PNEUMONIA
Oleh:
Pembimbing :
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmatNya maka laporan responsi kasus yang mengambil topik “Pneumonia” ini
dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian responsi ini. Responsi kasus ini
disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. Kadek Ayu Lestari, Sp.A selaku pembimbing sekaligus penguji dalam
pembuatan responsi kasus ini,
2. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan responsi
kasus ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan responsi kasus ini. Semoga tulisan
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumonia merupakan infeksi atau peradangan saluran napas bagian
bawah yang melibatkan saluran napas dan parenkim paru disertai konsolidasi
ruang alveolar yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,
virus, dan jamur.1 WHO mendefinisikan pneumonia berdasarkan adanya gejala
klinis berupa batuk, sesak napas, dan takipnea.3
2.2 Epidemiologi
Data dari WHO/UNICEF tahun 2006 menunjukkan bahwa Indonesia
menduduki peringkat ke-enam dunia dengan jumlah penderita mencapai enam
juta jiwa. Data riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi pneumonia pada
bayi cukup tinggi di Indonesia yaitu sebanyak 0,76%. Prevalensi tertinggi
adalah Provinsi Gorontalo (13,2%) dan Bali berada di peringkat ke dua (12,9%),
sedangkan provinsi lainnya di bawah 10%.4
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 (Riskesdas 2013), period
prevalence pneumonia balita yang terjadi di Indonesia adalah sebesar 18,5‰,
sedangkan balita yang mendapatkan pengobatan hanya sebesar 1,6‰. Lima
provinsi dengan insiden pneumonia balita tertinggi adalah Nusa Tenggara
Timur (38,5‰), Aceh (35,6‰), Bangka Belitung (34,8‰), Sulawesi Barat
(34,8‰), dan Kalimantan Tengah (32,7‰). Kelompok usia balita dengan
insiden pneumonia balita tertinggi adalah pada kelompok umur 12-23 bulan
(21,7‰). Sedangkan angka mortalitas dari penyakit pneumonia pada bayi yakni
23,8% dan balita 15,5%.2
2
Gambar 2.1 Insiden Pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur,
Indonesia 2013
2.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan, baik oleh bakteri, virus, atau jamur. Pada
negara berkembang pneumonia lebih sering disebabkan oleh bakteri
dibandingkan virus. Sedangkan pada negara maju, virus menjadi penyebab
tersering.5
Tabel 2.1 Etiologi Pneumonia dikelompokkan berdasarkan Usia6
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir – 20 Bakteri : Bakteri :
hari - E.Colli - Bakteri anaerob
- Streptococcus group B - Streptococcus group D
- Listeria Monocytogenes - Haemophillus influenza
- Streptococcus pneumoniae
- Ureaplasma urealyticum
Virus :
- Cytomegalovirus
- Virus Herpes Simpleks
3 minggu – Bakteri : Bakteri :
3 bulan - Chlamydia trachomatis - Bordetella pertussis
- Streptococcus pneumoniae- Hamophillus influenza tipe B
Virus : - Moraxella catharallis
- Adenovirus - Staphylococcus aureus
- Virus influenza - Ureaplasma urealyticum
- Virus parainfluenza 1,2,3 Virus :
- Respiratory Synctial virus- Cytomegalovirus
4 bulan – 5 Bakteri : Bakteri :
tahun - Chlamydia trachomatis - Hamophillus influenza tipe B
- Mycoplasma pneumoniae - Moraxella catharallis
3
- Streptococcus pneumoniae- Neisseria meningitidis
Virus : - Staphylococcus aureus
- Adenovirus
- Virus influenza Virus :
- Virus parainfluenza - Virus varisella zoster
- Rhinovirus
- Respiratory Synctial Virus
5 tahun – Bakteri : Bakteri :
remaja - Chlamydia trachomatis - Hamophillus influenza tipe B
- Mycoplasma pneumoniae - Legionella sp
- Streptococcus pneumoniae- Staphylococcus aureus
Virus :
- Adenovirus
- Virus Epstein Barr
- Virus influenza
