Anda di halaman 1dari 86

MAKALAH BAHASA INDONESIA

“Fonologi dan Morfologi Bahasa Indonesia”

Dosen Pengampu : Dr. suwarjo, M. Pd.


Mata Kuliah : Bahasa Indonesia

Oleh
Ristiana
NPM 1113053097
Semester IA

PROGRAM PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2011

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kalau kita perhatikan dengan baik, dalam kehidupan sehari-hari
masihbanyak masyarakat yang memakai bahasa Indonesia tetapituturan atau
ucapan daerahnya terbawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Tidaksedikit
seseorang yang berbicara dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan lafalatau
intonasi Jawa, Batak, Bugis, Sunda dan lain sebagainya. Hal inidimungkinkan
karena sebagian besar bangsa Indonesia memposisikan bahasaIndonesia
sebagai bahasa kedua. Sedangkan bahasa pertamanya adalah bahasadaerah
masing-masing.Bahasa Indonesia hanya digunakan dalam komunikasitertentu,
seperti dalam kegiatan-kegiatan resmi.
Selain itu, dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya di
SekolahDasar, istilah yang dikenal dan lazim digunakan guru adalah istilah
“huruf”walaupun yang dimaksud adalah “fonem”. Mengingat keduanya
merupakanistilah yang berbeda, untuk efektifnya pembelajaran, tentu perlu
diadakanpenyesuaian dalam segi penerapannya.
Oleh karena itu, untuk mencapai suatu ukuran lafal/fonem baku
dalambahasa Indonesia, sudah seharusnya lafal-lafal atau intonasi khas daerah
itudikurangi jika mungkin diusahakan dihilangkan. Sebagai seorang guru,
pemahaman struktur fonologi danmorfologi bahasa Indonesia selain dapat
menjadi bekal dalampemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam
kehidupan sehari-hari juga dapat bermanfaat dalam pembinaan kemampuan
berbahasa siswa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas ditemukan beberapa permasalahan,
diantaranya:
1. Apakah yang dimaksud dengan fonologi?

2
2. Bagaimana membedakan ilmu-ilmu bahasa yang tercakup dalam
fonologi?
3. Bagaimana mengidentifikasi fonem-fonem bahasa Indonesia?
4. Apakah yang dimaksud dengan morfologi?
5. Bagaimana mengidentifikasi morfem-morfem bahasa Indonesia?
6. Apa saja jenis kata ulang bahasa Indonesia?
7. Apa saja makna kata ulang bahasa Indonesia?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk menjelaskan pengertian fonologi.
2. Untuk membedakan ilmu-ilmu bahasa yang tercakup dalam fonologi.
3. Untuk mengidentifikasi fonem-fonem bahasa Indonesia.
4. Untuk menjelaskan pengertian morfologi.
5. Untuk mengidentifikasi morfem-morfem bahasa Indonesia.
6. Untuk mengidentifikasi jenis-jenis kata ulang bahasa Indonesia.
7. Untuk menjelaskan makna kata ulang bahasa Indonesia.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fonologi
1. Pengertian Fonologi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa fonologi
adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi – bunyi bahasa
menurut fungsinya. Dengan demikian fonologi adalah merupakan sistem
bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatakan bahwa fonologi
adalah ilmu tentang bunyi bahasa.
Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah
bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut
fungsinya.Dengan demikian, fonologi adalahmerupakan sistem bunyi dalam
bahasa Indonesia atau dapat juga dikatan bahwafonologi adalah ilmu tentang
bunyi bahasa.

2. Ilmu-Ilmu yang Tercakup dalam Fonologi


Fonologi dalam tataran ilmu bahasa dibagi dua bagian yakni fonetikdan
fonemik.
a) Fonetik
Menurut Samsuri (1994), fonetik adalah studi tentang bunyi-bunyi ujar.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), fonetik diartikan:
bidang linguistik tentang pengucapan (penghasilan) bunyi ujar atau fonetik
adalah sistem bunyi suatu bahasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
fonetik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang
dihasilkan alat ucap manusia, serta bagaimana bunyi itu dihasilkan.
Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi
tiga jenis fonetik, yaitu:
1) Fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi,
mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja

4
dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu
diklasifikasikan.
2) Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau
fenomena alam (bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya,
aplitudonya,dan intensitasnya.
3) Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan
bunyi bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia
lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan
dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan
manusia.Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan
fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran.

b) Fonemik
Fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang
berfungsi sebagai pembeda makna. Terkait dengan pengertian tersebut,
fonemik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) diartikan: (1) bidang
linguistik tentang sistem fonem; (2) sistem fonem suatu bahasa; (3) prosedur
untuk menentukan fonem suatu bahasa.
Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat
dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan,
maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-
kemungkinan, bunyi ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi
untuk membedakan arti.
Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang
dapat atau berfungsi membedakan makna kata.Misalnya bunyi [l], [a], [b]
dan [u]; dan [r], [a], [b] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada
bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r].Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam
bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.

5
Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-
bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh
cabang-cabang linguitik yang lain, misalnya morfologi, sintaksis, dan
semantik.
1) Fonologi dalam cabang morfologi
Bidang morfologi yang kosentrasinya pada tataran struktur internal kata
sering memanfaatkan hasil studi fonologi, misalnya ketika menjelaskan
morfem dasar {butuh} diucapkan secara bervariasi antara [butUh] dan
[bUtUh] serta diucapkan [butuhkan] setelah mendapat proses morfologis
dengan penambahan morfem sufiks {-kan}.

2) Fonologi dalam cabang sintaksis


Bidang sintaksis yang berkosentrasi pada tataran kalimat, ketika
berhadapan dengan kalimat kamu berdiri.(kalimat berita), kamu berdiri?
(kalimat tanya), dan kamu berdiri! (kalimat perintah) ketiga kalimat tersebut
masing-masing terdiri dari dua kata yang sama tetapi mempunyai maksud
yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan memanfaatkan hasil
analisis fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah dan tekanan pada kalimat yang
ternyata dapat membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa
Indonesia.

3) Fonologi dalam cabang semantik


Bidang semantik, yang berkosentrasi pada persoalan makna kata pun
memanfaatkan hasil telaah fonologi.Misalnya dalam mengucapkan sebuah
kata dapat divariasikan, dan tidak. Contoh kata [tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras]
akan bermakna lain. Sedangkan kata duduk dan didik ketika diucapkan secara
bervariasi [dudU?], [dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak membedakan makna.Hasil
analisis fonologislah yang membantunya.

6
B. Fonem-fonem Bahasa Indonesia
1. Pengertian Fonem
Santoso (2004) menyatakan bahwa fonem adalah setiap bunyiujaran dalam
satu bahasa mempunyai fungsi membedakan arti.Bunyi ujaranyang
membedakan arti ini disebut fonem.Fonem tidak dapat berdiri sendirikarena
belum mengandung arti.Tidak berbeda dengan pendapat tadi, dalamKamus
Besar Bahasa Indonesia (1997) tertulis bahwa yang dimaksud fonem adalah
satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna.Jadi, dapat
disimpulkan bahwa fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang bersifat
fungsional, artinya satuan memiliki fungsi untuk membedakan makna.Fonem
tidak dapat berdiri sendiri karena belum mengandung arti.

2. Jenis-jenis Fonem
Dalam bahasa Indonesia, secara resmi ada 32 buah fonem, yang
terdiriatas: (a) fonem vokal 6 buah(a, i. u, e, ∂, dan o), (b) fonem diftong 3
buah, dan (c) fonem konsonan 23buah(p, t, c, k, b, d, j, g, m, n, n, η, s, h, r, l,
w, dan z).
a) Fonem vokal
Fonem vokal yang dihasilkan tergantung dari beberapa hal berikut.
1) Posisi bibir (bentuk bibir ketika mengucapkan sesuatu bunyi).
2) Tinggi rendahnya lidah (posisi ujung dan belakang lidah ketika
mengucapkan bunyi.
3) Maju-mundurnya lidah (jarak yang terjadi antara lidah dan lengkung
kaki gigi).
Menurut posisi lidah yang membentuk rongga resonansi, vokal-vokal
digolongkan:
 Vokal tinggi depan dengan menggerakkan bagian depan lidah ke langit-
langit sehingga terbentuklah rongga resonansi, seperti pengucapan bunyi
[i].
 Vokal tinggi belakang diucapkan dengan kedua bibir agak maju dan
sedikit membundar, misalnya /u/.

7
 Vokal sedang dihasilkan dengan menggerakkan bagian depan dan
belakang lidah ke arah langit-langit sehingga terbentuk ruang resonansi
antara tengah lidah dan langit-langit, misalnya vokal [e].
 Vokal belakang dihasilkan dengan menggerakkan bagian belakang lidah
ke arah langit-langit sehingga terbentuk ruang resonansi antara bagian
belakang lidah dan langit-langit, misalnya vokal [o].
 Vokal sedang tengah adalah vokal yang diucapkan dengan agak
menaikkan bagian tengah lidah ke arah langit-langit, misalnya Vokal // .
 Vokal rendah adalah vokal yang diucapkan dengan posisi lidah mendatar,
misalnya vokal /a/.
Menurut bundar tidaknya bentuk bibir, vokal dibedakan atas:
 Vokal bundar: /a/, /o/, dan /u/;
 Vokal tak bundar: /e/, /ə/, dan /i/.
Menurut renggang tidaknya ruang antara lidah dengan langit-langit, vokal
dibedakan atas:
 Vokal sempit: /ə/, /i/, dan /u/;
 Vokal lapang: /a/, /e/, /o/.
Jadi /a/ misalnya, adalah vokal tengah, rendah, bundar, dan lapang.

b) Fonem diftong
Diftong dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988) dinyatakan
sebagai vokal yang berubah kualitasnya.Dalam sistem tulisan, diftong
dilambangkan oleh dua huruf vokal.Kedua huruf vokal itu tidak dapat
dipisahkan.Bunyi /aw/ pada kata pulau adalah diftong, sehingga <au> pada
suku kata –lau tidak dapat dipisahkanmenjadi la-u seperti pada kata mau.

c) Fonem Konsonan
Konsonan adalah bunyi bahasa yang ketika dihasilkan mengalami
hambatan-hambatan pada daerah artikulasi tertentu. Kualitasnya ditentukan
oleh tiga faktor :
 Keadaan pita suara (merapat atau merenggang - bersuara atau tak
bersuara).

8
 Penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap/artikulator (bibir, gigi,
gusi, lidah, langit-langit).
 Cara alat ucap tersebut bersentuhan/berdekatan.
Fonem konsonan dapat digolongkan berdasarkan tiga kriteria: posisi pita
suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi.
 Berdasarkan posisi pita suara, bunyi bahasa dibedakan ke dalam dua
macam, yakni bunyi bersuara dan bunyi tak bersuara. (Samsuri, 1994,
Supriyadi, dkk. 1992, Santoso, 2004 dan Depdikbud,1988).
 Bunyi bersuara terjadi apabila pita suara hanya terbuka sedikit,
sehingga terjadilah getaran pada pita suara itu. Yang termasuk bunyi
bersuara antara lain, bunyi /b/, /d/, /g/, /m/, /n/, /ñ/, /j/, /z/, /r/, /w/ dan
/y/.
 Tak bersuara terjadi apabila pita suara terbuka agak lebar, sehingga
tidak ada getaran pada pita suara. Yang termasuk bunyi tak bersuara,
antara lain /k/, /p/, /t/, /f/, /s/, dan /h/.
 Berdasarkan tempat artikulasinya, kita mengenal empat macam konsonan,
yakni:
 Konsonan bilabial adalah konsonan yang terjadi dengan cara
merapatkan kedua belah bibir, misalnya bunyi /b/, /p/, dan /m/.
 Konsonan labiodental adalah bunyi yang terjadi dengan cara
merapatkan gigi bawah dan bibir atas, misalnya /f/.
 Konsonan laminoalveolar adalah bunyi yang terjadi dengan cara
menempelkan ujung lidah ke gusi, misalnya /t/ dan /d/.
 Konsonan dorsovelar adalah bunyi yang terjadi dengan cara
menempelkan pangkal lidah ke langit-langit lunak, misalnya /k/ dan
/g/.
 Menurut cara pengucapanya/cara artikulasinya, konsonan dapat dibedakan
sebagai berikut:
 Konsonan letupan (eksplosif) yakni bunyi yang dihasilkan dengan
menghambat udara sama sekali ditempat artikulasi lalu dilepaskan,
seperti [b], [p], [t], [d], [k], [g], [?], dan lain-lain;

9
 Konsonan nasal (sengau) adalah bunyi yang dihasilkan dengan
menutup alur udara keluar melalui rongga mulut tetapi dikeluarkan
melalui rongga hidung seperti fonem [n, m, ñ, ];
 Konsonan lateral yakni bunyi yang dihasilkan dengan menghambat
udara sehingga keluar melalui kedua sisi lidah seperi [l];
 Konsonan frikatif yakni bunyi yang dihasilkan dengan menghambat
udara pada titik artikulasi lalu dilepaskan secara frikatif misanya [f],
[s];
 Konsonan afrikatif yaitu bunyi yang dihasilkan dengan melepas udara
yang keluar dari paru-paru secara frikatif, misalnya [c] dan [z];
 Konsonan getar yakni bunyi yang dihasilkan dengan
mengartikulasikan lidah pada lengkung kaki gigi kemudian dilepaskan
secepatnya dan diartikulasikan lagi seprti [r] pada jarang.

C. Pengertian Morfologi Bahasa Indonesia


Ramlan (1978:19) menjelaskan bahwa morfologi ialah bagian dari ilmu
bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata
serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan kata dan
arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari
seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu,
baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik.
Nida (1949:1) menjelaskan bahwa morfologi adalah studi tentang morfem
dan susunannya di dalam pembentukan kata.Susunan morfem yang diatur
menurut morfologi suatu bahasa meliputi semua kombinasi yang membentuk
kata atau bagian dari kata.
Verhaar (2004:97) juga menjelaskan bahwa morfologi adalah cabang
lunguistik yang mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai
satuan gramatikal.Jadi dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah cabang
ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk pembentukan kata.

10
D. Morfem-morfem Bahasa Indonesia
1. Pengertian Morfem
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa morfem
adalah satuan bentuk bahasa terkecil yang mempunyai makna, secara relatif
stabil dan tidak dibagi atas bagian bermakna lebih kecil.
Lyons (1968:80) menyatakan bahwa morfem adalah unit analisis
gramatikal yang terkecil.Katamba(1993:24) menjelaskan bahwa morfem
adalah perbedaan terkecil mengenai makna kata atau makna kalimat atau
dalam struktur gramatikal. Jadi dapat disimpulkan bahwa morfem adalah
satuan bahasa terkecil yang bermakna.

2. Prinsip Mengenal Morfem


Edi Subroto (1976:40) mengemukakan tentang ciri morfem, bahwa (1)
morfem adalah satuan terkecil di dalam tingkatan morfologi yang bisa
ditemukan lewat analisis morfologi, (2) morfem selalu merupakan satuan
terkecil yang berulang-ulang dalam pemakaian bahasa (dengan bentuk yang
lebih kurang sama)dengan arti gramatikal tertentu yang lebih kurang sama
pula.
Samsuri (1992) mengemukakan tiga prinsip pokok pengenalan morfem.
(1)Bentuk-bentuk yang berulang yang mempunyai pengertian yang sama,
termasuk morfem yang sama. (2)Bentuk-bentuk yang mirip (susunan fonem-
fonemnya) yang mempunyai pengertian yang sama,termasuk morfem yang
sama, apabila perbedaan-perbedaannya dapat diterangkan secara fonologis.
(3)Bentuk-bentuk yang berbeda susunan fonem-fonemnya, yang tidak dapat
diterangkan secara fonologis perbedaan-perbedaannya, masih bisa dianggap
sebagai alomorf-alomorf dari morfem yang sama atau mirip, asal perbedaan
itu dapat diterangkan secara morfologis.

3. Wujud Morfem
Samsuri (1982:182) yang juga dikutip oleh Prawirasumantri (1985:138)
memaparkan hasil penelitian para pakar terhadap bahasa-bahasa di dunia.
Pada dasarnya, wujud morfem bahasa itu ada lima macam, yaitu :

11
a) Morfem berwujud fonem atau urutan fonem segmental.
Berdasarkan hal itu, morfem dapat berwujud sebuah fonem missal: -i atau
lebih dari satu fonem misalnya: ber-, makan, juang. Contoh diatas, merupakan
morfem-morfem bahasa Indonesia.

b) Morfem terdiri atas gabungan fonem segmental dengan suprasegmental


(prosodi).
Sebagai contoh urutan fonem /bottar/ dalam bahasa Batak Toba belum
mengandung pengertian yang penuh atau maknanya masih meragukan. Urutan
fonem tersebut akan jelas apabila ditambah oleh tekanan pada suku pertama
atau kedua, /bóttar/ atau /bottár/. Yang pertama maknanya “darah” sedangkan
yang kedua bermakna “anggur”.

c) Morfem berwujud fonem-fonem prosodi (suprasegmental).


Dalam tuturan, fonem-fonem suprasegmental iniselalu bersama-sama
denganfonem segmental. Apabila ada fonem-fonem segmental bersama-sama
dengan fonem supra segmental maka pengertiannya menjadi rangkap, yakni
fonem-fonem suprasegmental menyatakan konsep atau pengertian yang
lainnya. Morfem-morfem seperti itu banyak terdapat pada bahasa Indian
Amerika dan bahasa-bahasa Afrika, yakni morfem yang berwujud
suprasegmental atau prosodi nada.

d) Morfem berwujud gabungan fonem


suprasegmental(prosodi)dengankesuprasegmentalan (keprosodian) yakni
intonasi atau kalimat.
Yang lazim digunakan pada morfem ini ialah gabungan nada dengan
persendian.

e) Morfem bisa berwujud kekosongan (Tanwujud).


Yang dimaksud dengankekosongan di sini yaitu bahwa morfem tersebut
bermanifestasikan dengan kekosongan yang biasa disebut dengan morfen zero
atau morfem tanwujud yang bisa disimbolkan Ø.

12
4. Jenis-Jenis Morfem
Berdasarkan kriteria tertentu, morfem dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis. Penjenisan ini dapat ditinjau dari dua segi yakni hubungannya
dan distribusinya (Samsuri, 1982:186; Prawirasumantri, 1985:139).

a) Ditinjau dari Hubungannya


Pengklasifikasian morfem dari segi hubungannya, dapat dilihat dari
hubungan struktural dan hubungan posisi.
1) Ditinjau dari Hubungan Struktur
Menurut hubungan strukturnya, morfem dapat dibedakan menjadi tiga
macam yaitu morfem bersifat aditif (tambahan) yang bersifat replasif
(penggantian), dan yang bersifat substraktif (pengurangan).
Morfem yang bersifat aditif yaitu morfem-morfem yang biasa yang pada
umumnya terdapat pada semua bahasa, seperti pada urutan putra, tunggal, -
nya, sakit. Unsur-unsur morfem tersebut tidak lain penambahan yang satu
dengan yang lain.
Morfem yang bersifat replasif yaitu morfem-morfem berubah bentuk atau
berganti bentuk dari morfem asalnya. Perubahan bentuk itu mungkin
disebabkan oleh perubahan waktu atau perubahan jumlah. Contoh morfem
replasif ini terdapat dalam bahasa Inggris. Untuk menyatakan jamak, biasanya
dipergunakan banyak alomorf. Bentuk-bentuk /fiyt/, /mays/, /mεn/ masing-
masing merupakan dua morfem /f…t/, /m…s/, /m…n/ dan /iy ← u/, /ay ←
aw/, /ε/, /æ/. Bentuk-bentuk yang pertama dapat diartikan masing-masing
‘kaki’, ‘tikus’, dan ‘orang’, sedangkan bentuk-bentuk yang kedua merupakan
alomorf-alomorf jamak. Bentuk-bentuk yang kedua inilah yang merupakan
morfem-morfem atau lebih tepatnya alomorf-alomorf yang bersifat
penggantian itu, karena /u/ diganti oleh /iy/ pada kata foot dan feet, /aw/
diganti oleh /ay/ pada kata mouse dan mice, dan /æ/ diganti oleh / ε/ pada kata
man dan men.

13
Morfem bersifat substraktif, misalnya terdapat dalam bahasa Perancis.
Dalam bahasa ini, terdapat bentuk ajektif yang dikenakan pada bentuk betina
dan jantan secara ketatabahasaan.

2) Ditinjau dari Hubungan Posisi


Dilihat dari hubungan posisinya, morfem pun dapat dibagi menjadi tiga
macam yakni ; morfem yang bersifat urutan, sisipan, dan simultan. Tiga jenis
morfem ini akan jelas bila diterangkan dengan memakai morfem-morfem
imbuhan dan morfem lainnya.
Contoh morfem yang bersifat urutan terdapat pada kata berpakaian yaitu /
ber-/+/-an/. Ketiga morfem itu bersifat berurutan yakni yang satu terdapat
sesudah yang lainnya.
Contoh morfem yang bersifat sisipan dapat kita lihat dari kata / telunjuk/.
Bentuk tunjuk merupakan bentuk kata bahasa Indonesia di samping telunjuk.
Kalau diuraikan maka akan menjadi / t…unjuk/+/-e1-/.
Morfem simultan atau disebut pula morfem tidak langsung terdapat pada
kata-kata seperti /k∂hujanan/. /k∂siaηgan/ dan sebagainya. Bentuk /k∂hujanan/
terdiri dari /k∂…an/ dan /hujan/, sedang /kesiangan/ terdiri dari /ke…an/ dan
/siaη/. Bentuk /k∂-an/ dalam bahasa Indonesia merupakan morfem simultan,
terbukti karena bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk /k∂hujan/ atau
/hujanan/ maupun /k∂siaη/ atau /sianaη/. Morfem simultan itu sering disebut
morfem kontinu (discontinous morpheme).

b) Ditinjau dari Distribusinya


Ditinjau dari distribusinya, morfem dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
morfem bebas dan morem terikat.
1) Morfem Bebas
Menurut Santoso (2004), morfem bebas adalah morfem yang
mempunyaipotensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan dapat langsung
membentukkalimat. Dengan demikian, morfem bebas merupakan morfem
yang diucapkantersendiri; seperti: gelas, meja, pergi dan sebagainya.Morfem
bebas sudah termasuk kata.Tetapi ingat, konsep kata tidak hanya morfem

14
bebas, kata juga meliputi semua bentuk gabungan antara morfem terikat
dengan morfem bebas, morfem dasar dengan morfem dasar.Jadi dapat
dikatakan bahwa morfem bebas itu kata dasar.

