Anda di halaman 1dari 127

Business Judgment Rule Doctrine

As a Protection for Business Decisions

I Nyoman Wisnu Wardhana


1
Senior Advisor II PT. Telkom Indonesia - Modul BJR
Business Judgment Rule Doctrine
Modul Topik Ref.
 Patrick A. Gaughan, Mergers,
I Corporatism Acquisitions, and Corporate
Restructurings, ISBN: 978-0-470-
II Legal Theories of Corporatism 56196-6, Wiley; 5th edition
(2011, www.wiley.com.)
 Pinto, Arthur R. and Branson,
III Corporate’ Organs Douglas M., Understanding
Corporate Law (Third Edition)
IV Corporate Governance – Risk – Compliance (September 10, 2009). ISBN-
1422429598-781422429594,
V Board’ Tasks and its Authorities 
Lexis-Nexis
The law of The Republic of
Indonesia Number 40/2007
VI Board’ Responsibilities concerning Limited Liability
Company
VII Board Discharge of its  The Law of the Republic of
Indonesia concerning Business
Legal Duties and Law (KUHD-Wetboek van
Koophandel -Dutch Civil Code)
Equitabilities  Other related literatures
(Journal, Case Law, etc)
VIII BJR Doctrine

I Nyoman Wisnu Wardhana


2
Senior Advisor II PT. Telkom Indonesia - Modul BJR
Modul I
Corporatism

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 3


Gambaran Umum Korporasi (Enterprise)

Dasar Hukum Organisasi Bisnis/Perusahaan di Indonesia:

 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)


 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel voor Indonesie)
 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Bentuk-bentuk organisasi perusahaan:

 Perusahaan Perseorangan
 Persekutuan Firma
 Perseroan Komanditer (Commanditer Vennootschap/CV)
 Perseroan Terbatas
 Koperasi
 Yayasan
 BUMN
 Other derivative forms of corporation
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 4
Bentuk-Bentuk Organisasi Perusahaan

Perusahaan Perseorangan UU No. 8 th. 1997 (Dokumen Perusahaan):


Eenmanszaak/Sole Proprietorship
Perusahaan adalah setiap
Perusahaan Persekutuan kegiatan usaha yang
dilakukan secara tetap/terus-
Tidak – Berbadan Hukum menerus dengan tujuan
Spec: untuk mencapai atau mencari
 Maatschap (Pers. Perdata) keuntungan/laba baik yang
 Vennootschap onder eene firma (Firma) dilaksanakan oleh orang
 Commanditaire vennootschap (CV)
perseorangan maupun oleh
Berbadan Hukum badan usaha baik badan
Spec: usaha yang tidak berbadan
Naamloze  Perseroan Terbatas (Tertutup) hukum maupun badan usaha
Vennootschaap (NV)  Perseroan Terbatas (Terbuka) yang berbadan hukum yang
cooperatie  Koperasi
didirikan dan berada di
Stichting  Yayasan
wilayah RI.
staat een eigen bedrijf  BUMN

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 5


Eenmanszaak/Sole Proprietorship

Perusahaan Perseorangan
Adalah perusahaan yang dikelola dan diawasi oleh satu orang, dimana pengelola
perusahaan memperoleh semua keuntungan perusahaan, tetapi ia juga
menanggung semua risiko yang timbul dalam kegiatan perusahaan. Pendirian
perusahaan perseorangan tidak diatur dalam KUHD dan tidak memerlukan perjanjian
karena hanya didirikan oleh satu orang pengusaha saja.

Perusahaan perseorangan dibagi dalam 2 kelompok yaitu


1. Usaha Perseorangan Berizin :
memiliki izin operasional dari departemen teknis. Misalnya bila perusahaan perseorangan
bergerak dalam bidang perdagangan, maka dapat memiliki izin seperti Tanda Daftar Usaha
Perdagangan (TDUP), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
2. Usaha Perseorangan Yang Tidak Memiliki Izin.
Misalnya usaha perseorangan yang dilakukan para pedagang kaki lima, toko barang
kelontong, dsb.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 6


Maatschap Tidak – Berbadan Hukum
Persekutuan Perdata
Adalah suatu persetujuan dimana dua orang/lebih mengikatkan diri untuk
memasukkan sesuatu kedalam persekutuan dengan tujuan untuk membagi
keuntungan atau manfaat diperoleh daripadanya. Dapat berupa: Barang, Uang,
Tenaga, dan kerajinan
 Hubungan intern antara para sekutu bersifat kontraktual
 Hubungan Eksternnya (Hubungan antara seorang sekutu dengan pihak ketiga)
hanya mengikat sekutu yang mengikatkan diri tersebut, tetapi
para sekutu lainnya dapat terikat apabila :
 Adanya pengukuhan terhadap peningkatan yang dilakukan kepada pihak
ketiga
 Adanya kesan pertanggung jawaban sekutu
 Adanya kuasa
 Adanya manfaat bagi persekutuan
Pertanggung jawaban tergantung kepada jumlahnya sekutu dengan dan bagian masing-masing
sekutu dalam modal persekutuan (pro Rata) seperti : Kerjasama Lawyer, Dokter, Architect, etc.

Gerant Statutaire (Perjanjian Persekutuan dalam tindakan pengutusan kepada pihak ketiga atas
dasar akte pendirian persekutuan, Gerant Mandataire merupakan pemberian kuasa dari
persekutuan atas keperluan persekutuan atau memberikan mandat.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 7
Vennootschap onder eene firma Tidak – Berbadan Hukum

Firma
Adalah setiap persekutuan perdata yang menjalankan perusahaan dengan nama
bersama, jadi dapat dikatakan firma adalah persekutuan perdata khusus
kekhususannya terletak pada :
 Menjalankan perusahaan dengan mana bersama
 Tanggung jawab sekutu secara pribadi untuk keseluruhan
 Menggunakan nama bersama

Firma bukan merupakan badan hukum, meskipun syarat materil sudah terpenuhi
antara lain :
 Adanya harta kekayaan terbesar
 Adanya kepentingan atau tujuan tertentu
 Adanya Pengurus

Syarat formal sebagai badan hukum tidak terpenuhi, yaitu tidak adanya
pengesahan Menteri Kehakiman.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 8


Commanditaire vennootschap Tidak – Berbadan Hukum

Persekutuan Komanditer
Adalah jenis persekutuan yang mirip dengan firma yang mempunyai dua jenis sekutu
yaitu sekutu komplementer dan komanditer. Merupakan persekutuan yang didirikan
oleh beberapa orang (sekutu) yang menyerahkan dan mempercayakan uangnya untuk
dipakai dalam persekutuan. Para anggota persekutuan menyerahkan uangnya sebagai
modal perseroan dengan jumlah yang tidak perlu sama sebagai tanda keikutsertaan di
dalam persekutuan.

 Sekutu komplementer (sekutu aktif/pengurus) yang dapat melakukan perbuatan


hukum atau mengadakan perikatan terhadap pihak ketiga.
 Sekutu komanditer (Sekutu yang memasukkan modalnya saja kedalam persekutuan
(sekutu pasif/dibelakang layar).

Berbeda dengan firma, maka sekutu komanditer hanya bertanggung jawab


sebesar modal yang masuk dalam perseroan.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 9


Naamloze Vennootschaap Berbadan Hukum

Perseroan Terbatas
(Perseroan), adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.

Perseroan mempunyai organ yang terdiri dari :


Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan dan memegang segala kewenangan yang
tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris. RUPS terdiri dari RUPS tahunan yang diadakan
paling lambat 6 bulan setelah tahun buku dan RUPS lainnya yang dapat diadakan sewaktu-waktu
berdasarkan kebutuhan.

Direksi
adalah organ Perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk
kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Komisaris
adalah organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus
serta memberikan nasehat kepada direksi dalam menjalankan Perseroan
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 10
Pros & Cons

Eenmanszaak/Sole Proprietorship Maatschap-Firma

Kebaikan: Kebaikan:
 Mudah dibentuk dan dibubarkan  Prosedur pendirian relatif mudah
 Bekerja dengan sederhana  Mempunyai kemampuan finansial yang lebih
 Pengelolaannya sederhana besar, karena gabungan modal yang dimiliki
 Tidak perlu kebijaksanaan pembagian laba beberapa orang
 Keputusan bersama dengan pertimbangan
Kelemahan: seluruh anggota firma, sehingga keputusan-
 Tanggung jawab tidak terbatas keputusan menjadi lebih baik
 Kemampuan manajemen terbatas
 Sulit mengikuti pesatnya perkembangan Kelemahan:
perusahaan  Utang-utang perusahaan ditanggung oleh
 Sumber dana hanya terbatas pada pemilik kekayaan pribadi para anggota firma
 Risiko kegiatan perusahaan ditanggung  Kelangsungan hidup perusahaan tidak
sendiri terjamin, sebab bila salah seorang anggota
keluar, maka firma pun bubar

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 11


Pros & Cons - cont’

Commanditaire Vennootschap Naamloze Vennootschaap

Kebaikan: Kebaikan:
 Pendiriannya relatif mudah  Kelangsungan hidup perusahaan terjamin
 Modal yang dapat dikumpulkan lebih  Terbatasnya tanggung jawab, sehingga tidak
banyak menimbulkan resiko bagi kekayaan pribadi
 Kemampuan untuk memperoleh kredit maupun kekayaan keluarga pemilik
lebih besar  Saham dapat diperjual belikan dengan relatif
 Manajemen dapat didiversifikasikan mudah
 Kesempatan untuk berkembang lebih  Kebutuhan kapital lebih besar akan mudah
besar dipenuhi, sehingga memungkinkan
perluasan usaha
Kelemahan:  Pengelolaan perusahaan dapat dilakukan
 Tanggung jawab tidak terbatas lebih efisien
 Kelangsungan hidup tidak terjamin
 Sukar untuk menarik kembali Kelemahan:
investasinya  Biaya pendiriannya relatif mahal
 Rahasia tidak terjamin
 Kurangnya hubungan yang efektif antara
pemegang saham
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 12
Establishment’s Comparation

Perseorangan Persekutuan
Tidak berbadan Hukum Berbadan
Hukum
Eenmanszaak Maatschap Firma CV Naamloze
Cara Pendirian Tidak diatur dalam Perjanjian, bisa 16 , 18, dan 22 1§1
KUHD ataupun lisan atau akte 7§1&2
KUHPerdata otentik-1618

Pendaftaran Tidak perlu Tidak harus Harus didaftarkan di Kepaniteraan  9§1


didaftarkan didaftarkan PN-23, 24  29

Pengesahan Tidak perlu Tidak perlu Tidak memerlukan pengesahan - 30 § 1


Pengesahan didaftarkan 27

Intern Tidak terbatas All for one – 1624 sd. 1641 ~Firma, pada 3§1
1637/1639 sekutu
(3rd party bind) komanditer
Tanggung tanggung
Jawab Extern Tidak terbatas All for one – 1642 sd. 1645  92, 97, 98 , dan
jawabnya
1642/1644 99
Terbatas- 19,
 114, 115, 117,
20, dan 21
dan 118
 148

Berakhirnya Tidak diatur dalam 1646 26, 31 142 § 1


KUHD 1646

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 13


State Owned Company

Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Adalah semua perusahaan dalam bentuk apapun dan bergerak dalam bidang usaha
apapun yang sebagian atau seluruh modalnya merupakan kekayaan negara, kecuali
ditentukan lain berdasarkan undang-undang

Modal BUMN ada 2 kemungkinan:


1. Seluruh modal persero dimiliki oleh negara
2. Sebagian modal persero (paling sedikit 51%) dimiliki oleh negara dan sebagian
modal lainnya dimiliki oleh swasta

Ciri-ciri utama BUMN adalah:

 Profit oriented
 Legal status : owned its name and capital, legally bind agreement, covenant, etc with other parties
 Vital services (Public services)
 To perform legal acts, sued or sue
 State owned capital, and can be obtained loans  debt securities
 Spec: PT. Telkom Indonesia, PT. KA-Indonesia, PT. Rajawali Indonesia, etc

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 14


Limited Liability Company- Classification

Perseroan Terbatas
Dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis yaitu:
1. Klasifikasi Perseroan Terbatas atas dasar diperjualbelikannya saham di Bursa Efek
 Perseroan Terbatas Tertutup
adalah PT yang saham-sahamnya tidak diperjual-belikan di Bursa Efek
 Perseroan Terbatas Terbuka
adalah PT yang sahamnya sudah diperjual-belikan di Bursa Efek dan
perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang sudah go public.

2. Klasifikasi PT berdasarkan asal mula penanaman modal yaitu:


 PT. PMDN
 PT. PMA
 PT. Non PMA/PMDN

3. Klasifikasi PT berdasarkan ada tidaknya kelompok usaha yaitu:


 Holding Company:
 Full Holding Company  Subsidiary Company
 Quasy Holding Company  Affiliated Company
 Non Holding Company
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 15
Limited Liability Company- Combination

Kombinasi perusahaan (biasanya PT) merupakan suatu bentuk ‘mutual cooperation’


antara perusahaan-perusahaan dengan tujuan:

1. Perusahaan berskala kecil, umumnya mempunyai pasar terbatas dan tidak


mempunyai kemampuan menguasai pasar yang luas
2. Kuantitas bahan baku yang dibeli perusahaan kecil relatif sedikit sehingga harga
belinya menjadi mahal. Akibatnya harga jual produknya menjadi mahal
3. Supply bahan baku untuk perusahaan kecil tidak terus menerus sedangkan jumlah
yang diinginkan pemasok tetap berkesinambungan
4. Keinginan untuk bersaing dengan barang-barang impor yang sering kali mempunyai
harga jual relatif murah
5. Untuk dapat mempergunakan teknologi baru yang efisien, efektif serta dapat
menciptakan barang-barang baru, sehingga biaya penelitian yang sangat mahal
dapat ditanggung bersama
6. Keinginan untuk menguasai mata rantai (mulai dari bahan baku, produksi, sampai
pemasaran) dari satu atau beberapa jenis produk sehingga dapat menguasai pasar
produk tersebut
7. Mengurangi pengaruh konjungtur (pertukaran naik turunnya kemajuan dan kemunduran
ekonomi yang terjadi secara berganti-ganti )

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 16


Limited Liability Company- Integration

1. Integrasi Vertikal-Integral
(Integrasi ke Hulu dan Hilir) adalah suatu bentuk penggabungan antara perusahaan yang dalam
kegiatannya memiliki tahapan produksi berbeda
spec: Perusahaan penghasil bahan baku bergabung dengan produsen pengolah bahan baku,
disebut integrasi ke hulu/penggabungan vertikal dan kebalikannya disebut integrasi ke
hilir/penggabungan integral

Tujuan dari penggabungan Vertikal-Integral adalah:


 Untuk kesinambungan perolehan pasokan bahan baku
 Untuk mengendalikan pasar barang jadi dalam hal pasokan, kualitas dan harga

2. Integrasi Horisontal-Paralelisasi
adalah bentuk penggabungan antara dua atau lebih perusahaan yang bekerja pada
jalur/tingkat yang sama, misalnya dalam pengolahan bahan baku, dengan tujuan menekan
persaingan, Penggabungan semacam ini juga dapat terjadi antara perusahaan barang/jasa yang
menggunakan bahan sejenis.

