Anda di halaman 1dari 10

Degradasi Klorofil

Degradasi klorofil yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna pada daun disebabkan
oleh :
1. Enzimatik, enzim yang menyebabkan terjadinya degradasi klorofil adalah enzim klorofilase.
Klorofilase merupakan sebuah esterase dimana secara in vitro dapat mengkatalis pemecahan phytol
dari klorofil membentuk klorofilides dan kemudian Mg yang terikat akan terlepas membentuk
pheophorbide. Aktivitas enzim ini dibatasi oleh porphyrin dengan group karbomethoxy pada C-10 dan
hidrogen pada C-7 dan C-8. Enzim klorofilase ini dapat aktiv pada larutan yang mengandung air,
alkohol, ataupun aceton, dan menyebabkan group phytol akan terlepas dan klorofilide akan
diesterifikasi membentuk baik berupa methyl ataupun ethyl klorofillide. Ketika terjadi proses
pemanasan atau pada kondisi asam, Mg yang terdapat pada klorofillide akan terlepas membentuk
turunan pheophorbide, terlepasnya Mg pada pheophorbide menyebabkan terjadinya perubahan
warna dari hijau menjadi kecoklatan. Pheophorbide yang terbentuk tersebut jika dipanaskan lagi,
akan menyebabkan phytol akan terlepas dan warna yang terbentuk tetap menjadi kecoklatan.
2. Pemanasan dan asam, Selama pemanasan atau proses pemanasan, klorofil dapat dibagi
berdasarkan ada atau tidaknya keberadaan atom magnesium pada bagian tengah tetrapyrolle. Jika
mengandung atom Mg, maka klorofil akan berwarna hijau, sedangkan yang tidak memiliki ion Mg
berwarna coklat seperti minyak zaitun. Ketika terjadi pemanasan, maka terjadi isomerasi. Akibat dari
isomerasi tersebut akan menyebabkan keberadaan Mg akan mudah digantikan oleh 2 atom H yang
akan membentuk pheophytin yang berwarna coklat seperti minyak zaitun. Reaksi ini bersifat
irreversible dalam larutan cair. Jika dibandingkan dengan senyawa chlorophil, pheophytin a dan b
bersifat kurang polar dan lebih cepat di absorbsi pada fhase reverse koloum HPLC. Kestabilan
terhadap panas antara klorofil a dan b berbeda. Klorofil b lebih stabil terhadap pemanasan jika
dibandingkan dengan klorofil a. Stabilitas klorofil a disebabkan oleh efek penarikan elektron pada C-3
formyl group. Degradasi klorofil dalam pemanasan pada jaringan sayuran dipengaruhi oleh pH. Pada
pH 9,0, klorofil bersifat sangat stabil terhadap pemanasan, namun pada keadaan asam, yaitu pada
pH 3,0, klorofil bersifat tidak stabil terhadap pemanasan. Penurunan 1 unit pH dapat terjadi selama
terjadi proses pemanasan melalui pelepasan asam. Proses ini merupakan sutu efek yang merugikan
pada tingkat degradasi klorofil. Selama proses pemanasan dalam waktu 15 menit, klorofil menurun
dengan cepat dan pheophytin meningkat dengan cepat. Pada pemanasan lanjut, pheophytin menurun
dan phyropheophytin meningkat dengan cepat.
3. Photodegradasi. Klorofil dilindungi dari kerusakan sinar matahari selama proses fhotosintesi
pada sel tanaman sehat oleh karoteinoid dan lipid-lipid lain yang terdapat pada sel tanaman tersebut.
Ketika sistem perlindungan ini tidak mampu melindungi lagi baik disebabkan karena tanaman tersebut
telah tua, atau karena ekstraksi pigmen dari jaringan, atau bahkan dari kerusakan sel yang
disebabkan selama proses pengolahan, klorofil rentan mengalami proses photodegradasi. Hasil yang
didapat dari proses photodegradasi adalah terbukanya cincin tetraphyrol dan fragmentasi hingga
terbentuk senyawa dengan berat molekul yang rendah. Reaksi ini dimulai dengan terbukanya salah
satu jembatan methin yang membentuk oksidasi linear tetraphyrol. Singlet oksigen dan radikal
hydroxyl diketahui dihasilkan selama paparan klorofil terhadap cahaya dengan keberadaan oksigen.
