Anda di halaman 1dari 37

UNIVERSITAS INDONESIA

TEORI-TEORI KEBIJAKAN

Diajukan sebagai syarat tugas mata kuliah


Manajemen dan kebijakan kesehatan

DISUSUN OLEH:
Sri Kartinah 1806168866
Andini Retno Yunitasari 1806253734
Atfiana Nur Afifah 1806253822
Kartika Setyaningsih S 1806168191
Nurul Muchlisa 1806168512

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI ILMU


KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
FEBUARI 2019

Universitas Indonesia
I. Teori Goerge C Edward III
A. Konsep Teori Edward III

Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu


banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward III mulai dengan
mengajukan dua pertanyaan, yaknii What is the precondition for successful
policy implementation? What are the primary obstacles to successful policy
implementation?; George C. Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan
tersebut dengan mengkaji 4 (empat) faktor atau variabel dari kebijakan yaitu (1)
struktur birokrasi, (2) sumber daya ,(3) komunikasi, (4) disposisi.

1. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan


secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak
hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-
organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Implementasi
kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak
pihak. Ketika strukur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu
kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan
menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan. Berdasakan penjelasan di atas,
maka memahami struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental
untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards III dalam
Winarno (2005) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni:
”Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi”.

”Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari


tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan
penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”. (Winarno,
2005). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk
menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan
swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan
waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-
tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas,
sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang
besar dalam penerapan peraturan.

Berdasakan hasil penelitian Edward III yang dirangkum oleh Winarno


(2005:152) menjelaskan bahwa: ”SOP sangat mungkin dapat menjadi
kendala bagi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara
kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan
perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin
besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi”.

”Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan


SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-
prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program yang
bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang
baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini”.
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan
kebijakan adalah fragmentasi. Edward III dalam Winarno (2005)
menjelaskan bahwa ”fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab
suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan
koordinasi”. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan
keberhasilan program atau kebijakan.

Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari


banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok
yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Berikut
hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi berhubungan
dengan implementasi kebijakan publik (Budi Winarno,2005):

”Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan


karena terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan
yang berbeda-beda. Di samping itu, masing-masing badan mempunyai
yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting
mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi yang
menumpuk”.

”Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga akan
menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang
rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan
esensinya dan besar kemumgkinan akan menentang kebijakan-kebijakan
baru yang membutuhkan perubahan”

2. Sumber Daya

Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap


sumberdaya (resources).Seorang ahli dalam bidang sumberdaya,
Schermerchorn, Jr (1994) mengelompokkan sumberdaya ke dalam:
“Information, Material, Equipment, Facilities, Money, People”. Sementara
Hodge (1996) mengelompokkan sumberdaya ke dalam: ”Human resources,
Material resources, Financial resources and Information resources”.
Pengelompokkan ini diturunkan pada pengkategorikan yang lebih spesifik
yaitu sumberdaya manusia ke dalam: “Human resources- can be classified
in a variety of ways; labors, engineers, accountants, faculty, nurses, etc”.
Sumberdaya material dikategorikan ke dalam: “Material resources-
equipment, building, facilities, material, office, supplies, etc. Sumberdaya
finansial digolongkan menjadi: ”Financial resources- cash on hand, debt
financing, owner`s investment, sale reveue, etc”. Serta sumber daya
informasi dibagi menjadi: “Data resources-historical, projective, cost,
revenue, manpower data etc”. Edwards III (1980) mengkategorikan sumber
daya organisasi terdiri dari : “Staff, information, authority, facilities;
building, equipment, land and supplies”. Edward III (1980) mengemukakan
bahwa sumberdaya tersebut dapat diukur dari aspek kecukupannya yang
didalamnya tersirat kesesuaian dan kejelasan; “Insufficient resources will
mean that laws will not be enforced, services will not be provided and
reasonable regulation will not be developed “.
“Sumber daya diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai
suatu sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat ekonomis dan
teknologis. Secara ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya atau
pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh organisasi yang merefleksikan
nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam output.
Sedang secara teknologis, sumberdaya bertalian dengan kemampuan
transformasi dari organisasi”. (Tachjan, 2006)

Menurut Edward III dalam Agustino (2006), sumberdaya merupakan


hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator-indikator
yang digunakan untuk melihat sejauhmana sumberdaya mempengaruhi
implementasi kebijakan terdiri dari:

 Staf. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau
pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam
implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang
tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam
bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup
menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah
kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan
(kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.
 Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua
bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara
melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari
para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah
ditetapkan.
 Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar
perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan
otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan
yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan
para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat
menggagalkan implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang
lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi kesalahan
dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas
kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain,
efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para
pelaksana demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
 Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi,
kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan
prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3. Disposisi

Menurut Edward III dalam Winarno (2005) mengemukakan


”kecenderungan-kecenderungan atau disposisi merupakan salah-satu
faktor yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan
yang efektif”. Jika para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap
positif atau adanya dukungan terhadap implementasi kebijakan maka
terdapat kemungkinan yang besar implementasi kebijakan akan terlaksana
sesuai dengan keputusan awal. Demikian sebaliknya, jika para pelaksana
bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi kebijakan karena
konflik kepentingan maka implementasi kebijakan akan menghadapi
kendala yang serius. Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti
yang dikemukakan Edward III tentang ”zona ketidakacuhan” dimana para
pelaksana kebijakan melalui keleluasaanya (diskresi) dengan cara yang
halus menghambat implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan,
menunda dan tindakan penghambatan lainnya. Faktor-faktor yang menjadi
perhatian Edward III dalam Agustinus (2006) mengenai disposisi dalam
implementasi kebijakan terdiri dari:

 Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan


hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila
personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh
pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan
personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki
dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada
kepentingan warga masyarakat.
 Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif.
Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri,
maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi
tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan
atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang
membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini
dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
4. Komunikasi

Menurut Agustino (2006); ”komunikasi merupakan salah-satu variabel


penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi
sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi
kebijakan publik”. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para
pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan.
Infromasi yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat
melalui komunikasi yang baik. Terdapat tiga indikator yang dapat
digunakan dalam mengkur keberhasilan variabel komunikasi. Edward III
mengemukakan tiga variabel tersebut yaitu:

 Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan


suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam
penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi)
yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam
proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdirtorsi di tengah
jalan.
 Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-
level-bureaucrats) harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak
ambigu/mendua.
 Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu
komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan.
Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat
menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian Edward III yang dirangkum dalam


Winarno (2005) Terdapat beberapa hambatan umum yang biasa terjadi
dalam transmisi komunikasi yaitu:

 Pertama, terdapat pertentangan antara pelaksana kebijakan dengan


perintah yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan. Pertentangan seperti
ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan yang langsung dalam
komunikasi kebijakan.
 Kedua, informasi yang disampaikan melalui berlapis-lapis hierarki
birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi karena panjangnya rantai
informasi yang dapat mengakibatkan bias informasi.
 Ketiga, masalah penangkapan informasi juga diakibatkan oleh persepsi
dan ketidakmampuan para pelaksana dalam memahami persyaratan-
persyaratan suatu kebijakan”.

