Anda di halaman 1dari 16

AKUNTANSI MANAJEMEN LANJUTAN

TARGET COSTING & LIFE-CYCLE COSTING

Disusun Oleh:

Eka Ima Dian W. 041711333034


Yustica Rachma A. 041711333075
Jauharotul Faridah 041711333098
Yogeswari Sista S. 041711333071
Naufal Putra N. 041711333262
I Komang Gede R.G 041711333191

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
1.1 PENGERTIAN TARGET COSTING

Pengertian target costing menurut Robert S.Kaplan dan A.A. Atkonsin ( 1998 : 224 )

adalah sebagai berikut : “Target costing adalah alat manajemen biaya yang digunakan

perencana selama produk dan desain proses untuk mendorong upaya peningkatan yang

bertujuan mengurangi produksi di masa depan produk”

Pengertian target costing menurut Revee (2000 : 385) adalah sebagai berikut :

“Target costing didefinisikan sebagai alat manajemen biaya untuk mengurangi biaya

keseluruhan produk selama seluruh siklus hidupnya dengan bantuan produksi, teknik, R&D,

pemasaran dan departemen akuntansi.”

Sedangkan pengertian target costing menurut Gorrison dan Noreen (2000 : 880)

adalah sebagai berikut : ‘Target costing adalah proses menentukan biaya maksimum yang

diijinkan untuk produk baru dan kemudian mengembangkan prototipe yang dapat

menguntungkan untuk angka biaya target maksimum.”

Maka dapat disimpulkan bahwa target costing adalah metode perencanaan laba dan

manajemen biaya yang difokuskan pada produk dengan mempertimbangkan proses

manufaktur sehingga metode target costing ini dapat digunakan oleh perancang sebelum

produk dan proses desain dilakukan untuk mencapai tujuan perbaikan usaha pada

pengurangan biaya operasional produk di masa depan.

Target costing digunakan selama tahap perencanaan dan menuntun dalam pemilihan

produk dan proses desain yang akan menghasilkan suatu produk yang dapat diproduksi pada

biaya yang diijinkan pada suatu tingkat laba yang dapat diterima serta memberikan perkiraan

harga pasar produk, volume penjualan dan tingkat fungsionalitas. Diatas semua itu, target

costing merupakan alat yang memperhatikan dan memfasilitasi komunikasi antar anggota

dari cross-functional team yang bertanggung jawab pada desain produk. Target costing lebih

ke arah customer oriented, semuanya ditentukan oleh konsumen dari harga, kualitas dan

fungsi yang dibutuhkan oleh konsumen.


Target costing merupakan perbedaan antara harga jual produk atau jasa yang

diperlukan untuk mencapai pangsa pasar tertentu dengan laba per satuan yang diinginkan

perusahaan. (Hansen dan Mowen 2009 : 361). Harga penjualan mencerminkan spesifikasi

produk atau fungsi yang dinilai oleh pelanggan . Jika target biaya kurang dari apa yang saat

ini dapat tercapai, maka manajemen harus menemukan cara untuk melakukan penurunan

biaya yang menggerakkan biaya aktual ke target biaya. Mengupayakan penurunan biaya

adalah tantangan utama dari perhitungan target costing.

1.2 TUJUAN MENGGUNAKAN TARGET COSTING

Tujuan dari target costing adalah pengurangan biaya produk dalam tahap RD&E

(research, development & engineering) dan bukan pada proses produksi. Kunci target

costing adalah pada desain produk yang dapat memuaskan konsumen.

Tujuan Target Costing Menurut Ahli

 Monden (1995)

1. Untuk mengurangi biaya produk baru agar tingkat keuntungan yang

dikehendaki dapat tercapai.

2. Supaya dapat memotivasi seluruh karyawan perusahaan agar memperoleh

laba target.

 Machfoedz (2005)

Adalah untuk mencapai target perusahaan, mendapatkan laba dari penjualan,

meningkatkan serta mengembangkan produksi produk, serta meluaskan target

pemasaran.

 Harini (2008)

1. Mencapai Penghasilan atas Investasi

Biasanya besar keuntungan dari suatu investasi telah ditetapkan

persentasenya dan untuk mencapainya diperlukan penetapan harga

tertentu dari barang yang dihasilkannya.