- Virus parainfluenza
- Rhinovirus
- Respiratory Synctial virus
- Virus varisella zoster
2.4 Patogenesis
Pneumonia dapat terjadi akibat pengaruh dari 3 faktor, yaitu: host,
mikroorganisme yang menyerang (agent), dan interaksi lingkungan
(environment). Pneumonia sendiri merupakan invasi saluran pernapasan bagian
bawah, di bawah laring oleh patogen baik melalui inhalasi, aspirasi, invasi epitel
pernapasan, atau penyebaran hematogen.7
Berbagai macam cara penularan pneumonia antara lain: melalui droplet
dapat disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, sedangkan infeksi pada
pemakaian ventilator disebabkan oleh Enterobacter sp dan P. aeruginosa. Pada
kondisi sehat atau imunitas host baik maka tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme (agent) di paru karena adanya mekanisme pertahanan paru
yang berfungsi dengan baik. Penyakit muncul ketika terjadi ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh (host), mikroorganisme (agent) dan lingkungan
(environment). Ketika mekanisme pertahanan paru tidak menjalankan fungsi
dengan baik maka agent dapat menuju alveoli melalui saluran pernapasan
sehingga mengakibatkan inflamasi pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya.6
4
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ Kongestif)
Stadium ini disebut juga hiperemia, mengacu pada respon peradangan awal
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut antara lain histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskular
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus dilalui oleh
oksigen dan karbondioksida, yang akan mengakibatkan gangguan proses
pertukaran gas sehingga terjadi penurunan saturasi oksigen hemoglobin.7
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Stadium ini disebut juga dengan hepatisasi merah. Hal ini terjadi sewaktu
alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
host sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan terasa seperti hepar.
Pada stadium ini udara di dalam alveoli sangat minimal hingga tidak ada
sehingga penderita akan terlihat sesak. Stadium ini berlangsung singkat,
yaitu selama 48 jam.7
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Stadium selanjutnya disebut juga hepatisasi kelabu. Hal ini dikarenakan sel-
sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit mulai direabsorbsi, lobus
masih tetap padat karena adanya fibrin dan leukosit, warna merah berubah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.7
5
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Pada stadium ini terjadi penurunan respon imun dan peradangan sehingga
dinamakan sebagai stadium resolusi. Sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis
dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke struktur
semula.7
2.6 Klasifikasi
Klasifikasi derajat pneumonia menurut WHO yaitu5 :
1. Bukan pneumonia
Pasien mengeluhkan demam dan batuk namun tidak disertai dengan tanda
gejala pneumonia.
2. Pneumonia
Demam dan batuk
Takipneu (napas cepat) :
Usia < 2 bulan : ≥60 x/menit
Usia 2 – 12 bulan : ≥50 x/menit
Usia 1 – 5 tahun : ≥40 x/menit
Auskultasi: ronkhi, suara napas menurun, suara napas bronkial
3. Pneumonia berat
Gejala pneumonia di atas disertai salah satu di bawah ini :
6
Retraksi dinding dada (subkosta, interkosta, suprasternal)
Napas cuping hidung
Head nodding (menganggukan kepala)
Grunting
Sianosis
Dehidrasi, tidak bisa minum, muntah
Lethargi, Kejang, penurunan kesadaran
7
- Reaksi hipersensitivitas : oleh obat maupun radiasi yang menginduksi
terjadinya pneumonitis.
8
3. Pneumonia interstisial
Inflamasi yang ditandai dengan ditemukannya infiltrat dan eksudat pada
jaringan interstisial.
