Manajemen Nyeri Pada Penyakit Keganasan Done
Manajemen Nyeri Pada Penyakit Keganasan Done
4. ARIANTI 70300117011
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan rahmatNya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Laporan Pendahuluan “Manajemen
Nyeri Kanker”. Selawat serta salam kami curahkan kepada Nabi Muhammad Saw., kepada
keluarganya, sahabatnya dan kepada kita semua selaku umatnya.Adapun tujuan penyusunan
Laporan Pendahuluan ini salah satunya yaitu untuk memenuhi tugas. Kami berharap semoga ini
bermanfaat.Kami Sadar akan keterbatasan dan kemampuan yang kami miliki, maka kami mohon
maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam penyusunannya. Saran dan kritik kami
harapkan untuk meningkatkan kualitas Laporan Pendahuluan ini. Kami berharap semoga ini
dapat bermanfaat.
Penyusun
Kelompok 3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................................
Daftar Isi...............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................
C. Tujuan.......................................................................................................................
A. Kesimpulan............................................................................................................
B. Saran......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
(Deoxyribonucleic acid) sehingga sel tersebut dapat keluar dari siklus hidup yang sudah
diatur (Dizon, Krychman dan Disilvestro, 2011). Angka kejadian penyakit kanker terus
meningkat dari tahun ke tahun. Data WHO memperkirakan kanker akan menjadi penyakit
penyebab kematian tertinggi di Indonesia pada tahun 2030 (Depkes RI, 2013). Menurut
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada tahun 2010, kanker menjadi penyebab
kematian nomor 3 di Indonesia dengan kejadian 7,7% dari seluruh penyebab kematian
Nyeri merupakan keluhan umum pasca pengobatan pada penderita kanker, bahkan
bertahun-tahun setelah pengobatan (Bennet & Puroshotham, 2009). Nyeri pada pasien
kanker sering ditemukan dalam praktek sehari-hari pada pasien yang pertama kali datang
berobat sekitar 30% dan hampir 70% pasien kanker stadium lanjut yang menjalani
pengobatan. Pada 20% penderita yang mendapat pengobatan merasakan nyeri bukan
disebabkan penyakit yang dideritanya, tetapi justru oleh pengobatan yang telah
Penyedia layanan paliatif telah menyadari bahwa seluruh pengalaman nyeri pasien
perlu dieksplorasi ketika menangani pasien dengan nyeri kanker. Pemaknaan nyeri,
ketakutan akan masa depan, beban dari gejala fisik dan psikis semua tergabung
menyebabkan penderitaan yang berat pada setiap individu .Konsep bahwa nyeri
menyangkut semua aspek kemanusiaan disebut konsep “total pain”. Pemahaman bahwa
nyeri kanker tidak hanya pengalaman fisik tetapi juga dipengaruhi oleh seluruh aspek
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Junaidi (2007), kanker merupakan penyakit atau kelainan pada tubuh
sebagai akibat dari sel-sel tubuh yang berkembang abnormal di luar batas kewajaran dan
sangat liar. Menurut Syafuddin (2006) dalam Saragih (2010), kanker diketahui dapat
sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika intensitasnya cukup kuat
(Saifullah, 2015).
Nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
Nyeri kanker adalah hal yang umum dan menyebabkan penderitaan yang besar.
Nyeri pada pasien kanker sering ditemukan dalam praktek sehari-hari pada pasien
yang pertama kali datang berobat sekitar 30% dan hampir 70% pasien kanker stadium
lanjut yang menjalani pengobatan. Pada 20% penderita yang mendapat pengobatan
merasakan nyeri bukan disebabkan penyakit yang dideritanya, tetapi justru oleh
2) Efek samping dari pengobatan kanker (misalnya neuropati perifer yang diinduksi oleh
kemoterapi, arthralgia karena pengobatan hormonal, nyeri paska operasi dan fibrosis
paska radioterapi)
Nyeri dari kanker itu sendiri terdapat pada 75% kasus dan nyeri terkait pengobatan pada
11% kasus. Kebanyakan pasien memiliki lebih dari satu area nyeri. Sindrom tipikal
b. Mekanisme Nyeri
sensitivitas karena proses inflamasi, ini mungkin dideskripsikan sebagai ‘sakit’, atau
a) Nyeri somatik dari kulit, tulang, dan jaringan lunak yang memiliki inervasi yang banyak
2) Nyeri neuropatik disebabkan sebuah lesi atau penyakit dari sistem somatosensoris,
dan neuropatik. Sebagai contoh, metastasis pada tulang belakang menyebabkan nyeri tulang
nosiseptif terlokalisir dan nyeri radikular neuropatik oleh kompresi akar saraf.
