amino (alanin,

serin, glisin, metionin, triptopan) diubah menjadi piruvat, disebut asam amino glukogenik;

Sepertiga asam amino (fenilalanin, tirosin, leusin, isoleusin, lisin) diubah menjasi asetil Co-

A, disebut asam amino ketogenik, dapat diubah jadi lemak; Sepertiga asam amino sisanya

kecuali asam aspartat diubah menjadi glutamat, dideaminase dan langsung masuk siklus

TCA (Linder, 1992; Stepanuk, 2000; Almatsier, 2002).

Deaminasi asam amino terjadi bila asam amino digunakan sebagai sumber

energi atau membentuk lemak tubuh. Hasil deaminasi adalah asam keto dan amonia

(NH3). Amonia merupakan basa yang bersifat racun, bila berlebihan dalam tubuh akan

mengganggu keseimbangan asam basa. (Linder, 1992; Almatsier, 2002).

Perubahan amonia hasil deaminase asam amino menjadi ureum oleh sel-sel

hati. Kelebihan amonia harus didetoksikasi. Amonia yang tidak digunakan bergabung

dengan CO2 dan menghasilkan ureum yang tidak terlalu beracun. Perubahan ini melalui

siklus urea yang kompleks. Ureum oleh hati dikeluarkan melalui peredaran darah melalui

ginjal. Oleh ginjal ureum akan dikeluarkan dari tubuh melalui urin (Tirtawinata, 2006).

Dalam keadaan normal, hati dapat mengubah semua amonia menjadi ureum dan

mengeluarkan ke dalam aliran darah masuk ke ginjal. Ginjal kemudian membersihkan

darah dari amonia dan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui urin. Bila konsumsi protein

berlebihan, produksi ureum akan meningkat. Untuk mengeluarkannya diperlukan air agar

dapat keluar dalam keadaan larut (Linder, 1992; Stepanuk, 2000; Almatsier, 2002).

Nitrogen yang dilepaskan pada proses deaminase masuk ke dalam siklus urea

dan diekskresikan melalui ginjal dalam air seni. Bila air seni dibiarkan di udara terbuka,

ureum akan dipecah oleh mikroba, menghasilkan amonia yang menguap dan memberikan

bau khas air seni (pesing). Nitrogen yang dilepaskan pada proses transaminasi tidak

dibuang ke luar tubuh, tetapi dipergunakan lagi dalam sintesa protein tubuh. Ada pula

nitrogen yang terbuang dipermukaan kulit dalam sel-sel yang aus terlepas atau dalam

rambut yang putus terbuang. Nitrogen juga ada yang ikut terbuang dalam tinja, karena

lv
terbuang di dalam cairan percernaan atau dalam sel-sel epitel usus yang terlepas

(Sediaoetama, 2004; Linder, 1992; Almatsier, 2002).

2. Kebutuhan Protein

Kebutuhan basal protein untuk orang dewasa sehat adalah 0,8-1 gr/kg BB/24

jam, pada kondisi dimana terjadi katabolisme berat, kebutuhan tersebut meningkat sampai

1,5-2 gr/hari (Jaya W., 2002). Dalam membantu terpenuhinya energi, tiap gram protein

mensuplai 4 kalori. Dengan demikian untuk mencukupi kekurangan energi 210 kalori

misalnya diperlukan 52,5 gr protein (Kartasapoetra, 2005).

Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari

saluran cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-

jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Kekurangan protein, menyebabkan

gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi. Seseorang yang menderita

kekurangan protein lebih rentan terhadap bahan-bahan racun dan obat-obatan. Serta

ketidakmampuan membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup (Almatsier, 2002,

Tirtawinata, 2006). Gejala-gejala kekurangan protein : pertumbuhan kurang baik, daya

tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, kreativitas dan produktifitas kerja

merosot, mental lemah dan lain-lain (Kartasapoetra, 2005).

Penatalaksanaan dengan melibatkan asam amino rantai cabang merupakan

salah satu komponen penting yang perlu disertakan guna membantu mendorong

metabolisme dan sintesis seretonin di otak serta aktifitas serotonergit hipotalamus. Asam

amino rantai cabang mempunyai efek anabolik yang memicu sintesa protein intraseluler

dan pengaruh antikatabolik yang mencegah proteolitik jalur intraseluler. Dengan intervensi

nutrisi dini diharapkan dapat mencegah wasting, meningkatkan kualitas hidup dan dapat

memperpanjang usia harapan hidup penderita (Choudry HA et el, 2006, Charllton M, et el

2006).

C. Albumin

Salah satu bentuk protein adalah albumin merupakan protein serum yang

penting dan membantu untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid darah. Kadar

lvi
albumin normal dalam darah 3,5-5,5 gr/dl. 60% albumin tubuh terdapat dalam plasma dan

sekitar 40% terdapat dalam ruang antar sel. Tekanan osmotik normal adalah 25 mmHg

dan sampai 75-80% tekanan osmotik ini disebabkan oleh albumin (Julius, 2005)

1. Fungsi Albumin

Albumin mempunyai fungsi utama memberikan tekanan osmotik koloid kapiler

yang mencegah cairan plasma keluar dari kapiler (Linder, 1992, Gibson, 2005,

Kertawinata, 2006). Albumin juga berperan sebagai protein transport yang mempunyai

fungsi sebagai cadangan atau sumber asam amino yang siap digunakan, sebagai alat

transport asam amino ke jaringan permukaan untuk menggantikan yang hilang, sintesis di

hati, otot dan organ lain, berfungsi dalam sistem enzimatik serta bertanggung jawab

dalam kekebalan alamiah (Stepanuk, 2000, Gibson S, 2005).

Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu utama absorbsi Zn. Albumin

merupakan alat tranport utama Zn. Absorbsi Zn menurun bila nilai albumin menurun

misalkan dalam keadaan gizi kurang. Absorbsinya sangat tergantung dari sumber bahan

makanan. Zn lebih banyak ditemukan pada sumber protein yang berasal dari binatang

seperti ikan dan daging, dimana Zn akan terikat pada asam amino sehingga mudah

diabsorbsi (As ad,2001).

Albumin dapat dipergunakan untuk mengukur status gizi sebagai prediksi protein

energi malnutrisi. Albumin berhubungan dengan peningkatan risiko kesakitan dan

kematian. Level serum albumin merupakan elemen yang akurat dalam menyimpulkan

status gizi yang dapat dilanjutkan dengan perencanaan terapi gizi yang efektif untuk

mengatasi kesakitan dan kematian (Kirby, 2002). Albumin serum menurun pada klien

malnurisi dan merupakan parameter yang sering dipakai dalam pengkajian status gizi.

Kadar albumin berkisar dari 1 hingga 2,9 mg/dl jika dibanding dengan nilai 4,0 mg/dl pada

orang sehat.

2. Sifat biokimia albumin:

lvii
a. Sintesa albumin terutama pada hati, dihasilkan albumin 12 gr/hari, 25% dari

seluruh protein yang dihasilkan di hati.

b. Molekul albumin merupakan suatu rantai polipeptida dengan 585 residu asam

amino dan sebanyak 17 buah jembatan desulfida.

c. Molekul albumin mempunyai bentuk elips yang tidak menambah kepekatan darah.

d. Menyumbangkan 75-80% tekanan osmotik darah (25 mmHg).

e. Gangguan tekanan osmotik pada defisiensi albumin (edema).

f. Pada pH normal albumin bermuatan negatif, sehingga pada elektroforesis albumin

bergerak ke kutub positif (Julius, 2005).

Albumin merupakan protein aktif, bersifat labil yang disintesis di hati secara cepat

dan terus-menerus. Sintesis ini sangat bergantung dari suplai asam amino dari diit yang

beredar dalam darah. Albumin kemudian dikeluarkan dan masuk pada sirkulasi dan

beredar menuju ke berbagai sel dan jaringan yang diperlukan sebagai sumber asam

amino untuk sintesis protein sel dan jaringan (Wilson, 1996). Proses pencernaan dan

absorbsi yang lama menyebabkan konsentrasi albumin relatif stabil. Masa jedah albumin

antara 18 – 20 hari. Albumin terkandung dalam seluruh cairan tubuh (sekitar 4 – 5 gr/kg)

(Linder, 1992).

Albumin merupakan protein plasma yang larut dalam air dan memiliki muatan

negatif yang kuat (19 dan pH 7,4), yang akan berikatan dengan ion positif dari Na yang

mengatur dan mempertahankan keseimbangan cairan kapiler (Wilson, 1996, Gibson S,

2005).

Perubahan kadar albumin serum yang bermakna klinis berupa penurunan kadar

albumin. Penurunan ini dapat disebabkan oleh sintesis yang kurang (disfungsi hati, diit

rendah protein), perluasan kompartemen sebaran (kebocoran kapilar, sepsis), pengaruh

penyebaran (distribusi) lebih besar daripada sintesis, dan bila seseorang tidak makan

maka kadar albumin baru menurun sampai di bawah batas normal setelah seminggu

(Julius, 2005).

Albumin serum yang rendah merupakan pertanda yang tidak spesifik dari

penyakit. Albumin serum akan menurun bila menjadi sakit, dan kembali normal pada saat

lviii
pasien membaik kondisinya. Pada penyakit-penyakit kritis dan adanya infeksi, terdapat

penurunan pada produksi albumin oleh karena hati lebih memproduksi protein-protein fase

akut seperti globulin, fibrinogen dan haptoglobin (Neligan Patrick, 2001).

Pada kasus malnutrisi berat, jika tidak cepat teratasi maka dapat menyebabkan

terganggunya proses penyembuhan, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan

lamanya hari rawat dirumah sakit (Baterham 2005, Kaiser et al, 2006). Berdasarkan

informasi (data) antropometri, biokimia dan status imun, ditemukan 3 tipe malnutrisi yaitu:

1. Marasmus atau kekurangan energi protein, dihubungkan dengan

kehabisan cadangan protein massa jaringan dan energi.

2. Hipoalbuminemi malnutrition atau kwashiorkor yaitu kekurangan protein

yang ditandai dengan penurunan kadar albumin serum dan transferin serta kerusakan

imunitas seluler.

3. Kombinasi antara marasmus dan kwashiorkor yang ditandai dengan

deplesi.

Menurut Finelli C (2001) pemberian nutrisi tambahan melalui pipa nasogatrik pada

kelompok malnutrisi berat dapat mempercepat pemulihan kadar albumin. Ini membuktikan

adanya hubungan antara nutrien dengan albumin plasma. Penelitian ini juga

menyimpulkan bahwa pemeriksaan albumin sewaktu tidak dapat digunakan sebagai

petanda status gizi, tetapi pemeriksaan albumin secara serial menggambarkan status gizi

penderita.

Pengaturan gizi dan terapi albumin sangat penting bagi pasien – pasien dirumah

sakit. Vincent dkk (2003) menguji 9 penelitian Prospektif kontrol dengan total pasien 535

menyimpulkan bahwa rata-rata komplikasi dapat diturunkan dengan memberi terapi

albumin lebih dari 30 g/dl.

Peningkatan kadar albumin berhubungan dengan kadar albumin darah. Albumin

mensuplai asam amino untuk sintesis protein aktif cytokine seperti C-reaktive protein,

protein phase akut, dan lain-lain, yang dibutuhkan pada pembentukan makrofa pada

system pagositosis serta pembentukan antibodi (Linder, 1992, Gibson S., 2005).

Albumin disintesis oleh sel hati yang kemudian di distribusi ke dalam sirkulasi

lix
darah. Untuk mensintesis albumin diperlukan asam amino yang berasal dari makanan

(luar) dan dari recycle protein tubuh. Kemudian sel hati akan menangkap/mengambil

asam amino dari peredaran darah porta setelah pencernaan dan absorbsi. Influk asam

amino dalam darah permukaan akan merangsang dibebaskannya insulin untuk

mempercepat pengambilan asam amino dengan meningkatkan sintesis protein (Linder,

1992, Stepanuk, 2000, Gibson, 2005).

Hasil penelitian Edy S (2003) menyimpulkan bahwa terapi albumin dengan

pemberian ekstrak dari ikan gabus perhari pada sejumlah pasien operasi yang memiliki

kadar albumin rendah (1,8 g/dl), dapat meningkatkan kadar albumin darah pasien menjadi

normal, yakni 3,5 – 5,5 g/dl, tanpa efek samping setelah diberikan selama delapan hari

(Anonimous 2003).