2) Morfem Terikat
Morfem terikat yaitu morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dalam
tuturan biasa, misalnya : di-, ke-, -i, se-, ke-an. Disamping itu ada bentuk lain
seperti juang, gurau, yang selalu disertai oleh salah satu imbuhan baru dapat
digunakan dalam komunikasi yang wajar.
Samsuri ( 1982:188 )menamakan bentuk-bentuk seperti bunga, cinta,
sawah, dan kerbau dengan istilah akar; bentuk-bentukseperti di-,ke-, -i, se-,
ke-an dengan nama afiks atau imbuhan; dan juang, gurau dengan istilah
pokok.
Sementara itu Verhaar (1984:53)berturut-turut dengan istilah dasar afiks
atau imbuhan dan akar. Selain itu ada satu bentuk lagi seperti belia, renta, siur
yang masing-masing hanya mau melekat pada bentuk muda, tua, dan simpang,
tidak bisa dilekatkan pada bentuk lain. Bentuk seperti itu dinamakan morfem
unik.
Dalam bahasa-bahasa tertentu, ada pula bentuk-bentuk biasanya sangat
pende yang mempunyai fungsi “memberikan fasilitas”, yaitu melekatnya afiks
atau bagi afiksasi selanjutnya. Contoh dalam bahasa Sansekerta, satuan /wad/
‘menulis’ tidak akan dibubuhi afiks apabila tidak didahului dengan
pembubuhan satuan /a/ sehingga terjelma bentuk sekunder atau bentuk kedua
yakni satuan /wada/ yang dapat yang dapat memperoleh akhiran seperti
wadati, wadama. Bentuk /a/ seperti itu disebut pembentuk dasar.
Sehubungan dengan distribusinya, afiks atau imbuhan dapat pula dibagi
menjadi imbuhan terbuka dan tertutup. Imbuhan terbuka yaitu imbuhan yang
setelah melekat pada suatu benda masih dapat menerima kehadiran imbuhan
lain. Sebagai contoh afiks /p∂r/ setelah dibubuhakn pada satuan /b∂sar/
menjadi perbesar /p∂rb∂sar/. Satuan /p∂rb∂sar/ masih menerima afiks lain
seperti /di/ sehingga menjadi /dip∂rb∂sar/. Imbuhan /p∂r/ dinamakan imbuhan
terbuka, karena masih dapat menerima kehadiran afiks /di/. Sedangkan yang

15
dimaksud dengan imbuhan tertutup ialah imbuhan atau afiks yang setelah
melekat pada suatu bentuk tidak dapat menerima kehadiran bentuk lain,
misalnya afiks /di/ setelah melekat pada satuan /baca/ menjadi /dibaca/ tidak
dapat menerima kehadiran afiks lainnya. Afiks /di/ itulah merupakan contoh
afiks atau imbuhan tertutup.

E. Kata Ulang Bahasa Indonesia


Proses perulangan atau reduplikasi adalah pengulangan bentuk,
baikseluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun
tidak.Hasil pengulangan disebut kata ulang, sedangkan bentuk yang
diulangmerupakan bentuk dasar (Ramlan, 1980). Pengulangan merupakan
pula suatuproses morfologis yang banyak terdapat pada bahasa Indonesia.

1. Jenis-jenis Kata Ulang Bahasa Indonesia


Berdasarkan macamnya, menurut Keraf (1978) bentuk perulangan dalam
bahasa Indonesia terdiri atas empat bentuk seperti berikut :
a) Kata ulang suku kata awal (dwipurna).
Dalam bentuk perulangan macam ini, vokal dari suku kata awal
mengalami pelemahan bergeser ke posisi tengah menjadi ê (pepet).
Contoh:
Tangga tetangga
Pohon pepohonan
Laki lelaki
b) Kata ulang murni (dwilingga).
Bentuk kata ulang terjadi dengan mengulang seluruh unsur dasar secara
utuh.Kata ulang seperti ini disebut jugakata ulang utuh. Contoh:
Buku buku-buku
Bangku bangku-bangku
Rumah rumah-rumah
c) Kata ulang yang terjadi atas seluruh suku kata, tetapi pada salah satu
unsurkata ulang tersebut mengalami perubahan bunyi fonem. Kata

16
ulangsemacam ini biasa disebut kata ulang salin suara atau kata ulang
berubahbunyi.Contoh:
Gerak gerak-gerik
Sayur sayur-mayur
Balik bolak-balik
d) Kata ulang yang mendapat imbuhan atau kata ulang berimbuhan.Contoh:
Anak anak-anakan
Main main-mainan
Kuda kuda-kudaan

2. Makna Kata Ulang


Sesuai dengan fungsi perulangan dalam pembentukan jenis kata,
maknastruktural kata ulang menurut Keraf (1978) adalah sebagai berikut :
a) Perulangan mengandung makna banyak yang tak tentu. Perhatikan
contohberikut:
- Kuda-kuda itu berkejaran di padang rumput.
- Buku-buku yang dibelikan kemarin telah dibaca.
b) Perulangan mengandung makna bermacam-macam.Contoh:
- Pohon-pohonan perlu dijaga kelestariannya.
- Daun-daunan yang ada dipekarangan sekolah sudah menumpuk.
- Ibu membeli sayur-sayuran di pasar.
- Harga buah-buahan sekarang sangat murah.
c) Makna lain yang dapat diturunkan dari suatu kata ulang adalah
menyerupaiatau tiruan dari sesuatu.Contoh:
- Anak itu senang bermain kuda-kudaan. (menyerupai atau tiruan kuda)
- Mereka sedang bermain pengantin-pengantinan di pekarangan
rumah.(menyerupai atau tiruan pengantin)
- Andi berteriak kegirangan setelah dibelikan ayam-ayaman.(menyerupai
atau tiruan ayam)
d) Mengandung makna agak atau melemahkan dari.Contoh:
- Perilakunya kebarat-baratan sehingga tidak disenangi oleh teman-
temanya.

17
- Sifatnya masih kekanak-kanakan.
- Mukanya kemerah-merahan.
e) Menyatakan makna intensitas. Makna intensitas terdiri dari:
 Intensitas kualitatif, contohnya:
- Pukullah kuat-kuat.
- Anak itu belajar sebaik-baiknya.
- Burung itu terbang setinggi-tingginya.
- Agar tidak terlambat, ia berjalan secepat-cepatnya.
 Intensitas kuantitatif, contohnya:
- Kuda-kuda itu berlari kencang.
- Anak-anak bermain bola di pekarangan sekolah.
- Ayah membawabuah-buahan dari Malang.
- Rumah-rumah di kampung itu tertata dengan rapi.
 Intensitas frekuentatif. Contoh:
- Iamengeleng-gelengkan kepalanya.
- Iamondar-mandir saja sejak tadi.
- Anak itu menyanyi sambil memukul-mukul meja.
f) Perulangan pada kata kerja mengandung makna saling atau pekerjaan
yangberbalasan.Contoh:
- Kita harus tolong-menolong.
- Tentara sedang tembak-menembak dengan seru.
- Mereka tendang-menendang dan tinju-meninju saat sedang berkelahi.
g) Perulangan pada kata bilangan mengandung makna kolektif.Contoh:
- Anak-anak berbaris dua-dua sebelum masuk kelas.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fonologi adalah
sistem bunyi dalam bahasa Indonesia.Fonologi mencakup dua kajian ilmu,
yaitu fonetik dan fonemis.Morfologi merupakan cabang ilmu bahasa yang
mempelajari seluk-beluk pembentukan kata.
Proses perulangan atau reduplikasi adalah pengulangan bentuk,
baikseluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun
tidak.

B. Saran
Sebagai seorang guru, Pemahaman struktur fonologi danmorfologi bahasa
Indonesia perlu diperluas, karena selain dapat menjadi bekal dalampemakaian
bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-harijuga dapat
bermanfaat dalam pembinaan kemampuan berbahasa siswa.

19
DAFTAR PUSTAKA

http://aristhaserenade.blogspot.com/2011/01/fonologi-morfologi-dan-
sintaksis-bahasa.html

http://hatmanbahasa.wordpress.com/2010/02/16/morfologi-bahasa-indonesia/

http://id.wikibooks.org/wiki/Bahasa_Indonesia/Bunyi

http://lubisgrafura.wordpress.com/2009/01/29/840/

http://mampiroto.blogspot.com/2011/05/makalah-fonologi-diftong.html

http://pbsindonesia.fkip-uninus.org/media.php?module=detailmateri&id=81

http://pbsindonesia.fkip-uninus.org/media.php?module=detailmateri&id=82

http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Mata%20Kuliah%20Awal/
Kajian%20Bahasa%20Indonesia%20SD/BAC/Unit_4_0.pdf

http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&
id=64:pbin4101-linguistik-umum&Itemid=75&catid=30:fkip

http://Rangkuman-Pelajaran.blogspot.com

http://susandi.wordpress.com/seputar-bahasa/fonologi/

http://www.slideshare.net/Rakatajasa/materi-fonologi-bahasa-indonesia

20
Pengertian
Bidang linguistik atau tata bahasa yang mempelajari kata dan proses
pembentukan kata secara gramatikal disebut morfologi. Dalam beberapa
buku tata bahasa, morfologi dinamakan juga tata bentukan.
Satuan ujaran yang mengandung makna (leksikal atau gramatikal) yang
turut serta dalam pembentukan kata atau yang rnenjadi bagian dari kata
disebut morfem.Berdasarkan potensinya untuk dapat berdiri sendiri dalam
suatu tuturan, rnorfem dibedakan atas dua macam yaitu :
morfem terikat, morfem yang tidak mempunyai potensi untuk berdiri
sendiri, sehingga harus selalu hadir dengan rnengikatkan dirinya dengan
modem bebas lewat proses morfologs, atau proses pembentukan kata, dan
morfem bebas, yang secara potensial mampu berdiri sendiri sebagai kata
dan secara gramatikal menduduki satu fungsi dalam kalimat.

Dalam bahasa Indonesia morfem bebas disebut juga kata dasar. Satuan
ujaran seperti buku, kantor, arsip, uji, ajar, kali, pantau, dan liput
rnerupakan modem bebas atau kata dasar; sedang me-, pe-, -an, ke - an, di-,
,swa-, trans-, -logi, -isme merupakan morfem terikat.

Sebuah morfem, jika bergabung dengan morfem lain, seting mengalami


perubahan. Misalnya, morfem terikat me dapat berubah menjadi men-,
mem-, meny-, menge-, dan menge- sesuai dengan lingkungan yang dimasuki.
Variasi modem yang terjadi karena pengaruh lingkungan yang dimasuki
disebut alomor
Proses morfologis adalah proses pembentukan kata dari suatu bentuk dasar
menjadi suatu bentuk jadian. Proses ini , meliputi afiksasi (pengimbuhan),
reduplikasi (pengulangan), dan komposisi (pemajemukan).
Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang ketiga proses morfologis di atas perlu
ditegaskan terlebih dahulu tiga istilah pokok dalam proses ini, Yaitu kata
dasar, bentuk dasar, dan unsur langsung.
Kata dasar :

21
kata yang belum berubah, belum mengalami proses morfologis, baik berupa
proses penambaban imbuhan, proses pengulangan, rnaupun proses
pemajemukan.

Bentuk dasar :
bentuk yang menjadi dasar dalam proses morfologis, dapat benupa kata
dasar, kata berimbuhan, kata ulang, dan dapat pula berupa kata majemuk.

Unsur langsung :
bentuk dasar dan imbuhan yang membentuk kata jadian.
Afiksasi (Penambahan Imbuhan)
Dalam tata bahasa tradisional afiks disebut imbuhan, yaitu morfem terikat
yang dapat mengubah makna gramatikal suatu bentuk dasar. Misalnya me-
dan -kan, di- dan -kan, yang dapat mengubah arti gramatikal seperti arsip
menjadi mengarsipkan, diarsipkan.
Proses penambahan afiks pada sebuah bentuk dasar atau kata dasar imiah
yang disebut afiksasi.
Afiks yang terletak di awal bentuk kata dasar. seperti ber-, di-; ke-, me-, se-,
pe-, per-, ter-, pre-, swa-,adalah prefiks atau awalan.
Yang disisipkan di dalam sebuah kata dasar, seperfi -em, -er-, -el-, di-sebut
infiks atau sisipan.
Yang terletak di akhir kata dasar, seperti -i -an, -kan, -isme, -isasi, -is, -if dan
lain-lain dinamakan sufiks atau akhiran.
Gabungan prefiks dan sufiks yang membenluk satu kesatuan dan bergabung
dengan kata dasarnya secara serentak seperti :
ke-an pada kata keadilan, kejujuran, kenakalan, keberhasilan,
kesekretarisan, pe-an seperti pada kata pemberhentian, pendahuluan,
penggunaan, penyatuan, dan
per-an sebagaimana dalam kata pertukangan, persamaan, perhentian,
persatuan dinamakan konfiks.
Ingat, karena konfiks sudah membentuk satu kesaman, maka harus tetap
dihitung satu morfem. Jadi kata pemberhentian dihitung tiga morfem,

22
bukan empat, Bentuk dasarnya henti, satu morfem, mendapat prefiks ber-,
satu morfem, dan mendapat konfiks pe-an yang juga dihitung Satu morfem,
maka semuanya tiga morfem.
Fungsi dan Arti Afiks
Tidak semua afiks dibicarakan di sini. Yang akan dibahas hanya afiks-afiks
yang memiliki frekuensi kemunculan dalam soal-soal tinggi.
Prefiks me-,
berfungsi membentuk kata kerja atau verba. Prefiks ini mengandung arti
struktural.
'melakukan tindakan seperti tersebut dalam kata dasar' contoh:
menari, melompat, mengarsip, menanam, menulis, mencatat.
'membuat jadi atau menjadi' contoh :
menggulai, menyatai, menjelas, meninggi, menurun, menghijau, menua
mengerjakan dengan alat' contoh :
mengetik, membajak, mengail mengunci, mengetam
berbuat seperti atau dalam keadaan sebagai' contoh: membujang, menjanda,
membabi buta
mencari atau mengumpulkan' contoh :
mendamar, merotan.
dll.
Prefiks ber,
berfungsi membentuk kata kerja (biasanya dari kata benda, kata sifat, dan
kata kerja sendiri) Prefiks ini mengandung arti :
'mempunyai' contoh :
bernama, beristri, beruang, berjanggut
'memakai' contoh :
berbaju biru, berdasi, berbusana.
melakukan tindakan untuk diri sendiri (refleksif)' contoh : berhias,
bercukur, bersolek
'berada dalam keadaan' contoh :
bersenang-senang, bermalas-malas, berpesta-ria, berleha-leha.
'saling', atau 'timbal-balik' (resiprok) contoh :

23
bergelut, bertinju bersalaman, berbalasan.
dll.
Prefiks pe-, berfungsi membentuk kata benda.(dan kata kerja, kata sifat, dan
kata benda sendiri). Prefiks ini mendukung makna gramatikal :
'pelaku tindakan seperti tersebut dalam kata dasar contoh : penguji,
pemisah, pemirsa, penerjemah, penggubah, pengubah, penatar, penyuruh,
penambang.
'alat untuk me...' contoh :
perekat, pengukur, penghadang, penggaris
'orang yang gemar' contoh :
penjudi, pemabuk, peminum, pencuri pecandu, pemadat.
'orang yang di ...' contoh :
petatar, pesuruh.
'alat untuk ...' contoh :
perasa, penglihat, penggali.
dll.
Prefiks per-, befungsi membentuk kata kerja imperatif. Mengandung arti :
'membuat jadi' (kausatif) contoh: perbudak, perhamba, pertuan.
'membuat Iebih' contoh. pertajam, perkecil, perbesar, perkuat
`menbagi jadi' contoh: pertiga, persembilan dll.
Prefiks di-, berfungsi membentuk kata kerja, dan menyatakan makna pasif,
contoh :
diambil, diketik, ditulis, dijemput, dikelola.
Prefiks ter-, berfungsi membentuk kata kerja (pasif) atau kata sifat. Arti
yang dimiliki antara lain ialah :
' dalam keadaan di ' contoh :
terkunci, terikat, tertutup, terpendam, tertumpuk, terlambat.
' dikenai tindakan secara tak sengaja ', contoh :
tertinju, terbawa, terpukul.
' dapat di- ', contoh :
terangkat, termakan, tertampung.
' paling (superlatif) ', contoh :

24
terbaik, terjauh, terkuat, termahal, terburuk.
dll.
Prefiks ke-, berfungsi membentuk kata bilangan tingkat dan kata bilangan
kumpulan, kata benda, dan kata kerja.

Sebagai pembentuk kata benda, prefiks ke- bermakna gramatikal 'yang di ...
i', atau 'yang di ... kan', seperti pada kata kekasih dan ketua.
Sufiks -an, berfungsi membentuk kata benda.
Prefiks ini mengandung arti :
' hasil ' atau ' akibat dari me- ' contoh :
tulisan, ketikan, catatan, pukulan, hukuman, buatan,tinjauan, masukan.
' alat untuk melakukan pekerjaan ' contoh :
timbangan, gilingan, gantungan.
' setiap ' contoh :
harian, bulanan, tahunan, mingguan.
' kumpulan ', atau ' seperti ', atau ' banyak ' contoh :
lautan, durian, rambutan.
dll.
Konfiks ke-an, berfungsi membentuk kata benda abstrak, kata sifat, dan
kata kerja pasif. Konfiks ini bermakna :
' hal tentang ' contoh :
kesusastraan, kehutanan, keadilan, kemanusiaan, kemasyarakatan,
ketidakmampuan, kelaziman.
' yang di...i ' contoh :
kegemaran ' yang digemari ', kesukaan ' yang disukai ', kecintaan ' yang
dicintai '..
' kena ', atau ' terkena ' contoh :
kecopetan, kejatuhan, kehujanan, kebanjiran, kecolongan.
' terlalu 'contoh :
kebesaran, kekecilan, kelonggaran, ketakutan.
' seperti ' contoh :
kekanak-kanakan, kemerah-merahan.

25
dll.
Konfiks pe-an, berfungsi membentuk kata benda. Arfi konfiks ini di
antaranya ialah :
' proses ' contoh :
pemeriksaan ' proses memeriksa ',
penyesuaian ' proses menyesuaikan ',
pelebaran ' proses melebarkan '.
' apa yang di- ' contoh :
pengetahuan ' apa yang diketahui ',
pengalaman ' apa yang dialami ' ,
pendapatan ' apa yang didapat '
dll.

