Pendahuluan : Saya menganggap penting membuat catatan berikut ini, setelah saya membaca sejumlah komentar atas presentasi yang saya sampaikan pada gathering yang diselenggarakan oleh Stockbit pada minggu ke-3 bulan November lalu.
Komentar itu antara lain “……saya coba dengerin video-nya (walau banyak yang saya gak mudeng)”. Komentar seperti inilah yang lantas mendorong saya menulis catatan ini. Di saat gathering, karena saya memang belum memahami profile mereka yang hadir (atau mereka yang mengikuti via video), maka saya tidak bisa menggunakan materi spesifik yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman profile peserta yang hadir. Mudah-mudahan uraian di bawah bisa menjadi tambahan catatan bagi mereka “yang gak mudeng”. Dan akhirnya bisa membuat “yang gak mudeng” menjadi sedikit “lebih mudeng”.
Warning : Untuk mereka yang merasa dirinya sudah sangat paham soal pasar modal, sebaiknya tidak meneruskan membaca catatan ini. Karena catatan ini merupakan urutan pemikiran yang sangat ringan, terkait sejumlah terminologi dasar di pasar modal. Dengan demikian, bagi mereka yang sudah memahami soal pasar modal, uraian ini akan sangat membosankan.
Disclaimer : Catatan ini, merupakan pendapat pribadi, dan tentunya bukan merupakan rekomendasi untuk membeli atau menjual saham Bank Permata. Bahkan Anda harus lebih waspada, sebab catatan ini sudah merupakan catatan saya kesekian kalinya soal Bank Permata. Pendapat saya bisa bias karena BNLI ada di dalam portfolio, sehingga catatan saya cenderung menjustifikasi mengapa saham ini menarik dibeli. Dan jika harga saham BNLI naik, maka saya tentu termasuk yang diuntungkan. Jadi Anda pantas untuk lebih berhati-hati. (Jika harga saham BNLI naik, Anda juga mungkin tidak tahu kalau saya tiba-tiba berubah pendapat, dan menjual saham itu).
Bukan terhadap saya saja Anda harus curiga. Setiap Anda membaca rekomendasi yang diterbitkan oleh perusahaan sekuritas, Anda juga harus waspada : 1) Jangan-jangan securities house itu menjadi salah satu promotor perusahaan yang direkomendasikan; 2) Jangan-jangan saat Anda membaca rekomendasi, kemudian membelinya, dan harga saham perusahaan itu naik, securities house itu berbalik dan menjadi bagian dari mereka yang ikut menjual sahamnya di pasar. Ingat, jika harga saham perusahaan tidak mencapai TP (Target Price) seperti yang biasa ditulis securties house di dalam rekomendasinya, Anda juga tidak dapat menuntut mereka jika TP-nya meleset. Jangan mimpi mereka mau membayar selisih harga antara Target Price-nya dengan realitas harga yang terjadi di pasar. Semuanya kembali pada Anda : It’s your own money. Do Your Own Research/DYOR.
Mari kita mulai. Mudah-mudahan bisa membantu mereka yang mau belajar memahami pasar modal.
KEDAI KOPI
Investasi, dengan membeli saham perusahaan, tidak berbeda dengan saat kita urunan dengan teman untuk membuka kedai kopi. Jika perlu dana Rp 1 Juta untuk mendirikan sebuah kedai kopi, sementara Anda hanya memiliki dana sebesar Rp 100 ribu, Anda bisa mengajak teman lain untuk urunan, sehingga dana yang diperlukan sebesar Rp 1 Juta itu dapat terkumpul. Dalam terminologi keuangan, dana terkumpul yang disetorkan kedalam rekening perusahaan, sebesar Rp 1 Juta itu, merupakan Modal perusahaan atau Equity.
Modal ini, karena disetorkan oleh sejumlah orang, lazimnya dipecah menjadi sejumlah (lembar) saham. Untuk contoh, modal Rp 1 Juta itu bisa dipecah menjadi 2,000 lembar saham. Dengan demikian, maka setiap lembar saham mempunyai nilai Rp 500 (Rp 1 Juta dibagi 2,000 lembar). Di dalam terminologi keuangan, nilai Rp 500 inilah yang disebut dengan nilai nominal. Apabila modal Rp 1 Juta di atas dipecah menjadi 10,000 lembar dan bukan 2,000 lembar, maka nilai nominal itu menjadi Rp 100 per-lembar (Rp 1 Juta dibagi 10,000 lembar), dan demikian seterusnya. Dalam contoh kasus kedai kopi ini, para pendiri sepakat untuk membagi modal menjadi 2,000 lembar @ Rp 500.
Setelah modal sebesar Rp 1 Juta terkumpul lengkap, maka dibukalah oulet pertama. Alhamdulillah, kegiatan usaha kedai kopi ini ternyata berjalan bagus. Kedai kopi bernama Skorbak ini (kopi dan martabak merupakan menu andalannya) ternyata banyak disukai orang. Tahun pertama, penjualan Skorbak mencapai Rp 2,000,000. Nilai penjualan itu setelah dikurangi semua biaya, Rp 1,850,000, menghasilkan laba Rp 150 Ribu. Laba sebesar Rp 150,000 ini jika dibandingkan dengan modal (Rp 1 Juta) menghasilkan angka 15%. Angka sebesar 15% ini didalam terminologi investasi, disebut Return On Equity, atau sering disingkat ROE. ROE (dinyatakan dalam persentase), membandingkan besaran angka keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan modal yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi ROE, semakin baik kinerja perusahaan. Baik tidaknya ROE ini bisa Anda bandingkan dengan hasil alternatif investasi lainnya. Jika Anda memiliki dana Rp 1 Juta, selain Anda bisa mendirikan Skorbak, tentu banyak juga alternatif bisnis lainnya yang bisa Anda pilih. Bisa juga Anda menyimpannya sebagai deposito di Bank. Apabila didepositokan di Bank, maka Anda akan mendapatkan imbalan bunga deposito, yang saat ini berkisar 6%. Oleh karena itu, bagi para deposan, ROE tersebut tiada lain adalah tingkat suku bunga deposito yang mereka terima dari Bank. Hasil yang Anda terima dari modal yang ditanamkan, itulah ROE.