Hasil penelitian Taslim dkk., (2005) menunjukkan bahwa pemberian terapi albumin

dengan ekstrak ikan gabus sebanyak 100 ml setiap hari pada sejumlah pasien dengan

hipoalbumin dirumah sakit Wahidin makassar selama 10 hari telah dapat meningkatkan

kadar albumin dan protein total pasien. Hal ini tampaknya diikuti oleh peningkatan status

gizi dan konsumsi pada kelompok intervensi. Rata – rata besar peningkatan kadar

albumin yang terlihat dalam penelitian ini sebesar 0.7 g/dl dibanding dengan kelompok

kontrol.

Hasil penelitian Hidayanti H, (2006) menunjukkan bahwa pemberian terapi

Albumin dengan kapsul kosentrat ikan gabus setiap hari selama 10 hari pada pasien

pasca bedah yang hipoalbumin dirumah sakit Wahidin makassar telah dapat

meningkatkan kadar albumin rata-rata sebesar 0,74 gr/dl diikuti oleh peningkatan status

gizi dibanding dengan kelompok kontrol.

D. Ikan Gabus (Ophiocephalus Streatus)

Ikan gabus (Ophiocephalus striatus) merupakan jenis ikan yang hidup di air

tawar dan sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Ikan gabus berkembang biak dan hidup

di daerah sungai, sawah, empang dan sering juga ditemukan di daerah rawa. Ikan gabus

juga dapat ditemukan di berbagai perairan umum di Indonesia diantaranya Jawa,

lx
Sumatera, Sulawesi, Bali, Lombok, Flores, Ambon dan Maluku dengan nama yang

berbeda (Brotowijoyo, 1995).

Ikan gabus memang kurang digemari oleh masyarakat luas karena jarang

dijual di pasar dan dianggap oleh masyarakat ikan jenis ini suka memakan kotoran dan

bangkai hewan serta bentuknya yang seperti ular. Namun akhir-akhir ini banyak

masyarakat yang mulai menyukai ikan gabus, karena mereka telah mengetahui

kandungan gizi yang terdapat dalam ikan gabus sangat tinggi dan banyak faedahnya. Hal

ini diketahui oleh masyarakat karena mereka terinspirasi dari orang-orang Cina yang

mengobati luka bakar dengan memakan ikan gabus (Anonimous, 2003).

Sebagai bahan pangan, ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin, dan

mineral yang sangat baik dan prospektif. Keunggulan utama protein ikan dibandingkan

dengan produk lainnya adalah kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahannya

untuk dicerna. Mengingat besarnya peranan gizi bagi kesehatan, ikan merupakan pilihan

tepat untuk diet di masa yang akan datang (Siswono, 2003).

Ikan olahan yang sudah dikeringkan umumnya mengandung protein lebih

tinggi daripada ikan segar. Hal ini karena proses pengeringan telah mengurangi kadar air

sedemikian rupa hingga kandungan protein per 100 gram bahannya menjadi lebih tinggi.

Berikut adalah kandungan gizi beberapa ikan :

Tabel 1.2 Kandungan Protein ikan per 100 gram

IKAN PROTEIN
Bandeng 20.0
Ikan Mas 16.0
Kembung 22.0
Sarden 21.1
Pindang 28.50
Gabus Kering 58,0
Ikan Asin 42.0
Teri Kering 33.4
Sumber: Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup, Jakarta, (2004)

lxi
Hasil penelitian Cavallo (1998) menunjukkan bahwa dalam 100 cc ekstrak

ikan gabus, mengandung 6,2224 gram albumin dengan jumlah kalori 69 kal serta zat-zat

gizi lainnya. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi dalam 100 cc Ekstrak Ikan Gabus

Jenis Zat Gizi Kandungan per 100 cc


Kalori (kal) 69
Protein (gram) 25,5
Lemak (gram) 1,7
Albumin (gram) 6,2
Besi (mg) 0,9
Fosfor (mg) 176
Kalsium (mg) 62
Seng (mg) 1,74
Vitamin A (mg) 150
Vitamin B1 (mg) 0,04
Sumber: Cavallo,1998.

Menurut Eddy (2003), ikan gabus mempunyai kandungan

albumin yang tinggi dan mengandung asam amino essensial yang lengkap.

Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam plasma yang

mencapai kadar 60%. Pemberian terapi albumin dengan ekstrak ikan

gabus dapat membantu proses penyembuhan luka operasi lebih cepat.

Untuk membuat ekstrak ikan gabus sebagai penyembuh luka

operasi hanya membutuhkan sekitar 24 kilogram. Biayanya pun lebih

murah dengan perhitungan, satu hari tiga kilogram. Itu dilakukan selama

lxii
delapan hari penyembuhan. Harga per kilogram ikan gabus Rp 20 ribu.

Jadi paling tidak 24 kilogram X Rp 20 ribu, total Rp 480 ribu. Luka dapat

sembuh tiga hari lebih cepat ketimbang menggunakan serum albumin yang

menghabiskan 3 (tiga) ampul serum albumin. Satu ampul serum albumin

saja harganya Rp. 1.300.000 (satu juta tiga ratus ribu rupiah) (Anonimous,

2003).

Ikan gabus merupakan alternatif lain sebagai sumber protein

albumin karena diketahui mengandung senyawa-senyawa penting bagi

tubuh manusia diantaranya protein albumin yang tinggi, lemak, air dan

mineral. Terutama mineral Zn dan Fe ( Taslim, dkk., 2005).

Taslim, dkk., (2005) Ikan yang tak disukai karena baunya yang

amis ini, menjadi suplemen makanan yang berbentuk kapsul berfungsi

menjaga metabolisme tubuh, menaikkan kadar albumin, dan mempercepat

pemulihan kesehatan. Cara ini berhasil karena pemberiannya lebih mudah,

dan pasien tak lagi menolak baunya. Dengan pemberian dua kapsul sekali

minum, tiga kali sehari selama 10 hari, bila dibanding dengan parenteral

albumin kemampuan menaikkan kadar albuminnya sama (Anonimous,

2007). Oleh karena itu alternatif pemberian kapsul ikan gabus sangat tepat.

Tabel 2.3 Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram tepung Ikan gabus

Jenis Zat Gizi Kandungan

Protein 70 gr

Kadar Albumin 21 gr

Mineral

lxiii
Kalsium (Ca) 146,40 mg

Magnesium (Mg) 63,6 mg

Zat besi (Fe) 2,32 mg

Tembaga (Cu) 0,52 mg

Seng (Zn) 3,5 mg

Mangan (Mn) 0,35 mg

Nikel (Ni) 0,39 mg

Cobal (Co) 0,31 mg


Sumber: Taslim dkk., 2005.

Gambar 2.3. Ikan gabus dari depan Gambar 2.4. Kapsul Ikan Gabus

E. Penilaian Status Gizi

Status gizi adalah keadaan individu suatu kelompok yang ditentukan oleh

derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat gizi lain, diperoleh dari pangan dan makanan

yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Untuk memperkirakan status gizi

seseorang, perlu dilaksanakan pengukuran-pengukuran penilaian status gizi dilakukan

melalui penilaian konsumsi pangan, penilaian klinik, pemeriksaan laboratorium dan

pengukuran antropometri (Almatsier, 2002, Supariasa, 2002). Sedangkan menurut Gibson

S. (2005), status gizi adalah hasil keseimbangan konsumsi zat-zat gizi dengan

expenditure sehingga individu dikatakan dalam keadaan gizi normal apabila terdapat

keseimbangan normal.

lxiv
Penilaian status gizi sejak pasien masuk perawatan harus dilakukan sebagai

bagian dari perawatan dan skrining awal untuk mengindentifikasi risiko malnutrisi.

Penilaian status gizi dapat dilakukan secara antropometri, biokimia dan klinik.

1. Penilaian Status Gizi secara Antropometri

Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi

tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri

secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.

Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh

seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002).

Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan

komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan.

Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan

tebal lemak di bawah kulit. Semua hasil pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap

umur dan kenis kelamin. Dalam melakukan interpretasi, digunakan berbagai buku

(standar) Internasional maupun nasional seperti buku WHO, NCHC, Harvard, dan

sebagainya. Perlu ditekankan disini bahwa pemeriksaan tinggi badan pada usia lanjut

dapat memberikan nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena terjadinya

osteoporosis pada usia lanjut yang akan berakibat pada kompetisi tulang-tulang commna

vertebral (Darmojo, R.B 1999).

a. Berat Badan

Pengukuran berat badan menjadi prinsip dasar pengkajian nutrisi dalam asuhan

medik. Perlu dipertimbangkan kalau kita mengunakan berat badan sebagai satu-

satunya kriteria untuk menentukan keadaan nutrisi. Berat badan harus dimonitoring

untuk memberi informasi yang memungkinkan intervensi nutrisi preventif secara dini,

guna mengatasi kecenderungan penurunan/penambahan berat yang tidak

dikehendaki.

b. Tinggi Badan

lxv
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan

keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu tinggi badan

merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan berat badan

terhadap tinggi badan (Quac stick), faktor umur dapat dikesampingkan (Supariasa,

2002).

Perlu ditekankan bahwa pemeriksaan tinggi badan pada usia lanjut dapat memberikan

nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena terjadinya osteoporosis pada usia

lanjut yang akan berakibat pada kompetisi tulang-tulang commna vertebral. (Darmojo,

R.B 1999).

Untuk itu pengukuran tinggi lutut pada lansia dapat dilakukan sebab pengkuran tinggi

lutut erat kaitannya dengan tinggi badan dan dapat mengestimasi tinggi badan (bagi

lansia yang tidak dapat berdiri tegak). Pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap

umur dan seks. Tinggi lutut diukur dengan centimeter, dengan posisi duduk di kursi

yang rendah, menggunakan kaki kiri dan lutut membentuk sudut 90 0, diukur dari

bawah tumit sampai diatas lutut (Nugroho, 2000).

TB pria : 59,01 + (0,28 x TL)

TB wanita : 75,00 + (1,91 x TL) – (0,17 x U)

Catatan : TL = tinggi lutut ; U = Umur

Untuk laki-laki : 64,19 – (0,40 x lansia) + (2,02 x TL)

Untuk perempuan: 84,88 – (0,24 x lansia) + (1,83 x TL)

c. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas)

merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit

tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu pemantauan

keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan, salah satu cara dengan

mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Indeks Masa Tubuh (IMT)

digunakan untuk pengukuran bobot berat badan yang memiliki hubungan linier

dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal pertambahan berat badan searah

dengan pertambahan tinggi badan dan merupakan indikator yang baik untuk

lxvi
mendapatkan proporsi tubuh yang normal dan untuk membedakan orang kurus dan

gemuk. Berat badan yang sesuai dengan tinggi badan tertentu dapat dihitung dengan

rumus sebagai berikut:

Berat Badan (kg)


IMT =
Tinggi Badan (m) x tinggi Badan (m)

Bila berat badan sebelum sakit lebih/diatas normal maka penurunan karena

sakit/kurang gizi menjadi tidak akurat karena berat badannya masih termasuk normal.

Bila ada edema, acites dapat mengoreksi berat badan menjadi normal yang

sebenarnya telah menjadi malnutrisi. Bila terjadi peningkatan berat badan dapat

digunakan untuk mengestimasi kecukupan intake zat gizi (Supariasa, 2002, Gibson

S., 2005).

Status gizi kurang : IMT = 16 – 18,4

Status gizi baik : IMT = 18,5 – 25,0

Status gizi lebih : IMT = 25 – 30

(Tirtawinata, 2006).

2. Penilaian Status Gizi Secara Biokimia

Pemeriksaan biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang lebih

tepat serta obyektif daripada menilai konsumsi makanan dan pemeriksaan lain.