2.7 Diagnosis
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan sesuai dengan basic four dan sacred seven untuk
menggali manifestasi klinis yang terdapat pada pasien. Keluhan yang perlu
digali adalah adanya demam, batuk, sesak napas yang ditandai dengan napas
cepat.5,9
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran tanda-tanda vital. Pada
pengukuran tanda vital biasanya didapatkan demam/peningkatan suhu
tubuh >37,50C dan peningkatan laju pernapasan yang lebih tinggi dari nilai
normal menurut usia. Pemeriksaan fisik umum dan dada dapat ditemukan
tanda-tanda distress napas seperti: retraksi dinding dada (subkostal,
interkostal, suprasternal), napas cuping hidung, sianosis, deviasi trakea,
tanda-tanda terdapatnya konsolidasi seperti: ekspansi dada yang berkurang;
peningkatan vokal fremitus, suara redup yang terlokalisir pada perkusi;
suara napas yang melemah, bronkial atau bronkovesikuler, ronki, wheezing
dapat terdengar pada auskultasi.10
c. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap pada pneumonia dilakukan untuk membantu
menunjang diagnosis dan mencari tahu penyebab. Pada pneumonia
bakterial, dapat ditemukan leukositosis (15.000-40.000/mm3) dengan
predominan sel PMN. Pada infeksi Chlamydia kadang ditemukan
eosinofilia. Sedangkan pada pneumonia akibat virus atau mikoplasma,
dapat ditemukan hasil leukosit normal atau sedikit meningkat.9,11
9
- Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk membantu
menegakkan diagnosis terutama pada pneumonia berat, manifestasi
klinis yang masih meragukan, untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab distress napas yang lain. Foto thoraks AP/lateral juga bertujuan
untuk membantu menentukan lokasi anatomi dalam paru. Pneumonia
akibat bakteri umumnya menghasilkan infiltrat lobar/segmental, infiltrat
pleural atau infiltrat alveolar dengan diameter >2,5 cm. Sedangkan
infiltrat interstitial sering ditemui pada pneumonia virus. Infiltrat patchy
(pada bronkopneumonia) dapat dijumpai pada pneumonia bakteri
maupun virus. Pada infiltrat lobar/ segmental, gambaran yang dihasilkan
khas terlokalisir pada salah satu lobus paru tertentu. Infiltrat alveoli
menghasilkan gambaran konsolidasi hingga daerah perifer paru. Infiltrat
interstitial menghasilkan hiperareasi dan peningkatan corakan
bronkovaskular. Sedangkan infiltrat patchy merupakan konsolidasi pada
beberapa saluran napas kecil akibat produksi eksudat mukopurulen.9
- Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi dapat dilakukan melalui usapan spesimen
tenggorokan, sekresi nasofaring, sputum, aspirasi trakea, pungsi pleura,
darah, aspirasi paru dan bilasan bronkus. Pemeriksaan ini sulit dilakukan
dari segi teknis maupun biaya.10
10
untuk mengetahui perjalanan penyakit serta pemeriksaan fisik, diagnosis
banding tersebut dapat disingkirkan.12
2.9 Terapi
Terapi untuk pneumonia tergantung pada derajat penyakit, komplikasi, dan
pengetahuan tentang agen infeksi yang kemungkinan menyebabkan pneumonia.
Sebagian besar kasus pneumonia pada anak-anak yang sehat dapat ditangani
secara rawat jalan. Namun, anak-anak dengan hipoksemia, ketidakmampuan
untuk mempertahankan hidrasi yang memadai, atau gangguan pernapasan
sedang hingga berat harus dirawat di rumah sakit. Rawat inap harus
dipertimbangkan pada bayi di bawah 6 bulan dengan dugaan pneumonia
bakteri, mereka yang memiliki kekhawatiran terhadap patogen dengan
peningkatan virulensi (misalnya, S. aureus yang resisten metisilin), atau ketika
ada kekhawatiran mengenai kemampuan keluarga untuk merawat anak dan
untuk menilai perkembangan gejala.12
Karena virus menyebabkan banyak CAP pada anak kecil, tidak semua anak
memerlukan pengobatan antibiotik empiris untuk pneumonia. Pneumonia
akibat pneumokokus dapat diobati dengan terapi ampisilin dosis tinggi bahkan
pada patogen dengan resistensi penisilin tingkat tinggi. Ceftriaxone dan/atau
vankomisin dapat digunakan jika isolat menunjukkan resistensi tingkat tinggi
dan pasien sakit parah. Untuk bayi berusia 2-18 minggu dengan pneumonia
afebris kemungkinan besar disebabkan oleh C. trachomatis, makrolide adalah
pengobatan yang direkomendasikan. Oseltamivir atau zanamivir harus
digunakan jika influenza diidentifikasi atau dicurigai, idealnya dalam waktu 48
jam setelah timbulnya gejala.12
11
levofloxacin, † atau
linezolid PO
12
P. aeruginosa Ceftazidime IV dengan Piperacillin-tazobactam
atau tanpa IV dengan atau tanpa
aminoglikosida ‡; aminoglikosida ‡
ciprofloxacin † jika
suseptibel PO
13
Pneumonia adenovirus yang parah dapat menyebabkan bronkiolitis
obliterans, suatu proses inflamasi subakut di mana saluran udara kecil
digantikan oleh jaringan parut, menghasilkan pengurangan volume paru-paru
dan komplians paru-paru. Paru hiperlusen unilateral, atau sindrom Swyer-
James, merupakan sekuel fokal dari pneumonia nekrotikans berat di mana
semua atau sebagian paru-paru telah meningkatkan radiolusensi radiografi;
yang dihubungkan dengan infeksi adenovirus tipe 21.12
14
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Heteroanamnesis (Ibu Pasien)
Keluhan utama : Sesak napas
Riwayat penyakit sekarang
Pasien laki – laki, usia 6 bulan dirawat di ruang Anggrek kamar II B.
