Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Parotitis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi


di mana terjadi inflamasi atau peradangan pada kelenjar parotid (Brooke, 1992).
Kelenjar parotid itu sendiri merupakan kelenjar eksokrin berukuran kecil
yang berfungsi memproduksi air liur. Air liur membantu membasahi makanan
yang dikunyah serta membantu proses pencernaan makanan (Ray C, 2008).
Parotitis dapat disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri, atau kelainan
autoimun, dengan derajat kelainan yang bervariasi dari ringan hingga berat
(Brooke, 1992; Templer, 2018).
Gejala parotitis berbeda tergantung jenis parotitis yang terjadi apakah akut
atau kronik, viral atau bakterial. Gejala umum yang ditemukan pada parotitis
adalah pembengkakan di area bawah rahang, demam, sakit kepala, nyeri saat
mengunyah, dan lain-lain (Templer, 2018).
Tatalaksana parotitis terutama bergantung dari jenis parotitis yang dialami.
Tatalaksana antara lain kausatif yaitu dengan antibiotik, simptomatis dengan
analgesik dan steroid hingga pembedahan (Templer, 2018).
Prognosis parotitis umumnya baik tergantung penyebab yang mendasari.
Namun komplikasi yang dapat terjadi antara lain meningoensefalitis, orkitis,
epididmitis, artritis, mikorditis dan lain-lain (Templer, 2018).

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Parotis


Berdasarkan ukurannya kelenjar saliva terdiri dari 2 jenis, yaitu kelenjar
saliva mayor dan kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor terdiri dari kelenjar
parotis, kelenjar submandibularis, dan kelenjar sublingualis (Ray, 2008).

Kelenjar parotis yang merupakan kelenjar saliva terbesar, terletak secara


bilateral di depan telinga, antara ramus mandibularis dan prosesus mastoideus
dengan bagian yang meluas ke muka di bawah lengkung zigomatik. Kelenjar
parotis terbungkus dalam selubung parotis (parotis shealth). Saluran parotis
melintas horizontal dari tepi kelenjar. Pada tepi anterior otot masseter, saluran
parotis berbelok ke arah medial, menembus otot buccinator, dan memasuki rongga
mulut di seberang gigi molar ke-2 permanen rahang atas. Sekitar 25% saliva di
kavum oral diproduksi oleh kelenjar ini (Ray, 2008).

Kelenjar submandibularis yang merupakan kelenjar saliva terbesar kedua


setelah parotis, terletak pada dasar mulut di bawah korpus mandibula. Saluran
submandibularis bermuara melalui satu sampai tiga lubang yang terdapat pada
satu papil kecil di samping frenulum lingualis. Muara ini dapat dengan mudah
terlihat, bahkan seringkali dapat terlihat saliva yang keluar (Ray, 2008).

Kelenjar sublingualis adalah kelenjar saliva mayor terkecil dan terletak


paling dalam. Masing-masing kelenjar berbentuk badam (almond shape), terletak
pada dasar mulut antara mandibula dan otot genioglossus. Masing-masing
kelenjar sublingualis sebelah kiri dan kanan bersatu untuk membentuk massa
kelenjar yang berbentuk ladam kuda di sekitar frenulum lingualis (Ray, 2008)..

Kelenjar saliva minor terdiri dari kelenjar lingualis, kelenjar bukalis,


kelenjar labialis, kelenjar palatinal, dan kelenjar glossopalatinal. Kelenjar lingualis
terdapat bilateral dan terbagi menjadi beberapa kelompok. Kelenjar lingualis

2
anterior berada di permukaan inferior dari lidah, dekat dengan ujungnya, dan
terbagi menjadi kelenjar mukus anterior dan kelenjar campuran posterior. Kelenjar
lingualis posterior berhubungan dengan tonsil lidah dan margin lateral dari lidah.
Kelenjar ini bersifat murni mucus (Ray, 2008)..

Kelenjar bukalis dan kelenjar labialis terletak pada pipi dan bibir. Kelenjar
ini bersifat mukus dan serus. Kelenjar palatinal bersifat murni mukus, terletak
pada palatum lunak dan uvula serta regio posterolateral dari palatum keras.
Kelenjar glossopalatinal memiliki sifat sekresi yang sama dengan kelenjar
palatinal, yaitu murni mukus dan terletak di lipatan glossopalatinal (Ray, 2008)..

