Anda di halaman 1dari 33

Responsi Kasus

PNEUMONIA

Oleh:

I Wayan Jorden Junior 1702612176


Putu Diah Saraswati Rahayu 1702612171
Shameni Subramaniam 1702612037

Pembimbing :

dr. Kadek Ayu Lestari, Sp.A

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ILMU KESEHATAN ANAK BRSUD TABANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmatNya maka laporan responsi kasus yang mengambil topik “Pneumonia” ini
dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian responsi ini. Responsi kasus ini
disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. Kadek Ayu Lestari, Sp.A selaku pembimbing sekaligus penguji dalam
pembuatan responsi kasus ini,
2. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan responsi
kasus ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan responsi kasus ini. Semoga tulisan
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Tabanan, Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2

2.1 Definisi Pneumonia .................................................................................... 2

2.2 Epidemiologi Pneumonia ........................................................................... 2

2.3 Etiologi Pneumonia .................................................................................... 3

2.4 Patofisiologi Pneumonia ............................................................................ 4

2.5 Manifestasi Klinis Pneumonia ................................................................... 6

2.6 Klasifikasi Pneumonia ............................................................................... 6

2.7 Diagnosis Pneumonia ................................................................................. 9

2.8 Diagnosis Banding Pneumonia .................................................................. 10

2.9 Terapi Pneumonia ...................................................................................... 11

2.10 Komplikasi dan Prognosis Pneumonia .................................................... 13

BAB III LAPORAN KASUS .......................................................................... 15

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................... 25

BAB V SIMPULAN ....................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Pneumonia merupakan inflamasi pada parenkim paru yang diakibatkan oleh


adanya infeksi oleh bakteri atau virus. Tingginya faktor risiko anak untuk menderita
pneumonia, terbatasnya kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan, serta rendahnya
pemahaman masyarakat mengenai pneumonia, menyebabkan penyakit ini masih
menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian bayi setelah diare.1
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 (Riskesdas 2013), period
prevalence pneumonia balita yang terjadi di Indonesia adalah sebesar 18,5%,
sedangkan balita yang mendapatkan pengobatan hanya sebesar 1,6%. Sehingga
tidak mustahil bahwa angka mortalias penyakit pneumonia masih dalam angka
yang cukup tinggi, yakni sebesar 23,8% pada bayi dan sebesar 15,5% pada balita.
Tingginya angka kematian akibat pneumonia ini menyebabkan pneumonia disebut
sebagai pembunuh balita yang terlupakan atau “the forgotten killer of children”.2
Prinsip dari penatalaksanaan adalah penanganan kausa definitif dari
pneumonia. Pada dasarnya, pneumonia merupakan penyakit infeksi yang bisa
dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan pengetahuan yang baik mengenai
pneumonia sehingga mata rantai infeksi antara Host, Agent, dan Environment dapat
dikendalikan. Sehingga pada akhirnya angka morbiditas dan mortalitas anak
terhadap pneumonia dapat berkurang, baik dengan pencegahan maupun
penatalaksanaan yang baik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pneumonia merupakan infeksi atau peradangan saluran napas bagian
bawah yang melibatkan saluran napas dan parenkim paru disertai konsolidasi
ruang alveolar yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,
virus, dan jamur.1 WHO mendefinisikan pneumonia berdasarkan adanya gejala
klinis berupa batuk, sesak napas, dan takipnea.3

2.2 Epidemiologi
Data dari WHO/UNICEF tahun 2006 menunjukkan bahwa Indonesia
menduduki peringkat ke-enam dunia dengan jumlah penderita mencapai enam
juta jiwa. Data riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi pneumonia pada
bayi cukup tinggi di Indonesia yaitu sebanyak 0,76%. Prevalensi tertinggi
adalah Provinsi Gorontalo (13,2%) dan Bali berada di peringkat ke dua (12,9%),
sedangkan provinsi lainnya di bawah 10%.4
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 (Riskesdas 2013), period
prevalence pneumonia balita yang terjadi di Indonesia adalah sebesar 18,5‰,
sedangkan balita yang mendapatkan pengobatan hanya sebesar 1,6‰. Lima
provinsi dengan insiden pneumonia balita tertinggi adalah Nusa Tenggara
Timur (38,5‰), Aceh (35,6‰), Bangka Belitung (34,8‰), Sulawesi Barat
(34,8‰), dan Kalimantan Tengah (32,7‰). Kelompok usia balita dengan
insiden pneumonia balita tertinggi adalah pada kelompok umur 12-23 bulan
(21,7‰). Sedangkan angka mortalitas dari penyakit pneumonia pada bayi yakni
23,8% dan balita 15,5%.2

2
Gambar 2.1 Insiden Pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur,
Indonesia 2013

2.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan, baik oleh bakteri, virus, atau jamur. Pada
negara berkembang pneumonia lebih sering disebabkan oleh bakteri
dibandingkan virus. Sedangkan pada negara maju, virus menjadi penyebab
tersering.5
Tabel 2.1 Etiologi Pneumonia dikelompokkan berdasarkan Usia6
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir – 20 Bakteri : Bakteri :
hari - E.Colli - Bakteri anaerob
- Streptococcus group B - Streptococcus group D
- Listeria Monocytogenes - Haemophillus influenza
- Streptococcus pneumoniae
- Ureaplasma urealyticum
Virus :
- Cytomegalovirus
- Virus Herpes Simpleks
3 minggu – Bakteri : Bakteri :
3 bulan - Chlamydia trachomatis - Bordetella pertussis
- Streptococcus pneumoniae- Hamophillus influenza tipe B
Virus : - Moraxella catharallis
- Adenovirus - Staphylococcus aureus
- Virus influenza - Ureaplasma urealyticum
- Virus parainfluenza 1,2,3 Virus :
- Respiratory Synctial virus- Cytomegalovirus
4 bulan – 5 Bakteri : Bakteri :
tahun - Chlamydia trachomatis - Hamophillus influenza tipe B
- Mycoplasma pneumoniae - Moraxella catharallis

