Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATA KULIAH PERTANIAN BERKELANJUTAN

“AGROFORESTRI BERBASIS KOPI”

OLEH :

SAHNEL GOVINDO PAPAHAN


1606123550
AGROTEKNOLOGI-C

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bisnis di Indonesia akhir-akhir ini tidak hanya berorientasi pada nilai

ekonomi saja tetapi juga lebih berorientasi kepada kelestarian lingkungan

melalui Mekanisma Pembangunan Bersih, (MPB) atau Clean Development

Mecanism (CDM). Suatu program yang disepakati bersama untuk mengurangi

emisi gas rumah kaca (GRK) yang disertifikasi. Negara- negara maju/industri

bersedia untuk membayar insentif kepada negara-negara berkembang yang

mempertahankan fungsi hutan sebagai penyerap CO2 di atmosfer . Mekanisme

ini memberikan peluang kepada Indonesia untuk meningkatkan devisa negara

melalui peningkatan penanaman pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan lahan-

lahan terdegradasi yang telah diterlantarkan.

Adanya alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dengan

biodiversitas tanaman yang lebih rendah, menyebabkan berkurangnya tingkat

layanan lingkungan baik pada skala plot (lahan) maupun pada skala lansekap

(Daerah Aliran Sungai, DAS) dan global. Layanan lingkungan tersebut antara

lain mempertahankan kesuburan tanah yaitu menjaga kandungan bahan

organik tanah dan hara (di tingkat lahan).

Laju konversi lahan pertanian mencapai 100.000 ha/tahun, sedangkan

kemampuan pemerintah untuk mencetak lahan pertanian baru hanya 40.000

ha/tahun, akibatnya lahan pertanian semakin sempit. Seiring dengan

pertambahan penduduk, maka luas penguasaan lahan oleh petani sekamin

berkurang pula. Data menunjukan bahwa pada tahun 2012 penguasaan lahan

per petani hanya 0.22 ha, dan diperkirakan akan menurun pada 2050 menjadi

2
0.18 ha. Hal ini tentu akan menurunkan kesejahteraan petani karena

menyempitnya areal lahan yang di miliki maka kegiatan usaha tani menjadi

tidak efisien (Kementan, 2015).

Alih fungsi lahan dari hutan menjadi lahan perkebunan atau pertanian

mengakibatkan terjadinya penurunan kandungan bahan organik, nitrogen,

magnesium, natrium, dan porositas tanah. Selain itu, cadangan karbon pada

lahan menurun dari raa-rata 278.29 C/ha (hutan alam) menjadi 148.76 ton

C/ha (kebun kakao monokultur) (Muhardi et al, 2012).

Lahan kritis akibat alih guna lahan hutan di Indonesia pada tahun 2011

seluas 27.294.842 ha, yang terdiri dari lahan kritis 22.025.581 ha dan sangat

kritis 5. 269.260 ha (Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai dan Perhutanan Sosial, 2014).

Salah satu upaya untuk mengatasi kebutuhan lahan pertanian dengan

tetap mempertahankan fungsi hutan dan lingkungan adalah dengan

menerapkan sistem agroforestri. Dengan diterapkannya sistem agroforestri

diharapkan mampu menjadi sebuah solusi untuk meningkatkan kesejahteraan

petani sekaligus mampu mengatasi permasalahan global, seperti penurunan

kualitas lingkungan, kemiskinan, dan pemanasan global (Firdaus et al, 2013).

Salah satu model agroforestri yang dapat dikembangkan di Indonesia

adalah agroforestri berbasis kopi. Model agroforestri ini diharapkan mampu

menyediakan layanan ekosistem yang hampir sama dengan hutan dan pada

saat yang sama dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan sosial,

ekonomi, dan ekologi.

3
1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah utnutk mengetahui segala aspek

kegiatan dan manfaat agroforestri yang berbasis kopi di Indonesia.

4
II. ISI

2.1. Pengertian Agroforestri

Berdasarkan definisi World Agroforestry Centre (ICRAF), pengertian

agroforestri adalah suatu nama kolektif untuk sistem penggunaan lahan, yang

dalam prakteknya tanaman keras berkayu ditanam bersamaan dengan tanaman

pertanian, dan/atau hewan, dalam suatu unit pengelolaan lahan yang sama.