2. Kestabilan Harga
Hal ini biasanya dilakukan untuk perusahaan yang kebetulan memegang

kendali atas harga. Usaha pengendalian harga diarahkan terutama untuk

mencegah terjadinya perang harga, khususnya bila menghadapi

permintaan yang sedang menurun.

3. Mempertahankan atau Meningkatkan Bagian dalam Pasar

Apabila perusahaan telah mendapatkan pangsa pasar yang luas, merkea

harus berusaha mempertahankannya atau justru mengembangkannya.

Untuk itu kebijaksanaan dalam penetapan harga jangan sampai merugikan

bisnis.

4. Menghadapi atau Mencegah Persaingan

Apabila perusahaan baru mencoba-coba memasuki pasar dengan tujuan

mengetahui pada harga berapa mereka akan menetapkan penjualan. Ini

artinya, perusahaan belum memiliki tujuan dalam menetapkan harga

coba-coba tersebut.

5. Untuk Memaksimalkan Laba

Tujuan ini biasanya menjadi acuan setiap bisnis untuk bertahan hidup,

karena setiap bisnis memerlukan laba.

 Albano, Bird, Clifton, Townsend (2003)

1. Menjamin bahwa produk disesuaikan dengan kebutuhan konsumen

dengan lebih baik

2. Menyesuaikan harga dari keistimewaan produk dengan kesediaan

konsumen untuk membayarnya

3. Mengurangi siklus pengembangan produk

4. Mengurangi biaya produk secara signifikan

5. Meningkatkan kerjasama antar departemen dalam perusahaan berkaitan

dengan penyusunan, pemasaran, perencanaan, pengembangan,

pembuatan, penjualan, pendistribusian, dan penempatan produk


6. Menggunakan konsumen dan juga pemasok untuk merancang produk

yang benar dan untuk mengintegrasikan seluruh rantai persediaan dengan

lebih efektif.

1.2 PROSES TARGET COSTING

Proses target costing dibagi menjadi empat langkah utama, yaitu market driven

costing, product-level target costing, component-level target costing dan chained target

costing.

A. Market Driven Costing

Proses ini dimulai dengan mengidentifikasi target harga penjualan yang

merupakan harga antisipasi produk saat diluncurkan. Harga ini harus dapat

mencerminkan nilai hasil pengamatan dari produk dimata konsumen, antisipasi

relatif fungsional dan harga jual dari penawaran yang kompetitif dan tujuan

strategi perusahaan untuk produk.

Manager dalam merancang target harga pasar juga harus mengetahui

hargaharga produk pesaing. Jika produk pesaing mempunyai fungsi dan kualitas

yang lebih tinggi maka target harga jual perusahaan harus lebih rendah dari harga

jual pesaing. Jika fungsi dan kualitas produk perusahaan lebih tinggi maka harga

jual dapat sama dengan harga pesaing (meningkatkan market share) atau di atas

harga pesaing (meningkatkan profit) sehingga akhirnya strategi perusahaan untuk

produk dimasa akan datang membantu mempengaruhi harga jual pertama kali.

Setelah mengatur target harga, proses pembiayaan yang dikendalikan oleh pasar

(market driven costing) ini dilanjutkan dengan penetapan batas target laba untuk

produk yang digantikan pada awal generasi, batas ini akan menjadi tanda batas

laba secara historis yang didapat oleh produk yang sudah ada. Batas historis ini

disesuaikan dengan dua factor tambahan yatu :

a. Berapa biaya yang tidak biasa berada di depan (front-end), misalnya

riset and development, atau di belakang (back-end), misalnya sampah dari life-
cycle.

b. Memperbaiki tujuan laba pada product line.

Pada langkah terakhir, manajer menghitung allowable cost dengan

mengurangkan batas target laba dari harga yang ditargetkan. Allowable cost

merupakan biaya dimana produk harus dibuat jika itu untuk mendapatkan batas

target laba pada harga target penjualan. Tujuan dari proses market driven-costing

adalah untuk menyusun target cost yang akan dicapai.