3
- Streptococcus pneumoniae- Neisseria meningitidis
Virus : - Staphylococcus aureus
- Adenovirus
- Virus influenza Virus :
- Virus parainfluenza - Virus varisella zoster
- Rhinovirus
- Respiratory Synctial Virus
5 tahun – Bakteri : Bakteri :
remaja - Chlamydia trachomatis - Hamophillus influenza tipe B
- Mycoplasma pneumoniae - Legionella sp
- Streptococcus pneumoniae- Staphylococcus aureus
Virus :
- Adenovirus
- Virus Epstein Barr
- Virus influenza
- Virus parainfluenza
- Rhinovirus
- Respiratory Synctial virus
- Virus varisella zoster

2.4 Patogenesis
Pneumonia dapat terjadi akibat pengaruh dari 3 faktor, yaitu: host,
mikroorganisme yang menyerang (agent), dan interaksi lingkungan
(environment). Pneumonia sendiri merupakan invasi saluran pernapasan bagian
bawah, di bawah laring oleh patogen baik melalui inhalasi, aspirasi, invasi epitel
pernapasan, atau penyebaran hematogen.7
Berbagai macam cara penularan pneumonia antara lain: melalui droplet
dapat disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, sedangkan infeksi pada
pemakaian ventilator disebabkan oleh Enterobacter sp dan P. aeruginosa. Pada
kondisi sehat atau imunitas host baik maka tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme (agent) di paru karena adanya mekanisme pertahanan paru
yang berfungsi dengan baik. Penyakit muncul ketika terjadi ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh (host), mikroorganisme (agent) dan lingkungan
(environment). Ketika mekanisme pertahanan paru tidak menjalankan fungsi
dengan baik maka agent dapat menuju alveoli melalui saluran pernapasan
sehingga mengakibatkan inflamasi pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya.6

4
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ Kongestif)
Stadium ini disebut juga hiperemia, mengacu pada respon peradangan awal
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut antara lain histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskular
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus dilalui oleh
oksigen dan karbondioksida, yang akan mengakibatkan gangguan proses
pertukaran gas sehingga terjadi penurunan saturasi oksigen hemoglobin.7
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Stadium ini disebut juga dengan hepatisasi merah. Hal ini terjadi sewaktu
alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
host sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan terasa seperti hepar.
Pada stadium ini udara di dalam alveoli sangat minimal hingga tidak ada
sehingga penderita akan terlihat sesak. Stadium ini berlangsung singkat,
yaitu selama 48 jam.7
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Stadium selanjutnya disebut juga hepatisasi kelabu. Hal ini dikarenakan sel-
sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit mulai direabsorbsi, lobus
masih tetap padat karena adanya fibrin dan leukosit, warna merah berubah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.7

5
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Pada stadium ini terjadi penurunan respon imun dan peradangan sehingga
dinamakan sebagai stadium resolusi. Sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis
dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke struktur
semula.7

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pneumonia pada bayi dan anak tergantung pada
berat-ringannya infeksi namun secara umum terdapat dua manifestasi klinis.
Manifestasi nonspesifik atau gejala infeksi umum seperti demam, sakit kepala,
gelisah, malaise, nafsu makan menurun, keluhan gastrointestinal seperti mual,
muntah atau diare. Manifestasi spesifik atau gejala gangguan pernapasan
seperti batuk, distress napas yang ditandai dengan takipneu, adanya retraksi
dinding dada (subkosta, interkosta dan suprasternal), napas cuping hidung,
head nodding (kepala mengangguk-angguk) dan grunting, suara napas
tambahan terdengar ronki basah halus atau kadang-kadang terdengar mengi
atau wheezing.5

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi derajat pneumonia menurut WHO yaitu5 :
1. Bukan pneumonia
Pasien mengeluhkan demam dan batuk namun tidak disertai dengan tanda
gejala pneumonia.
2. Pneumonia
 Demam dan batuk
 Takipneu (napas cepat) :
Usia < 2 bulan : ≥60 x/menit
Usia 2 – 12 bulan : ≥50 x/menit
Usia 1 – 5 tahun : ≥40 x/menit
 Auskultasi: ronkhi, suara napas menurun, suara napas bronkial
3. Pneumonia berat
Gejala pneumonia di atas disertai salah satu di bawah ini :

6
 Retraksi dinding dada (subkosta, interkosta, suprasternal)
 Napas cuping hidung
 Head nodding (menganggukan kepala)
 Grunting
 Sianosis
 Dehidrasi, tidak bisa minum, muntah
 Lethargi, Kejang, penurunan kesadaran

Klasifikasi pneumonia berdasarkan etiologi8 :


1. Pneumonia Infeksi
- Pneumonia bakteri tipikal:
 Streptococcus pneumonia, bakteri gram positif, anaerob fakultatif
 Staphylococcus aureus, bakteri gram positif, anaerob fakultatif
 Enterococcus sp.
 Pseudomonas aeruginosa, bakteri gram negatif, anaerob yang
memiliki bau yang sangat khas
 Klebsiella pneumonia, bakteri gram negatif, anaerob fakultatif
 Haemophilus influenza, bakteri gram negatif anaerob
- Pneumonia bakteri atipikal:
Mycoplasma sp., Chlamedia sp., Legionella sp.
- Pneumonia virus, seperti virus influenza, adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus, Virus Herpes Simplex dan Virus Varcella-Zoster.
- Pneumonia jamur terutama pada pasien-pasien imunocompromised
yang disebabkan oleh infeksi jamur: Candida sp., Aspergillus sp.,
Cryptococcus neoformans.
2. Pneumonia Non-infeksi
- Pneumonia aspirasi : disebabkan oleh masuknya oral atau bahan dari
saluran cerna (lambung) ke saluran napas baik ketika makan maupun
muntah. Bahan makanan yang refluks dari lambung membawa serta
asam lambung maupun kuman dari lambung yang bersifat korosif
terhadap sel-sel paru sehingga hasil inflamasi di paru bukan
merupakan suatu proses infeksi.

