Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KHUSUS UJIAN SARJANA

BIDANG KIMIA BAHAN ALAM

DISUSUN OLEH:

ELSA RAHMADHANTI
NIM : 1504030

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


YAYASAN PERINTIS
PADANG
2019
TAHAPAN ISOLASI IDENTIFIKASI ZAT AKTIF PADA SENYAWA
BAHAN ALAM DAN ELUSIDASI STRUKTUR

1. Identifikasi Sampel Tanaman


Identifikasi berasal dari kata identik yang artinya sama atau serupa dengan,
dan untuk ini dapat terlepas dari nama latin. Identifikasi tumbuhan adalah
menentukan nama yang benar dan tempatnya yang tepat dalam klasifikasi.
Tumbuhan yang akan diidentifikasi, mungkin belum dikenal oleh dunia ilmu
pengehtahuan. Penentuan nama baru dan penentuan tingkat-tingkat takson harus
mengikuti semua aturan yang ada dalam KITT. Untuk mengidentifikasi tumbuhan
yang telah dikenal oleh dunia ilmu pengehtahuaan, memerlukan sarana antara lain
bantuan dari orang lain, spesimen, herbarium, buku-buku flora, dan monografi
kunci identifikasi serta lembar identifikasi jenis.
Identifikasi Tanaman adalah suatu proses pengenalan tanaman untuk mengetahui
jenis tanaman secara detail dan lengkap serta dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah. Tujuan dari identifikasi tanaman untuk memfasilitasi siswa,
mahasiswa, peneliti atau umum yang memerlukan kejelasan tanaman
(identifikasi) dalam rangka diseminasi ilmu pengetahuan. Dasar hokum dari
kegiatan ini adalah PP No. 106 Tahun 2012 tentang Tarif Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang berlaku di Lingkungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Adapun prosedur layanan jasa identifikasi tanaman adalah sebagai berikut :
a. Pelanggan mengajukan surat permohonan identifikasi tanaman ke herbarium.
b. Surat akand iproses, dan balasan surat akan dikirim kepada pelanggan. Surat
balasan berisi penjelasan agar pelanggan datang membawa material tanaman
yang akan diidentifikasi dan menyelesaikan biaya administrasi yang terkait.
c. Pada saat pelanggan datang, Petugas Pelayanan Jasa dan Fasilitas
mempersilahkan pelanggan untuk melunasi biaya dan menyerahkan
materialnya langsung keSubbidang Registrasi dan Pembibitan.
d. Setelah identifikasi selesai, hasil identifikasi akan di beritahukan kepada
pelanggan.
2. Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh kandungan
senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan dengan pelarut yang sesuai
dalam standar prosedur ekstraksi (ICS-UNIDO, 2008; Ditjen POM, 2000). Ekstraksi
adalah proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan menggunakan pelarut.
Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa
melarutkan material lainnya. Secara garis besar, proses pemisahan secara ekstraksi
terdiri dari tiga langkah dasar yaitu:
1) Penambahan sejumlah massa pelarut untuk dikontakkan dengan sampel, biasanya
melalui proses difusi.
2) Zat terlarut akan terpisah dari sampel dan larut oleh pelarut membentuk fase
ekstrak.
3) Pemisahan fase ekstrak dengan sampel (Wilson, et al., 2000).

Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan
tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Ekstrak adalah
sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif dengan
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian, hingga
memenuhi baku yang ditetapkan (Depkes RI 1995). Ekstraksi adalah proses
pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan sifat tertentu, terutama kelarutannya
terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda. Pada umumnya ekstraksi
dilakukan dengan menggunakan pelarut yang didasarkan pada kelarutan komponen
terhadap komponen lain dalam campuran, biasanya air dan yang lainnya pelarut
organik. Bahan yang akan diekstrak biasanya berupa bahan kering yang telah
dihancurkan, biasanya berbentuk bubuk atau simplisia (Sembiring, 2007). Tujuan
ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada
bahan alam. Bahan-bahan aktif seperti senyawa antimikroba dan antioksidan yang
terdapat pada tumbuhan pada umumnya diekstrak dengan pelarut. Pada proses
ekstraksi dengan pelarut, jumlah dan jenis senyawa yang masuk kedalam cairan
pelarut sangat ditentukan oleh jenis pelarut yang digunakan dan meliputi dua fase
yaitu fase pembilasandan fase ekstraksi. Pada fase pembilasan, pelarut membilas
komponen-komponen isi sel yang telah pecah pada proses penghancuran sebelumnya.
Pada fase ekstraksi, mula-mula terjadi pembengkakan dinding sel dan pelonggaran
kerangka selulosa dinding sel sehingga pori-pori dinding sel menjadi melebar yang
menyebabkan pelarut dapat dengan mudah masuk kedalam sel. Bahan isi sel
kemudian terlarut ke dalam pelarut sesuai dengan tingkat kelarutannya lalu berdifusi
keluar akibat adanya gaya yang ditimbulkan karena perbedaan konsentrasi bahan
terlarut yang terdapat di dalam dan di luar sel (Voigt, 1995). Ekstraksi secara umum
dapat digolongkan me njadi dua yaitu ekstraksi padat cair dan ekstraksi cair-cair.
Pada ekstraksi cair-cair, senyawa yang dipisahkan terdapat dalam campuran yang
berupa cairan, sedangkan ekstraksi padat-cair adalah suatu metode pemisahan
senyawa dari campuran yang berupa padatan (Anonim, 2012)
Metoda ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara (Depkes RI, 2000):
1. Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan
(kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Maserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat
pertama dan seterusnya. Keuntungan dari maserasi adalah pengerjaannya
mudah dan peralatannya murah dan sederhana sedangkan kekurangannya
antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi bahan cukup lama,
penyarian kurang sempurna, pelarut yang digunakan jumlahnya banyak.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah proses ekstraksi dengan cara melewatkan pelarut secara
lambat pada simplisia dalam suatu alat perkolator pada suhu kamar. Proses ini
terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan atau penampungan ekstrak) terus-menerus sampai
diperoleh ekstrak atau perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
2. Cara Panas
1) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya selama
waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada
residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi
sempurna.
2) Sokletasi
Sokletasi adalah esktraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut konstan dengan adanya pendingin balik.
3) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada suhu
yang lebih tinggi dari suhu kamar yaitu secara umum dilakukan pada suhu
40-500C. Cara ini dilakukan untuk simplisia yang pada suhu kamar tidak
terekstrak dengan baik.
4) Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan ekstraksi simplisia nabati
dengan air pada suhu 900C selama waktu tertentu (15-20 menit).
5) Dekokta
Dekokta adalah suatu proses ekstraksi yang hampir sama dengan infusa,
tetapi dekokta dipanaskan selama 30 menit sampai dengan 900C. Cara ini
dapat dilakukan untuk simplisia yang tidak mengandung minyak atsiri atau
simplisia yang mengandung bahan yang tahan terhadap pemanasan.
6) Destilasi (Penyulingan)
Prinsipnya penyulingan distilasi merupakan suatu proses pemisahan
komponen-komponen suatu campuran yang terdiri atas dua cairan atau lebih
berdasarkan perbedaan tekanan uap atau berdasarkan perbedaan titik didih
komponen-komponen senyawa tersebut. Penyulingan merupakan metode yang paling
banyak digunakan untuk mendapatkan minyak atsiri. Penyulingan dilakukan dengan
mendidihkan bahan baku di dalam ketel suling sehingga terdapat uap yang diperlukan
untuk memisahkan minyak atsiri dengan cara mengalirkan uap jenuh dari ketel
pendidih air (boiler) ke dalam ketel penyulingan. Pada dasarnya terdapat dua jenis
penyulingan yaitu : Hidrodestilasi adalah penyulingan suatu campuran yang berwujud
cairan yang tidak saling bercampur, hingga membentuk dua fasa atau dua lapisan.
Proses ini dilakukan dengan bantuan air maupun uap air.

3. Fraksinasi
Prinsip dari fraksinasi adalah senyawa-senyawa yang bersifat non-polar akan larut
dalam pelarut yang bersifat non-polar sedangkan senyawa-senyawa yangpolar akan
larut dalam pelarut yang bersifat polar juga. Berdasarkan hal tersebut dapat dilakukan
pemisahan komponen senyawa dengan cara fraksinasi. Fraksinasipada prinsipnya
adalah proses penarikan senyawa pada suatu ekstrak dengan menggunakan dua
macam pelarut yang saling tidak bercampur. Pelarut yang umum dipakai untuk
fraksinasi adalah n-heksan, etil asetat dan n-butanol. Untuk menarik lemak dan
senyawa non-polar digunakan n-heksan, etil asetat untuk menarik senyawa semipolar
sedangkan n-butanol untuk menarik senyawasenyawa polar (Houghton, 1998).
Tiap-tiap fraksi diuapkan secara in vacuo sampai kental dengan rotary
evaporator. Penguapan dengan menggunakan rotary evaporator dipercepatdengan
adanya gerakan berputar dari labu rotari sehingga akan memperluasbidang
permukaan sampel. Dalam keadaan vakum (in vacuo), tekanan uap pelarutakan turun
dan pelarut akan mendidih pada temperatur yang lebih rendah dari titik didih
normalnya.

