Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT ANALITIS

MENURUT LUDWIG WITTGENSTEIN :


RELEVANSINYA BAGI PENGEMBANGAN
PRAGMATIK*
Kaelan * *

ABSTRAK

Filsafat Wittgenstein dibagi menjadi dua periode, periode pertama berjudul Tractatus
Logico-Philosophicus ( 1922), yang intinya tentang teori gambar (picture theory) dan
mengungkapkan tentang logika bahasa . Menurut Wittgenstein, hakikat bahasa merupakan
gambaran logis dunia empiris, yang tersusun atas proposisi-proposisi dan menggambarkan
'keberadaan suatu peristiwa' (state of offairs) .
Filsafat Wittgenstein periode kedua adalah Philosophical Investigations (1953), yang
memuat tentang 'permainan bahasa' (language games) . Menurut Wittgenstein, bahasa
digunakan manusia dalam berbagai bidang kehidupan, dan dalam setiap kehidupan manusia
itu memiliki aturan penggunaan masing-masing .
Filsafat Wittgenstein tersebut relevan bagi pengembangan dasar filosofis pragmatik .
Prinsip dalam permainan bahasa tersebut relevan bagi pengembangan dasar filosofis
pragmatik, balk menyangkut aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologis .

PENGANTAR Salah satu tokoh filsafat analitis yang


memiliki konsep yang lengkap dan inovatif
erkembangan filsafat analitis dilatar-

P belakangi oleh adanya kekacauan


bahasa filsafat . Banyak teori serta
konsep filsafat dipaparkan dengan bahasa
adalah Ludwig Wittgenstein, dengan dua
buah karya besarnya Tractatus Logico-
Philosophicus dan Philosophical Investi-
gations . Seluruh filsafat menurut Wittgenstein
yang membingungkan, bahkan semakin jauh
hanya merupakan suatu metode, yaitu cri-
dari bahasa sehari-hari (Bakker, 1984 :122) .
tique of language (Bakker, 1984 :125) . De-
Dalam mengatasi kekacauan bahasa filsafat
ngan metode itu, akan semakin terbuka
tersebut, tampillah tokoh yang pertama kali
kemungkinan untuk melakukan kritik terha-
meletakkan dasar-dasar filsafat analitis, yaitu
dap pemikiran filsafat dan akan semakin
G .E . Moore, yang mengembangkan tradisi
dapat diketahui kejelasan konsep-konsep
analitika bahasa sebagai reaksi terhadap
aliran idealisme yang berkembang di Inggris yang bermakna atau tidak bermakna
saat itu, melalui karyanya Principia Ethica (Charlesworth, 1959 :111 ; Bakker, 1984 :123,
124) .
(Moore, 1954) .

* Disertasi dalam bidang filsafat bahasa yang dipertahankan di depan dewan penguji tanggal
20 Juni 2003 dengan Prof . Dr. Endang Daruni Asdi sebagai Promotor, Prof . Dr. R . Soejadi, S .H .
sebagai Ko-Promotor I, dan Prof. Dr. I . Dewa Putu Wijana, S .U ., M .A. sebagai Ko-Promotor II .
** Staf Pengajar Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

133
Humaniora Volume 16, No . 2, Juni 2004 : 133-146

Kekacauan dan kekurangjelasan peng- 1. Bagaimanakah hakikat realitas bahasa


gunaan bahasa dalam filsafat itu sampai saat merupakan suatu gambaran realitas
ini masih dirasakan . Berdasarkan peng dunia dan bagaimana konsekuensinya
amatan sementara, filsafat dipandang se- terhadap struktur bahasa, batas-batas
bagai ilmu yang sulit, membingungkan, dan bahasa, dan ungkapan yang bermakna?
kurang jelas makna yang diungkapkannya, 2. Bagaimanakah hubungan ungkapan
sehingga banyak orang mengalami kesulitan bahasa dengan pikiran manusia yang
mempelajari filsafat . Kekurangjelasan peng- tertuang dalam logika bahasa serta
ungkapan konsep filsafat tersebut disebabkan pengaruhnya terhadap struktur bahasa?
oleh kekacauan penggunaan ungkapan 3. Bagaimanakah hakikat kedudukan
bahasa sehingga jika hal ini berlangsung analitika bahasa sebagai metode dalam
secara terus-menerus, dimungkinkan ilmu filsafat dan bagaimana konsekuensinya
filsafat akan tersingkir dari khasanah kajian terhadap penggunaan bahasa dalam
ilmiah . Melalui karyanya yang pertama, filsafat?
Wittgenstein mengajukan konsep pemikiran 4. Bagaimanakah hakikat nilai makna
tentang bahasa ideal yang merupakan bahasa serta peranannya dalam kehidup-
bahasa yang memenuhi formulasi logis, yang an manusia . Bagaimanakah arti dan
dijelaskan sebagai suatu gambaran realitas aturan penggunaan bahasa dalam
dunia empiris (Nuchelmans dalam Bakker berbagai aspek kehidupan manusia?
1984 :129). Dalam karya kedua, Wittgenstein 5. Bagaimanakah relevansi filsafat analitis
mengajukan konsep'tata permainan bahasa' Wittgenstein terhadap pengembangan
(language games) yang digunakan dalam ber- aksiologi bahasa dalam filsafat bahasa?
bagai macam konteks kehidupan manusia . 6. Bagaimanakah relevansi filsafat analitis
Sejak perkembangan ilmu bahasa modern Wittgenstein terhadap pengembangan
yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure dasar filosofis pragmatik?
dengan bukunya Course in Generale Linguis-
tics (1916), kajian tentang hakikat bahasa Menurut Koren, dalam bukunya Research
in Philosophy, penelitian ini termasuk jenis
lebih menekankan aspek struktur yang
penelitian historical studies (Koren, 1966 :
terlepas dari konteks kehidupan manusia
151), yang memfokuskan pada pemikiran
sebagai penutur bahasa . Ilmu bahasa dalam
seorang tokoh filsafat analitis tentang makna
dua dasawarsa yang silam tidak memberikan
bahasa . Namun, penelitian kemudian dilanjut-
perhatian terhadap aspek pragmatis bahasa
kan dengan critique of the sciences (Koren,
dalam kehidupan manusia (Wijana, 1996 :3) .
1966 :151) . Artinya, implikasi pemikiran filo-
Oleh karena itu, dewasa ini berkembanglah
sofis tersebut memiliki kontribusi terhadap
kajian pragmatik bahasa, yaitu kajian bahasa
pengembangan dalam bidang ilmu bahasa .
yang menekankan pada objek material
Berdasarkan tipologi penelitian tersebut,
bahasa yang digunakan dalam kehidupan metode yang digunakan adalah sebagai '
manusia . Berdasarkan perkembangannya, berikut .
kajian pragmatik diilhami oleh pemikiran
1 . Metode analisis, yang digunakan untuk
filsafat bahasa, terutama para tokoh filsafat
mendeskripsikan, membahas, dan men-
analitis yang mengembangkan tradisi
jelaskan secara objektif konsep-konsep
Wittgentsein . Berdasarkan permasalahan
Wittgenstein berdasarkan ciri-ciri, kate-
tersebut, konsep filsafat analitis menurut
gori, serta kekhususannya .
Wittgenstein penting untuk diteliti, kemudian
2 . Metode kesinambungan historis, yaitu
secara heuristis dikembangkan relevansinya
untuk mengungkap pemikiran Wittgen-
bagi pengembangan filsafat bahasa dan
stein sepanjang sejarah (Bakker dan
dasar filosofis pragmatik .
Zubair, 1990 :47), baik menyangkut latar
Berdasarkan latar belakang tersebut di
belakang munculnya pemikiran Wittgen-
atas dapat dirumuskan permasalahan
stein, aliran filsafat yang mempenga-
sebagai berikut .
ruhinya, maupun tahapan pemikirannya .