Sekali terbentuk, singlet oksigen atau radikal hydroxyl akan bereaksi dengan tetraphyrole dan
membentuk peroksida dan lebih banyak radikal bebas lainnya, akibatnya terjadi kerusakan porphyrin
dan kehilangan warna total.
1. Rasa
Perubahan rasa buah dari asam ke manis disebabkan adanya perubahan asam
organik menjadi gula sederhana. Asam organik merupakan senyawa asam
karbon yang dihasilkan tumbuhan dan hewan. Kebanyakan asam ini tidak
berbahaya dan banyak memberi aroma pada buah dan makanan. Asam organik
yang biasa trdaat dalam buah diantarnya adalah asam format, asetat, fumarat,
sitrat, oksalat, dan sebagainya. Pada buah mentah jumlah asam organik
terkandung didalamnya cukup tinggi, sehingga rasa dominan yang didapat
adalah rasa asam tersebut dan terkadang disertai rasa sepat pada lidah.
Semakin lama asam oranik tersebut akan terdegradasi dan semakin berkurang
jumlahnya. Bukan menghilang, tetapi berubah menjadi gula sederhana yaitu
fruktosa dan glukosa. Seperti yang kita ketahui bahwa rasa gula itu manis.
Kandungan fruktosa memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi dari glukosa.
2. Tekstur
Pada saat mentah, umumnya buah memiliki tekstur yang keras dan semakin
melunak selama proses pematangan. Keras atau lunaknya buah dipengaruhi
oleh kandungan pektin di dalamnya. Pektin merupakan karbohidrat kompleks
alami yang ditemukan pada dinding sel semua tumbuhan dengan jumlah
bervariasi. Pektin ditemukan dalam dinding sel tumbuhan. Pektin berfungsi
mengatur aliran air antara sel dan memberikan kekakuan pada sel.
Pektin dalam buah tekandung dalam bentuk zat pektik yang mudah terhidrolisa.
Zat pektik ini terdapat di dalam middle lamella dari sel-sel buah. Kekerasan buah
disebabkan oleh kadungan pektin yang tidak larut air. Selama proses
pematangan buah zat pektik akan terhidrolisa menjadi komponen-komponen
yang larut air sehingga total zat pektik akan menurun kadarnya dan komponen
yang larut air akan meningkat jumlahnya yang mengakibatkan buah menjadi
lunak. (Muchtadi, 2010)
Selain berbentuk pektin, karbohidrat pada buah juga terdapat dalam bentuk pati,
yang terlihat saat buah masih dalam keadaan mentah yaitu berbentuk tepung.
Pada beberapa jenis buah seperti apel atau mangga yang belum matang, akan
terasa tekstur bertepung. Tepung itu merupakan salah satu bentuk karbohidrat
dalam buah yang lama kelamaan akan menghilang selama proses pematangan
buah. Karbohidrat dalam bentuk pati akan berubah menjadi fruktosa dan
glukosa. Seperti kandungan asam organik, fruktosa dan glukosa ini juga
mempengaruhi tingkat kemanisan buah matang nantinya. Selain fruktosa dan
glukosa, karbohidrat ini akan berubahn menjadi monosakarida lain seperti
arabinosa dan sorbitol (gula alkohol).
Perubahan warna
Warna pada buah-buahan disebabkan oleh adanya pigmen yang pada
umumnya dibedakan atas beberapa kelompok, yaitu klorofil, anthosianin,
flavonoid dan karotenoid. Warna hijau yang dominan pada buah mentah
disebabkan oleh pigmen klorofil. Pada saat masak klorofil akan
menghilang sehingga pigmen yang dominan adalah karotenoid dan anthosianin.