Pemeriksaan biokimia yang sering digunakan adalah teknik pengukuran kandungan

berbagai zat gizi dan substansi kimia lain dalam darah serta urin. Hasil pengukuran

tersebut kemudian dibandingkan dengan standar normal yang telah ditetapkan. Cara ini

dapat memberikan gambaran perubahan komposisi akut dalam waktu yang singkat

(Supariasa, 2002, Gibson S., 2005).

a. Status Protein Visceral

Cara ini adalah cara tidak langsung yaitu dengan mengukur kadar protein transport

untuk mengidentifikasi risiko malnutrisi.

lxvii
1). Kadar Albumin Serum

Albumin merupakan protein aktif, bersifat labil yang disintesis di hati secara cepat

dan terus-menerus. Sintesis ini sangat bergantung dari suplai asam amino dari diit

yang beredar dalam darah. Masa jedah albumin antara 18-20 hari. Albumin

mempunyai fungsi utama memberikan tekanan osmotic koloid kapiler yang

mencegah cairan plasma keluar dari kapiler (Wilson, 1996).

Depresi kadar albumin juga dihubungkan dengan penurunan daya tahan tubuh

terhadap infeksi yang memperlambat penyembuhan, peningkatan morbiditas dan

mortalitas serta lamanya masa perawatan di rumah sakit (Stepanuk, 2000).

Nilai kadar albumin memberikan indikasi sebagai berikut :

Penurunan ringan : 3-3,5 gr %

Penurunan sedang : 2,4-2,9 gr %

Penurunan berat : < 2,4 gr %

Nilai normalnya : 3,5-4,5 gr %

(Daldiyono dan Thaha, 1989, Tirtawinata, 2006, Wilson 1996)

2). Kadar Transferin

Transferin juga termasuk protein aktif, mempunyai masa jedah lebih pendek

dibanding albumin yaitu sekitar 6 hari. Transferin adalah senyawa pengikat zat

besi yang dapat mencegah penyakit infeksi. Apabila ada kuman penyakit yang

menyerang tubuh maka trasferin akan mengikat zat besi dari kuman itu sehingga

tidak dapat berkembang biak, dengan demikian infeksi dapat dicegah. Penurunan

kadar transferin juga mengindikasikan adanya defisiensi protein yang lebih cepat

(status akut protein) dibanding dengan kadar albumin.

Normal : 200 – 300 mg%

Penurunan sedang : 100 – 250 mg%

Penurunan berat : < 100 mg%.

(Tirtawinata, 2006)

F. Kerangka Pikir

lxviii
Secara nyata usia lanjut berarti memasuki kenyataan dan lingkungan yang baru,

yang seringkali berbeda dengan keadaan sebenarnya, sehingga memerlukan persiapan

yang cukup matang. Mereka secara individual merupakan penduduk yang potensial

menjadi beban keluarga dan masyarakat ditambah lagi dengan umur harapan hidup

manusia yang menjadi lebih panjang dan umur rata-rata penduduk menjadi lebih tua.

Tetapi, menambah panjang umur tanpa peningkatan kualitas hidup tentunya tidak cukup,

karena hanya akan menambah panjang penderitaan bagi individu tersebut maupun

keluarga dan masyarakat. Dengan bertambahnya usia, ditunjang kemunduran

kemampuan psikis dan fisik, serta menderita berbagai penyakit, merupakan keadaan yang

sangat tidak diharapkan.

Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat mengalami

gangguan gizi. Gangguan gizi yang muncul pada usia lanjut dapat menjelaskan

munculnya penyakit. Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena berbagai sebab

dintaranya gangguan nafsu makan/selera makan, gangguan mengunyah, malabsorbsi

serta laju metabolisme tubuh pada usia lanjut yang cenderung menurun, sehingga tingkat

kegiatan tubuh biasanya berkurang, hal ini menyebabkan kebutuhan kalori relatif lebih

rendah daripada ketika masih muda atau dewasa.

Salah satu indikasi keadaan kurang gizi adalah protein yang terdapat dalam

sel darah jumlahnya rendah atau yang sering disebut dengan hipoalbuminemia. Serum

albumin merupakan salah satu parameter penting dalam mengukur status gizi pada

pasien-pasien dengan usia lanjut sebab kekurangan albumin pada darah lebih banyak

terjadi pada usia lanjut.

Untuk meningkatkan serum albumin pada lansia yang hipoalbuminemia maka

alternatif sumber protein yang dapat diberikan adalah protein albumin ikan gabus. Protein

albumin ikan gabus merupakan suplemen alternatif lain sebagai sumber protein albumin

yang tinggi serta mengandung mineral Zn dan Fe. Pada penelitian sebelumnya terbukti

bahwa ikan gabus memiliki kadar protein albumin yang tinggi. Dapat meningkatkan kadar

albumin pasien, memperbaiki status gizi, dan diikuti oleh peningkatan konsumsi melalui

pemberian ekstrak ikan gabus.

lxix
Adanya dukungan nutrisi dan pemberian ekstrak ikan gabus pada lansia

sebagai suplemen diharapkan dapat membantu meningkatkan kadar albumin dan

memperbaiki status gizi (IMT) lansia sehingga kualitas hidup mereka di masa tua akan

lebih baik.

G. Kerangka Konsep dan Variabel Penelitian

1. Kerangka Konsep

Penyakit
Infeksi

Pembentukan Status Gizi Lansia


Albumin jaringan IMT
Zat imun Kadar Albumin

Hipoalbuminemia
Penyakit kronik,
Isolasi, gangguan
kognitif,
Gangguan Asupan makanan kemiskinan
pengecap, (Energi dan
penciuman Protein)

Nafsu Gangguan
Makan mengunyah,

Variabel yang diteliti


Gangguan gigi,
Variabel
mulutyang tidak diteliti
Variabel bebas

Variabel tergantung

2. Variabel Penelitian

lxx
a. Variabel Tergantung/Dependen : Status gizi

b. Variabel Bebas/Independen : Albumin (kadar albumin serum)

a. Variabel Antara : pembentukan jaringan, zat imun

c. Variabel Kendali/Kontrol : Hipoalbuminemia, asupan makanan

d. Variabel Pengganggu (confounder) : Penyakit kronik, Penyakit infeksi,

isolasi, gangguan kognitif, kemiskinan, gangguan pengecapan, gangguan

penciuman, nafsu makan, gangguan gigi dan mulut, gangguan mengunyah.

H. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

Definisi Operasional Kriteria Objektif


Ekstrak ikan gabus adalah konsentrat ikan gabus 0.5 gram

dalam bentuk serbuk yang dimasukkan dalam kapsul nomor

00. Setiap kapsul mengandung 100 cc ekstrak ikan gabus

yang dikeringkan menjadi 0,5 gram konsentrat.


Lansia adalah umur 55 tahun ke atas (berdasarkan kriteria

WHO).
Asupan zat gizi adalah pola konsumsi makanan lansia yang a. Cukup : Bila

dapat diketahui dengan melihat apa yang dimakan selama 24 konsumsi energi dan

jam yang lalu (recall 24 hours), lalu dianalisis dan protein berada pada kisaran

dibandingkan dengan berdasarkan standar energi dan protein 80-110% dari AKG

masing-masing lansia yaitu 2050 kkal dan 60 kg untuk laki- b. Kurang : Bila

laki, 1600 kkal dan 50g untuk perempuan (AKG 2004). konsumsi energi dan

protein kurang 80% dari

AKG

Status Gizi adalah keadaan gizi yang merupakan penetapan a. Kurus bila IMT <

berat badan sehat bagi orang dewasa (IMT) (Arisman, 2004). 18,5

b. Normal bila IMT

18,5 –25,0

c. Gemuk bila IMT >

lxxi
IMT diperoleh dengan cara mengukur tinggi dan berat badan 25,0

dengan rumus:

Berat Badan (kg)


IMT =
Tinggi Badan (m) x tinggi Badan (m)

Responden yang tidak dapat berdiri/bungkuk, TB diperoleh

dengan cara mengukur tinggi lutut kemudian dihitung dengan

rumus berikut (Nugroho, 2000).

TB pria : 59,01 + (0,28 x TL)

TB wanita : 75,00 + (1,91 x TL) – (0,17 x U)

Catatan : TL = tinggi lutut ; U = Umur


Hipoalbuminemia adalah suatu keadaan penderita dewasa d. Berat : < 2,4
dengan kadar albumin serum di bawah batas normal.
g/dl

e. Sedang : 2,4- <

2,8g/dl

f. Ringan : 2,8 –

3,4 g/dl

g. Normal: 3,5 –

4,5 g/dl

(Wilson, 1996; Daldiyono, 1989;

Robinson, 1990).

I. Hipotesis Penelitian

Hipotesis alternatif (Ha) sebagai berikut :

a) Ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap kadar albumin lansia

b) Ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap status gizi lansia

Hipotesis nol (Ho) adalah sebagai berikut :

a)Tidak ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap kadar albumin lansia

lxxii
b)Tidak ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap status gizi lansia

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah studi experimental semu (Quasi Eksperimen) dengan

menggunakan rancangan randomized double blind pretest-posttest controlled. Double

blind artinya pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian, baik peneliti, penerima

maupun pemberi ekstrak ikan gabus tidak mengetahui perbedaan jenis kapsul yang

diberikan. Untuk menghilangkan perbedaan tersebut, maka setiap kapsul dibuat dalam

bentuk, ukuran, dan warna yang sama.

Subyek penelitian dibagi dua kelompok yaitu kelompok intervensi mendapat

ekstrak ikan gabus, kelompok pembanding/kontrol mendapat placebo. Sebelum

suplementasi, dilakukan pengukuran awal (pretest) tentang status gizi secara antropometri

(IMT), pengukuran intake makanan (food recall 24 hours), dan pengukuran kadar albumin

serum. Setelah masa perlakuan selesai dilakukan posttest dengan penentuan status gizi

secara antropometri (IMT), pengukuran intake makanan (food recall 24 hours), dan

pengukuran kadar albumin serum.

lxxiii
Rancangan Penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

Lansia

Status Gizi (Pre)


1. Antropometri
- IMT
2. Hasil Laboratorium
- Albumin
3. Asupan Zat Gizi
- Energi, Protein,
Zink, dan Fe

Kontrol (n = 27 orang) Intervensi ( n = 27 orang)


tanpa ekstrak ikan dengan ekstrak ikan
gabus gabus

Status Gizi (Post) 30 hari Status Gizi (Post)


1. Antropometri 1. Antropometri
- IMT - IMT
2. Hasil Laboratorium 2. Hasil Laboratorium
- Albumin - Albumin
3. Asupan Zat Gizi 3. Asupan Zat Gizi
- Energi, Protein, - Energi, Protein,
Zink, dan Fe Zink dan Fe

Analisa Data

lxxiv
B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Gau

Mabaji di Kabupaten Gowa dengan melakukan intervensi pada lansia

selama 30 hari (September – Oktober 2008).

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah semua lansia yang berumur > 55 tahun, yang berada di Panti Sosial

Tresna Werdha Gau Mabaji di Kabupaten Gowa yang berjumlah 100 orang.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di panti werdha Gau Mabaji

Gowa. Pemilihan sampel dilakukan secara Simple Random Sampling pada semua

lansia yang memenuhi kriteria inklusi penelitian ini. Adapun kriteria inklusi dan

eksklusi yang ditetapkan adalah:

a. Kriteria Inklusi

1. Lansia berusia > 55 tahun pada saat penelitian dimulai

2. Dapat berkomunikasi dengan baik

3. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini, dengan menandatangani surat

persetujuan (informed consent)

4. Tidak menderita penyakit ginjal

5. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa lansia mengalami

hipoalbuminemia (< 3,5 mg/dl).

b. Kriteria Eksklusi:

1. Lansia yang mengalami penyakit ginjal.

lxxv
2. Memerlukan perawatan di rumah sakit sehingga sulit dipantau

3. Tidak mengikuti prosedur penelitian

3. Besar Sampel

Besar sampel ditentukan secara estimasi berdasarkan perubahan rata-

rata kadar albumin dari penelitian sebelumnya dengan menggunakan

rumus (Sastroasmoro, 1995) sebagai berikut :

2 2 (Z1/2 + Z)2

N=

( 1 -  2)

Ket :

N = Besar sampel setiap kelompok perlakuan

 = Standar deviasi kadar albumin : 0,64 (studi Taslim, 2005)

Z1/2 = Standar deviasi normal, digunakan 1,96 sesuai dengan

kemaknaan 95%

Z = Power test 90% (1,28)

1 = Mean kadar Hb sebelum intervensi

2 = Mean kadar Hb setelah intervensi

Dengan menggunakan  = 0,05,  = 0,10,  = 0,64 dan (1 - 2)

yaitu perkiraan rata-rata perubahan albumin sebelum dan sesudah

intervensi pada kelompok perlakukan dan kelompok kontrol = 0,6

g/dl (Taslim, 2005), maka dibutuhkan jumlah sampel minimal pada

tiap kelompok sebesar 24 orang. Memperhitungkan terjadinya drop

lxxvi
out, maka ditambahkan cadangan 10% (2,4) sehingga menjadi 26,4

orang dan dibulatkan menjadi 27 orang pada tiap kelompok. Jumlah

keseluruhan sampel yang terdiri dari kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol adalah sebanyak 54 orang.

