Anda di halaman 1dari 55

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kertas merupakan kebutuhan sehari-hari yang penggunaannya telah ada sejak


ribuan tahun silam. Menurut Valeria Dewi, dkk (2016), kertas merupakan bahan
tipis dan rata yang dihasilkan dari kompresi serat yang berasal dari pulp. Seiring
dengan meningkatnya pemakaian kertas, perusahaan kertas berlomba-lomba
meningkatkan produksi kertas dan juga kualitas kertas untuk memenuhi permintaan
pelanggan.
Salah satu kualitas yang harus dijaga maupun ditingkatkan pada kertas terutama
kertas tulis cetak ialah sifat optik kertas. Sifat optik yang dimaksud dapat berupa
opacity, brightness, warna, whiteness, dan lain sebagainya. Setidaknya ada tiga
cara meningkatkan sifat optik terutama dari nilai brightness kertas yaitu proses
bleaching, penggunaan bahan pengisi, dan penggunaan bahan kimia seperti Optical
Brightening Agent (OBA). Akan tetapi proses bleaching dan penggunaan bahan
pengisi dapat menyebabkan penurunan kekuatan kertas yang dihasilkan.
Penggunaan bahan kimia berupa OBA merupakan langkah praktis dalam
meningkatkan sifat optik kertas terutama dari segi brightness kertas yang
dihasilkan. OBA ialah bahan kimia yang berfungsi untuk membantu meningkatkan
kecerahan kertas. OBA akan menyerap sebagian sinar ulra violet (UV) dan
memancarkan kembali energi tersebut berupa sinar tampak (cahaya biru).
Dalam upaya memaksimalkan efektivitas penggunaan OBA, belakangan ini
telah dilakukan kombinasi lokasi penambahan OBA yaitu dengan melakukan
penambahan OBA ke stock baik di wet-end maupun surface sizing. Akan tetapi,
kedua lokasi penambahan ini memiliki parameter dan kondisi masing-masing yang
akan berpengaruh pada efektivitas penggunaan OBA. Misalnya saja kualitas air,
kualitas air sangat mempengaruhi efektivitas OBA berkenaan dengan sifat
solubility OBA itu sendiri (Smook, 2003). Berkurangnya efektivitas penggunaan
OBA akan berpengaruh pada kualitas sifat optik kertas yang dihasilkan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka penulis
melakukan penelitian tugas akhir yang berjudul “Pengaruh Penggunaan OBA
Terhadap Sifat Optik Kertas Tulis Cetak”.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh penambahan OBA pada sifat optik kertas?
2. Berapakah nilai brightness dan whiteness tertinggi yang mampu dicapai oleh
variasi penelitian?
3. Bagaimanakah pengaruh lokasi penambahan OBA terhadap efektivitas
penggunaan OBA ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh penambahan OBA pada sifat optic kertas


2. Untuk mengetahui besar nilai brightness dan whiteness tertinggi yang
mampu dicapai oleh variasi penelitian
3. Untuk mengetahui pengaruh lokasi penambahan OBA terhadap efektivitas
penggunaan OBA

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berguna bagi


penulis pada khususnya, dan perkembangan industri kertas di Indonesia pada
umumnya. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan dan wawasan akademik dalam bidang ilmu yang terkait dengan
industri pulp dan kertas bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya,
terutama yang berhubungan dengan pengaruh lokasi penambahan OBA
penggunaan bahan kimia OBA pada proses pembuatan kertas.
2. Manfaat Industri
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perusahaan sebagai
bahan masukan dalam meningkatkan kualitas kertas, khususnya melalui
penggunaan bahan kimia OBA dengan lokasi penambahan yang berbeda dan
jenis OBA yang berbeda.

1.5. Hipotesis

Hipotesis penulis berdasarkan hasil studi literatur awal dan analisis masalah
dari penelitian ini yaitu efektivitas penggunaan OBA dilihat dari sifat optik yang
dihasilkan pada kertas dipengaruhi lokasi penambahan dan jenis OBA yang
digunakan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Agar penelitian tugas akhir ini terfokus pada topik utamanya, maka penulis
memaparkan ruang lingkup penelitian sebagaimana berikut:
1. Penelitian ini dilakukan pada pembuatan kertas tulis cetak 80 gsm
2. Bahan baku yang digunakan ialah pulp LBKP((Leaf Bleached Kraft Pulp)
after refining
3. Dosis Optical Brightening Agent(OBA) yang digunakan diantaranya 1 kg, 2
kg, 3 kg, dan 4 kg per ton produk(kertas).
4. Jenis Optical Brightening Agent(OBA) yang dipakai ialah OBA jenis
Disulpho, Tetrasulpho, dan Hexasulpho.
5. Bahan kimia Optical Brightening Agent(OBA) diaplikasikan pada proses wet-
end dan surface sizing.
6. Uji sampel dalam penelitian ini meliputi brightness, whiteness, dan warna
(L*a*b).

1.7 Sistematika Penulisan


Penulisan laporan Tugas Akhir ini terbagi atas lima bab, yaitu :
a. BAB 1 Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, hipotesis, ruang lingkup penelitian dan sistematika penulisan.
b. BAB 2 Tinjauan Pustaka
Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang menjabarkan teori-teori terkait
dengan penelitian dan dikutip dari berbagai referensi.
c. BAB 3 Metodologi Penelitian
Bab ini menjelaskan metode pengumpulan data, alat dan bahan, rancangan
penelitian meliputi variabel penelitian, diagram alir penelitian, dan
deskripsi proses (tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengujian).
d. BAB 4 Hasil dan Pembahasan
Bab ini berisi data-data yang diperoleh selama penelitian dan dilakukan
analisis terhadap data tersebut. Hasil penelitian akan penulis tampilkan
dalam bentuk tabel dan grafik. Selain itu, penulis juga memberikan
penjelasan terkait hasil penelitian yang telah dilakukan
e. BAB 5 Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kertas

Kertas merupakan struktur lembaran yang terbuat dari pulp dan bahan lain
sebagai bahan tambahan dengan fungsi tertentu. Bagian terbesar kertas adalah
pulp, sedangkan bahan lain sebagai bahan tambahan hanya sedikit karena
digunakan hanya untuk mendapat sifat tertentu (Setyowati, 2000). Serat yang
digunakan untuk membuat kertas biasanya adalah serat alami yang mengandung
selulosa dan hemiselulosa.
Kertas dikenal sebagai media utama untuk menulis, mencetak serta melukis
dan banyak kegunaan lain yang dapat dilakukan dengan kertas misalnya kertas
pembersih (tissue) yang digunakan untuk hidangan, kebersihan ataupun toilet.

2.2 Bahan Baku Pembuatan Kertas


Bahan baku dalam proses pembuatan kertas adalah serat. Serat yang
digunakan dapat diperoleh dari tanaman kayu (wood), tanaman non-kayu (non-
wood) maupun serat daur ulang (recycle fiber) berasal dari kertas bekas. Bahan
baku serat yang digunakan pada setiap jenis kertas disesuaikan dengan
kebutuhannya, dalam artian bahwa tidak setiap jenis kertas memiliki bahan baku
yang sama.
2.2.1 Primary Fiber(Virgin Pulp)
Adalah pulp atau selulosa yang belum pernah dibuat kertas atau produk
lain. Virgin Pulp terbagi atas 3 jenis, yaitu:
a. Softwood Pulp
Pulp serat panjang dibuat dari kayu daun jarum (softwood) dan
umumnya ukuran serat berkisar dari 2 mm – 5 mm. Kertas yang
dihasilkan memiliki ikatan antar serat yang kuat(kekuatan tinggi)
tetapi memiliki smoothness yang rendah. Jenis tanaman softwood
biasa tumbuh di daerah bermusim dingin dan subtropics, seperti
pinus, agathis, dan lain-lain.
b. Hardwood Pulp
Pulp serat pendek berukuran sekitar 1 mm – 1,55 mm dan
diperoleh dari pemasakan kayu daun lebar (hardwood).Kertas yang
dihasilkan dari hardwood memiliki smoothness yang baik, tapi
kekuatan kertas rendah. Jenis tanaman hardwood diantaranya acacia
mangium,eucalyptus sp, albisia, dan lain-lain.
c. Non wood Pulp
Bahan baku non kayu biasanya diperoleh dari tanaman rumput-
rumputan atau dari kulit tanaman tertentu. Serat yang diperoleh dari
tanaman non kayu mempunyai beberapa karakteristik, yaitu panjang
seratnya bervariasi, biasanya mengandung mineral yang cukup tinggi,
jumlah serat yang bervariasi dan bulky.