Gambar 1. Anatomi kelenjar saliva

B. Definisi Parotitis

Parotitis adalah inflamasi kelenjar parotis yang disebabkan oleh infeksi,


penyakit sistemik non infeksi, obstruksi mekanik atau medikasi. Parotitis dapat

3
berupa unilateral maupun bilateral, akut maupun kronik (Stephen et al., 2019).
Tidak semua orang yang terinfeksi mengalami keluhan, bahkan sekitar 30-40%
penderita tidak menunjukkan tanda-tanda sakit (subclinical). Mereka dapat
menjadi sumber penularan seperti halnya penderita parotitis yang nampak sakit.
Masa tunas (masa inkubasi) parotitis sekitar 14-24 hari dengan rata-rata 17-18
hari (Soedarmo, 2008).

C. Epidemiologi

Parotitis biasanya adalah gejala dari suatu kausa penyakit lain. Parotitis
virus umumnya terjadi pada anak-anak (Templer, 2018). Parotitis akut bakteri
terjadi lebih sering pada pasien tua, neonatus (terutama bayi preterm) dan pasien-
pasien post operasi. Kronik parotitis terutama terjadi pada dewasa, lebih banyak
pada wanita rata-rata usia 40-60 tahun. Kronik parotitis bilateral adalah
manifestasi umum yang terjadi pada pasien HIV (Stephen et al., 2019).

D. Etiologi dan Patofisiologi

Patofisiologi parotitis bervariasi tergantung dari tipe parotitis. Beberapa tipe


parotitis adalah sebagai berikut

 Parotitis akut virus

Biasa juga disebut sebagai gondongan atau mumps. Parotitis ini dimulai
sebagai infeksi sitemik yang berlokasi di kelenjar parotid, sehingga
tampak inflamasi dan pembengkakakn kelenjar parotis. Mumps
disebabkan oleh virus paramyxovirus. Virus ini disebarkan melalui kontak
langsung atau transmisi airborne dan bereplikasi di saluran pernapasan
atas. Terutama terjadi pada anak-anak (Stephen et al., 2019).

Karakteristiknya adalah kelenjar parotis yang cukup besar dan lunak.


Nyeri di kelenjar dan juga ditelinga jika disentuh. Bengkak berlangsung
tiba-tiba, onset akut biasanya < 7 hari. Ditemukan gejala konstitusional:

4
malaise, anoreksia, demam. Biasanya bilateral, namun dapat pula
unilateral

Mumps sering menyebabkan komplikasi pada dewasa muda seperti orkitis,


meningoensefalitis, pankreatitis dan ketulian. Dapat dicegah dengan
vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR) (Templer, 2018).

Mumps biasanya menyebabkan outbreak atau wabah terutama pada


remaja-remaja usia hampir 20 tahun yang tidak menerima suntikan vaksin
MMR kedua (Templer, 2018).

 Parotitis akut bakterial

adalah hasil dari aliran kelenjar saliva yang stasis sehingga terjadi infeksi
asending dari bakteri patogen ke kelenjar parotis menyebabkan infeksi
lokal (Templer, 2018; Stephen et al., 2019). Kasus ini sekarang jarang
ditemukan. Biasanya ditemukan pada pasien post operasi atau pada
penyakit berat lain. Sering ditemukan pada orang tua karena konsumsi
obat-obatan yang memiliki efek atropin yaitu memperlambat aliran saliva
(Templer, 2018).