Dengan catatan di atas, kita bisa berkenalan dengan Prinsip Investasi #1: “Jika Anda harus memilih perusahaan tempat Anda berinvestasi, maka sebaiknya Anda memilih perusahaan yang menghasilkan ROE tinggi, dan menghindari perusahaan dengan ROE rendah. Jika Anda cenderung untuk berinvestasi hanya pada perusahaan yang memiliki ROE tinggi secara konsisten, maka perusahaan seperti ini niscaya akan menjaga masa depan Anda dengan lebih baik”
Beberapa kali saya mengingatkan tentang kekuatan konsep magic of compunding, yang menggaris bawahi pentingnya besaran persentase hasil investasi kita. Sederhananya, untuk dapat mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjadikan dana kita meningkat dua kali lipat, kita bisa membagi angka ajaib, yaitu angka 72, dengan angka tingkat pertumbuhan. Jadi jika suku bunga deposito yang Anda terima 6%, maka dana Rp 1 Juta itu akan menjadi dua kali lipat, Rp 2 Juta, dalam waktu 12 tahun (72 dibagi 6). Dana itu kemudian menjadi Rp 4 Juta, dalam 12 tahun berikutnya. Jika ada perusahaan yang bisa menghasilkan ROE 24%, maka modal perusahaan itu bisa meningkat dua kali lipat, dari Rp 1 Juta menjadi Rp 2 Juta, hanya dalam waktu 3 tahun saja (72 dibagi 24). Karena modal yang tercatat di perusahaan itu mencerminkan kekayaan para pemegang saham, tentu akan lebih menguntungkan jika kita menjadi pemegang saham perusahaan yang dapat meningkatkan modalnya dalam waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan perusahaan lain. Alias memiliki ROE yang tinggi.
Berdasarkan Prinsip Investasi #1 di atas, Anda bisa lebih mengerti mengapa perusahaan seperti Bank Rakyat Indonesia yang ROE-nya secara konsisten tercatat diatas 24%, mampu menjaga masa depan para pemegang sahamnya sejak IPO 12 tahun lalu. Di dalam kurun waktu 12 tahun, nilai kekayaan pemegang saham BRI (diluar hasil dividen) sudah meningkat 2,300%. Bandingkan dengan kenaikan IHSG yang “hanya” meningkat 690% di dalam kurun waktu yang sama. Tidak banyak perusahaan yang bisa menghasilkan ROE di atas 20% seperti BRI. Jika Anda menemukan perusahaan yang secara konsisten menghasilkan ROE di atas 20%, sebaiknya luangkan waktu Anda untuk mengkaji perusahaan itu lebih dalam lagi. Dalam jangka panjang, kemampuan perusahaan yang menghasilkan ROE tinggi bisa meningkatkan kekayaan para pemegang sahamnya. Nilai kekayaan ini pada gilirannya akan tercermin dalam kenaikan harga saham. Jika Anda hanya berkonsentrasi dan menjadi pemilik saham dari hanya 5- 10 perusahaan semacam ini, Anda tidak perlu lagi membuang-buang waktu Anda untuk sibuk dengan informasi dan kebisingan pasar.
Prinsip Investasi #1 ini menurunkan prinsip lain, yang bisa kita sebut Prinsip Investasi #2 : “Apabila pasar atau Mr Market sedang gundah (yang membuat harga terkoreksi), maka gunakanlah kesempatan itu untuk mengumpulkan saham perusahaan yang memiliki ROE tinggi”. Mengapa? Karena apabila pasar sedang bersuka-cita, perusahaan ini hanya mungkin dimiliki dengan harga serta valuasi premium. Bearish market, yaitu terjadinya koreksi sistemik di pasar, ataupun problem temporer perusahaan tertentu, memberikan peluang bagi investor untuk memil perusahaan berkinerja baik dengan harga diskon.
Mari kita lanjutkan cerita soal Skorbak ini. Dengan keuntungan tahun pertama Rp 150,000, modal Skorbak yang awalnya hanya Rp 1 Juta, sekarang meningkat menjadi Rp 1,150,000. Keuntungan Rp 150 Ribu ini masuk menjadi bagian dari Modal dalam Neraca perusahaan. Ahli keuangan menggunakan terminologi Retained Earning/RE atau Laba Ditahan. Angka ini merupakan akumulasi keuntungan yang diperoleh perusahaan. Pembayaran dividen, jika ada, diambil dari RE sehingga akan mengurangi jumlah Retained Earning perusahaan.
