Anda di halaman 1dari 7

[ESSAY] – Waktu Ujian: 40 menit

Pembahasan oleh: Anis, Qori, Eja, Dedy

Essay No 1
1. An 8-year old girl was diagnosed as moderate-severe persistent allergic rhinitis. Her
skin
prick test results were positive to Dermatophagoides farinae, cockroach, and cat dander.
Lately, she snored during her sleep.
a. Describe the comprehensive management for this patient (including prevention,
pharmacotherapy, immunotherapy adn education).
b. Describe the possible complications/co-morbidities in this patient.

Pembahasan:
1. a. Manajemen pada pasien
Pencegahan: Dari hasil tes alergi pasien didapatkan alergi terhadap tungau debu rumah,
kecoa, dan kucing.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
 Menggunakan Kasur yang bukan kapuk, karena tungau debu rumah cenderung
banyak di Kasur kapuk
 Rutin mengganti sprei dan membersihkan Kasur, kalau dari guideline ARIA bisa
dicuci dengan suhu 55-60oC
 Tidak memiliki banyak barang terutama di kamar karena akan menjadi tempat debu
dan tungau debu rumah
 Tidak menggunakan karpet
 Menggunakan acaricide (pestisida untuk membunuh tungau debu rumah)
 Membersihkan rumah dengan vacuum cleaner HEPA filter (kalau bisa sih yang
membersihkan bukan pasien)
 Tidak memelihara kucing
 Periksa apakah ada asma
Farmakoterapi: pasien dengan rhinitis alergi persisten sedang berat
 Kortikosteroid intranasal dosis 200 mcg (mometason furoat, triamsinolon asetonid)
 Antihistamin (cetirizine, loratadine)
Penggunaannya direview dalam 2 – 4 minggu
 Perbaikan  step down dan lanjutkan terapi > 1 bulan
 Perburukan
o Review diagnosis, compliance obat, pajanan apakah masih ada, apakah ada
infeksi atau penyebab lain
o Tingkatkan dosis kortikosteroid intranasal menjadi 300 – 400 mcg
o Gejala rinorea  tambahkan ipratropium bromide
o Gejala kongesti  tambahkan dekongestan atau oral kortikosteroid
Immunotherapy: untuk meningkatkan IGG antibody dan menurunkan IgE. Ada dua jenis
sediaan immunotherapy sublingual dan injeksi subcutan. Indikasinya adalah pasien yang
tidak membaik dengan pengobatan

Edukasi:
 Penyakit pada pasien dapat dikontrol dengan kepatuhan pengobatan dan pencegahan
dari pajanan
 Mungkin komorbid dengan asma sehingga perlu dilakukan pemeriksaan asma

Komorbid atau komplikasi


Pasien dengan sleep disordered breathing, kemungkinan penyebabnya berdasarkan
komplikasi dari rhinitis alergi adalah
 Hipertrofi adenoid
o Hipertrofi adenoid terjadi karena adanya iritan, stimulus mikroba, atau pajanan
terhadap allergen sehingga adenoidnya membesar. Gejalanya adalah obstruksi
nasal, rinolalia clausa/hiponasal, bernafas lewat mulut dan mengorok (facies
adenoid)
Essay No 2

2. A 50-year old man admitted with unilateral ear blocked and double vision. Some likes
a
bloody discharge came out from his nose.
a. What is the possible diagnosis for this case? Explain it.
b. What is your plan for this unfortunate patient?
Pembahasan:
a. What is the possible diagnosis for this case? Explain it.
KNF. Karena tidak hanya ada gejala dari bidang THT tapi ada juga gejala di luar itu, yaitu
diplopia (mata dan saraf). Hal ini sesuai dengan gejala KNF:
(1) gejala nasofaring: epistaksis, hidung tersumbat
(2) gejala telinga: tinitus, rasa tidak nyaman, otalgia
gejala telinga muncul apabila tempat asalnya tumor dekat dengan tuba Eustachius
(3) gejala mata dan saraf: diplopia, nyeri trigeminal, sindrom Jackson (N. IX – XII),
sindrom unilateral (semua saraf kranial)
akibat nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui beberapa foramen,
yaitu: foramen laserum (N. III – VI) dan foramen jugulare (N. IX – XII)
(4) gejala metastasis ke leher: pembengkakan KGB leher
b. What is your plan for this unfortunate patient?
Merujuk pasien ke dokter spesialis THT-KL untuk dilakukan:
Rencana pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan endoskopi
 CT scan kepala dan leher dengan dan tanpa kontras
 Jika terdapat massa  biopsi
Rencana terapi:
Tentukan staging sebelum melakukan terapi
Radioterapi
Perawatan paliatif
Pengobatan tambahan (dapat dipertimbangkan untuk diberikan): diseksi leher, pemberian
tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan antivirus
Setelah sembuh: follow-up  karena risiko rekurensi
Sumber: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Telinga, hidung, tenggorok,
kepala dan leher. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
Essay no 3
3. A 30-year old woman complained of hearing impairment of the right ear since 1
month. This problem was first felt after a prolonged common cold. On examination, her
right tympanic membrane was intact, with no light reflex, and looked dull. Her left ear
showed no abnormalities.

a. What is the possible diagnosis for this case?


