SKRIPSI
Oleh :
i
ii
Oleh
MOCH. AZMY KARTIKO
NIM : 23010115140124
ii
iii
iii
iii
iv
iv
iv
v
RINGKASAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon fisiologis sapi laktasi
akibat modifikasi lingkungan di teaching farm sapi perah FPP UNDIP. Penelitian
ini dilaksanakan pada tanggal 6 September – 27 September 2018 di Teaching Farm
Sapi Perah Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 ekor sapi laktasi dengan
rata-rata bobot badan 443,18±12,89 kg (CV= 0,08%) dan memiliki produksi susu
sebesar 5,96±0,57 liter/hari (CV= 0,19%). Rancangan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Cross-Over Design dengan 2 perlakuan dan 8 ulangan
yang dilaksanakan pada 2 periode. Perlakuan yang diterapkan adalah pemberian
kipas angin dan nozzle sebagai bentuk modifikasi lingkungan. Penelitian ini
menggunakan 4 ekor sapi sebagai kontrol (T0) dan 4 ekor sapi yang diberikan
perlakuan (T1) pada 11 hari pertama (periode 1), kemudian jeda 1 hari untuk
pergantian sapi dan setelah itu periode 2 dilakukan pada 11 hari terakhir dengan
posisi sapi yang telah ditukar yaitu 4 ekor sapi sebagai T0 diberi perlakuan T1 dan
4 ekor sapi yang mendapat perlakuan T1 menjadi T0. Parameter yang diamati adalah
fisiologi lingkungan (suhu udara, kelembaban lingkungan dan THI) dan fisiologi
ternak (suhu rektal, frekuensi napas dan frekuensi nadi). Analisis yang digunakan
pada data fisiologi lingkungan yaitu independent t-test two tailed, sedangkan pada
data fisiologi ternak yaitu analisis ragam (Anova) pada taraf signifikasi 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian modifikasi lingkungan
kandang menyebabkan terjadi penurunan suhu lingkungan dari 31,41±0,11°C (T0)
menjadi 30,49±0,06°C (T1) (P<0,05), peningkatan kelembaban lingkungan dari
73,14±0,07% (T0) menjadi 73,41±0,11% (T1) (P<0,05) dan penurunan
Temperature Humidity Index (THI) dari 88,11±0,02 (T0) menjadi 86,48±0,10% (T1)
(P<0,05). Perlakuan modifikasi lingkungan tidak memberikan pengaruh terhadap
suhu rektal, frekuensi nadi dan frekuensi napas. Nilai masing-masing perlakuan
pada suhu rektal adalah 38,10±0,06°C (T0) dan 38,04±0,06°C (T1), frekuensi napas
adalah 53,88±1,25% kali/menit (T0) dan 52,25±1,25 kali/menit (T1) dan frekuensi
nadi adalah 63,38±0,66 kali/menit (T0) dan 62,75±0,66 kali/menit (T1).
Simpulan dari penelitian ini adalah modifikasi lingkungan kandang
menggunakan kipas angin dan nozzle mampu memperbaiki kondisi suhu
lingkungan, kelembaban udara dan THI akan tetapi tidak mengubah pengaruh
terhadap respon fisiologis sapi laktasi.
v
v
vi
KATA PENGANTAR
tingkat produktivitas sapi perah. Lingkungan kandang yang panas seperti di daerah
atau metode dalam menurunkan suhu yang panas guna meningkatkan kenyamanan
ternak sapi perah sehingga hasil yang diharapkan adalah produktivitas yang
meningkat. Skripsi ini menjelaskan dan mengkaji mengenai respon fisiologis sapi
laktasi akibat modifikasi lingkungan di teaching farm sapi perah FPP UNDIP.
Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Priyo Sambodho, M.Si.
selaku Pembimbing Utama dan Ibu drh. Dian Wahyu Harjanti, Ph.D. selaku
saran dalam melakukan penelitian hingga dalam penyusunan laporan skripsi dengan
baik; kepada Ibu Dr. Dra. Turrini Yudiarti, M. Sc. selaku dosen wali; Dr. Ir.
Bambang Waluyo H.E.P. M.S., M.Agr. selaku pimpinan Fakultas Peternakan dan
Pertanian UNDIP beserta jajarannya yang telah memberikan fasilitas dan bantuan
vi
vii
Suhartutik, Adik Azzahra Yuniar Zhantika dan Adik Lailatul Jamila Noeratika serta
keluarga besar penulis yang senantiasa selalu memberikan doa dan dukungan baik
tim penelitian, Bapak/Ibu Dosen Laboratorium Produksi Ternak Perah, Bapak Daud
Peternakan periode 2016 – 2018, Tim Asisten Laboratorium Produksi Ternak Perah
tim Kuliah Kerja Nyata (KKN) tim 2 Desa Padek, saudara dan saudari Laila Nurul
Muhammad Kholis Fikri serta teman-teman terdekat penulis yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa dan semangat kepada penulis.
M.Sc., Ph.D. dan Bapak Ir. Suranto Moch. Sayuthi, M.Si selaku Dosen Penguji,
Bapak Rudy Hartanto, S.Pt., M.P., Ph.D. dan Bapak Ir. Surono, M.P. selaku dosen
panitia yang telah memberikan ilmu dan saran kepada penulis pada waktu sidang
Penulis
vii
vii
viii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................ vi
viii
ix
LAMPIRAN ............................................................................................... 44
ix
ix
x
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
x
xi
DAFTAR ILUSTRASI
Nomor Halaman
xi
xi
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
meningkat yaitu 14,77 pada tahun 2012 menjadi 16,84 kg/kapita/tahun (Pusat Data
peningkatan konsumsi tersebut tidak diimbangi oleh pasokan produksi susu dalam
khusunya di Provinsi Jawa Tengah yaitu dari 105.516 ton pada tahun 2012 menjadi
99.607 ton pada tahun 2017 (Badan Pusat Statistik, 2016). Akibatnya, impor susu
di Indonesia masih tergolong tinggi yaitu 89,18% dari jumlah produksi susu di
Friesian Holstein (FH). Bangsa sapi ini banyak dipelihara di Indonesia khusunya
Jawa Tengah. Sapi perah jenis ini dapat dipelihara karena genetiknya yang tidak
jauh dengan sapi asalnya dan telah mampu beradaptasi dengan iklim di Indonesia
produksi susu pada sapi perah. Lingkungan yang juga merupakan indikator tingkat
kenyamanan sapi perah yang hal tersebut dapat diukur melalui perubahan fisiologis
yang terjadi pada tubuh sapi perah (Pasaribu et al., 2015). Cekaman panas yang
yang dapat membuat ternak stress mampu memicu beberapa faktor lain untuk
1
1
2
aspek-aspek utama yang diukur dalam fisiologi lingkungan dalam bentuk sebagai
Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, diyakini merupakan salah satu faktor dalam
Lingkungan dapat dimodifikasi dengan keadaan atau kondisi iklim asal sapi
perah maupun kondisi dimana lingkungan tidak melampaui batas kenyamanan sapi
perah. Usaha modifikasi lingkungan dengan cara memperkecil tingkat panas pada
lingkungan sekitar sapi perah dapat berupa pemberian kipas, pemberian air
menggunakan nozzle, pemberian air minum dingin, naungan, pemilihan bahan atap
secara fisiologis dan tingkat respon perubahan fisiologis tubuh ternak dari suhu
rektal, frekuensi napas dan frekuensi denyut nadi. Tingkat keberhasilan lainnya
yaitu tingkat performa sapi perah dalam produktivitasnya menghasilkan susu secara
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon fisiologis sapi laktasi
akibat modifikasi lingkungan di teaching farm sapi perah FPP UNDIP. Manfaat
dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang respon fisiologis sapi
laktasi akibat modifikasi lingkungan di teaching farm sapi perah FPP UNDIP.