1 34
Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

3 . Metode interpretasi, yaitu untuk meng- pada formulasi logika dan analisis yang men-
ungkap makna dan nilai yang terkan- dasarkan pada bahasa sehari-hari . Hal ini
dung dalam konsep karena adanya di- mengingat tipologi karya filsafat Wittgenstein
mensi waktu dan penggunaan bahasa periode pertama mendasarkan pada logika
sebagai ekspresi manusiawi . Metode ini bahasa dan kedua mendasarkan pada tata
tidak dapat dipisahkan dengan metode permainan bahasa sehari-hari .
hermeneutika . Dengan demikian, pemi- Dalam hubungannya dengan objek ma-
kiran Wittgenstein dapat dipahami terial berupa ungkapan bahasa, Reichling
sesuai dengan pemikiran masa kini menjelaskan bahwa bahasa memiliki unsur
(Daruni Asdi, 1997 :14). struktur yang bersifat empiris dan makna
4 . Metode komparasi, yaitu langkah meto- yang bersifat abstrak (Reichling, 1971 :15),
dis dalam penelitian filsafat untuk mem- sedangkan hubungan dengan ilmu bahasa
bandingkan pemikiran Wittgenstein beserta pengembangannya didasarkan pada
dengan pemikiran filsafat lainnya agar landasan teori ilmiah filosofis, yaitu landasan
diperoleh pemahaman pemikiran ontologis, epistemologis, dan aksiologis
Wittgenstein secara utuh . (Suriasumantri, 1985 :33) .
5. Metode sintesis diterapkan untuk men-
dapatkan pengetahuan yang lengkap PEMIKIRAN FILSAFAT WITTGENSTEIN
dan sistematis, yaitu dengan cara me- Pemikiran filsafat analitis Wittgenstein
nyatukan konsep-konsep yang memiliki merupakan karya filsafat yang inovatif, yang
ciri-ciri serta kategori yang sama . dipengaruhi oleh konsep G .E . Moore,
Sintesis dilakukan berdasarkan suatu Bertrand Russell, dan Gottlob Frege. Karya
penalaran induktif aposteriori (Wibisono, Filsafat Wittgenstein dibagi atas dua periode,
1982 :11) . periode pertama Tractatus Logico-Philoso-
6. Metode heuristika, yaitu metode untuk phicus (1922) dan periode kedua Philosophi-
menemukan suatu jalan baru dalam su- cal Investigations (1953). Kedua karya filsafat
atu ilmu pengetahuan . Melalui metode tersebut memiliki perbedaan substansial,
ini prinsip-prinsip pemikiran Wittgenstein terutama berkaitan dengan objek materialnya,
dapat dikembangkan lebih lanjut rele- tetapi diuraikan dalam suatu pemikiran yang
vansinya bagi filsafat bahasa dan dasar sistematis .
filosofis pragmatik . Tractatus Logico-Philosophicus merupa-
Filsafat analitis sebagai objek material kan suatu karya filsafat yang singkat dan
penelitian ini didasarkan pada teori G .E . padat, serta disajikan dalam suatu deskripsi
Moore, yaitu suatu pemikiran baru yang yang unik, yaitu dengan sistem notasi angka
melakukan analisis bahasa untuk mencari dengan menunjukkan prioritas logis dari
makna ss uatu ungkapan filsafat (Charles- proposisi-proposisinya . Inti filsafat Tractatus
worth, 1959 :12) . Analisis pengertian dilaku- adalah picture theory yang menguraikan
kan dengan bertolak dad definiendum suatu logika bahasa . Menurut Wittgenstein hakikat
ungkapan yang harus ditentukan batasannya, L ahasa merupakan gambaran logis realitas
diuraikan menjadi definiens, yaitu batasan dunia (Wittgenstein, 1961 :67) . Hakikat dunia
yang diperoleh . Penguraian lebih lanjut ber- merupakan keseluruhan fakta-fakta dan
tolak dari analysandum, yaitu konsep yang bukannya benda-benda (Wittgenstein,
dianalisis, yang diuraikan menjadi analysans, 1961 :31), dan dunia terbagi menjadi fakta-
yaitu uraian yang lebih jelas yang setara fakta (Wittgenstein, 1961 :31) . Adapun fakta
secara logis (Heraty, 1984 :73) . merupakan states of affairs, yaitu suatu
Teori tentang filsafat analitis tersebut keberadaan peristiwa .
digunakan sebagai landasan dalam peneliti- Oleh karena itu, satuan bahasa yang
an Filsafat Analitis Wittgenstein . Dalam menggambarkan dunia tersebut merupakan
pembahasannya, penelitian juga mendasar- suatu proposisi-proposisi . Proposisi-propo-
kan pads teori analisis yang mendasarkan sisi itu bersifat kompleks dan tidak terbatas,

1 35
Humaniora Volume 16, No . 2, Juni 2004 : 133-146

yang tersusun atas proposisi yang paling kecil Wittgenstein mendasarkan pemikirannya
yang disebut proposisi elementer atau pada satu bahasa ideal yang memenuhi sya-
proposisi atomis . Proposisi atomis meng- rat logika, pemikiran periode kedua justru
gambarkan satu fakta atomis (Poerwo- mendasarkan pada bahasa biasa yang ber-
widagdo, 1972 :21). Proposisi elementer ter- sifat beraneka ragam . Dalam pemikiran ke-
susun atas "nama-nama" yang merupakan dua, Wittgenstein mengakui kelemahan
unsur satuan logis sehingga nama akan konsep pertamanya dan melakukan kritik,
memiliki makna dalam hubungannya dengan tetapi is meletakkannya pada formulasi
proposisi . Totalitas dari proposisi adalah pemikiran yang sistematis .
bahasa yang menggambarkan realitas dunia . Inti pemikiran Wittgenstein periode
Gambaran tersebut merupakan gambaran kedua adalah 'tata pem,ainan bahasa' (lan-
logis dan bentuk pictorial dari realitas yang guage games) . Hakikat bahasa adalah
diwakilinya (Ayer, 1986 :17) . Kesesuaian penggunaannya dalam berbagai macam
antara proposisi dengan realitas tersebut konteks kehidupan manusia . Oleh karena itu,
tidak hanya menyangkut hubungan pictorial terdapat banyak permainan bahasa yang
saja, tetapi juga menyangkut situasinya sifatnya dinamis, tidak terbatas sesuai
(Pitcher, 1964 :77) .
dengan konteks kehidupan manusia . Setiap
Sebuah gambaran logis tentang kenya-
konteks kehidupan manusia menggunakan
taan merupakan sebuah pikiran dan di dalam
satu bahasa tertentu, dengan menggunakan
sebuah proposisi sebuah pikiran mendapat-
aturan penggunaan yang khas dan tidak
kan sebuah ungkapan yang dapat diamati
sama dengan konteks penggunaan lainnya .
dengan indra (Wittgenstein, 1961 :3) . Hal ini
Berdasarkan macamnya, terdapat banyak
mengandung makna bahwa sebuah proposisi
penggunaan bahasa yang masing-masing
itu menggambarkan sebuah fakta realitas
memiliki aturan sendiri-sendiri dan hal itu
dunia empiris . Konsekuensinya proposisi
merupakan suatu nilai . Misalnya, pengguna-
yang tidak menggambarkan realitas dunia
an bahasa dalam memberikan perintah dan
empiris adalah proposisi yang tidak bermak-
na karena tidak mengungkapkan apa-apa . mematuhinya, melaporkan suatu kejadian,
berspekulasi mengenai suatu peristiwa,
Berdasarkan teori gambar tersebut,
menyusun cerita dan membahasnya, ber-
Wittgenstein berkeyakinan bahwa ungkapan
metafisis itu tidak mengungkapkan realitas main akting, membuat lelucon, berterima
fakta sehingga tidak bermakna . Dalam kasih, berdoa, menguji suatu hipotesis dan
hubungannya dengan ungkapan yang ber- penggunaan bahasa lainnya (Wittgenstein,
hubungan dengan Tuhan, estetika, dan etika, 1983 :23) .
Wittgenstein menyebutnya bersifat "mistis" . Oleh karena itu, Wittgenstein berke-
Pemikiran Wittgenstein periode pertama simpulan bahwa makna sebuah kata adalah
ini dengan kuat mempengaruhi paham penggunaannya dalam kalimat, makna
positivisme logis, suatu kelompok ilmuwan sebuah kalimat adalah penggunaannya
positif yang berpusat di Wina . Teori gambar dalam bahasa, dan makna bahasa adalah
dan logika bahasa digunakan sebagai dasar penggunaannya dalam berbagai konteks
prinsip verifikasi dalam ilmu pengetahuan kehidupan manusia . Dalam hubungan ini
yang sampai saat ini masih besar pengaruh- konteks penggunaan logika bahasa sebagai-
nya di seluruh dunia. Dalam hubungan dengan mana terdapat dalam Tractatus merupakan
metafisika, positivisme logis bersikap lebih satu macam permainan bahasa tersendiri .
radikal dibandingkan Wittgenstein, yaitu Dalam pemikirannya yang kedua ini,
ingin menghilangkan metafisika . Wittgenstein tidak lagi mendasarkan pada
Pemikiran Wittgenstein periode kedua, bahasa ideal dan logis, tetapi mengembang-
Philosophical Investigations, tidak mendasar- kan pemikiran tentang pluralitas bahasa
kan pads logika bahasa, tetapi pada bahasa dalam kehidupan manusia
biasa yang dipakai manusia dalam kehidupan Pemikiran filsafat Wittgenstein periode
sehari-hari . Jika pada periode pertama kedua ini berpengaruh terhadap muncul-

