Anda di halaman 1dari 19

Efektivitas Perpres 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri

Dalam Mengantisipasi Pengungsi Ilegal

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah pengungsi bukanlah isu yang baru, baik bagi negara Indonesia maupun
masyarakat internasional. Masalah pengungsi ini semakin mengemuka seiring terjadinya
konflik dan peperangan. Permasalahan pengungsi merupakan masalah bersama bagi
masyarakat internasional karena sifatnya yang melintas batas teritorial suatu negara.
Pada tahun 1951, PBB mengadakan Konvensi terkait Status Pengungsi yang menjadi
dasar perlakuan terhadap para pengungsi.
Dalam ketentuan Pasal 1 Konvensi, terdapat definisi umum tentang istilah
“pengungsi”. Definisi pada Konvensi Jenewa tahun 1951 hanya berlaku bagi para
pengungsi sebelum 1 Januari 19511 sementara konflik tetap terjadi setelah tahun 1951,
maka dibuatlah Protokol New York tentang status Pengungsi tahun 1967. Protokol
tersebut menggunakan definisi yang sama dengan Konvensi Jenewa tahun 1951
mengenai pengungsi namun diperuntukkan bagi para pengungsi baru yang muncul
akibat peristiwa setelah 1 Januari 1951.2 Konflik dan perang tetap saja terjadi walaupun
skalanya tidak sebesar Perang Dunia. Para pengungsi terpaksa hijrah dari dalam rangka
mendapat perlindungan dan rasa aman.
Indonesia yang terletak diantara dua Samudra dan dua benua, menjadikan indonesia
sebagai tempat yang paling strategis untuk perpindahan dan juga tempat transit
pengungsi asing asal benua asia yang ini pergi ke Australia dan Amerika Serikat sebagai
negara ketiga. Dalam beberapa tahun terakhir, sesuai data yang diberikan oleh Lembaga
PBB untuk pengungsi atau United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR),
sampai dengan akhir maret 2017 Berada diantara negara-negara penerima pencari suaka

1
Article 1 (2), Convention Relating to the Status of Refugess, 1951
2
Article 1 (2), Protocol Relating to the Status of Refugess, 1967

2
dan pengungsi dalam jumlah besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara
berkelanjutan Indonesia terkena dampak dari pergerakan populasi tercampur (mixed
population movements).
Berdasarkan data UNHCR, para imigran atau pengungsi yang masuk ke sini ada
14.425 orang, data per 31 Januari 2017. Sebanyak 2.177 orang berada di rumah detensi
Imigrasi (rudenim), 2.030 orang di kantor Imigrasi (kanim), 4.225 orang di community
house, dan sebanyak 5.993 merupakan imigran mandiri. Di Indonesia ada 13 rudenim.
Sebanyak 2.177 orang itu tersebar ke rudenim.3
Berdasarkan hal diatas telah menjadi permasalahan dengan banyaknya pengungsi
illegal yang masuk di Indonesia menjadikan Pengaturan, pengawasan dan penagakan
hukum bagi pengungsi illegal adalah penting dilakukan. Hal ini penting dilakukan
sebagai tindakan preventif dan represif untuk mengantisipasi serta menindak pengungsi
illegal di Indonesia.
Indonesia telah menjadi negara transit dan telah menyediakan tempat untuk melayani
sebagai lokasi pengungsi internasional di beberapa daerah, termasuk Provinsi Khusus
Aceh, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Jawa Barat, dan
Daerah Khusus Ibu kota Jakarta. Tindakan-tindakan ini merupakan penghormatan
universal dan pemenuhan hak asasi manusia.4 Dengan demikian, sebagai negara transit
dan bukan negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967,
Indonesia tidak dapat dimintai pertanggung jawaban dalam hukum internasional. Ketika
para pengungsi mencapai wilayah Indonesia, maka secara Hukum Internasional
sebenarnya Indonesia tidak memiliki tanggung jawab sama sekali terhadap pengungsi.