Pasien MRS pada tanggal 29 Juli 2019 dengan keluhan utama berupa sesak
napas. Keluhan sesak dikatakan muncul sejak satu hari sebelum MRS pada
pukul 11 malam. Sesak pada pasien dikatakan berupa bernapas cepat dengan
cekungan pada dada yang menetap sampai pukul 4 dini hari. Pasien dikatakan
rewel dan tidak dapat tidur, pasien dikatakan tidak membaik jika ditidurkan
ataupun didudukan (perubahan posisi). Sesak muncul beberapa hari setelah
keluhan batuk. Keluhan lainnya dikatakan berupa batuk, pilek, dan panas.
Pasien dikatakan mengalami batuk sejak 4 hari sebelum MRS. Batuk
terjadi terus menerus seperti berdahak tapi tidak keluar dahak. Keluhan batuk
diikuti pilek yang terjadi hampir bersamaan. Keluhan batuk tidak bertambah
berat pada malam hari dan tidak berkurang pada siang hari namun batuk
dikatakan bersifat terus menerus. Keluhan pilek berupa keluarnya cairan putih
15
dan bersifat agak kental dari hidung. Keluhan batuk dan pilek terjadi terus
menerus, hanya membaik saat pasien tidur.
Pasien juga dikeluhkan sempat mengalami panas sejak 2 hari sebelum
MRS tetapi suhu badannya tidak diukur. Panas dikatakan terjadi terus menerus
dan membaik setelah diberikan obat dari dokter. Saat dibawa ke rumah sakit
sebelumnya, suhu yang pernah terukur yaitu 38,7ºC.
Keluhan bibir biru, kaki dan tangan biru saat sesak disangkal oleh ibu
pasien. Keluhan lain seperti mual dan muntah disangkal oleh ibu pasien. BAB
dan BAK dikatakan tanpa keluhan, minum dikatakan menurun.
Riwayat alergi terhadap makanan maupun obat-obatan disangkal, pasien
dikatakan tidak pernah mengalami gatal-gatal setelah mengkonsumsi makanan
dan obat-obatan tertentu. Pasien belum pernah dilakukan tes alergi
sebelumnya.
Pada saat pemeriksaan pasien, dikatakan keluhannya sudah membaik.
Ibu pasien mengatakan pasien sudah tidak sesak dan panas, namun keluhan
batuk dan pilek masih ada tapi dikatakan jauh berkurang dibandingkan
sebelumnya. Minum pasien dikatakan baik kembali seperti semula. BAB dan
BAK pasien dikatakan tanpa keluhan.
16
Riwayat Pribadi, Lingkungan dan Sosial
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pasien saat ini tinggal
bersama kakek dan neneknya. Pemukiman tempat tinggal pasien dikatakan
padat. Ayah dan ibu pasien bekerja sebagai wiraswasta. Ayah pasien dikatakan
perokok aktif, berupa rokok elektrik.
Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara sectio cesaria (SC) dibantu oleh dokter kandungan,
dengan berat badan lahir 3.000 gram dengan panjang badan 50 cm, lingkar
kepala dan lingkar dada saat lahir dikatakan lupa. Pasien lahir post date pada
usia kehamila 39 – 40 minggu dan segera menangis.
Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan pasien sudah dilakukan pemberian imunisasi di
puskesmas, yaitu Imunisasi BCG 1 kali, Polio 3 kali, Hepatitis B 3 kali, DPT 3
kali.
Riwayat Nutrisi
1. ASI : sejak lahir hingga usia 3 bulan, frekuensi on demand
2. Susu Formula : semenjak usia 3 bulan hingga sekarang, frekuensi
on demand
3. Makanan tambahan : sejak usia 6 bulan, frekuensi 3-4 kali/hari, dengan
bubur susu.
17
Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
Nadi : 120 kali/ menit, reguler, isi cukup
Laju Pernapasan : 37 kali/ menit, reguler
Suhu axilla : 37 C
Saturasi O2 perifer : 98% dengan nasal canul (2 lpm)
FLACC Pain Scale :2
18
Perkusi : batas kiri : MCL sinistra ICS V
batas kanan : PSL dextra ICS V
Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi subkostal (+)
Palpasi : gerakan simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : bronkovesikuler +/+, rhales +/+, wheezing -/-, ekspirasi
memanjang (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : sianosis (-), ikterus (-), turgor kembali dengan cepat
Genitalia : laki-laki, G1P1
Ekstremitas : hangat + + , edema - - CRT <2 detik
+ + - -
Anus : hiperemi (-)
19
3.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Rutin (29-07-2019)
Parameter Hasil Satuan Nilai Remarks
Hematologi Rujukan
WBC 16.4 103𝜇L 6.0-17.5
HGB 12.9 g/dL 10.1-12.9
HCT 38.5 % 32.0-44.0
PLT 647 103𝜇L 217-497 Tinggi
NEU% 75,7 % 17-60 Tinggi
EO % 0.3 % 1.0-5.0 Rendah
BA % 0.7 % 0.0-1.0
RBC 5.33 106𝜇L 3.2-5.2 Tinggi
MPV 4.7 fL 7.0-11.0 Rendah
2. Thorax AP (29/7/2019)
Foto Thorax AP
Cor : besar dan bentuk kesan normal
Pulmo : tampak patchy infiltrat di suprahiler dan paracardial kanan, tak
tampak penebalan hilus kanan kiri
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
20
Diafragma kanan kiru normal
Tulang : tak tampak kelainan
Kesan : cor kesan normal
Sugestive bronchopneumonia
3.5 Diagnosis
Pneumonia + gizi baik
3.6 Penatalaksanaan
O2 2 lpm via nasal canul
Pemberian cairan sesuai kebutuhan cairan 900 ml per hari (mampu minum)
IVFD D5% 1/4 NS 8 tpm makro
Obat
Anbacim 400 mg tiap 12 jam intravena
Dexamethasone 1/3 amp tiap 8 jam intravena
Mucos (Ambroxol) 0.4 ml tiap 8 jam peroral
Parasetamol drop 0.9ml tiap 8 jam peroral (bila demam)
Aminophilin 40mg tiap 8 jam intravena
Tiriz 0,2 ml tiap 12 jam peroral
Nebulisasi ventolin + NaCl 0.9% tiap 8 jam
Monitoring:
Keluhan
Tanda vital
Balance cairan
Edukasi :
Menjelaskan keluarga tentang penyakitnya, kemungkinan penyebab, rencana
terapi kedepannya dan prognosis
Menjaga asupan nutrisi yang bergizi baik dan seimbang
Jaga personal hygine, cuci tangan sebelum memberikan makan pada anak
21
Edukasi pentingnya mengkonsumsi obat secara rutin dan kontrol untuk
evaluasi terapi
3.7 Prognosis
- Ad Vitam : dubia ad bonam
- Ad Functionam : dubia ad bonam
- Ad Sanationam : dubia ad bonam
22
Follow up (30 Juli 2019)
Subjective : Keluhan sesak napas sudah berkurang. Panas (-) Pilek (+)
berkurang, batuk (+) berkurang. Minum baik. BAB dan BAK normal.
