Oleh
Kelompok I :
Fitraeni Kusumah
Nurhidayat Akbar
Dengan segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat
serta hidayah-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan laporan observasi dengan judul
Cerebral Palsy Spastik Diplegi dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah KDPK I.
Dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat banyak kekurangan mengingat
keterbatasan kemampuan kami. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca sebagai masukan bagi kami.
Akhir kata kami berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya
dan kami sebagai penulis pada khususnya. Atas segala perhatiannya kami mengucapkan
banyak terima kasih.
Kelompok I
BAB I
PENDAHULUAN
I. Teori umum
a. Latar belakang
Spastisitas merupakan permasalahan yang umum dijumpai pada kasus Cerebral Palsy.
Salah satu bentuk dari spastisitas yang paling banyak ditemui ialah spastik diplegia,
dimana terdapat peningkatan tonus otot ektremitas bawah yang berpengaruh terhadap
kontrol gerak, postur tubuh, keseimbangan dan koordinasi gerak. Fisioterapi memiliki
peranan penting dalam membantu perbaikan postur, mobilisasi sendi, kontrol gerak
sehingga anak dapat secara mandiri melakukan aktifitas fungsionalnya. Terapi musik
yang mempunyai efek relaksasi diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap
penurunan spastisitas, sehingga terapi latihan yang diberikan pada anak cerebral palsy
akan mendapatkan hasil yang lebih optimal.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu: populasi yang
diambil, cara diagnosis dan ketelitian nya. Misalnya insidensi cerebral palsy di Eropa
(1950) sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Skandinavia sebanyak
1,2 – 1,5 per 1000 kelahiran hidup. Gilroy memperoleh 5 dan 1000 anak
memperlihatkan defisit motorik yang sesuai dengan cerebral palsy; 50% kasus
termasuk ringan sedangkan 10% termasuk berat. Yang dimaksud ringan ialah
penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat ialah
penderita yang memerlukan perawatan khusus; 25% mempunyai intelegensi rata-rata
(normal), sedangkan 30% kasus menunjukkan IQ di bawah 70; 35% disertai kejang,
sedangkan 50% menunjukkan adanya gangguan bicara. Laki-laki lebih banyak
daripada wanita (1,4:1,0). Insiden relatif cerebral palsy yang digolongkan
berdasarkan keluhan motorik adalah sebagai berikut: spastik 65%, atetosis 25%, dan
rigid, tremor, ataktik I0%.
Prevalensi CP secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000 kelahiran hidup dengan
insidensi meningkat pada kelahiran prematur. Di negara maju, prevalensi CP
dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara
berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Hingga saat ini,
belum tersedia data akurat perihal jumlah penderita CP di Indonesia, diperkirakan
terdapat sekitar 1-5 kasus per 1.000 kelahiran hidup.
Sekitar 50% dari mereka meninggal sebelum mencapai usia 20 tahun. Kematian
tersebut biasanya akibat komplikasi sekunder yang terkait dengan disfungsi
neurologis primer. Penyakit dan kematian dini paling sering terjadi karena gangguan
pernafasan dan infeksi pada paru-paru.
b. Keadaan pasien : pasien cenderung fleksi pada elbow bagian dekstra dan jari-jari
sedikit fleksi serta head control belum bagus.
c. Tujuan observasi :
Cerebral palsy atau disingkat dengan CP adalah sekelompok gangguan gerak atau
postur yang disebabkan oleh lesi yang tidak progresif yang menyerang otak yang
sedang berkembang (immatur). Lesi yang terjadi sifatnya menetap selama hidup,
tetapi perubahan gejala bisa terjadi sebagai akibat proses pertumbuhan dan maturasi
otak. Kerusakan jaringan saraf yang tidak progresif pada saat prenatal dan sampai 2
tahun post natal termasuk dalam kelompok CP.
Cerebral palsy bukanlah termasuk penyakit secara tersendiri, tetapi istilah yang
diberikan untuk sekelompok gejala motorik yang bervariasi akibat lesi otak yang
tidak progresif. Gejala motorik merupakan gejala yang menonjol dan memberikan
pola gerakan abnormal tertentu. Meskipun diagnosis terutama ditentukan
berdasarkan kelainan motorik, gejala lain bisa menyertai penderita CP sesuai dengan
daerah kerusakan otak yang terjadi.