7
- Reaksi hipersensitivitas : oleh obat maupun radiasi yang menginduksi
terjadinya pneumonitis.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologis9 :


1. Pneumonia komunitas atau Community-Acquired Pneumonia (CAP)
CAP adalah infeksi pneumonia yang bersumber dari lingkungan, yaitu pada
anak tanpa riwayat rawat inap dalam 2 minggu terakhir atau pada anak yang
dirawat inap dalam waktu kurang dari 48 jam.
2. Pneumonia nosokomial atau Hospital-Acquired Pneumonia (HAP)
HAP adalah pneumonia yang muncul setelah penderita dirawat lebih dari 48
jam di rumah sakit tanpa adanya pemberian intubasi endotrakeal dan saat
sebelum masuk rumah sakit, pasien tidak terdapat gejala respirasi.
Pneumonia pada anak dengan riwayat rawat inap dalam 2 minggu terakhir.
3. Pneumonia pada penderita dengan keadaan immunocompromised
Pneumonia pada penderita dengan keadaan imun yang terganggu akan
memperlihatkan gejala klinis yang berat dengan riwayat infeksi bakteri berat
3 kali atau lebih dalam 12 bulan terakhir.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan predileksi infeksi:3,9


1. Pneumonia lobaris
Merupakan pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau satu segmen paru
yang kemungkinan disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus, aspirasi
benda asing, maupun proses keganasan. Sering terjadi akibat infeksi bakteri
namun jarang pada bayi dan anak-anak.
2. Bronkopneumonia (pneumonia lobularis)
Peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai
bronkiolus dan juga alveolus disekitarnya berupa distribusi berbentuk
bercak-bercak (patchy distribution), yang sering menimpa anak-anak dan
balita. Pada bronkopneumonia terdapat produksi eksudat mukopurulen yang
mengakibatkan sumbatan beberapa saluran napas kecil dan juga
mengakibatkan konsolidasi yang ”patchy” dari lobulus-lobulus
disekitarnya.3

8
3. Pneumonia interstisial
Inflamasi yang ditandai dengan ditemukannya infiltrat dan eksudat pada
jaringan interstisial.

2.7 Diagnosis
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan sesuai dengan basic four dan sacred seven untuk
menggali manifestasi klinis yang terdapat pada pasien. Keluhan yang perlu
digali adalah adanya demam, batuk, sesak napas yang ditandai dengan napas
cepat.5,9
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran tanda-tanda vital. Pada
pengukuran tanda vital biasanya didapatkan demam/peningkatan suhu
tubuh >37,50C dan peningkatan laju pernapasan yang lebih tinggi dari nilai
normal menurut usia. Pemeriksaan fisik umum dan dada dapat ditemukan
tanda-tanda distress napas seperti: retraksi dinding dada (subkostal,
interkostal, suprasternal), napas cuping hidung, sianosis, deviasi trakea,
tanda-tanda terdapatnya konsolidasi seperti: ekspansi dada yang berkurang;
peningkatan vokal fremitus, suara redup yang terlokalisir pada perkusi;
suara napas yang melemah, bronkial atau bronkovesikuler, ronki, wheezing
dapat terdengar pada auskultasi.10
c. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap pada pneumonia dilakukan untuk membantu
menunjang diagnosis dan mencari tahu penyebab. Pada pneumonia
bakterial, dapat ditemukan leukositosis (15.000-40.000/mm3) dengan
predominan sel PMN. Pada infeksi Chlamydia kadang ditemukan
eosinofilia. Sedangkan pada pneumonia akibat virus atau mikoplasma,
dapat ditemukan hasil leukosit normal atau sedikit meningkat.9,11

9
- Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk membantu
menegakkan diagnosis terutama pada pneumonia berat, manifestasi
klinis yang masih meragukan, untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab distress napas yang lain. Foto thoraks AP/lateral juga bertujuan
untuk membantu menentukan lokasi anatomi dalam paru. Pneumonia
akibat bakteri umumnya menghasilkan infiltrat lobar/segmental, infiltrat
pleural atau infiltrat alveolar dengan diameter >2,5 cm. Sedangkan
infiltrat interstitial sering ditemui pada pneumonia virus. Infiltrat patchy
(pada bronkopneumonia) dapat dijumpai pada pneumonia bakteri
maupun virus. Pada infiltrat lobar/ segmental, gambaran yang dihasilkan
khas terlokalisir pada salah satu lobus paru tertentu. Infiltrat alveoli
menghasilkan gambaran konsolidasi hingga daerah perifer paru. Infiltrat
interstitial menghasilkan hiperareasi dan peningkatan corakan
bronkovaskular. Sedangkan infiltrat patchy merupakan konsolidasi pada
beberapa saluran napas kecil akibat produksi eksudat mukopurulen.9
- Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi dapat dilakukan melalui usapan spesimen
tenggorokan, sekresi nasofaring, sputum, aspirasi trakea, pungsi pleura,
darah, aspirasi paru dan bilasan bronkus. Pemeriksaan ini sulit dilakukan
dari segi teknis maupun biaya.10

2.8 Diagnosis banding


Pneumonia harus dibedakan dari penyakit paru akut lainnya, termasuk
pneumonitis alergi, asma, dan cystic fibrosis; penyakit jantung, seperti edema
paru yang disebabkan oleh gagal jantung; dan penyakit autoimun, seperti
vaskulitis dan systemic lupus erythematosus. Bacaan radiologi pneumonia harus
dibedakan dari trauma dan kontusio paru, perdarahan, aspirasi benda asing, dan
efusi simpatis akibat peradangan subdiafragmatik.12
Pada umumnya, pneumonia pada anak serik didiagnosis banding dengan
bronkiolitis dan asma dilihat dari keluhan utama yang membuat pasien datang
ke rumah sakit berupa sesak napas. Namun, dengan anamnesis yang lengkap

10
untuk mengetahui perjalanan penyakit serta pemeriksaan fisik, diagnosis
banding tersebut dapat disingkirkan.12

