OLEH :
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
I. PENDAHULUAN
emisi gas rumah kaca (GRK) yang disertifikasi. Negara- negara maju/industri
layanan lingkungan baik pada skala plot (lahan) maupun pada skala lansekap
(Daerah Aliran Sungai, DAS) dan global. Layanan lingkungan tersebut antara
berkurang pula. Data menunjukan bahwa pada tahun 2012 penguasaan lahan
per petani hanya 0.22 ha, dan diperkirakan akan menurun pada 2050 menjadi
2
0.18 ha. Hal ini tentu akan menurunkan kesejahteraan petani karena
menyempitnya areal lahan yang di miliki maka kegiatan usaha tani menjadi
Alih fungsi lahan dari hutan menjadi lahan perkebunan atau pertanian
magnesium, natrium, dan porositas tanah. Selain itu, cadangan karbon pada
lahan menurun dari raa-rata 278.29 C/ha (hutan alam) menjadi 148.76 ton
Lahan kritis akibat alih guna lahan hutan di Indonesia pada tahun 2011
seluas 27.294.842 ha, yang terdiri dari lahan kritis 22.025.581 ha dan sangat
menyediakan layanan ekosistem yang hampir sama dengan hutan dan pada
3
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah utnutk mengetahui segala aspek
4
II. ISI
agroforestri adalah suatu nama kolektif untuk sistem penggunaan lahan, yang
pertanian, dan/atau hewan, dalam suatu unit pengelolaan lahan yang sama.
berkayu dan non kayu (Lundgren, 1982 dalam Firdaus et al, 2013).
mengandung pengertian :
a. Agroforestri setidaknya melibatkan dua atau lebih spesies tanaman yang salah
c. Siklus yang terjadi dari agroforestri selalu lebih dar satu tahun.
Secara umum terdapat tiga tipe utama dalam sistem agroforestri yaitu :
5
Salah satu bentuk dari agrisilvikultur adalah agroforestri berbasis kopi
kopi yang ditanam dengan menggunakan lebih dari lima penaung, sedangkan
agroforestri sederhana menggunakan kurang dari lima penaung. Basal area (luas
lahan yang ditutupi tanaman) pada kedua sistem agroforestri tersebut kurang dari
panjang (di atas 20 tahun) dan mengurangi kelebihan produksi (over bearing) dan
mati cabang (Supriadi dan Pranowo, 2015). Pada tanaman kopi tanpa penaung,
akar, cabang dan daun mengalami kerusakan. Dengan adanya tanaman penaung
produksi dan kerusakan pada akar, daun dan cabang (Supriadi dan Pranowo,
2015).
tipe iklim). Klon kopi Robusta dan varietas Arabika anjuran terdapat pada Tabel 1
dan 2. Untuk kopi Liberika, klon yang dianjurkan untuk dikembangkan adalah
6
yang sesuai ditanam dibawah tegakan tanaman hutan (leda (Eucalyptus degluptai
B1.) dan suren (Toona sureni Merr.)) adalah varietas Sigarar Utang dan S 795. Di
daerah Pangalengan, Jawa Barat (ketinggian 1.300 m dpl), kopi Sigarar Utang
yang ditanam dibawah tegakan tanaman hutan (leda dan suren) dengan
baik dibandingkan kopi arabika Cantimor Jaluk, robusta Timtim dan Andugsari 1.
Tabel 1. Komposisi klon kopi Robusta anjuran sesuai dengan tipe iklim dan
Komposisi Klon
Tipe Iklim* Tinggi Tempat di Atas Tinggi Tempat di Bawah
400 m dpl 400 m dpl
A atau B Klon BP42 : BP234 : Klon BP42 : BP234 : BP
BP358 : SA237 = 1 : 1 : 1 409 = 2 : 1 : 1
:1
C atau D Klon BP409 : BP42 : Klon BP42 : BP234 :
BP234 = 2 : 1 : 1 BP288 : BP409 = 1 : 1 : 1 :
1
Keterangan : * Menurut Schmidt dan Ferguson
Sumber : Ditjenbun (2014)
Indonesia
Varietas Anjuran
Tinggi Tempat Tipe Iklim A atau B Tipe Iklim C atau D
Penanaman (m dpl)
700 – 1000 S795 S795
≥ 1000 AS 1, Gayo 1, Gayo 2, S795, USDA762, AS 1,
Sigarar Utang, AS 2K Gayo 1, AS 2K
≥ 1250 AB 3, AS 1, Gayo 1, AB 3, S 795, USDA762,
Gayo 2, Sigarar Utang, AS 1, AS 2K
AS 2K
Sumber : Ditjenbun (2014)
Agroforestri kopi dengan tanaman berkayu seperti jati, sengon, mindi, dan
7
robusta. Semakin tinggi tingkat naungan maka presentase biji kopi tunggal dan
biji kopi hampa meningkat. Presentase biji kopi tunggal dan hampa/kosong
tertinggi terdapat pada klon BP 939, sedangkan terendah pada klon BP 939
berproduksi (umur di atas 4 tahun) tingkat naungan yang diperlukan berkisar 30–
2015).
