Oleh:
ALI MUKTI
9916818011
2. Metode Langsung
Dunia baru industri dan perdagangan internasional berkembang sebagai
akibat dari keberhasilan revolusi industri di Eropa pada abad ke-19 telah ikut pula
mendorong perkembangan metode langsung pengajaran bahasa yang dipelopori
oleh Berlitz dan Gouin yang gerakannya juga didrong oleh kekecewaan terhadap
teori dan praktek metode tatabahasa-terjemahan (Celce-Murcia, 2001: 6: Stern,
1983: 456). Bertolak belakang dari metode tatabahasa-terjemahan, metode
langsung harus menggunakan bahasa sasaran sebagai bahasa pengantar dan
komunikasi dalam kelas bahasa asing dan menghindari dua hal berikut:
a) penggunaan bahasa ibu siswa,
b) teknik terjemahan (Stern, 1983: 456).
Oleh sebab itu, metode langsung hanya dapat digunakan oleh guru yang
fasih berbahasa sasaran. Selain itu, dia harus mahir memberikan ilustrasi (lewat
gambar atau gerak) dan demonstrasi yang mengiringi penyajian kata, frasa, atau
ungkapan untuk membantu para siswa memahami maksudnya mengingat semua
penyajian dilakukan dalam bahasa sasaran.
3. Metode Kompromi
Metode ini digunakan dengan dikombinasi dengan teknik-teknik tatabahasa
terjemahan, khususnya terjemahan dan penjelasan tentang aturan-aturan tatahasa.
Untuk tingkat awal pemelajaran bahasa, metode langsung ini digunakan
sepenuhnya, sedangkan ditingkat lebih tinggi digunakan bersama dengan beberapa
teknik penerjemahan, khususnya untuk pemelajar dewasa (Stern, 1983: 101).
4. Metode Membaca
Metode ini dikembangkan di India sebagai reaksi terhadap masalah-masalah
yang dialami dalam menerapkan metode langsung. Membaca dipandang sebagai
keterampilan yang paling bermanfaat dalam belajar bahasa asing mengingat tidak
banyak orang yang melakukan perjelanan ke luar negeri pada masa itu. Selain itu,
hanya sedikit guru dapat berbicara bahasa sasaran secara cukup fasih untuk dapat
menggunakan metode langsung secara efektif di kelas.
Oleh karena itu, semua metode yang diuraikan tersebut dikembangkan
sebagai reaksi terhadap tuntutan praktis pengajaran bahasa. Manfaat terbesar
metode-metode tersebut adalah kepraktisannya. Rujukan teoritisnya tidak
dinyatakan secara terus terang. Inilah sebabnya mengapa masa pengembangannya
pada era prametode.
2. Metode Audiovisual
Metode audiovisual dikembangkan di Perancis pada tahun limapuluhan. Ia
menggunakan scenario yang disajikan secara visual sebagai alat utama untuk
melibatkan siswa dalam ujaran-ujaran dan konteks yang bermakna. rekaman suara
menyediakan dialog bergaya dan komentar naratif dan suatu ujaran diiringi dengan
filmstrip. Dengan kata lain, citra visual dan ujaran lisan saling melengkapiu dan
secara bersama-sama membentuk satuan semantic. Metode ini digunakan dalam
kursus pelajaran bahasa Perancis yang ditujukan bagi sasaran yang berbeda-
pemula dewasa dan anak-anak. Metode ini selanjutnya digunakan di Amerika,
Britania raya, dan Kanada. Seperti metode audiolingual, metode auvisual juga cocok
untuk pemula (Stern, 1983: 466).
