Di Susun Oleh :
Umi Khafidzatuddariyah
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan lancar.
Dalam menyelesaikan Makalah ini kami banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini kami
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Nur Mufarokhah, S.Psi, M.M. selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nu Trate
Gresik.
2. Muchasin Z.A.,S.Pd.I, MM. selaku Kaprodi Manajemen.
3. Choiri, SE., M.Ak selaku Kaprodi Akuntansi .
4. A. Junaidi Musthofa, M.Pd. I selaku dosen pemiming yang turut membantu
kelancaran penyusunan Makalah ini.
5. Dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan Makalah ini.
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan karya tulis ilmiah
ini.
Kami sebagai penulis berharap agar karya tulis ini bisa bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER....
................................................................................................................................................................................................................................ .i
KATA PENGANTAR................................................................................................ ii
2.2 Apakah Latar Belakang adanya Resolusi Jihad Naskah jihad 1 dan 2 ......
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah (organisasi Keagamaan) wadah bagi para
Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M di
Surabaya. NU didirikan atas dasar kesadaran bahwa setiap manusia hanya dapat memenuhi
kebutuhannya, bila hidup bermasyarakat.
Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU,
akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain.Dalam hal ini penulis
akan membahas tentang khittah NU dan gerakan-gerakan NU.
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini
adalah sebagai berikut :
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
3. Untuk Mengetahui Apakah Latar Belakang adanya Resolusi Jihad beaerta Naskah
5. Untuk Mengetahui Apa Latar belakang Muqoddimah Qonun Asasi beserta Naskahnya
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Pengertian Jihad
Kata jihad berakar pada kata kerja jahada-yajhadu yang berarti berusaha dengan
sungguh-sungguh. Bentuk mashdar dari kata kerja tersebut adalah jahd atau juhd yang di
samping bermakna usaha juga bermakna kekuatan atau kemampuan (Munawwir, 1984: 234).
Dari kata dasar tersebut muncul dua istilah yang sangat populer dalam wacara keislaman,
yakni ijtihad dan jihad (mujahadah).
Istilah pertama, yakni ijtihad, sering digunakan dalam istilah hukum Islam (fikih), yang
oleh al-Syaukani didefinisikan sebagai pengerahan kemampuan dalam memproleh hukum
syar’i yang bersifat praktis melalui cara istinbath (Amir Syarifuddin, 1999: II-224). Ijtihad
merupakan satu metode yang juga dianggap sebagai salah satu sumber dalam penetapan
hukum Islam di samping dua sumber pokoknya, yakni al-Quran dan Sunnah.
Adapun mujahadah, yang juga sering diistilahkan jihad, berarti pengerahan segala
kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap
Allah, baik hambatan yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal (Yunahar Ilyas,
2004: 109). Hambatan internal muncul dari jiwa (nafsu) yang mendorong untuk berbuat
keburukan sesuai dengan watak nafsu (QS. Yusuf (12): 53), hawa nafsu yang tidak terkendali,
dan kecintaan terhadap dunia. Sedang hambatan eksternal berupa syetan yang merupakan
musuh besar umat manusia (yang beriman), orang-orang kafir, munafik, dan para pelaku
maksiat dan kemungkaran.
Semua hambatan atau tantangan di atas harus dihadapi dengan perjuangan yang
sungguh-sungguh yang disertai dengan pengerahan segala kemampuan yang dimilikinya.
Perjuangan inilah yang disebut jihad. Dengan demikian, jihad lebih mengarah pada
pengerahan usaha di bidang fisik yang terwujud dalam aktivitas yang sungguh-sungguh
melawan semua hambatan seperti di atas. Adapun ijtihad lebih mengarah pada kemampuan
usaha di bidang non fisik, yakni berpikir mendalam untuk menemukan hukum dari
permasalahan manusia.
Jihad merupakan salah satu kewajiban bagi setiap Muslim untuk melakukannya, sebab
jihad merupakan salah satu bagian pokok dari syariah Islam (al-Buthy, 1993: 19). Jihad sudah
dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. sejak beliau
3
masih berada di Makkah dan berlangsung terus hingga beliau hijrah ke Madinah. Al-Quran dan
hadits Nabi banyak yang menjelaskan masalah jihad dan memerintahkan kita untuk
melakukannya. Dalam QS. al-Furqan Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka
dengan Al Qur'an dengan jihad yang besar.” (QS. al-Furqan (25): 52).
