Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Glukosa Darah


2.1.1. Definisi Glukosa Darah
Glukosa darah adalah isitilah yang mengacu kepada kadar
glukosa dalam darah yang konsenterasinya diatur ketat dalam tubuh.
Gukosa darah di dalam tubuh berfungsi untuk bahan bakar bagi proses
metabolism dan juga sumber energy utama bagi otak. Gula darah adalah
gula yang berada didalam darah yang terbentuk dari karbohidrat dalam
makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan otot rangka. Glukosa
merupakan sumber energi utama bagi sel manusia. Gula darah terdiri dari
dari glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Kadar gula darah adalah jumlah
kandungan glukosa dalam plasma darah. Kadar glukosa darah harus
dijaga dalam konsenterasi yang cukup untuk untuk menyediakan nutrisi
bagi organ-organ tubuh. Glukosa darah perlu dijaga dalam konsenterasi
yang konstan.1
Kadar glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat
glukosa di dalam darah. Konsenterasi gula darah, atau tingkat glukosa
serum diatur dengan ketat di dalam tubuh. Umumnya tingkat gula darah
bertahan pada batas 70 -150 mg/dl sepanjang hari.Tingkatan ini akan
naik setelah makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi
hari, sebelum orang makan.1
2.1.2 Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Pemeriksaan kadar glukosa darah dapat menggunakan darah lengkap
seperti serum atau plasma. Serum lebih banyak mengandung air dari
pada darah lengkap.
Menurut Depkes (2008) ada macam-macam pemeriksaan gula darah
yaitu :2

1
a. Gula darah sewaktu
Suatu pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu tanpa
harus memperhatikan makanan terakhir yang dimakan.
b. Gula darah puasa dan 2 jam setelah makan
Suatu pemeriksaan gula darah yang dilakukan pasien sesudah
berpuasa selama 8-10 jam, sedangkan pemeriksaan gula darah 2 jam
sesudah makan yaitu pemeriksaan yang dilakukan 2 jam dihitung
sesudah pasien menyelesaikan makan.

Cara pengukuran gula darah


Glucometer adalah alat untuk melakukan pengukuran kadar
glukosa darah kapiler. Cara pengukuran glukosa darah yaitu
pengambilan setetes darah dari ujung jari tangan, darah tersebut
diberikan pada strip pereaksi khusus dan kemudian darah tersebut
dibiarkan pada strip selama periode waktu tertentu biasanya antara 45-60
detik. Bantal pereaksi pada stirp akan berubah warnanya dan kemudain
dapat dicocokan dengan peta warna pada kemasan produk atau
disisipkan kedalam alat pengukur yang memperlihatkan angka digital
kadar glukosa darah sewaktu maupun puasa.3
Persiapan pasien untuk melakukan test gula darah puasa : pasien
dipuasakan 8-12 jam sebelum test, semua obat dihentikan dahulu, bila
ada obat yang harus diberikan ditulis pada formulir permintaan test.3
Persiapan pasien :
Tidak ada persiapan khusus. Pengambilan sampel sebaiknya pagi hari
karena adanya variasi diurnal. Pada sore hari glukosa darah lebih rendah.
Alat dan bahan:
Alat:
- Lancet
- Alat glukosameter
Bahan:
- Sampel whole blood (darah kapiler)

2
- Jarum
- Strip
- Kapas alcohol
- Handschoen
- Wadah limbah infeksius
Cara Kerja:
1. Alat glukosameter disiapkan
2. Jarum dimasukkan dalam lancet dan dipilih nomor pada lancet
sesuai ketebalan kulit pasien
3. Chip khusus untuk pemeriksaan glukosa dimasukkan pada alat
glukosameter pada tempatnya (sesuai alat glukosameter)
4. Strip dimasukkan pada tempatnya (sesuai alat glukosameter)
5. Jari kedua/ketiga/keempat pasien dibersihkan dengan
menggunakan kapas alkohol lalu dibiarkan mongering
6. Darah kapiler diambil dengan menggunakan lancet yang ditusuk
pada jari kedua/ketiga/keempat pasien
7. Sampel darah kapiler dimasukkan ke dalam strip dengan cara
ditempelkan pada bagian khusus pada strip yang meyreap darah
8. Hasil pemgukuran kadar glukosa akan ditampilkan pada layar
9. Strip dicabut dari alat Glukosa meter
10. Jarum dibuang dari lancet

2.2 Gula Darah Puasa


Glukosa darah puasa merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi
diabetes mellitus pada seseorang. Pada penyakit ini gula tidak siap untuk
ditransfer ke dalam sel, sehingga terjadi hiperglikemi sebagai hasil bahwa
glukosa tetap berada di dalam pembuluh darah.4
Gula Darah Puasa (GDP) adalah gula darah seseorang yang diperiksa
setelah menjalani puasa selama 10-12 jam . Kadar GDP menjadi salah satu
pedoman dalam melakukan diagnosis DM. Jika hasil pemeriksaan kadar GDP ≥
126 mg/dl dan terdapat keluhan khas DM, diagnosis DM dapat ditegak-kan .

3
Beberapa faktor yang diduga memengaruhi pengendalian kadar gula
darah adalah diit, aktivitas fisik, kepatuhan minum obat, dan pengetahuan. Pola
makan tidak sehat, dapat meningkatkan terjadinya resistensi insulin sehingga
kadar gula darah tidak terkendali. Kurangnya aktivitas fisik dan ketidakpatuhan
penderita DM tipe 2 dalam meminum obat anti-diabetes serta tingginya
konsumsi makanan berlemak jenuh dapat meningkatkan kadar kolesterol dan
lemak dalam darah. Hal ini diduga dapat menyebabkan kadar gula darah tidak
terkendali. 4

2.3 Pengaruh Makanan dan Minuman Manis dengan Kadar Gula Darah Puasa
Kadar gula darah sebagian tercantum pada apa yang dimakan dan oleh
karenanya sewaktu makan diperlukan adanya keseimbagan diet.
Mempertahankan kadar gula darah agar mendekati nilai normal dapat dilakukan
dengan asupan makanan yang seimbag sesuai dengan kebutuhan. Salah satu cara
mempertahankan gula darah adalah dengan pengaturan makan atau diet yang
dapat dilakukan melalui pemilihan jumlah dan jenis makanan dengan
menggunakan konsep Indeks Glikemik (IG). 5
Indeks glikemik dapat memberikan petunjuk efek makanan terhadap
kadar gula darah. Konsep indeks glikemik ini digunakan untuk
mengelompokkan makanan berdasarkan kemampuannya dalam emeningaktkan
kadar glukosa darah. Makanan dengan IG tinggi akan menaikkan kadar gula
darah secara cepat, sedangkan makanan dengan IG rendah menaikkan kadar gula
darah dengan lambat. Semakin tingg indeks glikemik suatu makanan maka
semakin cepat dampaknya terhadap kenaikan glukosa darah. Nilai indeks
glikemik suatu makanan > 70 tergolong tinggi, sedangkan 56-69 sedang, dan <
55 rendah.6

