Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI SEDIAAN

SOLIDA DAN KOSMETIKA


SEMESTER GENAP 2018-2019

ANALISIS BAHAN AKTIF PARACETAMOL DAN


CAFFEIN DALAM SEDIAAN SOLID
MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETRI UV
Hari / Jam Praktikum : Senin / 07.00-10.00

Tanggal Praktikum : 02 April 2019

Kelompok :2

Asisten : Danaparamita Bashirah


Marcellino

Rania Aisha 260110170128 Editor, Perhitungan, Alat dan


Bahan
Manuela Glenatalie 260110170130 Pembahasan dan Kesimpulan
Fazrina Pratiwi 260110170131 Tujuan dan Teori Dasar
Risma Merliana 260110170132 Reaksi, Prinsip, Data
Pengamatan dan Metode
Bagas Adi P 260110170158 Pembahasan dan Kesimpulan

LABORATORIUM KIMIA ANALISIS


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
I. Tujuan
Menentukan kadar pct dan caffeine dalam sediaan tablet menggunakan
spektrofotometri derivatif.

II. Prinsip

2.1 Hukum Lambert-Beer

Absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi dalam suatu sampel,


sehingga semakin besar absorbansi semakin besar konsentrasi atau kadar suatu zat
dalam sampel (Adeeniyo, 2013).

2.2 Derivative Spectrophotometry

Suatu metode kurva turunan yang dapat digunakan untuk analisis suatu
campuran dari beberapa zat secara langsung tanpa harus melakukan pemisahan
terlebih dahulu (Nurhidayati, 2013).

III. Teori Dasar

Parasetamol merupakan turunan sintetis dari p-aminophenol dengan aktivitas


analgesik dan antipiretik, namun tidak ada aktivitas anti-inflamasi. Waktu paruh
plasma yaitu sekitar 2 jam. Ini dimetabolisme secara luas di hati, kemudian
diekskresikan dalam urin (Who, 2018)

Parasetamol (4-asetamidofenol) dapat menyebabkan pengurangan jumlah


prostaglandin, sehingga membantu mencegah sakit kepala dan rasa sakit lain seperti
migraine, nyeri otot, neuralgia, nyeri punggung, nyeri sendi, sakit rheumatic, sakit
secara umum, sakit gigi, dan digunakan untuk mengurangi demam karena bakteri
atau virus. Parasetamol cocok pada kebanyakan orang karena memiliki efek
samping yang sangat sedikit. Cafein (1,3,7-trimetilxanthine) paling banyak
digunakan sebagai diuretic, stimulant ke saraf pusat, dan ke system kardiovaskular
(Vichare et al, 2010).
Campuran parasetamol dan kafein banyak ditemukan pada produk antiinfluenza dengan
berbagai merek dagang. Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek analgetik
ringan hingga sedang, dan antipiretik yang dapat ditimbulkan oleh gugus aminobenzen,
sedangkan kafein merupakan basa lemah turunan xantin, memiliki gugus metil dan
berefek stimulasi susunan saraf pusat serta dapat memperkuat efek analgetik parasetamol
(Sujadi dan Rahman, 1994).

Dilihat dari strukturnya, parasetamol memiliki gugus kromofor dan ausokrom, yang
dapat menyerap radiasi, sehingga dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri, namun
kendala yang sering dijumpai yaitu terjadinya tumpang tindih spektra (overlapping) karena
keduanya memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang yang berdekatan sehingga
diperlukan proses pemisahan terlebih dahulu (Altun, 2002).

Metode spektrofotometri UV memiliki banyak keuntungan diantaranya adalah


dapat digunakan untuk menganalisa suatu zat dalam jumlah yang kecil,
penggunaannya mudah, sederhana dan simple, cukup sensitif dan selektif, biaya
yang digunakan relatif murah, serta memiliki kepekaan analisis yang cukup tinggi
(Fatimawali, 2015).

Spektrofotometri ultravoilet dan cahaya tampak berguna dalam penentuan


struktur molekul organik dan pada analisa kuantitatif. Spektrum elektron suatu
molekul merupakan hasil transmisi antara dua tingkat energi elektron pada molekul
tersebut (Creswell, 2005).

Spektrofotometri ini hanya terjadi jika ada perpindahan electron dari tingkat
energi yang rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Perpindahan elektron tidak
diikuti dengan perubahan arah spin, hal ini dikenal dengan sebutan tereksitasi
singlet. Spektrometer menghasilkan sinar dari spectrum dengan panjang gelombang
tertentu dan fotometer merupakan alat pengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan atau diabsorbsi. Kelebihan spectrometer dibandingkan fotometer
adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih terseleksi dan ini diperoleh
dengan alat pengurai seperti prisma, grating, atau celah optis. Pada fotometer filter
dari berbagai warna yang mempunyai spesifikasi melewatkan trayek panjang
gelombang tertentu. Pada fotometer filter tidak mungkin diperoleh panjang
gelombang yang benar-benar monokromatis, melainkan suatu trayek panjang
gelombang 30-40 nm. Sedangkan pada spektrofotometer, panjang gelombang yang
benar-benar terseleksi dapat diperoleh dengan bantuan alat pengurai cahaya seperti
prisma. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum tampak yang
kontiniu, monokromator, sel pengabsorbsi untuk larutan sampel atau blanko dan
suatu alat untuk mengukur perbedaan absorbsi antara sampel dan blanko ataupun
pembanding (Khopkar, 2002).

Metode Spektrofotometri Derivatif merupakan metode paling umum untuk


penentuan secara serentak campuran biner suatu senyawa dengan spektrum yang
tumpang-tindih. Metode SDUV didasarkan pada spectrum turunan (derivatif) ke-n
yang diperoleh dari spektrum serapan normal UV-Vis (ultraviolet dan sinar tampak)
atau spektrum turunan ke-0 (El Sayed dan El Salem 2004).

