Anda di halaman 1dari 5

Tutorial Penelitian ~ In vitro, in vivo dan in silico adalah tiga jenis pendekatan dalam

eksperimental. Setiap jenis studi memiliki kemudahan dan kewajiban.

Peneliti harus memahami baik-baik ketiga jenis metode in vitro, in vivo dan in silico
sehingga memberi wawasan untuk validitas sebuah kesimpulan.

Di dalam bahasa latin vitro memiliki arti kaca, vivo berarti hidup dan silico diartikan sebagai
ekspresi atau penyerupaan. Ketiganya adalah prosedur yang memiliki konsekuensi berbeda.

IN VITRO

In vitro (dalam kaca) mengacu prosedur perlakuan yang diberikan dalam lingkungan
terkendali di luar organisme hidup. Banyak Studi eksperimen biologi seluler melakukan
treatmen di luar organisme atau sel.

Teknik in vitro mudah dilakukan. Kadang-kadang peneliti memiliki keterbatasan dalam


mengakses organisme hidup dan pendekatan vitro menjadi solusi dalam hal ini.

Salah satu kelemahan in vitro adalah kegagalan meniru kondisi selular secara tepat terutama
mikroba. Penelitian in vitro dapat menghasilkan kesimpulan yang tidak sesuai dengan
keadaan organisme hidup.

Stefan Tunev mengatakan bahwa pertanyaan rumit tentang ekspresi protein spirochetes tidak
sepenuhnya menyerupai Borrelia dalam host yaitu kegunaan lisat protein bakteri terbatas
ketika menganalisis sumber antigen.

Sampai beberapa tahun terakhir upaya untuk mendeteksi dan mengidentifikasi


mikroorganisme dalam tubuh manusia telah bergantung hampir secara eksklusif
menggunakan penelitian in vitro.

Akibatnya banyak pemahaman patogen pada penyakit sering mewakili bakteri minoritas
dalam tubuh manusia. Spesies-spesies mikrobiota manusia luput diketahui melalui teknik in
vitro.

IN VIVO

In vivo (dalam hidup) mengacu pada eksperimen menggunakan keseluruhan organisme


hidup. In vivo berusaha menghindari penggunaan organisme secara parsial atau organisme
mati.

Penelitian pada hewan dan uji klinis adalah salah satu penerapan in vivo. Pendekatan ini
biasanya dilakukan untuk menguji hasil temuan in vitro karena lebih cocok untuk mengamati
efek keseluruhan pada subjek hidup.

In vivo menawarkan wawasan konklusif tentang sifat obat dan penyakit. Tapi pendekatan ini
tak luput dari sesat kesimpulan, misalnya, terapi hanya menawarkan manfaat jangka pendek
dan bahaya dalam jangka panjang.

IN SILICO

In silico adalah penggunaan ekspresi yang berarti dilakukan pada komputer atau melalui
simulasi. Ungkapan in silico pertama kali pada tahun 1989 di Los Alamos, New Mexico.

Pedro Miramontes, matematikawan National Autonomous University of Mexico, menyajikan


laporan “DNA and RNA Physicochemical Constraints, Cellular Automata and Molecular
Evolution” dalam ceramahnya.

In silico merupakan pendekatan relatif baru dalam penelitian, tapi mulai digunakan secara
luas dalam studi untuk memprediksi bagaimana obat berinteraksi dalam tubuh dan patogen.

Sebuah studi pada tahun 2009 menggunakan emulasi software untuk memprediksi bagaimana
obat tertentu di pasar bisa mengobati strain resisten antibiotik tuberculosis.

Ada berbagai teknik silico, tetapi 3 teknik paling terkait Protokol Marshall yaitu:

1. Teknik Sequencing Bakteri

Identifikasi bakteri mengggunakan sekuen DNA dan RNA. Paling umum adalah polymerase
chain reaction (PCR) dalam salinan tunggal atau beberapa bagian DNA yang menghasilkan
jutaan salinan dari urutan DNA tertentu.