Tujuan penggabungan Horisontal-Paralelisasi adalah:


 Mengurangi kelebihan kapasitas
 Menekan biaya distribusi
 Memperluas pasar

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 17


Limited Liability Company- Specialty

Pengkhususan Perusahaan adalah kegiatan perusahaan yang mengkhususkan diri pada


fase atau aktivitas tertentu saja, sedangkan aktivitas lainnya diserahkan kepada
perusahaan luar. Pengkhususan perusahaan dapat dibedakan menjadi:

1. Spesialisasi yaitu perusahaan yang mengkhususkan diri pada


kegiatan menghasilkan satu jenis produk saja, misalnya khusus
menghasilkan pakaian olah raga saja, atau bergerak di bidang
jasa transportasi darat saja
2. Diferensiasi yaitu pengkhususan pada fase produksi tertentu,
misalnya perusahaan penanaman, perusahaan penggilangan
padi dan perusahaan penjual beras.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 18


Limited Liability Company- Concentrate/Condense

1. Trust
Trust merupakan suatu bentuk kerjasama perusahaan secara horisontal untuk
membatasi persaingan, maupun rasionalisasi dalam bidang produksi dan penjualan

2. Holding Company
Holding Company/Perusahaan Induk yaitu perusahaan yang berbentuk
Corporation yang menguasai sebagian besar saham dari beberapa perusahaan
lain.

3. Kartel
Kartel adalah bentuk kerjasama perusahaan-perusahaan dengan produksi barang
dan jasa sejenis yang didasarkan perjanjian bersama untuk mengurangi
persaingan, Jenis-jenis kartel:
a. Kartel bersyarat (kondisi)
b. Kartel harga
c. Kartel produksi
d. Kartel daerah
e. Kartel Pembagian laba
f. Etc.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 19
Limited Liability Company- Concentrate/Condense – cont’

4. Sindikasi
Adalah bentuk perjanjian kerjasama antara beberapa orang untuk melaksanakan suatu
proyek. Sindikasi juga dapat melakukan perjanjian sindikasi untuk memusatkan penjualan
pada satu lokasi tertentu, disebut sindikasi penjualan.
5. Concern
Concern adalah suatu bentuk penggabungan yang dilakukan baik secara horisontal maupun
vertikal dari sekumpulan perusahaan Holding. Concern dapat muncul sebagai akibat dari satu
perusahaan yang melakukan perluasan usaha secara horisontal ataupun vertikal melalui
pendirian perusahaan baru.
Dengan concern, dapat lebih mudah melakukan rasionalisasi seperti halnya:
6. Joint Venture
Merupakan perusahaan baru yang didirikan atas dasar kerjasama antara beberapa
perusahaan yang berdiri sendiri.
7. Trade Association
yaitu persekutuan beberapa perusahaan dari suatu cabang perusahaan yang sama dengan
tujuan memajukan para anggotanya dan bukan mencari laba.
Contoh: APKI (Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia, ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman
Indonesia)
8. Gentlement’s Agreement
Persetujuan beberapa produsen dalam daerah penjualan dengan maksud mengurangi
persaingan diantara mereka

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 20


Limited Liability Company- Terms for Mergers & Acquisitions

1. Consolidation ~ Amalgamation
adalah penggabungan beberapa perusahaan yang semula berdiri sendiri-sendiri menjadi satu
perusahaan baru dan perusahaan lama ditutup
2. Merger
Jenis-jenis merger:
 Merger Vertikal
 Merger Horisontal
 Merger Konglomerasi
3. Acquisition
adalah pengambilalihan sebagian saham perusahaan oleh perusahaan lain dan perusahaan
yang mengambil alih menjadi holding sedangkan perusahaan yang diambil alih menjadi anak
perusahaan dan tetap beroperasi seperti sendiri tanpa penggantian nama dan kegiatan
4. Derivative Mergers:
 Triangular Merger
 Reverse Triangular Merger
5. Strategic Alliance
adalah kerja sama antara dua atau lebih perusahaan dalam rangka menyatukan keunggulan
yang mereka miliki untuk menghadapi tantangan pasar dengan catatan kedua perusahaan
tetap berdiri sendiri-sendiri

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 21


Limited Liability Company- Evolution to cooperation

A Spectrum of InterFirm Cooperation


Low Internalization
Markets ........ Spot Markets
Oligopolistic Competition (Implicit Collusion)
Trade/Industry Assosiations

Contractual or Condition Cartels


Type or Standards Cartels
Private Self- Environmental Safety

Regulation  ..... Procedural Product Quality Processes


Patent or Patent-Licensing Cartels
(Associations) Calculation Cartels
Discounting Cartels
Tender Cartels

Customer Cartels
Specialization Cartels
Illegal Territorial Cartels

Cartels .......... Hard-Core Quota Cartels


Convention or Gentlement’s Agreements
Price Cartels
Syndicates

Import/Export Cartels
Rationalization Cartels
Industrial/ Recession Cartels
Hierarchies  ... Social Policy Emergency or Structural Crisis
Cooperative Marketing/Purchasing Arrangements

Long-Term Contracts
Networks
Adapted from Wolfgang Korndörfer, Allgemeine
Enterprise Groups
Betriebswirtschaftslehre (Wiesbaden, 1988), pp.
Sub-Contractors High Internalization
128-132; Wilfried Feldenkirchen, "Concentration
Non-Equity Strategic Alliances
Process," pp. 113-115. Regulation
Equity-Based Joint Venture
Firms

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 22


Limited Liability Company- Compare with Competition

Source: Jeffrey M. Perloff, Microeconomics, 3rd Ed., 2004, p. 435

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 23


Some considerations:

 Type of Businesses (perdagangan, industri, dsb)


 Scope of Businesses
 The Parties involved
 Risk ownership
 Accountability limit (company's debts)
 Investment
 Profit Sharing
 Time period (company’s stint)
 Regulation relates
 Country Risk Factor (in case of Cross Border)
 Security exchange (in case of Public)
 Etc.
 Respective market
 Competitors
 Other administrative considerations

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 24


Modul II
Legal Theories of Corporatism

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 25


Corporatism’ Theories
formation and general nature of corporation

Teori hukum yang sering digunakan untuk menganalisis suatu perusahaan biasanya akan
memberikan penajaman pada beberapa kriteria, seperti:

 formation and general nature of corporation (pembentukan perusahaan);

 legal personality of corporation (badan hukum perusahaan);

 their purpose and object (tujuan perusahaan); dan

 separation of corporate function (pemisahan organ perusahaan).

legal entity  How’s a corporate prevailed


and what’s the consequences embedded? (based on legal
requirements)

numerus clausus or party freedom


I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 26
Corporatism’ Theories – cont’.
formation and general nature of corporation

Konsep numerus clausus  bahwa perusahaan dibentuk berdasarkan atas suatu


persyaratan tertentu yang terdapat dalam hukum substantif suatu negara

konsep party freedom  menyatakan pihak-pihak yang berkepentingan memiliki


keleluasaan untuk membentuk suatu perusahaan.

Hampir semua negara menerapkan konsep numerus clausus ini,


mengingat terbentuknya suatu perusahaan akan membawa
konsekuensi yang terkait dengan hal-hal lain yang sangat
kompleks, sehingga dalam hukum substantif setiap negara
konsep ini digunakan .

Prinsip the founding of corporations merupakan suatu kaidah yang menyatakan, meskipun memiliki aturan
yang beragam dalam ketentuan hukum substantif-nya, namun pada dasarnya suatu perusahaan dibentuk
dengan suatu persyaratan generik yang meliputi, adanya suatu kontrak antara para pihak,
didaftarkan kepada lembaga yang berwenang, akte pendirian dari notaris, dan
anggaran dasar.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 27


Corporatism’ Theories – cont’.
formation and general nature of corporation

The principal of concession, normative, dan contractual system.


 Concession  lebih menekankan kepada hak suatu negara (penguasa) untuk
memberikan ijin bagi lahirnya suatu perusahaan

 Normative  lebih kepada terdapatnya aturan atau ketentuan hukum yang jelas sebagai
pedoman untuk dipenuhi oleh suatu perusahaan dalam rangka mendapatkan status legal
entity.
 Contractual  memberikan kebebasan bagi semua pihak untuk mendirikan suatu
perusahaan tanpa campur tangan dari negara.

Perkembangan perusahaan saat ini, hampir tidak ada


negara yang menerapkan sistem contractual yang
mengatur tentang pendirian suatu perusahaan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 28
Corporatism’ Theories – cont’.
legal personality of corporation
Teori tentang badan hukum perusahaan merupakan suatu teori yang memandang perusahaan
berdasarkan eksistensinya, dalam arti, melihat keterpisahan entitas perusahaan dengan pemilik
(pemegang) saham, serta bagaimana konsekuensi yuridis yang muncul dari kondisi tersebut

Pada dasarnya terdapat beberapa teori yang membahas tentang badan hukum
perusahaan, antara lain:
 teori fiksi (fiction theory);
 teori individualisme (individualism theory);
 teori simbolis (shareholder theory);
 teori realis (realist theory or organ theory);
 teori ciptaan diri sendiri (self creation theory)
 teori kesatuan bisnis (enterprise entity theory); dan
 teori kontrak (contract theory)

the juristic controversy over the nature of the corporate personality is dead
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR  menyimpulkan bahwa perusahaan adalah separate legal entity. 29
Corporatism’ Theories – cont’.
legal personality of corporation

Implikasi dari perspektif teoritis, perusahaan sebagai suatu badan


hukum adalah terpisah (dari para pemegang saham atau organ-
nya) memiliki hak dan kewajiban hukum sebagaimana diatur
dalam ketentuan dan peraturan yang berlaku.
 Fiction theory (Friedrich Carl von Savigny dan John Salmond)  perusahaan adalah
bentukan dari hukum, dan dengan dipenuhinya syarat-syarat bagi suatu perusahaan
untuk menjadi legal entity, maka keberadaannya diakui oleh hukum sebagai suatu
entitas yang terpisah dari para pemegang sahamnya

 Realist or Organ theory (Otto von Gierke dan Johannes Althusius)  perusahaan
mempunyai tujuan dan keinginan yang sama dengan manusia dewasa karena organ-
organ perusahaan merupakan manusia (orang) yang telah dewasa, bila manusia
digerakkan oleh tubuhnya, maka perusahaan digerakkan oleh organ-organnya yang
terdiri atas manusia-manusia. tidaklah benar bahwa hukum menciptakan perusahaan,
namun dengan keinginan dan tujuan yang dimilikinya serta hak yang diperolehnya
sebagai the real entity sebagaimana manusia, maka hukum mengakuinya.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 30


Corporatism’ Theories – cont’.
legal personality of corporation

Bagaimana pengturan dalam UUPT No. 40/2007

Pasal 9 UUPT menyebutkan bahwa untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum,
perusahaan harus melakukan registrasi secara elektronik kepada Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia.

Dengan diterbitkannya status sebagai badan hukum dari negara,


bukan berarti negara memberikan hak privilese atau istimewa
(privileges), namun lebih kepada pengakuan hak secara umum
(rights) yang melekat terhadap perusahaan.

tidaklah benar bahwa hukum menciptakan perusahaan, namun


dengan keinginan dan tujuan yang dimilikinya serta hak yang
diperolehnya sebagai the real entity sebagaimana manusia, maka
hukum mengakuinya.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 31
Corporatism’ Theories – cont’.
their purpose and object

Perusahaan yang telah memiliki status badan hukum  maka hak dan kewajiban yang
melekat padanya akan terikat dengan tujuan dibentuknya perusahaan tersebut.

Pada dasarnya suatu perusahaan dibentuk memiliki tujuan utama untuk


memberikan keuntungan, memberikan nilai lebih, dan kesejahteraan kepada
seluruh stakeholder, mulai dari karyawan dan manajemen, pelanggan, masyarakat,
dan khususnya kepada pemegang saham (shareholder).

Tujuan pembentukan perusahaan:


 Memaksimalkan laba (profit maximazing),
 Memaksimalkan penjualan (sales maximizing),
 Mempertahankan eksistensi (to maintain corporate existence),
 Mencapai tingkat laba tertentu yang memuaskan (profit achievement),
 Mencapai pangsa pasar tertentu (market share achievement),
 Meminimalkan karyawan yang hengkang (minimizing employee’s retreat),
 Kedamaian internal (minimizing management conflict), dan
 Memaksimalkan kesejahteraan manajemen (maximizing management’s welfare).
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 32
Corporatism’ Theories – cont’.
their purpose and object

Teori tujuan pembentukan perusahaan:


 teori Shareholder Primacy,
 teori Stakeholder Primacy (Other Constituency Theory),
 Production Team Model, dan
 Social Transparency.

Pada dasarnya Production Team Model dan Social Transparency bukan suatu
konsep utuh yang dapat menjelaskan teori tujuan perusahaan, namun lebih
kepada pengembangan model atau pengertian turunan (derivative model) dari
dua teori yang paling sering digunakan yaitu shareholder primacy dan
stakeholder primacy.

Adolf Augustus Berle Jr. – Shareholder


Vs.
Edwin Merrick Dodd – Stakeholder
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 33
Corporatism’ Theories – cont’.
their purpose and object

Berle – Shareholder Primacy  “bagaimana alokasi kewenangan yang harus dijadikan


patokan bagi suatu perusahaan antara board of directors (managers) dan shareholder?”