Karotenoid terdiri atas karoten, xanthofil dan likopen. Pigmen athosianin akan
memberikan warna-warna merah, biru dan ungu dalam buah-buahan. Selain
memberikan warna yang cerah dan segar, anthosianin juga membantu
memberikan daya tarik bagi serangga dan burung untuk membantu proses
penyerbukan dan pembentukan biji. Warna-warna yang nampak pada buah
akibat anthosianin, apakah merah, biru, ungu, ungu kebiruan, merah keunguan
dan sebagainya ditentukan oleh konsentrasi, pH dan media atau campuran
pigmen lainnya. Semakin rendah konsentrasi anthosianin warna buah akan
menjadi ungu, sedang jika konsentrasi anthosianin sangat tinggi warna buah bisa
menjadi kehitaman. Pada kondisi pH rendah anthosianin akan memberikan warna
merah, pada pH netral warnanya akan menjadi biru sedangkan pada pH tinggi
warna buah akan memucat. Berbeda dengan karotenoid yang sintesanya terjadi
sebelum buah matang, sintesa anthosianin dapat terjadi setelah panen.
Pembentukan pigmen pada buah dipengaruhi oleh suhu, cahaya, dan
kandungan karbohidrat. Penyimpanan tomat hijau pada suhu rendah akan
mengakibatkan bertahannya warna hijau pada kulit buahnya. Tomat hijau yang
disimpan pada kisaran suhu 10-29 C warnanya akan berangsur berubah menjadi
merah atau jingga. Cahaya akan memacu pembentukan pigmen pada buah-
buahan, sedangkan karbohidrat sangat diperlukan sebab merupakan bahan baku
bagi sintesa pigmen.
Perubahan kandungan protein
Selama pematangan terjadi kenaikan kandungan protein pada buah-
buahan yang diikuti oleh peningkatan aktivitas respirasinya. Pada buah apel
matang, kandungan protein bisa mencapai 0,1% yang sebagian besar terletak
pada kulit buah. Namun selama penyimpanan akan terjadi degradasi protein
menjadi amida, asam amino atau amoniak.
Perubahan tekstur
Tekstur buah dan sayuran terutama tergantung kepada tekanan turgor,
ukuran dan bentuk sel, keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang dan
susunan jaringan. Tekanan turgor disebabkan oleh tekanan isi sel pada dinding
sel dan dipengaruhi oleh konsentrasi zat-zat osmotik aktif dalam vakuola,
permeabilitas protoplasma dan dan elastisitas dinding sel. Selama proses
pemasakan buah terjadi perubahan komposisi dinding sel yang menyebabkan
menurunnya tekanan turgor sel sehingga kekerasan buah menurun. Selama
proses pemasakan, lebih dari 40% pektin tidak larut yang ada pada dinding sel
diubah menjadi pektin yang larut dalam air oleh enzim poli esterase dan poli
galakturonase. Hal tersebut mengakibatkan pelunakan buah selama proses
pematangan.
Perubahan karbohidrat
Selama proses pematangan terjadi proses perombakan pati yang banyak
terkandung pada buah mentah (terutama buah klimakterik) menjadi gula
(sukrosa, fruktosa, dan glukosa). Hemiselulosa menurun dari 9% pada buah
mentah menjadi 1-2% saja setelah matang. Gula-gula yang terbentuk tersebut
merupakan sumber energi bagi proses respirasi. Perubahan tersebut
menyebabkan buah yang telah matang berasa manis dan segar. Pada buah
pisang, kandungan pati saat panen mencapai 20-30%. Setelah 4-8 hari
penyimpanan pada suhu kamar, kandungan patinya akan menutun hingga 4 %
dan setelah 12 hari penyimpanan kandungan patinya akan habis. Pada buah-
buahan yang mengandung pati rendah (apel, jeruk, arbei) hanya memiliki
kandungan pati sangat sedikit setelah panen dan oleh karenanya kandungan
patinya akan segera habis setelah dipanen.
Perubahan vitamin C dan asam organik lainnya
Buah-buahan kaya akan vitamin, terutama vitamin C. Pada saat
pemasakan kandungan Vitamin C pada umumnya meningkat, namun akan
menurun kembali jika buah terlampau masak.
Total asam pada buah mencapai maksimum pada saat perkembangan dan akan
menurun selama proses pemasakan. Kandungan asam pada buah-buahan
berupa asam malat, asam sitrat, asam tartarat, asam oksalat akan menurun
antara 10-40 kali selama pemasakan. Asam organik tersebut digunakan sebagai
sumber energi untuk aktivitas metabolisme.