136
Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

nya aliran filsafat bahasa biasa (Ordinary nya, yaitu fungsi penggunaannya dalam
Language Philosophy) dan postmodemisme . hidup manusia . Setelah pemikiran Wittgen-
Aliran filsafat bahasa biasa ini berkembang stein periode kedua tersebut kemudian
di Eropa terutama di Inggris dan Amerika, bermunculan filsuf-filsuf filsafat bahasa biasa,
serta memiliki pemikiran filsafat yang ber- seperti Gilbert Ryle, J .L . Austin, R F. Straw-
aneka ragam . Berdasarkan sejarah per- son, dan John Wisdom di Inggris, kemudian
kembangan linguistik pragmatik, pemikiran berkembang juga ke Amerika Serikat dengan
filsafat bahasa biasa inilah yang merupakan tokoh-tokohnya, antara lain Max Black, John
inspirasi dikembangkannya pragmatik . Searle, H .P. Grice, Norman Malcom, dan
Filsafat analitis Wittgenstein tersebut W .P. Alston (Poerwowidagdo, 1972 :34) .
relevan bagi pengembangan filsafat bahasa . Tokoh pragmatik Inggris yang juga seorang
Secara ontologis dalam hakikat bahasa ter- filsuf bahasa menegaskan bahwa linguistik
kandung nilai sehingga relevan jika dikem- berkembang ke arah suatu bidang yang
bangkan "aksiologi bahasa", yang mendes- belum dikaji oleh kalangan linguis, yaitu
kripsikan nilai bahasa dalam berbagai ma- disiplin yang menyangkut bentuk, arti, dan
cam konteks kehidupan manusia . Aspek lain konteks (Leech, 1983 :2) . Perkembangan
yang relevan untuk dikembangkan adalah yang cukup radikal terjadi di Amerika sebagai
'Teologi gramatikal', yaitu salah satu bidang reaksi terhadap konsep sintaksisme model
kajian bahasa pada penggunaannya dalam Chomsky, yang mengembangkan seluruh
kehidupan religius . ilmu linguistik, termasuk fonologi dan seman-
Pemikiran Wittgenstein tersebut secara tik, dianggap relevan dalam kerangka
heuristis relevan bagi pengembangan dasar sintaktik . Reaksi yang keras muncul dari
filosofis pragmatik yang meliputi aspek onto- George Lakoff dan Robert Ross yang mene-
logis, epistemologis, dan aksiologis . Bahasa gaskan bahwa kajian sintaksis tidak dapat
sebagai objek material filsafat dan ilmu dipisahkan dengan pemakaian bahasa
pengetahuan secara objektif memiliki nilai, (Leech, 1983 :2 ; Purwo, 1990 :10 ; dan Wijana,
yang terkandung dalam aturan penggunaan 1996 :4) . Perkembangan pragmatik menemu-
bahasa dalam berbagai konteks kehidupan kan bentuknya tatkala John Searle mengem-
bongkan Speech Act (1969) sehingga bidang
manusia . Perspektif nilai yang terkandung
dalam bahasa itulah yang secara filosofis ini merupakan suatu bidang baru dalam
merupakan sumber kajian pragmatik sehing- bidang kajian bahasa dalam hubungannya
ga selanjutnya dapat dikembangkan sebagai dengan penggunaannya dalam komunikasi
kehidupan manusia.
suatu bidang kajian empiris . Hal itu menun-
jukkan bahwa kajian bahasa bersifat'ideogra- Ketika pendahulu linguistik, seperti Ross
fik', yaitu mendeskripsikan suatu objek dan dan Lakoof, menancapkan klaim dalam prag-
matik pada akhir tahun 1960-an, mereka
bukannya bersifat nomotetik, yaitu mencari
menemukan adanya suatu persilangan yang
hukum-hukum yang bersifat alamiah dan
relevan dari ahli filsafat bahasa yang sejak
tetap .
lama telah mengembangkan aspek peng-
gunaan bahasa dalam kehidupan manusia .
RELEVANSI FILSAFAT WITTGENSTEIN
Kenyataan pengaruh ini diakui oleh Leech
TERHADAP PENGEMBANGAN
bahwa inspirasi perkembangan pragmatik
PRAGMATIK
telah dirintis oleh ahli filsafat bahasa, seperti
Pemikiran filsafat Wittgenstein periode Austin (1962), Searl (1969) dan Grice (1975)
kedua tentang Philosophical Investigations, (Leech, 1983 :2) . Sesuatu yang dikembang-
yang mengembangkan teori language games kan oleh para ahli filsafat tersebut merupakan
merupakan sumber teori bagi perkembangan suatu lahan yang sangat luas bagi pem-
filsafat berikutnya yang populer dikenal bahasan semantik bagi pengembangan
dengan filsafat bahasa biasa . Bahasa tidak linguistik terutama pragmatik . Linguistik yang
hanya dikaji dari aspek struktural formal selama ini diwarnai oleh kajian yang bersifat
belaka, tetapi juga berdasarkan fungsi hakiki- struktural dan sintaktik menemukan suatu