2. Pemodelan Molekul

Identifikasi obat-obatan dan zat yang berinteraksi dengan reseptor nuklir sel. Misalnya
emulasi berbasis komputer menunjukkan zat yang diproduksi bakteri. Kesimpulan saling
memdivalidasi pengamatan klinis.

3. Simulasi Sel Global

Peneliti membangun sebuah model komputer yang ramai diisi sel-sel bakteri dan merespon
terhadap zat tertentu dalam lingkungan. Teknik ini secara akurat mensimulasikan perilaku
sel-sel hidup.

Saran Bacaan :

Stefan S. Tunev et al. (2011). Lymphoadenopathy during Lyme Borreliosis Is Caused by


Spirochete Migration-Induced Specific B Cell Activation. PLoS Pathogens,
DOI:10.1371/journal.ppat.1002066

David A. Relman (1998). Detection and Identification of Previously Unrecognized Microbial


Pathogens. Emerging Infectious Diseases, DOI:10.3201/eid0403.980310

Sarah L. Kinnings et al (2009).Drug Discovery Using Chemical Systems Biology:


Repositioning the Safe Medicine Comtan to Treat Multi-Drug and Extensively Drug
Resistant Tuberculosis. PLoS Computational Biology, DOI:10.1371/journal.pcbi.1000423

Elijah Roberts et al (2011). Noise Contributions in an Inducible Genetic Switch: A Whole-


Cell Simulation Study. PLoS Computational Biology, DOI:10.1371/journal.pcbi.1002010
Peran Komputer dalam Penemuan
Obat
Enade Perdana Istyastono

Membawa senyawa kimia dari aras ide menjadi


obat yang beredar di pasar merupakan proses
yang membutuhkan sekitar rata-rata 800 juta US
dollar menurut catatan yang disampaikan DiMasi
dkk. (2003). Biaya yang sangat besar tentunya,
apalagi dikaitkan dengan kemampuan ekonomi
negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Strategi dan upaya yang efektif dan ekonomis
diperlukan untuk membawa Indonesia juga turut
diperhitungkan dalam penemuan obat.

Tawaran yang menarik akhir-akhir ini adalah pemanfaatan komputer sebagai alat bantu dalam
penemuan obat. Kemampuan komputasi yang meningkat eksponensial merupakan peluang untuk
mengembangkan simulasi dan kalkulasi dalam merancang obat. Komputer menawarkan metode in
silico sebagai komplemen metode in vitro dan in vivo yang lazim digunakan dalam proses penemuan
obat. Terminologi in silico, analog dengan in vitro dan in vivo, merujuk pada pemanfaatan komputer
dalam studi penemuan obat.

Mengapa dikatakan menarik? Alasan utamanya adalah efisiensi biaya. Sebagai ilustrasi akan
disampaikan perbandingan penemuan obat secara konvensional dan dengan bantuan komputer
ketika ditemukan suatu senyawa A dalam tanaman Z yang diduga aktif sebagai senyawa antikanker
dengan menghambat enzim X, suatu enzim yang sudah diketahui strukturnya secara kristalografi:

1. Konvensional

Secara konvensional yang bisa dilakukan adalah mensintesis turunan dan analog senyawa A
dan diujikan dalam enzim X sampai ditemukan benerapa senyawa yang sangat potensial
untuk dikembangkan. Pada senyawa-senyawa potensial tersebut dilakukan uji lanjutan dan
secara alami senyawa-senyawa tersebut dapat berguguran dan tidak sampai ke pasar karena
terbentur beberapa masalah pada uji lanjutan, misal didapati toksis. Kemudian dilakukan
skrining lagi dari tanaman yang secara empiris dilaporkan mengobati kanker.
2. Dengan bantuan komputer (Computer-aided drug discovery; CADD)

