Anda di halaman 1dari 26

MANAJEMEN NYERI PADA PENYAKIT KEGANASAN “KANKER”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 :

1. SRI ASTUTI 70300117002

2. NUR AINAH ABNI ABDULLAH 70300117007

3. FINA EKAWATI 70300117009

4. ARIANTI 70300117011

5. SRI WINDAYANTI 70300117013

6. NOFIANTI RAHMAN 70300117021

7. ABDUL MALIK R. HI. TASAKA 70300117027

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan rahmatNya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Laporan Pendahuluan “Manajemen
Nyeri Kanker”. Selawat serta salam kami curahkan kepada Nabi Muhammad Saw., kepada
keluarganya, sahabatnya dan kepada kita semua selaku umatnya.Adapun tujuan penyusunan
Laporan Pendahuluan ini salah satunya yaitu untuk memenuhi tugas. Kami berharap semoga ini
bermanfaat.Kami Sadar akan keterbatasan dan kemampuan yang kami miliki, maka kami mohon
maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam penyusunannya. Saran dan kritik kami
harapkan untuk meningkatkan kualitas Laporan Pendahuluan ini. Kami berharap semoga ini
dapat bermanfaat.

Samata, 05 September 2019

Penyusun

Kelompok 3
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................

Daftar Isi...............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................................................

B. Rumusan Masalah.....................................................................................................

C. Tujuan.......................................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Manajemen Nyeri pada Kanker...............................................................................

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

A. Kesimpulan............................................................................................................

B. Saran......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker merupakan keadaan dimana sel mengalami perubahan DNA

(Deoxyribonucleic acid) sehingga sel tersebut dapat keluar dari siklus hidup yang sudah

diatur (Dizon, Krychman dan Disilvestro, 2011). Angka kejadian penyakit kanker terus

meningkat dari tahun ke tahun. Data WHO memperkirakan kanker akan menjadi penyakit

penyebab kematian tertinggi di Indonesia pada tahun 2030 (Depkes RI, 2013). Menurut

Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada tahun 2010, kanker menjadi penyebab

kematian nomor 3 di Indonesia dengan kejadian 7,7% dari seluruh penyebab kematian

setelah penyakit jantung dan stroke (Depkes RI, 2013).

Nyeri merupakan keluhan umum pasca pengobatan pada penderita kanker, bahkan

bertahun-tahun setelah pengobatan (Bennet & Puroshotham, 2009). Nyeri pada pasien

kanker sering ditemukan dalam praktek sehari-hari pada pasien yang pertama kali datang

berobat sekitar 30% dan hampir 70% pasien kanker stadium lanjut yang menjalani

pengobatan. Pada 20% penderita yang mendapat pengobatan merasakan nyeri bukan

disebabkan penyakit yang dideritanya, tetapi justru oleh pengobatan yang telah

dijalaninya (Jensen et al, 2010).

Penyedia layanan paliatif telah menyadari bahwa seluruh pengalaman nyeri pasien

perlu dieksplorasi ketika menangani pasien dengan nyeri kanker. Pemaknaan nyeri,

ketakutan akan masa depan, beban dari gejala fisik dan psikis semua tergabung

menyebabkan penderitaan yang berat pada setiap individu .Konsep bahwa nyeri

menyangkut semua aspek kemanusiaan disebut konsep “total pain”. Pemahaman bahwa
nyeri kanker tidak hanya pengalaman fisik tetapi juga dipengaruhi oleh seluruh aspek

manusia memiliki dampak yang signifikan terhadap manajemen.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Manajemen Nyeri pada Kanker?

C. Tujuan

Untuk Mengetahui Manajemen Nyeri pada Kanker.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Manajemen Nyeri pada Penyakit Kanker

Menurut Junaidi (2007), kanker merupakan penyakit atau kelainan pada tubuh

sebagai akibat dari sel-sel tubuh yang berkembang abnormal di luar batas kewajaran dan

sangat liar. Menurut Syafuddin (2006) dalam Saragih (2010), kanker diketahui dapat

menimbulkan berbagai macam keluhan diantaranya nyeri.

1. Definisi Nyeri pada penyakit Kanker

Nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada receptor.Setiap rangsangan

sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika intensitasnya cukup kuat

(Saifullah, 2015).

Nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang

berkaitan dengan kerusakan jaringan (Tamsuri, 2007). Nyeri merupakan keluhan

umum pasca pengobatan pada penderita kanker, bahkan bertahun-tahun setelah

pengobatan (Bennet & Puroshotham, 2009).

Nyeri kanker adalah hal yang umum dan menyebabkan penderitaan yang besar.

