Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

Myastenia Gravis

Oleh :

Gabriella Selara Pangarepo (112018046)

Pembimbing :

Dr. Elisa Harlean, Sp.S

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


Fakultas Kedokteran UKRIDA
RSUD Cengkareng
Periode 29 Juli – 31 Agustus 2019

1
KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG

Nama : Gabriella Selara P Tanda Tangan

NIM : 11-2018-046

Dr. Pembimbing : dr. Elisa Harlean, Sp.S

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. FSD

Umur : 63 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status perkawinan : Menikah

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

Alamat : Perum Kali Deres Permai Blok B7 Jakarta

Di rawat di ruang : Kontrol di Poliklinik

Tanggal Pemeriksaan : 9 Agustus 2019

PASIEN DATANG KE RS :

Bersama Suaminya

2
II.SUBJEKTIF

Anamnesa
Autoanamnesa & Alloanamnesa kepada suami pasien
● Keluhan Utama :
Kedua kelopak mata kiri dan kanan terasa berat dan menutup sendiri yang di alami sejak
kurang lebih 14 tahun yang lalu.
● Keluhan Tambahan :
Terkadang melihat benda atau bayangan menjadi dua, bicara serak
● Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang pasien datang ke Poliklinik Saraf RSUD Cengkareng dengan keluhan
kedua kelopak mata terasa berat dan menutup sendiri yang di alami sejak kurang lebih
14 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan terkadang melihat benda atau bayangan
menjadi dua, bicara serak, sulit menelan, leher bagian belakang terasa berat dan cepat
lelah jika beraktifitas dan pulih kembali setelah istirahat gejala berkurang pada pagi hari
dan memburuk jika siang hari.
Keluhan ini berawal sekitar 14 tahun yang lalu dimana pasien merasa kelopak mata
kiri terasa berat dan menutup sendiri serta terkadang pasien juga melihat benda atau
bayangan menjadi dua, ia lalu berobat ke dokter spesialis mata yang ada di Malaysia,
setelah dilakukan pemeriksaan dan menjalani pengobatan selama beberapa bulan
menurut pasien tidak ada perbaikan, sehingga dokter spesialis mata mengarahkannya ke
dokter spesialis saraf. Akhirnya pasien memilih untuk berobat ke dokter spesialis saraf
di jakarta, dokter spesialis saraf mendiagnosa pasien menderita miastenia gravis,
kemudian pasien diberikan obat mestinon. Pasien mengatakan telah mengkonsumsi obat
mestinon sejak lama, namun tidak teratur diminum karena pasien sering lupa dan
kehabisan obat. Pasien mengatakan 5 tahun berikutnya setelah kelopak mata kiri yang
terkena kemudian mata kanan pasien juga terasa berat dan menutup sendiri dan ketika
ia berbicara semakin lama suaranya semakin serak, gejala sulit menelan juga sering
dirasakan hilang timbul terutama ketika minum dan makan cair ia mengatakan sering
tersedak, leher bagian belakang terasa berat dan cepat lelah jika beraktifitas namun pulih
kembali setelah istirahat. Kelemahan di anggota gerak disangkal, sesak napas disangkal.
Riwayat penurunan berat badan dalam setahun terakhir disangkal.

3
● Riwayat Kebiasaan
Aktifitas pasien sehari-hari adalah ibu rumah tangga. Pasien tidak merokok, pasien tidak
mengkonsumsi alkohol dan pasien jarang berolahraga.

● Riwayat Penyakit Dahulu


▪ Hipertensi : Disangkal
▪ Diabetes Melitus : Disangkal
▪ Sakit jantung : Disangkal
▪ Asam urat : Disangkal
▪ Trauma : Disangkal
▪ Sakit kepala sebelumnya : Disangkal
▪ Kegemukan : Disangkal

● Riwayat Penyakit Keluarga


Di dalam keluarga tidak ada yang memiliki riwayat parkinson, hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit jantung, stroke, riwayat vertigo dan tumor.

● Riwayat Kelahiran / Pertumbuhan / Perkembangan


Tidak ada kelainan.