Spektrum derivatif diperoleh dengan menggunakan persamaan matematika.


Keuntungan dari cara ini yaitu spektrum derivatif dapat dihitung dengan parameter
yang berbeda dan teknik penghalusan dapat digunakan untuk meningkatkan nisbah
sinyal terhadap derau (noise) (Ojeda dan Rojas 2004).

Spektrofotometri derivatif merupakan metode manipulatif terhadap spektra


pada spektrofotometri ultraviolet dan cahaya tampak. Pada spektrofotometri
konvensional, spektrum serapan merupakan plot serapan (A) terhadap panjang
gelombang (λ). Pada metode spektrofotometri derivatif, plot A lawan λ,
ditransformasikan menjadi plot dA/d lawan e untuk derivative pertama, dan d2 A/
dλ2 lawan λ untuk derivatif kedua, dan seterusnya. Panjang gelombang serapan
maksimum suatu senyawa pada spektrum normal akan menjadi λ zero crossing pada
spektrum derivatif pertama. Panjang gelombang tersebut tidak mempunyai serapan
atau dA/d λ = 0 (Hayun et al, 2006).

Penentuan Zero Crossing Parasetamol dilakukan dengan membuat kurva serapan


derivate pertama masing-masing larutan dalam berbagai konsentrasi. Spektrum
derivate pertama dibuat dengan memplot nilai dA/dλ dengan panjang gelombang.
Nilai dA/dλ diperoleh dengan membagi delta absorbansi dengan delta panjang
gelombang. Maka, didapatkan bahwa zero crossing parasetamol adalah 245 nm
(Naid et al, 2011).

IV. Alat dan Bahan


4.1 Alat
a. Bulb
b. Kuvet
c. Labu Ukur
d. Pipet Volume
e. Sonikator
f. Spektrofotometer
g. Vial

4.2 Bahan
a. Etanol
b. Caffien
c. Paracetamol
d. Sampel yang mengandung paracetamol dan caffein

V. Metode

Dalam analisis bahan aktif parasetamol dan caffeine dalam sediaan solid
menggunakan spektrofotometri UV mula mula dilakukan optimasi larutan murni
parasetamol dan caffeine. Optimasi larutan murni parasetamol dilakukan dengan
cara pertama dibuat larutan murni parasetamol 1000 ppm. Larutan murni
parasetamol 1000 ppm dibuat dengan cara 50 mg parasetamol ditimbang dan
dilarutkan dengan etanol dalam labu ukur 50 ml. Setelah itu dilakukan pengenceran
bertingkat dengan diambil 5 ml larutan murni parasetamol 1000 ppm di ad dengan
etanol hingga 50 ml dan didapatkan larutan murni parasetamol 100 ppm. Setelah
itu dilakukan kembali pengenceran bertingkat larutan murni parasetamol 10 ppm
dengan cara diambil 1 ml larutan murni parasetamol 100 ppm dimasukkan ke dalam
labu ukur 10 ml dan di ad hingga tanda batas. Setelah itu dilakukan read absorbansi
larutan murni dengan cara dimasukkan larutan hingga ¾ bagian kuvet, lalu pada
kuvet lainnya dimasukkan etanol hingga ¾ bagian kuvet. Setelah itu larutan di read
dan dicari λ zero-crossing.

Selanjutnya dilakukan optimasi larutan murni caffeine, dilakukan dengan cara


dibuat larutan murni caffeine 1000 ppm. Larutan murni caffeine 1000 ppm dibuat
dengan cara 50 mg caffeine ditimbang dan dilarutkan dengan etanol dalam labu
ukur 50 ml. Setelah itu dilakukan pengenceran bertingkat dengan diambil 5 ml
larutan murni caffeine 1000 ppm di ad dengan etanol hingga 50 ml dan didapatkan
larutan murni caffeine 100 ppm. Setelah itu dilakukan kembali pengenceran
bertingkat larutan murni caffeine 10 ppm dengan cara diambil 1 ml larutan murni
caffeine 100 ppm dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml dan di ad hingga tanda
batas. Setelah itu dilakukan read absorbansi larutan murni dengan cara dimasukkan
larutan hingga ¾ bagian kuvet, lalu pada kuvet lainnya dimasukkan etanol hingga
¾ bagian kuvet. Setelah itu larutan di read dan dicari λ zero-crossing.

Selanjutnya dilakukan tahap optimasi sampel. Pertama tama tablet ditimbang


dan dihitug bobot rata rata nya. Setelah itu diambil 55,5 mg serbuk dan dimasukkan
ke dalam labu ukur 100 ml. Lalu lakukan sonifikasi, setelah itu larutan disaring,
setelah disaring kembali dilakukan sonifikasi setelah itu ad dengan etanol hingga
tanda batas, didapatkan larutan pct 400 ppm. Setelah itu dilakukan pembuatan
larutan pct 100 ppm dengan mengambil 2,5 ml larutan pct 400 ppm dan di add
dengan etanol dalam labu 10 ml. Setelah itu dilakukan pembuatan larutan pct 20
ppm dengan mengambil 2 ml pct 100 ppm dan di add dengan etanol hingga 10 ml.
Lalu dilakukan pembuatan larutan pct 14 ppm dengan mengambil 1,4 ml pct 100
ppm dan di add dengan etanol hingga 10 ml. Setelah itu dilakukan pembuatan
larutan stok caffeine dengan melarutkan 69,5 mg serbuk dalam labu ukur 100 ml.
Lalu lakukan sonifikasi, setelah itu larutan disaring, setelah disaring kembali
dilakukan sonifikasi setelah itu ad dengan etanol hingga tanda batas, didapatkan
larutan caffeine 65 ppm. Setelah itu dilakukan pembuatan larutan caffeine 26 ppm
dengan mengambil 4 ml caffeine 65 ppm dan di ad dengan etanol hingga 10 ml.
Lalu dilakukan pembuatan larutan pct 39 ppm dengan mengambil 6 ml caffeine 65
ppm dan di add dengan etanol hingga 10 ml. Lalu dilakukan pembacaan absorbansi
kedua larutan.