Nyeri neuropatik sering tidak terdiagnosis atau tidak disadari; bagaimanapun hal ini
dibutuhkan untuk menanganinya. Sebuah grup dalam International for the Study of Pain
(IASP) telah menentukan kriteria untuk defenisi nyeri neuropatik dan hal ini termasuk:
4) Riwayat atau klinisnya menunjukkan lesi yang relevan atau penyakit sistem
somatosensoris dan
5) Terdapat gejala negatif ( numbness = mati rasa) atau positif (parestesia, hiperalgesia,
‘tertembak’, ‘kesemutan’ atau ‘seperti tersengat listrik’. Nyeri ini mungkin spontan,
muncul tanpa stimulasi yang dapat dideteksi, atau ditimbulkan karena respon stimuli
yang abnormal.
kanker. Pengertian nyeri kanker adalah nyeri yang dirasakan oleh penderita kanker
karena keluhan subjektif, pertumbuhan kanker yang progresuf, kanker yang kronis, atau
multifaktorial.
pertimbangan penuh tentang faktor-faktor sekitarnya. Kanker yang padat dan keganasan
hematologi menyebabkan sejumlah gejala seperti kelelahan, anorexia, penurunan berat
badan, demam, dan muntah. Sehingga nyeri kanker memiliki dampak yang besar
terhadap kualitas hidup pasien dan merupakan gejala yang penting untuk dikurangi.
Hilangnya perasaan diri karena perubahan peran sosial, penampilan fisik dan fungsi
dapat menyebabkan patah semangat, yang pada nantinya memperparah nyeri. Pikiran
tentang finansial atau kekuatiran mengenai masa depan keluarga mungkin butuh
dipikirkan. Spiritualitas, pencarian makna, dan ketakutan yang tidak diketahui biasa
kematian seseorang. Pengalaman masa lalu tentang sakit, dan nyeri juga dapat
berpengaruh pada pemahaman pasien saat ini tentang nyeri. Pengaruh psikososial ini
spesifik pada tiap individu sehingga dibutuhkan pendekatan tim . Keikutsertaan pekerja
sosial, tokoh agama, perawat, terapis, dan relawan mungkin membantu meyakinkan
bahwa manajemen nyeri tidak mencoba mengisolasi tapi merupakan bagian dari
pendekatan yang holistik. Kebaikan, kasih sayang, dan konsistensi memainkan peran
Pengenalan adanya depresi sangat penting, sekitar satu dari empat pasien kanker
memiliki gejala depresi. Depresi ini sering tidak disadari tetapi jika dilakukan pengobatan
biasanya efektif dan dapat berpengaruh positif pada manajemen nyeri kanker. Nyeri yang
tidak bisa dikontrol atau nyeri yang bertambah mengindikasikan penyakit berjalan
progresif. Hiburan, dukungan, memberi pemahaman dengan empati juga dilakukan untuk
Terjemahan: “Dan apabila aku (Ibraham) sakit, dialah yang menyembuhkan aku”.
Penjelasan: Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang Nabi Ibrahim yang
memiliki keyakinan bahwa ketika suatu saat beliau merasakan sakit, maka hanya
satu-satu dzat yang beliau yakini bisa menyembuhkan , Dzat itu adalah Allah SWT.
a. Terapi Farmakologi
Nyeri kanker ringan (1-4 pada NRS) ditangani dengan analgesia non opioid, seperti
paracetamol/asetaminofen, dan atau NSAID. Agen ini utamanya bermanfaat untuk nyeri
pada tulang atau jaringan lunak. Tidak ada bukti yang menunjukkan salah satu agen lebih
efektif dibanding yang lainnya, dan jika agen ini menyebabkan efek samping yang
Dosis parasetamol mungkin perlu dikurangi, atau dihindari, pada mereka dengan
disfungsi hepar yang signifikan karena metastasis atau kemoterapi, khususnya jika
Toksisitas gaster karena NSAID dapat dikurangi dengan menggunakan dalam yang
singkat, atau lebih memilih selektif cyclooxygenase-2 (COX-2) atau disertai dengan
penggunaan NSAID, tetapi tidak dengan agen selektif COX-2.22 Terdapat bukti bahwa
melanjutkan penggunaan NSAID tetap bermanfaat bahkan ketika analgesik yang lebih
kuat ditambahkan .