2.2.2 Secondary Fiber(Recycled Pulp)

Serat sekunder adalah bahan berserat yang telah mengalami proses


pengolahan dan daur ulang. Menurut Herbert Holik(2006), bahan baku
recycled pulp terbagi dalam dua jenis yaitu pre-consumer dan post-
consumer. Pre-consumer atau biasa disebut broke yaitu bahan baku
berupa kertas yang belum digunakan oleh konsumen sehingga masih
memiliki kualitas yang lebih baik. Post-consumer adalah bahan baku
berupa kertas bekas yang harus dilakukan penyortiran terlebih dahulu
sebelum dilakukan pengolahan. Kertas bekas digunakan kembali untuk
meminimalkan penggunaan virgin pulp sehingga dapat menekan biaya
produksi.
2.3 Bahan Kimia Pembuatan Kertas
Penggunaan bahan kimia dalam pembuatan kertas bertujuan untuk
meningkatkan sifat kertas yang dihasilkan, meningkatkan kinerja mesin kertas,
memperlancar proses produksi, dan menekan biaya produksi.
2.3.1 Bahan Kimia Fungsional
Bahan kimia fungsional adalah bahan kimia tambahan yang digunakan
untuk meningkatkan sifat-sifat kertas yang diinginkan sesuai dengan jenis
kertas dan standar yang diinginkan. Terdapat berbagai bahan kimia
fungsional dalam pembuatan kertas, diantaranya:
1. Dry Strength Agent
Dry strength agents digunakan untuk meningkatkan kekuatan
fisik kertas, seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, kekuatan jebol, dan
lain-lain. Contoh dry strength agents : starch, gum, CMC, acrylamide,
dan lain-lain
2. Wet Strength Agent
Wet strength agents merupakan bahan kimia tambahan yang
digunakan pada beberapa jenis kertas tertentu, misalnya facial tissue,
towel paper, dan lain-lain. Penambahan wet strength agents ini
bertujuan untuk meningkatkan wet tensile strength pada kertas. Wet
strenght agents yang umum digunakan untuk sistem asam adalah urea-
formaldehyde (U/F) dan melamine-formaldehyde (M/F) resins.
Sedangkan yang efektif digunakan untuk sistem alkali adalah
polyamine-polyamide-epichlorohydrin resins.
3. Sizing Agent
Sizing agent berfungsi untuk memperbaiki sifat ketahanan
terhadap penetrasi cairan terhadap kertas. Ada 2 macam sizing yaitu
internal sizing dan surface sizing. Internal sizing merupakan proses
pemberian ketahanan terhadap penetrasi cairan dari kertas dan karton
menggunakan aditif di wet end, dengan cara mencampurkan bahan
sizing ke dalam stok pembuatan kertas. kemudian dibentuk lembaran
sehingga distribusi bahan sizing terbawa dalam lembaran. Internal
sizing agents contohnya : Alkyl Ketene Dimer (AKD), Alkenyl Succinic
Anhydride (ASA), dan Rosin.
Surface sizing adalah proses pemberian bahan sizing pada
permukaan kertas yang telah dibentuk. Tujuan surface sizing adalah
meningkatkan ketahanan cabut, kelicinan, dan untuk mendapatkan
kertas yang tahan terhadap larutan koloid (tinta tulis) atau bahan minyak
(tinta cetak). Faktor-faktor yang mempengaruhi surface sizing adalah
moisture lembaran, internal sizing, grammatur kertas, porositas,
smoothness, dan viskositas bahan. Bahan kimia surface sizing
diantaranya adalah starch, methyl cellulose, carboxy methyl cellulose,
polyvinyl alcohol, dan wax emulsion. Tetapi yang sering dipakai oleh
industri kertas adalah starch karena harganya yang relatif lebih murah.
4. Bahan Pengisi(Filler)
Filler merupakan bahan kimia tambahan yang digunakan untuk
menurunkan penggunaan serat. Selain itu, pemanfaatkan filler
membantu memperbaiki sifat optik kertas, misalnya meningkatkan
brightness, printability, memperbaiki formasi kertas, dan lain-lain.
Tetapi di sisi lain, penggunaan filler menurunkan kekuatan fisik kertas.
Contoh filler yang umum digunakan adalah Ground Calcium
Carbonate (GCC), titanium diokaside, clay, Precipited Calcium
Carbonate (PCC), dan lain-lain.
5. Dyes
Dyes dimanfaatkan untuk mengatur warna kertas, misal warna kertas
bluish (kebiruan) atau yellowish (kekuningan). Terdapat 3 jenis dyes,
yaitu : direct yang dapat bermuatan positif (kation) atau negatif (anion),
basic yang bermuatan positif (kation), dan acid yang cenderung reaktif.
Dyes bekerja dengan cara menyerap cahaya pada gelombang cahaya
tertentu lalu merefleksikan hanya cahaya dari warna dye tersebut.
Misalnya dye merah, akan menyerap cahaya biru dan hijau dalam
jumlah yang besar sehingga kertas terlihat merah(James P.Casey,1981)
6. OBA (Obtical Brightening Agent)
OBA juga dikenal dengan nama FWA (Fluorescent Whitening Agent).
OBA ini berfungsi untuk membantu meningkatkan kecerahan kertas.
OBA akan menyerap sebagian sinar ulra violet (UV) dan
memancarkan kembali energi tersebut berupa sinar tampak (cahaya
biru).

2.3.2 Bahan Kimia Pengendali

Bahan kimia ini ditambahkan dengan tujuan untuk mengontrol proses


pembuatan kertas, sehingga proses berjalan lancer dan kertas yang dihasilkan
memiliki kualitas yang baik. Bahan kimia pengendali meliputi :

1. Retention Aids
Retention aids merupakan bahan kimia tambahan yang digunakan untuk
membantu meningkatkan retensi bahan kimia tambahan lainnya,
misalnya filler, dry strength, dan fines (serat yang terpotong kecil).
Contoh : alum, PEI(polyethylenimine), PAM (polyacrylamide), dan lain-
lain.
2. Biocide
Biocide berguna untuk mencegah tumbuhnya bakteri dan pertumbuhan
mikroorganisme yang dapat menyebabkan masalah pada mesin kertas
(slime, korosi, deposit, dll) dan menyebabkan cacat pada kertas (spots,
hole, spores, dirt, dll). Contoh : organobromides, organosulfurs,
thiocyanates, dan lain-lain
3. Bahan anti busa (defoamer dan antifoam)
Defoamer merupakan bahan kimia tambahan yang digunakan untuk
menghilagkan busa yang sudah terbentuk, sedangkan antifoam adalah
bahan kimia tambahan yang digunakan untuk mencegah terbentuknya
busa.
4. Drainage Aid
Bahan kimia ini berfungsi untuk membantu mempercepat pelepasan air
selama proses pembentukan formasi kertas. Drainage aid yang biasanya
digunakakan adalah polimer anorganik yang juga digunakan sebagai
retention aid seperti alum, PEI (polyethylenimine),PAM
(polyacrylamide), atau PVA (polyvinylamine).

2.4 Proses Pembuatan Kertas


2.4.1 Penyediaan Stock (Stock Preparation)
Tujuan dari stock preparation adalah untuk mengolah bahan serat
(pulp) dan bahan non serat (bahan kimia aditif) sampai tercapai kondisi
yang optimal, mencampurkannya hingga seragam, kemudian
mengirimkan campuran tersebut ke dalam headbox melalui pengaturan
aliran (approach flow). Beberapa operasi yang ada didalam penyediaan
stock atau stock preparation ini antara lain:
a. Repulping
Tujuan utama dari proses repulping adalah untuk menguraikan pulp
atau recovered fiber menjadi suspensi serat. Proses repulping dilakukan
pada alat yang salah satunya Hydropulper, berupa bejana terbuka yang
dilengkapi dengan agitator dibawahnya untuk menguraikan pulp
b. Screen
Tujuan utama screen adalah untuk menyaring atau memisahkan
partikel-partikel pengotor atau debris dari suspense serat berdasarkan
ukurannya.
c. Cleaning
Tujuan utama dari proses cleaning adalah untuk memisahan bahan-
bahan pengotor dari suspensi serat berdasarkan perbedaan berat jenis.
d. Refining
Aksi mekanis terhadap serat untuk mengembangkan sifat optimal
serat. Stock masuk pada inlet dan lewat diantara permukaan rotor dan
stator. Pada permukaan rotor dan stator tersebut terdapat bar dan
groove. Sudut-sudut dari bar mengenai gumpalan serat (fiber floc)
sehingga serat mengalami kompresi hingga menyebabkan fibrilasi pada
serat.
e. Mixing
Tujuan proses ini adalah mencampurkan bahan baku serat (virgin
pulp, serat daur ulang, serta kertas bekas atau broke) dengan bahan kimia
aditif dengan proporsi tertentu untuk mendapat sifat akhir kertas yang
dikehendaki. Didalam mixing chest, stock diaduk untuk menjaga
keseragaman suspensi serat dan supaya stock tidak mengendap.

2.4.2 Pengaturan Aliran (Approach Flow System)


Approach Flow System merupakan serangkain dari beberapa tahap
mulai dari mixing chest menuju stuff box kemudian fan pump, cleaner,
screen hingga headbox. Selama proses melalui beberapa tahap tersebut
stock akan mengalami pengenceran, penambahan bahan-bahan kimia
hingga proses penyaringan dan pembersihan kembali. Hasil akhir stock
akan dialirkan menuju forming untuk dibentuk lembaran pada mesin
kertas.

2.4.3 Mesin Kertas

Pada industri pulp dan kertas, mesin kertas yang paling banyak
digunakan adalah mesin kertas fourdrinier. Mesin kertas fourdrinier
memiliki beberapa bagian, dan setiap bagian memiliki fungsi tertentu,
diantaranya :
a. Headbox, berfungsi untuk menyemprotkan buburan secara seragam
diatas forming fabric.
b. Wire part, berfungsi untuk membentuk serat menjadi lembaran kertas
basah, dan mengeluarkan air pada lembaran tersebut melalui vacuum
dan foil.
c. Press part, berfungsi untuk mengeluarkan air dari lembaran melalui
mekanisme jepitan rol.
d. Dryer part, berfungsi untuk mengeluarkan sisa air pada lembaran
melalui kontak dengan silinder yang berisi uap panas (steam).
e. Size press berfungsi untuk memberikan bahan kimia surface sizing
pada permukaan kertas. surface sizing ini akan meningkatkan sifat
dari permukaan kertas.
f. Calender, berfungsi untuk mengurangi tebal kertas dan meningkatkan
kehalusan permukaan kertas.
g. Reel (pope reel), berfungsi untuk menggulung lembaran kertas yang
telah jadi.

2.5 Sifat Optik Kertas


Sifat optik kertas adalah sifat kertas yang dinilai berdasarkan responnya
terhadap cahaya yang datang pada permukaan lembaran. Sifat-sifat optik kertas
memang berkaitan dengan apakah cahaya yang datang akan dipantulkan(light
reflection), diserap(light absorption), diteruskan atau dibelokkan(light
transmittance). Beberapa standar metode pengujian dan pengukuran telah
dikembangkan untuk mendapatkan hasil yang universal. Terdapat beberapa sifat
optik kertas, namun sifat optik yang penting diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Gloss
Didefinisikan sebagai kemampuan kertas untuk memantulkan cahaya
menuju ke arah berlawanan dari cahaya yang datang. Gloss adalah sejauh mana
permukaan kertas mensimulasikan cermin yang sempurna dalam kapasitasnya
untuk memantulkan cahaya yang mengenai permukaan kertas. Nilai gloss
berkaitan dengan nilai smoothness. James P.Casey(1981) menyatakan bahwa
nilai gloss dipengaruhi oleh jenis bahan baku serat, proses calendaring, proses
penggilingan serat, proses wet pressing, kandungan bahan pengisi, pigmen
coating, dan lain-lain. Standart pengujiannya yaitu TAPPI T 480
2. Opacity
Opacity dapat didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang
ditransmisikan oleh lembaran kertas. Jika seluruh cahaya dating
ditransmisikan dan tidak ada yang diserap atau dipantulkan, maka nilai opacity
adalah nol. Jika cahaya dating tidak ditransmisikan, tetapi seluruhnya diserap
atau dipantulkan maka nilai opacity adalah 100%.
James P. Casey(1981) menyatakan bahwa opacity dipengaruhi oleh
gramatur, formasi lembaran, proses penggilingan serat, proses wet pressing,
proses calendaring, jumlah dan jenis bahan pengisi, indeks bias bahan pengisi,
ukuran partikel bahan pengisi, kontak optic antara bahan pengisi dengan serat,
dan lain-lain. Standart pengujiannya yaitu TAPPI T 425 dan T 519.
3. Colour
Didefinisikan dalam nilai L*, a*, dan b* dari diagram CIE-Lab. Nilai
L* menunjukkan tingkat lightness atau terang gelap dan hanya diukur dalam
angka positif. Nilai a* menjadi negatif apabila semakin hijau dan positif menuju
merah. Sedangkan b* negatif apabila semakin biru dan positif apabila semakin
kuning. Standar pengukuran yang digunakan untuk mengukur colour adalah
TAPPI T 527
4. Whiteness
Menurut James P. Casey (1981), whiteness adalah kombinasi dari total
reflektansi cahaya putih dan keseragaman reflektansi pada semua panjang
gelombang. Suatu benda yang putih sempurna akan mempunyai 100%
reflektansi pada semua panjang gelombang cahaya tampak ,akan tetapi tidak
ada benda yang putih sempurna. Walaupun whiteness tergantung pada total
dan keseragaman reflektansi, keseragaman lebih penting dibanding total
reflektansi. Penambahan dye yang komplemen dari warna kertas dapat
meningkatkan whiteness karena hal itu membuat kertas menjadi lebih kelabu
dan lebih putih. Karena pulp selalu memiliki sedikit warna kuning, warna
komplemen yang dapat ditambahkan dapat berupa warna biru dan merah.
Penambahan optical brightener seperti OBA dapat menaikkan total
reflektansi, (James P. Casey ,1981). Spektrum cahaya yang ditambahkan oleh
optikal brightener ini berada pada gelombang cahaya yang diserap lebih
banyak oleh kertas. Oleh karena itu, tidak hanya meningkatkan total
reflektansi, namun optical brightener juga dapat membuat reflektansi tersebut
lebih seragam di semua panjang gelombang. Kedua efek ini dapat
menyebabkan kenaikan nilai whiteness. Standard pengujiannya yaitu TAPPI
T 560.
5. Brightness
Menurut James P. Casey (1981), brightness didefinisikan sebagai faktor
pantul intrinsik yang diukur pada panjang gelombang 457 nm dengan
pencahayaan baur dan sudut pengamatan 00 diukur pada kondisi standar.
Sedangkan menurut Smook, brightness adalah reflektifitas kertas
menggunakan cahaya pada panjang gelombang 457 nm yang biasa digunakan
sebagai indeks putih. Panjang gelombang 457 nm dipilih karena merupakan
panjang gelombang yang sangat sensitiF mengalami perubahan ketika pulp
dibleaching. James P. Casey (1981) menyatakan bahwa nilai brightness
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya brightness bahan baku, sifat
bahan pengisi, air proses, waktu pengeringan, dan lain-lain. Standard
pengujiannya yaitu TAPPI T 525.