3. Metode Lisan-Situasional
Menurut Celce-Murcia (2001: 7), metode lisan-situasional dikembangkan
sebagai sebagai reaksi terhadap metode membaca dengan kekurangannya untuk
menekankan keterampilan lisan-dengar, metode ini dominan di Britania Raya dari
tahun 1940-an sampai 1960-an. Ia diturunkan dari gerakan pembaharuan dan
metode langsung tetapi menambahkan fitur-fitur linguistic Firthian dan bidang
pedagogi bahasa yang sedang muncul. berikut ini fitur-fitur utama metode ini:
a. Bahasa lisan adalah utama.
b. Semua bahan bahasa dipraktikan secara lisan sebelum disajikan dalam
bentuk tertulis, membaca dan menulis diajarkan hanya setelah dasar lisan
dalam bentuk leksikal dan tatabahasa terbentuk mantab.
c. Hanya bahasa sasaran yang harus digunakan di kelas.
d. Upaya dilakukan untuk menjamin bahwa butir-butir leksikal yang paling umum
dan paling bermanfaat yang disajikan.
e. Struktur-struktur tatabahasa digradasi dari sederhana ke kompleks.
f. Butir-butir baru leksikal dan tatabahasa dikenalkan dan dipraktikan secara
situasional (misalnya, di kantor pos, di bank, dan di meja makan).
4. Metode Kognitif
Metode kognitif mencari dasar-dasarnya dalam psikologi kognitif dan
tatabahasa transformasional. Metode ini menyerminkan orientasi teoritis dalam
linguistik dan psikologinguistik yang diprakarsai oleh Chomsky pada tahun
enampuluhan. Diller (1978) dan Stern (1983) menyatakan bahwa metode ini
memberikan tekanan pada pemerolehan dasar atas bahasa sebagai system
bermakna dan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip psikologi kognitif dan
tatabahasa transformasional.
5. Metode Humanistik-Afektif
Kelompok metode humanistic-afektif dikembangkan sebagai reaksi terhadap
kekurangan umum atas pertimbangan afektif baik dalam metode audio lingual
maupun metode kognitif. Metode-metode ini memiliki fitur-fitur berikut: (Celce-
Murcia, 2001: 7):
a. Hormat ditekankan pada individu (setiap siswa, juga guru) dan peran
perasaan mereka.
b. Komunikasi yang bermakna bagi siswa ditekankan.
c. Pengajaran melibatkan banyak kerja pasangan dan kelompok kecil.
d. Iklim kelas dipandang lebih penting daripada metode.
e. Dukungan dan interaksi sejawat dipandang sebagai kebutuhan dalam sendiri.
f. Belajar bahasa asing dipandang sebagai pengalaman yang diwujudkan
sendiri.
g. Guru adalah konselor atau fasilitator.
h. Guru hendaknya mahir dalam bahasa sasaran dan dalam bahasa ibu siswa
mengingat penerjemahan mungkin banyak digunakan pada tahap awal utuk
membantu siswa merasa nyaman, kemudian secara bertahap dihilangkan.
2. Penganut Pacametode
Menurut Kumaravadivelu (2006), metode telah mati dan kita tidak harus
berduka karenanya. Ia menegaskan bahwa proses pemelajaran bahasa harus
meninggalkan penggunaan metode secara keseluruhan dan mulai menggunakan
konsep-konsep pedagogis yang menurutnya bersifat pascametode .Dalam buku
Understanding Language Teaching yang secara khusus membahas sera
pascametode sebagai jawaban bagi kejenuhan dunia pemelajaran bahasa asing
terhadap penggunaan dan pencarian metode sempurna dalam pemelajaran,
Kumaravadivelu menampilkan tiga framework yang dapat digunakan dalam
pemelajaran bahasa. Ketiga framework tersebut adalah framework tiga dimensi
Stern, praktik eksploratori Alwright, serta makro-strategi Kumaravadivelu. Dengan
menyajikan ketiga framework tersebut, Kumaravadivelu memberikan beberapa
pilihan yang dapat digunakan pengajar sebagai alternatif untuk metode ajar yang
selama ini digunakan.