4
G
Gambar 1. Tabel Indeks Glikemik6

Konsumsi makanan yang mengandung indeks glikemik tinggi dapat


menyebabkan resistensi insulin. Selain itu merangsang penurunan sekresi insulin
yang daoat mempengaruhi kerja atau fungsi sel beta pancreas. Untuk sebagian
besar makanan, terdapat hubunngan yang bermakna antara respon glukosa darah
dan respon insulin, ketika terjadi hiperglikemi postprandial makan akan diikuti
hyperinsulinemia postprandial. Makanan dengan indeks glikemik rendah dapat
mengurangi hiperglikemia dan hyperinsulinemia postprandial.8
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Batress (2009) menunjukkan
terdapat hubungan antara kebiasaan konsumsi makanan IG tinggi dengan
glukosa pasien (p-value 0,016). Penelitian ini sejalan dengan studi sebelumnya
yaitu oleh Muraki (2013) yang menyimpulkan bahwa konsumsi buah-buahan IG
tinggi 1-2 kali berisiko DM tipe II. Selain itu penelitian lain yaitu suatu studi di
Jerman oleh Goletzke (2014) menunjukkan bahwa konsumsi makanan IG tinggi
signifikan dengan kenaikan glukosa darah pada remaja.11
Selain konsumsi makanan dengan indeks glikemik tinggi, konsumsi
minuman manis juga dapat menimbulkan peningkatakan kadar gula darah.
Minuman berpemanis (sugar-sweetened beverage) adalah minuman yang diberi

5
tambahan gula sederhana selama proses produksi yang dapat menambah
kandungan energi, tetapi memiliki sedikit kandungan zat gizi lain. Gula yang
biasanya digunakan adalah gula merah atau gula putih, gula jagung, sirup, madu
dan molasses. Sebanyak 84% remaja Amerika mengonsumsi minuman
berpemanis. Konsumsi ini menyumbang energi sebesar 301 kalori untuk
kelompok usia 12-19 tahun (13% total energi).
Dalam 300-500ml satuan saji minuman berpemanis yang beredar di
Indonesia terkandung gula sebanyak 37-54 gram. Jumlah kandungan gula ini
melebihi 4 kali rekomendasi penambahan gula yang aman pada minuman yaitu
6-12 gram. Teori glucostatic menyatakan bahwa peningkatan karbohidrat
sederhana yang salah satunya berasal dari minuman berpemanis dapat
mempengaruhi penurunan nafsu makan karena tingginya glukosa dalam darah
sehingga individu tidak akan meningkatkan asupan energinya melebihi
kebutuhan. Akan tetapi, penelitian Pan dan Hu pada tahun 2-11 menunjukkan
bahwa individu tidak merasakan kenyang ketika mengonsumsi minuman
berpemanis karena bentuknya yang cair sehingga tidak membuat lambung terasa
penuh (bloating) dan waktu transitnya singkat. Berbeda halnya jika
mengonsumsi makanan padat dengan energi yang sama.
Di Indonesia, minuman berpemanis menempati posisi kedua dan ketiga
minuman terfavorit yang dikonsumsi. Jika dilihat dari angka penjualan 12 milyar
liter pada tahun 2013. Jenis minuman berpemanis yang terfavorit adalah
minuman jus seperti Buavita, Marimas serta Nutrisari dan minuman isotonic
seperti Pocari Sweat dan Mizone. Diantara semua kelompok umur, remaja yang
paling banyak mengonsumsi minuman berpemanis.
Softdrink (minuman ringan) terdiri dari minuman ringan berkarbonasi
(yang mengandung karbondioksida), contoh coca cola, sprite, fanta, dll,
sedangkan minuman ringan yang tidak berkarbonasi (yang tidak mengandung
karbondioksida) contoh minuman the hijau, minuman isotonic, minuman buah,
dll. Sedikitnya dalam sekaleng softdrink terdapat Sembilan sendok teh gula,
kebutuhan gula dalam tubuh kita dianjurkan tidak boleh melebihi empat sendok
teh perhari. Penambahan gula banyak terdapat pada produk softdrink. Konsumsi

6
softdrink di dunia menunjukkan angka 522 miliar liter atau 82,5 liter/orang
dalam setahun.8
Konsumsi softdrink memberi dampak yang kurang baik bagi kesehatan
yaitu menyebabkan berat badan bertambah, obesitas serta berisiko terhadap
diabetes mellitus tipe 2, serangan jantung, kanker dan stroke. Penelitian pada
wanita dewasa, menunjukkan bahwa wanita yang mengkonsumsi softdrink
lebih berisiko terkena diabetes dibandingkan wanita yang tidak mengkonsumsi
minuman tersebut. Hasil survei menunjukkan bahwa minuman bergula salah
satunya sofdrink dikonsumsi setiap hari oleh orang dewasa, hal ini menunjukkan
bahwa asupan energi yang hanya bersumber dari minuman berkalori tinggi pada
orang dewasa di Indonesia sebesar 450 kalori per hari sedangkan energi yang
dibutuhkan oleh tubuh berkisar antara 1800-2800 per hari. Bila minuman manis
yang dikosumsi mencapai 450 kalori/hari artinya lebih dari 20% kebutuhan
kalori berasal dari minuman manis.9

2.4 Hubungan Beberapa Faktor Lain dengan Kadar Gula Darah Puasa
2.4.1. Hubungan Usia dengan Kadar Gula Darah Puasa
Studi populasi menunjukan bahwa level gula darah puasa
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penyebabnya bisa karena
berbagai faktor (multifaktorial). Dikatakan bahwa usia dapat
mempengaruhi nilai indeks glikemik makanan. Kadar insulin sendiri
dapat menurun, stabil, ataupun bertambah seiring bertambahnya usia.
Namun sebaliknya, sensitivitas insulin semakin menurun seiring
bertambahnya usia.10
Usia dikatakan merupakan salah satu penyumbang faktor
penyebab terjadinya resistensi insulin yang dikarenakan oleh
menurunnya kadar serum dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA).
Hormon ini merupakan hormon yang dapat menurunkan akumulasi
lemak visceral dan meningkatkan resistensi insulin. Adanya peningkatan
pada hormone stress seperti kortisol juga memainkan peranan pada
kejadian hiperglikemi yang berhubungan dengan usia. Hasil penelitian

7
yang dilakukan Ko et al menunjukan bahwa meningkatnya gula darah
dipengaruhi oleh usia didapati pada populasi Hong Kong Chinese.
Dimana untuk peningkatan setiap satu dekade usia ada peningkatan
sebesar 0,15 mmol/L atau setara dengan 2,7 mg/dL pada kadar gula
darah puasa dan gula darah sewaktu, dan peningkatan sebesar 0,26
mmol/L atau setara dengan 4,68 mg/dL pada gula darah dua jam post
prandial.10