1 37
Humaniora Volume 16, No . 2, Juni 2004: 133-146

wilayah baru yang sangat luas yang merupa- matif, kemudian tindak tuturan lokusi, ilokusi,
kan bidang kajian makna bahasa dalam dan perlokusi (Wijana, 1996 :17-19, 29).
hubungannya dengan pragmatik . Wilayah
baru tersebut dalam kenyataannya bukanlah Aspek Ontologis
ditemukan oleh para ahli linguistik, melainkan
oleh para ahli filsafat bahasa . Refleksi mereka Perkembangan kajian linguistik pragma-
pada fenomena bahasa memiliki dampak tik merupakan suatu kenyataan yang tidak
bisa dielakkan oleh para pakar linguistik .
signifikan dan permanen pada perkembangan
Konsep struktural linguistik modern yang
linguistik modern secara khusus pragmatik
bersumber pada teori linguistik Saussure
(Mey, 1993 :22) .
dengan konsep large, langage, dan parole
Pada awalnya ahli filsafat bahasa me-
tidak mampu mengungkapkan makna haki-
nyibukkan diri dengan masalah bahasa dan
kat bahasa bagi kehidupan manusia
mengkonsentrasikan diri pada hubungan
(Saussure, 1916) . Kalangan linguis struktural
antara ungkapan bahasa yang didefinisikan mengembangkan konsep ontologis, bahwa
secara logika dengan kalimat dalam bahasa hakikat bahasa sebagai kajian ilmiah meru-
alami . Para tokoh yang mengembangkan pakan suatu entitas yang terlepas dengan
pemikiran, ini antara lain Bertrand Russell, manusia . Menurut kalangan strukturalisme,
Ludwig Wittgenstein, Rudolf Carnap, serta linguistik mengkaji bahasa sebagai bahasa,
para tokoh positivisme logis . Para tokoh ini yang merupakan suatu gejala empiris dan
berpendirian bahwa penggunaan bahasa dapat diuji secara empiris pula . Secara onto-
yang benar senantiasa dikaitkan dengan logis kalangan strukturalis memahami bahasa
justifikasi kebenaran logika . sebagai suatu entitas alamiah yang terlepas
Pemikiran ini menjadi pudar setelah dari manusia, seperti gejala-gejala alam lain-
munculnya pemikiran filsafat Wittgenstein, nya . Jika demikian halnya, kalangan struktu-
philosophical investigations, yang mengem- ralis gagal mendeskripsikan bahasa secara
bangkan paradigma yang berlawanan kausalitas . Tanpa pendekatan kausalitas,
dengan bahasa ideal berdasarkan logika . bahasa hanya merupakan letupan bunyi
Pada pemikirannya yang kedua ini, Wittgen- yang tidak memiliki makna, baik internal
stein justru mendasarkan objek material maupun ekstemal .
filsafatnya pada bahasa sehari-hari . l a me- Kehadiran bidang pragmatik dalam
lakukan pengamatan pada bahasa sehari-han linguistik menjanjikan dimensi baru dalam
yang digunakan oleh manusia. Sejak pemi- bahasa, yaitu dalam hubungannya dengan
kiran ini, berkembang paham filsafat yang penggunaan dalam kehidupan manusia . Me-
mendasarkan pada objek material bahasa nurut Leech, pragmatik tidak hanya berkaitan
sehari-hari sehingga populer disebut sebagai dengan data fisik bahasa, tetapi juga berkait-
filsafat bahasa biasa . Seorang tokoh yang an dengan bentuk, makna, dan konteks
(Leech, 1983 :2) . Sementara itu, Firth mene-
menentang secara keras terhadap bahasa
dalam hubungannya dengan logika adalah kankan bahwa kajian bahasa harus senan-
tiasa mempertimbarigkan konteks, situasi
J .L . Austin . la mengembangkan filsafat
yang,meliputi partisipasi, tindakan partisipasi
bahasa biasa yang dipelopori oleh Wittgen-
baik tindak verbal maupun nonverbal, ciri-ciri
stein . Karya yang sangat populer dari Aus-
situasi lain yang relevan dengan hal yang
tin adalah How to Do Things with Words
sedang berlangsung dan dampak tindakan
(Mey, 1993 :23) . Selain sebagai tokoh filsafat
tutur yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk
bahasa biasa, is juga berjasa meletakkan perubahan yang timbul akibat tindakan
dasar-dasar pemikiran filosofis pada pengem- partisipan . Dalam hubungan ini, Haliday
bangan linguistik pragmatik (Mey, 1993 :22), memandang bahwa studi bahasa adalah
bahkan banyak buah pemikirannya diangkat sistem makna yang membentuk budaya
dalam studi linguistik pragmatik, antara lain manusia dan berkaitan dengan struktur
macam-macam ungkapan tuturan bahasa sosial (Haliday & Hasan dalam Wijana,
seperti tuturan konstatif dan tuturan perfor- 1996 :5) .

1 38
Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

Secara ontologis Wittgenstein meletak- Aspek Epistemologis


kan dasar-dasar pragmatik yang lebih kom-
pleks karena bahasa tidak hanya dipahami Pendekatan kalangan strukturalis mene-
dalam hubungannya dengan tindak tutur, kankan pada aspek empiris serta struktur
konteks, situasi serta akibat dari tindak tutur, formal bahasa sebagai objek kajian . Bahasa
tetapi jauh lebih luas . Konsep language sebagai objek kajian adalah eksistensi
games memberikan dasar filosofis bahwa bahasa yang tidak memiliki hubungan
hakikat makna bahasa adalah pengguna- kausalitas dengan hakikat manusia dan
annya dalam kehidupan manusia yang kehidupannya . Bahasa sebagai objek mate-
bersifat kompleks, spontan, tidak terbatas, rial memiliki ciri empiris dan dapat diverifikasi
serta beragam (Wittgenstein, 1983 :23) . secara empiris pula . Secara tidak langsung
Selanjutnya Wittgenstein menjelaskan bah- pendekatan epistemologis kalangan struk-
wa dalam berbagai bidang kehidupan, turalis bersifat positivistik . Menurut kalangan
manusia senantiasa menggunakan suatu strukturalis, bahasa sebagai suatu sumber
permainan bahasa tertentu dan beragam se- pengetahuan, sepadan dengan gejala-gejala
hingga antara yang satu dan lainnya memiliki alam lainnya, sehingga dapat diterapkan
perbedaan . Wittgenstein memberikan bebe- verifikasi sebagaimana dilakukan pada ilmu-
rapa contoh permainan bahasa dalam ke- ilmu alam, menurut istilah positivisme logis
hidupan manusia, antara lain memberi adalah prinsip fisikalisme . Model epistemo-
perintah dan mematuhinya, menjabarkan logi strukturalisme tampak adanya ciri-ciri
penampakan suatu objek atau memberikan realistik, empiris, dan cenderung membangun
suatu pengukuran, melaporkan suatu keja- suatu teori . Pendekatan epistemologis
dian, berspekulasi mengenai suatu peristiwa, semacam ini, sebagaimana dikembangkan
membentuk dan menguji suatu hipotesis, oleh Reichenbach (1938), menekankan
menyusun cerita dan membacanya, bermain bahwa tugas ilmu pengetahuan pada haki-
akting, menyanyi, menebak teka-teki, mem- katnya membangun suatu teori ilmu yang
buat lelucon dan menceritakannya, meme- bertolak dari Lebenswelt. Sementara itu,
cahkan soal matematika, bertanya, berterima Toulmin (1953) menegaskan bahwa tugas
kasih, memaki, menyambut, dan berdoa ilmu pengetahuan adalah membangun sistem
(Wittgenstein, 1983 :23) . Secara ontologis ide-ide tentang semesta sebagai suatu
hakikat permainan bahasa menunjukkan rpalitas, dan sistem tersebut menyajikan
hakikat kehidupan manusia dalam hubung- teknik-teknik yang bersifat'ajeg' dalam mem-
annya dengan diri sendiri, orang lain, masya- pr`oses data dan diterima sesuai dengan
rakat, alam serta terhadap Tuhan . Berdasar- Weltanschauung-nya . Oleh karena itu, tugas
kan sifat hakikat permainan bahasa tersebut ilmu pengetahuan adalah membangun teori-
dapat disimpulkan bahwa Wittgenstein teori yang terdiri atas hukum-hukum, hipo-
mengembangkari prinsip pluralitas bahasa . tesis-hipotesis, serta ide-ide tentang semes-
Oleh karena itu, kajian bahasa tidak lagi ta yang tertata secara hierarki . Menurut
TQulmin, teori-teori bersifat instrumentalistik,
berupaya untuk mencari hukum-hukum,
tetapi mendeskripsikan permainan bahasa teori hanyalah hukum-hukum untuk mem-
bUat suatu inferensi . Berdasarkan teori
dalam kehidupan manusia . Hal inilah yang
merupakan fungsi hakiki bahasa bagi positivistik tersebut, sifat ilmu pengetahuan
manusia . nienjadi nomothetik ( Muhajir, 1996 :13-14) .
Berdasarkan deskripsi tersebut, secara Berkaitan dengan tinjauan epistemologis
tersebut, linguistik struktural berupaya untuk
ontologis hakikat keberadaan bahasa tidak
dapat hanya dijelaskan secara empiris par- mengembangkan teori-teori serta hukum-
sial ataupun secara behavioristik, tetapi hukum sintaksis, morfologi, serta fonologi
sebagai hasil kajian objek bahasa yang
senantiasa memproyeksikan kehidupan
manusia sebab terdapat banyak dimensi bersifat empiris . Jika demikian halnya, sebe-
narnya kajian ilmu bahasa tidak pernah
bahasa yang tidak dapat dijelaskan melalui
menyentuh tataran semantik . Betapapun
suatu perspektif behavioristik.