Di lain pihak, keberadaan sebuah komputer pribadi dilengkapi dengan aplikasi kimia
komputasi yang memadai ditangan ahli kimia komputasi medisinal yang berpengalaman
dapat menayangkan senyawa A secara tiga dimensi (3D) dan melakukan komparasi dengan
senyawa lain yang sudah diketahui memiliki aktivitas tinggi, misal senyawa B. Berdasarkan
komparasi 3D dilengkapi dengan perhitungan similaritas dan energi, memberikan gambaran
bagian-bagian dan gugus-gugus potensial yang dapat dikembangkan dari senyawa A
(pharmacophore query). Kemudian berbagai senyawa turunan dan analog disintesis secara in
silico alias digambar sesuai persyaratan aplikasi komputer yang digunakan (Untuk
selanjutnya disebut senyawa hipotetik). Hal ini jelas jauh lebih murah daripada sintesis yang
sebenarnya. Keberadaan data struktur 3D enzim X akan sangat membantu. Aplikasi
komputer dapat melakukan studi interaksi antara senyawa-senyawa hipotetik dengan enzim
X secara in silico pula. Dari studi ini dapat diprediksi aktivitas senyawa-senyawa hipotetik dan
dapat dilakukan eliminasi senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas rendah. Sebelum
diusulkan untuk disintesis, senyawa-senyawa hipotetik tersebut dengan diprediksi
toksisitasnya secara in silico dengan cara melihat interaksinya dengan enzim-enzim yang
bertanggung jawab pada metabolisme obat. Dari beberapa langkah in silico tersebut, dapat
diusulkan beberapa senyawa analog dan turunan senyawa A yang memang potensial untuk
disintesis dan dikembangkan, atau mengusulkan untuk mengembangkan seri baru. Jumlah
senyawa yang diusulkan biasanya jauh lebih sedikit dibandingkan penemuan obat secara
konvensional.

Dalam hal ini komputer membantu untuk mereduksi jumlah senyawa yang diusulkan secara rasional
dan diharapkan lebih efektif serta , membantu mempelajari interaksi obat dengan targetnya bahkan
kemungkinan sifat toksis senyawa tersebut dan metabolitnya. Berdasar pengalaman penulis, dalam
waktu satu tahun di Indonesia dikarenakan kurang pengalaman (dan starting material tidak dapat
ditemui di agen lokal, harus impor dan butuh waktu tiga bulan jika ada stoknya; alat untuk elusidasi
struktur sangat jarang dan andaikan ada pun sering tidak dalam kondisi dapat digunakan,) rata-rata
hanya mampu melaporkan sintesis 3 senyawa sederhana. Peran komputer dalam hal ini bagi negera
berkembang dapat dioptimalkan.

Berdasarkan ilustrasi di atas dapat disarikan dua metode yang saling melengkapi dalam penggunaan
komputer sebagai alat bantu penemuan obat, yaitu: (i) berdasarkan senyawa yang diketahui
berikatan dengan target atau biasa disebut ligand, (rancangan obat berdasarkan ligand; ligand-based
drug designi(LBDD)) dan (ii) berdasarkan struktur target baik berupa enzim maupun reseptor yang
bertanggung jawab atas toksisitas dan aktivitas suatu senyawa di dalam tubuh (rancangan obat
berdasarkan struktur target; structure-based drug design(SBDD)).

LBDD memanfaatkan informasi sifat fisikokimia senyawa-senyawa aktif sebagai landasan mendesain
senyawa baru. Tiga metode LBDD yang lazim digunakan adalah pharmacophore discovery dan
hubungan kuantitatif struktur-aktivitas/quantative structure-activity relationship (HKSA/QSAR), dan
docking studies. Pharmacophore discovery yaitu metode mencari kesamaan sifat fisikokimia antara
lain sifat elektronik, hidrofobik dan sterik dari senyawa-senyawa yang dilaporkan aktif kemudian
dibangun suatu bagian 3D yang menggabungkan sifat gugus-gugus maupun bagian senyawa yang
diduga bertangung jawab terhadap aktivitasnya (pharmacophore). Adapun QSAR memadukan
statistika dengan sifat fisikokimia senyawa yang dapat dikalkulasi dengan bantuan komputer guna
menurunkan suatu persamaan yang dapat digunakan memprediksi aktivitas suatu senyawa

Struktur protein target dapat dimodelkan dari data yang diperoleh struktur kristalnya maupun hasil
analisis nuclear magnetic resonance NMR) maupun data genomic (bioinformatics). Struktur protein
hasil kristalografi dapat diakses di www.rscb.org. SBDD memanfaatkan informasi dari struktur protein
target guna mencari sisi aktif protein yang berikatan dengan senyawa. Berdasarkan prediksi sisi aktif
dapat dirancang senyawa yang diharapkan berikatan dengan protein target tersebut dan memiliki
aktivitas biologis.