Dodd – Stakeholder primacy perusahaan harus mampu memberikan manfaat kepada


konstituen lainnya (stakeholder).

Konsepsi Shareholder Primacy


ketimpangan antara wewenang yang dijalankan oleh board of director dan ketidakmampuan
shareholder dalam melakukan kontrol (Separation ownership and/from control).

2 alternatives:
 Dibuatnya ketentuan perundang-undangan yang jelas dan tegas yang
mengatur sistem hubungan antara shareholder dengan board of director.

 Mempertajam fungsi perjanjian (kontrak) yang telah ada antara shareholder


dengan board of director melalui pembuatan kontrak kerja yang lebih spesifik,
dengan memberi penekanan-penekanan pada batasan tanggung jawab board
of director.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 34
Corporatism’ Theories – cont’.
their purpose and object

Berle  secara substantif menjabarkan pentingnya melakukan pendekatan kontraktual,


karena pemberlakuan ketentuan perundang-undangan untuk mengatur hubungan kerja
antara shareholder dengan board of directors dipandang tidak akan berjalan efektif, dengan
alasan bahwa yang paling memahami suatu hubungan bisnis adalah pelaku bisnis itu sendiri.

Bagaimana menurut anda?

Contract between shareholder dengan board (self regulatory reforms) - sebagai Pandangan
contractarian  memberikan panduan yang luas terhadap isi dari kewenangan board dalam
menjalankan bisnis sehingga arah dari perusahaan dapat memberikan jaminan bagi keuntungan
pemegang saham.

Pemikiran dari Berle ini selanjutnya melahirkan suatu konsep yang terkenal dengan ‘new individualism’
yang merupakan bagian dari dasar-dasar pemikiran hukum persaingan usaha di Amerika Serikat dan
kemudian berkembang menjadi terminologi ‘corporatism’ .

Tonggak dimulainya pemikiran Kapitalis!


I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 35
Corporatism’ Theories – cont’.
their purpose and object

Berdasarkan teori shareholder primacy yang dikembangkan oleh Berle tersebut, saat ini
terlihat pengaruhnya dalam tataran hukum perusahaan yang berkembang di setiap negara.
Keberadaan suatu perusahaan haruslah berpegang pada prinsip bagaimana memberikan
keuntungan yang sebesar-besarnya kepada shareholder, di sisi yang lain dalam
kehidupan bernegara dan kepentingan umum (public interest), perusahaan juga mempunyai
tanggung jawab dalam terciptanya kestabilan ekonomi suatu negara.

shareholder model of corporatism memiliki lima karakter, antara lain:


 Kontrol utama dalam perusahaan mesti dilimpahkan pada pemodal;
 Manajemen perusahan harus dibebani dengan kewajiban untuk mengatur kepentingan
pemodal;
 Kepentingan pemangku kepentingan lainnya (stakeholders) seperti kreditor, pekerja, dan
konsumen dilindungi lewat mekanisme kontraktual dan regulasi yang berada di luar
wilayah corporate governance;
 Pemilik modal kecil juga harus mendapatkan perlindungan dari eksploitasi pemodal
besar; dan
 Nilai jual saham di pasar modal harus menjadi satu-satunya tolak ukur kepentingan
pemodal di perusahaan publik.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 36
Corporatism’ Theories – cont’.
separation of corporate function

Terdapat 2 issues yang terkait dengan kriteria penerapan ‘separation of corporate


functions’ (based on its organs) berbasis pada domain kepemilikan (ownership) korporasi:
 public corporations
 private corporations.

Hal tersebut di atas mengacu kepada referensi adanya ketidakseimbangan dalam


konteks ‘agency problem’ yang berasal dari aspek:

 the corporation participates-capital (investment),


 employment, and
 Product - market.

Organizational structure, capital structure,  affects shareholder value. insight,


corporations in different industries and with different business strategies adopt different
structures.

Detail pembahasan ini akan dilanjutkan dalam modul corporate governance (IV).

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 37


Modul III
Corporate’ Organs

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 38


Corporate’ Organs
Separate legal entity
Perseroan Terbatas diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang sekaligus mencabut keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang
sebelumnya mengatur ketentuan tentang Perseroan Terbatas.

Perseroan Terbatas secara tegas dirumuskan secara tersurat dinyatakan sebagai badan hukum, hal ini
ternyata di dalam pasal 1 angka 1 yang menyatakan; “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut
Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.

“legal entity” (black law dictionary) legal existence, an entity other than a natural person,
who has sufficient existence in legal contemplation that if can function legally, be sued or
sue and make decisions through agents as in the case of corporations.

Implies  Keberadaan PT diakui oleh hukum sebagai pengemban hak


dan kewajiban dalam lapangan hukum perdata. Namun, tidak
sebagaimana manusia, PT sebagai badan hukum tidak memiliki daya
pikir, kehendak, dan kesadaran sendiri.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 39
Corporate’ Organs
Separate legal entity
Corporate Organs’ tasks, inter alia melakukan pengurusan PT, melakukan hubungan hukum
dengan pihak ketiga untuk dan atas nama PT.

PT hanya dapat mengambil keputusan dengan perantaraan alat perlengkapannya, yaitu


orang atau orang-orang dalam hubungan tertentu dengan PT yang mengambil keputusan
atau berbuat tidak untuk diri sendiri, tetapi atas nama PT (Perseroan).

Keistimewaan  Apabila sebuah (seorang) organ tidak lagi melakukan


pengurusan PT oleh sebab apapun, tidak mengakibatkan PT tidak dapat
melakukan kegiatannya, namun dapat diangkat pengganti organ dari orang
lainnya, yang dalam hal ini berarti kedudukan organ tetap ada dalam PT tersebut
namun kedudukannya diwakili oleh individu yang berbeda, syarat dan ketentuan
pengangkatan organ baru tersebut harus berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan maupun anggaran dasar PT.

Pasal 1 angka 2 UUPT, menyatakan organ PT terdiri atas: Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris.

Meskipun tidak dinyatakan secara tegas, namun organ yang dimaksud dalam UUPT harus ada
sebagai bagian
I N Wisnu dari kelangsungan
Wardhana-Modul BJR PT. 40
Corporate’ Organs
Separate legal entity

RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris, ketiga organ ini bukan suatu alasan mutlak
berdirinya PT maupun alasan suatu PT menjadi badan hukum. Keharusan adanya organ-
organ tersebut berlaku terhadap kelangsungan PT dalam melakukan kegiatan usaha untuk
mencapai maksud dan tujuan sesuai dengan anggaran dasar PT serta merupakan unsur yang
menjadi pembeda antara PT dengan badan usaha lainnya.

Ketentuan mengenai adanya organ PT secara lengkap diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (KUHD – (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847:23)
dalam Pasal 36, 40, 42, dan 45, yaitu:
1. adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing pesero (pemegang saham),
dengan tujuan untuk membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan;
2. adanya pesero atau pemegang saham yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nominal saham
yang dimilikinya. Sedangkan mereka semua dalam rapat umum pemegang saham merupakan
kekuasaan tertinggi dalam organisasi perseroan, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
direksi dan komisaris; berhak menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan menjalankan perusahaan,
menetapkan hal-hal yang belum ditetapkan dalam anggaran dasar dan lain-lain.
3. adanya pengurus (direksi) dan komisaris yang merupakan satu kesatuan pengurusan dan
pengawasan terhadap perseroan dan tanggung jawabnya terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai
dengan anggaran dasar dan/atau keputusan rapat umum pemegang saham.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 41
Corporate’ Organs
Separate legal entity

Dengan demikian (menurut KUHD), PT sebagai salah satu badan hukum dan merupakan badan usaha
yang berbeda dengan badan usaha lainnya dalam menjalankan usahanya sesuai dengan maksud dan
tujuan dalam mengelola kekayaan yang ada seperti tercantum dalam anggaran dasar, salah satu
unsurnya harus mempunyai organ, yang salah satu tugas dari salah satu organ perseroan tersebut adalah
melakukan pengurusan terhadap perseroan dengan penuh tanggung jawab terhadap tugasnya yang
sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan tersebut, termasuk juga di dalamnya melakukan hubungan
hukum dan memgelola kekayaan perseroan.

Tentang RUPS, menurut KUHD dan UUPT No.40/2007

 KUHD  Rapat Umum Pemegang Saham yang merupakan organ yang memiliki
kekuasaan tertinggi.

 UUPT  Salah satu organ yang memiliki wewenang yang tidak dimiliki organ
lainnya.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR


Apa bedanya? 42
Corporate’ Organs
Separate legal entity

Relevansi antara teori dengan keberadaan PT sebagai salah satu badan hukum
 bahwa PT mempunyai kekayaan yang terpisah dari pendiri dan pengurusnya,
mempunyai hak-hak tersendiri yang diberikan oleh undang-undang pada saat
didirikan, namun untuk bertindak sebagai subjek hukum, hak-hak PT perlu
didukung hak-hak lainnya, yaitu individu dari organ PT (manusia).

Hak Individu tersebut merupakan hak manusia seutuhnya (organ perusahaan) yang bertindak
sebagai wakil dan bagian dari PT berdasarkan hak yang diberikan kepadanya oleh PT 
confusing?

Oleh karena itu yang terpenting bukanlah siapa yang mempunyai kekayaan tersebut,
melainkan adanya kekayaan tersebut untuk mencapai suatu tujuan dengan dukungan hak-
hak yang ada.

Apa yang disebut hak-hak badan hukum, sebenarnya hak-hak tanpa subjek hukum,
karena itu sebagai penggantinya adalah kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan.

 destinataristheeorie atau leer van het doelvermogen.


I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 43
Corporate’ Organs
Separate legal entity

Entity theory  perusahaan sebagai suatu entitas bisnis tersendiri yang terpisah dari kepentingan
pribadi pemilik ataupun pendiri perusahaan tersebut.

Terdapat pemisahan yang jelas atas hak yang berkaitan dengan penghasilan, risiko, kendali, dan likuidasi
perusahaan.

Bahwa pendapatan yang diperoleh perusahaan merupakan hak entitas bisnis, dalam hal ini
perusahaan, bukan merupakan tambahan kekayaan bagi pendiri perusahaan
tersebut.

Pendapatan tersebut kemudian diberikan sebagai deviden kepada


yang berhak sesuai dengan hak mereka masing-masing. Teori ini
didasarkan pada teori konsesi, yaitu teori yang menganggap bahwa
perusahaan didirikan oleh negara, sebagai alat untuk mencapai
tujuan negara.
Berkembangnya sebuah perusahaan sangat dipengaruhi oleh struktur corporate
governance:
 the Anglo-American atau Common Law model  one tier (unitary board model)
I N the
Wisnu Continental
Wardhana-Modul BJREuropean model atau Civil Law model  two tier model 44
Corporate’ Organs
Separate legal entity

Corporate governance structure:


Unitary/One Tier Board System 
• Terdapat dominasi pada manajemen perusahaan yang berfokus pada shareholders.
• Direksi (boards)dipilih oleh pemegang saham demi kepentingan pemegang saham.
• Membangun hubungan yang lebih dekat dan mempermudah aliran informasi antara pengawas
dan pengurus dalam perusahaan.
• Organ perseroan terdiri dari meeting dan board of directors yang merupakan CEO (Chief
Executive Officer) dan chairman.
• Memberikan kewenangan pada pemimpin tunggal sebagai pihak yang berkuasa, budaya litigasi
pemegang saham di dalam model ini sangat kuat.
1. One Tier System – Duality model (pure one tier)  a Single Supreme Commander of both Chairman and CEO
2. One Tier System – No Duality model  Separate function between Chairman (Executive and Non-Executive) and CEO

Two Tier Board System 


• Terdapat dominasi pada manajemen perusahaan yang berfokus pada pemegang saham
pengendali dan berfokus pada stakeholder.
• pengawasan oleh supervisory board dan fungsi eksekutif oleh management board.
• Supervisory board (Dewan Komisaris) melakukan tindakan pengawasan dan memberikan
nasihat kepada managing directors.
• Terdapat dua organ yang menjalankan fungsi pengelolaan perusahaan dan fungsi
pengawasanterhadap pengelola perusahaan.
• Organ perseroan terdiri atas; RUPS (General Meeting), Direksi (Chief Officer), and Supervisory
I N Wisnu Wardhana-Modul
Board BJR
(Dewan Komisaris). 45
Corporate’ Organs
Separate legal entity

Pengaturan organ perusahaan menurut UUPT No. 40/2007 Pasal 1 angka 2;


“Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris”

Berdasarkan struktur organ, maka Indonesia menggunakan Model struktur the


Continental European model atau Civil Law model (Two Tier Model)
Terdapat pemisahan antara fungsi pengawasan dengan fungsi pengurusan perseroan. Hal ini terlihat
adanya pemisahan fungsi tersebut pada angka 6 pasal yang sama yang menyatakan bahwa Dewan
Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau
khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

Tentang Direksi:

Pasal 1 angka 5 UUPT, bahwa,


“Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 46
Corporate’ Organs
Separate legal entity

Dalam melakukan perbuatan hukum dan mengadakan hubungan hukum untuk mencapai
maksud dan tujuannya, PT sebagai badan hukum membutuhkan dan diwakili direksi untuk
melaksanakan hal tersebut, hal ini dikarenakan fungsi dari direksi di dalam PT adalah
sebagai organ yang melakukan pengurusan perseroan terbatas, di samping itu PT itu sendiri
tidak dapat melakukan tindakan apapun tanpa diwakili orang atau manusia alamiah.

Namun, keberadaan direksi bukan sesuatu yang mutlak karena dalam hal tidak ada
seorangpun anggota direksi yang mewakili PT, baik karena diberhentikan ataupun
mengundurkan diri, PT dapat diwakili oleh Dewan Komisaris.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 118 ayat (1) UUPT:


“Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan
tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu”.