139
Humaniora Volume 16, No. 2, Juni 2004 : 133-146

kalangan strukturalis memberikan istilah diri dan berbeda antara satu dengan lainnya .
semantik gramatikal, hal itu merupakan suatu Oleh karena itu, fenomena bahasa yang
pemerkosaan terhadap realitas bahasa yang menunjukkan kehidupan manusia ini sifatnya
bersifat ganda. sangat beraneka ragam, bersifat spontan dan
Dominasi dan pemaksaan ilmu oleh tidak terbatas (Wittgenstein, 1983 :23) .
kalangan positivisme dan rasionalisme yang Berdasarkan pengertian itu, seharusnya
menekankan pada produk hukum-hukum dalam bidang pragmatik memiliki objek ma-
serta teori-teori dan verifikasi atas objek terial kajian bahasa yang sangat luas dan
empiris serta kajian ilmu yang bersifat parsial bukan hanya terbatas pada analisis kalimat
menimbulkan suatu reaksi yang keras dari dan tindak tutur bahasa . Misalnya, sebagai-
berbagai tokoh ilmu pengetahuan khususnya mana diungkapkan Wittgenstein sebagai
bidang sosial humaniora . Reaksi tersebut hasil dari suatu pengamatan, bahwa dalam
datang dari mazhab Frankfurt, antara lain dari suatu komunitas masyarakat tertentu, misal-
Max Horkheimer (1895-1973), Theodor W . nya masyarakat pekerja bangunan, meng-
Adomo (1903-1969), Herbert Marcuse (1898- gunakan ungkapan-ungkapan bahasa yang
1979), dan Jurgen Habermas (1929) . Teori barangkali secara linguistik dapat dikatakan
kritis tersebut menolak dengan tegas pan- tidak memenuhi syarat . Seorang yang meng-
dangan positivistik yang hanya mementing- ungkapkan 'papan', 'balok', 'tiang' dan 'batu'
kan fakta-fakta empiris, prinsip verifikasi yang misalnya dapat ditangkap oleh lawan bicara-
bertujuan memproduksi teori-teori serta nya sebagai suatu makna tertentu, misalnya
hukum-hukum ilmu pengetahuan . Fakta-
tiang dipasang di sisi kiri, papan diserut dan
fakta tersebut sebagian merupakan suatu dipotong yang kesemuanya itu hanya
produk masyarakat tertentu yang tidak dapat
dipahami aturannya pada komunitas tersebut .
diverifikasi serta difalsifikasi berdasarkan
Aspek lain dalam linguistik pragmatic
teori dari produk Iainnya . Bagi teori kritis,
adalah masih adanya kecenderungan
tatanan masyarakat serta makna kehidupan
mengembangkan aspek normatif seperti yang
tidak dapat diverifikasi ataupun difalsifikasi
dilakukan oleh linguistik struktural, misalnya
sebab tatanan masyarakat serta makna
aturan dalam tindakan bahasa, macam-
kehidupan tidak dapat ditentukan berdasar-
macam tindakan bahasa, norma sopan san-
kan teori serta hukum dari tatanan serta mak-
tun, validitas tuturan, prinsip kerja sama, prin-
na kehidupan masyarakat lainnya (Budi-
sip kesopanan, serta parameter pragmatik .
yanto, 2002:43) .
Jika cara kerja epistemologi linguistik
Perkembangan linguistik pragmatik yang
pragmatik demikian, konsekuensinya kajian
memperhitungkan aspek penggunaan bahasa
dalam kehidupan manusia merupakan lang- pragmatik kembali terjerumus pada ilmu yang
kah maju dan suatu revolusi paradigmatik bersifat nomothetic . Wittgenstein mengem-
dalam bidang linguistik . Nampn demikian, bangkan suatu paradigma yang jelas, bahwa
secara epistemologis masih tampak adanya dalam teori tata permainan bahasa tersebut
keterikatan terhadap linguistik struktural, setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan
terutama dalam hubungannya dengan episte- manusia memiliki aturannya masing-masing
mologi bahasa . Hal ini tampak dalam ber- yang sangat beragam serta tidak terbatas .
bagai analisis pragmatik mendasarkan pada Aturan itu sulit jika hanya ditentukan secara
analisis kalimat, kemudian berkembang ke normatif, serta sulit ditentukan batas-batas-
arah tindak tutur bahasa, sehingga memiliki nya secara tepat, tetapi manusia memahami
ciri behavioristik. bagaimana menggunakan bahasa dalam
Aspek struktural dan aspek tindak tutur setiap aspek kehidupan yang sangat ber-
bahasa memang tidak bisa dilepaskan aneka ragam tersebut (Wittgenstein, 1983 :
dengan kajian pragmatik bahasa, tetapi 23) . Oleh karena itu, pemikiran Wittgenstein
dimensi bahasa menurut Wittgenstein jauh tersebut sangat relevan untuk pengembangan
lebih luas dad itu . Bahasa pada hakikatnya objek kajian linguistik pragmatik pada aspek
menunjukkan suatu kehidupan manusia, kualitas bahasa yang digunakan manusia
yang masing-masing memiliki aturan tersen- dalam kehidupannya.