3
https://news.detik.com/berita/d-3442963/14425-imigran-ilegal-penuhi-indonesia-ini-langkah-pemerintah,
Diakses hari Senin, tanggal 07 Mei, 2019, Pukul, 21.00. WIB
4
Bandingkan, Kadarudin, dkk, The Situation Of International Refugee In Indonesia: A Legal Perspective,
Volume 4, Nomor 11, hal 1

3
Para pengungsi tersebut tidak bisa mendapatkan kesejahteraan dalam apapun dari
pemerintah Indonesia.5
Pemerintah Indonesia membentuk Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang
Penanganan Pengungsi Luar Negeri, sehingga Pemerintah memiliki standar acuan untuk
menangani pencari suaka dan pengungsi. Penanganan yang dilakukan Pemerintah
terhadap pencari suaka atau pengungsi dilakukan mulai dari penemuan, penampungan,
pengamanan, dan pengawasan Keimigrasian.6 Pengawasan Keimigrasian yang
dilakukan dalam rangka memeriksa ulang identitas, meminta keterangan dalam rangka
penempatan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim), dan surat pendataan atau kartu
identitas khusus pengungsi.7 Menurut Peraturan Presiden tersebut, Pengawasan
Keimigrasian dilakukan pada saat ditemukan, di tempat penampungan dan diluar tempat
penampungan, diberangkatkan ke negara tujuan, Pemulangan Sukarela, dan
pendeportasian.8
Hal ini menjadi dilema hukum dan tumpah tindih regulasi yang terjadi di Indonesia
dalam hal menangani orang asing yang menyatakan diri sebagai pencari suaka dan
pengungsi. Menurut hukum positif sedang berjalan di Indonesia setiap orang asing wajib
memenuhi setiap ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No.6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian. Orang asing yang masuk wajib melalui TPI serta memiliki
Dokumen Perjalanan dan Visa yang masih sah dan berlaku.9 Jika ketentuan yang berlaku
tidak dipenuhi, Pejabat Imigrasi memiliki wewenang dalam melakukan penolakan

5
Negara yang menjadi pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951 memiliki kewajiban untuk memberikan
perlakuan yang sama terhadap pengungsi seperti warga negaranya sendiri. Lihat Pasal 24 (1) Konvensi
Pengungsi 1951 yang selengkapnya berbunyi: “The Contracting States shall accord to refugees lawfully
staying in their territory the same treatment as is accorded to nationals in respect of the following matters”.
6
Pasal 5, Peraturan Presiden Republik Indonesia No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar
Negeri
7
Pasal 35, Peraturan Presiden Republik Indonesia No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari
Luar Negeri
8
Pasal 33, Peraturan Presiden Republik Indonesia No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari
Luar Negeri
9
Pasal 13, Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

4
terhadap keberdaan orang asing tersebut, mendapatkan status pencari suaka atau status
pengungsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komisariat Tinggi Urusan
Pengungsi di Indonesia.10
Disahkanlah Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan
Pengungsi dari Luar Negeri, dapat diasumsikan sebagai komitmen Negara dalam
melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri, khususnya menangani masalah pengungsi serta
komitmen dalam menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Berdasarkan
Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016, bahwa penanganan pengungsi dikoordinasikan
oleh Menteri.11
Dalam hal ini Kementerian yang membidangi urusan pemerintahan di bidang politik,
hukum, dan keamanan. Koordinasi di maksud salah satunya adalah dalam hal
Pengawasan Keimigrasian.12 Artinya, Indonesia belum memiliki suatu instrumen hukum
internasional yang dapat menjadi acuan serta rujukan untuk menangani permasalahan
pengungsi internasional secara optimal. ditambah lagi dengan regulasi dari Peraturan
Presiden Nomor 125 Tahun 2016 dianggap bertentangan dengan Undang-Undang No.6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang termuat dalam Pasal 13 yang berisi Pejabat
Imigrasi memiliki wewenang dalam melakukan penolakan terhadap keberdaan orang
asing, yang berpotensi menyebabkan ambiguitas dan tumpah tindih regulasi dalam
penanganan pengungsi di Indonesia.
Berdasarkan hal itu secara prinsip Perpres No 125 mengatur mengenai kerjasama
antara pemerintah pusat dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komisariat Tinggi
Urusan Pengungsi di Indonesia dan/atau organisasi internasional. Tetapi di dalam
Peraturan Presiden tersebut tidak mengatur mengenai kewenangan serta batasan yang di