Opioid lemah disarankan jika nyeri tidak dapat dikontrol dengan langkah 1. Pada
prakteknya, hal ini merujuk pada sejumlah opioid potensial rendah (misalnya kodein,
dihidrokodein, dan dekstropropooxifen) atau obat yang dengan aksi campuran misalnya
tramadol. Terdapat beberapa pertentangan tentang nilai pendekatan ini karena beberapa
alasan:
1) Kurangnya bukti bahwa penambahan opioid lemah pada non opioid lebih baik
2) Klasifikasi tak berdasar pada opioid ‘lemah’ dan ‘kuat’ tanpa dasar farmakodinamik
3) Batas efek (ceiling efek) dari beberapa obat pada kategori ini dan
4) Usulan bahwa penggunaan awal morfin dosis rendah atau opioid kuat lainnya lebih
disarankan.
monoaminergik. Tersedia luas di seluruh dunia dan memiliki beberapa efek spesifik,
yang membuatnya menjadi pilihan yang paling bermanfaat sebagai obat pilihan langkah
2. Tramadol memiliki bioavailabilitas yang baik, dengan efektivitas yang terbukti pada
nyeri berat dan utamanya efektif pada nyeri neuropatik. Dosis standar adalah 50-400 mg
per hari dosis terbagi. Preparat kerja lambat tersedia. Profil efek samping sama dengan
opioid lainnya meskipun insiden kontipasi rendah. Sindrom serotonin merupakan
merupakan pilihan. Karena kodein bukan analgesik, tetapi hanya prodrug morfin,
bergantung pada metabolisme oleh sitokrom P450 2D6, yang bergantung pada
polimorfisme genetik enzim ini juga memiliki bioavaibilitas oral yang bervariasi dan
Opioid kuat yang paling sering digunakan pada langkah 3 adalah morfin, oksikodon,
metabolit toksik, yang menyebabkan gelisah, tremor, mioklonus, dan kejang.21 Juga
Terdapat sejumlah ketakutan mengenai opioid kuat antara lain kekuatiran tentang
ketergantungan, sedasi berlebihan, dan depresi pernapasan dimana semua ini ternyata
tidak ditemukan . Opioid kuat dapat dimulai kapan pun pada pasien kanker, dilanjutkan
dengan aman, dapat ditingkatkan jika dibutuhkan, dikurangi atau dihentikan jika nyeri
membaik. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan opioid berdampak
hingga berat. Beberapa tahun terakhir disadari bahwa opioid yang tepat adalah yang
bekerja baik pada pasien, memberikan hasil yang baik, dan penggunaannya dimengerti
oleh yang memberi resep. Terdapat beberapa data menunjukkan perbedaan penting
morfin, oksikodon, dan hidromorfin, ketika diberikan secara oral, dan untuk itu semua
Morfin tersedia dalam sejumlah formula oral (termasuk kerja cepat berbentuk cairan
dan tablet, tablet lepas lambat dan kapsul, dan suspensi lepas lambat) dan juga dapat
diberikan secara parenteral dan rektal. Tidak terdapat batas efek (ceiling effect) yang
relevan dan dosis dapat bervariasi hingga 1000 kali lipat untuk menghilangkan nyeri.
Metabolit aktif dapat terakumulasi pada keadaan gagal ginjal dan dapat menyebabkan
toksisitas.
Oksikodon adalah opioid sintetis juga tersedia dalam sejumlah formula oral dan
injeksi. Mungkin bermanfaat utamanya pada nyeri neuropatik dengan jumlah yang
dibutuhkan untuk mengobati (NNT) 2,5 yang sama dengan antidepresan trisiklik dan
pada nyeri viseral. Tidak terdapat metabolit yang signifikan sehingga bermanfaat pada
Hidromorfon adalah opioid semi sintetis yang lebih poten 3-5 kali dari morfin,
menjadikannya bermanfaat ketika jumlah sedikit dibutuhkan untuk infus subkutan. Juga
tersedia dalam formula oral dan injeksi. Potensial metabolit neurotoksik dapat
terakumulasi dengan penggunaan yang lama dosis tinggi pada disfungsi renal tapi
metabolit ini dapat didialisis, untuk itu hidromorfon dapat digunakan pada pasien yang
menjalani hemodialisa.
Methadon juga bermanfaat pada nyeri kanker karena merupakan reseptor antagonis
d-aspartat (NMDA), sehingga dapat digunakan jika nyeri neuropatik sangat menonjol.
obat, kurangnya pedoman tentang dosis juga waktu paruh yang panjang dan sulit
diprediksi, (7-14 hari) sebelum mencapai steady state. Terdapat resiko akumulasi dan
Fentanyl transdermal adalah alternatif yang efektif dibanding opioid oral lepas
lambat. Level obat sistemik mungkin lebih rendah pada pasien dengan kaheksia sehingga
relatif stabil. Ini lebih dipertimbangkan pada banyak pasien dan mungkin menyebabkan
dalam preparat tansdermal. Tampaknya lebih aman dibanding opioid dalam hal depresi
pernapasan dan supresi imun, menyebabkan lebih sedikit konstipasi dan tidak terjadi
akumulasi dalam keadaan gagal ginjal. Saat ini tidak digunakan jika dosis opioid yang
lebih tinggi dibutuhkan atau jika pasien telah mengalami toleransi terhadap opioid kuat.
