Anda di halaman 1dari 33

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Air Limbah Domestik

Limbah cair domestik adalah air yang telah dipergunakan dan berasal dari rumah tangga
atau pemukiman termasuk di dalamnya adalah yang berasal dari kamar mandi, tempat
cuci, WC, serta tempat memasak (Sugiharto, 2008). Berdasarkan Permen LHK No. 68
Tahun 2016, air limbah domestik merupakan air buangan yang berasal dari aktivitas
hidup sehari-hari manusia yang berhubungan dengan pemakaian air. Air limbah
domestik yang dihasilkan dari skala rumah tangga dan usaha dan/atau kegiatan
berpotensi mencemari lingkungan, sehingga perlu dilakukan pengolahan air limbah
sebelum dibuang ke media lingkungan.

Air limbah rumah tangga dapat dibagi menjadi dua yakni air limbah toilet (black water)
dan air limbah non-toilet (grey water). Air limbah toilet terdiri dari tinja, air kencing
serta bilasan, sedangkan air limbah non-toilet yakni air limbah yang berasal dari air
mandi, air limbah cucian, air limbah dapur, wastafel, dan lainnya. Rata-rata tiap orang
mengeluarkan kotoran tinja 1,2 liter (Said, 2017).

2.2 Karakteristik Air Limbah Domestik

Limbah cair baik domestik maupun non domestik mempunyai beberapa karakteristik
sesuai dengan sumbernya, dimana karakteristik limbah cair dapat digolongkan pada
karaktertistik fisik, kimia, dan biologi yang diuraikan sebagai berikut (Metcalf dan
Eddy, 2003). Sasaran pengolahan air adalah untuk mengurangi BOD, COD, partikel
tercampur, membunuh organisme patogen, menghilangkan bahan nutrisi, komponen
beracun yang tidak dapat didegaradasikan agar konsentrasi yang ada menjadi rendah.

Pengolahan air limbah domestik dapat dilakukan secara tersendiri maupun terintegrasi.
Pengolahan air limbah domestik wajib memenuhi baku mutu air limbah domestik.
Adapun baku mutu air limbah domestik berdasarkan Perda Kaltim No. 2 Tahun 2011
adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Baku Mutu Air Limbah Untuk Kegiatan IPAL Domestik Komunal
Parameter Kadar Maksimum (mg/L) Metode Uji
BOD5 100 SNI 6989.72-2009
COD 150 SNI 6989.73-2009
TSS 100 SNI 06-6989.28-2005
Minyak dan Lemak 10 SNI 06-6989-10-2004
Amonia (NH3-N) 10 SNI 06-6989-30-2005
pH 6-9 SNI 06-6989.11-2004
Coliform 10000 MPN100 ml Standar Method atau
APHA

2.3 Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu


pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya. Prediksi jumlah penduduk yang
akan datang dapat bermanfaat untuk mengetahui kebutuhan dasar penduduk, tidak
hanya di bidang sosial dan ekonomi tetapi juga di bidang pemenuhan kebutuhan akan
lahan misalnya penggunaan lahan (BPS Indonesia, 2000).

Badan Pusat Statistik Indonesia (2000), menyatakan pertumbuhan penduduk suatu


wilayah atau negara dapat dihitung dengan membandingkan jumlah penduduk awal
(misal P0) dengan jumlah penduduk di kemudian hari (misal Pt). Tingkat pertumbuhan
penduduk dapat dihitung dengan menggunakan rumus geometrik. Dengan rumus
pertumbuhan geometrik, angka pertumbuhan penduduk (rate of growth) sama untuk
setiap tahun, rumusnya:
Pt = P0 (1+r)t
Keterangan:
P0 = jumlah penduduk awal
Pt = jumlah penduduk t tahun kemudian
r = tingkat pertumbuhan penduduk
t = jumlah tahun dari 0 ke t

Menurut Fandeli et al. (2008), perkembangan penduduk menyebabkan pemanfaatan


sumber daya alam yang tidak memperhatikan kelestarian. Perkembangan penduduk
menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat dan menyebabkan peralihan fungsi
hutan ke penggunaan yang lain. Selanjutnya Sitorus et al. (2010) menyatakan
perkembangan jumlah penduduk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan penggunaan
sumberdaya yang berlebihan. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk mengakibatkan
perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi yang dapat
mengkibatkan bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang merupakan bukti dari
perubahan penggunaan lahan yang berakibat terhadap kerusakan lahan. Semakin besar
perubahan penggunaan lahan yang dilakukan oleh manusia dapat berakibat terhadap
munculnya dan meluasnya lahan kritis (Kodoatie dan Sjarief, 2008).

2.4 Pengelolaan Air Limbah Pemukiman

Menurut Cipta Karya (2011), pengelolaan air limbah pemukiman dapat dilakukan
dengan sistem on-site atau off site atau kombinasi dari kedua sistem ini, yaitu
sebagai berikut:
a. Sistem pengelolaan air limbah terpusat (off-site system) adalah sistem
penanganan air limbah domestik melalui jaringan pengumpul yang diteruskan ke
Instalasi Air Limbah (IPAL).
b. Sistem pengelolaan air limbah setempat (on-site system) adalah sistem
penanganan air limbah domestik yang dilakukan secara individual dan/atau
komunal dengan fasilitas dan pelayanan satu atau beberapa bangunan, yang
pengolahannya diselesaikan secara setempat atau di lokasi sumber.

Berdasarkan Cipta Karya (2015), sarana air limbah skala permukiman dapat
menampung air limbah yang berasal dari kamar mandi, tempat cuci, dan dapur. Air
limbah tersebut dialirkan melalui pipa ke bak kontrol, dari bak kontrol air limbah
dialirkan melalui pipa ke dalam instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Bak kontrol
sangat penting dalam sistem sanitasi perpipaan. Bak kontrol berfungsi sebagai tempat
memantau kondisi aliran air limbah dalam perpipaan. Sampah yang terbawa dari dalam
rumah tertahan di dalamnya dan dapat diangkat supaya tidak masuk ke dalam sistem
perpipaan yang dapat menyumbat aliran.
Air limbah yang ditampung dalam IPAL selama beberapa hari, akan mengalami
penguraian secara biologis, sehingga kualitas air buangannya (effluent) sudah
memenuhi standar yang aman dibuang ke saluran drainase atau badan air terdekat.

Perhitungan debit air limbah didasarkan pada jumlah pemakaian air minum. Volume air
limbah adalah 80% volume air minum. Perhitungan untuk pemakaian air minum
penduduk sebaiknya menggunakan data primer. Apabila data primer tidak ada, data
sekunder yang biasa digunakan adalah data pemakaian air PDAM untuk rumah yang
hanya penggunakan PDAM sebagai satu satunya sumber air minum. Untuk pendekatan
secara umum, berdasarkan berdasarkan SK-SNI dari kementrian PU kriteria pemakaian
air minum untuk katagori kota telah dikelompokan menjadi sebagai berikut:

Tabel 2.2 Tingkat Pemakaian Air Minum Rumah Tangga Berdasar Kategori Kota

2.4 Teknologi Pengolahan Air Limbah Domestik

Menurut Asmadi dan Suharno (2012), pengolahan air limbah dengan bantuan peralatan
biasanya dilakukan pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) (Waste Water
Treatment Plant/WWTP). Di dalam IPAL, biasanya proses pengolahan dikelompokkan
sebagai pengolahan pertama (primary treatment), pengolahan kedua (secondary
treatment), dan pengolahan lanjutan (tertiary treatment). Pengolahan air limbah
bertujuan untuk menghilangkan parameter pencemar yang ada di dalam air limbah
sampai batas yang diperbolehkan untuk dibuang ke badan air sesuai dengan syarat baku
mutu yang diizinkan. Pengolahan air limbah secara garis besar dapat dibagi menjadi
pemisahan padatan tersuspensi (solid-liquid separation), pemisahan senyawa koloid,
serta penghilangan senyawa polutan terlarut. Ditinjau dari jenis proses pengolahan air
limbah dapat dikelompokkan secara fisika, kimia, dan secara fisika-kimia serta secara
biologis (Said, 2017).

