PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008
i
PENGARUH PEMBERIAN KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS
TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN STATUS GIZI LANSIA DI
PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI
KABUPATEN GOWA SULAWESI SELATAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Kesehatan Masyarakat
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008
ii
A. Halaman Pengesahan Ujian Hasil
Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, MSc. Sp.GK Dr. Drs. Faisal Attamimi, MSc
Ketua Komisi Penasihat Anggota Komisi Penasihat
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebahagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang
lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
iv
KATA PENGANTAR
Ekstrak Ikan Gabus terhadap Kadar Albumin dan Status Gizi Lansia di
Selatan”.
sempurna tanpa bimbingan dan arahan dari penasehat kami. Oleh karena
kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, MSc.
Sp.GK selaku ketua komisi penasihat dan Dr. Drs. Faisal Attamimi, MSc
yang diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
wreda gau mabaji yang telah bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.
Semoga segala bantuan yang diberikan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
Amin.
v
1. Rektor dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
penelitian ini.
4. Tim Penguji Tesis : Prof. Dr. dr. Nurpudji A. Taslim, MPH. SpGK, Dr.
dr. Burhanuddin Bahar, MS, atas segala masukan dan saran yang
beserta seluruh staf yang telah memberikan izin dan bantuan untuk
melakukan penelitian
lansia.
vi
9. Terkhusus penulis sampaikan rasa hormat dan penghargaan yang
Ruhana dan kakak-kakakku tercinta Ir. Haruna Hamal, Ir. Basri Hamal
M.P, Ir. Hasriani Hamal, Ir. Wartini Hamal, Ulfa Maulin Hamal A,Md. Ir.
10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
ini, semoga segala apa yang telah mereka berikan bernilai ibadah dan
Penulis
vii
ABSTRAK
DIAN CHOLIKA HAMAL. Pengaruh Pemberian Kapsul Ekstrak Ikan
Gabus Terhadap Kadar Albumin dan Status Gizi Lansia di Panti Sosial
Tresna Wredha Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan (Dibimbing
oleh Suryani As’ad dan Faisal Attamimi)
Lansia adalah salah satu kelompok yang rentan malnutrisi. Serum
Albumin merupakan parameter penting dalam mengukur status gizi lansia .
Salah satu sumber makanan yang kaya akan albumin adalah ikan gabus.
Ikan gabus mengandung albumin yang lebih tinggi dibandingkan dengan
jenis ikan lain yang diperlukan oleh tubuh yang berfungsi meningkatkan
daya tahan tubuh, mempercepat penyembuhan luka dan membantu proses
metabolisme tubuh lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
kapsul ekstrak ikan gabus terhadap kadar albumin, status gizi, dan asupan
zat gizi lansia di panti sosial tresna wredha gau mabaji kabupaten gowa
sulawesi selatan.
Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi Eksperimental
dalam bentuk randomized control group pre-post test design. Sampel
dalam penelitian ini adalah lansia berumur diatas 55 tahun. Sampel terdiri
atas kelompok intervensi yang mendapat kapsul ekstrak ikan gabus dan
kelompok kontrol yang mendapat kapsul placebo, masing-masing
berjumlah 27 orang. Sebelum intervensi, dilakukan pengukuran kadar
albumin, asupan zat gizi dan status gizi (IMT). Setelah 30 hari intervensi,
dilakukan pengukuran albumin, asupan zat gizi, status gizi (IMT). Data
dianalisis dengan menggunakan uji paired t-test dan independent t-test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi
terjadi peningkatan bermakna untuk serum albumin (p < 0,05), sedangkan
asupan energi dan karbohidrat mengalami peningkatan yang tidak
bermakna. Berat badan, IMT, asupan protein, dan lemak mengalami
penurunan yang tidak bermakna (p > 0,05). Pada kelompok kontrol hanya
serum albumin yang meningkat secara bermakna. Berat badan dan IMT,
menurun secara bermakna, sedangkan asupan energi, protein, dan lemak
mengalami penurunan secara tidak bermakna dan asupan karbohidrat
mengalami peningkatan yang tidak bermakna (p > 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian
kapsul ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan kadar albumin,
asupan energi, dan karbohidrat masing-masing sebesar 1,79 mg/dl; 103,5
kal; dan 70,3 g, tetapi tidak memberikan peningkatan terhadap berat
badan, IMT, asupan protein dan lemak.
viii
ABSTRACT
ix
DAFTAR ISI
ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL.................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................iii
KATA PENGANTAR..............................................................................v
ABSTRAK...........................................................................................viii
DAFTAR ISI...........................................................................................x
DAFTAR TABEL.................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................xviii
I PENDAHULUAN
C. Tujuan Penelitian
II TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Lansia...............................................................12
x
3. Proses Penuaan.................................................................17
2.Kebutuhan Protein................................................................53
C. Albumin....................................................................................54
1.Fungsi Albumin.....................................................................54
F. Kerangka Pikir..........................................................................70
1. Kerangka Konsep...............................................................72
2. Variabel Penelitian..............................................................73
I. Hipotesis Penelitian.................................................................76
A. Rancangan Penelitian..............................................................77
xi
C. Populasi dan Sampel...............................................................79
1. Populasi..............................................................................79
2. Sampel...............................................................................79
3. Besar Sampel.....................................................................80
4. Prosedur Penelitian............................................................81
D. Instrumen Penelitian................................................................82
G. Kontrol Kualitas........................................................................85
H. Pertimbangan Etik....................................................................85
B. Hasil Penelitian........................................................................88
1. Analisis Deskriptif...............................................................88
C. Pembahasan..........................................................................101
A. Kesimpulan.............................................................................119
D. Saran......................................................................................119
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................120
LAMPIRAN ......................................................................................124
xii
DAFTAR TABEL
xiii
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun
2008
94
4.6 Analisis perbedaan berat badan kelompok
intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan
sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun
2008
95
4.7 Analisis perbedaan IMT kelompok intervensi
dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah
intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten
Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008
96
4.8 Analisis perbedaan asupan zat gizi kelompok
intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan
sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun
2008
97
4.9 Analisis perbedaan kadar albumin pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol di
PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008
100
4.10 Analisis perbedaan berat badan pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol di
PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008
100
4.11 Analisis perbedaan IMT pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol di PSTW
xiv
Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi
Selatan, Tahun 2008
101
4.12 Analisis perbedaan asupan zat gizi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol di
PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi
Selatan, Tahun 2008
102
DAFTAR GAMBAR
xv
4.2 Perbedaan berat badan sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol
95
4.3 Perbedaan IMT sebelum dan sesudah intervensi
pada kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol
96
4.4 Perbedaan asupan energi sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol
98
4.5 Perbedaan asupan protein sebelum dan
sesudah intervensi pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol
98
4.6 Perbedaan asupan lemak sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol
98
4.7 Perbedaan asupan karbohidrat sebelum dan
sesudah intervensi pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol
99
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1 Kuesioner pengumpulan data
124
2 Formulir food recall 24 jam
125
3 Pengukuran berat badan
126
4 Pengukuran tinggi badan
127
5 Pengukuran tinggi lutut
128
6 Inform Concent
129
7 Gambar pada saat recall 24 hours
130
8 Gambar pengambilan darah
131
9 Surat-surat ijin penelitian
132
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dijelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang optimal, tidak terkecuali orang yang berusia lanjut. Salah satu hasil
Sejalan dengan hal tersebut akan meningkat pula kelompok lansia di masyarakat. Dari
data USA- Bureau of the Census 1993, melaporkan bahwa Indonesia diperkirakan akan
mengalami pertambahan warga lansia terbesar di dunia, antara tahun 1990 – 2025, yaitu
sebesar 414%, suatu angka tertinggi di seluruh dunia, dan pada tahun 2020 Indonesia
merupakan urutan ke 4 jumlah usia lanjut paling banyak sesudah Cina, India dan Amerika
Data BPS memperlihatkan bahwa angka usia harapan hidup (UHH) untuk
penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, dari 60 tahun pada
tahun 1990 meningkat menjadi 65 tahun pada tahun 2000, tahun 2004 UHH 66 tahun,
kemudian meningkat menjadi 69 tahun pada tahun 2006, bahkan diperkirakan pada tahun
2018 akan meningkat menjadi 70 tahun. UHH untuk Penduduk provinsi Sulawesi Selatan
juga mengalami peningkatan dari 64 tahun pada tahun 1998 meningkat menjadi 68 tahun
pada tahun 2000, 2001, dan 2003 (BPS 2004). Lansia yang jumlahnya akan semakin
meningkat ini secara alami akan mengalami perubahan fisik, mental, dan psikososialnya.
Oleh sebab itu maka sangat diharapkan terjadinya peningkatan kualitas hidup pada lansia
xviii
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap
sosial ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam pemerintah. Setiap
penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut.
Diperkirakan angka ketergantungan usia lanjut pada tahun 1995 adalah 6,93% dan tahun
2015 menjadi 8,74% yang berarti bahwa pada tahun 1995 sebanyak 100 penduduk
produktif harus menyokong 7 orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas sedangkan
pada tahun 2015 sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong 9 orang usia lanjut
lanjut usia disebabkan kondisi orang lanjut usia banyak mengalami kemunduran fisik
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan
Masalah umum yang dialami lanjut usia yang berhubungan dengan kesehatan
fisik, yaitu rentannya terhadap berbagai penyakit karena berkurangnya daya tahan tubuh
dalam menghadapi pengaruh dari luar. SKRT tahun 1980 menunjukkan angka kesakitan
penduduk usia 55 tahun ke atas sebesar 25,7 persen. Berdasarkan SKRT tahun 1986
angka kesakitan usia 55 tahun 15,1%, dan menurut SKRT 1995 angka kesakitan usia 45-
59 sebesar 11,6 persen (Wirakartakusumah, 2000) Dalam penelitian Profil Penduduk Usia
Lanjut Di Kodya Ujung Pandang ditemukan bahwa lanjut usia menderita berbagai penyakit
yang berhubungan dengan ketuaan antara lain diabetes melitus, hipertensi, jantung
koroner, rematik dan asma sehingga menyebabkan aktifitas bekerja terganggu (Ilyas,
1997). Demikian juga temuan studi yang dilakukan Lembaga Demografi Universitas
Indonesia di Kabupaten Bogor tahun 1998, sekitar 74 persen lansia dinyatakan mengidap
penyakit kronis. Tekanan darah tinggi adalah penyakit kronis yang banyak diderita lanjut
(Wirakartakusumah, 2000).
xix
Proses menua merupakan suatu proses normal yang ditandai dengan
perubahan secara progresif dalam proses biokimia, sehingga terjadi kelainan atau
perubahan struktur dan fungsi jaringan, sel dan non sel. (Widjayakusumah, 1992). Proses
menjadi tua disebabkan oleh faktor biologi, berlangsung secara alamiah, terus menerus
pada jaringan tubuh dan akhirnya mempengaruhi fungsi, kemampuan badan dan jiwa
(Constantinides,1994).
Penderita usia lanjut lebih mudah terkena penyakit akut (infeksi dan penyakit
akut lain), namun terjadinya perubahan pada semua orang yang mencapai usia lanjut
tidak disebabkan oleh proses penyakit, (Brocklehurst and Allen,1987). Usia lanjut
merupakan kelompok yang rentan terhadap malnutrisi (WHO, 2002). Pertambahan usia
akan menurunkan kemampuan indera perasa, umumnya dimulai pada usia 60 tahun,
perubahan ini akan menyebabkan gangguan pada selera makan lansia sehingga dapat
Dengan menurunnya fungsi biologis sel dan organ, maka daya adaptasi
fungsi-fungsi tersebut untuk mengatasi gangguan fisik dan mental juga menurun.
Gangguan pada indera pengecap yang dihubungkan dengan kekurangan kadar Zn dapat
menurunkan nafsu makan. Gangguan fungsi mengunyah akibat banyaknya gigi geligi
yang sudah tanggal berdampak pada kurangnya asupan zat gizi baik itu zat gizi makro
maupun zat gizi mikro. Penurunan mobilisasi usus, menyebabkan gangguan pada saluran
pencernaan seperti perut kembung, nyeri yang menurunkan nafsu makan usia lanjut.
lain pihak, kondisi mobilisasi sendiri akan menurunkan kadar albumin serum yang bila
Perubahan yang terjadi pada lanjut usia ini sangat mempengaruhi kehidupan
lanjut usia dan sering menimbulkan gangguan psikososial seperti depresi, apatis dan
xx
penyebab utama imunodefisiensi, hal ini disebabkan sel imun mempunyai ketergantungan
yang tinggi terhadap energi dan asam amino yang diperlukan saat pemisahan sel dan
sintesa protein. Sistem daya tahan (sistem imun) tubuh lansia akan berkurang fungsinya,
yang mana sistem imun tidak bereaksi secepat atau seefisien yang didapati pada usia
yang lebih muda. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem imun meliputi
perubahan di dalam sel, perubahan kimiawi dan protein pada pembungkus (membran) sel,
maupun pada organ tubuh (www.waspadaonline.com 2006). Dari studi pendahuluan yang
kami lakukan, ditemukan bahwa rata-rata asupan energi pada lansia sebesar
1494.07±359.45 kkal dan rata-rata asupan protein pada lansia sebesar 51.08±12.81 gram.
Dari hasil studi pendahuluan tersebut terlihat bahwa asupan energi dan protein pada
lansia defisit.
Salah satu indikator malnutrisi adalah rendahnya albumin serum. Hal ini
akibat asupan protein yang tidak cukup dalam periode waktu yang lama atau akibat
kesalahan sintesis dari albumin. (Robinson, et al, 1990). Malnutrisi biasanya terjadi
apabila kadar albumin serum rendah. Peran protein albumin untuk tujuan klinis semakin
penting terutama untuk mencegah kekurangan energi protein. Serum albumin merupakan
salah satu parameter penting dalam mengukur status gizi pada pasien-pasien dengan
usia lanjut sebab kekurangan albumin pada darah lebih banyak terjadi pada usia lanjut
(The Cleveland Clinic Foundation, 2005). Beberapa studi menunjukkan bahwa lanjut usia
memerlukan lebih banyak protein dibanding orang dewasa muda untuk memelihara
keseimbangan nitrogen. Walaupun yang lain telah mengusulkan asupan protein yang
tahun) akan mengalami keseimbangan nitrogen negatif ketika mereka diberi makan
protein telur dengan RDA (0,8 gram per kg). Mereka direkomendasikan dengan protein
yang lebih tinggi dibanding RDA untuk umur diatas 70 tahun (Robinson et al., 1990).
sampai 50 g/dl. Angka ini akan berkurang pada keadaan hypoalbuminemia pada pasien-
pasien dengan penyakit serius demikian pula pada lansia (Kashmita et al., 1999).
xxi
Albumin dapat dipergunakan untuk mengukur status gizi sebagai prediksi
protein energi malnutrisi. Abumin meskipun tidak berhubungan dengan penurunan berat
badan tetapi berhubungan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian. Level
serum albumin merupakan elemen yang akurat dalam menyimpulkan status gizi yang
dapat dilanjutkan dengan perencanaan terapi gizi yang efektif untuk mengatasi kesakitan
pemberian makanan yang mengandung kadar albumin yang tinggi yaitu pemberian telur
(putih telur). Dengan mengkonsumsi telur maka pasien yang rendah albuminnya akan
mengganggu proses metabolisme tubuh. (Johannes, 1998). Selain itu, untuk mengatasi
satuan sekitar Rp 1.500.000. Bagi pasien dengan penghasilan rendah, tentu harga ini
sangat mahal, oleh karena itu perlu dicari alternatif lain sebagai sumber protein albumin.