4. Purifikasi Senyawa Organik


4.1 Kromatografi
Menurut International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC)
kromatografi merupakan suatu metode yang khususnya digunakan dalam
pemisahan komponen-komponen dalam suatu sampel yang terdistribusi dalam
dua fase yaitu fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam dapat berupa padat, cairan
yang diletakkan di atas padatan atau gel. Fasa diam dapat dibuat dalam bentuk
kolom, disebarkan sebagai suatu lapisan tipis atau didistribusikan sebagai film.
Fasa gerak dapat berupa gas atau cairan (Rubiyanto, 2017). Bervariasinya teknik
kromatografi menyebabkan kesulitan tersendiri bagi seseorang yang akan
melakukan penelitian yang melibatkan metode kromatografi. Umumnya ketika
akan menentukan suatu jenis kromatografi dilihat karakter sampel apakah bersifat
volatil atau tidak. Untuk sampel yang volatil dan stabil pada temperatur 350oC
(temperatur kolom/fasa diam) maka kromatografi dengan fasa gerak gas akan
lebih cocok sementara yang berkarakter sebaliknya lebih tepat digunakan
kromatografi cair (Rubiyanto, 2017).
Proses pemisahan dengan kromatografi memang tidak sesederhana yang
terlihat dalam tekniknya secara visual. Dua jenis interaksi dasar yang sering
diaplikasikan secara umum dalam proses analisis dalam metode kromatografi
adalah partisi dan adsorpsi. Partisi merupakan peristiwa yang melibatkan
kesetimbang distribusi senyawa dalam fasa-fasa yang berbeda sehingga diperoleh
distribusi tersebut. Sedangkan adsorpsi melibatkan kemampuan aktivitas suatu
permukaan dalam mengikat suatu senyawa (Rubiyanto, 2017).

4.1.1 Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkang oleh Izmailoff dan Schraiber pada
tahun 1983. KLT merupakan bentuk kromatografi planar. Pada kromatografi lapis
tipis fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar
yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium atau plat plastik. Fase gerak
akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan
secara menaik (ascending), atau pengaruh gravitasi pada pengembangan secara
menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2007). Senyawa yang terlarut
dalam fasa gerak akan melewati fasa diam. Kecepatan bergerak suatu komponen
dalam campuran senyawa tergantung pada kelarutannya dalam fase diam. Senyawa-
senyawa yang lebih larut akan bergerak lebih lambat daripada senyawa yang kurang
larut (Rubiyanto, 2017). Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap
berukuran keci dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Penjerap yang paling
sering digunakan adalah silika dan serbu selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang
utama pada KLT adalah partisi dan adsorpsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai
penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah
dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan
untuk pemisahan kiral (Gandjar dan Rohman, 2007).
Fase gerak pada KLT dapat dipilih pada pustaka, tetapi lebih sering dengan
coba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling
sederhana adalah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua
pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi
secara optimal.
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak
berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun
biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan
suatu pereaksi melalui melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas.
Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan
pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet
terutama untuk senyawa yang dapat berflluoresensi. Jika senyawa tidak dapat
berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluoresensi,
dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan
kelihatan berfluoresensi. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan
mengoptimasi fase gerak menurut Gandjar dan Rohman (2007):
1. Fase gerak harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan
teknik yang sensitif.
2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehinggaharga Rf terletak
antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga
menunjukkan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti
dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan
harga Rf secara signifikan.
4. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut
sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan
tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan
meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.

