Anda di halaman 1dari 5

BAB 1 DERITA KITA

Derita kita untuk berjuang hidup dalam zaman baru ini adalah menghadapi ekspektasi baru
yang lebih tinggi, untuk memproduksi lebih banyak, demi imbalan yang semakin sedikit, dalam dunia
yang amat kompleks, dan tidak dimungkinkan untuk memanfaatkan bakat dan kecerdasan kita
secara signifikan. Di dalam suatu organisasi, derita seperti ini nyata sekali dalam ketidakmampuan
untuk berfokus pada dan melaksanakan prioritas-prioritas tertinggi. Walaupun kita telah mencapai
perkembangan yang luar biasa di bidang teknologi, inovasi produk, dan pasar dunia, ternyata
kebanyakan orang tidak mengalami perkembangan pribadi dalam organisasi di mana mereka
bekerja. Di tempat kerja itu mereka tidak merasa bergairah dan tidak mencapai pemenuhan diri
mereka. Mereka frustasi. Bagi mereka, sama sekali tidak jelas organisasi mereka mengarah ke mana,
sedang mengejar apa, dan apa pula prioritas-prioritas utamanya. Kebanyakan di antara mereka juga
tidak merasa bahwa mereka dapat berubah banyak. Anda bisa bayangkan harga yang harus dibayar
secara pribadi maupun oleh organisasi, kalau mereka tidak bisa secara penuh mendayagunakan
semangat, bakat, dan kecerdasannya.

Banyak orang yang bertanya apakah 7 Habits (7 Kebiasaan) masih relevan dalam konteks
realitas zaman baru saat ini. Jawaban Stephen Covey adalah semakin besar perubahan dan semakin
sulit tantangannya, 7 Kebiasaan itu justru semakin relevan. 7 Kebiasaan itu adalah tentang
bagaimana menjadi sungguh efektif. Dalam dunia kita sekarang ini menjadi efektif sebagai individu
dan organisasi bukan lagi merupakan pilihan tetapi itu yang harus dilakukan. Dan untuk dapat
bertahan hidup, bertumbuh, berinovasi, menjadi unggul, dan terkemuka dalam realitas baru zaman
ini kita tidak hanya harus membangun efektifitas, tetapi juga harus melampauinya. Panggilan dan
kebutuhan era baru ini adalah greatness – keagungan. Panggilan dan kebutuhan untuk mengejar
pemenuhan diri (fulfillment), pelaksanaan yang penuh semangat (passionate execution), dan
sumbangan yang bermakna (significant contribution). Untuk menjangkau tingkat kejeniusan dan
motivasi manusia yang lebih tinggi – sesuatu yang bisa kita sebut Suara – menuntut perangkat
pikiran baru, keahlian baru, perangkat peralatan baru, dan kebiasaan baru. Karena itu kebiasaan
baru (Kebiasaan ke-8) bukan sekedar penambahan terhadap 7 Kebiasaan yang sudah ada tetapi
Kebiasaan ke-8 adalah tentang melihat dan memanfaatkan kekuatan dari 7 Kebiasaan. Kebiasaan ke-
8 adalah Menemukan Suara Panggilan Jiwa Anda dan Mengilhami Orang Lain untuk Menemukan
Suara Kemerdekaan Jiwa Mereka. Kebiasaan ke-8 merupakan jalur setapak ke sisi realitas zaman
baru yang amat menjanjikan (berlawanan dengan derita dan frustasi, tetapi merupakan suara jiwa
yang penuh dengan harapan dan kecerdasan).
Suara adalah makna personal yang unik yang tersingkap ketika kita menghadapi tantangan-
tantangan terbesar dan yang membuat kita sama besarnya dengan tantangan-tantangan tersebut.