Ikan gabus merupakan alternatif lain sebagai sumber protein albumin karena
yang cukup tinggi, lemak, air dan mineral. Terutama mineral zink (Zn) yang merupakan zat
gizi mikro sangat penting diperlukan oleh tubuh dalam meningkatkan daya tahan tubuh,
(Anonimous, 2003). Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu utama absorbsi Zn.
Albumin merupakan alat tranport utama Zn. Absorbsi Zn menurun bila nilai albumin
menurun misalkan dalam keadaan gizi kurang. Absorbsinya sangat tergantung dari
sumber bahan makanan. Zn lebih banyak ditemukan pada sumber protein yang berasal
dari binatang seperti ikan dan daging, dimana Zn akan terikat pada asam amino sehingga
mudah diabsorbsi (As’ad, 2001). Menurut Wirakusumah (2002) Zink dibutuhkan tubuh
untuk melawan infeksi, memperbaiki jaringan tubuh, serta mencegah gangguan prostat
dan ketidaksuburan atau infertilisasi. sehubungan dengan proses penuaan mineral ini
dapat mengembalikan fungsi kekebalan dan melawan radikal bebas. Zink juga dapat
kembali mengaktifkan kelenjar thymus untuk memprosuksi hormon timulan yang berfungsi
xxii
merangsang sel T. Disamping itu, meningkatkan produksi interleukin-1 yang mempunyai
fungsi sama dengan hormon timulan (Suara merdeka, 2004). Kandungan protein pada
ikan gabus yaitu 25,2 gram relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa jenis
ikan lainnya, misalnya ikan bandeng 20 gram, kembung 22 gram, dan ikan teri 16 gram.
Albumin dari ikan gabus tersebut dapat menggantikan albumin telur yang
selama ini dipergunakan, yang berasal dari putih telur. Hasil penelitian sebelumnya
diketahui bahwa dengan pemberian konsumsi ikan gabus masak beserta fitrat hasil
rebusannya ternyata mampu meningkatkan kadar albumin darah dan pengurangan luas
yang dilakukan oleh Suprayitno menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak dari 2 kilogram
ikan gabus per hari pada sejumlah pasien yang memiliki kadar albumin rendah (1,8g/dl),
dapat meningkatkan kadar albumin dalam darah pasien menjadi normal, yakni 3,5-5,5
gabus sebanyak 100 ml setiap hari selama 10 hari dapat meningkatkan kadar albumin dan
protein total pasien. Hal ini tampaknya diikuti oleh peningkatan status gizi dan konsumsi
pada kelompok intervensi. Rata-rata besar peningkatan kadar albumin yang terlihat
dalam penelitian ini sebesar 0.6 g/dl dibandingkan dengan kelompok kontrol (Taslim, dkk
2005). Walaupun demikian, mekanisme pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap
kadar albumin dan status gizi terutama pada lansia, sampai saat ini masih belum diketahui
dengan pasti begitu pula bagaimana mekanisme imun yang terjadi masih dalam tahap
pencarian.
B. Rumusan Masalah
xxiii
Belum diketahuinya patomekanisme hubungan hipoalbuminemia dengan
terjadinya malnutrisi pada lansia. Khususnya peranan ekstrak ikan gabus dalam
mekanisme tersebut.
intervensi pada lansia hipoalbuminemia dengan suplementasi protein albumin ikan gabus.
Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pemberian ekstrak ikan gabus.
intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pemberian ekstrak ikan
gabus.
dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pemberian ekstrak ikan gabus.
D. Manfaat Penelitian
xxiv
a. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk
peningkatan pelayanan gizi masyarakat dalam upaya pelayanan kuratif, preventif, dan
b. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui strategi alternatif untuk penanggulangan
masalah kesehatan dengan pemberian albumin dan makanan lengkap yang cukup
d. Bertambahnya wawasan dan informasi peneliti dalam bidang gizi khususnya pada
xxv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Lansia
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan
memperbaiki atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
(Darmodjo, 2002). Menjadi tua atau menua adalah suatu keadaan yang terjadi karena
suatu proses, yang disebut proses menua. Proses menua adalah proses sepanjang hidup,
tidak dimulai dari suatu waktu yang pasti, berlangsung sejak awal sampai akhir kehidupan
(Rohmah, 2002).
anatomi, fisiologi dan biokimia menuju titik kehidupan maksimal sebagai seorang manusia
pada puncak kehidupan produktif. Selama proses menua, akan terjadi perubahan-
perubahan yang meliputi jumlah, konfigurasi, komposisi sel serta perubahan perbandingan
persentase jumlah sel lemak, menurunnya jumlah sel solit, massa tulang dan air dalam
tubuh (Mariman, 1989). Proses menua pada akhir kehidupan adalah suatu proses yang
mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang rapuh, disertai penurunan
xxvi
kerentanan orang tersebut terhadap penyakit dan kematian (Miller R.A., 1994 dalam
Nurhayati, 2005).
Manula adalah fenomena alamiah sebagai faktor akibat proses menua. Oleh
karena itu fenomena ini bukanlah suatu penyakit yang terjadi pada manula, melainkan
suatu keadaan yang terjadi secara wajar yang bersifat universal. Proses menua bersifat
regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologis serta sosial budaya (Sirait dan
Riyadina, 1999).
Usia lanjut adalah seorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas
(Darmodjo R.B, 1999). Sedangkan menurut Arisman (2004) usia lanjut adalah mereka
Berbagai perubahan fisik dan psikososial akan terjadi sebagai akibat proses
menua. Telah banyak teori yang menjelaskan tentang proses menua, salah satunya
adalah teori kerusakan akibat radikal bebas. Kerusakan acak di jaringan akibat
terbentuknya radikal bebas pada metabolisme aerob normal dianggap penyebab proses
menua. Radikal bebas juga menyebabkan disfungsi sel yang dapat mengakibatkan
antioksidan terhadap serangan radikal bebas di tingkat sel, membran dan ekstra sel,
sehingga akan ada keseimbangan antara akibat produksi radikal bebas dan kerja
Mengenai kapan orang disebut usia lanjut, sulit dijawab secara memuaskan.
Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan umur usia lanjut.
sampai 59 tahun
xxvii
4) Usia sangat tua (very old) = diatas 90 tahun
Beliau adalah Guru Besar Universitas Gajah Mada pada Fakultas Kedokteran,
dinyatakan sebagai berikut : ”seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau
usia lanjut setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai
atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan
menerima nafkah dari orang lain”. Namun pengertian ini sudah diperbaharui dengan
xxviii
yang berbunyi sebagai berikut: ” Usia lanjut adalah seseorang yang mencapai usia 60
Widya Karya Pangan dan Gizi (1988) yang digolongkan manula adalah
dihadapinya.
3. Proses Penuaan
1) Menurut H.P. Von Hahn (1975), proses penuaan merupakan suatu proses
proses penuaan yang terjadi pada hewan menyusui dan manusia adalah
sebagai berikut:
xxix
b) Terjadinya perubahan kimiawi dalam sel dan jaringan tubuh
di lingkungannya.
b. Teori Penuaan
dengan kematian. Penuaan juga menyangkut perubahan struktur sel, akibat interaksi
Teori biologis tentang proses penuaan dapat dibagi menjadi teori intrinsik dan
ekstrinsik. Intrinsik berarti perubahan yang berkaitan dengan usia timbul akibat
1) Teori Genetik
Teori ini merupakan teori intrinsik yang menjelaskan bahwa di dalam tubuh
terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan jalannya proses
spesies mempunyai batas usianya. teori genetik mengakui adanya mutasi somatik
penggandaan desoxyribonucleic acid atau DNA. Sel tubuh sendiri membagi diri
Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya program jam
genetik didalam nuklei. Jam ini akan berputar dalam jangka waktu tertentu dan
jika jam ini sudah habis putarannya maka, akan menyebabkan berhentinya proses
xxx
mitosis. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Haiflick, (1980) dikutif Darmojo
dan Martono (1999) dari teori itu dinyatakan adanya hubungan antara
kemampuan membelah sel dalam kultur dengan umur spesies Mutasi somatik
(teori error catastrophe) hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam
diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur. Menurut teori
ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan
Kegiatan gen pada manusia dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu yang
pembentukan berbagai enzym yang melindungi sel dari zat-zat yang berbahaya
berperan pada penggandaan DNA dan perbaikan DNA yang rusak, sehingga
Dengan demikian gen akan mengurangi pengaruh protein yang abnormal, yang
methylasi DNA yang sering terjadi pada usia lanjut. Methylasi DNA dikaitkan
dengan X-kromosom yang tak aktif, sehingga menimbulkan kerusakan sel pada
lanjut usia.
Teori ini merupakan teori ekstrinsik dan terdiri dari berbagai teori seperti:
xxxi
a) Teori Radikal Bebas
Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas dalam
protein, dan asam lemak tak jenuh. Menurut Oen (1993) yang dikutip dari
Darmojo dan Martono (1999) menyatakan bahwa makin tua umur makin
elektron bebas tak berpasangan. Radikal bebas ini terjadi dalam sistem
pestisida, zat pengawet makanan, kerusakan sel atau sel mati pada penyakit
seperti hepatitis dan kanker. Karena radikal bebas sangat aktif, zat ini mudah
terikat dengan molekul lain dan fungsi molekul berubah. Radikal bebas dapat
terikat pada DNA dan RNA pada inti sel, sehingga terbentuk protein yang
Radikal bebas cepat dirusak oleh enzym di dalam tubuh seperti superoxide
terikat merusak sel dan mengganggu fungsi sel dan dapat menimbulkan
umumnya radikal bebas terdapat dalam bentuk peroxydase dan molekul yang
Teori ini menjelaskan bahwa molekul kolagen dan zat kimia mengubah fungsi
xxxii
c) Teori Kekebalan (Immunologic Theory)
kekebalan menurun.
Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein pasca translasi yang
menyebabkan terjadinya kelainan pada permukaan sel, maka hal ini akan
(1989) dikutip dari Azis (1994). Hal ini dibuktikan dengan makin bertambahnya
dan Martono, 1999). Dipihak lain sistem imun tubuh sendiri daya
kekebalan tubuh.
Pada usia lanjut fungsi kekebalan dan mekanisme pertahanan tubuh menurun
xxxiii
Peningkatan angka kesakitan dan kematian pada lanjut usia ini sejalan pula
kelenjar limfa, limpa, sumsum tulang, tonsil, kelenjar thymus dan kelenjar
pernafasan. Jaringan ini terdiri dari sekumpulan sel yang berfungsi mengatur
yang terdiri dari sel B pembentuk immunoglobulin dan sel T (Thymus derived)
Pada lanjut usia perubahan fungsi kekebalan yang dapat diukur adalah:
2. Produksi dan reaksi terhadap IL-2 (T Cell Growth Factor, TGCF) terbukti
in vitro
xxxiv
6. Sintesa Anti-idiotype antibodies.
d) Teori Fisiologi
Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik. Terdiri dari teori oksidasi
stress (oxidative stress theory) dan teori dipakai aus (wear-and-tear theory)
MPP 5-OHDA, Nitric oxide dan amyloid toxicity. Hal ini menyebabkan
Setelah menginjak usia dewasa, sel dan jaringan tidak tumbuh lagi.
Selanjutnya terjadi fase disintegrasi jaringan dan organ tubuh yang sering
dipakai. Bila tidak ada proses perbaikan atau penggantian sel atau jaringan,
proses tersebut akan diakhiri dengan kematian. Mekanisme dipakai dan aus
Proses perbaikan dan penggantian sel dimungkinkan bila pada lanjut usia
tersedia daya dan sarana yang memang ada pada saat itu atau telah
pada saat masih muda (Kirkwood, 1981) perbaikan juga dimungkinkan oleh
reaktivasi sistem cell untuk mengembalikan fungsi sel yang berkurang atau
rusak.
xxxv
Dalam abad ke-19, seorang ahli biologi bernama Weissman membedakan
dua jenis sel manusia, yaitu sel tubuh (somatic cells) dan sel kelamin (germ cells).
Karena diferensiasi sel tubuh dan kegagalan untuk membelah diri, akhirnya sel tubuh
mengalami proses penuaan dan akhirnya terjadi kematian pada manusia tersebut.
pada tahun 1911, yang berhasil mempertahankan kehidupan sel jantung anak ayam
selama 34 tahun. Menurut pendapatnya, sel tubuh dapat dipertahankan lama, yang
menanam sel tubuh manusia dalam kultur jaringan dan menemukan bahwa setelah
terjadi proliferasi atau pembelahan sel yang cepat, disusul dengan penurunan
proliferasi yang diartikan mereka sebagai proses penuaan sel dan kemudian disusul
sel otot polos, sel endotel, sel glia dan limfosit. masing-masing sel mempunyai jalur
perjalanan menuju masa penuaannya sendiri dan bila sel tidak dapat lagi
belum mati.
(DNA).
enzym.
xxxvi
e) Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah
dan hati.
g) Penambahan lipofuscin.
tersisa
somatostatin.
xxxvii
d) Terbentuknya struktur abnormal di otak dan
neurofibrillary tangle.