2.5 Optical Brightening Agent(OBA)

Optical Brightening Agent (OBA) adalah suatu senyawa yang dapat


memberikan efek cahaya pada suatu objek yang terkena sinar, sehingga objek
tersebut akan lebih terlihat lebih putih dan bercahaya.
2.5.1 Mekanisme kerja OBA

OBA mempunyai struktur kimia yang apabila terkena sinar akan


menyerap cahaya. Cahaya yang diserap pada panjang gelombang
ultraviolet (panjang gelombang tidak tampak) akan dipantulkan pada
gelombang tampak di area spectrum panjang gelombang biru, sehingga
jumlah intensitas cahaya pada panjang gelombang ini akan lebih besar dari
keadaan semula. Fenomena ini dikenal dengan nama “fluorescence” .
R
e
l
at
i
veA
b
s
or
p
ti
on
/F
l
uo
re
s
ce
n
ce
1
0
0

8
0

6
0 F
l
uor
e
sce
n
ce

4
0

2
0

U
V
Ab
s
or
p
ti
on
0
3
0
0 4
0
0 5
0
0 6
0
0 7
0
0
W
a
v
el
en
gt
h(
nm
)

Gambar 2.1 Fluorescence


OBA akan efektif selama ada tempat untuk berikatan dengan fiber
atau surface starch. Bila tidak ada tempat untuk berikatan lagi, OBA akan
saling berikatan satu sama lain. Sehingga kombinasi “blue” flourescence
dan warna OBA (kuning) akan menghasilkan warna kertas kehijauan.
Sedangkan brightness dan whiteness akan turun, sementara nilai
flourescence akan terus naik dengan bertambahanya OBA.

Semakin besar jumlah sinar UV yang diserap akan semakin besar pula
jumlah intensitas cahaya yang dipantulkan pada area spektrum biru
tersebut sehingga nilai derajat keputihan dan kecerahannya meningkat
(Smook, 2003).
Spektrum cahaya pada Spektrum cahaya pada
Objek yang belum Objek yang sudah
ditambahkan OBA ditambahkan OBA

Gambar 2.2 Mekanisme Kerja OBA(Smook, 2003)

2.5.2 Struktur Kimia OBA


OBA adalah derivatif dari diaminostilbene disulphonic acid yang
diperoleh dengan cara mereaksikan senyawa tersebut dengan cyanuric
acid. Struktur Kimia OBA dibedakan dari jumlah gugus sulphonic pada
rantai karbonnya. Semakin banyak jumlah gugus sulphonic yang ada pada
struktur molekul OBA maka senyawa ini akan lebih mudah larut dalam air.

Gambar 2.3 Struktur molekul OBA


(Smook, 2003)

dimana:
1, 2, 3, 4 rantai radikal yang bisa disubstitusi oleh gugus sulphonic
1 and 2 = -R, maka ada dua gugus sulphonic
1 and 2 = -RSO3Na, maka ada empat gugus sulphonic
2.5.3 Jenis-jenis OBA

Berdasarkan jumlah gugus sulphonic yang ada pada struktur molekulnya,


maka OBA yang dipakai pada industri kertas dikelompokkan menjadi:
a. Disulpho
OBA tipe ini terdiri dari dua gugus sulphonic pada rantai
karbonnya. OBA ini memiliki afinitas yang tinggi terhadap serat namun
memiliki tingkat solubility yang rendah dalam air. OBA ini sangat
sensitive dengan kesadahan air, ion logam dan keasaman campuran. OBA
ini lebih cepat jenuh dibandingkan OBA tipe lainnya sehingga pemakaian
berlebih berpotensi besar untuk efek “green over”.
b. Tetrasulpho
OBA tipe ini terdiri dari empat gugus sulphonic pada rantai
karbonnya. OBA ini merupakan jenis OBA yang paling umum digunakan
pada industri karena harganya yang relatif rendah dan memiliki afinitas
menengah terhadap serat. OBA jenis ini memiliki tingkat kelarutan yang
baik dalam air. OBA jenis ini memiliki tingkat kejenuhan yang lebih baik
dibandingkan dengan OBA disulpho
c. Hexasulpho
OBA tipe ini terdiri dari enam gugus sulphonic pada rantai karbonnya.
OBA ini memiliki afinitas yang rendah terhadap serat namun memiliki
tingkat kelarutan yang tinggi di dalam air. OBA ini memiliki tingkat
kejenuhan lebih baik dibanding OBA disulpho dan tetrasulpho.

2.5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Penggunaan OBA

Dalam pembuatan kertas banyak sekali bahan kimia dan aditif yang
ditambahkan pada pulp untuk mendapatkan kualitas kertas, baik secara
visual ataupun kualitas lainnya. Untuk itu, penambahan OBA hendaknya
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan bahan-bahan kimia tersebut.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja OBA dalam
pembuatan kertas, antara lain:

1. Kecerahan pulp.
Pulp dengan tingkat kecerahan yang tinggi akan mengurangi beban
OBA dalam mengurangi warna kekuningan pada pulp itu sendiri.

2. Kualitas air.
Air yang dipakai baik untuk melarutkan OBA maupun air yang
dipakai untuk melarutkan pulp akan mempengaruhi kinerja OBA. Air
yang terlalu sadah dan banyak mengandung logam akan mengganggu
reaktivitas OBA terhadap pulp.

3. Pigmen dan bahan pengisi.


Pemakaian pigmen yang juga berfungsi sebagai bahan pengisi
hendaknya seputih mungkin dengan juga mempertimbangkan
kemampuan pigment tersebut menyerap cahaya UV. Semakin besar
kemampuan pigmen menyerap cahaya UV akan berakibat kurang baik
terhadap kinerja OBA karena akan mengurangi tingkat penyerapan
cahaya UV oleh OBA.

4.Tingkat keasaman dan jumlah ion aluminium dalam sistem.


OBA sangat sensitif dengan tingkat keasaman dan jumlah ion
alumunium yang terlarut dalam air.

5. Muatan ion dari bahan kimia lainnnya.


OBA mempunyai muatan ion negative sehingga ia akan reaktif
terhadap senyawa yang bermuatan positif. Sebaiknya dalam
menambahkan OBA pada sistem mesin kertas jangan terlalu
berdekatan dengan bahan kimia lain yang bermuatan positif untuk
meambah efektivitas jumlah OBA yang terserap ke dalam pulp.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini dijelaskan mengenai tahapan penelitian yang meliputi metode
pengumpulan data, alat dan bahan yang digunakan, serta rancangan penelitian meliputi
variabel penelitian, diagram alir penelitian, dan deskripsi proses yang meliputi tahap
persiapan, tahap pelaksanaan penelitian, serta tahap pengujian.

3.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode


eksperimental atau melakukan penelitian dengan sumber data berupa data primer
yang dilakukan dan diolah sendiri oleh peneliti langsung dari subjek atau objek
penelitian. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Research and Development
dan Incoming Quality Control PT.IKPP Perawang dengan membuat beberapa
handsheet. Pada percobaan dilakukan penambahan OBA pada proses pembuatan
handsheet baik di wet-end maupun pada saat proses surface sizing. Pada
percobaan dilakukan variasi dosis dan jenis OBA yang digunakan. Terdapat tiga
jenis OBA yang digunakan ialah OBA jenis Disulpho, Tetrasulpho, dan
Hexasulpho. Handsheet yang telah dibuat lalu diuji sifat optiknya sehingga
diperoleh data. . Data-data tersebut kemudian diolah sehingga menghasilkan data
yang dapat digunakan sebagai dasar pemikiran penyusunan tugas akhir.

3.2 Alat dan Bahan Percobaan


1. Alat Percobaan
Alat penelitian merupakan alat yang digunakan selama penelitian
berlangsung. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
• Gelas beker • Spuit (alat suntik)
• Gelas ukur • Dispermat
• Neraca Digital • Batang Pengaduk
• Termometer • Refraktometer
• Handsheet maker • Desikator
• Blotting paper • Alat surface sizing (coater)
• Rotating Dryer • Magnetic Stirrer(hotplate)
• Sheet Press • Corong Buchner
• Oven

2. Alat Pengujian
Alat pengujian merupakan alat yang digunakan untuk menguji sifat
tertentu dari sampel. Alat yang digunakan ialah elrepho tester

3. Bahan Percobaan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Air
2. Pulp LBKP (Leaf
Bleached Kraft Pulp)
after refining
3. Cationic Starch
4. Native Starch
5. Optical Brightening
Agent (OBA)
6. Filler
- PCC (Precipitated calcium
carbonate)
- GCC (Grown calcium carbonate)
7. AKD
8. APAM
9. CPAM
3.3 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini terdiri dari variable penelitian, diagram alir
penelitian, deskripsi proses penelitian, dan tahap pengujian.
3.3.1 Variabel Penelitian
Variabel adalah semua keadaan, faktor, kondisi, perlakuan, atau
tindakan yang dapat mempengaruhi hasil eksperimen. Terdapat 3 variabel
dalam penelitian ini, yaitu:

a. Variabel bebas
Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat. Dalam
penelitian tugas akhir ini, variabel bebasnya adalah lokasi penambahan
OBA, dosis OBA dan jenis OBA yang digunakan.

b. Variabel terikat
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau akibat
adanya variabel bebas. Dalam penelitian tugas akhir ini, variabel
terikatnya adalah sifat optik dari kertas yang dihasilkan yaitu nilai
brightness, whiteness, dan warna (L*a*b).

c. Variabel kontrol
Variable kontrol merupakan variabel yang dikendalikan atau dibuat
konstan sehingga pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat
tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti. Dalam penelitian
tugas akhir ini, variabel kontrolnya adalah dosis filler, cationic starch,
retention aid chemical, AKD dan suhu.