2.4.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kadar Gula Darah Puasa


Prevalensi dari isolated impaired glucose tolerance (i-IGT) pada
perempuan lebih tinggi dibanding pada laki-laki, sedangkan prevalensi
dari isolated impaired fasting glycaemia (i-IFG) lebih tinggi pada laki-
laki dibanding pada perempuan. IGT dan IFG keduanya merupakan
sebuah keadaan pre-diabetes. Perbedaan keduanya terletak pada kadar
gula darah yang diperiksa. Pada IGT kadar gula darah yang diperiksa
adalah kadar gula darah 2 jam post prandial, biasanya pemeriksaan ini
dilakukan dengan tes OGTT (oral glucose tolerance test). Pada IGT
kadar gula darah 2 jam post prandial berada pada 140 – 200 mg/dL.
Sedangkan pada IFG kadar gula darah yang diperiksa adalah kadar gula
darah puasa, dimana pada IFG kadarnya berada diantara 110 - 125
mg/dL.12 Hal ini masih belum diketahui mengapa i-IFG lebih tinggi pada
laki-laki daripada wanita, tetapi beberapa studi mengatakan bahwa
perbedaan prevalensi ini dapat berhubungan dengan perbedaan ukuran
tubuh laki-laki dengan wanita. Dimana perempuan biasanya lebih pendek
dan memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibanding laki-laki dan
kadar absolut massa lemak bebas yang lebih kecil daripada yang dimiliki
oleh laki-laki, sehingga perempuan mungkin lebih tidak mampu
memetabolisme kadar glukosa yang tetap. Gagasan ini didukung dengan
observasi dimana risiko terjadinya diabetes tipe 2 pada laki-laki lebih
tinggi daripada wanita dengan i-IGT.10

8
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Færch et al menunjukan
bahwa laki-laki memiliki kadar glukosa darah puasa dan HbA(1c) yang
lebih tinggi daripada perempuan, dan perempuan memiliki kadar glukosa
darah 2 jam post prandial yang lebih tinggi dibanding laki-laki.
Perbedaan jenis kelamin pada kadar gula darah 2 jam post prandial
dijelaskan dengan perbedaan pada tinggi badan, dimana perbedaan
tersebut merefleksikan besar jumlah jaringan yang aktif secara metabolik
pada individu yang tinggi untuk memetabolisme kadar glukosa tetap
dibanding dengan individu yang pendek. Hipotesis ini didukung oleh
survey KORA 2000 yang dijelaskan melalui perbedaan kadar absolut
massa lemak bebas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Lingkar pinggang yang tinggi, lingkar pinggul, dan IMT juga
dihubungkan dengan peningkatan kadar gula darah 2 jam post prandial
pada laki-laki dan perempuan. Terutama pada komponen lemak
abdominal yang berhubungan kuat dengan resistensi insulin.11
Sedangkan perbedaan kadar gula darah puasa dan HbA(1c) tidak
dijelaskan melalui ukuran antropometri melainkan murni karena didasari
oleh perbedaan fisiologis. Yang berarti adanya perbedaan pada
komposisi tubuh laki-laki dan perempuan yang mungkin memberikan
kontribusi pada tingginya prevalensi i-IFG pada laki-laki, seperti
perbedaan pada sensitivitas insulin dan fungsi sel beta. Studi lebih lanjut
diperlukan untuk meneliti hubungan antara perbedaan jenis kelamin
dengan regulasi kadar gula darah puasa.12

2.4.3. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kadar Gula Darah Puasa


Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan
dan mengeluarkan tenaga atau energi. Aktivitas fisik berperan dalam
mengontrol gula darah tubuh dengan cara mengubah glukosa menjadi
energi. (Direktorat pengendalian penyakit tidak menular. Direktorat
jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.13

9
Selain itu, ada juga yang mendefinisikan aktivitas fisik adalah
semua gerakan tubuh yang membakar kalori, misalnya menyapu, naik
turun tangga, menyetrika, berkebun, dan berolahraga. Olahraga aerobic
yang mengikuti serangkaian gerakan berurutan. Sedangkan menurut
Baecke et al 1982 bahwa aktivitas fisik merupakan aktivitas sehari-hari
yang meliputi kegiatan waktu belajar, kegiatan berolahraga dan kegiatan
waktu luang yang diukur dengan skor yang telah ditetapkan.
Terdapat beberapa cara penggolongan aktivitas fisik, salah
satunya menggunakan metode Baecke et al 1982, yang dikategorikan
menjadi 3, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorian ini
dilakukan berdasarkan nilai indeks aktivitas yang dihitung dari hasil
akumulasi semua pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner Baecke et
al 1982.14
Indeks aktivitas fisik baecke et al 1982 yaitu :14
1. Aktivitas ringan, dengan indeks ≤ 6,5
2. Aktivitas sedang, dengan indeks 6,6 – 9,5
3. Aktivitas berat, dengan indeks > 9,5
Tidak semua individu akan melakukan kadar latihan fisik yang
sama sehingga latihan fisik pun dibagi sesuai intensitasnya. Intensitas
latihan fisik didasarkan besar energi yang digunakan dalam latihan
tersebut. Berbagai macam pengukuran dilakukan untuk menilai apakah
intensitas yang dilakukan seseorang tergolong dalam kategori ringan,
sedang atau berat. Pengukuran intensitas latihan dilakukan dengan
beberapa macam cara yaitu skala Metabolic equivalents (METS),
maximum heart rate (HRmax), heart rate reserve (HRR), dan VO2max)
METs menjadi parameter untuk menentukan aktifitas mulai dari
sedentary seperti duduk atau istirahat yang setara dengan 1 MET atau 3,5
ml O2/kgBB/min sampai aktivitas ekstrim yang berintensitas tinggi
seperti pada atlet yang mencapai 9 sampai 20 MET. (Kevin N. Lynda N.
Daryl S. Position Statement on Physical Activity and Exercise Intensity
Terminology 2009; 13 (2010): 496-502) Sedangkan untuk energi yang