III. Pemeriksaan Fisik


● Status Internus
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Gizi : BB 54 kg, TB 155 cm, BMI ( 22,87) = normal
- Tanda-tanda vital :
● Tekanan darah : 130/70 mmHg
● Nadi : 88 x/menit
● Pernafasan : 22 x/menit
● Suhu : 36.8 oC (per aksila)
- Limfonodi : Tidak teraba perbesaran
- Jantung : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), gallop (-)

4
- Paru : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
- Hepar : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- Lien : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

● Status Psikiatri
o Tingkah laku : Baik, wajar
o Perasaan hati : Euthym
o Orientasi : Baik
o Jalan fikiran : Koheren
o Daya ingat : Baik

● Status Neurologis
o Kesadaran : Kompos mentis; E4M6V5 GCS = 15
o Sikap tubuh : dalam posisi duduk
o Cara berjalan : baik
o Gerakan abnormal : Tidak ada
o Kepala
▪ Bentuk : Normosefali
▪ Simetris : Simetris
▪ Pulsasi : Teraba
▪ Nyeri tekan : tidak ditemukan
o Leher
▪ Sikap : Normal
▪ Gerakan : Normal
▪ Vertebra : Normal
▪ Nyeri tekan : Tidak ditemukan

o Tanda Rangsang Meningeal


▪ Kaku kuduk : (-)
▪ Laseque : tidak terbatas/tidak terbatas

5
▪ Kernig : tidak terbatas/tidak terbatas
▪ Brudzinski I : Tidak dilakukan
▪ Brudzinski II : Tidak dilakukan

o Nervus Kranialis

N I. (Olfaktorius) Kanan Kiri


Daya Penghidu Normosmia Normosmia
N II. (Optikus)
Tajam pengelihatan Baik Baik

Lapangan pengelihatan Baik Baik

Melihat warna Baik Baik

Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N III, IV dan VI
Ptosis + +
Strabismus - -
Nistagmus - -
Eksoftalmus - -
Gerakan Bola mata
Lateral Baik Baik

Medial Baik Baik

Atas Medial Baik Baik

Bawah Medial Baik Baik

Atas Lateral Baik Baik

Bawah Lateral Baik Baik

Pupil
Ukuran +3 +3
Bentuk Bulat Bulat

6
Iso / anisokor Isokor Isokor
Posisi Di tengah Di tengah
Reflek Cahaya langsung + +
Reflek Cahaya Tidak + +
langsung
N V. (Trigeminus)
Membuka mulut Baik Baik
Mengunyah Baik Baik
Menggigit Baik Baik
Sensibilitas Baik Baik
Refleks kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek Masseter + +
Reflek Zigomatikus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek Bersin Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N VII. (Facialis)
Mengerutkan dahi - -
Mengangkat alis - -
Menutup mata + +
Memperlihatkan gigi + +
Bersiul Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Perasaan lidah bagian 2/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
depan
N VIII. (Vestibulokoklear)
Mendengar suara gesekan Baik Baik
jari tangan
Suara detik jam Baik Baik
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N IX. (Glossofaringeus)
Arcus pharynx Tidak dilakukan Tidak dilakukan

7
Posisi uvula Lurus ditengah Lurus ditengah
Daya pengecapan lidah 1/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek muntah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N X. (Vagus)
Denyut nadi Teraba
Bicara Baik
Menelan Pasien kesulitan ketika menelan ludah
N XI. (Asesorius)
Mengangkat bahu Baik Baik
Memalingkan kepala Baik Baik
Sikap Bahu Simetris Simetris
N XII. (Hypoglossus)
Menjulurkan lidah Simetris
Kekuatan lidah Baik
Atrofi lidah Tidak ada
Artikulasi Jelas
Tremor lidah Tidak ada

o Motorik
Trofi Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofii
Gerakan Bebas Bebas
Bebas Bebas
Kekuatan 5555 5555
5555 5555
Tonus : Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus

o Reflek Fisiologis
▪ Reflek Tendon
● Reflek biceps : +/ +

8
● Reflek triceps : +/ +
● Reflek patella : +/ +
● Reflek Achilles: +/ +
▪ Reflek periosteum : Tidak dilakukan
▪ Reflek permukaan dinding perut : Tidak dilakukan
▪ Reflek kremaster : Tidak dilakukan
▪ Reflek sphincter ani : Tidak dilakukan

o Reflek Patologis
▪ Hoffman Trommer : Tidak dilakukan
▪ Babinski : Tidak dilakukan
▪ Chaddock : Tidak dilakukan
▪ Oppenheim : Tidak dilakukan
▪ Klonus kaki : Tidak dilakukan

o Sistem Sensibilitas
● Nyeri : Baik / Baik
● Suhu : Baik/ Baik
● Taktil : Baik/ Baik

o Koordinasi dan keseimbangan


▪ Tes Romberg : Tidak dilakukan
▪ Tes Tandem : Tidak dilakukan
▪ Tes Fukuda : Tidak dilakukan
▪ Disdiadokokinesis : Tidak dilakukan
▪ Rebound phenomenon : Tidak dilakukan
▪ Dismetri : Tidak dilakukan
▪ Tes telunjuk hidung : Tidak dilakukan
▪ Tes tumit lutut : Tidak dilakukan