Di Indonesia, Direksi dalam perseroan paling sedikit terdiri dari satu orang
anggota direksi, kecuali bagi perseroan yang kegiatan usahanya menghimpun
dan/atau mengelola dana masyarakat, menerbitkan surat pengakuan utang
kepada masyarakat, atau Perseroan Terbuka wajib memiliki paling sedikit 2 (dua)
anggota Direksi.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 47
Corporate’ Organs
Separate legal entity

Persyaratan menjadi Direksi dalam UUPT Pasal 93 ayat (1); bahwa yang dapat diangkat
menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan
hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:
a. dinyatakan pailit;
b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara
dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

UUPT juga memberikan ruang bagi bagi seseorang untuk diangkat menjadi Direksi
suatu PT, yang mana Direksinya merupakan pendiri PT tersebut serta sebagai
pemegang saham, bahkan pemegang saham mayoritas.

Hal-hal teknis lainnya yang berkaitan dengan prosedur pengangkatan anggota


Direksi diatur dan ditetapkan dalam Anggaran Dasar Perseroan dan UUPT.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 48


Modul IV
Governance - Risk Management - Compliance

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 49


Tata Kelola Perusahaan  Governance - Risk Management - Compliance

Dasar Implementasi Tata Kelola Perusahaan (Wide Ent. Management):

 Good Corporate Governance


 Enterprise Risk Management
 Legal/Regulatory Compliance

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 50


Basic Concept GRC

1. Good Corporate Governance

 Structure
2. Enterprise Risk Management  Pillar
 Process
3. Risk Management:
 Risk Identification
 Risk Assessment
 Risk Response
 MIS & Early Warning System Legal/Regulatory Compliance
 Key Risk/Performance
Indicators
4. 1. Strategic: 4. 3. Financial:
 Strategic Risk Management  Liquidity
 Risk Review 4. 2. Operation:  Foreign Exchannge
 Regulatory  Revenue Assurance  Interest rate
 Technology  Fraud Management
 Business Interruption (SAS-OH
 Financing
 Investment
SAS-BCM-Insurance)  ROA
 Risk Review
 Project Risk Management  ROI
 Legal & Compliance
 Business Process Compliance

Governance, Risk Management, and Compliance or GRC is the umbrella term covering an
organization's approach across these three areas. Being closely related concerns, governance, risk
and compliance activities are increasingly being integrated and aligned to some extent in order to
avoid conflicts, wasteful overlaps and gaps.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 51
Basic Concept Good Corporate Governance

Factually, people who run


The Business
The Owner / Shareholder Governance:
 The way the owner control
the use of the assets (through
The Board of Directors the CEO)
 The CEO uses the assets

God: The CEO


 Vision
 Hope
 Leadership Executives

Managers
Employees
Managements
The Corporation

Running Business

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 52


Corporate Governance

Why it moved (shifted) to the right?


Why it moved back to the left?
OWNER
Sale the ownership

Financial Advisor

Buy-back the ownership Institution Investor


Fund Manager
IPO
OWNER Board of Directors

They only care in


CEO CEO term of
proffesional
EXECUTIVES duty/assignment

MANAGERS
EMPLOYEES
Day to day-Business

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 53


Corporate Governance – How it works

DIFUSE STOCK OWNERSHIP

 US vs. (EU and Japan/Asia)


US  Equity ownership shares (liquid market)
EU & Asia  Large equity & loan investment

CONTRACTUAL THEORY OF THE FIRM

 There is rights & obligations for every stakeholder


 Minimizing Agency problem:
 Auditing system
 Bonding Assurance
 Changes in organization system

DIVERGENT INTEREST OF STAKEHOLDER (Include Goverment & Society as a whole)


 Separation of:
Ownership  by shareholder
Control  by management

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 54


Corporate Governance – How it works, cont’

INTERNAL CONTROL MECHANISMS

 To balance interest of multiple stakeholder


US  ?
EU & Asia  ?
ROLE OF BOD
 Theoritically, monitoring by BOD, means deal with some problems of
corporate governance.
 If underperform (healthy industry)  its easy to recognise
 If underperform (all industry suffer)  harder to to find

COMPOSITION OF BOD

 Its widely believed, that outside directors are better to conduct monitor
 Usually from academic communities or business practitioner
 New CEO from outside  more advantageous

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 55


Corporate Governance – How it works, cont’- 1

COMPENSATION OF BOD

 Compensation increase with responsibility


 Compensation is significant motivating factor  Stock option program

EVALUATING BOD

 Recommendation from “Best & Worst Board”


 Performance achievement

OWNERSHIP CONCENTRATION

 Stock ownership program  create power (BOD) to guarantee his position


 Study:
 0% - 5%  Performance increase
 5% - 25%  Deteriorated (Mature)
 > 25%  Stagnant (it may decline slowly)

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 56


Corporate Governance – How it works, cont’- 2

FINANCIAL POLICY & OWNERSHIP CONCENTRATION

 Be aware of shares repurchase by debt


 Insider group (include BOD) doesn’t sell its shares by debt

EXECUTIVE COMPENSATION
 To achieve alignment of interest
 Reduce conflict of interest (owner vs. Manager), tightly tied with
performance
 Elasticity of executive pay (waging)  ~ 0.3% of tatal capital

OUTSIDE CONTROL MECHANISMS


 Stock price & top management changes
 Public pension fund  CALPERS, TIAA-CREF, etc
 Proxy Contests:
 Dissident group to obtain BOD representation (Appointment)
 Waging proxy contests  leakage of information
 Incumbent vs. Proxy
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 57
Corporate Governance – How it works, cont’- 3

M&As MARKET FOR CONTROL

 Too many corporations are target of takeover


 Too many corporation are intent to make offer
 Poor performance corporation would be “a beautiful landscape” for other
superiors

ALTERNATIVE GOVERNANCE SYSTEM

 Such as EU, Japan/Asia Corporation  Cross Holding


 Though, it works well on favorable environment
 On difficult environment  it sucks!
 BOC  too dummy for a proffesional & isn’t adequately right person
 Incompetent BOD
 CEO isn’t independent & he does an outgoing leader

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 58


Enterprise Risk Management

 No risk – No return

 Risiko harus sejalan dengan return yang diperkirakan akan didapat

 Risiko dapat dikelola dan dikurangi dampaknya bila terjadi

 Risk Management adalah:

– good management
– avoiding losses
– increasing returns

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 59


Enterprise Risk Management, cont’

 “the chance of something happening that will have an impact upon objectives.”
(The Australian/New Zealand Standard for Risk Management)

 “the possibility that an event will occur and adversely affect the achievement of
objectives”
(COSO ERM Framework)

 “any event which is likely to adversely affect the ability of the organization to
achieve the defined objectives”
(Method 123)

 “the possibility of suffering injury, damage or loss or uncertainty about achieving


a certain outcome”
(Martin C. Leinweber - Managing Director CERMAS, Risk and the Audit Committee)

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 60


Enterprise Risk Management, cont’ –1

Investor-investor besar percaya bahwa perusahaan yang menerapkan


ERM layak memiliki saham dengan harga premium.

EY Global Risk Survey of 441 Corporate CEOs, CFOs and Financial Executives, March 2006

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 61


Enterprise Risk Management, cont’ –2

Value Creation

Optimization

Protection

Compliance

Public Relation

PT.Telkom Indonesia – ERM Maturity guideline, 2011

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 62


Corporate Compliance

 Compliance programs are formal systems of policies and procedures adopted


by corporations and other organizations that are designed to detect and to
prevent violations of law by employees and other agents and to promote
ethical business cultures.
 Compliance means comply with the rules (conforming to a rule), i.e. a
specification, policy, standard or law. Corporate compliance describes the
Objective that corporations or public agencies aspire to in their efforts to
ensure that all employees are aware of and take steps to comply with
relevant laws and regulations.

 Due to the increasing number of regulations and need for operational


transparency, organizations are increasingly adopting the use of
consolidated and harmonized sets of compliance controls.
 This approach is used to ensure that all necessary governance
requirements can be met without the unnecessary duplication of effort
and activity from resources.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 63


Corporate Compliance - International Compliance

 Int’l Corporate Compliance, are formal systems of policies and procedures


adopted by corporations and other organizations that are entitled
Globally.

 There are numerous reasons for companies to consider implementing


international compliance programs or expanding their domestic programs to
locations abroad, including:

(1) the globalization of the world’s economy;


(2) the increasing importance of U.S. laws applied outside the United States
 Anti-trust provisions, Corporate Laws, etc.
(3) The various of laws of other countries; and
(4) the availability of guidance from nongovernmental organizations that
support corporate compliance efforts.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 64


Corporate Compliance - Compliance in the USA

 Corporate scandals and breakdowns such as the Enron case of reputational risk in 2001
have highlighted the need for stronger compliance and regulations for publicly listed
companies. The most significant regulation in this context is the Sarbanes-Oxley Act
developed by two U.S. congressmen, Senator Paul Sarbanes and Representative
Michael Oxley in 2002 which defined significant tighter personal responsibility of
corporate top management for the accuracy of reported financial statements.

 Compliance in the USA generally means compliance with laws and regulations. These
laws can have criminal or civil penalties or can be regulations. The definition of what
constitutes an effective compliance plan has been elusive. Most authors, however,
continue to cite the guidance provided by the United States Sentencing Commission in
Chapter 8 of the Federal Sentencing Guidelines.

 On October 12, 2006, the U.S. Small Business Administration re-launched Business.gov
which provides a single point of access to government services and information that
help businesses comply with government regulations.

 There are a number of other regulations such as GLBA, FISMA, Joint Commission and
HIPAA. In some cases other compliance frameworks (such as COBIT) or standards (NIST)
inform on how to comply with the regulations.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 65
Corporate Compliance - Compliance in Indonesia

 In general corporate compliance in Indonesia is shaped by Law No. 40 of 2007 on


Limited Liability Companies and Law No. 8 of 1997 on Corporate Documents and
other anti-bribery and anti-corruption legislation.

 These laws oblige companies in Indonesia to, among others, maintain their
books and accounts in a manner that is in line with the accounting standards
prevailing in Indonesia although they do not specify how transactions should be
recorded in a company’s books.

 In terms of sound business practice, alongside the anti-bribery legislation, the


government, in cooperation with representatives of the business community and
the public, has also been issuing guidelines on good corporate governance, e.g.
on whistle-blowing system, bribe-free business and anti-corruption.

 Baker & McKenzie discusses how Indonesia is catching up with the global trend
of fighting corruption through various laws.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 66


Modul V
Board’ Tasks and its Authorities

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 67


Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas telah memberikan rumusan yang jelas
mengenai kewenangan Direksi, yaitu melakukan tindakan pengurusan Perseroan untuk
kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan yang telah ditentukan
dalam Anggaran Dasar Perseroan.

Direksi juga diberi wewenang untuk mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di
luar pengadilan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Anggaran Dasar.

Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak membatasi jumlah maksimal anggota


Direksi dalam suatu Perseroan Terbatas, oleh karena itu dimungkinkan terdapat
lebih dari 1 (satu) anggota Direksi dalam suatu Perseroan Terbatas.

Dalam keadaan demikian, Perseroan Terbatas melakukan pembagian tugas dan wewenang
anggota Direksi yang untuk kemudian ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham, selain itu para anggota Direksi dapat menentukan sendiri mengenai
pembagian tugas dan wewenang masing-masing anggota Direksi melalui keputusan Direksi
Perusahaan.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 68


Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Meskipun UUPT tidak menganut sistem perwakilan kolegial dimana masing-masing anggota
Direksi berwenang mewakili Perseroan, namun pembagian kewenangan tetap perlu
dilakukan demi kepentingan Perseroan agar tidak terjadi banyak kebijakan yang berbeda
dalam menjalankan perseroan.

Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kompleksitas dalam kebijakan yang akan
mempengaruhi kinerja perseroan, baik terhadap perseroan itu sendiri maupun terhadap
pihak ketiga.

Kewenangan untuk membagi Otoritas anggota Direksi perseroan ini


diberikan kepada keputusan rapat Direksi karena UUPT menganggap
bahwa Direksi yang ada telah memahami dengan jelas akan
kebutuhan Perseroan dalam hal pengurusan, sehingga apabila RUPS
belum menetapkan pembagian tugas dan wewenang anggota
Direksi, maka sudah sewajarnya Direksi berdasarkan inisiatif dan
ketentuan Undang-Undang menetapkan pembagian tugas dan
wewenang tersebut.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 69
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Meskipun ketentuan peraturan perundang-undangan tidak melarang bagi seorang anggota Direksi suatu
Perseroan sekaligus menjadi pemegang saham di dalam Perseroan tersebut, namun dalam hal adanya
benturan kepentingan antara Direksi yang bersangkutan dengan Perseroan yang diwakilinya atau terjadi
perkara antara anggota Direksi yang bersangkutan dengan Perseroan yang diwakilinya,

maka yang berwenang adalah direksi lain yang tidak mempunyai benturan kepentingan dalam
perseroan tersebut atau yang tidak terlibat perkara dengan Perseroan yang diwakilinya, serta dapat pula
diwakili pihak lain dalam keadaan tertentu sesuai dengan ketentuan UUPT.

Pasal 103 UUPT menyatakan bahwa Direksi dapat memberi kuasa


tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau
kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan
perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam
surat kuasa.
Ketentuan pasal di atas tidak dimungkinkan untuk diterapkan dalam hal direksi yang memberikan kuasa
merupakan direksi yang tidak berwenang mewakili perseroan seperti tercantum dalam pasal 99 ayat (1)
Undang-Undang Perseroan Terbatas.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 70


Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Pemberian kuasa kepada seseorang tidak menghilangkan kehendak dari si pemberi kuasa, si
penerima kuasa tetap melaksanakan kehendak pemberi kuasa.

dalam hal pemberi kuasa adalah Direksi yang tidak berwenang mewakili Perseroan, tidak
berarti dengan dikuasakan kepada orang lain maka kewenangan itu didapat kembali.

Maksud dan tujuan perseroan yang dicantumkan dalam anggaran dasar memiliki dua aspek:
 Pertama, maksud dan tujuan ini merupakan sumber kewenangan bertindak bagi
perseroan.
 Kedua, menjadi pembatasan dari ruang lingkup kewenangan bertindak perseroan yang
bersangkutan selain dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar.

Oleh karena itu, kewenangan yang diberikan kepada Direksi sebagai organ yang dipercaya
mampu menjalankan perseroan tidak boleh melampaui batas kewenangan yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang maupun anggaran dasar.