2.9 Terapi
Terapi untuk pneumonia tergantung pada derajat penyakit, komplikasi, dan
pengetahuan tentang agen infeksi yang kemungkinan menyebabkan pneumonia.
Sebagian besar kasus pneumonia pada anak-anak yang sehat dapat ditangani
secara rawat jalan. Namun, anak-anak dengan hipoksemia, ketidakmampuan
untuk mempertahankan hidrasi yang memadai, atau gangguan pernapasan
sedang hingga berat harus dirawat di rumah sakit. Rawat inap harus
dipertimbangkan pada bayi di bawah 6 bulan dengan dugaan pneumonia
bakteri, mereka yang memiliki kekhawatiran terhadap patogen dengan
peningkatan virulensi (misalnya, S. aureus yang resisten metisilin), atau ketika
ada kekhawatiran mengenai kemampuan keluarga untuk merawat anak dan
untuk menilai perkembangan gejala.12
Karena virus menyebabkan banyak CAP pada anak kecil, tidak semua anak
memerlukan pengobatan antibiotik empiris untuk pneumonia. Pneumonia
akibat pneumokokus dapat diobati dengan terapi ampisilin dosis tinggi bahkan
pada patogen dengan resistensi penisilin tingkat tinggi. Ceftriaxone dan/atau
vankomisin dapat digunakan jika isolat menunjukkan resistensi tingkat tinggi
dan pasien sakit parah. Untuk bayi berusia 2-18 minggu dengan pneumonia
afebris kemungkinan besar disebabkan oleh C. trachomatis, makrolide adalah
pengobatan yang direkomendasikan. Oseltamivir atau zanamivir harus
digunakan jika influenza diidentifikasi atau dicurigai, idealnya dalam waktu 48
jam setelah timbulnya gejala.12

Tabel 2.3 Terapi Antimikroba untuk Pneumonia Akibat Patogen Spesifik12


Patogen Terapi yang Pilihan Alternatif
Direkomendasi
Streptococcus Ampisilin atau penisilin Seftriakson, sefotaksim,
pneumoniae dengan IV; amoksisilin PO klindamisin, atau
MIC untuk penisilin vankomisin IV;
≤2,0 μg / mL Cefuroxime,
cefpodoxime,

11
levofloxacin, † atau
linezolid PO

S. pneumoniae dengan Ceftriaxone IV; Ampisilin, levofloksasin,


MIC untuk penisilin levofloxacin † atau † klindamisin, atau
≥4,0 μg / mL linezolid PO vankomisin IV;
clindamycin PO

Grup A streptococcus Penicillin atau ampicillin Seftriakson, sefotaksim,


IV; amoksisilin atau klindamisin, atau
penisilin PO vankomisin IV;
clindamycin PO

Grup B streptococcus Penicillin atau ampicillin Seftriakson, sefotaksim,


IV; amoksisilin atau klindamisin, atau
penisilin PO vankomisin IV;
clindamycin PO

Haemophilus influenzae Ampicillin IV atau Ciprofloxacin † atau


amoxicillin PO jika levofloxacin † IV;
β-laktamase negatif; cefdinir, cefixime,
ceftriaxone atau atau cefpodoxime PO
sefotaksim IV atau
amoksisilin-klavulanat
PO jika β-laktamase
positif

Mycoplasma Azitromisin IV atau PO Erythromycin atau


pneumoniae, levofloxacin IV;
Chlamydophila klaritromisin,
pneumoniae, atau erythromycin,
Chlamydia trachomatis doxycycline, flu atau
fluoroquinolone † PO
Staphylococcus aureus, Cefazolin, oxacillin, atau Klindamisin atau
methicillin nafcillin IV; vankomisin IV;
rentan (MSSA) cephalexin PO clindamycin PO

S. aureus, resisten Clindamycin atau TMP-SMX atau


metisilin (MRSA) vankomisin IV; Linezolid IV atau PO
clindamycin PO

Basil aerob gram negatif Sefotaksim atau Piperacillin-tazobactam


(kecuali P. sefriakson dengan atau plus aminoglikosida ‡;
aeruginosa) tanpa aminoglikosida fluoroquinolone † PO
IV; amoksisilin-
klavulanat, cefdinir, atau
cefixime PO

12
P. aeruginosa Ceftazidime IV dengan Piperacillin-tazobactam
atau tanpa IV dengan atau tanpa
aminoglikosida ‡; aminoglikosida ‡
ciprofloxacin † jika
suseptibel PO

Virus herpes simpleks Acyclovir IV

2.10 Komplikasi dan Prognosis


Pneumonia bakteri sering menyebabkan cairan inflamasi berkumpul di
ruang pleura yang berdekatan, menyebabkan efusi parapneumonik atau, jika
terlalu purulen, empiema. Efusi kecil mungkin tidak memerlukan terapi khusus.
Efusi besar dapat membatasi pernapasan dan membutuhkan drainase. Diseksi
udara dalam jaringan paru-paru menghasilkan pneumatocele. Bekas luka pada
saluran udara dan jaringan paru-paru dapat meninggalkan bronkus yang
melebar, menyebabkan bronkiektasis dan meningkatkan risiko infeksi
berulang.12
Pneumonia yang menyebabkan nekrosis jaringan paru-paru dapat
berkembang menjadi abses paru-paru. Abses paru-paru adalah masalah yang
tidak biasa pada anak-anak dan biasanya disebabkan oleh aspirasi, infeksi di
belakang bronkus yang mengalami obstruksi, atau organisme ganas tertentu.
Bakteri anaerob biasanya mendominasi, bersama dengan berbagai
streptokokus, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, P. aeruginosa, dan S.
aureus. Radiografi thoraks atau CT scan menunjukkan lesi kavitas, sering
dengan air-fluid level, dikelilingi oleh peradangan parenkim. 12
Sebagian besar anak pulih sepenuhnya dari pneumonia dengan cepat,
meskipun kelainan radiologis dapat bertahan selama 6-8 minggu. Pada beberapa
anak, gejala dapat berlangsung lebih dari 1 bulan atau mungkin berulang. Dalam
kasus tersebut, kemungkinan penyakit yang mendasarinya harus diselidiki lebih
lanjut, seperti dengan tes kulit tuberkulin, penentuan keringat klorida untuk
cystic fibrosis, serum imunoglobulin dan penentuan subklas IgG, bronkoskopi
untuk mengidentifikasi kelainan anatomi atau benda asing, dan barium swallow
untuk refluks gastroesofageal.12

13
Pneumonia adenovirus yang parah dapat menyebabkan bronkiolitis
obliterans, suatu proses inflamasi subakut di mana saluran udara kecil
digantikan oleh jaringan parut, menghasilkan pengurangan volume paru-paru
dan komplians paru-paru. Paru hiperlusen unilateral, atau sindrom Swyer-
James, merupakan sekuel fokal dari pneumonia nekrotikans berat di mana
semua atau sebagian paru-paru telah meningkatkan radiolusensi radiografi;
yang dihubungkan dengan infeksi adenovirus tipe 21.12