Etiologi
Patofisiologi
Gambaran patologi Cerebral palsy bersifat komplek, area yang bisa terkena adalah
kortek motorik, regio periventrikuler, ganglia basalis, batang otak dan serebelum.
Anak yang menderita cacat berat cenderung mengalami atrofi yang luas, termasuk di
area subkortikal, ganglia basalis, hemisferium serebri atau forensefali. Pada keadaan
yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemia yang menyeluruh.
Pada keadaan yang lebih ringan terjadi nekrosis didaerah periventrikel substansia
alba dan terjadi atrofi yang difus pada substansia kortek serebri. Kelainan tersebut
dapat fokal atau menyeluruh tergantung tempat yang terkena. Pada CP yang ringan
kadang-kadang jaringan otak tampak normal tetapi dengan berat otak yang
berkurang. Tidak didapatkannya area yang abnormal membuat dukungan pada
dugaan bahwa sebagian CP mengalami abnormalitas gangguan perkembangan pada
tingkatan mikroskopis.
Klasifikasi CP
1. Spastik
Spastik berarti kekakuan pada otot. Hal ini terjadi ketika kerusakan otak terjadi pada
bagian korteks cerebral atau pada traktus piramidalis. Tipe ini merupakan tipe CP
yang paling sering ditemukan yaitu sekitar 70 – 80 % dari penderita. Pada penderita
tipe spastik terjadi peningkatan tonus otot (hipertonus), hiperefleks dan keterbatasan
ROM sendi akibat adanya kekakuan. Selain itu juga dapat mempengaruhi lidah,
mulut dan faring sehingga menyebabkan gangguan berbicara, makan, bernapas dan
menelan. Jika terus dibiarkan pederita CP dapat mengalami dislokasi hip, skoliosis
dan deformitas anggota badan.
Tipe spastik dapat diklasifikasikan berdasarkan topografinya, yaitu :
a. Monoplegia
Pada monoplegia, hanya satu ekstremitas saja yang mengalami spastik. Umumnya
hal ini terjadi pada lengan / ekstremitas atas.
b. Diplegia
Spastik diplegia atau uncomplicated diplegia pada prematuritas. Hal ini disebabkan
oleh spastik yang menyerang traktus kortikospinal bilateral atau lengan pada kedua
sisi tubuh saja. Sedangkan sistem–sistem lain normal.
Pada tipe diplegi sering terjadi pada bayi lahir prematur, pada bayi aterm
penyebabnya lebih komplek, pada 28% kasus tidak dapat diidentifikasi. Ekstremitas
atas mempunyai gangguan yang lebih ringan, gangguan lebih berat terjadi pada
ekstremitas bawah. Gangguan kognitif didapatkan pada sekitar 30% pada tipe ini.
Kelainan mata, 50% berupa strabismus dan gangguan visus sekitar 63%. Epilepsi
terjadi pada 20-25% kasus. Pemeriksaan MRI didapatkan adanya leukomalasia
periventrikuler atau post hemoragik forensefali.
c. Hemiplegia
Spastis yang melibatkan traktus kortikospinal unilateral yang biasanya menyerang
ekstremitas atas/lengan atau menyerang lengan pada salah satu sisi tubuh.
Tipe hemiplegi spastik mengenai ektremitas satu sisi tubuh, dengan tangan biasanya
lebih berat dari kaki. Sebesar 70-90% kasus terjadi secara kongenital dan 10-30%
bawaan dapat terjadi akibat vaskuler, inflamasi atau trauma. Bila terjadi pada bayi
prematur akibat adanya asimetri leukomalasia periventrikuler. Bisa terjadi kelainan
nervus kranialis, biasanya N.VII. Kelainan visual terjadi pada 25% pada tipe ini,
termasuk hemianopsia homonim dan strabismus konvergen. Kelainan kognitif pada
28% kasus, epilepsi relatif lebih sering pada 23% kasus.
d. Triplegia
Spastik pada triplegia menyerang tiga buah ekstremitas. Umumnya menyerang
lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki pada salah salah satu sisi tubuh.
e. Quadriplegia
Spastis yang tidak hanya menyerang ekstremitas atas, tetapi juga ekstremitas bawah
dan juga terjadi keterbatasan pada tungkai.
Pada tipe kuadriplegi spastik kelainan terjadi pada keempat ekstremitas. Pada tipe ini
50% akibat faktor prenatal, 30% perinatal dan 20% postnatal. Lebih sering
didapatkan kesulitan menelan dan prosentase yang tinggi adanya gangguan kognitif.