Terintegrasi dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal.

Didalamnya terdapat interaksi faktor ekologi dengan ekonomi anatara tanaman

berkayu dan non kayu (Lundgren, 1982 dalam Firdaus et al, 2013).

Menurut Nair (1993) dalam firdaus et al (2013), definisi tersebut

mengandung pengertian :

a. Agroforestri setidaknya melibatkan dua atau lebih spesies tanaman yang salah

satu diantaranya adalah tanaman berkayu.

b. Output yang diperoleh dari sistem agrofrestri lebih dari satu.

c. Siklus yang terjadi dari agroforestri selalu lebih dar satu tahun.

d. Proses ekologi dan ekonomi dalam sistem agroforestri lebih kompleks

dibanding dengan monokultur.

Secara umum terdapat tiga tipe utama dalam sistem agroforestri yaitu :

agrisilvikultur; yakni mengkombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman

pertanian dalam satu hamparan lahan, silvopastura; yakni mencakup

pengembangan ternak pada areal padang rumput bersama-sama dengan tanaman

berkayu, agrosilvopastura; yakni mencakup tiga kategori campuran yaitu tanaman

berkayu, tanaman pertanian dan ternak (Sardjono, 2003).

5
Salah satu bentuk dari agrisilvikultur adalah agroforestri berbasis kopi

yang dikelompokan kedalam dua sistem, yaitu sistem agroforestri multistrata

(kompleks) dan agroforestri sederhana. Agroforestri kompleks kopi yaitu tanaman

kopi yang ditanam dengan menggunakan lebih dari lima penaung, sedangkan

agroforestri sederhana menggunakan kurang dari lima penaung. Basal area (luas

lahan yang ditutupi tanaman) pada kedua sistem agroforestri tersebut kurang dari

80% (Hairiah, 2010).

2.2. Model Agroforestri Berbasis Kopi

Tanaman kopi membutuhkan tanaman penaung karena akan menunjang

keberlanjutan usaha tani kopi, yaitu mempertahankan produksi dalam jangka

panjang (di atas 20 tahun) dan mengurangi kelebihan produksi (over bearing) dan

mati cabang (Supriadi dan Pranowo, 2015). Pada tanaman kopi tanpa penaung,

selama periode pembungaan terjadi peningkatan penyerapan karbohidrat oleh

daun dan cabang untuk menunjang proses pembentukan pembuahan. Akibatnya

akar, cabang dan daun mengalami kerusakan. Dengan adanya tanaman penaung

proses pematangan buah diperlambat sehingga dapat mengurangi kelebihan

produksi dan kerusakan pada akar, daun dan cabang (Supriadi dan Pranowo,

2015).

Bahan tanaaman kopi yang dianjurkan adalah varietas/klon unggul yang

penanamannya disesuaikan dengan kondisi linglungan tumbuh (tinggi tempat dan

tipe iklim). Klon kopi Robusta dan varietas Arabika anjuran terdapat pada Tabel 1

dan 2. Untuk kopi Liberika, klon yang dianjurkan untuk dikembangkan adalah

klon Liberika Tungkal Komposit (Libtukom) (Ditjenbun, 2014).

Hasil penelitian Hulupi (2014) menunjukan bahwa varietas kopi Arabika

6
yang sesuai ditanam dibawah tegakan tanaman hutan (leda (Eucalyptus degluptai

B1.) dan suren (Toona sureni Merr.)) adalah varietas Sigarar Utang dan S 795. Di

daerah Pangalengan, Jawa Barat (ketinggian 1.300 m dpl), kopi Sigarar Utang

yang ditanam dibawah tegakan tanaman hutan (leda dan suren) dengan

pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) mempunyai respon yang paling

baik dibandingkan kopi arabika Cantimor Jaluk, robusta Timtim dan Andugsari 1.