Nyeri pada pasien kanker sering ditemukan dalam praktek sehari-hari pada pasien

yang pertama kali datang berobat sekitar 30% dan hampir 70% pasien kanker stadium

lanjut yang menjalani pengobatan. Pada 20% penderita yang mendapat pengobatan

merasakan nyeri bukan disebabkan penyakit yang dideritanya, tetapi justru oleh

pengobatan yang telah dijalaninya (Jensen et al, 2010).

a. Karakteristik Nyeri kanker

Nyeri pada pasien kanker dapat dihasilkan dari:


1) Kanker itu sendiri menekan atau menginvasi struktur sekitarnya (kompresi saraf,

invasi tulang atau viseral dan distensi kapsul organ)

2) Efek samping dari pengobatan kanker (misalnya neuropati perifer yang diinduksi oleh

kemoterapi, arthralgia karena pengobatan hormonal, nyeri paska operasi dan fibrosis

paska radioterapi)

3) Efek lain dari kanker (kelemahan, dekubitus, dan konstipasi)

4) Diagnosis tambahan lainnya (osteoarthritis)

Nyeri dari kanker itu sendiri terdapat pada 75% kasus dan nyeri terkait pengobatan pada

11% kasus. Kebanyakan pasien memiliki lebih dari satu area nyeri. Sindrom tipikal

nyeri kanker telah dideskripsikan.

b. Mekanisme Nyeri

Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme:

1) Nyeri nosiseptif dihasilkan dari stimulasi langsung nosiseptor atau meningkatnya

sensitivitas karena proses inflamasi, ini mungkin dideskripsikan sebagai ‘sakit’, atau

‘berdenyut’22 dan termasuk:

a) Nyeri somatik dari kulit, tulang, dan jaringan lunak yang memiliki inervasi yang banyak

b) Nyeri viseral dari organ dalam dari inervasi yang berbeda

2) Nyeri neuropatik disebabkan sebuah lesi atau penyakit dari sistem somatosensoris,

yang dapat berasal dari:

a) Sistem saraf perifer (khususnya neuropati)

b) Sistem saraf pusat (lesi pada otak atau medulla spinalis)


Penting untuk disadari bahwa nyeri kanker merupakan gabungan antara nyeri nosiseptif

dan neuropatik. Sebagai contoh, metastasis pada tulang belakang menyebabkan nyeri tulang

nosiseptif terlokalisir dan nyeri radikular neuropatik oleh kompresi akar saraf.

Nyeri neuropatik sering tidak terdiagnosis atau tidak disadari; bagaimanapun hal ini

sangatlah penting untuk menyadarinya karena strategi penanganan berbeda mungkin

dibutuhkan untuk menanganinya. Sebuah grup dalam International for the Study of Pain

(IASP) telah menentukan kriteria untuk defenisi nyeri neuropatik dan hal ini termasuk:

3) Distribusi nyeri tampaknya secara neuro-anatomi

4) Riwayat atau klinisnya menunjukkan lesi yang relevan atau penyakit sistem

somatosensoris dan

5) Terdapat gejala negatif ( numbness = mati rasa) atau positif (parestesia, hiperalgesia,

dan alodinia) pada daerah yang nyeri.

Pasien mungkin mendespkripsikan nyeri neuropatik sebagai rasa ‘terbakar’,

‘tertembak’, ‘kesemutan’ atau ‘seperti tersengat listrik’. Nyeri ini mungkin spontan,

muncul tanpa stimulasi yang dapat dideteksi, atau ditimbulkan karena respon stimuli

yang abnormal.

2. Manajemen Nyeri pada Penyakit Kanker

Manajemen Nyeri kanker adalah pengelolaan menyeluruh untuk mengatasi nyeri

kanker. Pengertian nyeri kanker adalah nyeri yang dirasakan oleh penderita kanker

karena keluhan subjektif, pertumbuhan kanker yang progresuf, kanker yang kronis, atau

multifaktorial.

Manajemen nyeri pasien kanker seringkali kompleks dan membutuhkan

pertimbangan penuh tentang faktor-faktor sekitarnya. Kanker yang padat dan keganasan
hematologi menyebabkan sejumlah gejala seperti kelelahan, anorexia, penurunan berat

badan, demam, dan muntah. Sehingga nyeri kanker memiliki dampak yang besar

terhadap kualitas hidup pasien dan merupakan gejala yang penting untuk dikurangi.

Pengalaman nyeri mengakibatkan penderitaan pada pasien karena akan mengakibatkan

depresi, ansietas, kesedihan, dan keputusasaan.

Hilangnya perasaan diri karena perubahan peran sosial, penampilan fisik dan fungsi

dapat menyebabkan patah semangat, yang pada nantinya memperparah nyeri. Pikiran

tentang finansial atau kekuatiran mengenai masa depan keluarga mungkin butuh

dipikirkan. Spiritualitas, pencarian makna, dan ketakutan yang tidak diketahui biasa

terjadi karena diagnosis kanker sering menyebabkan perasaan mendalam mengenai

kematian seseorang. Pengalaman masa lalu tentang sakit, dan nyeri juga dapat

berpengaruh pada pemahaman pasien saat ini tentang nyeri. Pengaruh psikososial ini

spesifik pada tiap individu sehingga dibutuhkan pendekatan tim . Keikutsertaan pekerja

sosial, tokoh agama, perawat, terapis, dan relawan mungkin membantu meyakinkan

bahwa manajemen nyeri tidak mencoba mengisolasi tapi merupakan bagian dari

pendekatan yang holistik. Kebaikan, kasih sayang, dan konsistensi memainkan peran

utama dalam penanganan nyeri kanker.