2
2
3
teaching farm sapi perah FPP UNDIP dapat mempengaruhi respon fisiologis ternak
3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kebutuhan nutrisi pangan berupa susu yang secara harfiah susu dihasilkan untuk
lepas sapih (Akoso, 2012). Sapi perah masuk ke Indonesia pada tahun 1890 dan
pada abad ke-20 jenis sapi Friesian Holstein (FH) diimpor dari Belanda yang
Harianto, 2011).
bentuk kepala yang panang, bentuk mulut yang lebar, pinggang sedang dan telinga
berukuran sedang (Sosroamidojo dan Soeradi, 1984). Ciri-ciri sapi perah jenis ini
memiliki badan berbelang hitam, ekor dan persendian siku serta lutut berwarna
putih, berbadan besar, kepala panjang, tanduk mengarah ke depan dan sedikit
membengkok ke belakang dan badan berbentuk baji (Gumelar dan Aryanto, 2011).
peternak dalam manajemen pemeliharaan sapi perah dalam mengurangi stres panas
normal ternak seperti untuk menurunkan cekaman akibat suhu udara, kelembaban
4
4
5
udara maupun radiasi matahari (Yani dan Purwanto, 2006). Terdapat banyak
kandang, meninggikan atap dan pemberian manipulasi udara buatan dalam kandang
(Suherman et al., 2017). Kandang yang dimodifikasi merupakan salah satu upaya
menjadikan ternak lebih nyaman yang hal ini dapat ditunjukkan dengan
menurunnya respon fisiologis ternak seperti suhu rektal, frekuensi pernapasan dan
frekuensi nadi (Qisthon dan Suharyanti, 2007). Bentuk modifikasi lingkungan pada
daerah beriklim panas biasanya menggunakan alat pendingin seperti air condition,
performans produksi susu (Pasaribu et al., 2015). Fisiologi lingkungan dalam unsur
mikroklimat yaitu suhu udara, kelembaban udara dan radiasi matahari akan sangat
mempengaruhi kenyamanan pada suatu makhluk hidup termasuk ternak sapi perah
5
6
dapat mempengaruhi tingkat laju respirasi dan fungsi fisiologis lainnya yang
sehingga akan berujung pada menurunnya performa ternak (Suherman et al., 2017).
Suhu lingkungan yang ideal atau suhu nyaman sapi perah pada daerah tropis seperti
bumi, banyak sedikitnya awan dan adanya perbedaan letak lintang yang hal tersebut
dapat mempengaruhi fisiologis pada ternak karena pada hakikatnya sapi perah
sangat peka terhadap perubahan suhu kondisi iklim suatu wilayah (Yani dan
Produktivitas ternak sapi perah juga dapat dipengaruhi oleh suhu udara dari
matahari akibat terjadi penyerapan radiasi oleh bahan atap yang mudah menyerap
panas yang akan dikonversikan menjadi gelombang panas yang panjang kemudian
akan mengalami heat stress yang kemudian dapat mengganggu produktivitas ternak
sapi perah (Nuriyasa et al., 2015). Beban panas akan bertambah dari lingkungannya
6
7
Kelembaban udara adalah jumlah uap air di udara yang memiliki sifat
menyerap radiasi bumi yang nantinya akan menentukan atau mengatur suhu udara
merupakan suatu unsur mikroklimat yang memiliki hubungan yang erat dengan
suhu dan ketinggian tempat (Nugroho et al., 2010). Kelembaban udara dipengaruhi
oleh banyak sedikitnya intensitas cahaya matahari dan kadar air yang mengenai
suatu wilayah (Susilo dan Okaryanti, 2012). Kelembaban ideal atau zona
humidity index (THI) merupakan rata-rata yang digunakan salah satu standar untuk
pengukurnya (Suherman dan Purwanto, 2015). Sapi perah akan memiliki zona
nyaman apaila nilai THI di bawah 72 dengan kelembaban sebagai faktor pembatas
dari stres panas di daerah beriklim tropis atau lembab, sedangkan suhu udara kering
sebagai faktor pembatas stres panas di daerah beriklim kering (Novianti et al.,
7
8
sensitivitas ternak serta entuk respon terhadap faktor lingkungan (Ghiardien et al.,
2016). Sapi laktasi sangat sensitif terhadap stres panas sehingga mekanisme untuk
yaitu dengan meningkatkan laju pernafasan,nadi maupun suhu tubuhnya dan juga
2013).
fisiologis sapi perah yang perubahan tersebut terjadi karena adanya akumulasi
panas dari dalam tubuh dan panas dari lingkungan sebagai akibat proses produksi
panas yang tidak seimbang dengan pelepasan panas ke lingkungan (Mariana et al.,
8
8
9
2016). Ternak akan melakukan penyesuaian dirinya dari dalam tubuh untuk
dari pakan dari fungsi awalnya adalah sebagai pertumbuhan dan produksi menjadi
energi untuk proses thermoregulasi (Qisthon dan Widodo, 2015). Fisiologis ternak
merupakan salah satu respon dari fisiologis lingkungan baik dari faktor lingkungan
secara fisik maupun kimiawi (Awabien, 2007). Proses homeostasis diawali dari
stimulus berupa panas yang dibebankan dalam tubuh ternak yang dapat diakibatkan
dari faktor lingkungan dan proses metabolisme akan dikeluarkan melalui proses
radiasi, konduksi, koveksi, evaporasi, pengeluaran susu, feses dan urin yang dapat
Environment Environment
Radiation Radiation
Conduction Conduction
Convection Convection
Evaporation
Metabolism Metabolism
9
10
sebagai bentuk pengaturan yang dilihat dari respon fisiologis tubuh ternak untuk
menjaga keadaan dan kondisi ternak agar tetap dalam keadaan seimbang (Campbell
endokrin (hormone) dan mekanisme syaraf yang terpusat dalam central neuro
system (sistem syaraf pusat) yaitu di hipotalamus (Campbell dan Lasley, 1977).
produksi panas dan pelepasan panas dalam tubuh yang dapat dipengaruhi oleh jenis
bangsa ternak, aktivitas ternak, kondisi kesehatan ternak dan kondisi lingkungan
ternak (Junaidi et al., 2016). Ternak dapat diketahui status suhu kritisnya yaitu
dengan mengetahui suhu tubuh yang diestimasikan dari pengukuran suhu rektal
atau suhu tubuh, sedangkan untuk mengetahui tingkat pembuangan panas (heat
loss) dapat diketahui melalui suhu kulit, nafas dan jantung (Suherman et al., 2013).