4) Perubahan jaringan:
elastin
Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang
masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output) akan zat
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat mengalami keadaan
gizi lebih maupun kekurangan gizi. Gangguan gizi yang muncul pada usia lanjut dapat
menjelaskan munculnya penyakit. Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena
ketidaktahuan, isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup,
gangguan fisik, gangguan panca indera, gangguan mental, kemiskinan. Sebab sekunder
Pola makan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi
atau pemenuhan kebutuhan gizi. Kebutuhan gizi seseorang bervariasi yaitu gizi menurut
golongan umur, jenis kelamin, aktivitas dan kondisi khusus seperti pada masa kehamilan
dan menyusui. Kebutuhan gizi usia lanjut tidak hanya dilihat dari kuantitas tetapi harus
xxxviii
Laju metabolisme tubuh pada usia lanjut cenderung menurun, sehingga
tingkat kegiatan tubuh biasanya berkurang yang mengakibatkan kebutuhan kalori relatif
lebih rendah daripada ketika masih muda atau dewasa. Kebutuhan nutrisi seperti vitamin,
mineral, protein, dan sebagainya boleh jadi tidak berkurang, bahkan bertambah. Kalsium,
misalnya, dibutuhkan lebih banyak oleh orang dewasa, terlebih wanita yang telah
Pola makan yang sehat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keadaan kesehatan seseorang. Agar usia lanjut selalu sehat, maka pola makan setiap hari
diusahakan bisa memenuhi gizi seimbang, yaitu makanan yang dikonsumsi harus dapat
memenuhi kebutuhan setiap zat gizi, yaitu mengandung zat penghasil tenaga, zat
pembangun, dan zat pengatur. Pola makan yang memenuhi gizi seimbang dapat
dilakukan dengan menerapkan 13 Pesan Umum Gizi Seimbang (PUGS) (Depkes, 1995),
namun bagi usia lanjut hanya meliputi 7 (tujuh) pesan (Depkes, 2002), yaitu:
kecukupan energi
Proses biologis yang terlihat secara fisik dengan perubahan yang terjadi pada
tubuh dan berbagai organ serta penurunan fungsi organ tersebut. Perubahan secara
biologis ini dapat mempengaruhi status gizi pada masa tua, yaitu:
1. Massa otot yang berkurang dan massa lemak yang bertambah, mengakibatkan
jumlah cairan tubuh juga berkurang, sehingga kulit kelihatan mengerut dan kering,
xxxix
wajah keriput serta muncul garis-garis yang menetap. Oleh karena itu pada usia lanjut
menyuburkan massa lemak. Massa tubuh yang tidak berlemak berkurang sebanyak
6,3%, sementara massa lemak meningkat 2% dari berat badan per dekade setelah
(untuk wanita) sampai 12 kilogram (untuk pria) pada usia 25 – 70 tahun, sementara
ukuran otot mengkerut hingga 40%. Organ tubuh lain yang juga ikut mengecil ialah
ginjal (9%), hati (18%), dan paru-paru (11%). Sejalan dengan pengecilan ini, jumlah
total cairan tubuh ikut berkurang, dari 70% menjadi 60% (Arisman, 2004).
mengunyah yang berdampak pada kurangnya asupan zat gizi pada usia lanjut.
seperti perut kembung, nyeri yang menurunkan nafsu makan usia lanjut. Penurunan
mobilitas usus dapat juga menyebabkan susah buang air besar yang dapat
menyebabkan wasir.
aktivitas/kegiatan sehari-hari.
6. Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sel otak, yang menyebabkan penurunan
xl
7. Akibat proses menua, kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah
besar juga berkurang. Akibatnya dapat terjadi pengenceran Natrium sampai terjadi
masalah yang dialami usia lanjut, sehingga mereka sering mengurangi minum yang
berkurang, dan indera penciuman juga mengalami penurunan, sehingga tidak bisa
Diperkirakan 50% golongan usia 65 tahun ke atas sudah kehilangan semua giginya.
dan zat besi. Bila berlanjut terus, keadaan ini dapat menyebabkan anemia.
xli
para usia lanjut selain karena gurih juga makanan lebih empuk. Kondisi
pengecap rasa manis dan rasa asin. Karena itu pada usia lanjut,
Pemakaian garam, gula dan berbagai bumbu penyedap jadi lebih tinggi.
kapur, zat besi dan mineral lain. Lembaga Usia Lanjut Amerika Serikat
sindroma otak “ pada usia lanjut, seperti mudah lupa, kepikunan, dan
xlii
sebagainya. Gastritis khronis dan konstipasi juga berkenaan dengan
Pada usia lanjut produksi berbagai hormon sangat menurun. Produksi hormon
lain sangat menurun pada usia lanjut sehingga keseimbangan hormon dalam tubuh
terganggu. Hal ini membawa dampak terhadap metabolisme zat gizi, sehingga
penyakit gangguan metabolisme lebih sering terjadi pada usia lanjut (Moehji, 2003).
acap kali tidak disadari oleh yang bersangkutan. Perubahan cita rasa kerap
kali terjadi pada usia lanjut. Cita rasa dikontrol oleh jumlah dan tingkat
wilayah tersebut. Pada usia lanjut terjadi penurunan jumlah perasa serta
atrofi pada perasa yang ada. Perubahan yang ternyata lebih berperan
adalah meningkatnya ambang rasa terhadap rasa manis, asin, asam dan
xliii
mulut yang makin buruk karena aliran bolus menjadi kurang lancar.
juga dapat turut berkontribusi dalam berkurangnya cita rasa. Status gizi
Gangguan
pencernaan
kondisi yang umum terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit yang serius dan
xliv
Hipoalbuminemia adalah kekurangan albumin pada darah, lebih banyak
terjadi pada pasien usia lanjut. Albumin adalah protein yang terdapat dalam darah.
Kadar Albumin serum yaitu dari 3.5-4.5 gr/dL, dengan total 300-500 gram.
Sintesis terjadi hanya di dalam hati dengan jumlah kadar kira-kira 15 gr/dL pada orang
yang sehat, tetapi kadar itu bisa berubah tergantung dari tekanan physiologic. Waktu
paruh dari albumin serum adalah kira-kira 20 hari, dengan derajat penurunan kira-kira 4%
per hari. Hypoalbuminemia adalah suatu masalah yang umum terjadi pada orang-orang
dengan kondisi medis akut dan kronis. Di rumah sakit 20% dari pasien-pasien menderita
dan kronis.
yang lebih tua. Albumin serum yang rendah merupakan alat ukur yang penting dalam
kesakitan dan kematian. pada sebuah studi kohor meta analisis ditemukan bahwa dengan
sebanyak 137% dan kesakitan sebanyak 89%. Pasien-pasien dengan albumin serum
yang kurang dari 35 gr/dl pada 3 bulan yang dikeluarkan dari rumah sakit 26 kali lebih
besar mengalami kematian di tahun ke lima dibanding mereka yang mempunyai albumin
ketersediaan bahan mentah sintesis protein, yaitu asam-asam amino yang berasal dari
makanan. Kelompok kedua ialah yang disebabkan oleh gangguan tempat sintesis, yaitu
xlv
organ hati. Kelompok ketiga disebabkan oleh terjadinya kehilangan albumin melalui alat
Sumber bahan baku untuk sintesis protein apapun di dalam tubuh ialah asam-
asam amino yang berasal dari hasil hidrolisis protein makanan. Apabila jumlah bahan
baku ini, yaitu protein makanan, tidak mencukupi keperluan yang paling dasar, tubuh tidak
akan mampu mensintesis protein termasuk albumin, dalam jumlah yang cukup. Keadaan
seperti ini terjadi pada bencana kelaparan dan pada penyakit kekurangan kalori dan
protein (KKP), yang lazim juga disebut sebagai malnutrisi (malnutrition). Keadaan
hipoalbuminemia juga dapat terjadi, meskipun jumlah protein yang masuk ke dalam tubuh
cukup dan sel-sel hati berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hal ini gangguan dapat
asam-sam amino tidak berjalan dengan lancar. Akibatnya, jumlah asam-asam amino yang
dihasilkan dalam proses pencernaaan untuk diserap menjadi tidak cukup lagi. Bila
keadaan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, tentu akan terjadi kekurangan
asam amino yang kronis sehingga proses sintesis protein akan terganggu. Selain itu,
mungkin saja fungsi pencernaan berjalan sempurna, tetapi sel-sel mukosa usus yang
yang sampai ke berbagai organ, termasuk hati yang mensintesis albumin, juga berkurang.
Jelaslah bahwa salah satu dari keadaan tersebut akan menyebabkan berkurangnya asam
amino yang tersedia bagi sintesis protein oleh berbagai organ, termasuk hati.
menyebabkan berkurangnya konsentrasi protein ini di dalam darah, meskipun tidak ada
masalah sama sekali dengan pasokan, asupan protein dan ketersediaan asam amino bagi
sel-sel hati. Pada kenyataannya, memang dalam kelainan hepatosit yang disebabkan oleh
faktor apapun juga, hipoalbuminemia merupakan gejala umum yang selalu ditemukan.
Penyakit-penyakit seperti radang hati (hepatitis) yang disebabkan oleh berbagai virus atau
mikroorganisme lain seperti cacing, kerusakan sel-sel hati yang disebabkan oleh
xlvi
degenerasi hati seperti sirosis hati, sampai kanker sel-sel hati, selalu ditandai oleh
keadaan hipoalbuminemia.
Albumin akan hilang dari darah melalui alat eksresi, terutama ginjal. Dalam
atau sindroma nefrotik terjadi kebocoran albumin melalui pori-pori membran basal dari
glomerulus. Seharusnya, membran ini tidak dapat ditembus oleh albumin, oleh karena
pori-porinya lebih kecil daripada ukuran molekul protein ini. Akan tetapi dalam penyakit-
penyakit ginjal, albumin dapat lolos melalui lubang pori tersebut dan keluar bersama air
mengalami albuminuria (adanya albumin di dalam air kencing). Selain dalam kelainan
ginjal, albuminuria ini juga terjadi pada penyakit kehamilan, yaitu eklampsia dan
preeklampsia.
dari dalam ruang pembuluh darah ke ruang antar sel di luar pembuluh darah. Keadaan ini
akan menyebabkan sembabnya jaringan, yang dapat dilihat dan diraba. Keadaan ini
dikenal juga sebagai edema. Dari fakta ini dapat disimpulkan, bahwa salah satu dari
sehingga air akan mudah bergeser ke jaringan interstisial di luar ruang pembuluh darah.
gigi geligi dan menurunnya nafsu makan. Berkurangnya nafsu makan pada usia lanjut
antara lain disebabkan faktor fisik dan sosial, seperti rasa terisolasi (sendiri tanpa ada
teman), masalah keuangan, depresi, dan beberapa penyakit seperti parkinson dan
Dengan meningkatnya usia, fungsi fisiologis tubuh akan menurun. Hal yang
sama juga terjadi pada nafsu makan karena fungsi organ pencernaan termasuk gigi geligi
menurun fungsinya. Daya kecap serta daya penciuman juga sudah tidak setajam saat
xlvii
masih muda. Waktu pengosongan lambung berjalan lebih lambat yang akan
menyebabkan lansia selalu merasa kenyang. Sehingga selain gizi seimbang, beberapa
vitamin dan mineral seperti beta karoten (pro-vitamin A), B, C, D, E, Zink (Zn), Mangan
(Mn) dan Tembaga (Cu), Zat Besi, Kalsium, dan Fosfor perlu ditambahkan pada makanan
lansia.
Indonesia menjelaskan bahwa defisiensi kalsium, fosfor dan vitamin D akan menyebabkan
Sementara defisiensi asam folat dan vitamin B12 menyebabkan anemia dan
untuk mengatasi kelelahan otot dan hipertensi, Zat besi diperlukan untuk anemia zat besi.
Nafsu makan lansia menurun karena faktor sosial, psikologis dan penyakit
sehingga status nutrisinya terganggu. Tiap lansia rata-rata menderita empat jenis
penyakit, antara lain hipertensi, gangguan kolesterol, ginjal dan rematik. Hal itu
menyebabkan para lansia cepat merasa lelah dan lemah serta mudah bingung (Balipost,
2008).
berkurang kemampuannya. Kepekaan terhadap rasa manis dan rasa asin makin
berkurang. Disamping itu indera penciuman juga mundur. Oleh karena itu menjelang usia
senja orang tidak lagi menikmati makanan secara maksimal. Reaksi orang dalam keadaan
demkian bisa bermacam-macam sehingga hal ini menimbulkan beberapa akibat buruk
bagi tubuh, pertama, mulai menghindari makanan atau tidak mau makan sehingga
keadaan gizi dan kesehatan makin merosot. Akibatnya banyak lansia yang menderita
untuk menelan makanan. Air ludah yang berkurang ini juga akan menyebabkan kerusakan
gigi karena salah satu fungsi air ludah adalah sebagai pembersih gigi. Lansia dengan gigi
yang tidak lengkap lagi akan mempunyai masalah dalam mengunyah makanan. Lambat
xlviii
laun daya penerimaan makanan oleh lambung makin berkurang. Ada kecenderungan
mereka hanya makan yang lunak-lunak, seringkali berenergi ( kalori dan lemak) tinggi,
tetapi kandungan zat gizi lainnya rendah. Produksi asam lambung juga berkurang yang
menyebabkan rendahnya penyerapan zat kapur (kalsium) dan zat besi, juga penyerapan
vitamin B12 menurun. Apabila keadaan ini berlangsung cukup lama maka akan muncul
gejala kurang darah (anemia). Kekurangan zat kalsium akan menyebabkan tulang
pengecapan perlahan-lahan mulai menurun. Perubahan ini acapkali tidak disadari oleh
yang bersangkutan. Perubahan cita rasa kerapkali terjadi pada usia lanjut. Cita rasa
dikontrol oleh jumlah dan tingkat fungsi perasa di lidah dan faring serta integritas suplai
persyarafan ke wilayah tersebut. Pada usia lanjut terjadi penurunan jumlah perasa serta
atrofi pada perasa yang ada. Perubahan yang ternyata lebih berperan adalah
meningkatnya ambang rasa terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit (Harjodisastro
dkk, 2006).
Protein merupakan zat gizi penting karena yang paling erat hubungannya
dengan proses-proses kehidupan serta merupakan polimer asam amino yang mencapai
jumlah sekitar 17% dari jaringan tubuh. Secara umum fungsi protein adalah untuk
memelihara stuktur tubuh, mobilisasi konsentrasi myosin/aktin pada otot rangka, sebagai
alat transport membran, untuk sintesis protein visceral seperti albumin dan imunoglobulin
(Stepanuk, 2000, Linder, 1992). Asam amino terdapat dalam tubuh yang setiap saat siap
untuk dipergunakan sebagai cadangan, terdiri atas asam amino di dalam darah maupun di
xlix
Sejumlah asam amino terdapat dalam tubuh yang setiap saat siap untuk
dipergunakan sebagai cadangan. Cadangan ini terdiri atas asam amino di dalam darah
maupun di dalam jaringan (hati, otot) yang cukup labil dan mudah dimobilisasikan untuk
Sepertiga kebutuhan asam amino diperlukan setiap hari dalam diit dan
sebagai sintesis albumin dan protein plasma yang kemudian memasuki sirkulasi. Hampir
semua protein plasma didegradasi terutama oleh hati, tetapi tidak ada satu organ yang
sumber asam amino yang siap digunakan, sebagai alat transport asam amino ke jaringan
permukaan untuk menggantikan yang hilang, sintesis di hati, otot dan organ lain, berfungsi
dalam sistem enzimatik, dan bertanggung jawab dalam kekebalan alamiah (Price, 1984,
Stepanuk, 2000).
Setiap hari tubuh diperkirakan mensintesis protein aktif sebanyak 205 gram
dan sebanyak 35 gram pada organ lain yang membutuhkan sejumlah asam amino.