14
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : DMAD
Tanggal Lahir : 14 Januari 2019
Usia : 6 bulan 15 hari
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Br. Jagasatru, Tabanan
Agama : Hindu
No. RM : 731437
Tanggal MRS : 29 Juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 30 Juli 2019

3.2 Anamnesis
Heteroanamnesis (Ibu Pasien)
Keluhan utama : Sesak napas
Riwayat penyakit sekarang
Pasien laki – laki, usia 6 bulan dirawat di ruang Anggrek kamar II B.
Pasien MRS pada tanggal 29 Juli 2019 dengan keluhan utama berupa sesak
napas. Keluhan sesak dikatakan muncul sejak satu hari sebelum MRS pada
pukul 11 malam. Sesak pada pasien dikatakan berupa bernapas cepat dengan
cekungan pada dada yang menetap sampai pukul 4 dini hari. Pasien dikatakan
rewel dan tidak dapat tidur, pasien dikatakan tidak membaik jika ditidurkan
ataupun didudukan (perubahan posisi). Sesak muncul beberapa hari setelah
keluhan batuk. Keluhan lainnya dikatakan berupa batuk, pilek, dan panas.
Pasien dikatakan mengalami batuk sejak 4 hari sebelum MRS. Batuk
terjadi terus menerus seperti berdahak tapi tidak keluar dahak. Keluhan batuk
diikuti pilek yang terjadi hampir bersamaan. Keluhan batuk tidak bertambah
berat pada malam hari dan tidak berkurang pada siang hari namun batuk
dikatakan bersifat terus menerus. Keluhan pilek berupa keluarnya cairan putih

15
dan bersifat agak kental dari hidung. Keluhan batuk dan pilek terjadi terus
menerus, hanya membaik saat pasien tidur.
Pasien juga dikeluhkan sempat mengalami panas sejak 2 hari sebelum
MRS tetapi suhu badannya tidak diukur. Panas dikatakan terjadi terus menerus
dan membaik setelah diberikan obat dari dokter. Saat dibawa ke rumah sakit
sebelumnya, suhu yang pernah terukur yaitu 38,7ºC.
Keluhan bibir biru, kaki dan tangan biru saat sesak disangkal oleh ibu
pasien. Keluhan lain seperti mual dan muntah disangkal oleh ibu pasien. BAB
dan BAK dikatakan tanpa keluhan, minum dikatakan menurun.
Riwayat alergi terhadap makanan maupun obat-obatan disangkal, pasien
dikatakan tidak pernah mengalami gatal-gatal setelah mengkonsumsi makanan
dan obat-obatan tertentu. Pasien belum pernah dilakukan tes alergi
sebelumnya.
Pada saat pemeriksaan pasien, dikatakan keluhannya sudah membaik.
Ibu pasien mengatakan pasien sudah tidak sesak dan panas, namun keluhan
batuk dan pilek masih ada tapi dikatakan jauh berkurang dibandingkan
sebelumnya. Minum pasien dikatakan baik kembali seperti semula. BAB dan
BAK pasien dikatakan tanpa keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan


Pasien dikatakan pernah mengalami keluhan sesak napas yang serupa 2
minggu sebelumnya. Keluhan sesak juga terjadi didahului oleh batuk, pilek,
dan panas badan. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit Wisma dan Cahaya
Bunda, dikatakan di sana mendapat uap (nebulisasi) serta obat panas dan batuk
lalu keluhan pasien membaik.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat keluhan penyakit serupa di keluarga disangkal. Riwayat penyakit
sistemik lainnya di keluarga seperti asma, diabetes mellitus, dan penyakit
jantung disangkal. Riwayat alergi terhadap obat atau makanan, riwayat rhinitis,
dan ruam kulit pada keluarga disangkal.

16
Riwayat Pribadi, Lingkungan dan Sosial
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pasien saat ini tinggal
bersama kakek dan neneknya. Pemukiman tempat tinggal pasien dikatakan
padat. Ayah dan ibu pasien bekerja sebagai wiraswasta. Ayah pasien dikatakan
perokok aktif, berupa rokok elektrik.

Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara sectio cesaria (SC) dibantu oleh dokter kandungan,
dengan berat badan lahir 3.000 gram dengan panjang badan 50 cm, lingkar
kepala dan lingkar dada saat lahir dikatakan lupa. Pasien lahir post date pada
usia kehamila 39 – 40 minggu dan segera menangis.

Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan pasien sudah dilakukan pemberian imunisasi di
puskesmas, yaitu Imunisasi BCG 1 kali, Polio 3 kali, Hepatitis B 3 kali, DPT 3
kali.

Riwayat Nutrisi
1. ASI : sejak lahir hingga usia 3 bulan, frekuensi on demand
2. Susu Formula : semenjak usia 3 bulan hingga sekarang, frekuensi
on demand
3. Makanan tambahan : sejak usia 6 bulan, frekuensi 3-4 kali/hari, dengan
bubur susu.

Riwayat tumbuh kembang


1. Menegakkan kepala : 3 bulan
2. Membalik badan : 4 bulan
3. Duduk : 6 bulan

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present (29 Juli 2019)
Keadaan umum : sakit sedang

17
Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
Nadi : 120 kali/ menit, reguler, isi cukup
Laju Pernapasan : 37 kali/ menit, reguler
Suhu axilla : 37 C
Saturasi O2 perifer : 98% dengan nasal canul (2 lpm)
FLACC Pain Scale :2

Status Antropometri (berdasarkan WHO)


Berat Badan : 9 kg
Panjang Badan : 74 cm
BBI : 9,3 kg
BB/U : 0 – (2) SD
PB/U : 3 SD
BB/PB : 0 – 1 SD
Status gizi (Waterlow) : 96,77% (gizi baik)

Status Generalis (29 Juli 2019 pukul 09.00 WITA)


Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor,
edema -/-, mata cowong -/-
THT :
Telinga : sekret -/-, hiperemis -/-, deformitas -/-
Hidung : sekret (-), konka hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
Tenggorok : faring hiperemi (-), Tonsil T1/T1 hiperemi (-)
Lidah : sianosis (-), benjolan (-), lidah kotor (-)
Bibir : sianosis (-), mukosa bibir pucat (-)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (-), JVP tidak
dievaluasi
Thoraks : simetris, retraksi subkostal (+)
Cor :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba di MCL sinistra ICS V, RV heave (-),
LV impulse (-)

18
Perkusi : batas kiri : MCL sinistra ICS V
batas kanan : PSL dextra ICS V
Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi subkostal (+)
Palpasi : gerakan simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : bronkovesikuler +/+, rhales +/+, wheezing -/-, ekspirasi
memanjang (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : sianosis (-), ikterus (-), turgor kembali dengan cepat
Genitalia : laki-laki, G1P1
Ekstremitas : hangat + + , edema - - CRT <2 detik
+ + - -
Anus : hiperemi (-)

3.4 Diagnosis Banding


- Pneumonia + gizi baik
- Bronkiolitis akut
- Asma bronkiale

19
3.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Rutin (29-07-2019)
Parameter Hasil Satuan Nilai Remarks
Hematologi Rujukan
WBC 16.4 103𝜇L 6.0-17.5
HGB 12.9 g/dL 10.1-12.9
HCT 38.5 % 32.0-44.0
PLT 647 103𝜇L 217-497 Tinggi
NEU% 75,7 % 17-60 Tinggi
EO % 0.3 % 1.0-5.0 Rendah
BA % 0.7 % 0.0-1.0
RBC 5.33 106𝜇L 3.2-5.2 Tinggi
MPV 4.7 fL 7.0-11.0 Rendah

2. Thorax AP (29/7/2019)

Foto Thorax AP
Cor : besar dan bentuk kesan normal
Pulmo : tampak patchy infiltrat di suprahiler dan paracardial kanan, tak
tampak penebalan hilus kanan kiri
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam

20
Diafragma kanan kiru normal
Tulang : tak tampak kelainan
Kesan : cor kesan normal
Sugestive bronchopneumonia

3.5 Diagnosis
Pneumonia + gizi baik

3.6 Penatalaksanaan
 O2 2 lpm via nasal canul
 Pemberian cairan sesuai kebutuhan cairan 900 ml per hari (mampu minum)
IVFD D5% 1/4 NS 8 tpm makro
 Obat
Anbacim 400 mg tiap 12 jam intravena
Dexamethasone 1/3 amp tiap 8 jam intravena
Mucos (Ambroxol) 0.4 ml tiap 8 jam peroral
Parasetamol drop 0.9ml tiap 8 jam peroral (bila demam)
Aminophilin 40mg tiap 8 jam intravena
Tiriz 0,2 ml tiap 12 jam peroral
 Nebulisasi ventolin + NaCl 0.9% tiap 8 jam

Monitoring:
 Keluhan
 Tanda vital
 Balance cairan

Edukasi :
 Menjelaskan keluarga tentang penyakitnya, kemungkinan penyebab, rencana
terapi kedepannya dan prognosis
 Menjaga asupan nutrisi yang bergizi baik dan seimbang
 Jaga personal hygine, cuci tangan sebelum memberikan makan pada anak

21
 Edukasi pentingnya mengkonsumsi obat secara rutin dan kontrol untuk
evaluasi terapi

3.7 Prognosis
- Ad Vitam : dubia ad bonam
- Ad Functionam : dubia ad bonam
- Ad Sanationam : dubia ad bonam

22
Follow up (30 Juli 2019)
Subjective : Keluhan sesak napas sudah berkurang. Panas (-) Pilek (+)
berkurang, batuk (+) berkurang. Minum baik. BAB dan BAK normal.

Objective :
Status Present
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
Nadi : 118 kali/ menit, reguler, isi cukup
Respirasi rate : 32 kali/ menit, reguler
Tempt axilla : 36,9 C
Saturasi : 98% via nasal canul (2 lpm)

Status Generalis
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor,
edema -/-, mata cowong -/-
THT :
Telinga : sekret -/-, hiperemis -/-, deformitas -/-
Hidung : sekret (-), konka hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
Tenggorok : faring hiperemi (-), Tonsil T1/T1 hiperemi (-)
Lidah : sianosis (-), benjolan (-), lidah kotor (-)
Bibir : sianosis (-), mukosa bibir pucat (-)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (-), JVP tidak
dievaluasi
Thoraks : simetris, retraksi subkostal (-)
Cor :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba di MCL sinistra ICS V, RV heave (-),
LV impuls (-)
Perkusi : batas kiri : MCL sinistra ICS V
batas kanan : PSL dextra ICS V

23
Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi subkostal (+) minimal
Palpasi : gerakan simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : bronkovesikuler +/+, rhales +/+, wheezing -/-, ekspirasi
memanjang (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : sianosis (-), ikterus (-), turgor kembali dengan cepat
Genitalia : laki-laki,
Ekstremitas : hangat + + , edema - - CRT <2 detik
+ + - -
Anus : hiperemi (-)

Assesment :
 Pneumonia + gizi baik

Planning :
 O2 2 lpm via nasal canul
 Pemberian cairan sesuai kebutuhan cairan 900 ml per hari (mampu minum)
IVFD D5% 1/4 NS 8 tpm makro
 Obat
Anbacim 400 mg tiap 12 jam intravena
Dexamethasone 1/3 amp tiap 8 jam intravena
Mucos (Ambroxol) 0.4 ml tiap 8 jam peroral
 Nebulisasi ventolin + NaCl 0.9% tiap 8 jam