Konfiks per-an, befungsi membentuk kata benda. Arti konfiks ini ialah :
' perihal ber- ' contoh :
persahabatan ' perihal bersahabat ',
perdagangan ' perihal berdagang ',
perkebunan ' perihal berkebun ',
pertemuan ' perihal bertemu '.
' tempat untuk ber- ' contoh :
perhentian, perburuan persimpangan, pertapaan.
' apa yang di ' contoh :
pertanyaan, perkataan.
dll.
Afiks Produktif dan Afiks Improduktif
Afiks produktif ialah afiks yang mampu menghasilkam terus dan dapat
digunakan secara teratur membentuk unsur-unsur baru.
Yang termasuk afiks produktif ialah :
me-, di-, pe-, ber-, -an, -i, pe-an, per- an, dan ke-an.
Sedangkan yang termasuk afiks improduktif ialah :
sisipan -el-, -em-, er-, atau akhiran -wati,

26
Afiks Serapan
Untuk memperkaya khazanah bahasa Indonesia, kita menyerap unsur-unsur
dari bahasa daerah dan bahasa asing. Conloh afiks serapan :
dwi- :
dwlingga, dwipurwa, dwiwarna, dwipihak, dwifungsi.
pra- :
praduga, prasangka, prasejarah, prasarana, prakiraan, prasaran, prabakti,
prasetia, prawacana, prakata.
swa- :
swalayan. swadesi, swasembada, swapraja, swatantra, swadaya, swasta.
awa- :
awamang, awagas, awabau, awaracun, awalengas.
a-, ab- :
asusila, amoral, ateis, abnormal.
anti- :
antipati, antiklimaks, antitoksin, antihama, antiseptik
homo- :
homogen, homoseks, homofon, homonim, homograf, homorgan.
auto- : autodidak, autokrasi, autobiografi, automobil, autonomi.
hipo- :
Hiponim,hipotesis, hipokrit, hipovitaminosis.
poli- :
polisemi, poligami, poliandri, polisilabis, poliklinik
sin- :
sintesis, sinonim, sintaksis, sinkronis, simpati, simposium
tele- :
telepon, telegraf, telegram, telepati, teleskop, teleks.
trans- :
transaksi, transisi, transportasi, transkripsi, transmisi, transliterasi,
transfirmasi, transmigrasi,transfer, transitif.
inter- :

27
interaksi, interelasi, interupsi, internasional, intersuler, intermeso, interlokal,
dan lain - lain.
isasi- :
modernisasi, tabletisasi, pompanisasi, kuningisasi, dan lain-lain

Reduplikasi (Pengulangan
Reduplikasi adalah proses pembentukan kata dengan cara mengulang
bentuk dasar. Ada beberapa macam reduplikasi, sebagai berikut :
Kata ulang penuh, yaitu yang diperoleh dengan mengulang seluruh bentuk
dasar ; ada dua. macam :
Yang bentuk dasarnya sebuah morfem bebas, disebut dwilingga :
ibu-ibu, buku-buku, murid-murid
Yang bentuk dasarnya kata berimbuhan :
ujian-ujian, kunjungan-kunjungan, persoalan-persoalan
Dwipurwa, yang terjadi karena pengulangan suku pertama dari bentuk
dasarnya :
reranting, lelaki, leluhur, tetangga, kekasih, lelembut

Di antara dwipurwa ada yang mendapat akhiran, seperti kata ulang


pepohonan, rerumputan, dan tetanaman.
Dwilingga salin suara adalah dwilingga yang mengalami perubahan bunyi :
sayur-mayur, mondar-mandir, gerak-gerik, bolak-baliki,seluk-beluk,
compang-camping, hingar-bingar, hiruk-pikuk, ramah-tamah, serba-serbi,
serta-merta, dan lain-lain.
Kata ulang berimbuhan :
berjalan-jalan, anak-anakan, guruh-gem uruh, rias-merias, tulis-menulis,
berbalas-balasan, kekanak-kanakan, mengulur-ulur, meraba-raba,
menjulur-julurkan, dan lain-lain.
Kata ulang semu ( bentuk ini sebenarnya merupakan kata dasar, jadi bukan
hasil pengulangan atau redupikasi ) :

28
laba-laba, ubur-ubur, undur-undur, kupu-kupu, dan empek-empek
Arti Reduplikasi
Reduplikasi menyatakan arti antara lain sebagai berikut:
'Jamak'
Murid-murid berkumpul di halaman sekolah. Di perpusatakaan terdapat
buku-buku pelajaran.
'intensitas kualitatif'
Anto menggandeng tangan Anti erat-erat. Baju yang dijual di toko itu
bagus-bagus.
'intensitas kuantitatif'
Berjuta-juta penduduk Bosnia menderita akibat perang berkepanjangan.
Kapal itu mengangkut beratus-ratus peti kemas.
'intensitas frekuentatif'
Orang itu berjalan mondar-mandir. Pada akhir bulan ini ayah pergi-pergi
saja. Berkali-kali anak itu dimarahi ibunya.
'melemahkan'
Warna bajunya putih kehijau-hijauan. Wati tersenyum kemalu-maluan
melihat calon mertuanya datang.
'bermacam-macam'
Pepohonan menghiasi puncak bukit itu. lbu membeli buah-buahan. Sayur-
mayur dijual di pasar itu.
'menyerupai'
Tingkah laku orang itu kekanak-kanakan. Orang-orangan dipasang di
tengah sawah. Adik bermain mobil-mobilan.
'resiproks (saling)'
Mereka tolong-menolong menggarap ladang. Kedua anak itu berpukul-
pukulan setelah cekcok mulut
'dalam keadaan'
Dimakannya singkong itu mentah-mentah. Pada zaman jahiliyah banyak
orang dikubur hidup-hidup.
'walaupun meskipun'
Kecil-kecil, Mang Memet berani juga melawan perampok itu.

29
'perihal'
Ibu-ibu PKK di Kampung Bugis menyelenggarakan kursus masak-memasak
dan jahit-menjahit. Sekretatis di kantor kami bukan hanya menangani
surat-menyurat, tetapi juga pembukuan dan daftar gaji pegawai.
'seenaknya, semaunya atau tidak serius'
Saya melihat tiga orang remaja duduk-duduk di hawah pohon Kerjanya
hanya tidur-tiduran saja. Adik membaca-baca majalah di kamar.
'tindakan untuk bersenang-senang'
Mereka makan-makan di restoran tadi malam
Komposisi
Komposisi ialah proses pembentukan kata majemuk atau kompositum. Kata
majemuk ialah gabungan kata yang telah bersenyawa atau membentuk satu
kesatuan dan menimbulkan arti baru, contoh : kamar mandi, kereta api,
rumah makan, baju tidur.
Gabungan kata yang juga membentuk satu kesatuan, tetapi tidak
menimbulkan makna baru disebut frase, contoh: sapu ijuk, meja itu, kepala
botak, rambut gondrong, mulut lebar.
Jenis kata Majemuk
Kata majemuk setara, yang masing-masing unsurnya berkedudukan sama,
contoh :
tua muda, laki bini, tegur sapa, besar kecil, ibu bapak, tipu muslihat dan
baik buruk
Kata majemuk bertingkat, yaitu yang salah satu unsurnya menjelaskan
unsur yang lain. Jenis kata majemuk itu bersifat endosentris, yakni salah
satu unsurnya dapat mewakili seluruh konstruksi, contoh :
kamar mandi, sapu tangan, meja gambar, dan meja tulis.
Kelas Kata
Kata ialah satuan bahasa terkecil yang mengandung arti, baik arti leksikal
maupun arti gramatikal, dan yang dapat berdiri sendiri serta dapat
dituturkan sebagai bentuk bebas.

30
Ada dua jenis kata: kata dasar, yakni kata yang belum mengalami proses
morfologis, dan kata jadian, yakni kata yang sudah mengalami proses
morfologis.
Yang termasuk kata jadian ialah kata berimbuhan, kata ulang, dan kata
majemuk.
Kata dasar sering juga dinamakan kata tunggal, yaitu kata yang hanya
terdiri atas satu morfem, sedangkan kata Jadian yang terdiri atas beberapa
morfem, disebut juga kata kompleks.
Kelas kata ialah pengelompokan kata berdasarkan perilaku atau sifat kata
tersebut dalam kalimat. Kata-kata yang memiliki sifat atau perilaku sama
dikelompokkan dalam satu kelas kata. Misalnya:
la tidak belajar. Ia bukan pelajar. Ia agak tinggi.
Ia tidak membaca. Ia bukan pemalas. Ia lebih tinggi.
la tidak bekerja. Ia bukan guru. Ia paling tinggi.
Kata belajar, membaca, bekerja mempunyai perilaku sama, dan karena itu
ketiga kata tersebut dikelompokkan menjadi satu kelas kata. Sebaliknya
kata pelajar berbeda dari kata belajar; terbukti bahwa kata pelajar tidak
dapat ditempatkan setelah kata tidak. Selanjutnya kata belajar maupun
pelajar berbeda dari kata tinggi; terbukti bahwa kedua kata itu tidak dapat
didahului oleh kata agak, lebih atau paling.
Berdasarkan perilakunya seperti di atas, kata belajar, membaca, dan
bekerja dikelompokkan ke dalam satu kelas kata kerja. Kata pelajar,
pemalas, guru digolongkan ke dalam kelas kata benda. Sedang kata-kata
yang sama dengan kata tinggi dikelompokkan menjadi satu kelas kata sifat.
Selain ketiga kelas tersebut terdapat kelas lain, yakni kelas kata tugas .
Kata Benda
Kata benda disebut juga nomina (substantiva), yaitu semua kata yang dapat
diterangkan atau yang diperluas dengan frase yang + kata sifat. Misalnya :
bunga yang indah,
sekretaris yang terampil,
guru yang bijaksana,
siswa yang cendekia,

31
Tuhan yang Maha Esa,
udara yang segar,
persoalan yang rumitl,
perjanjian yang gagal,
keadilan yang rapuh.
Semua kata yang tercetak miring adalah nomina.
Dalam sebuah wacana, sering kata benda diganti kedudukannya oleh kata
yang lain. Misalnya:

"Kemarin Amir, mengatakan kepada Hendro dan Herman bahwa Amir


akan menemui Hendro dan Herman di tempat yang sama".

yang sering dan lebih wajar jika dituturkan kembali menjadi:

"Kemarin Amir mengatakan kepada Hendro dan Herman bahwa dia akan
menemui mereka di tempat yang sama'.

Kata dia yang menggantikan Amir dan mereka yang menggantikan Hendro
dan Herman adalah kata ganti atau pronomina.

Dalam tata bahasa tradisional kata benda dibedakan atas:


Kata benda abstrak,seperti kejujuran.
Kata benda konkret, misalnya gedung.
Kata benda nama diri, yang huruf awalnya selalu ditulis dengan huruf
kapital, misalnya Amir Kata benda kumpulan, seperti regu, masyarakat, tim,
kelas, keluarga.
Selanjutnya kata ganti juga dibedakan atas beberapa subkelas :
Kata ganti orang : dia, mereka, engkau, saudara, anda.
Kata ganti tunjuk : ini, itu.
Kata ganti hubung: yang, tempat, serta.
Kata ganti tanya : apa, siapa, kapan, berapa.
Kata Kerja

32
adalah Semua kata yang dapat diperluas atau dijelaskan dengan frase
dengan + kata sifat, misalnya :
membaca dengan lancar,
belajar dengan sungguh-sungguh,
berpakaian dengan rapi,
makan dengan lahap,
berjalan dengan santai,
tidur dengan nyenyak,

Kata kerja atau verba dibedakan atas :


Kata kerja transitif,
yaitu kata kerja yang memadukan objek, contoh :
membeli, memikirkan, mengutarakan, membahas, menertawakan,
memahami, menanamkan.

Antara verba transitif dengan objek langsung tidak boleh disela oleh
preposisi atau kata depan. Jadi bentuk ujaran seperti : "Panitia
membicarakan tentang keuangan" tidak benar atau rancu. Kalimat di atas
dapat dibakukan dengan menghilangkan kata tentang.

Kata kerja transitif ganda,


ialah kata kerja yang memerlukan objek dua, contoh: membelikan, dan
membawakan dalam kalimat
a. Ayah membelikan adik sepeda mini;
b. Kakak membawakan kakek barang bawaannya.
Kata kerja intransitif, ialah kata kerja yang tidak memerlukan objek, contoh
:
berlari, berdiri, tertawa, menyanyi, merokok, melamun.
Kata kerja reflektif,

33
yang menyatakan tindakan untuk diri sendiri, contoh :
bersolek, berhias, bercukur, bercermin, mengaca.
Kata kerja resiproks,
yang menunjukkan tindakan atau perbuatan berbalasan atau menyatakan
makna saling, contoh :
bergelut, berpandangan, bergandengan, bertinju, pukul-memuku,l surat-
suratan, senggol-senggolan.

Sehubungan dengan kata kerja ini, kita sering membuat kesalahan dengan
menambahkan kata saling di depan kata kerja ini, misalnya:
saling tolong-menolong, saling bergandengan, saling bertinju.

Semua bentuk pengungkapan tersebut salah atau rancu, dan dapat


dibetulkan dengan menghilangkan kata saling, atau mengubah menjadi
saling menolong, saling menggandeng, saling meninju.
Kata kerja instrumental,
yang menunjuk sarana perbuatan :
mengetik, bermotor, bersepeda, membajak, dan mengetam.
Kata kerja aktif,
yang subjeknya melakukan tindakan seperti yang dimaksud. Biasanya
berawalan me- atau ber-, contoh :
menyanyi, mengungkit, berdebat, dan bermalam.
Kata kerja pasif,
yang subjeknya menjadi sasaran dari tindakan dimaksud. Biasanya
berawalan di-, ter- dan berimbuhan ke- an. contoh :
dibahas, diminati, diulang, terpukul, tertindas, kecopetan.

Kata kerja yang menduduki fungsi predikat disebut kata kerja finit
(predikatif), sedang kata kerja yang berfungsi nominal atau berfungsi
sebagai kata benda, yang menduduki fungsi subjek atau objek, dinamakan
kata kerja infinit (substantiva). Misalnya dalam kalimat :

34
Belajar itu penting dan la belalar membaca. Belajar dan membaca adalah
verba lnfinit.
Kata Sifat
Semua kata yang dapat diperluas dengan kata lebih, paling, sangat, atau
mengambil bentuk se-reduplikasi-nya, adalah kata sifat. Kata ini disebut
juga adjektiva, contoh :

lebih cermat, agak membosankan, sangat cantik, semahal-mahalnya


lebih bijaksana, paling enak, sangat mahal, sebaik-baiknya
lebih bahagia, tua sekali, sangat pandai, sejelek-jeleknya
paling menarik, cantik sekali, kurang berharga, seteliti-telitinya

Kata sifat dikatakan berfungsi atributif jika digunakan untuk menjelaskan


kata benda, dan kata sifat tersebut bersama-sama dengan kata bendanya
membentuk frase nominal. Jika digunakan sebagai predikat sebuah kalimat
ia dikatakan berfungsi predikatif Perhatikan contoh berikut :

(1) Mahasiswa baru itu sedang mengikuti penataran P4.


(2) Buku itu baru.

Kata baru dalam kalimat (1) berfungsi atributif, sedangkan dalam kalimat
(2) berfungsi predikatif.
Kata Tugas
Kata yang berfungsi total, memperluas atau mentransformasikan kalimat
dan tidak dapat menduduki jabatan-jabatan utama dalam kalimat, seperti
kata dan, di, dengan, dll. dikelompokkan ke dalam kelas kata tugas. Yang
termasuk kata tugas ialah :

(1) Kata depan atau preposisi : di, ke, dari


(2) Kata hubung atau konjungsi : dan, atau, karena, dengan
(3) Kata sandang atau artikula : si, sang, para, kaum
(4) Kata keterangan atau adverbia : sangat, selalu, agak, sedang,

35
secepat-cepatnya

1. Ciri - ciri Kata Tugas


Tidak dapat berdiri sendiri sebagai tuturan yang bebas.
Tidak, pernah mendapat imbuhan atau mengalami afiksasi.
Perhatikan, kata ke, dari, di, tetapi, telah, akan, dsb., tidak mengalami
afiksasi !
Berfungsi menyatakan makna gramatikal kalimat. Sebuah kalimat akan
berubah artinya jika kata tugasnya diganti dengan kata tugas yang lain.
Perhatikan contoh di bawah ini :
Herman sedang mandi
Herman sudah mandi
Herman belum mandi
Herman akan mandi
Herman selalu mandi
Herman pernah mandi
Jumlah kata tugas hampir tidak, berkembang karena sifat keanggotaannya
tertutup. Ini berbeda sekali dengan kata benda, kata kerja atau kata sifat
yang terus berkembang dan diperkaya oleh kata-kata baru.
2. Fungsi Kata Tugas

Fungsi kata tugas ialah untuk menperluas atau menyatakan hubungan


unsur-unsur kalimat dan menyatakan makna gramatikal atau arti struktural
kalimat tersebut. Secara terinci kata tugas berfungsi untuk menunjukkan
hubungan :
arah : di, ke, dati
pelaku perbuatan : oleh
penggabungan : dan, lagi, pula, pun, serta, tambahan
kelangsungan : sedang, akan, sudah, belum, pernah, sesekali
waktu : ketika, tatkala, selagi, waktu, saat, sejak
pemilihan : atau
pertentangan : tetapi, padahal, namun, walaupun, meskipun, sedangkan

36
pembandingan : seperti, sebagai, penaka, serasa, ibarat, bagai, daripada,
mirip, persis
persyaratan : jika, asalkan,kalau,jikalau,sekiranya, seandainya, seumpama,
asal
sebab : sebab, karena, oleh karena
akibat : hingga, sehingga, sampai-sampai, sampai, akibatnya
pembatasan : hanya, saja, melulu, sekadar, kecuali
pengingkaran : bukan, tidak, jangan
peniadaan : tanpa
penerusan : maka, lalu, selanjutnya, kemudian
penegasan : bahwa, bahwasanya, memang
derajat : agak, cukup, kurang, lebih, amat, sangat, paling
tujuan : agar, biar, supaya, untuk
peningkatan : makin, semakin, kian, bertambah
penyangsian : agaknya, kalau-kalau, jangan-jangan
pengharapan : moga-moga, semoga, mudah-mudahan, sudilah
orangan : sang, si, yang, para, kaum
menjelaskan : ialah, adalah, yaitu, yakni, merupakan
Kata tugas yang menyatakan hubungan arah di dan ke, yang merupakan
kata yang penuh berdiri sendiri dan dipisahkan dari kata yang mengikuti,
sering dikacaukan dengan prefiks di- dan ke- yang harus digabung dengan
bentuk dasarnya.

Perhatikan perbedaan berikut:


di sini , ke sini, ditulisi, kedua
di sana, ke samping, dikemukakan, kegemaran
di dalam, ke luar daerah, dikelilingi, kekasih
di bawah, ke Surabaya, dikeluarkan, kedalaman
di luar kota, ke utara, diutarakan, keringanan
FONOLOGI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa fonologi
adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi – bunyi bahasa

37
menurut fungsinya. Dengan demikian fonologi adalah merupakan sistem
bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatakan bahwa fonologi
adalah ilmu tentang bunyi bahasa.
Fonologi dalam tataran ilmu bahasa dibagi dua bagian, yakni:
1. Fonetik
Fonetik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi – bunyi bahasa yang
dihasilkan alat ucap manusia, serta bagaimana bunyi itu dihasilkan.
Macam –macam fonetik :
a. fonetik artikulatoris yang mempelajari posisi dan gerakan bibir, lidah dan
organ-organ manusia lainnya yang memproduksi suara atau bunyi bahasa
b. fonetik akustik yang mempelajari gelombang suara dan bagaimana
mereka didengarkan oleh telinga manusia
c. fonetik auditori yang mempelajari persepsi bunyi dan terutama
bagaimana otak mengolah data yang masuk sebagai suara

2. Fonemik
Fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi – bunyi bahasa yang
berfungsi sebagai pembeda makna.
Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat
dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu
dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki
kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang manakah yang dapat
mempunyai fungsi untuk membedakan arti.

B. FONEM
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya
satuan memiliki fungsi untuk membedakan makna. Fonem tidak dapat
berdiri sendiri karena belum mengandung arti.

38
Fonemisasi adalah usaha untuk menemukan bunyi-bunyi yang berfungsi
dalam rangka pembedaan makna tersebut.
Fonem sebuah istilah linguistik dan merupakan satuan terkecil dalam
sebuah bahasa yang masih bisa menunjukkan perbedaan makna. Fonem
berbentuk bunyi.Misalkan dalam bahasa Indonesia bunyi [k] dan [g]
merupakan dua fonem yang berbeda, misalkan dalam kata "cagar" dan
"cakar". Tetapi dalam bahasa Arab hal ini tidaklah begitu. Dalam bahasa
Arab hanya ada fonem /k/.
Sebaliknya dalam bahasa Indonesia bunyi [f], [v] dan [p] pada dasarnya
bukanlah tiga fonem yang berbeda. Kata provinsi apabila dilafazkan sebagai
[propinsi], [profinsi] atau [provinsi] tetap sama saja.
Fonem tidak memiliki makna, tapi peranannya dalam bahasa sangat penting
karena fonem dapat membedakan makna. Misalnya saja fonem [l] dengan
[r]. Jika kedua fonem tersebut berdiri sendiri, pastilah kita tidak akan
menangkap makna. Akan tetapi lain halnya jika kedua fonem tersebut kita
gabungkan dengan fonem lainnya seperti [m], [a], dan [h], maka fonem [l]
dan [r] bisa membentuk makna /marah/ dan /malah/. Bagi orang Jepang
kata marah dan malah mungkin mereka anggap sama karena dalam bahasa
mereka tidak ada fonem [l].
Terjadinya perbedaan makna hanya karena pemakaian fonem /b/ dan /p/
pada kata tersebut. Contoh lain: mari, lari, dari, tari, sari, jika satu unsur
diganti dengan unsur lain maka akan membawa akibat yang besar yakni
perubahan arti.

MORFOLOGI
Adalah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa
sebagai satuan gramatikal
Morfologi mempelajari seluk beluk bentuk serta fungsi
perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi
semantik
Jenis-jenis Morfem

39
Berdasarkan criteria tertentu, kita dapat mengklasifikasikan morfem
menjadi berjenis-jenis. Penjenisan ini dapat ditinjau dari dua segi yakni
hubungannya dan distribusinya (Samsuri, 1982:186; Prawirasumantri,
1985:139). Agar lebih jelas, berikut ini sariannya.