140
Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

Aspek Aksiologis komunikasi dalam suatu tindak tutur secara


empiris dapat ditangkap melalui indra
Hubungan ilmu pengetahuan dengan
pendengar . Ungkapan empiris tersebut
nilai merupakan suatu persoalan yang memiliki dimensi makna, yaitu makna infor-
menimbulkan pandangan berbeda di
masi yang terkandung dalam ungkapan
kalangan ilmuwan dan filsuf . Ada aliran yang
bahasa itu . Menurut Wittgenstein, makna
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan pada
yang merupakan nilai yang terkandung dalam
hakikatnya value free, 'bebas nilai', artinya
ungkapan bahasa terdapat dalam kehidupan
tidak ada hubungan antara ilmu pengetahuan
manusia karena pada prinsipnya bahasa
dengan nilai (Melsen, 1985 :85) . Aliran yang
digunakan oleh manusia dalam berkomuni-
berpendapat demikian ini, antara lain paham
kasi mengungkapkan suatu makna yang
positivisme logis . Ilmu pengetahuan harus
merupakan suatu nilai kehidupan . Makna
bebas dari segala nilai di luar ilmu pengeta-
yang terkandung dalam kehidupan manusia
huan itu sendiri, misalnya emosi manusia,
bersifat tidak terbatas dan dalam setiap
kepentingan serta kekuasaan . Berbeda
konteks kehidupan memiliki ciri khas serta
dengan pandangan tersebut, paham fenome-
aturan masing-masing . Aturan tersebut
nologi termasuk ilmu-ilmu naturalistik dan
bukan merupakan norma yang baku, misal-
humanistik berpendapat bahwa selama
nya menyangkut aspek sintaksis atau
manusia memiliki kepentingan terhadap ilmu
morfologis, melainkan merupakan suatu nilai
pengetahuan, ilmu pengetahuan itu bersifat
yang telah dipahami oleh manusia sebagai
terikat nilai, value bound (Muhadjir, 1996 :117,
subjek penutur bahasa . Makna serta nilal
118) . Menurut paham ini, pengenalan kita ber-
yang terkandung dalam kehidupan manusia
sifat perspektif, bagaimana dan clan mana
yang diungkapkan melalui bahasa bersifat
kita mengenal dan mempengaruhi apa yang
tidak terbatas dan beraneka ragam
kita kenal . Bagi paham ini, teori dan fakta
(Wittgenstein, 1983 :23) . Untuk mengetahui
ditentukan oleh nilai .
hakikat makna yang terkandung dalam suatu
Bagi linguistik pragmatik, persoalan
ungkapan bahasa, kita harus memahami
hubungan nilai dengan ilmu bahasa itu sendiri
nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan
belum banyak dibahas, bahkan tidak diper-
manusia dalam hubungannya dengan peng-
soalkan hubungan nilai dengan ilmu bahasa
gunaan ungkapan bahasa tersebut .
terutama pragmatik . Secara objektif sebenar-
Suatu ungkapan bahasa dalam konteks
nya persoalan nilai dalam kehidupan manusia
pragmatik tidak memiliki korelasi logis
dituangkan dalam ungkapan bahasa, bahkan
dengan struktur gramatikal yang merupakan
dapat dikatakan bahwa esensi bahasa itu
realitas empiris bahasa . Hal ini berdasarkan
sendiri hakikatnya adalah nilai . Bertolak dan
pada kandungan nilai yang ada dalam
prinsip dasar itu, secara ontologis hakikat
ungkapan bahasa dalam hubungannya
bahasa memiliki dua unsur pokok, yaitu
dengan kehidupan manusia . Suatu ungkapan
struktur dan makna yang merupakan suatu
bahasa yang memiliki norma yang ekuivalen
nilai . Struktur bahasa Iazimnya menyangkut
secara sintaksis belum tentu memiliki nilai
wujud empiris sehingga dalam penelitian
yang ekuivalen secara pragmatik karena nilai
bahasa termasuk bidang pragmatik . Wujud
yang merupakan esensi makna yang
empiris ini merupakan objek kajian, tetapi
terkandung dalam kehidupan manusia belum
memuat unsur nilai yang merupakan makna
tentu sama . Misalnya, dalam suatu ung-
bahasa .
kapan berikut .
Prinsip dasar yang dikembangkan
Wittgenstein tentang hakikat bahasa, adalah (1) Amin mempunyai anak kemudian
suatu realitas yang memiliki dimensi empiris menikah .
dan nonempiris yang berupa nilai . Ungkapan (2) Amin menikah kemudian mem-
bahasa yang digunakan manusia dalam ber- punyai anak .

1 41
Humaniora Volume 16, No . 2, Juni 2004 : 133-146

Dua kalimat tersebut berdasarkan susila . Adapun kalimat (2) merupakan suatu
prinsip logika memiliki struktur yang ekui- kalimat yang memiliki nilai susila . Ber-
valen . Kedua kalimat itu merupakan suatu dasarkan nilai religius kalimat (1) itu tidak
proposisi logika p 'menikah' & q 'memiliki sesuai dengan ajaran agama, sedangkan
anak' . Kedua proposisi itu berdasarkan hu- kalimat (2) sesuai dengan ajaran agama .
kum logika memiliki nilai yang ekuivalen balk Data bahasa yang bersifat empiris
p & q, maupun q & p . Meskipun kedua kali- menyangkut tataran deskriptif dan secara
mat tersebut memiliki syarat kebenaran yang ontologis data bahasa yang bersifat empiris
sama secara logis, secara pragmatik kedua tersebut tidak akan memiliki makna apa-apa
kalimat tersebut memiliki nilai dan makna tanpa adanya konteks nilai dalam hubungan
yang berbeda (Levinson, 1983 :35) . penggunaan ungkapan bahasa dalam
Dua kalimat tersebut secara sintaksis kehidupan manusia . Aspek nilai yang meru-
memiliki struktur yang sama, balk secara pakan dimensi makna bahasa dan bersumber
gramatikal, maupun berdasarkan fungsinya, pada kehidupan manusia pada hakikatnya
berada pada dua kutub, yaitu pemahaman
yaitu subjek maupun predikatnya . Kalimat
dan pengetahuan manusia . Atas dasar keber-
(1) maupun kalimat (2) masing-masing meru-
adaan nilai di antara kedua kutub tersebut
pakan suatu kalimat luas, yang dihubungkan
manusia harus menentukan berdasarkan
dengan kata penghubung 'kemudian' . Kali-
rasa serta akal budi manusia (Budiyanto,
mat (1) tersusun atas kalimat berikut .
2002 :95) .
(1a) Amin mempunyai anak . Hakikat bahasa dalam hubungannya
(1b) Amin menikah . dengan penggunaan dalam kehidupan manu-
sia menampakkan suatu problema tentang
Kedua kalimat sederhana tersebut dihu- pembenaran makna bahasa yang merupakan
bungkan dengan melakukan suatu penghe- suatu nilai . Secara ontologis keberadaan
matan pada subjek (S) Amin, serta dihubung- bahasa disebabkan oleh kepentingan manu-
kan dengan kata penghubung 'kemudian', sia untuk berkomunikasi . Dengan demikian,
yang secara gramatikal memiliki makna terdapat hubungan sebab akibat antara
perurutan (Rozaq, 1988 :41) . Kalimat (2), manusia dengan bahasa, yaitu manusia se-
merupakan suatu kalimat luas yang tersusun bagai sebab dan bahasa sebagai akibat .
atas dua kalimat sederhana . Berdasarkan kenyataan ini, nilai yang mele-
kat pada bahasa ditentukan oleh eksistensi
(2a) Amin menikah .
manusia sebagai subjek .
(2b) Amin mempunyai anak .
Terdapat suatu konsep pemikiran ten-
tang nilai dalam.hubungannya dengan peran-
Kedua kalimat tersebut digabungkan an manusia . Nilai dapat dipahami manusia
menjadi suatu kalimat luas dengan mela-
melalui akal budi serta kesadarannya .
kukan penghematan terhadap subjek (S)
Seseorang mampu berpikir tentang sesuatu,
'Amin', dan dihubungkan dengan kata memiliki suatu imajinasi, serta mampu ber-
penghubung'kemudian', yang secara grama- kreativitas karena is memiliki akal budi dan
tikal memiliki hubungan perurutan (Razaq, kesadaran . Bagi aliran subjektivisme, letak
1988 :42) . Berdasarkan susunannya, secara nilai berada pada tataran akal budi dan
grmatikal kedua kalimat tersebut memiliki kesadaran manusia . Segala sesuatu bemilai
struktur yang sama dan berdasarkan fungsi- karena ditentukan oleh akal budi dan ke-
nya juga memiliki susunan yang sama . sadaran manusia . Berbeda dengan pandang-
Dalam konteks pragmatik, ternyata an tersebut aliran objektivisme berpendapat
kedua kalimat tersebut memiliki nilai yang bahwa nilai sebenarnya berada pada objek
tidak sama . Kalimat (1) dan kalimat (2) me- itu sendiri, terlepas dari penilaian akal budi
miliki nilai yang tidak sama, balk nilai moral clan kesadaran manusia (Budianto, 2002 :96) .
maupun nilai religius . Berdasarkan nilai moral, Max Scheler tidak mendasarkan pada eksis-
kalimat (1) itu berarti mengandung nilai tidak tensi subjek ataupun objek, tetapi penger-