24
BAB IV
PEMBAHASAN

Pneumonia merupakan suatu penyakit akibat proses inflamasi pada


parenkim paru. Salah satu variasi pneumonia yang sering terjadi di masyarakat
adalah pneumonia komunitas (CAP). Pneumonia komunitas adalah infeksi
pneumonia yang terjadi tanpa adanya riwayat rawat inap di rumah sakit dalam 2
minggu terakhir atau keluhan pneumonia yang timbul dalam waktu kurang dari 48
jam perawatan di rumah sakit. Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan bahwa
pasien laki-laki dengan keluhan utama sesak yang terjadi sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak yang ditandai dengan napas cepat yang memberat
sebelum masuk rumah sakit disertai adanya cekungan dinding dada. Pasien juga
dikatakan mengalami demam, batuk, dan pilek yang mendahului keluhan sesak
yaitu 4 hari SMRS. Dari anamnesis tersebut cukup mengarahkan ke arah diagnosis
pneumonia, dimana secara teori klinis awal pneumonia adalah adanya demam
tinggi, sesak napas, dan batuk. Dimana jika dilihat dari onsetnya yang terjadi sejak
4 hari sebelum dirawat di rumah sakit menandakan bahwa sumber infeksi
didapatkan dari lingkungan (komunitas) yang mengarahkan ke arah CAP. Pada
anmnesis menyebutkan bahwa pasien merasa sesak yang ditandai dengan napas
cepat dan tarikan dinding dada, menandakan bahwa terjadi takipneu dan adanya
retraksi dinding dada. Kedua tanda tersebut dapat mengarahkan ke arah pneumonia
sesuai klasifikasi WHO.
Berdasarkan anamnesis, keluhan ini sempat terjadi 2 minggu sebelumnya.
Didahului dengan pilek juga meskipun orangtua mengatakan tidak ada panas badan.
Orang tua mengatakan sebelumnya tidak pernah mengalami sesak yang mudah
kambuh, dan ibu pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi maupun hal-hal yang
mencetuskan sesak. Anamnesis ini dapat membantu menepiskan diagnosis asma
pada pasien. Pada pasien diketahui sempat panas meskipun tidak diukur oleh ibu di
rumah. Namun sudah sempat di bawa ke bidan dan dokter untuk mendapat obat.
Selain itu, keluhan sesak diawali oleh pilek batuk terlebih dahulu, bukan sesak berat
yang terjadi tiba-tiba sehingga dapat membantu menepis diagnosis bronkiolitis.

25
Faktor lingkungan yang padat penduduk merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi penyebaran infeksi pneumonia khususnya pneumonia komunitas.
Pasien merupakan anak usia 6 bulan yang secara epidemiologi menunjukkan bahwa
kasus pneumonia pada anak paling banyak terjadi pada usia 2 sampai 12 bulan
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan yaitu 1,25: 1. Status imunitas
yang belum sempurna pada bayi dan balita akan menyebabkan infeksi patogen lebih
mudah terjadi apabila nutrisi pasien juga tidak baik.
Pemeriksaan fisik pada pneumonia terdiri dari status present yang memuat
tanda vital pasien. Biasanya tanda vital berupa suhu akan mengalami peningkatan
diatas 37,5ºC dan laju napas yang meningkat. Pada status generalis, khususnya pada
pemeriksaan thoraks dari inspeksi akan nampak adanya retraksi dinding dada
dimana pada pasien ini terjadi retraksi subkostal. Pada pemeriksaan palpasi dapat
ditemukan ekspansi dada yang berkurang dengan peningkatan vokal fremitus. Pada
auskultasi akan ditemukan suara napas yang melemah dengan adanya ronki basah
sebagai tanda adanya infiltrat pada paru. Pada kasus pneumonia berat mungkin akan
ditemukan adanya deviasi trakea maupun napas cuping hidung.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini terdiri dari
pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap dengan tujuan untuk
mengetahui kemungkinan penyebab terjadinya pneumonia. Pada pneumonia oleh
karena bakteri dapat terjadi leukositosis dengan predominan sel PMN. Bila
pneumonia oleh karena virus biasanya ditemukan hasil leukosit yang normal atau
sedikit meningkat. Penunjang lain yang paling sering digunakan untuk diagnosis
adalah foto thoraks. Pada pasien ini dikerjakan foto thoraks AP dengan temuan
tampak adanya infiltrat pada suprahilar dan paracardial kanan sebagai bukti adanya
proses inflamasi pada parenkim paru. Kesan hasil penunjang radiologi ini sesuai
dengan teori bahwa pada gambaran foto thoraks akan menunjukkan adanya
konsolidasi/infiltrat pada paru.
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien laki-laki usia 6 bulan
dengan keluhan sesak, batuk, demam yang terjadi sejak 4 hari SMRS dan memberat
1 hari SMRS dengan riwayat keluhan serupa 2 minggu yang lalu, kemudian
pemeriksaan fisik adanya takipneu, retraksi subkostal, dan bunyi ronki pada
auskultasi mengarahkan ke arah diagnosis pneumonia yang ditunjang dengan hasil

26
laboratorium dan radiologis yang menunjukkan adanya konsolidasi/infiltrat pada
parenkim paru yang mempertegas diagnosis pneumonia.
Pada kasus pneumonia terutama pneumonia berat, sangat umum terjadi
penurunan saturasi oksigen. Kumpulan infiltrat pada parenkim paru dapat
menghambat proses pertukaran gas dalam alveolus. Oleh karena itu pemberian
oksigen tepat diberikan untuk meningkatkan pula saturasi oksigen pasien.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian antibiotik anbacim 400
mg dengan kandungan cefuroxim yang merupakan antibiotik golongan
sefalosporin. Anbacim diberikan secara intravena tiap 12 jam disesuaikan dengan
ketersediaan dan kebiasaan pengguanaan antibiotik di rumah sakit (terapi empiris).
Meski demikian, anjuran terapi pada pneumonia berat perawatan rumah sakit
adalah penggunaan ampicillin 50 mg/kgBB/kali secara intravena tiap 6 jam disertai
pemberian gentamisin 7,5 mg/kgBB/kali tiap 12 jam secara intravena. Tujuan
pemberian dua golongan antibiotik tersebut adalah untuk mengatasi kuman patogen
secara menyeluruh baik gram positif maupun gram negatif. Atau pada kasus sangat
berat biasa diberikan seftriakson (golongan sefalosporin) dengan dosis 50-
75mg/kgBB/hari secara intravena.
Pada pasien juga diberikan dexamethasone secara intravena. Hal ini tepat
diberikan, mengingat secara teori pemberian dexamethasone diindikasikan bagi
kasus pneumonia berat terutama yang sampai menimbulkan wheezing. Adapun
fungsi dari dexamethasone adalah sebagai antiinflamasi untuk mengurangi
peradangan berat pada parenkim paru. Dosis anjuran pemberian dexamethasone
adalah 1 mg/kgBB/kali sampai 1 mg/kgBB/hari yang diberikan setiap 6 jam.
Secara teori, pada kasus pneumonia berat yang sampai menimbulkan
wheezing (hipersensitivitas bronkus) akan diberikan nebulisasi salbutamol dengan
dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/kali yang dilarutkan dalam NaCl 3%. Pada kasus dengan
sesak berat, pemberian nebulisasi baik dengan salbutamol maupun NaCl saja
berguna untuk mempercepat napas menjadi lega, sehingga sesak berkurang, dan
dahak lebih mudah dikeluarkan karena obat-obat yang diberikan akan lebih cepat
dan optimal masuk ke paru melalui uap yang dihasilkan.
Pada pasien diberikan ambroxol (Mucos) peroral. Fungsi dari ambroxol
adalah sebagai mukolitik yang membantu mengencerkan dahak sehingga lebih