B. Product-Level Target Costing

Proses ini dimulai dengan biaya umum (current cost) dari produk yang

dituju. Tanda pertentangan antara current cost dengan allowable cost

memberikan tim proyek suatu perkiraan dari pentingnya kesempatan

pengurangan biaya yang harus diidentifikasi untuk mencapai allowable cost.

Tujuan pengurangan biaya tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

a. Bagian yang dapat diterima

b. Bagian yang tidak dapat diterima

Peraturan penting pada target cost adalah bahwa target cost tidak dapat

dilanggar. Pelaksanaan peraturan yang keras mengimpilikasikan bahwa jika tim

desain menemukan cara untuk memperbaiki fungsi produk, mereka dapat

menggabungkan perbaikan itu hanya jika mereka juga mengidentifikasi

bagaimana menyeimbangkan tingkat additional cost. Pengecualian dapat terjadi

hanya jika fungsi yang diperbaiki mengijinkan target harga jual ditingkatkan oleh

jumlah yang tersedia.

C. Component-Level Target Costing

Dalam proses ini, tim desai target cost untuk setiap komponen yang

berada di dalam produk yang akan datang, target cost pada tingkat komponen ini
membangun harga jual supplier. Oleh karena itu, component-level target cost ini

menyebabkan tekanan kompetitif yang dihadapi oleh perusahaan terutama oleh

supplier. Fungsi utama tersebut mencerminkan kemampuan kerja yang penting

dimana produk harus memilikinya dalam memenuhi permintaan fungsi utamanya.

Chief engineer menyusun target costing sebagai fungsi utama.

Component level target cost membangun harga jual yang dapat diijinkan

oleh supplier. Perusahaan tidak ingin menekan laba dari komponen supplier mereka

menjadi nol. Mereka ingin meyakinkan bahwa jumlah supply chain tersebut

merupakan pendapatan laba yang cukup untuk bertahan hidup, sementara mengirim

produk permintaan konsumen dengan biaya yang rendah.

Oleh karena itu, mereka membawa supplier utama ke dalam proses produk

desain sedini mungkin.

D. Chained Target Costing

Di lingkungan persaingan yang saat ini semakin tinggi, ini tidak begitu

menguntungkan untuk kebanyakan produsen yang efisien, karena ini juga

membutuhkan supply chain yang efisien. Salah satu cara utama untuk mendapatkan

supply chain yang efisien adalah melalui penggunaan chained target costing system.

Sistem chained target costing adalah rantai dimana output dari sistem target cost

pembeli menjadi input dari sistem target cost supplier. Bersaing yang dihadapioleh

pembeli kepada perancang produk supplier. Jika supplier-nya supplier juga

menggunakan target costing, maka rangkaian ini dlanjutkan pada supply chain.

1.4 ALAT TARGET COSTING

Alat utama yang digunakan perancang dalam target costing adalah tear down

analysis, value engineering dan reengineering.

Tear Down Analysis

Tear Down Analysis atau reverse engineering adalah proses untuk


mengevaluasi produk pesaing dengan mengidentifikasi kesempatan dalam

meningkatkan produk dengan cara mengambil bagian per bagian dari produk pesaing

untuk mengidentifikasi fungsi dan desain produk serta untuk membuat kesimpulan

tentang proses pembuatan produk. Tear Down Analysis menyediakan pandangan

pada biaya dari produk dan mengungkapkan keuntungan dan kerugian yang

berhubungan dengan pendekatan desain pada produk. Elemen utama dari tear down

analysis adalah benchmarking dimana termasuk perbandingan desain produk

percobaan dengan desain pesaing.

Value Engineering

Quality function deployment merupakan sarana manajemen yang menyediakan suatu

struktur untuk mengidentifikasi kebutuhan konsumen yang merupakan kunci pada proses

target costing. Perusahaan menggunakannya untuk mengidentifikasi apa yang konsumen

inginkan dari produk sebelum desain produk dibuat. Proses ini kemudian membandingkan

apa yang konsumen inginkan dengan bagaimana tujuan tim desain untuk memuaskan

kebutuhan mereka. Quality function deployment mendukung proses value engineering

yang merupakan elemen penting pada proses target costing.