4.1.2 kromatografi Kolom


Kromatografi kolom merupakan salah satu contoh kromatografi adsorpsi.
Karakter kromatografi kolom adalah fase diamnya padat, misalnya silika gel,
alumina, karbon aktif, dan fase geraknya cair (misal aseton, etanol, dll). Senyawa
yang dipisahkan dengan kromatografi kolom memiliki mekanisme yang sama
dengan jenis kromatografi lain yaitu berkaitan dengan perbedaan antar gaya-gaya
antar molekul dalam sampel dengan fasa gerak dan antara komponen dengan fase
diam. Tekniknya bergantung pada kombinasi fase diam dan fase gerak yang dipilih,
sehingga interaksi yang timbul juga demikian. (Rubiyanto, 2017).
Zat cair sebagai fase gerak akan membawa cuplikan senyawa mengalir
melalui fase diam sehingga terjadi interaksi berupa adsorpsi senyawa-senyawa
tersebut oleh padatan dalam kolom. Kecepatan bergerak suatu komponen dalam
cuplikan tergantung pada seberapa besar/lama komponen tersebut tertahan oleh
padatan penyerap dalam kolom. Hasil yang diperoleh berupa fraksi-fraksi senyawa
(eluat) yang ditampung pada bagian bawah kolom (Rubiyanto, 2017).
Untuk dapat diperoleh pemisahan yang sempurna perlu dilakukan pemilihan
fase diam dan fase gerak secara tepat dan sesuai. Faktor yang menjadi ukuran
pemilihan terhadap kedua fase tersebut antara lain polaritas dan kelarutan
(Rubiyanto, 2017).
Teknik kromatografi kolom menurut Rubiyanto (2007):
1. Dibuat bubur adsorben yang berasal dari padatan yang telah dipilih.
2. Bubur adsorben dituang ke dalam kolom gelas ukuran panjang ± 40 cm dan
diameter ± 2 cm (dimensi kolom dapat disesuaikan dengan kebutuhan) yang
dibagian ujung bawahnya dilengkapi dengan kran, secara hati-hati. Bagian
bawah ditahan dengan glass wool atau sejenisnya untuk menghindari lolosnya
adsorben dari dalam kolom.
3. Dijaga jangan sampai terjadi gelembung udara pada bagian dalam kolom.
Hasil akhir penuangan bubur adsorben berbentuk padat dan kompak tana
lubang atau retakan. Bila hal ini terjadi maka kolom tersebut dikatan rusak
dan tidak dapat dipergunakan.
4. Padatan kolom yang terbentuk dijaga supaya tetap basah oleh pelarut dengan
menuangkan pelarut dengan hati-hati dan terhindar dari kekeringan
permukaan.
5. Bila akan digunakan pelarut yang berbeda sebagai fase gerak maka kolom
harus dicuci terlebih dahulu dengan pelarut yang dimaksud dengan cara
mengalirkan secara berulang-ulang pelarut tersebut ke dalam kolom serta
didiamkan beberapa saat sebagai langkah aktivasi kolom.
6. Pada saat penuangan cuplikan dilakukan melalui bagian tepi tabung kolom
secara perlahan, tidak langsung ke ermukaan padatan karena dapat merusak
permukaan padatan.
7. Laju alir fase gerak diatur dengan menentukan kecepatan penetesan cairan
setiap satuan waktu. Fraksi yang ditampung (eluet) diharapkan akan
bervolume sama dalam selang waktu tertentu.

4.2 Rekristalisasi
Rekristalisasi adalah metode yang paling mudah untuk memurnikan senyawa
organik padat pada suhu kamar. Bahan kristal (zat terlarut) larut dalam pelarut panas
dan kemudian menjadi padat kembali dengan membentuk kristal dalam pelarut yang
didinginkan disebut proses rekristalisasi. Keberhasilannnya tergantung pada
peningkatan kelarutan kristal-kristal dalam pelarut panas dan penurunan
kelarutannya ketika larutan mendingin, sehinggamenyebabkan senyawa tersebut
terrekristalisasi. Kotoran dalam bahan kristal asli biasanya konsentrasinya lebih
rendah daripada senyawa yang dimurnikan. Jadi, ketika campuran mendingin
pengotor cenderung tetap dalam larutan sementara produk yang sangat terkonsentrai
mengkristal (Mohrig et al, 2010).
Digunakan metode rekristalisasi jika target senyawa hasil isolasi lebih dari 50 mg.
Jika terlalu rendah beresiko senyawa target akan hilang. Secara umum, pelarut
dengan struktur yang mirip dengan zat terlarut akan melarutkan lebih banyak zat
terlarut daripada pelarut dengan struktur yang berbeda. Meskipun pemilihan pelarut
rekristalisasi yang tepat adalah proses trial and error, ada hubungan antara struktur
pelarut dan kelarutan zat terlarut. Hubungan ini digambarkan dengan like dissolves
llike. Dalam rekristalisasi, polaritas pelarut dan senyawa yang direkristalisasi harus
serupa. Kombinasi kloroform-metanol, heksana-kloroform, heksana-etilasetat,
aseton-kloroform seringkali dipilih untuk melakukan rekristalisai. Rekristalisasi
dilakukan beberapa kali dengan cara menambahakan solven tepat larut kemudian
didinginkan pada suhu 4oC. Rekrtistalisasi jarang digunakkan karena rendemen
senyawa target ditemukan dalam jumlah yang kecil (Mohrig et al, 2010; Saifudin,
2014).