Stern mendasarkan framewrok tiga dimensinya pada konsep 1) hubungan L1
dan L2 dalam SLA, 2) dilema antara kode-komunikasi dalam SLA, dan 3) pilihan
pengajaran bahasa secara eksplisit-implisit. Selanjutnya Stern mengupas ketiga
dimensi ini guna memberikan gambaran bagi pengajar dalam menentukan filosofi
mana yang dapat mereka gunakan dan alasan apa yang mendasari penggunaan
tersebut. Framework praktik eksploratori Alwright kurang lebih sama dengan metode
classroom action research dimana pengajar dituntut untuk mengatasi sendiri
permasalahan yang ada dengan melakukan penelitian di dalam kelas. Bedanya,
dalam praktik eksploratori ini pengajar menggunakan kegiatan kelas sebagai alat
pengumpul data sehingga penelitian berjalan secara berbarengan dengan proses
belajar mengajar setiap harinya. Adapun framework makro-strategi dari
Kumaravedivelu sendiri secara garis besar berisi 10 makro-strategi yang dapat
dikembangkan ke dalam berbagai mikro-trategi sesuai dengan keinginan pengajar.
2. Belajar Bermakna
Sementara beberapa ilmuwan kognitif tertarik dalam pengolahan informasi
(perhatian, jangka pendek/kerja, dan memori jangka panjang), orang lain tertarik
pada bagaimana informasi dapat dibuat lebih bermakna sehingga dapat lebih
dipahami dan digunakan. Para ilmuwan ini membahas “belajar bermakna”, dan
pekerjaan mereka telah menyebabkan pengembangan pendekatan untuk itu yang
menggunakan guru. Pendekatan (berdasarkan pada prinsip-prinsip dikumpulkan di
bagian dari literatur pada pengolahan informasi yang dikutip di atas atau di tempat
lain) termasuk bagaimana
Mempersiapkan siswa untuk belajar.
Menyajikan informasi secara logis dan jelas.
Menghubungkan informasi baru dengan apa yang peserta didik sudah tahu.
Bervariasi cara informasi disajikan atau diperoleh.
Memiliki peserta didik review atau melatih informasi.
Memiliki siswa proses memikirkan dan menggunakan-baru informasi.
Menyediakan siswa dengan bantuan bila diperlukan.
Membantu siswa merangkum apa yang dipelajari.
Membantu siswa menerapkan apa yang dipelajari.
3. Pendekatan Kognitif untuk Pengajaran dan Pembelajaran
Salah satu cara mengajar berdasarkan pembelajaran bermakna disebut
“mengajar ekspositori” atau “belajar penerimaan”. Paling sering kita menyebutnya
presentasi dimana guru mengarahkan kegiatan belajar (mempersiapkan para siswa
untuk belajar, menyajikan informasi secara logis dan jelas, menghubungkan
informasi yang akan dipelajari dengan apa yang siswa sudah tahu, dan
menggunakan variasi dalam menyajikan informasi baru).
a) Belajar Otentik
Penelitian menunjukkan pengetahuan lebih berarti dan diingat lagi ketika
dapat berhubungan dengan, atau hasil dari, dunia nyata seorang anak atau ketika
anak-anak “belajar dengan melakukan”. Jadi, daripada memberitahu siswa apa
mereka harus tahu, memberi mereka tugas yang mengharuskan mereka untuk
belajar langsung dari lingkungan mereka. Misalnya, ketika siswa belajar tentang
cuaca, mereka mempelajari dan menggunakan alat-alat meteorologi miliki. Bila
diperlukan untuk menggunakan perpustakaan, siswa belajar keterampilan
perpustakaan. Ketika anak-anak untuk belajar angka mereka melihat bagaimana
nomor adalah bagian dari mereka lingkungan yang ada banyak alasan yang perlu
mereka ketahui aritmatika, dan sebagainya. ences pengalaman-tersebut juga
memberikan rasa prestasi pribadi dan penemuan diri.