pertumbuhan tanaman kopi (efek allelophathy). Interaksi tidak langsung ada yang
unsur hara, air, atau pemanfaatan intensitas sinar matahari. Namun ada pula
tanaman kopi. Interaksi tidak langsung juga ada yang berperan sebagai “pihak
ketiga”, misalnya tanaman penaung menjadi inang bagi hama atau penyakit bagi
tanaman kopi (Suprayoga et al, 2003). Untuk itu perlu dilakukan pemilihan jenis
8
tanaman.
c. Kondisi lahan
Kondisi lahan kebun terutama di lokasi kritis, seperti rawan erosi dan
Tanaman penaung atau tanaman penutup tanah yang menjadi penguat tanah
diperlukan untuk mengurangi tingkat erosi dan longsor dengan pola dan jarak
potensi ekonomi cukup baik, misalnya ditunjukkan oleh adanya kebutuhan akan
produk yang dihasilkan, kemudahan pemasaran, dan lainnya. Hal yang termasuk
produk yang dipilih (misalnya bulanan, musiman, dan tahunan) sehingga dapat
menjadi dua manfaat yaitu manfaat secara ekologis dan ekonomis. Berikut adalah
a. Koservasi tanah
9
erosi tanah. Hasil penelitian Dariah et al., (2004) menunjukkan bahwa tingkat
aliran permukaan (46,36 mm) dan erosi (1,29 ton/ha) pada agroforestri berbasis
permukaan dan erosi masing-masing 53,25 mm dan 1,50 ton/ha. Bahkan Utami
(2011) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan aliran permukaan pada
sistem agroforestri berbasis kopi lebih rendah dari lahan terbuka dan hutan.
b. Konservasi air
karena air hujan dapat diresapkan lebih banyak ke dalam permukaan tanah berkat
struktur tajuknya yang berlapis. Hasil penelitian Cannavo et al., (2011) dalam
Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan pada kedalaman tanah 100 – 200 cm,
ketersediaan air pada agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kebun
kopi monokultur. Guimaraes et al., ( 2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015)
melaporkan bahwa kadar air tanah pada sistem agroforestri berbasis kopi lebih
Sedangkan Maharahi, et al., (2013 )melaporkan bahwa kadar air pada sistem
berbasis kopi cukup beragam, seperti satwa liar, serangga, jamur mikroskopis,
hingga bakteri tanah. Hasil penelitian Caudill et al,. (2014) dalam Supriadi dan
berbasis kopi dapat memberikan kelembaban udara yang sesuai untuk semut
10
terutama di musim kemarau. Sedangkan semut merupakan musuh alami/predator
penggerek buah kopi (PBKo) (Hypothenemus hampei), dalam 5 hari semut dapat
membunuh 74-99% dari populasi PBKo (Armbrecht dan Gallego, 2007 dalam
Supriadi dan Pranowo, 2015). Sedangkan menurut laporan Bonfim et al., (2010)
dalam Supriadi dan Pranowo (2015) pada agroforestri kopi dengan tanaman
Begitu juga dengan bakteri tanah yang berfungsi dalam siklus unsur hara dan
dibandingkan kopi monokultur (Evizal et al., (2012) dalam Supriadi dan Pranowo,
(2015)).