5. Uji Kemurnian
Kemurnian merupakan hal yang penting dimiliki suatu senyawa hasil isolasi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan uji kemurnian terhadap senyawa hasil isolasi
tersebut. Metode yang dapat digunakan untuk uji kemurnian senyawa hasil isolasi
antara lain dengan penentuan titik lebur dan penggunaan kromatografi lapis tipis dua
dimensi.
a. Jarak lebur

Jarak lebur berperan penting dalam proses identifikasi dan pengujian


kemurnian suatu senyawa organik padat. Senyawa murni memiliki jarak lebur
yang tajam dimana jarak temperature senyawa tersebut sangat kecil ketika
berubah sempurna dari padat kecair. Jarak temperature maksimum untuk senyawa
murni adalah 1-20C. metode ini penting dilakukan untuk pengujian kemurnian
karena fakta menunjukkan bahwa senyawa tidak murni memiliki suhu lebur yang
rendah yang jarak lebur yang lebih lebar. Oleh karenaitu, uji kemurnian pertama
yang harus dilakukan adalah dengan penentuan jarak lebur.
Pada identifikasi secara kualitatif, titik lebur merupakan tetapan fisika yang
penting terutama untuk senyawa hasil isolasi, sintesis, maupun kristalisasi. Titik
lebur Kristal atau zat padat adalah temperature ketika Kristal atau zat padat
tersebut mulai berubah menjadi cair pada tekanan udara satu atmosfer. Molekul
senyawa akan menyerap energy ketika temperature dinaikkan. Makin tinggi
temperature makin banyak energi yang diserap sehingga proses tersebut dapat
meningkatkan gerakan vibrasi dan rotasi molekul. Molekul akan rusak dan
berubah dari padat menjadi cair ketika temeperatur terus dinaikkan. Saat telah
menjadi cair, molekul tersebut masih terikat satu dengan yang lain tetapi
ikatannya sudah tidak teratur lagi.
b. Kromatografi Lapis Tipis Dua Dimensi
Pada awalnya metode ini menggunakan system satu dimensi. Namun, ekstrak
tumbuhan dan prosuk herbal umumnya merupakan senyawa campuran sehingga
akan sulit untuk diidentifikasi jika menggunakan metode kromatografi lapis tipis
satu dimensi. Penggunaan metode ini sering diterapkan untuk menguji kemurnian
dari suatu senyawa dimana senyawa yang dikatakan murni adalah senyawa yang
menghasilkan satu bercak setelah dilakukan proses elusi menggunakan eluen
tertentu. Menurut Giddings (1984), langkah dari metode ini, yaitu sampel
ditotolkan pada bagian pojok dari fase diam dan dilakukan proses elusi.
Selanjutnya lempeng diangkat, dikeringkan, diputar 900C, dan dilakukan elusi
dengan eluen yang berbeda dari eluen pertama.