10
dikeluarkan pada aktivitas bisa diketahui dengan oksigen yang digunakan
(O2/kgBB/min) dikali 3,5. (21)
Frekuensi nadi maksimum dinilai dengan cara 220-usia. (20) -
Frekuensi nadi HRmax dilakukan tepat setelah indivisu melakukan latihan
fisik. Misalnya pada seorang yang berusia 20 tahun. HRmax nya adalah
200 kali per menit. Untuk menghitung HRR, harus dihitung dulu nadi
pasien untuk mengetahui resting HR. Penghitungan HRR dengan cara
HRR = HRmax – resting HR. Penghitungan HRR dengan cara HRR =
HRmax – resting HR. Misalnya pada seorang yang berusia 21 tahun
dengan HRmax 199 kali per menit dan resting HR nya adalah 85 kali per
menit, HRRnya adalah 114.15
VO2menggambarkan jumlah oksigen yang digunakan seseorang
untuk menghasilkan ATP dalam satu menit. VO2max hasil dari integrasi
sistem respirasi, kardiovaskular, dan neuromuscular. Barnes (2012)
menyebutkan bahwa aktivitas fisik secara langsung berhubungan dengan
kecepatan pemulihan gula darah otot. Saat aktivitas fisik, otot
menggunakan glukosa yang disimpannya sehingga glukosa yang
tersimpan akan berkurang. Pada saat itu untuk mengisi kekurangan
tersebut otot mengambil glukosa di dalam darah sehingga glukosa di
dalam darah menurun yang mana hal tersebut dapat meningkatkan
kontrol gula darah.16
Teori lain menyebutkan bahwa aktivitas fisik secara langsung
berhubungan dengan kecepatan pemulihan gula darah otot. Saat aktivitas
fisik dilakukan, otot-otot di dalam tubuh akan bereaksi dengan
menggunakan glukosa yang disimpannya sehingga glukosa yang
tersimpan akan berkurang. Dalam keadaan tersebut akan terdapat reaksi
otot yang mana otot akan mengambil glukosa di dalam darah sehingga
glukosa di dalam darah menurun dan hal tersebut dapat meningkatkan
kontrol gula darah.17
Aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang akan
mempengaruhi kadar gula darahnya. Peningkatan penggunaan glukosa

11
oleh otot akan meningkat saat seseorang melakukan aktivitas fisik yang
tinggi. Hal tersebut disebabkan glukosa endogen akan ditingkatkan untuk
menjaga agar kadar gula di dalam darah tetap seimbang. Pada keadaan
normal, keseimbangan kadar gula darah tersebut dapat dicapai oleh
berbagai mekanisme dari sistem saraf, regulasi glukosa dan keadaan
hormonal.17
Beberapa aktivitas fisik seperti jogging, dilakukan selama 30-40
menit dapat meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel sebesar 7-20
kali dibandingkan dengan tidak melakukan aktivitas tersebut.28
Menurut Jenkins dan Hagberg melaporkan bahwa terjadi
peningkatan GDP pada partisipan normoglikemik yang telah menjalani
program latihan fisik selama 6 bulan. Sementara itu, pada waktu yang
sama, pada pasien yang prediabetik terjadi penurunan GDP.18
Regulasi gula darah adalah proses neuroendokrin yang kompleks
dengan banyak sekali organ yang terlibat.19 Gaya hidup tidak aktif dan
diet yang buruk khususnya terkait dengan penurunan regulasi atau
penurunan sensitivitas insulin dan hormon hormon terkiat dengan
pengendalian glukosa. Sebagai contoh, penurunan respons supresi insulin
dari pankreas sebagai pengaruh dari peningkatan produksi glukosa hepar
adalah karakteristik dari diabetes mellitus tipe 2 dan berkontribusi pada
hiperglikemia. 20
Menurut Powers (2003), selama melakukan aktivitas fisik,
konsumsi oksigen seluruh tubuh dapat meningkat sebanyak 20 kali lipat
dan peningkatan ini terjadi lebih banyak pada otot. Sistem saraf pusat
pun berfungsi dengan baik selama melakukan aktivitas fisik karena kadar
glukosa darah yang tetap terjaga.
Menurut NIDDK (2008), beberapa aktivitas fisik yang bisa
dilakukan antara lain kegiatan sehari-hari, latihan aeobik, latihan
kekuatan, dan perenggangan. Aktivitas tersebut m xenjadi hal yang aktif
dilakukan setiap hari untuk meningkatkan jumlah kalori yang dibakar.
Hal lainnya yang bisa dilakukan antara lain berjalan di sekitar ketika

12
sedang menelepon, bermain dengan anak-anak, berjalan dengan anjing,
menghubah saluran TV dari televisinya secara langsung, berkebun,
membersihkan rumah, mencuci mobil.
Adapun pedoman latihan yang dikeluarkan oleh American
College of Sports Medicine (1978) dalam Dyson (2003),
direkomendasikan untuk melakukan latihan fisik atau olahraga minimal
20-40 menit setiap minggunya. Hal ini kemudian direvisi tahun 1990
menjadi minimal 30 menit melakukan olahraga setiap harinya. Akhirnya
pada tahun 1994 UK Health Education Authority (HEA)
merekomendasikan untuk berolahraga dengan durasi 30 menit atau lebih
dengan frekuensi 5 hari setiap minggunya.
Orang dewasa, usia 18-64 tahun, dapat melakukan aktivitas fisik
sesuai rekomendasi WHO (2011) seperti berikut :
a. Melakukan aktivitas sedang minimal 75 menit seperti bersepeda,
mencuci motor, berenang, atau melakukan aktivitas fisik aerobic
(gabungan aktivitas fisik berat dan sedang) minimal 75 menit selama
seminggu seperti berkebun atau bermain bola.
b. Melakukan aktivitas fisik aerobic dengan durasi minimal 10 menit
c. Meningkatkan aktivitas fisik aerobic sedang sampai 300 menit per
minggu atau aktivitas fisik aerobic berat selama 150 menit per
minggu
d. Melakukan kegiatan yang melibatkan kekuatan otot dengan
frekuensi 2 kali setiap minggunya.
Olahraga yang secara teratur dilakukan akan meningkatkan
sensitivitas insulin. Semakin tua umur, semakin jarang berolahraga. Hal
ini mengakibatkan hilangnya sensitivitas insulin rata-rata pada lansia. 21

2.4.4. Hubungan Stress dengan Kadar Gula Darah Puasa


Stress adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stressor
psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Stress dewasa ini
digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus

13
dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respon fisiologis,
perilaku, dan subjektif terhadap stress.
Stress menyebabkan produksi berlebih pada kortisol. Kortisol
adalah suatu hormone yang melawan efek insulin dan menyebabkan
kadar glukosa darah tinggi. Jika seseorang mengalami stress berat yang
dihasilkan dalam tubuhnya, maka kortisol yang dihasilkan akan semakin
banyak, ini akan mengurangi sensitifitas tubuh terhadap insulin. Kortisol
merupakan musuh dari insulin sehingga membuat glukosa lebih sulit
untuk memasuki sel dan meningkatkan gula darah.22
Menurut Suzanne & Brenda (2008) dalam Mardiana & Zelfino
(2014) Mengatakan bahwa Tingkat Stres dapat di bagi menjadi beberapa
bagian yaitu:
1. Stres Ringan
2. Pada fase ini seseorang mengalami peningkatan kesadaran dan
lapang persepsinya.
3. Stres Sedang
4. Fase ini ditandai dengan kewaspadaan dalam batas toleransi dan
mampu mengatasi situasi yang dapat mempengaruhi dirinya.
5. Stres berat
Menurut Wiebe & Williams (1992) dalam Mardiana & Zelfino
(2014) menyatakan bahwa Stress kronis terjadi beberapa minggu sampai
tahun. Semakin sering dan lama situasi stress, semakin tinggi resiko
kesehatan yang ditimbulkan. Respon stres manusia berasal dari reaksi
tubuh terhadap rangsangan fisik, biotik dan atau sosial budaya yang
mengakibatkan perlu menilai activity adaptif.
Stres kontemporer Penelitian berasal dari Hans Selye, yang
diakui stres yang memiliki efek baik adaptif dan merusak dan diusulkan
untuk mengukur stres dengan hormon yang mempertahankan atau
mengganggu homeostasis fisiologis. Stres termasuk baik internal
(Ketegangan saraf) dan faktor eksternal (menular) dan bisa menyebabkan
kedua spesifik (mempengaruhi sistem tubuh tertentu) dan non-spesifik

14
(seluruh tubuh) responses. Stres bisa buruk (distress) yang dapat
menyebabkan kelelahan dan sakit atau baik (eustress) yang menyediakan
tingkat yang sehat dari ketegangan.22
Stres secara psikologis maupun fisik memberikan dampak negatif
terhadap pengendalian diabetes karena peningkatan hormon “stres” akan
meningkatkan kadar glukosa darah, khususnya bila asupan makanan dan
pemberian insulin yang tidak terkontrol. Disamping itu, pada saat terjadi
stres psikologis, penderita diabetes dapat mengubah pola makan, latihan
dan penggunaan obat yang biasanya dipatuhi menjadi diabaikan oleh
penderita. Keadaan ini akan menimbulkan hiperglikemia atau bahkan
hipoglikemia. Sehingga apabila penderita diabetes mellitus mengalami
stres, maka akan berpengaruh terhadap kadar gula darahnya. Semakin
tinggi tingkat stres yang dialami penderita diabetes mellitus maka
semakin tinggi pula kenaikan kadar gula darahnya.
Menurut Lovibond & Lovibond (1995) dalam Iswanto (2014)
menyatakan bahwa tingkatan stres dapat diukur dengan menggunakan
Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42). DASS adalah
seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status
emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres.
Tingkat stress yang tinggi dapat memicu kadar gula darah
seseorang semakin meningkat, sehingga semakin tinggi tingkat stress
yang dialami oleh pasien diabetes, maka penyakit diabetes mellitus yang
diderita akan semakin tambah buruk.
Stress fisiologik seperti infeksi dan pembedahan turut
menimbulkan hiperglikemia dan dapat memicu diabetes ketoasidosis
atau sindrom HHNK (Hyperglicemic Hyperosmolar Nonketolic Coma)
Stress emosional dapat memberi dampak negative dalam
pengendalian diabetes. Peningkatan hormone stress akan meningkatkan
kadar glukosa darah, khususnya bila asupan makanan dan pemberian
insulin tidak diubah.

15
Menurut penelitian Nirmala, stress berat disebabkan oleh faktor
perubahan fisik dan juga permasalahan dalam hidup, seperti
permasalahan anak atau cucu dan juga permasalahan ekonomi.
Perubahan fisik terjadi sesuai dengan usia responden pada penelitian
yang mayoritas > 60 tahun (56,3%) Pada responden yang mengalami
stress berat sering merasa lapar sehingga nafsu makan akan meningkat,
gelisah saat tidur dan lebih sedikit berbicara daripada biasanya. Faktor
lain yang memicu terjadinya stress adalah merasa kesepian karena jauh
dari keluarga, merasa terasing dari lingkungan keluarga sehingga
membuat mereka merasa cemas, khawatir, ketakutan, dan merasa hidup
sendirian. Sedangkan banyaknya responden yang mengalami stress
sedang dibandingkan dengan stress berat dikarenakan adanya semangat
hidup dalam diri mereka, yang juga diikuti dengan keimanannya bahwa
setiap penyakit itu ada obatnya. Hal ini sehubungan dengan mekanisme
koping yang cukup baik dimana 40,6% responden berjenis kelamin laki-
laki, sehingga permasalahan yang ada tidak begitu berpengaruh terhadap
stress responden.23
Hasil penelitian tergambar dari 32 responden, hamper dari
separuh responden mengalami peningkatan kadar gula darah yaitu 43,8%
dan lebih dari separuh responden tidak mengalami peningkatan kadar
gula darah (56,3%). 23
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Septian, yang
mengatakan bahwa didapatkan hubungan yang signifikan antara tingkat
stress dengan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus di wilayah
kerja Puskesmas Sukoharjo I tahun 2012 dengan p value = 0,002.
Diketahui bahwa ada hubungan tingkat stres dengan peningkatan
kadar gula darah. Karena responden yang mengalami perubahan fisik dan
fisikologi megakibatkan stres, sehingga peningkatan hormon stres akan
mengakibatkan kadar glukosa darah menjadi meningkat, saat terjadinya
stres emosional, pasien diabetes tidak menjaga kadar gula darah, tidak
menjaga diet diabetes serta tidak mematuhi therapi diabetes yang

16
dianjurkan dokter, keadaan ini turut menimbulkan peningkatan kadar
gula darah.23

2.4.5. Hubungan Pola Tidur dengan Kadar Gula Darah Puasa


Tidur adalah siklus yang ditandai dengan adanya penurunan
kesadaran, aktivitas fisik dan proses metabolisme. Tidur dicirikan dengan
aktivitas fisik yang minimal, tingkat kesadaran bervariasi, perubahan
pada proses fisiologis tubuh, dan penurunan respon terhadap stimulus
eksternal.24
Perubahan fisiologis yang terjadi selama periode tidur NREM
diantaranya adanya penurunan suhu tubuh, sekresi urin berkurang,
denyut jantung dan frekuensi napas menjadi lebih pelan dan teratur.
Sedangkan pada periode REM frekuensi pernapasan dan denyut jantung
lebih cepat dan tidak teratur, aliran darah ke otak meningkat. Selama
periode 2 jam pertama periode tidur terjadi peningkatan sekresi hormone
pertumbuhan, hormone adenokortikotropin, sedangkan hormone kortisol
disekresikan selama pertengahan waktu tidur.25
Setiap individu mempunyai kebutuhan istirahat dan tidur yang
berbeda dan jika dilakukan secara baik dan teratur akan memberikan efek
yang bagus terhadap kesehatan. Seseorang dapat mengalami gangguan
tidur misalnya kesulitan untuk mulai tidur atau mempertahankan
tidurnya, atau terlalu cepat bangun. Adanya gangguan pada tidur dapat
menyebabkan kurangnya kualitas tidur. Perubahan hormonal yang terjadi
terkait dengan gangguan tidur dapat disebabkan adanya aktivitas
Hipotalamus Pituitary Adrenal (HPA) dan sistem saraf simpatis.
Aktivitas HPA dan sistem saraf simpatis dapat merangsang pengeluaran
hormone sepertikatekolamindan kortisol yang menyebabkan gangguan
toleransi glukosa dan resistensi insulin yang akhirnya bisa meningkatkan
kadar gula darah, dan juga menyebabkan terjadinya diabetes mellitus.26
Penurunan toleransi glukosa dapat terjadi selama periode tidur,
diaman pada periode tersebut terjadi peningkatan kadar glukosa darah