Pengenalan adanya depresi sangat penting, sekitar satu dari empat pasien kanker

memiliki gejala depresi. Depresi ini sering tidak disadari tetapi jika dilakukan pengobatan

biasanya efektif dan dapat berpengaruh positif pada manajemen nyeri kanker. Nyeri yang

tidak bisa dikontrol atau nyeri yang bertambah mengindikasikan penyakit berjalan

progresif. Hiburan, dukungan, memberi pemahaman dengan empati juga dilakukan untuk

manajemen nyeri serta menyediakan melakukan kontrol terhadap nyeri jika


memungkinkan (melalui rencana perawatan yang maju) semua adalah strategi yang

direkomendasikan untuk membesarkan harapan pada pasien kanker.

Ayat yang berhubungan:


Q.S. Asy-Syu’ara’/26:80

Terjemahan: “Dan apabila aku (Ibraham) sakit, dialah yang menyembuhkan aku”.

Penjelasan: Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang Nabi Ibrahim yang

memiliki keyakinan bahwa ketika suatu saat beliau merasakan sakit, maka hanya

satu-satu dzat yang beliau yakini bisa menyembuhkan , Dzat itu adalah Allah SWT.

a. Terapi Farmakologi

Penanganan nyeri kanker ringan (langkah 1)

Nyeri kanker ringan (1-4 pada NRS) ditangani dengan analgesia non opioid, seperti

paracetamol/asetaminofen, dan atau NSAID. Agen ini utamanya bermanfaat untuk nyeri

pada tulang atau jaringan lunak. Tidak ada bukti yang menunjukkan salah satu agen lebih

efektif dibanding yang lainnya, dan jika agen ini menyebabkan efek samping yang

menyulitkan, mengganti dengan analgesia non opioid lainnya mungkin efektif.

Dosis parasetamol mungkin perlu dikurangi, atau dihindari, pada mereka dengan

disfungsi hepar yang signifikan karena metastasis atau kemoterapi, khususnya jika

terdapat riwayat penyalahgunaan alkohol.

Toksisitas gaster karena NSAID dapat dikurangi dengan menggunakan dalam yang

singkat, atau lebih memilih selektif cyclooxygenase-2 (COX-2) atau disertai dengan

pemberian proton pump inhibitor atau misoprostol.36 Trombositopenia atau disfungsi


platelet, biasanya disebabkan oleh kanker dan pengobatannya, merupakan kontraindikasi

penggunaan NSAID, tetapi tidak dengan agen selektif COX-2.22 Terdapat bukti bahwa

melanjutkan penggunaan NSAID tetap bermanfaat bahkan ketika analgesik yang lebih

kuat ditambahkan .

Penanganan Nyeri Kanker Moderat (langkah 2)

Opioid lemah disarankan jika nyeri tidak dapat dikontrol dengan langkah 1. Pada

prakteknya, hal ini merujuk pada sejumlah opioid potensial rendah (misalnya kodein,

dihidrokodein, dan dekstropropooxifen) atau obat yang dengan aksi campuran misalnya

tramadol. Terdapat beberapa pertentangan tentang nilai pendekatan ini karena beberapa

alasan:

1) Kurangnya bukti bahwa penambahan opioid lemah pada non opioid lebih baik

dibanding non opioid sendiri.

2) Klasifikasi tak berdasar pada opioid ‘lemah’ dan ‘kuat’ tanpa dasar farmakodinamik

3) Batas efek (ceiling efek) dari beberapa obat pada kategori ini dan

4) Usulan bahwa penggunaan awal morfin dosis rendah atau opioid kuat lainnya lebih

disarankan.

Tramadol adalah analgesik kerja sentral dengan kandungan opioid dan

monoaminergik. Tersedia luas di seluruh dunia dan memiliki beberapa efek spesifik,

yang membuatnya menjadi pilihan yang paling bermanfaat sebagai obat pilihan langkah

2. Tramadol memiliki bioavailabilitas yang baik, dengan efektivitas yang terbukti pada

nyeri berat dan utamanya efektif pada nyeri neuropatik. Dosis standar adalah 50-400 mg

per hari dosis terbagi. Preparat kerja lambat tersedia. Profil efek samping sama dengan
opioid lainnya meskipun insiden kontipasi rendah. Sindrom serotonin merupakan

kontraindikasi penggunaannya pada pasien pengkonsumsi monoamin oksidase inhibitor.

Kodein juga biasanya digunakan tetapi memiliki kekurangan, sehingga bukan

merupakan pilihan. Karena kodein bukan analgesik, tetapi hanya prodrug morfin,

bergantung pada metabolisme oleh sitokrom P450 2D6, yang bergantung pada

polimorfisme genetik enzim ini juga memiliki bioavaibilitas oral yang bervariasi dan

menyebabkan konstipasi yang signifikan.

