Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS MANDIRI

KOASITENSI PATOLOGI KLINIK


HEMATOLOGI dan URINALISIS
"Infeksi Saluran Pernapasan"

DISUSUN OLEH

LIDYA AAPRILIA TJANDRING


NIM.1409010046

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2019
1. Gambaran Umum Pasien

a. Data Pasien
Tanggal Pemeriksaan : 25 Maret 2019
Pemilik : Lei anin
Alamat Pemilik : Oesapa
Nama Pasien : Snowy
Signalemen : Anjing Lokal/ betina/ 1 tahun 4 bulan/Putih
b. Anamnesa
Keterangan dari pemilik bahwa anjing sudah menunjukkan gejala sakit
selama 3 hari. Terdapat eksudat cataral pada mata, batuk, leleran dari hidung,
anjing tampak kurus, tidak nafsu makan serta terdapat lesi pada beberapa
bagian tubuh. Anjing lebih sering menyendiri dan banyak tidur/tidak aktif.
Anjing biasanya diberi makan nasi yang dicampur dengan ikan atau gule.
Anjing sudah diberi obat oleh pemilik yaitu antibiotik dan vitamin, diketahui
bahwa anjing tidak divaksin namun diberikan obat cacing.

c. Status Preasen

1. Keadaan Umum : Lemas, menyendiri, nafsu makan menurun, sulit


bernafas, eksudat cataral pada mata
2. Frekuensi Nafas :100 x/menit. (24-42 x/ Menit (Widodo dan setyo,
2011))
3. Frekuensi Pulsus : 92 x/menit (70-140 x/menit (Cornick dan Janyce,
2001))
4. Suhu Tubuh : 38,30C (37,6-39,4 °C (Widodo dan setyo, 2011))
5. Kulit dan Rambut : Rambut sedikit rontok, tidak mengkilat, turgor kulit
< 2 detik, adanya lesi pada kaki kiri depan.
6. Selaput lendir : Ginggativa merah muda dan konjungtiva pucat,
cermin hidung kering dan CRT < 2 detik.
7. Kelenjar limfe : Tidak adanya pembengkakan
8. Pernafasan : Tipe thoracoabdominal, cepat dan batuk.
9. Pencernaan : Daerah mulut bersih dan tidak ada lesi, tidak ada
hipersalivasi, ada karang gigi dan daerah sekitar anus bersih.
Inspeksi dan palpasi tidak menunjukkan adanya pembesaran
organ dan hewan tidak merasa sakit saat ditekan.
10. Kelamin dan perkencingan : Tidak terdapat lesi, kencing normal dan bau khas.
11. Anggota gerak : Dapat berdiri dengkan keempat kaki dan berjalan dengan
normal.

Gambar 1. Eksudat pada mata Gambar 2. Hewan tidak aktif/lemas

2. Hasil Pemeriksaan

a. Pemeriksaan fisik
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di atas diketahui bahwa terjadi
peningkatan pada respirasi, sedangkan suhu tubuh dan pulsus masih dalam
rentangan normal. Kondisi peningkatan frekuensi respirasi disebabkan oleh
kondisi stress dan gelisah pada hewan selama proses penanganan. Peningkatan
frekuensi respirasi juga dapat dipengaruhi oleh ukuran tubuh, umur hewan,
aktivitas fisik, suhu lingkungan, kondisi kesehatan dan posisi hewan (Widodo
dkk.,2011).
b. Pemeriksaan darah

Tabel 1. Hasil pemeriksaan total eritrosit, total leukosit dan indeks eritrosit
Parameter Hasil Pemeriksaan Interval Normal* Keterangan
6 6
RBC 9.850.000 (9,85 x 10 µl) 5,5-8,5 x 10 /µl Meningkat
3
WBC 29.200 (29,2 x 10 µl) 6,0-17,0 x 103 µl Meningkat
PCV 35% 40-55% Menurun
Hb 7g/dL 15-19g/dL Menurun
MCV 35 fl (60-70 fl) Menurun
MCH 7 pg (19,0-23,0 pg) Menurun
MCHC 20 % (31-34 g%) Menurun
*(Strasinger dan Schaub, 2001)
Interpretasi Hasil

Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat diketahui adanya peningkatan jumlah


eritrosit (eritrositosis) dan leukosit (leukositosis), dan penurunan pada nilai PCV, Hb,
MCV, MCH, dan MCHC.
1) Eritrosit
Hasil pemeriksaan menunjukan terjadi peningkat pada total eritrosit
(eritrositosis). Kondisi eritrositosis dapat disebabkan oleh beberapa faktor Seperti
adanya gangguan genetik dimana tubuh akan menghasilkan lebih banyak eritrosit
bahkan saat tidak dibutuhkan. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan
peningkatan jumlah eritrosit adalah kondisi kurangnya kadar oksigen dalam tubuh
(hipoksia). Eritropoetin, suatu hormon glikoportein yang merupakan faktor utama
yang merangsang produksi eritrosit (Guyton dan hall, 1997). Hormon ini akan
dilepaskan ketika sel ginjal mendeteksi adanya hipoksia pada jaringan dan
merangsang sumsung tulang untuk memproduksi lebih banyak eritrosit. Menurut
Ganong (2001), eritropoetin akan meningkatkan jumlah stem cell (sel bakal) di
sumsung tulang. Stem cell akan menjadi perkusor eritrosit dan akhirnya menjadi
eritrosit. Kondisi tersebut menyebabkan tubuh merespon dengan memproduksi
lebih banyak eritrosit sebagai kompensasi dalam menjaga keseimbangan tubuh
(McMullin, 2012). Kondisi ini berkaitan dengan gejala klinis yang ditunjukkan
oleh hewan, dimana hewan mengalami gangguan pada sistem respirasi. Kondisi
gangguan pada sistem respirasi dapat meneyebabkan kondisi hipoksia akibat dari
oksigen yang tidak dapat dihirup dan dialirkan dengan baik (Pittman, 2011).
2) Leukosit
Hasil pemeriksaan menunjukan terjadi peningkat pada total leukosit
(Leukositosis). Leukositosis dapat terjadi akibat adanya respon tubuh terhadap
infeksi, inflamasi dan juga ketika hewan berada dalam kondisi stress. Adanya
infeksi yang terjadi dalam tubuh akan menyebabkan tubuh merespon dengan
memproduksi lebih banyak leukosit sebagai sistem pertahanan tubuh dalam
melawan agen penyebab infeksi (Cotran et al., 1999). Kondisi ini berkaitan
dengan gejala klinis yang ditunjukkan oleh hewan, dimana terdapat eksudat pada
bagian mata, leleran pada hidung dan batuk yang menandakan terjadi infeksi pada
saluran respirasi.
3) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin diproduksi oleh eritrosit selama proses pematangan. Sintesis
heme berlangsung di mitokondria, sedangkan globin merupakan bagian protein
yang diproduksi di ribosom (Colville dan Bassert 2002). Setiap kelompok heme
mengandung atom besi (Fe++) yang akan mengikat, mengangkut, dan
memberikan oksigen ke jaringan (Weiss dan Wardrob 2010). Pemeriksaan yang
dilakukan menujukan kadar Hb anjing berada di bawah interval normal. Faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi Hb diantaranya beberapa keadaan
seperti gangguan sintesis Hb, defisiensi besi, dan infeksi kronis (Cunningham
1997). Penurunan Hb dalam kasus ini berkaitan dengan kondisi hewan yang tidak
nafsu makan sehingga asupan zat besinya berkurang.
4) Hematokrit (PCV)
Hematokrit merupakan persentase eritrosit dari total volume darah (Dorland
1998). Nilai ini didapatkan dengan melihat tiga bagian hasil dari sentrifugasi
eritrosit yang mengendap yaitu eritrosit di lapisan dasar, leukosit dan trombosit
pada lapisan tengah (buffy coat), dan plasma darah di lapisan atas. Nilai PCV
normal sebanding dengan kadar hemoglobin. Apabila kadar hemoglobin berubah,
maka persentase jumlah hematokrit juga ikut berubah. Presentase jumlah
hematokrit dalam pemeriksaan ini berada dibawan interval normal, ini saling
berkaitan dimana hewan memiliki kadar Hb yang juga rendah (Soeharsono dkk,
2010).
5) MCV, MCH dan MCHC
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat diketahui adanya penurunan pada nilai
MCV, MCH, dan MCHC. Penurunan nilai MCV mengakibatkan hewan
mengalami anemia mikrositik. Nilai MCV yang rendah berhubungan dengan
defisiensi Fe dan Cu (Harvey, 2012). MCH akan menurun dalam keadaan
mikrositosis. Mikrositosis adalah eritrosit yang berukuran lebih kecil dari normal
yang diproduksi dalam jumlah banyak. Kondisi ini dapat disebabkan oleh adanya
penyakit pada hepar dan juga oleh kekurangan besi dan vitamin B12. MCHC
menunjukkan perbandingan antara berat hemoglobin terhadap volume eritrosit.
Bila nilai MCHC berada dibawah kisaran normal disebut hipokromik, keadaan
hipokromik berhubungan dengan defisiensi Fe (Kendran, 2017).
Berdasarkan gambaran darah tersebut, hewan dapat didiagnosa mengalami
anemia mikrositik hipokromik. Kekurangan zat besi sebagai salah satu faktor
pembentuk darah merupakan faktor utama penyebab dari kondisi anemia.
Kekurangan zat besi dalam tubuh dapat disebabkan oleh penurunan daya serap
tubuh terhadap zat besi karena faktor genetik ataupun akibat dari kurangnya
asupan nutrisi, terrkhususnya pada pakan yang mengandung zat besi. Faktor
kurangnnya asupan nutrisi disini berkaitan dengan kondisi hewan yang tidak
nafsu makan. Kondisi tersebut menyebabkan eritrosit yang terbentuk ukurannya
akan lebih kecil dan tidak matang (imatur), sementara volume Hemoglobinnya
akan menjadi berkurang dari batas normal dan eritrosit akan tampak lebih
hipokromik.