NET BOOK VALUE (NILAI BUKU) PER-SAHAM
Meskipun modal Starbak di atas meningkat jadi Rp 1,150,000, namun jumlah lembaran sahamnya tetap 2,000 lembar, tidak ada perubahan. Dengan demikian, nilai (buku) saham yang tadinya Rp 500/lembar, kemudian berubah menjadi Rp 575 (1,150,000 dibagi 2,000). Ada peningkatan nilai buku perusahaan sebesar 15%. Dalam terminologi keuangan, biasanya digunakan istilah Net Book Value, disingkat NBV per-share, atau Nilai Buku per-Saham. Apa sih arti angka NBV/share, atau Nilai Buku per-saham ini? Untuk gampangnya, jika seluruh kekayaan perusahaan dijual serta seluruh hutang perusahaan dilunasi, maka jika masih ada yang tersisa, nilai sisa itulah yang akan menjadi milik pemegang saham. Jika sisa hasil perhitungan di atas kemudian dibagikan kepada seluruh pemegang saham, maka pembagian akan dilakukan berdasarkan jumlah saham yang dimiliki masing-masing pemegang saham. Nilai Buku per-saham (NBV/share) ini menunjukan angka yang diperoleh pemegang saham untuk setiap lembar saham yang dimilikinya.
Berdasarkan catatan di atas, kita bisa mengenal Prinsip Investasi #3: “Perusahaan-perusahaan yang NBV per-sahamnya secara konsisten menunjukan peningkatan, menjadi isyarat yang baik tentang potensi peningkatan kekayaan bagi para investor yang memilihnya”. Kembali dengan melihat contoh kasus BRI, kita mengetahui bahwa Nilai Buku BRI telah meningkat dari Rp 650/lembar pada tahun 2003 menjadi Rp 5,700/lembar sekarang ini, atau meningkat hampir 800%. Adanya konsistensi peningkatan Nilai Buku per-saham BRI ini yang menjadi salah-satu alasan kenaikan harga saham BRI sebesar 2,300% didalam kurun waktu 12 tahun. Peningkatan Nilai Buku per-saham Berkshire Hathaway secara konsisten (sekitar 800,000%) menjadi alasan kuat untuk terjadinya kenaikan harga saham Berskhire Hathaway sebesar 1,600,000% dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. 16,000 kali!!
Peningkatan Nilai Buku per-saham BRI menunjukan bahwa bank ini tidak saja bisa memberikan hasil yang baik dari setiap Rupiah modal perusahaan (ROE di atas 20%). Kenaikan Nilai Buku per-saham yang juga ditunjukkan BRI secara konsisten, menjadi alasan kuat bagi BRI dalam meningkatkan nilai kekayaan pemegang sahamnya. Meskipun nilai buku BRI hanya meningkat 800%, namun kekayaan pemegang saham BRI berhasil tumbuh dengan persentase lebih tinggi, 2,300%. Oleh karenanya, lakukanlah investasi pada perusahaan-perusahaan dengan ROE tinggi dan pada saat bersamaan Nilai Buku/lembarnya juga menunjukan peningkatan secara konsisten. Tentu dengan syarat bahwa kita membelinya pada harga yang wajar.
HARGA SAHAM DI BAWAH NBV?
Sekarang ini, kita sudah memahami bahwa nilai buku/saham tidak lain mencerminkan nilai yang menjadi hak para pemilik perusahaan untuk setiap lembar saham yang dimilikinya. Pertanyaannya, jika Mr Market menawarkan harga saham yang lebih rendah dari nilai buku per-saham, apa yang seharusnya kita lakukan? Untuk menjawabnya, Prinsip Investasi #4 mungkin bisa digunakan : “Jika pasar menawarkan harga saham lebih rendah dari NBV/saham, maka Anda harus berhati-hati. Bisa jadi itu sebuah jebakan Batman (perusahaan sedang dililit hutang besar, yang jumlahnya jauh di luar kemampuan perusahaan). Namun bisa jadi, ketika Anda berhadapan dengan kondisi seperti itu, justru Anda sedang berhadapan dengan peluang yang mungkin akan memberi hasil investasi berlipat-ganda. Demikian jarangnya peluang itu, maka bukan mustahil jika hasil yang bisa Anda dapatkan juga bukan hanya 20-30%, tetapi ratusan persen. Untuk sebagian, apa yang ditawarkan Mr Market terkait INDY dan HRUM setahun lalu dapat menjadi contoh yang gamblang soal Prinsip Investasi #4 ini
Mari kita kembali ke Skorbak.
5 tahun sudah berlalu sejak kedai kopi pertama dibuka. Sudah mulai banyak juga yang minta agar Skorbak dibuka di tempat lain. Dalam 5 tahun ini keuntungan semakin meningkat. Dari tahun pertama yang menghasilkan laba Rp 150,000, laba tahun ke 2, 3, 4 serta 5 tercatat peningkatan keuntungan, yaitu Rp 200, 250, 300 dan Rp 350 Ribu. Dengan keuntungan di atas, maka terjadilah akumulasi laba sebesar Rp 1,250,000 selama 5 tahun ini yang meningkatkan nilai modal.
Dari modal awal Rp 1 Juta, dengan adanya tambahan akumulasi laba, maka Modal saat ini meningkat menjadi Rp 2,250,000. Jumlah lembar saham tetap tidak berubah, hanya 2,000 lembar. Oleh sebab itu, maka NBV saat ini menjadi Rp 1,125/lembar (yaitu jumlah modal sebesar Rp 2,250,000 dibagi jumlah saham, 2,000 lembar). Dengan angka ini, didalam periode 5 tahun, NBV per-saham yang pada awalnya bernilai Rp 500 berhasil tumbuh 125%, menjadi Rp 1,125. Hasil yang tentu sangat menggembirakan para pemegang saham Skorbak.
Skorbak go-public?