Patogen-patogen pada parotitis akut :

o Virus

 Paramyxovirus (mumps), parainfluenza virus tipe 1 dan 3,


influenza A, coxsackievirus, Epstein-Barr virus (EBV)

 Cytomegalovirus (CMV) dan adenovirus pada pasien HIV

o Bakteri

 Staphylococcus aureus dan anaerob (oral flora) paling


sering

5
 Streptococcus pneumoniae, viridans
streptococci, Escherichia coli, dan Haemophilus
influenzae

 gram-negative Batang lainnya seperti


Klebsiella, Enterobacter, dan Pseudomonas

o Jamur

 Candida pada pasien sakit kronik dan pasien rawat inap

 Actinomyces pada pasien dengan riwayat trauma atau karies


dentis

 Parotitis rekuren

o Juvenille Recurrent Parotitis (JRP) bisa disebabkan oleh inflamasi


kronik, etiologinya tidak diketahui, namun dapat disebabkan
predisposisi genetik. Bisa terjadi karena akibat malformasi duktus
kongenital

o Mechanical: Pembentukan sialolit berulang menyebabkan


kerusakan dinding duktus, fibrosis dan striktur.

o Pneumoparotitis dapat terjadi jika udara terperangkap pada duktus


kelenjar parotis; pada scuba divers, peniup gelas, pemain alat
instrumen yang ditiup dan dengan pembersihan gigi.

o Obat-obat tertentu dan penyakit kronik

 Parotitis Kronik

Sering ditemukan pada pasien HIV. Dapat terjadi secara sekunder karena
imunitas tubuh yang menurun akibat terapi antiretroviral. Dapat juga
diakibatkan karena adanya kista limfoepitelial, hiperplasia nodus

6
limfatikus parotis. Dapat juga terjadi pada penyakit-penyakit autoimun
seperti Sjorgen syndrome, Mikulicz disease, dan lain-lain. (Stephen et al.,
2019)

E. Faktor Risiko

 Parotitis viral akut: kurangnya vaksinasi (MMR)

 Parotitis bakteri akut

o Kondisi yang mempengaruhi stasis saliva, seperti dehidrasi,


kebersihan mulut yang buruk, sindrom Sjögren, fibrosis kistik,
bulimia / anoreksia, sialolithiasis (batu), stenosis duktus, trauma

o Imunosupresi, HIV, kemoterapi, radiasi, malnutrisi, alkoholisme

 Parotitis neonatal: prematur, dehidrasi, berat badan lahir rendah, obstruksi


duktus, trauma oral, kelainan struktural, imunosupresi

 JRP: maloklusi gigi, malformasi saluran kongenital, faktor genetik,


anomali imunologis

 Parotitis yang diinduksi oleh obat: obat-obatan seperti antikolinergik,


inhibitor ACE (kaptopril), antihistamin, antidepresan trisiklik, antipsikotik
(fenilbutazon, thioridazine, clozapine), yodium (media kontras), dan L-
asparaginase

 Parotitis kronis: stenosis duktus, HIV, TBC, sindrom Sjögren, sarkoidosis,


uremia, diabetes, asam urat, dan di atas

F. Gejala dan Tanda Parotitis

7
 Masa inkubasi berkisar dari 14-24 hari dengan puncak pada hari ke-17 dan
18. Pada anak, manifestasi prodormal jarang terjadi tetapi mungkin
tampak bersama dengan demam (suhu badan 38,5 – 40 derajat celcius),
sakit kepala, nyeri otot, kehilangan nafsu makan, nyeri rahang bagian
belakang saat mengunyah dan adakalanya disertai kaku rahang (sulit
membuka mulut), dan malaise. Awalnya ditandai dengan nyeri dan
pembengkakan parotis yang khas, mula-mula mengisi rongga antara tepi
posterior mandibula dan mastoid kemudian meluas dalam deretan yang
melengkung ke bawah dan ke depan, di atas dibatasi oleh zigoma. Edema
kulit dan jaringan lunak biasanya meluas lebih lanjut dan mengaburkan
batas pembengkakan kelenjar, sehingga pembengkakan lebih mudah
disadari dengan pandangan daripada dengan palpasi (Behrman et al.,
2000).

Pembengkakan terjadi dengan cepat dalam waktu beberapa jam dengan


puncak pada 1-3 hari. Pembengkakan jaringan mendorong lobus telinga ke atas
dan ke luar, dan sudut mandibula tidak lagi dapat dilihat. Pembengkakan
perlahan-lahan menghilang dalam 3-7 hari. Satu kelenjar parotis biasanya
membengkak sehari atau dua hari sebelum yang lain, tetapi lazim pembengkakan
terbatas pada satu kelenjar. Daerah pembengkakan terasa lunak dan nyeri. Edema
faring dan palatum mole homolateral menyertai pembengkakan parotis dan
memindahkan tonsil ke medial. Pembengkakan parotis biasanya disertai dengan
demam sedang hingga 40°C (Soedarmo, 2008).