Titrasi dari dosis awal dibutuhkan untuk pasien yang baru menggunakan opioid kuat.
Metode paling sederhana adalah dengan memberikan dosis oral opioid kerja cepat
(morfin 5 mg/oksikodon 5 mg/hidromorfin 1 mg) setiap 4 jam, dengan dosis yang sama
untuk breakthrough pain. Dosis ‘rescue’ dapat diberikan setiap jam ketika dibutuhkan,
sehingga dosis total harian yang diperlukan untuk mengontrol nyeri dapat dihitung. Jika
kontrol nyeri tidak adekuat, dosis setiap 4 jam harus ditingkatkan (misalnya hingga
50%). Dosis dua kali lipat saat waktu tidur biasanya memungkinkan tidur malam yang
baik.
Ketika kebutuhan 24 jam sudah stabil, dosis obat dapat dikonversi ke formulasi oral
lepas lambat (diberikan setiap 12 sampai 24 jam tergantung formulasi) atau opioid patch
Mual dan muntah adalah efek samping yang umum, dialami hingga dua pertiga
pasien selama terapi awal opioid, meskipun biasanya mereda dengan cepat karena
perkembangan toleransi yang cepat. Ini ditangani dengan memberikan antiemetik selama
beberapa hari pertama pada awal terapi opioid (metoklopramid atau haloperidol), tapi jika
masalah ini tetap muncul, rotasi opioid atau mengubah jalur pemberian harus dilakukan.
Rasa kantuk yang ringan juga biasa terjadi ketika opioid kuat dimulai atau dosisnya
ditingkatkan, tapi biasanya menghilang dalam beberapa hari dan pasien dapat
mengemudi. Jika rasa kantuk terus berlangsung, rotasi opioid dapat dipertimbangkan dan
Konstipasi adalah efek samping yang paling sering terjadi dari pengobatan yang lama,
dan terapi laksatif (produk berbasis magnesium atau bisacodyl) perlu dilanjutkan
bersama opioid dan ini sangat ditekankan.16 Methylnaltrekson subkutan dan nalokson
oral (dikombinasi dengan oksikodon lepas lambat) telah terbukti efektif dan aman pada
konstipasi akibat opioid. Kedua agen ini tidak mempengaruhi efek anlgesia atau efek
Adiksi
Ketika pasien telah stabil dengan preparat kerja lambat, dia akan berlanjut
membutuhkan akses obat kerja cepat, opioid kerja singkat untuk mengatasi nyeri
breakthrough. Biasanya merupakan obat yang sama dengan preparat kerja lambat,
diberikan sebagai preparat kerja cepat dengan dosis sekitar seperenam dari dosis harian
atau formulasi kerja singkat yang tersedia dalam patch. Preparat fentanil transmukosa
atau intranasal adalah opsi lain dalam pengobatan ini, karena onset cepat dan durasi yang
Rotasi opioid adalah penggantian opioid yang satu ke yang lainnya dengan dosis
yang ekuivalen karena terapi nyeri tidak adekuat dan atau toksisitas yang tidak dapat
diterima meskipun telah dititrasi dan telah mendapat perhatian dalam mengontrol efek
samping. Dasar teori praktek ini antara lain perbedaan reseptor individu, toleransi silang
yang inkomplit, variasi farmakokinetik dan metabolit aktif dari opioid yang berbeda.