6. Identifikasi Senyawa
Pengujian kandungan kimia secara kualitatif terhadap ekstrak atau senyawa murni
dapat dilakukan secara sederhana untuk menentukan golongan senyawa yang
diperoleh. Secara rinci beberapa pengujian sederhana yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
a. Uji sterol dan triterpenoids: ekstrak methanol dilarutkan dalam kloroform,
disaring dan filtrate diuji untuk sterol dan triterpenoids
b. Uji Salkowski : Beberapa tetes asam sulfat pekat ditambahkan kelarutan
kloroform dan diamati untuk warna merah di lapisan bawah untuk sterol dan
warna kuning keemasan menunjukkan adanya Triterpenoid.
c. Libermann Buchard test: Beberapa tetes anhidrida asetat ditambahkan kedalam
larutan kloroform, kocok dan teteskan 1 ml asam sulfat pekat dengan hati-hati
ditambahkan dari sisi tabung reaksi. Jika berwarna coklat kemerahan
menunjukkan adanya sterol dan cincin merah menunjukkan adanya triterpenoid.
d. Uji alkaloid: 0,5 g ekstrak diencerkan secara terpisah untuk 10 ml dengan
alkohol asam, direbus dan disaring, 5 ml filtrate ditambahkan 2 ml encer amonia.
5 ml kloroform ditambahkan dan kocok dengan lembut untuk mengekstrak
alkaloid. Lapisan kloroform diekstraksi dengan 10 ml asam asetat, dan
dibagidalam 3 bagian, dan diuji sebagaiberikut:
1. Uji Dragendroff : (kaliumnitrat- bismut): Beberapa tetes larutan Dragendroff
ditambahkan kedalam larutan kloroform, endapan coklat kemerahan
menunjukkan adanya alkaloid.
2. Uji Mayer : (Kaliumiodida- merkuri) : Beberapatetes reagent Mayer
ditambahkan kedalam larutan kloroform , jika terbentuk endapan putih
menunjukkan adanya alkaloid.
3. Uji Wagner : (Yodium- kaliumiodidadalam) : Beberapa tetes larutan Wagner
ditambahkan kedalam larutan kloroform, jika terbentuk endapan coklat
menunjukkan adanya alkaloid.
e. Uji Saponin: Foam Test : Untuk 0.5 g ekstrak ditambahkan 5 ml air suling dalam
tabung reaksi. Larutan dikocok dengan kuat dan diamati terbentuk nyabuih yang
stabil. Buih itu dicampur dengan 3 tetes minyak zaitun dan dikocok dengan kuat
setelah itu diamati untuk pembentukan emulsi.
f. Uji flavonoids: sampel dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, sebanyak 2 ml
dimasukkan kedalam tabung reaksi dan tambahkan beberapa tetes larutan FeCl3,
apabila terbentuk warna ungu menunjukkan positif terhadap flavonoid.

7. Elusidasi Struktur
Setelah diperoleh hasil dari isolasi dan pemurnian senyawa, selanjutnya dilakukan
Elusidasi struktur molekul organik dapat dilakukan dengan menggunakan metode
spektroskopi dengan instrumen yang digunakan yaitu: spektrofotometer
ultraviolet (UV), infrared (IR), massa (MS), Nuclear Magnethic Resonance ( 13C-
NMR, 1HNMR),Distortionless Enhancement by Polarization Transfer (DEPT), 1H-
13C Heteronuclear Multiple Quantum Coherence (HMQC), 1H-1H
Homonuclear Correlated Spectroscopy (COSY) dan 1H-13C Heteronuclear Multiple
Bond 20 Connectivity (HMBC).
a. Spektroskopi ultraviolet
Untuk keperluan penentuan struktur, spektroskopi ultra violet
memiliki kemampuan untuk mengukur jumlah ikatan rangkap atau konyugasi
aromatik dalam suatu molekul. Daerah panjang gelombang dari spektrum ultra
violet berkisar 200 - 400 nm. Penyerapan sinar ultra violet oleh suatu molekul
akan menghasilkan transisi diantara tingkat energi elektronik molekul tersebut.
Transisi tersebut terjadi pada orbital ikatan atau pasangan elektron bebas dengan
orbital anti ikatan. Sistem (gugus atom) yang menyebabkan terjadinya absorbsi
cahaya disebut kromofor. Transisi elektronik yang mungkin terjadi secara teoritis
diberikan pada gambar (Pavia et al, 2009).

b. Spektroskopi inframerah
Spektrofotometri inframerah lebih banyak digunakan untuk identifikasi suatu
senyawa melalui gugus fungsinya. Untuk keperluan elusidasi struktur, daerah dengan
bilangan gelombang 1400 – 4000 cm-1 yang berada dibagian kiri spektrum IR,
merupakan daerah yang khusus berguna untuk identifikasi gugusgugus
fungsional, yang merupakan absorbsi dari vibrasi ulur. Selanjutnya daerah yang
berada disebelah kanan bilangan gelombang 1400 cm-1 sering kali sangat rumit
karena pada daerah ini terjadi absorbsi dari vibrasi ulur dan vibrasi tekuk, namun
setiap senyawa organik memiliki absorbsi yang kharakteristik pada daerah ini. Oleh
karena itu bagian spektrum ini disebut daerah sidikjari (fingerprint region). Saat ini
ada dua macam instrumen yaitu spektroskopi IR dan FTIR (Furier Transformation
Infra Red). FTIR lebih sensitif dan akurat misalkan dapat membedakan bentuk cis
dan trans, ikatan rangkap terkonyugasi dan terisolasi dan lain-lain yang dalam
spektrofotometer IR tidak dapat dibedakan (Sitorus, 2009).

