Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

METODE ANASTESI LOKAL

1.1 Latar Belakang

Anestesi lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade channel
natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf, jika
digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh
pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.
Semua obat anestetik lokal baru adalah sebagai rekayasa obat lama yang dianggap masih
mempunyai kekurangan-kekurangan. Kokain adalah obat anestetik pertama yang dibuat dari
daun koka dan dibuat pertama kali pada 1884. Penggunaan kokain aman hanya untuk anestesia
topikal. Penggunaan secara sistemik akan menyebabkan dampak samping keracunan sistem
saraf, sistem kardiosirkulasi sehingga dibatasi pembuatannya hanya untuk topikal mata, hidung
dan tenggorokan.

Istilah anestesi berasal dari Bahasa Yunani an yang artinya tidak dan aesthesis yang
artinya perasaan. Secara umum anestesi berarti kehilangan perasaan atau sensasi.² Anestesi
terbagi dua yaitu, anestesi umum dan anestesi lokal. Bila mempengaruhi seluruh tubuh,
digunakan istilah `analgesia umum` atau `anestesi umum`. Bila hanya sebagian dari tubuh yang
terpengaruh, maka istilah yang digunakan adalah anestesi lokal. Anestesi lokal merupakan
anestesi yang sering digunakan pada pencabutan gigi geligi.

Bahan anestesi lokal merupakan salah satu bahan yang paling sering digunakan dalam
kedokteran gigi, bahkan menjadi bahan yang mutlak digunakan dalam praktik dokter gigi sehari-
hari. Bahan anestesi lokal digunakan untuk menghilangkan rasa sakit yang timbul akibat
prosedur kedokteran gigi yang dilakukan. Bahan anestesi lokal terbagi atas dua golongan yaitu
ester dan amida. Jenis bahan anestesi yang termasuk dalam golongan ester diantaranya yaitu
kokain, prokain, kloroprokain, tetrakain dan benzokain, sedangkan yang termasuk dalam
golongan amida diantaranya yaitu lidokain, mepivakain, bupivakain, prilokain, etidokain,

1|LAPORAN FARMAKOLOGI
artikain, ropivakain dan dibukain. Bahan anestesi golongan amida merupakan bahan anestesi
yang sering digunakan sebagai bahan anestesi lokal di bidang kedokteran gigi.

1.2 Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :

1. Mengenal berbagai teknik untuk menyebabkan anestesi local pada hewan coba.

2. Memahami faktor yang melandasi perbedaan dalam sifat dan potensi kerja anastetika local.

3. Memahami faktor yang mempengaruhi potensi kerja anastetika local.

2|LAPORAN FARMAKOLOGI
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar

Anestesika lokal atau zat penghilang rasa setempat adalah obat yang pada penggunaan
lokal merintangi secara reversible penerusan impuls saraf ke SSP dan dengan demikiam
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau dingin. (Tjay, Tan Hoan
dan Rahardja, Kirana, 2007).

Salah satu obat anestetika lokal yang sering dipergunakan adalah lidokain. Pada
percobaan ini akan diamati efek anestesia permukaan dari obat tersebut dengan metode yang
sederhana Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang digunakan
sebagai anestetikum lokal, antara lain:

- Tidak merangsang jaringan

- Tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen

- Toksisitas sistemis rendah

- Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lender

- Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama

Dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap pemanasan
(sterilisasi). (Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007).

Struktur dasar anastetika lokal pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yakni suatu gugus
amio hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester (alkohol) atau
amida dengan suatu gugus-aromatis lipofil. Semakin panjang gugus alkoholnya, semakin besar
daya kerja anastetiknya, tetapi toksisitasnya juga meningkat (Tjay, Tan Hoan dan Rahardja,
Kirana, 2007).

Anastetika lokal dapat digolongkan secara kimiawi dalam beberapa kelompok, yaitu
sebagai berikut :

3|LAPORAN FARMAKOLOGI
a. Senyawa-ester: kokain dan ester PABA (benzokain, prokain, oksibuprokain, tetrakain).

b. Senyawa-amida: lidokain dan prilokain, mepivakain, bupivakain dan chincokain

c. Lainnya: fenol, benzilalkohol dan etilklorida

Beberapa teknik untuk menyebabkan anastesi local pada hewan coba di antaranya:

- Anastesi local metode permukaan

Efek anastesi ini tercapai ketika anastetika local ditempatkan di daerah yang ingin dianastesi.

- Anastesi local metode regnier

Mata normal apabila disentuh pada kornea akan memberikan respon refleks ocular (mata
berkedip). Jika diteteskan anstestika local, respon refleks ocular timbul setelah beberapa kali
kornea disentuh sebanding dengan kekuatan kerja anastetika dan besaran sentuhan yang
diberikan. Tidak adanya respon refleks ocular setelah kornea disentuh 100 kali dianggap
sebagai tanda adanya anastesi total.

- Anastesi local metode infiltrasi

Anastetika local yang disuntikkan ke dalam jaringan akan mengakibatkan kehilangan sensasi
pada struktur sekitarnya.

- Anastesi local metode konduksi

Respon anastesi local yang disuntikkan ke dalam jaringan dilihat dari ada/ tidaknya respon
Haffner. Respon Haffner adalah refleks mencit yang apabila ekornya dijepit, maka terjadi
respon angkat ekor/ mencit bersuara.

4|LAPORAN FARMAKOLOGI
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat, Bahan dan Prosedur

1. Anastesi Lokal Metode Permukaan

Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg


Obat : - Tetes mata prokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes
- Tetes mata lidokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes
Alat : Gunting, aplikator, kotak kelinci, stop watch

Prosedur:

1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator.

2. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip)
dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-0.

CATATAN : Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus diatur.

3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:

a. Mata kanan : tetes mata prokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes

b. Mata kiri : tetes mata lidokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes

4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.

5. Cek ada/ tidaknya respon reflek ocular mata (mata berkedip) dengan menggunakan
aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30, 45, 60

6. Catat dan tabelkan pengamatan.

5|LAPORAN FARMAKOLOGI
7. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua mata
kelinci.

Ada/tidaknya respon refleks okuler

Percobaan Bahan Obat (menit ke-)

0 5 10 15 20 30 45 60

Anastesi local Mata kelinci Prokain


metode kanan HCl 2%
permukaan
Mata kelinci Lidokain
kiri HCl 2%

2. Anastesi Lokal Metode Reguler

Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg


Obat : - Tetes mata prokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes
- Tetes mata lidokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes
Alat : Gunting, aplikator, kotak kelinci, stop watch

Prosedur :

1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator.

2. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip)
dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-0.

CATATAN : Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus diatur.

3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:

a. Mata kanan : tetes mata prokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes

b. Mata kiri : tetes mata lidokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes

4. Tutup kelopak mata kelinci selama satu menit

5. Cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip) dengan menggunakan
aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-8, 15, 20, 25, 30, 40, 50, 60

6|LAPORAN FARMAKOLOGI
6. Ketentuan metode Regnier:

a. Pada menit ke-8

- Jika pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon refleks okuler  maka
dicatat angka 100 sebagai respon negative

- Jika pemberian aplikator sebelum 100 kali terdapat respon refleks okuler  maka
dicatat angka terakhir saat memberikan respon sebagai respon negative

b. Pada menit ke-15, 20. 25. 30. 40, 50. 60

- Jika pemberian aplikator pada sentuhan pertama terdapat respon refleks okuler 
maka dicatat angka 1 sebagai respon negative dan menit-menit yang tersisa juga
diberi angka 1

c. Jumlah respon refleks okuler negative dimulai dari menit ke-8 hingga menit ke-60.
Jumlah ini menunjukkan angka Regnier dimana efek anastetika local dicapai pada
angka Regnier minimal 13 dan maksimal 800.

7. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada mata kanan
dan kiri kelinci.

8. Catat dan tabelkan pengamatan

Jumlah sentuhan yang memberi

respon refleks okuler


Percobaan Bahan Obat
(menit ke-)

0 8 15 20 25 30 40 50 60

Anastesi local Mata kelinci Prokain


metode Regnier kanan HCl 2%

Mata kelinci Lidokain


kiri HCl 2%

3. Anastesi Lokal Metode Infiltrasi

7|LAPORAN FARMAKOLOGI
Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg

Obat : - Larutan prokain HCl 1% sebanyak 0,2 ml secara SC

- Larutan prokain HCl 1% dalam adrenalin (1:50.000) sebanyak 0,2


ml secara SC

- Larutan lidokain HCl 1% sebanyak 0,2 ml secara SC

- Larutan lidokain HCl 1% dalam adrenalin (1:50.000) sebanyak 0,2


ml secara SC

Alat : Gunting, alat cukur, spuit injeksi 1 ml, peniti, kotak kelinci, spidol,
stop watch

Prosedur:

1. Siapkan kelinci. Gunting bulu punggung kelinci dan cukur hingga bersih kulitnya (hindari
terjadinya luka).

2. Gambar empat daerah penyuntikan dengan jarak ±3 cm.

3. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon getaran otot punggung kelinci dengan
menggunakan peniti sebanyak enam kali sentuhan pada daerah penyuntikan pada menit
ke-0.

CATATAN : Jangan terlalu keras menggunakan peniti dan ritme harus diatur.

4. Suntikkan larutan obat tersebut pada daerah penyuntikan.

5. Cek ada/ tidaknya respon getaran otot punggung kelinci dengan menggunakan peniti
sebanyak enam kali sentuhan pada daerah penyuntikan pada menit ke-5, 10, 15, 20, 25,
30, 35, 40, 45, 60.

6. Catat dan tabelkan pengamatan.

Ada/tidaknya getaran otot punggung kelinci


Percobaan Bahan Obat
sebanyak 6 kali dengan menggunakan peniti

8|LAPORAN FARMAKOLOGI
(menit ke-)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60

Anastesi Punggung Prokain


local kelinci
Prokain +
metode kanan
adrenalin
infiltrasi
Punggung Lidokain
kelinci kiri
Lidokain +
adrenalin

4. Anastesi Lokal Metode Konduksi

Hewan coba : Mencit putih, jantan (jumlah 3 ekor), bobot tubuh 20-30 g

Obat : - Larutan prokain HCl 0,5 mg/kgBB mencit secara IV

- Larutan lidokain HCl secara IV

- Larutan NaCl 0,9% secara IV

Alat : Spuit injeksi 1 ml, kotak penahan mencit, pinset, spidol

Prosedur:

1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon Haffner pada menit
ke-0

2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit.

3. Mencit pertama disuntik dengan larutan prokain HCl secara IV.

4. Mencit kedua disuntik dengan larutan lidokain HCl secara IV.

5. Mencit ketiga disuntik dengan larutan NaCl 0,9%.

6. Cek ada/ tidaknya respon Haffner (ekor mencit dijepit lalu terjadi respon angkat ekor/
mencit bersuara) pada menit ke-10, 15, 20, 25, 30.

7. Catat dan tabelkan pengamatan.

9|LAPORAN FARMAKOLOGI
Ada/tidaknya respon Haffner

Percobaan Bahan Obat (menit ke-)

0 10 15 20 25 30

Anastesi local Mencit Prokain HCl


metode
Lidokain
konduksi
Larutan NaCl
0,9%

Respon Haffner adalah refleks mencit yang apabila ekornya dijepit, maka terjadi respon angkat ekor/
mencit bersuara.

10 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB IV

HASIL dan PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


1. Anastesi Lokal Metode Permukaan

Ada/tidaknya respon refleks okuler

Percobaan Bahan Obat Kel. (menit ke-)

0 5 10 15 20 30 45 60

Anastesi Mata 1 + + + + + + + +
local kelinci
NaCl
metode kanan
2 + + + + + + + +
permukaan

Mata Lidokain 1 + + - - - - - -
kelinci kiri HCl 2%

2 + + - - - - + +

2. Anastesi Lokal Metode Reguler

Jumlah sentuhan yang memberi

respon refleks okuler ∑


Percobaan Bahan Obat
Kel. (menit ke-)

0 8 15 20 25 30 40 50 60

Anastesi Mata 3 + 1 1 1 1 1 1 1 1 8
local kelinci
NaCl 4 + 1 1 1 1 1 1 1 1 8
metode kanan
Regnier
Mata Lidokain 3 + 100 100 88 65 12 1 1 1 368
kelinci HCl 2%
4 + 100 100 100 77 5 1 1 1 395
kiri

11 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
3. Anastesi Lokal Metode Infiltrasi

Ada/ tidaknya getaran otot punggung kelinci


Percobaan Bahan Obat sebanyak 6 kali dengan memakai peniti (menit ke-)
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60

Anastesi Punggung Lidokain + - - - - - - - - - -


kanan kelinci
lokal
Punggung Lidokain + + + - - - - - - + + +
metode
kiri kelinci
adrenalin
permukaan

4. Anastesi Lokal Metode Konduksi

Ada/tidaknya respon Haffner

Percobaan Bahan Obat (menit ke-)

0 10 15 20 25 30

Anastesi local Mencit Lidokain HCl + + - - - +


metode
Lidokain + adrenalin + + - - -
konduksi
Larutan NaCl + + + + + +
0,9%

4.2 Pembahasan

Anastesi lokal adalah obat analgesic yang dirancang untuk digunakan secara klinis guna
menghilangkan sensasi secara reversible pada bagian tubuh tertentu.

1. Anastesi Lokal Metode Permukaan

Metode ini dilakukan oleh kelompok 1 dan kelompok 2 dengan menggunakan hewan coba
kelinci dan obat tetes mata lidokain HCL 2% dan NaCl. Lidokain bekerja menghambat aktivitas
kanal iodium sehingga menstabilkan membrane neuron. Akibatnya, tidak terjadi potensial aksi
dan konduksi impuls saraf menjadi terganggu. Secara teori, sifat kerja lidokain lebih cepat, lebih

12 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
kuat, lebih lama dan lebih ekstensif dan juga lidokain memiliki onset dan durasi kerja yang
singkat/pendek. Onset yaitu waktu dari saat pemberian obat sampai dengan muncul efek
sedangkan durasi yaitu waktu dari saat muncul efek sampai dengan efek hilang. Hal pertama
yang dilakukan pada hewan coba kelinci adalah menggunting bulu mata kelinci agar tidak
mengganggu aplikator.