10
Pasal 1 ayat (1), Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri
11
Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar
Negeri
12
Pasal 4 ayat (2) huruf d Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016

5
miliki oleh organisasi internasional. Tidak diatur secara khusus mengenai rentan waktu
dalam penentuan status pengungsi hingga penempatan ke negara ke-tiga.13
Identifikasi Masalah:
1. Bagaimana Efektivitas Perpres 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi
luar negeri dan Undang Undang Keimigrasian Dalam Menangani Pengungsi
Illegal?
2. Bagaimana Perbandingan Perpres 125 Dan Undang-Undangan Keimigrasian
Dalam Menangani Pengungsi Ilegal?

13
Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri Pasal 2
1. Penanganan Pengungsi dilakukan berdasarkan kerja sama antara pemerintah pusat dengan
Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia
dan/atau organisasi internasional.
2. Organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi
internasional di bidang urusan migrasi atau di bidang kemanusiaan yang memiliki
perjanjian dengan pemerintah pusat.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aliran Sosiological Jurispridance


Menurut Sosiological Jurispridance ini, hukum yang baik haruslah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini yang memisahkan secara tegas
antara hukum positif (the postiv law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini
timbul dari proses dialetika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab
sejarah. Sebagaimana diketahui, positivisme hukum memandang tiada hukum kecuali
perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgiver), sebaliknya Mazhab
sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat.
Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran kedua lebih mementingkan
pengalaman, dan sosiological jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.
Aliran sosiological jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam
pembangunan hukum Indonesia. Tokoh-tokoh aliran sosiological jurisprudence antara
lain adalah Ehrlich dan Roscoe Found.
Eugen Ehrlich dianggap sebagai pelopor aliran sosiological jurisprudence, khususnya
di Eropa. Ia adalah seorang yang ahli hukum dari Austria dan tokoh pertama yang
meninjau hukum dari sudut pandang sosiologi. Ehrlich melihat ada perbedaan antara
hukum positif disatu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)
dipihak lain.14 Menurutnya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif
apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Difinisi
jelas bahwa Eherlich berbeda pendapat dengan penganut positivisme hukum.
Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya, bahwa titik pusat perkembangan
hukum tidak terletak pada undang-undangan, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada
masyarakat itu sendiri. Dengan demikian sumber dan dari bentuk hukum yang pertama

14
Abdul Aziz hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015, hal 84

7
adalah kebiasaan.15 Hanya sayangnya, seperti dikatakan oleh Friedmann dan karyanya,
Ehrlich apad akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber dari bentuk
hukum pada masyarakat modern. Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk
pada kekuatan-kekuatan social tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif, oleh
karena ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan social terhadap hukum.
Dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara.
Tertib social didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan
dan norma social yang tercermin dalam system hukum. Sampai saat ini terlihat bahwa
pendapat Ehrlich mirip dengan von savigny. Hanya saja lebih senang menggunakan istilah
kenyataan sosial dari pada istilah volksgeist sebagaimana digunakan savigny kenyataan-
kenyataan sosial yang anormatif itu dapat menjadi noramtif, sebagai kenyataan hukum
(facts of law) tau hukum yang hidup (living law yang dinamakan Ehrlich dengan Rechts
normen), melalui empat cara: (1) kebiasaan, (2) kekuasaan efektif, (3) milik efektif, dan
(4) pernyataan kehendak pribadi.
Roscoe Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk
memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering). Untuk
dapat memenuhi perannya sebagai alat tersebut lalu membuat penggolongan atas
kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut:16
a. kepentingan umum (public interensi)
I. kepentingan negeri sebagai badan hukum
II. kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
b. kepentingan masyarakat
I. kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
II. pencegahan kemerosotan akhlak
III. perlindungan Lembaga-lembaga social