Ketika langkah 2 tidak cukup, direkomendasikan untuk berganti pada langkah 3

dibanding mengkombinasikan obat pada langkah yang sama.

Penanganan Nyeri Kanker Berat (langkah 3)

Opioid kuat yang paling sering digunakan pada langkah 3 adalah morfin, oksikodon,

hidromorfin, methadon, fentanil dan buprenorfin. Pethidin (meperidin) tidak

direkomendasikan untuk penggunaan yang lama karena menyebabkan akumulasi

metabolit toksik, yang menyebabkan gelisah, tremor, mioklonus, dan kejang.21 Juga

terdapat bukti yang terbatas mengenai pengggunaan diamorfin (heroin), tapentadol,

dekstromoramid, dan levorpanol pada manajemen nyeri kanker.

Terdapat sejumlah ketakutan mengenai opioid kuat antara lain kekuatiran tentang

ketergantungan, sedasi berlebihan, dan depresi pernapasan dimana semua ini ternyata

tidak ditemukan . Opioid kuat dapat dimulai kapan pun pada pasien kanker, dilanjutkan

dengan aman, dapat ditingkatkan jika dibutuhkan, dikurangi atau dihentikan jika nyeri

membaik. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan opioid berdampak

negatif pada kelangsungan hidup pasien kanker.


Morfin telah menjadi opioid standar, pilihan pertama untuk nyeri kanker sedang

hingga berat. Beberapa tahun terakhir disadari bahwa opioid yang tepat adalah yang

bekerja baik pada pasien, memberikan hasil yang baik, dan penggunaannya dimengerti

oleh yang memberi resep. Terdapat beberapa data menunjukkan perbedaan penting

morfin, oksikodon, dan hidromorfin, ketika diberikan secara oral, dan untuk itu semua

obat ini dapat digunakan sebagai pilihan pertama pada langkah 3.

Morfin tersedia dalam sejumlah formula oral (termasuk kerja cepat berbentuk cairan

dan tablet, tablet lepas lambat dan kapsul, dan suspensi lepas lambat) dan juga dapat

diberikan secara parenteral dan rektal. Tidak terdapat batas efek (ceiling effect) yang

relevan dan dosis dapat bervariasi hingga 1000 kali lipat untuk menghilangkan nyeri.

Metabolit aktif dapat terakumulasi pada keadaan gagal ginjal dan dapat menyebabkan

toksisitas.

Oksikodon adalah opioid sintetis juga tersedia dalam sejumlah formula oral dan

injeksi. Mungkin bermanfaat utamanya pada nyeri neuropatik dengan jumlah yang

dibutuhkan untuk mengobati (NNT) 2,5 yang sama dengan antidepresan trisiklik dan

pada nyeri viseral. Tidak terdapat metabolit yang signifikan sehingga bermanfaat pada

disfungsi, kurang menyebabkan halusinasi dan pruritus dibanding morfin.

Hidromorfon adalah opioid semi sintetis yang lebih poten 3-5 kali dari morfin,

menjadikannya bermanfaat ketika jumlah sedikit dibutuhkan untuk infus subkutan. Juga

tersedia dalam formula oral dan injeksi. Potensial metabolit neurotoksik dapat

terakumulasi dengan penggunaan yang lama dosis tinggi pada disfungsi renal tapi

metabolit ini dapat didialisis, untuk itu hidromorfon dapat digunakan pada pasien yang

menjalani hemodialisa.
Methadon juga bermanfaat pada nyeri kanker karena merupakan reseptor antagonis

d-aspartat (NMDA), sehingga dapat digunakan jika nyeri neuropatik sangat menonjol.

Kekurangan utamanya adalah stigma yang menghubungkannya dengan penyalahgunaan

obat, kurangnya pedoman tentang dosis juga waktu paruh yang panjang dan sulit

diprediksi, (7-14 hari) sebelum mencapai steady state. Terdapat resiko akumulasi dan

toksisitas. Methadon dapat dipertimbangan oleh praktisi yang berpengalaman, ketika

rotasi opioid diperlukan.

Fentanyl transdermal adalah alternatif yang efektif dibanding opioid oral lepas

lambat. Level obat sistemik mungkin lebih rendah pada pasien dengan kaheksia sehingga

mengurangi efektivitasnya, dan tidak direkomendasikan kecuali jika kebutuhan opioid

relatif stabil. Ini lebih dipertimbangkan pada banyak pasien dan mungkin menyebabkan

konstipasi yang lebih sedikit.

Buprenorfin adalah campuran antara antagonis opioid–agonis dan juga tersedia

dalam preparat tansdermal. Tampaknya lebih aman dibanding opioid dalam hal depresi

pernapasan dan supresi imun, menyebabkan lebih sedikit konstipasi dan tidak terjadi

akumulasi dalam keadaan gagal ginjal. Saat ini tidak digunakan jika dosis opioid yang

lebih tinggi dibutuhkan atau jika pasien telah mengalami toleransi terhadap opioid kuat.