Disiapkan 6 labu ukur 10 ml untuk pembuatan larutan baku. Dibuat variasi


konsentrasi 10; 12; 14; 16; 18; dan 20 ppm. Pada labu 1 diambil 1 ml paracetamol
100 ppm dari larutan stok dan tambahkan 0,3 ml caffeine, di add hingga tanda batas
dengan menggunakan etanol. Pada labu 2, ambil 1,2 ml paracetamol 100 ppm dari
larutan stok dan tambahkan 0,3 ml caffeine, ad hingga tanda batas dengan
menggunakan etanol. Pada labu 3, ambil 1,4 ml paracetamol 100 ppm dari larutan
stok dan tambahkan 0,3 ml caffeine, add hingga tanda batas dengan menggunakan
etanol. Pada labu 4, ambil 1,6 ml paracetamol 100 ppm dari larutan stok dan
tambahkan 0,3 ml caffeine, add hingga tanda batas dengan menggunakan etanol.
Pada labu 5, ambil 1,6 ml paracetamol 100 ppm dari larutan stok dan tambahkan
0,3 ml caffeine, add hingga tanda batas dengan menggunakan etanol. Pada labu 6,
ambil 2 ml paracetamol 100 ppm dari larutan stok dan tambahkan 0,3 ml caffeine,
add hingga tanda batas dengan menggunakan etanol. Setelah itu setiap larutan diisi
satu persatu ke dalam kuvet sampai ¾ bagian. Isi etanol ke dalam kuvet lain sampai
¾ bagian. Absorbansi pada panjang gelombang zero crossing caffeine diukur.

Setelah itu dilakukan pembuatan kurva baku caffeine pada 6 labu ukur 10 ml
dengan variasi konsentrasi caffeine 5; 10; 15; 20; 25; dan 30 ppm. Pada labu 1
diambil 0,5 ml caffeine 100 ppm dari larutan stok dan tambahkan 3,5 ml pct, ad
hingga tanda batas dengan menggunakan etanol. Pada labu 2, diambil 1 ml caffeine
100 ppm dari larutan stok dan tambahkan 3,5 ml pct, ad hingga tanda batas dengan
menggunakan etanol. Pada labu 3, diambil 1,5 ml caffeine 100 ppm dari larutan
stok dan tambahkan 3,5 ml pct, ad hingga tanda batas dengan menggunakan etanol.
Pada labu 4, diambil 2 ml caffeine 100 ppm dari larutan stok dan tambahkan 3,5 ml
pct, ad hingga tanda batas dengan menggunakan etanol. Pada labu 5, diambil 2,5
ml caffeine 100 ppm dari larutan stok dan tambahkan 3,5 ml pct, ad hingga tanda
batas dengan menggunakan etanol. Pada labu 6, diambil 3 ml caffeine 100 ppm dari
larutan stok dan tambahkan 3,5 ml pct, ad hingga tanda batas dengan menggunakan
etanol. Setelah itu setiap larutan diisi satu persatu ke dalam kuvet sampai ¾ bagian.
Isi etanol ke dalam kuvet lain sampai ¾ bagian. Setelah itu larutan diukur
absorbansi pada panjang gelombag zero crossing paracetamol.

Selanjutnya dilakukan pembuatan larutan stok sampel. Pertama tama


menimbang tablet panadol extra dan menggerusnya dalam mortir. Ambil 69,5 mg
serbuk dan dilarutkan di dalam labu 100 ml oleh etanol hingga tanda batas (setara
dengan pct: 500 ppm dan cafeine: 65ppm). Lalu dilakukan sonifikasi agar semu zat
aktif terlarut. Setelah di sonifikasi larutan disaring endapannya. Diambil 3,85 ml
larutan stok di add dengan etanol hingga 25 ml dan dipatkan larutan sampel setara
dengan caffeine 10 ppm. Diambil kembali dari larutan stok sebanyak 2,5 ml di add
dengan etanol hingga 25 ml dan didapatkan larutan sampel setara dengan pct 50
ppm. Lalu diambil sebanyak 6 ml larutan pct 50 ppm dan di add hingga 25 m dengan
menggunakan etanol sehingga didapatkan larutan sampel pct 12 ppm. Setelah itu
dimasukkan larutan sampel ke dalam kuvet hingga ¾ bagian dan dimasukkan etanol
hingga ¾ bagian ke kuvet lainnya sebagai blanko. Mangamati absorbansi pct pada
zero crossing caffeine dan absorbansi caffeine pada zero crossing pct.