Perubahan Total Padatan Terlarut
Garcia, Ballesteros, and Albi (1995), mengatakan bahwa aplikasi CaCl2 0,1
M pada buah tomat meningkatkan kandungan total padatan terlarutnya. Wills
and Tirmazi (1981) mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata
pada total padatan terlarut, alkohol tak terlarut, dan total lemak pada buah
advokat yang mendapat perlakuan CaCl2 dibandingkan dengan kontrol. Hal
serupa juga terjadi pada buah mangga yang mendapat perlakuan pasca panen
dengan CaCl2(Tirmazi and Wills 1981). Broto (1986) mengatakan bahwa tidak
terdapat perbedaan total padatan terlarut antara kontrol dengan mangga yang
mendapat perlakuan CaCl2 sampai penyimpanan 12 hari pada suhu kamar. Sinto
(1996), perlakuan CaCl2 5 % dan lama perendaman 10 menit menunjukkan
jumlah total padatan terlarut yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
perlakuan lain dan kontrol. Hal ini mungkin disebabkan oleh waktu pemasakan
yang lebih panjang. Prabawati (1985) yang melakukan penelitian aplikasi
CaCl2 pada buah kesemek mengemukakan bahwa perendaman buah kesemek
dengan CaCl2 akan menurunkan kandungan total gula buah. Hasil penelitian
Sandra (1997) menunjukkan bahwa perlakuan CaCl2 dan GA3 pada buah sawo
tidak mempengaruhi kandungan total padatan terlarutnya. Ben Arie et al. (1996)
mengatakan bahwa buah persimmon yang mendapat perlakuan GA3 memiliki
total karbohidrat yang lebih tinggi pada dinding selnya dibandingkan dengan
kontrol.
Perubahan Total Asam
Garcia et al. (1996) mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata terhadap total asam pada buah stroberi yang mendapat perlakuan
perendaman CaCl2 dibandingkan dengan kontrol. Tirmazi and Wills (1981),
perlakuan CaCl2 pada buah mangga disamping menunda kematangan mangga
juga sekaligus menunda perubahan total asam dan pH buah. Pada kondisi normal
kandungan asam pada buah akan mengalami penurunan selama proses
pematangan (Mootoo et al. 1989). Sinto (1996) mengatakan bahwa perlakuan
konsentrasi CaCl2 dan lama perendaman pada buah pepaya tidak berpengaruh
terhadap pH buah, artinya pH buah masak yang mendapat perlakuan
CaCl2 maupun tidak menunjukkan kisaran yang sama. Garcia, Ballesteros, and
Albi (1995), secara umum perlakuan CaCl2 pada tomat memperkeci laju
penurunan kandungan total asam selama penyimpanan. Namun demikian diduga
suhu penyimpanan merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam
menentukan keasaman tomat. Selanjutnya dikatakan bahwa pH sari buah tomat
yang mendapat perlakuan CaCl2 tidak berbeda dengan pH sari buah tomat yang
tidak mendapat perlakuan. Lurrie and Klein (1992), mengatakan bahwa buah
apel kultivar Ana yang mendapat perlakuan perendaman CaCl2 3 % pada suhu
38 o C tidak menunjukkan perbedaan total asam jika dibandingkan dengan
kontrol selama penyimpanan.
Dari uji organoleptik yang dilakukan terhadap buah mangga yang mendapat
perlakuan CaCl2diketahui bahwa rasa buah yang mendapat perlakuan
CaCl2 tetap disukai sebagaimana halnya buah yang tidak mendapatkan
perlakuan. (Wills and Tirmazi 1981). Broto (1986) mengatakan bahwa dari
analisis kimia diketahui bahwa perlakuan konsentrasi CaCl2 dan lama
perendaman setelah vakum dilepas pada buah mangga tidak berpengaruh
terhadap kandungan total asam buah setelah matang. Sementara itu Cheour et
al. (1991), mengatakan bahwa perlakuan penyemprotan pada buah stroberi 3-9
hari sebelum panen berpengaruh terhadap kandungan asam organik buah
selama penyimpanan pada suhu 4 o C.
Perubahan Vitamin C
Tirmazi and Wills (1981), kandungan asam askorbat (vitamin C) pada buah
mangga matang yang mendapat perlakuan CaCl2 sedikit lebih tinggi dibanding
kontrol, dan hal ini menguntungkan jika ditinjau dari nilai gizinya. Pada proses
pematangan normal (tanpa perlakuan) kandungan vitamin C menurun tajam.