Value engineering juga dikenal sebagai value analysis yang merupakan

sistematika berdasarkan tim. Pendekatan ini untuk mengevaluasi desain produk

dalam memenuhi permintaan untuk mengidentifikasi alternatif yang akan

meningkatkan nilai produk, didefinisikan sebagai rasio dari fungsi untuk harga.

Karena itu, ada 2 cara untuk meningkatkan nilai yaitu, penganggaran fungsional yang

tetap dan mengurangi biaya atau penganggaran biaya konstan dan meningkatkan

fungsi. Value engineering melihat semua elemen produk termasuk bahan mentah,

proses manufakturing, tipe pekerja dan peralatan yang digunakan serta keseimbangan

antara pembelian dengan komponen yang dihasilkan. Value engineering mencapai

target cost yang diinginkan dengan dua cara :

1. Dengan mengidentifikasi peningkatan desain produk atau bahkan produk baru


yang dapat mencapai fungsinya dengan cara yang berbeda, yang mengurangi

komponen dan biaya manufaktur dengan tidak mengorbankan fungsinya.

2. Dengan menghapus fungsi yang dapat meningkatkan biaya dan kekomplekan

produk.

Proses value engineering dimulai dengan menspesifikasi fungsi produk secara detil,

sehingga aktivitas tersebut disebut functional analysis. Ini merupakan jantung dari

pendekatan value engineering dan hasil dari spesifikasi secara detail, biasanya dalam

bentuk diagram yang disebut function analysis system techique (fast diagram) yang

mespesifikasi fungsiutama produk. Dengan memfokuskan pada fungsi produk, tim

desain akan sering membandingkan komponen yang mempunyai fungsi yang sama

dengan produk lain. Karena itu meningkatkan kemungkinan menggunakan

komponen standar, dimana dapat meningkatkan kualitas dengan biaya yang lebih

rendah. Pada saat yang sama, mengembangkan pernyataan yang spesifik pada fungsi

produk mengijinkan tim desain untuk membandingkan biaya pada fungsi produk

yang dibuat dengan berapa uang yang mau dikeluarkan oleh konsumen untuk

membayar tiap fungsi tersebut.

Tim desain kemudian membandingkan bagaimana produk yang ada untuk

mencapai fungsinya dan kemudian mengevaluasi cara baru untuk mencapai fungsi

tersebut dan biaya untuk setiap alternatifnya. Alternatif itu kemudian diurutkan

berdasarkan tingkatan, dan jika mungkin, elemen terbaik akan diambil dari setiap

alternatif untuk mengembangkan desain produk yang diinginkan.

Reengineering

Fokus utama pada pendekatan tear down analysis dan value engineering yaitu

pada desain produk, sedangkan elemen penting lainnya dalam penjelasan biaya

produk adalah proses yang digunakan perusahaan dalam membuat produk. Pada
kenyataannya, tim target cost akan mempertimbangkan produk dan proses desain

secara bersama-sama selama biaya dan kualitas produk juga bersama-sama

dipengaruhi oleh produk dan proses desain.

Reengineering merupakan aktivitas pendesainan kembali suatu rancangan

atau keberadaan proses dan itu diarahkan oleh keinginanuntuk memperbaiki biaya

produk dan kualitas atribut.

1.5 PENENTUAN BIAYA MENGGUNAKAN METODE TARGET COSTING

Target costing merupakan perbedaan antara harga jual produk atau jasa yang

diperlukan untuk mencapai pangsa pasar tertentu dengan laba per satuan yang diinginkan

perusahaan menurut Hansen dan Mowen 2009 : 361 ). Apabila target cost yang telah

dihitung dibawah harga pokok produk yang sekarang dapat tercapai, maka manajemen harus

merencanakan suatu program pengurangan biaya untuk menurunkan biaya yang sekarang

dikeluarkan untuk menghasilkan produk ke target cost. Kemajuan yang dicapai dari program

pengurangan biaya tersebut diukur dengan membandingkan biaya sesungguhnya dengan

target cost. Target costing merupakan sistem akuntansi biaya yang menyediakan informasi

bagi manajemen untuk memungkinkan manajemen memantau kemajuan yang dicapai dalam

pengurangan biaya produk menuju target cost yang telah ditetapkan.