Tabel 1. Komposisi klon kopi Robusta anjuran sesuai dengan tipe iklim dan

ketinggian tempat di Indonesia

Komposisi Klon
Tipe Iklim* Tinggi Tempat di Atas Tinggi Tempat di Bawah
400 m dpl 400 m dpl
A atau B Klon BP42 : BP234 : Klon BP42 : BP234 : BP
BP358 : SA237 = 1 : 1 : 1 409 = 2 : 1 : 1
:1
C atau D Klon BP409 : BP42 : Klon BP42 : BP234 :
BP234 = 2 : 1 : 1 BP288 : BP409 = 1 : 1 : 1 :
1
Keterangan : * Menurut Schmidt dan Ferguson
Sumber : Ditjenbun (2014)

Tabel 2. Pemilihan varietas kopi Arabika anjuran sesuai ketinggian tempat di

Indonesia

Varietas Anjuran
Tinggi Tempat Tipe Iklim A atau B Tipe Iklim C atau D
Penanaman (m dpl)
700 – 1000 S795 S795
≥ 1000 AS 1, Gayo 1, Gayo 2, S795, USDA762, AS 1,
Sigarar Utang, AS 2K Gayo 1, AS 2K
≥ 1250 AB 3, AS 1, Gayo 1, AB 3, S 795, USDA762,
Gayo 2, Sigarar Utang, AS 1, AS 2K
AS 2K
Sumber : Ditjenbun (2014)

Agroforestri kopi dengan tanaman berkayu seperti jati, sengon, mindi, dan

tistuk (Hibiscus macrophyllus) berpengaruh terhadap karakter fisik biji kopi

7
robusta. Semakin tinggi tingkat naungan maka presentase biji kopi tunggal dan

biji kopi hampa meningkat. Presentase biji kopi tunggal dan hampa/kosong

tertinggi terdapat pada klon BP 939, sedangkan terendah pada klon BP 939

(Prawoto dan Yuliasmara, 2011).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan agroforestri

berbasi kopi adalah sebagai berikut :

a. Kebutuhan tingkat naungan tanaman kopi

Tanaman kopi muda memerlukan tingkat naungan berkisar 35–66% untuk

menunjang pertumbuhannya. Sedangkan pada tanaman kopi yang sudah

berproduksi (umur di atas 4 tahun) tingkat naungan yang diperlukan berkisar 30–

50%. Sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tanaman kopi, maka diperlukan

pengaturan jarak tanam/populasi tanaman penaung ( Supriadi dan Pranowo,

2015).

b. Interaksi antar tanaman dan tanah

Interaksi antar tanaman dapat bersifat langsung atau tidak langsung.

Interaksi langsung misalnya tanaman penaung yang bersifat menghambat

pertumbuhan tanaman kopi (efek allelophathy). Interaksi tidak langsung ada yang

bersifat negatif, misalnya menyebabkan adanya persaingan dalam penyerapan

unsur hara, air, atau pemanfaatan intensitas sinar matahari. Namun ada pula

interaksi tidak langsung yang bersifat positif, misalnya tanaman penaung

menghasilkan nitrogen sehingga menambah unsur hara tanah dan menguntungkan

tanaman kopi. Interaksi tidak langsung juga ada yang berperan sebagai “pihak

ketiga”, misalnya tanaman penaung menjadi inang bagi hama atau penyakit bagi

tanaman kopi (Suprayoga et al, 2003). Untuk itu perlu dilakukan pemilihan jenis

8
tanaman.

c. Kondisi lahan

Kondisi lahan kebun terutama di lokasi kritis, seperti rawan erosi dan

longsor perlu diperhatikan dalam menerapkan model agroforestri berbasis kopi.

Tanaman penaung atau tanaman penutup tanah yang menjadi penguat tanah

diperlukan untuk mengurangi tingkat erosi dan longsor dengan pola dan jarak

tanam yang tepat.

d. Potensi ekonomi produk yang dihasilkan

Tanaman penaung, tanaman penutup tanah, maupun ternak yang

diintegrasikan dalam model agroforestri berbasis kopi sebaiknya yang memiliki

potensi ekonomi cukup baik, misalnya ditunjukkan oleh adanya kebutuhan akan

produk yang dihasilkan, kemudahan pemasaran, dan lainnya. Hal yang termasuk

pertimbangan ekonomi adalah memaksimalkan pengaturan waktu panen dari

produk yang dipilih (misalnya bulanan, musiman, dan tahunan) sehingga dapat

dihasilkan produk sepanjang waktu dari agroforestri berbasis kopi. Dengan

demikian hasil dari agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan pendapatan

petani, selain hasil dari kopi sebagai tanaman utama.