Menurut Winarno (2005) Faktor-faktor yang mendorong


ketidakjelasan informasi dalam implementasi kebijakan publik biasanya
karena kompleksitas kebijakan, kurangnya konsensus mengenai tujuan-
tujuan kebijakan publik, adanya masalah-masalah dalam memulai kebijakan
yang baru serta adanya kecenderungan menghindari pertanggungjawaban
kebijakan. Pertanyaan berikutnya, bagaimana menjabarkan distori atau
hambatan komunikasi? Proses implementasi kebijakan terdiri dari berbagai
aktor yang terlibat mulai dari manajemen puncak sampai pada birokrasi
tingkat bawah. Komunikasi yang efektif menuntut proses pengorganisasian
komunikasi yang jelas ke semua tahap tadi. Jika terdapat pertentangan dari
pelaksana, maka kebijakan tersebut akan diabaikan dan terdistorsi. Dapat
disimpulkan: ”semakin banyak lapisan atau aktor pelaksana yang terlibat
dalam implementasi kebijakan, semakin besar kemungkinan hambatan dan
distorsi yang dihadapi”
Berdasarkan hasil penelitian tentang implemetasi kebijakan
pengembangan usaha mikro terhadap kinerja Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) di Cianjur yang dilakukan Patriana (2005) bahwa: ”Pengaruh
dimensi komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana (disposisi), struktur
birokrasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap kinerja LKM baik secara
parsial (terpisah sendiri-sendiri) maupuan secara simultan. Namun
demikian, ditemukan hambatan komunikasi dimana terdapat disiplin rendah
dan pemahaman tugas serta tanggung jawab yang kurang dari petugas
pelaksana kebijakan”.

Gambar 1 Model Implementasi George C. Edward III


B. Aplikasi Teory Edward III
Berdasarkan teory Edward III itu terungkap bahwa agar implementasi kebijakan
menjadi efektif, jika para pihak harus bertanggungjawab atas pelaksanaan suatu
keputusan dan harus benar-benar memahami apa yang harus dilakukan. Untuk itu,
arahan terhadap implementasi kebijakan harus ditransmisikan secara tepat, jelas,
akurat dan konsisten. Dengan demikian suatu pola komunikasi yang tepat, jelas,
akurat dan konsisten merupakan hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam
mengkomunikasikan suatu keputusan dari satu pihak kepada para pihak yang terlibat
dengan keputusan tersebut. Misalnya, keputusan mengenai standar pelayanan
minimal yang dibakukan perlu ditransmisikan secara tepat, jelas, akurat dan
konsisten kepada para aparatur pelayanan kesehatan.
Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh
kelompok sasaran, sehingga kualitas komunikasi akan mempengaruhi dalam
mencapai efektivitas implementasi kebijakan publik. Dengan demikian, penyebaran
isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan mempengaruhi terhadap
implementasi kebijakan. Dalam hal ini, media komunikasi yang digunakan untuk
menyebarluaskan isi kebijakan kepada kelompok sasaran akan sangat berperan
penting.

II. Teori Donald Van Metter dan Carl Van Horn


A. Konsep Teori
Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-
keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha
untuk mengubah-mengubah keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional
dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk
mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-
keputusan kebijakan.
Van Meter dan Van Horn menggolongkan kebijakan-kebijakan menurut dua
karakteristik yang berbeda yaitu:
1. Jumlah perubahan yang terjadi
2. Sejauh mana consensus menyangkut tujuan antara pemeran serta dalam proses
implementasi berlangsung.

Unsur perubahan merupakan karakteristik yang paling penting dalam dua hal, yaitu:
1. Implementasiakan dipengaruhi oleh sejauh mana kebijakan menyimpang dari
kebijakan-kebijakan sebelumnya. Untuk hal ini, perubahan-perubahan lebih
cenderung menimbulkan tanggapan positif dari pada perubahan-perubahan
drastis (rasional). Ini lebih pada perubahan-perubahan lebih banyak kepada
perbaikan-perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang nyata sekarang
ini dari pada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
2. Proses implementasiakan dipengaruhi oleh jumlah perubahan organisasi yang
diperlukan. Ada yang menyarankan bahwa implementasi yang efektifakan
sangat mungkin terjadi jika lembaga pelaksana tidak diharuskan melakukan
reorganisasi secara drastis. Kebijakan yang menetapkan perubahan-perubahan
dalam hubungannya dengan pemeran serta yang terlibat dalam proses
implementasi akan lebih sulit dilaksanakan daripada kebijakan-kebijakan yang
membutuhkan hanya perubahan kecil dalam hubungan-hubungan yang mantap.

Van Meter dan Van Horn menyebutkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam mengembangkan tipologi kebijakan-kebijakan yaitu:
1. Kemungkinan implementasi yang efektifakan bergantung sebagian pada tipe
kebijakan yang dipertimbangkan. Misalnya keberhasilan implementasi
kebijakan mengenai pengentasan kemiskinan di Indonesia akan berbeda dengan
kebijakan untuk menanggulangi kenakalan remaja.
2. Faktor-faktor tertentu yang mendorong realisasi atau non-realisasi tujuan-tujuan
program akan berbeda dari tipe kebijakan yang satu dengan tipe kebijakan yang
lain.

Model implementasi Van Meter dan Van Horn digambarkan seperti gambar dibawah
ini:

Gambar 2 Model Proses Implementasi Van Meter dan Van Horn


Secara khusus model ini mengarahkan perhatian kepada enam kelompok variabel
yang mempengaruhi yaitu:
1. Menunjukkan relevansi ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan
2. Sumber-sumber kebijakan, komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan
3. Karakteristik-karakteristik dari badan pelaksana
4. Lingkungan ekonomi, social dan politik yang mempengaruhi organisasi
5. Kapabilitas
6. Kecenderungan para pelaksana untuk melaksanakan keputusan-keputusan
kebijakan.
Unsur-unsur yang mungkin perpengaruh terhadap suatu organisasi dalam
mengimplementasikan kebijakan yaitu:
1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan
2. Tingkat pengawasan hierarki terhadap keputusan-keputusan subunit dan proses-
prose dalam badan-badan pelaksana
3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota-
anggota legislative dan eksekutif)
4. Vitalitas suatu organisasi
5. Tingkat kamunikasi-komunikasi “terbuka” yang didefinisikan sebagai jaringan
kerja komunikasi horizontal dan vertical secara bebas serta tingkat kebebasan
yang secara relative tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu diluar
organisasi
6. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan”
atau “pelaksana keputusan.

Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn ini sebagai model
yang menawarkan blueprint untuk menjelaskan dan menganalisa proses
implementasi kebijakan dank arena itu mengusulkan penjelasan-penjelasan bagi
pencapaian-pencapaian dan kegagalan-kegagalan program.
B. Evaluasi Kebijakan
Secara umum evalusai kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. Evaluasi kebijakan dibedakan kedalam dua tugas
berbeda.Pertama adalah untuk menentukan konsekuensi-konsekuen siapa yang
ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya, ini
merujuk pada usaha untuk melihat apakah program kebijakan mencapai tujuan atau
dampak yang diinginkan atau tidak, bila tidak, faktor-faktor apakah yang menjadi
penyebabnya? Misalnya, apakah terjadi kesalahan dalam merumuskan masalah atau
karena faktor-faktor yang lain .Kedua adalah untuk menilai keberhasilan atau
kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya. James Anderson membagi evaluasi kebijakan kedalam tiga
tipe yaitu:
1. Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional, maka kebijakan
dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.
Inti dari tipe ini adalah pandangan setiap orang baik yang membuat kebijakan
ataupun yang kena dampak kebijakan memiliki pemikiran dan anggapannya
masing-masing sehingga evaluasi seperti ini akan mendorong terjadinya konflik
karena evaluator-evaluator yang berbedaakan menggunakan kriteria yang
berbeda-beda pula, sehingga kesimpulan yang didapatkannya pun berbeda
mengenai manfaat dari kebijakan yang sama.
2. Memfokuskan pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu. Tipe
program seperti ini bermula dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut
apakah program dilaksanakan dengan baik? Berapa biayanya? Siapa yang
menerima manfaat?, dan lain-lain. Sehingga tipe seperti ini akan lebih
membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan
program. Kekurangan dari tipe seperti ini adalah cenderung mendapatkan
informasi yang sedikit mengenai dampak suatu program terhadap masyarakat.
3. Tipe evaluasi sistematis. Evaluasi ini melihat secara objektif program-program
kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan
melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai.

Adapun langkah-langkah dalam evaluasi kebijakan menurut Suchman yaitu:


1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkat perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan
tersebut atau karena penyebab lain
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.

Dalam suatu kebijakan tidak tehindar dari masalah-masalah yang akan timbul.
Anderson mengidentifikasi bahwa setidaknya ada enam masalah yang akan dihadapi
dalam proses evaluasi kebijakan yaitu:
1. Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan
2. Kausalitas. Misalnya jika evaluasi yang dilakukan adalah sistemik maka
evaluator harus memastikan bahwa dampak yang ditimbulkan dari suatu hal
adalah dampak dari kebijakan, bukan dari yang lain.
3. Dampak kebijakan yang menyebar.
4. Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh dana
5. Resistensi pejabat
6. Evaluasi mengurangi dampak. Ini biasa karena sumber-sumber yang tidak
memadai, cara yang digunakan saat implementasi kebijakan, masalah-masalah
tambahan yang sering kali disebabkan oleh banyak faktor.

III. Teori Ripley dan Franklin


A. Konsep Pembuatan Kebijakan
1. Penjelasan teori terkait kebijakan
Ripley & Franklin memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan
pendekatan “faktual” dalam implementasi kebijakan. Pendekatan kepatuhan
muncul dalam literatur administrasi publik dengan fokus perhatian pada
upaya membangun kepatuhan individu bawahan terhadap atasan dalam suatu
organisasi. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas
perilaku organisasi. Secara empirik, perspektif kepatuhan mengakui adanya
faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen
administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan
perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor
non-organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan
bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan pada tahap implementasinya
dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan
implementor, yaitu:
 Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku. Perspektif pertama
(compliance perspective) memahami keberhasilan implementasi dalam
arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementor dalam
melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan (dalam
bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, atau program.
 Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi bahwa keberhasilan implementasi
ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah-
masalah yang dihadapi.
 Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki. Bahwa keberhasilan
suatu implementasi mengacu dan mengarah pada implementasi
/pelaksanaan dan dampaknya (manfaat) yang dikehendaki dari semua
program-program yang dikehendaki.
Dari implementasi kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak
kebijakan, dan proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap implementasi,
kinerja dan dampak kebijakan. Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan
kebijakan baru di masa yang akan datang. Selain itu, kompleksitas
implementasi bukan saja ditujukan oleh unit organisasi yang terlibat tetapi
juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel
yang kompleks, baik variabel individu maupun organisasi, masing-masing
variabel tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Sehingga disimpulkan
menurut Ripley Franklin keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat
dilihat dari 3 dimensi yaitu kepatuhan, lancarnya rutinitas fungsi dan
terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (Subarsono, 2009)
Tahapan kebijakan publik menurut Ripley Franklin dapat digambarkan
sebagai berikut :