 Pada infeksi bakteri, sering kali penderita mengeluhkan pembengkakan


kelenjar yang nyeri dan progresif. Bahkan proses mengunyah dapat
memperparah keluhan nyeri. Parotitis biasanya ditemukan hanya pada satu
sisi (Stephen et al., 2019).

8
Gambar 3. Parotitis pada orang tua

 Pada gondongan ditemukan nyeri dan pembengkakan kelenjar selama 5–9


hari. Keluhan ini disertai demam, anoreksia, dan kelelahan. Sering kali,
pembengkakan kelenjar ditemukan pada dua sisi. Bengkak berlangsung
tiba-tiba. Biasanya bilateral namun dapat pula uni lateral (Behrman et al.,
2000).

Gambar 2. Mumps pada anak

 Pada parotitis akibat HIV ditemukan pembengkakan tanpa nyeri pada


kelenjar parotid. Selain itu umumnya tidak ada keluhan lainnya (Stephen
et al., 2019).

 Parotitis autoimun (Sjogren syndrome)

9
Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang bawah yang
onsetnya kronik atau rekurens, tidak disertai rasa nyeri, dapat unilateral
atau bilateral. Gejala-gejala Sjogren syndrome, misalnya mulut kering,
mata kering (Stephen et al., 2019)

G. Diagnosis

Penegakkan diagnosis dari parotitis yaitu:

1. Anamnesis
a. Gejala yang pertama terlihat adalah nyeri ketika mengunyah atau
menelan, terutama jika menelan cairan asam misalnya jeruk.
b. Demam, biasanya suhu mencapai 38,9-40o Celcius
c. Pembengkakan kelenjar terjadi setelah demam
d. Nafsu makan berkurang
e. Menggigil
f. Sakit kepala

2. Pemeriksaan Fisik
a. Suhu meningkat mencapai 38,9-40o Celcius
b. Pembengkakan eritem di daerah temporomandibuler (antara telinga dan
rahang)
c. Nyeri tekan pada kelenjar yang membengkak terutama jika akut.
Pembengkakan tidak terasa nyeri jika kronik.
d. Saliva purulen pada parotitis bakterial. Jika disebabkan penyakit
autoimun, air liur dapat disertai benda kecil berwarna kekuningan
dengan konsistensi seperti tahu (Templer, 2018).

10
Gambar 2. Edema preaurikuler kanan
3. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dipertimbangkan untuk membantu
menentukan diagnosis, antara lain (Puja et al., 2017, Brooke, 1992):
 Pemeriksaan laboratorium : untuk menganalisa cairan saliva, dengan

dilakukan pemeriksaan anti-SS-A, anti-SS-B, dan faktor rhematoid


yang dapat mengetahui adanya penyakit autoimun.
 Aspirasi pus, terutama dalam kasus parotitis supuratif akut. Sampel

tersebut kemudian dapat dilakukan pemeriksaan kultur atau pewarnaan


Gram.
 Pencitraan –seperti pemeriksaan CT-scan atau MRI, sialography,

ultrasonografi (USG). CT scan berfungsi untuk melihat ukuran, bentuk


dan pembengkakan yang mengarah ke keganasan. Sialografiy adalah
pemeriksaan untuk mengetahui anatomi dari sistem drainase kelenjar-
kelenjar mulut menggunakan pewarna/kontras yang diinjeksikan.
Namun prosedur ini sudaha jarang digunakan. USG dapat menentukan
massa parotitis berupa massa padat atau berisi cairan
 Biopsi dan pemeriksaan jaringan di bawah mikroskop. Prosedur ini
jarang dilakukan namun digunakan terutama jika curiga karena
autoimun.