Objective :
Status Present
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
Nadi : 118 kali/ menit, reguler, isi cukup
Respirasi rate : 32 kali/ menit, reguler
Tempt axilla : 36,9 C
Saturasi : 98% via nasal canul (2 lpm)
Status Generalis
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor,
edema -/-, mata cowong -/-
THT :
Telinga : sekret -/-, hiperemis -/-, deformitas -/-
Hidung : sekret (-), konka hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
Tenggorok : faring hiperemi (-), Tonsil T1/T1 hiperemi (-)
Lidah : sianosis (-), benjolan (-), lidah kotor (-)
Bibir : sianosis (-), mukosa bibir pucat (-)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (-), JVP tidak
dievaluasi
Thoraks : simetris, retraksi subkostal (-)
Cor :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba di MCL sinistra ICS V, RV heave (-),
LV impuls (-)
Perkusi : batas kiri : MCL sinistra ICS V
batas kanan : PSL dextra ICS V
23
Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi subkostal (+) minimal
Palpasi : gerakan simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : bronkovesikuler +/+, rhales +/+, wheezing -/-, ekspirasi
memanjang (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : sianosis (-), ikterus (-), turgor kembali dengan cepat
Genitalia : laki-laki,
Ekstremitas : hangat + + , edema - - CRT <2 detik
+ + - -
Anus : hiperemi (-)
Assesment :
Pneumonia + gizi baik
Planning :
O2 2 lpm via nasal canul
Pemberian cairan sesuai kebutuhan cairan 900 ml per hari (mampu minum)
IVFD D5% 1/4 NS 8 tpm makro
Obat
Anbacim 400 mg tiap 12 jam intravena
Dexamethasone 1/3 amp tiap 8 jam intravena
Mucos (Ambroxol) 0.4 ml tiap 8 jam peroral
Nebulisasi ventolin + NaCl 0.9% tiap 8 jam
24
BAB IV
PEMBAHASAN
25
Faktor lingkungan yang padat penduduk merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi penyebaran infeksi pneumonia khususnya pneumonia komunitas.
Pasien merupakan anak usia 6 bulan yang secara epidemiologi menunjukkan bahwa
kasus pneumonia pada anak paling banyak terjadi pada usia 2 sampai 12 bulan
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan yaitu 1,25: 1. Status imunitas
yang belum sempurna pada bayi dan balita akan menyebabkan infeksi patogen lebih
mudah terjadi apabila nutrisi pasien juga tidak baik.
Pemeriksaan fisik pada pneumonia terdiri dari status present yang memuat
tanda vital pasien. Biasanya tanda vital berupa suhu akan mengalami peningkatan
diatas 37,5ºC dan laju napas yang meningkat. Pada status generalis, khususnya pada
pemeriksaan thoraks dari inspeksi akan nampak adanya retraksi dinding dada
dimana pada pasien ini terjadi retraksi subkostal. Pada pemeriksaan palpasi dapat
ditemukan ekspansi dada yang berkurang dengan peningkatan vokal fremitus. Pada
auskultasi akan ditemukan suara napas yang melemah dengan adanya ronki basah
sebagai tanda adanya infiltrat pada paru. Pada kasus pneumonia berat mungkin akan
ditemukan adanya deviasi trakea maupun napas cuping hidung.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini terdiri dari
pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap dengan tujuan untuk
mengetahui kemungkinan penyebab terjadinya pneumonia. Pada pneumonia oleh
karena bakteri dapat terjadi leukositosis dengan predominan sel PMN. Bila
pneumonia oleh karena virus biasanya ditemukan hasil leukosit yang normal atau
sedikit meningkat. Penunjang lain yang paling sering digunakan untuk diagnosis
adalah foto thoraks. Pada pasien ini dikerjakan foto thoraks AP dengan temuan
tampak adanya infiltrat pada suprahilar dan paracardial kanan sebagai bukti adanya
proses inflamasi pada parenkim paru. Kesan hasil penunjang radiologi ini sesuai
dengan teori bahwa pada gambaran foto thoraks akan menunjukkan adanya
konsolidasi/infiltrat pada paru.