Artinya: “Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah
menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Nahl: (16): 110).
Jihad dalam kedua ayat di atas lebih tertuju kepada jihad dalam arti perang melawan orang-
orang kafir. Sementara itu Nabi Muhammad Saw. menjadikan jihad sebagai amal manusia yang
paling utama setelah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika Nabi ditanya amalan apa yang
paling utama, beliau menjawab, beriman kepada Allah dan Rasulullah, lalu jihad fi sabilillah, dan
haji mabrur (HR. Ahmad dan al-Bukhari).
Resolusi Jihad NU adalah salah satu bukti bahwa Umat Islam Indonesia selalu menjadi
garda terdepan dalam menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanpa
adanya Resolusi Jihad NU ini, mungkin kita masih terjajah oleh Sekutu yang saat itu ingin
kembali menguasai Indonesia setelah sukses mengalahkan Jepang dalam perang dunia II.
Dengan adanya Resolusi Jihad NU tersebut, Umat Islam menjadi terbakar semangatnya
untuk berperang karena selain tak ingin kembali terjajah oleh Belanda, mereka juga merindukan
mati syahid yang sudah dijanjikan akan memperoleh jaminan masuk surga oleh Allah Swt.
Sebelum terjadinya peristiwa perang antara arek surabaya melawan tentara Inggris
tanggal 10 Nopember 1945, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) Hadlratussyaikh KH Hasyim
Asy'ari mengeluarkan Fatwa Jihad bagi seluruh umat islam yang berada dekat dengan Kota
Surabaya untuk mau ikut berperang melawan penjajah.
Itulah Resolusi Jihad NU yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945. Sejak masa
perjuangan, peran para ulama dan kyai khususnya di lingkungan pesantren dan Nahdlatul Ulama
(NU), dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tak bisa diabaikan apalagi dihapuskan.
Sejak zaman penjajahan Belanda, sejumlah nama ulama NU selalu berperan aktif dalam
perjuangan. Seperti Rais Akbar NU Hadlratussyaikh Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbullah
(selain tokoh NU, juga pendiri Majelis Islam 'Ala Indonesia, 1937), KH Machfudz Siddiq
(Jember), KH Ma'shum (Lasem), KH. Raden Asnawi (Kudus) dll.
Para Ulama Sepuh diatas lebih banyak melakukan perjuangan diplomasi lewat organisasi
dan mengiringi proses pembentukan watak dan karakter bangsa (nation and character building).
Ada juga sejumlah kyai NU yang memilih berjuang dengan mengangkat senjata seperti
yang dilakukan oleh KH Zainal Mustafa dari Pesantren Sukamanah (Ketua PCNU Tasikmalaya)
pada tahun 1944.
Perlawanan ini sebenarnya sebagai prolog dari perlawanan di daerah lain, Cirebon,
Cianjur, hingga Blitar atau yang terkenal dengan Pemberontakan Supriyadi Blitar. Kita juga
jangan melupakan peran KH Abbas di Cirebon (ayahanda KH Abdullah Abbas) dalam melawan
Jepang dan KH Ruchiyat (ayahanda KH Ilyas Ruchiyat, mantan Rais Aam PBNU) pula, yang
pesantrennya pernah diberondong Belanda pada masa revolusi.
Pada masa-masa Jepang, aktivitas persiapan perang sudah dilakukan. Bagi kalangan
pesantren telah dikenal adanya Laskar Hizbullah (kader-kader pesantren) dan Laskar Sabilillah
(para kiai dan ulama). Mereka dilatih di Cibarusah, dekat Bogor sejak 1943.
Dari mereka inilah, ketika mempertahankan kemerdekaan 1945-1949 (revolusi) mereka
tampil menjadi komandan pasukan. Seperti KH Masjkur (dari Singosari, ayah mertua KH
Tolchah Hasan) dan KH Zainul Arifin sebagai pemimpin Laskar Sabilillah. Sedang di Laskar
Hizbullah terdapat nama KH M. Hasyim Latief (pendiri YPM Sepanjang) dan KH Munasir Ali
(Sekjen PBNU).