Teknologi IPAL secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu anaerob, aerob, dan
campuran. Pada prinsipnya pengolahan limbah anaerob dan aerob terletak pada
kehadiran oksigen untuk metabolism mikroorganisme (bakteri). Pada proses aerob,
kehadiran oksigen diperlukan sedangkan pada proses anaerob tidak diperlukan.
1. Sistem Pengolahan Anaerob
Teknologi ini paling banyak dipilih untuk sistem skala permukiman berbasis
masyarakat sampai saat ini (2015). Hal ini berdasarkan pertimbangan kemudahan
operasional karena tidak memerlukan injeksi oksigen ke dalam unit pengolahan.
Septik individual atau IPAL komunal/skala permukiman yang dikenal memakai
prinsip pengolahan anaerob.
2. Sistem Pengolahan Aerob
Teknologi ini paling efisien untuk sistem perkotaan (sewerage), karena dianggap
lebih efesien untuk skala pelayanan penduduk yang besar. Pada sistem yang
dikelola oleh institusi, penggunaan peralatan mekanikal seperti blower atau aerator
pada unit pengolahan dapat dikelola dengan baik oleh operator yang terlatih.
3. Sistem Pengolahan Kombinasi Anaerob – Aerob
Sistem kombinasi merupakan pilihan paling banyak dipilih untuk sistem
pengolahan lumpur tinja (IPLT) atau IPAL karena lebih efisien dalam
pengoperasian dan pemeliharaan, serta menambah daya tampung/kapasitas sistem.

2.5 Pengolahan Limbah Cair Secara Biologi

Menurut Retnosari dan Maya (2013), pengolahan limbah cair secara biologi
didefinisikan sebagai suatu sistem pengolahan yang digunakan untuk menurunkan
kandungan organik yang terkandung dalam air limbah dengan memanfaatkan aktivitas
mikroorganisme untuk menguraikan substrat menjadi bentuk yang lebih sederhana.
Mikroorganisme memanfaatkan makanan terlarut sebagai sumber nutrien dan untuk
bereproduksi. Pengolahan limbah cair bertujuan untuk meminimalkan limbah yang ada
dengan cara mengurangi atau menghilangkan pengaruh volume, konsentrasi dan
toksisitas limbah cair dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk mengkonsumsi
polutan-polutan yang berupa zat organik. Metcalf dan Eddy (2004) dalam Retnosari dan
Maya (2013) menyatakan bahwa pemanfaatan aktivitas pertumbuhan mikroorganisme
yang berkontak dengan limbah merupakan proses pendegradasian limbah organik
dengan mengubah bahan organik pencemar sebagai nutrisi dengan bentuk yang lebih
sederhana. Karakteristik yang dimiliki oleh bakteri beragam dan kebutuhan lingkungan
yang sederhana membuat mereka dapat bertahan pada lingkungan air limbah.

Teknologi pengolahan limbah saat ini terus berkembang dan diarahkan pada
peningkatan efisiensi, pemanfaatan sumber daya lokal dan pemenuhan baku mutu.
Pengolahan biologi untuk limbah cair adalah pemanfaatan proses metabolisme makhluk
hidup untuk menghilangkan polutan tertentu dari limbah cair. Untuk limbah domestik,
tujuan pengolahan biologi adalah untuk menurunkan kadar zat organik, sedangkan
untuk limbah industri, pengolahan biologi dapat diterapkan untuk menurunkan kadar zat
organik maupun anorganik. Umumnya pengolahan biologi memanfaatkan metabolisme
mikroorganisme untuk mengkoagulasi dan menghilangkan koloid yang tidak
mengendap serta menstabilkan zat organik. Proses dalam pengolahan biologi dapat
berlangsung secara aerobik, anaerobik, maupun gabungan keduanya. Secara garis besar,
pengolahan biologi dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu proses pengolahan dengan
pertumbuhan tersuspensi dan proses pengolahan dengan pertumbuhan terekat (Siregar
et al., 2004)

Pengolahan limbah secara biologis adalah suatu cara pengolahan yang diarahkan untuk
menurunkan atau menyisihkan substrat tertentu yang terkandung dalam limbah cair
dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk melakukan perombakan substrat
tersebut. Proses aerobik biasanya digunakan untuk pengolahan limbah dengan beban
organik yang tidak terlalu besar, sedangkan proses anaerobik digunakan umumnya
untuk limbah dengan beban organik yang sangat tinggi. Proses pengolahan limbah cair
secara biologis, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu proses biologis
dengan biakan tersuspensi (suspended culture), biakan melekat (attached culture), dan
dengan sistem lagoon atau kolam (Said, 2005).
Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem pengolahan dengan
menggunakan aktivitas mikroorgaisme untuk menguraikan senyawa polutan yang ada
dalam air dan mikroorganisme yang digunakan dibiakkan secara tersuspensi di dalam
suatu reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem ini antara lain: proses
lumpur aktif standar/konvensional (standart activated sludge), step aeration, contact
stabilization, extended aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi sistem parit), dan
lainnya. Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan limbah di
mana mikroorganisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga
mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Beberapa contoh teknologi
pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain: tricking filter atau biofilter, rotating
biological contactor (RBC), contact aeration/oxidation (aerasi kontak), dan lainnya
(Wahyu dan Nusa, 2005).

Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam adalah dengan
menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal yang cukup
lama sehingga dengan aktivitas mikroorganisme yang tumbuh secara alami, senyawa
polutan yang ada dalam air akan terurai. Untuk mempercepat proses penguraian
senyawa polutan atau memperpendek waktu tinggal dapat juga dilakukan proses aerasi.
Salah satu contoh proses pengolahan air limbah dengan cara ini adalah kolam aerasi
atau kolam stabilisasi (stabilization pond). Proses dengan sistem lagoon tersebut
kadang-kadang dikategorikan sebagai proses biologis dengan biakan tersuspensi. Secara
garis besar klasifikasi proses pengolahan air limbah secara umum dapat dilihat pada
gambar 2.2

Gambar 2.2 Pengelolaan Air Limbah Secara Biologis (Wahyu dan Nusa, 2005).
2.4.1 Pengolahan Limbah Cair Secara Anaerobik

Pengolahan limbah secara anaerob dilakukan dengan cara menguraikan bahan organik
maupun anorganik yang terkandung di dalam limbah tanpa kehadiran oksigen. Produk
akhir yang dihasilkan dari proses degradasi secara anaerob umumnya berupa gas metana
(CH4) dan karbondioksida (CO2) dan sebagian kecil berupa gas hidrogen (H2) dan
hidrogen sulfida (H2S). Proses penguraian bahan organik terbagi menjadi dua fase,
yakni meliputi fase non-metanogenik dan fase metanogenik (penghasil gas metana).
Pada fase non-metanogenik terjadi proses penguraian bahan organik oleh bakteri
pembentuk asam yang terdiri atas bakteri yang bekerja secara anaerob dan fakultatif
(Retnosari dan Maya, 2013). Pada proses anaerob, penguraian senyawa organik
berlangsung secara bertahap dan pada setiap tahapan ada aktivitas jenis bakteri tertentu
yang dominan, dan setiap jenis bakteri mempunyai kondisi lingkungan optimum yang
menjadi salah satu parameter penting (Benefield dan Randall dalam Moenir et al.,
2014).

Menurut Indriyanti (2005), tahapan-tahapan yang terjadi dalam proses degradasi


anaerobik adalah sebagai berikut:
1. Proses Hidrolisis
Proses Hidrolisis adalah proses dimana aktivitas kelompok bakteri Saprofilik
menguraikan bahan organik kompleks. Aktivitas terjadi karena bahan organik tidak
larut sepeti polisakarida, lemak, protein dan karbohidrat akan dikonsumsi bakteri
Saprofilik, dimana enzim ekstraseluler akan mengubahnya menjadi bahan organik
yang larut dalam air.
2. Proses Asidogenesis
Pada proses ini, bahan organik terlarut akan diubah menjadi asam organik rantai
pendek seperti asam butirat, asam propionat, asam amino, asam asetat dan asam-
asam lainnya oleh bakteri Asidogenik. Salah satu bakteri yang hidup dalam
kelompok Asidogenik adalah bakteri pembentukan asam asetat yaitu bakteri
Asetogenik, bakteri ini yang berperan dalam tahap perombakan asam propionat,
asam amino, asam butirat, maupun asam rantai panjang lainnya menjadi asam
organik yang mudah menguap/volatil seperti asam asetat.
3. Proses Metanogenesis
Proses Metanogenesis adalah proses dimana bakteri Metanogenik akan
mengkonversi asam organik volatil menjadi gas metan (CH 4) dan karbondioksida
(CO2).