c. Morfologi Abnormalitas Eritrosit


1
3

Gambar 3. Morfologi abnormalitas erotosit. 1. Mikrosit; 2. Hipokromia; 3. Target cell

Interpretasi Hasil
Salah satu poin yang perlu diamati dalam pemeriksaan darah, adalah morfologi
eritrosit. Pada pengamatan morfologi eritrosit, terdapat empat poin utama yang harus
di evaluasi yaitu ukuran, warna, bentuk dan keberadaan benda inklusi (Dharmawan,
2002). Berdasarkan hasil pemeriksaan abnormalitas yang ditemukan pada
pemeriksaan morfologi eritrosit adalah Mikrosit, Hipokromia cell dan Target Cell.

1) Microcyte
Microcyte merupakan abnormalitas ukuran eritrosit yang lebih kecil dari
normalnya. Microcyte dapat terbentuk akibat dari kurangnya faktor pembentukan
darah seperti zat besi. Selain itu, microcyte juga dapat terbentuk akibat dari
sistem keseimbangan dari tubuh ketika tubuh berusaha untuk memenuhi suplai
darah dalam tubuh, contohnya pada kondisi anemia. Microcyte mengindikasikan
terjadinya anemia yang disertai dengan penurunan nilai MCV (Bessman, 1977).
2) Hipokromik
Hipokromia merupakan sel darah merah dengan bagian sentral yang lebih
pucat, dikarenakan penurunan kadar Hb akibat defisiensi zat besi (Hebert, 2018).
Hasil ini sejalan dengan rendahnya kadar Hb anjing pada pemeriksaan yang
dilakukan dan hewan tersebut mengalami defisiensi nutrisi akibat nafsu makan
menurun yang menyebabkan terjadinya defisiensi zat besi.
3) Target Cell
Sel target merupakan eritrosit dengan daerah sentral hemoglobin membentuk
target. Sel target biasanya adalah artefak pengeringan. Sel target dapat dilihat
dalam kondisi anemia regeneratif, penyakit hati, hipotiroidisme dan defisiensi zat
besi (Hebert, 2018). Terbentuknya Target cell berkaitan dengan kondisi hewan
yang kehilangan nafsu makan sehingga asupan nutrisi terutama zat besi menjadi
kurang.