Berdasarkan hasil dari keputusan yang dihasilkan dari Rapat Besar Konsul-konsul
Nahdlatul Ulama (NU) se-Jawa dan Madura, 21-22 Oktober di Surabaya, Jawa Timur, Maka
dikeluarkanlah sebuah Resolusi Jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia.
Naskah Jihad
Berikut ini adalah isi dari Resolusi Jihad NU sebagaimana pernah dimuat di harian
Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945. Salinan di
bawah ini telah disesuaikan ejaannya untuk masa kini :
Bismillahirrahmanirrahim
Resolusi
Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-
Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya:Mendengar:
Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam
dan Alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA,
KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.Menimbang:
a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum
AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam
b. Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Ummat Islam.
Mengingat:
a. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak
sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.
b. Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu dengan maksud melanggar Kedaulatan
Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali menjajah di sini, maka di beberapa tempat
telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.
c. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan ummat Islam yang merasa
wajib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.
d. Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu belum mendapat perintah dan
tuntutan yang nyata dari Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian
tersebut.
Memutuskan:
1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu
sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan
kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannya.
Sungguh disayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang sejak dahulu tidak mau menghargai
Resolusi Jihad NU ini sebagai salah satu sejarah penting bangsa Indonesia. Bahkan, ada upaya
untuk menghilangkan jejak peran para santri dan kyai dalam menjaga kedaulatan bangsa
Indonesia.
semoga kita sebagai generasi muda Indonesia mau untuk kembali belajar sejarah Indonesia agar
kita dapat mengambil manfaat dan teladan dari cerita para pahlawan terdahulu yang telah rela
mengorbankan jiwa, raga dan hartanya demi bangsa, negara dan agamanya.
1.3 Pengertian Qanun
Menurut bahasa, Kata qanun berakar dari Bahasa Yunani, kanon / κανών, yang berarti
untuk memerintah, tolok ukur atau mengukur. Kata qanun yang kemudian menjadi kata serapan
dalam bahasa arab merupakan kata yang berarti metode dan ukuran sesuatu.[1] Ia juga berarti
dasar.
Qanun menurut istilah sekarang adalah kumpulan undang-undang dan peraturan yang
mengatur berbagai hubungan masyarakat, baik dari sisi individu maupun harta benda. Terdapat
enisnya sangat banyak, yang terpenting adalah: undang-undang dasar, undang-undang
perniagaan, hukum adat, undang-undang pidana, dan undang-undang perdata.
Qanun sebagaimana yang dipahami sekarang ini merupakan bagian dari syariat karena
syariat lebih luas dan lebih umum, bukan hanya sekadar undang-undang. [2]Ia meliputi
rancangan terpadu dan menyeluruh untuk semua aspek kehidupan. Fiqih syariat Islam terbagi
menjadi dua bagian utama, yaitu:[3]
1. Ibadah
2. Muamalat
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah
satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan
portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar
kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22).
Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hokum yang di atur oleh ulama.
Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta
persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan
Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika
ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari
kalangan ulama yang cakap dan berwibawa.
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama dating ke Aceh.
Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh
Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun
1603, bukhari al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang
membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973: 22).
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan syekh abdurra’uf
disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-
ulhukkamyi takhlish khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa
pemerintahan sultan alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim
dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri
dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab
syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat
raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak
kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan
istana. Raja ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi
hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya
yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah di terapkan syariat islam,buktinya adalah:
a. datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa
itu sangat besar.
b. Di bentuknya peradilan islam yang di atur oleh ulama tanpa campur tangan penguasa, ada
keleluasaan untuk menjalankan hukum syariah.
c. Pengadilan di buat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak
selesai di tingkat daerah( qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi
(qadhi malikul adil).
d. Jika kisah iskandar muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam
bagi pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.
Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud beureueh berhasil terkumpul dana
sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk
perkantoran pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya
ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi
pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.
Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di satukan
dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah
rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda dibiarkan
begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam
Indonesia( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah
karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim
“untold history”. ] 30 September 2009 jam 22:35)
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan
dan pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat.
Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda,
colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsure-unsur syariat
agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
“ pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama islam bagi
pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya kepada
pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar, 2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun
1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai
lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan
sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup
keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu
pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari
cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah
nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika
peraturan daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak
dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde
baru. Syariat islam Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa.
Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat islam untuk
mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di
tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di pergunakan
dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas
yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam Cuma sekedar
usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji
pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan
turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di
seluruh Indonesia.
Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “
penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan
islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat
islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum
yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:
1. Alas an agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi
muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
2. Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka
jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan
kesadaran dan kata hati mereka sendiri.
3. Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn
kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah
masyarakat.
4. Alas an ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi,
serta kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi
atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.
Sampai tahun 2005 sudah ada beberapa qanun yang disusun dan disahkan bahkan sudah ada
pelaku pelanggar syariat yang ditindak dengan hukum ini, diantaranya :
1. Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah. Ibadah dan
syariat islam.
2. Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang
mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin
untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang mem[roduksi khamar
dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan
dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp.
25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis dan merencanakan.
Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan)”.
Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus
dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses
pengambilan keputusan.Landasan tersebut adalah faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang
diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia,meliputi dasar dasar amal keagamaan
maupun kemasyarakatan.Khittah NU juga digalidari intisari perjalanan sejahtera khidmahnya dari
masa ke masa.Kata khiththah ini sangat dikenal kalangan masyarakat Nahdliyin, terutama sejak
tahun 1984.
Sebagai formulasi yang kemudian menjadi rumusan “Khittah NU”, maka tahun 1984
bukan tahun kelahirannya. Kelahiran khittah NU sebagai garis, nilai-nilai, dan jalan perjuangan,
ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai di pesantren dan masyarakat NU. Keberadaannya
jauh sebelum tahun 1984, bahkan juga sebelum NU berdiri sekalipun dalam bentuk tradisi turun
temurun dan melekat secara oral dan akhlak.
Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini
ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana
saat didirikan, 31 Januari 1926.
Selain penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan kata “Khittah 26”.
Kata “khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang
dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 adalah
sebagai gerakan sosial-keagamaan. Hanya saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini,
mengalami perubahan ketika NU bergerak di bidang politik praktis.
Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU menjadi partai politik sendiri
sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sejak 5
Januari 1973. Ketika NU menjadi partai politik, banyak kritik yang muncul dari kalangan NU
sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik” dianggap tidak banyak
mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya kembali kepada khittah.
Perjuangan kembali pada khittah sudah diusahakan sejak akhir tahun 1950-an.
Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959, seorang wakil
cabang NU Mojokerto bernama KH Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH. Achyat
mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga partai sebagi
alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU kembali ke khittah pada
tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima sebagai keputusan muktamar.
Kelompok “pro jam`iyah” pada tahun 1960 menggunakan warta berkala Syuriyah untuk
menyuarakan perlunya NU kembali ke khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah juga
disuarakan kembali pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan tersebut
banyak ditentang oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai politik.
Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di Kaliurang
tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbono itu bahkan
dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya, sekretaris
HM Said Budairi, dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini berhasil menyepakati
“Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan ulama di dalamnya, hubungan NU dan
politik, dan makna Khittah NU 1926. Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama ini kemudian
ditetapkan sebagi hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan
perdebatan yang intens. Muktamar NU di Situbondo inilah yang berhasil memformulasikan
rumusan Khittah NU.
Dalam formulasi itu, ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara organistoris tidak terikat
dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatn manapun. Sementara dalam paham
keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan mendasarkan
pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam menafsirkan sumber-sumber
itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljama`ah
(Aswaja) di bidang akidah, fiqih dan tasawuf.
1. Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang dipelopori Imam
Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
2. Di bidang fiqih NU mengakui madzhab empat sebagai paham Aswaja yang masih
bertahan sampai saat ini.
1. Dasar-dasar Pemikiran NU
NU mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri yang bersifat menyempurnakan
kebaikan yang dimiliki oleh manusia.
2. Sikap Kemasyarakatan NU
a. Sikap tawasuth dan I’tidal berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi
keharusan berlaku adil dan lurus di tengah tengah kehidupan bersama. NU dengan sikap
dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan
selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat
tatharruf (ekstrim).
b. Sikap tasamuh sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah
keagamaan, terutama yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah serta
dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
c. Sikap tawazun sikap seimbang dan berkhidmah, menyerasikan khidmah kepada ALLAH
SWT khidmah kepada sesama manusia serta lingkungan hidupnya. Menyelaraskan
kepentingan masa lalu dan masa kini serta masa yang akan datang
d. Sikap amar ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan
yang baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak dan mencegah
semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai nilai kehidupan.