Limbah industri khususnya gas primer dinyatakan dalam wujud limbah organik yang
mudah busuk dan berpotensi menimbulkan mikroba patogen. Pada pengolahan limbah
lumpur berupa senyawa kimia organik dengan proses anaerobik oleh berbagai macam
mikroba yang dibantu oleh nutrien menjadi produk gas bio. Keuntungan perlakuan
anaerobik diantaranya adalah reduksi limbah, stabilisasi, perbaikan drainase dan
matinya mikroba patogen. Komponen limbah industi sangat kompleks termasuk
polisakarida, lemak dan protein. Senyawa polisakarida, protein dan lemak dihidrolisis
menjadi senyawa dengan berat molekul rendah khususnya asam lemak dan alkohol
dengan berat molekul rendah. Seterusnya senyawa asam lemak dan alkohol ini
didiversi menjadi gas metan dan gas karbondioksida (Suharto dalam Indriyanti, 2005).

Teknologi pengolahan limbah secara anaerobik dapat dikelompokkan berdasar sistem


pertumbuhan mikroorganismenya terbagi tiga antara lain: Pertumbuhan tersuspensi,
hybrid, dan pertumbuhan melekat. Pertumbuhan tersuspensi terdiri dari digester teraduk
sempurna dan kontak anaerob. Hybrid terdiri dari UASB, Upflow Sludge Blanked/Fix
dan lagoo anaerobik. Pertumbuhan terlekat terdiri dari Fixed Bed dan
Extended/Fluidized Bed (Indriyanti, 2005). Benefield dan Randall (1980) dalam
Indriyanti (2005) menyatakan bahwa reaktor anaerobik dengan media tetap
diperkenalkan pada tahun 1967. Bioreaktor ini adalah reaktor yang terdiri dari tangki
berisi bahan pembantu berupa material penyangga tetap atau media. Fungsi dari
material penyangga/media ini adalah sebagai tempat menempel atau rumah
mikroorganisme, sehingga mikroorganisme tidak ikut terbawa cairan sisa buangan atau
effluen yang keluar dari reaktor (Indriyanti, 2005).

Proses yang terjadi pada reaktor anaerobik tipe Fixed Bed adalah: air buangan yang
akan diolah dialirkan ke dalam reaktor melewati media. Pada reaktor ini dicapai waktu
tinggal yang pendek dan beban organik yang tinggi, akibat pertumbuhan biofilm pada
permukaan media. Tidak semua bakteri melekat pada media. Bakteri yang melekat pada
media berada pada ruang-ruang diantara media sehingga kecepatan aliran harus dijaga
agar tidak terlalu cepat karena akan mengakibatkan bakteri-bakteri tersebut terlepas dari
media dan terbawa keluar (Indriyanti, 2005).

Keuntungan dan kerugian pengolahan anaerob adalah dalam prosesnya menghasilkan


energi dalam bentuk biogas, lumpur yang dihasilkan sedikit, tidak memerlukan lahan
yang besar dan tidak membutuhkan energi untuk aerasi. Kekurangan yang utama pada
sistem anaerobik adalah proses pertumbuhan mikroorganismenya lambat yang
mempunyai waktu pertumbuhan dalam hitungan hari bila dibandingkan dengan
mikroorganisme yang tumbuh pada proses aerob (Indriyati dan J. P. Susanto, 2012).

2.4.2 Pengolahan Limbah Cair Secara Aerobik

Menurut Lee dalam Sato et al. (2015), teknologi pengolahan limbah dapat dilakukan
dengan proses biologis sistem anaerob, aerob dan kombinasi anaerob-aerob. Dalam
pengolahan limbah secara anaerob mikroorganisme menguraikan beberapa senyawa
organik seperti protein, karbohidrat, serta lemak yang terdapat dalam limbah cair dan
kemudian akan menghasilkan hasil samping berupa biogas dengan kandungan gas
metana sekitar 50% -70%, gas CO2 sekitar 25% - 45% dan sejumlah kecil nitrogen,
hidrogen dan hidrogen sulfida. Melalui cara tersebut mikrooganisme mampu
mengurangi kadar organik limbah yang cukup tinggi pada kondisi limbah sebelumnya.
Berbeda dengan cara proses aerob, dimana pada kondisi ini mikroorganisme sangat
bergantung pada penambahan gas oksigen pada proses penguraian bahan organik pada
limbah (aerasi).

Proses pengolahan limbah secara aerobik adalah proses pengolahan limbah yang
memanfaatkan mikroorganisme aerobik, dengan menggunakan oksigen sebagai energi
untuk metabolisme dari bakteri tersebut. Pengolahan dengan kondisi aerobik ini
memberikan keuntungan yaitu dapat menghilangkan bau dan menjernihkan effluen air
limbah. Namun, kelemahan dari proses ini adalah dihasilkannya buangan lumpur secara
biologis yang cukup banyak, membutuhkan energi untuk aerasi, dan biaya operasional
yang cukup tinggi (Said, 2005).

2.5 Pertumbuhan Bakteri dalam Air Limbah

Menurut Sugiharto (2005), Bakteri diperlukan untuk menguraikan bahan organik yang
ada di dalam air limbah. Oleh karena itu, diperlukan jumlah bakteri yang cukup untuk
menguraikan bahan-bahan tersebut. Bakteri itu sendiri akan berkembang biak apabila
jumlah makanan yang terkandung di dalamnya cukup tersedia, sehingga pertumbuhan
bakteri dapat dipertahankan secara konstan. Pada permulaannya bakteri berbiak secara
konstan dan agak lambat pertumbuhannya karena adanya suasana baru pada air limbah
tersebut, keadaan ini dikenal sebagai lag phase. Setelah beberapa jam berjalan maka
bakteri mulai tumbuh berlipat ganda dan fase ini dikenal sebagai fase akselerasi
(acceleration phase). Setelah tahap ini berakhir maka terdapat bakteri yang tetap dan
bakteri yang terus meningkat jumlahnya. Pertumbuhan yang dengan cepat setelah fase
kedua ini disebut sebagai log phase. Selama log phase diperlukan banyak persediaan
makanan, sehingga pada suatu saat terdapat pertemuan antara pertumbuhan bakteri yang
meningkat dan penurunan jumlah makanan yang terkandung didalamnya. Apabila tahap
ini berjalan terus, maka akan terjadi keadaan dimana jumlah bakteri dan makanan tidak
seimbang dan keadaan ini disebut sebagai declining growth phase. Pada akhirnya
makanan akan habis dan kematian bakteri akan terus meningkat sehingga tercapai suatu
keadaan di mana jumlah bakteri yang mati dan tumbuh mulai berkembang yang dikenal
sebagai statinary phase. Setelah jumlah makanan habis dipergunakan, maka jumlah
kematian akan lebih besar dari jumlah pertumbuhannya, maka keadaan ini disebut
endogeneus phase dan pada saat ini bakteri menggnakan energi simpanan ATP untuk
pernafasannya sampai ATP habis yang kemudian akan mati (Sugiharto, 2005). Menurut
Junaidi (2006) dalam Ratnani (2011), jenis mikroba yang biasanya terdapat dalam
lumpur umumnya berupa Pseudomonas, Zooglea, Achromobacter, Flavobacterium,
Nocardia, Bdellovobrio, Mycobacterium, Nitrosomonas, dan Nitrobacter.

Menurut Sugiharto (1987), pada industri fermentasi maka pertumbuhan bakteri yang
murni sangat diharapkan, sedangkan pada pengolahan air limbah diharapkan
pertumbuhan bakteri yang heterogen sebagaimana yang terdapat di alam. Pada proses
pengolahan air limbah zat organik akan semakin menurun sedangkan komposisi
biomassa akan berubah dan pada saat ini jumlah bakteri dan protozoa semakin besar.
Keadaan ini, dipergunakan sebagai patokan efisien tidaknya pengolahan dengan
memeriksa lumpur aktif yang dijadikan pada bak pengolah. Untuk dapat mengetahui
lebih jelas tentang pertumbuhan jenis mikroorganisme pada air limbah yang memakan
zat organik dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Gambaran Umum Mikroorganisme Pemakan Zat Organik dalam Air Limbah
(Sugiharto, 1987).