VI. Data Pengamatan

No Perlakuan Hasil

6.1 Optimasi Baku Paracetamol

Menimbang paracetamol 50
1 Didapatkan parasetamol 50 mg
mg

Membuat larutan 1000 ppm


dengan melarutkan Didapatkan larutan paracetamol 1000
2
paracetamol 50 mg dalam 50 ppm dalam 50 mL etanol
mL etanol
Membuat larutan paracetamol
100 ppm dalam labu ukur 50
mL dengan mengencerkan 5 Didapatkan larutan paracetamol 100
3
mL larutan paracetamol 1000 ppm dalam 50 mL etanol
ppm dan diad dengan etanol
hingga tanda batas

Membuat larutan paracetamol


10 ppm dalam labu ukur 10
mL dengan mengencerkan 1 Didapatkan larutan paracetamol 10 ppm
4
mL larutan paracetamol 100 dalam 10 mL etanol
ppm dan diad dengan etanol
hingga tanda batas

Membilas kuvet dengan


etanol, mengeringkan, dan
mengisi kuvet pertama dengan
5 Didapatkan kuvet berisi etanol
etanol hingga 3/4 tanda batas
sebagai blanko dan letakkan
di bagian belakang

Membilas kuvet dengan


larutan parasetamol 10 ppm
sebanyak tiga kali,
mengeringkan, dan mengisi Didapatkan kuvet berisi larutan
6
kuvet kedua dengan larutan paracetamol 10 ppm
pct 10 ppm hingga 3/4 tanda
batas dan letakkan di bagian
depan
Mengukur absorbansi
7 parasetamol 10 ppm pada zero Didapatkan absorbansi parasetamol
crossing kafein

6.2 Optimasi Baku Kafein

1 Menimbang kafein 50 mg Didapatkan kafein 50 mg

Membuat larutan 1000 ppm


Didapatkan larutan kafein 1000 ppm
2 dengan melarutkan kafein 50
dalam 50 mL etanol
mg dalam 50 mL etanol

Membuat larutan kafein 100


ppm dalam labu ukur 50 mL
dengan mengencerkan 5 mL Didapatkan larutan kafein 100 ppm
3
larutan kafein 1000 ppm dan dalam 50 mL etanol
diad dengan etanol hingga
tanda batas

Membuat larutan kafein 10


ppm dalam labu ukur 10 mL
dengan mengencerkan 1 mL Didapatkan larutan kafein 10 ppm
4
larutan kafein 100 ppm dan dalam 10 mL etanol
diad dengan etanol hingga
tanda batas

Membilas kuvet dengan


etanol, mengeringkan, dan
mengisi kuvet pertama dengan
5 Didapatkan kuvet berisi etanol
etanol hingga 3/4 tanda batas
sebagai blanko dan letakkan
di bagian belakang
Membilas kuvet dengan
larutan kafein 10 ppm
sebanyak tiga kali,
mengeringkan, dan mengisi Didapatkan kuvet berisi larutan kafein
6
kuvet kedua dengan larutan 10 ppm
pct 10 ppm hingga 3/4 tanda
batas dan letakkan di bagian
depan

Mengukur absorbansi kafein


7 10 ppm pada zero crossing Didapatkan absorbansi kafein
parasetamol

6.3 Larutan Stok Optimasi Sample

a. Parasetamol 100ppm

Membuat larutan parasetamol Dilakukan pembuatan larutan


1
400 ppm parasetamol 400ppm

Menimbang tablet Panadol Didapatkan berat Panadol ekstra sebesar


2
ekstra 693,4mg

Menggerus Panadol ekstra yang


3 Tablet berhasil digerus
sudah ditimbang

Menimbang tablet Panadol


Didapatkan berat Panadol ekstra sebesar
4 ekstra yang sudah digerus
55,5mg
sebanyak 55,472mg

Memasukan Panadol yang


Panadol berhasil dimasukan kedalam
5 sudah ditimbang kedalam labu
labu 100ml
ukur 100ml
Melarutkan Panadol dengan
6 etanol, menambahkan etanol ke Terbentuk larutan yang keruh
labu

7 Melakukan sonifikasi Larutan berhasil disonifikasi

Didapatkan larutan jerni yang telah


8 Menyaring larutan
disaring

9 Melakukan sonifikasi kembali Larutan berhasil disonifikasi kembali

Menambahkan etanol kedalam


Berhasil dibuat larutan parasetamol
10 larutan yang sudah disonifikasi,
400ppm
ad sampai tanda batas

Mengambil sebanyak 2,5ml


Berhasil mengambil 2,5ml dari larutan
dari larutan parasetamol
11 parasetamol 400ppm, dan dimasukan
400ppm, memasukan kedalam
kedalam labu ukur 10ml
labu ukur 10ml

Menambahkan etanol kurang


12 Didapatkan larutan parasetamol 100ppm
sampai tanda batas

b. Kafein 65ppm

Menimbang tablet Panadol Didapatkan berat Panadol ekstra sebesar


1
ekstra 693,4mg

Menggerus tablet Panadol


2 Tablet berhasil digerus
ekstra

Menimbang tablet yang sudah Didapatkan berat Panadol ekstra sebesar


3
digerus sebanyak 69,34mg 69,5mg
Memasukan Panadol yang
Panadol berhasil dimasukan kedalam
4 sudah ditimbang kedalam labu
labu ukur 100ml
ukur 100ml

Melarutkan Panadol dengan


5 etanol, menambahkan etanol ke Terbentuk larutan yang keruh
labu

6 Melakukan sonifikasi Berhasil dilakukan sonifikasi

Didapatkan larutan jerni yang telah


7 Menyaring larutan
disaring

8 Melakukan sonifikasi kembali Berhasil dilakukan sonifikasi kembali

Menambahkan etanol kedalam


9 larutan yang sudah disonifikasi, Didapatkan larutan kafein 65ppm
ad sampai tanda batas

6.4 Pengukuran Optimasi Sampel

a. Parasetamol

Membuat larutan parasetamol


Berhasil dibuat larutan parasetamol
1 14ppm, 20ppm dari larutan stok
pada 14ppm dan 20ppm
paresatmol 100ppm

Menambahkan etanol sebanyak


Etanol berhasil ditambahkan kedalam
2 ¾ bagian kedalam kuvet
kuvet sebagai blanko
sebagai blanko