Dalam hal terdapat suatu tindakan yang dibutuhkan untuk kepentingan perseroan
namun tindakan tersebut dibatasi oleh anggaran dasar, perseroan dapat
memberikan kewenangan kepada Direksi melakukan tindakan tersebut dengan
meratifikasi tindakan tersebut di dalam RUPS.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 71
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Dengan demikian, suatu perbuatan hukum berada di luar maksud dan tujuan perseroan
apabila terpenuhi salah satu atau lebih kriteria di bawah ini:

1. Perbuatan hukum yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh


anggaran dasar.
2. Dengan memerhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan
hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan akan
menunjang kegiatan-kegiatan yang disebut dalam anggaran
dasar.
3. Dengan memerhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuataan
hukum yang bersangkutan tidak dapat diartikan sebagai tertuju
pada kepentingan perseroan.

Oleh karena itu, maksud dan tujuan perusahaan harus benar-benar merupakan
landasan pokok bagi perseroan untuk melakukan kegiatan usaha.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 72


Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 18 UUPT, dapat dirumuskan bahwa maksud dan tujuan
Perseroan adalah hal yang mutlak dan harus ada dalam mendirikan Perseroan sebagai dasar
bagi Perseroan untuk menjalankan kegiatan usahanya dan tidak
boleh bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan/atau kesusilaan.

Maksud dan tujuan Perseroan sebagai landasan kegiatan usaha


tersebut dicantumkan dalam Anggaran Dasar Perseroan dimana
Anggaran Dasar Perseroan untuk pertama kalinya dimuat dalam
akta pendirian Perseroan bersamaan dengan keterangan lain yang
berkaitan dengan pendirian Perseroan.

Sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1) UUPT

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 73


Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Selain kewenangan yang diberikan UUPT kepada Direksi selaku organ perseroan yang
melaksanakan tugas pengurusan Perseroan, UUPT juga memberikan tugas kepada Direksi
yang wajib dilakukan sebagai bagian dari diberinya kewenangan Direksi tersebut yang
berkaitan dengan pengurusan terhadap Perseroan.

Kewajiban Direksi secara umum sebenarnya telah dirumuskan pada


Pasal 1 angka 5 UUPT, yaitu Direksi wajib dengan penuh tanggung
jawab melaksanakan pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan.
Namun UUPT dalam pasal-pasal selanjutnya memberikan ketentuan mengenai hal-hal yang
wajib dilakukan kepada Direksi dengan lebih terperinci, yang termasuk namun tidak terbatas
pada hal-hal yang disebutkan saja.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 74


Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Pasal-pasal yang dapat dirumuskan sebagai kewajiban Direksi di dalam pengurusan


Perseroan diantaranya adalah:

1. Pasal 44 ayat (2);


2. Pasal 50;
3. Pasal 56 ayat (3);
4. Pasal 66;
5. Pasal 68 ayat (1);
6. Pasal 79;
7. Pasal 97;
8. Pasal 100 ayat (1);
9. Pasal 101 ayat (1);
10.Pasal 102 ayat (1).

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 75


Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Direksi diberikan kewenangan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, dimana


kewenangan tersebut harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, itikad baik, dan
semata-mata untuk kepentingan perseoan. Hal ini dapat dilakukan direksi berdasarkan
kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Directors of a company normally have the exclusive power to manage the company’s
business and exercise its powers. Company law gives the directors all this power but says
that they must exercise it as fiduciaries for the company and without negligence.

Hubungan antara perseroan dengan direksi tidak hanya sekedar hubungan kerja
sebagaimana antara majikan dan karyawan, namun terdapat bentuk hubungan lainnya,
yaitu hubungan kepercayaan, antara perseroan sebagai pihak yang memberi kepercayaan.

Direksi sebagai pihak yang menerima kepercayaan, hal ini terlihat dari kewenangan dan
tugas yang diberikan perseroan kepada direksi, yaitu mengelola kekayaan perseroan untuk
mencapai maksud dan tujuan perseroan dengan penuh itikad baik
dan penuh tanggung jawab, dimana hal tersebut dilakukan hanya semata-mata
untuk kepentingan perseroan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 76
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
A fiduciary is someone who has undertaken to act for and on behalf of another in a
particular matter in circumstances which give rise to a relationship of trust and confidence

Hubungan antara direksi dan perseroan selain didasarkan hubungan kerja, direksi juga
memiliki hubungan fidusia dengan perseroan. Direksi memiliki kedudukan fidusia (fiduciary
position) di dalam perseroan.

One party, for example a corporate trust company or the trust department of a bank, holds a
fiduciary relation or acts in a fiduciary capacity to another, such as one whose funds are
entrusted to it for investment. In a fiduciary relation one person, in a position of
vulnerability, justifiably reposes confidence, good faith, reliance and trust in another whose
aid, advice or protection is sought in some matter. In such a relation good conscience
requires one to act at all times for the sole benefit and interests of another, with loyalty to
those interests.

Dalam hubungan seperti di atas, dapat dikatakan bahwa antara direksi dengan perseroan
telah lahir suatu fiduciary relationship, dimana dalam hubungan ini terdapat satu pihak
yang mempunyai kewajiban untuk melakukan suatu tindakan semata-mata untuk
kepentingan pihak yang lainnya. Fiduciary relationship melahirkan fiduciary duty.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 77


Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
A fiduciary duty is a legal or ethical relationship of confidence or trust between two or more
parties, most commonly a fiduciary and a principal.

The fiduciary duties of the directors of a company considered are owed to company itself
and it is the company can enforce them. Shareholders and creditors cannot enforce the
duties.

Fiduciary duty merupakan tanggung jawab dan kewajiban direksi terhadap perseroan oleh
karena itu hanya perseroan yang berhak untuk meminta direksi melaksanakan tanggung
jawab berdasarkan fiduciary relationship. Dengan kata lain direksi hanya bertanggung
jawab terhadap perseroan, bukan terhadap pemegang saham maupun kreditor.

Fiduciary duty (Black’s Law Dictionary)  a duty to act with the highest degree of
honesty and loyalty toward another person and in the best interests of other person
(such as the duty that one partner owes to another).

Dalam hal ini, direksi harus memiliki standar integritas dan loyalitas
yang tinggi, tampil serta bertindak untuk kepentingan perseroan,
secara
I N Wisnubona fides.
Wardhana-Modul BJR 78
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Direksi diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan pengurusan yang legal, maksudnya
adalah tindakan yang dilakukan direksi harus sesuai dengan ketentuan anggaran dasar atau
peraturan lain yang berlaku, penuh kejujuran dan dilandasi itikad baik, serta untuk
sepenuhnya kepentingan perseroan sehingga semua tindakan direksi untuk dan atas nama
perseroan adalah sah.

Dalam hal tindakan yang dilakukan direksi bukan merupakan tindakan yang sah bagi
perseroan maka direksi dapat terancam bertanggung jawab sepenuhnya secara pribadi atas
kerugian yang ditimbulkan akibat tindakannya.

Kekayaan yang dimiliki perseroan merupakan kekayaan pemegang saham sebatas saham
yang dimilikinya. Oleh karena itu, secara tidak langsung tindakan atau kebijakan yang dibuat
direksi untuk kepentingan perseroan secara tidak langsung menguntungkan pemegang
saham. Oleh karena itu dapat dikatakan Fiduciary duty direksi melindungi kepentingan
pemegang saham secara tidak langsung.

Berdasarkan fiduciary duty, direksi suatu perseroan diberi


kepercayaan yang tinggi oleh perseroan untuk mengelola suatu
perusahaan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 79
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Fiduciary duty memberikan beban kepada direksi untuk tidak menyalahgunakan wewenang
dan kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya. Hal ini dikarenakan pemegang
saham dan perusahaan tidak dapat sepenuhnya melindungi dirinya dari tindakan direksi
yang merugikan di mana direksi bertindak atas nama perusahaan dan pemegang saham.

Fiduciary duty direksi ini mengandung prinsip-prinsip sebagai


berikut:
1. Direksi dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya
untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga,
tanpa persetujuan dan atau sepengetahuan perseroan.
2. Direksi tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai
pengurus untuk memperoleh keuntungan, baik untuk dirinya
sendiri maupun pihak ketiga, kecuali atas persetujuan perseroan.
3. Direksi tidak boleh menggunakan atau menyalahgunakan aset
perseroan untuk kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 80
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Fiduciary duty terbagi dalam beberapa bagian, hal ini untuk merumuskan lebih jelas
mengenai tanggung jawab direksi terhadap perseroan. Dengan kata lain, pembagian fiduciary
duty ke dalam beberapa bagian bertujuan untuk mempermudah penerapan fiduciary duty di
dalam praktek yang dihadapi dengan berbagai macam keadaan.

Pembagian ini pada umumnya mencakup:


1. Duty of care  A director owes a duty of care to the company of which he is a
director. It is clear beyond doubt that the necessary proximity of relationship
to create such a duty exists between a director and the company.

Dalam duty of care, direksi dituntut pertanggungjawabannya secara hukum dalam


membuat kebijakan dan mengelola perseroan, direksi diwajibkan melakukan tugas
pengurusan perseroan dengan penuh kehati-hatian serta mempertimbangkan segala
informasi yang ada secara patut dan wajar.

A director’s duty has been laid down as requiring him to act such care as is
reasonably to be expected from him, having regard to his knowledge and
experience.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 81


Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Direksi harus dapat memperhitungkan dan memperhatikan segala risiko yang


mungkin terjadi terhadap tindakan yang dilakukan maupun kebijakan yang
diambil berdasarkan standar yang ada.

Standard of care: under the law of negligence or of obligations, the conduct demanded
of a person in given situation. Typically this involves a person’s giving attention with the
possible dangers, mistakes, and pitfalls and to ways of minimizing those risks.

Kehati-hatian direksi dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan


segala kerugian, risiko, dan bahaya, termasuk juga keputusan direksi untuk
tidak melakukan suatu tindakan.

In tort law, the standard of care is the degree of prudence and caution required of an
individual who is under a duty of care.

Terkait dengan tanggung jawab seseorang atas kelalaian atau kurang hati-
hatinya seseorang  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 82
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
2. Duty of loyalty  Even a director who is an employee of a shareholder and was
nominated to his directorship by that shareholder does not act as agent
for that shareholder when acting as a director of a company.

Dalam duty of loyalty direksi dituntut untuk patuh dan setia terhadap perseroan. Patuh
dapat diartikan bertindak berdasarkan pertimbangan rasional dan professional sesuai
dengan maksud dan tujuan dalam Anggaran Dasar Perseroan demi kepentingan
perseroan.

Kesetiaan direksi adalah mengutamakan kepentingan perseroan di atas kepentingan


pribadi maupun pihak lain, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dengan
kesetiaan direksi terhadap perseroan secara tidak langsung melindungi kepentingan
pemegang saham dan kreditur sebagai pihak ketiga, namun secara tidak langsung.

However, a company director who does have special knowledge relevant to the
company’s business is bound to give the company advantage of that knowledge when
transacting its business.
Direksi yang memiliki keahlian yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan sudah selayaknya
bahkan terikat untuk menggunakan keahliannya itu untuk kepentingan perusahaan selama dia
bertanggung jawab terhadap pelaksaan pengurusan perseroan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 83
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Direksi hanya bertanggung jawab untuk pengurusan perseroan dan setia terhadap
perseroan sebagai orang yang dipercaya, bukan terhadap pemegang saham secara
pribadi dan untung kepentingan, keuntungan, atau motif-motif pribadi pemegang
saham maupun
kreditor.

A person’s duty not to engage in self-dealing or otherwise use his or her position to
further personal interests rather than those of the beneficiary.

Menurut duty of loyalty, kesetiaan dan kepatuhan direksi


tersebut merupakan tugas dan kewajiban direksi terhadap
perseroan, oleh karena itu, pelanggaran terhadap kesetiaan dan
kepatuhan direksi merupakan pelanggaran fiduciary duty.

Direksi dilarang melakukan tindakan yang dapat merugikan


perseroan, termasuk juga direksi dilarang menggunakan
perseroan untuk keuntungan pribadi maupun pihak lain dengan
I N cara apapun.BJR
Wisnu Wardhana-Modul 84
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

3. Duty of skill  If directors of a company are negligent in the performance of


their duties as directors, they will be liable to the company for the damage
caused by their negligence.

Direksi bertanggung jawab terhadap pengurusan perseroan, oleh karena itu seorang
direksi haruslah seorang yang professional. Direksi diharapkan dapat membawa
perseroan kepada kemajuan, oleh karena itu seorang direksi haruslah seorang yang
dapat memahami hal-hal yang berkaitan dengan perseroan.

Insofar as an executive director has specific managerial responsibilities and a contract of


employment with the company, he would be taken to have promised that he would act
with reasonable skill, care, and diligence.

Di samping untuk kepentingan perseroan, keahlian seorang direksi secara tidak


langsung dibutuhkan untuk melindungi dirinya sendiri, hal ini dikarenakan apabila
direksi tidak mempunyai kemampuan dan keahlian dalam mengelola perseroan
sehingga mengakibatkan perseroan mengalami kerugian, maka direksi bertanggung
jawab secara pribadi atas kerugian perseroan.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 85


Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Insofar as a director is expected to make reasonable efforts to become familiar with the
affairs of the company, the implication seems to be that the director must have the skill
to understand the affairs of the company. moreover, to the extent that directors must
take reasonable steps to place themselves in a position to guide and monitor the
management of the company, the legal proposition presupposes directors to have the
capacity to carry out such supervision.

Duty of skill sebagai salah satu bentuk fiduciary duty yang menuntut direksi untuk
melakukan tugas pengurusan perseroan harus memiliki keahlian dan bertindak secara
professional.

Direksi harus memahami kebutuhan perseroan, selain itu


direksi lebih jauh harus mengambil langkah yang tepat dalam
menjalankan pengurusan karena dari hubungan yang lahir
antara perseroan dan direksi, dianggap direksi telah memiliki
kapasitas cukup untuk menjalankan tugas pengurusan tersebut.
Apabila hal itu tidak dipenuhi, maka direksi dianggap melanggar
fiduciary duty.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 86
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

4. Duty of diligent  A director must exercise ‘reasonable


diligence’ in performing the duties of his office.

