Anda di halaman 1dari 10

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

PADA CEDERA SPRAIN ANKLE

Oleh:
Nurul Dian Efendi (14121001025)
Fisioterapi/V/A

Deserahkan Kepada Dosen


I Gede Mediastama, S.Ft.
Sebagai Tugas Dari Mata Kuliah
Manajemen Fisioterapi Olahraga dan Kebugaran

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS DHYANA PURA
BADUNG – BALI
2016
I. PENDAHULUAN
Olahraga termasuk aktivitas fisik yang tidak terlepas dari kemungkinan
cedera. Cedera yang berkelanjutan akan berdampak pada menurunnya fungsi
gerak tubuh dan prestasi. Cedera dalam berolahraga sering terjadi pada
anggota tubuh tertentu salah satunya adalah sendi, otot, dan ligament pada
pergelangan kaki.
Cedera pergelangan kaki dapat terjadi karena terkilir secara mendadak ke
arah lateral atau medial yang menyebabkan robeknya ligament pada sendi
pergelangan kaki. Ligament adalah jaringan ikat yang menghubungkan antar
tulang dan berfungsi untuk membungkus sendi. Cedera pada ligament
pergelangan kaki disebut Sprain Ankle.
II. PEMBAHASAN
Sprain Ankle adalah cedera yang dapat menyebabkan overstretch pada
ligamentum lateral complek ankle, cedera tersebut dikarenakan gerakan
inversi dan plantar fleksi ankle yang berlebihan dan tiba-tiba pada sendi ankle
(Ifran, 2008). Sekitar 15% cedera olahraga berupa Sprain Ankle dan
pergelangan kaki, dan 85% sprain pada sisi ligament lateral yaitu ligamentum
talofibular anterior (Jowir, 2009).
Anatomi
Ankle adalah sendi yang paling utama bagi tubuh guna untuk menjaga
keseimbangan bila berjalan dipermukaan yang tidak rata. Sendi ini tersusun
oleh tulang, ligament, tendon, dan seikat jaringan penghubung. Sendi ankle
dibentuk oleh empat tulang yaitu tibia, fibula, talu s, dan calcaneus (Ali Satia
Graha dan Bambang Priyonoadi, 2012).
Sendi ankle tersusun atas ligament – ligament yang kuat dan banyak.
Ligament dari sendi ankle berfungsi sebagai struktur yang mempertahankan
stabilitas sendi ankle dalam berbagai posisi. Secara anatomi struktur ligament
dari sendi ankle adalah seperti pada gambar berikut:
(Gambar1: Medial Ligament Ankle)

(Gambar2: Lateral Ligament Ankle)


Patofisiologi
Ketika serabut otot ligamentum untuk eversi tidak cukup kuat untuk
menahan atau melawan kekuatan inversi, maka serabut ligamentum sisi
sebelah samping menjadi tertekan atau robek. Biasanya terkilir pada kaki
bagian samping meliputi satu atau dua robekan pada serabut ligamentum. Jika
satu ligamentum robek, biasanya termasuk juga ligamentum calcanae fibular
akan robek (Sumartiningsih, 2012).
Tekanan yang kuat pada tumit menekan kaki menjadi inversi, membuatnya
lebih mungkin untuk terjadi sprain pada sisi sebelah luar/samping.
Kebalikannya, kaki yang pronasi, kelebihan gerakan atau adanya tekanan dari
telapak kaki sisi sebelah dalam/tengah secara longitudinal lebih
memungkinkan untuk terjadi eversi sebagai salah satu pola sprain pada
pergelangan kaki (Arnheim, 1985).
Cedera sprain pada pergelangan kaki dengan pola eversi lebih jarang
terjadi daripada cedera sprain dengan pola inversi. Mekanisme yang biasa
terjadi adalah olahragawan yang tiba – tiba menapakkan kakinya pada lubang
di lapangan olehraga menyebabkan kaki tergerak dengan paksa dan
menanamkan kaki pada gerakan yang eksternal. Dengan mekanisme ini
ligamentum anterior tibiofibular, ligamentum interosseus dan ligamentum
deltoid menjadi robek. Perobekan pada ligamentum tersebut menyebabkan
talus bergerak secara lateral, terutama mengakibatkan degenerasi pada
persendian, dan juga berakibat adanya ruangan abnormal antara medial
malleolus dan talus (Arheim, 1985).