Kesuksesan rotasi yang dilaporkan bervariasi dari 40% hingga 80%. Tabel 2
mencantumkan data analgesik ekuipoten dari opioid oral yang umum, meskipun
direkomendasikan bahwa opioid baru dimulai pada dosis 25% lebih rendah dari yang
Opioid Subkutan
Jika pasien membutuhkan opioid parenteral, jalur yang lebih baik adalah melalui
baterai. Untuk mengkonversi morfin oral ke dosis subkutan yang ekuivalen, jumlah
keseluruhan harus dibagi tiga untuk opioid lain, data bioavailabilitas oral perlu
tambahan obat (juga disebut ko-analgesik) pada opioid. Obat lini pertama dalam hal ini
duloxetine 30–60 mg daily) dan antikonvulsan (pregabalin hingga 600 mg day-1 dalam
dosis terbagi, gabapentin hingga 3600 mg day-1 dalam dosis terbagi dan klonazepam
0.5–1 mg tds). Jumlah yang dibutuhkan untuk pengobatan (NNT) untuk obat adjuvan
adalah 3–5 sehingga toksisitas obat dapat dibatasi. Keputusan tentang adjuvan mana yang
Sebagai contoh, duloxetine mungkin pilihan terbaik pada pasien dengan depresi mayor,
insomnia. Penggunaan bersama duloxetine atau sitokrom P450 2D6 inhibitor dengan
Tabel 1
Dosis Ekuianalgesik
10 mg
Morfin 10 mg
Kodein 90 mg
Dihidrokodein 60 mg
Tramadol 50 mg
Pethidin 100 mg
Nalbuphin 10 mg
Oksikodon 7,5 mg
Levorphanol 2 mg
Hidromorfon 2 mg
Butorphanol 2 mg
Oksimorfon 1,5 mg
Metadon 1 mg
Bupremorfin 0,3 mg
Kortikosteroid
Steroid utamanya digunakan pada sindrom nyeri kanker berat antara lain nyeri karena
distensi viseral akibat tumor (nyeri penegangan kapsula hepar), meningkatnya tekanan
intrakranial, kompresi medulla spinalis, obstruksi usus maligna, nyeri tulang dan jepitan
saraf. Juga digunakan untuk menstimulasi nafsu makan pada pasien kanker dan sebagai
sedikit, dan dosis standar bervariasi dari 4 hingga 16 mg diberikan satu kali per hari,
Bifosfonat adalah sejumlah obat yang menghambat resorpsi tulang akibat osteoklas
pada penyakit metastasis tulang dan multipel mieloma. Dua agen utama yang digunakan
pada onkologi adalah pamidronat dan zolendronat, keduanya diberikan melalui intravena
setiap 4 pekan. Ini mengurangi komplikasi skeletal seperti fraktur patologis dan
buruk atau operasi gigi. Pengaruhnya pada nyeri tulang dirasakan masih sedikit dan bukti
perannya dalam situasi akut kurang kuat karena efek analgesik terjadi 2-4 minggu.
Denosumab adalah agen yang lebih baru – sebuah antibodi monoklonal diberikan
subkutan setiap 4 pekan, mencegah inti ligand factor kappa-B (aktivator reseptor NF-
kappa B, RANK), mengurangi kehilangan tulang pada pasien dengan metastasis tulang
dari tumor padat. Bukti saat ini menyarankannya karena sama efektifnya dengan
b. Terapi Nonfarmakologi
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu keluhan yang dihadapi oleh penderita kanker adalah nyeri. Jadi,
diperlukan suatu manajemen untuk meminimalkan keluhan tersebut. Manajemen Nyeri
kanker itu sendiri adalah pengelolaan menyeluruh untuk mengatasi nyeri kanker.
Penanganan nyeri kanker terdiri dari terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.
Terapi farmakologis terdiri dari penanganan nyeri kanker ringan (analgesia non opioid),
moderat (opioid potensial rendah misalnya kodein, dihidrokodein, dan
dekstropropooxifen atau obat yang dengan aksi campuran misalnya tramadol.), sampai
penanganan nyeri kanker berat (morfin, oksikodon, hidromorfin, methadon, fentanil dan
buprenorfin). Sedangkan terapi non farmakologis terdiri dari masase dan Stimulasi
Kutaneus, Efflurage Massage, Distraksi, Terapi musik, Relaksasi nafas dalam, Imajinasi
terbimbing, Kompres hangat, Kompres dingin, Dzikir kahfi, Terapi Al-Qur’an.
B. Saran
Diharapkan kepada tenaga medis khususnya perawat untuk mengoptimalkan penerapan
manajemen nyeri pada penderita kanker guna untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim
Farid, Aziz., Witjaksono, Julianto & Rasjidi, Imam. 2008. “Panduan Pelayanan Medik:
Model Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviksdengan Gangguan
Ginjal”. Jakarta: EGC
Mulyani, N., Purnawan, Iwan., & Upoyo, Arif. (2019). “Perbedaan Pengaruh Terapi
Murottal Selama 15 Menit dan 25 Menit terhadap Penurunan Skala Nyeri pada
Pasien Kanker Pasca Bedah”. 2019, Vol.1 No.1
Andreas, Endarto., Ismonah & Wulandari. (2018). “Perbedaan Intensitas Nyeri pada
Pasien Kanker Sebelum dan Sesudah Pemberian Terapi Musik Klasik di Rumah
Sakit Telogorejo Semarang”