Direksi dalam melakukan tugasnya sebagai pengurus perseroan harus menerapkan


kesetiaan terhadap perseroan dengan melakukan yang terbaik untuk perusahaan, hal itu
termasuk juga untuk mengurus perseroan dengan rajin dan giat.

Directors are bound, no doubt, to use reasonable diligence having regard to their
position, though probably an ordinary director, who only attends at the board
occasionally, cannot be expected to devote as much time and attention to the business as
the sole managing partner of an ordinary partnership, but they are bound to use fair and
reasonable diligence in the management of company’s affairs, and to act honestly.

Duty of diligence memberikan ketentuan bahwa sebagai bagian


dari fiduciary duty, direksi diwajibkan untuk rajin dan giat dalam
melaksanakan tugas pengurusannya sebagai salah satu dari
fiduciary duty yang ada pada direktur.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 87
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

5. Duty to Act Lawfully  Kepercayaan yang diberikan perseroan kepada direksi bukan
merupakan suatu pemberian wewenang yang tanpa batas. Kewenangan direksi
dalam melakukan tugas pengurusan perseroan didasari sekaligus dibatasi
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal ini, peraturan dan perundang-undangan yang dimaksud termasuk juga
anggaran dasar perseroan, oleh karena itu direksi dalam melaksanakan wewenang dan
menjalankan tugasnya harus didasari pada anggaran dasar dan peraturan perundang-
undangan.

Direksi tidak diperkenankan melakukan tindakan pengurusan di luar


anggaran dasar perseroan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Direksi wajib untuk tidak melakukan suatu tindakan dalam hal diketahui
tindakan tersebut bertentangan dengan anggaran dasar perseroan maupun
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Direksi dalam menjalankan tugas perseroan harus sesuai dengan ketentuan dari
Undang-Undang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar perseroan, tugas tersebut
harus dilaksanakan dengan penuh kehatihatian, itikad baik, konsekuen, dan
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 88
konsisten.
Board’ Tasks and its Authorities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Di Indonesia, fiduciary duty tersebut diterapkan pada pasal-pasal yang termuat di dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas, sebagaimana pasal-pasal yang telah dikemukakan di
atas, meskipun tidak dirumuskan secara jelas di dalam pasal-pasal tersebut, namun dari
pasal-pasal yang berisi kewajiban direksi terhadap perseroan di dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas dapat disimpulkan bahwa kewajiban-kewajiban tersebut merupakan
penerapan dari fiduciary duty.

In the case of a listed company, non-executive directorship is not a sinecure. Directors are on
the board to bring an informed judgment to decision making and to supervise the activities
of management. This applies a fortiori to members of an audit committee. In general, the
dicta cited above remain true, than a non-executive director need not spend all his time on
the company’s affairs.

However, the demands of modern business place greater demands on a non-executive


director than the earlier cases suggest. Some senior corporate executives are directors of
dozens companies; they rely entirely on their subordinates to keep them informed of what is
going on.

This may not good enough. There is a significant difference between not knowing because
one was too busy to pay attention to what was going on. In the latter case, it is suggested
that
I Nthe director
Wisnu concerned
Wardhana-Modul BJR will not have displayed reasonable diligence. 89
Modul VI
Board’ Responsibilities

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 90


Board’ Responsibilities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Secara umum direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan, hal
ini diatur dalam ketentuan UUPT Pasal 1 angka 5. Tanggung jawab penuh
terhadap pengurusan perseroan tersebut harus dilakukan dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku, artinya terbatas pada maksud dan tujuan yang
tercantum dalam anggaran dasar perseroan.

Pengertian Responsibility (based on: Oxford Advanced Learner’s Dictionary):

 A duty to deal with or take care of somebody/something, so that you may be blamed if
something goes wrong; e.g.: We are recruiting a sales manager with responsibility for
the European market. They have responsibility for ensuring that the rules are enforced. It
is their responsibility to ensure that the rules are enforced. To take/assume overall
responsibility for personnel. Parental rights and responsibilities. I don’t feel ready to take
on new responsibilities. To be in a position of responsibility. I did it on my own
responsibility (= without being told to and being willing to take the blame if it had gone
wrong).

 A duty to help or take care of somebody because of your job, position, etc.; e.g.: She
feels a strong sense of responsibility towards her employees. I think we have a moral
responsibility to help these countries.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 91
Board’ Responsibilities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Oleh karena itu tanggung jawab dapat bermakna sesuatu yang belum dilakukan tapi
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, seperti halnya tanggung jawab direksi untuk
melakukan pengurusan perseroan, begitu seseorang diangkat secara sah sebagai direksi
secara otomatis dia bertanggung jawab untuk tugas pengurusan itu, dimana dia
berkewajiban untuk selanjutnya menjalankan tugas pengurusan perseroan dengan sebaik-
baiknya, yang mana makna tersebut dapat dirumuskan dari UUPT Pasal 1 angka 5.

Makna berikutnya adalah sesuatu yang telah dilakukan harus ditanggung akibatnya
beserta segala risiko yang mungkin timbul dari dilaksanakannya tindakan tersebut, yang
dalam penulisan ini, seorang direksi dianggap bertanggung jawab terhadap keputusan-
keputusan yang diambil dan tindakan-tindakan yang dilakukan berkaitan dengan tindakan
pengurusan
perusahaan.

Beberapa Pasal dalam UUPT yang mengatur ‘responsibility’:


a. Pasal 14 ayat (1); e. Pasal 95 ayat (4);
b. Pasal 37 ayat (3); f. Pasal 101 ayat (2);
c. Pasal 69 ayat (3); g. Pasal 104 ayat (2);
d. Pasal 72 ayat (6); h. Pasal 133.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 92


Board’ Responsibilities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:


1. Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan, dsb): pemogokan itu menjadi -- pemimpin serikat buruh;
2. (Hukum) Fungsi menerima pembebanan, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak
lain.
Tanggung jawab merupakan kewajiban untuk menanggung risiko
yang mungkin timbul dari dilaksanakannya suatu perbuatan. Dalam
hal ini dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab lahir dari adanya
suatu perbuatan atau tindakan.

Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas telah merumuskan secara


lebih khusus mengenai tanggung jawab direksi terhadap akibat dari suatu tindakan
yang dilakukan direksi dalam melaksanakan tugas pengurusan perseroan maupun
terhadap akibat dari suatu keputusan bisnis yang dibuat direksi dalam
menjalankan perseroan.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 93


Board’ Responsibilities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Dari pasal-pasal yang ada, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab direksi
meliputi setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi dalam pengurusan perseroan
dan/atau atas tindakan yang tidak dilakukan direksi namun seharusnya dilakukan.

Direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap kerugian


yang diderita perseroan, tetapi juga bertanggung jawab
terhadap kerugian yang diderita pihak lain selain
perseroan, seperti tertera pada Pasal 69 ayat (3) tersebut
di atas mengenai pertanggungjawaban atas laporan
keuangan.
Terlepas dari tanggung jawab yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut di atas,
direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan tidak selalu membawa
keberhasilan bagi perseroan. Merupakan hal yang wajar bahwa dalam
menjalankan perjalanan bisnisnya suatu perusahaan mendapat keuntungan dan
mengalami kerugian.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 94
Board’ Responsibilities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Karena kedudukan direksi yang bersifat fiduciary, yang oleh UUPT sampai batas-
batas tertentu diakui, maka tanggung jawab direksi menjadi sangat tinggi (high
degree). Tidak hanya bertanggungjawab terhadap ketidakjujuran yang disengaja
(dishonesty), tetapi dia juga bertanggungjawab secara hukum terhadap tindakan
mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting
bagi perseroan.

Undang-Undang Perseroan Terbatas mengatur secara tegas bahwa


kerugian perseroan akibat dari kelalaian direksi dalam menjalankan
tugasnya menjadi tanggung jawab pribadi direksi secara penuh. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Perseroan
Terbatas yang menyatakan bahwa setiap anggota Direksi
bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan
apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 95
Board’ Responsibilities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Kemudian ayat berikutnya dalam pasal yang sama yaitu ayat (4) menyatakan bahwa dalam
hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.

Pasal ini juga merupakan penerapan dari definisi tanggung jawab sebagai keadaan dimana
suatu pihak harus menanggung resiko yang timbul akibat dari dilakukannya suatu tindakan.

…for the purposes of contract, the company exists only in the directors and officers acting by
and according to the deed [i.e., the deed of settlement, equivalent in those days to the
memorandum and articles of association]; and by the statute of law the company is no more
liable than a corporation by charter for the act of one or more of its members, who are
distinct persons by law.

Selain bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan direksi seperti halnya diatur di
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, direksi suatu perseroan juga dituntut untuk
bertanggung jawab secara pribadi terhadap tindakan ultra vires, yaitu tidak hanya termasuk
pada tindakan yang dilarang oleh anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan tetapi
juga tindakan yang tidak dilarang namum melampaui kewenangan yang
diberikan kepadanya, meskipun tindakan ultra vires itu dilakukan
untuk
I N Wisnukepentingan
Wardhana-Modul BJR perseroan. 96
Board’ Responsibilities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Latin phrase meaning "beyond power or authority" describing an act by a corporation that
exceeds its legal powers. For example, corporations do not have the authority to engage in
the insurance business without a charter. A corporation offering insurance without authority
would be acting ultra vires. Similarly, an insurance company chartered to engage in a single
line of business would be operating ultra vires by offering some other line.

Perseroan tidak bertanggung jawab lebih dari tindakan yang


dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, oleh karena
itu perbuatan dan tindakan yang dilakukan direksi yang tidak sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan yang tercantum dalam
anggaran dasar merupakan tanggung jawab pribadi direksi tersebut
dan bukan merupakan tanggung jawab perseroan, selain itu
ketentuan ultra vires tidak hanya mengenai tindakan direksi untuk
kepentingan perseroan yang tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan, tetapi juga termasuk tindakan direksi yang
melebihi kewenangan yang diberikan oleh perseroan kepada
direksi.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 97
Board’ Responsibilities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

In corporate law, ultra vires describes acts attempted by a corporation that are beyond the
scope of powers granted by the corporation's Articles of Incorporation or in a clause in its
Bylaws; in the laws authorizing its formation, or similar founding documents. Acts attempted
by a corporation that are beyond the scope of its charter are void or voidable.

Basic principles included the following:

1. An ultra vires transaction cannot be ratified by shareholders, even if they wish it to be


ratified.
2. The doctrine of estoppel usually precluded reliance on the defense of ultra vires where
the transaction was fully performed by one party
3. A fortiori, a transaction which was fully performed by both parties could not be
attacked.
4. If the contract was fully executor, the defense of ultra vires might be raised by either
party.
5. If the contract was partially performed, and the performance was held to be
insufficient to bring the doctrine of estoppel into play, a suit for quasi contract for
recovery of benefits conferred was available.
6. If an agent of the corporation committed a tort within the scope of his or her
employment, the corporation could not defend on the ground the act was ultra vires.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 98
Board’ Responsibilities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Ultra Vires; An act performed without any authority to act on subject. Acts beyond the scope
of the powers of a corporation, as defined by its charter of laws of state of incorporation.

Meskipun direksi melakukan pengurusan perseroan dengan sah untuk


kepentingan perseroan, bukan berartti direksi dapat melakukan tindakan
pengurusan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan, apalagi bila tujuan itu untuk kepentingan pribadi direksi.

Acting bona fide in the interests of the company is not an excuse for acting for a dominant
improper purpose, especially where the directors are acting in their own self-interest.

Bila dalam hal ini ternyata terdapat kerugian akibat tindakan ultra vires yang
dilakukan direksi dalam melakukan pengurusan perseroan, direksi wajib
bertanggung jawab penuh secara pribadi atas tindakan ultra vires nya tersebut,
namun apabila tindakan ultra vires tersebut menguntungkan perseroan,
keuntungan tersebut menjadi milik perseroan.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 99


Board’ Responsibilities
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Directors of a company have authority to exercise powers in their management of


the company’s affairs. But there may be limits on the purposes for which those
powers may be exercised and thus limits on their authority. When a power is
exercised for a purpose outside its limits (variously described as an improper,
extraneous or collateral purpose), the court may intervene.

di samping itu apabila direksi mengambil keuntungan dengan menggunakan


nama perseroan, aset perseroan, dan dengan alasan untuk kepentingan
perseroan, direksi tersebut dianggap melanggar fiduciary duty.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 100


Modul VII
Board Discharge of its Legal Duties
and Equitabilities

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 101


Board Discharge of its Legal Duties
and Equitabilities Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
If director act within their powers, if they act with such care as is reasonably to be expected
from them, having regard to their knowledge and experience, and if they act honestly for the
benefit of the company they represent, they discharge both their equitable as well as their
legal duty to the company.

Apabila direksi dalam melakukan pengurusan perseroan tindakan tersebut dilakukan dengan
tingkat kehati-hatian yang tinggi, dengan mengerahkan seluruh keahlian mereka, serta
dilakukan dengan penuh kejujuran semata-mata tindakan tersebut hanya untuk kepentigan
dan keuntungan perseroan, maka direksi dibebaskan dari tanggung jawab serta kewajiban
hukum atas resiko yang mungkin timbul akibat dari tindakan yang dilakukan tersebut.

Hal ini memberikan rumusan yang tegas bahwa apabila tindakan direksi dilakukan dengan
memenuhi fiduciary duty, direksi dibebaskan dari kewajiban hukum untuk menanggung
segala resiko kerugian yang mungkin timbul akibat dari tindakannya tersebut.

Faktanya, ketentuan fiduciary duty yang merupakan kewajiban direksi dalam melaksanakan
tugasnya tidak dapat sepenuhnya diterapkan dalam ketentuan hukum perusahaan di
Indonesia, hal ini disebabkan karena UUPT sebagai produk hukum yang mengatur tentang
perseroan di Indonesia tidak menentukan standar yang jelas dalam hal keahlian
seseorang untuk dapat menjadi direksi.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 102
Board Discharge of its Legal Duties
and Equitabilities Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Akibat dari tidak diberikannya standar yang lebih tinggi untuk seseorang menjadi anggota
direksi berdampak pada kehidupan sosial yang mengakibatkan sulitnya penerapan
fiduciary duty di dalam penerapan hukum perusahaan di Indonesia, terutama pada
perseroan terbatas tertutup (Private Company). Hal ini berbeda dengan Perseroan Terbatas
Terbuka (Tbk), yang pada umumnya memberikan standar yang tinggi bagi seseorang untuk
diangkat menjadi direksi dalam suatu Perseroan Terbatas Tbk.