Tabel 3.1 Design of Experiment

Dosis OBA Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho


Blanko
Wet-end 1
2
3
4
1
Surface 2
Sizing 3
4
Wet- 1+3
end+Surface 2+2
Sizing 3+1
3.3.2 Diagram Alir

Persiapan Alat &


Bahan

Persiapan Bahan Baku Persiapan Bahan Persiapan Bahan Kimia


Pulp LBKP Pengisi(PCC dan GCC)
-Cationic Starch, OBA, AKD, Retention
Chemical(CPAM, APAM, Bentonite)
-Larutan Surface Starch

Blending : Pencampuran stock dengan bahan kimia dan pengisi


dengan variasi dosis dan jenis OBA
OBA di Wet-end (Blending)

Variasi dosis dan jenis OBA


-Di- = 0,1,2,3,4 kg/TP
-Tetra- = 0,1,2,3,4 kg/TP
-Hexa- = 0,1,2,3,4 kg/TP

Pembuatan Handsheet

Surface Sizing (Native Starch + OBA)

Variasi dosis dan jenis OBA


- Di- = 0,1,2,3,4 kg/TP
- Tetra- = 0,1,2,3,4 kg/TP
- Hexa- = 0,1,2,3,4 kg/TP

Pengeringan

Pengecekan Sifat Optik

Pengumpulan Data

Analisa

Kesimpulan

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian


3.4 Deskripsi Proses

Penelitian ini terdiri atas 3 tahapan, yakni tahap persiapan, tahap


pelaksanaan penelitian, dan tahap pengujian. Tahap pertama adalah tahap
persiapan. Pada tahap persiapan ini dilakukan beberapa persiapan seperti persiapan
bahan baku, persiapan bahan kimia tambahan serta pengecekan terhadap peralatan
percobaan dan peralatan uji. Tahap kedua adalah tahap pelaksanaan penelitian.
Pada tahap ini dilakukan pencampuran buburan pulp dengan berbagai dosis OBA
dan semua bahan kimia pendukung hingga dibuat menjadi handsheet. Pada
penelitian juga dilakukan proses surface sizing terhadap handsheet . Untuk tahap
akhir adalah tahap pengujian. Pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap
handsheet yang telah dibuat pada tahap berupa pengujian sifat optik dari handsheet
tersebut kemudian dibandingkan antara satu variasi dengan variasi lainnya.

3.4.1 Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan persiapan alat dan bahan untuk penelitian,
diantaranya adalah :

1. Persiapan Alat
Pada tahap ini dilakukan persiapan dan pengecekan alat percobaan
dan alat uji yang akan digunakan untuk penelitian.
2. Persiapan Bahan Kimia
Persiapan bahan kimia bertujuan untuk perhitungan dosis
formula handsheet. Pada bagian ini, kita lakukan pengujian solid
content masing-masing bahan kimia tersebut. Bahan-bahan kimia yang
dilakukan pengecekan solid content antara lain adalah cationic starch,
native starch, filler,dan retention aid. Hasil dari pengujian ini juga
dapat digunakan untuk menghitung dosis bahan yang harus
ditambahkan ke larutan stock untuk pembuatan handsheet.
Untuk pengecekan solid content starch, kita dapat menggunakan
refractometer, berikut langkah-langkahnya :

1. Disiapkan sampel larutan starch lalu diambil sampel starch pada


sendok
2. Diteteskan dan diratakan pada bidang miring refractometer
3. Ditutup dengan penutup lalu diarahkan refractometer pada cahaya
yang terang
4. Dilihat melalui lubang kecil yang berada di sisi lain refractometer
5. Dicatat nilai yang tertera pada refractometer
6. Setelah dipakai, refraktometer wajib dibersihkan hingga kering
menggunakan tisu atau kain lembut.

Untuk pengecekan solid content filler, kita dapat menggunakan


moisture analyzer agar lebih cepat, berikut langkah-langkahnya :

1. Buka bagian penutup pada alat


2. Kemudian masukkan pan alumunium kosong yang telah
dibersihkan, dan pastikan pan berada dalam posisi yang benar.
3. Tutup kembali bagian penutup, alat akan melakukan tare secara
otomatis
4. Timbang sampel filler sebanyak 3±0.5 g, ratakan sampel di atas
pan kemudian alat ditutup kembali.
5. Alat akan memanaskan sampel hingga menunjukkan nilai kadar
air sampel yang terbaca konstan (±3-5 menit).

Pada penelitian ini diperoleh solid content filler jenis PCC sebesar
17,37% dan GCC sebesar 66,23%. Untuk membuat larutan filler, kita
encerkan filler GCC dengan air hingga solid contentnya juga sebesar
17.37%. Setelah kedua jenis filler memiliki solid content yang sama,
kita campurkan kedua jenis filler dengan rasio 50% PCC dan 50% GCC
lalu diaduk dengan dispermat.

3. Persiapan Pulp

Pulp yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pulp LBKP yang
diambil dari stock pada sampling point after refiner pada unit stock
preparation paper machine 2 PT.IKPP Perawang. Setelah diambil, stock
pulp dicek nilai konsistensinya untuk digunakan sebagai acuan pada
perhitungan dosis pada formula handsheet. Berikut langkah
pengujiannya :

1. Buburan pulp yang telah diaduk dengan homogen kemudian


diambil 100 gr(g) dengan menggunakan gelas ukur.
2. Sementara itu, alat vakum(corong buchner) yang digunakan untuk
pengecekan TC dihidupkan. Pastikan kran penghisap dibuka dan
kran aliran air buangan buburan ditutup agar vakum dapat bekerja
dengan baik.
3. Kemudian kertas saring yang telah kita ketahui massanya (f)
diletakkan pada mulut penghisap dan setelah itu pembatas dipasang.
4. Tuangkan buburan yang telah ditimbang ke dalam mulut penghisap.
Buburan dibiarkan hingga air terbuang semua.
5. Setelah air terbuang buka pembatas dan buburan yang telah menjadi
lembaran yang menempel pada kertas saring dikeringkan di atas hot
plate.
6. Setelah kering, lembaran ditimbang dan dicatat massanya (w).
7. Persen total consistency (%TC) dapat kita ketahui dari massa
lembaran dikurangi massa kertas saring seperti pada persamaan 1
berikut.
Perhitungan Total Consistency (%TC)

%TC = ( w - f)/g x 100%


dengan w : massa lembaran
f : massa kertas saring
g : massa pulp

4. Perhitungan Dosis Formula Handsheet

Perhitungan dosis formula bertujuan untuk mendapatkan


komposisi formula yang tepat, baik serat maupun bahan kimia. Tabel
berikut ini menunjukkan dosis komposisi dari bahan-bahan yang akan
digunakan dalam pembuatan handsheet yang didasarkan pada berat
kering handsheet. Untuk penggunaan(usage) di wet end digunakan
rumus berikut :

𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑥 𝑆𝑡𝑜𝑐𝑘 𝑂𝐷
Usage = 𝐶𝑜𝑛𝑠𝑖𝑠𝑡𝑒𝑛𝑐𝑦

Stock OD = AD × Consistency

No. Bahan OD(gr) Dosis Cons.


1 LBKP 40 80% 4.4%
2 Filler 40 20% 17.37%
3 Cationic Starch 40 8 Kg/TP 3%
4 OBA 40 0,1,2,3,4 Kg/TP 3%
5 AKD 40 10 Kg/TP 100%
6 CPAM 40 100 ppm 2800 ppm
7 APAM 40 200 ppm 3000 ppm

3.4.2 Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan pada penelitian ini meliputi pencampuran bahan


baku serat dan bahan baku nonserat (blending), pembuatan handsheet dan
proses surface sizing. Langkah-langkah pada tahap pelaksanaan adalah
sebagai berikut :
1. Pencampuran Bahan Baku Serat dan Bahan Baku Nonserat (Blending)

Tahapan ini dilakukan untuk membuat buburan yang siap dibentuk


menjadi handsheet. Pada tahap inilah dilakukan penambahan OBA
sesuai variasi dosis yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya.
Langkah-langkah dalam pencampuran bahan baku serat dan bahan baku
nonserat adalah sebagai berikut :

a. Siapkan beaker glass.


b. Timbang stock pulp sesuai dosis yang telah dihitung sebelumnya
c. Kemudian tambahkan air dengan target konsistensi stock menjadi
3% . Lalu aduk stok menggunakan dispermat. Selama tahapan
blending ini berlangsung,stock harus selalu diaduk dengan
dispermat agar stock tercampur merata.
d. Lalu lakukan penambahan filler, OBA, cationic starch dan AKD
secara berurutan sesuai dosis yang telah dihitung sebelumnya .
Penambahan OBA dilakukan sesuai variasi jenis dan dosis yang telah
dijelaskan sebelumnya .
e. Tambahkan lagi air dengan target konsistensi stock menjadi 0.8%
f. Lakukan penambahan chemical retention yaitu CPAM dan APAM
secara berurutan sesuai dosis yang telah dihitung sebelumnya.
g. Setelah proses blending selesai, timbang stock sekitar 100 gram
untuk di cek konsistensinya.

2. Pembuatan Handsheet
Pada tahap ini, buburan yang telah siap akan dibentuk menjadilembaran
kertas. Langkah-langkah pembuatan handsheet adalahsebagai berikut :
a. Dipastikan alat automatic handsheet maker dalam keadaan ON dan
bersih. Selain itu, suhu dryer yang terbaca di layar dipastikan ± 95oC.
b. Dipastikan panel proses pada posisi 1 (automatic).
c. Dipasang screen pada tempatnya, kemudian tabung handsheet
ditutup dan dikunci.
d. Ditekan tombol berwarna hijau yang berada di bawah panel proses.
e. Ditunggu tabung handsheet terisi dengan air sampai batas nomor 4,
kemudian dimasukkan stock yang telah diambil sesuai target
gramatur dan nilai % TC stock.
f. Selanjutnya stock teraduk dan airnya ter-drain secara otomatis
sehingga terbentuk lembaran basah di atas screen.
g. Setelah air terbuang semua, tabung handsheet dibuka dan dipasang 1
lembar blotting paper tebal di atas lembaran basah tersebut.
h. Kemudian diletakkan roll di atas lembaran basah yang tertutup
blotting paper sambil dijalankan ke depan, belakang, kanan, dan kiri.
i. Diangkat screen bersama lembaran basah kemudian dilepaskan
lembaran tersebut dengan cara membenturkan ujung screen pada
meja yang telah dilapisi rubber.
j. Lembaran basah yang melekat pada blotting paper tebal ditutup
dengan blotting paper tipis pada bagian atasnya.
k. Dipastikan tekanan dryer menunjukkan angka nol.
l. Dryer dibuka dan lembaran basah yang telah tertutup blotting paper
dimasukkan.
m. Dryer ditutup sambil ditekan dan menekan tombol panel dryer
berwarna hijau sampai tekanan 6 bar kemudian dilepaskan.
n. Ditunggu hingga proses drying selesai (panel berwarna merah
menyala).
o. Selanjutnya ditekan tombol panel dryer berwarna merah sampai
tekanan menunjukkan angka nol.
p. Dryer dibuka dan diambil lembaran handsheet yang sudah kering,
kemudian dryer ditutup kembali. Handsheet yang sudah kering
diletakkan di dalam desicator. Jika proses telah selesai, posisi dryer
harus tertutup dan tabung handsheet terbuka.
3. Tahap Surface Sizing