Sapi perah periode laktasi memiliki rata-rata normal suhu rektal adalah
sebesar 38,5ºC dan suhu tersebut mencapai puncak pada pukul 12.00 WIB dan akan
berangsur menurun setelah pukul 16.00 WIB (Utomo et al., 2009). Suhu rektal yang
oleh sapi laktasi (Ratnawati et al., 2008). Suhu rektal dapat mengindikasikan suhu
tubuh ternak (Edey, 1983). Perpindahan panas selain dari evaporasi dari proses
respirasi ternak dapat berpindah pula melalui proses konveksi dan konduksi
(Campbell et al., 1999). Apabila kulit menerima panas akan diterima di hipotalamus
10
10
11
bagian anterior yaitu bagian yang mengatur untuk proses pembuangan panas
reseptor panas
di hipotalamus
Anterior Vasodilatasi
reseptor panas (Pembuangan Panas) Berkeringat
di perifer Terengah-engah
Kulit
kerja yang
beralawanan
Menggigil
reseptor panas
Posterior Tidak menggigil
di perifer
(Produksi Panas) (produksi panas)
reseptor dingin
di hipotalamus
Hipotalamus
Frekuensi napas atau laju respirasi pada ternak sapi perah merupakan bentuk
kehilangan panas tubuh yang terjadi ketika adanya peningkatan permintaan oksigen
akibat aktivitas, kondisi lingkungan suhu dan kelembaban yang relatif tinggi
(Ghiardien et al., 2016). Kondisi normal sapi perah akan melakukan frekuensi
akan mengalami peningkatan pada pukul 06.00 WIB hingga pada puncaknya 12.00
11
12
WIB dan akan berangsur turun setelah pukul 16.00 WIB (Utomo et al., 2009).
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju frekuensi pernapasan pada ternak sapi
perah adalah kualitas pakan, kondisi lingkungan dan aktivitas ternak (Yani dan
Purwanto, 2006). Proses termoregulasi atau pengeluaran panas yang tidak sensible
akan menyebabkan pengeluaran beban panas dari tubuh melalui evaporasi menjadi
aktif dan dapat menurunkan sekitar 30% dari beban panas yang dialaminya yang
hal ini dibuktikan dengan cara meningkatkan laju respirasi sehingga (Amir et al.,
homeostasis yaitu dengan cara menyebarkan panas ke bagian seluruh tubuh karena
adanya cekaman panas dari lingkungannya (Ratnawati et al., 2008). Sapi perah fase
dan akan mengalami peningkatan pada pukul 06.00 WIB hingga pada puncaknya
12.00 WIB dan akan berangsur turun setelah pukul 16.00 WIB (Utomo et al., 2009).
Meningkatnya frekuensi nadi pada sapi perah laktasi disebabkan oleh tingginya
beban panas dari dalam dan luar tubuh, pakan dengan kualitas rendah (Sudono,
1999).
panas yang akan disalurkan pada meningkatnya suhu rektal atau suhu tubuh yang
12
12
13
hal ini terdapat hubungan yang erat antar keduanya dalam termoregulasi ke keadaan
udara yang dari udara panas dengan udara yang lebih dingin dari luar tubuh dalam
langsung mengenai kulit sehingga akan direspon oleh syaraf sebagai stimulus dan
(HPA-Axis) yang akan mempengaruhi kerja denyut jantung untuk memompa lebih
cepat sehingga pertukaran oksigen dan karbondioksida menjadi lebih cepat yang
2007).
13
13
14
BAB III
Diponegoro, Semarang.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 ekor sapi laktasi
produksi susu sebesar 5,96±0,57 liter/hari (CV= 0,19%). Peralatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 4 buah kipas angin (Sekai, Indonesia) dengan tipe HFN-
950 berdiameter 23 cm dengan kecepatan 3,2 m/s dan 1 buah nozzle (Walet Misting,
pressure) sebesar 130 psi, berkekuatan (openflow) 1,6 lpm (liter per menit) dengan
voltase listrik arus searah sebesar 24 voltage direct current (VDC) yang digunakan
untuk memberikan efek bentuk modifikasi lingkungan yang dipasang 1 meter diatas
sapi, anemometer (China OEM, China) untuk mengukur kecepatan angin dari kipas
suhu dan kelembaban lingkungan luar dan dalam kandang dan termometer klinis
(Polygreen, Jerman) yang digunakan untuk mengukur suhu rektal sapi melalui
rektum sapi.
14
14
15
over design. Unit percobaan yang digunakan adalah 2 perlakuan × 2 periode dengan
4 ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah pemberian kipas angin dan nozzle
sebagai bentuk modifikasi lingkungan (T1) dan perlakuan kontrol yaitu tanpa
diberikan pemberian kipas angin dan nozzle (T0). Penelitian ini menggunakan 4
ekor sapi yang diberikan perlakuan (T1) dan 4 ekor sapi sebagai kontrol (T0) pada
11 hari pertama (periode 1), kemudian jeda 1 hari untuk penukaran sapi. Periode 2
dilakukan pada 11 hari terakhir dilakukakan penukaran posisi sapi yaitu 4 ekor sapi
sebagai kontrol diberi perlakuan dan 4 ekor sapi yang mendapat perlakuan menjadi
Keterangan :
Periode 1 : T0 = Sapi tanpa pemberian kipas angin dan nozzle (A1, A2, A3
dan A4)
15
15
16
dan B4)
Periode 2 : T0 = Sapi tanpa pemberian kipas angin dan nozzle (B1, B2, B3
dan B4)
dan A4)
A3
A2
A1
Pemberian
Perlakuan
Modifikasi
Lingkungan
B1
B4
B3
B2
Nozzle
1 meter
3,5 meter
Kipas Angin
16
16
17
nutrien dalam pakan yang diberikan serta pengumpulan data kebutuhan sapi perah
pada setiap sapinya. Data awal yang didapat adalah semua data keadaan lingkungan
dan ternak sapi dalam keadaan normal (tidak mendapat perlakuan) selama 2 × 24
jam (setiap 2 jam). Data ini digunakan untuk menentukan waktu pemberian
perlakuan yaitu menyalakan alat kipas angin dan nozzle. Berdasarkan Ilustrasi 5,
perlakuan dilakukan pada pukul 10.00-15.00 WIB karena pada waktu tersebut
merupakan waktu dimana suhu menunjukkan rentang puncak panas dalam satu hari.