3. Perilaku yang dibentuk oleh dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU
e. Meluhurkan kemuliaan moral (Al Akhlakul karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran
(Ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak
g. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah
SWT
i. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa
kemaslahatan manusia
yaitu sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi terciptanya tujuan-tujuan yang telah
ditentukan baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan.
NU secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses perjuangan mencapai dan
mempertahankan kemerdekaan, serta mewujudkan pembangunan menuju masyarakat adil dan
makmur yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang diridhoi oleh Allah SWT.
Nahdlatul Ulama (NU) berdiri tahun 1926 adalah sebagai organisasi kemasyarakatan atau
jam’iyah, bukan partai politik, bukan institusi politik, tapi tak bisa dipungkiri dan dihindarai
bahwa sejak kelahirannya NU telah bersinggungan dengan ruang politik.
Pada tahun 1940-1943 NU masuk MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Masyumi
dibentuk dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan besar bagi umat Islam. Tahun 1945 Raisul
Akbar Hadrotussyaikh KH Hasyim As’ary mengeluarkan fatwa resolusi jihad untuk menghadapi
tentara nicca belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya NU juga tidak tinggal diam menghadapi
PKI.
Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu sendiri sebagai respon atas
munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang menyatakan dirinya sebagai kaum
pambaharu Islam. Melihat sisi historis demikian maka boleh dikatakan semenjak kelahirannya
NU telah berpolitik, barulah pada tahun 1952 Muktamar NU ke 19 di palembang, NU resmi
menyatakan diri sebagai partai politik setelah keluar dari Masyumi.
Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU berhasil meraih suara cukup menggembirakan,
NU benar-benar bermain di arena politik, NU punya banyak wakil di DPR, para ulama sepuh
NU juga masih banyak. Sampai disini NU masih berjaya. Barulah pada tahun 1973 NU mulai
melewati masa awal perpecahan. Semua partai Islam termasuk NU harus fusi dalam satu partai
yaitu Partai Persatuan Pembangunan(PPP). PPP tak ubahnya seperti Masyumi dulu, perselisihan
antar kelompok dalam tubuh PPP terus terjadi tak kunjung usai. Kasus yang terjadi di PPP serupa
dengan yang terjadi di Masyumi – NU selalu dimarjinalkan.
NU dalam posisi rumit, membuat partai tidak bisa, memperbaiki PPP juga suatu hal yang
sangat sulit karena PPP dan PDI saat itu merupakan boneka orde baru. Disinilah titik awal
dimulainya perpecahan warga NU, dimana pemerintah Orba salah satu faktor utama dalam
penghancuran NU. NU selanjutnya hanya berpolitik secara moral yang sulit
dipertanggungjawabkan hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan para kadernya di PPP, sedang
NU sendiri hanya bisa bermain diluar arena.
Namun tampaknya harapan hanya tinggal harapan, PKB yang diharapkan menjadi sayap
politik NU justru berjalan sendiri bahkan senantiasa berseberangan dengan NU struktural. Antara
PKB dan NU mulai ada tanda-tanda kurang serasi, PKB memecat ketuanya yaitu Matori Abdul
jalil yang sebenarnya NU tidak menghendaki. Ketidakserasian NU-PKB ini diperuncing lagi
ketika NU mencalonkan Hasyim Muzadi menjadi cawapres Mega. Dengan susah payah NU
menggerakkan warganya dari tingkat PW-PC-MWC bahkan sampai ketingkat ranting untuk
mengegolkan jagonya yaitu Hasyim Muzadi menjadi Cawapres, tapi PKB saat itu justru
mendukung Wiranto-Wahid dari Golkar, diteruskan pada pilpres putaran kedua PKB mendukung
SBY-JK. Cukup sudah PKB menyodok NU saat itu. Mulai dari itu PKB dianggap bukan lagi
partai sayap politik NU karena PKB terlalu jauh meninggalkan NU.
Carut-marut perpolitikan NU saat ini sudah sangat rumit. Musuh sudah memakai senjata
api kita masih berebut senjata bambu. Sederet pertanyaan inilah yang mungkin akan terjawab
dalam muktamar NU mendatang.