1) Ditinjau dari Hubungannya


Pengklasifikasian morfem dari segi hubungannya, masih dapat kita
lihat dari hubungan struktural dan hubungan posisi.

a) Ditinjau dari Hubungan Struktur


Menurut hubungan strukturnya, morfem dapat dibedakan menjadi
tiga macam yaitu morfem bersifat aditif (tambahan) yang bersifat replasif
(penggantian), dan yang bersifat substraktif (pengurangan).
Morfem yang bersifat aditif yaitu morfem-morfem yang biasa yang
pada umumnya terdapat pada semua bahasa, seperti pada urutan putra,
tunggal, -nya, sakit. Unsur-unsur morfem tersebut tidak lain penambahan
yang satu dengan yang lain.
Morfem yang bersifat replasif yaitu morfem-morfem berubah bentuk
atau berganti bentuk dari morfem asalnya. Perubahan bentuk itu mungkin
disebabkan oleh perubahan waktu atau perubahan jumlah. Contoh morfem
replasif ini terdapat dalam bahasa Inggris. Untuk menyatakan jamak,
biasanya dipergunakan banyak alomorf. Bentuk-bentuk /fiyt/, /mays/, /mεn/
masing-masing merupakan dua morfem /f…t/, /m…s/, /m…n/ dan /iy ← u/,
/ay ← aw/, /ε/, /æ/. Bentuk-bentuk yang pertama dapat diartikan masing-
masing ‘kaki’, ‘tikus’, dan ‘orang’, sedangkan bentuk-bentuk yang kedua
merupakan alomorf-alomorf jamak. Bentuk-bentuk yang kedua inilah yang
merupakan morfem-morfem atau lebih tepatnya alomorf-alomorf yang
bersifat penggantian itu, karena /u/ diganti oleh /iy/ pada kata foot dan feet,
/aw/ diganti oleh /ay/ pada kata mouse dan mice, dan /æ/ diganti oleh / ε/
pada kata man dan men.
Morfem bersifat substraktif, misalnya terdapat dalam bahasa
Perancis. Dalam bahasa ini, terdapat bentuk ajektif yang dikenakan pada

40
bentuk betina dan jantan secara ketatabahasaan. Perhatikanlah bentuk-
bentuk berikut !
Betina
/mov εs/
/fos/
/bon/
/sod/
/ptit/
Jantan
/mov ε/
/fo/
/bo/
/so/
/pti/
Arti
buruk
palsu
baik
panas
kecil
Bentuk-bentuk yang ‘bersifat jantan’ adalah ‘bentuk betina’ yang dikurangi
konsonan akhir. Jadi dapat dikatakan bahwa pengurangan konsonan akhir
itu merupakan morfem jantan.
b) Ditinjau dari Hubungan Posisi
Dilihat dari hubungan posisinya, morfem pun dapat dibagi menjadi
tiga macam yakni ; morfem yang bersifat urutan, sisipan, dan simultan. Tiga
jenis morfem ini akan jelas bila diterangkan dengan memakai morfem-
morfem imbuhan dan morfem lainnya.
Contoh morfem yang bersifat urutan terdapat pada kata berpakaian yaitu /
ber-/+/-an/. Ketiga morfem itu bersifat berurutan yakni yang satu terdapat
sesudah yang lainnya.

41
Contoh morfem yang bersifat sisipan dapat dilihat dari kata / telunjuk/.
Bentuk tunjuk merupakan bentuk kata bahasa Indonesia di samping
telunjuk. Kalau diuraikan maka akan menjadi / t…unjuk/+/-e1-/.
Morfem simultan atau disebut pula morfem tidak langsung terdapat pada
kata-kata seperti /k∂hujanan/. /k∂siaηgan/ dan sebagainya. Bentuk
/k∂hujanan/ terdiri dari /k∂…an/ dan /hujan/, sedang /kesiangan/ terdiri dari
/ke…an/ dan /siaη/. Bentuk /k∂-an/ dalam bahasa Indonesia merupakan
morfem simultan, terbukti karena bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk
/k∂hujan/ atau /hujanan/ maupun /k∂siaη/ atau /sianaη/. Morfem simultan
itu sering disebut morfem kontinu ( discontinous morpheme ).

2) Ditinjau dari Distribusinya


Ditinjau dari distribusinya, morem dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu morfem bebas dan morem ikat. Morfem bebas ialah morfem yang
dapat berdiri dalam tuturan biasa , atau morfem yang dapat berfungsi
sebagai kata, misalnya : bunga, cinta, sawah, kerbau. Morfem ikat yaitu
morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, misalnya : di-,
ke-, -i, se-, ke-an. Disamping itu ada bentuk lain seperti juang, gurau, yang
selalu disertai oleh salah satu imbuhan baru dapat digunakan dalam
komunikasi yang wajar. Samsuri ( 1982:188 )menamakan bentuk-bentuk
seperti bunga, cinta, sawah, dan kerbau dengan istilah akar; bentuk-
bentukseperti di-,ke-, -i, se-, ke-an dengan nama afiks atau imbuhan; dan
juang, gurau dengan istilah pokok. Sementara itu Verhaar
(1984:53)berturut-turut dengan istilah dasar afiks atau imbuhan dan akar.
Selain itu ada satu bentuk lagi seperti belia, renta, siur yang masing-masing
hanya mau melekat pada bentuk muda, tua, dan simpang, tidak bisa
dilekatkan pada bentuk lain. Bentuk seperti itu dinamakan morfem unik.

SINTAKSIS
Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti “dengan”
dan kata tattein yang berarti “menempatkan”. Jadi, secara etimologi berarti:

42
menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau
kalimat.
STRUKTUR SINTAKSIS
Secara umum struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P),
objek (O), dan keterangan (K) yang berkenaan dengan fungsi sintaksis.
Nomina, verba, ajektifa, dan numeralia berkenaan dengan kategori sintaksis.
Sedangkan pelaku, penderita, dan penerima berkenaan dengan peran
sintaksis.
Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata,
dan intonasi; bisa juga ditambah dengan konektor yang biasanya disebut
konjungsi. Peran ketiga alat sintaksis itu tidak sama antara bahasa yang satu
dengan yang lain.

KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS


Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata berperan sebagai pengisi fungsi
sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan perangkai dalam penyatuan
satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.
Kata sebagai pengisi satuan sintaksis, harus dibedakan adanya dua macam
kata yaitu kata penuh dan kata tugas. Kata penuh adalah kata yang secara
leksikal mempunyai makna, mempunyai kemungkinan untuk mengalami
proses morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat berdiri sendiri
sebagai sebuah satuan. Yang termasuk kata penuh adalah kata-kata kategori
nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan numeralia.
Kata tugas adalah kata yang secara leksikal tidak mempunyai makna, tidak
mengalami proses morfologi, merupakan kelas tertutup, dan di dalam
peraturan dia tidak dapat berdiri sendiri. Yang termasuk kata tugas adalah
kata-kata kategori preposisi dan konjungsi

FRASE

43
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa
gabungan kata yang bersifat nonpredikatif (hubungan antara kedua unsur
yang membentuk frase tidak berstruktur subjek - predikat atau predikat -
objek), atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi
sintaksis di dalam kalimat.

KLAUSA

Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata


berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen,
berupa kata atau frase, yang berungsi sebagai predikat; dan yang lain
berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan

KALIMAT

Dengan mengaitkan peran kalimat sebagai alat interaksi dan


kelengkapan pesan atau isi yang akan disampaikan, kalimat didefinisikan
sebagai “ Susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap
”. Sedangkan dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih
kecil (kata, frase, dan klausa) bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang
disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi
dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.

MORFOLOGI

A. Pengertian Morfologi

Morfologi adalah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasasebagai

satuan gramatikal. Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-
perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Atau dengan kata lain dapat dikatakan

44
bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk
kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsisemantik. (http://id.wikipedia.org/wiki/linguistik).

Kata Morfologi berasal dari kata morphologie. Kata morphologie berasal dari bahasa Yunani

morphe yang digabungkan dengan logos. Morphe berarti bentuk dan dan logos berarti ilmu. Bunyi

[o] yang terdapat diantara morphed an logos ialah bunyi yang biasa muncul diantara dua kata yang

digabungkan. Jadi, berdasarkan makna unsur-unsur pembentukannya itu, kata morfologi berarti
ilmu tentang bentuk.

Dalam kaitannya dengan kebahasaan, yang dipelajari dalam morfologi ialah bentuk kata. Selain itu,

perubahan bentuk kata dan makna (arti) yang muncul serta perubahan kelas kata yang disebabkan

perubahan bentuk kata itu, juga menjadi objek pembicaraan dalam morfologi. Dengan kata lain,

secara struktural objek pembicaraan dalam morfologi adalah morfem pada tingkat terendah dan
kata pada tingkat tertinggi.

Itulah sebabnya, dikatakan bahwa morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk kata

(struktur kata) serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap makna (arti) dan kelas
kata.

B. Morfem

1. Pengertian Morfem
Morfem adalah suatu bentuk bahasa yang tidak mengandung bagian-bagian yang mirip dengan
bentuk lain, baik bunyi maupun maknanya. (Bloomfield, 1974: 6).

Morfem adalah unsur-unsur terkecil yang memiliki makna dalam tutur suatu bahasa (Hookett dalam

Sutawijaya, dkk.). Kalau dihubungkan dengan konsep satuan gramatik, maka unsur yang dimaksud
oleh Hockett itu, tergolong ke dalam satuan gramatik yang paling kecil.

Morfem, dapat juga dikatakan unsur terkecil dari pembentukan kata dan disesuaikan dengan

aturan suatu bahasa. Pada bahasa Indonesia morfem dapat berbentuk imbuhan. Misalnya kata
praduga memiliki dua morfem yaitu /pra/ dan /duga/. Kata duga merupakan kata dasar

penambahan morfem /pra/ menyebabkan perubahan arti pada kata duga.

(http://id.wikipedia.org/wiki/linguistik).

Berdasarkan konsep-konsep di atas di atas dapat dikatakan bahwa morfem adalah satuan gramatik
yang terkecil yang mempunyai makna, baik makna leksikal maupun makna gramatikal.

45
Kata memperbesar misalnya, dapat kita potong sebagai berikut

mem-perbesar

per-besar

Jika besar dipotong lagi, maka be- dan –sar masing-masing tidak mempunyai makna. Bentuk
seperti mem-, per-, dan besar disebut morfem. Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar,

dinamakan morfem bebas, sedangkan yang melekat pada bentuk lain, seperti mem- dan per-,

dinamakan morfem terikat. Contoh memperbesar di atas adalah satu kata yang terdiri atas tiga

morfem, yakni dua morfem terikat mem- dan per- serta satu morfem bebas, besar.

2. Morf dan Alomorf


Morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah
nama untuk sebuah bentuk yang belum diketahui statusnya (misal: {i} pada kenai); sedangkan

alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui statusnya (misal [b¶r], [b¶], [b¶l]
adalah alomorf dari morfem ber-. Atau bias dikatakan bahwa anggota satu morfem yang wujudnya

berbeda, tetapi yang mempunyai fungsi dan makna yang sama dinamakan alomorf. Dengan kata

lain alomorf adalah perwujudan konkret (di dalam penuturan) dari sebuah morfem. Jadi setiap

morfem tentu mempunyai almorf, entah satu, dua, atau enam buah. Contohnya, morfem meN-

(dibaca: me nasal): me-, mem- men-, meny-, meng-, dan menge-. Secara fonologis, bentuk me-

berdistribusi, antara lain, pada bentuk dasar yang fonem awalnya konsonan /I/ dan /r/; bentuk

mem- berdistribusi pada bentuk dasar yang fonem awalnya konsonan /b/ dan juga /p/; bentuk men-
berdistribusi pada bentuk dasar yang fonem awalnya /d/ dan juga /t/; bentuk meny- berdistribusi

pada bentuk dasar yang fonem awalnya /s/; bentuk meng- berdistribusi pada bentuk dasar yang

fonem awalnya, antara lain konsonan /g/ dan /k/; dan bentuk menge- berdistribusi pada bentuk

dasar yang ekasuku, contohnya {menge}+{cat}= mengecat. Bentuk-bentuk realisasi yang berlainan
dari morfem yang sama tersebut disebut alomorf.

3. Prinsip-prinsip Pengenalan Morfem


Untuk mengenal morfem secara jeli dalam bahasa Indonesia, diperlukan petunjuk sebagai

pegangan. Ada enam prinsip yang saling melengkapi untuk memudahkan pengenalan morfem
(Lihat Ramlan, 1980), yakni sebagai berikut:

3.1 Prinsip pertama

46
Bentuk-bentuk yang mempunyai struktur fonologis dan arti atau makna yang sama merupakan satu
morfem.

membaca kemanusiaan

Contoh:

baca ke-an

pembaca kecepatan

bacaan kedutaan

membacakan kedengaran

Karena struktur fonologis dan Satuan tersebut walaupun

maknanya sama, maka satuan struktur fonologisnya sama,

tersebut merupakan morfem bukan merupak morfem

yang sama. yang sama karena makna gramatikalnya berbeda.

3.2 Prinsip Kedua

Bentuk-bentuk yang mempunyai struktur fonolis yang berbeda, merupakan satu morfem apabila

bentuk-bentuk itu mempunyai arti atau makna yang sama, dan perbedaan struktur fonologisnya

dapat dijelaskan secara fonologis. Perubahan setiap morf itu bergantung kepada fonem awal
morfem yang dilekatinya.

Contoh:

mem – : membawa

meN-

47
men - : menulis

meny - : menyisir

meng - : menggambar

me- : melempar

Perubahan setiap morf itu bergantung kepada fonem awal morfem yang dilekatinya.

3.3 Prinsip Ketiga

Bentuk-bentuk yang mempunyai struktur ontologis yang berbeda, sekalipun perbedaannya tidak

dapat dijelaskan secara fonologis, masih dapat dianggap sebagai satu morfem apabila mempunyai
makna yang sama, dan mempunyai distribusi yang komplementer. Perhatikan contoh berikut:

ber- : berkarya, bertani, bercabang

bel- : belajar, belunjur

be- : bekerja, berteriak, beserta

Kedudukan afiks ber- yang tidak dapat bertukar tempat itulah yang disebut distribusi komplementer.

3.4 Prinsip Keempat

Apabila dalam deretan struktur, suatu bentuk berpararel dengan suatu kekosongan, maka
kekosongan itu merupakan morfem, ialah yang disebut morfem zero.

Misalnya:

1. Rina membeli sepatu

2. Rina menulis surat

3. Rina membaca novel

4. Rina menggulai ikan

5. Rina makan pecal


6. Rina minum susu

Semua kalimat itu berstruktur SPO. Predikatnya tergolong ke dalam verba aktif transitif. Lau pada

kalimat a, b. c, dan d, verba aktif transitif tersebut ditandai oleh meN-, sedangkan pada kalimat e

48
dan f verba aktif transitif itu ditandai kekosongan (meN- tidak ada), kekosongan itu merupakan
morfem, yang disebut morfem zero.

3.5 Prinsip Kelima

Bentuk-bentuk yang mempunyai struktur fonologis yang sama mungkin merupakan satu morfem,

mungkin pula merupakan morfem yang berbeda. Apabila bentuk yang mempunyai struktur
fonologis yang sama itu berbeda maknanya, maka tentu saja merupakan fonem yang berbeda.

Contoh:

1. a. Jubiar membeli buku

b. Buku itu sangat mahal

1. a. Juniar membaca buku

b. Juniar makan buku tebu

Satuan buku pada kalimat 1. a dan 1. b merupakan morfem yang sama karena maknanya sama.

Satuan buku pada kalimat kalimat 2. a dan 2. b bukanlah morfem yang sama karena maknanya
berbeda.

3.6 Prinsip Keenam

Setiap bentuk yang tidak dapat dipisahkan merupakan morfem. Ini berarti bahwa setiap satuan

gramatik yang tidak dapat dipisahkan lagi atas satuan-satuan gramatik yang lebih kecil, adalah
morfem. Misalnya, satuan ber- dan lari pada berlari, ter- dan tinggi padatertinggi tidak dapat

dipisahkan lagiatas satuan-satuan yang lebih kecil. oleh karena itu,ber-, lari, ter, dan tinggi adalah

morfem.

4. Klasifikasi Morfem

4.1 Morfem Bebas dan Morfem Terikat

Morfem ada yang bersifat bebas dan ada yang bersifat terikat. Dikatakan morfem bebas karena ia
dapat berdiri sendiri, dan dikatakan terikat jika ia tidak dapat berdiri sendiri.

Misalnya:

49
1. Morfem bebas – “saya”, “buku”, dsb.
2. Morfem terikat – “ber-“, “kan-“, “me-“, “juang”, “henti”, “gaul”, dsb.

4.2 Morfem Segmental dan Morfem Supra Segmental

Morfem segmental adalah morfem yang terjadi dari fonem atau susunan fonem segmental.

Sebagai contoh, morfem {rumah}, dapat dianalisis ke dalam segmen-segmen yang berupa fonem

[r,u,m,a,h]. Fonem-fonem itu tergolong ke dalam fonem segmental. oleh karena itu, morfem
{rumah} tergolong ke dalam jenis morfem segmental.

Morfem supra segmental adalah morfem yang terjadi dari fonem suprasegmental. Misal, jeda
dalam bahasa Indonesia. Contoh:

1. bapak wartawan bapak//wartawan


2. ibu guru ibu//guru

4.3 Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tak Bermakna Leksikal

Morfem yang bermakna leksikal merupakan satuan dasar bagi terbentuknya kata. morfem yang

bermakna leksikal itu merupakan leksem, yakni bahan dasar yzng setelah mengalami pengolahan

gramatikal menjadi kata ke dalam subsistem gramatika. Contoh: morfem {sekolah}. berarti ‘tempat
belajar’.

Morfem yang tak bermakna leksikal dapat berupa morfem imbuhan, seperti {ber-}, {ter-}, dan {se-}.

morfem-morfem tersebut baru bermakna jika berada dalam pemakaian. Contoh: {bersepatu} berarti
‘memakai sepatu’.

4.4 Morfem Utuh dan Morfem Terbelah

Morfem utuh merupakan morfem-morfem yang unsur-unsurnya bersambungan secara langsung.


Contoh: {makan}, {tidur}, dan {pergi}.

Morfem terbelah morfem-morfem yang tidak tergantung menjadi satu keutuhan. morfem-morfem itu

terbelah oleh morfem yang lain. Contoh: {kehabisan} dan {berlarian} terdapat imbuhan ke-an atau

{ke….an} dan imbuhan ber-an atau {ber….an}. contoh lain adalah morfem{gerigi} dan {gemetar}.

Masing-masing morfem memilki morf /g..igi/ dan /g..etar/. Jadi, ciri terbelahnya terletak pada

morfnya, tidak terletak pada morfemnya itu sendiri. morfem itu direalisasikan menjadi morf terbelah

jika mendapatkan sisipan, yakni morfem sisipan {-er-} pada morfem {gigi} dan sisipan {-em-} pada
morfem {getar}.

50
4.5 Morfem Monofonemis dan Morfem Polifonemis

Morfem monofonemis merupakan morfem yang terdiri dari satu fonem. Dalam bahasa Indonesia
pada dapat dilihat pada morfem {-i} kata datangi atau morfem{a} dalam bahasa Inggris pada seperti
pada kata asystematic.

Morfem polifonemis merupakan morfem yang terdiri dari dua, tiga, dan empat fonem. Contoh,

dalam bahasa Inggris morfem {un-} berarti ‘tidak’ dan dalam bahasa Indonesia morfem {se-} berarti
‘satu, sama’.

4.6 Morfem Aditif, Morfem Replasif, dan Morfem Substraktif

Morfem aditif adalah morfem yang ditambah atau ditambahkan. kata-kata yang mengalami afiksasi,

seperti yang terdapat pada contoh-contoh berikut merupakan kata-kata yang terbentuk dari morfem
aditif itu.

1. mengaji 2. childhood

berbaju houses

Morfem replasif merupakan morfem yang bersifat penggantian. dalam bahasa Inggris, misalnya,
terdapat morfem penggantian yang menandai jamak. Contoh: {fut} à {fi:t}.

Morfem substraktif adalah morfem yang alomorfnya terbentuk dari hasil pengurangan terhadap
unsur (fonem) yang terdapat morf yang lain. Biasanya terdapat dalam bahasa Perancis.

C. Proses Morfologis

Proses morfologis dapat dikatakan sebagai proses pembentukan kata dengan menghubungkan

morfem yang satu dengan morfem yang lain yang merupakan bentuk dasar (Cahyono, 1995: 145).

Dalam proses morfologis ini terdapat tiga proses yaitu: pengafiksan, pengulangan atau reduplikasi,
dan pemajemukan atau penggabungan.

1. Pengafiksan
Bentuk (atau morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata disebut afiks atau imbuhan (Alwi

dkk., 2003: 31). Pengertian lain proses pembubuhan imbuhan pada suatu satuan, baik satuan itu

berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata (Cahyono, 1995:145).
Contoh:

51
1. Berbaju

2. Menemukan

3. Ditemukan
4. Jawaban.

Bila dilihat pada contoh, berdasarkan letak morfem terikat dengan morfem bebas pembubuhan

dapat dibagi menjadi empat, yaitu pembubuhan depan (prefiks), pembubuhan tengah (infiks),
pembubuhan akhir (sufiks), dan pembubuhan terbelah (konfiks).

2. Reduplikasi

Reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun sebagian, baik
disertai variasi fonem maupun tidak (Cahyono, 1995:145).

Contoh: berbulan-bulan, satu-satu, seseorang, compang-camping, sayur-mayur.

3. Penggabungan atau Pemajemukan


Proses pembentukan kata dari dua morfem bermakna leksikal (Oka dan Suparno, 1994:181).

Contoh:

1. Sapu tangan
2. Rumah sakit

4. Perubahan Intern
Perubahan intern adalah perubahan bentuk morfem yang terdapat dalam morfem itu sendiri.

Contoh: dalam bahasa Inggris

Singular plural
Foot Feet

Mouse mice

5. Suplisi

52
Suplisi adalah proses morfologis yang menyebabkan adanya bentuk sama sekali baru.

Contoh: dalam bahasa Inggris

Go went

sing sang

6. Modifikasi kosong

Modifikasi kosong ialah proses morfologis yang tidak menimbulkan perubahan pada bentuknya
tetapi konsepnya saja yang berubah.

Contoh: read- read-read

D. Proses Morfofonemik

Proses perubahan fonem sebuah morfem yang digunakan untuk mempermudah ucapan.