Mengukur absorbansi
Didapatkan absorbansi parasetamol
3 parasetamol 14ppm pada zero
0,937 pada Panjang gelombang 253
crossing kafein
Mengukur absorbansi
Didapatkan absorbansi parasetamol
4 parasetamol 20ppm pada zero
0,974 pada Panjang gelombang 253
crossing kafein

b. Kafein

Membuat larutan kafein


Berhasil dibuat larutan kafein pada
1 26ppm, 39ppm dari larutan stok
24ppm dan 65ppm
kafein 65ppm

Menambahkan etanol sebanyak


Etanol berhasil ditambahkan kedalam
2 ¾ bagian kedalam kuvet
kuvet sebagai blanko
sebagai blanko

Mengukur absorbansi kafein


Didapatkan absorbansi kafein 0,272
3 26ppm pada zero crossing
pada Panjang gelombang 273
parasetamol

6.5 Kurva baku PCT

variasi konsentrasi 10;12;14;16;18; dan


Menyiapkan 6 labu ukur 10ml
1 20 ppm serta penambahan 2 ppm
untuk pembuatan larutan baku
caffeine pada masing-masing labu

Pada labu 1, ambil 1ml PCT


100 ppm dari larutan stok dan Didapatkan konsentrasi pct 10 ppm dan
2
ditambah 0,3 ml Caffeine, ad caffeine 2 ppm
10 ml dengan etanol

Pada labu 2, ambil 1,2ml PCT


100 ppm dari larutan stok dan Didapatkan konsentrasi pct 12 ppm dan
3
ditambah 0,3 ml Caffeine, ad caffeine 2 ppm
10 ml dengan etanol
Pada labu 3, ambil 1,4ml PCT
100 ppm dari larutan stok dan Didapatkan konsentrasi pct 14 ppm dan
4
ditambah 0,3 ml Caffeine, ad caffeine 2 ppm
10 ml dengan etanol

Pada labu 4, ambil 1,6ml PCT


100 ppm dari larutan stok dan Didapatkan konsentrasi pct 16 ppm dan
5
ditambah 0,3 ml Caffeine, ad caffeine 2 ppm
10 ml dengan etanol

Pada labu 5, ambil 1,8ml PCT


100 ppm dari larutan stok dan Didapatkan konsentrasi pct 18 ppm dan
6
ditambah 0,3 ml Caffeine, ad caffeine 2 ppm
10 ml dengan etanol

Pada labu 6, ambil 2ml PCT


100 ppm dari larutan stok dan Didapatkan konsentrasi pct 20 ppm dan
7
ditambah 0,3 ml Caffeine, ad caffeine 2 ppm
10 ml dengan etanol

6.6 Kurva Baku Caffeine

Pada labu 1, ambil 0,5 ml


caffeine 100 ppm dari larutan Didapatkan konsentrasi caffeien 5 ppm
1
stok, tambahkan 3,5 ml PCT dan PCT 35 ppm
dan ad 10 ml dengan etanol

Pada labu 2, ambil 1ml caffeine


100 ppm dari larutan stok, Didapatkan konsentrasi caffeien 10 ppm
2
tambahkan 3,5 ml PCT dan ad dan PCT 35 ppm
10 ml dengan etanol
Pada labu 3, ambil 1,5 ml
caffeine 100 ppm dari larutan Didapatkan konsentrasi caffeien 15 ppm
3
stok, tambahkan 3,5 ml PCT dan PCT 35 ppm
dan ad 10 ml dengan etanol

Pada labu 4, ambil 2 ml


caffeine 100 ppm dari larutan Didapatkan konsentrasi caffeien 20 ppm
4
stok, tambahkan 3,5 ml PCT dan PCT 35 ppm
dan ad 10 ml dengan etanol

Pada labu 5, ambil 2,5 ml


caffeine 100 ppm dari larutan Didapatkan konsentrasi caffeien 25 ppm
5
stok, tambahkan 3,5 ml PCT dan PCT 35 ppm
dan ad 10 ml dengan etanol

Pada labu 6, ambil 3 ml


caffeine 100 ppm dari larutan Didapatkan konsentrasi caffeien 30 ppm
6
stok, tambahkan 3,5 ml PCT dan PCT 35 ppm
dan ad 10 ml dengan etanol

7.7 Pembuatan larutan stok sampel

Menimbang 10 tablet Panadol


Didapatkan rata- rata bobot tablet
1 extra dan menggerusnya dalam
689,54
mortar

Ambil 68,9 mg serbuk panadol


Didapatkan 500 ppm PCT; 65 ppm
2 larutkan dalam etanol hingga
caffeine dalam campuran
100ml

Melakukan sonfikasi agar


Didapatkan larutan sample yang larut
3 semua zat aktif larut dan
dalam etanol
disaring
I.8 Pembuatan larutan sample

a. PCT

Mengambil 2,5 ml larutan stok


Didapatkan 2,5 ml larutan stok dalam
1 dan memasukan ke labu ukur
labu ukur 25ml
25ml

Menambahkan etanol hingga


2 Didapatkan larutan sample 50 ppm
tanda batas

Mengambil 6 ml larutan sampel


Didapatkan 6 ml larutan sample dalam
3 50 ppm dan memasukkan ke
labu ukur 25 ml
labu 25ml

Menambah etanol sampai tanda


4 Didapatkan larutan sampel PCT 12 ppm
batas

b. caffeine

Mengambil 3,85 ml larutan stok


Didapatkan 3,85 ml larutan stok dalam
1 dan memasukan ke labu ukur
labu ukur 25ml
25ml

Menambahkan etanol hingga Didapatkan larutan sample caffeine 10


2
tanda batas ppm

6.9 Pengukuran sampel

Memasukan etanol hingga ¾


Didapatkan etanol dalam kuvet sebaagi
1 bagian ke kuvet lain sebagai
blanko
blanko
Memasukan larutan stok
2 sampel kedalam kuvet hingga Didapatkan larutan sample dalam kuvet
¾ bagian