(Gambar3: Sprain Ankle Pola Inversi)


Tanda dan Gejala
Setelah cedera, penderita mengeluh sakit tersiksa yang berlebihan pada
aspek anterolateral pada sendi pergelangan kaki. Perabaan di atas sakit
tersebut hanya di bawah malleolus lateral. Dengan penyebaran terjadi di
tempat bengkak yang berlebihan pada daerah pergelangan kaki sisi lateral dan
anterior, persamaan tes menunjukkan adanya ketidakseimbangan, sinar X
diindikasikan tidak patah tulang (Sumartiningsih, 2012).
Tingkatan Cedera
Cedera pada serabut otot ligamentum/Sprain Ankle menurut Sadoso dan
Brukner & Khan terdiri dari beberapa tingkatan yaitu:
1. Sprain tingkat I. pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam
ligamentum dan hanya beberapa serabut yang putus.
2. Sprain tingkat II. Pada cedera ini lebih banyak serabut otot dari
ligamentum yang putus, tetapi lebih separuh serabut ligamentum masih
utuh.
3. Sprain tingakat III. Pada cedera ini seluruh ligamentum putus sehingga
kedua ujungnya terpisah.
Three grade of an ankle injury menurut Carl G. Mattacola dan Maureen K.
Dwyer, 2002 adalah:
1. Grade I sprain dikarakteristikan dengan adanya stretching berlebih pada
anterior talofibular dan calcaneofibular ligament.
2. Grade II sprain adalah ketika sebagian dari serabut anterior talofibular
ligament putus dan stretching pada calcaneofibular ligament.
3. Grade III sprain adalah dimana terjadi ruptur anterior talofibular dan
calcaneofibular ligament sementara sebagian dari serabut posterior
talofibular dan tibiofibular ligament putus.
Penatalaksanaan Fisioterapi
Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi (2012) mengatakan bahwa
medis dan fisioterapi atau terapi fisik seringkali digunakan untuk merawat
seseorang yang mengalami cedera akibat aktivitas sehari – hari maupun
berolahraga. Medis memerlukan penanganan secara operasi bedah pada cedera
sedangkan fisioterapi memerlukan beberapa perantara fisik atau alat seperti
infra red, panas, es, diathermi, ultrasound, stimulan listrik dan vibrator dalam
menangani cedera. Secara umum saat terjadi cedera dan peradangan,
pertolongan pertama yang diberikan yaitu dengan RICE.
Menurut Hardianto Wibowo (2008) fisioterapi adalah pengobatan yang
memakai ilmu alam, yaitu: kekuatan listrik, kekuatan air, kekuatan sinar,
kekuatan gerakan, kekuatan mekanika, kekuatan gelombang suara dan
kekuatan fisisi (Renoningsih, 2015).
Terapi dingin merupakan tahapan awal pada metode RICE, diberikan
dalam jangka waktu 0-24 jam sampai dengan 36 jam, atau sampai tidak ada
perdarahan. Tujuan terapi dingin yaitu untuk mengurangi rasa sakit,
mengurangi/mencegah perdarahan yang lebih banyak dan mengurangi
pembengkakan. Terapi panas merupakan terapi yang dilakukan setelah terapi
dingin diberikan atau setelah 24-36 jam cedera. Terapi panas bertujuan untuk
memperbaiki peredaran darah, mengurangi rasa sakit, memperbaiki reabsorsi
dengan cara mencerai beraikan efusi traumatic (cairan plasma darah yang
keluar dan masuk disekitar tempat cedera), untuk persiapan sebelum
dilakukannya pemijatan dan membantu proses penyebuhan (Hardianto
Wibowo, 2008).
Beberapa metode penggunaan terapi panas (Retnoningsih, 2015) yaitu:
1. Perendaman dalam air panas pada bagian yang cedera selama 20 – 30
menit.
2. Hot packs bisa berbentuk kantong karet atau botol berisi air panas, handuk
yang direndam dalam air panas. Cara ini digunakan secara luas karena
mudah dan praktis, tetapi hanya berpengaruh pada permukaan/bagian yang