4. Prosedur Penelitian

a. Setiap lansia atau petugas dihubungi oleh peneliti dan diminta persetujuannya

apabila memenuhi kriteria yang telah ada.

b. Pengukuran asupan makan dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan

formulir Food Recall 24 hours.

c. Pengukuran status gizi secara antropometri (IMT) dilakukan oleh peneliti.

Sedangkan pemeriksaan secara biokimia (albumin) menggunakan metode

Calorimetrik determination dilakukan oleh petugas laboratorium yang terlatih.

d. Setiap lansia diberi penjelasan oleh peneliti tentang cara pemberian ekstrak ikan

gabus (2x1) setiap hari selama 30 hari. Disamping itu, akan mengikuti terus

perkembangan lansia.

D. Instrumen Penelitian

1. Kuesioner (Daftar pertanyaan)

2. Formulir Food Recall 24 Hours

3. Timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg,

4. Microtoice

5. Pita centimeter.

6. Liasys pentra 400.

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dua tahap, tahap pertama dilakukan screening

untuk menentukan kasus dan kontrol. Setelah itu ditentukan sampel yang memenuhi

kriteria sesuai dengan hasil perhitungan. Setelah terpilih kelompok kasus dan kontrol

dilanjutkan dengan pengumpulan data tahap kedua yaitu data yang dikumpulkan

lxxvii
meliputi data dari semua variabel yang diangkat dalam penelitian. Pengumpulan data

ini dilakukan oleh peneliti dibantu oleh 2 enumerator dengan latar belakang 1 orang

S1/DIII Gizi yang telah dilatih sebelumnya.

a. D

ata Primer

1. Data identitas pasien, diukur dengan cara wawancara menggunakan

daftar pertanyaan (kuesioner).

2. Data kadar albumin serum dilakukan dengan cara pengambilan serum

darah oleh petugas laboratorium, yang diukur dengan Liasys pentra 400

(Cara pengukuran terlampir).

3. Data Antropometri yaitu IMT, dilakukan dengan mengukur berat badan

menggunakan timbangan injak dan tinggi badan/tinggi lutut lansia

menggunakan Microtoice/pita meter (Cara pengukuran terlampir).

4. Data asupan makanan dengan menggunakan formulir food recall 24

hours dikumpulkan sebelum dan sesudah intervensi.

b. D

ata Sekunder

Data sekunder berupa kondisi sosiodemografi, geografi, dan data terkait lainnya

(keadaan panti werdha dan sarana pelayanan) akan dikumpulkan dari instansi

terkait.

F. Pengolahan, Penyajian dan Analisis Data

1. Pengolahan data

Pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan komputer dengan program

SPSS for windows versi 11. Data karakteristik subyek (yang diperoleh dari

wawancara sebelum intervensi) disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dengan

skala ordinal dan ada dengan skala interval (nilai mean). Kadar Albumin ditampilkan

dalam tabel skala interval (nilai mean).

lxxviii
Data recall 1 x 24 hours diolah dengan program komputer Word Food dan out-putnya

berupa bobot asupan menurut jenis gizi, ditampilkan dalam bentuk skala interval (nilai

mean).

2. Penyajian data

Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk narasi distribusi frekuensi persentase

variabel baik variabel independen maupun variabel dependen. Selain itu juga

dilakukan tabel silang antara variabel independen dan variabel dependen.

3. Analisis data

Uji statistik yang dipakai : (Siegel, 1997)

a. Untuk melihat perubahan IMT, sebelum dan sesudah intervensi

dianalisis dengan uji paired t-test. Sedangkan untuk menganalisis

perbedaan IMT antara kelompok kasus dan kelompok kontrol

digunakan unpaired t-test.

b. Untuk melihat perubahan kadar albumin sebelum dan sesudah

intervensi dianalisis dengan uji paired t-test. Sedangkan untuk

menganalisis perbedaan kadar albumin antara kelompok kasus

dan kelompok kontrol digunakan unpaired t-test.

c. Asupan zat gizi sebelum dan sesudah intervensi dianalisis

dengan uji paired t-test. Sedangkan untuk menganalisis

perbedaan asupan zat gizi antara kelompok kasus dan kelompok

kontrol digunakan unpaired t-test.

d. Batas kemaknaan yang digunakan pada penelitian ini adalah 

= 0,05

H. Kontrol Kualitas

Untuk menjaga kualitas data yang dikumpulkan, akan dilakukan standardisasi berupa:

lxxix
1. Petugas lapangan : sebelum turun lapangan semua petugas akan dilatih

selama sehari untuk menyamakan persepsi antara petugas lapangan dengan peneliti

2. Uji coba kuesioner untuk menilai kelayakan penggunaannya

3. Alat yang digunakan: sebelum digunakan semua alat akan dikalibrasi

4. Peneliti melakukan monitoring aktivitas petugas lapangan

I. Pertimbangan Etik

1. Sebelum memulai penelitian, terlebih dahulu minta ijin tertulis kepada pejabat

yang berwenang di tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa.

2. Sebelum dilakukan penelitian, informasi dan penjelasan rinci tentang apa yang

akan dilakukan, kemungkinan yang akan terjadi telah diberitahukan kepada lansia.

Bila setuju, lansia yang berangkutan/petugas menandatangani persetujuan

keikutsertaan dalam penelitian (informed consent).

3. Teknik pengukuran dijamin tidak memberi dampak negatif pada lansia.

4. Kerahasiaan setiap lansia dijaga dengan baik.

5. Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari komisi Etik

Kedokteran Universitas Hasanuddin.

I. Proses Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan penelitian

a. Mengurus ijin penelitian

b. Meminta pertimbangan Komisi Etik Penelitian

c. Penjajakan pendahuluan lokasi penelitian

d. Rekrutmen dan pelatihan enumerator dan

tenaga lapangan

2. Pelaksanaan penelitian

a. Pengumpulan data sekunder keadaan umum

demografi, sosial ekonomi dan budaya serta kependudukan dan informasi lain

yang dianggap dibutuhkan dalam penelitian

lxxx
b. Penjaringan sampel berdasarkan kriteria sampel

yang telah ditetapkan.

c. Mendatangi subyek yang terpilih baik kelompok

kasus maupun kelompok kontrol untuk menandatangani surat kesediaaan

(informed consent) untuk mengikuti penelitian ini.

d. Pengukuran antropometri berdasarkan IMT

untuk penetapan sampel

e. Pemeriksaan kadar albumin serum awal

f. Pengumpulan data recall 1 x 24 hours

g. Supervisi lapangan 3 kali dalam seminggu

selama penelitian

h. Pemeriksaan kadar Albumin pada akhir bulan

intervensi (1 hari setelah perlakuan).

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Gau Mabaji Kabupaten Gowa terletak di

Jalan Jurusan Malino Km. 26 Samaya Kabupaten Gowa. PSTW Gau Mabaji Gowa

merupakan salah satu UPT Departemen Sosial yang menyediakan sumber pelayanan

kesejahteraan sosial usia lanjut terlantar. PSTW Gau Mabaji Gowa didirikan pada tanggal

07 juli 1976 dengan kapasitas tampung 100 orang.

Tujuan pelayanan dari PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa adalah sebagai

berikut:

a. Terpenuhinya kebutuhan lansia mencakup biologis, psikologis, sosial dan spiritual.

b. Memperpanjang usia harapan hidup dan masa produktivitas lansia.

c. Terwujudnya kesejahteraan sosial lansia yang diliputi rasa tenang, tentram dan

bahagia serta mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

lxxxi
PSTW Gau Mabaji Gowa berdiri di atas lahan seluas 3 Ha. Saat ini memiliki 12

buah asrama program reguler yang diperuntukkan bagi lanjut usia yang berasal dari

keluarga kurang mampu. Asrama ini terdiri atas 5 buah kamar dan setiap kamar

diperuntukkan untuk 2 klien. Fasilitas yang tersedia di setiap asrama berupa: tempat tidur

dan lemari untuk klien, televisi 21 inchi, alat pendingin ruangan, 2 buah kamar mandi,

radio, dispenser, sofa tamu, meja makan dan meja pembina. Serta dilengkapi dengan

tangkai pengaman pada dinding-dinding asrama untuk mengurangi risiko kecelakaan

pada lansia. Selain itu, ada 2 buah asrama program subsidi silang yang diperuntukkan

bagi lansia yang berasal dari keluarga mampu.

Lingkungan PSTW Gau Mabaji Gowa telah dilengkapi dengan prasarana jalan

beraspal yang menghubungkan antar bangunan dalam kompleks dengan luas 5.210

meter. Jalanan selain berfungsi sebagai sarana aksesibilitas klien, juga berfungsi sebagai

jogging track bagi klien untuk mengisi hari-hari mereka dalam panti.

Selain itu, pada PSTW Gau Mabaji Gowa juga dilengkapi dengan poliklinik,

sarana hiburan karaoke dan elekton, taman-taman bunga yang dikelola oleh klien, air

bersih, sarana olahraga, sarana pemakaman dan lain-lain.

B. Hasil Penelitian

1. Analisis Deskriptif

Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten

Gowa, dimana sampel yang memenuhi syarat hanya sebesar 54 orang setelah

pengumpulan data selama 3 minggu yang terdiri dari 27 sampel kelompok intervensi dan

27 sampel kelompok kontrol. Peneliti hanya mendapatkan jumlah ini dengan berbagai

pertimbangan antara lain kurangnya jumlah lansia, lansia yang tidak bersedia untuk

berpartisipasi dalam penelitian, waktu studi, dan pertimbangan biaya. Data yang diperoleh

dari sampel yaitu data primer dan data sekunder dengan beberapa karakteristik umur,

jenis kelamin, pendidikan terakhir, IMT, dan asupan zat gizi. Adapun nilai distribusi

frekuensi dari data pendukung disajikan sebagai berikut :

lxxxii
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Sampel menurut Umur
di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008

Intervensi n = 26 Kontrol n = 23
Umur (thn)
N % n %
55 – 64 3 11.5 4 17.3
> 65 23 88.5 19 82.7
Jumlah 26 100.0 23 100.0
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi distribusi umur
terbanyak pada umur > 65 tahun sebanyak 23 orang (88,5 %) dan terendah adalah
sampel yang berumur 55 - 64 tahun sebanyak 3 orang (11,5%), sedangkan pada
kelompok kontrol distribusi umur terbanyak juga pada umur > 65 tahun sebanyak 19 orang
(82,7%) dan terendah pada umur 55 - 64 tahun sebanyak 4 orang (17,3%).

Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Sampel berdasarkan Jenis Kelamin


di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008

Intervensi n = 26 Kontrol n = 23
Jenis Kelamin
n % n %
Laki-laki 6 23,1 12 52,2
Perempuan 20 76,9 11 47,8
Jumlah 26 100.0 23 100.0
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa sampel terbanyak pada kelompok intervensi
adalah perempuan sebanyak 20 (76,9%) dan laki-laki sebanyak 6 (23,1%), sedangkan
pada kelompok kontrol sampel terbanyak adalah laki-laki 12 (52,2%) dan perempuan 11
(47,8%).

Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Sampel berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir


di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008

Intervensi n = 26 Kontrol n = 23
Tingkat Pendidikan Terakhir
n % n %
Tidak tamat SD 16 61,5 10 43,5
Tamat SD 5 19,3 11 47,8
Tamat SMP 3 11,5 2 8,7
Tamat SMA/STM/SMEA/SMK 2 7,7 0 0
Sarjana 0 0 0 0
Jumlah 26 100.0 23 100.0
Sumber: Data primer, 2008
Tabel diatas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi sampel terbanyak

berdasarkan pendidikan terakhir adalah tidak tamat SD sebanyak 16 orang (61,5%) dan

tidak ada yang sampai sarjana, sedangkan pada kelompok kontrol yang paling banyak

lxxxiii
adalah tamat SD sebanyak 11 orang (47,8%) dan tidak ada sampel yang tamat

SMA/STM/SMEA/SMK dan sarjana.