15
Ibid
16
Ibid, hal 86

8
IV. pencegahan pelanggaran hak
V. kesejahteraan sosial
c. kepentingan pribadi (private interest)
I. kepentingan individu
II. kepentingan keluarga
III. kepentingan hak milik
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua hal. Pertama, Pound mengikuti garis pemikiran
yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai
jalan kearah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kedua, kelasifikasi
tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk
undang-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan
nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan perkataan lain klasifikasi
itu membantu menghubungkan antara prinsip (hukum) dan prakteknya.
Hukum dirumuskan sebagai suatu yang bersanksi. Berat ringannya sanksi senantiasa
tergantung dari sifat pelanggaran, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang
baik buruknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Dengan
demikian, maka kaidah-kaidah hukum dapat diklasifikasikan menurut jenis-jenis sanksi yang
menjadi bagian utama dari kaidah hukum tersbut.17 Di dalam masyarakat dapat ditemukan 2
macam kaidah hukum, yaitu represif dan restitutive.
Tujuan utama dari sanksi-sanksi kaidah-kaidah hukum jenis yang kedua ini tidak perlu
semata-mata mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya. Tujuan utama
kaidah-kaidah hukum ini adalah untuk mengendalikan kaidah pada situasi semula
(pemulihan keadaan), sebelum terjadi kegoncangan sebagai akibat dilanggarnya suatu kaidah
hukum, kaidah-kaidah hukum tersebut adalah kaidah-kaidah yang resitutif. Kaidah-kaidah

17
Seorjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hal 47

9
tersebut antara lain mencakup hukum perdata, hukum dagang, hukum acara, hukum
administrasi, dan hukum tata negara setelah dikurangi dengan unsur-unsur pidananya.18
1. Efektivitas Perpres 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi luar negeri dan
Undang Undang Keimigrasian Dalam Menangani Pengungsi Illegal.
Tinjaun Umum Hukum Pengungsi
Pengertian “pengungsi” (refugee) dalam Bahasa Indonesia memiliki perbedaan dengan
pengertian “pengungsi” dalam Hukum Pengungsi (Refugee Law)., walaupun memiliki
persamaan. Dalam Bahasa Indonesia pengertian “pengungsi” adalah orang-orang yang
meninggalkan tempat asalnya, baik dalam suatu negara yang sama ataupun antar negara.
Sedangkan menurut Hukum Pengungsi (Refugee Law), hanya menunjuk kepada orang-orang
yang meninggalkan negara asalnya ke negara lain.19
Istilah dan definisi pengungsi ‘refugee’ pertama kali muncul pada waktu Perang Dunia
Pertama, yang dianggap sebagai titik kulminasi dari proses pembangunan sebuah bangsa.
Pada saat itu diperkirakan terdapat tidak kurang 1,5 juta pengungsi.20 Para pengungsi adalah
orang-orang yang sangat miskin dan tidak dapat mencari penghidupan serta memperbaiki
taraf kehidupan mereka tanpa adanya bantuan perlindungan dari negara dimana mereka
berada. Selain itu, kepergian pengungsi tersebut akibat ada paksaan karena tidak dapat
mengurus dokumen perjalanan yang dibutuhkan pada saat perlintasan antar negara.
Pengertian Pengungsi Menurut Konvensi 1951
Setiap negara bertanggung jawab untuk menjamin agar hak warganya dihormati. Oleh
karenanya, perlindungan internasional hanya diperlukan jika perlindungan nasional tidak
diberikan atau tidak ada. Pada saat itu, tanggung jawab utama untuk memberikan
perlindungan internasional kepada pengungsi diberikan kepada setiap negara di dunia,
khususnya negara yang menjadi peserta atau penandatanganan Kovensi 1951 mengenai

18
Ibid
19
Achmad Romsan, Uswandi, M.Djamil Usamy, dan Mada Apriandi Zuhir, Pengantar Hukum Pengungsi
Internasional, UNHCR Regional Representation Jakarta, 2003, hal 27
20
Ibid, hal 28