Menjawab permintaan langganan, karena ada kebutuhan dana untuk membuka outlet berikutnya, Skorbak kemudian memutuskan untuk go-public. Pada kesempatan lain, kita akan membahas secara lebih rinci dinamika perhitungan sebuah proses IPO. Sekarang ini, tujuan utama pembahasan adalah menggunakan urutan cerita Skorbak ini, untuk dapat memahami pedoman dasar perhitungan investasi. Melalui IPO, maka kini tercatatlah saham Skorbak di bursa. Pada hari pertama perdagangan saham di bursa, Skorbak juga tidak lupa untuk membagikan martabak unggulannya secara gratis untuk para pelaku bursa. Saham Skorbak, sama sepertu Starbucks, kini diperdagangkan setiap hari di bursa. Pelanggan Skorbak tentu tidak lagi hanya bisa membeli martabaknya, tetapi juga sahamnya. Jika Anda suka produk- nya, begitu kata Peter Lynch, maka besar kemungkinannya Anda juga akan menyukai saham perusahaannya.
Saham Skorbak yang tadinya hanya berjumlah 2,000 lembar berubah menjadi 3,000 lembar. Ada tambahan 1,000 lembar saham baru yang dijual melalui IPO, dengan harga Rp 2,000 per-lembar. Melalui IPO ini, mereka yang berminat menjadi pemegang saham Skorbak, harus membayar setiap lembar saham dengan harga lebih mahal dibanding harga yang dibayarkan para pendiri Skorbak, yaitu Rp 500/lembar. Harga IPO ini juga lebih tinggi dari nilai buku per-saham sebelum IPO (Rp 1,125/lembar). Kinerja baik Skorbak dalam kurun waktu 5 tahun ini diterjemahkan dalam kemampuan perusahaan untuk bisa menjual harga saham saat IPO, dengan harga premium, Rp 2,000.
Dijualnya saham baru Skorbak sebanyak 1,000 lembar, dengan harga Rp 2,000/lembar, menghasilkan tambahan modal sebesar Rp 2 Juta. Apabila modal baru ini ditambahkan dengan modal yang sudah ada sebelum IPO (yaitu Rp 2,250,000), modal Skorbak berubah menjadi Rp 4,450,000. Dengan jumlah saham 3,000 lembar, maka setelah IPO nilai buku/lembar tercatat Rp 1,483 ( Rp 4,450,000 dibagi 3,000 ).
Jika melihat historis Skorbak, angka ROE yang bisa diperoleh adalah 15%. Atas data historis ini, maka kita bisa membuat perkiraan bahwa dengan modal sekarang ini sebesar Rp 4,450,000, Starbak akan bisa mencetak laba sekitar Rp 667,500. Laba ini, jika dibagi dengan 3,000 lembar saham, akan menghasilkan laba Rp 222.50/saham. Laba per- saham ini lebih populer dengan singkatan bahasa Inggrisnya, yaitu EPS, singkatan dari Earning-Per-Share.
Dengan estimasi EPS sebesar Rp 222.50, dan harga saham pada saat IPO sebesar Rp 2,000, maka kita dapat menghitung bahwa harga IPO itu 9 kali (9X) dari perkiraan EPS-nya. Dalam terminologi investasi, angka 9X ini dikenal dengan Price Earning Ratio, dan sering disingkat dengan PER, atau PE Ratio. PER ini membandingkan investasi (harga saham) dengan laba per-saham (EPS). PER menggaris-bawahi 2 soal penting dalam investasi : harga yang dibayar dan bagian laba. Angka PER, pada intinya, menunjukan jumlah tahun yang diperlukan investor untuk mendapatkan kembali investasi dari bagian laba yang menjadi haknya. Apabila kita bilang bahwa PER perusahaan adalah 9, artinya dibutuhkan waktu 9 tahun untuk bisa mengembalikan dana pokok investasi dari laba yang dihasilkan perusahaan. Dengan contoh di atas, apabila laba perusahaan adalah Rp 222.50, maka dibutuhkan laba selama 9 tahun, agar dana pokok investasi sebesar Rp 2,000 itu bisa kembali. Semakin rendah angka PER ini, semakin cepat potensi pengembalian sebuah investasi. Jika PE Ratio itu 4X, maka laba yang diperoleh dalam 4 tahun sudah sama besarnya dengan dana investasi (harga saham yang dibayar). Jika PER satu perusahaan menunjukkan angka 50X, maka dibutuhkan laba selama 50 tahun agar investasi kita bisa dikembalikan dari hasil usaha perusahaan.
Agar tidak tambah “gak mudeng”, saat ini kita pahami saja dulu dasar pemikiran bahwa semakin rendah PER, maka semakin menarik juga sahamnya. Perusahaan yang hanya membutuhkan 4 tahun laba untuk mengembalikan investasi awal, atau PER-nya 4X, tentu lebih menarik dibanding perusahaan dengan PER 50X. Namun demikian, saya perlu mengingatkan, pada kenyataannya kajian soal PER tidak sedemikian simple-nya (Saya sendiri jarang memakai PER sebagai satu-satunya parameter dalam mengkaji perusahaan. Lain kali kita akan bahas soal tersebut dengan lebih rinci).
SKORBAK DAN BANK PERMATA
Penjelasan dasar soal Investasi, Equity, ROE, PER, EPS serta NBV dari cerita Skorbak di atas bisa digunakan sebagai basis untuk memahami catatan saya tentang Bank Permata.
Setelah right-issue, modal Permata tercatat Rp 22.8 Trilyun. Dengan jumlah saham sekitar 22.3 Milyar lembar, maka nilai buku Permata adalah Rp 1,000/lembar. Dengan harga Permata di bursa Rp 600 saat ini, Mr Market sedang menawarkan diskon 40% kepada mereka yang mau membeli sahamnya.