H. Diagnosis Banding

11
 Adenopati dari tonsilofaringitis: telinga tidak terangkat oleh
pembengkakan, inflamasi faring nyata
 Difteri berat / bullneck: Pembengkakan tidak nyeri. Inflamasi faring
serta pseudomenbrane.
 Penyakit lain yang bergejala pembengkakan kelenjar parotis:
Sarkoidosis, Lukemia, Sindrom Uveoparotitis (Mickulic)
 Salivary Calculus: batu membuntu saluran parotis, yang sering ductus
submandibular.
 Tetanus karena trismusnya. Mudah dibedakan karena tidak ada kaku
otot lain

I. Tatalaksana

Pada kasus infeksi bakteri dapat diberikan pengobatan dengan antibiotik.


Antibiotik yang digunakan bergantung pada hasil kultur. Namun karena parotitis
bakteri biasanya terjadi pada pasien penyakit kronik berat dan dirawat di rumah
sakit, dimana cenderung terjadi Methyl Resistant Staphilococcus aureus (MRSA),
diberikan Vankomisin 500 mg IV setiap 6 jam sebagai antibiotik empiris
(Templer, 2018).

Pada kasus parotitis kronis dan rekuren, sering kali penanganan


menyesuaikan dengan gejala yang dirasakan (penanganan simptomatik). Misalnya
dengan pemijatan kelenjar parotid, kompres hangat, dan sebagainya. Penanganan
yang sesuai dengan penyakit utamanya, misalnya dalam kasus autoimun atau
infeksi HIV, sudah cukup untuk mengatasi gejala parotitis yang muncul (Templer,
2018).

Sementara itu pada kasus yang tidak responsif terhadap terapi simptomatik,
dapat dipertimbangkan pemberian steroid untuk mengatasi peradangan. Dapat
pula dipertimbangkan penanganan dengan pembedahan. Keputusan dilakukan
pembedahan didasarkan pada gejala subjektif. Pembedahan standar yang
dilakukan adalah Parotidektomi (Puja et al., 2017)

12
Sementara untuk Parotitis akibat virus atau Mumps merupakan penyakit
yang bersifat self-limited (sembuh / hilang sendiri) yang berlangsung kurang lebih
dalam satu minggu. Tidak ada terapi spesifik bagi infeksi virus mumps oleh
karena itu pengobatan parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif (Germain,
2012).
1. Penderita rawat jalan
Penderita baru dapat dirawat jalan bila tidak ada komplikasi, keadaan
umum cukup baik.
a. Istirahat yang cukup
b. Pemberian diet lunak dan cairan yang cukup
c. Medikamentosa (simtomatik) :
1) Antalgin (Metampiron) adalah derivat metansulfonat dan
amidopirina yang bekerja terhadap susunan saraf pusat yaitu
mengurangi sensitivitas reseptor rasa nyeri dan mempengaruhi pusat
pengatur suhu tubuh. Tiga efek utama adalah sebagai analgesik,
antipiretik dan anti-inflamasi. Antalgin mudah larut dalam air dan
mudah diabsorpsi ke dalam jaringan tubuh.
Dosis antalgin yang digunakan :
a) Dewasa : 500-1000 mg diberikan 3-4 kali sehari (maksimum 3
gram sehari).
b) Anak-anak : 250-500 mg diberikan 3-4 kali sehari (maksimum 1
gram untuk < 6 tahun dan 2 gram untuk 6 - 12 tahun).
2) Parasetamol : 10 – 20 mg/kgBB/kali dibagi dalam 3 dosis

2. Penderita rawat inap


Penderita dengan demam tinggi, keadaan umum lemah, nyeri kepala
hebat, gejala saraf perlu rawat inap di ruang isolasi.
a. Diet lunak, cair dan TKTP
b. Analgetik-antipiretik

3. Penanganan komplikasi tergantung jenis komplikasinya.

13
J. Komplikasi

a. Infeksi gigi dan Karies gigi

Parotitis kronik merusak elemen-elemen kelenjar dan mengurangi


fungsi protektif dari saliva sehingga dapat menyebabkan Infeksi gigi dan
karies (Templer, 2018).

b. Meningioensefalitis

Komplikasi ini merupakan komplikasi yang sering pada masa anak.