2.6 Alternatif Teknologi IPAL Domestik Komunal

2.6.1 Klasifikasi Pengolahan Air Limbah

Menurut Asmadi dan Suharno (2012), klasifikasi Pengolahan Limbah Cair menurut
dapat dibedakan menjadi:
1. Pengolahan pertama (primary treatment) bertujuan untuk menghilangkan zat-zat
yang bisa mengendap seperti suspended solid, zat yang mengapung seperti lemak,
serta akan mengurangi 60% suspended solid, dan 30% BOD. Selain itu
pengolahan ini merupakan pengolahan yang bisa diterima sebagai langkah
pertama sebelum air limbah masuk ke pengolahan kedua.
2. Pengolahan kedua (secondary treatment) Pengolahan kedua rnenurunkan BOD
yang larut dan tidak terolah pada pengolahan pertama, dan pengolahan terhadap
suspended solid. Pengolahan kedua misalnya dengan proses biologi seperti
dengan trickling filter, kolam stabilisasi seperti proses yang terjadi pada badan air
secara alamiah.
3. Pengolahan ketiga (tertiery treatment) Pengolahan ketiga merupakan pengolahan
lanjutan dari effluen, dan dilakukan pengolahan paripurna. Dengan cara ini bisa
mengurangi BOD, phospor, suspended solid, dan bakteri sebanyak 95%.
Pengolahan ini termasuk pengolahan nitrat, fosfor.

2.6.2 Pengolahan Air Limbah Domestik dengan ABR

Menurut Harihastuti et al. (2015) Anaerobic Buffle Reactor (ABR) adalah reaktor
anaerobik generasi ketiga yang diteliti oleh Mr. Carty, merupakan salah satu jenis
pengolahan suspended growth yang memanfaatkan sekat (buffle) dalam pengadukan
yang bertujuan memungkinkan terjadinya kontak antara air limbah dan biomass.
Menurut John F.K et al. (2006) dalam Harihastuti et al. (2015), ABR mempunyai desain
yang sederhana dengan HRT yang rendah, dapat menghasilkan biogas, tidak
menimbulkan bau dan lainnya. Purwanto E (2008) dalam Harihastuti et al. (2015)
menyatakan bahwa pengolahan ini adalah pengolahan yang murah dari segi operasional
sebab tidak diperlukan penggunaan energi listrik, memiliki efisiensi penghilangan bahan
organik yang cukup tinggi, nmun memiliki efisiensi padatan tersuspensi yang kurang
baik yaitu sekitar 40 – 70 %.

Sistem Anaerobic Baffled Reactor (ABR) merupakan sistem pengolahan air limbah
tersuspensi anaerobik dan memiliki kompartemen-kompartemen yang dibatasi oleh
sekat vertikal. Pada umumnya penerapan sistem ABR digunakan untuk air limbah
dengan beban organik rendah atau pengolahan awal air limbah. Serangkaian sekat
vertikal didalam ABR dapat mengkondisikan air limbah mengalir naik turun dari inlet
menuju outlet, sehingga terjadi kontak antara limbah cair dengan biomassa aktif. Ruang
atau kompartemen dengan aliran turun lebih sempit dari ruang aliran naik sehingga
kecepatan upflow dalam ruang lebih rendah dari kecepatan rata-rata melalui reaktor
(Hastuti et al., 2017).
ABR termasuk sistem anaerobik sludge blanket process yang dipasang seri namun
tidak membutuhkan butiran/granular di dalam pengoperasiannya. ABR dioperasikan
pada waktu detensi 6 – 24 jam, konsentrasi padatan volatil 4 – 20 g/L (Hastuti et al.,
2017). Menurut Sasse (1998) dalam Hastuti et al. (2017), parameter desain utama untuk
ABR adalah HRT (hydraulic retention time) > 8 jam, kecepatan aliran ke atas (up flow
velocity) < 2 m/jam, beban organik 3 kg COD/m 3/hari, penyisihan COD 65 – 90% dan
penyisihan BOD 70 – 95%. Meskipun demikian lumpur pada setiap kompartemen akan
berbeda tergantung pada lingkungan spesifik dan senyawa atau zat yang terdegradasi
(Hastuti et al., 2017).

Menurut Foxon et al. (2006) dalam Hastuti et al. (2017), sistem ABR mempunyai
keunggulan, diantaranya kesederhanaan sistem, kebutuhan biaya yang rendah, waktu
retensi lumpur yang panjang, waktu retensi hidraulik yang rendah, tidak diperlukan
karakteristik biomassa khusus, kemudahan di dalam pengoperasian, timbulan lumpur
yang rendah, stabil terhadap shock loading, serta dapat mengolah air limbah dengan
variasi karakteristik air limbah. Mikroorganisma di dalam reaktor secara perlahan
meningkat dan mengendap selama karakteristik aliran dan produksi gas. Meskipun
demikian laju pergerakan sepanjang reaktor rendah. Laju dorong utama di belakang
reaktor desain diperkaya oleh kapasitas retensi padatan. Tanaka (2015) dalam Hastuti et
al., 2018 menyatakan bahwa terdapat kelemahan pada sistem anaerobik, demikian juga
pada sistem ABR, diantaranya membutuhkan pasokan air yang konstan (aliran kontinu),
belum ada penyisihan nutrien/patogen serta waktu aklimatisasi panjang. Secara prinsip,
semua fase degradasi proses anaerobik, diproses secara simultan pada setiap
kompartemen. Menurut Tchobanoglous (2003) dalam Hastuti et al., 2018, variasi
modifikasi ABR telah banyak dikembangkan untuk meningkatkan kinerja termasuk:
a. Perubahan desain sekat
b. Reaktor hibrid, unit pengendap digunakan untuk mengendapkan dan meresirkulasi
padatan
c. Media yang dikemas dan ditempatkan pada bagian atas pada setiap kompartemen
untuk menahan padatan
d. Integrasi ABR dengan proses elektrokimia menggunakan elektroda (baja atau
aluminum).
Menurut Metcalf & Eddy (2003), maksud dari pengolahan fisik adalah memisahkan zat
yang tidak dapat diperlukan dari dalam air tanpa mnggunakan reksi kimia dan biokimia.
Jadi, hanya menggunakan sifat fisik sebagai variabel pertimbangan untuk rekayasa
pemisahan dari air.

2.6.3 Pengolahan Air Limbah Domestik dengan RBC

Reaktor kontak biologis putar (rotating biological contactor, disingkat RBC) merupakan
adaptasi dari proses pengolahan air limbah dengan biakan melekat (attached growth).
Media yang dipakai berupa piring tipis (disk) berbentuk bulat yang dipasang berjajar-
jajar dalam suatu proses yang terbuat dari baja, selanjutnya diputar di dalam reactor
khusus di mana di dalamnya dialirkan air limbah secara kontinu. Media yang digunakan
biasanya terdiri dari lembaran plastic dengan diameter 2-4 meter, dengan ketebalan 0,8
sampai beberapa millimeter. Material yang lebih tipis dapat digunakan dengan cara
dibentuk bergelombang atau berombak dan ditempelkan di antara disk yang rata dan
dilekatkan menjadi satu unit modul jarak antara dua disk yang rata berkisar antara 30-40
milimeter. Disk atau piring tersebut dilekatkan pada proses baja dengan panjang 8
meter, tiap poros yang sudah dipasang media diletakkan di dalam tangki atau bak
reactor RBC menjadi satu modul RBC. Beberapa modul dapat dipasang secara seri atau
pararel untuk mendapatkan tingkat kualitas hasil olahan yang diharapkan (Said, 2017).

Modul-modul tersebut diputar dalam keadaan tercelup sebagian yakni sekitar 40% dari
diameter disk. Kira-kira 95% dari seluruh permukaan media secara bergantian tercelup
ke dalam air limbah dan berada di atas permukaan air limbah (udara). Kecepatan
putaran bervariasi antara 1-2 rpm. Mikroorganisme tumbuh pada permukaan media
dengan sendirinya dan mengambil makanan (zat organik) di dalam air limbah dan
mengambil oksigen dari udara untuk menunjang proses metobolismenya. Tebal biofilm
yang terbentuk pada permukaan media dapat mencapai 2-4 mm tergantung dari beban
organik yang masuk ke dalam reactor serta kecepatan putarannya. Apabila beban
organik terlalu besar kemungkinan terjadi kondisi anaerob dapat terjadi, oleh karena itu
pada umumnya di dalam reactor dilengkapi dengan perlengkapan injeksi udara yang
diletakkan dekat dasar bak, khususnya untuk proses RBC yang terdiri dari beberapa
modul yang dipasang seri.