Jika Permata dibubarkan, lantas seluruh asset-nya dijual dan semua hutangnya dilunasi, maka sisanya (Rp 1,000/lembar) tentunya akan didistribusikan kepada pemegang saham. Skenario Permata bubar, tentu saja mengada-ada. Mustahil. Namun apabila skenario terburuk yang mengada-ada itu saja memberikan margin of safety cukup besar (40%), adakah cara berinvestasi lain yang bisa memberi rasa aman? Jika mau membeli baju, sepatu, mobil atau bahkan rumah, semua kita senang sekali membelinya dengan harga diskon, mengapa ketika kita membeli (saham) perusahaan harus berpikir dengan cara lain?
Tapi, bukankah ada alasan yang kuat, mengapa harga saham Permata saat ini hancur lebur? Mungkin begitu pertanyaan Anda. Pertanyaan itu, untuk sebagian, sudah saya jawab dalam catatan sebelumnya soal Permata. Nanti akan saya berikan tambahan catatan di ujung artikel ini. Sekarang kita kembali dulu ke Skorbak, supaya lebih mudeng.
Di atas sudah disebutkan, bahwa untuk mendirikan Skorbak itu Anda urunan dengan sejumlah teman, sehingga modal awal Rp 1 Juta bisa terkumpul. Setelah IPO, nilai buku (NBV)/saham menjadi Rp 1,483. Jumlah pemegang saham juga bukan hanya Anda serta 4 atau 5 orang teman saja, tetapi telah bertambah dengan ratusan pemegang saham lainnya lewat IPO. Mereka membelinya dengan harga Rp 2,000.
Saat saya melihat kuotasi harga jual/beli saham di bursa, maka saya selalu membayangkan bahwa yang menulis harga jual/beli itu adalah partner usaha yang ikut urunan di dalam perusahaan tersebut. Tidak ada bedanya dengan teman Anda yang urunan di Skorbak. Ada yang ikut sejak awal, dan hanya membayar dengan harga Rp 500/lembar. Ada pula yang ikut saat IPO, dan membayar Rp 2,000/lembar. Selain itu, ada juga yang ikutnya setelah IPO, dan mereka membayar dengan harga berlainan di bursa. Tidak berlebihan apabila saya mengatakan, bahwa untuk yang terakhir ini, suasana hati para pelaku pasar sangat berpengaruh terhadap pembentukan harganya. Oleh karenanya, kita bisa menyaksikan betapa mudahnya harga itu berubah dalam satuan menit, jam, hari dan bulan.
Membeli saham Permata di harga saat ini, sekitar 500-600, sama saja dengan saat Anda didatangi partner usaha Anda di Skorbak yang mau menjual sahamnya kepada Anda di harga Rp 1,000. Sementara Anda tahu bahwa NBV Skorbak itu Rp 1,483/saham, partner Anda berniat menjualnya hanya dengan harga Rp 1,000. Tidak persis betul diskon- nya, but you got my point. Soal masalah apa yang menimpa Skorbak, lupakan saja, karena yang kita bahas adalah Permata. Hal yang perlu diingat adalah urutan berpikirnya.
Dengan urutan berpikir itu, kita bisa paham soal harganya di bursa (Market Value, Rp 1,000), nilai intrinsik perusahaan (Intrinsic Value, Rp 1,483) serta Private Value, atau nilai perusahaan “sebenarnya” . PRIVATE VALUE IS THE TRUE VALUE?
Anda sudah paham soal Market Value, yang tercermin melalui harga saham perusahaan di bursa, yang sedemikian sering berubah.
Pada sisi lain, Intrinsic Value serta Private Value memerlukan waktu yang relatif lama untuk dapat berubah. Nilai Intrinsik Skorbak, ketika didirikan tercatat Rp 500/lembar. Dibutuhkan waktu selama 5 tahun bagi Skorbak untuk mengubah Nilai Intrinsiknya dari Rp 500 menjadi Rp 1,125. Hasil perjalanan bisnis perusahaan itu sendiri yang bakal menentukan gambaran Nilai Intrinsiknya.
Agar tidak salah paham, Nilai Intrinsik tidak selalu sama dengan nilai buku perusahaan. Namun, sekarang ini, supaya jangan terlalu banyak variable yang dibahas, saya bisa mengatakan bahwa NBV merupakan cara paling konservatif untuk mendekati Nilai Intrinsik perusahaan.
Setelah kita mengenal Market Value (yang dicerminkan melalui harga pasar), Intrinsic Value (yang sementara ini pendekatannya dilakukan dengan memakai nilai buku), lantas apa yang disebut Private Value?
Kita sudah tahu Market Value Permata adalah, Rp 600, dan Intrinsic Value-nya, Rp 1,000, lantas berapa Private Value-nya?
Private Value, biasanya baru terbuka saat terjadinya proses akuisisi ataupun pengambil-alihan majoritas kepemilikan saham perusahaan. Kesepakatan kedua belah pihak atas nilai transaksi inilah yang sering disebut sebagai Private Value, the real true value, dari perusahaan.
Kita memahami alasan penurunan harga saham BNLI, namun bisakah kita menganggap harga yang terjadi di pasar (Market Value) sebagai cerminan nilai perusahaan sebenarnya?. Volume rata-rata transaksi Permata di bursa sekitar 7 juta lembar. Dengan harga Rp 600 per- lembar, berarti nilai transaksi harian sekitar Rp 4.2 Milyar.