10
Status Pengungsi dan Protokol 1967. Negara-negara yang merativikasi konvensi tersebut
memiliki kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam konvensi tersebut.
Menurut Konvensi 1951 Pasal 1A ayat (2) pengertian pengungsi (refugee) adalah orang
yang:
“dikarenakan ketakutan yang beralasan akan menerima persekusi karena alasan ras,
agama, kebangsaan, keanggotaanya di dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat
politiknya, berada di luar negaranya dan tidak dapat, dikarenakan ketakutan tersebut,
atau tidak ingin untuk memperoleh perlindungan dari negara tersebut; atau seseorang
yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara tempatnya menetap
sebagai akibat dari peristiwa tertentu, tidak dapat, atau dikarenakan ketakutan tersebut,
tidak ingin kembali ke negaranya.”
Kriteria yang diatur di atas menjadi syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang dalam
menentukan status pengungsi. Tetapi pada Pasal 1D dan 1E, Konvensi 1951 juga mengatur
tentang penolakan status pengungsi bagi seseorang yang memenuhi syarat untuk memperoleh
status pengungsi namum ditolak dengan alasan “tidak memerlukan perlindungan
internasional. Ketentuan-ketentuan ini berlaku untuk:21

1. Orang yang telah menerima perlindungan atau bantuan dari Lembaga PBB selain
UNHCR. Untuk sementara, pengecualian ini berlaku atas pengungsi Palestina. Mereka
yang berada di dalam daerah operasional Bandan Bantuan dan Pembangunan PBB untuk
Pengungsi Palestina dan Timur Dekat (UNRWA) dan yang telah menerima perlindungan
dan bantuan dari UNRWA tidak mendapat bantuan dari Konvensi 1951. Sebaliknya,
pengungsi Palestina yang berada di luar daerah operasi UNRWA dan karenanya tidak
mendapat perlindungan dan bantuan dari UNWRA, akan memperoleh perlindungan dari
Konvensi 1951.
2. Orang yang tidak dianggap memerlukan perlindungan internasional karena mereka telah
diakui oleh aparat negara lain di mana mereka tinggal sekarang dan telah menerima hak
dan kewajiban yang sama dengan warga di negara tersebut.
Selain itu menurut Konvensi 1951 juga mengatur tentang orang-orang yang tidak berhak
mendapat perlindungan internasional. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 1F dan bertujuan
mengecualikan pemberian status pengungsi kepada orang yang tidak berhak memperoleh

21 UNHCR, Pengenalan Tentang Perlindungan Internasional, Departemen Perlindungan Intenasional


UNHCR, Switzerland, 2005, hal 65

11
status itu karena keterlibatannya dalam beberapa tindakan serius untuk dianggap bahwa:22

a. Ia telah melakukan tindakan pidana terhadap perdamaian, tindak pidana perang,


atau tindak pidana terhadap kemanusiaan, sebagaimana didefinisikan dalam
instrumen-intrumen internasional yang dibuat untuk menetapkan ketentuan
mengenai tindak-tindak pidana termaksud
b. Ia telah melakukan tindakan pidana non-politis yang serius di luar negara
pengungsi sebelum ia diterima masuk ke negara itu sebagai pengungsi
c. Ia telah dinyatakan bersalah atas perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pengertian Pengungsi Menurut Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang


Penanganan Pengungsi Luar Negeri
Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri
merupakan pemenuhan amanat dari Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri Pasal 27 dalam mengatur kebijakan penanganan pengungsi. Dalam amanat
Undang-Undang tersebut diatur dalam Keputusan Presiden, tetapi kebijakan penanganan
pengungsi dilakasanakan dalam bentuk Peraturan Presiden. Peraturan Presiden tersebut
mengatur tentang penanganan pengungsi mulai dari pendataan, pemeriksaan, penampungan,
pemindahan, pengawasan, serta pemulangan pencari suaka dan pengungsi ke negara asalnya.
Menurut Peraturan Presiden tersebut pengertian “pengungsi” ialah orang asing yang
berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia disebabkan karena ketakutan yang
beralasan akan persekusi dengan alasan ras, suku, agama, kebangsaan, keanggotaan
kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik yang berbeda serta tidak menginginkan
perlindungan dari negara asalnya dan/atau telah mendapatkan status pencari suaka atau status
pengungsi dari Perserikatan Bangsa- Bangsa melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi
di Indonesia.23