Sepertiga dari kebutuhan asam amino ini harus disediakan dari makanan harian (asam
amino eksogen) dan selebihnya dari turnover protein endogen (Linder, 1992; Stepanuk,
2000).
protein harian dan keadaan fisiologis individu. Bila dalam keadaan puasa dimana
konsumsi protein rendah, maka ekskresinya sedikit. Bila konsumsi meningkat atau
melalui sistem darah porta, asam amino masuk ke hati. Oleh sel-sel hati sebagian besar
asam amino dipergunakan untuk pembentukan protein tubuh. Bila kelebihan asam amino
atau tidak tersedia cukup karbohidrat dan lemak untuk energi, sebagian asam amino
dipecah untuk menghasilkan energi, dan masuk dalam siklus Tricarboxil Citric Acid (TCA).
Hanya sedikit asam amino yang disimpan sebagai cadangan (Amino Acid Pool).
l
Amino acid pool merupakan cadangan yang sewaktu-waktu dapat
dimobilisasikan oleh tubuh, tetapi sebenarnya mempunyai suatu fungsi tertentu di dalam
jaringan, misalnya sebagai albumin dalam cairan darah atau sebagai sel otot skelet atau
pula sebagai protein metabolik yang terdapat dalam sitoplasma. Namun bila diperlukan
dalam sintesa protein lain yang lebih penting, sedangkan bahan dari protein makanan
tidak cukup, maka amino acid pool ini dapat melepaskan fungsi yang sedang dipenuhi dan
tersedia untuk dipergunakan dalam sintesa protein baru tersebut (Sediaoetama, 1985).
dan asam amino di dalam pool, artinya asam amino di dalam pool dan di dalam jaringan
tersebut selalu saling dipertukarkan, dengan flux total yang sama menuju ke kedua
arahnya. Amino acid pool yang terbesar terdapat dalam bentuk jaringan otot skelet. Bila
penyediaan protein dari makanan tidak mencukupi dan diperlukan asam-asam amino
untuk sintesa protein tubuh yang tidak dapat ditunda, maka sel otot-otot tertentu dipecah
dan asam aminonya masuk ke dalam pool untuk dipergunakan. Maka otot-otot menjadi
atrofis, dan kekuatannya menurun. Namun hal ini tidak mengganggu fungsi tubuh secara
keseluruhan, karena otot yang dimanfaatkan tersebut tidak begitu sering dipergunakan
(alanin, serin, glisin, metionin, triptopan) diubah menjadi piruvat, disebut asam amino
glukogenik; Sepertiga asam amino (fenilalanin, tirosin, leusin, isoleusin, lisin) diubah
menjadi asetil Co-A, disebut asam amino ketogenik, dapat diubah jadi lemak; Sepertiga
asam amino sisanya kecuali asam aspartat diubah menjadi glutamat, dideaminase dan
langsung masuk ke dalam siklus TCA (Linder, 1992; Stepanuk, 2000, Almatsier, 2001).
Deaminase asam amino terjadi bila asam amino digunakan sebagai sumber
energi atau membentuk lemak tubuh. Hasil deaminase adalah asam keto dan ammonia
(NH3). Amonia merupakan basa yang bersifat racun, bila berlebihan dalam tubuh akan
Perubahan amonia hasil deaminase asam amino menjadi ureum oleh sel-sel
hati. Kelebihan amonia harus didetoksikasi. Amonia yang tidak digunakan bergabung
li
dengan CO2 dan menghasilkan ureum yang tidak terlalu beracun. Perubahan ini melalui
siklus urea yang kompleks. Ureum oleh hati dikeluarkan melalui peredaran darah melalui
ginjal. Oleh ginjal ureum akan dikeluarkan dari tubuh melalui urine. Dalam keadaan
normal, hati dapat mengubah semua amonia menjadi ureum dan mengeluarkan ke dalam
aliran darah masuk ke ginjal. Ginjal kemudian membersihkan darah dari amonia dan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui urine. Bila konsumsi protein berlebihan, produksi
ureum akan meningkat. Untuk mengeluarkannya diperlukan air agar dapat keluar dalam
urea dan diekskresikan melalui ginjal dalam air seni. Bila air seni dibiarkan di udara
terbuka, ureum akan dipecah oleh mikroba, menghasilkan amonia yang menguap dan
tubuh, tetapi dipergunakan lagi dalam sintesa protein tubuh. Ada pula nitrogen yang
terbuang di permukaan kulit dalam sel-sel yang aus terlepas atau dalam rambut yang
putus terbuang. Nitrogen juga ada yang ikut terbuang dalam tinja, karena terbuang di
dalam cairan pencernaan atau dalam sel-sel epitel usus yang terlepas dan terbuang aus
Protein yang telah dihidrolisis dalam lambung oleh pepsin menjadi polipeptida dan
asam amino, dalam rongga duodenum mengalami pencernaan lebih lanjut. Polipeptida
dicerna lagi oleh enzim tripsin dan chimotripsin menjadi peptida yang lebih sederhana.
Agar supaya dapat diserap oleh villi usus, peptida dihidrolisir lagi oleh enzim erepsin
menjadi asam amino. Dalam Yeyunum proses pencernan protein telah selesai dengan
hasil akhir protein adalah asam amino yang siap untuk diabsorbsi. Proses absorbsi
sebagian besar terjadi di dinding ileum. Sebagian asam amino diserap melalui villi ileum
secara pasif dan sebagian lainnya diserap secara aktif selektif, kemudian dialirkan melalui
lii
Metabolisme protein dimulai setelah protein dipecah menjadi asam amino.
Melalui sistem darah porta, asam amino masuk ke hati. Oleh sel-sel hati sebagian besar
asam amino digunakan untuk pembentukan protein tubuh. Sebagian dari asam amino
hasil pencernaan protein dirubah menjadi senyawa-senyawa lain misalnya darah, enzim,
Gambar 2.2 Metabolisme protein manusia (berat badan 62,5 kg dengan 10.900 8 protein1)
240g disintesis dan didegradasi setiap hari2). Angka menunjukkan per hari. (1)
Penyerapan asam amino dan peptida setelah pencernaan; (2) Pengambilan
asam amino oleh hati; (3) sintesis protein hati dan plasma, terutama albumin;
(4) katabolisme kelebihan asam amino; (5) distribusi asam amino ke bagian
tubuh lainnya: (6) Pengambilan oleh sel-sel urat daging pankreas dan epitel; (7)
ekskresi N-asam amino dalam berbagai bentuk. Catatan kaki: 1) 10.900 g
protein berdasarkan pada 17,5 96 protein dari berat badan; 2) 240 g sintesis
protein/degradasi setiap hari berdasar pada kalkulasi Clifford (1980) ; 3) Irwin
(1971b); 4) Cahill (1973); 5) Dihitung dari Tannenbaum (1978). (Sumber:
Modifikasi dari Munro dan Crim, 1980).
liii
Hasil metabolisme protein diperlukan untuk pembentukan sel-sel jaringan baru
yang menghasilkan pertumbuhan badan, membentuk otot dan struktur tubuh serta untuk
menggantikan sel-sel yang telah usang. Disamping itu digunakan pula untuk pembentukan
sel-sel antibodi dari sistim kekebalan tubuh yang berperan dalam mempertahankan badan
merah, berbagai enzim dan hormon ikut serta mempertahankan keseimbangan asam
Asam amino diperlukan sekitar 1/3 setiap hari dalam diit dapat dilaporkan
sebagai sintesis albumin dan protein plasma lain yang kemudian memasuki sirkulasi.
Hampir semua protein plasma di degradasi terutama oleh hati, tetapi tidak ada satu organ
yang menjadi tempat katabolisme utama. Jadi yang mungkin adalah bahwa albumin
sebagai asam amino simpanan/yang disimpan sementara atau sebagai alat pengangkut
asam amino kejaringan permukaan untuk menggantikan yang hilang (Linder, 1992). Pada
keadaan sakit berat kehilangan nitrogen dalam urine biasanya meningkat 50 sampai
100%. Karena 1 gr nitrogen mewakili kira-kira 30 gr massa otot tubuh. Penyakit berat akan
menyebabkan hilangnya 0,6 kg massa otot tubuh perhari, sebagian besar kehilangan ini
berasal dari otot rangka dan pengeluaran asam amino dari otot rangka meningkat 2-6 kali
lipat pada pasien yang sakit kritis. Peningkatan pengeluaran dari otot rangka disebabkan
(Harrison,1999).
Setiap hari tubuh diperkirakan mensintesis protein aktif sebanyak 205 gram dan
sebanyak 35 gram pada organ lain yang membutuhkan sejumlah asam amino. Sepertiga
dari kebutuhan asam amino ini harus disediakan dari makanan harian (asam amino
Dalam keadaan darurat, apabila glikogen dan lemak sebagai cadangan energi
habis terpakai, misalnya waktu bekerja berat atau kelaparan, maka asam amino dapat
mengalami deaminase yaitu melepaskan gugus amino (NH2). Proses ini membutuhkan
liv
vitamin B6 sebagai ko-enzim. Kemudian asam amino mengalami katabolisme (Tirtawinata,
2006).
serin, glisin, metionin, triptopan) diubah menjadi piruvat, disebut asam amino glukogenik;
Sepertiga asam amino (fenilalanin, tirosin, leusin, isoleusin, lisin) diubah menjasi asetil Co-
A, disebut asam amino ketogenik, dapat diubah jadi lemak; Sepertiga asam amino sisanya
kecuali asam aspartat diubah menjadi glutamat, dideaminase dan langsung masuk siklus
Deaminasi asam amino terjadi bila asam amino digunakan sebagai sumber
energi atau membentuk lemak tubuh. Hasil deaminasi adalah asam keto dan amonia
(NH3). Amonia merupakan basa yang bersifat racun, bila berlebihan dalam tubuh akan
Perubahan amonia hasil deaminase asam amino menjadi ureum oleh sel-sel
hati. Kelebihan amonia harus didetoksikasi. Amonia yang tidak digunakan bergabung
dengan CO2 dan menghasilkan ureum yang tidak terlalu beracun. Perubahan ini melalui
siklus urea yang kompleks. Ureum oleh hati dikeluarkan melalui peredaran darah melalui
ginjal. Oleh ginjal ureum akan dikeluarkan dari tubuh melalui urin (Tirtawinata, 2006).
Dalam keadaan normal, hati dapat mengubah semua amonia menjadi ureum dan
darah dari amonia dan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui urin. Bila konsumsi protein
berlebihan, produksi ureum akan meningkat. Untuk mengeluarkannya diperlukan air agar
dapat keluar dalam keadaan larut (Linder, 1992; Stepanuk, 2000; Almatsier, 2002).
Nitrogen yang dilepaskan pada proses deaminase masuk ke dalam siklus urea
dan diekskresikan melalui ginjal dalam air seni. Bila air seni dibiarkan di udara terbuka,
ureum akan dipecah oleh mikroba, menghasilkan amonia yang menguap dan memberikan
bau khas air seni (pesing). Nitrogen yang dilepaskan pada proses transaminasi tidak
dibuang ke luar tubuh, tetapi dipergunakan lagi dalam sintesa protein tubuh. Ada pula
nitrogen yang terbuang dipermukaan kulit dalam sel-sel yang aus terlepas atau dalam
rambut yang putus terbuang. Nitrogen juga ada yang ikut terbuang dalam tinja, karena
lv
terbuang di dalam cairan percernaan atau dalam sel-sel epitel usus yang terlepas
2. Kebutuhan Protein
Kebutuhan basal protein untuk orang dewasa sehat adalah 0,8-1 gr/kg BB/24
jam, pada kondisi dimana terjadi katabolisme berat, kebutuhan tersebut meningkat sampai
1,5-2 gr/hari (Jaya W., 2002). Dalam membantu terpenuhinya energi, tiap gram protein
mensuplai 4 kalori. Dengan demikian untuk mencukupi kekurangan energi 210 kalori
saluran cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-
jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Kekurangan protein, menyebabkan
gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi. Seseorang yang menderita
kekurangan protein lebih rentan terhadap bahan-bahan racun dan obat-obatan. Serta
tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, kreativitas dan produktifitas kerja
salah satu komponen penting yang perlu disertakan guna membantu mendorong
metabolisme dan sintesis seretonin di otak serta aktifitas serotonergit hipotalamus. Asam
amino rantai cabang mempunyai efek anabolik yang memicu sintesa protein intraseluler
dan pengaruh antikatabolik yang mencegah proteolitik jalur intraseluler. Dengan intervensi
nutrisi dini diharapkan dapat mencegah wasting, meningkatkan kualitas hidup dan dapat
2006).
C. Albumin
Salah satu bentuk protein adalah albumin merupakan protein serum yang
penting dan membantu untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid darah. Kadar
lvi
albumin normal dalam darah 3,5-5,5 gr/dl. 60% albumin tubuh terdapat dalam plasma dan
sekitar 40% terdapat dalam ruang antar sel. Tekanan osmotik normal adalah 25 mmHg
dan sampai 75-80% tekanan osmotik ini disebabkan oleh albumin (Julius, 2005)
1. Fungsi Albumin
yang mencegah cairan plasma keluar dari kapiler (Linder, 1992, Gibson, 2005,
Kertawinata, 2006). Albumin juga berperan sebagai protein transport yang mempunyai
fungsi sebagai cadangan atau sumber asam amino yang siap digunakan, sebagai alat
transport asam amino ke jaringan permukaan untuk menggantikan yang hilang, sintesis di
hati, otot dan organ lain, berfungsi dalam sistem enzimatik serta bertanggung jawab
Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu utama absorbsi Zn. Albumin
merupakan alat tranport utama Zn. Absorbsi Zn menurun bila nilai albumin menurun
misalkan dalam keadaan gizi kurang. Absorbsinya sangat tergantung dari sumber bahan
makanan. Zn lebih banyak ditemukan pada sumber protein yang berasal dari binatang
seperti ikan dan daging, dimana Zn akan terikat pada asam amino sehingga mudah
Albumin dapat dipergunakan untuk mengukur status gizi sebagai prediksi protein
kematian. Level serum albumin merupakan elemen yang akurat dalam menyimpulkan
status gizi yang dapat dilanjutkan dengan perencanaan terapi gizi yang efektif untuk
mengatasi kesakitan dan kematian (Kirby, 2002). Albumin serum menurun pada klien
malnurisi dan merupakan parameter yang sering dipakai dalam pengkajian status gizi.
Kadar albumin berkisar dari 1 hingga 2,9 mg/dl jika dibanding dengan nilai 4,0 mg/dl pada
orang sehat.
lvii
a. Sintesa albumin terutama pada hati, dihasilkan albumin 12 gr/hari, 25% dari
b. Molekul albumin merupakan suatu rantai polipeptida dengan 585 residu asam
c. Molekul albumin mempunyai bentuk elips yang tidak menambah kepekatan darah.