Pada kondisi yang normal substrat karbon (zat organik) dihilangkan secara efektif pada
tahap awal (stage pertama), dan proses nitrifikasi menjadi sempurna setelah tahap
kelima. Pada umumnya perencanaan sistem RBC terdiri dari 4 sampai 5 modul (tahap)
yang dipasang seri untuk mendapatkan proses nitrifikasi yang sempurna. Proses
pengolahan air limbah dengan sistem RBC merupakan proses yang relative baru dari
seluruh proses pengolahan air limbah yang ada. Oleh karena itu pengalaman dengan
penggunaan skala penuh masih terbatas, dan proses ini banyak digunakan untuk
pengolahan air limbah domestic atau perkotaan. Satu modul dengan diameter 3,6 meter
dan panjang poros 7,6 meter mempunyai luas permukaan media mencapai 10.000 m 2
untuk pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini memungkinkan sejumlah besar dari
biomassa dengan air limbah dalam waktu yang relatif singkat, dan dapat tetap terjaga
dalam keadaan stabil serta dapat menghasilkan hasil olahan yang cukup baik.
Resirkulasi air olahan ke dalam reactor padat sehingga dapat mengendap dengan baik di
dalam bak pengendapan akhir. Dengan demikian sistem RBC konsumsi energinya lebih
rendah.

Prinsip kerja pengolahan air limbah dengan RBC adalah air limbah yang mengandung
polutan organik dikontakkan dengan lapisan mikroorganisme (microbial film) yang
melekat pada permukaan media di dalam suatu reactor. Media tempat melekatnya film
biologis ini berupa piringan (disk) dari bahan polimer atau plastic yang ringan dan
disusun berjajar-jajar pada suatu poros sehingga membentuk suatu modul atau paket,
selanjutnya modul tersebut diputar secara pelan dalam keadaan tercelup sebagian ke
dalam air limbah yang mengalir secara kontinu ke dalam reaktor tersebut. Dengan cara
seperti ini mikro-organisme misalnya bakteri, alga, protozoa, fungi, dan lainnya tumbuh
melekat pada permukaan media yang berputar tersebut membentuk suatu lapisan yang
terdiri dari mikro-organisme yang disebut biofilm (lapisan biologis). Mikroorganisme
akan menguraikan atau mengambil senyawa organik yang ada dalam air serta
mengambil oksigen yang larut dalam air atau dari udara untuk proses metabolismenya,
sehingga kandungan senyawa organik dalam air limbah berkurang.
Menurut Said (2017), secara garis besar proses pengolahan air limbah dengan sistem
RBC terdiri dari bak pemisah pasir, bak pengendap awal, bak kontrol aliran,
reactor/kontraktor biologis putar (RBC), bak pengendap akhir, bak klorinasi, dan unit
pengolahan lumpur. Berikut adalah bak-bak yang terdapat dalam sistem ini:
a. Bak Pemisah Pasir
Air limbah dialirkan dengan tenang ke dalam bak pemisah pasir, sehingga kotoran yang
berupa pasir atau lumpur kasar dpaat diendapkan, sedangkan kotoran yang
mengambang misalnya sampah, plastik, sampah kain dan lainnya tertahan pada saringan
(screen) yang dipasang pada inlet kolam pemisah pasir tersebut.
b. Bak Pengendap Awal
Dari bak pemisah/pengendap pasir, air limbah dialirkan ke bak pengendap awal. Di
dalam bak pengendap awal ini lumpur atau padatan tersuspensi sebagian besar
mengendap. Waktu tinggal di dalam bak pengendap awal adalah 2-4 jam, dan
lumpur yang telah mengendap dikumpulkan dan dipompa ke bak pengendapan
lumpur.
c. Bak Kontrol Aliran
Jika debit aliran air limbah melebihi kapasitas perencanaan, kelebihan debit air
limbah tersebut dialirkan ke bak kontrol aliran untuk disimpan sementara. Pada
waktu debit aliran turun/kecil, air limbah yang ada di dalam bak kontrol dipompa
ke bak pengendap awal bersama-sama air limbah yang baru sesuai dengan debit
yang diinginkan.
d. Kontraktor (Reaktor) Biologis Putar
Di dalam bak kontraktor, media berupa piringan tipis dari bahan polimer atau
plastik dengan jumlah banyak, yang dilekatkan atau dirakit pada suatu porosm
diputar secara pelan dalam keadaan tercelup sebagian ke dalam air limbah. Waktu
tinggal di dalam bak kontraktor kira-kira 2,5 jam. Dalam kondisi demikian,
mikroorganisme akan tumbuh pada permukaan media yang berputar tersebut,
membentuk suatu lapisan (film) biologis. Lapisan biologis tersebut makin lama
makin tebal dan karena gaya beratnya akan mengelupas dengan sendirinya dan
lumpur organik tersebut akan terbawa aliran air keluar. Selanjutnya lapisan biologis
akan tumbuh dan berkembang lagi pada permukaan media dengan sendirinya.
e. Bak Pengendap Akhir
Air limbah yang keluar dari bak kontraktor selanjutnya dialirkan ke bak pengendap
akhir, dengan waktu pengendapan sekitar 3 jam. Dibandingkan dengan proses
lumpur aktif, lumpur yang berasal dari RBC lebih mudah mengendap, karena
ukurannya lebih besar dan lebih berat. Air limpasan dari bak pengendap akhir
relative sudah jernih, selanjutnya dialirkan ke bak klorinasi. Sedangkan lumpur
yang mengendap di dasar bak dipompa ke bak pemekat lumpur bersama-sama
dengan lumpur yang berasal dari bak pengendap awal.
f. Bak Klorinasi
Air olahan atau air limpasan dari bak pengendap akhir masih mengandung bakteri
coli, bakteri pathogen, atau virus yang sangat berpotensi menginfeksi ke
masyarakat sekitarnya. Untuk mengatasi hal tersebut, air limbah yang keluar dari
bak pengendap akhir dialirkan ke bak klorinasi untuk membunuh mikroorganisme
pathogen yang ada dalam air. Di dalam bak klorinasi, air limbah dibubuhi dengan
senyawa klorin dengan dosis dan waktu kontak tertentu sehingga seluruh
mikroorganisme patogennya dapat dimatikan. Selanjutnya dari bak klorinasi air
limbah sudah boleh dibuang ke badan air.
g. Bak Pemekat Lumpur
Lumpur yang berasal dari bak pengendap awal maupun bak pengendap akhir
dikumpulkan di bak pemekat lumpur. Di dalam bak tersebut lumpur diaduk secara
pelan kemudian dipekatkan dengan cara didiamkan sekitar 25 jam sehingga
lumpurnya mengendap, selanjutnya air supernatant yang ada pada bagian atas
dialirkan ke bak pengendap awal, sedangkan lumpur yang telah pekat dipompa ke
bak pengering lumpur atau ditampung pada bak tersendiri dan secara periodik
dikirim ke pusat pengolahan lumpur di tempat lain.

Media RBC umumnya dibuat dari bahan plastik atau polimer yang ringan, bahan yang
sering dipakai adalah poly vinyl chlorida (PVC), polystyrene, Polyethylene (PE),
polyeprophylene (PP) dan lainnya. Bentuk yang sering digunakan adalah tipe
bergelombang, plat cekung cembung, plat datar. Disain modul media RBC biasanya
dirakit menjadi bentuk yang kompak dengan luas permukaan media yang besar dan
dibuat agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik (Said, 2017).
Untuk merancang unit pengolahan air limbah dengan sistem RBC, beberapa
pararameter disain yang harus diperhatikan antara lain adalah perameter yang
berhubungan dengan beban (Loading). Beberapa parameter tersebut antara lain:
a. Ratio volume reaktor terhadap luas permukaan media (G)
Harga G (G Value) adalah menunjukkan kepadatan media yang dihitung sebagai
perbandingan volume rekator dengan luas permukaan media.
G = (V/A) x103 (liter/m2)
Dimana:
V = volume efektif reaktor (m3)
A = luas permukaan media RBC (m2).
Harga G yang digunakan untuk perencanaan biasanya berkisar antara 5 – 9 liter per m2.
b. Beban BOD (BOD Surface Loading)
BOD Loading = LA = (Q x C0) / A (gr .BOD/m2.hari)
Dimana:
Q = debit air limbah yang diolah (m3/hari).
Co = Konsentrasi BOD (mg/l).
A = Luas permukaan media RBC (m2).