Menghitung absorbansi
paracetamol pada zero crossing Didapatkan absorbansi PCT -0,029 pada
caffeine dan zero crossing panjang gelombang 257 nm dan
3
caffeine dan absorbansi absorbansi kafein 0,004 pada panjang
caffeine pada zero crossing gelombang 273 nm.
paracetamol

VII. Perhitungan dan Hasil

7.1 Optimasi Bahan Baku


Kaffein dan Paracetamol dibuat dalam 50 mg dalam 50 ml etanol 1000 ppm
1000 𝑚𝑔
1000 ppm = = 50 𝑚𝑔 /50 𝑚𝑙
1𝐿

- 100 ppm
100 x 50 = 1000 x V
V = 5 ml  Diambil 5 ml dari stock 1000 ppm

- 10 ppm
10 x 10 = 100 x V
V = 1 ml  Diambil 1 ml dari stock 100 ppm dilarutkan dalam labu ukur
10 ml etanol

7.2 Pembuatan Optimasi Sampel


PCT 400 ppm
40
𝑥 643,4 = 55,47 𝑚𝑔  Berat yang ditimbang
500
𝐏𝐂𝐓 𝟏𝟎𝟎 𝐩𝐩𝐦
Diencerkan dari 400 ppm
400 ppm x V = 100 ppm x 10 ml
V = 2,5 ml

Caffein 65 ppm
6,5
𝑥 643,4 = 69,34 mg  Berat yang ditimbang
65

7.3 Pembuatan Kurva Baku


Kurva Baku Caffein
Caffein PCT
5 ppm 5 ppm
10 ppm 5 ppm
15 ppm 5 ppm
20 ppm 5 ppm
25 ppm 5 ppm
30 ppm 5 ppm

Caffein
- 5 ppm
5 ppm x 10 ml = 100 ppm x V
V = 0,5 ml
- 10 ppm
10 ppm x 10 ml = 100 ppm x V
V= 1 ml

- 15 ppm
15 ppm x 10 ml = 100 ppm x V
V= 1,5 ml

- 20 ppm
20 ppm x 10 ml = 100 ppm x V
V = 2 ml

- 25 ppm
25 ppm x 10 ml = 100 ppm x V
V = 2,5 ml

- 30 ppm
30 ppm x 10 ml = 100 ppm x V
V= 3 ml

PCT
5 ppm x 7 = 35 ppm
35 ppm x 10 ml = 100 ppm x V
V = 3,5 ml

Kurva Baku PCT


Caffein PCT
2 ppm 10 ppm
2 ppm 12 ppm
2 ppm 14 ppm
2 ppm 16 ppm
2 ppm 18 ppm
2 ppm 20 ppm

- 10 ppm
100 x V = 10 ppm x 10 ml
V= 1 ml

- 12 ppm
100 ppm x V = 12 ppm x 10 ml
V = 1,2 ml

- 14 ppm
100 ppm x V = 14 ppm x 10 ml
V = 1,4 ml

- 16 ppm
100 ppm x V = 16 ppm x 10 ml
V= 1,6 ppm

- 18 ppm
100 ppm x V = 18 ppm x 10 ml
V = 1,8 ppm

- 20 ppm
100 ppm x V = 20 ppm x 10 ml
V = 2 ml

7.4 Pembuatan Larutan Stock sampel


PCT
100 ml  500 ppm
- Pengeceran 500 ppm menjadi 50 ppm
500 ppm x V = 25 ml x 50 ppm
V = 2,5 ml  Diambil

-Pengenceran 50 ppm menjadi 12 ppm


50 ppm x V = 25 ml x 12 ppm
V = 6 ml

Kaffein
Pengenceran 65 ppm menjadi 10 ppm
65 x V = 25 ml x 10 ppm
V = 3, 85 ml

7.5 Perhitungan Kadar Sampel


Caffein
Y= 0.0592x – 1.0647
R2 = 0.9877
0.004 = 0.0592x -1.0647

65
X = 18.052364 x 10

= 117.3403 x 10 -3 mg/ml x 100 ml


= 11.734 mg
11.734
% Kadar = 𝑥 65
68.9

= 11.07 mg
= 11.07 %

PCT
Y = -0.0514x + 0.2486
R2 = 0.9572
-0.029 = - 0.0154x + 0.2486
500
X = 18.02597 x 12

= 751.082 x 10-3 mg/ml x 100 ml


= 75.1082 mg
75.1082
% Kadar = 𝑥 500
68,9

= 545.0522 mg
= 109,01 %

7. 6 Kurva Baku Paracetamol


7.7 Kurva Baku Caffein
7. 8 Kurva Sampel Paracetamol

0.750

0.500

0.250

210.0 220.0 230.0 240.0 250.0 260.0 270.0 280.0 290.0 nm

Absorbance

7.9 Kurva Sampel Paracetamol Derivat ke 1

0.750

0.500

0.250

210.0 220.0 230.0 240.0 250.0 260.0 270.0 280.0 290.0 nm

Absorbance
7.10 Kurva Sampel Caffein

0.750

0.500

0.250

210.0 220.0 230.0 240.0 250.0 260.0 270.0 280.0 290.0 nm

Absorbance

7.11 Kurva Sampel Caffein Derivat ke 1

0.750

0.500

0.250

210.0 220.0 230.0 240.0 250.0 260.0 270.0 280.0 290.0 nm

Absorbance

VIII. Pembahasan

Pada praktikum ini, dilakukan pengukuran kadar suatu sampel dengan


menggunakan metode spektrofotometri derivative. Pelaksanaan metode ini
didasarkan pada, apabila dalam suatu sampel terdapat dua atau lebih senyawa, pada
absorbansi maksimum salah satu sampel akan terjadi peningkatan kadar apabila
senyawa lainnya memiliki absorbansi pada panjang gelombang itu juga. Maka dari
itu akan sulit itu mengidentifikasi dan mengukur kadar suatu senyawa tunggalnya.
Penggunaan spektrofotometri derivative akan memungkinkan kita untuk dapat
mengukur kadar dua senyawa atau lebih dalam suatu sampel.