Gambar 3 Tahapan Kebijakan Publik menurut Ripley & Franklin


2. Aplikasi kebijakan
Aplikasi atau implementasi kebijakan adalah tindakan yang dilakukan
oleh individu atau kelompok yang diarahkan pada tercapainya tujuan dalam
mengambil keputusan. Salah satu contohnya adalah kebijakan pelayanan haji
terdapat pada UU No 13/2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji, pasal (3)
yang berbunyi “Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi jamaah
haji sehingga dapat menunaikan ibadah sesuai dengan ketentuan ajaran agama
islam”. Kebijakan pelayanan haji juga dijelaskan dalam peraturan pemerintah
pengganti undang-undang republik Indonesia nomor 2 tahun 2009 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 13 tahun 2008 tentang
penyelenggaraan ibadah haji di pasal 7 ayat (a) yang berbunyi jamaah haji
berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam
menjalankan ibadah haji, sebagai contoh pembimbingan manasik haji.
Menurut Subadi (2013), implementasi kebijakan pelayanan haji di kantor
kementrian aga,a Kab Bintan, menggunakan model kebijakan dari Ripley
Franklin, yaitu terdiri dari tiga dimensi berikut
a. Kepatuhan
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur dari tingkat
kepatuhan terhadap pedoman umum yang didukung oleh kebijakan
tersebut. Adapun yang harus dipatuhi dalam kebijakan pelayanan haji
adalah persyaratan dan prosedur pendaftaran haji, serta manasik haji
apabila ketiga hal tersebut dapat dipatuhi maka tujuan dari kebijakan
pelayanan haji dapat tercapai. Dengan adanya kepatuhan birokrat
terhadap persyaratan dan prosedur pendaftaran gaji serta manasik haji,
maka dapat dikatakan bahwa penerapan kebijakan tersebut telah merujuk
pada isi kebijakan.
b. Lancarnya rutinitas fungsi
Keberhasilan sebuah implementasi kebijakan ditandai dengan kelancaran
rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah yang dihadapi. Pelaksanaan
haji merupakan bagian dari rutinitas kegiatan penyelenggaraan ibadah
haji yang sudah menjadi salah satu tugas pokok dan fungsi dari seksi
penyelenggaraan haji dan umrah. Berkaitan dengan implementasi UU no
13 tahun 2008, kelancaran rutinitas fungsi pada setiap seksi di kantor
kementrian agama ini tetap berjalan baik. Lancarnya rutinitas fungsi
dapat dilihat dari indikator pemahaman pelaksana (implementor)
terhadap tupoksi, selain itu pelaksanaan tujuan berjalan lancar, dan
hubungan antar implementor dalam pelaksanaan kebijakan pendaftaran
haji berjalan baik.
c. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan mengacu dan mengarah pada
kinerja dan manfaat yang di kehendaki dari keseluruhan kebijakan yang
ada. Terwujudnya kinerja kebijakan lebih cenderung untuk pencapaian
hasil implementasi dalam waktu yang pendek, sementara terwujudnya
dampak kebijakan diartikan sebagai pencapaian hasil implementasi
dalam waktu panjang.
Berkaitan dengan impelementasi UU No 13 diatas maka terwujudnya kinerja
lebih cenderung untuk pencapaian hasil implementasi dalam waktu pendek, yaitu
terciptanya pelayanan yang lebih efisien dan pemimpin merasakan kepuasaan
terhadap hasil kerja aparat dalam pelayanan pendaftaran haji, sementara
terwujudnya dampak yang dikehendaki dalam waktu yang lama adalah terjadinya
peningkatan pelayanan pendaftaran haji yang lebih baik dan kualitas. Jika kinerja
dan dampak kebijakan pendaftaran haji dapat terwujud dengan baik, maka
implementasi kebijakan tersebut dinilai berhasil.
3. Monitoring evaluasi kebijakan
Menurut Wibowo (1994), monitoring evaluasi (monev) kebijakan pada dasarnya
adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh kebijakan membuahkan hasil
yaitu membandingkan antara hasil dan tujuan. Monev kebijakan dilakukan untuk
mengetahui empat aspek yaitu proses pembuatan kebijakan, proses implementasi
kebijakan, konsekuensi kebijakan, dan efektifitas dampak kebijakan. Sedangkan
menurut Ripley & Franklin, monitoring evaluasi implementasi kebijakan
dirumuskan untuk melakukan monev proses, menambah prespektif apa yang
terjadi selain kepatuhan, dan dampak jangka pendek.
B. Sistem politik nasional-internasional
Ripley & Franklin mengidentifikasi 6 karakteristik birokrasi sebagai hasil
pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat yaitu birokrasi diciptakan
sebagai instrumen dalam menangani keperluan publik (public affair),birokrasi
merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang
mempunyai kepentingan berbeda dalam hierarkinya, mempunyai sejumlah tujuan
beda, fungsi birokrasi berada dalam lingkungan kompleks, naluri bertahan hidup
tinggi dan kekuatan netral. (Winarno, 2005)
Gagasan Ripley & Franklin juga digunakan pelaksana lapangan dalam melihat
keberhasilan implementasi kebijakan publik. Alexander (2009), menguraikan
kerangkan pemikiran implementasi kebijakan penyelenggaraan terminal
Palembang dalam gagasan Ripley Franklin berdasarkan tingkat kepatuhan
aparatur pelaksana, kelancaran fungsi rutin, dan hasil capaian yang diperoleh.
Hasilnya menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan
penyelenggaraan terminal tergantung pada otoritas administratif aparatur
pelaksana dan dukungan stakeholder pemerintah
C. Globalisasi kebijakan (UU/peraturan) berkaitan dengan kesehatan yang berlaku di
Indonesia
Kebijakan perlindungan anak tercantum dalam UU No 35 tahun 2014, pasal 1 ayat
1 anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk dalam
kandungan. Sedangkan pasal 1 ayat 2 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak serta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaamn,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Teori Ripley
menekankan tingkat kepatuhan para implementor terhadap isi kebijakan. Setelah
ada kepatuhan, selanjutnya melihat kelancaran rutinitas fungsi dan pada akhirnya
terwujudnya kinerja sesuai tujuan. Hasilnya faktor-faktor yang menyebabkan
ketidakpatuhan terhadap kebijakan perlindungan adanah antara lain faktor
ekonomi, urbanisasi, pengangguran, rendah pendidikan, perceraian, dan
rendahnya pengawasan instansi pemerintah. (Masriani, 2017)
IV. Teori Brian W Hogwood dan Lewis A Gunn
1. Model Hogwood and Gunn
Model ini dikembangkan oleh Hogwood, Brian W., Lewis A. Gunn pada
tahun 1986 disebut model Top Down Approach. Syarat dalam implementasi
kebijakan model Top Down Approach (Ayuningtyas, 2018 dan Kasmad, 2013)
yaitu
a. Syarat pertama berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang
dihadapi oleh lembaga/badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah
yang besar. Beberapa kendala/hambatan(constraints) saat implementasi
kebijakan seringkali berada diluar kendali paraadministrator, sebab
hambatan-hambatan itu memang diluar jangkauan wewenangkebijakan
dari badan pelaksana.
b. Syarat kedua, apakah untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang
memadai termasuk sumber daya waktu. Bahkan seringkali muncul diantara
kendala-kendala yang bersifateksternal.
c. Syarat ketiga, apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-
benar ada.Persyaratan ini mengikuti syarat item kedua artinya disatu pihak
harus dijamin tidak ada kendala pada sumber daya yang diperlukan, dan
dilain pihak, setiap tahapan proses implementasi kebijakan, adanya
perpaduan ketersediaansumber daya. Implementasi program memerlukan
perpaduan antara dana, tenaga kerja dan peralatan.
d. Syarat keempat, apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari
hubungan kausal yang andal. Salah satu penyebab kebijakan tidak dapat
diimplementasikan secara efektif adalah kebijakan itu tidak
dilatarbelakangi oleh tingkat pemahaman yang rendah terkait
permasalahan yang akan diselesaikan, akar timbulnya masalah, dan solusi
dari permasalahan tersebut dengan memanfaatkan peluang-peluang yang
ada.
e. Syarat kelima adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi.
Asumsinya semakin sedikit hubungan sebab akibat semakin tinggi pula
hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai.
Sebagian besar program pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari
kebijakan jauh lebih komplek daripada sekedar hubungan antara dua
variabel yang memiliki hubungan kausalitas. Kebijakan-kebijakan yang
memiliki hubungan sebab-akibat tergantung pada mata rantai yang panjang,
ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata
rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai
penghubungnya dan semakin kompleks implementasinya.
f. Syarat keenam adalah apakah hubungan saling ketergantungan kecil.
Asumsinya adalah jika hubungan saling ketergantungan tinggi,
implementasi tidak akan dapat berjalan secara efektif. Implemetasi yang
sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan
pelaksana tunggal dalam melaksanakan misi tidak tergantung badan-badan
lain/instansi lainnya.
g. Syarat ketujuh, pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap
tujuan.
Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh
mengenahi kesepakatan terhadap tujuan yang akan dicapai dan
dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan itu harus dirumuskan
dengan jelas, spesifik, mudah dipahami, dapat dikuantifikasikan, dan
disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi.
h. Syarat kedelapan, tugas terperinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar.
Syarat ini mengandung makna bahwa dalam menjalankan program menuju
tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, tugas harus terperinci dan
tersusun dalam urutan-uruan yang tepat seluruh tugas yang harus
dilaksanakan oleh setiap bagian yang terlibat. Kesulitan untuk mencapai
kondisi implementasi yang sempurna masih terjadi dan tidak dapat
dihindarkan. Untuk mengendalikan program dengan baik dapat dilakukan
dengan teknologi seperti Network planning dan control.
i. Syarat kesembilan, komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
Syarat ini mengharuskan adanya komunikasi dan ordinasi yang sempurna
diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program.Komunikasi
dan koordinasi memiliki peran yang sangat penting dalam proses
implementasi karena data, syaran dan perintah-perintah dapat dimengerti
sesuai dengan apa yang dikehendaki.
j. Syarat kesepuluh adalah pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan
dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Persyaratan ini menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang,
harus juga yang memiliki kekuasan dan mampu menjamin adanya kepatuhan
sikap secara menyeluruh dari pihak-pihak lain baik dalam organisasi maupun
luar organisasi.
Keunggulan dari pendekatan top down terletak pada kejelasan persyaratan-
persyaratan implementasi kebijakan. Kelemahan dari pendekatan tersebut
adalah 1) tidak menunjukkan variabel-variabel atau dimensi-dimensi dari
implementasi kebijakan; dan 2) tidak menunjukkan kejelasan-kejelasan
hubungan antar variabel-variabel atau dimensi-dimensi implementasi
kebijakan.
Pembentukan implementasi kebijakan menurut BW. Hogwood dan
L.A.Gunn (1984) yaitu
a. memutuskan untuk memutuskan (pencarian isu dan penentuan agenda)
b. memutuskan cara bagaimana memutuskan
c. mendefinisikan isu
d. meramalkan, memperkirakan, forecasting
e. menentukan tujuan dan prioritas
f. analisis opsi.
g. Implementasi kebijakan, monitoring, dan control
h. Evaluasi dan review
i. Pemeliharaan kebijakan, penggantian dan penghentian