Hal-hal mengenai pembebasan tanggung jawab direksi dari risiko dalam hal terjadi kerugian
akibat tindakan pengurusan direksi terhadap perseroan diatur dengan tegas di dalam pasal-
pasal di dalam UUPT, yaitu di antaranya :
a. Pasal 69 ayat (4);
b. Pasal 97 ayat (5); dan
c. Pasal 104 ayat (4).

The constitution of a limited company normally provides for directors, with powers of
management, and shareholders, with defined voting powers having power to appoint the
directors, and to take, in general meeting, by majority vote, decisions on matters not
reserved for management…it is established that directors, within their management
powers, may take decisions against the wishes of the majority of share holders, and
indeed that the majority of shareholders cannot control them in the exercise of these powers
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR
while they remain in office. 103
Board Discharge of its Legal Duties
and Equitabilities Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Direksi dalam melaksanakan wewenangnya bertanggung jawab terhadap perseroan,


meskipun fiduciary duty juga melindungi kepentingan pemegang saham sebagai pihak yang
memiliki kekayaan perseroan, namun direksi diberi kewenangan untuk bertindak untuk dan
atas nama perseroan serta mengambil keputusan bisnis untuk kepentingan perseroan
dengan penuh tanggung jawab dan dalam lingkup kewenangannya, dimana dimungkinkan
keputusan itu bertentangan dengan kehendak dari pemegang saham.

Pemegang saham tidak diperkenankan mempengaruhi keputusan direksi, direksi pun


sebagaimana diatur dalam fiduciary duty tidak diperkenankan dipengaruhi oleh pemegang
saham dalam mengambil keputusan dan tidak untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
meskipun dalam ketentuan hukum perusahaan, direksi dipilih dan diangkat oleh pemegang
saham melalui RUPS dengan suara bulat maupun suara terbanyak dalam rapat.

Apabila, pemegang saham yang terbukti mempengaruhi keputusan direksi atau terbukti
terlibat dalam tindakan pengurusan wajib ikut bertanggung jawab terhadap kerugian
perseroan akibat campur tangan pemegang saham tersebut.

Tanggung jawab tersebut dapat berupa tanggung renteng direksi dan pemegang saham
yang bersangkutan maupun tanggung jawab pemegang saham sepenuhnya apabila
terbukti bahwa direksi tidak bersalah dan tidak bertanggung jawab atas diambilnya
I N Wisnu Wardhana-Modul
keputusan tersebut. BJR 104
Board Discharge of its Legal Duties
and Equitabilities Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Berdasarkan kewenangan yang ada padanya (proper purposes), direksi harus mampu
mengekspresikan dan menjalankan tugasnya dengan baik, agar perusahaan selalu berjalan
di jalur yang benar atau layak.

Dengan demikian, direksi harus mampu menghindarkan perusahaan dari


tindakan-tindakan yang illegal, bertentangan dengan peraturan dan kepentingan
umum serta bertentangan dengan kesepakatan yang dibuat dengan organ
perseroan lain, shareholders dan stakeholders.

Unless contractually bound to perform specific duties (for example, under a contract of
employment), a company director is, in general, only liable for negligence in what he or she
actually does do, not for omitting to attend the company's business.

Direksi bertanggung jawab terhadap kelalaian yang dilakukan yang mengakibatkan


kerugian. Dalam hal terjadi kerugian yang dialami perseroan, namun kerugian tersebut
bukan dikarenakan kesalahan direksi, maka direksi dibebaskan dari tanggung jawab pribadi,
termasuk juga apabila tindakan yang diambil direksi telah memenuhi fiduciary duty dan
tidak diluar kewenangan direksi serta sesuai maksud dan tujuan perseroan, maka direksi
tidak dapat dipersalahkan atas kerugian yang timbul dalam pengurusan
perseroan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 105
Board Discharge of its Legal Duties
and Equitabilities Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Definisi ‘Tanggung Jawab’ menurut KBBI,

 Berasal dari istilah mem·per·tang·gung·ja·wab·kan  Memberikan jawab dan


menanggung segala akibatnya (kalau ada kesalahan).
 Tanggung jawab juga diartikan sebagaikeadaan wajib menanggung segala sesuatunya
(kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).

Tanggung jawab lahir dari adanya suatu keadaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan,
misalnya kerugian, dan menanggung kerugian tersebut jika ada kesalahan yang dilakukan.

Direksi perseroan baru dapat diminta pertanggung jawabannya bila terjadi kerugian dan
terdapat kesalahan yang dilakukan oleh direksi.

Secara argumentus a contrario dapat di-tafsirkan bahwa direksi dibebaskan dari


tanggung jawab pribadi atas kerugian perseroan bilamana dalam melakukan
tindakan pengurusan perseroan dan mengambil keputusan bisnis telah sesuai
dengan kewenangannya, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan dalam
anggaran dasar, serta tidak melanggar fiduciary duty dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 106
Board Discharge of its Legal Duties
and Equitabilities Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab pribadi terhadap kerugian yang timbul sebagai
akibat tindakan pengurusan direksi. Namun dalam hal tindakan tersebut dilakukan di luar
kewenangan direksi dan di luar maksud dan tujuan perseroan, atau yang dikenal dengan
tindakan Ultra Vires, direksi tidak dapat dibebaskan dari tanggung jawab pribadi atas
kerugian dengan cara apapun juga.

A director is not bound to take any definite part in the conduct of the company's business, but
so far as he does undertake it he must use reasonable care in its dispatch. such reasonable
care must be measured by the care an ordinary man might be expected to take in the same
circumstances on his own behalf. he is clearly not responsible for damages occasioned by
errors of judgment.

Direktur dalam melaksanakan kewajibannya harus melakukan tindakan yang


sesuai dengan kewajaran dan kebiasaan dalam bisnis, kewajaran itu tidak hanya
terbatas pada pandangan bisnis semata, namun juga kewajaran yang diukur
dalam hal seandainya orang bertindak untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain
seseorang harus bertanggung jawab melaksanakan tugas seolah-olah ia
melaksanakan kewajiban atas namanya sendiri, bukan atas nama pihak lain, ia
harus bertindak seakan-akan sebagai seorang pemilik yang baik.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 107
Board Discharge of its Legal Duties
and Equitabilities Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Teori Walkovsky tentang alter ego memperlakukan konsep tanggung jawab terbatas sebagai
pelaksanaan dari prinsip agency.  hubungan hukum yang ada antara anggota direksi yang
melakukan pengurusan terhadap perseroan dengan perseroan itu sendiri adalah hubungan
pemberian kuasa, dimana perseroan sebagai pemberi kuasa dan anggota direksi yang
menjalankan pengurusan dan pengelolaan perseroan adalah pemegang kuasa dari
perseroan.

Sehingga segala tindakan yang dilakukan atau diambil oleh penerima kuasa (anggota direksi
perseroan) adalah tanggung jawab pribadi dari anggota direksi yang melakukan tindakan
hukum untuk dan atas nama perseroan terbatas tersebut.

Pasal 3 ayat 1 UUPT memberikan batasan tanggung jawab pemegang


saham terhadap kerugian perseroan tidak melebihi dari saham yang
dimiliki, namun ayat 2 menegaskan pertanggungjawaban terbatas ini
tidak berlaku secara absolute/mutlak (strike limited liability), tetapi
memiliki pengecualian. Hal tersebut sering juga disebut sebagai
prinsip the piercing corporate veil atau menyingkap tabir atau cadar
perseroan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 108
Board Discharge of its Legal Duties
and Equitabilities Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Piercing the corporate veil; The judicial act of imposing personal liability on otherwise
immune corporate officers, directors, and shareholders for the corporation’s wrongful acts. –
Also termed disregarding the corporate entity;

veil-piercing Courts sometimes apply common law principles to ‘pierce the corporate veil’
and hold shareholders personally liable for corporate debts or obligations.

Unfortunately, despite the enormous volume of litigation in this area, the case law fails to
articulate any sensible rationale or policy that explains when corporate existence should be
disregarded.

Indeed, courts are remarkably prone to rely on labels or characterizations of relationships


(such as ‘alter ego,’ ‘instrumentality,’ or ‘sham’) and the decisions offer little in the way of
predictability or rational explanation of why enumerated factors should be decisive.”

Prinsip piercing the corporate veil pada dasarnya menegaskan tanggung jawab
suatu pihak terhadap kerugian perseroan apabila terbukti bahwa pihak tersebut
menggunakan kekayaan dan memanfaatkan perseroan dengan langsung maupun
tidak langsung untuk keuntungan pribadi dan apabila terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan perseroan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 109
Board Discharge of its Legal Duties
and Equitabilities Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas
pemegang saham apabila terbukti bahwa telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi
pemegang saham dan harta kekayaan perseroan sehingga perseroan didirikan semata-mata
sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam hal dapat dibuktikan adanya piercing the
corporate veil, maka dimungkinkan direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab karena
adanya pihak yang wajib bertanggung jawab, namun pembebasan tanggung jawab direksi
tersebut harus dibuktikan bahwa direksi tersebut tidak terlibat tindakan yang
mengakibatkan kerugian perseroan tersebut.

Piercing the corporate veil sangat dimungkinkan terjadi, karena adanya


pemegang saham mayoritas yang mengutamakan keuntungan pribadi, oleh
karena itu dalam hal ini pemegang saham minoritas harus dilindungi oleh
fiduciary duty yang diberikan kepada direksi.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 110


Modul VIII
Business Judgment Rule Doctrine

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 111


Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Di dalam hukum perseroan dikenal Doktrin Business Judgment Rule, doktrin ini berasal dari
Amerika Serikat yang didasarkan pada sistem hukum common law, dimana sumber hukum
utama bagi negara Amerika Serikat ini adalah yurisprudensi.

Secara umum doktrin ini merupakan doktrin yang memberikan perlindungan bagi direksi
terhadap keputusan bisnis yang diambilnya.

Business Judgment Rule is the legal doctrine that a corporation’s officers and directors
cannot be liable for damages to stockholders for a business decision that proves
unprofitable or harmful to the corporation so long as the decision was within the officers’
or directors’ discretionary power and was made on an informed basis, in good faith
without any direct conflict of interest, and in the honest and reasonable belief that it was
in the corporation’s best interest.

Salah satu negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan doktrin Business Judgment
Rule adalah Delaware, dimana menurut ketentuan Hukum Perusahaan Delaware, Business
Judgment Rule merupakan turunan dari prinsip dasar, yang dikodifikasi dari Del Code Ann.
tit. 8, s 141(a), dimana keputusan bisnis dan urusan dari suatu perseroan di Delaware diurus
oleh atau di bawah kewenangan direksi. Dimana dalam menjalankan peran pengurusan
perseroan tersebut, direksi dituntut untuk tidak mudah putus asa dalam memenuhi
fiduciary
I N Wisnuduty untuk kepentingan
Wardhana-Modul BJR perseroan dan pemegang saham perseroan. 112
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Selain Amerika Serikat, Australia dan Jerman juga mengadopsi Doktrin Business Judgment
Rule ke dalam hukum perusahaan mereka. Australia di dalam Corporation Law (section 180
[2]) mengadopsi Business Judgment Rule, kemudian Jerman di dalam German Corporate Law
Act (The first two sentences of 93 para. 1.

Dasar Pemikiran:
 Pengakuan dari pengadilan bahwa sudah menjadi sifatnya dalam menjalankan bisnis yang
bernuansa risiko, Direksi harus terbebas dari rasa takut atas jeratan hukum yang mungkin
menjerat direksi dalam hal direksi mengambil keputusan bisnis yang beresiko, rasa takut
direksi dalam mengambil keputusan bisnis tersebut akan mempengaruhi keputusan bisnis
direksi tersebut.

 “The Judges are not business experts.”  Hakim merupakan ahli dalam bidang hukum,
namun bukan merupakan ahli dalam mengelola perusahaan dan bisnis, oleh karena itu
hakim harus menghormati keputusan bisnis direksi tanpa perlu campur tangan dan
memberi pendapat bandingan atas kerputusan bisnis direksi.

bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus menghormati putusan bisnis


yang diambil oleh orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman di
bidang bisnisnya, terutama sekali terhadap masalah-masalah bisnis yang
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 113
kompleks.
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Based on Black’s Law Dictionary,

Business Judgment Rule  is the presumption that in making


business decisions not involving direct self-interest or self dealing,
corporate directors act on an informed basis, in good faith, and in
the honest belief that their actions are in the corporations best
interest.

Direksi dianggap telah mengambil keputusan bisnis tanpa


melibatkan kepentingan pribadi maupun keuntungan pribadi,
dimana keputusan ini berdasarkan informasi yang ada yang
berkaitan dengan keputusan bisnis yang diambil, dengan dilandasi
itikad baik dan keyakinan penuh bahwa keputusan yang diambil
adalah yang terbaik untuk kepentingan perseroan.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 114


Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Hal yang mendasari penggunaan BJR’ doctrine:

1. Direktur hanya bertanggung jawab terhadap pengurusan perseroan, bukan


terhadap keuntungan perseroan maupun kerugian perseroan, serta tidak
bertanggung jawab terhadap pihak ketiga.
2. Direktur bukanlah penjamin bahwa perseroan yang diurusnya tidak akan
mengalami kerugian selama menjalankan kegiatan bisnis perseroan.
3. Direksi dalam mengambil keputusan bisnis telah melakukan pertimbangan
yang wajar dan masuk akal dimana dalam hal orang lain berada pada keadaan
yang sama akan mengambil keputusan yang sama.
4. Direksi dalam mengambil keputusan bisnis berdasarkan pada itikad baik.
5. Direksi telah melakukan pengurusan perseroan dengan sebaik-baiknya
selayaknya pemilik sesungguhnya dan dengan penuh tanggung jawab.
6. Direksi dalam mengambil keputusan bisnis sepenuhnya untuk kepentingan
perseroan dan berdasarkan keyakinan bahwa keputusan yang diambil adalah
yang terbaik bagi perseroan.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 115


Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007

Berdasarkan alasan-alasan yang telah disebutkan, maka keputusan bisnis yang diambil
direksi dianggap merupakan keputusan yang terbaik bagi perusahaan.