35
34
33
32
Suhu (ºC)
31
30
29
28
27
26
25
Waktu (WIB)
Indonesia) sebanyak 4 kg dan pakan jerami yang diberikan secara ad libitum setiap
17
17
18
musim kemarau. Kadar nutrien dalam masing-masing bahan pakan disajikan dalam
Tabel 3 berdasarkan hasil analisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan, Fakultas
Perlakuan yang diterapkan adalah pemberian kipas angin dan nozzle sebagai
bentuk modifikasi lingkungan (T1) dan perlakuan kontrol yaitu tanpa diberikan
pemberian kipas angin dan nozzle (T0). Tahap ini membutuhkan waktu selama 23
hari yang terhitung 22 hari masa pengambilan data yang dibagi menjadi 2 periode
dan 1 hari masa penukaran unit percobaan. Tahap pengambilan data dilakukan
dengan cara pengumpulan data fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak. Data
fisiologis lingkungan dan fisiologis ternak diambil pada masa pengukuran setiap 2
jam dalam sehari yaitu pukul 18.00, 20.00, 22.00, 24.00, 02.00, 04.00, 06.00, 08.00,
12.00, 14.00 dan 16.00 selama 22 hari masa penelitian. Data hasil penelitian
18
19
Data yang telah diperoleh diolah dan dianalisis yang meliputi data fisiologi
lingkungan yang antara lain suhu, kelembaban, radiasi matahari dan temperature
3.3.1.1. Suhu udara. Suhu udara dapat diketahui dengan cara melihat skala yang
telah dihitung dengan cara melihat pada thermohygrometer yang diletakkan pada
tiga tempat, yaitu satu tempat di luar kandang sebagai suhu makro, satu tempat
didalam kandang bagian wilayah perlakuan dan satu tempat didalam kandang
melihat skala yang telah dihitung dengan cara melihat pada thermohygrometer yang
diletakkan pada tiga tempat, yaitu satu tempat di luar kandang sebagai suhu makro,
satu tempat di dalam kandang bagian wilayah perlakuan dan satu tempat di dalam
dapat diketahui dengan cara membaca skala suhu dan kelembaban pada
pada rumus. Temperature humidity index (THI) dapat dihitung melalui rumus
19
20
Data yang telah diperoleh diolah dan dianalisis yang meliputi data fisiologi
ternak yang antara lain suhu rektal, frekuensi napas dan frekuensi nadi.
3.3.2.1. Suhu Rektal. Suhu rektal ternak sapi dapat diukur menggunakan
termometer klinis atau termometer rektal yang dimasukkan pada rektum sapi. Suhu
dapat dibaca ketika termometer klinis memberikan angka yang konstan dengan
ditunjukkan adanya suara pada alat termometer klinis. Pengambilan data ini
diafragma sapi. Frekuensi napas dihitung selama satu menit dan dilakukan secara
3.3.2.3. Frekuensi nadi. Frekuensi nadi dapat dihitung melalui banyaknya denyut
nadi yang dihitung pada bagian pangkal ekor sapi. Frekuensi nadi dihitung selama
berikut:
20
21
Keterangan :
(i), periode percobaan (j) dan individu ternak sapi perah laktasi (k)
independent t-test two tailed untuk membandingkan hasil antar perlakuan. Data
fisiologi ternak (suhu rektal, frekuensi nadi dan frekuensi napas) yang diperoleh
21
21
22
dianalisis menggunakan analisis ragam (Anova atau analysis of variance) atau uji
pengaruh perlakuan terhadap suhu rektal dan frekuensi nadi. Apabila hasil P-Value
dianalisis dibantu menggunakan aplikasi software Statistical Package for the Social
Sciences (SPSS) 16.0. Respon fisiologi lingkungan dan fisiologis ternak terdapat
lingkungan (suhu dan kelembaban udara) tidak mengalami proses penukaran dan
Keterangan :
22
22
23
BAB IV
Variabel T0 T1 P-Value
Suhu Udara (ºC) 31,41±0,11 30,49±0,06 <0,01
Kelembaban Udara (%) 73,14±0,07 73,41±0,11 0,04
THI 88,11±0,02 86,48±0,10 <0,01
membuktikan suhu udara dalam kandang dapat turun secara signifikan. Meskipun
hasil menunjukkan terdapat signifikasi namun data yang ditunjukkan rata-rata nilai
setelah diberi perlakuan masih menunjukkan angka diatas rata-rata ideal suhu udara
23
23
24
lingkungan untuk sapi perah. Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa suhu
lingkungan yang ideal atau suhu nyaman sapi perah pada daerah tropis seperti
Indonesia yaitu berkisar antara 23 – 28oC. Hal ini disebabkan karena pemberian
perlakuan berupa alat modifikasi lingkungan berupa kipas angin dan nozzle yang
di lokasi penelitian yang memiliki suhu yang ekstrim. Kapasitas kerja yang
dimaksudkan adalah ukuran kipas angin yang terlalu kecil dan tekanan pompa
nozzle yang kurang kuat maupun intensitas perlakuan yang hanya dilakukan pada
yang dilaporkan oleh Yani dan Purwanto (2006) bahwa perlakuan pengkabutan
dengan nozzle dan kipas angin yang diberikan setiap 10 menit sekali setiap jamnya
pada pukul 06.00 hingga 16.00 mampu menurunkan suhu 2ºC. Hal ini menunjukkan
41
39
37
Suhu (°C)
35
33
31 T0
29 T1
27
25
Pukul (WIB)
24
24
25
Tingginya suhu dalam kandang pada penelitian adalah suhu makro kandang
yang ekstrim panas dan atap kandang yang bersifat menyerap panas. Atap kandang
yang digunakan adalah berbahan asbes yang mana asbes bersifat menyerap panas
sehingga akan menambah beban panas dalam kandang. Yani dan Purwanto (2006)
dan fisiologis suhu di dalam kandang sehingga dalam pemeliharaan sapi perah
sebaiknya memilih atap kandang yang mampu memantulkan dan menyerap radiasi
sehingga dapat mengurangi proses perpindahan panas ke dalam kandang. Selain itu,
penelitian berupa kandang dengan model semi terbuka (barn terbuka) sehingga
25
26
85
83
81
79
Kelembaban (%)
77
75
73
71 T0
69 T1
67
65
63
Pukul (WIB)
bahwa kelembaban ideal atau zona termonetral bagi ternak sapi perah adalah sekitar
Semakin tinggi suhu yang dihasilkan pada suatu wilayah maka akan semakin
rendah kelembaban yang dihasilkan dan sebaliknya. Hal tersebut dapat dilihat
modifikasi lingkungan kandang yang hanya sebesar 0,27% disebabkan oleh jenis
perlakuan yang menggunakan air sebagai penyejuk udara atau suatu bentuk
sedikitnya kadar air di udara dalam suatu lingkungan serta suhu lingkungan. Hal ini
26
26
27