d. Diferensial Leukosit

Tabel 2. Hasil pemeriksaan diferensial leukosit


Parameter Hasil Pemeriksaan Interval Normal Keterangan

Neutrofil 70 % (16.030) 60-70% (3.000-11.500) Neutrofilia


Eusinofil 1 % (292) 2-10% (1.000-1.250) Eusinopenia
Monosit 15 % (4.380) 3-10 % (180-1.350) Monositosis
Limfosit 13% % (2.748) 12-30 % (1.000-4.800) Normal
Basofil 1 % (292) 0-1% (0-100) Normal

Interpretasi Hasil

Sel darah putih atau leukosit merupakan komponen darah dengan jumlah relatif
lebih sedikit dibanding eritrosit. mengemukakan leukosit mempunyai inti sel dan
sitoplasma serta mampu bergerak bebas (Parrah,2013).Berdasarkan hasil perhitungan
total leukosit terjadi penigkatan jumlah total leukosit yang signifikan (29,2 x 103 µl)
dimana jumlah total leukosit berada jauh dari kisaran normal (6,0-17,0 x 103 µl)
(Strasinger dan Schaub, 2001). Kondisi ini berkaitan dengan gejala infeksi yang
tampak pada saluran pernafasan anjing, sehingga leukosit dihasilkan lebih banyak
untuk melawan patogen yang menginfeksi (Cotran et al., 1999). Pada pemeriksaan
ulas darah ditemukan neutrofil, eosinofil dan limfosit, basofil, monosit. Keberadaan
neutrofil berhubungan dengan infeksi akut bakteri, peradangan, nekrosis dan stress.
Eosinofil berperan dalam melawan infeksi parasit. Limfosit berhubungan dengan
infeksi virus dan infeksi beberapa bakteri serta Basofil berperan dalam fagositosis
patogen. Basofil memiliki kadar yang sangat rendah dalam darah. Selain itu ada pula
Monosit yang bertindak sebagai magrofag dengan kemampuan fogositosis. Sel
Leukosit umunya dijumpai dalam pemeriksaan ulas darah namun tiap leukosit
memiliki jumlah normal. Ketika sel-sel leukosit tersebut tidak dalam kisaran normal
maka mengindikasikan terjadinya gangguan maupun infeksi dalam tubuh hewan
(Strasinger dan Schaub,2001). Berdasarkan hasil pemeriksaan diferensial leukosit
didapatkan hasil Jumlah limfosit dan basofil dalam interval normal, adanya
penigkatan jumlah Neutrofil dan Monosit serta penurunan jumlah Eusinofil.