Menurut Hogwood dan Gunn (1986), kegagalan kebijakan (policy failure)


dapat disebabkan antara lain, pertama, karena tidak dilaksanakan atau
dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya (non implementation), kedua, karena
tidak berhasil atau mengalami kegagalan dalam proses pelaksanaan
(unsuccesful implementation). Non implementation berarti bahwa suatu
kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-
pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka
bekerja secara tidak efisien, atau tidak sepenuhnya menguasai permasalahan,
atau kemungkinan permasalahan yang dihadapi diluar jangkauan
kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan
yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang
efektif sulit untuk dipenuhi.

V. Teori Trias Kebijakan


1. John Locke dalam bukunya yang berjudul 'Two Treaties of Goverment'
mengusulkan agar membagi kekuasaan negara menjadi tiga tipe kekuasaan yaitu:
 Kekuasaan legislatif, merupakan kekuasaan untuk membuat dan menyusun
undang-undang.
 Kekuasaan eksekutif, merupakan kekuasaan negara untuk melaksanakan
undang-undang berikut pelanggaran terhadap undang-undang.
 Kekuasaan federatif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar
negeri.
2. Montesquieu dengan teori 'Trias Politica' membagi kekuasaan ke dalam tiga
macam yaitu:
 Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat dan membentuk
undang-undang.
 Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.
 Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang
termasuk kekuasaan untuk mengadili setiap pelanggaran terhadap undang-
undang oleh warga negara.

Perbedaan “trias Politica” menurut Locke dan Montesque


Locke dan Montesquieu memiliki kesamaan konsep tentang kekuasaan
legislatif namun konsep lainnya yaitu eksekutif dan yudikatif punya perbedaan
mendasar yaitu:
a. Locke, menilai eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuaaan
yudikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang,
sementara kekuasaan federatif merupakan kekuasaan untuk melakukan
hubungan luar negeri yang beridiri sendiri.
b. Montesquieu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena
melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif sementara
kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan
terpisah dari eksekutif.

Penerapan “Trias Politica”


Pada kenyataannya,pembagian kekuasaan yang dikemukaan Montesquieu lebih
diterima dan banyak diaplikasikan oleh berbagai negara termasuk Indonesia.

a. “Trias Politica” Montesquieu


Konsep ‘’Trias Politika’’ merupakan teory yang memisahkan bahwa kekuasaan
negara dibagi menjadi tiga bagian:
 Eksekutif (pelaksana undang-undang)
Eksekutif merupakan lembaga yang melaksanakan undang-undang.
Lembaga eksekutif dipimpin oleh seorang raja atau presiden beserta
kabinetnya. Tidak hanya melaksanakan undang-undang, lembaga ini juga
mempunyai beberapa kewenangan. Menurut Miriam Budiardjo, lembaga
eksekutif mempunyai kewenangan diplomatik, yudikatif, administratif,
legislatif, dan militer. Kewenangan diplomatik yaitu kewenangan
menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.
Kewenangan yudikatif adalah kewenangan memberikan grasi dan amnesti
kepada warga negaranya yang melakukan pelanggaran hukum. Kewenangan
administratif adalah kewenangan melaksanakan peraturan dan perundang-
undangan dalam administrasi negara. Melalui kewenangan legislatifnya,
seorang presiden atau menteri dapat membuat undang-undang bersama
dewan perwakilan. Lembaga eksekutif juga mempunyai kewenangan
mengatur angkatan bersenjata, menyatakan perang apabila dibutuhkan, dan
menjaga keamanan negara.
 Legislatif (pembuat undang-undang)
Legislatif merupakan lembaga yang dibentuk untuk mencegah kesewang-
wenangan raja atau presiden. Lembaga legislatif yang merupakan wakil dari
rakyat ini diberikan kekuasaan untuk membuat undang-undang dan
menetapkannya. Tidak hanya itu, lembaga ini juga diberikan hak untuk
meminta keterangan kebijakan lembaga eksekutif yang akan dilaksanakan
maupun yang sedang dilaksanakan. Selain meminta keterangan kepada
lembaga eksekutif, lembaga ini juga mempunyai hak untuk menyelidiki
sendiri dengan membentuk panitia penyelidik. Hak mosi tidak percaya juga
dimiliki oleh lembaga ini. Hak ini merupakan hak yang memiliki potensi
besar untuk menjatuhkan lembaga eksekutif.
 Yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang).
Yudikatif mempunyai kekuasaan untuk mengontrol seluruh lembaga negara
yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Lembaga
yudikatif dibentuk sebagai alat penegakan hukum, hak penguji material,
penyelesaian penyelisihan, hak mengesahkan peraturan hukum atau
membatalkan peraturan apabila bertentangan dengan dasar Negara.

Gambar 4 Konstitusi
Trias Politika di Indonesia

Indonesia merupakan Negara yang menganut paham trias politica yaitu suatu
paham yang menyatakan bahwa cabang pemerintahan dibagi atas 3 kekuasaan. Trias
politica yang dipakai Indonesia saat ini adalah pemisahan kekuasaan. Salah satu
buktinya dalam hal membentuk undang-undang. Sebelum perubahan undang-
undang dibentuk oleh presiden, namun setelah perubahan undang-undang dibentuk
oleh DPR. Undang-undang diubah satu kali dalam empat tahap. Saat ini presiden
dapat mengajukan rancangan undang-undang. ‘Trias Politica”di Indonesia yaitu :
a. Kekuasaan legislatif yaitu DPR (Pasal 20 ayat (1), memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang) DPR selain memegang kekuasaan membentuk
undang-undang, dalam melakukan pengawasan memiliki:
 Hak angket yaitu menanyakan kepada presiden mengenai hal-hal yang
mengganggu kepentingan nasional;
 Hak Interperelasi yaitu untuk melakukan penyelidikan.

b. Kekuasaan eksekutif yaitu Presiden (Pasal 4 ayat (1), memegang kekuasaan


pemerintahan) Dalam menjalankan fungsi eksekutif, presiden dibantu oleh wakil
presiden beserta mentri-mentri. Presiden sebagai kepala negara, memiliki
kewenangan untuk mengangkat duta dan konsul; menempatkan duta negara
lain; pemberian grasi dan rehabilitasi; pemberian amnesty dan abolisi; dan
memberi gelar dan tanda jasa.