sesuai dengan pendapat Yohana et al. (2017) yang menyatakan bahwa kadar air dan
faktor kelembaban dalam suatu lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
menurunkan suhu udara dalam suatu lingkungan tetapi juga akan berakibat
lingkungan yang terlalu lembab (di atas standar kenyamanan) dapat berakibat pada
adanya aktivitas manusia untuk sanitasi sapi perah dengan cara memandikan sapi
menggunakan air. Air yang digunakan akan mengalami penguapan oleh panas
dalam kandang sehingga uap air yang berada di udara tersebut akan meningkatkan
kadar kelembaban dalam kandang. Hal tersebut dapat dilihat dalam Ilustrasi 7 pada
pukul 06.00 WIB dan pukul 16.00 WIB terjadi peningkatan kelembaban yang
diakibatkan oleh kegiatan sanitasi sapi perah. Selain itu, faktor iklim Indonesia yang
beriklim tropis atau memiliki tingkat kelembaban suatu daerah yang tinggi juga
akan memberikan pengaruh fisiologis dan kenyamanan ternak. Hal ini sesuai
dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa Indonesia
memiliki iklim tropis yang memiliki suhu dan kelembaban yang relatif tinggi yang
hal tersebut akan menghambat proses penguapan dari tubuh ternak sehingga akan
27
28
terhadap nilai THI dalam kandang. Secara umum, rata-rata nilai masing-masing
mengalami penurunan sebesar 1,63. Bentuk fluktuasi yang disajikan dalam Ilustrasi
hewan atau ternak. Rata-rata nilai setelah pemberian perlakuan masih diatas rata-
rata normal THI untuk sapi perah. Novianti et al. (2013) menyatakan bahwa sapi
100
95
90
THI
85 T0
T1
80
75
Pukul (WIB)
28
29
Hal ini membuktikan bahwa sapi perah mengalami stres berat atau berada
pada zona merah. Interaksi antara suhu dan kelembaban yang disebut juga THI yang
digunakan sebagai salah satu indeks kenyamanan ternak harus memiliki nilai yang
tidak berada pada ambang batas, apabila melebihi batas, maka ternak akan
mengalami cekaman atau stres panas. Nugroho et al. (2010) menyatakan bahwa
nilai THI pada sapi perah akan mengalami stres ringan (72 ≤ THI ≤ 79), stres sedang
(80 ≤ THI ≤ 89) dan stres berat (90 ≤ THI ≤ 97 atau lebih). Perlakuan hanya mampu
menurunkan tingkat THI sekitar 2 satuan. Faktor yang mempengaruhi nilai THI
adalah nilai suhu dan kelembaban yang dihasilkan pada suatu wilayah. Semakin
tinggi suhu dan kelembaban suatu wilayah, maka semkin tinggi pula nilai THI yang
dihasilkan. Penurunan THI disebabkan karena terdapat penurunan pula pada suhu
dan kelembaban yang hal ini merupakan satu kesatuan parameter yang membentuk
penelitian dapat menurunkan nilai THI yang artinya setelah pemberian perlakuan
Variabel T0 T1 P-Value
Suhu Rektal (ºC) 38,10±0,06 38,03±0,06 0,48
Frekuensi Napas (kali/menit) 53,88±1,25 52,25±1,25 0,38
Frekuensi nadi (kali/menit) 63,38±0,66 62,75±0,66 0,52
29
29
30
lingkungan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap suhu rektal ternak
sapi perah fase laktasi. Secara umum, rata-rata nilai suhu rektal sapi perah laktasi
merupakan nilai suhu normal bagi sapi laktasi. Utomo et al. (2009) berpendapat
bahwa sapi perah periode laktasi memiliki rata-rata normal suhu rektal adalah
sebesar 37,3-38,3°C dan suhu tersebut mencapai puncak pada pukul 12.00 WIB dan
akan berangsur menurun setelah pukul 16.00 WIB. Meskipun, suhu udara dalam
perlakuan menunjukkan di atas normal suhu ideal sapi perah, namun suhu rektal
yang ditunjukkan pada data masih pada kisaran normal. Hal ini disebabkan karena
sudah beradaptasinya sapi ini yang telah dipelihara cukup lama pada lingkungan
penelitian.
kritisnya yaitu dengan mengetahui suhu tubuh yang diestimasikan dari pengukuran
suhu rektal atau suhu tubuh, sedangkan untuk mengetahui tingkat pembuangan
panas (heat loss) dapat diketahui melalui suhu kulit, frekuensi nafas dan denyut
perubahan pada frekuensi napas dan nadi akibat modifikasi lingkungan kandang.
Hal ini juga saling beterkaitan antara tidak adanya signifikasi atau perubahan pada
30
30
31
suhu rektal. Respon fisiologis merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi
38.5
38.4
38.3
Suhu Rektal (ºC)
38.2
38.1
38.0
37.9 T0
37.8
T1
37.7
37.6
37.5
Waktu (WIB)
sehingga akan meningkatkan frekuensi napas, nadi dan suhu rektal sebagai bentuk
upaya pengeluaran panas dari dalam tubuh. Suhu rektal merupakan suatu bentuk
gambaran dari suhu tubuh atau dapat dikatakan bahwa pengukuran suhu tubuh
dapat diukur melalui suhu rektal sapi laktasi. Cunningham dan Klein (2007)
kemudian jatuh langsung mengenai kulit sehingga akan direspon oleh syaraf
31
32
denyut jantung untuk memompa lebih cepat sehingga pertukaran oksigen dan
pernapasan.
Selain itu, perolehan panas (heat gain) juga dapat disebabkan oleh faktor
dalam tubuh. Proses penghasilan panas dari dalam tubuh diakibatkan oleh hasil
metabolisme tubuh seperti proses degradasi suatu bahan pakan. Naiddin et al.
(2010) menyatakan bahwa respon fisiologis ternak meliputi suhu rektal, frekuensi
nadi dan frekuensi napas dapat dipengaruhi salah satunya dari pakan. Konsumsi
pakan akan meningkat ketika ternak nyaman. Berdasarkan penelitian Naqiyya et al.
pemenuhan kebutuhan hidup pokok dan juga sebagai produktivitas susu ternak sapi
kandang juga diduga diakibatkan pada masa penelitian menggunakan pakan jerami.
panas yang dihasilkan dari pakan yang dikonsumsi berupa pakan jerami adalah
rendah. Wanapat et al. (2013) menyatakan bahwa limbah pertanian berupa jerami
32
32
33
memiliki kandungan nutrien yang rendah sehingga memiliki kecernaan yang rendah
pula pada sistem pencernaan ternak ruminansia. Hal ini menunjukkan kecernaan
pada sapi tidak terdegradasi dengan sempurna, sehingga hasil metabolisme pakan
pembuangan panas dari sapi tersebut lebih sedikit dibandingkan perolehan panas
suhu tubuh. Pemilihan bahan pakan dapat mempengaruhi repon suhu tubuh ternak.