1) Neutrofil dan Monosit


Berdasarkan hasil pemeriksaan diferensial leukosit diketahui terjadi
penigkatan jumlah Neutrofil dan Monosit yang sangat signifikan. Peningkatan
jumlah Neutrofil (neutrofilia) dan Monosit (monositosis) mengindikasikan
terjadinnya infeksi serta peradangan pada tubuh (Randhawa et al., 2002). Kondisi
neutrofilia dan monositosis yang terjadi diduga disebabkan oleh bakteri, dimana
Neutrofil umumnya berperan dalam melawan infeksi akut akibat bakteri. Kondisi
ini juga didukung dari gejala yang muncul dimana hewan menunjukkan gejala
gangguan pada sistem respirasi. Neutrofil umumnya banyak dijumpai pada saat
terjadi infeksi bakteri khususnya pada bakteri yang menyerang sistem respirasi.
Neutrofil berfungsi sebagai penghancur berbagai bahan produk bakteri (Day dan
Schultz, 2010).
2) Eusinofil
Berdasarkan hasil pemeriksaan juga didapati bahwa terjadi penurnan pada
jumlah eosinofil dalam darah (Eusinopenia). Eosinopenia dapat disebabkan
karena respon stres pada hewan, dimana dalam kondisi stress hewan akan
melepaskan lebih banyak hormon kortisol yang akan berpengaruh pada penurunan
jumlah eosinofil (Weiss dan Wardrop, 2010). Penurunan jumlah eosinofil ini
diduga akibat anjing mengalami stress karena sakit serta stress akibat proses
penaganan.
e. Makroskopis Urin

Tabel 3. Hasil pemeriksaan makroskopis urin


Pemeriksaan Hasil Normal* Keterangan
Warna Kuning terang Kuning terang Normal
Konsistensi Encer Encer Normal
Kejernihan Jernih Jernih Normal
Aroma Khas urin Khas urin Normal
*(Strasinger dan Schaub, 2001)

Gambar 4. Warna urin

f. Mikroskopis Urin

Gambar 5. Uric Acid dalam urin Gambar 6. Leukosit dalam urin


g. Kimia Urin

Tabel 4. Hasil pemeriksaan kimia urin


Pemeriksaan Hasil Normal* Keterangan
Glukosa Negatif Negative Normal
Bilirubin Negatif Negative Normal
Keton Negatif Negative Normal
Spesifik gravity 1005 1.001-1.065 Normal
Darah Negatif Negative Normal
pH 6,5 5.5-7.0 Normal
Protein Negatif Negative Normal
Urobilinogen Negatif Negative Normal
Nitrit Negatif Negative Normal
Leukosit Trace Negative Ada (sedikit)
*(Strasinger dan Schaub, 2001)
Interpretasi Hasil

Berdasarkan hasil pemeriksaan diatas menunjukkan dalam pemeriksaan


combur test tidak ditemukan terdapat perubahan yang nyata teramati pada urin.
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa tidak terjadi perubahan maupun kerusakan
pada sistem urinari, serta pada pemeriksaan makroskopis warna, kosistensi,
kejernihan dan aromanya dalam taraf normal, warna urin yang normal (Kuning
terang) menunjukan bahwa hewan terhidrasi dengan baik. Pada pemeriksaan
mikroskopis urin ditemukan adanya sedimen berupa partikel Uric acid (Asam urat)
dan Leukosit.

1) Asam Urat dalam urin


Keberadaan asam urat dalam urin adalah normal. Asam urat terbentuk dari
proses penguraian zat purin yang terdapat dalam makanan dan minuman.
Misalnya seafood, daging merah dan hati. Kemudian darah membawa purin ke
ginjal untuk di difiltrasi dan sisanya dibuang melalui urin. Ketika tubuh
memperoduksi banyak asam urat dan ginjal gagal membuang asam urat maka
akan terdeposisi pada beberapa jaringan tubuh seperti sendi dan mengakibatkan
peradangan sendi (artritis). Sehingga tidak dijumpainya asam urat pada urin juga
dapat menjadi indikasi terjadinya gangguan filtrasi pada ginjal. Keberadaan asam
urat dalam urin juga sesuai dengan kebiasaan anjing dimana anjing umumnya
diberi makan nasi yang dicampur dengan gule atau ikan (Parrah et al., 2013).
2) Leukosit dalam Urin
Leukosit yang terkandung dalam urine dapat dikaitkan dengan kondisi stress
pada anjing, dimana stress yang terjadi merupakan akibat sakit dan akibat
penanganan pada anjing (Harjono et al., 2011). Tingkat stres serta rangsangan
yang tinggi dapat memengaruhi pengeluaran epinefrin dan kortikosteroid
sehingga akan meningkatkan jumlah leukosit. Epinefrin dan kortikosteroid
meningkatkan jumlah leukosit dengan cara meningkatkan sirkulasi darah dan
limfa serta leukosit dari pembuluh darah. Berdasarkan berbagai faktor tersebut,
kondisi utama yang memungkinkan dijumpainya leukosit pada urin adalah kondis
stress dari anjing akibat sakit dan penaganan.