142
Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

tian nilai harus dipahami berdasarkan hakikat mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi
nilai itu sendiri (Driyarkara, 1978 :142) . dengan tata bahasa yang terdiri atas fonologi,
Menurut Scheler nilai dibedakan atas :(1) nilai morfologi, sintaksis, dan semantik melalui
indrawi, (2) nilai vital, yang berkaitan dengan pragmatik, seperti terlihat dalam diagram
hidup manusia seperti kesehatan, kelelahan, berikut ini .
kesakitan, dan (3) nilai spiritual yang meliputi
nilai keindahan, keadilan, nilai kebenaran Fonologi
pengetahuan . Di antara ketiga nilai tersebut
Morfologi
terdapat nilai yang tertinggi, yaitu kekudusan
yang merupakan nilai religius yang memiliki Sintaksis
sifat mutlak (Frondizi, 1963 :138, 139 ; Driyar-
Pragmatik
kara, 1978 :145) . Sejalan dengan pandangan
Scheler tersebut, Notonagoro menambahkan Semantik
nilai kesusilaan atau nilai moral pada nilai
kerohanian (Darmodiharjo, 1995 :43, 44) . (Wijana, 1996 :3).
Berbeda dengan penggolongan terse-
but, Everet membedakan nilai menjadi Berkaitan dengan makna bahasa,
delapan macam, yaitu (1) nilai ekonomis, Wittgenstein memiliki pendapat yang ber-
yaitu nilai yang berkaitan dengan kebutuhan beda dengan konsep Parker maupun
ekonomis manusia, (2) nilai kejasmanian, Verhaar. Jika sistem epistemologi pragmatik
yang berhubungan dengan aspek jasmani demikian, akan menjurus ke arah behavior-
manusia, (3) nilai hiburan, yaitu nilai yang isme . Menurut Wittgenstein makna bahasa
berkaitan dengan permainan manusia untuk bukan terdapat dalam bahasa atau penutur
memperkaya kehidupan, (4) nilai sosial, yaitu bahasa, melainkan terdapat dalam kehidup-
nilai yang berhubungan dengan kehidupan an manusia itu sendiri . Secara ontologis
manusia dalam berkomunikasi dengan bahasa merupakan sarana komunikasi
manusia lain, (5) nilai watak, yaitu nilai yang manusia dengan manusia lain dalam masya-
berhubungan dengan kepribadian manusia, rakat. Oleh karena itu, untuk mengkaji makna
bahasa harus dilakukan pengamatan ter-
(6) nilai estetis yang berkaitan dengan ke-
indahan, (7) nilai intelektual, yaitu nilai yang hsdap kehidupan manusia dalam hubungan-
nya dengan aturan penggunaan bahasa
berhubungan dengan aspek intelektual
tersebut . Setiap konteks penggunaan baha-
manusia, dan (8) nilai religius, yaitu nilai yang
berhubungan dengan keagamaan (Darmo-
sa memiliki aturan masing-masing . Dalam
aturan beserta penggunaannya dalam kehi-
diharjo, 1996 :228) . dupan manusia itulah akan ditemukan makna
Untuk mendapatkan suatu kejelasan
bahasa (Wittgenstein, 1983 :90) . Peng-
pengertian tentang makna bahasa yang gunaan ungkapan bahasa dalam suatu
sering juga disebut aspek semantik, perlu tindakan bahasa senantiasa memiliki nilai
penjelasan yang didasarkan pada sistem yang beraneka ragam (Allan, 1986 :156,157)
epistemologisnya, baru kemudian ditentukan sehingga untuk memahami makna eksternal
titik temunya . Dalam bidang linguistik, kajian ungkapan bahasa yang terdapat dalam
semantik adalah 'makna internal linguistik' kehidupan manusia harus melalui kajian nilai-
(linguistic meaning) atau 'makna semantik' nilai bahasa .
(semantic sense), sementara yang dikaji Berdasarkan analisis pengertian makna
bidang pragmatik adalah 'maksud penutur' tersebut, peranan kajian nilai-nilai bahasa
(speaker meaning) atau speaker sense dalam kehidupan manusia menjadi sangat
(Verhaar, 1996 ; Parker dalam Wijana, penting agar aspek semantik yang merupa-
1996 :3), dan makna ini berkaitan dengan kan makna bahasa benar-benar dapat dipa-
aspek 'eksternal' . Menurut Leech (1983), hami secara objektif . Paradigma pragmatik
pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang yang dikemukakan Parker dan Verhaar

143
Humaniora Volume 16, No . 2, Juni 2004: 133-146

memiliki kelemahan aksiologis maupun Objektivitas


epistemologis . Paradigma kajian makna
bidang pragmatik tersebut akan sangat
terbatas pada aspek tingkah laku bahasa
sehingga mengarah pada behaviorisme .
Konsekuensinya bidang pragmatik akan Rekonstruksi
mengalami kesulitan untuk mendeskripsikan M
secara objektif penggunaan ungkapan
bahasa dalam kehidupan manusia yang
sangat luas itu . Misalnya, ungkapan bahasa
Penerapan pada fenomena kehidupan manusia
dalam konteks religius, mistik, metafisik
serta estetik, tidak akan tersentuh oleh
tingkah laku bahasa . Kebenaran pragmatik l
Menurut Guba (1990), objektivitas ke-
benaran suatu ilmu pengetahuan harus dapat Kegunaan untuk kehidupan masyarakat
dilihat pada kemampuan operasional ilmu
pengetahuan itu serta kebenaran pragmatis
ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan ma- (Guba, 1990 :25, 26 ; Budianto, 2002 :90) .
nusia . Objektivitas kebenaran ilmu pengeta-
huan akan tampil, jika para ilmuwan mampu
1. Bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis
melihat kelemahan atau kekurangan para-
digms yang telah ada dan diikuti dengan merupakan konstruksi empiris bahasa,
melakukan suatu rekonstruksi terhadap para- sehingga dapat dideskripsikan berdasar-
digma tersebut . Paradigma ilmu pengetahu- kan gejala empiris bahasa tersebut .
an akan menjadi kokoh jika dapat diterapkan Makna bahasa pada tataran ini terbatas
dalam suatu penelitian dan dapat meng- pada makna empiris bahasa, yaitu mak-
na gramatikal yang berkaitan dengan
antisipasi berbagai fenomena yang dihadapi
makna 'internal' bahasa, belum pada
dalam suatu penelitian . limu pengetahuan
tingkatan makna 'eksternal' bahasa
harus dilihat sebagai sesuatu yang senan-
dalam kehidupan manusia .
tiasa berkembang, tidak statis, tidak absolut
2. Perlu dilakukan suatu rekonstruksi ter-
kebenarannya, serta senantiasa terbuka ter-
hadap berbagai kemungkinan, terbuka untuk hadap paradigma, yaitu berdasarkan
paradigma penggunaan makna bahasa
dikritik, bahkan dapat direkonstruksi sehing-
dalam kehidupan manusia . Berdasarkan
ga dapat diperbarui . Objektivitas pada kons-
paradigma ini, setelah dilakukan kons-
truksi paradigma ilmu pengetahuan dapat
truksi empiris bahasa, kemudian dilaku-
dilihat pada bagan berikut ini .
kan kajian semantik bahasa dengan
Berdasarkan pemikiran tersebut, perlu
urutan kajian nilai bahasa dalam kehi-
dilakukan suatu rekonstruksi paradigmatik
dupan manusia . Setelah dilakukan kaji-
terhadap bidang pragmatik . Objektivitas
an nilai-nilai bahasa dalam kehidupan
ilmiah akan tercapai manakala ontologi dan
manusia, barulah aspek makna bahasa
aksiologi makna bahasa itu tidak tumpang
dapat dipahami . Kajian nilai-nilai bahasa
tindih dengan subjek penutur bahasa yaitu
itu dapat pula diistilahkan dengan bidang
manusia, serta realitas empiris bahasa yang
aksiologi bahasa .
berupa aspek bunyi bahasa . Makna bahasa
3. Kajian terakhir adalah tentang aspek
yang merupakan aspek semantik dikaji pada
pragmatik bahasa, yaitu penggunaan
kehidupan manusia yang merupakan nilai
bahasa dalam kehidupan manusia . Hal
sehingga bahasa dapat digunakan secara
ini didasarkan pada suatu kenyataan
pragmatis dalam kehidupan manusia . Pada
bahwa manusia dapat menggunakan
konstruksi seperti ini akan kita temukan su-
suatu ungkapan bahasa, yaitu aspek
sunan bidang kajian sebagai berikut.
pragmatik, jika is telah mengetahui