Contoh:

Perubahan prefiks meng-

- meng + asah = mengasah

- meng + lihat = melihat

- menga + datangkan = mendatangkan

- meng + terjemah = menerjemahkan

- meng + patuhi = mematuhi

E. Proses morfemis menurut Verhaar

1. Afiksasi adalah pengimbuhan afiks


2. Prefix adalah imbuhan di sebelah kiri bentuk dasar.

Contoh: mengajar

53
1. Sufiks adalah imbuhan di sebelah kanan bentuk dasar

Contoh: ajarkan

1. Infiks adalah imbuhan yang disisipkan dalam kata dasar

Contoh: gerigi

1. Konfiks adalah imbuhan dan akhiran pada sebuah bentuk dasar

Contoh: perceraian

1. Fleksi adalah afiksasai yang terdiri atas golongan kata yang sama

Contoh: mengajar – diajar

3. Derifasi adalah afiksasi yang terdiri atas golongan kata yang tidak sama

Contoh: mengajar – pengajar

1. Klitika adalah morfem pendek yang tidak dapat diberi aksen atau tekanan melekat pada kata

atau frasa lain dan meiliki arti yang tidak mudah untuk dideskripsikan secara leksikal, serta
tidak melekat pada kelas kata tertentu.

Contoh: -pun, -lah

sekalipun

apalah

F. Kata

1. Hakikat Kata

Para linguis yang sehari-hari bergelut dengan kata ini, hingga dewasa ini, kiranya tidak pernah

mempunyai kesamaan pendapat mengenai konsep apa yang di sebut dengan kata itu. Satu

masalah lagi mengenai kata ini adalah mengenai kata sebagai satuan gramatikal. Menurut verhaar

(1978) bentuk-bentuk kata bahasa Indonesia, misalnya: mengajar, di ajar, kauajar, terjar, dan

ajarlah bukanlah lima buah kata yang berbeda, melainkan varian dari sebuah kata yang sama.

54
Tetapi bentuk-bentuk, mengajar, pengajar, pengajaran, dan ajarlah adalah lima kata yang
berlainan.

Kata adalah satuan terkecil dari kalimat yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna. Kata-

kata yang terbentuk dari gabungan huruf atau morfem baru kita akui sebagai kata bila bentuk itu
sudah mempunyai makna. (Lahmudin Finoza).

Kata ialah morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil

yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas. (Kridalaksana). Perhatikan kata-kata di bawah
ini.

1. Mobil

2. Rumah

3. Sepeda

4. Ambil

5. Dingin
6. Kuliah.

Keenam kata yang kita ambil secara acak itu kita akui sebagai kata karena setiap kata mempunyai

makna. Kita pasti akan meragukan, bahkan memastikan bahwa adepes, libma, ninggib,
haklab bukan kata dari bahasa Indonesia karena tidak mempunyai makna.

Dari segi bentuknya kata dapat dibedakan atas dua macam, yaitu (1) kata yang bermofem tunggal,

dan (2) kata yang bermorfem banyak. Kata yang bermorfem tunggal disebut juga kata dasar atau

kata yang tidak berimbuhan. Kata dasar pada umumnya berpotensi untuk dikembangkan menjadi

kata turunan atau kata berimbuhan. Perhatikan perubahan kata dasar menjadi kata turunan dalam
tabel di bawah ini.

2. Pembentukan Kata

Pembentukan kata ini mempunyai dua sifat, yaitu membentuk kata-kata yang inflektif, dan kedua

yang bersifat derivatif. Apa yang dimaksud dengan inflektif dan derivatif akan dibicarakan berikut
ini.

1). Inflektif

Kata-kata dalam bahasa-bahasa berfleksi, seprti bahasa arab, bahasa latin, bahasa sansekerta,

untuk dapat digunakan di dalam kalimat harus disesuaikan dulu bentuknya dengan kategori-
kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa itu.

55
2). Derifatif

Pembentukan kata secara derivatif adalah membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnya

tidak sama dengan kata dasarnya, contoh dalam bahasa indonesia dapat diberikan, misalnya, dari
kata air yang berkelas nomina dibentuk menjadi mengairi yang berkelas verba: dari kata makan
yang berkelas verba dibentuk kata makanan yang berkelas nomina.

Tabel 1

Perubahan Kata Dasar Menjadi Kata Turunan

yang Mengandung Berbagai Arti

Kata
Das Pelaku Proses Hal/Tempat Perbuatan Hasil
ar
Asuh pengasuh pengasuhan perbuatan mengasuh asuhan

baca pembaca pembacaan percetakan membaca bacaan

bangun pembangun pembangunan peredaran membangun bangunan

buat pembuat pembuatan perpotongan membuat buatan

cetak pencetak pencetakan persapuan mencetak cetakan

edar pengedar pengedaran mengedar edaran

potong pemotong pemotongan memotong potongan

sapu penyapu penyapuan menyapu sapuan

tulis penulis penulisan menulis tulisan

ukir pengukir pengukiran mengukir ukiran.

Dalam tabel 1 itu terlihat perubahan kata dasar menjadi kata turunan selain mengubah bentuk, juga

mengubah makna. Selanjutnya, perubahan makna mengakibatkan perubahan jenis atau kelas
kata.

56
Ada dua cabang utama linguistik yang khusus menyangkut kata yaitu etimologi, studi
tentang asal usul kata, dan semantik atau ilmu makna, studi tentang makna kata. Di antara kedua
ilmu itu, etimologi sudah merupakan disiplin ilmu yang lama mapan (established), sedangkan
semantik relatif merupakan hal yang baru.

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign).
“Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun
1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik
yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu,
kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari
tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).

Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bumyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep
atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Menurut Ogden dan Richards (1923),
dalam karya klasik tentang “teori semantik segi tiga” , kaitan antara lambang, citra mental atau
konsep, dan referen atau objek dapat dijelaskan dengan gambar dan uraian sebagai berikut.

Citra mental/konsep buku

<!–[if mso & !supportInlineShapes & supportFields]> SHAPE \* MERGEFORMAT <![endif]–>

<!–[if mso & !supportInlineShapes & supportFields]> <![endif]–>

Lambang [b-u-k-u] Referen/objek

Gambar 1. Segi tiga makna

Makna kata buku adalah konsep buku yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan
dengan kata buku. Gambar di samping menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa dan konsep
terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan referen atau objeknya tidak
berhubungan langsung

(digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan
tanda bahasa yang melambangkannya.

Dalam analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya maka, analisis suatu bahasa
hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.
Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air
dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi

57
kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga berarti daging
yang digunakan sebagai lauk.

2. Hakikat Makna

Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah
’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de
Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie,
Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan
(signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi.
Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari
fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur
bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya
merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa(ekstralingual).

‘makna’ yang diartikan

Tanda
linguistik

referen

[bunyi] yang mengartikan

Yang menandai (intralingual)


yang
ditandai (ekstralingual)

Dalam bidang semantik istilah yang biasa digunakan untuk tanda-linguistik itu adalah leksem, yang
lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan bermakna (Harimurti, 1982:98).
Sedangkan istilah kata,yang lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri
yang dapat terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem (Harimurti, 1982:76) adalah istilah
dalam bidang gramatika. Dalam makalah ini kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian yang
sama.

Yang perlu dipahami adalah tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di dunia
nyata. Misalnya leksem seperti agama, cinta, kebudayaan, dan keadilan tidak dapat ditampilkan
referennya secara konkret. Di dalam penggunaannya dalam pertuturan, yang nyata makna kata

58
atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep
dasarnya dan juga dari acuannya. Misal kata buaya dalam kalimat (1).

(1). Dasar buaya, ibunya sendiri ditipunya.

Oleh karena itu, kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada
dalam konteks kalimatnya. Makna sebuah kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada
di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Contoh, seorang setelah memeriksa buku
rapor anaknya dan melihat angka-angka dalam buku rapor itu banyak yang merah, berkata kepada
anaknya dengan nada memuji.

(2). ”Rapormu bagus sekali, Nak!”

Jelas, dia tidak bermaksud memuji walaupun nadanya memuji. Dengan kalimat itu dia sebenarnya
bermaksud menegur tau mungkin mengejek anaknya itu.

3. Jenis Makna

Menurut Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang.
Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal,
berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya
makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah
kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan
maknanya dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu
berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif,
kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya.

3.1 Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari leksikon
adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan
kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan
demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem,
atau bersifat kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai
dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang
sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994). Umpamanya kata tikus makna
leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus.
Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal
akibat serangan hama tikus.

Makna leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal
berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna
gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses
afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada
kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan
dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal
’tidak sengaja’.

3.2 Makna Referensial dan Nonreferensial

59
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari
kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh
kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak
mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata
yang bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang
disebut ’meja’. Sebaliknya kata karenatidak mempunyai referen, jadi kata karena termasuk kata
yang bermakna nonreferensial.

3.3 Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif lazim
diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan,
penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini
menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering disebut
sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer, 1994). Umpama kataperempuan dan wanita kedua kata itu
mempunyai dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.

Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”, baik
positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi
dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu.
Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang
konotasinya positif.

3.4 Makna Kata dan Makna Istilah

Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru
menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya.
Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan,
meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks.
Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan
tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh berikut

(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.

(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.

Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bermakna sama.
Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna yang berbeda.Tangan bermakna
bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan lenganadalah bagian dari pergelangan
sampai ke pangkal bahu.

3.5 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud
dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks
atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang
biasa dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna
denotatif, dan makna referensial.

60
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya
hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, katamelati berasosiasi
dengan sesuatu yang suci atau kesucian.

3.6 Makna Idiomatikal dan Peribahasa

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna unsur-unsurnya,
baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari idiom adalah bentuk membanting
tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan makna ’pengadilan’.

Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari
makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai
peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing dengan kucingyang bermakna ’dikatakan ihwal
dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya
anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.

3.7 Makna Kias

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti
sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak
merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai
arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang dalam arti
’matahari’.

4. Relasi Makna

disebut relasi makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan beberapa
wujud relasi makna.

4.1 Sinonimi

Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa
kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan
puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang
bersinonim bersifat dua arah. Namun, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak
seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.

4.2 Antonimi dan Oposisi

Secara semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya berupa
kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari
makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang berantonimi dengan kataburuk;
kata besar berantonimi dengan kata kecil.

Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam batasan di
atas, Verhaar menyatakan ”…yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain” Jadi,
hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.

61
Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi,
maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang bersifat kontras
saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan;
tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.

4.3 Homonimi, Homofoni, dan Homografi

Homonimi adalah ‘relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya
berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan
yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu
(makanan) yang berhomografi dengan kata tahu (paham), sedang kata masa (waktu) berhomofoni
dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).

4.4 Hiponimi dan Hipernimi

Hiponimi adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna
generis, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang’.
Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan kucing, kambing, dan kuda
berhiponimi dengan binatang. Bunga merupakan superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek,
mawar, dan tulip, sedangkan binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.

4.5 Polisemi

Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki
makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1)
bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan
merupakan hal yang penting atau terutama seperti padakepala susu, kepala meja, dan kepala
kereta api; (3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala
paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah,
kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat Setiap kepala
menerima bantuan Rp 5000,-.; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi
kepalanya kosong.

4.6 Ambiguitas

Ambiguitas atau ketaksaab sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti.
Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase
atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya
frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi
sejarah zaman baru.

4.7 Redundansi

Istilah redundansi sering diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam
suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih, maknanya tidak akan berubah
bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap
sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.

4.8 Meronimi

62
Meronimi adalah ’relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi karena relasi maknanya
bersifat hierarkis, namun tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi merupakan relasi makna
bagian dengan keseluruhan’. Contohnya adalah atap bermeronimi denganrumah.

4.9 Makna Asosiatif

Makna asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata
tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan pengalaman seseorang.
Oleh karena itu, makna asosiatif terutama dikaji bidang psikolinguistik. Makna denotatif villa adalah
’rumah peristirahatan di luar kota’. Selain makna denotatif itu, bagi kebanyakan orang Indonesia
villa juga mengandung makna asosiatif ’gunung’, ’alam’, ’pedesaan’, ’sungai’, bergantung pada
pengalaman seseorang.

4.10 Makna Afektif

Makna afektif berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau membaca kata tertentu.
Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Kata jujur, rendah hati, dan bijaksana
menimbulkan makna afektif yang positif, sedangkan korupsi dan kolusi menimbulkan makna afektif
yang negatif.

4.11 Makna Etimologis

Makna etimologis berbeda dengan makna leksikal karena berkaitan dengan asal-usul kata dan
perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis suatu kata mencerminkan
perubahan yang terjadi dengan kata tertentu. Melalui perubahan makna kata, dapat ditelusuri
perubahan nilai, norma, keadaan sosial-politik, dan keadaan ekonomi suatu masyarakat.

Sosiolinguistik merupakan gabungan dari dua disiplin keilmuan; sosiologi dan


lingustik. Tujuan dari sosiolinguistik sendiri untuk memecahkan dan mengatasi
masalah-masalah dalam masyarakat, khususnya dalam kebahasaan. Baik secara
mikrolinguistik maupun makrolinguistik. De saussure (1916) menyatakan, bahasa
adalah satu lembaga kemsyarakatan, yang sama dengan kemasyarakatan lain,
seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya. Oleh karena itu,
masyarakat sendiri sebagai pelaku dalam bahasa memberikan warna tersendiri,
bahkan memunculkan ragam bahasa pada bahasa itu sendiri.
Dapat kita tarik kesimpulan bahwa sosiolinguistik dapat didefinisikan;
1. Sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai bahasa, serta hubungan
antara para bahasawan dengan ciri dan fungsi variasi bahasa itu di dalam
suatu masyarakat bahasa ( Kridalaksana 1978: 94)
2. Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan (Nababan 1984:2)
Tahun 1964 diadakan konferensi pertama sosiolinguistik yang diadakan di
University of california, Los Angeles. Dari pertemuan itu di temukan 7 dimensi
masalah dalam sosiolinguistik.
 1. Identitas sosial dari penutur
 2. Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
 3. Lingkungan sosial tempat peristiea tutur tejadi
 4. Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial
 5. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk ujaran

63
 6. Tingkat variasi dan ragam linguistik
 7. Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Ketujuh bagian di atas sangat urgen untuk di ketahui sebelum memasaki bagian-
bagian lain dalam linguistik.
Pengetahuan akan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan dalam berkomunikasi dan
berinteraksi dengan orang lain (masyarakat); ragam bahasa, bahasa apa yang harus
kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu, dengan anak-anak, ayah,
kakek dan dengan teman sepergaualan, mana bahasa yang di pakai buat ujaran
komunikasi, dan mana bahasa yang digunakan dalam sebuah punulisan buku.
Tentu antara semua itu mempunyai penggunaan bahasa yang berbeda. Termasuk
pula kita akan mengetahui etika dalam berbahasa, kapan menggunaan kata saya,
aku, kamu, anda dalam skrup internal.

BAB 2 KOMUNIKASI BAHASA

Setelah kita mengetahui fungsi dari sebuah bahasa. Tidaklah kita berhenti sampai
disitu saja, pada hakikatnya bahasa adalah sebuah sistem lambang, berupa bunyi,
bersifat arbiter, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.

Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu di bentuk oleh komponen-
kompenen yang berpola secara tetap dan dapat di kaidahkan. Namun, sebagai
sebuah sistem, bahasa selain bersifat sistematis juga bersifat sistemis. Dengan
sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun menurut pola tertentu, tidak secara
tersusun secara acak atau sembarangan. Sedangkan sistemis artinya sistem bahasa
itu bukan meruapakan sebuah sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah
subsistem mprfologi, subsistem sintaksis, dan subsistem leksikon.

Sistem bahasa yang dibicarakn di atas adalah berupa lambang-lambang dalam


bentuk bunyi; makna dan konsep. Seperti lambang basaha yang berbunyi “Kuda”
melambangkan konsep atau makna ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa
dikendarai.’ Lambang bunyi bahasa bersifat arbiter. Artinya, hubungan antara
lambang dengan yang dilambangkannnya tidak bersifat wajib, bisa berubah, dan
tidak dapat dijelaskan mengapa lambang lambang tersebut mengonsepi makna
tertentu. Namun, meskipun lambang itu bersifat arbiter, pun bersifat konvensional.
Artinya setiap penutur bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan
dangan yang limabngkan, seperti kasus kuda yang telah kita bicarakan.

Selain itu, bahasa juga bersifat produktif. Dengan sejumlah unsur yang terbatas,
namun dapat di buat satuan-sautan dan ujaran-ujaran yang hampir tidak terbatas.
Kasus seperti ini bisa kita jumpai dalam kamus bahasa Indonesia. 23.000 kata
dalam kamus tersebut dalam di buat beratus-ratus juta lagi. Bahasa juga bersifat
dinamis, maksudnya, selalu berubah-berubah sesuai kurun waktu dan kejadian-
kejadian pada waktu itu. Selian itu, jumlah penutur dan pengguna yang berbeda
juga bersifat heterogen dan mempunyai latar belakang yang berbeda, maka pada
akhirnya bahasa itu sendirimempunyai banyak ragam; Surabaya, Jogja,
Banyumas, Pekalongan, walau secara keseluruhan daerah tersebut menggunakan

64
bahasa jawa, namun bahasa jawa yang di gunakan mempunyai perbadaan. Dan
bahasa bersifat manusiawai, alat komunikasi yang verbal hanya dimiliki manusia.
Dalam konsep sisolinguistik, bahasa adalah alat, berfungsi untuk menyampaikan
pikiran, lebih luasnya (Fishman: 1973) fungsi bahasa dapat dilihat dari sudut
penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.
 1. Dari sudut penutur bahasa bersifat pribadi, si penutur menyatakan sikap
terhadap apa yang dituturkannya.
 2. Dari sudut pendengar, bahasa bersifat rediktif(mengatur tingkah laku
pendengar) yaitu si pendengar melakukan kegiatan sesuai dengan yang dimaui
si pembicara.
 3. Dilihat dari sudut topik ujaran, bahasa sebagai refsensial maksudnya
untuk membicarakan objek peristiwa yang terjadi di sekeliling penutur.
 4. Sedangkan bahasa dari kode yang digunakan berfungsi metalinguistik,
yakni bahasa digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri., seperti
masalah ekonomi, politik, dsb.
 5. Dan yang terakhir bahasa dari segi amanat, untuk menyampaikan
pikiran, gagasan dan perasaan; baik yang sebenarnya atau yang sekedar
imajinasi.
Sebagai mana yang kita ketahui, bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi.
Komunikasi adalah proses pertukaran informasi anatara individual melalui
simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum.
Ada tiga komponen yang harus ada dalam berkomunikasi. 1. Pihak yang
berkomunikasi. 2. Informasi yang dikomunikasikan. 3. Alat yang digunakan
dalam komunikasi. Pihak yang berkomunkiasi minimal terdiri dari dua orang
1. Sender (pengirim informasi) 2. Receiver (penerima informasi). Sedangkan
inrofmasi bisa berupa ide, gagasan, keterangan, dsb. Alat yang digunakan
dapat berupa gambar, petunjuk, juga bisa gerak tubuh (kinesik).

Dalam komunikasi bahasa, terdapat dua macam komunikasi; searah, dan


komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim tetap sebagai
pengirim dan si penerima tetap menjadi penerima. Sifat dari komunikasi
searah lebih pada pemberitahuan, cotohnya sepeti Khutbah di mesjid gereja
tanpa melakukan tanya jawab. Sedangkan komunikasi dua arah, si pengirim
bisa menjadi penerima, pun si penerima bisa jadi pengirim. Contohnya dalam
rapat, diskusi, perundingan, dsb.

Sebagai alat komunikasi, bahasa itu sendiri terdiri dari dua aspek, yaitu
aspek lingustik, dan aspeknonlinguistik. Aspek linguistik mencakup tataran
fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung
terbentuknya yang akan di sampaikan, yaitu semantik (makna, gagasan, ide,
konsep). Adapun nonlinguistik mencakup. 1. Kualitas ujaran,
seperti falseto (suara tinggi), stacatto (suara terputus-putus) dsb. 2. Unusr
supra segmental yaitu tekanan (stres), nada (pitch) dan intonasi. 3. Jarak dan
gerak-gerik tubuh. 4. Rabaan, yang berkenaan dengan indra perasa.

65
Sebagai manusia, tentu kita berbeda dari hewan dari berbagai aspek, walau
mempunyai kesamaan yaitu mengeluarkan bunyi. Disini manusia mempunyai
banyak keistimewaan, diataranya:
 1. Bahsa itu mengunakan jalur vokal auditif.
 2. Partisipan dalam komunikasi bahasa dapat saling berkomunikasi.
 3. Lambang bahasa itu menjadi umpan balik yang lengkap.
 4. Lambang-lambang bunyi dalam komunikasi bahasa adalah bermakna
atau merujuk pada hal-hal tertentu.
 5. Hubungan antara lambang bahasa dengan maknanya bukan di tentukan
oleh adanya suatu ikatan antara keduanya; tetapi ditentukan oleh suatu
persetujuan atau konvensi di antara penutur suatu bahasa.
 6. Bahasa sebagai alat komunikasi manusia dapat dipisahkan menjadi unit
satuan-satuan, yakni kalimat, kata, morferm, dan fonem.
 7. Kepandai dan kemahiran untuk menguasai aturan-aturan dan kebiasaan-
kebiasaan berbahasa manusia diperoleh dari belajar, bukan melalui gen-gen
yang di bawa sejak lahir.
 8. Basaha dapat digunakan untuk menyatak yang benar dan tidak benar,
atau jug ayang tidak bermakna secara logika.
 9. Dll.

BAB 3 BAHSA DAN MASYARAKAT

Bahasa hidup dalam lingkungan masyarakat sebagai alat komunikasi. Demikikan


pula bahasa yang hidup dalam masyarakat mempunyia ragam yang berbeda, dan
tentunya bahasa manusia mempunyia keistimewaan-keistimewaan yang telah kita
kaji.