Pada kelompok 1, sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon reflex ocular (mata
berkedip) pada menit ke-0 dan setelah di cek ternyata hasilnya adalah positif, yaitu adanya
respon reflex ocular/mata berkedip. Pada mata kanan kelinci, diteteskan larutan NaCl dan pada
mata kiri kelinci diteteskan lidokain HCL 2%. Setelah diteteskan, tutup masing – masing kelopak
mata kelinci selama 1 menit. Kemudian cek ada/tidaknya respon reflex ocular (mata berkedip)
dengan menggunakan aplikator secara tegak lurus pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30, 45, 60.
Setelah diteteskan larutan NaCl pada mata kanan kelinci pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30, 45, 60
didapatkan hasil positif, yaitu adanya respon reflex ocular/mata berkedip. Hal ini menunjukkan
bahwa NaCl tidak bekerja sebagai anastesi lokal pada kelinci dan juga menunjukkan bahwa hal
ini sesuai teori karena NaCl adalah larutan elektrolit dan tidak memiliki efek anastesi. Sedangkan
pada mata kiri kelinci yang diteteskan lidokain HCL 2%, pada menit ke-0 dan menit ke-5
didapatkan hasil positif, yaitu adanya respon reflex ocular mata/mata berkedip. Kemudian pada
menit ke 10, 15, 20, 30, 45, 60 didapatkan hasil negative, yaitu tidak adanya respon reflex ocular
mata/mata tidak berkedip dan artinya larutan obat sudah bekerja.

Pada kelompok 2 sama hal-nya seperti kelompok 1 yang menggunakan hewan coba kelinci
dan obat tetes mata lidokain HCL 2% dan larutan NaCl. Sebelum pemberian obat, cek
ada/tidaknya respon reflex ocular (mata berkedip) pada menit ke-0 dan setelah di cek ternyata
hasilnya adalah positif, yaitu adanya respon reflex ocular/mata berkedip. Setelah diteteskan NaCl
pada mata kanan kelinci pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30, 45, 60 didapatkan hasil positif, yaitu
adanya respon reflex ocular mata/mata berkedip. Artinya larutan obat tidak bekerja sebagai
anastesi pada kelinci. Sedangkan pada mata kiri betina yang diteteskan lidokain HCL 2%, pada
mencit ke-5 hasilnya positif, yaitu mata kelinci masih berkedip. Setelah menit ke- 10, 15, 20, 30
didapatkan hasil negative yang berarti tidak adanya respon reflex ocular mata/mata tidak
berkedip. Artinya pada menit ke-10 sampai menit ke-30, larutan obat sedang bekerja. Pada menit
ke-45 dan menit ke-60, didapatkan hasil positif, yaitu adanya respon reflex ocular. Berarti pada

13 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
menit ke-45 sampai menit ke-60, efek obat mulai menghilang karena mata kelinci sudah mulai
berkedip lagi.

Jika hasil percobaan kelompok 1 dan kelompok 2 dibandingkan, durasi kerja kelompok 1 lebih
lama daripada durasi kerja kelompok 2. Durasi kerja kelompok 1 yaitu 50 menit sedangkan
durasi kerja kelompok 2 yaitu 20 menit. Pada kelompok 1 dan 2, obat lidokain HCL 2% sudah
bekerja pada menit ke-10. Artinya percobaan kelompok 1 sesuai teori karena secara teori,
lidokain HCL 2% bersifat lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif.

2. Anastesi Lokal Metode Regnier

Metode ini dilakukan oleh kelompok 3 dan 4 dengan menggunakan hewan coba kelinci dan
obat lidokain HCL 2% dan juga larutan NaCl. Sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon
reflex ocular mata (mata berkedip) dengan menggunakan aplikator secara tegak lurus pada menit
ke-0 dan pada kelompok 3 didapatkan hasil positif, yaitu adanya respon reflex ocular mata/mata
berkedip. Pada mata kanan kelinci diteteskan larutan NaCl kemudian dicek dengan
menggunakan aplikator dan didapatkan/dicatat angka 1 pada menit ke-8 sampai menit ke-60
yang artinya mata kanan kelinci berkedip pada sentuhan pertama dengan pemberian aplikator.
Total sentuhan pada mata kanan kelinci dari menit ke-8, 15, 20, 25, 30, 40, 50, 60 adalah 8 kali.
Ini tidak menunjukkan angka regnier dimana efek anastetika lokal dicapai pada angka regnier
minimal 13 dan maksimal 800. Pada mata kiri kelinci diteteskan lidokain HCL 2%, pada menit
ke-8 dan 15 dicatat angka 100 karena pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon
reflex ocular mata/mata kiri kelinci tidak berkedip maka pada menit ke-8, lidokain HCL 2%
sudah mulai bekerja. Pada menit ke-20 dicatat angka 88, pada menit ke-25 dicatat angka 65 dan
pada ke-30 dicatat angka 12. Artinya, pada menit ke-20, 25, 30 terdapat respon reflex ocular
pada pemberian aplikator sebelum 100 kali. Pada menit ke-40 sampai menit ke-60 dicatat angka
1 yang artinya mata sudah berkedip kembali pada sentuhan pertama dan efek obat sudah hilang.
Total sentuhan dari menit ke-8 sampai menit ke-60 adalah 368 kali.

Pada kelompok 4, didapatkan hasil positif pada menit ke-0 berarti mata berkedip. Pada mata
kanan yang ditetesi larutan NaCl, menit ke-8 sampai menit ke-60 dicatat angka 1 yang artinya
terdapat respon reflex ocular pada sentuhan pertama dengan pemberian aplikator. Total sentuhan
dari menit ke-8 sampai menit ke-60 adalah 8 kali. Ini tidak menunjukkan angka regnier minimal
13 dan maksimal 800. Pada mata kiri kelinci diteteskan lidokain HCL 2%, pada menit ke-8, 15,

14 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
20 dicatat angka 100 karena pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon reflex ocular
mata maka pada menit ke-8 lidokain HCL 2% sudah mulai bekerja. Pada menit ke-25 dicatat
angka 77 dan pada menit ke-30 dicatat angka 5 yang artinya pada menit ke-25 dan 30 terdapat
respon reflex ocular sebelum 100 kali pada pemberian aplikator. Efek obat sudah mulai
menghilang pada menit ke-25 dan 30. Pada menit ke-40, 50, 60 dicatat angka 1 yang artinya
mata sudah berkedip kembali pada sentuhan pertama dan efek sudah hilang. Total sentuhannya
adalah 395 kali.

Jika hasil percobaan kelompok 3 dan 4 dibandingkan, durasi kerja lebih lama adalah kelompok 4
karena pada saat pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon reflex ocular pada menit
ke-8, 15, 20 sedangkan kelompok 3 hanya pada menit ke-8 dan menit ke-15 saja. Kelompok 4
sesuai dengan teori karena lidokain HCL 2% lebih lama dan lebih cepat memberikan efek.

3. Anastesi lokal metode infiltrasi

Metode ini dilakukan oleh kelompok 5 dengan hewan coba kelinci dan obat lidokain HCL
2% dan lidokain HCL 2% dalam adrenalin. Secara teori, lidokain HCL 2% dalam adrenalin
memberikan efek lama kerja karena penambahan adrenalin pada larutan anastetika lokal akan
memperpanjang dan memperkuat kerja anastesi lokal. Hal pertama yang dilakukan menggunting
bulu punggung kelinci dan mencukur hingga kulitnya bersih. Sebelum pemberian obat, cek
ada/tidaknya respon getaran otot punggung kelinci menggunakan jarum pentul sebanyak 6 kali
pada daerah penyuntikkan pada menit ke-0 dan didapatkan hasil positif yaitu adanya respon
getaran otot punggung. Setelah pemberian obat lidokain pada punggung kanan kelinci,
didapatkan hasil negative pada menit ke-5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 60 yang berarti efek
obat lidokain masih bekerja sampai menit akhir. Sedangkan pada punggung kiri yang diberikan
obat lidokain HCL 2% dalam adrenalin pada menit ke-5 hasilnya positif, punggungnya masih
bergetar. Pada menit ke-10 obat sudah mulai bekerja sehingga sudah tidak memberikan respon.
Pada menit ke-15 sampai menit ke-35 obat masih bekerja dan pada menit ke-40, 45, 60 obat
sudah tidak lagi bekerja. Percobaan kelompok 5 ini tidak sesuai teori karena seharusnya dengan
penambahan adrenalin akan memperpanjang dan memperkuat kerja anastesi lokal.

4. Anastesi Lokal Metode Konduksi

15 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Metode ini dilakukan oleh kelompok 6 dengan hewan coba mencit dan obat lidokain HCL,
lidokain dalam adrenalin dan NaCl 0,9%. Pada menit ke-0 didapatkan hasil positif artinya
terdapat respon Haffner yaitu mencit akan mengangkat ekor/bersuara jika ekornya dijepit.
Setelah pemberian obat, lidokain HCL pada menit ke-10 didapatkan hasil positif berarti belum
bekerja. Lalu pada menit ke-15, 20, 25 obat sedang bekerja dan pada menit ke-30 obat sudah
tidak lagi memberikan efek. Pada obat lidokain dalam adrenalin, pada menit ke 10 didapatkan
hasil positif berarti obat belum memberikan efek. Pada menit ke-15, 20, 25, dan 30 obat sudah
memberikan efek/obat sudah bekerja artinya sudah tidak terdapat respon Haffner. Kelompok 6
sesuai teori karena lidokain dalam adrenalin durasi kerjanya lebih lama.

16 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

- Obat anastetika lokal menghambat penghantaran impuls saraf ketika digunakan secara lokal
pada jaringan saraf dengan kadar dan waktu yang tepat.

- Obat yang digunakan pada praktikum ini memiliki efek anastetika lokal kecuali NaCl karena
NaCl hanya larutan elektrolit dan tidak memiliki efek anastesi.

- Lidokain dalam adrenalin memberikan efek lama kerja ( durasi kerja ) karena dengan
penambahan adrenalin pada larutan anastetika lokal akan memperpanjang dan memperkuat kerja
anastesi lokal.

5.2 Saran

Praktikan harus lebih berhati-hati untuk menghindari kesalahan atau bahaya yang
ditimbulkan serta praktikan harus lebih teliti dan cermat dalam mengamati efek yang
ditumbulkan obat.

17 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
5.3 Daftar Pustaka

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-
Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

Mutschler, E., 1986, Dinamika Obat : Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi, diterjemahkan
oleh Widianto, M.B., dan Ranti, A.S., Edisi Kelima, 157-158, Penerbit ITB, Bandung.

Mutschler, E., 1999, Dinamika Obat : Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi, diterjemahkan
oleh Widianto, M.B., dan Ranti, A.S., Edisi Kelima, Penerbit ITB, Bandung.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi ketiga

Majalah Farmacia. Edisi Mei 2008.Anestesi Topikal untuk Cosmetic Dermatology. Hal 58
Stoelting RK, Hilli

18 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB I

PENDAHULUAN

PENGARUH OBAT TERHADAP MEMBRAN KULIT dan MUKOSA

1.1 Latar Belakang

Efek obat yang akan timbul pada membrane dan kulit mukosa tergantung
pada jumlah obat yang dapat diserap pada permukaan kulit dan membrane serta kelarutan obat
dalam lemak karena pada epidermis kulit merupakan sawar lemak.Pada kulit yang
terkelupas) luka makaabsorpsi jauh lebih mudah. obat yang digunakan di sini dapat
memberikan efek menggugurkan bulu korosif. fenol serta adstrigen obat tersebut obat
tersebut dapat memberikan efek local padamembrane dan kulit mukosa.

1.2 Tujuan

1. Memahami efek local dari berbagai obat/ senyawa kimia terhadap kulit dan membrane mukosa
berdasarkan cara kerja masing-masing, serta dapat diaplikasikan dalam praktek dan
dampaknya sebagai dasar keamanan penanganan bahan.

2. Memahami sifat dan intensitas kemampuan merusak kulit dan membrane mukosa dari
berbagai obat yang bekerja local.

3. Menyimpulkan persyaratan farmakologi untuk obat yang dipakai secara local.

19 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Efek obat yang akan timbul pada membrane dan kulit mukosa tergantung pada jumlah obat
yang dapat diserap pada permukaan kulit dan membrane serta kelarutan obat dalam lemak karena
pada epidermis kulit merupakan sawar lemak.Pada kulit yang terkelupas) luka makaabsorpsi jauh
lebih mudah. obat yang digunakan di sini dapat memberikan efek menggugurkan bulu korosif.
fenol serta adstrigen obat tersebut obat tersebut dapat memberikan efek local padamembrane dan
kulit mukosa.

Obat yang dipakai secara local dari beberapa sifat dengan penggunaannya diantara

• Zat yang dapat menggugurkan kulit : bekerja denagn cara menekan ikatan S-S pada keratin
kulit sehingga bulu mudah rusak dan gugur

• Zat korosif : bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit melalui reaksi oksidasi
sehingga kulit dan membrane mukosa akan rusak

• Zat astringen bekerja dengan cara mengkoagulansia protein shingga premiabilitas sel pada
kulit dan membrane menjadi turun

• Fenol dalam berbagai lautan menunjukan efek local yang berbeda pula yang dipengaruhi oleh
pebedaan kreaktisan part dan premeabilitas kulit sehinggamempengaruhi penetrasi fenol ke
dalam jaringan.

20 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat, Bahan dan Prosedur

1. Menggugurkan Bulu

Hewan coba : Tikus putih, jantan (jumlah 1 ekor), usia 2 bulan, bobot tubuh
200- 300 g

Obat : - Veet cream

- Larutan NaOH 20%

- Larutan Na2S 20%

- Kertas saring

Alat : Gunting bedah, batang pengaduk, gelas arloji, stop watch

Prosedur:

1. Siapkan tikus yang terlebih dahulu dikorbankan.

2. Ambil kulitnya lalu dibuat tiga potongan; masing-masing berukuran 2,5 x 2,5 cm

3. Letakkan potongan kulit tersebut di atas gelas arloji yang telah diberi alas kertas saring.

4. Catat bau asli/ awal dari obat yang digunakan

5. Oleskan/ teteskan larutan obat pada bagian atas potongan kulit tikus tersebut.

21 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
6. Amati selama 30 menit efek menggugurkan bulu setelah pemberian obat dengan bantuan
batang pengaduk

7. Catat dan tabelkan pengamatan.

Efek

Gugur Bulu
Percobaan Bahan Obat
Bau Awal (catat waktu saat
mulai gugur bulu)

Menggugurkan Kulit tikus Veet cream


bulu
Larutan
NaOH 20%

Larutan NaS
20%

2. Korosif

Hewan coba : Tikus putih, jantan (jumlah 1 ekor), usia 2 bulan, bobot tubuh
200- 300 g

Obat : - Larutan AgCl2 5%

- Larutan fenol 5%

- Larutan NaOH 10%

- Larutan H2SO4 pekat

- Larutan HCl pekat

- Larutan AgNO3 1%

- Kertas saring

22 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Alat : Gunting bedah, batang pengaduk, gelas arloji, stop watch

Prosedur :

1. Siapkan tikus yang terlebih dahulu dikorbankan.

2. Ambil ususnya lalu dibuat enam potongan, masing-masing berukuran 4-5 cm

3. Letakkan potongan usus tersebut di atas gelas arloji yang telah diberi alas kertas saring.

4. Teteskan larutan obat pada potongan usus tikus tersebut hingga terendam.

5. Rendam selama 30 menit.

6. Setelah 30 menit, amati efek korosif/kerusakan jaringan setelah pemberian obat dengan
bantuan batang pengaduk.

7. Catat dan tabelkan pengamatan.

Efek

Percobaan Bahan Obat Kerusakan pada


Sifat Korosif
Jaringan

Korosif Usus tikus Larutan


AgCl2 5%

Larutan fenol
5%

Larutan
NaOH 10%

Larutan
H2SO4 pekat

Larutan HCl
pekat

23 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Larutan
AgNO3 1%

3. Astringen

Prosedur:

1. Mulut praktikan dibilas dibilas/ dikumur dengan larutan tannin 1%

2. Rasakan jenis sensasi yang dialami di mulut.

3. Catat dan tabelkan pengamatan.

Percobaan Bahan Obat Efek Sensasi Mulut

Astringen Mulut untuk Larutan


kumur tannin 1%

4. Efek Local Fenol

Prosedur :

1. Celupkan empat jari tangan selama 5 menit ke dalam larutan fenol yang tersedia.

2. Rasakan jenis sensasi yang dialami jari tangan (rasa tebal, dingin, panas).

3. Jika jari terasa nyeri sebelum 5 menit, angkat segera dan bilas dengan etanol.

4. Catat dan tabelkan pengamatan.

Percobaan Bahan Obat Efek Sensasi Jari Tangan

(rasa tebal, dingin, panas)

Fenol dalam Jari tangan Larutan fenol


berbagai 5% dalam air
pelarut
Larutan fenol

24 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
5% dalam
etanol

Larutan fenol
5% dalam
gliserin 25%

Larutan fenol
5% dalam
minyak lemak

25 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB IV

HASIL dan PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

1. Menggugurkan Bulu

Efek

Gugur Bulu
Percobaan Bahan Obat
Bau Awal (catat waktu saat
mulai gugur bulu)

Menggugurkan Kulit tikus


bulu
Veet cream Wangi 14.55 ( menit ke-
55 )

Larutan Tidak berbau 15.03 ( menit ke-


NaOH 20% 12 )

Larutan NaS Berbau Khas 15.20 ( menit ke-


20% 30 )

2. Korosif

26 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Efek

Percobaan Bahan Obat Kerusakan pada


Sifat Korosif
Jaringan

Korosif Usus tikus Larutan Korosif Sedikit mengkerut


AgCl2 5%
Warna
memutih

Larutan fenol Korosif Uus mengecil,


5% warna putih pucat
Warna putih

Larutan Korosif
NaOH 10%
Warna coklat Usus mengeras
muda

Larutan Sangat
H2SO4 pekat korosif
Usus menjadi
Warna rusak
menghitam

Larutan HCl Korosif Usus mengecil dan


pekat rapuh
Kecoklatan

Larutan Korosif
AgNO3 1% Usus tidak rusak
Warna hitam

3. Efek Local Fenol

Percobaan Bahan Obat Efek Sensasi Jari Tangan

(rasa tebal, dingin, panas)

27 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Fenol dalam Jari tangan Larutan fenol Terasa tebal lalu panas/perih
berbagai 5% dalam air
( menit ke-3 )
pelarut
Larutan fenol
5% dalam
Dingin ( menit pertama )
etanol

4.2 Pembahasan

Pada praktikum ini menggunakan hewan coba tikus putih jantan. Tikus yang digunakan
dalam praktikum dilakukan pengorbanan terlebih dahulu. Pengorbanan dapat dilakukan dengan
cara anastesi lokal maupun dengan cara dislokasi lokal.

* Menggugurkan Bulu

Percobaan ini menggunakan obat veet cream, larutan NaOH 20% dan larutan Na2S 20 %.
Setelah tikus dikorbankan, kulitnya dipotong menjadi 3 bagian masing-masing berukuran 2,5 x
2,5 cm. Letakkan diatas gelas arloji, yang sudah dialasi kertas saring. Kemudian dicatat bau awal
dari obat yang digunakan. Bau awal dari veet cream adalah wangi, bau awal dari larutan NaOH
20% adalah tidak berbau. Sedangkan bau awal dari larutan Na2S 20% adalah berbau khas.
Setelah mencatat bau awal dari obat yang digunakan, oleskan obat pada potongan kulit tikus.
Amati selama 30 menit efek menggugurkan bulu setelah pemberian obat. Hasilnya adalah pada
menit ke-5 dengan obat veet cream, sudah memberikan efek menggugurkan bulu. Pada menit k-
12 dengan obat larutan NaOH 20%, memberikan efek menggugurkan bulu dan menit ke-30
dengan larutan Na2S 20% bulu tikus sudah gugur.

Jadi veet cream lebih cepat memberikan efek menggugurkan bulu karena veet cream
mengandung bahan aktif yang terserap kedalam rambut/bulu sehingga gugur.

* Korosif

Percobaan ini menggunaan obat larutan AgCl2 5%, larutan fenol 5%, larutan NaOH 10%,
H2SO4 pekat, HCL pekat dan AgNO3 1%. Setelah tikus dikorbankan ususnya dipotong menjadi 6

28 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
bagian, masing-masing berukuran 4 cm. letakkan diatas gelas arloji yang sudah dialasi kertas
saring.

Pada pengujian efek korosif, beberapa hasil yang dapat diamati:

1. Larutan AgCl2 5% pada usus menyebabkan usus memutih dan sedikit mengkerut
2. Larutan fenol 5% pada usus menyebabkan usus berwarna putih, pucat dan usus mengecil
3. Larutan NaOH 10% pada usus menyebabkan berwarna coklat muda dan usus mengeras
4. H2SO4 pekat pada usus menyebabkan usus menghitam dan usus menjadi rusak
5. HCL pekat pada usus menyebabkan usus kecoklatan, usus menjadi kecil dan rapuh
6. AgNO3 1% pada usus menyebabkan usus berwarna hitam tetapi usus tidak rusak

* Efek lokal fenol

Percobaan ini menggunakan larutan fenol 5% dalam air dan larutan fenol 5% dalam
etanol dan menggunakan jari tangan manusia yang dicelupkan kedalam larutan fenol sampai 5
menit. Yang pertama menggunakan larutan fenol 5% dalam air, setelah menit ke-3 jari tangan
mulai tebal, panas dan perih karena fenol tidak sepenuhnya larut dalam air sehingga tangan
menjadi perih. Yang kedua menggunakan larutan fenol 5% dalam etanol, menit pertama sudah
menimbulkan efek dingin karena larutan obat menyerap banyak kalor dalam tubuh semakin lama
akan hilang dan membuat jari menjadi dingin.

29 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

- Obat yang berefek lokal merupakan obat yang mempunyai pengaruh pada tubuh yang bersifat
lokal/pada daerah yang diberikan obat.

- Beberapa efek dari obat lokal yang dapat ditemui adalah menggugurkan bulu, korosif dan efek
lokal fenot.

- Tingkat pengguguran bulu tergantung pada kadar dan jenis larutan yang digunakan. Semakin
tinggi kadar suatu zat yang bersifat menggugurkan bulu, maka akan semakin mendekati tingkat
korosif.

- Larutan yang bersifat korosif beraneka ragam dan menghasilkan mekanisme efek berbeda-beda
tergantung kepada kekuatan korosif yang dikandungnya.

- Fenol merupakan senyawa yang dapat menembus kulit dan mampu menyebabkan terjadinya
keratolisis pada kulit. Larutan fenol 5% dalam air berbahaya daripada larutan fenol 5% dalam
etanol.

5.2 Saran

Lebih berhati – hati lagi dalam mengunakan obat yang belum kita tahu apa efek yang di
reaksikan dari obat tersebut jadi teruslah perhatikan keamanan.

30 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
5.3 Daftar Pustaka

Katzung.1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit EGC: Jakarta

Mustchler, E. 1991.Dinamika Obat. Penerbit ITB: Bandung

Ansel, H.C., 1985, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, 112-155, diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim, Edisi Keempat, UI Press, Jakarta

Tim Departemen Farmakologi FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FKUI

Syarif, Amir,dr SKM, SpFk,dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta : Gaya
Baru

Shargel, Leon. 2005. Biofarmestika dan Farmakokinetika Terapan Edisi Kedua. Surabaya :
Airlangga University Press

31 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB I

PENDAHULUAN

UJI POTENSI DIURETIKA

1.1 Latar Belakang

Dalam tubuh kita, volume dan komposisi cairan intestinal harus tetap berada pada batas-
batas tertentu agar sel-sel dapat berfungsi dengan normal. Karena perubahan dari volume dan
komposisi cairan nintestial dapat menimbulkan kelainan fungsi tubuh. Ginjal adalah organ yang
memproduksi dan mengeluarkan urin dari dalam tubuh. Sistem ini merupakan salah satu system
utama untuk mempertahankan homeostatis (kekonstanan lingkungan internal). Untuk
mempertahankan homeostatis, ekskresi air dan elektrolit pada asupan harus melebihi ekskresi
karena sebagian dari jumlah air dan elektrolit tersebut akan diikat dalam tubuh. Jika asupan
kurang dari ekskresi maka jumlah zat dalam tubuh akan berkurang. Kapasitas ginjal untuk
mengubah ekskresi natrium sebagai respont terhadap perubahan asupan natrium akan sangat
besar. Hal ini sesuai untuk air dan kebanyakan elektrolit lainnya seperti klorida, kalium, kalsium,
hidrogen, magnesium, dan fosfat. Walaupun kerjanya pada ginjal, diuretik bukan ‘obat
ginjal’,artinya senyawa ini tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal,
demikian juga pada pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialysis, tidak dapat ditangguhkan
dengan penggunaan senyawa ini. Beberapa diuretika pada awal pengobatan justru memperkecil
ekskresi zat-zat penting urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulussehingga memperburuk
insufisiensi ginjal.

1.2 Tujuan

Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat:

1. Memahami kerja farmakologi dari berbagai kelompok diuretika.

2. Memperoleh gambaran tentang cara evaluasi potensi diuretika.

32 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar

Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih banyak. Jika
pada peningkatan ekskresi garam-garam, maka diuretika ini dinamakan saluretika atau
natriuretika (diuretika dalam arti sempit).

Walaupun kerja nya pada ginjal,diuretika bukan ‘obat ginjal’,artinya senyawa ini tidak
dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal,demikian juga pada pasien insufisiensi
ginjal jika diperlukan dialysis,tidak dapat ditangguhkan dengan penggunaan senyawa ini.
Beberapa diuertika pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat penting urin
dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus sehingga memperburuk insufisiensi ginjal.

Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih (diuresis) melalui kerja
langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan mempengaruhi
ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini, misalnya zat-zat yang memperkuat
kontraksi jantung (digoksin, teofilin), memperbesar volume darah (dekstran), atau merintangi
sekresi hormon antidiuretik ADH (air, alkohol).

Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang yang terletak pada bagian ventra
dinding perut bagian dossal, dibawah diafragma dan masing-masing terletak pada kedua sisi
kolom tulang belakang. Bagian cembungnya mengarah ke lateral, bagian cekungnya ke medial.
Pada bagian cekung ini terdapat hilus ginjal , yang merupakan tempat keluar masuknya
pembuluh, saraf serta ureter. Panjang ginjal 10-12 cm, penampang melintangnya 5-6 cm,
beratnya sekitar 120-200 gram.

Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan mengeluarkan
semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah dimana semuanya melintasi saringan
ginjal kecuali zat putih telur dan sel-sel darah.

33 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh. Ginjal
merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni keseimbangan dinamis antara
cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume total dan susunan cairan ekstrasel. Hal ini
terutama tergantung dari jumlah ion Na+, yang untuk sebagian besar terdapat di luar sel, di
cairan antarsel, dan di plasma darah.

Proses pembentukan urine. Ginjal memproduksi urine yang mengandung zat sisa
metabolik dan mengatur komposisi cairan tubuh memelalui tiga proses utama (Sloane, 2003):

1. Filtrasi

Filtrasi glemerular adalah perpindahan cairan dan zat terlarut dan kapiler glomerular,
dalam tekanan tertentu ke dalam kapsul bowman.

2. Reabsobsi

Reabsorpsi tubulus sebagian besar fiktrat (99%) secara selektif direabsorpsi aktif
terhadap dalam tubulus ginjal melalui difusis pasif gradien kimia atau listrik, transpor aktif
terhadap gradien tersebut.

3. Sekresi

Sekresi tubukar adalah proses aktif yang memindahakan zat keluar dari darah dalam
kapilar pertibular melewati sel-sel tubular menuju cairan tubukar untuk dikeluarkan dalam urine.

Ginjal mengatur komposisi ion dan volume urine dengan reabsorbsi atau sekresi ion dan/
atau air lima daerah funsional sepanjang nefron yaitu :

1. Tubulus renalis kontortus proksimal

Dalam tubulus kontortus proksimal yang berada dalam korteks ginjal, hampir semua
glukosa, bikarbonat, asam amino dan juga metabolit lain direabsorsi, sekitar jumlah Na+ juga di
reabsorbsi di tubulus proksimal, klorida dan air mengikuti dengan pasif untuk mempertahanka
keseimbang elektik dan osmolaritas.

2. Ansa Henle pars desendens

34 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Sisa filtrat yang isotonis, memasuki anasa henle pars desenden terus ke dalam meduloa
ginjal. Osmlaritas meningkat sepanjang bagian desendens dari ansa henle kaeran mekanisme arus
balik. Hal ini menyebabkannpeningkatan konsentrasi garam tiga kali lipat dalam cairan tubulus.

3. Ansa henle pars asendens

Sel- sel epitel tubulus asendens unik kerena impermeabel untuk air. Reansorbsi aktif ion-
ion Na+ , K + dan Cl- dibantu oleh suato kotrasnpoter Na+ / K+/2Cl- , Mg++ dan Ca++
memasuki cairan interstisial meluai saluran paraselula. Jadi, pars asenden merupakan bagian
pengencer dari nefron. Kira-kira 25-30 % NaCl di tubulur kembali ke cairan intestinal, dengan
demikian membantu mempertahan osmolaritas tinggi dari cairan.

4. Tubulus renalis kontortus distal

Sel-sel tubulus distal juga impermeable untuk air. Sekitar 10% dar natrium klrida yang
disaring direabsorsi melalui suatu transpoter Na+ / Cl- , yang sensitif terhadap diuretik tiazid.

5. Tubulus dan duktus renalis rektus

Sel-sel utama dan sel-sel interkalasi dari tubulus renalis rektus bertanggung jawab untuk
pertukaran Na+ , K+ dan untuk sekresi H+ dan reabsorbsi K+. Stimulasi reseptor aldosteron
pada sel-sel utama menyebabkan reabsorbsi Na+ dan K+.