22
Konvensi Mengenai Status Pengungsi, Pasal 1F, Jenewa 28 Juli 1951
23
Peraturan Presiden Republik Indonesia No.125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar
Negeri, Pasal 1 ayat (1), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 368

12
Pengertian Keimgrasian
Istilah imigrasi berasal dari bahasa Latin migratio yang berarti perpindahan orang dari
suatu tempat atau menuju ke tempat atau negara lain. Perpindahan seseorang dari satu tempat
ke tempat lain dibagi menjadi emigratio dan imigratio. Emigratio berarti perpindahan
penduduk dari suatu wilayah keluar menuju wilayah lain dan imigratio berarti perpindahan
penduduk dari suatu wilayah masuk menuju suatu wilayah. Secara etimologi istilah emigrasi,
imigrasi, dan transmigrasi ketiganya berasal dari Bahasa latin migration, yang berarti
perpindahan penduduk.24 Tetapi pengertian dari istilah ‘imigrasi’ tidak sama dengan istilah
‘Keimigrasian’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘Keimigrasian’ berarti
perihal yang berkaitan dengan imigrasi, seluk-beluk imgrasi. Keimigrasian mengatur segala
sesuatu yang berkaitan dalam melakukan migrasi dari satu tempat ke tempat lain.
Menurut Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 1 ayat (9)
perngertian dari Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar
Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.
Undang-Undang tersebut mengatur segala sesuatu yang berkaitan tentang masuk atau
keluarnya seseorang dari wilayah Indonesia. Perihal Keimigrasian yang diatur oleh Undang-
Undang tersebut adalah tata cara orang masuk dan keluar wilayah Indonesia, Dokumen
Perjalanan, Visa, dan Izin Tinggal yang sah dan masih berlaku. Hal tersebut dilakukan untuk
keamanan negara dan menjaga tegaknya kedaulatan negara.
Fungsi Keimigrasian
Fungsi Keimigrasian yang diemban oleh Direktorat Jenderal Imigrasi diatur dalam
Undang-Undang Keimigrasian yaitu pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan
negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat.25 Selain itu, di pihak lain,

24
Jazim Hamidi, dan Charles Christian, Hukum Keimigrasian Bagi Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2015, Hal 1 dalam Lintas Sejarah Imigrasi Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi , Departemen
Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2005, hal 10
25
Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Pasal 1 ayat (3)

13
pengawasan terhadap orang asing perlu lebih ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya
kejahatan internasional atau tindak pidana transnasional, seperti perdagangan orang,
penyelundupan manusia, dan tindak pidana narkotika yang banyak dilakukan oleh sindikat
kejahatan internasional yang terorganisasi. Oleh sebab itu fungsi Keimigrasian di bidang
penegakan hukum dan keamanan negara harus dilaksankan. Hal ini menunjukkan peran
hadirnya negara untuk menciptakan rasa aman di dalam masyarakat.
Pengawasan terhadap orang asing tidak hanya dilakukan pada saat mereka masuk, tetapi
26
juga selama mereka berada di Wilayah Indonesia, termasuk kegiatannya. Pengawasan
Keimigrasian mencakup penegakan hukum Keimigrasian, baik yang bersifat administratif
maupun tindak pidana Keimigrasian. Oleh karena itu, peran PPNS Keimigrasian yang
menjalankan tugas dan wewenang secara khusus sangat di perlukan sesuai dengan amanat
Undang-Undang.
Kebijakan Selektif Keimigrasian (Selective Policy)
Pada saat ini kebijakan Imigrasi yang sedang berlaku adalah kebijakan selektif
Keimigrasian (selective policy). Kebijakan selektif Keimigrasian yang diterapkan di
Indonesia menjunjung tinggi nilai Hak Asasi Manusia. Kebijakan ini mengatur tentang
masuknya atau keluarnya orang asing ke dalam wilayah Indonesia, demikian pula bagi orang
asing yang memperoleh Izin Tinggal di wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud dan
tujuannya berada di Indonesia. Berdasarkan kebijakan dimaksud serta dalam rangka
melindungi kepentingan nasional, hanya orang asing yang memberikan manfaat serta tidak
membahayakan keamanan dan ketertiban umum diperbolehkan masuk dan berada di Wilayah
Indonesia.
Pelaksanaan kebijakan selektif keimigrasian dapat dilihat dari kewenangan dari Pejabat
Imigrasi dalam melakukan penolakan masuk bagi orang asing yang tidak sesuai dengan