Tingginya kejadian kelainan visual dan biasanya dengan derajat yang lebih berat.
Sekitar separuh mengalami epilepsi. Pada MRI anak lahir prematur didapatkan
gambaran leukomalasia periventrikuler, anak lahir aterm didapatkan berupa lesi
untuk tipe aterm seperti lesi parasagital. Multi kistik ensefalomalasia dan malformasi
lebih sering didapatkan pada tipe ini.
2. Diskinetik
Merupakan tipe CP dengan otot lengan, tungkai dan badan secara spontan bergerak
perlahan, menggeliat dan tak terkendali, tetapi bisa juga timbul gerakan yang kasar
dan mengejang. Luapan emosi menyebabkan keadaan semakin memburuk, gerakan
akan menghilang jika anak tidur. Tipe ini dapat ditemukan pada 10 – 15 % kasus
CP. Terdiri atas 2 tipe, yaitu :
a. Distonik
Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang–ulang sehingga menyebabkan gerakan
melilit atau meliuk-liuk dan postur yang abnormal
b. Atetosis
Menghasilkan gerakan tambahan yang tidak dapat dikontrol, khususnya pada lengan,
tangan dan kaki serta disekitar mulut.
Tipe diskinetik ditandai dengan pola gerakan ekstrapiramidal. Kelainan ini akibat
sekunder dari gangguan regulasi tonus, kontrol postural dan koordinasi. Tipe ini
dibagi lagi menjadi jenis khoreoathetosis, dan distonik. Tipe khoreoathetosis adanya
gerakan involunter yang kelihatan jelas dan umumnya yang dijumpai adalah
athetosis. Khorea terdapat dalam derajat yang bervariasi. Tremor, mioklonus dan
distonia juga mungkin tampak. Kombinasi gerakan khoreoathetosis menimbulkan
pola gerakan diekstremitas bawah yang hipertonus dan gerakan rotasi yang
menggeliat pada anggota badan. Dapat terjadi kesulitan dalam bicara dengan adanya
kecepatan dan volume suara yang meledak-ledak. Tipe distonik jarang ditemukan,
gerakan yang lambat dan lama, pada kepala dan leher yang tertarik kearah satu sisi.
Rangka badan bisa memutar keberbagai posisi hingga tampak aneh. Pada
pemeriksaan MRI didaerah thalamus dan putamen nampak hiperinten pada T2 pada
tipe athetoid. Hiperbilirubinemia menyebabkan kerusakan pada ganglia basalis
dengan manifestasi klinik tipe diskinetik.
3. Ataksia
Pada tipe ini terjadi kerusakan pada cerebellum sehingga mempengaruhi koordinasi
gerakan, keseimbangan dan gangguan postur . Tipe ini merupakan tipe CP yang
paling sedikit ditemukan yaitu sekitar 5 – 10 % dari penderita. Pada penderita tipe
ataxia terjadi penurunan tonus otot (hipotonus), tremor, cara berjalan yang lebar
akibat gangguan keseimbangan serta kontrol gerak motorik halus yang buruk karena
lemahnya koordinasi.
Pada tipe ataksik gejala yang menonjol berupa ataksia. Manifestasi awal berupa
hipotoni dan mulai timbul gejala ataksia sejak umur 2-3 tahun. Anak berjalan dengan
kaki melebar, sering ditemukan adanya nistagmus dan dismetri hipotoni. Tes
romberg positif dengan mata terbuka. Hal ini menunjukkan tanda adanya keterlibatan
fungsi serebelum.
4. Campuran
Merupakan tipe CP yang merupakan gabungan dari dua tipe CP. Gabungan yang
paling sering terjadi adalah antara spastic dan athetoid.
Manifestasi tipe campuran terdiri dari tipe spastik, ekstrapiramidal dan sering kali
ataksia didapatkan. Pasien dengan gejala kuadriplegi yang menonjol dapat ditemukan
khoreoathetosis derajat ringan. Sebaliknya pasien khoreoathetosis yang menonjol,
menunjukkan gejala-gejala upper motor neuron. Pola gangguan motorik sebagai
akibat dari sekuele yang luas didaerah otak terutama didaerah ganglia basalis dan
kortek. Spastik ataksik diplegi merupakan bentuk campuran yang sering didapatkan
dan berhubungan dengan hidrosefalus.