Albumin merupakan protein aktif, bersifat labil yang disintesis di hati secara cepat
dan terus-menerus. Sintesis ini sangat bergantung dari suplai asam amino dari diit yang
beredar dalam darah. Albumin kemudian dikeluarkan dan masuk pada sirkulasi dan
beredar menuju ke berbagai sel dan jaringan yang diperlukan sebagai sumber asam
amino untuk sintesis protein sel dan jaringan (Wilson, 1996). Proses pencernaan dan
absorbsi yang lama menyebabkan konsentrasi albumin relatif stabil. Masa jedah albumin
antara 18 – 20 hari. Albumin terkandung dalam seluruh cairan tubuh (sekitar 4 – 5 gr/kg)
(Linder, 1992).
Albumin merupakan protein plasma yang larut dalam air dan memiliki muatan
negatif yang kuat (19 dan pH 7,4), yang akan berikatan dengan ion positif dari Na yang
2005).
Perubahan kadar albumin serum yang bermakna klinis berupa penurunan kadar
albumin. Penurunan ini dapat disebabkan oleh sintesis yang kurang (disfungsi hati, diit
penyebaran (distribusi) lebih besar daripada sintesis, dan bila seseorang tidak makan
maka kadar albumin baru menurun sampai di bawah batas normal setelah seminggu
(Julius, 2005).
Albumin serum yang rendah merupakan pertanda yang tidak spesifik dari
penyakit. Albumin serum akan menurun bila menjadi sakit, dan kembali normal pada saat
lviii
pasien membaik kondisinya. Pada penyakit-penyakit kritis dan adanya infeksi, terdapat
penurunan pada produksi albumin oleh karena hati lebih memproduksi protein-protein fase
Pada kasus malnutrisi berat, jika tidak cepat teratasi maka dapat menyebabkan
terganggunya proses penyembuhan, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan
lamanya hari rawat dirumah sakit (Baterham 2005, Kaiser et al, 2006). Berdasarkan
informasi (data) antropometri, biokimia dan status imun, ditemukan 3 tipe malnutrisi yaitu:
yang ditandai dengan penurunan kadar albumin serum dan transferin serta kerusakan
imunitas seluler.
deplesi.
Menurut Finelli C (2001) pemberian nutrisi tambahan melalui pipa nasogatrik pada
kelompok malnutrisi berat dapat mempercepat pemulihan kadar albumin. Ini membuktikan
adanya hubungan antara nutrien dengan albumin plasma. Penelitian ini juga
petanda status gizi, tetapi pemeriksaan albumin secara serial menggambarkan status gizi
penderita.
Pengaturan gizi dan terapi albumin sangat penting bagi pasien – pasien dirumah
sakit. Vincent dkk (2003) menguji 9 penelitian Prospektif kontrol dengan total pasien 535
mensuplai asam amino untuk sintesis protein aktif cytokine seperti C-reaktive protein,
protein phase akut, dan lain-lain, yang dibutuhkan pada pembentukan makrofa pada
system pagositosis serta pembentukan antibodi (Linder, 1992, Gibson S., 2005).
Albumin disintesis oleh sel hati yang kemudian di distribusi ke dalam sirkulasi
lix
darah. Untuk mensintesis albumin diperlukan asam amino yang berasal dari makanan
(luar) dan dari recycle protein tubuh. Kemudian sel hati akan menangkap/mengambil
asam amino dari peredaran darah porta setelah pencernaan dan absorbsi. Influk asam
pemberian ekstrak dari ikan gabus perhari pada sejumlah pasien operasi yang memiliki
kadar albumin rendah (1,8 g/dl), dapat meningkatkan kadar albumin darah pasien menjadi
normal, yakni 3,5 – 5,5 g/dl, tanpa efek samping setelah diberikan selama delapan hari
(Anonimous 2003).
Hasil penelitian Taslim dkk., (2005) menunjukkan bahwa pemberian terapi albumin
dengan ekstrak ikan gabus sebanyak 100 ml setiap hari pada sejumlah pasien dengan
hipoalbumin dirumah sakit Wahidin makassar selama 10 hari telah dapat meningkatkan
kadar albumin dan protein total pasien. Hal ini tampaknya diikuti oleh peningkatan status
gizi dan konsumsi pada kelompok intervensi. Rata – rata besar peningkatan kadar
albumin yang terlihat dalam penelitian ini sebesar 0.7 g/dl dibanding dengan kelompok
kontrol.
Albumin dengan kapsul kosentrat ikan gabus setiap hari selama 10 hari pada pasien
pasca bedah yang hipoalbumin dirumah sakit Wahidin makassar telah dapat
meningkatkan kadar albumin rata-rata sebesar 0,74 gr/dl diikuti oleh peningkatan status
Ikan gabus (Ophiocephalus striatus) merupakan jenis ikan yang hidup di air
tawar dan sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Ikan gabus berkembang biak dan hidup
di daerah sungai, sawah, empang dan sering juga ditemukan di daerah rawa. Ikan gabus
lx
Sumatera, Sulawesi, Bali, Lombok, Flores, Ambon dan Maluku dengan nama yang
Ikan gabus memang kurang digemari oleh masyarakat luas karena jarang
dijual di pasar dan dianggap oleh masyarakat ikan jenis ini suka memakan kotoran dan
bangkai hewan serta bentuknya yang seperti ular. Namun akhir-akhir ini banyak
masyarakat yang mulai menyukai ikan gabus, karena mereka telah mengetahui
kandungan gizi yang terdapat dalam ikan gabus sangat tinggi dan banyak faedahnya. Hal
ini diketahui oleh masyarakat karena mereka terinspirasi dari orang-orang Cina yang
Sebagai bahan pangan, ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin, dan
mineral yang sangat baik dan prospektif. Keunggulan utama protein ikan dibandingkan
dengan produk lainnya adalah kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahannya
untuk dicerna. Mengingat besarnya peranan gizi bagi kesehatan, ikan merupakan pilihan
tinggi daripada ikan segar. Hal ini karena proses pengeringan telah mengurangi kadar air
sedemikian rupa hingga kandungan protein per 100 gram bahannya menjadi lebih tinggi.
IKAN PROTEIN
Bandeng 20.0
Ikan Mas 16.0
Kembung 22.0
Sarden 21.1
Pindang 28.50
Gabus Kering 58,0
Ikan Asin 42.0
Teri Kering 33.4
Sumber: Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup, Jakarta, (2004)
lxi
Hasil penelitian Cavallo (1998) menunjukkan bahwa dalam 100 cc ekstrak
ikan gabus, mengandung 6,2224 gram albumin dengan jumlah kalori 69 kal serta zat-zat
Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi dalam 100 cc Ekstrak Ikan Gabus
albumin yang tinggi dan mengandung asam amino essensial yang lengkap.
murah dengan perhitungan, satu hari tiga kilogram. Itu dilakukan selama
lxii
delapan hari penyembuhan. Harga per kilogram ikan gabus Rp 20 ribu.
Jadi paling tidak 24 kilogram X Rp 20 ribu, total Rp 480 ribu. Luka dapat
sembuh tiga hari lebih cepat ketimbang menggunakan serum albumin yang
saja harganya Rp. 1.300.000 (satu juta tiga ratus ribu rupiah) (Anonimous,
2003).
tubuh manusia diantaranya protein albumin yang tinggi, lemak, air dan
Taslim, dkk., (2005) Ikan yang tak disukai karena baunya yang
dan pasien tak lagi menolak baunya. Dengan pemberian dua kapsul sekali
minum, tiga kali sehari selama 10 hari, bila dibanding dengan parenteral
2007). Oleh karena itu alternatif pemberian kapsul ikan gabus sangat tepat.
Tabel 2.3 Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram tepung Ikan gabus
Protein 70 gr
Kadar Albumin 21 gr
Mineral
lxiii
Kalsium (Ca) 146,40 mg
Gambar 2.3. Ikan gabus dari depan Gambar 2.4. Kapsul Ikan Gabus
Status gizi adalah keadaan individu suatu kelompok yang ditentukan oleh
derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat gizi lain, diperoleh dari pangan dan makanan
yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Untuk memperkirakan status gizi
S. (2005), status gizi adalah hasil keseimbangan konsumsi zat-zat gizi dengan
expenditure sehingga individu dikatakan dalam keadaan gizi normal apabila terdapat
keseimbangan normal.
lxiv
Penilaian status gizi sejak pasien masuk perawatan harus dilakukan sebagai
bagian dari perawatan dan skrining awal untuk mengindentifikasi risiko malnutrisi.
Penilaian status gizi dapat dilakukan secara antropometri, biokimia dan klinik.
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri
secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.
Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002).
komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan.
Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan
tebal lemak di bawah kulit. Semua hasil pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap
umur dan kenis kelamin. Dalam melakukan interpretasi, digunakan berbagai buku
(standar) Internasional maupun nasional seperti buku WHO, NCHC, Harvard, dan
sebagainya. Perlu ditekankan disini bahwa pemeriksaan tinggi badan pada usia lanjut
dapat memberikan nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena terjadinya
osteoporosis pada usia lanjut yang akan berakibat pada kompetisi tulang-tulang commna
a. Berat Badan
Pengukuran berat badan menjadi prinsip dasar pengkajian nutrisi dalam asuhan
medik. Perlu dipertimbangkan kalau kita mengunakan berat badan sebagai satu-
satunya kriteria untuk menentukan keadaan nutrisi. Berat badan harus dimonitoring
untuk memberi informasi yang memungkinkan intervensi nutrisi preventif secara dini,
dikehendaki.
b. Tinggi Badan
lxv
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan
keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu tinggi badan
merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan berat badan
terhadap tinggi badan (Quac stick), faktor umur dapat dikesampingkan (Supariasa,
2002).
Perlu ditekankan bahwa pemeriksaan tinggi badan pada usia lanjut dapat memberikan
nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena terjadinya osteoporosis pada usia
lanjut yang akan berakibat pada kompetisi tulang-tulang commna vertebral. (Darmojo,
R.B 1999).
Untuk itu pengukuran tinggi lutut pada lansia dapat dilakukan sebab pengkuran tinggi
lutut erat kaitannya dengan tinggi badan dan dapat mengestimasi tinggi badan (bagi
lansia yang tidak dapat berdiri tegak). Pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap
umur dan seks. Tinggi lutut diukur dengan centimeter, dengan posisi duduk di kursi
yang rendah, menggunakan kaki kiri dan lutut membentuk sudut 90 0, diukur dari
Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas)
tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu pemantauan
keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan, salah satu cara dengan
mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Indeks Masa Tubuh (IMT)
digunakan untuk pengukuran bobot berat badan yang memiliki hubungan linier
dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal pertambahan berat badan searah
dengan pertambahan tinggi badan dan merupakan indikator yang baik untuk
lxvi
mendapatkan proporsi tubuh yang normal dan untuk membedakan orang kurus dan
gemuk. Berat badan yang sesuai dengan tinggi badan tertentu dapat dihitung dengan
Bila berat badan sebelum sakit lebih/diatas normal maka penurunan karena
sakit/kurang gizi menjadi tidak akurat karena berat badannya masih termasuk normal.
Bila ada edema, acites dapat mengoreksi berat badan menjadi normal yang
sebenarnya telah menjadi malnutrisi. Bila terjadi peningkatan berat badan dapat
digunakan untuk mengestimasi kecukupan intake zat gizi (Supariasa, 2002, Gibson
S., 2005).
(Tirtawinata, 2006).
Pemeriksaan biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang lebih
tepat serta obyektif daripada menilai konsumsi makanan dan pemeriksaan lain.
berbagai zat gizi dan substansi kimia lain dalam darah serta urin. Hasil pengukuran
tersebut kemudian dibandingkan dengan standar normal yang telah ditetapkan. Cara ini
dapat memberikan gambaran perubahan komposisi akut dalam waktu yang singkat
Cara ini adalah cara tidak langsung yaitu dengan mengukur kadar protein transport
lxvii
1). Kadar Albumin Serum
Albumin merupakan protein aktif, bersifat labil yang disintesis di hati secara cepat
dan terus-menerus. Sintesis ini sangat bergantung dari suplai asam amino dari diit
yang beredar dalam darah. Masa jedah albumin antara 18-20 hari. Albumin
Depresi kadar albumin juga dihubungkan dengan penurunan daya tahan tubuh
Transferin juga termasuk protein aktif, mempunyai masa jedah lebih pendek
dibanding albumin yaitu sekitar 6 hari. Transferin adalah senyawa pengikat zat
besi yang dapat mencegah penyakit infeksi. Apabila ada kuman penyakit yang
menyerang tubuh maka trasferin akan mengikat zat besi dari kuman itu sehingga
tidak dapat berkembang biak, dengan demikian infeksi dapat dicegah. Penurunan
kadar transferin juga mengindikasikan adanya defisiensi protein yang lebih cepat
(Tirtawinata, 2006)
F. Kerangka Pikir
lxviii
Secara nyata usia lanjut berarti memasuki kenyataan dan lingkungan yang baru,
yang cukup matang. Mereka secara individual merupakan penduduk yang potensial
menjadi beban keluarga dan masyarakat ditambah lagi dengan umur harapan hidup
manusia yang menjadi lebih panjang dan umur rata-rata penduduk menjadi lebih tua.
Tetapi, menambah panjang umur tanpa peningkatan kualitas hidup tentunya tidak cukup,
karena hanya akan menambah panjang penderitaan bagi individu tersebut maupun
kemampuan psikis dan fisik, serta menderita berbagai penyakit, merupakan keadaan yang
gangguan gizi. Gangguan gizi yang muncul pada usia lanjut dapat menjelaskan
munculnya penyakit. Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena berbagai sebab
serta laju metabolisme tubuh pada usia lanjut yang cenderung menurun, sehingga tingkat
kegiatan tubuh biasanya berkurang, hal ini menyebabkan kebutuhan kalori relatif lebih
Salah satu indikasi keadaan kurang gizi adalah protein yang terdapat dalam
sel darah jumlahnya rendah atau yang sering disebut dengan hipoalbuminemia. Serum
albumin merupakan salah satu parameter penting dalam mengukur status gizi pada
pasien-pasien dengan usia lanjut sebab kekurangan albumin pada darah lebih banyak
alternatif sumber protein yang dapat diberikan adalah protein albumin ikan gabus. Protein
albumin ikan gabus merupakan suplemen alternatif lain sebagai sumber protein albumin
yang tinggi serta mengandung mineral Zn dan Fe. Pada penelitian sebelumnya terbukti
bahwa ikan gabus memiliki kadar protein albumin yang tinggi. Dapat meningkatkan kadar
albumin pasien, memperbaiki status gizi, dan diikuti oleh peningkatan konsumsi melalui
lxix
Adanya dukungan nutrisi dan pemberian ekstrak ikan gabus pada lansia
memperbaiki status gizi (IMT) lansia sehingga kualitas hidup mereka di masa tua akan
lebih baik.