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien laki-laki usia 6 bulan
dengan keluhan sesak, batuk, demam yang terjadi sejak 4 hari SMRS dan memberat
1 hari SMRS dengan riwayat keluhan serupa 2 minggu yang lalu, kemudian
pemeriksaan fisik adanya takipneu, retraksi subkostal, dan bunyi ronki pada
auskultasi mengarahkan ke arah diagnosis pneumonia yang ditunjang dengan hasil
26
laboratorium dan radiologis yang menunjukkan adanya konsolidasi/infiltrat pada
parenkim paru yang mempertegas diagnosis pneumonia.
Pada kasus pneumonia terutama pneumonia berat, sangat umum terjadi
penurunan saturasi oksigen. Kumpulan infiltrat pada parenkim paru dapat
menghambat proses pertukaran gas dalam alveolus. Oleh karena itu pemberian
oksigen tepat diberikan untuk meningkatkan pula saturasi oksigen pasien.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian antibiotik anbacim 400
mg dengan kandungan cefuroxim yang merupakan antibiotik golongan
sefalosporin. Anbacim diberikan secara intravena tiap 12 jam disesuaikan dengan
ketersediaan dan kebiasaan pengguanaan antibiotik di rumah sakit (terapi empiris).
Meski demikian, anjuran terapi pada pneumonia berat perawatan rumah sakit
adalah penggunaan ampicillin 50 mg/kgBB/kali secara intravena tiap 6 jam disertai
pemberian gentamisin 7,5 mg/kgBB/kali tiap 12 jam secara intravena. Tujuan
pemberian dua golongan antibiotik tersebut adalah untuk mengatasi kuman patogen
secara menyeluruh baik gram positif maupun gram negatif. Atau pada kasus sangat
berat biasa diberikan seftriakson (golongan sefalosporin) dengan dosis 50-
75mg/kgBB/hari secara intravena.
Pada pasien juga diberikan dexamethasone secara intravena. Hal ini tepat
diberikan, mengingat secara teori pemberian dexamethasone diindikasikan bagi
kasus pneumonia berat terutama yang sampai menimbulkan wheezing. Adapun
fungsi dari dexamethasone adalah sebagai antiinflamasi untuk mengurangi
peradangan berat pada parenkim paru. Dosis anjuran pemberian dexamethasone
adalah 1 mg/kgBB/kali sampai 1 mg/kgBB/hari yang diberikan setiap 6 jam.
Secara teori, pada kasus pneumonia berat yang sampai menimbulkan
wheezing (hipersensitivitas bronkus) akan diberikan nebulisasi salbutamol dengan
dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/kali yang dilarutkan dalam NaCl 3%. Pada kasus dengan
sesak berat, pemberian nebulisasi baik dengan salbutamol maupun NaCl saja
berguna untuk mempercepat napas menjadi lega, sehingga sesak berkurang, dan
dahak lebih mudah dikeluarkan karena obat-obat yang diberikan akan lebih cepat
dan optimal masuk ke paru melalui uap yang dihasilkan.
Pada pasien diberikan ambroxol (Mucos) peroral. Fungsi dari ambroxol
adalah sebagai mukolitik yang membantu mengencerkan dahak sehingga lebih
27
mudah dikeluarkan dan mengurangi sesak pada pasien. Meski demikian, secara
teori pemberian mukolitik pada pasien anak masih menjadi perdebatan.
Pada pasien juga diberikan antihistamin (cetirizine/Tiriz) dan aminophilin
yang biasanya digunakan dalam tatalaksana asma dengan tujuan untuk mengatasi
hipersensitivitas bronkus. Secara teori pada pneumonia tidak ada anjuran
pemberian kedua obat tersebut berdasarkan patofisiologi dari pneumoni yang
berfokus pada inflamasi yang menimbulkan infiltrat pada parenkim paru, bukan
karena adanya hipersensitivitas bronkus. Tapi pada pasien ini berespon baik
terhadap pemberian inhalasi salbutamol, usia pasien yang kurang dari dua tahun,
dan merupakan keluhan pertama kali cukup mirip dengan asma sehingga bisa
menjadi pertimbangan dalam pemberian kedua obat tersebut. Selain itu juga
cetirizine dimanfaatkan sebagai obat bagi pilek pada pasien. Meski demikian,
penggunaan obat tersebut pada pneumoni tidak ada dalam anjuran secara teori.
28
BAB V
SIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
30