Bagaimana mungkin kita dapat menganggap 7 juta lembar transaksi, dengan nilai Rp 4.2 Milyar sebagai merepresentasikan nilai Permata, sementara jumlah saham Permata ada 22 Milyar dan nilai kapitalisasi sahamnya adalah Rp 13 Trilyun?. 7 Juta itu hanya 0.03% dari seluruh saham Permata yang beredar, dan Rp 4.2 Milyar itu hanya 0.03% dari nilai kapitalisasi saham Permata. Apalagi kalau jual-beli saham yang terjadi hanya berputar di sejumlah pihak dengan saham yang sama. Fenomena ini terjadi berlaku bagi semua perusahaan yang transaksi sahamnya terjadi di bursa. Oleh karenanya sulit untuk bisa menerima pernyataan bahwa harga saham di bursa dapat mencerminkan nilai perusahaan yang sebenarnya.
Telkom memiliki nilai kapitalisasi Rp 380 Trilyun, sementara jumlah saham yang ditransaksikan setiap harinya hanya 90 juta lembar, dan dengan nilai transaksi harian Rp 350 Milyar. Jumlah saham itu hanya 0.1% jumlah saham Telkom, dan nilai transaksinya juga kurang dari 0.1% nilai kapitalisasi Telkom. Hal yang sama juga terjadi untuk BRI, BCA, INDF dan berbagai saham lain di pasar modal dunia. Bagaimana mungkin kita menganggap persentase yang demikian kecil itu dapat mewakili nilai perusahaan.
Apabila kita sepakat, bahwa harga saham Permata di Bursa saat ini, Rp 500 – 600 tidak dapat dianggap mencerminkan nilai perusahaan, bagaimana dengan Intrinsic Value-nya? Dengan mengacu pada Nilai Buku perusahaan, apakah angka Rp 1,000/lembar ini mencerminkan nilai Permata yang sebenarnya? Kita coba bandingkan dengan apa yang terjadi pada Bank lain yang masuk Kelompok 10 Besar.
Data yang ada menunjukan bahwa harga saham Bank BRI sekarang ini, sekitar 1.97 X NBV-nya, Bank BCA (3.32 X), BankMandiri (1.67 X), Bank BNI (1.19 X), Maybank (1.24X), Bank BTN (1 X). Hanya ada 3 Bank lain di papan atas, yakni CIMB Niaga, Panin Bank dan Danamon yang harganya di bursa di bawah NBV-nya. Ada catatan khusus untuk kedua bank pertama yang harganya di bawah NBV, tetapi itu masalah lain. Sementara untuk Danamon, yang harga sahamnya sekitar 0.9X NBV-nya dijadikan rujukan untuk membicarakan soal Private Value.
Sebagaimana sering disampaikan, jika kita tidak bisa mengandalkan indikasi yang ditawarkan pasar untuk keputusan investasi kita, maka kita bisa memanfaatkannya jika pasar memberikan peluang investasi semacam itu. Terlebih lagi, jika pembentukan harga yang terjadi di pasar (Market Value) bukan hanya sekedar di bawah Private Value, tetapi juga lebih rendah dari Intrinsic Value-nya.
Untuk memudahkan bagaimana kita bisa memahami Private Value, dan proses akuisisi menjadi pintu masuk untuk membuka kunci nilai sebuah perusahaan yang sebenarnya, kita dapat menggunakan kasus Danamon untuk lebih memahaminya.
April 2012, DBS mengumumkan rencananya untuk mengambil-alih kepemilikan saham majoritas di Danamon (67%) dari FFH/Temasek. Di bursa, sebelum rencana itu disampaikan, harga saham Danamon di Bursa ditransaksikan dengan harga Rp 4,600, atau sekitar 1.7 X nilai buku. Rencana akusisi tadi menjadi kunci pembuka nilai Danamon yang sebenarnya. Akuisisi itu menunjukan kepada pasar, bahwa nilai sebenarnya dari Danamon adalah Rp 7,000/saham atau sekitar 52% lebih tinggi dari harga yang terjadi di pasar. Harga Rp 7,000 ini yang ditawarkan oleh DBS untuk setiap lembar saham Danamon. Gagalnya akuisisi tersebut tidak menghilangkan fakta bahwa nilai sebenarnya dari Danamon (harga yang akan akan dibayarkan), atau Private Value Danamon, adalah Rp 7,000, atau sekitar 2.6 X NBV-nya. Gagalnya akuisisi tadi bukan karena kedua pihak tidak bersepakat atas nilai transaksi, tetapi karena tidak diperolehnya persetujuan BI.
Jika kita tarik apa yang terjadi di tahun 2012 itu dengan kondisi saat ini, maka semakin jelas bahwa yang terjadi di pasar (Market Value) bisa menyimpang jauh dari Private Value-nya. Di tahun 2012, ketika Danamon disepakati oleh kedua belah pihak di harga Rp 7,000, kita tahu bahwa Danamon dinilai dengan harga Rp 67 Trilyun. Ketika itu, total Asset Danamon berjumlah Rp 158 Trilyun, dan Modal tercatat sebesar Rp 28 Trilyun.
Saat ini, Assets Danamon sudah meningkat menjadi Rp 175 Trilyun, dan modalnya juga bertambah menjadi Rp 36 Trilyun. Namun begitu, meskipun Assets dan Modal-nya sudah semakin besar, hal sebaliknya terjadi pada Market Value-nya. Dengan harga saat ini, Market Value Danamon sekitar Rp 32 Trilyun. Nilai yang lebih rendah dari Market Value sebelum rencana akusisi DBS tahun 2012 (Rp 44 Trilyun) dan Private Value tahun 2012 (Rp 67 Trilyun).
BERAPA PRIVATE VALUE BANK PERMATA?