Tabel 4.5 Distribusi Karakteristik Sampel berdasarkan IMT di PSTW Gau Mabaji
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008

Intervensi n = 26 Kontrol n = 23
IMT
n % n %
Kurus 3 11,5 1 4,3
Normal 14 53,8 6 26,1
Gemuk 9 34,6 16 69,6
Jumlah 26 100.0 23 100.0
Sumber: Data primer, 2008
Tabel diatas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi sampel terbanyak

berdasarkan IMT yaitu pada status normal dengan jumlah 14 (53.8%) dan terendah pada

status IMT kurus dengan jumlah 3 (11.5%), sedangkan pada kelompok kontrol IMT

terbanyak adalah status gemuk dengan jumlah 16 orang (69.9%) dan yang terendah

adalah pada status kurus yaitu 1 orang (4.3%).

2. Analisis Paired t-test

Analisis Paired t-test digunakan untuk menganalisis perbedaan kadar albumin,

Berat badan, IMT serta asupan zat gizi (energi, protein, lemak, dan karbohidrat) sebelum

dan sesudah intervensi, baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol.

Tabel 4.6 Analisis perbedaan Kadar Albumin Sebelum dan Sesudah intervensi di
PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008

Intervensi Kontrol
Albumin P P
(Mean  SD) (Mean  SD)
Albumin awal 2.65 ± 0.27 2.69 ± 0.38
0.000 0.000
Albumin akhir 4.44± 0.65 4.66 ± 0.61
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, ada

perbedaan bermakna antara kadar albumin awal dan kadar albumin akhir

dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05), dimana terjadi peningkatan nilai albumin

sebesar 1,785 g/dl dan pada kelompok kontrol juga terdapat perbedaan

lxxxiv
bermakna antara albumin awal dan albumin akhir dengan nilai p = 0,000 (p

< 0,05). Dimana terjadi peningkatan nilai albumin sebesar 1,969 g/dl.

P = 0.000 P = 0.000

Gambar 4.1. Perbedaan kadar albumin sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol

Tabel 4.7 Analisis Perbedaan Berat Badan Kelompok Intervensi dan Kelompok
Kontrol Sebelum dan Sesudah Intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008

Intervensi Kontrol
Berat Badan P P
(Mean  SD) (Mean  SD)
Berat badan awal 41.35 ± 8.35 48.16 ± 7.75
0.003 0.000
Berat badan akhir 40.29 ± 8.40 47.12 ± 7.98
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, ada

perbedaan bermakna antara berat badan awal dan berat badan akhir

dengan nilai p = 0,003 (p < 0,05), dimana terjadi penurunan berat badan

sebesar 1,058 kg dan pada kelompok kontrol, juga terdapat perbedaan

bermakna antara berat badan awal dan berat badan akhir dengan nilai p =

0,000 (p < 0,05), dimana terjadi penurunan berat badan sebesar 1,039 kg.

lxxxv
P = 0.000

P = 0.003

Gambar 4.2. Perbedaan Berat badan sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol

Tabel 4.8 Analisis Perbedaan IMT Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Sebelum dan Sesudah Intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi
Selatan, Tahun 2008

Intervensi Kontrol
IMT P P
(Mean  SD) (Mean  SD)
IMT awal 22.46 ± 3.51 25.76 ± 4.03
0.438 0.002
IMT akhir 22.18 ± 3.93 25.06 ± 4.19
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, tidak

terdapat perbedaan bermakna antara IMT awal dan IMT akhir dengan nilai

p = 0,438 (p > 0,05), dimana terjadi penurunan IMT sebesar 0,277

sedangkan pada kelompok kontrol, terdapat perbedaan bermakna antara

IMT awal dan IMT akhir dengan nilai p = 0,002 (p < 0,05). Dimana terjadi

penurunan IMT sebesar 0,695.

lxxxvi
P = 0,002

P = 0,438

Gambar 4.3. Perbedaan IMT sebelum dan sesudah intervensi baik pada kelompok
intervensi maupun pada kelompok kontrol

Tabel 4.9 Analisis perbedaan Asupan Zat Gizi Kelompok intervensi dan kelompok
kontrol sebelum dan sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008

Kelompok Kelompok Kontrol


Asupan Zat Gizi Intervensi P (mean ± SD) P
(mean ± SD)
Energi awal 1725.26± 460.76 1754.34± 986.33
0.482 0.919
Energi akhir 1828.80± 765.73 1731.43± 747.95
Protein awal 47.04± 42.61 44.23± 31.93
0.308 0.267
Protein akhir 39.96±13.20 36.17± 11.83
Lemak awal 29.42± 29.79 30.76± 36.54
0.876 0.771
Lemak akhir 28.45± 7.52 28.41± 9.30
KH awal 269.73± 73.04 295.76± 133.66
0.086 0.229
KH akhir 340.07± 175.77 341.69± 174.36
Sumber : Data Primer, 2008

Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi terjadi penurunan

asupan protein dan lemak yang tidak bermakna sebelum dan sesudah intervensi

(p>0,05). Besar penurunan untuk tiap asupan masing-masing 7,077 g dan 0,969 g.

Sedangkan pada asupan energi dan karbohidrat mengalami peningkatan yang tidak

lxxxvii
bermakna sebelum dan sesudah intervensi dengan nilai 103,538 kal dan 70,338 g. Pada

kelompok kontrol, terjadi penurunan asupan untuk energi, protein, dan lemak yang tidak

bermakna (p>0,05) sebelum dan sesudah intervensi. Besar penurunan untuk tiap asupan

masing-masing 22,913 kal; 8,061 g dan 2,352 g. Sedangkan pada asupan karbohidrat

mengalami peningkatan yang tidak bermakna sebelum dan sesudah intervensi dengan

nilai 45,926 g.

P = 0,482

P = 0,919

Gambar 4.4. Perbedaan Asupan energi sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi
P = 0,308 maupun pada kelompok
P = 0,267 kontrol

Gambar 4.5. Perbedaan Asupan protein sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol

P = 0,771

lxxxviii
P = 0,876

Gambar 4.6. Perbedaan Asupan lemak sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol

P = 0,086 P = 0,229

Gambar 4.7. Perbedaan Asupan karbohidrat sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol

3. Analisis Uji T Independent

Analisa t-independent digunakan untuk melihat perbedaan kadar albumin, berat

badan, IMT, dan asupan zat gizi (energi, protein, lemak, dan karbohidrat) antara kelompok

intervensi dengan kelompok kontrol pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau

Mabaji Kabupaten Gowa.

Tabel 4.11 Analisis Perbedaan Kadar Albumin pada Kelompok


Intervensi dan Kontrol di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008
Albumin n Mean  SD P Mean  SD P

lxxxix
Pre Post
Intervensi 26 2.65 ± 0.27 4.44 ± 0.65
0,729 0,235
Kontrol 23 2.69 ± 0.38 4.66 ± 0.61
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan kadar

Albumin Pre dengan nilai p = 0,729 (p>0,05). Demikian pula pada Albumin

Post tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol dengan nilai p = 0,235 (p>0,05).

Tabel 4.12 Analisis Perbedaan Berat badan pada Kelompok Intervensi


dan Kontrol di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan,
Tahun 2008
Mean  SD Mean  SD
Berat Badan n P P
Pre Post
Intervensi 26 41.35 ± 8.35 40.29 ± 8.40
0,05 0,05
Kontrol 23 48.16 ± 7.75 47.12 ± 7.98
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan Berat badan

Pre dengan nilai p = 0,05 (p=0,05). Demikian pula pada Berat badan Post

tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok

kontrol dengan nilai p = 0,05 (p=0,05).

Tabel 4.12 Analisis Perbedaan IMT pada Kelompok Intervensi dan


Kontrol di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan,
Tahun 2008
Mean  SD Mean  SD
IMT n P P
Pre Post
Intervensi 26 22.46 ± 3.51 22.18 ± 3.93
0.004 0.017
Kontrol 23 25.76 ± 4.03 25.06 ± 4.19
Sumber: Data primer, 2008

xc
Tabel di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan IMT Pre

dengan nilai p = 0,004 (p<0,05). Demikian pula pada Albumin Post ada

perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

dengan nilai p = 0,017 (p<0,05).

Tabel 4.13 Analisis Perbedaan Asupan Zat Gizi pada Kelompok


Intervensi dan Kontrol di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008
Asupan zat gizi Mean  SD Mean  SD
n P P
Pre Post
Energi
Intervensi 26 1725.26±460.76 1828.80± 765.73
0.898 0.655
Kontrol 23 1754.34±986.33 1731.43± 747.95
Protein
Intervensi 26 47.04± 42.61 39.96± 13.20
0.794 0.294
Kontrol 23 44.23± 31.93 36.17± 11.83
Lemak
Intervensi 26 29.42± 29.79 28.45± 7.52
0.889 0.655
Kontrol 23 30.76± 36.54 28.41±9.30
Karbohidrat
Intervensi 26 269.73± 73.04 340.07± 175.77
0.412 0.974
Kontrol 23 295.76±133.66 341.69± 174.36
Sumber : Data Primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna

asupan zat gizi (energi, protein, lemak, karbohidrat) antara kelompok

intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p>0,05

C. Pembahasan

xci
1. Analisis Perbedaan Kadar Albumin antara Kelompok Intervensi

dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau

Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Perubahan kadar albumin sering dipakai sebagai perubahan biokimia yang

berhubungan dengan status gizi walaupun tidak terlalu sensitif. Pada penderita malnutrisi

sering ditemukan kadar albumin yang rendah, tetapi tidak jarang albumin serum masih

dalam batas normal (Fatimah, 2002; Daldiono,1998). Ketersediaan protein di dalam tubuh

yang dapat pula menggambarkan status nutrisi sebagai prediksi protein, energi malnutrisi,

walaupun tidak terlalu sensitif tetapi pengunaannya yang bersama-sama dengan

pengukuran antropometri dan pemeriksaan lainnya dapat memberi hasil yang lebih baik

(Kirby, 2002).

Pada penelitian ini terlihat bahwa kadar albumin antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p

> 0,05. Kadar albumin pada kelompok intervensi mengalami kenaikan yang tidak

bermakna begitupula dengan kadar albumin kelompok kontrol juga mengalami kenaikan

yang tidak bermakna.

Hal ini disebabkan waktu penelitian yang bertepatan dengan bulan ramadhan,

dimana lansia yang berpartisipasi dalam penelitian ini berpuasa dan konsumsi protein

lansia meningkat pada saat itu sehingga sangat berpengaruh terhadap peningkatan

albumin lansia.

Peningkatan kadar albumin dapat dihubungkan dengan adanya perbaikan sistem

imunitas, perbaikan jaringan/sel yang rusak akibat infeksi. Albumin akan mensuplai asam

amino untuk sintesis protein aktif cytokine seperti C-reaktive protein, protein phase akut,

dan lain-lain, yang dibutuhkan pada pembentukan makrofa pada sistem pagositosis serta

pembentukan antibodi (Linder, 1992, Karyadi, 2001, Gibson S., 2005). Albumin disintesis

oleh sel hati yang kemudian di distribusi kedalam sirkulasi darah. Untuk mensintesis

albumin diperlukan asam amino yang berasal dari makanan (luar) dan dari recycle protein

tubuh. Kemudian sel hati akan menangkap/mengambil asam amino dari peredaran darah

porta setelah pencernaan dan absorbsi. Influk asam amino dalam darah permukaan akan

xcii
merangsang dibebaskannya insulin untuk mempercepat pengambilan asam amino

dengan meningkatkan sintesis protein (Linder, 1992, Stepanuk, 2000, Gibson, 2005).

Perubahan kadar albumin serum yang bermakna klinis berupa penurunan kadar

albumin (hipoalbuminemia). Perubahan ini dapat disebabkan oleh sintesis yang kurang

(disfungsi hati, diit yang kurang), perluasan kompartmen sebaran (kebocoran kapiler,

sepsis, atau renjatan), “kehilangan” ke ruang ketiga respons fase akut dan kehamilan.