Kasusnya berarti pendekatan klinis dari tuli ya. Faktor risikonya ada riwayat common cold,
bisa menyebabkan pembesaran tonsil sehingga mengganggu pembukaan dari tuba eustachius.
Dari PF didapatkan AD: membran timpaninya intak, dull, dan refleks cahaya hilang  ada
cairan di belakang membran timpani. Kemungkinan besar diagnosisnya OME. Kalau OMA,
karena sudah terjadi infeksi, itu biasanya gejala yang khas adalah nyeri telinga, demam, dan
ada keluar cairan (bila sudah stadium perforasi).

b. Describe the possible type/characteristic of hearing impairment in this case.


Tuli konduktif, karena ada gangguan di telinga tengah.

c. Describe the pathogenesis of this hearing impairment.


Ya bisa dilihat di gambar yang ada dari buku hijau ini.
Infeksi  gangguan fungsi tuba  tekanan negatif di telinga tengah  efusi di telinga
tengah  tuli konduktif

d. What are the possible findings from the tuning fork test (rinne, weber, schwabach)?
Rinne: negatif
Weber: lateralisasi ke telinga yang terganggu
Swabach: memanjang

e. Sketch the possible pure tone audiogram for this case.

AC: turun lebih dari 25 dB


BC: normal atau kurang dari 25 dB
Terdapat gap antara AC dan BC
Simbolnya nanti disesuaikan saja ya dengan simbol
untuk telinga kanan.
Kalau dari PPT PBL kelompok clara dkk, turunnya itu
biasanya <40 dB.

Essay No 4
4. Two questions:
a. What are the risk factors for hearing loss in infant and children according to joint
committee on infant hearing (2000)?
b. Gold standard for hearing screening in infant are otoacoustic emission (OAE) and
automated ABR (AABR). Mention and describe two programs for newborn hearing
screening.

Pembahasan:
a. Berdasarkan Joint Committee on Infant Hearing (2000), dikutip dari Buku Hijau THT
Edisi 7
# Untuk bayi 0 – 28 hari (kalau di buku hijau ada 20 faktor risiko, tetapi setelah
dibaca-baca, ternyata banyak pengulangan, jadi intinya cuma 10 ini ya):
1. Riwayat keluarga SNHL sejak lahir
2. Infeksi TORCHS semasa hamil
3. Kelainan kraniofasial termasuk kelainan pinna dan liang telinga
4. BBLR < 1500 gram
5. Hiperbilirubinemia yang membutuhkan transfusi tukar
6. Obat ototoksik
7. Meningitis bakterialis
8. Nilai APGAR 0-4 pada menit pertama, 0-6 pada menit kelima
9. Ventilasi mekanik 5 hari atau lebih di NICU
10. Sindroma yang berhubungan dengan tuli konduktif/sensorineural

# Untuk bayi 29 hari – 2 tahun :

1. Kecurigaan ortu / pengasuh tentang gangguan pendengaran, keterlambatan bicara,


berbahasa, dan atau keterlembatan perkembangan
2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran menetap sejak masa anak-anak
3. Keadaan / stigmata tertentu yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang
berhubungan dengan tuli konduktif, SNHL, atau gangguan tuba
4. Infeksi post-natal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
termasuk meningitis bakterialis
5. Infeksi intrauterin (TORCHS)
6. Faktor risiko tertentu pada masa neonatus (hiperbilirubinemia yang membutuhkan
transfusi tukar, hipertensi pulmonal yang membutuhkan ventilator)
7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran progresif
(Usher syndrome, neurofibromatosis)
8. Kelainan neurodegeneratif (Hunter syndrome), kelainan neuropati sensomotorik
(Friedrich’s ataxia, dsb)
9. Trauma kapitis
10. Otitis media berulang / menetap disertai efusi telinga tengah minimal 3 bulan

b. Terdapat 2 macam program Newborn Hearing Screening :


1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)
Bertujuan u/ melakukan deteksi pada “semua” bayi baru lahir, dimulai pada saat
usia 2 hari atau sebelum meninggalkan RS. Jika bayi lahir di faskes yang tidak
memiliki program UNHS, paling lambat pada usia 1 bulan dilakukan skrining
pendengaran.
2. Targetted Newborn Hearing Screening (TNHS)
Skrining pendengaran yang “lebih selektif, terbatas” pada bayi yang memiliki
faktor risiko gangguan pendengaran.

Anda mungkin juga menyukai