A. Deskripsi Kasus
Pengakuan Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral di Technische Universiteit (TU) Delft
Belanda, mengenai kesalahannya terkait informasi pribadi, kompetensi, dan prestasinya selama
di Belanda menjadi topik pembicaraan dikalangan peniliti khususnya. Berbagai prestasi yang
selama ini diklaim Dwi membuatnya dianugerahi penghargaan oleh Kedutaan Besar Republik
Indonesia. Setelah diketahui klaim-klaim tersebut bohong belaka, KBRI Den Haag mencabut
penghargaan tersebut. Bahkan salah satu media menjulukinya sebagai “The Next Habibie”.
Kebohongannya dimulai dari kesalahan fatal wartawan detik, Eddi Santosa, yang menulis
berita tanpa kros-referensi di: detik.id/6od5me. Diberitakan bahwa Dwi Hartanto, kandidat
doktor TU Delft, memimpin tim peluncuran roket TARAv7s, sebuah proyek kementrian
pertahanan Belanda. Ditulis juga bahwa Dwi Hartanto diminta oleh pemerintah Belanda untuk
berganti passport, namun Dwi mengaku menolak tawaran tersebut. Pemberitaan tersebut
menggiring opini public bahwa terdapat mahasiswa Indonesia yang sangat berprestasi di
Belanda. Hal tersebut mirip dengan kisah Pak Habibie. Bahkan Dwi sempat diundang ke stasiun
televisi Metro TV atas ‘prestasi’ nya tersebut. Bahkan sempat diundang juga di Visiting World
Class Professor 2016 di Jakarta (sumber : goo.gl/EjoHGo).
Sebenarnya kebohongan Dwi ini sudah diketahui oleh bebrapa teman dekatnya sejak 2 tahun
yang lalu sebelum kejadian ini. Bebrapa kali teman dekatnya sempat menegur Dwi. Namun Dwi
tidak menghiraukan teguran tersebut. Kemudian teman teman sesame mahasiswa yang berkuliah
di melakukan investigasi internal untuk mengumpukan bukti dan fakta untuk menepis klaim
yang Dwi lontarkan.
Deden Rukmana, profesor studi perkotaan dan planologi di Savannah State University pernah
bertemu dengan Dwi dalam acara Visiting World Class Professor 2016 mengaku kagum dengan
dirinya. Deden mengatakan, pada 10 September 2017, salah satu anggota grup pengurus I-4
secara terpisah mengirimkan dua dokumen lengkap investigasi beragam klaim yang disampaikan
Dwi selama ini. Kedua dokumen itu disiapkan beberapa teman Indonesia di TU Delft yang
mengenal Dwi secara pribadi.
( https://www.viva.co.id/digital/964573-kronologi-terbongkarnya-kebohongan-dwi-Hartanto ).
Kemudian Deden Rukmana melakukan pemerikasaan silang melalui video wawancara, laman
FB nya dll terkait klaim klaim yang dituliskan dalam laporan tersebut. "Kebohongan publik telah
terjadi sejak 2 tahun terakhir. Awalnya ada seorang yang mengenal Dwi secara pribadi
mengetahui kebohongan itu dan mengontak saya serta membagikan hasil investigasi bersama
alumni TU Deft," jelas Deden melalui surel kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/10).
(https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20171009133751-199-247135/kebohongan-dwi-
hartanto-mencederai-kode-etik-ilmuwan)
C. Pendapat
Kasus yang terjadi pada Dwi Hartanto merupakan pelanggaran etika bagi seorang peneliti.
Dimana seorang peneliti harus berpegang teguh terhadap nilai kejujuran. Seorang peniliti harus
berkata sesuai dengan fakta dan bukti yang ada tanpa melebih lebihkan ataupun mengurangi
isinya. Hal tersebut terdapat dalam kode etik penelitian yang dikeluarkan oleh DIKTI.
Kebohongan seperti yang dilakukan Dwi Hartanto tersebut, lanjutnya, akan merusak kredibilitas
Dwi sendiri. Menurut saya, menjadi seorang mahasiswa yang mendapatkan kesempatan untuk
berkuliah di salah satu universitas terbaik di Belanda merupakan sebuah prestasi yang
membanggakan. Namun kebanggan itu hilang dari Dwi Hartanto. Tindakan berbohong yang
dilakukannya dapat mencoreng nama baik peneliti khusunya peneliti Indonesia. Kemudian,
Tindakan yang dilakukan oleh teman dekat Dwi sangat baik. Ketika melihat kebohongan,
sebagai manusia yang masih memiliki hati nurani pasti akan melakukan tindakan yang serupa.
Tindakan kebohongan Dwi yang terus berlanjut juga tidak lepas dari peran media. Media
begitu membesarkan nama Dwi tanpa melakukan pemeriksaan silang terhadap dugaannya.
Sehingga psikologis Dwi menjadi terganggu dengan pemberitaan tersebut. Ketika seseorang
nyaman dengan berbohong 1x, maka akan terus tercipta kebohongan kebonghongan yang lain.
Penulis berita maupun reporter yang terlibat juga sudah melanggar kode etik sebagai seorang
jurnalis.
D. Saran
Pemeriksaan secara menyeluruh terhadap sesuatu hal merupakan langkah awal untuk
menyajikan sesuatu tersebut ke publik. Peran media dalam kehidupan sekarang ini sangat kuat.
Sebagai masyarakat terdidik seharusnya juga dapat memilah mana informasi yang sesuai fakta
dan bukan. Sehingga media juga harus memahami prinsip dasar kejujuran dalam menyajikan
informasi ke publik. Jangan amemanipulasinya.
Sebagai seorang peneliti, harus berpegang tuguh terhadap nilai kejujuran. Tugas seorang
peneliti mencari kebenaran akan sesuatu hal. Bukan berbohong. Jangan sampai emosional
menguasai segalanya. Sehingga, tindakan Dwi tersebut mencoreng nama baik peneliti Indonesia.
Sehingga perlu tindakan yang tegas terhadap perbuatannya. Hukuman terhadap pelanggaran
etika penelitian ini perlu diperjelas lagi. Sehingga tidak terulang lagi kejadian seperti ini.
E. Kesimpulan
DESEMBER, 2018