27
mudah dikeluarkan dan mengurangi sesak pada pasien. Meski demikian, secara
teori pemberian mukolitik pada pasien anak masih menjadi perdebatan.
Pada pasien juga diberikan antihistamin (cetirizine/Tiriz) dan aminophilin
yang biasanya digunakan dalam tatalaksana asma dengan tujuan untuk mengatasi
hipersensitivitas bronkus. Secara teori pada pneumonia tidak ada anjuran
pemberian kedua obat tersebut berdasarkan patofisiologi dari pneumoni yang
berfokus pada inflamasi yang menimbulkan infiltrat pada parenkim paru, bukan
karena adanya hipersensitivitas bronkus. Tapi pada pasien ini berespon baik
terhadap pemberian inhalasi salbutamol, usia pasien yang kurang dari dua tahun,
dan merupakan keluhan pertama kali cukup mirip dengan asma sehingga bisa
menjadi pertimbangan dalam pemberian kedua obat tersebut. Selain itu juga
cetirizine dimanfaatkan sebagai obat bagi pilek pada pasien. Meski demikian,
penggunaan obat tersebut pada pneumoni tidak ada dalam anjuran secara teori.

28
BAB V
SIMPULAN

Pneumonia didefinisikan sebagai inflamasi pada jaringan parenkim paru.


Inflamasi yang dihasilkan diakibatkan oleh adanya infeksi oleh bakteri atau virus,
yang menyebabkan terganggunya perfusion nksigen dan karbondioksida antara
alveoli dengan kapiler. Pneumonia ditandai dengan peradangan pada alveoli
sebagai respon terhadap masuknya mikroorganisme patogen yang masuk ke paru-
paru. Peristiwa ini menghasilkan kerusakan paru baik secara langsung yang
dihasilkan oleh agen infeksius maupun tidak langsung yang dihasilkan oleh sistem
kekebalan tubuh. Keseluruhan mekanisme ini akan meningkatkan sekresi dan tonus
otot polos saluran pernapasan, sekresi mukus, serta sel-sel dan debris inflamatorik,
yang pada akhirnya akan meningkatkan resistensi dan obstruksi jalan napas.
Diagnosis dari pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan tanda-
tanda klinis. Melalui pemeriksaan fisik dapat kita telusuri adanya tanda-tanda
pneumonia seperti suara napas yang melemah, takipneu, dan retraksi dada melalui
inspeksi. Selain itu dapat ditemukan suara pekak pada perkusi dan suara ronkhi
pada auskultasi. Pemeriksaan penunjang juga dapat membantu dalam penegakkan
diagnosis pneumonia. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan berupa foto
thoraks, darah perifer lengkap, serta pemeriksaan kultur dan gram.
Penatalaksaan pneumonia bergantung pada tingkat keparahan penyakit.
Pneumonia ringan dapat dirawat jalan dengan pemberian antibiotik apabila diduga
penyebab dari pneumonia merupakan bakteri. Pilihan antibiotik untuk pneumonia
ringan adalah Amoksisilin. Evaluasi dilakukan pada hari ke-3 pasca pemberian
antibiotik. Apabila tidak ada perubahan klinis setelah 3 hari, atau perburukan klinis
dalam waktu < 3 hari, penatalaksanaan diganti menjadi penatalaksanaan pneumonia
berat. Penatalaksanaan pneumonia berat berupa antibiotik intravena, oksigen, terapi
suportif, simtomatik, serta rawat inap.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Pneumonia among Children in Developing Countries. CDC [Internet] 2014.


http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/pneumchilddevcount_thtm.
Diakses pada 1 Agustus 2019.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013.
2013. Kemenkes : Jakarta.
3. Hasan R, Alatas I, dkk. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h 1229-
1234.
4. Bahariama VM, Artini GA. Pola Pemberian Antibiotika untuk Pasien
Community Acquired Pneumonia Anak di Instalasi Rawat Inap RSUD Buleleng
Tahun 2013. E Journal Medika. 2017; 6(3) : 1-6
5. Recommendations for management of common childhood conditions: Evidence
for technical update of pocket book recommendations. Geneva, WHO [internet]
2012.
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/management_child
hood_conditions/en/index.html. Diakses pada 1 Agustus 2019.
6. Wojsyk I, Banaszak, Breborowicz A. Pneumonia in Children. Intech. 2013; 6(1)
: 137-171.
7. The United Nation Children’s Fund. Integrated Management of Childhood
Illness (IMCI). 2014. UNICEF : Geneva.
8. David MR, Heather JZ. Community Acquired Pneumonia in Children : a
Changing Spectrum of Disease. Pediatr Radiol. 2017; 47(11): 1392-1398.
9. Calistania C, Indawati W. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Media
Aesculapius; 2014. h 172-174.
10. Purniti PS, Subanada IB, Setyorini A. Buku Panduan Belajar Dokter Muda Ilmu
Kesehatan Anak. Lontar Mediatama; 2017. h 218-220.
11. Subanada IB, Purniti NPS. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pneumonia
Bakteri pada Anak. Sari Pediatri; 2010. 12(3): 184-189.
12. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson Essentials of Pediatrics. 21th ed.
Philadelphia, PA : Elsevier; 2019. p406-408.

30

Anda mungkin juga menyukai