Beban BOD atau BOD surface loading yang biasa digunakan untuk perencanaan
sistem RBC yakni 5 – 20 gramBOD/m2/hari.
c. Beban Hidrolik (Hydraulic Loading, HL),
Beban hidrolik adalah jumlah air limbah yang diolah per satuan luas permukaan
media per hari.
HL = (Q /A) x 1000 (liter/m2.hari)

Di dalam sistem RBC, parameter ini relatif kurang begitu penting dibanding dengan
parameter beban BOD, tetapi jika beban hidrolik terlatu besar maka akan
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan media. Selain itu
jika beban hidrolik terlalu besar maka mikro-organisme yang melekat pada
permukaan media dapat terkelupas.
d. Jumlah Stage (Tahap)
Di dalam sistem RBC, reaktor RBC dapat dibuat beberapa tahap (stage) tergantung
dari kualitas air olahan yang diharapkan. Makin banyak jumlah tahapnya efisiensi
pengolahan juga makin besar. Kualitas air limbah di dalam tiap tahap akan menjadi
berbeda, oleh karena itu jenis mikroorganisme pada tiap tiap tahap umumnya juga
berbeda.
e. Diameter Disk
Diameter RBC umumnya berkisar antara 1 m sampai 3,6 meter. Apabila diperlukan
luas permukaan media RBC yang besar, satu unit modul RBC dengan diameter
yang besar akan lebih murah dibandingkan dengan beberapa modul RBC dengan
diameter yang lebih kecil, tetapi strukturnya harus kuat untuk menahan beban
beratnya. Jika dilihat dari aspek jumlah tahap, dengan luas permukaan media yang
sama RBC dengan diameter yang kecil dengan jumlah stage yang banyak lebih
efisien dibanding dengan RBC dengan diameter besar dengan jumlah stage yang
sedikit.
f. Kecepatan Putaran
Kecepatan putaran umumnya ditetapkan berdasarkan kecepatan peripheral.
Biasanya untuk kecepatan peripheral berkisar antara 15 – 20 meter per menit atau
kecepatan putaran 1- 2 rpm. Apabila kecepatan putaran lebih besar maka transfer
okasigen dari udara di dalam air limbah akan menjadi lebih besar, tetapi akan
memerlukan energi yang lebih besar. Selain itu apabila kecepatan putaran terlalu
cepat pembentukan lapisan mikroorganisme pada permukaan media RBC akan
menjadikuarang optimal.
g. Temperatur
Sistem RBC relatif sensitif terhadap perubahan suhu. Suhu optimal untuk proses
RBC berkisar antara 15 – 40°C. Jika suhu terlalu dingin dapat diatasidengan
memberikan tutup di atas rekator RBC.

2.7 Kriteria Perencanaan IPAL Domestik Komunal

Berdasarkan Ditjen Cipta Karya (2011), air limpasan dari reaktor anaerob dialirkan ke
reaktor aerob. Dengan kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut selain dapat
menurunkan zat organik (BOD, COD), amonia, deterjen, padatan tersuspensi (SS),
fosfat dan lainnya. Secara garis besar kriteria perencanan IPAL biofilter anaerob-aerob
dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kriteria Perencanaan Biofilter Anaerob-Aerob
Biofilter Anaerob-Aerob
Flow Diagram Process

Parameter Perencanaan: 1. Waktu Tinggal (rentention time) rata-rata = 3-5


1. Pengendapan Awal jam
2. Beban permukaan = 20-50 m3/m2.hari
2. Biofilter Anaerob 1. Beban BOD per satuan permukaan media (L A)
= 5-30 g BOD/m2.hari
2. Beban BOD 0,5-4 kg BOD per m3 media
3. Waktu tinggal total rata-rata = 6-8 jam
4. Tinggi ruang lumpur = 0,5 m
5. Tinggi bed media pembiakan mikroba = 0,9 –
1,5 m
6. Tinggi air di atas bed media = 20 cm
3. Biofilter Aerob 1. Beban BOD per satuan permukaan media (L A)
= 5-30 g BOD/m2.hari
2. Beban BOD 0,5-4 kg BOD per m3 media
3. Waktu tinggal total rata-rata = 6-8 jam
4. Tinggi ruang lumpur = 0,5 m
5. Tinggi bed media pembiakan mikroba = 1,2 m
6. Tinggi air di atas bed media = 20 cm
4. Bak Pengendap Akhir 1. Waktu tinggal (retention time) rata-rata = 2-5
jam
2. Beban permukaan (surface loading) rata-rata =
10 m3/m2/hari
3. Beban permukaan = 20-50 m3/m2.hari
5. Ratio Sirkulasi (Recycle Ratio) 25-50%
Sumber : Pedoman Teknis IPAL Cipta Karya PU, 2011

Kriteria perencanaan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan proses biofilter
anaerob-aerob meliputi kriteria perencanaan bak pengendap awal, reaktor biofilter
anaerob, reaktor biofilter aerob, bak pengendap akhir, sirkulasi sirkulasi serta disain
beban organik. Seluruh air limbah dikumpulkan dan dialirkan ke bak penampung atau
bak ekualisasi, selanjutnya dipompa ke bak pengendapan awal. Air limpasan dari bak
pengendap awal selanjutnya dialirkan ke reaktor anaerob. Di dalam reaktor anaerob
tersebut diisi dengan media dari bahan plastik berbentuk sarang tawon. Jumlah reaktor
anaerob ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan jumlah air baku yang
akan diolah. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan oleh
bakteri anaerobik atau fakultatif aerobik Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan
media filter akan tumbuh lapisan film mikro-organisme. Mikroorganisme inilah yang
akan menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap (Ditjen
Cipta Karya, 2011).

2.8 Unit Pengolahan Air Limbah Domestik Komunal

2.8.1 Unit Pengumpul Air Limbah

2.8.1.1 Bak Kontrol

Secara umum menurut Ditjen Cipta Karya (2011) kriteria bak kontrol dalam instalasi
pengolahan air limbah dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Limbah akan mengendap pada dasar dari dinding pipa pembuangan setelah
digunakan untuk jangka waktu lama. Di samping itu kadang-kadang ada juga
benda-benda kecil yang sengaja atau tidak jatuh dan masuk ke dalam pipa.
Semuanya itu akan menyebabkan tersumbatnya pipa, sehingga perlu dilakukan
tindakan pengamanan.
2. Pada saluran pembuangan di halaman perlu dipasang bak kontrol.
3. Untuk pipa yang ditanam dalam tanah, bak kontrol yang lebih besar akan
memudahkan pekerjaan pembersihan pipa. Penutup bak kontrol harus rapat agar
tidak membocorkan gas dan bau dari dalam pipa pembuangan.

Berdasarkan Ditjen Cipta Karya (2011), kriteria pemasangan bak kontrol secara umum
dapat dibagi menjadi 4, yakni:
1. Bak kontrol harus dipasang di tempat yang mudah dicapai, dan sekelilingnya perlu
area yang cukup luas untuk orang yang melakukan pembersihan pipa.
2. Untuk pipa ukuran sampai 65 mm, jarak bebas sekeliling bak kontrol sekurang-
kurangnya 30 cm, dan untuk ukuran pipa 75 cm dan lebih besar jarak tersebut
sekurang-kurangnya 45 cm.
3. Bak kontrol harus dipasang pada lokasi sebagai berikut:
a. Awal dari cabang mendatar
b. Pada pipa mendatar yang panjang
c. Pada tempat dimana pipa pembuangan membelok dengan sudut lebih dari 45°
d. Pada beberapa tempat sepanjang pipa pembuangan yang ditanam dalam tanah.