Metode spektofotometri derivative yang digunakan pada praktikum ini yaitu


metode zero-crossing. Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan
karena metode lainnya belum memiliki prosedur yang tetap. Meskipun begitu,
metode ini memiliki kekurangan yaitu harus dilakukan pengukuran panjang
gelombang kritis terlebih dahulu, dan dapat terjadi penurunan sensitivitas dan
presisinya saat campuran senyawa. Pada metode ini, senyawa yang tidak akan kita
ukur akan diturunkan hingga mencapai titik y=0 atau senyawa tersebut tidak
memberi sinyal, sehingga yang tersisa hanyalah kadar senyawa yang kita ukur.

Metode spektrofotometri derivative ini berdasarkan hukum Lambert-Beer,


di mana dinyatakan bahwa jumlah absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi
senyawa dan tebal cairan serta dinyatakan dalam rumus A = a x b x c. Dengan
keterangan A merupakan absorbansi, a merupakan absorbsivitas molar, b
merupakan konsentrasi senyawa dan c merupakan tebal cairan. Metode ini memiliki
tiga prinsip yang harus dilakukan, pertama, absorbsi setiap komponen apabila
dijumlahkan akan bersifat akumulatif, kedua, metode ini harus sesuai dengan
hukum Lambert-Beer seperti yang sudah disampaikan, dan ketiga jumlah minimal
panjang gelombang yang digunakan harus sama dengan jumlah sampel. Tetapi pada
kenyataannya, seringkali absorbansi dan konsentrasi senyawa tidak berbanding
lurus, hal ini dikarenakan beberapa faktor seperti ikatan hydrogen, reaksi kimia,
solvasi dan adanya pembentukan pasangan ion.

Sampel yang akan dianalisis adalah tablet panadol extra. Di dalam tablet ini
terkandung paracetamol dan kafein. Kedua senyawa dapat diukur kadarnya
menggunakan metode spektrofotometri UV karena keduanya memiliki gugus
kromofor. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menentukan kadarnya
adalah yaitu melakukan optimasi terhadap bahan murni kedua senyawa. Optimasi
ini dilakukan untuk menentukan absorbansi maksimum masing-masing senyawa,
lalu pada absorbansi maksimum tersebut akan diturunkan hingga mencapai zero
crossingnya. Ketika dilakukan penurunan, panjang gelombang yang menunjukkan
absorbansi maksimum akan menjadi dA/dλ = 0.

Pada bahan baku paracetamol, didapatkan lamda maksimalnya 259 nm dan


pada bahan baku kafein didapatkan lamda maksimal sebesar 275 nm. Setelah
didapatkan absorbansi maksimum, dilakukan penentuan zero crossing kedua
senyawa. Menurut literature, untuk mendapatkan zero crossing paracetamol
diturunkan dua kali dan kafein satu kali. Tetapi saat penurunan, absorbansi pada
lamda maksimum tidak menunjukkan angka 0, sehingga dipilih lamda yang
mendekati yaitu pada panjang gelombang 266-268 nm dan 270-272 nm untuk
paracetamol dan 257 serta 275 nm untuk kafein. Pemilihan berbagai panjang
gelombang ini adalah untuk membandingkan hasil yang menunjukkan regresi
terbaik.

Setelah didapatkan zero crossing dari paracetamol dan kafein, dilakukan


pembuatan kurva baku kedua senyawa. Dalam pembuatan kurva baku paracetamol,
digunakan variasi konsentrasi paracetamol dengan konsentrasi kafein tetap lalu
diukur pada zero crossing kafein. Sedangkan pada pembuatan kurva baku kafein,
digunakan variasi konsentrasi kafein dengan konenstrasi paracetamol tetap lalu
diukur pada zero crossing paracetamol. Variasi konsentrasi tersebut didapatkan dari
hasil pengukuran optimasi, besar konsentrasi masing-masing senyawa berapa yang
menunjukkan absorbansi yang dapat diterima. Absorbansi yang diukur jaraknya
adalah 0-2, dengan hasil yang paling baik adalah 0,2-0,8. Ini didapatkan dari nilai
absorbansi sama dengan log 100/log %T. Nilai dari log 100 adalah 2 dan apabila
transmitansi 100% akan memberikan nilai 0, didapatlah nilai 0-2 tersebut.
Meskipun sebenarnya alat spektofotometer UV dapat mendeteksi hingga
absorbansi 12, tetapi alat yang sudah ada sebelumnya sering mengalami
ketidaktelitian ketika mengukur zat dengan absorbansi tinggi, sehingga
digunakanlah range tersebut.

Pembuatan kurva baku kedua sampel ini dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu dengan membuat masing-masing konsentrasi dari larutan stok awal, atau
dengan pengenceran bertingkat. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, metode pertama lebih mudah dilakukan hanya saja
kemungkinan terjadi kesalahan pengukuran relative lebih besar, sedangkan metode
pengenceran bertingkat memerlukan perhitungan yang sangat presisi tetapi dalam
pengerjaannya lebih akurat apabila dilakukan sesuai prosedur yang ada.