penelitian Qifli et al., (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kandungan
unsur N pada agroforestri kopi multistrata dan sederhana lebih tinggi daripada
Ebisa (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan bahwa pada
agroforestri berbasis kopi terdapat unsur fosfor (P) sebesar 5,44 ppm sedangkan
pada kebun kopi monokultur tidak ada. Sedangkan untuk unsur kalium (K) pada
11
maupun hutan saat ini menjadi perhatian penting dunia karena berperan dalam
Menurut hasil penelitian Hairiah dan Rahayu (2010), rata-rata cadangan karbon
sederhana (naungan tunggal) milik kebun percobaan dan milik petani, serta kebun
kopi monokultur (berturut-turut: 43; 38; 23; dan 13 ton C/ha). Adapun bila
dibandingkan dengan cadangan karbon hutan primer, cadangan karbon yang dapat
adalah sebesar 47,19% dan 42,98%, sedangkan bila dibandingkan dengan hutan
sekunder nilainya masing-masing sebesar 87,66% dan 79,85% (Sari dan Hariah,
penyakit. Menurut hasil penelitian Bedimo dkk (2008) dalam Supriadi dan
Pranowo (2015) penyakit buah hijau kopi, yang disebabkan oleh Colletotrichum
kahawae dapat ditekan pada kebun kopi yang menerapkan sistem agroforestri.
Penyakit ini sendiri merupakan kendala utama untuk budidaya kopi Arabika di
Afrika, yang dapat menyebabkan kerugian panen 60%. Adapun hasil penelitian
Sribawa dkk (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan bahwa
sistem agroforestri berbasis kopi dengan tingkat naungan di atas 40% dapat
kopi adalah:
12
Sistem agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan mutu dan produksi
kopi dibandingkan kebun kopi monokultur. Berdasarkan hasil penelitian Bote dan
berat biji lebih besar (148 g/1000 biji) dibanding tanpa naungan (134 g/1000 biji)
dan kualitas biji yang lebih baik dibandingkan tanpa naungan. Pada panen
pertama (umur tanaman 3 tahun) umumnya produksi biji kopi dengan naungan
lebih rendah dibandingkan kopi tanpa naungan. Namun pada panen berikutnya
naungan lebih tinggi dibandingkan kopi tanpa naungan (Ricci et al., 2011; dan
Evizal, 2010 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Meskipun produksi pada
Yusianto (2012) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kadar kafein dalam biji kopi
berkorelasi positif dengan intensitas cahaya. Intensitas cahaya tinggi yang masuk
ke kebun.
b. Peningkatan pendapatan
Pramastiwi et al., (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kebun kopi
monokultur hanya memberikan nilai NPV (Net Present Value) Rp. 13.594.616/ha,
BCR (Benefit Cost Ratio) 1,31 dan IRR (Internal Rate Return) 22,08%.
13
agroforestri multistrata kayu-kayuan berbasis kopi, dan agroforestri multistrata
1,32; 1,34, dan 1,42; dan IRR masing-masing sebesar 22,55%; 22,79%; dan
25,07%.
14
III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
memiliki dua manfaat penting baik dari segi ekologis maupun segi ekonomis.
3.2. Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
Dariah, A., F. Agus, S. Arsyad, Sudarsoni, dan Maswar. 2004. Erosi dan aliran
permukaan pada lahan pertanian berbasis tanaman kopi di Sumberjaya,
Lampung Barat. Jurnal Agrivita. 26(1) : 52-60.
Direktorat Jendral Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial.
2014. Statistik Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Perhutanan Sosial Thun 2013. Kementrian Pertanian. Jakarta.
Ditjenbun. 2014. Pedoman Teknis Budidaya Kopi Yang Baik. Direktorat Jenderal
Perkebunan. Jakarta.
Hairiah, K., dan A. Septian. 2011. Prospek ekspor kopi arabika organik
bersertifikat di Kabupaten Aceh Tengah. Jurnal Agrisep. 12(1) : 1-8.
Hairiah, K., dan S. Rahayu. 2010. Mitigasi perubahan iklim agroforestri kopi
untuk mempertahankan cadangan karbon lanskap. Dalam Prosiding
Seminar Kopi. Bali, 4-5 Oktober 2010.
Hulupi, R. 2014. Keragaan beberapa varietas kopi arabika pada areal pengelolaan
hutan bersama masyarakat. Warta Pusat Penelitian Kakao dan Kopi. 26(1)
: 9-13.
16
Prawoto, A. A., dan F. Yuliasmara. 20122. Coffe agroforestry with some timber
shade trees: study on carbon stock, mineral cycle, and yield. Journal of
Agricultural Science and Technology. B (1) : 1232-1237.
Suprayoga, D., Hairiah, K., Wijayanto, N., Sunaryo, dan van Noordwijk, M. 2003.
Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis komponen agroforestri
sebagai kunci keberhasilan atau kegagalan pemanfaatan lahan. Bahan
Ajaran Agroforestri 4. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast
Asia. Bogor.
17