dangkal, lama pemanasan 20-30 menit.
3. Paravin-wax (lilin) adalah lilin panas yang mempunyai titik lebur rendah
(110°F) digunakan pada bagian yang cedera. biasanya cara ini cocok untuk
cedera tangan, pergelangan tangan, siku, kaki dan pergelangan kaki. Lama
penggunaan 20-30 menit.
4. Electric pad (bantal panas) yaitu bantal yang diberi aliran listrik, panasnya
hanya pada permukaan saja.
pemberian terapi panas untuk proses penyembuhan cedera yaitu 20-30
menit, 2 kali atau 3 kali sehari. Bila digunakan untuk menambah mobilitas
gerakan tubuh dan mengurangi kekauan otot, sebaiknya gunakan 5 sampai 10
menit sebelum latihan (Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi, 2012).
Sprain Ankle tinggkat sedang (tingkat II) dapat menimbulkan rasa sakit
yang luar biasa pada sekitar pergelangan kaki. Timbulnya pembengkakan dan
memar selama 12 sampai 24 jam. Perawatan yang bisa dilakukan adalah
RICE, pemakaian pembalut yang halus pada area ankle untuk melindungi
luka, menjaga posisi ankle, dan membantu menyembuhan ligament,
menghentikan aktivitas olahraga selama 2 sampai 3 minggu, apabila keadaan
sudah membaik maka perlu dilakukan latihan – latihan olahraga yang
melibatkan pergelangan kaki dan dapat dilanjutkan dengan program
rehabilitasi (Sumartiningsih, 2012).
Sprain Ankle tingkat parah (tingkat III) merupakan jenis cedera yang
serius, ditandai dengan suara robekan atau pecah pada daerah ankle.
Timbulnya rasa sakit dan nyeri dengan cepat selama 5 menit dan meningkat
selama 30 menit. Penatalaksanaan awal dapat meliputi RICE, penggunaan
crutch (tongkat ketiak) dan mengistirahatkan anke secara total, apabila
ligament benar – benar putus dapat dilakukan pembedahan, apabila semua
ligament telah rusak namun pergelangan kaki tetap stabil dapat dilakukan
penekanan pada pergelangan kaki sambil menyinarinya dengan sinar X, perlu
dipergunakan pembalut dan gips selama 4 sampai 6 minggu. Setelah tahap
penyembuhan selesai maka bisa dilakukan program rehabilitasi
(Sumartiningsih, 2012).
Rehabilitasi pergelangan kaki dilakukan setelah cedera ligament benar –
benar sembuh. Lamanya program latihan ditentukan oleh tingkatan cedera
Sprain Ankle. Sebaiknya rehabilitasi mulai dengan latihan pertama dilakukan
tanpa merasa sakit, lalu kemudian bisa dilanjutkan latihan berikutnya
(Sumartiningsih, 2012) yaitu:
1. Latihan jangkauan gerakan dengan tanpa melakukan perlawanan.
Dilakukan sambil duduk, gerakan kaki ke atas dan kebawah pada daerah
pergelangan kaki 30 sampai 40 kali. Kemudian lakukan gerakan inversi
dan eversi 30 sampai 40 kali. Latihan diulang 4 sampai 5 kali sehari.
2. Latihan inversi-eversi, dilakukan sambil berdiri tegak dengan jarak kaki
antara 12 – 18 inci, secara bergantian menaikkan bagian dalam dan bagian
luar dari kaki sampai lutut sedikit dibengkokkan. Ulangi 20-30 kali, 3
sampai 4 kali sehari.
3. Latihan menguatkan otot peroneal. Letakkan sebuah gelang karet yang
besar, melingkari kedua kaki yang lurus sambil duduk dilantai dengan
kedua kaki lurus. Dengan gelang karet tersebut untuk melakukan gerakan
berlawanan, bentangkan kaki. Kedua pergelangan sebaiknya berjarak 4
sampai 6 inci. Perlahan – lahan biarkan kaki membalik (menelungkup).
Latihan ini sebaiknya dilakukan 20-30 kali, tiga kali sehari.
4. Berjalan jinjit dengan mengenakan sepatu. Berdiri pada jari-jari kaki
dengan mengenakan sepatu dan berjalan mengelilin jarak semampunya
atau selama 5 menit. Lakukan berulang 2 sampai 3 kali sehari.