Pada umumnya diuretik dibagi menjadi dalam bebrapa kelompok (Tjay,2007) :

a. Diuretik-lengkungan (furosemid, bumetanida, dan ekakrinat)

b. Derivat-thiazida (hidroklorotalidon, mefrusida, indapaida dan klopamida)

c. Diuretik hemat kalium (antagonis aldosteron (spirinolakton, kanrenoat) amirolida dan


triamteren)

d. Diuretik osmotik (manitol dan sorbitol)

35 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

Hewan coba : Tikus putih, jantan (jumlah 6 ekor), bobot tubuh 200-300 g
Obat : - CMC Na 1% secara PO
- Furosemid 20 mg/ 70 kgBB manusia secara PO
- Spironolakton 100 mg/ 70 kgBB manusia secara PO
- Air hangat 50 ml/ kgBB tikus
Alat : Spuit injeksi 1 ml, sonde, timbangan hewan, kandang diuretic, beaker glass,
gelas ukur

3.2. Prosedur

1. Puasakan tikus selama 12-16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.

2. Sebelum pemberian obat, berikan air hangat per oral sebanyak 50 ml/ kg BB tikus.

3. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2 ekor
mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan :

Kelompok I : CMC Na 1% secara PO

Kelompok II : furosemide 20 mg/ 70 kgBB manusia secara IV

Kelompok III : spironolakton 100 mg/ 70 kgBB manusia secara

4. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit.

5. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing.

36 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
6. Tempatkan tikus ke dalam kandang diuretic.

7. Kumpulkan urine selama 2 jam, catat frekuensi pengeluaran urine dan jumlah urine setiap
kali diekskresikan.

8. Catat dan tabelkan pengamatan

9. Hitung persentase volume kumulatif urine yang diekskresikan:

volume urine yang diekskresi kan dalam waktu 2 jam


=  100%
volume air yang diberikan per oral

Efek diuretika positif jika persentase volume kumulatif urine yang diekskresikan >75% dari
volume air yang diberikan.

percobaan bahan obat efek


potensi frekuensi urinasi
diuretik tikus cmc na 1% (menit ke)
volume urin (ml)
volume urin
kumulatif selama 2
jam
volume air yang di
berikan oral
potensi diuretik
frekuensi urinasi
cmc na 1% (menit ke)
volume urin (ml)
volume urin
kumulatif selama 2
jam
volume air yang di
berikan oral
potensi diuretik
frekuensi urinasi
furosemid (menit ke)
20 mg/ 70 kg
bb volume urin (ml)
volume urin
kumulatif selama 2
manusia jam
volume air yang di
berikan oral
potensi diuretik
frekuensi urinasi
furosemid (menit ke)

37 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
20 mg/ 70 kg
bb volume urin (ml)
volume urin
kumulatif selama 2
manusia jam
volume air yang di
berikan oral
potensi diuretik
frekuensi urinasi
spironolacton (menit ke)
100 mg/ 70 kg
bb volume urin (ml)
volume urin
kumulatif selama 2
manusia jam
volume air yang di
berikan oral
potensi diuretik
frekuensi urinasi
spironolacton (menit ke)
100 mg/ 70 kg
bb volume urin (ml)
volume urin
kumulatif selama 2
manusia jam
volume air yang di
berikan oral
potensi diuretik

38 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB IV

HASIL dan PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

percobaan bahan obat efek


potensi frekuensi urinasi
diuretik tikus cmc na 1% (menit ke) 27 49 88
volume urin (ml) 0,8 ml 1 ml 0,5 ml
volume urin
kumulatif selama 2
jam 2.3 ml
volume air yang di
berikan oral 5 ml
potensi diuretik 46%
frekuensi urinasi
cmc na 1% (menit ke) 27 49 60 117
1,8 0,5
volume urin (ml) 1 ml ml 1 ml ml
volume urin
kumulatif selama 2
jam 3,4 ml
volume air yang di
berikan oral 5 ml
potensi diuretik 68%
frekuensi urinasi
furosemid (menit ke) 19 57 75 106
20 mg/ 70 kg
bb volume urin (ml) 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml
volume urin
kumulatif selama 2
manusia jam 4 ml
volume air yang di
berikan oral 5 ml
potensi diuretik 80%
frekuensi urinasi
furosemid (menit ke) 20 51 80 103
20 mg/ 70 kg
bb volume urin (ml) 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml
manusia volume urin 4 ml

39 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
kumulatif selama 2
jam
volume air yang di
berikan oral 5 ml
potensi diuretik 80%
frekuensi urinasi
spironolacton (menit ke) 39 51 61 74
100 mg/ 70 kg 1,8 1,9
bb volume urin (ml) 1,8 ml ml 0,5 ml ml
volume urin
kumulatif selama 2
manusia jam 6 ml
volume air yang di
berikan oral 5 ml
potensi diuretik 120%
frekuensi urinasi
spironolacton (menit ke) 30 45 50 57 66 75
100 mg/ 70 kg
bb volume urin (ml) 0,5 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml
volume urin
kumulatif selama 2
manusia jam 5,6 ml
volume air yang di
berikan oral 5 ml
potensi diuretik 112%

4.2 Pembahasan

 Kelompok 5

Kelompok 5 menggunakan obat CMC Na 1% yang diberikan secara peroral kepada hewan
coba yang digunakan yaitu tikus putih. Pengamatan dilakukan selama 2 jam setelah pemberian
obat dan tikus dimasukkan ke dalam kandang diuretic. Pada menit ke-27, tikus mengeluarkan
urine sebanyak 0,8 ml. Menit ke-49, tikus mengeluarkan urine sebanyak 1 ml dan menit ke-88
sebanyak 0,5 ml.

% potensi diuretiknya :

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑢𝑟𝑖𝑛𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑘𝑟𝑒𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 2 𝑗𝑎𝑚


× 100%
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑖𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑟𝑎𝑙

2,3 𝑚𝑙
= × 100%
5 𝑚𝑙

40 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
= 46%

Percobaan kelompok 5 ini sesuai teori karena CMC Na hanya sebagai control negative sehingga
% potensi diuretic yang didapatkan kecil yaitu 46% ( < 75% )

 Kelompok 6

Kelompok 6 juga menggunakan CMC Na 1%. Hasil yang didapat yaitu pada menit ke-27,
tikus mengeluarkan urine sebanyak 1 ml, menit ke-49 mengeluarkan urine sebanyak 1,2 ml, pada
menit ke-66 sebanyak1 ml dan menit ke-117 sebanyak 0,2 ml.

% potensi diuretic kelompok 6 adalah 68% dan ini lebih besar daripada % potensi diuretic
kelompok 5. Sedangkan yang kita ketahui bahwa CMC Na hanyalah sebagai control negative
yang seharusnya efek diuretiknya kecil/bahkan tidak ada. Percobaan kelompok 6 tidak sesuai
teori. Persentase yang berbeda cukup jauh ini terjadi mungkin dikarenakan adanya kesalahan
yang disebabkan tidak masuknya seluruh obat CMC Na pada tikus, dosisnya tidak sesuai, dan
lain-lain.

 Kelompok 3

Kelompok 3 menggunakan obat furosemide 20 mg/70 kgBB yang diberikan secara peroral.
Pada menit ke-19 tiks mengeluarkan urine sebanyak 1 ml dan menit ke-57 sebanyak 1 ml, menit
ke-75 sebanyak 1 ml dan menit ke-106 pun juga mengeluarkan urine sebanyak 1 ml. % potensi
diuretic yang didapat adalah 80%. Hal ini membuktikan bahwa furosemide efektif memberikan
efek diuresis pada tikus. Seperti yang telah diketahui bahwa furosemide merupakan diuretic yang
efek utamanya adalah pada pars ascendens ansa henle. Obat-obat yang bekerja di salah satu
bagian nefron ini memiliki efektivitas yang tertinggi dalam memobilisasi Na+ dan Cl- dari tubuh
sehingga merupakan diuretic yang paling efektif dalam meningkatkan volume urine. Hal ini
disebabkan karena pars ascendens bertanggungjawab untuk reabsorpsi 25-30% NaCl yang
disaring. Efek diuretika positif karena % volume kumulatif urine yang di ekskresikan selama >
75% dari volume air yang diberikan.

 Kelompok 4

Kelompok 4 juga menggunakan obat furosemide 20 mg/70 kgBB yang diberikan secara
peroral. Pada menit ke-20, ke-58, ke-80 dan ke-103 tikus mengeluarkan urine sebanyak 1 ml. %

41 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
potensi diuretiknya adalah 80%. Sama halnya seperti kelompok 3. Yang telah diketahui bahwa
furosemide merupakan obat diuretic golongan diuretic kuat. Jadi efek diuretiknya lebih kuat dari
yang lain. Efek diuretika positif karena % volume kumulatif urine yang di ekskresikan selama >
75% dari volume air yang diberikan.

 Kelompok 1

Kelompok 1 menggunakan obat spironolakton 100 mg/70 kgBB yang diberikan secara
peroral. Pada menit ke-39 dan ke-51 tikus mengeluarkan urine sebanyak 1,8 ml. Menit ke-61
sebanyak 0,5 ml dan menit ke-74 sebanyak 1,9 ml. Jadi % potensi diuretiknya adalah 120%.
Spironolakton mempunyai efek diuresis tetapi yang paling baik digunakan adalah furosemide.
Spironolakton bekerja pada segemen yang berespon terhadap aldosterone pada nefron distal,
dimana homeostatis k+ dikendalikan dengan mekanisme kerja yaitu berkompetensi dengan
aldosterone pada reseptor di tubulus ginjal distal, meningkatkan NaCl dan ekskresi air selama
konversi ion kalium dan hydrogen, juga dapat memblok efek aldosterone pada otot polos
asterioles. Efek diuretika positif karena % volume kumulatif urine yang di ekskresikan selama >
75% dari volume air yang diberikan.

 Kelompok 2

Kelompok 2 juga menggunakan obat spironolakton 100 mg/70 kgBB yang diberikan secara
peroral. Pada menit ke-30 tikus mengeluarkan urine sebanyak 0,5 ml. Menit ke-50 sebanyak 1,1
ml. Menit ke-45, 57, 66 dan menit ke-75 tikus mengeluarkan urine sebanyak 1 ml. % potensi
diuretiknya adalah 112%. Efek diuretika positif karena % volume kumulatif urine yang di
ekskresikan selama > 75% dari volume air yang diberikan. Yang kita ketahui bahwa
spironolakton termasuk ke dalam golongan diuretic lemah.

Dari hasil pengamatan, potensi diuretika pada obat furosemide lebih kecil potensi diuretiknya
daripada spironolakton. Hal ini tidak sesuai teori karena seharusnya potensi furosemide lebih
besar daripada spironolakton. Seperti yang di ketahui bahwa furosemide termasuk golongan
diuretic kuat dan spironolakton merupakan diuretic lemah. Kesalahan dapat terjadi disebabkan
oleh tidak masuknya seluruh obat atau adanya kesalahan pada saat dilakukan penimbangan
sehingga dosis tidak sesuai, dan lain-lain.

42 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

- Diretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urine.

- Efek utama dari obat efek diuretic ialah meningkatkan volume urine yang diproduksi serta
meningkatkan jumlah pengeluaran zat-zat tertentu dan air.

- Furosemid adalah obat yang memiliki efek diuretic yang paling kuat tetapi hasil percobaan
tidak sesuai teori karena hasil pengamatan menunjukkan bahwa spironolakton memiliki %
potensi diureticnya lebih besar daripada furosemide.

5.2 Saran

Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara oral pada hewan coba agar tidak terjadi
kesalahan pada saat akan dilakukan pengamatan karena pemberian obat dapat mempengaruhi
respon atau efek yang ditimbulkan.

43 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
5.3 Daftar Pustaka

Ganiswara. 2002. Farmakologi dan Terapi. Gaya Baru: Jakarta

Katzung.1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit EGC: Jakarta

Mustchler, E. 1991.Dinamika Obat. Penerbit ITB: Bandung

Mycek, M.J et al. 1997. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika: Jakarta

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek

Sampingnya. PT Elex Media Komputindo: Jakarta

Sukarida, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. PT.ISFI Penerbitan: Jakarta

44 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB I

PENDAHULUAN

UJI KADAR GLUKOSA & ANTIDIABETES

1.1 Latar Belakang

Untuk dapat melakukan aktivitas hidupnya sehari-hari, manusia dan makhluk hidup
lainnya seperti hewan dan tumbuhan memerlukan energi. Karbohidrat merupakan sumber energi
terbesar yang mana didalam tubuh akan dimetabolisme menjadi glukosa yang kemudian
digunakan langsung untuk kebutuhan energi tubuh ataupun disimpan dalam otot dan jaringan
lain. Namun kadangkala metabolisme yang diharapkan dari sumber energi ini tidak berlansung
sebagaimana mestinya, yang mungkin disebabkan berbagai faktor, diantaranya disfungsi organ-
organ tubuh yang berperan dalam metabolisme tersebut.

Diabetes merupakan penyakit yang dapat menggangu metabolisme glukosa dimana


glukosa yang seharusnya menjadi bermanfaat dan merupakan sumber energi, berubah menjadi
musuh dalam tubuh yang mengganggu sistem kestabilan organ. Dalam melakukan aktifitas, akan
memerlukan energi baik itu berupa aktifitas fisik maupupun psiologik. Energi yang ada pada
manusia sebagian besar dan hampir seluruhnya berasal dari glukosa yang dikomsumsi dan
dimetabolisme oleh tubuh. Namun kadangkala metabolisme yang diharapkan dari sumber energi
ini tidak berlansung sebagaimana mestinya, yang mungkin disebabkan berbagai faktor,
diantaranya disfungsi organ-organ tubuh yang berperan dalam metabolisme tersebut. Glukosa
yang tidak dimetabolisme tersebut dapat mengganggu kerja fisiologis tubuh dan dapat
menyebabkan komplikasi penyakit akibat kerusakan organ yang dapat ditimbulkannya.

Diabetes Mellitus merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia setelah penyakit


jantung dan kanker. Diabetes merupakan penyakit yang dapat menggangu metabolisme glukosa
tersebut, dimana glukosa yang seharusnya menjadi bermanfaat dan merupakan sumber energi,
berubah menjadi musuh dalam tubuh yang mengganggu sistem kestabilan organ. Untuk
mengatasi masalah tersebut, sekarang ini telah dikembangkan berbagai penemuan dan obat yang

45 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
dapat menurunkan resiko dan mengobati penyakit Diabetes Mellitus. Berbagai produk obat
dengan nama paten pun telah beredar di pasaran.

Pengujian efek farmakologi dari obat antidiabetes yang beredar di pasaran perlu
dilakukan untuk mengetahui keefektivan dari obat tersebut. Selain itu, sebagai mahasiswa
fakultas farmasi kita harus mengetahui obat antidiabetes yang ideal dan tidak memiliki efek
samping yang merugikan bagi pengguna obat tersebut.

Pada percobaan kali ini akan diamati kegunaan obat glibenklamin, metformin dan CMC
Na 1% pada hewan coba mencit (Mus musculus) dengan melihat efek penurunan kadar gula
darah dengan menggunakan alat ukur gula darah yaitu glucometer.