Jawaban yang aman untuk pertanyaan itu, tentu saja tidak tahu. Kita baru bisa mengetahui angka itu, jika ada pihak yang menyampaikan minatnya untuk melakukan akuisisi dan mengambil-alih kepemilikan majoritas dari Standard Chartered dan Astra di Permata. Namun jika kita melihat pemegang saham majoritas Standard Chartered saat ini, yaitu Temasek, serta pemegang saham pengendali Astra (via Cycle Carriage), yaitu Jardine, tampaknya mereka tidak berada pada posisi yang harus membuat mereka terpaksa menjual sahamnya di Bank Permata. Namun demikian, jika dapat dijadikan indikasi, apa yang terjadi pada Kwartal I/2016 mungkin bisa memberikan gambaran tentang Private Value Bank Permata. Pada saat Permata sedang menyiapkan proses right-issue, ramai diberitakan bahwa BNI berminat untuk mengambil alih saham Permata yang dimiliki oleh Standard Chartered. Dan pasar bereaksi, yang menjadikan harga saham Bank Permata terkena auto- reject, karena melonjak dari Rp 910 menjadi Rp 1,135. Namun semua itu sifatnya spekulatif. Kita tidak mengetahui apakah ketika itu BNI memang benar berminat membelinya. Jikapun benar berminat, kita juga tidak tahu minat membelinya itu di harga berapa.
Jika akusisi bukan menjadi salah satu opsi, maka tentunya perbaikan kinerja akan menentukan perbaikan nilai perusahaan. Mari kita lihat.
- Kinerja manajemen Permata memang sangat memprihatinkan dibandingkan dengan Bank lainnya. Penggantian Dirut Permata yang baru diumumkan minggu lalu dapat memberikan indikasi tentang urgensi perbaikan kinerja manajemen Permata. Kredit bermasalah, tentunya harus merupakan perhatian utama
- Sampai dengan Oktober 2016, besaran biaya penyisihan kredit bermasalah jumlahnya masih bertambah, dan mencapai Rp 5.1 Trilyun, yaitu 5.2 % dari total kredit yang diberikan. Akumulasi cadangan kerugian tercatat Rp 5.6 Trilyun. Artinya dari setiap 20 kredit yang diberikan, terdapat satu kredit bermasalah
- Net Interest Margin/NIM Bank Permata dalam 5 tahun terakhir rata-rata tercatat sekitar 4.5%. Dengan jumlah kredit Rp 100 Trilyun, maximum pendapatan bunga bersih Permata sekitar Rp 4.5 Trilyun. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, rata-rata penyisihan kredit bermasalah adalah 1%, dan melonjak drastis menjadi 5.2% di tahun 2016. Oleh karena itu, di tahun 2016 ini, SELURUH pendapatan bunga bersih (4.5%) hilang lenyap oleh biaya penyisihan kredit bermasalah (5.2%). Bukan saja semua hasil bunga “hilang”, tetapi juga menimbulkan tambahan biaya yang tidak pernah ada tahun sebelumnya. Inilah yang menjadi alasan pokok, mengapa di tahun 2016 ini sampai dengan bulan Oktober, Permata mengalami kerugian sebesar Rp 1.4 Trilyun.
- Kerugian Rp 1.4 Trilyun tentunya dapat berubah menjadi laba sebesar Rp 3.7 Trilyun, apabila tidak harus menyisihkan biaya kredit bermasalah sebesar Rp 5.1 Trilyun di tahun 2016 ini
- Sebagaimana catatan sebelumnya, pertanyaan pokok di tahun- tahun berikutnya adalah : Seberapa buruk kualitas kredit yang bermasalah di Permata. Apakah besarnya lebih dari 5% seperti yang saat ini sudah disisihkan, ataukah lebih dari itu? Mudah- mudahan saja, dengan begitu agresifnya Permata menyisihkan pencadangan biaya kredit bermasalah di tahun 2016, dari rata- rata 1% menjadi hampir 5%, memang diniatkan agar membuat soal itu dituntaskan penuh di tahun 2016. Dengan demikian, beban yang besar itu menjadi extra-ordinary charge yang tidak akan berulang di tahun-tahun berikutnya. Persoalan yang sama diharapkan tidak akan menjadi gandulan bagi manajemen yang baru
- Bagaimana gambar Permata di tahun depan? Berapa perkiraan laba/ruginya? Apabila kita mengacu kepada laporan keuangan Kwartal III/2016, saya memperkirakan bahwa Permata dapat menghasilkan Pendapatan Bunga bersih sekitar Rp 6.2 Trilyun di tahun 2017. Dengan tambahan dari pendapatan non-bunga sekitar Rp 2.5 Trilyun, total pendapatan operasi diperkirakan dapat mencapai Rp 8.7 Trilyun. Beban operasi Permata, diluar biaya penyisihan kredit bermasalah, mungkin dapat mencapai angka Rp 5.2 Trilyun. Dengan demikian, kita bisa menggunakan angka Rp 3.5 Trilyun (Pendapatan Operasi, Rp 8.7 Trilyun dan dikurangi Biaya Operasi, Rp 5.2 Trilyun), sebagai angka dasar untuk memperkirakan laba yang bisa dicapai Bank Permata di tahun 2017
- Hasil akhir laba bersih akan tergantung, berapa besar Permata melakukan tambahan penyisihan cadangan kredit bermasalah pada tahun 2017. My best guess is not much. Mengapa? Karena dengan agresifnya Permata melakukan pencadangan tahun ini, maka membuka tahun 2017 Permata sudah memiliki cadangan penyisihan sebesar Rp 6 Trilyun!! Angka ini ekivalen 6% dari total kredit yang diberikan Bank Permata, atau 1 dari 16 kredit merupakan kredit bermasalah?