Memulai Opioid Kuat

Titrasi dari dosis awal dibutuhkan untuk pasien yang baru menggunakan opioid kuat.

Metode paling sederhana adalah dengan memberikan dosis oral opioid kerja cepat

(morfin 5 mg/oksikodon 5 mg/hidromorfin 1 mg) setiap 4 jam, dengan dosis yang sama

untuk breakthrough pain. Dosis ‘rescue’ dapat diberikan setiap jam ketika dibutuhkan,

sehingga dosis total harian yang diperlukan untuk mengontrol nyeri dapat dihitung. Jika
kontrol nyeri tidak adekuat, dosis setiap 4 jam harus ditingkatkan (misalnya hingga

50%). Dosis dua kali lipat saat waktu tidur biasanya memungkinkan tidur malam yang

baik.

Ketika kebutuhan 24 jam sudah stabil, dosis obat dapat dikonversi ke formulasi oral

lepas lambat (diberikan setiap 12 sampai 24 jam tergantung formulasi) atau opioid patch

kuat yang ekuivalen.

Efek Samping dari Opioid

Efek samping klasik dari opioid terdapat pada tabel 1

Mual dan muntah adalah efek samping yang umum, dialami hingga dua pertiga

pasien selama terapi awal opioid, meskipun biasanya mereda dengan cepat karena

perkembangan toleransi yang cepat. Ini ditangani dengan memberikan antiemetik selama

beberapa hari pertama pada awal terapi opioid (metoklopramid atau haloperidol), tapi jika

masalah ini tetap muncul, rotasi opioid atau mengubah jalur pemberian harus dilakukan.

Rasa kantuk yang ringan juga biasa terjadi ketika opioid kuat dimulai atau dosisnya

ditingkatkan, tapi biasanya menghilang dalam beberapa hari dan pasien dapat

melanjutkan aktivitas normalnya termasuk pekerjaan manual, merawat anak, dan

mengemudi. Jika rasa kantuk terus berlangsung, rotasi opioid dapat dipertimbangkan dan

terdapat beberapa bukti untuk menambahkan psikostimulan (misalnya metilfenidat).

Konstipasi adalah efek samping yang paling sering terjadi dari pengobatan yang lama,

dan terapi laksatif (produk berbasis magnesium atau bisacodyl) perlu dilanjutkan

bersama opioid dan ini sangat ditekankan.16 Methylnaltrekson subkutan dan nalokson

oral (dikombinasi dengan oksikodon lepas lambat) telah terbukti efektif dan aman pada
konstipasi akibat opioid. Kedua agen ini tidak mempengaruhi efek anlgesia atau efek

samping sistem saraf pusat.

Efek samping opioid

Sering Kadang-kadang Jarang

Mual Halusinasi Depresi pernapasan

Muntah Perubahan mood Delirium

Konstipasi Anxietas Kejang

Sedasi Pruritus Hiperalgesia

Mengantuk Mioklonus Allodinia

Gangguan kognitif Rigiditas Spasme biliaris

Miosis Mulut kering Edema pulmonal non kardiogenik

Penekanan batuk Stasis gaster Toleransi

Retensi urin Bronkokonstriksi Ketergantungan fisik

Adiksi

Manajemen Nyeri “breakthrough”

Ketika pasien telah stabil dengan preparat kerja lambat, dia akan berlanjut

membutuhkan akses obat kerja cepat, opioid kerja singkat untuk mengatasi nyeri

breakthrough. Biasanya merupakan obat yang sama dengan preparat kerja lambat,

diberikan sebagai preparat kerja cepat dengan dosis sekitar seperenam dari dosis harian

atau formulasi kerja singkat yang tersedia dalam patch. Preparat fentanil transmukosa

atau intranasal adalah opsi lain dalam pengobatan ini, karena onset cepat dan durasi yang

singkat yang paling tersedia adalah tablet fentanyl oral transmukosa.


Rotasi Opioid

Rotasi opioid adalah penggantian opioid yang satu ke yang lainnya dengan dosis

yang ekuivalen karena terapi nyeri tidak adekuat dan atau toksisitas yang tidak dapat

diterima meskipun telah dititrasi dan telah mendapat perhatian dalam mengontrol efek

samping. Dasar teori praktek ini antara lain perbedaan reseptor individu, toleransi silang

yang inkomplit, variasi farmakokinetik dan metabolit aktif dari opioid yang berbeda.

Kesuksesan rotasi yang dilaporkan bervariasi dari 40% hingga 80%. Tabel 2

mencantumkan data analgesik ekuipoten dari opioid oral yang umum, meskipun

direkomendasikan bahwa opioid baru dimulai pada dosis 25% lebih rendah dari yang

dikalkulasikan beberapa tabel.