Pembuatan kurva baku paracetamol dan kafein dibuat sesuai dengan


perbandingan kedua senyawa dalam tablet, yaitu 500:65 atau sekitar 7:1. Ketika
membuat kurva baku paracetamol, konsentrasi paracetamol yang dibuat adalah 10
ppm, 12 ppm, 14 ppm, 16 ppm, 18 ppm dan 20 ppm dan konsentrasi kafein tiga kali
lebih kecil dari konsentrasi paracetamol terkecil, yaitu sekitar 2 ppm. Sedangkan
dalam pembuatan kurva baku kafein, konsentrasi kafein yang dibuat adalah 5 ppm,
10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, 25 ppm dan 30 ppm dan konsentrasi paracetamol 35 ppm
untuk seluruh konsentrasi kafein. Pembuatan seluruh larutan baku dilakukan dalam
labu ukur dan menggunakan pipet volume serta mikropipet dalam pengambilan
zatnya.

Masing-masing campuran senyawa tersebut dimasukkan ke dalam kuvet


lalu diukur absorbansinya dalam spektrofotometer UV. Dari data tersebut
didapatkan dua kurva baku paracetamol, yaitu pada panjang gelombang 257 nm
dengan persamaan y = -0.0154x + 0.2486 dan regresi 0.9752 dan pada panjang
gelombang 275 nm dengan persamaan y = -0.0005x - 0.002 dan regresi 1.
Sedangkan didapatkan kurva baku kafein pada panjang gelombang 273 nm
dengan persamaan y = 0.0592x - 1.0647 dan regresi 0.9877 nm. Kurva tersebut
yang dibuat yaitu absorbansi derivative (dA/dλ) terhadap konsentrasi (ppm).

Selanjutnya adalah preparasi sampel. Sampel diukur pada spectrum normal


terlebih dahulu lalu diturunkan pada derivate zero crossing paracetamol dan kafein,
dan dilihat pada panjang gelombang zero crossingnya bukan dengan cara diukur
langsung pada panjang gelombang zero crossing karena bila diukur langsung pada
panjang gelombang zero crossing tanpa diukur pada spectrum yang normal terlebih
dahulu maka akan dihasilkan absorbansi yang merupakan absorbansi spectrum
normal. Ini berlaku pada pada pengukuran kurva baku dan sampel.
Saat perhitungan kadar sampel, diperlukan perhatian apakah sampel yang dibuat
memenuhi kurva baku atau tidak, apabila sampel tidak masuk ke dalam jangkauan
nilai kurva baku akan menyebabkan perhitungan kadar menjadi tidak akurat dan
terjadi kesalahan perhitungan kadar dari paracetamol dan kafein. Jadi sebelum
larutan sampel dibuat dihitung terlebih dahulu apakah sampel yang dibuat berada
di dalam jangkauan nilai kurva baku atau tidak. Dari hasil pengukuran absorbansi
yang dilakukan, didapatkan bahwa kadar zat paracetamol dalam sampel Panadol
extra sebesar 109,01% dan kadar zat kafein dalam sampel Panadol extra sebesar
11,07%.

IX. Kesimpulan
Pada sampel uji berupa panadol extra didapatkan kadar parcetamol sebesar
109,01 % dan kadar caffein sebesar 11,07 % dengan menggunakan metode
spektrometri derivatif .
DAFTAR PUSTAKA

Adeeniyo, C. E. 2013. Basic Calibration of UV/Vis Spectrophotometer.


International Journal of Science and Technology. Vol 2(3) : 247-251.

Altun, M. 2002. HPLC Method for the Analysis of Paracetamol, Caffeine and
Dipyrone. Turk J Chem. Vol 26: 521-528.

Cresswell, C. 2005. Analisis Spektrum Senyawa Organik. Bandung: ITB

El-Sayed, A dan El-Salem, N. 2005. Recent Development of Derivative


Spectrophotometry and their Analytical Applications. Analytical Sciences.
Vol. 21 (1) : 595 – 613.

Fatimawali., Herlinda I.P., Tjaboali., Defny, S., dan Wewengkang. 2015. Validasi
Metode untuk Penetapan Kadar Ciprolaxin dalam Sediaan Tablet atau daam
Produk jadi Generik Spektrofotmetri. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol 4(4).

Hayun., Harianto., dan Yenti. 2006. Penetapan Kadar Tripolidina Hidroklorida dan
Psedoefedrina Hidroklorida dalam Tablet Anti Influenza Secara
Spektrofotometri Derivatif. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. 3 (1) : 94 –
105.

Khopkar, S. M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.

Naid, T., Syaharuddin K., dan Mieke, P. 2011. Penetapan Kadar Parasetamol dalam
Tablet Kombinasi Parasetamol dengan Kofein Secara Spektrofotometri
Ultraviolet-Sinar Tampak. Majalah Farmasi dan Farmakologi. Vol 15(2):
77-82.

Nurhidayati, L. 2013. Spektrofotometri Derivatif dan Aplikasinya Dalam Bidang


Farmasi. Jakarta : Universitas Pancasila.

Ojeda, C dan Rojas, F. 2004. Recent Development In Derivative Ultraviolet/Visible


Absorption Spectrophotometry. Analytica Chimica Acta. Vol 518 (1) : 1 –
24.
Ouanesa, S. 1998. Zero-crossing derivative spectrophotometry for the
determination of haloperidol in presence of parabens. Journal of
Pharmaceutical and Biomedical Analysis. Vol 17(3) : 361-364.

Sudjadi dan Rahman, A. 1994. Analisis Obat dan Makanan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Vichare, V., Preeti, M., Vrushali., dan Dhole, S. 2010. Simultaneous


Spectrophotometric determination of Paracetamol and Caffeine in Tablet
Formulation. International Journal of PharmTech Research. Vol 2(4) 2512-
2516.

WHO. 2018. Paracetamol. Available at


http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2929e/6.2.html [Accessed 1 April
2019]
LAMPIRAN

Sonifikasi Sampel Uji Larutan Optimasi Penimbangan Bobot


Sampel Tablet Panadol

Pengerusan Tablet Penimbangan Caffein


Baku

Anda mungkin juga menyukai