Pada penelitian ini, pada proses surface sizing , penulis


menggunakan larutan surface sizing berupa native tapioka starch
yang telah dimasak. Larutan tersebut penulis ambil langsung dari
PPM #2 IKPP Perawang.

a. Persiapan Larutan Surface Sizing


1. Masukkan larutan surface starch ke dalam gelas beaker besar
2. Letakkan gelas beaker tersebut di atas hotplate dengan suhu
60 0C dan masukkan magnetic stirrer lalu putar. Hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya gelling.
3. Diuji nilai total solid dengan refractometer. Hasil pengujian
menunjukan nilai total solid 12%
4. Disiapkan gelas beaker lainnya kemudian dimasukkan ke
dalam gelas beaker tersebut larutan surface starch dari gelas
beaker besar tadi.
5. Letakkan gelas beaker tersebut di atas hotplate dengan suhu
60 0C dan masukkan magnetic stirrer lalu putar.
6. Dimasukkan bahan kimia OBA ke dalam masing-masing
gelas beaker tersebut sesuai variasi yaitu 0,1,2,3,4 kg/tp dan
diaduk menggunakan magnetic stirrer.
7. Tutup gelas beaker dengan aluminium foil guna mengurangi
kontak dengan cahaya

b. Proses Surface Sizing


1. Disiapkan larutan surface sizing dan handsheet.
2. Dipastikan alat mini coater sudah terhubung aliran listrik,
kemudian dibersihkan alas permukaan alat mini coater dan
bar coater.
3. Panel pengatur kecepatan bar coater diatur pada posisi 4 dan
length atau panjang jalur tempuh bar coater diatur pada posisi
6.
4. Lembaran handsheet diletakkan dan dijepit di atas
permukaan alat mini coater.
5. Dipasang bar coater pada penjepitnya, dan pastikan bar
coater terpasang dengan baik diatas kertas.
6. Diambil larutan surface sizing dengan spuit, kemudian
aplikasikan pada permukaan kertas ditekan bar coater
7. Panel diputar ke posisi ON untuk menggerakkan bar coater
bar coater akan secara otomatis meratakan larutan pada
permukaan kertas. Bar coater akan berhenti otomatis sesuai
length yang telah disetting
8. Diambil kertas yang telah terlapisi larutan surface sizing
kemudian dikeringkan pada oven selama 1-3 menit.
9. Bersihkan bar coater setiap kali melakukan surface sizing
dengan tisu
10. Dilakukan kembali tahap yang sama dari point 4 hingga 9
pada sampel lainnya.

3.4.3 Tahap Pengujian

Tahap pengujian merupakan tahap akhir dalam metodologi penelitian.


Pada tahap ini dilakukan pengujian gramatur handsheet dan beberapa sifat
optik kertas yang meliputi brightness, whiteness, dan warna (L*a*b) .

1. Pengujian sifat optik kertas

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat uji elrepho yang dapat
mengukur berbagai properties sifat optik yang telah penulis sebutkan
sebelumnya. Berikut langkah pengujiannya :
1. Disiapkan sampel handsheet yang telah ditumpuk per variasi
2. Handsheet diletakkan pada alat uji
3. Diklik ikon M (measure) pada monitor sebagai tanda dimulainya
pengukuran.
4. Setelah beberapa detik, hasil uji yang keluar lalu dicatat
5. Kemudian pindahkan handsheet yang telah diuji ke bagian bawah
tumpukan lalu lakukan pengujian serupa pada handsheet
selanjutnya.

2. Dry Brightness

Langkah pengujian dry brightness sebagai berikut :


1. Disiapkan bahan untuk pengujian brightness berbentuk powder.
2. Bubuk filler dituangkan ke dalam ring.
3. Dari atas ditekan dengan alat press agar bubuk jadi padat dan
mampat.
4. Diletakkan pada alat uji brightness.
5. Lalu tekan “measure” pada display monitor.
6. Hasil pengujian dicatat
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data, maka dilakukan


pengolahan dan analisis data tersebut. Pada bab ini disajikan data-data hasil penelitian
yang telah diolah dalam bentuk tabel dan grafik, serta pembahasan mengenai hasil
penelitian yang telah dilakukan.
Penelitian yang dilakukan adalah dengan memvariasikan jenis OBA, lokasi
penambahan, dan dosis OBA yang digunakan. Penelitian ini dimulai dengan
persiapan bahan baku dan bahan kimia dengan melakukan pengambilan sampel
kemudian dilakukan pengecekan konsistensi. Berdasarkan nilai konsistensi
tersebut, dilakukan perhitungan penggunaan bahan baku dan bahan kimia pada
proses blending. Pada proses blending, dilakukan penambahan OBA dengan
variasi dosis 0, 1, 2, 3, dan 4 Kg/TP. Kemudian dilakukan pembuatan handsheet
yang nantinya akan dilakukan proses surface sizing. Pada proses surface sizing,
dilakukan penambahan OBA dengan variasi dosis 0, 1, 2, 3, dan 4 Kg/TP. Setelah
itu kertas dikeringkan dan dicek sifat optiknya.

4.1 Brightness Bahan Baku

Bahan baku pulp yang digunakan pada penelitian ini adalah pulp LBKP
after refining PPM #2 PT. IKPP Perawang. Berdasarkan data sekunder yang
penulis peroleh dari lab RnD PPM tersebut diketahui bahwa brightness pulp yang
penulis gunakan ialah sebesar 88.95%. Pada penelitian dilakukan pengujian dry
brightness dari filler yang digunakan. Berikut hasil pengujian optical properties
dari filler PCC dan GCC yang digunakan :
Tabel 4.1 Optical Properties Filler

Filler L a b Whiteness(%) Brightness(%)


PCC 98.56 0.01 0.92 92.18 95.03
GCC 97.05 0.08 2.26 82.49 88.5
4.2 Hasil Pengujian Sifat Optik Handsheet

Setiap handsheet dari setiap variasi dilakukan pengecekan terhadap sifat optik.
Pengecekan tersebut meliputi pengecekan nilai brightness, whiteness, dan
warna(L*a*b).

4.2.1 Brightness
Pengujian Brightness kertas dilakukan untuk mengetahui banyaknya
cahaya biru yang direfleksikan oleh kertas yang diukur pada panjang
gelombang 457 nm. Pengujian dilakukan berdasarkan TAPPI T 525. Hasil
pengujian akan ditampilkan dalam tabel berikut :

Tabel 4.2 Hasil Uji Brightness

Dosis OBA Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho


Blanko 88.28 88.28 88.28
1 91.70 90.57 88.75
2 92.85 91.27 89.25
Wet-End
3 94.37 92.65 89.63
4 94.63 93.02 89.87
1 89.20 89.33 90.11
2 90.75 91.23 91.73
Surface Sizing
3 91.59 92.13 92.79
4 91.81 92.73 93.68
Thick 1+3 92.37 93.30 93.16
stock+Surface 2+2 93.25 93.34 92.40
Sizing 3+1 94.24 93.85 91.12
Hasil Uji Brightness Pada Penggunaan OBA di Wet-End
96
94

Brightness, %
92
90
88
86
84
Blanko 1 2 3 4
Disulpho 88.28 91.70 92.85 94.37 94.63
Tetrasulpho 88.28 90.57 91.27 92.65 92.97
Hexasulpho 88.28 88.75 89.25 89.63 89.87
Dosis Kg/Tp

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.1 Nilai Brightness Pada Penggunaan OBA di Wet-End

Grafik 4.1 di atas menunjukkan perbandingan hasil pengujian brightness


pada penggunaan OBA di proses wet-end antara tiap jenis OBA. Dari grafik
di atas dapat dilihat terjadi kenaikan nilai brightness yang berbeda pada ketiga
jenis OBA seiring penambahan dosis OBA. Garis berwarna hijau
menunjukkan kenaikan nilai brightness dari penggunaan OBA jenis
Hexasulpho dengan nilai brightness tertinggi sebesar 89.87% pada dosis 4
Kg/TP. Garis berwarna kuning menunjukkan kenaikan nilai brightness dari
penggunaan OBA jenis Tetrasulpho dengan nilai brightness tertinggi sebesar
93.02% pada dosis 4 Kg/TP. Garis berwarna biru menunjukkan kenaikan nilai
brightness dari penggunaan OBA jenis disulpho dengan nilai brightness
tertinggi sebesar 94.63% pada dosis 4 Kg/TP.
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa pada penambahan OBA
di proses Wet-end, OBA jenis Disulpho dapat menghasilkan nilai brightness
yang lebih tinggi dibanding OBA jenis Tetrasulpho dan Hexasulpho.
Penggunaan OBA jenis Disulpho di proses Wet-end dengan dosis 4 Kg/TP
mampu menghasilkan brightness sebesar 6.35% lebih tinggi dibanding tanpa
penggunaan OBA(blanko) atau brightness gain sebesar 7.2% terhadap
blanko.