1. Kerangka Konsep
Penyakit
Infeksi
Hipoalbuminemia
Penyakit kronik,
Isolasi, gangguan
kognitif,
Gangguan Asupan makanan kemiskinan
pengecap, (Energi dan
penciuman Protein)
Nafsu Gangguan
Makan mengunyah,
Variabel tergantung
2. Variabel Penelitian
lxx
a. Variabel Tergantung/Dependen : Status gizi
WHO).
Asupan zat gizi adalah pola konsumsi makanan lansia yang a. Cukup : Bila
dapat diketahui dengan melihat apa yang dimakan selama 24 konsumsi energi dan
jam yang lalu (recall 24 hours), lalu dianalisis dan protein berada pada kisaran
dibandingkan dengan berdasarkan standar energi dan protein 80-110% dari AKG
masing-masing lansia yaitu 2050 kkal dan 60 kg untuk laki- b. Kurang : Bila
laki, 1600 kkal dan 50g untuk perempuan (AKG 2004). konsumsi energi dan
AKG
Status Gizi adalah keadaan gizi yang merupakan penetapan a. Kurus bila IMT <
berat badan sehat bagi orang dewasa (IMT) (Arisman, 2004). 18,5
18,5 –25,0
lxxi
IMT diperoleh dengan cara mengukur tinggi dan berat badan 25,0
dengan rumus:
2,8g/dl
f. Ringan : 2,8 –
3,4 g/dl
g. Normal: 3,5 –
4,5 g/dl
Robinson, 1990).
I. Hipotesis Penelitian
a) Ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap kadar albumin lansia
b) Ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap status gizi lansia
a)Tidak ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap kadar albumin lansia
lxxii
b)Tidak ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap status gizi lansia
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
blind artinya pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian, baik peneliti, penerima
maupun pemberi ekstrak ikan gabus tidak mengetahui perbedaan jenis kapsul yang
diberikan. Untuk menghilangkan perbedaan tersebut, maka setiap kapsul dibuat dalam
suplementasi, dilakukan pengukuran awal (pretest) tentang status gizi secara antropometri
(IMT), pengukuran intake makanan (food recall 24 hours), dan pengukuran kadar albumin
serum. Setelah masa perlakuan selesai dilakukan posttest dengan penentuan status gizi
secara antropometri (IMT), pengukuran intake makanan (food recall 24 hours), dan
lxxiii
Rancangan Penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
Lansia
Analisa Data
lxxiv
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah semua lansia yang berumur > 55 tahun, yang berada di Panti Sosial
Tresna Werdha Gau Mabaji di Kabupaten Gowa yang berjumlah 100 orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di panti werdha Gau Mabaji
Gowa. Pemilihan sampel dilakukan secara Simple Random Sampling pada semua
lansia yang memenuhi kriteria inklusi penelitian ini. Adapun kriteria inklusi dan
a. Kriteria Inklusi
b. Kriteria Eksklusi:
lxxv
2. Memerlukan perawatan di rumah sakit sehingga sulit dipantau
3. Besar Sampel
2 2 (Z1/2 + Z)2
N=
( 1 - 2)
Ket :
kemaknaan 95%
lxxvi
out, maka ditambahkan cadangan 10% (2,4) sehingga menjadi 26,4
4. Prosedur Penelitian
a. Setiap lansia atau petugas dihubungi oleh peneliti dan diminta persetujuannya
d. Setiap lansia diberi penjelasan oleh peneliti tentang cara pemberian ekstrak ikan
gabus (2x1) setiap hari selama 30 hari. Disamping itu, akan mengikuti terus
perkembangan lansia.
D. Instrumen Penelitian
4. Microtoice
5. Pita centimeter.
1. Pengumpulan Data
untuk menentukan kasus dan kontrol. Setelah itu ditentukan sampel yang memenuhi
kriteria sesuai dengan hasil perhitungan. Setelah terpilih kelompok kasus dan kontrol
dilanjutkan dengan pengumpulan data tahap kedua yaitu data yang dikumpulkan
lxxvii
meliputi data dari semua variabel yang diangkat dalam penelitian. Pengumpulan data
ini dilakukan oleh peneliti dibantu oleh 2 enumerator dengan latar belakang 1 orang
a. D
ata Primer
darah oleh petugas laboratorium, yang diukur dengan Liasys pentra 400
b. D
ata Sekunder
Data sekunder berupa kondisi sosiodemografi, geografi, dan data terkait lainnya
(keadaan panti werdha dan sarana pelayanan) akan dikumpulkan dari instansi
terkait.
1. Pengolahan data
SPSS for windows versi 11. Data karakteristik subyek (yang diperoleh dari
skala ordinal dan ada dengan skala interval (nilai mean). Kadar Albumin ditampilkan
lxxviii
Data recall 1 x 24 hours diolah dengan program komputer Word Food dan out-putnya
berupa bobot asupan menurut jenis gizi, ditampilkan dalam bentuk skala interval (nilai
mean).
2. Penyajian data
Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk narasi distribusi frekuensi persentase
variabel baik variabel independen maupun variabel dependen. Selain itu juga
3. Analisis data
= 0,05
H. Kontrol Kualitas
Untuk menjaga kualitas data yang dikumpulkan, akan dilakukan standardisasi berupa:
lxxix
1. Petugas lapangan : sebelum turun lapangan semua petugas akan dilatih
selama sehari untuk menyamakan persepsi antara petugas lapangan dengan peneliti
I. Pertimbangan Etik
1. Sebelum memulai penelitian, terlebih dahulu minta ijin tertulis kepada pejabat
2. Sebelum dilakukan penelitian, informasi dan penjelasan rinci tentang apa yang
akan dilakukan, kemungkinan yang akan terjadi telah diberitahukan kepada lansia.
1. Persiapan penelitian
tenaga lapangan
2. Pelaksanaan penelitian
demografi, sosial ekonomi dan budaya serta kependudukan dan informasi lain
lxxx
b. Penjaringan sampel berdasarkan kriteria sampel
selama penelitian
BAB IV
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Gau Mabaji Kabupaten Gowa terletak di
Jalan Jurusan Malino Km. 26 Samaya Kabupaten Gowa. PSTW Gau Mabaji Gowa
merupakan salah satu UPT Departemen Sosial yang menyediakan sumber pelayanan
kesejahteraan sosial usia lanjut terlantar. PSTW Gau Mabaji Gowa didirikan pada tanggal
Tujuan pelayanan dari PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa adalah sebagai
berikut:
c. Terwujudnya kesejahteraan sosial lansia yang diliputi rasa tenang, tentram dan
lxxxi
PSTW Gau Mabaji Gowa berdiri di atas lahan seluas 3 Ha. Saat ini memiliki 12
buah asrama program reguler yang diperuntukkan bagi lanjut usia yang berasal dari
keluarga kurang mampu. Asrama ini terdiri atas 5 buah kamar dan setiap kamar
diperuntukkan untuk 2 klien. Fasilitas yang tersedia di setiap asrama berupa: tempat tidur
dan lemari untuk klien, televisi 21 inchi, alat pendingin ruangan, 2 buah kamar mandi,
radio, dispenser, sofa tamu, meja makan dan meja pembina. Serta dilengkapi dengan
pada lansia. Selain itu, ada 2 buah asrama program subsidi silang yang diperuntukkan
Lingkungan PSTW Gau Mabaji Gowa telah dilengkapi dengan prasarana jalan
beraspal yang menghubungkan antar bangunan dalam kompleks dengan luas 5.210
meter. Jalanan selain berfungsi sebagai sarana aksesibilitas klien, juga berfungsi sebagai
jogging track bagi klien untuk mengisi hari-hari mereka dalam panti.
Selain itu, pada PSTW Gau Mabaji Gowa juga dilengkapi dengan poliklinik,
sarana hiburan karaoke dan elekton, taman-taman bunga yang dikelola oleh klien, air
B. Hasil Penelitian
1. Analisis Deskriptif
Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten
Gowa, dimana sampel yang memenuhi syarat hanya sebesar 54 orang setelah
pengumpulan data selama 3 minggu yang terdiri dari 27 sampel kelompok intervensi dan
27 sampel kelompok kontrol. Peneliti hanya mendapatkan jumlah ini dengan berbagai
pertimbangan antara lain kurangnya jumlah lansia, lansia yang tidak bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian, waktu studi, dan pertimbangan biaya. Data yang diperoleh
dari sampel yaitu data primer dan data sekunder dengan beberapa karakteristik umur,
jenis kelamin, pendidikan terakhir, IMT, dan asupan zat gizi. Adapun nilai distribusi
lxxxii
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Sampel menurut Umur
di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008
Intervensi n = 26 Kontrol n = 23
Umur (thn)
N % n %
55 – 64 3 11.5 4 17.3
> 65 23 88.5 19 82.7
Jumlah 26 100.0 23 100.0
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi distribusi umur
terbanyak pada umur > 65 tahun sebanyak 23 orang (88,5 %) dan terendah adalah
sampel yang berumur 55 - 64 tahun sebanyak 3 orang (11,5%), sedangkan pada
kelompok kontrol distribusi umur terbanyak juga pada umur > 65 tahun sebanyak 19 orang
(82,7%) dan terendah pada umur 55 - 64 tahun sebanyak 4 orang (17,3%).
Intervensi n = 26 Kontrol n = 23
Jenis Kelamin
n % n %
Laki-laki 6 23,1 12 52,2
Perempuan 20 76,9 11 47,8
Jumlah 26 100.0 23 100.0
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa sampel terbanyak pada kelompok intervensi
adalah perempuan sebanyak 20 (76,9%) dan laki-laki sebanyak 6 (23,1%), sedangkan
pada kelompok kontrol sampel terbanyak adalah laki-laki 12 (52,2%) dan perempuan 11
(47,8%).
Intervensi n = 26 Kontrol n = 23
Tingkat Pendidikan Terakhir
n % n %
Tidak tamat SD 16 61,5 10 43,5
Tamat SD 5 19,3 11 47,8
Tamat SMP 3 11,5 2 8,7
Tamat SMA/STM/SMEA/SMK 2 7,7 0 0
Sarjana 0 0 0 0
Jumlah 26 100.0 23 100.0
Sumber: Data primer, 2008
Tabel diatas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi sampel terbanyak
berdasarkan pendidikan terakhir adalah tidak tamat SD sebanyak 16 orang (61,5%) dan
tidak ada yang sampai sarjana, sedangkan pada kelompok kontrol yang paling banyak
lxxxiii
adalah tamat SD sebanyak 11 orang (47,8%) dan tidak ada sampel yang tamat
Tabel 4.5 Distribusi Karakteristik Sampel berdasarkan IMT di PSTW Gau Mabaji
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008
Intervensi n = 26 Kontrol n = 23
IMT
n % n %
Kurus 3 11,5 1 4,3
Normal 14 53,8 6 26,1
Gemuk 9 34,6 16 69,6
Jumlah 26 100.0 23 100.0
Sumber: Data primer, 2008
Tabel diatas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi sampel terbanyak
berdasarkan IMT yaitu pada status normal dengan jumlah 14 (53.8%) dan terendah pada
status IMT kurus dengan jumlah 3 (11.5%), sedangkan pada kelompok kontrol IMT
terbanyak adalah status gemuk dengan jumlah 16 orang (69.9%) dan yang terendah
Berat badan, IMT serta asupan zat gizi (energi, protein, lemak, dan karbohidrat) sebelum
dan sesudah intervensi, baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol.
Tabel 4.6 Analisis perbedaan Kadar Albumin Sebelum dan Sesudah intervensi di
PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008
Intervensi Kontrol
Albumin P P
(Mean SD) (Mean SD)
Albumin awal 2.65 ± 0.27 2.69 ± 0.38
0.000 0.000
Albumin akhir 4.44± 0.65 4.66 ± 0.61
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, ada
perbedaan bermakna antara kadar albumin awal dan kadar albumin akhir
dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05), dimana terjadi peningkatan nilai albumin
sebesar 1,785 g/dl dan pada kelompok kontrol juga terdapat perbedaan
lxxxiv
bermakna antara albumin awal dan albumin akhir dengan nilai p = 0,000 (p
< 0,05). Dimana terjadi peningkatan nilai albumin sebesar 1,969 g/dl.
P = 0.000 P = 0.000
Gambar 4.1. Perbedaan kadar albumin sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol
Tabel 4.7 Analisis Perbedaan Berat Badan Kelompok Intervensi dan Kelompok
Kontrol Sebelum dan Sesudah Intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008
Intervensi Kontrol
Berat Badan P P
(Mean SD) (Mean SD)
Berat badan awal 41.35 ± 8.35 48.16 ± 7.75
0.003 0.000
Berat badan akhir 40.29 ± 8.40 47.12 ± 7.98
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, ada
perbedaan bermakna antara berat badan awal dan berat badan akhir
dengan nilai p = 0,003 (p < 0,05), dimana terjadi penurunan berat badan
bermakna antara berat badan awal dan berat badan akhir dengan nilai p =
0,000 (p < 0,05), dimana terjadi penurunan berat badan sebesar 1,039 kg.
lxxxv
P = 0.000
P = 0.003
Gambar 4.2. Perbedaan Berat badan sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol
Tabel 4.8 Analisis Perbedaan IMT Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Sebelum dan Sesudah Intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi
Selatan, Tahun 2008
Intervensi Kontrol
IMT P P
(Mean SD) (Mean SD)
IMT awal 22.46 ± 3.51 25.76 ± 4.03
0.438 0.002
IMT akhir 22.18 ± 3.93 25.06 ± 4.19
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, tidak
terdapat perbedaan bermakna antara IMT awal dan IMT akhir dengan nilai
IMT awal dan IMT akhir dengan nilai p = 0,002 (p < 0,05). Dimana terjadi
lxxxvi
P = 0,002
P = 0,438
Gambar 4.3. Perbedaan IMT sebelum dan sesudah intervensi baik pada kelompok
intervensi maupun pada kelompok kontrol
Tabel 4.9 Analisis perbedaan Asupan Zat Gizi Kelompok intervensi dan kelompok
kontrol sebelum dan sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan, Tahun 2008
asupan protein dan lemak yang tidak bermakna sebelum dan sesudah intervensi
(p>0,05). Besar penurunan untuk tiap asupan masing-masing 7,077 g dan 0,969 g.
Sedangkan pada asupan energi dan karbohidrat mengalami peningkatan yang tidak
lxxxvii
bermakna sebelum dan sesudah intervensi dengan nilai 103,538 kal dan 70,338 g. Pada
kelompok kontrol, terjadi penurunan asupan untuk energi, protein, dan lemak yang tidak
bermakna (p>0,05) sebelum dan sesudah intervensi. Besar penurunan untuk tiap asupan
masing-masing 22,913 kal; 8,061 g dan 2,352 g. Sedangkan pada asupan karbohidrat
mengalami peningkatan yang tidak bermakna sebelum dan sesudah intervensi dengan
nilai 45,926 g.