1.2 Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :

1. Mengetahui secara lebih baik peran insulin dalam tubuh dan pengaruhnya pada penyakit
diabetes

2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi penyakit diabetes dengan cara konvensional

3. Melakukan test glukosa konvensional pada manusia menggunakan alat ukur glukosa darah.

46 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar

Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada
metabolime glukosa, disebabkan kerusakan proses pengaturan sekresi insulin dari sel-sel beta.
Insulin, yang diahasilkan oleh kelenjar pankreas sangat penting untuk menjaga keseimbangan
kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah normal pada waktu puasa antara 60-120 mg/dl, dan
dua jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl. Bila terjadi gangguan pada kerja insulin, baik secara
kualitas maupun kuantitas, keseimbangan tersebut akan terganggu, dan kadar glukosa darah
cenderung naik (hiperglikemia) (Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia dan
glukosuria yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang diakibatkan kurangnya insulin yang diproduksi oleh sel β pulau Langerhans kelenjar
Pankreas baik absolut maupun relatif (Herman, 1993; Adam, 2000; Sukandar, 2008).

Kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidrat. Oleh
karena itu, diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan kadar glukosa dalam plasma darah
(Herman, 1993; Adam, 2000).

Diabetes melitus merupakan salah satu jenis penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat dari rendahnya sekresi insulin,
gangguan efek insulin, atau keduanya. Diabetes mellitus bukan merupakan patogen melainkan
secara etiologi adalah kerusakan atau gangguan metabolisme. Gejala umum diabetes adalah
hiperglikemia, poliuria, polidipsia, kekurangan berat badan, pandangan mata kabur, dan
kekurangan insulin sampai pada infeksi. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan sindrom
hiperosmolar dan kekurangan insulin dan ketoasidosis. Hiperglikemia kronik menyebabkan
kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan metabolisme sel, jaringan dan organ.
Komplikasi jangka panjang diabetes adalah macroangiopathy, microangiopathy, neuropathy,
katarak, diabetes kaki dan diabetes jantung (Reinauer et al, 2002).

47 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Gejala penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya tidak selalu
sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umumnya timbul dengan tidak
mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain. Ada pula penderita diabetes melitus yang
tidak menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu (Tjoktoprawiro, 1998).

Tindakan diagnosis dilakukan untuk menentukan apakah seseorang menderita penyakit


diabetes mellitus Uji diagnosis diabetes miletus umumnya dilakukan berdasarkan keluhan
penderita yang khas berupa poliuria, polidipsia, pilifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah mudah
lemas, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus, vulvae pada pasien
wanita dan adanya peningkatan kadar glukosa darah yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan
laboratorium.

Glukosa dapat diukur dengan menggunakan sampel darah total, plasma, serum, cairan
serebrospinal, cairan pleural, dan urin sesuai dengan tujuan diagnosisnya. Glukosa darah kapilari
merupakan sumber dari kebanyakan alat pengukuran glukosa yang menggunakan spesimen darah
total. Kadar glukosa darah kapilari ini setara dengan kadar glukosa arterial tapi dapat berbeda
dari kadar glukosa vena, bergantung pada waktu pemeriksaan relatif terhadap pencernaan
makanan.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu menegakkan diagnosis diabetes mellitus


antara lain pengukuran kadar glukosa darah (kadar glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah
puasa, kadar glukosa postprandial, serta tes toleransi glukosa oral), analisis urin, pemeriksaan
kadar HbA1c (hemoglobin terglikosilasi), pemeriksaan keton dan pengukuran kadar hormon
inkretin.

Pada praktek sehari-hari, kadar glukosa darah dapat diukur secara konvensional
menggunakan alat ukur kadar glukosa darah yang sudah banyak dijual di pasaran dengan
menggunakan sampel darah kapilari. Percobaan uji diabetes di laboratorium dapat dilakukan
pada hewan percobaan (mencit) dan disebut sebagai percobaan uji diabetes secara konvensional
(wet lab).

Beberapa teknik yang sering digunakan untuk menyebabkan hewan uji menderita
diabetes adalah induksi dengan bahan kimia. Induksi kimia pada hewan akan menyebabkan

48 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
hewan coba menderita diabetes tipe I dimana banyaknya sel beta yang hancur den demikian,
jumlah insulin endogen yang diproduksi menjadi sedikit, yang mengarah ke hiperglikemia dan
penurunan berat badan. Diabetes dengan diinduksi secara kimia tidak hanya menyediakan model
sederhana dan relatif murah tetapi juga dapat digunakan pada hewan yang lebih tinggi.

1. Streptozotocin (STZ)

STZ [2-deoksi-2-(3-(metil-3-nitrosoureido)-D-glucopyranose] disintesis oleh Streptomycetes


achromogenes. Setelah pemberian i.p. atau i.v. obat akan memasuki sel beta pankreas melalui
Glut-2 transporter dan menyebabkan alkilasi dari DNA. Aktivasi berikutnya PARP
menyebabkan deplesi NAD+ , pengurangan ATP seluler dan hasilnya penghambatan
produksi insulin. Selain itu, STZ merupakan sumber radikal bebas yang juga dapat
berkontribusi terhadap kerusakan DNA dan akhirnya kematian pada sel STZ dapat digunakan
dengan sekali pemberian dengan dosis tinggi (100-200 mg/kg BB tikus dan 35-65 mg/kg BB
mencit); atau diberikan berulang dengan dosis rendah selama 5 hari (20-40 mg/kg per hari).

2. Aloksan

Efek diabetes aloksan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 5,6-dioxyuracil) terutama disebabkan


ambilan cepat oleh sel beta dan pembentukan radikal bebas, dimana sel beta memiliki
mekanisme pertahanan yang buruk untuk radikal bebas tersebut. Aloksan direduksi menjadi
asam dialuric dan kemudian teroksidasi kembali menjadi aloksan, menciptakan siklus redoks
untuk regenerasi radikal superoksida yang mengalami dismutasi untuk membentuk hidrogen
peroksida dan selanjutnya membentuk radikal hidroksil yang sangat reaktif dan
menyebabkan fragmentasi DNA sel beta. Aloksan juga diambil oleh hati, tetapi hati memiliki
perlindungan yang lebih baik untuk oksigen reaktif dan oleh karena itu hati tidak rentan
terhadap kerusakan. Mekanisme lain kerusakan sel beta oleh aloksan termasuk oksidasi
gugus SH yang essensial, terutama dari glukokinase dan gangguan dalam homeostasis
kalsium intraseluler. Dosis pada tikus berkisar dari 50-200 mg/kg dan pada mencit dari 40-
200 mg/kg BB, tergantung pada strain dan rute pemberian dimana pemberian i.p dan s.c
membutuhkan hingga tiga kali lebih besar dari dosis dengan rute i.v. Dosis 100 mg/kg BB
telah digunakan untuk membuat diabetes jangka panjang pada kelinci. Perlu dicatat bahwa
aloksan memiliki indeks dosis diabetogenic yang sempit, sehingga overdosis ringan bisa
menyebabkan toksisitas umum, terutama untuk ginjal.

49 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
3. Glukosa

Pada cara ini mencit yang digunakan adalah mencit normal yang dibebani sukrosa tanpa
merusak pankreasnya, karena berdasarkan teori bahwa dengan pembebanan sukrosa akan
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemik) secara cepat. Sukrosa di
dalam tubuh dapat terurai menjadi glukosa dan fruktosa. Kadar glukosa yang tinggi dalam
darah dapat diturunkan oleh zat-zat berefek antihiperglikemik.

Metode pengukuran kadar glukosa darah antara lain:

1. Dengan spektrofotometer

Darah mencit diambil melalui ekor sebanyak 0,5-1 ml ke dalam tabung ependorf. Darah
disentrifusa selama 10 menit untuk diambil serumnya sebanyak 50 1 dan kemudian
ditambahkan uranil asetat 500 l dan disentrifusa kembali. Supernatan sebanyak 50 l
diambil dan ditambahkan pereaksi enzim kit glukosa 500 l, kemudian diinkubasi selama 10
menit dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 546 nm untuk
mendapatkan nilai kadar glukosa darah. Hal yang sama dilakukan untuk blanko dan standar
glukosa.

2. Dengan Glukometer

Terdiri dari alat glukometer dan strip glukosa glukometer yang sesuai dengan nomor pada
alat. Alat ini secara otomatis akan hidup ketika strip glukosa dimasukkan dan akan mati
setelah strip glukosa dicabut. Masukkan strip ke dalam alat glukometer, sehingga glukometer
ini akan hidup secara otomatis, kemudian dicocokkan kode nomor yang muncul pada layar
dengan yang ada pada vial check glucose Tes strip. Tes strip yang dimasukkan pada
glukometer pada bagian layar yang tertera angka yang harus sesuai dengan kode vial check
g/ucose test strip, kemudian pada layar monitor glukometer muncul tanda siap untuk
diteteskan darah. Sentuhkan tetesan darah yang keluar langsung dari pembuluh darah ke test
strip dan ditarik sendirinya melalui aksi kapiler. Ketika wadah terisi penuh oleh darah, alat
mulai mengukur kadar glukosa darah. Hasil pengukuran diperoleh selama 10 detik.

50 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

Hewan coba : Mencit putih, jantan (jumlah 6 ekor), bobot tubuh 20-30 g

Obat : - Larutan glukosa 5% 1 g/kgBB mencit secara PO

- CMC Na 1% secara PO

- Glibenklamid 5 mg/ 70 kgBB manusia secara PO

- Metformin 500 mg/ 70 kgBB manusia secara PO

Alat : Spuit injeksi 1 ml, sonde, timbangan hewan, Accu-Check dan


strip glukosa

3.2 Perhitungan Dosis

1. Mencit 1 = 24 g

2. Mencit 2 = 30 g

* Dosis mencit 30 g

30 𝑔
× 1,3 𝑚𝑔 = 1,95 𝑚𝑔
20 𝑔

* Volume Pemberian Metformin

1,95 𝑚𝑔
× 50 𝑚𝑙 = 0,195 𝑚𝑙 ~ 0,2 𝑚𝑙
500 𝑚𝑔

* Volume Pemberian Glukosa

30 𝑔 0,03
× 0,03 → × 100 𝑚𝑙 = 0,6 𝑚𝑙
1000 5

3. Mencit 3 = 29 g

51 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
* Dosis mencit 30 g

29 𝑔
× 1,3 𝑚𝑔 = 1,885 𝑚𝑔
20 𝑔

* Volume Pemberian Metformin

1,885 𝑚𝑔
× 50 𝑚𝑙 = 0,188 𝑚𝑙 ~ 0,2 𝑚𝑙
500 𝑚𝑔

* Volume Pemberian Glukosa

29 𝑔 0,029
× 0,029 → × 100 𝑚𝑙 = 0,58 𝑚𝑙 ~ 0,6 𝑚𝑙
1000 5

Menghitung rata-rata penurunan glukosa

1. Mencit 2

= Kadar glukosa 5 menit – kadar glukosa 60 menit

= 156 mg/dl – 130 mg/dl

= 26 mg/dl

2. Mencit 3

= Kadar glukosa 5 menit – kadar glukosa 60 menit

= 155 mg/dl – 110 mg/dl

= 45 mg/dl

3. Rata-rata

26+45 𝑚𝑔/𝑑𝑙 71 𝑚𝑔/𝑑𝑙


= =
2 2

= 35,5 mg/dl

52 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
3.3 Prosedur

Prosedur:

1. Puasakan mencit selama 12-16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.

2. Cek kadar glukosa darah mencit sebelum pemberian glukosa pada menit ke-0 dengan cara
bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian ujung strip dan
setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor glukometer. Kadar glukosa
darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah puasa (GDP).

3. Berikan larutan glukosa 1 g/kgBB mencit.

4. Cek kadar glukosa darah mencit setelah pemberian glukosa pada menit ke-5 dengan cara
bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian ujung strip dan
setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor glukometer. Kadar glukosa
darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah setelah pembebanan

5. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2 ekor
mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan:

Kelompok I : CMC Na 1% secara PO

Kelompok II : glibenklamid 5 mg/ 70 kgBB manusia secara PO

Kelompok III : metformin 500 mg/ 70 kgBB manusia secara PO

6. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit

7. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing pada menit ke-10.

8. Cek kadar glukosa darah mencit setelah pemberian glukosa

9. Catat dan tabelkan hasil pengamatan

10. Data yang diperoleh dianalisa secarca sistematik analisis variasi dan perbedaan kada glucose
darah antara kelompok kontra negative positif dan kelompok uji kemudian di analisa dengan
student’s test data disignakan dlam tabel bentuk tabel dan grafik .

53 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Percobaan Bahan Obat Kadar Glucose Darah Mencit
NO 0 5 60 Rata2
Uji kadar Mencit CMC 1% 1
gula
Secara PO 2

Glibenclamd 1
5mg/70kgbb
Manusia 2
Secara PO
3

Metformin500 1
mg /70kgbb
Manusia 2
Secara PO
3

54 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB IV

HASIL dan PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Percobaan Bahan Obat Kadar Glucose Darah Mencit


NO 0 5 60 Rata2
Uji kadar Mencit CMC 1% 1 161 143 128
gula
Secara PO 2 159 162 144 35,3mg/dl

3 131 138 65

Glibenclamd 1 163 189 109


5mg/70kgbb
Manusia 2 186 201 80mg/dl
Secara PO
3 155 214

1 191 199 146

2 148 173 105 51,67mg/dl

3 158 162 128

Metformin500 1
mg /70kgbb
Manusia 2 148 156 130 35,5mg/dl
Secara PO
3 144 155 110

1 169 196 126

2 210 151 142 41,33mg/dl

3 218 220 175

55 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
4.2 Pembahasan

Pada praktikum ini akan dilakukan penentuan penurunan kadar glukosa darah dan
penentuan efek obat anti-diabetes terhadap mencit. Obat yang digunakan yaitu glibenklamid,
metformin dan CMC Na 1%. Tujuan dilakukan percobaan ini ialah untuk menentukan efek
farmakologi dan pemberian obat anti-diabetes hipoglikemik oral yaitu glibenklamid dan
metformin, CMC Na sebagai obat pembanding hewan coba mencit yang sebelumnya diinduksi
dengan larutan glukosa 5% untuk meningkatkan kadar glukosa darah mencit.

Glibenklamid/glyburide adalah obat yang digunakan pada pasien diabetes tipe 2 untuk
mengendalikan kadar glukosa darah yang tinggi. Glibenklamid berperan untuk merangsang
tubuh agar mengeluarkan insulin lebih banyak dari biasanya untuk mengikat glukosa dalam
aliran darah. Sedangkan metformin adalah satu-satunya golongan biguanid yang tersedia dan
mempunyai mekanisme kerja yang berbeda dengan sulfonylurea (glibenklamid). Efek utamanya
adalah menurunkan gluconeogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.