Hasil Uji Brightness Pada Penggunaan OBA di Surface Sizing


95
94
Brightness, % 93
92
91
90
89
88
87
86
85
Blanko 1 2 3 4
Disulpho 88.28 89.20 90.75 91.59 91.81
Tetrasulpho 88.28 89.33 91.23 92.13 92.73
Hexasulpho 88.28 90.11 91.73 92.79 93.68
Dosis Kg/TP

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.2 Nilai Brightness Pada Penggunaan OBA di Surface Sizing

Grafik 4.2 menunjukkan perbandingan hasil pengujian brightness pada


penggunaan OBA di proses surface sizing antara tiap jenis OBA. Dari grafik
di atas dapat dilihat terjadi kenaikan nilai brightness pada ketiga jenis OBA
seiring penambahan dosis OBA. Garis berwarna hijau menunjukkan kenaikan
nilai brightness dari penggunaan OBA jenis Hexasulpho dengan nilai
brightness tertinggi sebesar 93.68% pada dosis 4 Kg/TP. Garis berwarna
kuning menunjukkan kenaikan nilai brightness dari penggunaan OBA jenis
Tetrasulpho dengan nilai brightness tertinggi sebesar 92.73% pada dosis 4
Kg/TP. Garis berwarna biru menunjukkan kenaikan nilai brightness dari
penggunaan OBA jenis disulpho dengan nilai brightness tertinggi sebesar
91.81% pada dosis 4 Kg/TP.
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa pada
penambahan OBA di proses surface sizing, OBA jenis Hexasulpho dapat
menghasilkan nilai brightness yang lebih tinggi dibanding OBA jenis
Tetrasulpho dan Disulpho. Penggunaan OBA jenis Hexasulpho di proses
surface sizing dengan dosis 4 Kg/TP mampu menghasilkan brightness
sebesar 5.4% lebih tinggi dibanding tanpa penggunaan OBA(blanko) atau
dengan brightness gain sebesar 6.11% terhadap blanko.
Berdasarkan grafik 4.1 dan 4.2, dapat kita lihat perbandingan nilai
brightness antara lokasi penambahan OBA di wet-end dan surface sizing.
Pada OBA jenis Hexasulpho, penambahan OBA di proses surface sizing
menghasilkan nilai brightness yang lebih tinggi daripada di wet-end. Hal ini
dapat disebabkan afinitas OBA Hexasulpho yang rendah terhadap fiber dan
tingkat solubility(kelarutan) OBA Hexasulpho dalam air yang tinggi. Afinitas
adalah kecenderungan suatu unsur atau senyawa untuk membentuk ikatan
kimia dengan unsur atau senyawa lain. Kedua faktor tersebut dapat
menyebabkan retensi OBA menurun dan OBA banyak yang terbuang di
proses wet-end sehingga nilai brightness yang dihasilkan rendah.
Pada OBA jenis Disulpho, penambahan OBA di wet-end
menghasilkan nilai brightness yang lebih tinggi daripada di proses surface
sizing. Hal ini dapat disebabkan afinitas OBA Disulpho yang tinggi terhadap
fiber sehingga dapat meningkatkan retensi OBA di proses wet-end dan
menaikkan nilai brightness.
Pada OBA jenis Tetrasulpho, dari grafik 4.1 dan 4.2 tidak dapat
dipastikan lokasi penambahan manakah yang lebih efektif karena pada dosis
tertingginya yaitu 4 Kg/TP, keduanya hanya menunjukkan perbedaan nilai
brightness yang kecil yaitu 0.24% dengan nilai yang lebih tinggi pada lokasi
penambahan di wet-end.
Hasil Uji Brightness Pada Kombinasi Penggunaan
OBA di Wet-end & Surface Sizing
96
94

Brightness, %
92
90
88
86
84
0/100 25/75 50/50 75/25 100/0
Disulpho 91.81 92.37 93.25 94.24 94.63
Tetrasulpho 92.73 93.30 93.34 93.85 92.97
Hexasulpho 93.68 93.16 92.40 91.12 89.87
Wet-end/Surface

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.3 Nilai Brightness Pada Kombinasi Penggunaan OBA di


Wet-end & Surface Sizing

Grafik 4.3 menunjukkan perbandingan hasil uji brightness pada


kombinasi penggunaan OBA di Wet-end & Surface Sizing. Kombinasi
pertama(kiri) dilakukan dengan penambahan OBA sebesar 100% dari 4
Kg/TP di proses surface sizing tanpa penambahan OBA di proses wet-end .
Pada kombinasi selanjutnya yaitu kombinasi kedua dilakukan penambahan
dosis OBA sebanyak 25% dari 4 Kg/TP di proses wet-end dan pengurangan
dosis OBA menjadi 75% dari 4 Kg/TP pada proses surface sizing. Pada
kombinasi ketiga, keempat dan kelima secara berturut-turut dilakukan
penambahan dosis OBA di wet-end sebanyak 50%, 75%, dan 100% dari 4
Kg/TP dan pengurangan dosis OBA sebanyak 25% di surface sizing sehingga
secara berturut-turut sementara di surface sizing secara berturut-turut menjadi
50%, 25%, dan 0% dari 4 Kg/TP. Nilai brightness dari tiap kombinasi
kemudian dibandingkan.

Dari grafik 4.3 di atas dapat kita lihat terjadi perubahan nilai
brightness di setiap kombinasi tergantung jenis OBA nya. Garis berwarna
kuning menunjukkan penurunan nilai brightness dari penggunaan OBA jenis
Hexasulpho seiring dengan bertambahnya penggunaan OBA jenis ini di
proses Wet-end. Pada kombinasi pertama di garis kuning pada penggunaan
OBA sebanyak 100% dari 4 Kg/TP di surface sizing didapat nilai brightness
sebesar 93.68 % sementara pada kombinasi selanjutnya terjadi penurunan
nilai brightness hingga pada kombinasi kelima, nilai brightness menjadi
sebesar 89.87%.

Garis berwarna berwarna hijau menunjukkan kenaikan nilai


brightness dari penggunaan OBA jenis Disulpho seiring dengan
bertambahnya penggunaan OBA jenis ini di proses Wet-end. Pada kombinasi
pertama di garis hijau pada penggunaan OBA sebanyak 100% dari 4 Kg/TP
di surface sizing didapat nilai brightness sebesar 91.81% sementara pada
kombinasi kelima, nilai brightness naik menjadi sebesar 94.63% . Garis
berwarna biru menunjukkan nilai brightness dari penggunaan OBA jenis
Tetrasulpho. Pada grafik 4.3 dapat dilihat kenaikan nilai brightness seiring
penambahan OBA Tetrasulpho di wet-end dengan titik optimum sebesar
93.85% yaitu pada kombinasi keempat. Pada kombinasi kelima terjadi
penurunan brightness menjadi 92.97%. Adanya titik optimum ini
menunjukkan bahwa kombinasi OBA jenis Tetrasulpho yang tepat dapat
menaikkan nilai brightness yang lebih tinggi.

4.2.2 Whiteness
Menurut James P. Casey (1981), whiteness adalah kombinasi dari total
reflektansi cahaya putih dan keseragaman reflektansi pada semua panjang
gelombang. Kertas yang merefleksikan semua spektrum cahaya tampak
dengan seragam dan memiliki reflektansi yang tinggi maka kertas itu akan
kelihatan lebih putih dan menaikkan nilai whiteness.
Tabel 4.3 Hasil Uji Whiteness
Dosis OBA Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho
Blanko 79.64 79.64 79.64
1 107.79 99.26 90.14
2 115.90 105.03 94.06
Wet-End
3 122.72 113.48 96.45
4 126.39 118.84 97.97
1 94.72 96.80 103.67
2 107.02 105.26 107.26
Surface Sizing
3 113.06 113.91 115.91
4 113.92 115.32 120.84
Wet- 1+3 119.52 118.99 120.12
End+Surface 2+2 120.96 119.57 117.25
Sizing 3+1 124.99 120.73 109.00

Hasil Uji Whiteness Pada Penggunaan OBA di Wet-End


130
120
Whiteness, %

110
100
90
80
70
60
Blanko 1 2 3 4
Disulpho 79.64 107.79 115.90 122.72 126.39
Tetrasulpho 79.64 99.26 105.03 113.48 118.84
Hexasulpho 79.64 90.14 94.06 96.45 97.97
Dosis Kg/TP

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.4 Nilai Whiteness Pada Penggunaan OBA di Wet-end


Grafik 4.4 di atas menunjukkan perbandingan hasil pengujian
whiteness pada penggunaan OBA di proses wet-end antara tiap jenis OBA.
Dari grafik di atas dapat dilihat terjadi kenaikan nilai whiteness yang berbeda
pada ketiga jenis OBA seiring penambahan dosis OBA. Garis berwarna hijau
menunjukkan kenaikan nilai whiteness dari penggunaan OBA jenis
hexasulpho dengan nilai whiteness tertinggi sebesar 97.97% pada dosis 4
Kg/TP. Garis berwarna kuning menunjukkan kenaikan nilai whiteness dari
penggunaan OBA jenis tetrasulpho dengan nilai whiteness tertinggi sebesar
118.84% pada dosis 4 Kg/TP. Garis berwarna biru menunjukkan kenaikan
nilai whiteness dari penggunaan OBA jenis disulpho dengan nilai whiteness
tertinggi sebesar 126.39% pada dosis 4 Kg/TP.
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa pada penambahan OBA
di proses Wet-end, OBA jenis Disulpho dapat menghasilkan nilai whiteness
yang lebih tinggi dibanding OBA jenis Tetrasulpho dan Hexasulpho.

Hasil Uji Whiteness Pada Penggunaan OBA di Surface


Sizing
130
Whiteness, %

120
110
100
90
80
70
60
Blanko 1 2 3 4
Disulpho 79.64 94.72 107.02 113.06 113.92
Tetrasulpho 79.64 96.80 105.26 113.91 115.32
Hexasulpho 79.64 103.67 107.26 115.91 120.84
Dosis OBA Kg/TP

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.5 Nilai Whiteness Pada Penggunaan OBA di Surface Sizing

Grafik 4.5 menunjukkan perbandingan hasil pengujian whiteness pada


penggunaan OBA di proses surface sizing antara tiap jenis OBA. Dari grafik
di atas dapat dilihat terjadi kenaikan nilai whiteness pada ketiga jenis OBA
seiring penambahan dosis OBA. Garis berwarna hijau menunjukkan kenaikan
nilai whiteness dari penggunaan OBA jenis Hexasulpho dengan nilai
whiteness tertinggi sebesar 120.84% pada dosis 4 Kg/TP. Garis berwarna
kuning menunjukkan kenaikan nilai whiteness dari penggunaan OBA jenis
Tetrasulpho dengan nilai whiteness tertinggi sebesar 115.32% pada dosis 4
Kg/TP. Garis berwarna biru menunjukkan kenaikan nilai whiteness dari
penggunaan OBA jenis disulpho dengan nilai whiteness tertinggi sebesar
113.92% pada dosis 4 Kg/TP.
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa pada penambahan
OBA di proses surface sizing, OBA jenis Hexasulpho dapat menghasilkan
nilai whiteness yang lebih tinggi dibanding OBA jenis Tetrasulpho dan
Disulpho.
Berdasarkan grafik 4.4 dan 4.5 dapat kita lihat perbandingan nilai
whiteness antara lokasi penambahan OBA di wet-end dan surface sizing. Pada
OBA jenis Hexasulpho, penambahan OBA di proses surface sizing
menghasilkan nilai whiteness yang lebih tinggi daripada di wet-end dengan
perbedaan nilai whiteness sebesar 22.87%. Pada OBA jenis Disulpho,
penambahan OBA di wet-end menghasilkan nilai whiteness yang lebih tinggi
daripada di proses surface sizing dengan perbedaan nilai whiteness sebesar
12.47%. Pada OBA jenis Tetrasulpho, tidak dapat dipastikan lokasi
penambahan manakah yang lebih efektif karena pada dosis tertingginya yaitu
4 Kg/TP, keduanya hanya menunjukkan perbedaan nilai whiteness yang kecil
yaitu hanya sebesar 3.52%. Jika kita lihat lagi grafik 4.1 dan 4.2, dapat kita
lihat bahwa dalam penelitian ini hasil dari whiteness selaras dengan hasil
brightness artinya apabila nilai brightness mengalami kenaikan dan
penurunan maka nilai whiteness juga mengalami hal yang demikian.
Nilai whiteness yang melebihi 100% dalam hasil penelitian ini menandakan
bahwa kertas tersebut mampu merefleksikan cahaya tampak dengan
intensitas melebihi jumlah cahaya tampak yang dipancarkan oleh illuminant
pada kertas. Hal ini dapat disebabkan oleh naiknya total reflektansi cahaya
tampak yang dihasilkan kertas berkat kemampuan fluorescence yang dimiliki
OBA. Kemampuan fluorescence tersebut membuat OBA dapat menyerap
sebagian sinar ultraviolet (UV) dan memancarkan kembali energi tersebut
berupa cahaya tampak lebih tepatnya pada gelombang cahaya biru.
Reflektansi cahaya tampak yang bertambah berkat OBA ini memungkinkan
kertas untuk memiliki nilai whiteness melebihi 100%.
Hasil Uji Whiteness Pada Kombinasi Penggunaan OBA di Wet-
End & Surface Sizing
130
120
110
Whiteness, %