2.8.1.2 Bak Pengumpul Air Limbah

Menurut Ditjen Cipta Karya (2011), jika sumber limbah terpencar-pencar dan tidak
memungkinkan untuk dialirkan secara gravitasi maka pengumpulan air limbah dari
sumber yang berdekatan dapat dikumpulkan terlebih dahulu ke dalam suatu bak
pengumpul, selanjutnya di pompa ke bak pemisah minyak/lemak atau bak ekualisasi.
Bak pengumpul dapat juga berfungsi untuk memisahkan pasir atau lemak serta kotoran
padatan yang dapat menyebabkan hambatan terhadap kinerja pompa. Salah satu contoh
tipikal konstruksi bak pengumpul dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Contoh Tipikal Konstruksi Bak Pengumpul

2.8.1.3 Bak Saringan

Bar screen terdiri dari batang baja yang dilas pada kedua ujungnya terhadap dua batang
baja horizontal. Penggolongan bar screen yakni kasar, halus dan sedang tergantung dari
jarak antar batang (bar). Saringan halus (fine screen) jarak antar batang 1,5 – 13 mm,
saringan sedang (medium screen) jarak antar batang 13 – 25 mm, dan saringan kasar
(coarse sreen) jarak antar batang 32 – 100 mm. Saringan halus (fine screen) terdiri dari
fixed screen dan movable screen. Fixed atau static screen dipasang permanen dengan
posisi vertikal, miring atau horizontal. Movable screen dibersihkan harus secara berkala.
Kedua tipe saringan halus tersebut juga dapat menghilangkan padatan tersuspensi,
lemak dan kadang dapat meningkatkan oksigen terlarut (DO level) air limbah (Ditjen
Cipta Karya, 2011)

Bar Screen biasanya digunakan untuk fasilitas pengolahan air limbah dengan skala
sedang atau skala besar. Pada umumnya terdiri dari screen chamber (bak) dengan
struktur inlet dan outlet, serta peralatan saringan (screen). Bentuknya dirancang
sedemikian rupa agar memudahkan untuk pembersihan serta pengambilan material yang
tersaring. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan bar screen antara
lain yakni:
a. Kecepatan atau kapasitas rencana.
b. Jarak antar bar
c. Ukuran Bar (batang).
d. Sudut Inklinasi.
e. Headloss yang diperbolehkan.

Menurut Metcalf dan Eddy (2003), bar screen berfungsi untuk menyisihkan benda kasar
seperti plastik, kertas, dan lain-lain agar tidak mengganggu pengoperasian unit-unit
pengolahan berikutnya. Pada umumnya kisi-kisi (bar screen) terbuat dari batangan besi
atau baja yang dipasang sejajar membentuk suatu kerangka yang kuat. Kisi-kisi tersebut
diletakkan melintang pada saluran pembawa air buangan dan membentuk sudut 30°-60°.
Bar screen hanya berupa saluran menerus yang mengalirkan air limbah secara kontinyu
tanpa memberikan kesempatan kepada air limbah untuk tinggal di dalam saluran karena
pada bar screen tidak ada waktu tinggal, maka tidak terjadi penurunan BOD dan COD,
sedangkan penurunan TSS hanya berkisar 2-5%.
Tabel 2.4 Kriteria Desain Bar Screen
Kriteria Desain Pembersihan Manual Pembersihan Mekanis
Kecepatan aliran melalui 0,3 – 0,6 0,6 – 1,0
screen (m/det)

Ukuran Bar (batang)


Lebar (mm) 4-8 25 – 50
Tebal (mm) 8 - 10 50 – 75
Jarak antar bar (batang) 25 - 75 75 – 85
(mm)
Slope dengan horizontal 45 - 60 75 – 85
(derajat)

Headloss yang dibolehkan,


clogged screen (mm) 150 150
Maksimum head loss, 800 800
clogged screen (mm)

2.8.2 Bak Pengurai Anaerob

Kolam anaerobic umumnya memiliki kedalaman 2 – 5 m. Pada kolam inilah air limbah
mulai diolah di bawah kondisi anaerobic oleh berbagai jenis mikroorganisme anaerobik.
Mikroorganisme anaerobik mengubah senyawa anaerob dalam air limbah menjadi gas
CO2, H2S, dan CH4 yang akan menguap senyawa anaerob, sementara berbagai padatan
dalam air limbah akan mengalami sedimentasi dan terkumpul di dasar kolam sebagai
lumpur (Lani Puspita et al., 2005). Menurut Mara (1987), kolam anaerobik menerima
masukan beban anaerob dalam jumlah yang sangat besar (biasanya > 100 g
BOD5/m3/hari).

Tingginya masukan beban organik dibandingkan dengan jumlah kandungan oksigen


yang ada menyebabkan anerobik selalu berada dalam kondisi anaerobik. Pada anaerobik
tidak dapat ditemukan alga, walaupun terdapat lapisan film tipis yang terdiri
Chlamidomonas dapat dijumpai di permukaan kolam. Kolam anaerobik ini bekerja
sangat baik pada kondisi iklim hangat (degradasi BOD bias mencapai 60 – 85%). Waktu
retensi anaerobik sangatlah pendek; air limbah dengan kadar BOD 300 mg/l dapat
terolah dalam waktu retensi 1 (satu) hari pada kondisi suhu udara > 20°C (Ramadan dan
Ponce, 2004).
2.8.3 Bak Pengendap Awal

Menurut Ditjen Cipta Karya (2011), bak pengendap awal berfungsi untuk
mengendapkan atau menghilangkan kotoran padatan tersuspensi yang ada di dalam air
limbah. Kotoran atau polutan yang berupa padatan tersuspensi misalnya lumpur
anorganik seperti tanah liat akan mengendap di bagian dasar bak pengendap. Kotoran
padatan tersebut terutama yang berupa lumpur anorganik tidak dapat terurai secara
biologis, dan jika tidak dihilangkan atau diendapkan akan menempel pada permukaan
media biofilter sehingga menghambat transfer oksigen ke dalam lapisan biofilm, dan
mengakibatkan dapat menurunkan efisiensi pengolahan. Bak pengendap awal atau
primer yakni bak pengendap tanpa bahan kimia yang digunakan untuk memisahkan
atau mengendapapkan padatan organik atau anorganik yang tersuspensi di dalam air
limbah.

Gambar 2.6 Kriteria Desain Bak Pengendap Awal (Metcalf and Eddy, 2003)

Kriteria-kriteria yang diperlukan untuk menentukan ukuran bak pengendap awal antara
lain adalah waktu tinggal hidrolik, beban permukaan (surface loading), dan kedalaman
bak. Waktu Tinggal Hidrolik (Hydraulic Retention Time, WTH) adalah waktu yang
dibutuhkan untuk mengisi bak dengan kecepatan seragam yang sama dengan aliran rata-
rata per hari. Waktu tinggal dihitung dengan membagi volume bak dengan laju alir
masuk, satuannya jam. Nilai waktu tinggal adalah :
V
T = 24
Q
Dimana :
T = waktu tinggal (jam)
V = volume bak (m3)
Q = laju rata-rata harian (m3 per hari)

2.8.4 Reaktor Biofilter Anaerob

Di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem anaerob aerob biofilter, kolam
anaerob merupakan unit yang mana didalamnya terjadi proses penguraian air limbah
secara anaerob oleh bakteri anaerob. Di dalam proses pengolahan air limbah secara
anaerob, akan dihasilkan gas methan, amoniak dan gas H2S yang menyebabkan bau
busuk. Oleh karena itu untuk pengolahan air limbah rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan unit reaktor biofilter anaerob dibuat tertutup dan dilengkapi
dengan pipa pengeluaran gas dan jika perlu dilengkapi dengan filter penghilang bau.
Reaktor biofilter dapat dibuat dari bahan beton bertulang, bahan plat baja maupun dari
bahan fiber reinforced plastic (FRP). Untuk raktor biofilter dengan kapasitas yang besar
umumnya dibuat dari bahan beton bertulang, sedangkan untuk kapasitas kecil atau
sedang umumnya dibuat dari bahan FRP atau plat baja yang dilapisi dengan bahan anti
karat (Ditjen Cipta Karya, 2011).