c. Spektroskopi 1H-NMR
Spektroskopi 1H-NMR cukup banyak digunakan oleh kimiawan organik.
Spektroskopi ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap kelompok proton
(H) dalam molekul organik akan beresonansi pada frekuensi yang tidak identik
atau beresonansi pada frekuensi spesifik. Hal ini disebabkan kelompok proton
suatu molekul organik dikelilingi elektron yang berbeda (lingkungan
elektroniknya berbeda). Makin besar kerapatan elektron yang mengelilingi inti maka
makin besar pula medan magnet yang digunakan. Karena setiap atom H (proton)
suatu molekul organik mempunyai lingkungan elektronik (kimia) yang berbeda
maka akan menyebabkan frekuensi resonansi yang berbeda (Sitorus,
2009). Pergeseran kimia, dilambangkan dengan δ, menyatakan seberapa jauh (satuan
ppm) proton tersebut digeser dari proton standar Tetrametilsilana (TMS) (δ = 0 ppm),
terhadap frekuensi spektrometer yang digunakan. Pada skala δ maka untuk TMS
didefinisikan sebagai (0,0 ppm) dengan skala (0-10) ppm. Beberapa spektroskopi
menggunakan skala Ł (tou) yang besarnya adalah (10- δ) ppm. Pada spektroskopi 1H-
NMR, maka skala δ dan Ł dicatat dari kiri ke kanan pada kertas spektrum (Sitorus,
2009).

d. Spektroskopi karbon NMR (13C-NMR)


Spektroskopi proton atau 1H memberikan gambaran atom-atom hidrogen dalam
sebuah molekul organik. Spektroskopi karbon-13 atau 13C memberikan gambaran
karbon-karbon dalam sebuah molekul organik. Spektra karbon-13 tidak digunakan
meluas seperti spektra proton. Dalam spektroskopi proton yang dilibatkan adalah
isotop yang lazim dan alamiah dari hidrogen, 99,985% atom hidrogen adalah 1H.
Tetapi karbon-13 hanya 1,1% dari atom karbon yang terdapat di alam, karena 98,9%
atom karbon adalah 12C, suatu nukleotida yang tidak punya spin. Transisi inti 13C
dari keadaan paralel ke antiparalel hanyalah transisi berenergi rendah. Karena
kelimpahannya di alam hanya 1,1% maka sensitifitas 13C-NMR jauh lebih kecil dari
1H yang mempunyai kelimpahan 99,98% di alam. Pergeseran kimia 13C antara 0
sampai dengan 230 ppm yang terbagi atas sp3 antara 0 – 60, alkohol 60 – 80 ppm, sp
antara 70 – 80 ppm, sp2 antara 100 – 160 ppm, gugus karbonil dari gugus karboksilat,
ester, lakton, amida, anhidrida, antara 160-180 ppm sedangkan aldehid antara 180 –
200 ppm dan keton antara 190 – 230 ppm.Bentuk sinyal dari gugus metil (CH3)
berbentuk quartet, metilen (CH2) berbentuk triplet, metin berbentuk doublet
sedangkan karbon quartener berbentuk singlet (Santoni, 2009).

e. Spektroskopi Distortionless Enhancement by Polarization Transfer (DEPT)


Percobaan DEPT (Distortionless Enhancement by Polarization Transfer) dapat
membedakan signal karbon metil, metilen, metin dan karbon quarterner. Karbon metil
dan metin menunjuk ke atas, karbon metilen ke bawah dan karbon quarterner
hilang. Spektroskopi NMR DEPT memiliki 3 sub-spektrum yang berbeda: 45
MHz, 90 MHz dan 135 MHz. Pada DEPT-45 akan menunjukkan seluruh puncak
atom karbon yang mengemban proton (hidrogen). Pada DEPT-90, puncak
yang ditunjukkan hanya untuk atom karbon gugus metin (CH). Sementara pada
DEPT-135 karbon metin dan metil memberikan puncak keatas (positive
peaks), sedangkan karbon metilen puncaknya mengarah kebawah (Pavia et al, 2009).