100
90
80
70
0/100 25/75 50/50 75/25 100/0
Disulpho 113.92 119.52 120.96 124.99 126.39
Tetrasulpho 115.32 118.99 119.57 120.73 118.84
Hexasulpho 120.84 120.12 117.25 109.00 97.97
Wet-End/Surface

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.6 Nilai Whiteness Pada Kombinasi Penggunaan OBA di


Wet-end & Surface Sizing
Grafik 4.6 menunjukkan perbandingan hasil uji whiteness pada
kombinasi penggunaan OBA di Wet-end & Surface Sizing. Dari grafik 4.6 di
atas dapat kita lihat terjadi perubahan nilai whiteness di setiap kombinasi
tergantung jenis OBA nya. Garis berwarna kuning menunjukkan penurunan
nilai whiteness dari penggunaan OBA jenis Hexasulpho seiring dengan
bertambahnya penggunaan OBA jenis ini di proses Wet-end. Pada kombinasi
pertama di garis kuning pada penggunaan OBA sebanyak 100% dari 4 Kg/TP
di surface sizing didapat nilai whiteness sebesar 120.84 % sementara pada
kombinasi selanjutnya terjadi penurunan nilai whiteness hingga pada
kombinasi kelima, nilai whiteness menjadi sebesar 97.97%.
Garis berwarna berwarna hijau menunjukkan kenaikan nilai whiteness
dari penggunaan OBA jenis Disulpho seiring dengan bertambahnya
penggunaan OBA jenis ini di proses Wet-end. Pada kombinasi pertama di
garis hijau pada penggunaan OBA sebanyak 100% dari 4 Kg/TP di surface
sizing didapat nilai whiteness sebesar 113.92% sementara pada kombinasi
kelima, nilai whiteness naik menjadi sebesar 126.39%. Garis berwarna biru
menunjukkan nilai whiteness dari penggunaan OBA jenis Tetrasulpho. Pada
grafik 4.3 dapat dilihat kenaikan nilai whiteness seiring penambahan OBA
Tetrasulpho di wet-end dengan titik optimum sebesar 120.73% yaitu pada
kombinasi keempat. Pada kombinasi kelima terjadi penurunan whiteness
menjadi 118.84%. Adanya titik optimum ini menunjukkan bahwa kombinasi
OBA jenis Tetrasulpho yang tepat dapat menaikkan nilai whiteness yang
lebih tinggi.

4.2.3 Warna (L*a*b)

Ruang warna CIELAB(juga dikenal sebagai CIE L * a * b) atau


kadang-kadang disingkat dengan ruang warna Lab) adalah ruang warna
ditentukan oleh International Commission on Illumination (CIE) pada tahun
1976. Ruang ini mengekspresikan warna sebagai tiga nilai. Nilai L*
menunjukkan tingkat lightness atau terang gelap dan hanya diukur dalam
angka positif. Nilai a* menunjukkan arah warna ke merahapabila ia bernilai
positif dan ke arah hijauapabila nilainya negatif. Sedangkan nilai b*positif
menunjukkan arah warna kuning dan negatif untuk arah warna biru (Rigg,
1997). Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi penelitian
terhadap karakteristik warna(L*a*b) yang dihasilkan. Berikut hasil
pengukuran warna(L*a*b) dari setiap variasi yang telah dilakukan :
4.2.3.1 L*(Lightness)

Tabel 4.4 Hasil Uji Nilai L*(Lightness)

Dosis
Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho
OBA
Blanko 96.53 96.53 96.53
1 96.80 96.83 96.65
Wet-End
2 96.78 96.81 96.62
3 96.89 96.93 96.63
4 96.85 96.84 96.65
1 96.38 96.21 96.06
Surface 2 96.27 96.24 96.31
Sizing 3 96.34 96.55 96.37
4 96.49 96.48 96.41
Wet- 1+3 96.49 96.78 96.46
End+Surface 2+2 96.70 96.78 96.29
Sizing 3+1 96.56 96.92 96.26

Tabel 4.4 menunjukkan hasil pengujian nilai L*(Lightness)


dari setiap variasi percobaan. Jika dilihat secara keseluruhan data pada
tabel di atas maka dapat dilihat bahwa nilai L*(Lightness) pada semua
variasi terlihat hampir sama yaitu berkisar pada angka 96. Kesamaan
angka hasil pengujian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh variasi
percobaan yang dilakukan terhadap nilai L*(Lightness) baik dari
variasi dosis, jenis dan lokasi penambahan OBA. Jadi dalam
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan OBA tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai L*(Lightness).

4.2.3.2 Nilai a*

Tabel 4.5 Hasil Uji Nilai a*

Dosis
Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho
OBA
Blanko -0.39 -0.39 -0.39
1 0.71 0.00 -0.03
2 1.04 0.00 0.11
Wet-End
3 1.30 0.00 0.21
4 1.41 0.00 0.28
1 0.36 0.00 0.29
Surface 2 0.41 0.00 0.67
Sizing 3 0.44 0.00 1.00
4 0.49 0.00 1.18
1+3 0.68 0.79 1.14
Wet- 2+2 0.95 0.92 1.06
End+Surface
Sizing 3+1 1.37 1.12 0.74

Hasil Uji Nilai a* Pada Penggunaan OBA di Wet-End


1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
a*

0.40
0.20
0.00
-0.20
-0.40
-0.60
0 1 2 3 4
Disulpho -0.39 0.71 1.04 1.30 1.41
Tetrasulpho -0.39 0.25 0.63 0.96 1.14
Hexasulpho -0.39 -0.03 0.11 0.21 0.28
Dosis Kg/TP

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho


Grafik 4.7 Nilai a* Pada Penggunaan OBA di Wet-End

Grafik 4.7 menunjukkan perbandingan hasil pengujian nilai a*


pada penggunaan OBA di proses Wet-End antar tiap jenis OBA. Dari
grafik di atas dapat dilihat terjadi kenaikan nilai a* yang berbeda pada
ketiga jenis OBA seiring penambahan dosis OBA. Garis berwarna
hijau menunjukkan kenaikan nilai a* dari penggunaan OBA jenis
Hexasulpho seiring dengan kenaikan dosis OBA dari angka -0.03
pada dosis 1 Kg/TP hingga angka 0.28 pada dosis 4 Kg/TP. Garis
berwarna kuning menunjukkan kenaikan nilai a* dari penggunaan
OBA jenis Tetrasulpho seiring dengan kenaikan dosis OBA dari
angka 0.25 pada dosis 1 Kg/TP hingga angka 1.14 pada dosis 4
Kg/TP. Garis berwarna biru menunjukkan kenaikan nilai nilai a* dari
penggunaan OBA jenis disulpho seiring dengan kenaikan dosis OBA
dari angka 0.71 pada dosis 1 Kg/TP hingga angka 1.41 pada dosis 4
Kg/TP.
Hasil Uji Nilai a* Pada Penggunaan OBA di Surface
Sizing
1.5
1
a* 0.5
0
-0.5
0 1 2 3 4
Disulpho -0.39 0.36 0.41 0.44 0.49
Tetrasulpho -0.39 0.26 0.61 0.89 1.01
Hexasulpho -0.39 0.29 0.67 1.00 1.18
Dosis Kg/TP

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.8 Nilai a* Pada Penggunaan OBA di Surface


Sizing
Grafik 4.8 menunjukkan perbandingan hasil pengujian nilai a*
pada penggunaan OBA di proses surface sizing antar tiap jenis OBA.
Dari grafik di atas dapat dilihat terjadi kenaikan nilai a* yang berbeda
pada ketiga jenis OBA seiring penambahan dosis OBA. Garis
berwarna hijau menunjukkan kenaikan nilai a* dari penggunaan OBA
jenis Hexasulpho seiring dengan kenaikan dosis OBA dari angka 0.29
pada dosis 1 Kg/TP hingga angka 1.18 pada dosis 4 Kg/TP. Garis
berwarna kuning menunjukkan kenaikan nilai a* dari penggunaan
OBA jenis Tetrasulpho seiring dengan kenaikan dosis OBA dari
angka 0.26 pada dosis 1 Kg/TP hingga angka 1.01 pada dosis 4
Kg/TP. Garis berwarna biru menunjukkan kenaikan nilai nilai a* dari
penggunaan OBA jenis disulpho seiring dengan kenaikan dosis OBA
dari angka 0.36 pada dosis 1 Kg/TP hingga angka 0.49 pada dosis 4
Kg/TP.
Kenaikan nilai a* seiring penambahan dosis OBA dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa bahan kimia OBA mengandung
senyawa warna yang cenderung kemerah-merahan sehingga menarik
nilai a* ke arah positif yaitu semakin ke merah.
Hasil Uji Nilai a* Pada Kombinasi Penggunaan OBA di Wet-
end & Surface Sizing
1.60
1.40
1.20
1.00
a* 0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
0/100 25/75 50/50 75/25 100/0
Disulpho 0.49 0.68 0.95 1.37 1.41
Tetrasulpho 1.01 0.79 0.92 1.12 1.14
Hexasulpho 1.18 1.14 1.06 0.74 0.28
Wet End : Surface Sizing

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.9 Nilai a* Pada Kombinasi Penggunaan OBA di Wet-


end & Surface Sizing

Grafik 4.9 menunjukkan perbandingan hasil uji a*pada


kombinasi penggunaan OBA di Wet-end & Surface Sizing. Dari grafik
4.9 di atas dapat kita lihat terjadi perubahan nilai a* di setiap
kombinasi tergantung jenis OBA nya. Garis berwarna kuning
menunjukkan penurunan nilai a* dari penggunaan OBA jenis
Hexasulpho seiring dengan bertambahnya penggunaan OBA jenis ini
di proses Wet-end. Pada kombinasi pertama di garis kuning pada
penggunaan OBA sebanyak 100% dari 4 Kg/TP di surface sizing
didapat nilai a* sebesar 1.18 sementara pada kombinasi selanjutnya
terjadi penurunan nilai a* hingga pada kombinasi kelima, nilai a*
menjadi hanya sebesar 0.28

Garis berwarna berwarna hijau menunjukkan kenaikan nilai


a*dari penggunaan OBA jenis Disulpho seiring dengan bertambahnya
penggunaan OBA jenis ini di proses Wet-end. Pada kombinasi
pertama di garis hijau pada penggunaan OBA sebanyak 100% dari 4
Kg/TP di surface sizing didapat nilai a* sebesar 0.49 sementara pada
kombinasi kelima, nilai a* naik menjadi sebesar 1.41 . Garis berwarna
biru menunjukkan nilai a* dari penggunaan OBA jenis Tetrasulpho.
Pada grafik 4.3 dapat dilihat trend nilai a* yang cukup fluktuatif
seiring penambahan OBA Tetrasulpho di wet-end. Pada kombinasi
pertama nilai a* berada pada angka 1.01 sementara pada kombinasi
kedua mengalami penurunan menjadi 0.79. Pada kombinasi ketiga
hingga kelima terjadi kenaikan nilai a* hingga berada pada nilai 1.14
pada kombinasi kelima.