144
Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

aturan penggunaan bahasa, yaitu nilai bagi pengembangan dasar filosofis prag-
serta makna bahasa yang digunakan matik, balk meliputi aspek ontologis, episte-
dalam suatu komunikasi dalam masya- mologis, maupun aspek aksiologis . Bahasa
rakat . Bahasa tidak mungkin digunakan sebagai objek kajian pragmatik memiliki nilai
manusia tanpa mengkomunikasikan yang terkandung dalam aturan penggunaan
makna yang terkandung di dalamnya . bahasa dalam berbagai konteks kehidupan
Makna tersebut bukanlah suatu norma- manusia . Perspektif nilai yang terkandung
norma internal linguistis saja, melainkan dalam bahasa itulah secara filosofis meru-
nilai-nilai eksternal linguistis, yang pakan sumber kajian pragmatik, mengingat
terkandung dalam kehidupan manusia linguistik pragmatik tidak bersifat "nomo-
dan diungkapkan melalui bahasa . tetik", yang hanya mencari hukum-hukum
dan dalil-dalil, tetapi bersifat "ideografik",
SIMPULAN yaitu mendeskripsikan bahasa yang di da-
lamnya terkandung nilai-nilai yang sifatnya
Berdasarkan hasil penelitian dan pem- tidak terbatas dalam berbagai konteks
bahasan dapat disimpulkan bahwa filsafat kehidupan manusia .
Wittgenstein merupakan karya besar yang Atas dasar kajian penelitian filosofis
bersifat inovatif dan mampu mengubah tersebut, bidang pragmatik memiliki peluang
orientasi perkembangan ilmu, balk di Eropa untuk mengembangkan dimensi baru dalam
maupun di Amerika . Pemikiran Wittgenstein kajian bahasa dalam konteks penggunaan-
periode pertama, Tractatus Logico-Philo- nya dalam berbagai bidang kehidupan manu-
sophicus, merupakan sintesis eklektis pemi- sia, yang pada gilirannya dapat dilakukan
kiran filsafat analitis, empiristis, dan logis . penelitian empiris tentang penggunaan
Menurut Wittgenstein, hakikat realitas bahasa .
bahasa adalah gambaran realitas dunia em-
piris . Oleh karena itu, struktur bahasa tersu- DAFTAR RUJUKAN
sun atas proposisi-proposisi, dan totalitas
bahasa merupakan gambaran logis dunia . Allan, Keith. 1986 . Linguistics Meaning. Volume
Kedudukan analitika bahasa dalam filsafat One . London and New York: Routledge &
adalah sebagai metode ilmiah untuk meng- Kegan Paul .
ungkapkan realitas fakta empiris . Hasil A'er. 1956 . The Revolution in Philosophy . London :
pemikiran Wittgenstein itu merupakan dasar Mac . Millan & Co .
epistemologis bagi pengembangan ilmu
Bakker, A. 1984 . Metode-metode Filsafat . Jakarta:
pengetahuan modern di Wina, yang kemu-
dian berkembang ke seluruh dunia . Ghalia Indonesia.
Pada karyanya yang kedua, Wittgentsein Bakker, A. dan Achmad Charris Zubair . 1990 .
mengembangkan Philosophical Investiga- Metodologi Penelitian Filsafat . Yogyakarta:
tions, .yang mendasarkan pada bahasa se- Kanisius.
hari-hari yang bersifat beraneka ragam . Budiyanto, Irmiyati M . 2002 . Realitas dan
Wittgenstein menekankan adanya bermacam- Objektivitas :Refleksi Kritis atas Cara Kerja
macam penggunaan bahasa dalam berbagai
Ilmiah . Jakarta : Wedatama Widya Sastra .
konteks kehidupan manusia yang setiap
konteks penggunaan tersebut memiliki Charlesworth, M .J . 1959. Philosophy and Linguistics
aturannya masing-masing . Hal ini diistilahkan Analysis . Pittsburgh : Duquesne University .
dengan language games . Darmodiharjo, Darji . 1995 . "Orientasi Singkat
Prinsip dasar language games dalam Pancasila" . Dalam Darji Darmodiharjo,
sejarah perkembangan filsafat analitis Nyoman Dekker, A .G . Pringgodigdo, M .
merupakan sumber inspirasi paradigmatis Wardoyo, Kuntjoro Purbopranoto, & J .W
bagi perkembangan pragmatik. Berdasarkan
Sulandra . Santiaji Pancasila . Jakarta :
h- asil penelitian lebih lanjut, pemikiran
Gramedia Pustaka Utama.
Wittgenstein periode kedua tersebut relevan

145
Humaniora Volume 16, No . 2, Juni 2004 : 133-146

Asdi, Endang Daruni 1997 . Imperatif Kategoris Pitcher, George . 1964 . The Philosophy of
dalam Filsafat Immanuel Kant . Yogyakarta: Wittgenstein . New Jersey: Englewood Cliffs .
Lukman Offset. Poerwowidagdo, Yudowibowo. 1972 . An Inguiry
Driyarkara, N . 1978 . Percikan Filsafat . Jakarta: into The Logical Relationship of Teaching and
Pembangunan. Learning Based on The Linguistic Analysis of
Frondizi, Risieri . 1963 . What is Value? New York : The Concept of Knowing . Submitted to the
Open Court Publishing Company. Graduate in the School of Education in partial
Guba, Egon . G . 1990. The Paradigm Dialog . Sage fulfilment of the requirements for the degre
Publications . California: Newbury Park . of Doctor of Philosophy. University of
Pittsburgh .
Haliday, H .P & Raqaiya Hasan . 1985 . Language
Context, and Text :of Language in Social Reichling, A. 1971 . Bahasa Hukum-hukum dan
Semiotic Perspective . Melbourne : Deakin Hakikatnya. Ende Flores : Nusa Indah.
University. Razak, Abdul . 1988 . Kalimat Efektif. Jakarta :
Heraty, Tuty. 1984 . Aku dalam Budaya . Jakarta: Gramedia.
Pustakajaya . de . Saussure, Ferdinand 1916 . Cours in General
Koren, Henry . J . 1966 . Research in Philosophy. Linguistics. (trans.) Wade Baskin . New York :
United States of America : Doquesne The Philosophical Library Inc .
University. Suriasumantri, Yuyun . 1985 . Filsafat limu. Jakarta:
Leech, G .N . 1983 . Principles of Pragmatics. New Sinar Harapan .
York: Longman . Verhaar, J .W M . 1996. Asas-asas Linguistik Umum .
Levinson, Stephen . C . 1983 . "The Essential Yogyakarta: Gadjah Mada University Press .
Inadequacies of Speech Acts Models of Siswomihardjo, Koento Wibisono. 1982 . Arti
Dialogue" . In Herman Parret, Marina Sbisa Perkembangan menurut Filsafat Positivisme
and Jef Verschueren (ed .) . Possibilities and August Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada
Limitations of Pragmatics . Amsterdam/ University Press.
Philadelphia: Jhon Benyamins . Wijana, I Dewa Putu . 1996 . Dasar-dasar
Van Melsen, A.G .M . 1985. llmu Pengetahuan dan Pragmatik . Yogyakarta: Andi Offset .
TanggungJawab Kita . Jakarta: Gramedia. Wittgenstein, Ludwig. 1961 . Tractatus Logico-
Mey, Jacob. L. 1993 . Pragmatics . Oxford & Philosophicus . London : Routledge & Kegan
Cambridge : Blackwell . Paul L.T D .
Moore, George Edward . 1954 . "Wittgenstein's Wittgenstein, Ludwig . 1983 . Philosophical
Lectures in 1930-1933" in Mind . January. Investigations . Translated by G .E .M .
1955 . London. Anscombe. Oxford : Basil Backwell .
Muhadjir, Noeng . 1996. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin .

14 6

Anda mungkin juga menyukai