Dengan menggunakan target costing ini maka dapat diketahui berapa biaya produksi

yang diperkenankan, yaitu dengan :

Biaya produksi = harga jual – laba yang diinginkan perusahaan dari harga jual

Sebagai contoh, misalkan sebuah perusahaan X mempertimbangkan memproduksi mesin

penggali baru. Spesifikasi produk saat ini dan pangsa pasar yang di target meminta harga
jual mesin penggali baru adalah Rp 25.000.000,-. Laba yang diinginkan oleh perusahaan

adalah Rp 5.000.000,- per unit. Target cost dihitung sebagai berikut :

Target cost = Rp 25.000.000,- – Rp 5.000.000,- = Rp 20.000.000,-

Pada saat sekarang ini, biaya produksi sesungguhnya perusahaan adalah

Rp.23.000.000,-. Dengan demikian pengurangan biaya yang harus dilakukan agar

perusahaan dapat mencapai target cost adalah sebesar Rp 3.000.000,- ( Rp.23.000.000 – Rp

20.000.000,- ). Perusahaan harus mengupayakan pengurangan biaya dengan menganalisis

biaya produksi perusahaan dan mengurangi biaya-biaya yang dapat dikurangkan untuk

mencapai target cost tersebut. Target costing menyajikan informasi perbandingan biaya

produk sesungguhnya dengan target cost secara periodik untuk memungkinkan manajemen

memantau kemajuan program pengurangan biaya menuju target cost.


2.1 DEFINISI LIFE CYCLE COSTING

Sebelum mendefinisikan Life Cycle Costing (LCC), ada baiknya bila

mendefinisikan istilah product life cyle terlebih dahulu. Product Lifecycle

Management (PLM) didefinisikan sebagai sebuah proses untuk mengelola

seluruh daur hidup produk mulai dari konsep, tahap desain, produksi, servis,

hingga suatu produk tidak dapat digunakan kembali (Wikipedia, 2010).

Sedangkan definisi lain menurut Mulyadi (2001), daur hidup produk (product

life cycle) adalah waktu suatu produk mampu memenuhi kebutuhan konsumen

sejak lahir sampai diputuskan dihentikan pemasarannya. Lama daur hidup

produk ini akan berbeda-beda pada tiap produk manufaktur atau jasa.

Dalam arah perkembangan akuntansi manajemen yang lebih modern

serta kemajuan teknologi, life cycle costing dianggap sebagai sebuah konsep

yang dapat meningkatkan akurasi perhitungan biaya suatu produk. Life cycle

costing merupakan salah satu metode yang ditawarkan dalam rangka

penghitungan biaya yang lebih akurat dan lebih mendukung dalam

pengambilan keputusan serta dapat diaplikasikan baik pada perusahaan

manufaktur ataupun perusahaan jasa. Definisi life cycle costing (Mulyadi,

2001) adalah biaya yang bersangkutan dengan produk selama daur hidupnya,

yang meliputi biaya pengembangan (perancanaan, desain, pengujian), biaya

produksi, (aktivitas pengubahan sumber daya menjadi produk jadi), dan biaya

12
dukungan logistik (iklan, distribusi, maintenance, dan sebagainya). Sebesar lebih dari

80% biaya yang bersangkutan dengan produk telah ditentukan selama tahap

pengembangan dalam daur hidup produk. Product life cycle costing adalah sistem

akuntansi biaya yang menyediakan informasi biaya produk bagi manajemen untuk

memungkinkan manajemen memantau biaya produk selama daur hidup produknya

2.2 KONSEP BIAYA LIFE-CYCLE COSTING

Konsep biaya pada LCC diasosiasikan dengan produk untuk seluruh

daur hidupnya. Biaya-biaya tersebut mencakup penelitian (terdiri dari konsep

produk), pengembangan (perencanaan, perancangan, dan pengujian), produksi

(pembuatan produk atau penyediaan jasa), dan dukungan logistik (periklanan,

pendistribusian, jaminan, pelayanan konsumen, dan lain-lain). Berikut adalah

pembahasan dari tiap-tiap siklus daur hidup produk tersebut:

1. Biaya Penelitian dan Pengembangan

Biaya-biaya yang termasuk dalam biaya ini adalah seluruh biaya yang

masuk ke dalam siklus penelitian, perencanaan, perancangan, dan

pengujian. Bagian ini memegang peranan yang penting karena sebagian

besar biaya yang bersangkutan dengan produk telah ditentukan selama

tahap pengembangan dalam daur hidup produk. Pada siklus ini juga
wajib diperhatikan mengenai kecepatan dalam pengenalan produk.

Kecepatan ini akan berdampak positif dan kumulatif dalam perencanaan

yang inovatif, perbaikan atas kualitas, dan reduksi biaya.

2. Biaya Produksi

Biaya ini mencakup seluruh biaya yang ada pada seluruh aktivitas yang

mengubah bahan baku menjadi produk jadi. Biaya produksi ini masih

menitikberatkan pada perhitungan yang menggunakan akuntansi biaya

tradisional. Biaya produksi merupakan pengeluaran-pengeluaran yang

tidak dapat dihindarkan, tetapi dapat diprediksi dalam menghasilkan

suatu barang. Proses produksi merupakan rangkaian kegiatan yang

dilakukan dengan menggunakan peralatan, sehingga setiap input dapat

diproses dan kemudian diubah menjadi sebuah output berupa barang

atau jasa, yang akhirnya dapat didistribusikan kepada end user.

Besarnya biaya produksi merupkan besarnya pembebanan yang

diperhitungkan atas pemakaian faktor-faktor produksi berupa bahan

baku, tenaga kerja, serta mesin dan peralatan untuk menghasilkan

produk tertentu.

3. Biaya Dukungan Logistik

Biaya ini merupakan bagian terakhir dalam suatu siklus hidup produk.

Biaya ini mencakup biaya yang diserap pada kegiatan periklanan,

pendistribusian, pemasaran, pelayanan konsumen, garansi,

maintenance, dan lain sebagainya. Sebuah perusahaan setelah selesai

dengan proses produksi, akan menjual produk atau jasanya tersebut


kepada pelanggan dimana itu memungkinkan perusahaan untuk

memperoleh keuntungan (profit margin) yang telah dianggarkan dan

diharapkan. Sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dalam

mendukung penjualan produknya dinamakan dukungan logistik.

Adapun pengelompokan elemen biaya dalam life cycle costing dibagi

menjadi empat bagian utama, yaitu non-recurring cost, manufacturing cost,

logistic cost, dan customer’s post purchase cost. Non-recurring cost meliputi

biaya planning, designing, dan testing yang terjadi pada tahap pengembangan

suatu produk. Manufacturing cost meliputi biaya bahan, biaya tenaga kerja

langsung, serta biaya overhead pabrik yang terjadi selama proses pembuatan

produk. Logistic cost meliputi biaya advertensi, biaya distribusi yang terjadi

selama proses pembuatan produk. Sedangkan, customer’s post purchase cost

meliputi biaya purna jual, garansi, dan maintenance (perawatan) yang terjadi

setelah produk ada di konsumen.

Pada pendekatan tradisional, perencanaan, dan pengendalian hanya

ditekankan pada biaya manufacturing atau produksi saja. Biaya lainnya

dianggap merupakan biaya periode. Untuk dapat memberikan nilai tambah bagi

konsumen, biaya di setiap tahapan perlu dikelola dengan baik bukan hanya

menekankan pada biaya produksi saja. Seluruh aktivitas yang terjadi selama

umur produk menjadi fokus utama untuk mengelola biaya selama umur

produk. Life cycle costing menyediakan perspektif yang lebih lengkap dari

biaya produk atau laba dari produk/jasa. Sebagai contoh, produk yang
dirancang dengan cepat dan ceroboh akan memiliki nilai investasi yang

sedikit pada biaya perancangan, akan tetapi ada kemungkinan memiliki

biaya servis

Anda mungkin juga menyukai