Sandra (1998) mengungkapkan bahwa kandungan vitamin C pada buah sawo
yang mendapat perlakuan CaCl2 dan GA3 tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Demikian juga pada penelitian yang menggunakan CaCl2 pada buah mangga
Gedong (Broto, 1986). Khader (1992) mengatakan bahwa perlakuan mangga
kultivar Mallika dalam GA3 200 ppm yang dikombinasikan dengan vapour
gard 2,5 % pada suhu 15o C akan mengurangi degradasi vitamin C selama
penyimpanan.
Daya Simpan
Yuen (1994) mengatakan bahwa berbagai proses penuaan dan kerusakan
fisiologis pada produk segar hortikultura erat kaitannya dengan defisiensi
kalsium. Klein (1994), buah apel yang mendapat perlakuan perendaman
CaCl2 pada suhu 38-46o C memiliki daya simpan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Perlakuan tersebut mengurangi tingkat serangan jamur selama
penyimpanan antara 42-74 %. Sinto (1996) mengemukakan bahwa buah pepaya
yang mendapat perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 5 % selama 10
menit membutuhkan waktu 22 hari untuk menjadi matang, sedangkan buah
pepaya kontrol hanya membutuhkan waktu 5 hari untuk menjadi matang penuh.
Lurrie and Klein (1992) mengatakan bahwa perlakuan perendaman apel kultivar
Ana dalam larutan CaCl2 38 o C yang dilanjutkan dengan penyimpanan suhu
rendah dapat mempertahankan kualitas buah untuk jangka waktu yang lama.
Martinez, Chaves, and Anon (1994) mengatakan bahwa terjadi penurunan
tingkat respirasi pada buah stroberi yang mendapat perlakuan GA3. Disamping
itu GA3 juga menyebabkan tertundanya sintesa antosianin dan degradasi
klorofil. Ben Arie et al. (1996), perlakuan GA3 pada buahpersimmon dapat
mengurangi kecepatan pelunakan jaringan selama penyimpanan. Cheour et al.
(1991) mengatakan bahwa perlakuan CaCl2 pada stroberi dapat mengurangi
serangan penyakit selama penyimpanan. Sementara itu Conway et al. (1994)
mengemukakan bahwa perlakuan CaCl22 % dan 4 % pada suhu 38 o C pada
buah apel Golden Delicious dapat mengurangi kerusakan dan mempertahankan
ketegaran buah pada penyimpanan 0 C selama 6 bulan. Kombinasi perlakuan
tersebut dapat mengurangi kerusakan sekitar 60 % . Wills and Tirmazi (1982),
buah pear dan pisang yang mendapat perlakuan CaCl2 dan disimpan pada suhu
20o C dapat matang secara normal, namun waktu untuk mencapai puncak
klimakteriknya menjadi berkurang . Lieberman and Wang dalam Fergusson
(1984) mengatakan bahwa ion Ca 2+ dapat mengurangi dan menstabilkan
produksi etilen pada jaringan buah apel selama pematangan.
Mekanisme Kerja Kalsium sebagai penunda kematangan buah
Penggunaan kalsium baik sebelum maupun sesudah panen telah banyak
dilakukan untuk mencegah gugurnya buah , mengurangi kerusakan sesudah
panen dan mengontrol berbagai kerusakan fisiologis pada sayur dan buah.
Terdapat berbagai teknik aplikasi penambahan kalsium di dalam jaringan buah
dan sayur antara lain penyemprotan pada saat sebelum panen, pencelupan pada
larutan CaCl2, atau infiltrasi CaCl2 ke dalam jaringan dengan metode vakum.
Namun cara yang terakhir ini tidak dianjurkan untuk buah yang bertekstur lunak
(misal: stroberi), karena justru akan menyebabkan kerusakan mekanis. Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk menguji keuntungan penggunaan kalsium dalam
mempertahankan kualitas dan daya simpan buah dan sayur. Namun demikian,
kecuali untuk apel, belum ada metode aplikasi kalsium yang layak diterapkan
secara komersial dan dengan mudah dapat dilakukan. Dengan demikian studi
yang lebih sistematis mengenai pengaruh kalsium dan teknik aplikasinya
diperlukan untuk mengembangkan metode yang memiliki potensi komersial.