Pengaruh penyebaran (distribusi) lebih besar daripada sintesis, dan bila seseorang tidak

makan maka kadar albumin baru akan menurun sampai di bawah batas normal setelah

seminggu (Julius, 2005).

Albumin serum yang rendah merupakan pertanda yang tidak spesifik dari

penyakit. Rendahnya kadar albumin serum menunjukkan suatu kemunduran dan

peningkatannya menunjukkan suatu perbaikan. Kadar yang sangat rendah dari albumin

terlihat dengan kurangnya pengeluaran. Albumin serum akan menurun bila menjadi sakit,

dan kembali normal pada saat pasien membaik kondisinya (Patrick Neligan, 2001).

Menurut Stepanuk (2000) ada hubungan depresi kadar albumin dengan

penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi yang memperlambat penyembuhan,

peningkatan mordibitas dan mortalitas serta lamanya masa perawatan di Rumah Sakit.

Sebaliknya peningkatan kadar albumin dapat dihubungkan dengan adanya perbaikan

sistem imunitas dan perbaikan jaringan/sel yang rusak akibat infeksi.

Hasil penelitian dengan menggunakan paired t-test menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan bermakna kadar albumin lansia sebelum dan sesudah intervensi pada

kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol. Rata-rata kadar albumin lansia sebelum

intervensi adalah sebesar 2,65 gr/dl dan setelah intervensi meningkat menjadi 4,44 gr/dl,

demikian pula dengan kelompok kontrol yang mengalami peningkatan dari 2,69 gr/dl

meningkat menjadi 4,66 gr/dl. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemberian kapsul

ekstrak ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan kadar albumin darah lansia.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil yang pernah dilaporkan oleh Taslim dkk.

(2005) dengan pemberian nutrisi TKTP dan tambahan ekstrak ikan gabus pada sejumlah

pasien yang dirawat di Rumah Sakit terjadi peningkatan kadar albumin secara bermakna

xciii
sebesar 0,7 mg/dl, dibanding kelompok kontrol. Hidayanti H. (2006) pemberian nutrisi

TKTP dan tambahan kapsul konsentrat ikan gabus pada pasien pasca bedah terjadi

peningkatan kadar albumin secara bermakna sebesar 0,74 mg/dl, dibanding kelompok

kontrol. Salma (2007) pemberian nutrisi TKTP dan tambahan kapsul ikan gabus pada

pasien ODHA selama 14 hari dapat meningkatkan kadar albumin darah pasien secara

bermakna sebesar 0.6 gr/dl

2. Analisis Perbedaan Berat Badan Antara Kelompok Intervensi dengan

Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji

Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Hasil analisis dengan menggunakan t-independent menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan bermakna berat badan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

dengan nilai p = 0,05. Pada kelompok intervensi rata-rata berat badan lansia sebesar

41,35 kg turun menjadi 40.29 kg setelah diberikan intervensi selama 30 hari, Demikian

pula pada kelompok kontrol rata-rata berat badan lansia sebesar 48.16 dan mengalami

penurunan menjadi 47.12 setelah 30 hari.

Jika asupan energi dari makanan lebih besar dari energi yang dikeluarkan

sebagai panas dan kerja, tubuh akan menyimpan energi dan berat badan akan

bertambah. Dipihak lain, jika kandungan kalori dari makanan yang dimakan lebih kecil

daripada out put akan ada imbangan energi negatif. Dan cadangan protein dan lemak

akan digunakan sehingga berat badan menurun (Hill L., 2000).

Berdasarkan analisis dengan menggunakan paired t-test diperoleh bahwa pada

kelompok intervensi terjadi penurunan berat badan secara bermakna sebesar 1,058 kg (p

= 0.003) demikian pula pada kelompok kontrol terjadi penurunan berat badan secara

bermakna sebesar 1,039 kg (p = 0.000)

Penurunan berat badan pada lansia selama penelitian terjadi karena waktu

penelitian berlangsung pada bulan ramadhan, dimana lansia yang berpartisipasi dalam

penelitian berpuasa sehingga hal ini berakibat pada penurunan asupan.

xciv
Tanpa dukungan nutrisi yang adekuat, stres metabolik akibat infeksi akan

menimbulkan kehilangan berat badan dan rusaknya sel bagian tubuh (organ vital). (Drain,

PK, et al ,2006).

Penurunan berat badan 10-20 % akan mengurangi daya tahan tubuh dan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas, bahkan kehilangan 40 % berat badan dapat

menyebabkan kematian.

Konsekuensi langsung dari pola konsumsi yang tidak adekuat dapat menimbulkan

masalah gizi salah satunya kurang gizi, sehingga asupan gizi yang adekuat sangat

diperlukan dalam upaya mencegah terjadinya kurang gizi pada lansia karena untuk

beraktifitas memerlukan pengeluaran energi maka diet yang cukup menjadi faktor yang

sangat penting. Sebab kalori yang dihasilkan dari makanan terutama yang berasal dari

karbohidrat akan mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Juga dapat

mempertahankan berat badan karena kesenjangan energi pada tingkat ini akan

bermanifestasi dalam bentuk mobilisasi himpunan lemak tubuh.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul ekstrak ikan gabus 3x1

selama 30 hari tidak dapat meningkatkan berat badan lansia secara bermakna

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salma

(2007) yang melaporkan bahwa terjadi peningkatan berat badan secara bermakna pada

kelompok yang mendapatkan intervensi kapsul konsentrat ikan gabus sebesar 2.7 kg (p =

0.001).

3. Analisis Perbedaan IMT Antara Kelompok Intervensi dengan

Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji

Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu pengukuran untuk menentukan

status gizi. Digunakan untuk pengukuran bobot berat badan yang memiliki hubungan

linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal pertambahan berat badan searah

dengan pertambahan tinggi badan dan merupakan indikator yang baik untuk

mendapatkan proporsi tubuh yang normal dan untuk membedakan orang dengan status

xcv
gizi kurang, status gizi baik atau status gizi lebih. (Supariasa, 2002, Hartono 2000, Gibson

S., 2005).

Hasil analisis dengan menggunakan t-independent menunjukkan bahwa ada

perbedaan bermakna IMT antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p

< 0,05. Pada kelompok intervensi rata-rata IMT lansia sebesar 22.46 menurun menjadi

22.18 setelah diberikan intervensi selama 30 hari, demikian pula pada kelompok kontrol

IMT lansia sebesar 25.76 dan mengalami penurunan menjadi 25.06 setelah 30 hari.

IMT yang dihubungkan dengan risiko paling rendah terhadap kesehatan adalah

antara 22 dan 25. Berat badan lebih adalah IMT antara 25 dan 30, sedangkan obesitas

bila IMT lebih besar dari 30 (Almatsier, 2005).

Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke

atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit

tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu pemantauan

keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah

dengan mempertahankan berat badan/meningkatkan berat badan hingga mencapai status

gizi baik (Tirtawinata, 2006).

Berdasarkan analisis dengan menggunakan paired t-test diperoleh bahwa pada

kelompok intervensi terjadi penurunan IMT secara tidak bermakna sebesar 0,277 (p =

0.438) dan pada kelompok kontrol terjadi penurunan IMT secara bermakna sebesar 0,695

(p = 0.002).

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salma

(2007) yang melaporkan bahwa terjadi peningkatan IMT secara bermakna pada kelompok

yang mendapatkan intervensi kapsul konsentrat ikan gabus sebesar 0,9 (p = 0.001).

4. Analisis Perbedaan Asupan Energi Antara Kelompok Intervensi

dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau

Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Pada penelitian ini terlihat bahwa asupan energi antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p

xcvi
> 0,05. Tingkat asupan energi pada kelompok intervensi mengalami peningkatan

sedangkan pada kelompok kontrol mengalami penurunan.

Pada kelompok intervensi rata-rata asupan energi lansia sebesar 1725,26 kal

menurun menjadi 1828,8 kal setelah diberikan intervensi selama 30 hari, sedangkan pada

kelompok kontrol asupan energi lansia sebesar 1754,34 kal dan mengalami penurunan

menjadi 1731,43 kal setelah 30 hari.

Kandungan kapsul ikan gabus selain mengandung albumin dan asam amino

esensial yang lengkap juga mengandung zat gizi mikronutrien yaitu Zn sehingga terjadi

peningkatan asupan makan pada kelompok intervensi dibanding kelompok kontrol.

Namun dari rata-rata asupan kalori memperlihatkan bahwa meskipun pada kelompok

intervensi mengalami kenaikan tetapi sebagian besar masih kurang dibandingkan dengan

angka kecukupan gizi yang dianjurkan berdasarkan perhitunganan per individu dengan

menggunakan rumus Harris Benedict (Hartono, 2000).

Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (1985) adalah konsumsi energi

yang berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi

seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang

sesuai dengan kesehatan jangka panjang, dan memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik

yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi. Kebutuhan energi total orang dewasa

diperlukan untuk metabolisme basal, aktivitas fisik, efek makanan atau pengaruh dinamik

khusus, dan kebutuhan energi terbesar pada umumnya diperlukan untuk metabolisme

basal (Almatsier, 2001).

Kekurangan energi akan terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari

energi yang diperlukan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya,

berat badan kurang dari berat badan seharusnya.

Berdasarkan analisis dengan menggunakan paired t-test diperoleh bahwa pada

kelompok intervensi mengalami peningkatan asupan energi secara tidak bermakna

sebesar 103,538 kal (p = 0.482) dan pada kelompok kontrol terjadi penurunan asupan

secara tidak bermakna sebesar 22,913 kal (p = 0.919). Ini menunjukkan bahwa konsumsi

xcvii
kapsul ekstrak ikan gabus yang diberikan selama 30 hari tidak dapat meningkatkan

asupan energi lansia.

Hasil peningkatan asupan energi ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya,

dimana terjadi peningkatan asupan energi yang bermakna, pada penelitian Taslim dkk

(2005) terjadi peningkatan energi sebesar 231,69 kal dengan pemberian ekstrak ikan

gabus pada sejumlah pasien. Hasil penelitian Hidayanti H. (2006) memperlihatkan bahwa

dengan pemberian kapsul konsentrat ikan gabus pada pasien pasca bedah memberikan

peningkatan asupan energi sebesar 653 kal. Demikian pula pada penelitian Salma (2007)

terhadap pasien ODHA yang memperlihatkan peningkatan asupan energi sebesar 811,98

kal.

5. Analisis Perbedaan Asupan Protein Antara Kelompok Intervensi

dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau

Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Kebutuhan protein didefinisikan sebagai asupan protein yang aman untuk

kebutuhan faali, dan memelihara kesehatan hampir semua orang, sesuai dengan

golongan umur dan jenis kelamin. Protein merupan zat pembentuk tubuh yang penting di

samping air, lemak, vitamin, mineral dan karbohidrat yang terdapat atau ditemukan pada

seluruh tubuh, yaitu otot, kulit, rambut, jantung, paru-paru, otak dan organ tubuh lainnya.

Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran

cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan

melalui membran sel ke dalam sel-sel. Kekurangan protein, menyebabkan gangguan pada

absorpsi dan transportasi zat-zat gizi. Seseorang yang menderita kekurangan protein lebih

rentan terhadap bahan-bahan racun dan obat-obatan. Serta ketidakmampuan membentuk

antibodi dalam jumlah yang cukup. (Almatsier, 2002, Tirtawinata, 2006).

Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya.

Protein kompleks atau protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah

protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai

untuk keperluan pertumbuhan.

xcviii
Dengan menggunakan uji t-Independent tingkat asupan protein antara kelompok

intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna dengan nilai p > 0,05.

Konsumsi protein rata-rata lansia sebelum intervensi sebesar 47,04 g dan setelah

intervensi selama 30 hari menurun menjadi 39,96 g, sedangkan pada kelompok kontrol

konsumsi rata-rata lansia sebelum intervensi adalah sebesar 44,23 g dan selama 30 hari

juga mengalami penurunan asupan protein menjadi 36,17 g.