Sebelum pemberian obat, semua hewan dipuasakan untuk mengukur kadar glukosa puasa
pada hewan coba mencit. Hewan coba diukur glukosa darah puasanya supaya dapat
dibandingkan dengan kadar glukosa pada saat pemberian obat. Semua hewan coba mencit
diinduksi dengan glukosa 5% untuk meningkatkan kadar glukosa darah mencit. Semua hewan
coba mencit diukur lagi glukosa darahnya agar dapat diketahui kadar glukosa mencit pada saat
kadar glukosanya meningkat. Untuk mengukur kadar glukosa mencit, digunakan alat yaitu
glucometer dan strip pembaca glukosa darah yang terpasang pada bagian atas glucometer. Dalam
strip terdapat enzim glukooksigenase yang mana jika sampel darah mengenai strip, maka akan
langsung terbaca oleh glucometer. Alasan penggunaan alat glucometer sebagai alat yang
otometik memudahkan dalam memperoleh hasil glukosa darah. Pemeriksaan menggunakan alat
ini memerlukan waktu yang relative singkat, akurat dan waktu tesnya minimal 30 detik.
Kemudian diberikan obat secara peroral.

Kelompok I menggunakan obat CMC Na 1% secara peroral. Hasil yang didapat pada
kelompok I tidak sesuai teori karena CMC Na 1% hanya sebagai obat pembanding (control
negative). Seharusnya jika diberikan obat CMC Na 1% hasilnya akan lebih besar dibandingkan
obat anti-diabetes. Mencit I mengalami penurunan glukosa darah pada menit ke-5 setelah
pemberian glukosa yang seharusnya dapat meningkatkan kadar glukosa darah mencit. Hal ini

56 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
dapet terjadi karena adanya adanya faktor kesalahan yang dapat mempengaruhi data yang
diperoleh seperti ketidaktelitian praktikan dalam menimbang mencit sehingga berpengaruh pada
volume pemberian pada mencit, dan lain-lain.

Kelompok II dan III menggunakan obat glibenklamid yang merupakan obat turunan
sulfonalurea yang berperan untuk merangsang tubuh agar mengeluarkan insulin lebih banyak
dari biasanya untuk mengikat glukosa dalam aliran darah. Secara teori, glibenklamid bekerja
lebih baik daripada metformin sehingga penurunan kadar glukosa darah oleh glibenklamid lebih
besar dibandingkan dengan metformin. Hasil dari kelompok II dan III sesuai teori tetapi pada
mencit 2 dan mencit 3 kelompok II tidak mendapatkan hasil pada menit ke-60 setelah pemberian
obat. Hal ini dapat terjadi mungkin dikarenakan alat glucometer yang bermasalah saat digunakan
atau karena ada kesalahan pada saat penyuntikan, dan lain-lain.

Kelompok IV dan V mengunakan obat metformin yang merupakan obat turunan biguanid
yang efek utamanya adalah dapat menurunkan gluconeogenesis dan meningkatkan penggunaan
glukosa di jaringan, sehingga penurunan kadar glukosa darah tidak terlalu besar dibandingkan
dengan glibenklamid. Kelompok IV tidak mendapatkan data pada menit ke-5 maupun menit ke-
60 setelah perlakuan dikarenakan mencit 1 mati pada saat akan diberikan larutan glukosa. Pada
kelompok V, pada mencit 2 menit ke-5 dengan pemberian larutan glukosa didapatkan penurunan
kadar glukosa, seharusnya kadar glukosa meningkat setelah pemberian larutan glukosa. Hal ini
dapat terjadi mungkin dikarenakan faktor kesalahan yang terjadi seperti adanya kesalahan pada
saat penyuntikan, dan lain-lain.

57 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

- Obat glibenklamid dan metformin memiliki efek sebagai anti-diabetes sedangkan CMC Na
tidak memiliki efek anti-diabetes.

- Glibenklamid bekerja lebih baik dalam penurunan kadar glukosa darah dibandingkan dengan
metformin sedangkan CMC Na hanya sebagai larutan pembanding/control negative.

5.2 Saran

Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara oral pada hewan coba agar tidak terjadi
kesalahan pada saat akan dilakukan pengamatan karena pemberian obat dapat mempengaruhi
respon atau efek yang ditimbulkan.

58 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
5.3 Daftar Pustaka

Kee, J.L. dan Hayes E. R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Alih Bahasa :
Dr. Peter Anugrah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Herman F. 1993. Penggunaan obat hipoglikemik oral pada penderita diabetes melitus. Pharos
Bulletin No.1.

Katzung G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Penerbit Salemba Medika.
Jakarta.

Adam J.M.F. 2000. Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus yang baru.Cermin Dunia
Kedokteran No. 127

Soegondo,S., Semiardji, G., Adriansyah, H. 2004. Petunjuk Praktis Penatalaksanaan


Dislipidemia. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.

59 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB I

PENDAHULUAN

PENGARUH OBAT KOLINERGIK dan ANTIKOLINERGIK TERHADAP KELENJAR


SALIVA DAN MATA

1.1 Latar Belakang


Sistem saraf otonom bekerja menghantarkan rangsang dari SSP ke otot polos, otot
jantung dan kelenjar. Sistem saraf otonom merupakan saraf eferen (motorik), dan merupakan
bagian dari saraf perifer. Sistem saraf otonom ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Pada umumnya jika fungsi salah satu sistem dirangsang
maka sistem yang lain akan dihambat.
Sistem saraf otonom tersusun atas saraf praganglion, ganglion dan saraf postganglion.
Impuls saraf diteruskan dengan bantuan neurotransmitter, yang dikeluarkan oleh saraf
praganglion maupun saraf postganglion.
Sistem saraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem saraf vegetatif, sistem saraf
keseimbangan visceral atau sistem saraf sadar, sistem mengendalikan dan mengatur
keseimbangan fungsi-fungsi intern tubuh yang berada di luar pengaruh kesadaran dan kemauan.
Sistem ini terdiri atas serabut-serabut saraf-saraf ganglion-ganglion dan jaringan saraf yang
mendarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos.
Untuk selanjutnya, obat-obat yang berhubungan dengan kerja asetilkolin disebut
kolinergik, dan obat-obat yang berhubungan dengan kerja norepineprin disebut adrenergik.

1.2 Tujuan
1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat system saraf otonom pengendalian
fungsi vegetative tubuh
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi untuk aktivitas obat kolinergik atau antikolinergik pada
neurofektor parasimpatis

60 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar

Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi visceral
tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal, pengosongan
kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah
kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung
dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan
detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan
kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap
homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem
tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton,
2006).
Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya disebut SSP).
Neuron orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis maupun di batang otak.
Akson neuron orde pertama ini disebut dengan serabut preganglion (preganglionic fiber).
Serabut ini bersinaps dengan badan sel neuron orde kedua yang terletak di dalam ganglion.
Serabut pascaganglion menangkap sinyal dari serabut preganglion melalui neurotransmiter yang
dilepaskan oleh serabut preganglion. Seperti yang telah diketahui, ganglion merupakan
kumpulan badan sel yang terletak di luar SSP. Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan
serabut pascaganglion (postganglionic fiber) muncul dari ganglion menuju organ yang akan
diinervasi. Organ efektor menerima impuls melalui pelepasan neurotransmiter oleh serabut
pascaganglion. Kecuali untuk medulla adrenal, baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis
mengikuti pola seperti yang telah dijelaskan di atas (Regar, 2010).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang
bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel
efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya
secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan

61 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan
atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem
saraf otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut: ·
a. Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf
simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
b. Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau
melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain.
2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut
a. Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin
b. Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan atau
melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (atropine)

Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya mirip
perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut
adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.
Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis yaitu :
1. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan terhadap
kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, penungkatan kewaspadaan,
aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone hipofisis.
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitter NE
dan Ach.
b. Kerja obat adrenergik dibagi 2 yaitu :

62 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
1. Obat adrenergik kerja langsung
Kebanyakan obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergic di membran sel
efektor, tetapi berbagai obat adrenergik tersebut berbeda dalam kapasitasnya untuk mengaktifkan
berbagai jenis reseptor adrenergic. Misalnya, isoproterenol praktis hanya bekerja pada reseptor β
dan sedikit sekali pengaruhnya pada reseptor α sebaliknya, fenilefrin praktis hanya menunjukan
pada reseptor α. Jadi suatu obat adrenergic dapat diduga bila diketahui reseptor mana yang
terutama dipengaruhi oleh obat.
2. Obat adrenergik kerja tidak langsung
Banyak obat adrenergik, misalnya amfetamin dan efedrin bekerja secara tidak lansung artinya
menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan NE yang tersimpan dalam ujung saraf
adrenergic. Pemberian obat-obat ini secara terus menerus dalam waktu singkat singkat akan
menimbulkan takifilaksis.
c. Epinefrin
Pada umunya pemberian Epi menimbulkan efek mirip stimulasi saraf adrenergik.
a. Efek yang paling menonjol pada epinefrin
1. Kardiovaskular (pembuluh darah)
Efek vaskular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar
juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi akibat aktivasi
reseptor α oleh Epi. Pada manusia pemberian Epi dalam dosis terapi menimbulkan kenaikan
tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan
aliran darah otak.
2. Arteri koroner
Epi meningkatkan aliran darah koroner tetapi Epi juga dapat menurunkan aliran darah kroner
karena kompresi akibat peningkatan kontraksi otot jantung dan karena vasokonstriksi pembulu
darah koroner akibat efek reseptor α.
3. Jantung
Epi mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi. Epi
mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular
(AV), sepanjangbundle of His dan serat purkinje sampai ke ventrikel. Epi memperkuat kontraksi
dan mempercepat relaksasi serta memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu
diastolik.

63 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
4. Tekanan darah
Pemberian Epi pada manusia secara SK atau secara IV dengan lambat menyebabkan kenaikan
tekanan sistolik yang sedang dan penurunan diastolik. Tekanan nadi bertambah besar, tetapi
tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure) jarang sekali menunjukkan kenaikan yang besar.
5. Otot polos
Efek Epi pada otot polos berbagai organ bergantung pada jenis reseptor adrenergik pada otot
polos yang bersangkutan.
b. Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi
Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri
kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar bernapas dan palpitasi. Gejala-gejala
ini mereda dengan cepat setelah istirahat. Dosis Epi yang besar atau penyuntika IV cepat yang
tidak disengaja dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang hebat.
Bahkan penyuntikan SK 0,5 ml larutan 1 : 1000 dapat menimbulkan perdarahan subaraknoid dan
hemiplegia, untuk mengatasinya, dapat dibrikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrit
atau natrium nitroprusid, α-bloker mungkin juga berguna.
Epi dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat α-bloker nonselektif, karena kerjanya
yang tidak terimbangi pada eseptor α pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat
dan perdarahan otak.
c. Penggunaan klinis
Manfaat Epi dalam klinis digunakan untuk menghilangkan sesak napas akibat bronkokonstriksi,
untuk mengatasi reaksi hipersensitivitas terhadap obat maupun allergen lainnya, dan untuk
memperpanjang masa kerja anestetik lokal. Epi dapat juga digunakan untuk merangsang jantung
pada waktu henti jantung oleh berbagai sebab. Secara lokal obat ini digunakan untuk
menghentikan perdarahan kapiler.
d. Posologi dan sediaan
Suntikan epinefrin adalah larutan steril 1 : 1000 Epi HCL dalam air untuk penyuntikan SK, ini
digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi hipersensitivitas akut lainnya.
Dosis dewasa berkisar antara 0,2-0,5 mg (0,2-0,5 ml larutan 1 : 1.000). untuk penyuntikan IV,
yang jarang dilakukan, larutan ini harus diencerkan lagi dan harus disuntikkan dengan sangat
perlahan-lahan. Dosisnya jarang sampai 0,25 mg, kecuali pada henti jantung, dosis 0,5 mg dapat

64 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
diberikan tiap 5 menit. Penyuntikan intrakardial kadang-kadang dilakukan untuk resusitasi
dalam keadaan darurat (0,3-0,5 mg).
Inhalasi epinefrin adalah larutan tidak steril 1% Epi HCL atau 2% Epi bitartrat dalam air untuk
inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan untuk menghilangkan bronkokonstriksi.
Epinefrin tetes mata adalah larutan 0,1-2% Epi HCL 0,5-2% Epi borat dan 2% Epi bitartrat.
d. Norepinefrin
Obat ini dikenal sebagai levarterenol, I-arterenol atau I-noradrenalin dan kmerupakan
neurotransmitor yang dilepas oleh serat pasca ganglion adrenergik. NE bekerja terutama pada
reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah bila dibandingkan dengan Epi. NE
mempunyai efek β1pada jantung yang sebanding dengan Epi, tetapi efek β2nya jauh lebih lemah
daripada Epi. Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolik, tekanan
sistolik dan biasanya juga tekanan nadi. Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi, Efek
samping NE yang paling umum berupa rasa kuatir, sukar bernapas, denyut jantung yang lambat
tetapi kuat dan nyeri kepala selintas. Dosis berlebihan atau dosis biasa pada penderita yang
hiper-reaktif (misalnya penderita hipertiroid) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala
yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak dan muntah. Obat ini merupakan
kontraindikasi pada anesthesia dengan obat-obat yang menyebabkan sensitisasi jantung karena
dapat timbul aritmia. Ne digunakan untuk pengobatan syok kardiogenik
e. Isoproterenol
Obat ini merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua reseptor β dan
hampir tidak bekerja pada reptor α. Infus isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi
perifer, terutama pada otot rangka, ginjal dan ,esenterium sehingga tekanan diatolik menurun.
 Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan
efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon
asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama susunan parasimpatis adalah
mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi
asimilasi. Bila neuron susunan parasimpatis dirangsang, timbullah sejumlah efek yang
menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi
pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung
(HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan
jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan, antara lain

65 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan
efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya
pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter denganefek memperlancar
pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada
permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002). Salah satu kolinergika
yang sering digunakan dalam pengobatatan adalah Pilokarpin yang juga merupakan salah satu
pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini
tidak digunakan untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat
yang dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut
lebar.
 Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan
ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin.
Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor.
Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) dicegah. Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade.
Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan
: reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3) (Yeni, 2011).
Obat kolinergik dibagi dalam 3 golongan :
1. Ester kolin
Dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbokol, betanekol. Asetilkolin (Ach)
adalah prototip dari oabat golongan ester kolin. Asetilkolin hanya bermanfaat dalam penelitian
tidak berguna secara klinis karena efeknya menyebar ke berbagai organ sehingga titik tangapnya
terlalu luas dan terlalu singkat. Selain itu Ach tidak dapat diberikan per oral, karena dihidrolisis
oleh asam lambung.
a. Farmakodinamik
Secara umum farmakodinamik dari Ach dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap :
1. Kelenjar eksoskrin dan otot polos, yanh disebut efek muskarinik
2. Ganglion (simpatis dan parasimpatis) dan otot rangka, yang disebutefek nikotik.
Pembagian efek Ach ini berdasarkan obat yang dapat mengahambatnya, yaitu atropin
mengahambat khusus efek muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar mengahambat efek