Tipe spastik sering didapatkan, mengenai sekitar 75% anak dengan CP, sedang 25%
terbagi pada tipe diskinetik dan campuran. Pada tipe spastik berdasarkan distribusi
topografi kelainan yang terjadi dibagi menjadi monoplegia, diplegia, triplegi,
kuadriplegi dan hemiplegi. Tipe monoplegi dan triplegi sangat jarang ditemukan.
4. Latihan duduk
a. Tujuan : untuk koreksi postur dan kontrol tangan
b. Pelaksanaan : anak dalam posisi duduk kemudian fisioterapis berada di belakang
pasien,dengan memfiksasi pada pelvic pasien. Posisi kedua tungkai abduksi dengan
posisi tungkai lurus (masih menggunakan splint),
5. Latihan keseimbangan
a. Tujuan : untuk melatih keseimbangan anak
b. Pelaksanaan : anak diposisikan duduk kemudian fisioterapis berada dibelakang
pasien, dan fisoterapis melatih kedua tangan pasien untuk lebih dapat menumpu berat
badan pasien.
6. Wedge
a. Tujuan : latihan control kepala, penguatanotto leher dan back muscle.
b. Teknik : anak diletakkan diatas sebuah alat yang mirip matras dengan posisi
tengkurap, kemudian tangan diletakkan didepan dengan kepala lebih tinggi dari
badan, kemudian fisioterapis meletakkan gambar-gambar atau sesuatu yang
menarik bagi anak didepannya.
BAB II
STATUS KLINIS
a) Assessment
1. Anamnesis umum :
Nama : An” A”
Umur : 6 tahun , usia kalender 6 th, namun usia tumbangnya 3,5 bulan
Pekerjaan : -
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : -
Agama : islam
2. Anamnesis khusus :
Keluhan utama : mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
Lokasi keluhan : -
Sifat keluhan : -
Kapan diketahui : diketahui ketika pada saat usia 7 bulan
Riwayat perjalanan penyakit : -
3. Inspeksi
Statis : Lengan kanan anak cenderung fleksi pada sisi elbow dan jari-jari tangan
sedikit fleksi, telapak kaki cenderung flat foot, anak sudah sedikit dapat duduk
dengan sedikit mampu menumpuh ke dua tangannnya, anak belum mampu
merangkak, berdiri dan berjalan, head control belum bagus.
Dinamis : -
4. Palpasi :
Tonus otot, kekuatan otot, spasme otot, adanya kontraktur dan atropy otot.
5. Auskultasi :
Pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop untuk mengetahui adanya kelainan
pada paru dan jantung.
b) Pemeriksaan
Pemeriksaan spesifik :
a. Vital sign
Pemeriksan vital sign meliputi :
(1) Tekanan Darah
Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter. Pengukuran tekanan darah
dilakukan sebelum, selam dan sesudah dilakukan intervenís fisioterapi. Jira pasien
anak-anak maka menggunakan manset anak-anak, jira pasien dewasa maka
menggunakan manset dewasa.
(2) Nadi
Pemeriksaan nadi diukur pada arteri radialis dengan menggunakan tiga jari secara
palpasi. Pemeriksan nadi juga dapat dilakukan pada arteria femoralis, arteria dorslis
pedis, arteria temporal dan lain-lain.
(3) Suhu tubuh
Pemeriksaan suhu tubuh dilakukan secara manual unutk mengetahui apakah pasien
sedang demam atau tidak. Hal ini unutk mengetahui apakah terapi bisa dilakukan
atau tidak.
(4 ) Tinggi badan
Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan pita ukur.
(5) Berat badan
Pengukuran berat badan dilakukan dengan timbangan berat badan.
b. Pemeriksaan ROM
Pemeriksaaan ROM dilakukan pada sendi shoulder, elboe, wrist, hip, knee, dan
ankle. Alat ukur yang digunakan goniometer.
c. Pemeriksaan tonus otot
Pemeriksaan tonus otot dengan menggunakan skala asworth, dimana peningkatan
tonus otot dapat dinilai sebagai berikut :
Nilai Keterangan :
0 Tidak ada peningkatan tonus otot
1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai denagan terasanya tahanan minimal (
catch and release ) pada akhir ROM pada waktu
sendi digerakkan fleksi atau ekstensi.