2.8.5 Reaktor Biofilter Aerob

Berdasarkan Ditjen Cipta Karya (2011), di dalam proses pengolahan air limbah dengan
sistem biofilter anaerob-aerob, reaktor biofilter aerobik merupakan unit proses yang
dipasang setelah proses biofilter anaerob. Konstruksi reaktor biofilter aerob pada
dasarnya sama dengan reaktor biofilter anaerob. Perbedaanya adalah di dalam reaktor
biofilter aerob dilengkapi dengan proses areasi. Proses aerasi umunya dilakukan dengan
menghembuskan udara melalui difuser dengan menggunakan blower udara. Di dalam
reaktor biofilter aerob terjadi kondisi aerobik sehingga polutan organik yang masih
belum terurai di dalam reaktor biofilter anaerob akan diuraikan menjadi karbon dioksida
dan air. Sedangkan amoniak atau amonium yang terjadi pada proses biofilter anaerob
akan dioksidasi (proses nitrifikasi) akan diubah menjadi nitrat (NH 4+ menjadi NO3 ).
Selain itu gas H2S yang terbentuk akibat proses anaerob akan diubah menjadi sulfat
(SO4) oleh bakteri sulfat yang ada di dalam biofilter aerob.

Konstruksi reaktor biofilter aerob dapat dibuat dari beton bertulang atau dari bahan plat
baja atau bahan lainnnya. Bentuk kolam tersebut dapat berbentuk tabung atau persegi.
Di dalam kolam tersebut dilengkapi dengan peralatan pemasok udara. Pada umumnya
IPAL dengan proses biofilter anaerob-aerob yakni yang terdiri dari bak pengendap
awal, reaktor biofilter anaerob, rekator biofilter aerob serta bak pengendap akhir dibuat
dalam bentuk yang kompak untuk menghemat ruang maupun biaya konstruksi (Ditjen
Cipta Karya, 2011).

2.8.6 Jaringan Pengumpul Air Limbah Komunal

Menurut Ditjen Cipta Karya (2011), pengaliran air limbah dapat dilakukan dengan cara
gravitasi, dengan cara pemompaan atau dengan kombinasi aliran gravitasi dan
pemompaan. Sistem pembuangan air limbah dari dalam bangunan dapat dilakukan
dengan dua cara yakni:
1. Sistem Campuran, yaitu sistem pembuangan, dimana air limbah dan air bekas
dikumpulkan dan dialirkan ke dalam suatu saluran.
2. Sistem terpisah, yaitu sistem pembuangan, di mana air limbah dan air bekas
masing-masing dikumpulkan dan dialirkan secara terpisah. Sistem pembuangan air
limbah disambungkan ke IPAL, dan sistem pembuangan air bekas disambungkan ke
riol umum bila dimungkinkan.

Berdasarkan Ditjen Cipta Karya (2011), cara pengaliran air limbah dapat dilakukan
dengan beberpa cara yakni:
1. Sistem gravitasi.
Sistem gravitasi yaitu sistem ini dapat digunakan untuk mengalirkan air limbah dari
tempat yang lebih tinggi secara gravitasi ke saluran IPAL atau saluran umum yang
letaknya lebih rendah.
2. Sistem bertekanan.
Bila IPAL letaknya lebih tinggi dari letak saluran pembuangan air limbah, air
limbah dikumpulkan lebih dahulu dalam suatu bak penampungan atau bak kontrol
kemudian dipompakan ke IPAL
3. Sistem gabungan kombinasi aliran gravitasi dan pemompaan

2.9 Sistem Perpipaan

Sistem perpipaan pada pengaliran air limbah komunal berfungsi untuk membawa air
limbah dari beberapa rumah ketempat pengolahan agar limbah agar tidak terjadi
pencemaran pada lingkungan sekitarnya. Syarat-syarat pengaliran air limbah yang harus
diperhatikan, dalam perencanaan jaringan saluran air limbah adalah:
a. Pengaliran secara gravitasi
b. Batasan kecepatan minimum dan maksimum harus diperhatikan. Kecepatan
minimum untuk memungkinkan terjadinya proses self cleansing, sehingga bahan
padat yang terdapat didalam saluran tidak mengendap di dasar pipa, agar tidak
mengakibatkan penyumbatan, sedangkan kecepatan maksimum mencegah
pengikisan pipa oleh bahan-bahan padat yang terdapat di dalam saluran.
c. Jarak antara bak kontrol pada perpipaan mengurangi akumulasi gas dan
memudahkan pemeliharaan saluran.

Kedalaman perpipaan beradasarkan Ditjen Cipta Karya (2011), dapat dibedakan


menjadi:
a. Kedalaman perletakan pipa minimal diperlukan untuk perlindungan pipa dari beban
di atasnya dan gangguan lain;
b. Kedalaman galian pipa Persil > 0,2 m, selanjutnya mengikuti gradient hidrolik.
Dalam situasi tertentu memperhitungkan beban luar.

2.10 Faktor-Faktor Pemilihan Teknologi IPAL

Menurut Direktorat Pengembangan PLP (2011), dalam pemilihan teknologi pengolahan


air limbah (IPAL), ada beberapa hal yang dipertimbangkan, antara lain sebagai berikut:
1. Kualitas dan kuantitas air limbah yang akan diolah
2. Kemudahan dalam pengoperasian dan ketersediaan SDM yang memenuhi kualifikasi
untuk pengoperasian jenis IPAL yang terpilih.
3. Jumlah akumulasi lumpur
4. Kebutuhan dan ketersediaan lahan
5. Biaya pengoperasian
6. Kualitas hasil olahan yang diharapkan
7. Kebutuhan energi

Secara garis besar, langkah pemilihan alternatif teknologi yang tepat berdasarkan
pertimbangan teknis dan non teknis dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Data Limbah Cair

Kualitas Air Limbah

Kuantitas Air Limbah

Aspek Teknis Pemilihan Teknologi IPAL Aspek non Teknis


1. Kemudahan 1. Ketersediaan Lahan
pengoperasian 2. Ketersediaan Biaya
2. SDM Langkah Pemilihan
3. Konstruksi dan
3. Jumlah Lumpur Operasi
4. Biaya Operasi
5. Kualitas Effluen Sistem Pengolahan
6. Kebutuhan Energi

Gambar 2.6 Bagan Alir Proses Pemilihan Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL)

2.11 Gambaran Umum Lokasi Pra-Rancangan

Kota Samarinda merupakan ibukota provinsi Kalimantan Timur yang terletak antara 00º
19’ 02”-00º 42’ 34” Lintang Selatan dan 117º 03’ 00”-117º 18’ 14” Bujur Timur.
Wilayah Kota Samarinda dikelilingi oleh Kabupaten Kutai Kertanegara. Penduduk
Kota Samarinda pada tahun 2005 berjumlah 611.491 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk
pada tahun 2004 mencapai angka 3,29%, dan mengalami peningkatan yang cukup tajam
(65,35%) pada tahun 2005 menjadi 5,44%. Luas wilayah Kota Samarinda adalah 71.800
hektar (Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1987) yang terdiri dari 51 Kelurahan dan 6
Kecamatan. Sebagian besar lahan yang ada dipergunakan oleh masyarakat sebagai
pekarangan bangunan dan halaman yaitu sebesar 28.666 hektar (39,92%) (BPS Kota
Samarinda, 2016).

Untuk lebih jelasnya tentang wilayah kota Samarinda divisualisasikan dalam gambar
2.7 sebagai berikut:

Gambar 2.7 Peta Kota Samarinda (Kecamatan Samarinda Utara 2018).


Gambar 2.8 Peta Kecamatan Samarinda Utara (Kecamatan Samarinda Utara 2018).

Kecamatan Samarinda Utara sebagai satu kesatuan masyarakat kota Samarinda yaitu
dengan jumlah penduduknya secara keseluruhan sebesar 120305 jiwa dengan jumlah
kepadatan penduduk yaitu 524 penduduk/km2. Luas Kecamatan Samarinda Utara yaitu
sebesar 229,52 km2 dan terdapat 237 RT (BPS Samarinda, 2018). Keadaan topografinya
berupa dataran rendah, berjenis iklim hujan tropis dengan curah hujan rata-rata 1900
mm tahun-1 dan keadaan suhu rata-rata antara 25 - 29°C.

Kecamatan Samarinda Utara merupakan satu dari 10 (sepuluh) Kecamatan yang ada di
Kota Samarinda. Kecamatan Samarinda Utara hasil pemekaran dari Kecamatan
Samarinda Ilir didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 1996 yang terdiri dari:
1. Kelurahan Lempake
2. Kelurahan Tanah Merah
3. Kelurahan Budaya Pampang
4. Kelurahan Sungai Siring
5. Kelurahan Sempaja Selatan
6. Kelurahan Sempaja Timur
7. Kelurahan Sempaja Barat
8. Kelurahan Sempaja Utara

Anda mungkin juga menyukai