Bahasa dalam masyakat itu sendiri sebagai tutur. Namun disini harus kita kaji
bahasa dan tutur. Menurut Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara
yang disebut langage, langue, dan parole. Langagedapat di padankan dengan
istilah bahasa, digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi
yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal.
Langage bersifat abstrak. Langue.Langue merupakan sebuah sistem lambang
bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk
berkomunikasi dan berinteraksi sesamanaya. Jadi langue mengacu pada sebuah
sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota
tertentu. Langue juga bersifat abstrak, sebab langage maupun langue adalah
sistem pola, keturunan, atau kaidah yang ada atau dimiliki manusia tetapi tidak
nyata-nyata digunakan. Sedangkan parole bersifat konkret,
karena parole merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau
tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi dan
berkomuniasi sesamanya.

Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem
lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan pada tempat
tertentu. Tetapi sebagai langue meskipun bahasa itu memiliki ciri ke unversalan,

66
tapi terbatas pada masyarakat tertentu. Suatu masyarakat tertentu memang agak
sukar rumusannya; namun adanya ciri, saling mengerti (mutual intelligible)

Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi tentunya hasil dari interpretasi dan


pengaruh lingkungan. Paling tidak ia mampu menguasai bahasa ibu sebagai
bahawa warisan dari keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
berbahasa, hingga akhirnya seorang dalam berbahasa dengan lebih dari satu
bahasa di sebut dengan istilah verbal reportoir.

Verbal reporteir memiliki dua macam yaitu yang dimiliki setiap penutur secara
individual, dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan.
Pertama mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur,
termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan
situasi dan fungsinya. Kedua mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang
dalam suatu masyarakat beserta norma-norma untuk memilih variasi yang sesua
dengan konteks sosialnya.

Kajian bahasa yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi


verbal diantara penuturnya dalam masyarakat disebut sosiolinguistik mikri .
sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan ciri-
ciri linguistik dalam masyarakat di sebut sosiolinguistik makro(Appel 1976: 22).

Verbal repertoir setiap penutur ditentukan oleh masyarakat dimana ia berada;


sedangkan verbal repertoir suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan tutur
terjadi dari himpunan verbal repertoir semua penutur di dalam masyarakat.

Kalau suatu masyarakat mempunyai verbal reporteir yang relatif sama serta
mereka mempunyi penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa
yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan masyarakat itu
adalah masyarakat tutur. Kata masyarakat itu kiranya digunakan sama dalam
penggunaan “masyarakat desa,””masyarakat kota, “”masyarakat Jawa
Barat,””masyarakat Eropa,”dan hanya menyangkut sejumlah kecil seperti
“masyarakat pendidikan”, atau “masyarakat linguistik Indonesia.”

Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya, dapat dibedakan adanya dua
macam masyarakat tutur:
 1. Masyarakat tutur yang repertoirnya pemakaiannya lebih luas,
danmenunjukan verbal repertoirnya setiap penutur lebih luas pula.
 2. Masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman
sehari-hari dan aspirasi yang sama, dan menunjukan pemakaian wilayah
linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan pariasinya.
Oleh karena itu lahirlah tingkatan bahasa dalam tatanan sosial. Seperti kita
analisis dalam kasus kebangsawanan masyarakat tutur bahasa jawa.
Kuntjaraningrat (1967:245) membagi masyaratk jawa atas empat tingkat:
 1. Wong cilik
 2. Wong sudagar
 3. Priyayi
 4. Ndara

67
Tentu penggunaan bahasa dari keempat kelas itu berbeda. Perbedaan tingkatan
bahasa di Jawa di bedakan menjadi dua: 1. Krama (tingkat tinggi) 2. Ngoko
(tingkat rendah). Contoh kromo, “sampean ajeng teng pundi”. Contoh ngoko
“kowe arep menyang endi.”

BAB 4 PERISTIWA TUTUR DAN TIDAK TUTUR

Dalam setiap proses komunikasi terjailah peristiwa tutur dan tindak tutur dalam
satu situasi tutur. Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah berlangsungnya
interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua
pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu,
tempat, dan situasi tertentu. Seperti yang terjadi dalam keadaan sehari-hari; proses
tawar menawar dipasar, rapat di gedung dewan, dsb. Dell Hymes (1972) suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, kedelapan komponen itu
adalah:
 1. Setting and scene. Setting Berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkanscene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau
psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, situasu tutur yang berbeda dapat
menyebankan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
 2. Participants. Pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara, dan pendengar, penyapa, pesapa, atau pengirim, dan penerima
(pesan).
 3. Ends,merujuk pada maksud dan tujuan.
 4. Act sequence. Mengacu pada bentuk dan ujaran.
 5. Key. Mengacu pada nada, cara, semangat dimana suatu pesan
disampaikan: dengan senang hati, serius, singkat, dsb.
 6. Instrumentalities. Mengacu pada jalur bahasa yang digunaka, seperti
jalur lisan dan tulisan.
 7. Norm of Interaciton and interpretation, mengacu pada norma atau
aturan dalam berinteraksi. Seperti cara beriterupsi, bertanya.
 8. Genre, mengacu pada jenis bentuk dan penyampaian. Seperti narasi,
puisi, pepatah, dsb.
Peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur merupakan gejala
individu., bersifat psikologis, dan keberlangsungannya di tentukan oleh
kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur
terfokus pada makna atau arti tindakan dalam tuturnya. Tindak tutur dan peristiwa
tutur merupakan suatu gelaja yang di timbulkan dari proses komunikasi.

Sebelum kita membicarakan teori tindak tutur alangkah baiknya kita bicarakn
dulu pembagian jenis kalimat yang dilakukan oleh para ahli tata bahasa
tradisional. Tata bahasa tradisional terbagi tiga. 1. Kalimat deklaratif 2. Kalimat
interogatif 3. Kalimat inperatif. Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya
hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu menaruh perhatian
saja, tanpa memerlukan komentar. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya
meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban
secara lisan. Sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta

68
agar si pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa
tindakan atau perbuatan yang diminta.

Austin (1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan makananya menjadi


kalimat konstantif atau kalimat performatif. Yang di maksud kalimat performatif
adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka seperti, “ ibu dosen kami cantik
sekali.”sedangkan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan.
Artinya apa yang di ucapkan oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya.
Misalnya ucapan rektor dalam pembukaan acara, “Dengan ucapan bismillah acara
rektor cup ini saya buka.”

Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962:
100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tidakan yang berlangsung sekaligus,
yaitu 1. Tindak tutur lokusi 2. Tindak tutur ilokusi 3. Tindak tutur perlokusi.
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti
“berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat bermakna dan dapat dipahami.
Misalnya, “Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya.” Tindakan
tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya didefinisikan dengan kalimat
performatif yang eksplisit. Misalnya, “Ibu guru menyuruh saya agar segera
berangkat.” Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan
adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non linguistik
dari orang lain. Misalnya, “mungkin ibu menderita penyakit jantung korones”.
Maka si pasien akan merasa panik dan sedih.

Tindak tutur sebenarnya merupakan selah satu fenomena dalam masalah yang
lebih luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik. Fenomena lainnya dalam kajian
pragmatik adalah dieksis, presuposisi dan implikatur percakapan. Sebagai topik
yang melengkapi deiksis, presuposisi dan implikatur percakapan, pragmatik lazim
diberi definisi sebagai “telaah mengenai hubungan antara lambang dengan
penafsiran.” (Purwo 1990: 15) yang di maksudkan dengan lambang disini adalah
ujaran.

Yang dimaksud dieksis adalah hubungan antar kata yang digunakan di dalam
tindak tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan
berpindah. Kata-kata yang refennya bis ajadi tidak tetap ini disebut kata-kata
deiktis. Kata-kata yang referensnya dieksis ini, antara lain, adalah kata-kata yang
berkemaa dengan pesona (dalam tindak tutur berupa kata-kata yang menyatakan
tempat, seperti di sini, si sana, di situ), dan waktu (dalam tindak tutur berupa kata-
kata yang menyatakan waktu, seperti tadi, besok, nanti dan kemarin). Perhatikan
contoh berikut!
A dan B sedang bercakap-cakap, dengan akhir dari percakapan itu
berupa:
A: Saya belum bayar SPP: belum punya uang.
B: Sama, saya juga.

Jelas kata saya pada percakapan itu, pertama mengacu pada A; lalu, mengacu
pada D maka, kata saya itu bersifat deiktis.

69
Sedangkan yang dimaksud dalam tindak tutur adalah makna atau informasi
“tambahan” yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat. Jadi dalam
ujaran tersebeut selain mendapat makna “asal” yang tersirat dalam ujaran itu,
terdapat pula makna lain yang hanya bisa di pahami secara tersirat. Misalnya,
“Tolong panggilkan nama saya di Padang Arafah nanti.” Mempunyia presuposisi
bahwa yang diminta tolong akan berangkat menuanikan ibadah haji, dan meminta
tolong sudah mengetahui hal itu, dan juga dia mempunyai keinginan untuk
menunaikan ibadah haji itu juga.

BAB 5 PELBAGAI VARIASI DAN JENIS BAHASA

Kridalaksana (1972) mendefenisikan sosiolinguistik sebgai cabang linguistik yang


berusaha menjelaskan ciri-ciri dan variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi
bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial masyarakat.

Sebagai bahasa langue sebuah bahasa mempunyai sostem dan subsistem yang
dipahami sama olej semua penutur bahasa itu. Namun karena karena penutur bahasa
tersebut, meski berada dalam bahasa tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang
homogen, maka wujud bahasa yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak
seragam. Bahasa itu menjadi beragam dab bervariasi. Selain karena penutur yang tidak
homogen, juga disebabkan karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat
beragam.
Terdapat dua pandangan dalam ragam bahasa:
 1. Ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial pebutur
bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu.
 2. Ragam bashasa sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi
dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Kedua ragam bahasa ini dapat diaflikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan
fungsi kegiatan berdasarkan adanya keragaman dan fungsi kegiatan dalam masyarakat
sosial.
Hartman dan stork (1972) membedakan variasi berdasarkan kriteria:
 a. Latar belakang geografi dan soisal penutur.
 b. Medium yang digunakan
 c. Pokok pembicaraan.
Mudahnya untuk memahami ragam bahasa pertama kita bedakan berdasarkan penutur
dan penggunaannya.
Yang dapat kita analisi dari penutur bahasa adalah berdasarkan idiolek, yaitu variasi
bahasa yang berdifat perseorangan. Dalam hal ini penutur bahasa mempunyai
bahasanya masing-masing; warna, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dsb.dan
yang paling dominan adalah warna suara. Kita akan dengan mudah mengenali
seseorang hanya dengan suaranya saja, jika suara itu adalah suara temen akrab.

Selanjutnya berdasarkan dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, didasarkan pada wilayah atau daerah penutur tertentu. Makan dialek
dapat dikelompokan berdasarkan dialek areal, regional, dan geografi. Contohnya adalah
berbedanya bahasa jawa purwakerto dan trenggalek, antara kata “Batire dan Batur.”

Penggunaan isttilah dialek dan bahasa dalam masyarakat umum memang seringkali
bersifat ambigu. Secara linguistik jika masyarakat tutur masih saling mengerti, maka alat
komunikasinya adalah dua dialek dari bahsa yang sama. Namun, secara polistik,
meskipun dua masyarakat tutur bisa saling mengerti karena kedua lat komunikasi
verbalnya mempunyai kesamaan sistem dan subsistem, tetapi keduanya dianggap
sebagai dua bahasa yang berbeda. Contohnya, bahasa Indonesia dan bahsa malayasia,

70
yang secaralinguistik adalah sebuah bahasa, tetapi secara politis dianggap sebagai dua
bahasa yang berbeda.

Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek temporal,
yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu
umpamanya, variasi bahasa Indoneia pada masa tahun 30 an, varasi yang digunakan
tahun 50 an, dan tahun masa kini.

Variasi bahas ayang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek
atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan
kelas sisal para penuturnya. Dalam sosiolingistik biasanya variasi inilah yang paling
banyak dibicarakan dan paling banyak menyita waktu untuk membicarakannya, karena
variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, penididkan,
seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya
berdasarkan usia, kita bisa meilihat perbedaan varia bahasa yang digunakan oleh kanak-
kanak, para remaja, dewasa, dan orang yang tergolong lansia.

Pun demikian kita akan menjuampai ragam bahasa dari segi keformalan. Berdasarkan
tingkat keforamalannya, Martin Jose (1967) dalam bukunya the fife clock membagi variasi
bahasa atas lima macam gaya. Yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam
resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual),
dan gaya atau ragam akrab (intimator). Dari semua itu dengan mudahnya kita sebut
dengan kata “Ragam”.

Varian bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana, atau jalu rang digunakan. Dalam hal ini
dapat disebut adanya ragam; lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa
dengan menggunakan sarana atau ragam tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelefon dan
bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam basaha tulis didasarkan pada
kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama.
Adanya ketidak samaan wujus setruktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau
dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur non
segmental atau unsur non linguistik yang berupa nada suara, gerak gerik tangan,
gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya.
Penjenisan bahasa secara sosiolinguistik tidak sama dengan penjenisan (klasifikasi)
bahasa secara geneoliogis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klasifikasi secara
geneologisa dan tipologis berkenaan dengan ciri-ciri internal bahasa-bahasa itu,
sedangkan penjenisan secara sosiolinguistik berkenaan dengan faktor-faktor ekternal
bahasa atau bahasa-bahasa itu yakni, faktor sosiologis, politis, dan kultural.

Stewart (dalam fishman (ed.) 1968) menggunakan 4 dasar untuk menjeniskan bahasa-
bahasa secara sosiologis, yaitu:
 1. Standarisasi
 2. Otonomi
 3. Historisitas
 4. Dan fitalitas.
Keempat faktor itu oleh fishman (1972): 18 disebut sebgai jenis sikap dan prilaku
terhadap bahasa. Secara singkat keempat dasar itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Standarisasi atau pembakuan adalah adanya kodepikasi dan penerimaan terhadap


sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau
norma yang menetukan pemakaian “bahasa yang benar”.
Otonomi atau keotomian sebuah sistem linguistik disebut mempunyai keotonomian kalau
sistem linguistik itu memilik kemandirian sistem yang tisak berkaitan dengan bahasa lain.

Faktor historisitas atau kesejarahan. Sebauh sistem linguistik dianggap mempunyai


historisitas jalu diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada
masa yang lalu.

71
Faktor vitalitas atau keterpakaian. Pemakai sistem linguistik oleh satu masyarakat
penutur asli yang tidak terisolasi.

Bahasa juga mempunyai peran dalam politik. Tepatnya kita sebut dengan sikap politik
atau sosial politik. Ya kita dapat membedakan adanaya bahasa nasional, bahasa resmi,
dan bahasa negara, dan bahkan bahasa persatuan.

BAB 6. BILINGUALISME DAN DIGLOSIA

Istilah bilingualisme atau kedwibahasaan secara sosiolinguistik diartikan sebagai


penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian (Mackey 1962: 12, Fishman 1975: 73). Orang yang dapat
menggunakan kedua bahasa disebut orang bilingual(dwibahasaan), kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Selain itu ada istilah multilingualisme
(keanekabahasaan) yaitu keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang
dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Menurut Bloomfield dalam
bukunya Language(1933:56) bilingual adalah kemampuan seorang penutur untuk
menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Pendapat Bloomfield banyak
mendapat kritikan, karena pertama: bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari
seorang penutur terhadap dua buah bahasa yang digunakannya, kedua: mungkinkah ada
seorang penutur yang dapat menggunakan B2nya sama baik dengan B1nya. Batasan
Bloomfield ini banyak dimodifikasi orang. Lobert Lado (1964: 214) mengatakan bahwa
bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama
baik atau hamper sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua
buah bahasa bagaimana pun tingkatnya. Haugen (1961) “tahu akan dua bahasa atau
lebih berarti bilingual. Seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua
bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja dan mempelajari bahasa kedua,
apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa
aslinya.” Diebold (1968: 10) menyebutkan adanya bilingualisme pada tingkat awal
(incipient bilingualism) yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama anak-
anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini
bilingualisme itu masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat
diabaikan karena pada tahap inilah terletak dasar bilingualisme.

Dari uraian di atas, bilingualisme merupakan satu rentangan berjenjang mulai menguasai
B1 ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang meningkat,
hingga menguasainya dengan baik. Halliday (Fishman 1968: 141)
menyebutnya ambilingual, Oksaar (Sebeok 1972: 481) ekuilingual, oleh Diebold (Hymes
1964: 496) koordinat bilingual.

Selanjutnya Bloomfield (1933) mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti


menguasai dua buah system kode, maka berarti bahasa itu bukan langue,
melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Mackey (1962: 12) dengan
tegas mengatakan bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara
bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur. Untuk
penggunaan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang

72
sama. Berarti bahasa menurut Mackey adalah langue.Sementara Weinrich (1968: 1)
memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat-tingkat
yang ada di dalamnya. Baginya, menguasai dua bahasa dapat berarti menguasai dua
system kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Haugen (1968: 10), juga Rene Appel (1976: 176)

Berarti yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme itu sangat luas, mulai dari
pengertian langue, seperti bahasa Sunda dan Madura, sampai berupa dialek seperti
bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Surabaya.

Dalam bab ini, selain bilingualisme, kita juga akan membahasa sama-sama tentang
Diglosia. Asal kata diglosia dari bahasa Prancis diglossieyang pernha digunakan Marcais,
seorang linguis Prancis. Menurut Ferguson diglosia adalah suatu situasi yang relatif
stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek dialek utama (ragam-ragam utama) dari
suatu bahasa, Dialek-dialek utama itu bisa sebuah dialek standar, atau sebuah standar
regional, Ragam lain dengan ciri: Sudah sangat terkodifikasi, gramatikalnya lebih
kompleks, merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati,
dipelajari melalui pendidikan formal, digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa
lisan formal, tidak digunakan oleh lapisan masyarakat manapun dalam kehidupan sehari-
hari.

Merupakan fungsi dari diglosia adalah menjadikan bahasa itu sendiri sebagai bahasa
dalam percakapan sehari-hari, dilihar dari segi ke non-formalan. Seperti bahasa arab
fushah dan bahasa arab amiyah. Sebagai manapun orang arab, mereka lebih
menggunakan bahasa arab amiyah dalam percakapan sehari-hari ketimbang bahasa
arab amiyah.

Gengsi yang dibawa dalam diglosia biasanya memberikan kesan lebih bergengsi, lebih
superior, terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Selain itu diglosia dalam
bahasa yang sering di pake merupakan warisan kesusastraan lanjutan dan
perkembangan dari sebelumnya yang lebih banyak menggunakan bahasa yang superior.

Walaupun ragam bahasa dalam komunikasi seringkali dianggap non-forma, tapi, justru
dari sering dan banyaknya orang yang menggunakan seringkali dilakukan standarisasi
bahasa. Hingga yang tadinya non-formal menjadi formal. Ditinjau dari kestabilan
masyarakat diglosia, biasanya masyarakat diglosia telah berlangsung lama dengan
bahasa itu, makan disanalah ada kestabilan pada sebuah variasi bahasa yang
dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat. Ragam yang digunakanpun ragam
sama.

Fishman (1972: 92) diglosia tidak hanya berlaku pada adanya perbedaan ragam formal
atau non-formal pada bahasa yang sama, melainkan juga berlaku pada bahasa yang
samasekali tidak serumpun.

Diglosia
+ -
Bilingu + 1.Bilingualisme dan 3. Bilingualisme
Diglosia tanpa diglosia
alisme - 2.Diglosia tanpa 4. Tidak
diglosia
Bilingualisme Tidak
Bilingualisme

73
Bagaimana hubungan antara diglosia dan nilingualisme? Merujup pada pengertian yang
sudah kita bicarakan, diglosia diartikan sebagai adanya perbedaan fungsi atas
penggunaan bahasa dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara
bergantian dalam masyarakat, maka fihsman (1977) menggambarkan hubungan diglosia
dan billingualisme itu seperti tampak dalam ragam berikut.

BAB 7 ALIH KOD DAN CAMPUR KODE

Appel (1976:79) mendifinisikan alih kode sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa
karena berubahnya situasi. Conoto, ketika Amin dan Udin berbicara dengan basaha
Sunda (Sebagai bahasa ibu) ketika datang Monti yang asalnya orang Surabaya secara
otomatis bahasa yang digunakan mereka berubah kedalam bahsa Indonesia.

Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes
(1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga
terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Seperti
ketika Amin dan Udin beralih bahasa ke bahasa Indonesia santai ketika datang Monti.
Kemudian mereka menggunakan bahasa Indonesia resmi ketika mengikuti Kuliah.
Penyebab-penyebab alih kode secara umum adalah:
 1. Penutur
 2. Pendengar
 3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
 4. Perubahan dari formal ke nonformal
 5. Perubahan topik pembicaraan
Selain alih kode, pembahasan selanjutnya adalah Campur code. Pembicaraan alih kode
biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang laim
terjadi dalam masyarakat yang bilinggual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga
seringkalo sukar dibedakan. Kesamaa yang ada antara alih kode dan campur kode
adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam
satu masyarakat tutur.

Thelander (1976; 103) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode.
Katanya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu
bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah laih kode. Tetapi
apabila didalam suatu peristiwa tutur, klausa-kalusa campuran dan masing-masing
klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang
selanjutnya, memang ada kemungkinan terjadinya perkembangan dari campur kode ke
alih kode.
Fasold (1984) menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan capur kode dan alih
kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah
melakukan campur kode. Tetpai apabila satu kalusa disusun menurut struktur gramatika
bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.