17
dan peningkatannya berkisar antara 20–30%. Selama periode tidur otak
sangat sedikit menggunakan glukosa sebagai energy dan ditandai dengan
adanya penurunan aktivitas saraf simpatis serta adanya peningkatan
irama vagal.26
Pada penelitian yang dilakukan oleh Edy Suratno dan
Wahyuningsih mengenai hubungan insomnia dengan peningkatan kadar
gula darah puasa pada pasien diabetes mellitus di ruang rawat inap
RSUD Dr. Mowardi menunjukkan adanya peningkatan kadar gula darah
pada pasien insomnia.26
Menurut penelitian oleh Arifin, yang menyatakan ada hubungan
kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pasien diabetes mellitus tipe 2,
yaitu dengan nilai p-value0,000 dengan arah hubungan adalah positif,
yang berarti bahwa kualitas tidur yang buruk akan meningkatkan kadar
gula darah pada pasien diabetes mellitus.26
Pengaruh peningkatan kadar gula darah terkait dengan gangguan
tidur selain dikarenakan adanya aktivitas dari Hipotalamus Pituitary
Adrenal (HPA), juga ada keterlibatan hormone pada pengaturan nafsuu
makan. Setelah terjadi pembatasan tidur, kadar leptin yang merupakan
factor yang membuat seseorang menjadi kenyang menurun dan kadar
ghrelin yang merupakan stimulasi nafsu makan menjadi meningkat.
Waktu tidur yang menjadi sedikit juga meningkatkan kesempatan
seseorang untuk makan. Sehingga kehilangan tidur akan meningkatkan
nafsu makan dan meningkatkan intakemakan yang dapat mengakibatkan
obesitas dan meningkatnya kadar glukosa darah. 26
Selain itu dijelaskan bahwa lebih dari 30% dari pria dan wanita
dewasa dengan usia antara 30 – 64 tahun melaporkan tidurnya 6 jam per
malam. Penurunan rata-rata lamanya tidur di United States terjadi
bersamaan dengan meningkatnya prevalensi obesitas dan diabetes
mellitus. Hal ini menunjukkan hubungan yang sangat signifikan antara
lamanya tidur dan meningkatnya prevalensi diabetes mellitus. Selain itu,
seseorang dengan durasi tidur yang pendek ( < 5 dan 6 jam semalam )

18
memiliki 2 kali kemungkinan terjadinya diabetes dan durasi tidur yang
panjang ( > 8 jam semalam ) memiliki 3 kali kemungkinan terjadinya
diabetes mellitus. 26

2.4.6. Hubungan Status Gizi dengan Kadar Gula Darah Puasa


World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan status
gizi seseorang dengan menggunakan IMT (Index Massa Tubuh). IMT
diperoleh melalui perhitungan berat badan dalam kilogram dibagi dengan
tinggi badan dalam meter dikuadrat (kg/m2). Status gizi dibagi kedalam
beberapa klasifikasi, yaitu underweight (gizi kurang), normoweight (gizi
normal), dan overweight (gizi lebih). Untuk klasifikasi IMT berdasarkan
klasifikasi Asia Pasifik dikatakan underweight atau gizi kurang bila hasil
perhitungan IMT nya didapatkan dibawah 18,5 kg/m2, normoweight (gizi
normal) jika IMT nya didapatkan diantara 18,5 – 22,9 kg/m2, dan
overweight (gizi lebih) jika IMT didapatkan diatas 23 kg/m2. Gizi lebih
sendiri di bagi kembali menjadi risiko obesitas jika IMT diantara 23 –
24,9 kg/m2 , obesitas 1 dengan IMT 25 – 29,9 kg/m2, dan obesitas 2 jika
IMT diatas 30 kg/m2.
Tabel 1.1. Klasifikasi IMT Asia Pasifik Menurut WHO27
Klasifikasi IMT (kg/m2) Resiko ko-morbiditas
Underweight <18,5 Rendah (tapi meningkatkan
resiko dari masalah klinik
lain)
Normoweight 18,5 – 22,9 Rata – rata
Overweight ≥ 23
Risiko 23 – 24,9 Meningkat
obesitas
Obesitas 1 25 – 29,9 Sedang
Obesitas 2 ≥ 30 Berat

19
Mekanisme bagaimana status gizi, dalam hal ini status gizi lebih
atau obesitas dapat mempengaruhi resistensi insulin masih belum jelas,
tetapi ada beberapa hipotesa yang dapat digunakan. Glukosa mensintesis
asam lemak yang merupakan isi dari lemak tubuh. Peningkatan kadar
glukosa dalam darah akan menyebabkan peningkatan IMT akibat adanya
peningkatan biosintesis lemak dengan kata lain terjadi penambahan berat
badan. Insulin yang merupakan sekresi dari sel beta pada pulau langerhans
pankreas bekerja melalui reseptor sel spesifik dari insulin meningkatkan
penyerapan glukosa dari darah ke dalam sel. Insulin sebagai hormon
anabolik membuat konservasi energi dengan memberi sinyal kepada tubuh
untuk meproduksi lemak. Seiring dengan meningkatnya IMT, resistensi
insulin juga meningkat, yang menyebabkan kadar glukosa darah juga
meningkat di dalam tubuh. Dikarenakan berat badan berhubungan atau
diasosiasikan dengan IMT, maka IMT juga dipercaya memiliki korelasi
dengan kenaikan kadar gula darah dalam tubuh. 29
Dengan kata lain obesitas menyebabkan resistensi perifer terhadap
penyerapan glukosa yang dimediasi insulin dan dapat menurunkan
sensitivitas dari sel beta glukosa. Hal ini berbanding terbalik dengan
perubahan pada penurunan berat badan, dimana penurunan berat badan
menyebabkan kadar gula darah yang menurun menuju kadar normal. Studi
mengatakan bahwa leptin yaitu hormon yang diproduksi dan disekresikan
oleh sel adiposit dipercaya memiliki peranan penting dalam hal
menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan obesitas. Defisiensi dari
adiponectin, sebuah hormone turunan dari adiposit, juga dikatakan
memiliki peranan dalam terjadinya resistensi insulin. Dan IMT ini sendiri
merupakan alat ukur yang baik untuk mengukur adipositas tersebut.29