66 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
nikotinik asetilkolin terhadap ganglion. Bila asetilkolin diberikan intravena, maka efeknya
terhadap pembuluh darah merupakan resultante dari beberapa efek tunggal :
1. Ach bekerja langsung pada reseptor kolinergik pembuluh darah dan melaui pengelepasan
EDRF (endhotelium derived relaxing factory) menyebabkan fasodilatasi.
2. Ach bekerja pada ganglion simpatis dengan akibat pelepasan NE pada akhir postsinaptik
pembuluh darahdan menyebabkan vasokonstriksi. Saraf parasimpatis hamper tidak mempunayi
pengaruh terhadap pembuluh darah melaluiganglion parasimpatis kecuali pada alat kelamin.
3. Ach bekerja merangsang sel medulla anak ginjal yang melepaskan katekolamin dan
menyebabkan vasokonstriksi
4. Ach dapat merangsang reseptor muskarinik parasinaps saraf adrenergic dan mengurangi
peepasan NE.
Resultante dari keempat efek ini akan menentukan apakah terjadi kenaikan atau penurunan
tekanan darah.
Saluran cerna. Pada saluran cerna semua obat dari golongan ini dapat merangsang peristalsis dan
sekresi lambung serta usus. Karbakol dan betanekol menimbulkan hal ini tanpa mepengaruhi
sisitem kardiovaskuler, sedangkan efek asetilkolin dan metakolin disrtai engan hipotensi dan
takikardi kompensator.
Kelenjar eksoskrin. Ach dan ester kolin lainnya merangsang kelenjar keringat, kelenjar air mata,
kelenjar ludah dan pankreas. Efek ini merupakan efek muskarinik dan tidak nyata pada orang
sehat.
Bronkus. Ester kolin dikontraindikasikan pada penderita asma bronkial karena terutama pada
penderita ini akan menyebabkan spasme bronkus dan produksi lendir berlebihan. Efek ini tidak
nyata pada orang sehat.
Saluran kemih. Karbakol dan betanekol memperlihatkan efek yang lebih jelas terhadap otot
detrusor dan otot ureter dibandingkan dengan asetilkolin dan metakolin. Obat ini menyebabkan
kapasitas kandung kemih berkurang dan peristalsis ureter bertambah.
b. Sediaan dan posologi
Karena jarang digunakan di klinik, sediaan kolinergik sulit didapat di Indonesia.
Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul berisi 200
mg, dosis : 10 – 100 mg IV.

67 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Metakolin klorida tersedia sebagai tablet 200 mg pemberian oral tidak dapat diandalkan ,
sebaliknya diberikan subkutan (SK) 2,5 – 40 mg, tergantung dari respon penderita.
Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml, pemberian oral cukup efektif
dengan dosis 3 kali 0,2 – 0,8 mg. Dosis subkutan adalah 0,2 – 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh
diberikan IV. Juga tersedia sebagai tetes mata untuk miotikum.
Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung 5
mg/ml. Dosis oral adalah 10 - 30 mg, sedangkutan subkutan 2,5 – 5,0 mg. tidak boleh diberikan
IV atau IM.
c. Efek Samping
Dosis berlebihan dari ester kolin sangat berbahaya karena itu jangan diberikan secara IV, kecuali
asetilkolin yang lama kerjanya sangat singkat. Pemberian oral atau SK merupakan cara yang
lazim digunakan. Kombinasi dengan prostigmin atau obat kolinergik lain juga tidak boleh
digunakan, karena terjadi potensiasi yang dapat membawa akibat buruk. Ester kolin dapat
mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina pectori, karena tekanan darah
yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami fibrilasi
atrium terutama pada pemberian metakolin. Tindakan pengamanan perlu diambil yaitu dengan
menyediakan atropin dan epinefrin sebagai antidotum. Gejala keracunan pada umumnya berupa
efek muskarinik dan nikotinik yang berlebihan, keracunan ini harus cepat diatasi dengan atropin
dan epinefrin.
d. Indikasi
Metakolin pernah digunakan untuk memperbaiki sirkulasi perifer pada penyakit Raynaud atau
tromboflebitis bedasarkan efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah arteri tetapi sekarang tidak
digunakna lagi kerana intensitas respons yang tidak dapat diramalkan.
Feokromositoma. Metakolin dapat digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu
tekanan darah penderita sangat rendah. Pemberian metakolin 25 mg SK akan menyebabkan
turunnya tekanan darah seperti yang diharapkan tetapi dengan cepat disusul dengan peningkatan
tekanan sistolik maupun diastolik. Uji semacam ini uga dapat dikerjakan dengan asetilkolin atau
dengan histamine. Bila tensi penderita sedang tinggi, sedikit-dikitnya diatas 190 mmHg, maka
sebaiknya dilakukan uji fentoloamin. Hasil uji fentolamin dikatakan positif bila penurunan
tekanan darah sekurang-kurangnya 35/25 mmHg.
2. Obat Antikolinesterase

68 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Antikolinesterase terdiri dari eserin (fisostigmin), prostigmin (neostigmin), disospropil-
fluorofosfat (DFP), dan insektisida golongan organofosfat. Antikolinesterase menghambat kerja
kolinesterase (dengan mengikat kolinesterase) dan mengakibatkan perangsangan saraf kolinergik
terus menerus karena Ach tidak dihidrolisis. Dalam golongan ini kita kenal dua kelompok obat
yaitu yang menghambat secara reversible misalnya fisostigmin, prostigmin, piridostigmin dan
edrofonium. Dan menghambat secara ireversibel misalnya gas perang, tabung, sarin, soman,
insektisida organofosfat, parathion, malation, diazinon, tetraetil-pirofosfat (TEPP),
heksaetiltetrafosfat (HETP) dan oktametilpiro-fosfortetramid (OMPA).
a. Mekanisme kerja
Hampir semua kerja antikolinesterase dapat diterangkan adanya asetikolin endogen. Hal ini
disebabkan oleh tidak terjadinya hidrolisis asetilkolin yang biasanya terjadi sangat cepat, karena
enzim yang diperlukan diikat dan dihambat oleh antikolinesterase. Hambatan ini berlangsung
beberapa jam utuk antikolinesterase yang reversible, tetapi yang ireversibel dapat merusak
kolinesterase sehingga diperlukan sisntesis baru dari enzim ini untuk kembalinya transmisi
normal. Akibat hambatan ini asetilkolin tertimbun pada rseptor kolinergik ditempat Ach
dilepaskan.
b. Farmakodinamik
Efek utama antikolinesterase yang menyangkut terapi terlihat pada pupil, usus dan sambungan
saraf-otot. Efek-efek lain hanya mempunyai arti toksikologi.
Mata. Bila fisostigmin (Eserin) atau DFP diteteskan pada konjungtiva bulbi, maka terlihat suatu
perubahan yang nyata pada pupil berupa miosis, hilangnya daya akomodasi dan hiperemia
konjungtiva. Miosis terjadi cepat sekali, dalam beberapa menit, dan menjadi maksimal setelah
setengah jam. Tergantung dari antikolinesterase yang digunakan, kembalinya ukuran pupil ke
normal dapat terjadi dalam beberapa jam (fisostigmin) atau beberapa hari sampai seminggu
(DFP). Miosis menyebabkan terbukannya saluran Schlemm, sehingga pengaliran cairan mata
lebih mudah, maka tekanan intraokuler menurun. Terutama bila ada glaukoma. Miosis oleh obat
golongan ini dapat diatasi oleh atropin.
c. Farmakokinetik
Fisostigmin mudah diserap melalui saluran cerna, tempat suntikan maupun melaui selaput lendir
lainya. Seperti atropin, fisostigmin dalam obat tetes mata dapat menyebabkan obat sistemik. Hal
ini dapat dicegah dengan menekan sudut medial mata dimana terdapat kanalis lakrimalis.

69 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Prostigmin dapat diserap secara baik pada pemberian parenteral, sedangkan pada pemberian oral
diperlukan dosis 30 kali lebih besar dan penyerapannya tidak teratur. Efek hipersalivasi baru
tampak 1-1 ½ jam setelah pemberian oral 15-20 mg.
d. Sediaan dan posologi
Fisostigmin salisilat (eserin salisilat) tersedia sebagai obat tetes mata, oral dan
parenteral. Prostigmin bromida (Neostigmin bromida)tersedia untuk pemakian oral (15mg per
tablet) dan neostigmin metilsulfat untuk suntikan, dalam ampul 0,5 dan 1,0 mg/ml.Pridostigmin
bromida (Mestinon bromida) sebagai tablet 60 mg dan juga ampul 0,5 mg/ml. Edrofonium
klorida ( Tensilon klorida), dalam ampul 10 mg/ml, dapat dipakai untuk antagonis kurareatau
diagnosis miastenia gravis. Diisopropilfluorofosfat (DFP) atau isoflurorattersedia sebagai larutan
dalam minyak untuk pemberian parenteral dan sebagai obat tetes mata (0,1 % larutan dalam air).
e. Indikasi
1. Antonio otot polos
Prostigmin terutama berguna untuk keadaan atoni otot polos saluran cerna dan kandung
kemih yang sering terjadi pada pasca bedah atau keadaan toksik. Pemberian sebaiknya secara SK
atau IM. Prostigmin yang diberikan sebelum pengambilan X-foto abdomen juga bermanfaat
untuk menghilangkan bayangan gas dalam usus.
2. Sebagai miotika
Fisostigmin dan DFP secara local digunakan dalam oftalmologi untuk menyempitkan pupil,
terutama setelah pemberian atropin pada funduskopi. Dilatasi pupil oleh atropin berlangsung
berhari-har dan menggangu penglihaan bila tidak diantagonis dengan eserin. Dalam hal ini DFP
merupakan miotik yang kuat. Perlekatan iris dengan lensa kadang-kadang terjadi akibat
peradangan dalam hal ini atropin dan fisostigmin digunakan berganti-ganti untuk mencegah
timbulnya perlengketan tersebut.
3. Diagnosis dan pengobatan miastenia gravis
Miastenia gavis ditandai dengan kelemhan otot yang ekstrim. Gejala penyakit ini adalah
berkurangnya produksi asetilkolin pada sambungan saraf-otot atau dapat ditandai juga dengan
peninggian ambang rangsangan. Setelah pemberian 1,5 mg prostigmin SK kelemahan otot
rangka diperbaiki sedemikian rupa sehingga dapat dianggap sebagai suatu tes diagnostik. Untuk
diagnosis digunakan 2 mg androfonium, disusul 8 mg 45 detik kemudian bila dosis pertama tidak
mempan. Prostigmin dan piridostigmin merupakan kolinergik yang sering digunakan untuk

70 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
mengobati miastenia gravis. Pengobatan dimulai dengan 7,5 mg prostigmin atau 30 mg
prodiatigmin biasanya 3 kali sehari. Bila diragukan apakah efek kolinergik sudah cukup apa
belum, dapat diuji dengan pemberian endrofonium, bila terjadi perbaikan berarti dosis perlu
ditambah.
4. Penyakit Alzheimer
Dosis yang diberiakn pada penyakit Alzheimer yaitu 3 kali sehari 25-50 mg diawali dengan 50
mg/hari dan ditingkatkan sampai 150 mg/hari dalam 4 minggu. Efek samping mual dan efek
kolinergik perofer lainnya tidak menibulkan masalah, mungkin karena dosis dinaikan secra
bertaha dalam 4 minggu. Obat ini meningkatkan enzim aminotransferase dan dikhawatirkan
bersifat hepatotoksisk. Karena itu dianjurkan melakukan uji fungsi hati setiap 2 minggu dalam 3
bulan pertama dan setiap bulan setelahnya.

3. Alkaloid tumbuhan
Alkaloid tumbuhan yaitu : muskarin yang berasal dari jamur Amanita muscaria, pilokarpin yang
berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi danPilokarpus microphyllus dan arekolin yang
berasal dari Areca catehu(pinang). Ketiga obat ini bekerja pada efek muskarinik, kecuali
pilokarpin yang juga memperlihatkan efek nikotinik. Pilokorpin terutama menyebabkan
rangsangan terhadap kelenjar keringat yang terjadi karena perangangan langsung (efek
muskarinik) dan sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik), kelenjar air mata dan
kelenjar ludah. Produksi keringat dapat mencapai 3 liter. Pada penyuntika IV biasanya terjadi
kenaikan tekanan darah akibat efek ganglionik dan sekresi katekolamin dari medulla adrenal.
a. Intoksikasi
Keracunan muskarin dapat terjdi akibat keracunan jamur. Keracunan
jamur Clitocybe dan Inocybe timbul cepat dalam beberapa menit sampai dua jam setelah makan
jamur sedangkan gejala keracunan A. phalloidestimbul lambat, kira-kira sesudah 6-15 jam,
dengan sifat gejala yang berlainan. Amanita muscaria dapat menyebabkan gejala muskarinik
tetapi efek utama disebabkan oleh suatu turunan isoksazol yang merupakan antidotum yang
ampuh bila efek muskariniknya yang dominan. Amanita phalloides lebih berbahaya,
keracunannya ditandai dengan gejala-gejala akut di saluran cerna dan dehidrasi yang hebat.
b. Indikasi
Pilokarpin HCL atau pilokarpin nitrat digunakan sebagai obat tetes mata untuk menimbulkan
miosis dengan larutan 0,5-3 %. Obat ini juga digunakan sebagai diaforetik dan untuk

71 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
menimbulkan saliva diberikan per oral dengan dosis 7,5 mg. Arekolin hanya digunakan dalam
bidang kedokteran hewan untuk penyakit cacing gelang. Musakrin hanya berguna untuk
penelitian dalam laboratorium dan tidak digunakan dalam terapi. Aseklidin adalah suatu senyawa
sintetik yang strukturnya mirip arekolin. Dalam kadar 0,5-4% sama efektifnya dengan pilokarpin
dalam menurunkan tekanan intraokular. Obat ini digunakan pada penderita glaukoma yang tidak
tahan pilokarpin.