8. Gerakan Kultur NU
Namun yang perlu ditegaskan di sini adalah peran politik yang dimainkan oleh NU bukan
lagi politik praktis yang berorientasi pada kekuasaan. Pola politik semacam ini lebih bersifat
formalistik dan struktural. Sebaliknya dalam dimensi semangat khittah, yang lebih diprioritaskan
oleh NU adalah gerakan politik kultural. Konsep inilah yang menjadi batu loncatan dan terobosan
baru bagi NU untuk memajukan dan memberdayakan masyarkat. Sebab, orientasi kerjanya bukan
lagi memperdebatkan soal kursi kekuasaan maupun jabatan di berbagai lembaga pemerintahan,
melainkan lebih concern pada perumusan langkah dan strategi pemberdayaan masyarakat bawah
yang sebesar-besarnya. Inilah yang pernah diserukan oleh mantan Rais Aam PBNU-1984, KH.
Achmad Siddiq bahwa orang NU lebih baik bekerja untuk memajukan masyarakat dan bukannya
berusaha mendapatkan kekuasaan.
Secara substansial, gerakan politik kultural NU ini masih lemah, masih belum mengakar
kuat sehingga benar-benar mampu mengangkat warganya dari segala macam krisis. Pada level
praksis-operasional, komitmen dan spirit politik kultral NU itu belum berhasil ditransformasikan
sebagai sebuah sistem gerakan yang simultan untuk menyelesaikan problem-problem riel di
masyarakat. Sehingga seolah nampak bahwa orientasi politik NU ini hingga sekarang masih lebih
menjadi wacana sosial-keagamaan, daripada menjadi perangkat kerja konkrit. Terbukti warga NU
masih banyak yang terjerat oleh persoalan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Faktor utama yang menyebabkan politik kultural NU tersebut mandul dan lemah sebagai
media gerakan transformasi sosial adalah karena rendahnya mentalitas dan moralitas para oknum
yang ada di struktur NU.Oleh para pengurusnya, NU masih sering dimanfaatkan sebagai alat
untuk menjalin akses ekonomi dan politik pribadi. Hal ini terbukti dengan masih
dimanfaatkannya lembaga NU untuk mendukung calon tertentu dalam pemilu maupun pilkada di
berbagai daerah daripada sebagai alat kontrol kekuasaan.Hal ini menjadikan agenda-agenda
sosio-kultural dan keagamaan, yang merupakan bagian dari gerakan politik kultural NU, tidak
berjalan
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
1. Resolusi Jihad NU adalah salah satu bukti bahwa Umat Islam Indonesia selalu menjadi
garda terdepan dalam menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Qanun menurut istilah sekarang adalah kumpulan undang-undang dan peraturan yang
mengatur berbagai hubungan masyarakat, baik dari sisi individu maupun harta benda.
Terdapat enisnya sangat banyak, yang terpenting adalah: undang-undang dasar, undang-
undang perniagaan, hukum adat, undang-undang pidana, dan undang-undang perdata.
3. Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus
dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap
proses pengambilan keputusan.
4. Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini
ditandai keluarnya NU dari PPP dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan
sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.
5. Setelah Khittah NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis tetapi lebih kepada
politik taktis.
3.2 Saran
1. Sebagai Jam’iyah Nahdlatul Ulama kita harus selalu mempertahankan kemurnian Islam
dengan jalan mengikuti faham Ahlussunnah Wal Jama’ah berdasar Al Qur’an, Assunnah,
Ijma’ dan Qiyas serta dengan pendekatan salah satu dari 4 madzhab.
2. Para pengurus NU yang tergabung dalam partai politik diharapkan selalu berpegang pada
Khittah NU 1926 dengan kerja kultural yaitu bekerja untuk memajukan masyarakat bukan
untuk memperebutkan kekuasaan, yaitu dengan membantu pengembangan kegiatan di
bidang da’wah, sosial maupun pendidikan.
4
DAFTAR PUSTAKA
· Pustaka Ma’arif NU. 2007. Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia. Jakarta.
· Haryono Abu Syam. 1981. Pendidikan Nahdlatul Ulama. Surabaya. Cahaya Ilmu
· Moxeeb’s.wordpress.com
· http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/020.htm
· emka.web.id/ke-nu-an/2012/apa-itu-khittah-nu