Keputusan terbaik bagi perseroan belum tentu keputusan yang tidak membawa kerugian
terhadap perseroan, namun dalam menjalankan bisnis banyak faktor yang mempengaruhi,
oleh karena itu dapat dimungkinkan suatu keputusan bisnis yang terbaik bagi perseroan
menimbulkan kerugian merupakan keputusan yang terbaik, dan bilamana keputusan
tersebut tidak diambil oleh direksi atau diambil keputusan yang lain, perseroan akan
mengalami kerugian yang lebih besar dari diambilnya keputusan tersebut.

In relation to the fiduciary duties of directors of a business company to act in the


interests of the company as an association of its members, it is usually assumed
that the only interest the members have is in maximizing the return on their
investment. However, this is not necessarily easy to define. Do the directors have
to ensure the company pays the highest possible annual dividends, or that the
market price for its shares is as high as possible, or should they ensure the long-
term growth and stability of the company? How risky should the shareholders'
investment be?
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 116
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
The business judgment rule is an American case law-derived concept in corporations law whereby the
"directors of a corporation . . . are clothed with [the] presumption, which the law accords to them, of
being [motivated] in their conduct by a bona fide regard for the interests of the corporation whose
affairs the stockholders have committed to their charge”. To challenge the actions of a corporation's
board of directors,

a plaintiff assumes "the burden of providing evidence that directors, in reaching their challenged
decision, breached any one of the triads of their fiduciary duty— good faith, loyalty, or due care”.

Failing to do so, a plaintiff "is not entitled to any remedy unless the transaction constitutes waste . . .
[that is,] the exchange was so one-sided that no business person of ordinary, sound judgment could
conclude that the corporation has received adequate consideration".

Fiduciary duty merupakan beban bagi direksi, dimana dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannyanya direksi harus melakukan dengan memenuhi ketentuan
yang diatur oleh doktrin fiduciary duty, namun dengan adanya doktrin Business
Judgment Rule direksi dapat melaksanakan tugas, kewenangan, dan
kewajibannya melalui suatu keputusan bisnis yang diambil dengan penuh
tanggung jawab tanpa ada rasa takut dan kekhawatiran bahwa direksi akan
dibebani dengan tanggung jawab pribadi apabila ternyata keputusan yang
diambil menimbulkan kerugian bagi perseroan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 117
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Members of a company have no right to expect a reasonable standard of general
management from the company's managing director: it is one of the normal risks of
investing in a company that its management may turn out not to be of the highest quality.

Business Judgment Rule merupakan suatu anggapan bahwa direksi dalam mengambil
keputusan bisnis telah memenuhi ketentuan fiduciary duty. Dalam hal adanya pihak yang
merasa anggapan itu salah karena dan menganggap direksi telah mengambil keputusan
bisnis tidak berdasarkan fiduciary duty, maka pihak tersebut harus mengajukan suatu
gugatan dan membuktikan bahwa direksi dalam mengambil keputusan telah melakukan
pelanggaran fiduciary duty dan tidak berhak atas perlindungan berdasarkan doktrin Business
Judgment Rule.

Behind the business judgment rule lies recognition that investors’ wealth would be lower
if managers’ decisions were routinely subjected to strict judicial review.

BJR memberikan dorongan kepada direksi agar berani mengambil keputusan serta
mengambil risiko dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya mengurus perseroan serta
tidak takut dan tidak berhati-hati secara berlebihan terhadap ancaman yang mengakibatkan
direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan yang mungkin timbul
akibat dari tindakan maupun keputusan bisnis direksi tersebut.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 118
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Kondisi perekonomian yang dipengaruhi oleh berbagai faktor mengakibatkan perubahan iklim bisnis yang
begitu cepat, serta persaingan bisnis yang semakin ketat, oleh karena itu direksi sebagai pengelola
perseroan dituntut untuk bertindak cepat, apabila direksi terlampau lamban mengambil keputusan
bukan tidak mungkin perseroan akan kehilangan peluang bisnis yang kemungkinan akan memberikan
keuntungan bagi perseroan.

Precisely why investors’ wealth would not be maximized by close judicial scrutiny is less clear. The
standard justifications are that judges lack competence in making business decisions and that the fear of
personal liability will cause corporate managers to be more cautious and also result in fewer talented
people being willing to serve as directors

Pemahaman akan doktrin Business Judgment Rule dapat dipahami berdasarkan asas Presumption of
Innocence yang dikenal juga dengan asas “praduga tidak bersalah“, dimana dalam asas ini seseorang
dianggap tidak bersalah sampai ada pihak yang dapat membuktikan bahwa ia bersalah dan pengadilan
mengeluarkan keputusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa seseorang tersebut
bersalah.

BJR  Direksi dianggap tidak bersalah dan tidak bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian perseroan akibat keputusan bisnis yang diambil direksi
sampai ada pihak yang dapat membuktikan bahwa kerugian perseroan
merupakan kesalahan dan kelalaian direksi dalam mengambil keputusan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 119
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Business Judgment Rule melindungi direksi dari tanggung jawab pribadi atas kerugian
perseroan hanya terhadap keputusan bisnis yang jelas-jelas memenuhi fiduciary duty dan
perbuatan maupun tindakan direksi tersebut termasuk dalam intra vires, terhadap
perbuatan direksi yang ultra vires direksi tidak dapat dilindungi dengan adanya doktrin
Business Judgment Rule.

Menurut doktrin Business Judgment Rule ini, hakim dianggap tidak memiliki ketrampilan
bisnis, oleh karena itu pengadilan tidak berhak ikut campur memberikan penilaian terhadap
keputusan bisnis yang diambil direksi. Direksi dianggap telah mengambil keputusan yang
tepat sesuai dengan keahliannya dan kebiasaan yang terjadi dalam bisnis. Pengadilan hanya
dapat turut campur dalam hal adanya pelanggaran yang dilakukan oleh direksi dalam
mengambil keputusan atau pelaksanaan pengurusan perseroan.

Pihak yang mendalilkan bahwa direksi dalam melaksanakan


pengurusan perseroan atau dalam mengambil keputusan bisnis
untuk perseroan telah melakukan pelanggaran dan/atau kelalaian
serta kesalahan harus membuktikan dalilnya tersebut. Hal ini
karena direksi telah dilindungi oleh doktrin Business Judgment
Rule.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 120
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Sebenarnya penggunaan doktrin BJR di suatu negara banyak berhubungan dengan
perkembangan ‘corporate law’ di negara yang mengadopsi ketentuan ini. Amerika Serikat
menggunakan doktrin BJR dikarenakan hukum perusahaan di Amerika Serikat telah
memenuhi standar profesionalitas seorang direktur. Seseorang untuk menjadi direktur harus
memiliki kemampuan di bidangnya dan bukan hanya sekedar cakap hukum.

Doktrin BJR ini merupakan satu-satunya pertahanan yang dapat dipakai oleh Direksi yang
beritikad baik dalam melindungi dirinya dari gugatan Perseroan Terbatas, pemegang saham,
dan/atau kreditor Perseroan Terbatas sehubungan dengan kerugian akibat keputusan yang
salah yang diambil oleh Direksi.

Terdapat doktrin lain yang dapat dijadikan dasar bagi direksi untuk membebaskan diri dari
tanggung jawab pribadi; yaitu doktrin alter igo dan doktrin piercing the corporate veil.

Kedua doktrin ini  bahwa dalam hal kerugian perseroan diakibatkan adanya campur
tangan pihak lain, yang dalam hal ini di antaranya pemegang saham, apabila direksi dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka pihak yang terlibat dalam pengurusan
selain direksi seperti pemegang saham wajib bertanggung jawab secara pribadi atas
kerugian perseroan, tapi dimungkinkan juga direksi bersama-sama pemegang saham yang
bersangkutan bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian perusahaan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 121
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
Pada dasarnya, fiduciary duty itu tidak hanya sekedar itikad baik, karena meskipun direksi
telah melakukan tugasnya dengan itikad baik namun terdapat kesalahan atau kelalaian atau
hal-hal lain yang termasuk dalam klasifikasi fiduciary duty, direksi tetap bertanggung jawab
secara pribadi terhadap kerugian yang diderita perseroan.

Business Judgment Rule menganggap bahwa direksi suatu perseroan terlindungi


dari tanggung jawab pribadinya dalam hal dia telah melaksanakan tugasnya
dengan memenuhi ketentuan fiduciary duty yang mengutamakan prinsip kehati-
hatian.

Business Judgment Rule sangat sulit untuk dibantah, oleh karena itu pengadilan
tidak dapat ikut campur tangan kecuali dengan jelas terbukti bahwa direksi
bersalah atas penyelewengan dan kecurangan terhadap aset perseroan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Delaware Supreme Court bahwa suatu pengadilan tidak akan
mengubah pandangan/ide apakah suatu keputusan bisnis yang diambil direktur adalah suatu
keputusan bisnis yang tepat atau bukan apabila keputusan bisnis dan tindakan yang diambil
direksi sesuai dengan informasi yang ada, dengan itikad baik, dan dengan keyakinan penuh
bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik untuk perseroan.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 122
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
There is no statutorily implied term in a contract for the supply of services as a director that
the director will carry out the services with reasonable care and skill, because directors have
been exempted from…

Direksi dalam menjalankan tugasnya harus melakukan dengan tingkat kehati-hatian yang
tinggi dan dengan kemampuan yang ada secara maksimal  yang terbaik yang dilakukan
direksi bisa saja bukan merupakan hasil yang memuaskan bagi perseroan.

In Delaware, in Paramount Communications Inc. vs Time Inc. (1990) 571 A 2d 1140, the
court accepted that it was legitimate for the directors of Time Inc. to decide that it was in
the best interest of their company to go ahead with a merger with another company and not
to allow shareholders the opportunity of selling their shares to an unwelcome takeover
bidder, even though the bidder was offering considerably more than the current market price
for the company's shares and many shareholders would have found the bid attractive.

It is possible to interpret this case in terms of a preference for long-term increase in the
company's value over short-term gain for the shareholders, but the court said (at page
1150): we think it unwise to place undue emphasis upon long-term versus short-
term corporate strategy... The questions of 'long-term' versus 'short-term' values is
largely irrelevant because directors, generally, are obliged to chart a course for a corporation
which is inWardhana-Modul
I N Wisnu its best interest
BJR without regard to a fixed investment horizon. 123
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
It seems that the court was defining the directors' duties in terms of the interests of the company as a
separate person ('its best interests'). The court expressly rejected the idea that the directors duty was
simply to maximize shareholder value in the short term.

Pengadilan Inggris dalam memutuskan kasus dalam hukum perusahaan juga mengacu pada yurisprudensi
di negara-negara lain, seperti halnya Amerika Serikat
sebagaimana terlihat dalam kutipan di atas, dimana dasar pemikiran dari putusan
di Delaware yang menganggap direksi tidak terikat hanya untuk memberikan keuntungan perseroan
dalam ‘short term’, namun juga dapat dalam jangka panjang selama keputusan direksi sepenuhnya untuk
kepentingan perseroan (Business Judgment Rule applied).

The presumption raised by the Business Judgment Rule may be rebutted by the plaintiff. “The business
judgment rule is a presumption that in making business decisions, the directors of a corporation acted
on an informed basis, in good faith and in the honest belief that the action taken was in the best
interest of the company. Thus, the party attacking a board decision as uninformed must rebut the
presumption that its business judgment was an informed one. Further, rebuttal typically requires a
showing that the defendants violated duty of care or loyalty (with courts assuming director’s good
faith otherwise).

Pihak yang menyatakan bahwa suatu keputusan direksi harus membantah anggapan bahwa keputusan
direksi itu sesuai dengan informasi yang ada, dengan menunjukkan bukti bahwa pihak yang dituduh telah
melakukan pelanggaran atas duty of care maupun duty of loyalty.
I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 124
Business Judgment Rule Doctrine
Pengaturan dalam UUPT No. 40/2007
If the plaintiff can show that an action should not be protected by the business judgment
rule (such as when a director decides to give over a certain percentage of the company’s
profits to charity (duty of care violation) or lines his/her own pockets with company’s money
(self-interest/duty of loyalty violation), then the burden will shift to the defendant to show
that the action meets the burden of good faith/rational decision. In many cases, it is
relatively easy for a director to find some rational reason for his action and, with the courts
using the business judgment rule, the case will likely be dismissed (U.S. courts disdain getting
involved in business matters)

Apabila penggugat dapat membuktikan bahwa tindakan direksi itu seharusnya


tidak dilindungi oleh Business Judgment Rule, maka beban pembuktian beralih
kepada tergugat yang dalam hal ini adalah direksi, yang menurut pihak
penggugat, keputusan direksi tersebut merupakan pelanggaran fiduciary duty.
Sehingga apabila pihak yang menyatakan direksi bersalah tidak dapat
membuktikan dari awal bahwa direksi dalam mengambil keputusan telah
melakukan pelanggaran fiduciary duty dan mengakibatkan kerugian terhadap
perseroan, maka direksi dianggap tidak bersalah dan tidak perlu untuk
membuktikan dirinya tidak bersalah.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 125


Business Judgment Rule Doctrine
BJR Doctrine v. UUPT No.40/2007 Pasal 97

Pasal 1365 KUH-Perdata menyatakan tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal ini terdiri dari beberapa unsur, di antaranya adalah
adanya suatu perbuatan yang dilakukan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan yang menimbulkan kerugian.

Pasal 1366 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sedikit menambahkan bahwa tanggung
jawab seseorang tidak sebatas pada perbuatan yang dilakukan, melainkan terhadap kelalaian
atau kesalahan.

Dari kedua pasal di atas, dapat ditafsirkan bahwa kerugian


dapat ditimbulkan bukan hanya karena dilakukannya
suatu perbuatan, namun juga dapat diakibatkan dari tidak
dilakukannya suatu perbuatan.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 126


Business Judgment Rule Doctrine
BJR Doctrine v. UUPT No.40/2007 Pasal 97

Pasal 97 ayat 5 UUPT  Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.

I N Wisnu Wardhana-Modul BJR 127

Anda mungkin juga menyukai