4.2.3.2 Nilai b*
Tabel 4.6 Hasil Uji Nilai b*
Dosis
Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho
OBA
Blanko 3.15 3.15 3.15
1 0.11 1.43 2.10
2 -0.81 0.42 1.65
Wet-End
3 -1.70 -0.64 1.39
4 -2.18 -1.19 1.24
1 0.61 1.03 1.33
Surface 2 -0.24 0.44 0.32
Sizing 3 -0.46 -0.38 -0.74
4 -0.59 -0.77 -1.29
Wet- 1+3 -1.10 -1.01 -1.23
End+Surface 2+2 -1.30 -1.10 -0.97
Sizing 3+1 -1.96 -1.18 -0.07
Hasil Uji Nilai b* Pada Penggunaan OBA di Wet-End
4.00
3.00
2.00
1.00
b* 0.00
-1.00
-2.00
-3.00
0 1 2 3 4
Disulpho 3.15 0.11 -0.81 -1.70 -2.18
Tetrasulpho 3.15 1.43 0.42 -0.64 -1.19
Hexasulpho 3.15 2.10 1.65 1.39 1.24
Dosis Kg/TP
Grafik 4.10 Nilai b*Pada Penggunaan OBA di Wet-end
Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.10 menunjukkan perbandingan hasil pengujian nilai


b* pada penggunaan OBA di proses Wet-End antar tiap jenis OBA.
Dari grafik di atas dapat dilihat terjadi penurunan nilai b* yang
berbeda pada ketiga jenis OBA seiring penambahan dosis OBA. Garis
berwarna hijau menunjukkan penurunan nilai b* dari penggunaan
OBA jenis Hexasulpho seiring dengan kenaikan dosis OBA dari
angka 2.10 pada dosis 1 Kg/TP hingga angka 1.24 pada dosis 4
Kg/TP. Garis berwarna kuning menunjukkan penurunan nilai b* dari
penggunaan OBA jenis Tetrasulpho seiring dengan kenaikan dosis
OBA dari angka 1.43 pada dosis 1 Kg/TP hingga angka 1.19 pada
dosis 4 Kg/TP. Garis berwarna biru menunjukkan penurunan nilai b*
dari penggunaan OBA jenis disulpho seiring dengan kenaikan dosis
OBA dari angka 0.11 pada dosis 1 Kg/TP hingga angka -2.18 pada
dosis 4 Kg/TP.
Hasil Uji Nilai b* Pada Penggunaan OBA di Surface
Sizing
4.00
3.00
2.00
b* 1.00
0.00
-1.00
-2.00
0 1 2 3 4
Disulpho 3.15 0.61 -0.24 -0.46 -0.59
Tetrasulpho 3.15 1.03 0.44 -0.38 -0.77
Hexasulpho 3.15 1.33 0.32 -0.74 -1.29
Dosis Kg/TP

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.11 Nilai b*Pada Penggunaan OBA di Surface Sizing


Grafik 4.11 menunjukkan perbandingan hasil pengujian nilai b*
pada penggunaan OBA di proses surface sizing antar tiap jenis OBA.
Dari grafik di atas dapat dilihat terjadi penurunan nilai b* yang
berbeda pada ketiga jenis OBA seiring penambahan dosis OBA. Garis
berwarna hijau menunjukkan penurunan nilai b* dari penggunaan
OBA jenis Hexasulpho seiring dengan kenaikan dosis OBA dari
angka 1.33 pada dosis 1 Kg/TP hingga angka -1.29 pada dosis 4
Kg/TP. Garis berwarna kuning menunjukkan penurunan nilai b* dari
penggunaan OBA jenis Tetrasulpho seiring dengan kenaikan dosis
OBA dari angka 1.03 pada dosis 1 Kg/TP hingga angka -0.77 pada
dosis 4 Kg/TP. Garis berwarna biru menunjukkan penurunan nilai
nilai b* dari penggunaan OBA jenis disulpho seiring dengan kenaikan
dosis OBA dari angka 0.61 pada dosis 1 Kg/TP hingga angka -0.59
pada dosis 4 Kg/TP.

Penurunan nilai b* seiring bertambahnya dosis OBA dapat


disebabkan kemampuan fluorescence OBA itu sendiri. Kemampuan
fluorescence tersebut membuat OBA dapat menyerap sebagian sinar
ultraviolet (UV) dan memancarkan kembali energi tersebut berupa
cahaya tampak lebih tepatnya pada gelombang cahaya biru.
Bertambahnya intensitas cahaya biru yang dipancarkan ini membuat
dalam pembacaan alat uji mengintrepretasikannya sebagai penurunan
nilai b* dimana kertas lebih cenderung ke warna kebiru-biruan. Jika
kita perhatikan lagi grafik 4.1 dan 4.2 lalu kita bandingkan dengan
grafik 4.10 dan 4.11 ini, maka dapat dilihat bahwa kenaikan nilai
brightness selaras dengan penurunan nilai b* yang membuktikan
bahwa terjadi kenaikan pantulan cahaya biru seiring penambahan
dosis OBA.

Perubahan nilai a* dan b* ini baik naik maupun turun,


sejatinya tidaklah terlalu penting dalam penggunaan OBA karena
dalam proses pembuatan kertas sendiri saat ini, sudah dilakukan
penambahan bahan pewarna(dyes) untuk mengatur nilai a* dan b* ini
sesuai keinginan konsumen.

Hasil Uji Nilai b* Pada Kombinasi Penggunaan OBA di Wet-


end & Surface Sizing
1.50
1.00
0.50
0.00
b*

-0.50
-1.00
-1.50
-2.00
-2.50
0/100 25/75 50/50 75/25 100/0
Disulpho -0.59 -1.10 -1.30 -1.96 -2.18
Tetrasulpho -0.77 -1.01 -1.10 -1.18 -1.19
Hexasulpho -1.29 -1.23 -0.97 -0.07 1.24
Wet-End : Surface Sizing

Disulpho Tetrasulpho Hexasulpho

Grafik 4.12 Nilai b* Pada Kombinasi Penggunaan OBA


di Wet-end & Surface Sizing

Grafik 4.12 menunjukkan perbandingan hasil uji b*pada


kombinasi penggunaan OBA di Wet-end & Surface Sizing. Dari grafik
4.12 di atas dapat kita lihat terjadi perubahan nilai b* di setiap
kombinasi tergantung jenis OBA nya. Garis berwarna kuning
menunjukkan kenaikan nilai b* dari penggunaan OBA jenis
Hexasulpho seiring dengan bertambahnya penggunaan OBA jenis ini
di proses Wet-end. Pada kombinasi pertama di garis kuning pada
penggunaan OBA sebanyak 100% dari 4 Kg/TP di surface sizing
didapat nilai b* sebesar -1.29 sementara pada kombinasi selanjutnya
terjadi kenaikan nilai b* hingga pada kombinasi kelima, nilai b*
menjadi hanya sebesar 1.24.

Garis berwarna berwarna hijau menunjukkan penurunan nilai


b*dari penggunaan OBA jenis Disulpho seiring dengan bertambahnya
penggunaan OBA jenis ini di proses Wet-end. Pada kombinasi
pertama di garis hijau pada penggunaan OBA sebanyak 100% dari 4
Kg/TP di surface sizing didapat nilai b* sebesar -0.59 sementara pada
kombinasi kelima, nilai b* turun menjadi sebesar -2.18 . Garis
berwarna biru menunjukkan penurunan nilai b*yang cukup rendah
dari penggunaan OBA jenis Tetrasulpho seiring dengan
bertambahnya penggunaan OBA jenis ini di proses Wet-end. Pada
kombinasi pertama di garis biru pada penggunaan OBA sebanyak
100% dari 4 Kg/TP di surface sizing didapat nilai b* sebesar -0.77
sementara pada kombinasi kelima, nilai b* turun menjadi sebesar -
1.19.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Dari percobaan yang telah dilakukkan, dapat diambil beberapa


kesimpulan sebagai berikut:

1. Penambahan dosis OBA dalam penelitian ini menyebabkan kenaikan


brightness, whiteness dan nilai a* sementara nilai b* semakin menurun dan
nilai L tidak berpengaruh signifikan. Kenaikan brightness dalam penelitian
ini selaras dengan kenaikan whiteness dan penurunan nilai b* disebabkan
efek fluorescence yang dimiliki OBA. Misalnya saja pada penambahan
OBA dengan dosis 1 Kg/TP pada OBA jenis disulpho di proses wet-end
memiliki nilai brightness, whiteness, dan nilai b* secara berturut-turut
sebesar 91.7%, 107.79%, dan 0.11, sementara pada dosis 4 Kg/TP diperoleh
nilai sebesar 94.63%, 126.39% dan -2.18.
2. Dengan penambahan OBA hingga dosis 4 Kg/TP pada berbagai lokasi
penambahan dan jenis OBA, dihasilkan nilai brightness tertinggi sebesar
94.63 % dan whiteness sebesar 126.39 % yaitu pada penggunaan 4 Kg/TP
OBA jenis disulpho di proses wet-end. Jika dibandingkan dengan blanko
yang memiliki brightness sebesar 88.28 % dan whiteness 79.64%, nilai
brightness yang dihasilkan memiliki perbedaan sebesar 6.35% lebih tinggi
atau brightness gain sebesar 7.2% yang memiliki brightness sebesar 88.28
%. Sementara nilai whiteness yang dihasilkan memiliki perbedaan sebesar
46.75% lebih tinggi atau whiteness gain sebesar 58.7%.
3. Ditinjau dari sifat brightness dan whitenessnya, lokasi penambahan OBA
memiliki pengaruh yang berbeda terhadap efektivitas OBA tergantung pada
jenis OBA yang digunakan. Pada OBA jenis Disulpho, lokasi penambahan
pada proses wet-end memiliki nilai brightness dan whiteness yang lebih
tinggi. Sementara pada OBA jenis Hexasulpho, lokasi penambahan pada
proses surface sizing memiliki nilai brightness dan whiteness yang lebih
tinggi. Pada OBA jenis Tetrasulpho, kombinasi dosis pada kedua lokasi
penambahan yang tepat dapat menaikkan nilai brightness dan whiteness
yang lebih tinggi.

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis berikan sesuai dengan hasil
percobaan antara lain yaitu:
 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan dosis OBA
yang lebih tinggi agar diperoleh dosis optimum pada penggunaan OBA
 Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan memvariasikan bahan pengisi
yang digunakan untuk melihat pengaruhnya terhadap efektivitas
penggunaan OBA

Anda mungkin juga menyukai