Opioid Subkutan

Jika pasien membutuhkan opioid parenteral, jalur yang lebih baik adalah melalui

infus kontinyu subkutan menggunakan syringe portable, yang dioperasikan dengan

baterai. Untuk mengkonversi morfin oral ke dosis subkutan yang ekuivalen, jumlah

keseluruhan harus dibagi tiga untuk opioid lain, data bioavailabilitas oral perlu

dipertimbangkan dan referensi yang sesuai dikonsultasikan.

Adjuvan pada Nyeri Neuropatik

Penanganan nyeri neuropatik pada penyakit kanker agaknya membutuhkan

tambahan obat (juga disebut ko-analgesik) pada opioid. Obat lini pertama dalam hal ini

adalah antidepresan trisiklik (amitriptilin 10–100 mg per hari day-1), antidepresan

serotonin–noradrenalin reuptake inhibitor (SNRI) (misalnya venlafaxine 37.5–75 mg bd,

duloxetine 30–60 mg daily) dan antikonvulsan (pregabalin hingga 600 mg day-1 dalam

dosis terbagi, gabapentin hingga 3600 mg day-1 dalam dosis terbagi dan klonazepam
0.5–1 mg tds). Jumlah yang dibutuhkan untuk pengobatan (NNT) untuk obat adjuvan

adalah 3–5 sehingga toksisitas obat dapat dibatasi. Keputusan tentang adjuvan mana yang

digunakan paling baik diputuskan dengan memperhatikan presentasi keseluruhan pasien.

Sebagai contoh, duloxetine mungkin pilihan terbaik pada pasien dengan depresi mayor,

dimana amitriptilin mungkin bermanfaat digunakan pada pasien yang mengalami

insomnia. Penggunaan bersama duloxetine atau sitokrom P450 2D6 inhibitor dengan

tamoksiven (pengobatan hormonal yang umum pada kanker payudara) mengurangi

bioavaibilitas tamoksifen dan mungkin mengurangi angka ketahanan hidup.

Tabel 1

Dosis Ekuianalgesik

Opioid Dosis ekuianalgesik oral dibandingkan dengan morfin oral

10 mg

Morfin 10 mg

Kodein 90 mg

Dihidrokodein 60 mg

Tramadol 50 mg

Pethidin 100 mg

Nalbuphin 10 mg

Oksikodon 7,5 mg

Levorphanol 2 mg

Hidromorfon 2 mg

Butorphanol 2 mg

Oksimorfon 1,5 mg
Metadon 1 mg

Bupremorfin 0,3 mg

Kortikosteroid

Steroid utamanya digunakan pada sindrom nyeri kanker berat antara lain nyeri karena

distensi viseral akibat tumor (nyeri penegangan kapsula hepar), meningkatnya tekanan

intrakranial, kompresi medulla spinalis, obstruksi usus maligna, nyeri tulang dan jepitan

saraf. Juga digunakan untuk menstimulasi nafsu makan pada pasien kanker dan sebagai

bagian dari regimen antikanker Deksametason memiliki efek mineralokortikoid paling

sedikit, dan dosis standar bervariasi dari 4 hingga 16 mg diberikan satu kali per hari,

baiknya pada pagi hari.

Bifosfonat dan Denosumab

Bifosfonat adalah sejumlah obat yang menghambat resorpsi tulang akibat osteoklas

pada penyakit metastasis tulang dan multipel mieloma. Dua agen utama yang digunakan

pada onkologi adalah pamidronat dan zolendronat, keduanya diberikan melalui intravena

setiap 4 pekan. Ini mengurangi komplikasi skeletal seperti fraktur patologis dan

merupakan terapi yang efektif untuk hiperkalsemia karena keganasan Dapat

menyebabkan osteonekrosis khususnya pada mereka dengan pertumbuhan gigi yang

buruk atau operasi gigi. Pengaruhnya pada nyeri tulang dirasakan masih sedikit dan bukti

perannya dalam situasi akut kurang kuat karena efek analgesik terjadi 2-4 minggu.

Denosumab adalah agen yang lebih baru – sebuah antibodi monoklonal diberikan

subkutan setiap 4 pekan, mencegah inti ligand factor kappa-B (aktivator reseptor NF-

kappa B, RANK), mengurangi kehilangan tulang pada pasien dengan metastasis tulang
dari tumor padat. Bukti saat ini menyarankannya karena sama efektifnya dengan

zolendronat dalam mengobati nyeri tulang.