Makanan yang mengandung karbohidrat seperti nasi, jagung, kentang, singkong,

ubi jalar, mie dan roti. Sangat penting karena kalori yang dihasilkannya akan mencegah

pengunaan protein sebagai sumber energi. Sebaliknya protein dapat digunakan untuk

mempertahankan sistem kekebalan dan ukuran otot , mengatur keasaman darah serta

memproduksi jutaan substansi yang dibutuhkan untuk mengatur proses tubuh. Jika protein

digunakan sebagai sumber energi maka akan terjadi defisiensi protein yang sering

menyebabkan depresi sistem kekebalan, sehingga kerentangan terhadap infeksi makin

meningkat (Stepanuk, 2000, Swarth J., 2004, Tirtawinata, 2006).

Dengan menggunakan analisis paired t-test, diperoleh penurunan asupan protein

yang tidak bermakna pada kelompok intervensi sebesar 7,077 g, demikian pula pada

kelompok kontrol mengalami penurunan asupan protein yang tidak bermakna sebesar

8,061 g. Ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul ekstrak ikan gabus yang diberikan pada

lansia selama 30 hari tidak tdapat meningkatkan asupan protein lansia secara bermakna.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taslim,

dkk (2005) dimana terjadi peningkatan asupan protein pada kelompok intervensi sebesar

8,85 g, Hidayanti H. (2006) dengan peningkatan asupan protein pada kelompok intervensi

sebesar 25,15 g dan Salma (2007) dengan peningkatan asupan protein sebesar 28.533 g.

6. Analisis Perbedaan Asupan Lemak Antara Kelompok Intervensi

dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau

Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Hasil analisis tingkat asupan lemak antara kelompok intervensi dan kelompok

kontrol tidak berbeda secara bermakna dengan nilai p > 0,05. Asupan lemak rata-rata

sebelum mendapatkan kapsul konsentrat ikan gabus adalah 29.42 g dan mengalami

xcix
penurunan menjadi 28.45 g pada kelompok intervensi begitu pula pada kelompok kontrol

asupan rata-rata sebelum intervensi adalah sebesar 30,76 g dan menurun menjadi 28.41

g.

Berdasarkan hasil uji paired t-test diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang tidak

bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi yang

mendapatkan kapsul ekstrak ikan gabus selama 30 hari. Pada kelompok intervensi terjadi

penurunan asupan lemak yang tidak bermakna sebesar 0,969 g, demikian pula pada

kelompok kontrol terjadi penurunan asupan lemak yang tidak bermakna sebesar 2,352

gram. Ini menunjukkan bahwa pemberian kapsul ekstrak ikan gabus selama 30 hari tidak

dapat meningkatkan asupan lemak lansia secara bermakna.

Hasil ini berbeda dengan penelitian Taslim, dkk (2005) yang mendapatkan

peningkatan asupan lemak yang tidak bermakna sebesar 1,22 gram. Demikian pula pada

hasil penelitian Hidayanti H. (2006) yang mendapatkan peningkatan asupan lemak yang

bermakna sebesar 22,815 gram.

7. Analisis Perbedaan Asupan Karbohidrat Antara Kelompok Intervensi

dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau

Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Peranan utama karbohidrat di dalam tubuh adalah menyediakan glukosa bagi sel-

sel tubuh, yang kemudian diubah menjadi energi. Glukosa memegang peranan penting

dalam metabolisme karbohidrat. Jaringan tertentu hanya memperoleh energi dari

karbohidrat seperti sel darah merah serta sebagian besar otak dan system syaraf

(Almatsier, 2001).

Hasil penelitian dengan menggunakan uji t-independent di peroleh bahwa tidak

ada perbedaan bermakna asupan karbohidrat antara kelompok intervensi dan kelompok

kontrol dengan nilai p > 0,05. Untuk kelompok intervensi rata-rata asupan karbohidrat

adalah sebesar 269.73 g dan setelah intervensi selama 30 hari asupan ini meningkat

menjadi 340.07 g begitu pula pada kelompok kontrol asupan rata-rata karbohidrat adalah

sebesar 295.76 g dan setelah 30 hari meningkat menjadi 341.69 g.

c
Berdasarkan uji paired t-test, pada kelompok intervensi tidak terdapat perbedaan

bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi. Pada kelompok ini terjadi peningkatan

asupan karbohidrat yang tidak bermakna sebesar 70,338 g (p = 0,086), demikian pula

pada kelompok kontrol terjadi peningkatan asupan karbohidrat yang tidak bermakna

sebesar 45,926 g (p = 0,229). Ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul ekstrak ikan

gabus dapat meningkatkan asupan karbohidrat lansia secara tidak bermakna.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh

Taslim, dkk (2005), dimana terjadi peningkatan asupan karbohidrat sebesar 45,09 gram.

Demikian pula pada hasil penelitian Hidayanti H. (2006) yang mendapatkan peningkatan

asupan karbohidrat secara bermakna sebesar 89,5 g.

8. Analisis Perbedaan Asupan Zink Antara Kelompok Intervensi dengan

Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji

Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Zink menupakan salah satu mineral yang penting dalam proses penyembuhan.

Zink akan meningkatkan kekuatan tegangan (gaya yang diperlukan untuk memisahkan

tepi-tepi) penyembuhan luka. (Mary Courtney, 1997).

Hasil analisis dengan menggunakan uji t-independent diperoleh bahwa tidak ada

perbedaan bermakna asupan zink antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

dengan nilai p > 0,05. Pada kelompok intervensi konsumsi zink rata-rata lansia sebelum

intervensi adalah sebesar 6,54 mg dan setelah pemberian protein ekstrak ikan gabus

selama 30 hari menurun menjadi 4,28 mg begitu pula pada kelompok kontrol asupan rata-

rata zink lansia adalah sebesar 6,72 mg setelah 30 hari menurun menjadi 3,97 mg.

Zink merupakan salah satu mikronutrien antioksidan, komponen berbagai protein,

hormon dan enzim, diperlukan dalam perkembangan berbagai sel dan jaringan

penyembuhan luka serta dapat memperbaiki nafsu makan, (Gibson S., 2005).

ci
Analisis dengan menggunakan paired t-test menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan bermakna asupan zink sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok

intrvensi. Pada kelompok ini terjadi penurunan zink secara bermakna sebesar 2,261 mg (p

= 0,007), sedangkan pada kelompok kontrol penurunan asupan zink juga terjadi secara

bermakna sebesar 2,749 mg (p = 0,025).

Zinc berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang

berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat.

Taraf darah zink yang tinggi dapat mencegah terjadinya kehilangan indera perasa yang

biasanya disertai penurunan nafsu makan.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Taslim,

dkk (2005), dimana terjadi peningkatan asupan zink sebesar 2,01 mg. Demikian pula

dengan hasil penelitian Hidayanti H. (2006) yang mendapatkan peningkatan asupan zink

sebesar 7,3 mg.

9. Analisis Perbedaan Asupan Fe Antara Kelompok Intervensi dengan

Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji

Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Besi memainkan peranan yang penting pada trasportasi dan penggunaan oksigen

pada produksi energi oksidatif (Haas, 2001). Besi juga merupakan bagian dari beberapa

protein yang terlibat dalam rantai trasportasi elektron, metabolisme obat dan sistem

kekebalan tubuh (Smolin, 1994).

Di dalam sum-sum tulang zat besi digunakan untuk membuat hemoglobin yang

merupakan bagian dari sel darah merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh lain yang

membutuhkan. Kelebihan zat besi dapat mencapai 200-1500 mg, disimpan sebagai

protein feritin dan hemosiderin di dalam hati (30%), sum-sum tulang (30%) dan selebihnya

di simpan di dalam limpa dan otot. Dari simpanan tersebut sampai 50 mg sehari dapat

dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan Hb. Feritin yang bersirkulasi

dalam darah mencerminkan simpanan zat besi di dalam tubuh (Almatsier, 2001).

cii
Pada penelitian ini terlihat bahwa asupan Fe antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol tidak ada perbedaan bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p

> 0,05. Tingkat asupan Fe pada kelompok intervensi mengalami penurunan dan

sebaliknya pada kelompok kontrol rata-rata mengalami kenaikan.

Pada kelompok intervensi rata-rata asupan Fe lansia sebesar 15,18 mg menurun

menjadi 8,01 mg setelah diberikan intervensi selama 30 hari, sedangkan pada kelompok

kontrol asupan Fe lansia sebesar 6,39 mg dan mengalami peningkatan menjadi 7,43 mg

setelah 30 hari.

Dengan menggunakan analisis paired t-test, diperoleh penurunan asupan Fe yang

tidak bermakna pada kelompok intervensi sebesar 7,177 mg sedangkan pada kelompok

kontrol mengalami peningkatan asupan Fe yang tidak bermakna sebesar 1,049 mg.

Keseimbangan zat besi di dalam tubuh perlu dipertahankan yaitu jumlah zat besi

yang dikeluarkan dari tubuh sama dengan jumlah zat besi yang diperoleh tubuh dari

makanan. Bila zat besi dari makanan tidak mencukupi, maka dalam waktu lama akan

mengakibatkan anemia. Sel-sel darah merah berumur 120 hari, jadi sesudah 120 hari sel-

sel darah merah mati, dan diganti dengan yang baru. Proses penggantian sel darah

merah dengan sel-sel darah merah baru disebut turn over (Husaini ,1989).

ciii
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan kadar

albumin darah lansia sebesar 1,79 mg/dl demikian pula pada kontrol

2. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari tidak dapat meningkatkan

berat badan lansia, dimana terjadi penurunan berat badan sebesar 1,058 kg.

3. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari tidak dapat meningkatkan

IMT lansia, dimana terjadi penurunan IMT sebesar 0,28.

4. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan

asupan zat energi dan karbohidrat masing-masing sebesar 103,5 kal, dan 70,3 g.

Berbeda dengan asupan protein dan lemak yang mengalami penurunan masing-

masing sebesar 7,08 g dan 0,97 g.

civ
B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pemberian kapsul albumin

ikan gabus diluar bulan puasa.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan lansia yang

tidak sedang mengkonsumsi suplemen atau obat yang mungkin akan

mempengaruhi absorbsi kapsul albumin ikan gabus.

DAFTAR PUSTAKA

Alderson P, et al. Human albumin solution for resuscitation and volume expansion in
critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 2002; 1:CD001208.

Almatsier S. 2001. Prinsip-prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.

Almatsier. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Almatsier, Sunita. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Puataka Utama. Jakarta.

Anonimous. 2003. Gabus Temuan Sang Profesor. (http://www.gatra.com diakses 9 mei


2008).

Arisman, MB, “ Gizi Dalam Daur Kehidupan “, Buku Ajar Ilmu Gizi Kedokteran, Jakarta,
2004.

Arisman. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi; Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta, EGC.

As’ad Suryani, 2001. Pengaruh Pemberian Zink terhadap Profil Sitokin dan Diare pada
Anak Balita Gizi Buruk. Disertasi. Unhas, Makassar.

cv
Baime MJ, Nelson JB, Castell DO. Aging of the gastrointestinal system, In : Hazzard WR,
Bierman EL, Blasss JP, Ettinger WH, Halter JB, eds, Principle of Geriatric
Medicine and Gerontology, 2003.

Bappenas, 2007. Jumlah Lansia 2025 Diproyeksikan 62,4 juta jiwa, Forum Jakarta untuk
Perlindungan Lansia Digelar di Bappenas. http://www.bappenas.go.id

Biro Pusat Statistik, 2000

Brocklehurst, JC & Allen, SC, 1987, Geriatric Medicine For Students, 3rd Ed. Churchiil &
Livingstone.

Brotowijoyo, M.D. 1995. Pengantar Lingkungan dan Budidaya Air. Liberty. Jogjakarta.

Chaourdhy, Pan M, Karinch, Souba, 2006. Branched Amino Acid –Enriched nutritional
Support in Surgical n cancer Patients, J Nutr. 136: 314S-

Charlton M, 2006. Branched-Chain Amino Acid Enriched Supplements as Terapy for liver
Disease.J Nutr.136:314S-8S

Cohen HJ, Crawford J. Hematologic Problems. In: Calkins E, Davis PJ, Ford AB,editors.
The Practice of Geriatrics. Philadelphia: WB Saunders Company. 1986. p.
519–31

Daldiyono dan Thaha. 1998. Kapita Selekta Nutrisi Klinik. Perhimpunan Nutrisi Enteral dan
Parenteral Indonesia. Jakarta.