Insiden yang sebenarnya sukar diperkirakan karena infeksi subklinis
system saraf sentral, seperti dibuktikan oleh pleositasis cairan
serebrospinal, telah dilaporkan lebih dari 65% penderita dengan parotitis.
Manifestasi klinis terjadi pada lebih dari 10% penderita. Insiden
meningoensefalitis parotitis sekitar 250/100.000 kasus; 10% dari kasus ini
terjadi pada penderita lebih tua dari 20 tahun. Angka mortalitas adaah
sekitar 2%. Orang laki-laki terkena tiga sampai lima kali lebih sering
daripada wanita. Parotitis merupakan salah satu dari penyebab meningitis
aseptik yang paling sering (Germain, 2012).

Patogenesis meningoensefalitis parotitis telah diuraikan sebagai (1)


infeksi primer neuron dan (2) ensefalitis pascainfeksi dengan demielinasi.
Pada tipe pertama parotitis sering muncul bersamaan atau menyertai
ensefalitis. Pada tipe ke dua, ensefalitis menyertai parotitis pada sekitar 10
hari. Parotitis mungkin pada beberapa kasus tidak ada. Stenosis
aqueduktus dan hidrosefalus telah dihubungkan dengan infeksi parotitis.
Menginjeksikan virus parotitis ke dalam tpai pada umur menyusui telah
menghasilkan lesi yang serupa (Ray, 2008).

Meningoensefalitis parotitis secara klinis tidak dapat dibedakan dari


meningitis sebab lain. Ada kekakuan leher sedang, tetapi pemeriksaan

14
neorologis lain biasanya normal. Cairan serebrospinal (CSS) biasanya
berisi sel kurang dari 500 sel/mm3, walaupun kadang-kadang jumlah sel
dapat melebihi 2.000. selnya hamper selalu limfosit, berbeda dengan
meningitis aseptik enterovirus, dimana leukosit polimorfonklear sering
mendominasi pada awal penyakit. Virus parotitis dapat diisolasi dari cairan
serebrospinal pada awal penyakit (Suprohaita et al., 2000).

c. Orkitis, Epididimitis

Orchitis (inflamasi testicular) adalah komplikasi paling umum pada


laki-laki setelah masa pubertas. Penyakit ini terjadi sebanyak 50% pada laki-
laki setelah masa pubertas, biasanya setelah parotitis, tapi penyakit ini
mungkin mendahuluinya, terjadi secara serempak, atau terjadi sendirian
(Pudjiadi et al., 2009).

Komplikasi ini jarang terjadi pada anak laki-laki prapubertas tetapi


sering (14-35%) pada remaja dan orang dewasa. Testis paling sering
terinfeksi dengan atau tanpa epididimitis; epididimitis dapat juga terjadi
sendirian. Jarang ada hidrokel. Orkitis biasanya menyertai parotitis dalam 8
hari atau sekitarnya; orkitis dapat juga terjadi tanpa bukti adanya infeksi
kelenjar ludah. Pada sekitar 30% penderita keda testis terkena. Mulainya
biasanya mendadak, dengan kenaikan suhu, menggigil, nyeri kepala, mual,
dan nyeri perut bawah; bila testis kanan terlibat, appendisitis dapat
dikesankan sebagai kemungkinan diagnostik. Testis yang terkena menjadi
nyeri dan bengkak, dan kulit yang berdekatan edema dan merah. Rata-rata
lamanya adalah hari. Sekitar 30-40% testis yang terkena atrofi. Gangguan
fertilitas diperkirakan sekitar 13%, tetapi infertilitas absolut mungkin jarang
(Pudjiadi et al., 2009).

15
d. Ooforitis

Nyeri pelvis dan kesakitan ditemukan pada sekitar 7% pada penderita


wanita pasca pubertas. Tidak ada bukti adanya gangguan fertilitas
(Suprohaita et al., 2000).

e. Nefritis

Viruria telah sering dilaporkan. Pada satu penelitian orang dewasa,


kelainan fungsi ginjal terjadi kadang-kadang pada setiap penderita, dan
virria terdeteksi pada 75%. Frekuensi keterlibatan ginjal pada anak belum
diketahui. Nefritis yang mematikan, terjadi 10-14 hari sesudah parotitis,
telah dilaporkan (Suprohaita et al., 2000).

f. Pankreatitis

Pankreatitis adalah jarang, tapi adakalanya terjadi tanpa parotitis;


hyperglycemia adalah temporer dan bersifat reversibel (Suprohaita et al.,
2000).

g. Miokarditis

Manifestasi jantung yang serius sangat jarang, tetapi infeksi ringan


miokardium mungkin lebih sering daripada yang diketahui. Rekaman
elektrokardigrafi menunjukkan perubahan-perubahan, kebanyakan depresi
segmen ST, pada 13% orang dewasa pada satu seri. Keterlibatan demikian
dapat menjelaskan nyeri prekordium, bradikardia, dan kelelahan kadang-
kadang ditemukan pada remaja dan orang dewasa dengan parotitis
(Suprohaita et al., 2000).