Kalsium memiliki berbagai efek terhadap proses-proses fisiologi pada buah
dan sayur dan memainkan peranan penting dalam mempertahankan kualitas
buah dan sayur. Efek antisenescentpada kalsium terutama berkaitan dengan
aktivitasnya pada jaringan dalam mempertahankan struktur dan fungsi
membran, memperkuat struktur dinding sel dengan masuknya ion Ca2+ ke
dalam lamela tengah dari dinding sel dan meregulasi fosforilasi protein pada
buah yang belum masak. Glenn and Pooviah (1987) membuktikan bahwa
kalsium akan mempertahankan dan memperkuat dinding sel dan selalu berada
dalam bentuk bebas (Ca2+) untuk mencegah kerusakan. Kalsium juga telah
diketahui dapat menurunkan permeabilitas membran terhadap air. Hal tersebut
mengakibatkan aktivitas respirasi menurun, sehingga kalsium dikenal sebagai
ion pengendali respirasi. Ion kalsium tidak berpengaruh secara langsung
terhadap mekanisme kerja ensim-ensim yang bertanggung jawab terhadap
pelunakan jaringan, namun ion kalsium terikat pada polielektrolit polisakarida
terutama galakturonan, yang menghasilkan sebuah kompleks yang dapat
mencegah proses depolimerisasi oleh ensim-ensim hidrolase. Keterikatan ion
kalsium pada galakturonan tergantung pada tingkat esterifikasi, kekuatan ion
dan pH.
Geduspan and Peng (1986) menyatakan bahwa CaCl2 dapat mengurangi
efek chilling injury pada buah tomat, advokat dan okra. Penelitian yang
menggunakan CaCl2 untuk mempertahankan komponen-komponen volatil
ketimun selama penyimpanan dingin menunjukkan bahwa perlakuan
CaCl2 dapat mempertahankan beberapa komponen volatil pada buah ketimun
segar selama penyimpanan. Diketahui bahwa CaCl2 dapat mempertahankan
keberadaan asam linoleat dan asam linolenat pada jaringan buah.
Mekanisme Kerja Gibberelin (GA3) sebagai penunda kematangan buah.
Gibberelin (GA3) adalah sejenis hormon tumbuh yang merupakan suatu
senyawa yang mengandung gibban skeleton, zat kimia yang dikelompokkan ke
dalam terpenoid, yang terbentuk dari unit isoprene yang terdiri dari lima atom
karbon. Dalam proses fisiologi tanaman gibberelin sangat berpengaruh karena
dapat memacu kegiatan metabolisme antara lain memacu pembungaan
(Mendrano and Darnell 1998), memperbaiki ukuran buah (Jiang Lu,Lamikanra
and Leong 1997) serta menghasilkan buah dengan kualitas yang lebih baik
(Belakbir,Ruiz, and Romero 1998).
Dalam proses pematangan buah, gibberelin dapat berperan dalam penundaan
kematangan (Muchtadi 1992). Montero et al. (1998) mengatakan bahwa sedikit
sekali hal yang diketahui tentang mekanisme kerja GA3 dalam mempengaruhi
proses kematangan buah. McGlasson dalam Montero (1998) menduga bahwa
GA3 memiliki peran yang penting dalam biosintesa antosianin. Martinez, Chaves,
and Anon (1994) yang mempelajari efek GA3 terhadap perubahan warna dan
aktivitas respirasi potongan buah stroberi menjelaskan bahwa GA3 memiliki efek
pencegahan (inhibitory effect) terhadap proses kematangan stroberi dengan
menurunkan laju respirasi, menunda sintesa antosianin dan mencegah degradasi
klorofil pada jaringan buah. Pada umbi-umbian GA3 diketahui dapat berperan
untuk memperpanjang fase dormansi umbi, mempertahankan bobot segar umbi
dan mencegah munculnya mata tunas pada umbi selama penyimpanan.
Telah lama diketahui bahwa GA3 memiliki peran penting dalam menunda
penuaan daun pada tanaman. Namun demikian bagaimana mekanisme kerja
GA3 dalam proses penundaan ketuaan tersebut belum diketahui secara pasti.