b) Perancah
Syarat perancah menempatkan kita dalam pikiran pelukis dan pencuci jendela
yang menggunakan perancah untuk dukungan. Menyediakan pelajar dengan
dukungan juga masuk akal. Ketika peserta didik membutuhkan bantuan atau
bimbingan, guru yang bijaksana memberikan arah yang lebih baik dan penjelasan
yang lebih baik atau memberikan sumber belajar. Beberapa guru lebih mampu
memberikan bantuan karena mereka sensitif terhadap ketika anak-anak mengalami
kesulitan dan memiliki ide-ide tentang apa yang harus dilakukan tentang hal itu.
c) Retrieval Practice (RP)
Jika tujuan Anda adalah untuk membantu siswa meningkatkan retensi apa
yang telah Anda ajarkan, mempekerjakan RP. Advokat dicatat bahwa ini bisa
dilakukan dengan memiliki anak-anak sering dan secara aktif memikirkan dan
mengingat informasi penting menggunakan salah satu dari kegiatan ini: self-testing
(misalnya menggunakan kartu flash, pertanyaan bab berakhir) dan berpikir tentang,
menulis tentang, atau menerapkan apa yang telah dipelajari. Perlu diingat bahwa RP
sangat berpengaruh ketika membutuhkan peserta didik untuk berpikir tentang dan
menggunakan apa yang telah dipelajari (Karpicke & Blunt, 2011; Roediger & Butler,
artikel di media; Science Daily, 2010).
d) Reciprocal Teaching (RET)
Mengajar resiprokal adalah kegiatan instruksional di mana dialog atau
pertukaran terjadi antara guru dan siswa mengenai apa yang harus dipelajari
(Palincsar, 1986). Dialog ini ditandai dengan pemikiran tingkat tinggi, karena Anda
akan lihat di bawah. Biasanya RET adalah berpikir tentang sebagai cara untuk
membantu anak-anak memahami atau mengerti apa yang mereka baca. Sebelum,
selama, dan setelah membaca, mereka diarahkan untuk mempekerjakan setidaknya
empat strategi belajar:
Memprediksi: Pembaca memprediksi terlebih dahulu apa “cerita” akan tentang
berdasarkan judul, ilustrasi, atau grafis ( Apa yang Anda pikirkan RET adalah?).
Tanya Jawab: Pembaca membuat pertanyaan mereka ingin dijawab ketika
mereka membaca (Bagaimana cara kerja RET?).
Klarifikasi: Pembaca memperjelas apa yang mereka tidak mengerti,
mendapatkan bantuan dari membaca lebih lanjut atau siswa lain (Apa timbal-
balik artinya?).
Meringkas: Dalam kata-kata mereka sendiri, peserta didik mengidentifikasi ide-
ide kunci dan membawa mereka bersama-sama untuk membuat ringkasan
(Berikut adalah ide-ide kunci tentang ret dan bagaimana mereka berhubungan
sehingga saya dapat menggunakannya saat mengajar). Semua orang berpikir
keras tentang apa yang akan mereka baca atau telah membaca menggunakan
keempat strategi dan lain-lain
e) Penyelesaian Masalah
Pendekatan lain untuk belajar bahwa para ilmuwan kognitif suka adalah
pemecahan masalah. Penyelesaian masalah mensyaratkan bahwa situasi ada di
mana tujuan yang harus dicapai dan peserta didik diminta untuk mempertimbangkan
bagaimana mereka akan mencapai tujuan. Ada berbagai jenis masalah. Pria salju,
McCown, dan Biehler (2011) menjelaskan dua. Salah satu jenis, sering berfluktuasi
terusmenerus ketika mempelajari sesuatu menuntut seperti matematika atau sains,
adalah masalah terstruktur dengan baik yang dapat diselesaikan dengan
menerapkan spesifik mathe- matical atau ilmiah prosedur.
b. Teori Belajar Humanistic
Sebuah pemikiran kedua yang ditawarkan untuk menjelaskan bagaimana kita
belajar dan, disana kedepan, bagaimana kita harus mengajarkan berasal dari
pendidikan humanistik dan psikologi sosial. Humanis mempertahankan pendidikan
harus didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan peserta didik. Setelah semua,
kebutuhan dan kepentingan adalah apa yang mendorong atau memotivasi kita.