Bakat

Gairah Suara Kebutuhan

Nurani

Suara Panggilan Jiwa terletak pada bidang potong antara bakat (talent, yaitu bakat dan kekuatan
alamiah Anda), gairah (passion, yaitu hal-hal yang secara alamiah membuat Anda
bergairah/bersemangat, memotivasi dan mengilhami Anda), kebutuhan (need, yaitu apa saja yang
dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar Anda, sehingga mereka bersedia membayar Anda), dan
nurani (conscience, yaitu suara batin kita yang menunjukkan kepada kita apa yang benar dan
mendorong kita untuk bertindak sesuai dengannya). Bila Anda terlibat dalam suatu pekerjaan yang
mendayagunakan bakat Anda dan mengobarkan gairah hidup Anda – yang muncul dari kebutuhan
besar di dunia, sehingga Anda merasa terdorong oleh nurani Anda untuk memenuhi kebutuhan
tersebut – disitulah letak Suara Anda, panggilan jiwa Anda, arah hidup yang akan memuaskan jiwa
Anda. Mungkin saja beberapa orang tiba-tiba dapat mendengar Suara mereka (visi) yang muncul
secara spontan dari kesadaran mereka, tapi secara umum dapat dikatakan bahwa visi itu datang
ketika orang merasakan adanya kebutuhan, lalu nurani mereka mendorong mereka untuk
menanggapi kebutuhan tersebut, dan mereka menuruti bisikan nurani mereka itu. Dan ketika
mereka berusaha memenuhi kebutuhan itu, mereka melihat kebutuhan baru, lalu memenuhinya,
lalu melihat yang lain lagi, lalu memenuhinya lagi, dan seterusnya. Sedikit demi sedikit mereka mulai
melakukan generalisasi terhadap pemahaman mereka akan kebutuhan tersebut, dan mulai
memikirkan cara untuk melembagakan upaya mereka sehingga upaya itu bisa berlanjut. Muhammad
Yunus merupakan contoh orang yang persis berbuat seperti itu. Dia merasakan adanya kebutuhan
orang-orang di sekitarnya, lalu menanggapi bisikan nuraninya dengan memanfaatkan bakat dan
gairah hidupnya untuk menjawab kebutuhan tersebut, pertama-tama sebagai pribadi, kemudian
dalam rangka membangun kepercayaan dan mencari solusi kreatif terhadap permasalahan yang
muncul, dia akhirnya melembagakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut
melalui suatu organisasi (Grameen Bank).

BAB 2 MASALAHNYA

Untuk memahami masalah inti pertama-tama kita harus melihat konteks sejarah – yaitu lima
zaman peradaban manusia: pertama Zaman Berburu dan Mengumpulkan Makanan, kedua Zaman
Pertanian, ketiga Zaman Industri, keempat Zaman Pekerja Pengetahuan/Informasi, dan akhirnya
Zaman Kebijaksanaan yang sedang dimulai. Setiap zaman memerlukan perangkat keahlian dan
peralatan yang berbeda, dan lebih penting lagi perangkat berpikir yang baru – suatu cara pikir yang
serba baru. Pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan setiap hari Anda keluar dari tempat
tinggal Anda dengan busur dan anak panah, atau batu dan pentungan untuk berburu atau mencari
makanan bagi keluarga Anda. Itulah yang Anda ketahui, Anda lihat dan Anda lakukan untuk bertahan
hidup. Kemudian Anda melihat seorang yang dia sebut sebagai “petani”. Anda melihat dia keluar
dari tempat tinggalnya lalu menggaruk-garuk tanah, menaburkan benih ke tanah itu, menyiram atau
mengairi tanahnya, menyingkirkan rerumputan atau gulma, hingga akhirnya Anda melihat panen
yang begitu melimpah. Anda tahu bahwa apa yang bisa dia hasilkan sebagai “petani” itu lima puluh
kali lebih besar daripada yang bisa Anda hasilkan sebagai pemburu dan pengumpul makanan. Sedikit
demi sedikit Anda tertarik untuk memasuki proses pembelajaran baru, yaitu belajar menjadi petani.
Persis seperti itulah yang terjadi pada nenek moyang kita di awal peradaban umat manusia. Mudah
dibayangkan bahwa pada saat itu terjadi penurunan jumlah orang yang menjadi pemburu dan
pengumpul makanan sampai 90 persen, mereka kehilangan pekerjaan. Beberapa generasi berlalu
tibalah Zaman Industri. Orang membangun pabrik dan belajar spesialisasi, delegasi, dan kemampuan
untuk memperbesar skala usaha. Produktivitas Zaman Industri meningkat lima puluh kali dari sistem
pertanian, dan sejalan dengan itu 90 persen petani kehilangan pekerjaan mereka. Dan sekarang
pada Zaman Pekerja Pengetahuan/Informasi yang kini sedang kita masuki, diyakini akan
menghasilkan lima puluh kali lipat daripada Zaman Industri, atau bahkan lebih dari itu, dan akhirnya
akan mengurangi sebanyak 90 persen angkatan kerja Zaman Industri.