Amir et al. (2017) menyatakan bahwa pakan yang memiliki nilai energi (TDN)
yang tinggi mampu menyebabkan peningkatan beban panas pada ternak sehingga
akan meningkatkan suhu tubuh ternak dan begitu pula sebaliknya. Pakan jerami
memiliki nilai energi yang rendah sehingga tidak memberikan beban panas dan
frekuensi napas ternak sapi perah fase laktasi. Secara umum, rata-rata frekuensi
napas sapi perah laktasi adalah T0 sebesar 53,88±1,25 kali/menit dan T1 menjadi
napas dalam kandang dapat turun. Kondisi rata-rata frekuensi napas pada penelitian
ini masih diatas normal frekuensi pernapasan sapi perah laktasi. Kondisi normal
33
34
nilai frekuensi nadi juga tidak ada perubahan. Frekuensi nadi merupakan suatu
motor atau penentu banyak sedikitnya jumlah napas yang diambil oleh hewan atau
ternak. Apabila frekuensi nadi mengalami peningkatan, maka frekuensi napas juga
samakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Cunningham dan Klein (2007)
yang menyatakan bahwa apabila ada suatu stimulus yang menyebabkan kerja
denyut jantung meningkat karena adanya hormon dari kelenjar adrenal sehingga
tingkat peredaran darah dari pembuluh nadi akan juga meningkat sehingga
65
Frekuensi Napas (Kali/menit)
60
55
50 T0
T1
45
40
Waktu (WIB)
pernapasan akan mengalami peningkatan pada pukul 06.00 WIB hingga pada
34
34
35
puncaknya 12.00 WIB dan akan berangsur turun setelah pukul 16.00 WIB. Hal
tersebut sesuai yang disajikan dalam Ilustrasi 10. Selain itu, faktor yang
mempengaruhi tingginya frekuensi napas pada sapi perah adalah kualitas pakan
yang diberikan suhu lingkungan yang tinggi dan banyaknya aktivitas pada ternak.
Nofita (2008) menyatakan bahwa tingkat frekuensi pernapasan yang tinggi dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain cekaman panas dari dalam maupun luar
frekuensi nadi ternak sapi perah fase laktasi. Secara umum, rata-rata frekuensi nadi
frekuensi nadi sapi perah laktasi. Keadaan yang normal ini disebabkan karena sudah
beradaptasinya sapi yang telah dipelihara cukup lama pada lingkungan penelitian
sapi laktasi dalam keadaan normal meski disebutkan bahwa nilai THI dalam
keadaan zona sedang. Suprayogi et al. (2017) menyatakan bahwa kisaran nadi sapi
yang meningkat dari pagi ke siang hari sangat mempengaruhi laju nadi ternak sapi
35
35
36
perah laktasi. Novianti et al. (2013) berpendapat bahwa nadi ternak cenderung naik
pada siang hari seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan sekitar. Kenaikan
frekuensi nadi tersebut merupakan bentuk respon atau reaksi fisiologis ternak yang
memiliki tujuan untuk melepaskan atau mengurangi panas dari dalam tubuh.
Ratnawati et al. (2008) menyatakan bahwa dengan meningkatan frekuensi nadi sapi
dapat menyebarkan panas ke seluruh tubuh yang diakibatkan oleh adanya cekaman
dari lingkungan.
70
Frekuensi Nadi (Kali/menit)
68
66
64
T0
62 T1
60
58
Waktu (WIB)
pakan yang dilaporkan oleh Nugraheni et al. (2019) didegradasi dalam tubuh juga
nadi karena dalam nadi terdapat darah yang mengangkut nutrien yang dibutuhkan
36
oleh tubuh. Apabila kecernaan bahan pakan dalam tubuh ternak meningkat, maka
36
37
frekuensi nadi (pembuluh darah) akan semakin meningkat pula. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sutardi (1980) yang menyatakan bahwa pakan yang telah
bagian zat tertentu yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh
yangmana bagian yang dibutuhkan oleh tubuh akan diserap oleh usus halus dan
akan dialirkan melalui darah sehingga apabila banyak yang diserap oleh tubuh akan
lingkungannya. Fluktuasi suhu lingkungan yang meningkat dari pagi ke siang hari
sangat mempengaruhi laju nadi ternak sapi perah laktasi. Novianti et al. (2013)
berpendapat bahwa nadi ternak cenderung naik pada siang hari seiring dengan
merupakan bentuk respon atau reaksi fisiologis ternak yang memiliki tujuan untuk
melepaskan atau mengurangi panas dari dalam tubuh. Ratnawati et al. (2008)
panas ke seluruh tubuh yang diakibatkan oleh adanya cekaman dari lingkungan.
37
37
38
BAB V
5.1. Simpulan
kelembaban udara dan THI akan tetapi tidak mengubah respon fisiologis sapi
laktasi.
5.2. Saran
Saran dari penelitian ini adalah sebaiknya ada penelitian lebih lanjut
38
38
39
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B. T. 2012. Budi Daya Sapi Perah. Airlangga University Press, Surabaya.
Amir, A., B. P. Purwanto dan I. G. Permana. 2017. Respon termoregulasi sapi perah
pada energi ransum yang berbeda. Jurnal Ilmu Teknologi Peternakan. 5 (2):
72 – 79.
Awabien, R. L. 2007. Respon Fisiologis Domba yang diberi Minyak Ikan dalam
Bentuk Sabun Kalsium. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor
(Skripsi).
Budiman, A., T. Dhalika dan B. Ayuningsih. 2006. Uji kecernaan serat kasar dan
bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dalam ransum lengkap berbasis hijauan
dan pucuk tebu (Saccharum officinarum). Jurnal Ilmu Ternak. (6) 2 : 132 –
135.
Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Susu Segar Menurut Provinsi 2009-2018.
Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Campbell, J. R., J. B. Reece dan L. G. Mitchell. 1999. Biologi Jilid 2 Edisi Ke-2.
Erlangga, Jakarta (Diterjemahkan oleh W. Manalu).
Campbell, J. R. dan J. F. Lasley. 1977. The Science of Animal that Serve Mankind.
Tata McGraw-Hill, Inc., New Delhi.
Edey, T.N. 1983. The genetic pool of sheep and goats. In: Tropical Sheep and Goat
Production (Edited by Edey. T.N.). Australia University International.
Development Program, Canberra.
39
40
Gumelar, A. P. dan R. Aryanto. 2011. Bobot badan dan ukuran tubuh sapi perah
betina Friesian Holstein di wilayah kerja koperasi peternak Garut Selatan.
Jurnal Buana Sains. 11 (2): 163 – 170.
Junaidi., M., C. I. Novita dan Dzarnisa. 2016. Kajian kondisi faali sapi perah
Peranakan Friesian Holstein (PFH) di peternakan rakyat Desa Suka Mulya
Kecamatan Lembah Seulawan Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah. 1 (1): 709-718.