P = 0,482
P = 0,919
Gambar 4.4. Perbedaan Asupan energi sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi
P = 0,308 maupun pada kelompok
P = 0,267 kontrol
Gambar 4.5. Perbedaan Asupan protein sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol
P = 0,771
lxxxviii
P = 0,876
Gambar 4.6. Perbedaan Asupan lemak sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol
P = 0,086 P = 0,229
Gambar 4.7. Perbedaan Asupan karbohidrat sebelum dan sesudah intervensi baik pada
kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol
badan, IMT, dan asupan zat gizi (energi, protein, lemak, dan karbohidrat) antara kelompok
intervensi dengan kelompok kontrol pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau
lxxxix
Pre Post
Intervensi 26 2.65 ± 0.27 4.44 ± 0.65
0,729 0,235
Kontrol 23 2.69 ± 0.38 4.66 ± 0.61
Sumber: Data primer, 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
Albumin Pre dengan nilai p = 0,729 (p>0,05). Demikian pula pada Albumin
Pre dengan nilai p = 0,05 (p=0,05). Demikian pula pada Berat badan Post
xc
Tabel di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna
dengan nilai p = 0,004 (p<0,05). Demikian pula pada Albumin Post ada
C. Pembahasan
xci
1. Analisis Perbedaan Kadar Albumin antara Kelompok Intervensi
dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau
berhubungan dengan status gizi walaupun tidak terlalu sensitif. Pada penderita malnutrisi
sering ditemukan kadar albumin yang rendah, tetapi tidak jarang albumin serum masih
dalam batas normal (Fatimah, 2002; Daldiono,1998). Ketersediaan protein di dalam tubuh
yang dapat pula menggambarkan status nutrisi sebagai prediksi protein, energi malnutrisi,
pengukuran antropometri dan pemeriksaan lainnya dapat memberi hasil yang lebih baik
(Kirby, 2002).
Pada penelitian ini terlihat bahwa kadar albumin antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p
> 0,05. Kadar albumin pada kelompok intervensi mengalami kenaikan yang tidak
bermakna begitupula dengan kadar albumin kelompok kontrol juga mengalami kenaikan
Hal ini disebabkan waktu penelitian yang bertepatan dengan bulan ramadhan,
dimana lansia yang berpartisipasi dalam penelitian ini berpuasa dan konsumsi protein
lansia meningkat pada saat itu sehingga sangat berpengaruh terhadap peningkatan
albumin lansia.
imunitas, perbaikan jaringan/sel yang rusak akibat infeksi. Albumin akan mensuplai asam
amino untuk sintesis protein aktif cytokine seperti C-reaktive protein, protein phase akut,
dan lain-lain, yang dibutuhkan pada pembentukan makrofa pada sistem pagositosis serta
pembentukan antibodi (Linder, 1992, Karyadi, 2001, Gibson S., 2005). Albumin disintesis
oleh sel hati yang kemudian di distribusi kedalam sirkulasi darah. Untuk mensintesis
albumin diperlukan asam amino yang berasal dari makanan (luar) dan dari recycle protein
tubuh. Kemudian sel hati akan menangkap/mengambil asam amino dari peredaran darah
porta setelah pencernaan dan absorbsi. Influk asam amino dalam darah permukaan akan
xcii
merangsang dibebaskannya insulin untuk mempercepat pengambilan asam amino
dengan meningkatkan sintesis protein (Linder, 1992, Stepanuk, 2000, Gibson, 2005).
Perubahan kadar albumin serum yang bermakna klinis berupa penurunan kadar
albumin (hipoalbuminemia). Perubahan ini dapat disebabkan oleh sintesis yang kurang
(disfungsi hati, diit yang kurang), perluasan kompartmen sebaran (kebocoran kapiler,
sepsis, atau renjatan), “kehilangan” ke ruang ketiga respons fase akut dan kehamilan.
Pengaruh penyebaran (distribusi) lebih besar daripada sintesis, dan bila seseorang tidak
makan maka kadar albumin baru akan menurun sampai di bawah batas normal setelah
Albumin serum yang rendah merupakan pertanda yang tidak spesifik dari
peningkatannya menunjukkan suatu perbaikan. Kadar yang sangat rendah dari albumin
terlihat dengan kurangnya pengeluaran. Albumin serum akan menurun bila menjadi sakit,
dan kembali normal pada saat pasien membaik kondisinya (Patrick Neligan, 2001).
peningkatan mordibitas dan mortalitas serta lamanya masa perawatan di Rumah Sakit.
perbedaan bermakna kadar albumin lansia sebelum dan sesudah intervensi pada
kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol. Rata-rata kadar albumin lansia sebelum
intervensi adalah sebesar 2,65 gr/dl dan setelah intervensi meningkat menjadi 4,44 gr/dl,
demikian pula dengan kelompok kontrol yang mengalami peningkatan dari 2,69 gr/dl
meningkat menjadi 4,66 gr/dl. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemberian kapsul
ekstrak ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan kadar albumin darah lansia.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil yang pernah dilaporkan oleh Taslim dkk.
(2005) dengan pemberian nutrisi TKTP dan tambahan ekstrak ikan gabus pada sejumlah
pasien yang dirawat di Rumah Sakit terjadi peningkatan kadar albumin secara bermakna
xciii
sebesar 0,7 mg/dl, dibanding kelompok kontrol. Hidayanti H. (2006) pemberian nutrisi
TKTP dan tambahan kapsul konsentrat ikan gabus pada pasien pasca bedah terjadi
peningkatan kadar albumin secara bermakna sebesar 0,74 mg/dl, dibanding kelompok
kontrol. Salma (2007) pemberian nutrisi TKTP dan tambahan kapsul ikan gabus pada
pasien ODHA selama 14 hari dapat meningkatkan kadar albumin darah pasien secara
Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji
ada perbedaan bermakna berat badan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
dengan nilai p = 0,05. Pada kelompok intervensi rata-rata berat badan lansia sebesar
41,35 kg turun menjadi 40.29 kg setelah diberikan intervensi selama 30 hari, Demikian
pula pada kelompok kontrol rata-rata berat badan lansia sebesar 48.16 dan mengalami
Jika asupan energi dari makanan lebih besar dari energi yang dikeluarkan
sebagai panas dan kerja, tubuh akan menyimpan energi dan berat badan akan
bertambah. Dipihak lain, jika kandungan kalori dari makanan yang dimakan lebih kecil
daripada out put akan ada imbangan energi negatif. Dan cadangan protein dan lemak
kelompok intervensi terjadi penurunan berat badan secara bermakna sebesar 1,058 kg (p
= 0.003) demikian pula pada kelompok kontrol terjadi penurunan berat badan secara
Penurunan berat badan pada lansia selama penelitian terjadi karena waktu
penelitian berlangsung pada bulan ramadhan, dimana lansia yang berpartisipasi dalam
xciv
Tanpa dukungan nutrisi yang adekuat, stres metabolik akibat infeksi akan
menimbulkan kehilangan berat badan dan rusaknya sel bagian tubuh (organ vital). (Drain,
PK, et al ,2006).
Penurunan berat badan 10-20 % akan mengurangi daya tahan tubuh dan
menyebabkan kematian.
Konsekuensi langsung dari pola konsumsi yang tidak adekuat dapat menimbulkan
masalah gizi salah satunya kurang gizi, sehingga asupan gizi yang adekuat sangat
diperlukan dalam upaya mencegah terjadinya kurang gizi pada lansia karena untuk
beraktifitas memerlukan pengeluaran energi maka diet yang cukup menjadi faktor yang
sangat penting. Sebab kalori yang dihasilkan dari makanan terutama yang berasal dari
karbohidrat akan mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Juga dapat
mempertahankan berat badan karena kesenjangan energi pada tingkat ini akan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul ekstrak ikan gabus 3x1
selama 30 hari tidak dapat meningkatkan berat badan lansia secara bermakna
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salma
(2007) yang melaporkan bahwa terjadi peningkatan berat badan secara bermakna pada
kelompok yang mendapatkan intervensi kapsul konsentrat ikan gabus sebesar 2.7 kg (p =
0.001).
Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu pengukuran untuk menentukan
status gizi. Digunakan untuk pengukuran bobot berat badan yang memiliki hubungan
linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal pertambahan berat badan searah
dengan pertambahan tinggi badan dan merupakan indikator yang baik untuk
mendapatkan proporsi tubuh yang normal dan untuk membedakan orang dengan status
xcv
gizi kurang, status gizi baik atau status gizi lebih. (Supariasa, 2002, Hartono 2000, Gibson
S., 2005).
perbedaan bermakna IMT antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p
< 0,05. Pada kelompok intervensi rata-rata IMT lansia sebesar 22.46 menurun menjadi
22.18 setelah diberikan intervensi selama 30 hari, demikian pula pada kelompok kontrol
IMT lansia sebesar 25.76 dan mengalami penurunan menjadi 25.06 setelah 30 hari.
IMT yang dihubungkan dengan risiko paling rendah terhadap kesehatan adalah
antara 22 dan 25. Berat badan lebih adalah IMT antara 25 dan 30, sedangkan obesitas
Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke
tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu pemantauan
keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah
kelompok intervensi terjadi penurunan IMT secara tidak bermakna sebesar 0,277 (p =
0.438) dan pada kelompok kontrol terjadi penurunan IMT secara bermakna sebesar 0,695
(p = 0.002).
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salma
(2007) yang melaporkan bahwa terjadi peningkatan IMT secara bermakna pada kelompok
yang mendapatkan intervensi kapsul konsentrat ikan gabus sebesar 0,9 (p = 0.001).
dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau
Pada penelitian ini terlihat bahwa asupan energi antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p
xcvi
> 0,05. Tingkat asupan energi pada kelompok intervensi mengalami peningkatan
Pada kelompok intervensi rata-rata asupan energi lansia sebesar 1725,26 kal
menurun menjadi 1828,8 kal setelah diberikan intervensi selama 30 hari, sedangkan pada
kelompok kontrol asupan energi lansia sebesar 1754,34 kal dan mengalami penurunan
Kandungan kapsul ikan gabus selain mengandung albumin dan asam amino
esensial yang lengkap juga mengandung zat gizi mikronutrien yaitu Zn sehingga terjadi
Namun dari rata-rata asupan kalori memperlihatkan bahwa meskipun pada kelompok
intervensi mengalami kenaikan tetapi sebagian besar masih kurang dibandingkan dengan
angka kecukupan gizi yang dianjurkan berdasarkan perhitunganan per individu dengan
yang berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi
seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang
sesuai dengan kesehatan jangka panjang, dan memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik
yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi. Kebutuhan energi total orang dewasa
diperlukan untuk metabolisme basal, aktivitas fisik, efek makanan atau pengaruh dinamik
khusus, dan kebutuhan energi terbesar pada umumnya diperlukan untuk metabolisme
Kekurangan energi akan terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari
energi yang diperlukan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya,
sebesar 103,538 kal (p = 0.482) dan pada kelompok kontrol terjadi penurunan asupan
secara tidak bermakna sebesar 22,913 kal (p = 0.919). Ini menunjukkan bahwa konsumsi
xcvii
kapsul ekstrak ikan gabus yang diberikan selama 30 hari tidak dapat meningkatkan
Hasil peningkatan asupan energi ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya,
dimana terjadi peningkatan asupan energi yang bermakna, pada penelitian Taslim dkk
(2005) terjadi peningkatan energi sebesar 231,69 kal dengan pemberian ekstrak ikan
gabus pada sejumlah pasien. Hasil penelitian Hidayanti H. (2006) memperlihatkan bahwa
dengan pemberian kapsul konsentrat ikan gabus pada pasien pasca bedah memberikan
peningkatan asupan energi sebesar 653 kal. Demikian pula pada penelitian Salma (2007)
terhadap pasien ODHA yang memperlihatkan peningkatan asupan energi sebesar 811,98
kal.
dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau
kebutuhan faali, dan memelihara kesehatan hampir semua orang, sesuai dengan
golongan umur dan jenis kelamin. Protein merupan zat pembentuk tubuh yang penting di
samping air, lemak, vitamin, mineral dan karbohidrat yang terdapat atau ditemukan pada
seluruh tubuh, yaitu otot, kulit, rambut, jantung, paru-paru, otak dan organ tubuh lainnya.
Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran
cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan
melalui membran sel ke dalam sel-sel. Kekurangan protein, menyebabkan gangguan pada
absorpsi dan transportasi zat-zat gizi. Seseorang yang menderita kekurangan protein lebih
Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya.
Protein kompleks atau protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah
protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai
xcviii
Dengan menggunakan uji t-Independent tingkat asupan protein antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna dengan nilai p > 0,05.
Konsumsi protein rata-rata lansia sebelum intervensi sebesar 47,04 g dan setelah
intervensi selama 30 hari menurun menjadi 39,96 g, sedangkan pada kelompok kontrol
konsumsi rata-rata lansia sebelum intervensi adalah sebesar 44,23 g dan selama 30 hari
ubi jalar, mie dan roti. Sangat penting karena kalori yang dihasilkannya akan mencegah
pengunaan protein sebagai sumber energi. Sebaliknya protein dapat digunakan untuk
mempertahankan sistem kekebalan dan ukuran otot , mengatur keasaman darah serta
memproduksi jutaan substansi yang dibutuhkan untuk mengatur proses tubuh. Jika protein
digunakan sebagai sumber energi maka akan terjadi defisiensi protein yang sering
yang tidak bermakna pada kelompok intervensi sebesar 7,077 g, demikian pula pada
kelompok kontrol mengalami penurunan asupan protein yang tidak bermakna sebesar
8,061 g. Ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul ekstrak ikan gabus yang diberikan pada
lansia selama 30 hari tidak tdapat meningkatkan asupan protein lansia secara bermakna.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taslim,
dkk (2005) dimana terjadi peningkatan asupan protein pada kelompok intervensi sebesar
8,85 g, Hidayanti H. (2006) dengan peningkatan asupan protein pada kelompok intervensi
sebesar 25,15 g dan Salma (2007) dengan peningkatan asupan protein sebesar 28.533 g.
dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau
Hasil analisis tingkat asupan lemak antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol tidak berbeda secara bermakna dengan nilai p > 0,05. Asupan lemak rata-rata
sebelum mendapatkan kapsul konsentrat ikan gabus adalah 29.42 g dan mengalami
xcix
penurunan menjadi 28.45 g pada kelompok intervensi begitu pula pada kelompok kontrol
asupan rata-rata sebelum intervensi adalah sebesar 30,76 g dan menurun menjadi 28.41
g.