2.3. Manfaat Agroforestri Berbasis Kopi

Secara umum, manfaat agroforestri berbasis kopi dapat dikelompokan

menjadi dua manfaat yaitu manfaat secara ekologis dan ekonomis. Berikut adalah

manfaat agroforestri berbasis kopi dalam segi ekologis :

a. Koservasi tanah

Agroforestri berbasis kopi dapat mengurangi laju aliran permukaan dan

9
erosi tanah. Hasil penelitian Dariah et al., (2004) menunjukkan bahwa tingkat

aliran permukaan (46,36 mm) dan erosi (1,29 ton/ha) pada agroforestri berbasis

kopi lebih rendah dibandingkan kopi monokultur yang mempunyai aliran

permukaan dan erosi masing-masing 53,25 mm dan 1,50 ton/ha. Bahkan Utami

(2011) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan aliran permukaan pada

sistem agroforestri berbasis kopi lebih rendah dari lahan terbuka dan hutan.

b. Konservasi air

Agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan ketersediaan air tanah

karena air hujan dapat diresapkan lebih banyak ke dalam permukaan tanah berkat

struktur tajuknya yang berlapis. Hasil penelitian Cannavo et al., (2011) dalam

Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan pada kedalaman tanah 100 – 200 cm,

ketersediaan air pada agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kebun

kopi monokultur. Guimaraes et al., ( 2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015)

melaporkan bahwa kadar air tanah pada sistem agroforestri berbasis kopi lebih

tinggi dibandingkan kopi monokultur (tanpa naungan) maupun hutan sekunder.

Sedangkan Maharahi, et al., (2013 )melaporkan bahwa kadar air pada sistem

agroforestri kopi multistrata dapat mencapai 49,10%.

c. Konservasi keanekaragaman hayati

Keanekaragaman hayati yang dapat didukung oleh sistem agroforestri

berbasis kopi cukup beragam, seperti satwa liar, serangga, jamur mikroskopis,

hingga bakteri tanah. Hasil penelitian Caudill et al,. (2014) dalam Supriadi dan

Pranowo (2015) menunjukkan keanekaragaman mamalia pada agroforestri

berbasis kopi 5% lebih besar dibandingkan kopi monokultur. Agroforestri

berbasis kopi dapat memberikan kelembaban udara yang sesuai untuk semut

10
terutama di musim kemarau. Sedangkan semut merupakan musuh alami/predator

penggerek buah kopi (PBKo) (Hypothenemus hampei), dalam 5 hari semut dapat

membunuh 74-99% dari populasi PBKo (Armbrecht dan Gallego, 2007 dalam

Supriadi dan Pranowo, 2015). Sedangkan menurut laporan Bonfim et al., (2010)

dalam Supriadi dan Pranowo (2015) pada agroforestri kopi dengan tanaman

penaung Salamandar (Grevillea robusta), jumlah spora jamur mikoriza arbuskular

(Arbuscular Mycorrhizal Fungi) dua kali lipat dibandingkan kopi monokultur.

Begitu juga dengan bakteri tanah yang berfungsi dalam siklus unsur hara dan

fiksasi N pada agroforestri berbasis kopi populasinya 22% lebih tinggi

dibandingkan kopi monokultur (Evizal et al., (2012) dalam Supriadi dan Pranowo,

(2015)).

d. Penambahan unsur hara

Keberadaan berbagai jenis tanaman selain kopi pada sistem agroforestri

berbasis kopi dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara. Berdasarkan hasil

penelitian Qifli et al., (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kandungan

unsur N pada agroforestri kopi multistrata dan sederhana lebih tinggi daripada

kebun kopi monokultur (berturut-turut 13,22%; 15,70%; dan 12,30%). Adapun

Ebisa (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan bahwa pada

agroforestri berbasis kopi terdapat unsur fosfor (P) sebesar 5,44 ppm sedangkan

pada kebun kopi monokultur tidak ada. Sedangkan untuk unsur kalium (K) pada

agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kebun kopi monokultur

(berturut- turut 3,15 dan 3,08 ppm.

e. Penambahan cadangan karbon

Besarnya cadangan karbon yang dapat disimpan oleh ekosistem pertanian

11
maupun hutan saat ini menjadi perhatian penting dunia karena berperan dalam

menurunkan jumlah karbon di atmosfer yang menjadi penyebab perubahan iklim.