Mariana, E., D. N. Hadi dan N. Q. Agustin. 2016. Respon fisiologis dan kualitas
susu sapi perah Friesian Holstein pada musim kemarau panjang di dataran
tinggi. Agripet. 16 (2): 131-139.
Mendelsohn, R. and A. Diner. 2009. Climate and Agriculture. MPG Books Group,
Bodmin.
40
41
Novianti, J., B. P. Purwanto dan A. Atabani. 2013. Respon fisiologis dan produksi
susu sapi perah FH pada pemberian rumput gajah (Pennisetum purpureum)
dengan ukuran pemotongan yang berbeda. Jurnal Ilmu Produksi dan
Teknologi Hasil Peternakan. 1 (3): 138 – 146.
Nofita, A. 2008. Temperatur Tubuh, Frekuensi Jantung dan Frekuensi Nafas Induk
Sapi Perah yang Divaksin dengan Vaksin Escherichia coli pada Periode
Kering Kandang. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor,
Bogor (Skripsi).
Nugraheni, S., R. Hartanto dan D. W. Harjanti. 2019. Kecernaan pakan sapi laktasi
akibat modifikasi lingkungan kandang di Teaching Farm sapi perah FPP
UNDIP. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro,
Semarang (Belum Dipublikasikan).
Pusat Data dan Sistem Informatik Pertanian. 2016. Outlook Susu Komoditas
Pertanian Subsektor Peternakan. Kementerian Pertanian Indonesia, Jakarta.
41
42
Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Institut Pertanian Bogor Press,
Bogor.
Suherman, D. dan B. P. Purwanto. 2015. Respon fisiologis sapi perah dara Fries
Holland yang diberi konsentrat dengan tingkat energi berbeda. Jurnal Sains
Peternakan Indonesia. 10 (1): 13 – 21.
Susilo, B. dan R. W. Okaryanti. 2012. Studi sebaran suhu dan rh mesin pengering
hybrid chip mocaf. Jurnal Teknologi Pertanian. 3 (2): 88 – 96.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor (Tidak diterbitkan).
Sutardi, T., N. A. Sigit dan T. Toharmat. 2001. Standarisasi Mutu Protein Bahan
Makanan Ternak Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolisme oleh
Mikroba Rumen. Proyek pengembangan Ilmu dan Teknologi Dirjen
Pendidikan Tinggi, Jakarta (Tidak diterbitkan).
Syarif, E. K. dan B. Harianto. 2011. Pintar Beternak dan Bisnis Sapi Perah.
AgroMedia Pustaka, Jakarta.
42
42
43
Yani, A. dan B. P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respon fisiologis
sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan
produktivitasnya. Media Peternakan. 29 (1): 35 – 46.
Yohana, E., B. Yunianto dan A. E. Diana. 2017. Simulasi distribusi temperatur dan
kelembaban relatif ruangan dari sistem dehumidifikasi menggunakan
computational fluids dynamics (CFD). Jurnal Rotasi. 19 (1): 1-11.
Wanapat, M., S. Kang, N. Hankla dan K. Phesatcha. 2013. Effect of rice straw
treatment on feed intake, rumen fermentation, and milk production in
lactating dairy cows. African J. Agric. Res. 8 (17): 1677 – 1687.
43
43
44
LAMPIRAN
44
44
45
Lampiran 1. (lanjutan)
Data T1 Pengukuran Suhu Lingkungan
Hari ke- Rata-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Rata
18.00 29,7 29,1 30,5 29,9 29,5 29,2 30,1 29,5 30,0 29,5 29,8 29,3 30,0 29,5 29,9 29,4 29,9 29,4 29,9 29,5 29,9 29,4 29,7
20.00 29,6 28,0 29,5 28,8 28,0 28,0 29,6 28,4 28,8 28,4 28,8 28,2 29,2 28,4 28,8 28,3 29,0 28,3 29,0 28,3 28,9 28,3 28,6
22.00 28,1 27,7 26,5 27,1 27,9 27,7 27,3 27,4 27,2 27,4 27,6 27,6 27,2 27,4 27,4 27,5 27,4 27,5 27,3 27,5 27,4 27,5 27,4
24.00 26,4 27,7 28,5 28,1 27,8 27,7 27,4 27,9 28,1 27,9 27,6 27,8 27,8 27,9 27,9 27,8 27,7 27,8 27,8 27,9 27,8 27,8 27,8
02.00 26,0 26,7 28,0 27,6 27,7 26,9 27,0 27,1 27,8 27,2 27,3 27,0 27,4 27,2 27,6 27,1 27,4 27,1 27,5 27,1 27,5 27,1 27,2
04.00 24,7 25,3 27,0 26,6 27,1 25,8 25,8 26,0 27,1 26,2 26,5 25,9 26,4 26,1 26,8 26,0 26,5 26,0 26,6 26,0 26,6 26,0 26,2
06.00 26,4 26,3 27,2 27,0 27,2 26,5 26,8 26,6 27,2 26,8 27,0 26,6 27,0 26,7 27,1 26,7 27,0 26,6 27,0 26,7 27,0 26,7 26,8
08.00 32,0 29,6 30,5 30,2 30,2 29,8 31,3 29,9 30,4 30,0 30,7 29,8 30,8 29,9 30,5 29,9 30,8 29,9 30,7 29,9 30,7 29,9 30,3
10.00 34,7 34,3 36,9 35,4 33,4 34,1 35,8 34,8 35,2 34,7 34,6 34,5 35,5 34,8 34,9 34,6 35,0 34,6 35,2 34,7 34,9 34,6 34,9
12.00 38,3 38,2 38,3 38,6 38,6 38,5 38,3 38,4 37,9 37,6 38,9 38,0 37,6 37,5 38,9 37,3 37,3 38,2 37,3 37,4 37,1 37,2 38,0
14.00 38,1 37,4 37,4 37,1 37,5 36,7 37,7 36,3 36,4 36,4 36,6 37,0 37,1 37,3 36,5 35,2 36,8 35,2 36,8 35,3 36,7 35,2 36,7
16.00 33,1 31,8 33,7 32,5 31,1 31,6 33,4 32,1 32,4 32,1 32,2 31,9 32,9 32,1 32,3 32,0 32,5 32,0 32,6 32,0 32,4 32,0 32,3
Rata-rata 30,5
45
45
46
46
46
47
Lampiran 2. (lanjutan)
Data T1 Pengukuran Kelembaban Udara
Hari ke- Rata-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Rata
18.00 66 65 64 66 63 66 63 64 66 65 65 65 64 65 66 65 66 65 65 65 66 65 64,95
20.00 70 72 71 72 72 73 70 70 71 72 72 71 72 71 72 71 73 71 73 71 70 71 71,36
22.00 74 73 74 74 74 74 72 74 75 75 74 75 74 74 75 75 75 74 74 74 75 75 74,16
24.00 75 76 75 76 77 76 75 74 76 76 75 75 76 75 77 75 76 75 76 75 77 75 75,63
02.00 76 75 74 76 76 77 76 75 77 76 75 76 76 75 77 76 76 76 77 76 78 76 75,95
04.00 75 76 75 76 76 76 76 77 77 76 76 77 77 78 77 78 77 78 78 78 77 78 76,75
06.00 84 85 84 83 85 84 85 84 84 84 83 85 86 84 85 85 83 84 84 84 84 84 84,24
08.00 76 75 77 75 75 76 77 76 75 75 75 75 77 76 75 75 76 75 77 75 75 76 75,64
10.00 77 76 78 78 77 77 78 77 79 78 79 77 78 77 78 77 77 77 78 78 77 78 77,55
12.00 65 63 65 63 65 64 65 63 63 63 64 63 63 63 64 63 65 63 65 63 64 63 63,73
14.00 66 65 64 65 66 65 65 66 65 64 64 65 66 67 63 64 66 64 66 64 65 64 64,95
16.00 75 74 76 75 77 77 76 75 76 75 76 77 77 78 76 76 77 77 75 76 75 76 76,00
Rata-rata 73,4
47
47
48
48
48
49
Lampiran 3. (lanjutan)
Data T1 Pengukuran Temperature Humidity Index (THI)
49
49
50
50
51
51
52
52
53
Lampiran 7. Rangkuman Hasil Output T-Test antar Perlakuan terhadap Suhu Lingkungan menggunakan SPSS 16.0
Uji T fisiologis lingkungan antar perlakuan (T0 dan T1) terhadap suhu udara menggunakan independent sample t-test - two tailed.