f. Spektroskopi 1H-13C Heteronuclear Multiple Quantum Coherence (HMQC)


HMQC merupakan salah satu jenis H-NMR dua dimensi yang digunakan untuk
membantu dalam penentuan struktur suatu senyawa. Melalui data HMQC ini dapat
diketahui proton-karbon dengan jarak satu ikatan, sehingga secara tidak langsung
dapat mengetahui karbon yang mengikat proton dan karbon yang tidak
mengikat proton. Selain itu, juga untuk menentukan nilai geseran kimia karbon yang
memiliki proton (Mitchell, 2007).

g. Spektroskopi 1H-1H Homonuclear Correlated Spectroscopy (COSY)


Spektrum H-H COSY adalah satu dari beberapa jenis spektroskopi NMR dua
dimensi. Percobaan pertama untuk NMR dua dimensi diusulkan oleh Jean Jenner,
seorang professor di Université Libre de Bruxelles pada tahun 1971. Spektrum H-H
COSY dapat memberikan korelasi H dengan H tetangga melalui kontur yang muncul
pada spektrum. Dari spektrum ini dapat diketahui protonproton yang berdekatan pada
suatu senyawa. Spektroskopi H-H COSY adalah metode yang paling mudah pada 2D
NMR (Supratman, 2010).

h. Spektroskopi 1H-13C Heteronuclear Multiple Bond Connectivity (HMBC)


HMBC merupakan salah satu jenis NMR dua dimensi yang digunakan
untuk pembuktian struktur molekul (struktur dua dimensi) senyawa. Melalui
data HMBC ini dapat diketahui proton-karbon dengan jarak dua atau tiga
ikatan sehingga secara tidak langsung dapat digunakan untuk mengetahui karbon-
karbon tetangga yang memiliki jarak dua sampai tiga ikatan dengan suatu proton
tertentu (Mitchell, 2007).
i. Spektroskopi massa
Spektroskopi UV-Vis untuk kimiawan organik digunakan untuk analisis kualitatif
(λmaks) dan analisis kuantitatif berdasarkan persamaan Lambert-Beer. Spektroskopi
IR untuk analisis gugus fungsional utama dan spektroskopi 1HNMR untuk
menentukan tipe (jenis) proton dan perbandingan jumlah proton tersebut.
Spektroskopi massa (MS) akan melengkapi pelacakan struktur untuk suatu molekul
yang belum diketahui BMnya. Spektroskopi massa akan 26 memberikan informasi
harga BM (g/mol) dan bagaimana pola pemecahan (fragmentasi) dari suatu molekul
organik. Rekonstruksi terhadap fragmen dan dipadu dengan interpretasi data spektra
IR dan 1H-NMR akan dapat mengelusidasi struktur molekul organik unknown
(Sitorus, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Atun S. 2014. Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan
Alam. Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Boobudur. 8 (2): 56-31.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Materia medika (IV). Jakarta.

Gandjar IG, Rohman A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar. Harbone, J. B. 1987. Metode Fitokimia :Penentuan Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan. Diterjemahkan oleh K. Pandawati dan I. Soediro.
Bandung: ITB. Press.
Hardjono, S. 1985. Dasar – Dasar Spektroskopi.Yogyakarta : Penerbit Liberti.

Mitchell, T.N., dan Costisella, B. 2007. NMR From Spectra to Structures,


an Experimental Approach. 2nd edition. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. Germany.

Pavia, D.L., Lampman, G.M., Kriz, G.S., dan Vyvyan, J.R. 2009. Introduction
to Spectroscopy. Sauders College. Philadelphia.

Rubiyanto D. 2017. Metode Kromatografi: Prinsip Dasar, Praktikum dan


Pendekatan Pembelajaran Kromatografi. Yogyakarta.

Rusdi. 1998. Tetumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat. Padang: Pusat Penelitian
Universitas Andalas.

Santoni, A. 2009. Elusidasi Struktur Senyawa Metabolit Sekunder Kulit


Batang Surian (Toona sinensis) Meliaceae dan Uji Aktivitas Insektisida.
Disertasi.Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang.

Sitorus, M. 2009. Spektroskopi Elusidasi Struktur Molekul Organik. Graha


Ilmu.Yogyakarta.

Supratman, U. 2010. Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Widya Padjadjaran

Anda mungkin juga menyukai