2 Ada penigkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian
gerakan ( catch ) dan diikuti dengan adanya tahanan minimal sepanjang sisa ROM,
tetapi secara umum sendi tetap mudah digerakkan.
3 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM, tetapi sendi
masih mudah digerakkan.
4 Peningkatan tonus otot sangat nyata, gerak pasif sulit dilakukan.
5 Sendi atau ekstrimitas kaku ( rigid ) pada geraka fleksi atau ekstensi.
d. Pemeriksaan reaksi otomatis
Pada pemeriksaan ini akan diperoleh penurunan atau hilangnya reaksi-reaksi
otomatis antara lain:
(1) Reaksi tegak (Righting reaction) dengan cara anak diposisikan duduk kemudian
trunk digerakkan ke belakang, ke samping dan ke depan maka anak akan
mempertahankan posisi kepala tetap tegak.
(2) Reaksi keseimbangan (Equilibrium Reaction) dilakukan pada saat duduk, berdiri
dan berjalan.
(3) Reaksi ekstensi protektif (Protective Reaction) dengan cara anak diposisikan duduk
kemudian di dorong ke salah satu sisi, dilihat apakah lengan bereaksi
mempertahankan badan dengan ekstensi lengan.
e. Pemeriksaan refleks patologis
Pemeriksaan disesuaikan dengan usia anak. Secara fisiologis beberapa reflek yang
terdapat pada bayi seharusnya tidak dijumpai lagi pada anak yang sudah besar.
Namun bila reflek-reflek ini masih ada, hal ini menunjukkan adanya kemunduran
fungsi susunan saraf. Contohnya (1) babynski (2) morro reflex (3) grasp reflek (4)
asimetrical tonic neck reflex (5) simetrical tonic neck reflex.
f. Pemeriksaan deformitas
Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya permasalahan baru, semisal semakin usia
anak penderita CP bertambah maka spastisitas bisa semakin menigkat, sehingga
akan berakibat timbulnya deformitas seperti dislokasi sendi panggul dan kontraktur
otot-otot ekstrimitas bawah.
g. Pemeriksaan Intrapersonal dan Interpersonal
Aspek yang dinilai adalah sejauh mana pasien dapat bekerjasama dengan terapis
pada saat pelaksanaan terapi. Menolak atau tidaknya anak saat dilakukan terapi,
semisal anak menangis atau senang.
h. Pemeriksaan Aktifitas Fungsional
Pemeriksaan aktifitas fungsional disesuaikan dengan kemampuan anak dan
dilakukan untuk menilai seberapa besar tingkat kemandirian anak, apakah anak
dapat melakukan aktifitas sehari-hari nya secara mandiri, dibantu sebagian atau
sepenuhnya. Untuk melakukan pemeriksaan ini dapat digunakan Gross Motor
Function Measurement (GMFM) yaitu suatu jenis pengukuran klinis untuk
mengevaluasi perubahan fungsi gross motor pada penderita CP. Terdiri dari 88 item
pemeriksaan, aktifitas pada posisi berbaring dan berguling (17 item), duduk (20
item), berlari dan melompat (12 item).
c) Diagnosa
Gangguan Tumbuh Kembang Anak Akibat Cerebral Palsy Spastik Diplegi
d) Problematika fisioterapi
Anatomical impairment : (1) Adanya abnormalitas tonus postural ( spastisitas )
pada kedua tungkai menyebabkan kontrol gerak yang tidak terkendali sehingga
mempengaruhi postur tubuh. (2) Apabila tidak segera ditangani maka akan terjadi
permasalahan lain berupa kontrakur otot, kekakuan otot, keterbatasan lingkup gerak
sendi, artrofi otot, dan scoliosis. (3) Kemampuan duduk, berdiri, berjalan,
kesimbangan dan koordinasi menurun. (4) Belum mampu mengontrol kepala
dengan baik.
Fungsional limitation : Akibat adanya postur tubuh yang jelek dan kontrol gerak
yang tidak terkendali maka akan mempengaruhi aktifitas fungsional sehari-hari
yaitu makan, memakai baju, mandi, bermain.
Ashwal S, Russman B S, Blasco A, Miller G, Sandler A, Shevell M,et all. Practice parameter:
Diagnostic assessment of the child with cerebral palsy. Neurology 2004.
Idris FH. Rehabilitasi medik pada cerebral palsy . In: Pelatihan tim rehabilitasi medik pediatrik
Indonesia. Semarang . 2002.