2.4.7. Hubungan Merokok dengan Kadar Gula Darah Puasa


Merokok merupakan salah satu kebiasaan masyarakat sekarang
yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No.109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang

20
mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, rokok
adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan
dihisap dan atau dihirup asapnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana
tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang
asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan
tambahan. Rokok biasanya berbentuk silinder dari kertas berukuran
panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan
diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah
dicacah. 30
Menurut The Tobaccp Atlas 3rd edition, ASEAN merupakan
sebuah kawasan dengan 10% dari seluruh perokok dunia dan 20%
penyebab kematian global akibat tembakau. Persentase perokok pada
penduduk di negara ASEAN tersebar di Indoensia (46,16%), Filipina
(16,62%), Vietnam (14,11%), Myanmar (8,73%), Thailand (7,74%),
Malaysia (2,90%), Kamboja (2,07%), Laos (1,23%), Singapore (0,39%),
dan Brunei (0,04%).31
Nikotin merupakan komponen utama dalam rokok. Selain
nikotin, di dalam rokok juga terdapat senyawa gula, bahan aditif, saus,
pemberi rasa, aroma, dan lain-lain sehingga terbentuk rasa yang
memenuhi selera konsumen (perokok). Senyawa gula diperlukanuntuk
memberikan rasa lunak, sehingga dapat mengurangi dampak negatif hasil
pembakaran nikotin dan senyawa nitogen lain yang memberikan rasa
berat. Dalam satu batang rokok terdapat sekitar 8-20 mg nikotin.
Maksimun dosis pada manusia yaitu 60 mg.31 Semakin banyak rokok
yang dihisap maka semakin banyak pula akumulasi nikotin dalam tubuh.
Nikotin dalam tubuh akan berusaha dikeluarkan kembali melalui urin
sebesar 80% dan 20% masih berada dalam tubuh. Nikotin dimetabolisme
di hati oleh cytochrome P450 enzim CYP2A6 dan CYP2B6 yang
membentuk macam metabolit contohnya seperti kotinin. Kotinin ini yang
dapat dikeluarkan melalui urin, sehingga urin seorang perokok akan
menimbulkan bau yang sangat tajam.3,32 Nikotin berada dalam darah

21
selama 1-3 hari. Seorang perokok yang merokok setiap hari tetap
mengeluarkan nikotin melalui urin, tetapi terdapat zat kotinin yang
terakumulasi dalam tubuh. Konsentrasi nikotin yang masuk dalam tubuh
akan semakin meningkat bersamaan dengan semakin banyaknya jumlah
batang rokok yang dihisap, sehingga semakin banyak konsentrasi nikotin
dalam tubuh semakin tinggi pula risiko peningkatan kadar gula darah.34
Menurut penelitian Venkatachalam dkk, (2012) di India
menunjukkan proporsi gangguan kadar gula darah lebih banyak pada
individu yang merokok selama lebih dari 20 tahun dibanding dengan
yang kurang dari 20 tahun. Semakin lama individu merokok maka
semakin banyak radikal bebas yang terakumulasi dalam tubuh. Zat-zat
tersebut yang nantinya dapat menganggu kerja insulin dan merusak sel
beta pankreas, sehingga menyebabkan kadar gula dalam darah tidak
terkontrol. 35
Nikotin yang terakumulasi dalam tubuh dapat memicu kerja
hormone kortisol. Hormon kortisol meningkatkan proses
gluconeogenesis yaitu metabolism glukosa dari senyawa non karbohidrat
seperti lemak dan protein. Efek pengeluaran kortisol yang berlebihan ini
dapat mengganggu kinerja insulin. Tidak adanya mekanisme pengontrol
yang mendorong anabolisme ketika aktivitas insulin kurang memadai
inilah yang kemudian menjadi kinerja insulin menurun dan lama-
kelamaan akan menyebabkan resistensi insulin. Jika terjadi resistensi
insulin dan penyerapan glukosa di jaringan terganggu maka glukosa
dalam darah akan meningkat dan menyebabkan kadar glukosa dalam
darah ikut meningkat.36
Selain pengaruh lamanya merokok, kadar nikotin dalam tubuh
juga dipengaruhi dengan banyaknya jumlah batang rokok yang dihisap.
Konsentrasi nikotin yang masuk dalam tubuh akan semakin meningkat
bersamaan dengan semakin banyakanya jumlah batang rokok yang
dihisap.37 Menurut Kemenkes RI tahun 2012, jenis perokok dibagi
menjadi tiga yaitu perokok ringan (1 – 10 batang perhari), perokok

22
sedang (11 – 20 batang perhari) dan perokok berat lebih dari 20 batang
perhari. Dalam sebatang rokok mengandung sekitar 20,9 mg nikotin,
namun hanya sekitar 2 mg nikotin yang terikut masuk ke dalam tubuh
perokok. Sebatang rokok dapat menurunkan kerja insulin dalam tubuh
sampai 15% dan setelah 10 – 12 jam baru kerja insulin bisa pulih seperti
semula.38 Kebiasaan merokok menyebabkan gangguan metabolism
glukosa dan peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan kondiri
hiperglikemi Hal ini justru meningkatkan risiko terkana diabetes
mellitus.39
Berdasarkan penelitian Venkatchalam dkk tahun 2012 dengan
menggunakan desain studi case control menyebutkan bahwa individu
yang merokok lebih dari 20 batang sehari juga memiliki persentase gula
darah tinggi lebih besar disbanding individu yang merokok kurang dari
20 batang per hari.37