- Namun untuk lebih konservatif, saya mengasumsikan Permata masih mengalokasikan tambahan cadangan penyisihan kredit bermasalah, katakanlah Rp 1 Trilyun. Dengan demikian, maka secara konservatif saya memperkirakan bahwa Permata dapat menghasilkan laba sekitar Rp 2.5 Trilyun di tahun 2017.
- Laba Rp 2.5 Trilyun ini merupakan estimasi konservatif. Jangan lupa, adanya penyisihan biaya kredit bermasalah tidak berarti bahwa kredit itu sepenuhnya tidak dapat dilunasi. Bank tetap akan melakukan upaya agar setiap pinjaman bisa dilunasi. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan, jika nasabah memang tidak dapat melunasi pinjaman sesuai dengan ketentuan. Juga jangan dilupakan bahwa jaminan yang diberikan oleh nasabah dapat menjadi salah satu sumber pengembalian. Jika salah satu dari dua solusi di atas bisa dilakukan, maka keduanya merupakan sumber tambahan yang akan meningkatkan laba normal Bank
- Komponen lainnya yang dapat menjadi sumber tambahan bagi Permata yang tidak sepenuhnya dinikmati tahun 2016, adalah adanya tambahan modal baru sebesar Rp 5 Trilyun. Modal ini, sebagaimana kita tahu, memiliki beban bunga 0%. Jika Bank memberikan pinjaman kepada nasabah dengan bunga 10%, dan dana itu berasal dari dana deposannya, dan Bank harus membayar bunga deposito 4%, maka hasil bersih Bank adalah 6%, yaitu 10% dikurangi 6%. Namun jika sumber dana untuk mendukung pemberian kredit itu berasal dari modal Bank yang diterima dari pemegang saham, maka hasil bunga yang akan masuk sebagai pendapatan jumlahnya penuh sebesar 10%. Hal ini saja akan menambah komponen pendapatan bunga sebesar Rp 500 Juta di tahun 2017
- Angka-angka di atas, sekali lagi, merupakan perkiraan. Dengan asumsi tadi, dan tanpa adanya pertumbuhan kredit samasekali, cukup aman untuk mengatakan bahwa perkiraaan tingkat laba Permata sebesar Rp 2.5 Trilyun itu sebagai angka konservatif. Jika hasil keuntungan itu dibagi dengan jumlah saham Permata, 22 Milyar, maka diperkirakan Earning Per-Share/EPS Permata akan mencapai Rp 113. Harga Permata saat ini mengisyaratkan PE Ratio sekitar 5 X dari proyeksi EPS tahun 2017
- Mudah-mudahan saja manajemen Permata dapat memulihkan kepercayaan pemegang sahamnya. Bayangkan jika saja modal Permata sebesar Rp 22 Trilyun itu dananya dimiliki satu orang, atau satu kumpulan orang. Opsi a) menyimpan dana itu sebagai deposito di Bank, dan tanpa risiko, setiap tahun menerima hasil bunga bersih sebesar Rp 1.5 Trilyun. Atau opsi b) menyimpan dana itu sebagai modal di Bank
- Jika opsi b) itu dilakukan di Bank Permata, maka pemilik dana itu harus menanggung biaya operasi sebesar Rp 5.3 Trilyun di tahun 2016. Dalam biaya operasi termasuk diantaranya, biaya tenaga kerja sebesar Rp 2.3 Trilyun. Pemegang saham, pemilik dana itu, mendapatkan apa? Mendapatkan laporan bahwa laba perusahaan tahun ini negatif. Jangankan mendapatkan dividen, justru diminta untuk melakukan tambahan modal lagi
Untuk menutup tulisan ini, saya teringat apa yang dikatakan Buffett tentang pasar modal :”The stock market is a no-called-striked game. You don’t have to swing at everything – you can wait for your pitch. The problem when you’re a money manager is that your fans keep yelling, ‘swing, you bum”. Inilah gambaran pasar modal, seakan-akan kita harus bergerak setiap detiknya mengikuti irama permainan. Dan tidak menunggu sampai tiba saat yang paling tepat untuk melakukan pukulan.
Ted William, dalam bukunya The Science of Hitting, menjelaskan soal paling penting buat seorang hitter dalam permainan baseball adalah “to wait for the right pitch”. Inilah juga yang seharusnya dapat kita lakukan sebagai seorang investor : Wait for the right pitch, Wait for the right deal, Wait for the right stock at the right price. It will come.
What’s nice about investing is you don’t have to swing at pitches. Jika kita bermain baseball, lemparan bola itu bisa mengarah 1 cm di atas atau di bawah pusar. Tidak usah dipukul. Kita bisa menunggu sampai bola yang datang itu dapat tepat dipukul dengan baik dan berhasil.
Melihat pasar modal dengan kuotasi harganya, sama dengan adanya lemparan bola yang diarahkan kepada kita. Kita tidak perlu bereaksi, jika itu tidak akan menghasilkan pukulan yang tepat. Kita tidak perlu takut untuk pasif dan menunggu. Tidak ubahnya Van Basten, bekas striker Belanda. Dia tidak banya melakukan gerakan tidak perlu dan membuang energinya. Namun, saat dia mendapatkan bola yang tepat, sudah hampir pasti bola tadi dengan indahnya dia masukan ke dalam gawang lawan. Gol.
Wait for the right pitch. Apabila kesempatan itu datang, manfaatkan sebanyak-banyaknya, karena hasil keuntungan 3 digit bukan hal yang mustahil. Dan jika bisa melakukan pukulan yang tepat, maka 15-20 pukulan sepanjang hidup Anda sudah lebih dari memadai.