KERANGKA PIKIR KEBENDAAN DARI ZAMAN INDUSTRI

Harta dan pendorong utama dari kemakmuran ekonomi di Zaman Industri adalah mesin dan modal –
yakni benda. Manusia diperlukan, tetapi dapat diganti. Manusia lalu seperti benda, Anda bisa
bertindak efisien dengan mereka. Yang Anda perlukan adalah tubuhnya, dan bukan pikiran, hati atau
jiwa, dan dengan demikian Anda menurunkan derajat manusia menjadi sekedar benda. Masalahnya
adalah para manajer saat ini masih menerapkan model kontrol Zaman Industri itu terhadap para
pekerja Zaman Pengetahuan. Karena banyak orang yang memegang otoritas tidak mengetahui apa
sesungguhnya nilai dan potensi orang-orangnya, serta tidak memiliki pemahaman yang utuh dan
tepat mengenai kodrat manusia, mereka mengelola manusia sebagaimana mereka mengelola
barang. Kurangnya pemahaman ini juga menghalangi mereka untuk dapat mendayagunakan
motivasi, bakat dan kecerdasan tertinggi yang dimiliki orang-orangnya.

LINGKARAN SETAN KODEPENDENSI

Apa yang terjadi bila Anda mengelola manusia seperti mengelola barang? Mereka tak akan percaya
lagi bahwa kepemimpinan dapat menjadi sebuah pilihan. Kebanyakan orang memandang
kepemimpinan sebagai suatu posisi dan karena itu tidak memandang diri mereka sebagai pemimpin.
Mereka berpikir bahwa hanya pihak yang memegang otoritaslah yang berhak untuk memutuskan
apa yang harus dikerjakan. Kalaupun mereka melihat adanya kebutuhan, mereka tidak berinisiatif
untuk bertindak. Mereka menunggu untuk diberitahu apa yang harus dilakukan olah orang yang
memiliki jabatan formal, dan kemudian mereka menanggapinya sesuai dengan petunjuk.
Konsekuensinya, mereka akan menyalahkan para pemimpin formal kalau ada sesuatu yang tidak
beres, dan memuji atau menghargai mereka bila hal-hal berjalan dengan baik. Keengganan yang
begitu meluas untuk mengambil inisiatif, untuk bertindak secara independen, tanpa disuruh-suruh,
hanya memperbesar keharusan para pemimpin formal untuk mengarahkan atau mengelola para
bawahan mereka. Mereka percaya bahwa itulah yang harus mereka lakukan agar para pengikutnya
mau bertindak. Siklus itu dengan cepat akan membesar menjadi ko-dependensi, masing-masing
saling tergantung.

PARADIGMA PRIBADI UTUH

Pada Intinya ada satu alasan sederhana kenapa ada begitu banyak orang yang merasa tidak puas
dengan pekerjaan mereka, dan kenapa banyak sekali organisasi tidak berhasil memanfaatkan bakat,
kecerdasan, dan kreativitas orang-orangnya dan tidak pernah menjadi organisasi yang sungguh-
sungguh hebat dan bertahan lama. Situasi itu bermula dari paradigma yang tidak komplet mengenai
siapa sesungguhnya kita ini. Dengan kata lain, paham dasar kita mengenai kodrat manusia. Adalah
kenyataan yang mendasar bahwa manusia bukanlah benda atau barang yang perlu dimotivasi dan
dikendalikan. Manusia memiliki empat dimensi – tubuh, pikiran, hati, dan jiwa, dengan empat
kebutuhan motivasi dasar dari semua orang, yaitu: untuk bertahan hidup, menyayangi, belajar, dan
meninggalkan nama baik (makna dan sumbangan).

ORANG-ORANG PUNYA PILIHAN

Orang-orang membuat pilihan dan memutuskan seberapa besar bagian dari diri mereka yang akan
mereka abdikan dalam pekerjaan, dan itu tergantung pada bagaimana mereka diperlakukan, serta
kesempatan mereka untuk memanfaatkan keempat dimensi kehidupan mereka. Pilihan itu ada
banyak dan berjenjang mulai dari sikap memberontak atau keluar, sampai bersemangat, bergairah,
dan kreatif.

Kegairahan yang Kreatif

Komitmen Sepenuh Hati

Kerjasama dengan Sukarela

Bersedia Mematuhi Aturan

Menurut tapi Culas

Memberontak atau Keluar

Masalah inti di tempat kerja dan pemecahannya terletak pada paradigma mengenai kodrat manusia.
Dalam Zaman Pekerja Pengetahuan/Informasi saat ini hanya mereka yang dihormati sebagai pribadi
utuh dalam pekerjaannya – yaitu mereka yang dibayar dengan adil, diperlakukan dengan adil,
dimanfaatkan secara kreatif, dan diberi kesempatan untuk melayani kebutuhan mengambil orang
dengan cara-cara yang berprinsip – yang ada di antara tiga pilihan teratas, yaitu mau bekerjasama
dengan sukarela, memberikan komitmen sepenuh hati, atau mencurahkan semangat dan kegairahan
yang kreatif.

Anda mungkin juga menyukai