4. Obat kolinergik lainnya


1. Metoklopramid
Metoklopramid merupakan senyawa golongan benzamid. Gugus kimianya mirip prokainamid,
tetapi metoklopramid memiliki efek anestetik lokal yang sangat lemah dan hamper tidak
berpengaruh terhadap miokard.
a. Efek farmakologi metoklopramid sangat nyata pada saluran cerna, obat ini juga dapat
meningkatkan sekresi prolaktin. Mekanisme kerja metoklopramid pada saluran cerna, yaitu :
1. Potensiasi efek kolinergik
2. Efek langsung pada otot polos
3. Penghambatan dopaminergik sentral
b. Indikasi. Metaklopramid terutama digunakan untuk memperlancar jalannya zat kontras
pada waktu pemeriksaan radiologic lambung dan deuodenum untuk mencegah atau mengurangi
muntah akibat radiasi dan pascabedah, untuk mempermudah intubasi saluran cerna. selain itu
obat ini diindikasikan pada berbagai gangguan saluran cerna dengan gejala mual, muntah, rasa
terbakar di ulu hati, perasaan penuh setelah makan dan gangguan cerna (indigestion) misalnya
pada gastroparesis diabetik.
c. Kontraindikasi, efek samping dan interaksi obat
Metoklopiramid dikontraindikasikan pada obstruksi, perdarahan, dan perforasi saluran cerna,
epilepsi, feokromositoma dan gangguan ekstrapiramidal. Efek samping yang timbul pada
penggunaan metoklopramid pada umunya ringan. Yang penting diantaranya adalah kantuk,
diare, sembelit dan gejala ekstrapiramidal.
d. Sediaan dan posologi
Metoklopiramid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg, sirup mengandung 5 mg/ 5 ml dan
suntikan 10 mg/2ml untuk penggunaan IM atau IV. Dosis untuk dewasa ialah 5-10 mg 3 kali
sehari, untuk anak 5-14 tahun 2,5 mg – 5 mg diminum 3 kali sehari, anak 3-5 tahun 2 mg

72 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
diminum 2 atau 3 kali sehari, anak 1-3 tahun 1 mg diminum 2 atau 3 kali sehari dan bayi 1 mg
diminum 2 kali sehari.
2. Sisaprid
Sisaprid merupakan senyawa benzamid yang merangsang motilitas saluran cerna. Kerja obat ini
diduga meningkatkan pelepasan ACH di saluran cerna.
a. Eksperimental pada hewan
Sisaprid meningkatkan tonus istirahat sfingter bawah esofagus dan meningkatkan amplitudo
kontraksi esofagus bagian distal. Pengosongan lambung dipercepat, waktu transit mulut-saekum
memendek, peristalsis kolon meningkat.
b. Indikasi
Sisaprid diindikasikan pada refluks gastroessofagial, gangguan mobilitas gaster dan dyspepsia
bukan karena tukak.
c. Sediaan dan posologi
Dosis 3-4 kali sehari 10 mg, 15-30 menit sebelum makan. Lama pengobatan 4-12 minggu. Obat
ini dimetabolisme secara ekstensif di hati sehingga dosis perlu disesuaikan pada gagal hati. Pada
pasien gagal ginjal, dosis juga perlu diturunkan sesuai beratnya gangguan, mungkin sampai
separuhnya. Perhatian. Jangan memberikan sisaprid bila peningkatan gerakan saluran cerna dapat
berpengaruh buruk misalnya pada pendarahan, obstruksi, perforasi, atau keadaan pascabedah.
d. Efek samping
Efek samping pada saluran cerna berupa : Kolik, borborigmi, dan diare. Gejala sistem saraf pusat
berupa sakit kepala, pusing, konvulsi dan efek.

ATROPIN
Atropine adalah alkaloid belladonna yang mempunyai afinitas kuat terhadap reseptor
muskarinik. Obat ini bekerja kompetitif antagonis dengan Ach untukmenempati kolinoreseptor.
Umumnya masa kerja obat ini sekitar 4 jam. Terkecuali, pada pemberian sebagai tetets mata,
masa kerjanya menjadi lama bahkan sampai beberapa hari
Farmakokinetik
Atropine mudah diabsorpsi sebagian dimetabolisme dalam hepar dan diekskresi ke dalam
urine. Waktu paruhnya sekitar 4 jam.
Farmakodinamik

73 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Efek antikolinergikdapat emnstimulasi ataupun mendepresi bergantung pada organ target.
Di dalam otak, dosis rendah merangsang dan dosis tinggi mndepresi. Efek obat ini juga ditetukan
oleh kondisi yang akan diobati. Misalnya Parkinson yang dikarakteritsikan dengan defisiensi
dopamine yang mengintensifkan eegfek stimulasi Ach. Antimuskarinik menumpulkan atau
mendepresi efek ini. Pada kasus lain, efek obat ini pada SSP terlihat sebagai stimulator.
Efek pada mata – midriasi dapat sampai sikloplegia (tidak berakomodasi)
Saluran cerna – atropine digunakan sebagai antispasmodic (mungkin atropine merupakan obat
terkuat untuk menghambat saluran cerna). Obat ini tidak mempengaruhi sekresi asam lambung
sehingga tidak bermanfaat sebagai antiulkus.
Saluran kemih – attroopin digunakan untuk menurunkan hipermotilitas kandung kemih dan
kadang-kadang masih digunakan untuk enuresis pada anak yang mengompol. Ole karena itu,
agonis alfa-aderenergik lebih efektif dengan efek samping yahng lebih sedikit.
Kardiovaskular – efek atropine pada jantung bergantung pada besar dosis. Pada dosis
kecil menyebabkan bradikardi. Atropine dosis tinggi terjadi penyekatan reseptor kolinergik di
SA nodus dan denyut jantung sedikit bertambah (takikardi). Efek ini baru timbul bila atropine
diberi 1mg.
Kelenjar eksokrin – atropine menghambat sekressi kelenjar saliva sehingga mukosa mulut
menjadi kering ( serestomia). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atriopin. Hambatan sekresi
kelenjar keringat menyebabkan suhutubh jadi naik, juga kelenjar air mata mengalaami gangguan.
Indikasi klinis
 Efek midriasi atropine digunakan untuk diagnostic tes pada kelainan dalam mata/retina.
 Sebagai antisekretori pada waktu operasi.
 Antispasmodic saluran cerna dan kandung kemih.
 Antidotum obat-obat agoni kolinergik, seperti pada keracunan insektisisda karbamat,
organofosfat, dan jamur.
Efek Samping
ESO atropine sangat bergantung pada besarnya dosis yang diberikan. Atropine dapat
meyebabksn mulut kering, penglihatan kabur, mata rasa berpasir ( sandy eyes), takkikardi, dan
konstipasi. ESO pada SSp berupa rasa capek, bingung, halusinasi, delirium yang dapat menjadi
depresi, depresi napas dan kematian.

74 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
PILOKARPIN
Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier yang stabil terhadap hidrolisis oleh
asetilkolinesterase. Pilokarpin termasuk obat yang lemah disbanding dengan asetilkolin
danturunanya. Aktivitas utamanya adalah muskarinik dan digunakan untuk oftalmologi.
Efek samping
perangsangan keringat dan salvias yang berlebihan. Pilokarpin juga dapat masuk ke SSP dan
menimbulkan gangguan SSP.

75 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat, Bahan dan Prosedur

1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva

Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg

Obat : - Fenobarbital 100 mg/70 kgBB manusia secara IV

- Pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM

- Atropin SO4 0,25 mg/kgBB kelinci secara IV

Alat : Spuit injeksi 1 ml, timbangan hewan, corong gelas, beaker glass,
gelas ukur

Prosedur:
1. Siapkan kelinci.

2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci.

3. Sedasikan kelinci dengan fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV.

4. Suntikkan kelinci dengan pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM

5. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCl dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva yang
ditampung

6. Setelah lima menit, suntikkan atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV

7. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat atropine SO4 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit Ukur volume saliva yang
ditampung.

Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi

Efek Obat Sistem Kelinci Pilokarpin HCl Volume saliva yang


Saraf Otonom ditampung selama 5

76 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
pada Kelenjar menit (ml)
Saliva
Atropine SO4 Volume saliva yang
ditampung selama 5
menit (ml)

2. Kolinergik dan Antikolinergik Mata

Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg

Obat : - Tetes mata fisostigmin salisilat sebanyak 3 tetes

- Tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes

- Tetes mata atropin SO4 sebanyak 3 tetes

- Larutan NaCl 0,9%

Alat : Senter, loupe, penggaris

Prosedur:

1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan.

2. Sebelum pemberian obat, amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram dan pada
penyinaran dengan senter.

3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:

a. Mata kanan : tetes mata fisostigmin salisilat sebanyak 3 tetes

b. Mata kiri : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes

4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit

5. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.

6. Uji respon refleks mata.

7. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropine SO4.

8. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.

9. Catat dan tabelkan pengamatan.

77 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
10. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua mata kelinci.

Percobaan Bahan Efek Diameter Pupil Mata

Efek obat Mata Cahaya suram (cm)


sistem saraf kanan
Cahaya senter (cm)
otonom pada kelinci
mata Setelah pemberian fisostigmin (cm)

Respon refleks mata

Setelah pemberian atropine SO4 (cm)

Mata kiri Cahaya suram (cm)


kelinci
Cahaya senter (cm)

Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm)

Respon refleks mata

Setelah pemberian atropine SO4 (cm)

3.2 Perhitungan Dosis

Berat Kelinci = 1,734 kg

1. Diazepam 5 mg/70 kg BB manusia


Sediaan = 10 mg/2 ml
Konversi = 0,07 × 5 mg → 0,35 mg

* Dosis Kelinci 1,734 kg

1,734 𝑘𝑔
× 0,35 𝑚𝑔 = 0,4046 𝑚𝑔
1,5 𝑘𝑔

* Volume Pemberian ( Sediaan 10 mg/2 ml )

0,4046 𝑚𝑔
× 2 𝑚𝑙 = 0,08 𝑚𝑙
10 𝑚𝑔

78 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
2. Pilokarpin HCL 5 mg/kg BB Kelinci

* Volume Pemberian ( Sediaan 20 mg/5 ml )

1,734 𝑘𝑔
× 5 𝑚𝑙 = 0,43 𝑚𝑙 ~ 0,4 𝑚𝑙
20 𝑚𝑔

3. Atropin Sulfat 0,25 mg/kg BB Kelinci

* Volume Pemberian ( Sediaan 10 mg/5 ml )

1,734 𝑘𝑔
× 5 𝑚𝑙 = 0,86 𝑚𝑙 ~ 0,9 𝑚𝑙
10 𝑚𝑔

79 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB IV

HASIL dan PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva

Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi

Efek Obat Kelinci Pilokarpin HCl Volume saliva yang


Sistem Saraf ditampung selama 5
0,3 ml
Otonom pada menit (ml)
Kelenjar Saliva
Atropine SO4 Volume saliva yang -
ditampung selama 5
menit (ml)

2. Kolinergik dan Antikolinergik Mata

Percobaan Bahan Efek Diameter Pupil Mata


Efek obat Mata Cahaya suram (cm) 0,8 cm
sistem saraf kanan
Cahaya senter (cm) 0,4 cm
otonom pada kelinci
mata Setelah pemberian pilokarpin (cm) 0.7 cm

Respon refleks mata Tidak


berkedip

Setelah pemberian atropine SO4 (cm) 0,9 cm

Mata Cahaya suram (cm) 0,8 cm


kiri
Cahaya senter (cm) 0,5 cm
kelinci
Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm) 0,7 cm

Respon refleks mata Tidak


berkedip

Setelah pemberian atropine SO4 (cm) 1,1 cm

80 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
4.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini menggunakan hewan coba kelinci dan obat yang digunakan adalah
pilokarpin dan atropine.

Pilokarpin merupakan kolkinergik yang merangsang saraf parasimpatik yang dimana efeknya
akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan kelenjar-kelenjar pada tubuh,
salah satunya kelenjar saliva. Obat kolinergik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan
efek yang sama dengan stimulasi susunan parasimpatis karena melepaskan neurohormon
Ach/asetilkolin diujung-ujung neuronnya. Efek kolinergik yang ditimbulkan juga termasuk
dalam merangsang atau menstimulasi sekresi kelenjar ludah sehingga hal tersebut dapat memicu
terjadinya hipersalivasi sehingga air liur/saliva yang dikeluarkan oleh kelinci menjadi lebih
banyak karena pilokarpin merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada
kelenjar saliva.

Atropine merupakan obat yang digunakan sebagai antikolinergik/simpatomimetik. Atropine


termasuk dalam alkaloid belladonna yang bekerja memblokade asetilkolin endogen maupun
eksogen. Atropine bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin. Efek atropine pada saluran cerna
yaitu mengurangi sekresi liur sehingga pemberian atropine ini dilakukan agar produksi saliva
menurun karena mukosa mulut kelinci menjadi kering. Atropine seperti agen antimuskarinik
lainnya yang secara kompetitif dapat menghambat asetilkolin/stimulasi kolinergik lain pada
neuroefektor parasimpatik postganglionic, kelenjar system sekresi saraf pusat, meningkatkan
output jantung menggunakan sekresi juga mengantagonis histamine dan serotonin, pada dosis
rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka
terhadap atropine.

Pertama siapkan kelinci. Hitung dosis dan volume. Sedasikan kelinci dengan diazepam 5
mg/70 kg BB manusia secara IV. Kemudian suntikkan pilokarpin HCL 5 mg/kg BB kelinci
secara IM. Tampung saliva dan ukur volume saliva selama 5 menit. Volume yang didapat selama
5 menit menggunakan pilokarpin HCL adalah 0,3 ml. Setelah 5 menit, suntikkan atropine sulfat
0,25 mg/kg BB kelinci secara IV. Tampung saliva dan ukur volume saliva selama 5 menit. Kali
ini tidak mendapatkan hasil/tidak ada saliva yang keluar. Ini dapat terjadi karena adanya
kesalahan saat penyuntikan, dan lain-lain.

81 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
Secara teori, pilokarpin memang merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat
pada kelenjar saliva. Jadi, seharusnya saliva yang dihasilkan setelah pemberian pilokarpin lebih
banyak daripada setelah diberi obat atropine.

Pada percobaan kolinergik dan antikolinergik pada mata pada kelinci dapat dilihat dari hasil
dengan menggunakan pilokarpin, pupil mata mengalami pengecilan ukuran mata sesuai pada
teori yang dengan fungsi pilokarpin tersendiri untuk mengecilkan ppupil mata, untuk atropine
sulfat juga sesuai teori karena dapat melebarkan pupil mata.

82 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

- Semakin besar bobot hewan percobaan, maka volume pemberian obat semakin besar.

- Pilokarpin berpengaruh pada kelenjar saliva, yaitu meningkatkan sekresi saliva dan pilokarpin
juga berpengaruh pada mata, yaitu untuk mengecilkan pupil mata.

- Atropine berpengaruh pada kelenjar saliva, yaitu mampu menginhibisi hipersaliva pada hewan
percobaan dan atropine berpengaruh pada mata, yaitu melebarkan pupil mata.

5.2 Saran

1. Untuk asisten pendamping

Cara pengarahan dalam praktikum sudah bagus dan efektif sehingga sebaiknya dipertahankan.

2. Untuk laboratorium farmakologi farmasi

Ada baiknya alat-alat praktikum segera dilengkapi.

83 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I
5.3 Daftar Pustaka

Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum.

Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.

Staf pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2009.


Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Prof.Mr.A.G Pringgodigdo.1977. Ensiklopedi Umum. Yogyakarata : Penerbit Kanisius

Tjay hoan Tiondan dian raharja kirana, 1991. Obat-obat penting .Edisi IV.Jakarta : pt Elex media
kompatindo.

84 | L A P O R A N F A R M A K O L O G I

Anda mungkin juga menyukai