BAB 8 INTERFERENSI DAN INTEGRASI

Interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya
perubahan sistem suatu bahasa sehubung dengan adanya persentuhan bahasa tersebut
dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan pleh penutur yang billinggual.

Integrasi (1968) menjelaskan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang
digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut.

74
Penerimaan unusr bahasa lain dalam bahasa tertentu sampain menjadi berprestatus
integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatip panjang. Dalam bahasa Indonesia
pada awalnya tampak banyak dilakukan secara audial, artinya mula-mula penutur
Indonesia mendengar butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya. Lalu
mencoba nenggunakannya. Apa yang didengar oleh telinga itu yang diujarkan dan apa
yang dituliskan. Pada tahap berikutnya, terutama setelah pemerintah mengeluarkan
Pedoman Umum pembentukan Istilah. Umpama kata System menjadi Sistem, Phonem
menjadi fonem, dsb.

Penyerapan unsur asign itu sendiri dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia
bukan hanya melalui penyerapan kata asing itu yang isertai degan penyesuaian lafal dan
ejaan. Pun demikian banyak pula yang penggunakan dua dara. 1. Penerjemahan
Langsung. 2. Penerjemahan konsep.

BAB 9 PERUBAHAN, PERGESERAN, DAN PEMERTAHANAN BAHASA

(Wardhaught 1990:189) terjadinya perubahan bahasa itu tidak dapat diamati, sebab
perubahan itu, yang sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam waktu yang
relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang yang mempunyai waktu
relatif terbatas. Namun yang dapt ita ketahui adalah bukti adanya perubahan itu sendiri,
walau hanya terbatas pada bahasa yang tertulis. Di Indonesia sendiri kita menjumpai
perubahan bahasa Melayu kedalam bahasa Indonesia.

Perubahan bahasa lazim diartikan sebagai adanya perubahan kaidah , entah kaidahnya
itu di revisi, kaidahnya menghilang, atau munculnya kaidah baru;
 1. fonologi, bidang dl linguistik yg menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut
fungsinya
 2. morfologi, cabang linguistik tt morfem dan kombinasinya
 3. sintaksis, cabang linguistik tt susunan kalimat dan bagiannya; ilmu tata kalimat
 4. semantik, ilmu tt makna kata dan kalimat; pengetahuan mengenai seluk-beluk
dan pergeseran arti kata
 5. maupun leksikon, komponen bahasa yg memuat semua informasi tt makna dan
pemakaian kata dl bahasa.
Adapun pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang
penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari
suatu masyarakat tutur ke masyarkat tutur yang lainnya. Seperti dua orang mahasiswa
berasal dari Sumatera Utara yang kulaih di Malang. Ketika mereka berbicara mereka
menggunaan bahasa ibu (Mandailing) namun karena mereka berada di lingkungan
bahasa jawa, akhirnya mereka berusaha untuk berusaha berinteraksi dengan lingkungan
dengan bahasa Indonesia dan bahasa jawa. Lama kelamaan akhirnya mereka berbicara
dengan bahasa Indonesia dan menggunaan basaha jawa, hingga mereka meinggalkan
bahasa Sumateranya. Inilah yang dinamakan pergeseran bahasa.

Dari dua pembahasan diatas, maka ada pula yang dinamakan dengan pemertahanan
bahasa. Seperti kasus yang dilaporkan Danie (1987) kita lihat menurunnya pemakaian
beberapa bahasa daerah Minahasa di Timur adalah karena pengaruh penggunaan
basaha daerah Melayu Menado yang mempunyai prastise yang lebih tinggi dan
penggunaan bahasa Indonesia yang jangkauannya bersifat nasioanl.

BAB 10 SIKAP BAHASA DAN PEMILIHAN BAHASA

Untuk dapat memahami apa yang dinamakan sikap bahasa terlebih haruslah dijelaskan
apa itu sikap. Dalam bahasa Indonesia cenderung pada bentuk tubuh, posisi berdiri
tegap, dll. Namun sesungguhnya sikap itu adalah reaksi kejiwaan, yang biasanya

75
termanifestasi dalam bentuk tindakan prilaku. Anderson (1974:37) membagi sikap atas
dua macam, yaitu; sikap kebahasaan dan nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap
sosial, sikap skeptis dan sikap keagamaan. Sikap bahasa adalah tata keyakinan atau
kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenani objek
bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan
cara tertentu yang disenanginya. Namun perlu diperhatikan karena sikap itu bisa positif
juga negatif. Umpamanya, sampai akhir tahun lima puluhan masih banyak golongan
intelektual di Indonesia yang masih bersikaf negatif pada bahasa Indonesia di samping
mereka yang sangat bersikap posotif.

Pembahasan pemilihan bahasa dapat kita mulai dengan pendapat Fasold (1984) hal
pertama yang terbayang ketika memikirkan bahasa adalah “bahasa keseluruhan” dimana
kita membayangkan seseorang dalam masyarakat bilinggual dan multilingual berbicara
dua jenis bahasa atau lebih harus memilih yang mana yang harus digunakan. Dalam hal
ini ada tiga pilihan yang dapat dilakukan, yaitu:
1. dengan alih kode.
2. dengan melakukan campur kode, dan ketiga dengan memilih satu variasi bahasa
yang sama.
Penilitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold dapat dilakukan berdasarkan tiga
pendekatan disiplin ilmu, yaitu berdesarkan pendekatan sosiologi, psikologi sosial, dan
antropologi. Pendekatan sosiologi dapat dilakukan dengan melihat adanya konteks
institusional tertentu yang disebut dengan domain, dimana satu variasi bahasa
cenderung lebih tepat untuk digunakan dari pada variasi lain. Pendekatan psikologi sosial
tidak meneliti strutur sosial, seperti domain-domain, melainkan meneliti proses manusia
seperti motivasi dalam pemilihan suatu bahasa atau ragam dari suatu bahasa untuk
digunakan pada keadaan tertentu. Sedangkan antropologi bisa dilihat dari perluasan
penggunaan bahasa Indonesia dari hanya untuk komunikasi antarsuku menjadi
digunakan juga sebagai alat komunikasi intrasuku, selain karen sifat-sifat inheren bahasa
Indonesia itu sendiri juga karena dorongan motivasi dan tujuan-tujuan sosial tertentu.

BAB 11 BAHASA DAN KEBUDAYAAN

Kalau kita perhatikan buku-buku antropologi atau tentang kebudayaan, maka kita akan
mendapati berbagai definisi mengenai kebudayaan yang sang berbeda, dan
kesimpulannya dianggap benar. Berdasarkan sifat definisi defini kebudayaan
dikelompokan pada enam:
 1. Definisi yang deskdriptif, yaitu defini yang menekankan pada unsur-unsur
kebudayaan.
 2. Defini yang historis, defini yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi
secara kemasyarakatan.
 3. Definisi normatif. Definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai
atauran hidup dan tingkah laku.
 4. Defini yang psikologis, uaitu definisi yang menekankan pada kegunaan
kebudayaan dalam penyusuaian diri kepada lingukangan, pemecahan persoalan,
dan belajar hidup
 5. Defini yang strutural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai
suatu sistem yang berpola dan teratur
 6. Definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya
kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Simpulnya kebudayaan melingkupi semua aspek dari segi kehidupan manusia.
Sedangkan hubungan antara kebudayaan dan bahasa adalah hubungan yang
subordinatif, dimana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan. Pendapat lain
menyatakan kebudayaan dan bahasa mempuyai hubungan koordinatif, yakni hubungan

76
yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambous (1985) menyebutkan
bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang mengatur interaksi manusia
dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai
sarana berlangsungnya interaksi itu.
Demikian pula bahasa memiliki etika. Etika berbahasa ini erat berkaitan dengan
pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Oleh karena itu, etika berbahasa ini antara lain akan mengatur:
 a. Apa yang harus kita katakan pada waktu tertentu kepada seseorang partisipan
tertentu berkenaan dengan situasi sosial dan kebudayaan.
 b. Ragam bahasa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik
dan budaya tertentu.
 c. Kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela
pemicaraan orang lain.
 d. Kapan kita harus diam
 e. Bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita didalam berbicara.
Kajian mengenai etika bahasa ini lazim disebut dengan etnografi berbahasa.

BAB 12 PERENCANAAN BAHASA

Dinegara-negara multilingual, multirasial dan multikultural, untuk menjamin kelangsungan


komunikasi kebangsaan perlu dilakukan suatu perencanaan bahasa yang tentunya harus
dimulai dengan kebijaksanaan bahasa. Kebijaksaan bahasa dapat diartikan sebagai
suatu pertimbangan kenseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan
perencanaa, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar
bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu
kebangsaan secara nasional ( Halim 1976). Tujuan kenijaksanaa bahasa adalah dapat
berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan komunikasi dengan baik, tanpa
menimbulkan gejolak sosial dan emosional yang dapat menggangu stabilitas bangsa.
Kebijaksanaan untuk mengangkat satu bahasa tertentu sebagai bahasa nasianal dan
sekaligus sebagai bahasa negara; atau mengangkat satu bahasa nasional dan
mengangkat satu bahasa lain sebagai bahasa negara boleh saja dilakukan asalkan tidak
membuat bahasa-bahasa lain yang ada didalam negri merasa tersisih, atau membuat
penuturnya merasa resah, yang pada gilirannya menjadikan gejolak politik dan sosial.

Dari pembicaraan diatas bisa dilihat bahwa kebijaksanaan bahasa merupakan usaha
kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat funsi dan
status bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunikasi
kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik.
Melihat urutan dalam penanganan dan pengolahan masalah-masalah kebahasaan dalam
negara multilingual, multirasi, dan multikultural, maka perencanaan bahasa merupakan
kegiatan yang harus dilakukan sesudah melakukan kebijaksanaan bahasa.

Haugen (1959) mengemukakan perencanaan bahasa adalah pengertian usaha untuk


membimbing perkembangan bahasa kearah yang diinginkan oleh perencana.
Perencanaan bahasa tidam semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan apa
yang diketahui dimasa lampau, tetapi perncanaan bahasa itu merupakan usaha terarah
untuk memengaruhi masa depan. Dalam hal ini siapapun dapat menjadi pelaku
perencanaan bahasa itu dalam arti perseorangan maupun lembaga pemerintah atau
lembaga swasta.
Di Indonesia lembaga dala perencaan dan pengembangan bahasa dimulai dengan
berdirinya commisie voor de volksletuur yang didirikan pemerintah kolonial belanda pada
tahun 1908 dan kemudian pada tahun 1917 menjadi balai pustaka. Sasaran
perencanaan bahasa yaitu: 1. Pembinaan dam pengembangan bahasa yang
direncanakan. 2. Khalayak di dalam masyarakat yang diharapkan akan menerima dan
menggunakan saran yang diusulkan dan ditetapkan.

77
Kalau sasarannya adalah bahasa, atau korpus bahasa maka sasaran itu menjadi
bermacam-maca, antara lain: pengembangan sandi bahasa dibidang pengaksaraan,
peristilahan, pemekaran ragam wacana, dsb. Kalau sasaran perencanaan itu adalah
khalayak masyarakat, maka perencanaan itu, antara lain, dapat diarahkan kepada
golongan penutur asli atau bukan penutur asli, kepada yang masih sekolah, guru, dsb.
Langkah yang dapat diambil, terkai dengan korpus bahasa adalh penyusunan sistem
ejaan yang ideal (baku), yang digunakan oleh penutur yang benar, sebab adanya sistem
ejaan yang disepakati akan memudahkan dan melancarkan jalannya komunikasi.
Kemudian diikuti dengan penyusunan atau pengkodifikasian sistem tata bahasa yang
dibakukan serta penyusunan kamus lengkap.

BAB 13 PEMBAKUAN BAHASA

Tentu kita mengetahui bahasa baku dan non baku. Yang disebut bahasa baku adalah
salah satu variasi bahasa (dari sekian banyak variasi) yang diangkat dan disepakati
sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolak ukur sebagai bahasa yang baik dan
benar dalam komunikasi resmi, baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa baku sama
halnya dengan bahsa resmi kenegaraan yang digunakan dalam situasi resmi
kenegaraan, termasuk pendidikan, dalam buku peljaran, undang-undang, dsb. Simpunya
bahasa baku (Halim: 1980) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang
dilembagakan dan diakui oleh sebagian warga masyarakat pemakainya sebagai ragam
resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan penggunaannya. Sedangkan
ragam bahasa tidak baku adalah ragam bahasa yang tidak dilembagakan dan tidak
ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma-norma bahasa baku.

Fungsi bahasa baku (Gravin dan Mathiot (1956: 785-787) mempunyai fungsi lain yang
bersifat sosial politik, yaitu:
1. Fungsi pemersatu
2. Fungsi pemisah
3. Funsi harga diri
4. Fungsi kerangka acuan.

(Moeliono (1975:2) mengatakan, bahwa oada umumnya yang layak dianggap baku ialah
ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya
dan paling besar kewibawaannya. Ada pula dasar dan kriteria lainnya sepert:
1. Otoriras
2. Bahasa penulis-penulis terkenal
3. Demokrasi
4. Logika
5. Bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka dalam masyarakat.
Maka untuk mewujudkan semua itu harus ada pemeran yang berkontribusi; pendidikan,
industri buku, perpustakaan, administrasi negara, media massa, tenaga, penelitian.

Bahasa baku Indonesia secara resmi telah ditetapkan keberadaannya.


Contoh dalam bentuk kata
Bentuk baku---Bentuk Tidak Baku
Administratif---Administratip
Ahli---akhli
Doa---do’a
Maaf---maap

Contoh dalam bentuk kalimat


Bentuk baku---------Bentu tidak baku
Rektor meninjau perumahan IKIP-----------------Rektor tinjau perumahan karyawan IKIP
Surat itu sudah saya baca------------surat itu sudah dibaca oleh saya
Harganya cukup mahal-----------------Dia punya harga cukup mahal.

78
Seringkali bahasa baku harus meminjam unsur leksikal dari kosakata tidak baku karena
memang diperlukan. Sepanjang memang diperlukan karena tidak ada padanannya dalam
kosakata baku, maka hal itu tidak menjadi soal, unsur leksikal itu bisa saja diperlukan
sebagai unsur pinjaman atau serapan, artinya aturan mengenai unsur pinajaman dapat
dikenakan kepada tidak baku.
Psikolinguistik merupakan sebuah kajian baru yang dimana muncul pertama kali pada
tahun 1954 dan merupakan gagasan dari George Miller dan Charles Osgood yang di
jabarkan oleh Sundusiah dalam artikelnya “Sejarah Perkembangan Psikolinguitsik”.
Psikolinguistik adalah gabungan dari dua bidang ilmu yakni Psikologi dan Linguistik
seperti yang di paparkan oleh Carroll pada tahun 1953. Carroll menyatakan bahwa
Psikologi adalah sebuah bidang ilmu yang berfokus pada jiwa, pikiran, atau emosional
manusia, sedangkan Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa manusia.
Muncullnya sebuah ketertarikan untuk melihat hubungan antara jiwa, emosional, pikiran
manusia dengan mempelajari bahasa menyebabkan terbentuknya disiplin ilmu baru yang
sekarang disebut Psikolinguistik. Adapun objek dari bidang ilmu ini adalah peroses
mempelajari bahasa yang dapat tercermin dari gejala jiwa manusia. Definisi lain juga
terlihat dari John Field yang menyatakan bahwa Psikolinguistik adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana pikiran manusia dalam mempelajari atau menggunakan dan
memperoleh bahasa. Ini lebih mengacu pada bagaimana proses itu terjadi, bagaimana
penyimpanan, penggunaan dan pemerolehan bahasa yang semuanya sangat
berhubungan erat dengan aktivitas otak dan pikiran manusia.
Lado (dalam Hakim (2012) mendefinisikan Psikolinguistik adalah gabungan dua
pendekatan yakni melalui pendekatan Linguistik dan pendekatan Psikologi bagi telaah
atau studi pengetahuan bahasa, penggunaan bahasa, dan hal-hal yang berkaitan dengan
itu yang sulit untuk dicapai melalui salah satu bidang ilmu tersebut secara terpisah.
Melihat dari definisi tersebut, kajian dari disiplin ilmu Psikolinguitik tidak dapat dipisahkan,
dikarenakan masing-masing bidang ilmu saling mendukung satu sama lain. Selain itu,
melihat dari penjabaran Handke (2012) bidang ilmu Linguistik dalam Psikolinguistik
mempunyai kontribusi yang sangat besar, Linguistik adalah kajian ilmu tentang bahasa
yang mempunyai cabang ilmu tentang pengetahuan akan bahasa seperti; Phonologi,
Morphologi, Semantik dan Pragmatik. Semua cabang ilmu Linguistik mempunyai
kontribusi masing-masing dalam kajian ilmu Psikolinguistik. Misalkan, kita dapat melihat
bagaimana seorang anak kecil yang masih bayi mampu memproduksi suara atau bunyi,
bagaimanakah proses mereka mengerti akan sebuah bunyi atau suara? Hal tersebut
adalah salah satu pembahasan dalam Psikolinguitik. Kajian ilmu Psikolinguistik mampu
menjabarkan proses apakah yang dialami oleh manusia dalam memperoleh atau
menggunakan bahasa di kehidupan ini.
Menurut Field (2003) ada beberapa area penting yang difokuskan dalam kajian ilmu
Psikolinguistik yakni penyimpanan bahasa, bahasa dan otak, penggunaan dan
pemerolehan bahasa pertama. Sedangkan Pateda (dalam Hakim (2012)) menjabarkan
kajian Psikolinguitik itu adalah :

1. Proses bahasa dalam komunikasi dan pikiran;

2. Pemerolehan bahasa;

3. Pola perilaku berbahasa;

4. Asosiasi verbal dan persoalan makna;

79
5. Proses bahasa pada orang abnormal, misalnya anak tuli;

6. Persepsi ujaran kognisi.

Dalam hal ini Psikolinguistik lebih mengacu pada apakah yang terjadi dalam pikiran
manusia ketika dia sedang memproduksi bahasa atau tepatnya ketika sedang berbicara.
Kemudian, bagaimanakah anak-anak dalam memperoleh bahasa peratama dan
menggunakan bahasa itu, serta bagaiamanakah bahasa itu mewakili otak manusia
(human brain). Semuanya adalah ruang lingkup kajian Psikolinguistik yang dimana
menjadi objek penelitian bagi para ahli Psikolinguistik.

1. 2. Ruang Lingkup Kajian Psikolinguistik

1. a. Otak dan Bahasa

Otak dan Bahasa adalah salah satu kajian dari Psikolinguistik seperti yang telah
dijelaskan diatas. Otak dan Bahasa lebih dikenal dengan Neurologi, yang dimana adanya
hubungan antara organ otak manusia dengan bahasa, baik itu dalam penyimpanan,
penggunaan dan pemerolehan bahasa itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa otak
adalah pusat dari segala aktivitas manusia, otak yang mengatur langsung pikiran,
motivasi, emosional manusia sampai pada saatnya para pakar neurologi menemukan
hubungan akan organ otak dengan bahasa itu sendiri seperti yang dikatakan oleh salah
satu ahli linguistik, Ferdinand de Saussere. Saussere (dalam Hakim (2012)) telah
menjelaskan akan kondisi bahasa dalam otak manusia dimana setiap bagian dari organ
otak berkontribusi dalam cognitive process itu sendiri.