Darmojo, R.D dan Martono M.D, “Buku Ajar Geriatri, Edisi I”, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta 1999.

Darmojo R. B. . 2002. Teori Proses Menua. Dalam Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut).
Balai Penerbit FKUI. Jakarta

DB Reuben, et al. Correlates of hypoalbuminemia in community-dwelling older persons.


American Journal of Clinical Nutrition, 1997.

Departemen Kesehatan RI, “Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas
kesehatan”, Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Jakarta,
1995.

Depkes. 1995. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta, Depkes RI.

Depkes. 1998. Pedoman pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan;
Materi Pembinaan. Jakarta, Depkes RI.

Finelli C, et al. 2001. Use and Abuse of Albumin : A Survey of Clinical Records from An
Internal Medicine Ward. Journal of Nutrition 21:183-5.

Gibson S. 2005. Principles of Nutritional Assesment, Published by oxford University Prees.


Inc.198 Madison Avenue. New York.

Harjodisastro Daldiyono dkk ,2006 Dukungan Nutrisi pada Kasus Penyakit Dalam. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI
Jakarta.

Harrison. 1999. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam; Ilmu Gizi dan Kebutuhan Gizi. Edisi
13. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

cvi
Herawati I, Wahyuni, 2004, Perbedaan Pengaruh Senam Otak dan Senam Lansia
Terhadap Keseimbangan Pada Orang Usia Lanjut.
http://eprints.ums.ac.id/524/1/infokes_8_(1)_isnaeni.pdf.

Hidayanti Healthy. 2006. Pengaruh Pemberian Kapsul Konsentrat Ikan Gabus Terhadap
Kadar Albumin dan Proses Penyembuhan pada Pasien Pasca Bedah di
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. Tesis. Makassar. Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Hill L Graham. 2000. Disorders of Nutrition and Metabolism in Clinical Surgery. University
of Leeds. Consulting Surgeon, St Marks Hospital. London.

Ismayadi, 2004. Proses Menua (Proses Aging). USU digital library.


http://library.usu.ac.id/modules.php

Johanes, Cavalo. 1998. Studi Profil Asam Amino Albumin dan Mineral Zn pada Ikan
Gabus (Ophicepalus striatus) dan Ikan Tomang. Fakultas Perikanan Unibraw.
Malang.

Julius. 2005. Metabolisme Protein pada Penyakit Hati. http://


www.internafkunand.or.id/metabolisme%20albumin.htm, diakses 8 maret
2008)

Kartasapoetra. 2005. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktifitas Kerja). Rineke
Cipta. Jakarta.

Kashmita et al., 1999. Hypoalbuminemia, What is Hypoalbuminemia?. Human Serum


Albumin Research

Kashima et al., Hypoalbuminemia, What is hypoalbuminemia.

Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kedeputian I BIdang


Kesejahteraan Sosial, Lansia Masa Kini dan Mendatang. Jakarta.

Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada.

Kinsella, K & Tauber, 1993. An Aging World II. Washington DC : International Population
Report. US, Bureau of The Census.

Kirby, D.F., 2002. Low Serum Albumin and I Creased Risk of Mortality After Percueneous
Endoscopic Gastrotomy. American Society For Parenteral & Enteral Nutrition
(Abstract)

Koswara Sutrisno, Menu Sehat Bagi Lansia. http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL.

Linder, M. C. 1985. Biokimia Nutrisi Dan Metabolisme. Diterjemahkan oleh Aminuddin


Parakkasi. 1992. Jakarta : UI-Press.

Mutiara Erna, 2003. Karakteristik Penduduk Lanjut Usia di Propinsi Sumatera Utara Tahun
1990. Digitized by USU digital library, Medan.

Neligan, Patrick. 2001. Critical Care Medicine : Tutorial. University of Pennsylvania

Notoatmojo, Soekidjo,Dr, “ Metodologi Penelitian Kesehatan “ Edisi Revisi Aneka Cipta,


cetakan kedua, januari 2002, page :188.

Nugroho, 2000, Keperawataan Gerontik. EGC, Jakarta

cvii
Nurhayati. 2005. Mental-Emosinal, Kemandirian, Pola Makan dan Status Gizi Usia Lanjut
di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Kecamatan Rappocini Kota
Makassar. Skripsi. FKM Unhas.

Prosiding. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.
Editor: Soekirman, dkk. Diterbitkan LIPI. Jakarta.

Rahmi, 2008. Beberapa Perubahan Fisik Saat Usia Lanjut. http://www.halohalo.co.id

Read M, Schlenker ED. Food selection patterms among the aged. In Schlenker ED.
Nutrition in aging.2nd ed. 1993

Riza, 2008. Potensi Albumin dari Ikan Gabus. http://www.kompas.com.

Rohmah W. 2002. Tua dan Proses Menua. Kumpulan makanan shortcourse "Asuhan Gizi
Geriatri ". Yogyakarta, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat F
Supariasa IDN, Bakri B, Fadjar I. 2002. Penilaiaan Status Gizi. Jakarta, ECG
K UGM.

Sadikin Mohammad, Biokimia Darah. Widya Medika, 2002

Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1985. Il mu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Dian
Rakyat. Jakarta.

Sediaoetama. 2004. Ilmu Gizi. Jilid I. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta.

Siburian Pirma, 2007, Empat Belas Masalah Utama pada Lansia.


http://www.waspada.co.id.

Sirat, A.M, dan Riyadina. W “Faktor-Faktor yang mempengaruhi Status Kesehatan Lanjut
Usia, Majalah Kedokteran Indonesia,1998”

Siswono. 2003. Ikan Tawar Kaya Protein dan Vitamin. (bin/berita/fullnew.cgi, diakses 6
September 2006).

Stepanuk. 2000. Biochemical and Physiological Aspecs of Human Nutrition. Wb. Saunders
company. Philadelphia. Pensylvania.

Sung, Jin; Bochicchio, Grant V; Et al. Admission Serum Albumin Is Predicitve of Outcome
in Critically Ill Trauma Patients. The American Surgeon. 2004

Supariasa, I. D. N. dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta.

Syarfaini. 2007. Pengaruh Formula Biskuit Dengan Tambahan Tepung Ikan Gabus
Terhadap Status Gizi Balita KEP Umur 12-36 Bulan Di Kelurahan Pannampu
Kota Makassar. Tesis. Program Pascasarjana UNHAS.

Taslim, N. A. dkk. 2005. Pembuatan Tepung Ikan Gabus sebagai Makanan Tambahan
Sumber Albumin Dan Pemanfaatannya. Pusat Penelitian Pangan, Gizi Dan
Kesehatan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Taslim, N. A. 2004. Penyuluhan Gizi, Pemberian Soy Protein Dan Perbaikan Status Gizi
Penderita Tuberkulosis di Makassar. Jurnal Medika Nusantara. Vol. 25. No. 2.
www.med.unhas.ac.id Diakses 24 Desember 2006.

cviii
Tirtawinata. 2006. Makanan dalam Perspektif Al-Quran dan Imu Gizi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.

Vincent Jean Louis.2003. Hipoalbumenia in Acute Ilneas is the Irationale for intervention
Ann.Surg. 237 (3):319-334.

Watik Pratiknya Ahmad, Dr “ Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran & kesehatan


“ PT Raja Grafindo Persada, edisi ke 4, Jakarta 2001

Widjayakusumah Djauhari, Perubahan fisiologis pada usia lanjut dan berbagai


masalahnya, Majalah Kedokteran Indonesia, 1992, 42 (9)

Lampiran 1. Kuesioner Pengumpulan Data

Form Pengumpulan Data


PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP
KADAR SERUM ALBUMIN DAN STATUS GIZI LANSIA DI PANTI
WERDHA GAU MABAJI KABUPATEN GOWA SULAWESI SELATAN

I. Identitas Lansia
Nama :
Jenis Kelamin : L/P
Umur :
Agama :
Alamat :
Pekerjaan :
Status Perkawinan :

cix
II. Antropometri & Status Gizi

No. Parameter Awal Akhir


1. Berat Badan (Kg)
2. Tinggi Badan/Tinggi Lutut (cm)
3. IMT
4. Albumin serum (g/dl)

Lampiran 2. Formulir Food Recall 24 Jam

FORMULIR RECALL 24 JAM

Waktu Jenis Pengolahan/Cara Jumlah Jumlah


Dikonsumsi Makanan masaknya (ukuran RT) (Gram)
Makan Pagi

Snack
Makan Siang

Snack
MakanMalam

cx
Sebelum Tidur

Lampiran 3. Pengukuran Berat Badan

Berat badan saat ini diukur dengan timbangan injak digital yang sudah dikalibrasi. Tingkat

ketelitian 0,1 kg. Caranya : (Hadju, 1997)

a. Tempatkan timbangan pada tempat yang rata.

b. Subyek menggunakan pakaian biasa (menutup aurat). Isi kantong yang berat

dapat dikeluarkan. Subyek tidak menggunakan sepatu/sandal dan kaus kaki.

c. Subyek berdiri di atas timbangan dengan beratnya tersebar merata pada

kedua kaki dan posisi kepala tegak lurus menghadap lurus ke depan.

d. Kedua lengan tergantung bebas di samping badan dan telapak tangan

menghadap kearah paha.

e. Pengukur berdiri di belakang subyek dan mencatat hasil timbangan.

Lampiran 4. Pengukuran Tinggi Badan

Tinggi badan diukur dengan microtoise, dengan ketelitian 0,1 cm. Caranya (Hadju, 1997) :

cxi
a. Subyek dengan pakaian biasa dan tanpa sepatu/sandal dan kaus kaki.

b. Subyek berdiri pada tempat yang rata dan tepat di bawah microtoise.

c. Berat badan terdistribusi merata pada kedua kaki dan posisi kepala tegak

lurus menghadap lurus ke depan.

d. Tangan tergantung secara bebas pada kedua sisi badan dengan arah

telapak tangan menghadap paha.

e. Kedua tumit subyek berdekatan dan menyentuh dasar dari dinding

vertikal bagian medial dari kaki membentuk sudut 60 derajat.

f. Scapula dan bagian belakang (pantat) subyek menyentuh dinding

vertikal.

g. Perintahkan subyek untuk menarik nafas dan menahannya dalam posisi

tegak tanpa merubah beban dari kedua tumit.

h. Bagian microtoise yang dapat digerakkan dipindahkan sampai pada

bagian paling atas dari kepala dengan sedikit menekan rambut.

i. Pengukuran dilakukan sampai mendekati 0,1 cm.

Lampiran 5. Pengukuran Tinggi Lutut

Tinggi lutut diukur dengan pita centimeter, Caranya sebagai berikut:


Responden duduk di kursi yang rendah, menggunakan kaki kiri dam lutut ditekuk
membentuk sudut 900. Pita centimeter diletakkan dibagian atas kondilus tulang paha
anterior dan tepat bagian proksimal tulang patella kemudian ditarik sampai bawah tumit.

cxii
Lampiran 6. Inform concent

1. Saya yang bertanda tangan di bawah ini setuju untuk berpartisipasi pada
penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Ikan Gabus Terhadap Kadar
Albumin Serum Dan Status Gizi Lansia di Panti sosial Tresna Werdha Gau Mabaji
Kabupaten Gowa”.
2. Saya telah diberi penjelasan lengkap oleh sdr. Dian Cholika Hamal tentang tujuan
dan manfaat penelitian ini.
3. Saya diberi kesempatan untuk bertanya pada sdr. Dian Cholika Hamal tentang
semua aspek penelitian ini dan saya mengerti mengenai semua keterangan yang
diberikan.
4. Saya setuju untuk memenuhi dan mematuhi serta melaksanakan dengan ikhlas
instruksi yang diberikan.
5. Saya diberi kesempatan dan kebebasan untuk menarik diri dari partisipasi
penelitian ini setiap saat tanpa harus memberi penjelasan tentang pengunduran diri
saya.

cxiii
Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan kepada peneliti akan dijaga kerahasiaanya dan
hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian ini.

Nama dan tanda tangan

Peserta penelitian tanggal

Peneliti tanggal

cxiv

Anda mungkin juga menyukai