16
h. Ketulian

Tuli saraf dapat terjadi unilateral, jarang bilateral; walaupn insidennya


rendah (1:15.000), parotitis adalah penyebab utama tuli saraf unilateral.
Kehilangan pendengaran mungkin sementara atau permanen (Suprohaita et
al., 2000).

i. Komplikasi Okuler

Komplikasi ini meliputi dakrioadenitis, pembengkakan yang nyeri,


biasanya bilateral, dari kelenjar lakrimalis; neuritis optic (papillitis)dengan
gejala-gejaa bervariasi dari kehilangan penglihatan sampai kekaburan ringan
dengan penyembuuhan dalam 10-20 hari; uveokeratitis, biasanya unilateral
dengan fotofobia, keluar air mata, kehilangan penglihatan cepat dan
penyembuhan dalam 20 hari; skleritis, tendonitis, dengan akibat
eksoftalmus; dan trobosis vena sentral (Suprohaita et al., 2000).

j. Artritis

Atralgia yang disertai dengan pembengkakan dan kemerahan sendi


merupakan komplikasi yang jarang; biasanya penyembuhannya sempurna
(Suprohaita et al., 2000).

K. Prognosis

Prognosisnya baik untuk semua bentuk parotitis. Penyakit terkait atau yang
mendasarinya adalah penentu sebenarnya dari prognosis (Templer, 2018).

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Parotitis adalah peradangan pada kelenjar parotis yang dapat


disebabkan akibat virus atau bakteri dan dapat bersifat akut, kronik atau
rekuren.

2. Gejala parotitis adalah bengkak kemerahan dibawah rahang, nyeri


ketika menelan, demam, malaise, sakit kepala.

3. Talaksana parotitis tergantung dari jenis parotitis yang dialami.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. 2000. Ilmu


Kesehatan Anak Nelson. Jakarta : EGC
2. Brooke I (1992). Diagnosis and management of parotitis, JAMA, 118: 269-
271
3. Germaine L Defendi. Mumps. In: Russell W Steele, Chieff Editor: Medscape
Reference: 2012. Diakses dari http://emedicine.medscape.com
4. Mumps, Pinkbook 2012, Epidemiology and Prevention of Vaccine
Preventable Diseases, 12th Edition Second Printing Revised May 2012
5. Pudjiadi, Marissa Tania S., Sri Rejeki S. Hadinegoro. 2009. Orkitis pada
Infeksi Parotitis Epidemika : laporan kasus. Sari Pediatri. Vol. 11 (1) : 47-51.
6. Puja P, Shannon S, Sean C (2017). A challenging case of parotitis : A
comprehensive approach, The Journal of the American Osteopathic
Association, 117(12)
7. Ray, C. G. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Harrison. Jakarta : EGC.
8. Soedarmo, S. S. P., Garna H., Hadinegoro S. R. S., Satari H. I. 2008. Buku
Ajar Infeksi dan Pediatrik Tropis. Jakarta : IDAI.

19
9. Suprohaita, Arif Mansjoer, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan,
Parotitis Epidemika, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid II,
Media Aesculapius FK UI, Jakarta, 2000, hal: 418-419.
10. Stephens, Mark B., et al., editors. "Parotitis, Acute and Chronic." 5-Minute
Clinical Consult, 27th ed., Wolters Kluwer, 2019. 5minute,
www.unboundmedicine.com/5minute/view/5-Minute-Clinical-
Consult/117463/all/Parotitis__Acute_and_Chroni
11. Templer JW (2018). Parotitis, medscape.
https://emedicine.medscape.com/article/882461-followup#e7 – Diakses
September 2019.

20

Anda mungkin juga menyukai