Sedangkan, Sistem presidensil di Indonesia setelah amandemen UUD 1945


berisdanya kepastian mengenai masa jabatan presiden ;Presiden selain sebagai
kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan; adanya mekanisme saling
mengawasi dan mengimbangi (check and balances); adanya mekanisme
impeachment/ pemakzulan. PP dibuat oleh presiden untuk melaksanakan
undang-undang, jadi suatu UU tanpa PP belum bisa dilaksanakan. Sedangkan
Perpu dibuat dalam hal ikhwal kegentingan Negara.

c. Kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi & Mahkamah Agung (Pasal 24


ayat (1), memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan) MK&MA
memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diatur
pada pasal 24, 24A, 24B, 24C, 25 UU NKRI 1945 dan UU No.4 tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman. Yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman
yang merdeka adalah bebas dari intervensi ekstra yudisial. Tugas hakim yaitu
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dalam rangka
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
VI. The Public Policy Process Theory
I. Teori The Public Policy Process
A. Konsep pembuatan kebijakan
1. Penjelasan teori terkait kebijakan
Model “The public policy process”, meliputi siklus multi-tahap seperti
identifikasi masalah, pengaturan agenda, pembuatan kebijakan,
penganggaran, implementasi, dan evaluasi. Proses mengacu kepada cara
bagaimana kebijakan dimulai, dikembangkan atau disusun, dinegosiasi,
dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Berikut ini siklus multi tahap
The public policy process:
 Identifikasi Masalah
Opini publik mengungkapkan ketidakpuasan dengan kebijakan.
Masalahnya didefinisikan dan diartikulasikan oleh individu dan
lembaga seperti media massa, kelompok kepentingan, dan pihak.
 Pengaturan Agenda
Definisi alternatif sangat penting untuk proses kebijakan dan hasil.
Sebelum suatu kebijakan dapat dirumuskan dan diadopsi, masalah
tersebut harus bersaing untuk mendapatkan ruang dalam agenda.
Suatu gagasan harus membuatnya melalui beberapa tingkatan,
termasuk agenda sistem politik yang luas, agenda kongres, dan agenda
birokrasi. Faktor-faktor kunci dalam penetapan agenda termasuk
kelompok kepentingan, media, dan pejabat pemerintah.
 Pembuatan Kebijakan
Dari masalah yang telah diidentifikasi dan berhasil masuk ke berbagai
agenda, kebijakan harus dirumuskan untuk mengatasi masalah
tersebut. Formulasi kebijakan tersebut kemudian harus diadopsi
(disahkan) melalui proses kongres dan disempurnakan melalui proses
birokrasi.
 Penganggaran
Setiap tahun, Kongres harus memutuskan melalui proses alokasi
berapa banyak uang untuk dibelanjakan pada setiap kebijakan. Secara
umum, suatu kebijakan pertama-tama harus disahkan (diadopsi)
sebelum uang dapat disesuaikan untuk itu dalam anggaran tahunan.
 Implementasi
Lembaga eksekutif (birokrasi) melaksanakan, atau
mengimplementasikan, kebijakan. Implementasi dapat mencakup
mengadopsi aturan dan peraturan, menyediakan layanan dan produk,
kampanye pendidikan publik dll.
 Evaluasi
Mengevaluasi dampak kebijakan, untuk melihat apakah mereka
menyelesaikan masalah yang diidentifikasi dan mencapai tujuan
mereka. Evaluasi melihat biaya dan manfaat kebijakan serta dampak
tidak langsung dan tidak disengaja. Kongres menggunakan fungsi
pengawasannya dan Kantor Akuntansi Umum untuk evaluasi, agensi
mengevaluasi kinerja mereka sendiri, dan evaluator luar termasuk
kelompok kepentingan, akademisi, dan media. Evaluasi sering
memicu identifikasi masalah dan babak baru penetapan agenda dan
pembuatan kebijakan. (Laits, 2013)
2. Aplikasi kebijakan dan monitoring evaluasi kebijakan
Implementasi teori ini salah satunya memasukkan TB pada agenda
kebijakan dan menyusun kebijakan DOTS pada tahun 1970: Masa
ketidakpedulian dan kepuasaan. Selama tahun 1970, program
pemberantasan TB dilaksanakan di banyak negara berpendapatan penduduk
rendah dan menengah,dengan mencapai hasil yang biasa saja. Hanya ada
satu LSM internasional, International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUATLD), yang berusaha mencari jalan untuk meningkatkan
program TB, sebagian besar melalui upaya yang dilakukan oleh salah satu
dokter umum yang bergabung dalam LSM tersebut, Karel Styblo. Sejak
awal 1980an, Stybo and IUATLD berusaha untuk mengembangkan suatu
strategi pengawasan dengan menggunakan pengobatan jangka pendek (6
bulan) yang dapat dilaksanakan dan efektif di negara berkembang. Pada saat
program pemberantasan TB masih menggunakan pengobatan dengan jangka
waktu lebih lama, sedangkan komunitas kesehatan masyarakat tidak setuju
dengan best practice dalam pengobatan TB. Selain itu, konteks kebijakan
kesehatan internasional pada tahun 1970an menolak pengembangan
pendekatan vertikal yang dilakukan oleh IUATLD dalam Pemberantasan
TB. Saat ini adalah saat WHO, khususnya Direktor Jenderal, Halfdan
Mahler, mencanangkan tujuan Kesehatan untuk Semua Tahun 2000’.
Tujuan ini akan dicapai melalui gerakan untuk mengembangkan dan
mengintegrasikan layanan kesehatan dasar dinegara miskin. Kesehatan
menekankan pada integrasi keluarga berencana dan imunisasi dalam layanan
kesehatan, bukan pada penetapan program vertikal (khusus) pemberantasan
penyakit.
Akhir tahun 1980an: masa kelahiran kembali dan masa melakukan
percobaan. Minat dan perhatian kembali diberikan pada program TB mulai
pertengahan 1980an oleh negara-negara industri pada saat terjadi
peningkatan jumlah kasus dan jumlah penyakit akibat penggunaan obat.
Pada saat itu sebagian orang percaya bahwa TB merupakan penyakit masa
lalu.Terdapat peningkatan bukti bahwa TB dan HIV/AIDS saling terkait,
dan banyak kematian karena TB dihubungkan dengan HIV. Sejumlah badan
internasional mengawali proses menjadikan TB sebagai agenda kebijakan
kesehatan internasional.World bank membuat suatu kajian terhadap
sejumlah intervensi kesehatan yang berbeda sebagai bagian dari pengkajian
prioritas sektor kesehatan, dan menjadikan pemberantasan TB sebagai
intervensi dengan efektifitas biaya yang tinggi. Komisi Ad Hoc Bidang
Penelitian Kesehatan (yang terdiri dari ahliahli kesehatan masyarakat
terkemuka, dengan bersekretariat di Universitas Harvard) juga menilai TB
sebagai penyakit yang tidak diperdulikan. Para anggota komisi tersebut
bertemu Styblo, dan terkesan dengan pendekatan yang dilakukannya. WHO
memperluas Unit TBnya, dan menugaskan Arata Kochi, mantan pejabat
UNICEF sebagai kepala unit TB yang baru. Salah satu dari tugas
pertamanya adalah sebagai tenaga ahli untuk advokasi dan komunikasi.
Tahun 1990an:Advokasi membuka kesempatan. Program TB WHO
berubah dari penekanan teknis menjadi advokasi intensif pada 1993. Salah
satu buktinya adalah peristiwa media di London pada April 1993 yang
mendeklarasikan TB sebagai suatu‘Global Emergency’.Yang kedua adalah
nama sebutan untuk kebijakan TB yang baru yaitu DOTS (Directly
Observed Therapy) DOTS terdiri dari lima komponen: terapi pengamatan
langsung (dimana petugas kesehatan mengawasi pasien yang sedang
mengkonsumsi obat); pengujian dahak; sistem pencatatan pasien;
penyediaan obat yang efektif; dan komitmen politik. Proses pemberian
sebutan baru ini mengejutkan komunitas akademik dan ilmiah. Kesenjangan
terjadi antara ahli politik dan operasional yang menginginkan
diberlakukannya strategi baru (yang menekankan pentingnya pengembangan
vaksin dan obat baru untuk TB) serta ahli teknis dan ilmiah (yang sebagian
besar merupakan komunitas akademik) yang menyatakan bahwa strategi
WHO yang baru tidak hanya terlalu menyederhanakan penanganan TB
tetapi juga mengurangi pendanaan untuk pengembangan penelitian. Ahli
lain tidak sependapat dengan apa yang awalnya dianggap sebagai kebijakan
yang sangat autokratik, yang membatasi kesempatan untuk membicarakan
cara-cara alternatif untuk mengendalikan TB. (Ogden, 2003)
B. Sistem politik nasional-internasional
Pada abad 19, Inggris mengeluarkan kebijakan kesehatan mengenai
penyakit menular seksual diseluruh Kerajaan Inggris Raya. Berdasar asumsi
kolonial yang dominan, meskipun melihat bagaimana suku dan jenis
kelamin diterapkan dalam masyarakat Inggris, tetap mempertimbangkan
kebijakan yang mencerminkan prasangka dan asumsi kekuasaan penjajah,
dari pada kebijakan yang sesuai dengan budaya setempat. Levine (2003)
menggambarkan keadaan di India, pekerja seks wanita harus mendaftarkan
diri kepada pihak kepolisian sebagai pekerja prostitusi, suatu kebijakan yang
didasarkan pada kepercayaan Inggris bahwa prostitusi tidak membawa tabu
atau stigma tertentu di India. Kepolisian kolonial yang mengurusi prostitusi
mengharuskan rumah-rumah pelacuran untuk mendaftar kepada pihak
berwenang setempat. Asumsi bahwa pemilik rumah pelacuran kejam dan
tidak mengakui kebebasan para pekerjanya menyebabkan pihak colonial
yang berwenang memaksakan suatu pendaftaran yang mewajibkan pemilik
rumah pelacuran bertanggungjawab untuk memeriksakan pekerja mereka.
DiInggris sendiri, rumah pelacuran illegal dan kebijakan mengenai pekerja
seks wanita yang ada adalah yang khusus mengurusi mereka“yang
berkeliaran dijalan”. (Leichter, 1979)
Contoh lainnya yaitu kebijakan program imunisasi dasar di Indonesia,
yang memiliki tujuan menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Dikarenakan masih ada
tantangan orang tua mengimunisasikan anaknya dengan alasan demam,
keluarga tidak mengizinkan, sibuk, akses jauh dll. Maka demi tercapainya
cakupan imunisasi, diadakan kebijakan melaksanakan kesepakatan global
seperti eradikasi polio, eliminasi tetanus maternal dan neonatal, eliminasi
campak, pengendalian rubella sesuai mutu pelayanan standar. Dalam
penyelerenggaraannya mengupayakan kesinambungan melalui perencanaan
program, dan anggaran terpadu (APBN, APBD, dan masyarakat), serta
perhatian khusus bagi wilayah rawan sosial, rawan KLB dan geografis sulit
dijangkau.
C. Globalisasi kebijakan (UU/peraturan) berkaitan dengan kesehatan yang
berlaku di Indonesia
Landasan hukum imunisasi berdasarkan UUD 1945 yaitu
 Pasal 18 ayat 2 : setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, &
berkembang serta perlindungan kekerasan dan diskriminasi.
 Pasal 28 H ayat 1 : setiap orang berhak hidup sejahtera dari lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
 UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 : setiap anak berhak memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental,
spiritual, dan sosial.
 UU kesehatan no 36 tahun 2009 : setiap anak berhak memperoleh imuniasi
dasar sesuai dengan ketentuan untuk mencegah terjadinya penyakit yang
dapat dihindari melalui imunisasi pemerintah wajib memberikan
imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak
 Permenkes no 42 tahun 2013 tentang penyelenggaraan imunisasi