Menurut hasil penelitian Hairiah dan Rahayu (2010), rata-rata cadangan karbon

pada agroforestri multistrata berbasis kopi paling tinggi dibandingkan agroforestri

sederhana (naungan tunggal) milik kebun percobaan dan milik petani, serta kebun

kopi monokultur (berturut-turut: 43; 38; 23; dan 13 ton C/ha). Adapun bila

dibandingkan dengan cadangan karbon hutan primer, cadangan karbon yang dapat

disimpan oleh agroforestri berbasis kopi multistrata dan sederhana masing-masing

adalah sebesar 47,19% dan 42,98%, sedangkan bila dibandingkan dengan hutan

sekunder nilainya masing-masing sebesar 87,66% dan 79,85% (Sari dan Hariah,

(2012) dalam Supriadi dan Pranowo, (2015)).

f. Menekan serangan hama dan penyakit

Agroforestri berbasis kopi dapat menekan serangan beberapa hama dan

penyakit. Menurut hasil penelitian Bedimo dkk (2008) dalam Supriadi dan

Pranowo (2015) penyakit buah hijau kopi, yang disebabkan oleh Colletotrichum

kahawae dapat ditekan pada kebun kopi yang menerapkan sistem agroforestri.

Penyakit ini sendiri merupakan kendala utama untuk budidaya kopi Arabika di

Afrika, yang dapat menyebabkan kerugian panen 60%. Adapun hasil penelitian

Sribawa dkk (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan bahwa

sistem agroforestri berbasis kopi dengan tingkat naungan di atas 40% dapat

menurunkan kelimpahan nematoda parasit.

Adapun secara ekonomis, manfaat dari penerapan agroforestri berbasis

kopi adalah:

a. Peningkatan produksi, mutu, dan cita rasa kopi

12
Sistem agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan mutu dan produksi

kopi dibandingkan kebun kopi monokultur. Berdasarkan hasil penelitian Bote dan

Struik (2011), tanaman kopi Arabika yang menggunakan naungan menghasilkan

berat biji lebih besar (148 g/1000 biji) dibanding tanpa naungan (134 g/1000 biji)

dan kualitas biji yang lebih baik dibandingkan tanpa naungan. Pada panen

pertama (umur tanaman 3 tahun) umumnya produksi biji kopi dengan naungan

lebih rendah dibandingkan kopi tanpa naungan. Namun pada panen berikutnya

(umur tanaman 4 hingga 15 tahun) produktivitas kopi yang ditanam dengan

naungan lebih tinggi dibandingkan kopi tanpa naungan (Ricci et al., 2011; dan

Evizal, 2010 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Meskipun produksi pada

agroforestri berbasis kopi lebih baik dibandingkan dengan kebun kopi

monokultur, namun demikian tingkat naungan dan kesuburan tanah perlu

diperhatikan dalam penerapannya. Penerapan agroforestri berbasis kopi juga dapat

meningkatkan cita rasa kopi. Berdasarkan hasil penelitian Erdiansyah dan

Yusianto (2012) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kadar kafein dalam biji kopi

berkorelasi positif dengan intensitas cahaya. Intensitas cahaya tinggi yang masuk

ke kebun.

b. Peningkatan pendapatan

Nilai ekonomi dari agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan

dengan kebun kopi monokultur (tanpa naungan). Berdasarkan hasil penelitian

Pramastiwi et al., (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kebun kopi

monokultur hanya memberikan nilai NPV (Net Present Value) Rp. 13.594.616/ha,

BCR (Benefit Cost Ratio) 1,31 dan IRR (Internal Rate Return) 22,08%.

Sedangkan jika diusahakan dalam sistem agroforestri sederhana berbasis kopi,

13
agroforestri multistrata kayu-kayuan berbasis kopi, dan agroforestri multistrata

multiguna berbasis kopi memberikan nilai NPV masing-masing sebesar Rp.

14.136.907, Rp. 14.894.276, dan Rp. 18.759.216/ha; BCR masing-masing sebesar

1,32; 1,34, dan 1,42; dan IRR masing-masing sebesar 22,55%; 22,79%; dan

25,07%.