b. Terapi Nonfarmakologi

1) Masase dan Stimulasi Kutaneus


Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum. Sering dipusatkan pada
punggung dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman (Smeltzer &
Bare, 2002). Sedangkan stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan
selama 3-10 menit untuk menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara melepaskan
endofrin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri (Potter & Perry, 2006).
Salah satu teknik memberikan masase adalah tindakan masase punggung
dengan usapan yang perlahan (Slow stroke back massage). Stimulasi kulit
menyebabkan pelepasan endorphin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri.
2) Efflurage Massage
Effleurage adalah bentuk masase dengan menggunakan telapak tangan yang
memberi tekanan lembut ke atas permukaan tubuh dengan arah sirkular secara
berulang (Reeder dalam Parulian, 2014). Langkah-langkah melakukan teknik ini
adalah kedua telapak tangan melakukan usapan ringan, tegas dan konstan
dengan pola gerakan melingkari abdomen, dimulai dari abdomen bagian bawah
di atas simphisis pubis, arahkan ke samping perut, terus ke fundus uteri
kemudian turun ke umbilicus dan kembali ke perut bagian bawah diatas
simphisis pubis, bentuk pola gerakannya seperti “kupu-kupu”. Masase ini
dilakukan selama 3–5 menit dan berikan lotion atau minyak/baby oil
tambahan jika dibutuhkan (Berman, Snyder, Kozier, dan Erb, 2009).
Effleurage merupakan teknik masase yang aman, mudah untuk dilakukan, tidak
memerlukan banyak alat, tidak memerlukan biaya, tidak memiliki efek
samping dan dapat dilakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain
(Ekowati, 2011).
3) Distraksi
Distraksi yang memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri
dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme
terhadap teknik kognitif efektif lainnya. Distraksi diduga dapat menurunkan
persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, yang
mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak (Smeltzer
and Bare, 2002).
4) Terapi Musik
Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan
rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, bentuk dan gaya yang
diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat untuk
kesehatan fisik dan mental (Eka, 2011). Perawat dapat menggunakan musik
dengan kreatif di berbagai situasi klinik, pasien umumnya lebih menyukai
melakukan suatu kegiatan memainkan alat musik, menyanyikan lagu atau
mendengarkan musik. Musik yang sejak awal sesuai dengan suasana hati
individu, merupakan pilihan yang paling baik (Elsevier dalam Karendehi,
2015).
5) Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien
bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat menghembuskan nafas
secara perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi
bernafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan
oksigenasi darah. Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri
dengan meminimalkan aktivitas simpatik dalam system saraf otonom (Fitriani,
2013). Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan
nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam
hati dan lambat bersama setiap inhalasi (hirup) dan ekhalasi (hembus) (Smeltzer
& Bare, 2002).
6) Imajinasi Terbimbing (Guided Imagery)
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu
cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Sebagai
contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri
atas penggabungan nafas berirama lambat dengan suatu bayangan mental
relaksasi dan kenyamanan (Smeltzer & Bare, 2002). Prosedurnya yaitu ciptakan
lingkungan yang tenang, jaga privasi pasien, usahakan tangan dan kaki pasien
dalam keadaan rileks, minta pasien untuk memejamkan mata dan usahakan
agar pasien berkonsentrasi, minta pasien menarik nafas melalui hidung secara
perlahan-lahan sambil menghitung dalam hati “hirup, dua, tiga”, selama pasien
memejamkan mata kemudian minta pasien untuk membayangkan hal-hal yang
menyenangkan atau keindahan, minta pasien untuk menghembuskan udara
melalui mulut dan membuka mata secara perlahan-lahan sambil menghitung
dalam hati “hembuskan, dua, tiga”, minta pasien untuk mengulangi lagi sama
seperti prosedur sebelumnya sebanyak tiga kali selama lima menit (Patasik,
Tangka & Rottie, 2013).
7) Kompres Dingin
Metode sederhana yang dapat di gunakan untuk mengurangi nyeri yang secara
alamiah yaitu dengan memberikan kompres dingin pada area nyeri, ini merupakan
alternatif pilihan yang alamiah dan sederhana yang dengan cepat mengurangi rasa
nyeri selain dengan memakai obat-obatan. Terapi dingin menimbulkan efek
analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri
yang mencapai otak lebih sedikit (Price, Sylvia & Anderson dalam Rahmawati,
2014).
8) Kompres Hangat
Kompres hangat adalah suatu metode dalam penggunaan suhu hangat
yang dapat menimbulkan efek fisiologis (Anugraheni, 2013). Kompres hangat
dapat digunakan pada pengobatan nyeri dan merelaksasikan otot-otot yang tegang
(Price, Sylvia & Wilson, 2005). Kompres hangat dilakukan dengan
mempergunakan buli-buli panas atau kantong air panas secara konduksi