Tingkat respirasi daun easter lily yang mendapat perlakuan GA3 menurun
dengan cepat tidak lama setelah perlakuan. Rendahnya laju respirasi tersebut
akan menyebabkan kehilangan karbohidrat pada daun yang mendapat perlakuan
tidak sebesar kehilangan karbohidrat yang terjadi pada kontrol. Penelitian yang
dilakukan oleh Ben Arie et al. (1996), yang mengaplikasikan GA3 untuk menunda
kematangan buah persimmon membuktikan bahwa GA3 mampu menghambat
semua perubahan pada dinding sel yang mengarah pada pelunakan jaringan,
meliputi melarutnya lamela tengah, terpisahnya plasmalema dari dinding sel,
penurunan densitas dinding sel, peningkatan daya larut polimer pektin,
hilangnya gula-gula netral (terutama arabinosa dan galaktosa). Dan yang paling
penting GA3 dapat mempertahankan kandungan karbohidrat buah dalam bentuk
pati selama penyimpanan.

Hidrolisis Pati
Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air
untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis pati merupakan
proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang
lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa (Rindit et al,
1998). Proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Enzim, ukuran
partikel, temperatur, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan
baku (volume substrat), dan pengadukan.
Hidrolisis dengan Asam
Metode kimiawi dilakukan dengan cara hidrolisis pati menggunakan
asam-asam organik, yang sering digunakan adalah H2SO4, HCl, dan
HNO3. Pemotongan rantai pati oleh asam lebih tidak teratur dibandingkan
dengan hasil pemotongan rantai pati oleh enzim. Hasil pemotongan oleh
asam adalah campuran dekstrin, maltosa dan glukosa, sementara enzim
bekerja secara spesifik sehingga hasil hidrolisis dapat dikendalikan (Assegaf,
2009).
Hidrolisis dengan Enzim Amilase
Enzim merupakan senyawa protein kompleks yang dihasilkan oleh sel-sel
organisme dan berfungsi sebagai katalisator suatu reaksi kimia (Harwati
dkk,1997). Kerja enzim sangat spesifik, karena strukturnya hanya dapat
mengkatalisis satu tipe reaksi kimia saja dari suatu substrat, seperti hidrolisis,
oksidasi dan reduksi. Ukuran partikel mempengaruhi laju hidrolisis. Ukuran
partikel yang kecil akan meningkatkan luas permukaan serta meningkatkan
kelarutan dalam air (Saraswati, 2006). Temperatur hidrolisis berhubungan
dengan laju reaksi. Makin tinggi temperatur hidrolisis, maka hidrolisis akan
berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan konstanta laju reaksi meningkat
dengan meningkatnya temperatur operasi. Enzim dapat diisolasi dari hewan,
tumbuhan dan mikroorganisme (Azmi, 2006).
Pati merupakan cadangan karbohidrat pada tanaman berbentuk granula-
granula tak larut yang tersusun dari dua macam molekul polisakarida yaitu
amilosa dan amilopektin, umumnya ditemukan pada umbi, akar dan biji. Gula
reduksi terutama dalam bentuk glukosa diperoleh dari hidrolisis pati oleh enzim
amilase yang terdapat pada kapang Rhizopus. Selain dari pati, glukosa dapat
diperoleh dari hidrolisis isoflavon glikosida oleh kapang Rhizopus(Septiani dkk.,
2004). pH untuk enzim acid fungal amilase optimum pada 4 – 5 dan untuk enzim
glukoamilase pada 3,5 – 5 (Novo,1995).
Hidrolisis amilosa oleh a-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama
adalah degradasi menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak.
Degradasi ini terjadi secara cepat diikuti pula dengan menurunnya viskositas
dengan cepat. Tahap kedua relatif lambat dengan pembentukan glukosa dan
maltosa sebagai hasil akhir. Sedangkan untuk amilopektin, hidrolisis dengan a-
amilase menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis a-limit dekstrin yang
merupakan oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu gula yang
semuanya mengandung ikatan a-1,6 glikosidik (Suhartono, 1989).