Berdasarkan hasil uji paired t-test diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang tidak
bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi yang
mendapatkan kapsul ekstrak ikan gabus selama 30 hari. Pada kelompok intervensi terjadi
penurunan asupan lemak yang tidak bermakna sebesar 0,969 g, demikian pula pada
kelompok kontrol terjadi penurunan asupan lemak yang tidak bermakna sebesar 2,352
gram. Ini menunjukkan bahwa pemberian kapsul ekstrak ikan gabus selama 30 hari tidak
Hasil ini berbeda dengan penelitian Taslim, dkk (2005) yang mendapatkan
peningkatan asupan lemak yang tidak bermakna sebesar 1,22 gram. Demikian pula pada
hasil penelitian Hidayanti H. (2006) yang mendapatkan peningkatan asupan lemak yang
dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau
Peranan utama karbohidrat di dalam tubuh adalah menyediakan glukosa bagi sel-
sel tubuh, yang kemudian diubah menjadi energi. Glukosa memegang peranan penting
karbohidrat seperti sel darah merah serta sebagian besar otak dan system syaraf
(Almatsier, 2001).
ada perbedaan bermakna asupan karbohidrat antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol dengan nilai p > 0,05. Untuk kelompok intervensi rata-rata asupan karbohidrat
adalah sebesar 269.73 g dan setelah intervensi selama 30 hari asupan ini meningkat
menjadi 340.07 g begitu pula pada kelompok kontrol asupan rata-rata karbohidrat adalah
c
Berdasarkan uji paired t-test, pada kelompok intervensi tidak terdapat perbedaan
bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi. Pada kelompok ini terjadi peningkatan
asupan karbohidrat yang tidak bermakna sebesar 70,338 g (p = 0,086), demikian pula
pada kelompok kontrol terjadi peningkatan asupan karbohidrat yang tidak bermakna
sebesar 45,926 g (p = 0,229). Ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul ekstrak ikan
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh
Taslim, dkk (2005), dimana terjadi peningkatan asupan karbohidrat sebesar 45,09 gram.
Demikian pula pada hasil penelitian Hidayanti H. (2006) yang mendapatkan peningkatan
Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji
Zink menupakan salah satu mineral yang penting dalam proses penyembuhan.
Zink akan meningkatkan kekuatan tegangan (gaya yang diperlukan untuk memisahkan
Hasil analisis dengan menggunakan uji t-independent diperoleh bahwa tidak ada
perbedaan bermakna asupan zink antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
dengan nilai p > 0,05. Pada kelompok intervensi konsumsi zink rata-rata lansia sebelum
intervensi adalah sebesar 6,54 mg dan setelah pemberian protein ekstrak ikan gabus
selama 30 hari menurun menjadi 4,28 mg begitu pula pada kelompok kontrol asupan rata-
rata zink lansia adalah sebesar 6,72 mg setelah 30 hari menurun menjadi 3,97 mg.
hormon dan enzim, diperlukan dalam perkembangan berbagai sel dan jaringan
penyembuhan luka serta dapat memperbaiki nafsu makan, (Gibson S., 2005).
ci
Analisis dengan menggunakan paired t-test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan bermakna asupan zink sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok
intrvensi. Pada kelompok ini terjadi penurunan zink secara bermakna sebesar 2,261 mg (p
= 0,007), sedangkan pada kelompok kontrol penurunan asupan zink juga terjadi secara
berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat.
Taraf darah zink yang tinggi dapat mencegah terjadinya kehilangan indera perasa yang
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Taslim,
dkk (2005), dimana terjadi peningkatan asupan zink sebesar 2,01 mg. Demikian pula
dengan hasil penelitian Hidayanti H. (2006) yang mendapatkan peningkatan asupan zink
Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji
Besi memainkan peranan yang penting pada trasportasi dan penggunaan oksigen
pada produksi energi oksidatif (Haas, 2001). Besi juga merupakan bagian dari beberapa
protein yang terlibat dalam rantai trasportasi elektron, metabolisme obat dan sistem
Di dalam sum-sum tulang zat besi digunakan untuk membuat hemoglobin yang
merupakan bagian dari sel darah merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh lain yang
membutuhkan. Kelebihan zat besi dapat mencapai 200-1500 mg, disimpan sebagai
protein feritin dan hemosiderin di dalam hati (30%), sum-sum tulang (30%) dan selebihnya
di simpan di dalam limpa dan otot. Dari simpanan tersebut sampai 50 mg sehari dapat
dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan Hb. Feritin yang bersirkulasi
dalam darah mencerminkan simpanan zat besi di dalam tubuh (Almatsier, 2001).
cii
Pada penelitian ini terlihat bahwa asupan Fe antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol tidak ada perbedaan bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p
> 0,05. Tingkat asupan Fe pada kelompok intervensi mengalami penurunan dan
menjadi 8,01 mg setelah diberikan intervensi selama 30 hari, sedangkan pada kelompok
kontrol asupan Fe lansia sebesar 6,39 mg dan mengalami peningkatan menjadi 7,43 mg
setelah 30 hari.
tidak bermakna pada kelompok intervensi sebesar 7,177 mg sedangkan pada kelompok
kontrol mengalami peningkatan asupan Fe yang tidak bermakna sebesar 1,049 mg.
Keseimbangan zat besi di dalam tubuh perlu dipertahankan yaitu jumlah zat besi
yang dikeluarkan dari tubuh sama dengan jumlah zat besi yang diperoleh tubuh dari
makanan. Bila zat besi dari makanan tidak mencukupi, maka dalam waktu lama akan
mengakibatkan anemia. Sel-sel darah merah berumur 120 hari, jadi sesudah 120 hari sel-
sel darah merah mati, dan diganti dengan yang baru. Proses penggantian sel darah
merah dengan sel-sel darah merah baru disebut turn over (Husaini ,1989).
ciii
BAB V
A. Kesimpulan
1. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan kadar
albumin darah lansia sebesar 1,79 mg/dl demikian pula pada kontrol
2. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari tidak dapat meningkatkan
berat badan lansia, dimana terjadi penurunan berat badan sebesar 1,058 kg.
3. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari tidak dapat meningkatkan
asupan zat energi dan karbohidrat masing-masing sebesar 103,5 kal, dan 70,3 g.
Berbeda dengan asupan protein dan lemak yang mengalami penurunan masing-
civ
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Alderson P, et al. Human albumin solution for resuscitation and volume expansion in
critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 2002; 1:CD001208.
Almatsier S. 2001. Prinsip-prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Almatsier, Sunita. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Puataka Utama. Jakarta.
Arisman, MB, “ Gizi Dalam Daur Kehidupan “, Buku Ajar Ilmu Gizi Kedokteran, Jakarta,
2004.
Arisman. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi; Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta, EGC.
As’ad Suryani, 2001. Pengaruh Pemberian Zink terhadap Profil Sitokin dan Diare pada
Anak Balita Gizi Buruk. Disertasi. Unhas, Makassar.
cv
Baime MJ, Nelson JB, Castell DO. Aging of the gastrointestinal system, In : Hazzard WR,
Bierman EL, Blasss JP, Ettinger WH, Halter JB, eds, Principle of Geriatric
Medicine and Gerontology, 2003.
Bappenas, 2007. Jumlah Lansia 2025 Diproyeksikan 62,4 juta jiwa, Forum Jakarta untuk
Perlindungan Lansia Digelar di Bappenas. http://www.bappenas.go.id
Brocklehurst, JC & Allen, SC, 1987, Geriatric Medicine For Students, 3rd Ed. Churchiil &
Livingstone.
Brotowijoyo, M.D. 1995. Pengantar Lingkungan dan Budidaya Air. Liberty. Jogjakarta.
Chaourdhy, Pan M, Karinch, Souba, 2006. Branched Amino Acid –Enriched nutritional
Support in Surgical n cancer Patients, J Nutr. 136: 314S-
Charlton M, 2006. Branched-Chain Amino Acid Enriched Supplements as Terapy for liver
Disease.J Nutr.136:314S-8S
Cohen HJ, Crawford J. Hematologic Problems. In: Calkins E, Davis PJ, Ford AB,editors.
The Practice of Geriatrics. Philadelphia: WB Saunders Company. 1986. p.
519–31
Daldiyono dan Thaha. 1998. Kapita Selekta Nutrisi Klinik. Perhimpunan Nutrisi Enteral dan
Parenteral Indonesia. Jakarta.
Darmojo, R.D dan Martono M.D, “Buku Ajar Geriatri, Edisi I”, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta 1999.
Darmojo R. B. . 2002. Teori Proses Menua. Dalam Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut).
Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Departemen Kesehatan RI, “Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas
kesehatan”, Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Jakarta,
1995.
Depkes. 1998. Pedoman pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan;
Materi Pembinaan. Jakarta, Depkes RI.
Finelli C, et al. 2001. Use and Abuse of Albumin : A Survey of Clinical Records from An
Internal Medicine Ward. Journal of Nutrition 21:183-5.
Harjodisastro Daldiyono dkk ,2006 Dukungan Nutrisi pada Kasus Penyakit Dalam. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI
Jakarta.
Harrison. 1999. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam; Ilmu Gizi dan Kebutuhan Gizi. Edisi
13. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
cvi
Herawati I, Wahyuni, 2004, Perbedaan Pengaruh Senam Otak dan Senam Lansia
Terhadap Keseimbangan Pada Orang Usia Lanjut.
http://eprints.ums.ac.id/524/1/infokes_8_(1)_isnaeni.pdf.
Hidayanti Healthy. 2006. Pengaruh Pemberian Kapsul Konsentrat Ikan Gabus Terhadap
Kadar Albumin dan Proses Penyembuhan pada Pasien Pasca Bedah di
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. Tesis. Makassar. Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Hill L Graham. 2000. Disorders of Nutrition and Metabolism in Clinical Surgery. University
of Leeds. Consulting Surgeon, St Marks Hospital. London.
Johanes, Cavalo. 1998. Studi Profil Asam Amino Albumin dan Mineral Zn pada Ikan
Gabus (Ophicepalus striatus) dan Ikan Tomang. Fakultas Perikanan Unibraw.
Malang.
Kartasapoetra. 2005. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktifitas Kerja). Rineke
Cipta. Jakarta.
Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada.
Kinsella, K & Tauber, 1993. An Aging World II. Washington DC : International Population
Report. US, Bureau of The Census.
Kirby, D.F., 2002. Low Serum Albumin and I Creased Risk of Mortality After Percueneous
Endoscopic Gastrotomy. American Society For Parenteral & Enteral Nutrition
(Abstract)
Mutiara Erna, 2003. Karakteristik Penduduk Lanjut Usia di Propinsi Sumatera Utara Tahun
1990. Digitized by USU digital library, Medan.
cvii
Nurhayati. 2005. Mental-Emosinal, Kemandirian, Pola Makan dan Status Gizi Usia Lanjut
di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Kecamatan Rappocini Kota
Makassar. Skripsi. FKM Unhas.
Prosiding. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.
Editor: Soekirman, dkk. Diterbitkan LIPI. Jakarta.
Read M, Schlenker ED. Food selection patterms among the aged. In Schlenker ED.
Nutrition in aging.2nd ed. 1993
Rohmah W. 2002. Tua dan Proses Menua. Kumpulan makanan shortcourse "Asuhan Gizi
Geriatri ". Yogyakarta, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat F
Supariasa IDN, Bakri B, Fadjar I. 2002. Penilaiaan Status Gizi. Jakarta, ECG
K UGM.
Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1985. Il mu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Dian
Rakyat. Jakarta.
Sirat, A.M, dan Riyadina. W “Faktor-Faktor yang mempengaruhi Status Kesehatan Lanjut
Usia, Majalah Kedokteran Indonesia,1998”
Siswono. 2003. Ikan Tawar Kaya Protein dan Vitamin. (bin/berita/fullnew.cgi, diakses 6
September 2006).
Stepanuk. 2000. Biochemical and Physiological Aspecs of Human Nutrition. Wb. Saunders
company. Philadelphia. Pensylvania.
Sung, Jin; Bochicchio, Grant V; Et al. Admission Serum Albumin Is Predicitve of Outcome
in Critically Ill Trauma Patients. The American Surgeon. 2004
Syarfaini. 2007. Pengaruh Formula Biskuit Dengan Tambahan Tepung Ikan Gabus
Terhadap Status Gizi Balita KEP Umur 12-36 Bulan Di Kelurahan Pannampu
Kota Makassar. Tesis. Program Pascasarjana UNHAS.
Taslim, N. A. dkk. 2005. Pembuatan Tepung Ikan Gabus sebagai Makanan Tambahan
Sumber Albumin Dan Pemanfaatannya. Pusat Penelitian Pangan, Gizi Dan
Kesehatan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Taslim, N. A. 2004. Penyuluhan Gizi, Pemberian Soy Protein Dan Perbaikan Status Gizi
Penderita Tuberkulosis di Makassar. Jurnal Medika Nusantara. Vol. 25. No. 2.
www.med.unhas.ac.id Diakses 24 Desember 2006.
cviii
Tirtawinata. 2006. Makanan dalam Perspektif Al-Quran dan Imu Gizi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Vincent Jean Louis.2003. Hipoalbumenia in Acute Ilneas is the Irationale for intervention
Ann.Surg. 237 (3):319-334.
I. Identitas Lansia
Nama :
Jenis Kelamin : L/P
Umur :
Agama :
Alamat :
Pekerjaan :
Status Perkawinan :
cix
II. Antropometri & Status Gizi
Snack
Makan Siang
Snack
MakanMalam
cx
Sebelum Tidur
Berat badan saat ini diukur dengan timbangan injak digital yang sudah dikalibrasi. Tingkat
b. Subyek menggunakan pakaian biasa (menutup aurat). Isi kantong yang berat
kedua kaki dan posisi kepala tegak lurus menghadap lurus ke depan.
Tinggi badan diukur dengan microtoise, dengan ketelitian 0,1 cm. Caranya (Hadju, 1997) :
cxi
a. Subyek dengan pakaian biasa dan tanpa sepatu/sandal dan kaus kaki.
b. Subyek berdiri pada tempat yang rata dan tepat di bawah microtoise.
c. Berat badan terdistribusi merata pada kedua kaki dan posisi kepala tegak
d. Tangan tergantung secara bebas pada kedua sisi badan dengan arah
vertikal.
cxii
Lampiran 6. Inform concent
1. Saya yang bertanda tangan di bawah ini setuju untuk berpartisipasi pada
penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Ikan Gabus Terhadap Kadar
Albumin Serum Dan Status Gizi Lansia di Panti sosial Tresna Werdha Gau Mabaji
Kabupaten Gowa”.
2. Saya telah diberi penjelasan lengkap oleh sdr. Dian Cholika Hamal tentang tujuan
dan manfaat penelitian ini.
3. Saya diberi kesempatan untuk bertanya pada sdr. Dian Cholika Hamal tentang
semua aspek penelitian ini dan saya mengerti mengenai semua keterangan yang
diberikan.
4. Saya setuju untuk memenuhi dan mematuhi serta melaksanakan dengan ikhlas
instruksi yang diberikan.
5. Saya diberi kesempatan dan kebebasan untuk menarik diri dari partisipasi
penelitian ini setiap saat tanpa harus memberi penjelasan tentang pengunduran diri
saya.
cxiii
Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan kepada peneliti akan dijaga kerahasiaanya dan
hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian ini.
Peneliti tanggal
cxiv