3. Diagnosa Tentatif
Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi dan urinalisis, dapat disimpulkan
bahwa hewan yang diperiksa mengalami gangguan infeksi pada sistem respirasi
yang diakibatkan oleh bakteri. Kondisi ini dilihat dari adanya peningkatan pada
jumlah Neutrofil dan Monosit dalam darah. Selain itu kandungan leukosit yang
teramati pada pemeriksaan urinalisis diduga dikarenakan kondisi stress yang
terjadi pada hewan akibat dari sakit yang diderita serta stress selama proses
penaganan hewan.
DAFTAR PUSTAKA

Bessman, J.D. 1977. Microcytic Polycythemia: Frequency of Nonthalassemic Causes.


JAMA. 282(22)
Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary
Technicians. Philadelphia : Mosby.
Cotran, R.S., Kumar, V., Collins, T. 1999. Robbins Pathologic Basic of Disease. 6th
ed. Philadelphia, PA: WB Saunders
Cornick, S and Janyce, L. 2001. Veterinary Anesthesia. Butterworth Heinemann
Press : USA.
Cunningham JG. 1997. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-2. Philadephia: WB
Saunders Company.
Day, M.J. dan R.D. Schultz. 2010. Veterinary Immunology. Principles and. Practice.
Manson Publishing. London
Dharmawan Sadra. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner Hematologi Klinik.
Universitas Udayana.
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Ed ke-25. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Ganong, W. F. 2001. Fisiologi Kedokteran edisi ke-20. Terjemahan: H. M. D
Widjajakusumah. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
Guyton, A. C. & J. E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9.
Terjemahan:Irawati Setiawan. EGC. Jakarta.

Harjono, I.U., Evi, M.H., Ari, L.I.W., Krisna, E.I.G., Widyastuti, S.K., Setiasih, L.E.
dan Berata,K. 2011. Urinalisis Menggunakan Dua Jenis Dipstick (Batang
Celup) Pada Sapi Bali. J. Vet.12(2):107-112.

Hebert, P. 2018. Red Blood Cell Pathologies.


http://www.scilver.ca/company/articles/red-blood- cell-pathologies/ Diakses
Kamis, 8 Desember 2018

McMullin, M.F. 2012. Diagnosis and Management of Congenital and Idiopatic


erythrocytosis. Therapeutic Advances in Hematology.3(6). 391-398
Parrah, J.D., Moulvi, B.A., Gazi, M.A., Makhdoomi, D.M., Athar, H., Din, M.U.,
Dar, S., Mir, A.Q. 2013. Importance of urinalysis in veterinary practice. Vet
World. 6(9): 640-646
Pittman, R.N. 2011. Oxygen Transport in Normal and Pathological Situations:
Defects and Compesations. Regulation of Tissue Oxygenation. San Rafael:
Morgan annd Claypool Life Sciences
Randhawa, C.S., Randhawa, S.S., Sood, N.K. 2002. Effect Of Molybdenum Induced
Copper Deficiency On Peripheral Blood Cells And Bone Marrow In Buffalo
Calves. Asian-Aust. J. Anim Sci, 15(4): 509-515
Strasinger, S.K. and M.D.L. Schaub. 2001. Urinalysis and Body Fluids. 4th ed. F.A.
Davis Co., Philadelphia
Weiss, D.J. dan Wardrop K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Singapore.
Blackwell Publishing Ltd. Ed. 6
Widodo dan Setyo. 2011, Diagnostik Klinik Hewan Kecil. IPB Press. Bogor

Anda mungkin juga menyukai