Antosianin
Struktur dasar dari antosianin adalah antosianidin. Antosianidin atau
aglikon terdiri dari cincin aromatik (A) yang berikatan dengan cincin heterosiklik
(C) yang berisikan oksigen dan diikat oleh ikatan karbon-karbon pada cincin
aromatik ketiga (B). Ketika antosianidin dijumpai dalam bentuk glikosida, maka
disebut antosianin. Antosianin sangat tidak stabil dan peka terhadap kerusakan.
Stabilitasnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, suhu, struktur kimia,
cahaya, pelarut, enzim, flavonoid, protein, dan ion metal (Castañeda-Ovando et
al. 2009).
Biosintesis Antosianin
Antosianin disintesis dalam jalur biosintesis shikimat dan menggunakan
fenilalanin sebagai prekursornya (Gambar 4). Enzim-enzim yang bekerja adalah
PAL (phenylalanineammonialyase), CHS (chalcone synthase), CHI (chalcone
isomerase), F3H (flavonone 3-hydroxylase), F3‘H (flavonoid 30-hydroxylase), DFR
( dihydroflavonol reductase), LDOX ( anthocyanidin synthase), GST (glutathione-
S-transferase) (Guo et al.2001).
Antosianin pada tanaman berfungsi sebagai tabir terhadap cahaya
ultraviolet B dan melindungi kloroplas terhadap intensitas cahaya tinggi.
Antosianin juga dapat berperan sebagai sarana transport untuk monosakarida
dan sebagai pengatur osmotik selama periode kekeringan dan suhu rendah.
Secara umum, antosianin diyakini dapat meningkatkan respon antioksidan
tanaman untuk pertahanan hidup pada stres biotik atau abiotik. Selain itu,
antosianin juga memainkan peranan penting dalam reproduksi tanaman yaitu
menarik polinator yang dapat membantu dalam penyerbukan bunga (Mori et al.
2007).

Antosianin dianggap sebagai komponen penting pada nutrisi manusia


sebagai antioksidan yang lebih tinggi daripada vitamin C dan E. Senyawa ini
dapat menangkap radikal bebas dengan sumbangan atom hidrogen fenolik.
Antosianin dapat ditransportasikan dalam tubuh manusia dan menunjukkan
aktivitas sebagai antitumor, antikanker, antivirus, anti peradangan, menghambat
agregasi trombosit, menurunkan permeabilitas dinding kapiler darah dan
meningkatkan kekebalan tubuh (Stintzing & Carle 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesetabilan
pH
Warna yang ditimbulkan oleh antosianin tergantung dari tingkat keasaman
(pH) lingkungan sekitar sehingga pigmen ini dapat dijadikan sebagai indikator
pH. Warna yang ditimbulkan adalah merah (pH 1), biru kemerahan (pH 4), ungu
(pH 6), biru (pH 8), hijau (pH 12), dan kuning (pH 13). Untuk mendapatkan warna
yang diinginkan, antosianin harus disimpan menggunakan larutan bufer dengan
pH yang sesuai.
Kation
Sebagian kation, terutama kation divalen dan trivalen harus dihindari
karena dapat menyebabkan perubahan warna antosianin menjadi biru hingga
terjadi pengendapan pigmen.Selain itu, permukaan tembaga, baja ringan, dan
besi juga sebaiknya dihindari.
Oksigen
Saat terlarut di dalam suatu larutan campuran, antosianin akan teroksidasi
perlahan-lahan.
Sulfur dioksida (SO2)
Apabila sulfur dioksida bereaksi dengan antosianin maka akan terbentuk
produk yang tidak berwarna.Reaksi perubahan warna tersebut
bersifat reversible sehingga hanya dengan memanaskan SO2 maka warna akan
kembali seperti semula.
Protein
Apabila sumber antosianin bereaksi dengan protein maka akan terbentuk
uap atau endapan Peristiwa ini lebih dipengaruhi oleh pigmen non fenolik yang
bereaksi dengan protein seperti gelatin.
Enzim
Penggunaan beberapa enzim dalam pengolahan makanan yang
mengandung antosianin dapat mengakibatkan kandungan antosianin di
dalamnya hilang atau berkurang.Hal ini sebagian disebabkan oleh
enzim glukosidase yang ada pada tahap preparasi enzim.

Anda mungkin juga menyukai