VII. Teori Daniel A Mazmanian dan Paul A Sabatiar


Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier pada tahun 1983. Impelentasi
merupakan upaya yang dilakukan untuk menghasilkan keputusan kebijakan. Proses
implementasi kebijakan dibagi ke dalam 3 variabel (Ayuningtyas, 2018 dan
Kasmad, 2013) yaitu
a. Variabel independen, yaitu sulit tidaknya masalah dikendalikan, hal ini
berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman
obyek, dan perubahan yang dikehendaki.
b. Variabel intervening yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk
menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi
tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana,
keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan dan lembaga
pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak
luar, dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi
yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi,
dukungan publik, sikap dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi
serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dan pejabat pelaksana.
c. Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima
tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk
disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas
hasil nyata, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat
dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat
mendasar.

Perbedaannya, pemikiran Mazmanian dan Sabatier menganggap bahwa suatu


implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksanannya memenuhi apa yang telah
digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis). Di samping itu,
model ini juga memandang bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara
mekanis atau linier, maka penekanannya terpusat pada koordinasi dan kontrol yang
efektif yang mengabaikan manusia sebagai target kelompok dan juga peran dari aktor
lain. Di sinilah kelemahan pendekatan Mazmanian dan Sabatier dalam menjelaskan
proses implementasi yang terjadi jika dibandingkan dengan model yang digunakan
oleh Edward III.
Berdasarkan model implementasi ini, terlihat bahwa keunggulan dari model ini
adalah kemampuannya mengidentifikasi dan menjelaskan proses implementasi
kebijakan, mulai dari output kebijakan sampai pada dampak dari kebijakan tersebu,
yang ditunjukkan sebagai variabel tergantung dan dipengaruhi oleh variabel-
variabel bebas yang teridentifikasi sebagaimana pada gambar model di atas.
Kelemahannya adalah model proses implementasi ini yang relatif rumit, yang tidak
hanya terletak pada birokrasi sebagai implementor, tetapi juga faktor-faktor di luar
birokrasi

Karaktersitik Masalah
1. Ketersediaan teknologi dan teori teknis
2. Keragaman perilaku kelompok sasaran
3. Presentasi kelompok sasaran sebagai bagian dari popilasi
4. Derajat perubahan perilaku yang diharapkan