26
Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Pasal 66, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216

14
ketentuan Undang-Undang Keimigrasian.27 Penolakan masuk terhadap orang asing yang
hendak masuk merupakan salah satu Tindakan Administrasi Keimigrasian (TAK) yang diatur
dalam Pasal 75 dan Bagian Kesatu Penjelasan UndangUndang No. 6 Tahun 2011, kebijakan
keimigrasian Indonesia untuk orang asing menganut asas kebijakan selektif yang
menegaskan bahwa:
1. hanya orang asing yang bermanfaat yang diperbolehkan masuk dan berada di
wilayah Indonesia
2. hanya orang asing yang tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum
yang diperbolehkan masuk dan berada di wilayah Indonesia
3. orang asing harus tunduk pada peraturan hukum di Indonesia
4. orang asing yang masuk dan berada di wilayah Indonesia harus sesuai dengan
maksud dan tujuannya.
Prinsip ini menjelaskan bahwa hanya orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi
kesejahteraan rakyat, bangsa, dan negara, tidak membahayakan keamanan dan ketertiban,
serta tidak bermusuhan baik terhadap rakyat yang dapat masuk dan keluar wilayah
Indonesia.28 Bahkan dalam tafsir lain, pergerakan orang asing tersebut harus dapat sesuai
dengan ideologi negara dan tidak mengancam keutuhan bangsa.
Kasus Pengungsi dan Imigran ilegal dapat dilihat dengan melihat pada aspek geopolitik
dan biopolitik, keduanya saling berkaitan namun juga keduanya memiliki kontras. Dari segi
geopolitik, pemerintah berupaya menjaga perbatasan mereka dari para pengungsi dan
imigran ilegal karena tidak sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Negara memiliki
kekuasaan dalam mengontrol dan mengizinkan siapa saja yang boleh memasuki wilayah
teritorialnya. Hal ini ditunjukkan dengan ketegasan pemerintah untuk menghentikan kapal-
kapal asing yang berisikan pengungsi dan imigran ilegal karena tidak memiliki dokumen

27
Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Pasal 13, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216
28
Muhammad Indra. 2015, Perspektif Penegakan Hukum dalam Hukum Keimigrasian Indonesia. Jakarta:
Direktorat Jenderal Imigrasi.

15
yang dibutuhkan untuk bisa masuk ke Indonesia. Tidak semuanya dilarang untuk memasuki
wilayah Indonesia, beberapa kapal yang berisikan pengungsi dan imigran ilegal yang datang
ke wilayah Indonesia juga diizikan untuk masuk. Kebijakan untuk melarang masuknya kapal
tersebut dilakukan untuk menghindari eksodus pengungsi dan imigran ilegal yang tidak
mungkin semuanya bisa ditampung di Indonesia karena keterbatasan biaya pula yang
dimiliki oleh Indonesia serta menghindari ketidakstabilan keamanan dan kehidupan sosial di
masyarakat.
Maka efektivitas dari suatu regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terdapat beberapa
perbedaan pengaturan dan pertentangan norma antara Peraturan Presiden No.125 Tahun
2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri dengan peraturan hukum lain yang lebih
tinggi, begitu juga dengan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi tentang Penanganan Imigran
Ilegal yang menjadikan kebingungan dan disefeksi regulasi terhadap masuknya orang asing
di Indonesia yang menyatakan diri Sebagai Pencari Suaka Atau Pengungsi.
2. Perbandingan Perpres 125 Dan Undang-Undangan Keimigrasian Dalam Menangani
Pengungsi Ilegal
Hirarki Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Luar
Negeri Dan Undang-Undang No.6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian

Pada saat ini pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku saat ini diatur
dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Pasal 7 ayat (1) yang tersusun atas Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sehingga secara
hierarki kedudukan dari Peraturan Presiden lebih rendah dari pada kedudukan Undang-
Undang.
Tetapi faktanya terjadi ketidaksesuaian antara peraturan tersebut dengan Undang-Undang
Keimigrasian. Hal itu di sebabkan Undang-Undang Keimigrasian tidak menjadi sumber atau

16
dasar landasan pembentukan Peraturan Presiden tersebut. Berdasarkan teori jenjang norma
hukum Hans Kelsen menyebutkan bahwa suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber
dan berdasar ada norma yang lebih tinggi agar menciptakan kesesuaian antara norma-norma
hukum yang sedang berlaku.
Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri
memilik kedudukan yang lebih rendah dari pada Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian. Seharusnya Peraturan Presiden tersebut tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Keimigrasian. Menurut Peraturan Presiden tersebut, Pemerintah Indonesia seolah-
olah memiliki kewajiban dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi seperti negara-
negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Pada
kenyataanya Pemerintah Indonesia bukanlah salah satu negara yang meratifikasi Konven
1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.

Perbandingan Hukum Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan


Pengungsi Luar Negeri dalam Perspektif Keimigrasian
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut telah diatur dalam UUD 1945
Pasal 1 ayat (3) setelah diamandemen pada tanggal 10 Nopember 2001. Penegakan
konstitusi ini bermakna, bahwa segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan,
kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum yang berlaku. Oleh
sebab itu, hukum tersebut dapat menciptakan ketertiban, kedamaian, ketentraman,
kebahagian, dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, untuk menjaga dan
mencegah setiap orang untuk tidak menjadi hakim terhadap diri sendiri.
Indonesia juga mengenal asas legalitas dengan adagium Von Freuebach yang berbunyi
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Adagium tersebut berarti “tidak ada
delik, tidak ada hukuman tanpa didasari peraturan yang mendahuluinya “. Suatu delik hanya
dapat dianggap sebagai kejahatan jika telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik
untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan. Sehingga segala sesuatu perlu ada

17
hukum yang mengatur dan yang mengikat.
Pengaturan hukum yang berlaku di Indonesai diatur dalam susunan hierarki Peraturan
Perundang-Undangan. Pengaturan tersebut diatur mulai kedudukan yang tertinggi hingga
ke kedudukan yang lebih rendah. Setiap peraturan yang dimuat dalam jenjang hierarki
tersebut berkekuatan hukum tetap dan bersifat mengatur. Sehingga setiap peraturan-
peraturan yang berlaku harus berkesesuaian yang tiap jenjangnya. Kesesuaian tersebut tidak
hanya dengan peraturan turunan di bawahnya, tetapi juga berkesesuaian dengan peraturan-
peraturan atau hukum positif lainnya yang sedang berlaku.
Hukum positif adalah hukum yang berlaku di suatu negara atau masyarakat tertentu
pada saat tertentu. Dengan demikian dalam kehidupan masyarakat Indonesia hukum positif
adalah hukum yang berlaku di Indonesia pada waktu ini. Hukum positif disebut juga ius
constitutum yang berarti kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang
berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui
pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia.29
Setelah melihat definisi-definisi hukum, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum
positif meliputi beberapa unsur, yaitu:30
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
b. Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan bersifat memaksa
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas
Ketentuan yang mengatur mengenai masuk dan keluar orang dari/ke wilayah Indonesia diatur
dalam Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Setiap orang yang hendak
masuk dan keluar wajib melalui pemeriksaan Keimigrasian di TPI. Penulis akan
membandingkan Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi

29 I. Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di Indonesia,


Bandung: PT. Alumni, 2008, hal. 56
30 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,.Jakarta: Balai Pustaka,1989,
hal. 39

18
Luar Negeri dengan Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian berserta
dengan peraturan turunan lainnya sebagai berikut:

19

Anda mungkin juga menyukai