Group Statistics
Kelompo
k N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kesimpulan :
Karena Sig. (2-tailed) memiliki nilai 0,000 (P<0,05), maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti terdapat perbedaan yang nyata
(signifikan) antara perlakuan pemberian modifikasi lingkungan kandang di teaching farm sapi perah FPP UNDIP terhadap suhu
lingkungan
53
53
54
Lampiran 8. Rangkuman Hasil Output T-Test antar Perlakuan terhadap Kelembaban Udara menggunakan SPSS 16.0
Uji T fisiologis lingkungan antar perlakuan (T0 dan T1) terhadap kelembaban udara menggunakan independent sample t-test - two
tailed.
Group Statistics
Kesimpulan :
Karena Sig. (2-tailed) memiliki nilai 0,043 (P<0,05), maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti terdapat perbedaan yang nyata
(signifikan) antara perlakuan pemberian modifikasi lingkungan kandang di teaching farm sapi perah FPP UNDIP terhadap kelembaban
udara.
54
54
55
Lampiran 9. Rangkuman Hasil Output T-Test antar Perlakuan terhadap Temperature Humidity Index (THI) menggunakan SPSS 16.0
Uji T fisiologis lingkungan antar perlakuan (T0 dan T1) terhadap THI menggunakan independent sample t-test - two tailed.
Group Statistics
Kelompo
k N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kesimpulan :
Karena Sig. (2-tailed) memiliki nilai 0,000 (P<0,05), maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti terdapat perbedaan yang nyata
(signifikan) antara perlakuan pemberian modifikasi lingkungan kandang di teaching farm sapi perah FPP UNDIP terhadap THI..
55
55
56
Lampiran 10. Rangkuman Hasil Output Analisis Ragam Cross Over Design antar
Perlakuan terhadap Suhu Rektal menggunakan SPSS 16.0
Estimates
Dependent Variable:SuhuTubuh
Perlak 95% Confidence Interval
uan Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
1 38.100 .060 37.967 38.233
2 38.037 .060 37.904 38.171
Pairwise Comparisons
Dependent Variable:SuhuTubuh
(I) (J) 95% Confidence Interval for
Perlak Perlak Mean Differencea
uan uan Difference (I-J) Std. Error Sig.a Lower Bound Upper Bound
1 2 .063 .085 .477 -.126 .251
2 1 -.063 .085 .477 -.251 .126
Based on estimated marginal means
a. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no
adjustments).
56
56
57
Kesimpulan :
Karena Sig. memiliki nilai 0,477 (P>0,05), maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
pemberian modifikasi lingkungan kandang di teaching farm sapi perah FPP UNDIP
57
57
58
Lampiran 11. Rangkuman Hasil Output Analisis Ragam Cross Over Design antar
Perlakuan terhadap Frekuensi Napas menggunakan SPSS 16.0
Estimates
Dependent Variable:FrekNafas
95% Confidence Interval
Perlakuan Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
1 53.875 1.253 51.083 56.667
2 52.250 1.253 49.458 55.042
Pairwise Comparisons
58
59
Univariate Tests
Dependent Variable:FrekNafas
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Contrast 10.562 1 10.562 .841 .381
Error 125.625 10 12.562
The F tests the effect of Perlakuan. This test is based on the linearly independent
pairwise comparisons among the estimated marginal means.
Kesimpulan :
Karena Sig. memiliki nilai 0,381 (P>0,05), maka H1 ditolak dan H0 diterima yang
berarti tidak ada perbedaan yang nyata (non-signifikan) antara perlakuan pemberian
modifikasi lingkungan kandang di teaching farm sapi perah FPP UNDIP terhadap
59
59
60
Lampiran 12. Rangkuman Hasil Output Analisis Ragam Cross Over Design antar
Perlakuan terhadap Frekuensi nadi menggunakan SPSS 16.0
Estimates
Dependent Variable:FrekNadi
Perlak 95% Confidence Interval
uan Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
1 63.375 .663 61.899 64.851
2 62.750 .663 61.274 64.226
Pairwise Comparisons
Dependent Variable:FrekNadi
(I) (J) 95% Confidence Interval for
Perlak Perlak Mean Differencea
uan uan Difference (I-J) Std. Error Sig.a Lower Bound Upper Bound
1 2 .625 .937 .520 -1.463 2.713
2 1 -.625 .937 .520 -2.713 1.463
Based on estimated marginal means
a. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no
adjustments).
60
60
61
Kesimpulan :
Karena Sig. memiliki nilai 0,520 (P>0,05), maka H1 ditolak dan H0 diterima yang
berarti tidak ada perbedaan yang nyata (non-signifikan) antara perlakuan pemberian
modifikasi lingkungan kandang di teaching farm sapi perah FPP UNDIP terhadap
frekuensi nadi sapi laktasi.
61
61
62
RIWAYAT HIDUP
Cambridge International School ID113 jurusan IPA dan lulus pada tahun 2015.
Wakil Ketua Umum (2018). Penulis aktif di Tim Asisten Produksi Ternak Perah
Kabupaten Magelang dalam pengembangan Desa Wisata (2018 – 2019). Pada tahun
2018, penulis juga pernah mengikuti Pameran Peternakan Indolivestock Expo and
Perah Wahyu Agung, Getasan dan pada tahun 2017, penulis menyelesaikan Praktek
62