14
III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Sistem agroforestri berbasis kopi merupakan salah satu upaya yang

memiliki prospek bagus dalam mengatasi masalah global seperti kualitas

lingkungan, ekonomi, dan pemanasan global. Secara umum, agroforestri kopi

memiliki dua manfaat penting baik dari segi ekologis maupun segi ekonomis.

Dalam penerapannya, agroforestri berbasis kopi terdapat dua model, yaitu

agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks. Penggunaan tanaman penanung

dalam agroforestri memiliki peraan yang sangat penting, diantaranya berperan

positif dalam hal pertumbuhan, produksi, mutu, dan cita rasa.

3.2. Saran

Upaya pengembangan agroforestri berbasis kopi perlu diterapkan lebih

optimal lagi. Dalam upaya pengembangan agroforestri berbasis kopi harus

didukung dengan kesiapan sarana teknologi, kemampuan petani, permodalan, dan

dukungan kebijakan untuk memberikan insentif.

15
DAFTAR PUSTAKA

Dariah, A., F. Agus, S. Arsyad, Sudarsoni, dan Maswar. 2004. Erosi dan aliran
permukaan pada lahan pertanian berbasis tanaman kopi di Sumberjaya,
Lampung Barat. Jurnal Agrivita. 26(1) : 52-60.

Direktorat Jendral Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial.
2014. Statistik Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Perhutanan Sosial Thun 2013. Kementrian Pertanian. Jakarta.

Ditjenbun. 2014. Pedoman Teknis Budidaya Kopi Yang Baik. Direktorat Jenderal
Perkebunan. Jakarta.

Firdaus, N., A. SUdomo, E. Suhaendah, T. S. Widyaningsih, Sanudin, dan D. P.


Kuswantoro. 2013. Status Riset Agroforestri di Indonesia. Balai Penelitian
Agroforestry. Ciamis.

Hairiah, K., dan A. Septian. 2011. Prospek ekspor kopi arabika organik
bersertifikat di Kabupaten Aceh Tengah. Jurnal Agrisep. 12(1) : 1-8.

Hairiah, K., dan S. Rahayu. 2010. Mitigasi perubahan iklim agroforestri kopi
untuk mempertahankan cadangan karbon lanskap. Dalam Prosiding
Seminar Kopi. Bali, 4-5 Oktober 2010.

Hulupi, R. 2014. Keragaan beberapa varietas kopi arabika pada areal pengelolaan
hutan bersama masyarakat. Warta Pusat Penelitian Kakao dan Kopi. 26(1)
: 9-13.

Kementrian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementrian Pertanian Tahun


2015-2019. Kementrian Pertanian. Jakarta.

Maharani, J. S, F. X. Susilo, I. G. Swibawa, dan J. Prasetyo. 2013. Keterjadian


penyakit penyebab jamur pada hama penggerek buah kopi (PBKo)
dipertanaman kopi agroforestri. Jurnal Agrotek Tropika. 4(1) : 86-91.

Muhardi, M. Sutisna, M. Basir, dan A. M. Lahjie. 2012. Perubahan Penyediaan


hara dan karbon akibat konversi hutan alam menjadi lahan perkebunan di
sekitar kawasan taman nasional lore lindu. Jurnal Agroland. 19(1) : 27-35.

Nair, P. K. R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic


Publishers. Dordrecht, The Netherlands.

16
Prawoto, A. A., dan F. Yuliasmara. 20122. Coffe agroforestry with some timber
shade trees: study on carbon stock, mineral cycle, and yield. Journal of
Agricultural Science and Technology. B (1) : 1232-1237.

Sardjono, M. A., T. Djogo, H. S. Arifin, dan N. Wijayanto. 2003. Klasifikasi dan


pola kombinasi komponen agroforestri. ICRAF. Bogor.

Suprayoga, D., Hairiah, K., Wijayanto, N., Sunaryo, dan van Noordwijk, M. 2003.
Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis komponen agroforestri
sebagai kunci keberhasilan atau kegagalan pemanfaatan lahan. Bahan
Ajaran Agroforestri 4. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast
Asia. Bogor.

Supriadi, H. dan Pranowo, B. 2015. Prospek pengembangan agroforestri berbasis


kopi di Indonesia. Perspektif. 14 (2): 135 -150.

17

Anda mungkin juga menyukai