5. Berjalan dengan menggunakan tumit kaki dengan menggunakan sepatu.
6. Secara bertahap lakukan kembali aktivitas olahraga, setelah melakukan
latihan peningkatan kekuatan pada pergelangan kaki anda dan rasa sakit
berkurang, dapat melakukan aktivitas fisik/fitness dengan normal. Setelah
berjalan terasa nyaman dapat melakukan jogging, berlari mengelilingi
lintasan angka delapan yang memanjang, perlahan-lahan ikuti lintasan
angka delapan, yang panjangnya sekitar 20-30 yard, dan memendek secara
bertahap dan mempercepat pada saat belokan. Latihan ini akan membantu
meningkatkan daerah gerakan dan menguatkan otot-otot sekitar dan dapat
menstabilkan pergelangan kaki.
Duke University Medical Center mengatakan bahwa umumnya Sprain
Ankle tingkat I didiagnosis dan direhabilitasi oleh pelatih, peran dari
orthopedic sangat jarang dalam kasus ini. Sprain tingkat I biasanya boleh
kembali melakukan aktivitas setelah 3 sampai 5 hari. Sprain tingkat II
dibolehkan beraktivitas seteralah 1 sampai 3 minggu. Sprain tingkat III
memerlukan waktu yang lebih lama untuk bisa kembali beraktivitas yaitu
lebih dari 6 bulan dimana ankle harus tetap diproteksi selama waktu tersebut
(Jonathan Saluta dan James A. Nunley, 2010).
Efektivitas dari program rehabilitasi setelah terjadi cedera atau operasi
menentukan sukses dan tidaknya kelanjutan fungsi dan performan pada atlet.
Rehabilitasi yang dilakukan pada Sprain Ankle selama hari ke 1 sampai ke 5
harus fokus pada bagaimana memproteksi jaringan yang cedera. Selanjutnya
hari ke 6 sampai 42 fokus pada pengawasan, pemulihan, dan proteksi stress
pada cedera. Tujuan dari rehabilitasi pada atlet adalah agar atlet bisa
berpartisipasi kembali dalam pertandingan secepat mungkin dengan metode
pemulihan cedera dengan tanpa adanya cedera yang berulang atau
berkelanjutan (Carl G. Mattacola dan Maureen K. Dwyer, 2002).
III.KESIMPULAN
Sprain Ankle adalah cedera yang sering terjadi pada saat olahraga dimana
terdapat stress yang berlebih pada ligament ankle sehingga mengakibatkan
overstretch atau bahkan ruptur. Kasus Sprain Ankle yang sering terjadi adalah
Sprain Ankle pada lateral ligament karena posisi anatomi foot yang cenderung
inversi. Grade atau tingkatan pada Sprain Ankle ada 3 yaitu grade I (ringan),
grade II (sedang), grade III (berat). Penatalaksaan awal fisioterapi pada Sprain
Ankle akut adalah dengan RICE, selanjutnya dilakukan terapi panas,
pemasangan alat bantu dan proteksi cedera, lalu dilakukan terapi latihan dan
rehabilitasi untuk pemulihan cedera tanpa adanya cedera yang berulang dan
berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

Jonathan dan James. 2010. Managing Foot and Ankle Injuries in Athletes.
http://www.orthodoc.aaos.org. diakses pada tanggal 8 Oktober
2016.
Carl dan Maureen. 2002. Rhabilitation of the Ankle After Acute Sprain or Chronic
Instability. http://www.oliverfinlay.com. Diakses pada tanggal 8
Oktober 2016.
Retnoningsih. 2015. Tingkat Keberhasilan Masase Frirage Terhadap Penanganan
Range of Movement (ROM) Cedera Ankle pada Atlet Persatuan
Sepak Bola Universitas Negeri Semarang.
http://www.lib.unnes.ac.id. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2016.
Sumartiningsih. 2012. Cedera Keseleo pada Pergelangan Kaki (Ankle Sprains).
http://www.journal.unnes.ac.id. Diakses pada tanggal 8 Oktober
2016.
Priyonoadi, Bambang. 2012. Pengelolaan Cedera Sprain Tingkat II Pada
Pergelangan Kaki. http://staff.uny.ac.id. Diakses pada tanggal 8
Oktober 2016.

Anda mungkin juga menyukai