Teimournezhad and Khosravizadeh (2011) bahwa manusia itu unik dibandingkan dengan
makhluk lainnya, itu dikarenakan oleh kemampuan pikiran yang dimilikinya dimana
mampu menolong mereka menemukan fakta-fakta yang ada di dunia. Seperti halnya juga
dikatakan oleh Lenneberg (dalam Hakim (2012) ) menyatakan bahwa manusia
mempunyai kecenderungan biologis khusus dalam memperoleh bahasa dibandingkan
dengan hewan. Adapun alasan mengapa mengatakan hal demikian adalah :

1) Terdapat pusat-pusat yang khas dalam otak manusia;

2) Perkembangan yang sama bagi semua bayi;

3) Kesukaran yang dialami untuk menghambat pertumbuhan bahasa pada manusia;

4) Bahasa tidak mungkin diajarkan kepada makhluk lain;

5) Bahasa itu memiliki kesemestaan bahasa (Language Universal)


Berdasarkan alasan yang telah dijabarkan, maka sangat jelas terlihat hubungan antara
otak dan pemerolehan bahasa manusia dimana adanya bagian-bagian otak yang
berfungsi dalam pemerosesan bahasa. Ini terlihat dari pendapat Gall (dalam
Saptaji(2011)) yang menyatakan bahwa otak bukanlah satu organ tanpa bagian-bagian,
melainkan terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing memunyai fungsi tertentu.
Bagian terbesar, yang merupakan porsi terbesar dari otak kita 80% disebut otak besar

80
(cerebrum). Otak besar ini terdiri atas miliaran sel dan terbagi menjadi dua bagian
(hemisfer kanan dan kiri). Otak besar inilah yang bertanggung jawab atas fungsi-fungsi
berpikir tingkatan tertinggi dan pengambilan keputusan.
Otak besar manusia terbagi menjadi empat bagian utama yang disebut lobus (lobe), yaitu
lobus depan (frontal), lobus tengah (parietal), lobus penglihatan (occipital), dan lobus
pendengaran (temporalis). Lobus penglihatan (occipital) terletak sedikit di belakang
bagian otak dan terutama bertanggung jawab pada penglihatan. Lobus depan (frontal)
terletak di wilayah skitar kening dan punya andil terhadap tindakan-tindakan yang
disengaja, seperti memberi penilaian, kreativitas, menyelesaikan masalah, dan
merencanakan. Lobus tengah (parietal) terletak pada bagian atas dari otak. Tugasnya
adalah memproses sesuatu yang berhubungan dengan sensori yang lebih tinggi dan
fungsi-fungsi bahasa. Lobus pendengaran (temporal) terletak di bagian kiri dan kanan
berada di bagian atas dan sekitar telinga. Bagian ini terutama bertanggung jawab
terhadap pendengaranan, memori, pemaknaan, dan bahasa, meskipun ada beberapa
fungsi yang saling tumpang tindih antara masing-masing lobus ini.
Adapun fungsi dari otak kanan adalah berperan dalam bahasa non verbal, pengendalian
emosi, kesenian, kreativitas dan berfikir holistik. Sedangakan fungsi otak kiri adalah
berperan dalam perkembangan bahasa dan bicara, karena mengatur kemampuan
berbicara, pengucapan kalimat dan kata, pengertian pembicaraan orang, mengulang kata
dan kalimat, disamping kemampuan berhitung, membaca, dan menulis. Kedua belahan
otak dihubungkan oleh serabut syaraf dan kerja sama terjadinya melalui suatu bagian
yang disebut korpus kalosum, walau pada kenyataannya dalam aktivitas tertentu hanya
salah satu belahan otak yang berperan (gambar 1).
Gambar 1 (Right Hemysphere and Left Hemysphere)
Perkembangan otak menyebabkan terjadinya Lateralisasi atau dikenal dengan Brain
Lateralization yang dimana kedua belahan otak mengalami spesialisasi. Lateralisasi yang
dimaksud adalah peristiwa lokalisasi fungsi bahasa pada salah satu belahan otak. ketika
anak lahir, perbedaan fungsi-fungsi kedua belahan otak sangatlah sedikit, namum seiring
pertumbuhan dan perkembangan, fungsi belahan otakpun ikut berkembang. Ada yang
mengatakan bahwa salah satu belahan otak manusia akan berfungsi dominan ketika ia
beranjak dua tahun sampai 11 atau 13 tahun, namun ada juga yang menyatakan proses
itu hanya berlangsung sampai umur lima tahun.
Lateralisasi otak sangat mempengaruhi bagaimana kedepannya anak memproduksi
bahasa, dikarenakan peroses lateralisasimempunyai kontribusi yang besar terhadap
kemampuan pelafalan anak dalam pengucapan kata. Menurut Patkowski (dalam
Steinberg (1980)) menyatakan bahwa lateralisasi otak hanya mempengaruhi kemampuan
anak dalam pelafalan atau pengucapan dalam berbahasa, namun belum mampu
mencakup pengetahuan sintaktik anak. Sehingga, dalam peroses lateralisasi input yang
didapatkan oleh anak hanya berupa bunyi atau pengucapan setiap kata yang dimana
akan mampu membuat anak fasih dalam berbicara.

Dilain sisi, Lateralisasi sangat berkaitan erat dengan Golden Age yakni masa keemasan
anak dalam memperoleh atau mempelajari bahasa. Pada masa ini merupakan periode
yang mudah bagi anak untuk mempelajari bahasa, dikarenakan saraf-saraf otak masih
sangat plastis atau lentur. Sehingga ketika masa Lateralisasi belum selesai, maka anak
dianjurkan untuk menerima lebih banyak input yang dapat menyebabkan kemampuan

81
berbahasa lebih tinggi dibandingkan mendapatkan input setelah masa Lateralisasi
berakhir. Itulah di katakan periode lateralisasi beriringan dengan periode kritis yang
mampu mempermudah anak dalam memperoleh atau mempelajari bahasa. Seperti yang
dikatakan oleh Christian, et. al (dalam Hakim (2012)) bahwa yang dimaksud dengan
masa keemasan atau periode kritis adalah periode dimana anak mampu menguasai
bahasa secara alami dan lebih cepat tanpa membuang tenaga yang lebih.
Namun, dikondisi yang lain banyak fenomena yang kita temukan tentang masih ada anak
atau orang-orang yang tidak dapat berbicara atau mengalami gangguan dalam berbicara,
dimana salah satu penyebab terjadinya karena adanya gangguan pada otak. Gangguan
pada otak bisa disebabkan oleh sebuah kecelakaan, benturan atau bahkan sudah ada
ketika anak baru lahir. Menurut Faisal, et al (dalam Hakim (2012)) menyatakan bahwa
gangguan dalam berbahasa bisa disebabkan oleh psikolgis atau kejiwaan seseorang.
Ketika kejiwaan seseorang tidak stabil atau terganggu, maka hal itu juga dapat
mengganggu kinerja otak. Salah satu contoh gangguan berbahasa karena faktor
psikologi adalah schizoprenia. Orang yang terkena schizoprenia cenderung melupakan
topik yang dibicarakan, mereka sering loncat dari topik yang satu ke topik yang lainnya.

Gangguan berbahasa yang paling dikenal dalam kajian Psikolinguistik


adalah aphasia,yang dimana terjadinya kerusakan pada otak. Broca Aphasia dan
Wernick Aphasiaadalah jenis aphasia yakni bilamana terjadi kerusakan pada area Broca
maka disebut Brocca Aphasia, dan anak akan mengalami gangguan berbahasa seperti
tidak lancar dalam berbicara, kata-kata tidak terbentuk dengan baik, dan ujaran pelan
dan menyatu. Sedangkan Wernick aphasia yaitu adanya gangguan pada daerah wenick
yang dapat menyebabkan anak kehilangan kemampuan berbahasa. Anak tersebut dapat
berbicara dengan sangat jelas tetapi kata-kata yang diucapkan tidak masuk akal, kata-
katanya bercampur menjadi satu. Akan tetapi merujuk pada Schuel dan Jenkins (dalam
Hakim (2012)) membagi beberapa jenis aphasia yaitu :
1. Aphasia penghantar, yaitu kerusakan pada pusat otak dan kerusakan pada saluran

serabut, mereka menyebutnya gangguan tingkat atas dan bawah.

1. Aphasia kata kerja (verbal aphasia) disebabkan oleh kerusakan pada lobus, baik di
depan maupun di belakang pusat.
2. Aphasia sintaksis (syntactical aphasia) disebabkan oleh kerusakan-kerusakan pada
belitan (gyrus) otak di daerah lobus frontal.
3. Aphasia kata benda (nominal aphasia) disebabkan oleh kerusakan di daerah
“angular gyrus” (belitan bersiku).
4. Aphasia semantik (semantic aphasia) disebabkan oleh kerusakan pada “supra
marginal gyrus
Kesemua jenis gangguan dalam berbahasa yang dialami oleh setiap orang tidak
selamanya permanen pada diri mereka. Melainkan, gangguan tersebut dapat
disembuhkan seiring berjalannya waktu, terlebih jika diberikan perlakuan yang lebih
seperti pengobatan, terapi dan hal yang terpenting lingkungan sekitar mendukung
kesembuhan mereka.

1. b. Pikiran dan Bahasa

82
Keterkaitan antara pikiran dan bahasa menjadi salah satu yang menarik dalam kajian
Psikolinguistik. Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa adalah alat penyambung lidah
seseorang, yang dimana bahasa adalah alat komunikasi kita dalam kehidupan sehari-
hari untuk menyampaikan berbagai macam ide, ekspresi, dan perasaan kepada orang
lain. Disisi lain kita juga dituntut untuk memahamai setiap ujaran dan ucapan yang
disampaikan oleh orang lain. Dengan melihat hal demikian, kita dapat mengkaitkan
hubungan antara pikiran dan bahasa dimana bahasa adalah media manusia dalam
menyampaikan aspirasi atau ide-ide mereka. Seperti yang dikatakan oleh Supendi (2012)
menyatakan bahwa dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi
kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses
pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis
kode.

Menurut Whorf dan Sapir (dalam Widhiarso (2005)) memaparkan bahwa pikiran manusia
ditentukan oleh sistem dari klasifikasi bahasa tertentu yang digunakan oleh manusia dan
bahasa mampu mempengaruhi cara pandang manusia terhadap dunia. Jadi dengan
melihat pemikiran ini dapat kita katakan bahwa bahasa mampu mempengaruhi pikiran
manusia, yang dimana dunia mental orang akan terlihat berbeda dari bahasanya, seperti
mental orang Indonesia dengan mental dunia orang Inggris. Namun disisi lain, para ahli
psikolinguistik juga berendapat bahwa pikiran juga mampu mempengaruhi bahasa. Hal
ini terjadi karena ahli Psikolinguistik fokus pada perkembangan kognitif anak. Pendapat
ini pun di dukung oleh Choamsky dengan mengatakan bahwa pekembangan aspek
bahasa merupakan sebuah faktor penting dalam perpindahan prilaku menjadi
pendekatan kognitif dalam bahasa dan pikiran. Singkatnya, Choamsky melihat
keterkaitan akan bahasa dan pikiran lebih merujuk pada bagaimana kemampuan dan
penampilan setiap orang dalam menggunakan bahasa. Terakhir, keterkaitan antara
pikiran dan bahasa dapat saling mempengaruhi satu sama lain, karena disini pakar
Psikolinguistik lebih melihat pada hubungan timbal balik kata-kata atau bahasa dengan
pikiran.

Salah satu pembahasan yang ada dalam hubungan antara bahasa dan pikiran
adalahMental Lexicon (kosakata yang sudah ada dalam pikiran manusia). Menurut
Wilson dalam (dalam Ratjczak (1994)) menyatakan bahwa kosa kata merupakan pusat
yang menghubungakannya dalam pemerosesan bahasa. Hal ini dikarenakan bahwa kosa
kata merupakan cerminan dari pada pengetahuan manusia akan bahasa yang telah
dipelajari atau diperolehnya. Manusia telah dianugrahi Mental Lexicon yang dimana
merupakan kamus kosa kata yang telah ada di dalam pikiran manusia. Kosa kata atau
input yang didapatkan dalam pemerolehan bahasa akan tersimpan didalam Mental
Lexicon itu sendiri dan sampai pada akhirnya akan mampu diproduksi oleh manusia
ketika berbicara.
Menurut Miller dan Jackendof (dalam Ratjczak (1994)) menjelaskan bahwa kata-kata
yang masuk di dalam Mental Lexicon berupa sebuah kata yang berupa bunyi, sebuah
rangkaian morphologi kata, dan informasi makna. Kesemuanya merupakan model dari
Lexicon itu sendiri, yakni phonology Lexicon, Morphologi Lexicon dan Semantik Lexicon,
yang dimana semuanya adalah sebuah bagian pengorganisasian berdasarkan bidang
ilmu mereka. Menurut Carrol (dalam Ratjczak (1994)) menyatakan bahwa semantik

83
Lexicon fokus pada makna yang dimana dalam pengorganisasiannya melibatkan
gabungan kata (word association), dan kesalahan berbicara (speech error). Gabungan
kata (word association) disini lebih kepada bagaimana subject’s response (atau respon
pelaku) terhadap informasi apa yang telah disimpan di dalam mental Lexicon itu sendiri.
Kata yang telah menjadi input akan mampu dikaitkan dengan kata yang lainnya. Misalkan
kata “bulan”, akan ada kemungkinan respon katanya adalah “matahari, malam atau
bintang”, ini dikarenakan berada pada kelompok kata yang sama.

Mental Lexicon juga berkaitan dengan Human memory (ingatan manusia), dimana ketika
kata yang telah masuk kedalam mental lexicon, itu berarti kata tersebut telah disimpan
dalam pikiran manusia, dan akan diterima oleh memory yang dimana akan mampu
menjadi pengetahuan bagi mereka. Menurut Fauziati (2008) menyatakan bahwa memori
adalah sebuah rekaman pengalaman yang permanen dimana input tersebut secara
permanen telah tersimpan di dalam mental lexicon. Memori atau ingatan manusia terbagi
menjadi dua, yaitu memori pendek (shorterm memory) dan memori panjang (longterm
memori). Akan tetapi Taylor (dalam Fauziati (2008) membagi menjadi 3 bagian
yaitusensory register, shorterm memory, dan longterm memori. Sensory register disini
adalah sebuah tempat dimana sebuah rangsangan diterima untuk pertama kali yang
nanti akan diteruskan ke shor-term memori. Sedangkan short-term memori merupakan
sebuah tempat dimana informasi disimpan sementara selama memperoses pesan,
informasi ini berasal dari sensory register. Sementara informasi yang disimpan dalam
jangka waktu yang lama atau permanen untuk di proses, dimengerti, terjadi dalam long-
term memory. Misalkan, untuk short-term memori anak mampu mengingat digit nomor
yang diacak pada saat itu, namun setelahnya akan lupa. Sedangkan untuk long-term
memori lebih mengacu kepada pengalaman atau informasi yang telah dialami
sebelumnya.
Kata yang telah tersimpan di dalam memori, harus mengalami proses latihan atau
pengulangan yang disebut dengan (retrieval process) yakni prosess dimana kata tersebut
akan selalu mengalami pengulangan penggunaan sehingga dia mampu memahami dan
menggunakan kata tersebut dengan baik. Tepatnya kata tersebut akan tersimpan dalam
memory panjang (longterm memory). Seperti yang dipaparkan oleh Fauziati (2008)
menyatakan bahwa anak harus mengulang informasi dari memori untuk mampu
membetuk kata atau kalimat yang sebelumnya pernah didengar atau dibaca olehnya.
Apa dan seberapa banyak anak mengingat kata atau kalimat tersebut tergantung dari
bagaimana mereka mendapatkan kata atau kalimat pertama kalinya. Mereka mungkin
tidak akan mampu mengerti arti kata atau kalimat tersebut jika mereka belum menyimpan
arti itu ke dalam memori selama mereka belajar. Jadi, pengetahuan yang didapatkan oleh
seorang anak dalam mempelajari atau memperoleh bahasa merupakan hasil
penyimpanan dari memori yang kemudian mampu diproduksi oleh anak tersebut..

Memori mempunyai peranan penting dalam mempelajari atau memproduksi bahasa,


dikarenakan memori berperan dalam memproses wacana atau kalimat. Pemerosesan
bahasa mengacu pada cara manusia menggunakan kata-kata untuk mengkomunikasi
ide-ide atau ekspresi mereka, sehingga dapat dipahami satu sama lain. Ada dua jenis
pemerosesan bahasa yaitu pemerosesan kalimat dan pemerosesan wacana.
Pemerosesan kalimat fokus pada sintaktik dari kalimat itu sendiri, jadi dalam hal ini anak

84
akan mengetahui makna kalimat berdasarkan sintaktiknya. Jadi dia menempatkan arti
dalam memori berdasarkan struktur kalimatnya. Sedangkan pemerosesan wacana fokus
pada bagaimana anak mengintrepetasi ide yang merupakan sebuah text atau wacana
yang merupakian hasil dari pada pengetahuan yang ada dalam memori. Menurut
Lebowitz (1985) memberikan contoh dari penggunaan memori dalam pemerosesan
wacana yaitu pada kalimat “ Lina menyapu lantai”, maka anak akan secara langsung
memahami kalimat tersebut bahwa Lina menyapu dengan sapu lidi. Hal ini dikarenakan
jenis kalimat tersebut telah menjadi input dan tersimpan dalam memori yang dimana
telah menjadi pengetahuan anak bahwa ketika mendengar kata “menyapu”, maka secara
spontan akan menginterpretasikan kata “sapu”. Jadi dalam hal ini kata sapu dan kalimat
tersebut telah tersimpan dalam memori jangka panjang anak, sehingga dengan spontan
memproduksi kata tersebut selama proses wacana berlangsung.

Ketika anak telah mempunyai banyak input di mental lexicon dan pengetahuan yang
telah mereka simpan dalam memori, maka secara langsung anak akan mampu mulai
menggunakan atau memproduksi bahasa itu sendiri. Namun disisi lain, ketika anak telah
mulai memproduksi bahasa, anak akan menemukan kesulitan-kesulitan dalam
menggunakan kata-kata ketika mereka ingin mengkomunikasikan ide mereka, sehingga
terjadinya kesalahan berbicara dalam komunikasi yang lebih dikenal dengan speech
error. Kesulitannya bisa berupa rasa ragu untuk berbicara, takut akan salah dalam kata-
kata yang ingin diucapkan, pengulangan atau bahkan selip lidah seperti yang diujarkan
oleh Fauziati (2008). Hal demikian sejalan dengan pemikiran menurut Clark dan Clark
(dalam Fauziati (2008)) terdapat dua sumber utama kesalahan berbicara yaitu pertama
kesalahan tersebut merupakan hasil dari kesulitan pembicara dalam berkomunikasi pada
saat itu seperti keraguan, koreksi atau perbaikan, dan jeda. Sementara sumber yang
kedua adalah kesulitan pembicara dalam hal membentuk artikulasi bunyi kata, misalkan
selip lidah yang dimana selip lidah disebabkan oleh kelelahan lidah, kehausan, dan
gugup.
Selip lidah dapat terjadi pada bunyi, bagian kata, dan struktur kalimat. Namun dalam hal
ini, Fauziati (2008) menjabarkan beberapa jenis selip lidah yang terjadi pada seleksi kata
(word selection). Ada 3 jenis seleksi kata yaitu kesalahan Semantik (makna yang sama
),malapropism (bunyi yang sama), dan campuran (blend). Kesalahan Semantik adalah
salah satu kesalahan yang paling umum dan biasanya ini ketika kata-kata tersebut
adalah lawan kata, persamaan kata, hyponim, kata dalam kategori yang sama, asosiasi
kata (misalkan roti memunculkan mentega). Sedangkan malapropism merupakan
kesalahan dalam bentuk kebingungan dalam membunyikan kata yaitu memnggangu kata
secara fonetis berhubungan bahasa target, seperti reprehend untuk apprehend,
derangement untuk arrangement. Sementara untuk blend yaitu kesalahan pada kata
yang terjadi pada dua kata yang bergabung menjadi sebuah bentuk baru. Seperti ketika
anak mengucapkan please exland that ( explain and expand), not in the sleast (slightest
and least), slickery (slick and slippery) and spaddle (spank and paddle). Dilain sisi
Aitchison (dalam Fauziati (2008)) membagi kesalahan menjadi assemblage
errors. Adapaun yang termasuk kedalamnya adalah Transposition, anticipations, dan
repetitions. Hampir semua kesalahan dalam berbicara merupakan kesalahan yang tak
disengaja, melainkan itu disebabkan karena faktor dari individu itu sendiri dari segi
psikologinya yang disebut dengan mental state yaitu lebih berkaitan dengan apa yang

85
dirasakan anak ketika dia sedang berbicara seperti rasa gugup, tertekan, banyaknya
yang dipikirkan sehingga bingung untuk mengucapkan yang mana, dan rasa panik juga
termasuk kedalamnya.
1. 3. Kesimpulan

Psikolinguistik dan kajiannya merupakan sebuah disiplin ilmu yan menarik untuk ditelaah
dimana ketika dua disiplin ilmy digabung menjadi satu kesatuan yang tidak dapat diteliti
secara terpisah. Penggabunga dua disiplin ilmu antara Psikologi dan Linguistik
merupakan penggabungan yang unik, yaitu penggabungan yang melihat dua sisi yang
berbeda dalam sebuah disiplin ilmu yaitu dalam hal ini hubungan antara jiwa dan bahasa.
Lebih khususnya yaitu bagaimana psikologi dari seseorang dalam mempelajari,
menggunakan dan memperoleh bahasa pertama. Hal demikian sangatlah patut untuk
direnungkan, mengingat kembali bagaimana proses seorang individu dalam memahami
dan mempelajari sebuah bahasa. Terdapat banyak ruang lingkup kajian dari disiplin ilmu
Psikolinguistik, namun beberapa yang sangat mendukung disiplin ilmu ini adalah
hubungan organ otak manusia dengan bahasa dan hubungan pikiran dengan bahasa.
Kajian Psikolinguistik ini lebih mengacu pada bagaimana organ otak berkontribusi dalam
mempelajari, menggunakan, dan memperoleh bahasa. Tanpa kita sadari ternyata, bagian
dari organ otak memiliki fungsi-fungsi tersendiri dalam membangun pemahaman dan
pengetahuan kita dalam mempelajari dan menggunakan bahasa. Bahkan gangguan
berbahasapun dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada otak. Lebih penting
lagi, kemampuan seseorang dalam berbahasa juga dipengaruhi oleh kerja otak yang
terlihat dari bagaimana lateralisasi otak berfungsi dengan maksimal. Sehingga peranan
otak dalam mendukung manusia mempelajari bahasa sangatlah besar, yang perlu
diperhatikan dan diketahui oleh masing-masing individu. Sementara kajian Psikolinguistik
dalam hal pikiran dan bahasa juga sangat berperan, yaitu menyatakan bahwa adanya
hubungan timbal balik antara bahasa dan pikiran manusia. Bagaiamana seorang anak
mampu mengekspresikan ide-idenya dengan kata-kata yang telah dia simpan dalam
mental lexicon dan memorinya, sehingga dia pun mampu mengkomunikasikannya
dengan baik kepada orang lain. Kemampuannya dalam berkomunikasi dipengaruhi oleh
keadaan psikologinya, karena ketika psikologi atau perasaan anak tidak tenang, maka
dapat menimbulkan kesalahan berbicara yang sebenarnya tidak seharusnya dilakukan.
Oleh karena itu, kemampuan seseorang atau anak dalam mempelajari, menggunakan ,
dan memperoleh bahasa berkaitan dengan Psikologi anak itu sendiri yang dimana ketika
psikologi anak terganggu maka itu juga akan mengganggu penampilannya dalam
menggunakan bahasa. Sehingga keseimbangan antara Psikologi dan pengetahuan akan
bahasa akan mampu membuat anak memproduksi atau menggunakan bahasa dengan
baik.

86

Anda mungkin juga menyukai