Selain itu, mereka ingin pendidikan harus didasarkan pada kebutuhan dan
kepentingan individu peserta didik. Dengan demikian, pendidikan harus sebagai
pribadi mungkin psikolog sosial ingin kita mengakui pentingnya interaksi sosial dan
sosial pengaruh-pengaruh pada perilaku termasuk belajar.
1. Keyakinan dari Sekolah Kemanusiaan
Pandangan tentang bagaimana kita belajar memegang keyakinan berikut:
Kurikulum sekolah harus menyediakan untuk kedua kebutuhan dan kepentingan
anak-anak. Kebutuhan termasuk keselamatan pribadi dan keamanan, cinta, milik,
prestasi (Maslow, 1998) dan otonomi, kompetensi, dan hubungan sosial yang
sehat (Deci Ryan & 1990).
Belajar harus individual dan personal. Ini harus menjadi diri, daripada guru-
diarahkan. Anak harus diberikan kebebasan untuk belajar apa pribadi mereka
memiliki minat dan bagaimana mereka ingin belajar. Sekolah harus paham
bagaimana kondisi anak (Neill, 1969).
Peserta didik seharusnya tidak hanya mengatur apa dan bagaimana mereka
belajar, tetapi juga bertanggung jawab untuk mengevaluasi diri mereka sendiri
dan kemajuan mereka (Schunk, 2008).
Penuh arti bagaimana untuk belajar lebih penting daripada akuisisi spesifik
pengetahuan (Gage & Berliner, 1998).
Mengembangkan sikap dan nilai-nilai yang sama pentingnya dengan
mengakuisisi. Oleh karena itu guru harus memastikan tujuan pembelajaran
afektif atau sikap dikejar.
Peserta didik belajar terbaik dalam lingkungan yang aman secara psikologis di
mana mereka diterima dan dihargai. Setiap anak harus diterima sebagai dia,
tidak dihakimi dengan apa yang harus atau bisa (Rogers & Russell, 2002).
Peserta didik belajar terbaik ketika mereka memiliki perasaan yang baik tentang
diri mereka sendiri dan orang lain. Mereka makmur ketika mereka memiliki harga
diri dan perasaan kemanjuran atau kontrol atas apa yang terjadi pada mereka.
Kami akan melakukannya dengan baik untuk mencoba untuk menempatkan diri
dalam sepatu peserta didik untuk melihat belajar dari perspektif mereka.
Referensi:
Bell, D.M. 2003. Method and Postmethod: Are they Really so Incompatible? TESOL
QUARTERLY Vol. 37, No. 2, Summer 2003
Bell, D.M. 2007. Do Teachers Think that Methods are Dead?. ELT Journal Volume
61/2 April 2007
Kumaravadivelu. B. 2006. Understanding Language Teaching. New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Stephen D Krashen. (2009). Principles and Practice in Second Language
Acquisition. California: Pergamon Press Inc.
Suwarsih Madya, (2013), Metodologi pengajaran bahasa; dari era prametode
sampai era pascametode. Yogyakarta: UNY Press.
Blum, R. E. 1984. Effective schooling practices: A research synthesis. Portland,
OR:Northwest Regional Educational Laboratory.
Gattegno, C. 1982. Teaching foreign languages in schools. New York: Educational
Solutions.
Long, M. H. 1984. The effect of teache rs’ questioning patterns and wait-times.
Departmentof ESL, University of Hawaii.
Prahbu, N. S. 1983. “Procedural syllabuses”. Paper presented at the RELC Seminar,
Singapore.
Tikunoff, W. S. 1985. Developing student functional proficiency for LEP students.
Portland, OR: Northwest Regional Educational Laboratory.
Zahorik, J. A. 1986. “Acquiring teaching skills”. Journal of Teacher Education
(March-April), 21-25.