Variabel Struktural : Kemampuan Variabel Contectual : Variabel diluar


Kebijaksanaan Untuk Menstrukturkan kebijakan yang mempengaruhi
proses implementasi proses impelementasi
1. Kejelasan atau konsistensi tujuan 1. Kondisi sosio-ekonomi dan
2. Penggunaan teori kausal yang teknologi
memadai 2. Dukungan publik
3. Sumber keuangan yang mencukupi 3. Sikap dan sumber-sumber yang
4. Keterpaduan hierarki dalam dan dimiliki kelompok
diantara lembaga pelaksana 4. Dukungan dari atasan
5. Aturan atau keputusan dari bidang 5. Komitmen dan kemampuan
pelaksana kepemimpinan pejabat pelaksana
6. Rekruitmen pejabat pelaksana

Tahap-tahap dalam proses implementasi (Variabel Dependen)


1. OUTPUT Kebijakan Badan Pelaksana
2. Kepatuhan kelompok target memenuhi keluaran
3. Dampak aktual keluaran kebijakan
4. Dampak yang dirasakan dari keluaran kebijakan
5. Revisi undang-undang

Gambar 5 Model pemikiran Mazmanian dan Sabatier


VIII. Teori Merilee Grindle
Model ini menekankan bahwa proses pembuatan kebijakan bersifat interaktif
dan tidak linear. Inti dari model ini adalah inisiatif atau reformasi kebijakan dapat
diubah atau dibatalkan pada setiap tahap siklusnya oleh tekanan dan reaksi dari
orang-orang yang menentangnya. Model interaktif memandang reformasi kebijakan
sebagai proses, dimana pihak yang berkepentingan dapat memberikan tekanan
untuk perubahan di banyak titik.
Keberhasilan implementasi kebijakan menurut Grindle (1980) dipengaruhi oleh
dua variable besar yakni isi kebijakan dan lingkungan implementasi kebijakan.
Variabel isi kebijakan mencakup:
1. Sejauh mana kelompok kepentingan sasaran atau target groups yang
dipengaruhi oleh kebijakan
2. Jenis manfaat yang dihasilkan kebijakan dan yang diterima oleh target groups
3. Derajat perubahan yang diinginkan oleh kebijakan
4. Implementor kebijakan disebutkan dengan rinci
5. Sumber daya yang memadai untuk pelaksanaan kebijakan.

Sedangkan variable lingkungan kebijakan mencakup :


1. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para
aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan
2. Karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa
3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran (target groups)

Gambar 6 Model Grindle


IX. Teori Jones
Menurut Charles O. Jones kebijakan publik merupakan kebijakan yang
digunakan dalam praktek sehari-hari. Namun digunakan untuk mengantikan
kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Charles Jones menganalisis masalah
implementasi kebijakan dengan cara yang skematis, dengan mendasarkan pada
konsep aktivitas-aktivitas fungsional. Mengemukan beberapa dimensi dari
pelaksanaan pemerintah mengenai program-program yang disahkan, kemudian
menentukan implementasinya. Membahas aktor-aktor yang terlibat dengan
memfokuskan pada birokrasi sebagai lembaga pelaksana primer (Suryana, 2009).
Menurut O. Jones ada tiga pilar aktivitas utama yang penting dalam
implementasi kebijakan dan mengoperasikan program, yaitu (Suryana, 2009):
1. Organisasi
Merupakan pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit metode
untuk menjadikan program berjalan (restrukturisasi sumber daya, pembentukan
unit, dan metode untuk pelaksanaan program). Struktur oganisasi yang jelas
diperlukan dalam mengoperasikan program sehingga tenaga pelaksana dapat
terbentuk dari sumber daya manusia yang kompeten dan berkualitas.
2. Interpretasi
Menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan
dapat diterima serta dilaksanakan (merancang program kedalam rencana dan
tindakan yang dapat diterima dan dilaksanakan). Para pelaksana harus mampu
menjalankan program sesuai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana
agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
3. Penerapan
Kebutuhan rutin dari pelayanan pembayaran atau lainnya, yang disesuaikan
dengan tujuan atau perlengkapan program (dukungan pendanaan dan lain-lain
sesuai tujuan program).Perlu adanya pembuatan prosedur kerja yang jelas agar
program kerja dapat berjalan sesuai dengan jadwal kegiatan sehingga tidak
berbenturan dengan program lainnya.
X. Teori Goggin
Malcolm Goggin, Ann Bowman dan James Lester (1990) dalam Lubis (2015)
mengembangkan apa yang disebut “communicatin model” untuk implementasi
kebijakan. Model Goggin ini memperlihatkan bahwa dalam implementasi
kebijakan terdapat variabel independen, intervening dan juga variabel dependen.
Salah satu faktor yang dianggap memiliki peran besar dalam proses ini adalah
“komunikasi” yang menjadi penentu bahwa proses implementasi ini dapat berjalan
baik atau tidak.
Gambar 7 Model Goggin, Bowman dan Lester
Proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer informasi atau pesan
dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih rendah dapat diukur
keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel:
1. Dorongan dan paksaan pada tingkat federal,
2. Kapasitas pusat/negara
3. Dorongan dan paksaan pada tingkat pusat dan daerah (Ayuningtyas, 2018)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin.2012. Analisis Kebijakan : Dari Formulasi Ke Penyusunan
Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara.
Agustino, Leo. 2006. Politik & Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung

Alexander.2009. Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Implementasi Kebijakan


Penyelenggaraan Terminal di Palembang .Bengkulu: Universitas Prof Dr Hazairin

Ayuningtyas, Dumilah .2014. Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Praktik. Jakarta: Rajawali
Pers
__________________. 2018. Analisis Kebijakan Kesehatan. Jakarta (ID): Rajawali Press
Edward III, George C,. 1978. Understanding Public Policy. New Jersey: Prantice Hall

Leichter, H.1979.A Comparative Approach to Policy Analysis: Health Care Policy in Four
Nation. Cambridge: Cambridge University Press

http://www.laits.utexas.edu/gov310/PEP/policy/ (diakses tanggal 23 Febuari 2019 Jam


20:00 WIB)

Kasmad, Rulinawaty. 2013. Implementasi Kebijakan Publik.Makassar(ID): Kedai Aksara.


Marsiani.2017.Implementasi Kebijakan Tentang Perlindungan Anak di Kecamatan
Mandau.Pekan Baru: Jom Fisip Vol 4 No 2

Nawawi, Ismail. 2009. Public Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek).
Penerbit PMN. Surabaya

Ogden, J.2003.The Politics of branding in policy transfer:The case of DOTS for


Tuberculosis control. Social science and medicine 27(1):163-72

Safitri, Ana 2012. Analisis Kebijakan Kesehatan. Makassar: Universitas Hasanudin FKM

Subandi.2013.Implementasi Kebijakan Pelayanan Haji pada Kantor Kementrian Agama


Kabupaten Bintan.Jakarta:Universitas Terbuka

Subarsono, AG. 2009. Analisis Kebijakan Publik Konsep Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sunarno. 2008. Modul Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara
Suryana, Siti Erna Latifi.2009. Implementasi Kebijakan Tentang Pengujian Kendaraan
Bermotor di Kabupaten Aceh Tamiang. Tesis. Program Magister Studi Pembangunan,
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Lemlit Unpad

Wibawa, S.1994.Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada


Winarno, Budi.2005. Teori dan Proses Kebijakan Publik.Yogyakarta: Media Pressindo

Anda mungkin juga menyukai