Dengan memanfaatan informasi dari struktur target maupun sifat fisikokimia ligand dapat dilakukan
skrining uji interaksi senyawa-senyawa yang diketahui aktif (ligand) pada prediksi sisi aktif protein.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dirancang senyawa baru yang diharapkan lebih poten dari
senyawa-senyawa yang ada. Hal ini juga digunakan untuk studi interaksi ligand dengan protein
targetnya. Salah satu kelemahan docking studies dalam untuk studi interaksi adalah asumsi struktur
protein yang kaku, yang tidak memfasilitasi efek induced-fit dari interaksi protein dengan ligand-nya.
Fleksibilitas protein dan interaksinya dengan suatu senyawa dapat dianalisis dengan
mengaplikasikan Molecular Dynamics (MD), simulasi yang melihat perubahan struktur suatu senyawa
terhadap waktu berdasarkan parameter-parameter tertentu.

Permasalahan utama untuk pemanfaatan komputer ini adalah keberadaan aplikasi kimia komputasi
yang memadai dan lengkap. Salah satu aplikasi kimia komputasi yang cukup memadai untuk
penemuan obat adalah Molecular Operating Environment (MOE) yang dikembangkan Chemical
Computing Group (www.chemcomp.com). MOE selain menawarkan fasilitas yang cukup lengkap juga
user-friendly sehingga cocok digunakan dalam pembelajaran. Hanya saja aplikasi kimia komputasi
yang user-friendly biasanya mahal sehingga alasan efisiensi biaya tidak lagi relevan. Sebagai
informasi, biaya lisensi untuk penggunaan akademis (non komersial) sekitar 2000 US dollar pertahun.
Namun demikian di era open source ini semakin banyak aplikasi-aplikasi kimia komputasi berbasis
open source maupun yang menawarkan free academic license (Geldenhuys dkk., 2006). Hanya saja
aplikasi-aplikasi tersebut seringkali tidak user-friendly dan untuk memanfaatkannya membutuhkan
kemampuan komputer yang lebih dalam, seperti menguasai LINUX-based operating system dan
command line editor bawaan masing-masing aplikasi. Selain tidak user-friendly, aplikasi-aplikasi
tersebut seringkali fokus pada satu topik sehingga tidak cukup lengkap digunakan secara
komprehensif. Beberapa contoh aplikasi-aplikasi yang tersedia secara gratis untuk tujuan
nonkomersial: NAMD (http://www.ks.uiuc.edu/Research/namd/) , sebuah aplikasi untuk Molecular
Dynamics; Visual molecular dynamics (VMD; http://www.ks.uiuc.edu/Research/vmd/) untuk visualisasi
molekul baik tunggal maupun trajectory hasil studi Molecular Dynamics; ArgusDock
(www.arguslab.com) untuk docking analisis; GAMESS (www.uiowa.edu/~ghemical/gtk-gamess.shtml)
untuk minimisasi energi; dan ACD/labs ChemSkecth (www.acdlabs.com) untuk menggambar struktur
kimia.

Dengan berbagai data sintesis dan uji aktivitas yang telah dilakukan banyak peneliti yang telah
dipublikasikan baik di Indonesia maupun internasional serta data struktur protein yang dapat mudah
diakses, berpartisipasi dalam penemuan obat secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan CADD
merupakan salah satu peluang yang layak dipertimbangkan untuk ditekuni lebih lanjut.

Daftar Pustaka:

 DiMasi, J.A., et al (2003) The price of innovation: new estimates of drug development costs.
J. Health. Econ., 22, 151-185
 Geldenhuys, W,J., et al (2006) Optimizing the use of open-source software applications in
drug discovery. DDT, 11 (3/4), 127-132

Sumber : chem-is-try.org, 16-12-2007

Anda mungkin juga menyukai