dimana terjadi pemindahan panas dari buli-buli ke dalam tubuh sehingga akan
menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi penurunan
ketegangan otot sehingga nyeri yang dirasakan akan berkurang atau hilang
(Smalzer & Bare, 2002).
9) Dzikir Khafi
Secara etimologi dzikir berasal dari bahasa arab “zakara” yang berarti
menyebut atau mengingat-ingat. Secara istilah dzikir berarti membasahi lidah
dengan ucapan-ucapann pujian kepada Allah SWT (Khoirul & Reza dalam
Jauhari, 2014). Dzikir khafi merupakan dzikir didalam qalbu yang merupakan
penggerak emosi perasaan, dzikir ini muncul melalui rasa, yaitu rasa tentang
penzahiran keaguangan dan keindahan Allah SWT (Jailani dalam Hidayat, 2014).
Bentuk-bentuk dzikir yang bersumber dari Al-Qur’an:
a) Asma Allah (Allahu)
b) Tasbih (Sbhanallah)
c) Takbir (Allahu akbar)
d) Tahlil (La ilaha illa Allah)
e) Basmalah ( Bismillahirohmannirrohim)
f) Istiqhfar (Astaghfirullah)
g) Hawqalah (La hawla wala quwwata illa billah)
h) Tahmid (Al-hamdulillah)
10) Terapi Al-Qur’an
Al-Quran berfungsi sebagai sistem perbaikan (service system) baik yang
bersifat fisik maupun psikis, yang dikenal sebagai syifa’ yang berarti obat,
penyembuh, dan penawar (Mirza, 2014). Salah satu terapi spiritual yang biasa
dilakukan adalah dengan mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al Quran atau
disebut dengan istilah murrotal. Lantunan ayat suci Al Quran mampu memberikan
efek relaksasi karena dapat mengaktifkan hormone endorfin, meningkatkan
perasaan rileks, mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas, dan tegang,
memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah, dan
memperlambat pernapasan (Sumaryani & Sari, 2015).
Terapi yang Paling Efektif dalam Meminimalkan Nyeri pada Penderita
Kanker Berdasarkan Beberapa Penelitian Ahli yaitu:
Teknik Relaksasi
Teknik relaksasi dapat menurunkan ketegangan fisiologis sehingga dapat
menurunukan nyeri yaitu terapi murottal. Terapi murottal adalah rekaman suara
Al-Qur‟an yang dilantunkan oleh seorang qori (pembaca Al-Qur‟an). Suara pada
murottal dapat menurunkan kadar hormon-hormon stres, mengaktifkan hormon
endorfin alami, meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian dari
rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga
menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernapasan, detak jantung,
denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak. Keadaan rileks tersebut mampu
mendistraksi nyeri sehingga nyeri yang dirasakan berkurang (Siswantinah, 2011).
Selain menurunkan ketegangan fisiologis, terapi murottal juga dapat
mempengaruhi kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan
kecerdasan spiritual (SQ) (Hady, Wahyuni, & Purwaningsih, 2012). Seseorang
dengan spiritulitas tinggi, sakit dan penderitaan yang dialaminya tidak dirasakan
sebagai beban karena mereka mampu melupakan penderitaanya dan mengarahkan
pikiran dan perhatiannya pada hal positif (Cahyono, 2011). Pikiran positif dapat
berpengaruh pada fisik dan kondisi kesehatan. Pasien yang berpikiran positif
selama sakitnya, mampu mengubah respon emosional sehingga rasa sakit yang
dideritanya dapat berkurang hingga 60% (Elfiky, 2009).
Terapi murottal bisa dilakukan selama 25 menit ataupun 15 menit. Hal tersebut
mengacu pada penelitian Wahida, Nooryanto, dan Andarini (2015), bahwa terapi
murottal surat Ar Rahman yang dilakukan selama 25 menit efektif menurunkan
nyeri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Salah satu keluhan yang dihadapi oleh penderita kanker adalah nyeri. Jadi,
diperlukan suatu manajemen untuk meminimalkan keluhan tersebut. Manajemen Nyeri
kanker itu sendiri adalah pengelolaan menyeluruh untuk mengatasi nyeri kanker.
Penanganan nyeri kanker terdiri dari terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.
Terapi farmakologis terdiri dari penanganan nyeri kanker ringan (analgesia non opioid),
moderat (opioid potensial rendah misalnya kodein, dihidrokodein, dan
dekstropropooxifen atau obat yang dengan aksi campuran misalnya tramadol.), sampai
penanganan nyeri kanker berat (morfin, oksikodon, hidromorfin, methadon, fentanil dan
buprenorfin). Sedangkan terapi non farmakologis terdiri dari masase dan Stimulasi
Kutaneus, Efflurage Massage, Distraksi, Terapi musik, Relaksasi nafas dalam, Imajinasi
terbimbing, Kompres hangat, Kompres dingin, Dzikir kahfi, Terapi Al-Qur’an.
B. Saran
Diharapkan kepada tenaga medis khususnya perawat untuk mengoptimalkan penerapan
manajemen nyeri pada penderita kanker guna untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim
Farid, Aziz., Witjaksono, Julianto & Rasjidi, Imam. 2008. “Panduan Pelayanan Medik:
Model Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviksdengan Gangguan
Ginjal”. Jakarta: EGC
Mulyani, N., Purnawan, Iwan., & Upoyo, Arif. (2019). “Perbedaan Pengaruh Terapi
Murottal Selama 15 Menit dan 25 Menit terhadap Penurunan Skala Nyeri pada
Pasien Kanker Pasca Bedah”. 2019, Vol.1 No.1
Andreas, Endarto., Ismonah & Wulandari. (2018). “Perbedaan Intensitas Nyeri pada
Pasien Kanker Sebelum dan Sesudah Pemberian Terapi Musik Klasik di Rumah
Sakit Telogorejo Semarang”

Anda mungkin juga menyukai