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Syauqy Ahmad. 2015. Perbedaan kadar glukosa darah puasa pasien diabetes
melitus berdasarkan pengetahuan gizi, sikap, dan tindakan di poli penyakit
dalam rumah sakit Islam Jakarta. Jurnal Gizi Indonesia.
2. Depkes RI. 2008. Macam-macam pemeriksaan kadar gula darah. Di akses dari :
www.depkes.go.id.
3. Rachmawati AM, Bachrudin U, Hardjono. Imterpretasi Hasil Diagnostik Tes
Lahoratorium Diagnostik. Lembaga Pendidikan Universitas Hasanuddin.
Makassar : 2018.
4. Fahmiyah I. Faktor yang mempengaruhi kadar gula darah puasa pasien diabetes
mellitus tipe 2 di poli diabetes RSUD Dr. Soetomo Surabaya.2016.
5. Istiqomah A, Rustanti N. Indeksi glikemik, beban glikemik, kadar protein,serat
dan tingkat kesukaan kue kering tepung garut dengan substitusi tepung kacang
merah. Journal of Nutrition College, Volume 4, Nomer 2, Tahun 2015. Diunduh
dari https://media.neliti.com/media/publications/93679-ID-indeks-glikemik-
beban-glikemik-kadar-pro.pdf, 2 September 2018
6. Mayawati H, Isnaeni FN. Hubungan asupan makanan indeks glikemik tinggi dan
aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus tipe II
rawat jalan di RSUD Karanganyar. Jurnal Kesehatan, Vol. 10, No.1. Juni 2017
7. American Diabetes Association. 2013. Glycemic index and diabetes. Diunduh
dari http://www.diabetes.org/food-and-fitness/food/what-can-i-
eat/understanding-carbohydrates/glycemic-index-and-diabetes.html, 2
September 2018
8. Radulian G, Rusu E, Dragomir A, Posea M. Metabolic effects of low glycemix
index diets. Nutrition Journal 2009 January; 8(5)
9. Anjangsari KN, Isnawati M. Hubungan konsumsi sofdrink, lingkar pinggang dan
aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah puasa pada wanita dewasa. Journal of
Nutrition College, Volume 4, Nomor 2, Tahun 2015, h. 162-70

24
10. Ko G, Wai H, Tang J. Effects of age on plasma glucose levels in non-diabetic
hong kong chinese. Hong Kong: Croat Med J; 2006.
11. WHO/IDF Consultation. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and
intermediate hyperglycemia. Geneva, Switzerland: WHO; 2006 p. 3.
12. Færch, K., Borch-Johnsen, K., Vaag, A. et al. Sex differences in glucose levels: a
consequence of physiology or methodological convenience? The Inter99 study.
Diabetologia (2010) 53: 858.
13. DITJEN PP & PL) Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Pengukuran
Faktor Resiko Diabetes Melitus. 2008
14. The President’s Council on Physical Fitness and Sports – Publications.
President’s Council on Fitness, Sports & Nutrition. Diunduh 1 September 2018
dari http://www.fitness.gov/fitness.html
15. Rira. Wahdani M. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Lebih
pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010. Jakarta : FKIK UI
Jakarta. 2010
16. Barnes, D.E. Program Olahraga Diabetes. Yogyakarta: Citra Aji Parama; 2011
17. Kronenberg. Williams Textbook of Endocrinology. Philadelphia: Saunder
Elsevier Publishing; 2008
18. Soegondo, S. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini dalam:
Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I., Editor. Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu bagi Dokter maupun educator diabetes. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.)
19. Jenkins NT, Hagberg JM. Aerobic training effects on glucose tolerance in
prediabetic and normoglycemic humans. Med Sci Sports Exerc.
2011;43(12):2231-2240
20. Aronoff SL, Berkowitz K, Shreiner B, Want L. Glucose metabolism and
regulation: beyond insulin and glucagon. Diabetes Spectrum. 2004;17(3):183-
190.) (Kalsbeek A, Bruinstroop E, Yi CX, Klieverik LP, La Fleur SE, Fliers E.
Hypothalamic control of energy metabolism via the autonomic nervous system.
Ann N Y Acad Sci. 2010;1212:114-129

25
21. Basu R. Chandramouli V, Dicke B, Landau B, Rizza R. Obesity and type 2
diabetes impair insulin-induced suppression of glycogenolysis as well as
gluconeogenesis. Diabetes. 2005;54(7):1942-1948.
22. Rasmun.2004. Stress, Koping, dan adaptasi. Jakarta: Sagung Seto.
23. Nirmala. Hubungan tingat stress dengan peningkatan kadar gula darah pada
pasien dengan diabetes melitus di wilayah kerja puskesmas perkotaan Rasimah
Ahmad Bukittinggi 2015.
24. Hardiman dan Stensel, 2003). Aktivitas fisik akan merangsang pelepasan
glukosa ke dalam sel sehingga metabolisme dalam sel terjadi (Balkau et al. 2008
25. Rasmun (2004) . Stres, koping dan adaptasi. Jakarta : Sagung Seto
26. Black MJ, Hawks H. Jane. 2008. Medical surgical : clinical management for
positive outcome. Missouri: Saunders Elsevier
27. Stevens MS. 2008. Normal sleep, sleep physiology, and sleep deprivation:
general principles. Diunduh dari www.emedicine.com/neuro/topic444.htm, 1
September 2018
28. Suratno E, Safitri W, Ariyanti. Hubungan insomnia dengan peningkatan gula
darah puasa pada pasien diabetes mellitus di ruang rawat inap RSUD Dr.
Moewardi. Media Bina Ilmiah, Vol.8. No.1.Tahun 2014
29. Arifin Z. 2011. Analisis hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah
pasien diabetes mellitus tipe 2 di Rumah Sakit Umum provinsi Nusa Tenggara
Barat. Universitas Indonesia. Depok
30. Obesity and overweight. Downloaded from
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/ on 9 July 2016.
31. Neelam Agrawal, Mukesh Kumar Agrawal, Tannu Kumari, Sunil Kumar.
Correlation between body mass index and blood glucose levels in Jharkhand
population. International Journal of Contemporary Medical Research
2017;4(8):1633-1636.
32. Peraturan Pemerintan. 2012. Peraturan pemerintah tentang pengamanan bahan
yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, Peraturan
Pemerintah no.109

26
33. Tirtosastro S, Murdiyat AS. Kandungan kimia tembakau dan rokok. Buletin
Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak Industri 2(1), April 2010:33-43
34. Ario MD. Pengaruh nikotin dalam rokok pada diabetes melitus tipe 2. J Majority
Volume 3 Nomor 7. Desember 2014:75-80
35. Keith RJ, Rifai MA, Caruba C, Jarnett ND, McEvoy J, Bhatnagar A,dkk.
Tobacco use, insulin resistance, and risk of type 2 diabetes:results from the
multiethnic study of atherosclerosis. June 20,2016. Diunduh dari
https://journals.plos.org/plosone/article/file?id=10.1371/journal.pone.0157592&t
ype=printable, 31 Agustus 2018
36. Venkatachalam J, Rajesh M, Sing Z, Devi S, Purty, A.J., P, S, J.,GR S.2012.
Smoking and diabetes:a case control study in a rural area of Kancheepuram
district of Tamil Nadu. IOSR J. Dent. Med. Sci. JDMS Vol.3,18-21
37. Bajaj M. Nicotine and insulin resistance:when the smoke clears. Diabetes
Journal, Vol.61, December 2012. Diunduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3501863/pdf/3078.pdf, 31
Agustus 2018
38. Sherwood L.2012. Fisiologi manusia. Jakarta:EGC.h. 132-8
39. Alfiyah.2010. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit
diabetes melitus pada pasien rawat jalan di rumah sakit umum pusat DR. Kariadi
Semarang tahun 2010. Semarang

27

Anda mungkin juga menyukai