9
o Sistem Saraf Otonom
▪ Miksi
● Inkontinensia : Tidak ada
● Retensi : Tidak ada
● Anuria : Tidak ada

▪ Defekasi
● Inkontinensia : Tidak ada
● Retensi : Tidak ada

o Fungsi Luhur
▪ Fungsi bahasa : Baik
▪ Fungsi orientasi : Baik
▪ Fungsi memori : Baik
▪ Fungsi emosi : Baik
▪ Fungsi kognisi : Baik

o Tes Tambahan
Tes Pita Suara : (+) Suara pasien berangsur-angsur menurun dan menghilng
ketika menghitung 1-50

III. Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada

IV. RESUME
Perempuan usia 63 tahun dengan keluhan kedua kelopak mata terasa berat dan menutup
sendiri yang di alami sejak 14 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan terkadang melihat
benda atau bayangan menjadi dua, bicara serak, sulit menelan, leher bagian belakang terasa
berat dan cepat lelah jika beraktifitas dan pulih kembali setelah istirahat gejala berkurang pada
pagi hari dan membaik jika siang hari.

10
Dari pemeriksaan fisik didapatkan ptosis bilateral dan diplopia parese nervus III, parese N.VII
bilateral tipe perifer, pasien sulit menelan (disfagia) parese nervus X, Tes pita suara (+)
disatria.

V. DIAGNOSIS
● Diagnosis klinis : parese nervus III bilateral
parese nervus VII perifer bilateral
parese nervus X
● Diagnosis topis : Neuromuscular Junction
● Diagnosis etiologis : Myastenia Gravis
● Diagnosis sekunder :-

a) Terapi
- Mestinon tab 60 mg 3x1

NON MEDIKAMENTOSA
● Edukasi pasien mengenai pengobatan penyakit dan prognosisnya

b) Prognosis
● Ad vitam : dubia ad bonam
● Ad fungsionam : dubia ad malam
● Ad sanationam : dubia ad malam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi neuromuskular yang
menghasilkan kelemahan otot. Miastenia Gravis berasal dari 2 kata yaitu miastenia dan gravis.
Miastenia berarti kelemahan otot motorik tertentu yang berfluktuasi, terutama yang diinervasi
oleh nukleus motorik di batang otak seperti otot mata (ocular), otot kelopak mata, otot
pengunyah (masticatory) dan otot wajah (facial), gravis sendiri berasal dari kata “grave” yang
berarti buruk atau atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah satu jenis penyakit autoimun.
Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana
antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Dimana miastenia gravis adalah suatu
kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot
rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas atau kelelahan yang cepat (fatigabilitas), dan bila penderita beristirahat, maka
tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya
gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction
Romi dkk mengatakan bahwa Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan kelemahan patologis yang berfluktuasi dengan remisi dan eksaserbasi yang
melibatkan kelompok otot satu atau beberapa rangka, terutama disebabkan oleh antibodi
terhadap reseptor asetilkolin (ACHR) di lokasi pasca sinaptik dari sambungan neuromuskuler
tanpa adanya gangguan sensorik. 1-3

II. Epidemiologi
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang ditemukan.Umumnya
menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini bukan suatu penyakit turunan
ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi
per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus. MG betul-
betul dipertimbangkan sebagai penyakit yang jarang, artinya MG kelihatannya menyerang
dengan sembarangan dan tanpa disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga. Tidak ada
kelaziman rasial, tapi orang-orang yang terkena MG pada usia < 40 tahun, 70 % nya adalah

12
wanita. Yang > 40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini sering disimpulkan dengan
menyebutkan bahwa MG adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang
mengalami MG sebagai akibat karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis
kelamin.4

III. Etiologi
Penyebab MG yang paling umum adalah perkembangan abnormal dari bagian-bagian
imunologis (epitop) di dalam maupun sekitar AChR nicotinik pada postsynaptic endplate
regio neuromuscular junction. Antibodi AChR memicu terjadinya degradasi imun dari AChR
dan membran postsinaptik. Hilangnya AchRs fungsional dalam jumlah besar dapat
menyebabkan berkurangnya jumlah serat otot yang berdepolarisasi selama aktivasi terminal
nervus motorik, mengakibatkan panurunan aksi potensial otot dan kontraksi serat otot yang
penting. Adanya hambatan pada tranmisi neuromuskular dapat menyebabkan kelemahan
secara klinis apabila jumlah serat yang rusak besar.
Pasien yang negatif untuk antibodi anti-ACHR mungkin seropositif untuk antibodi terhadap
MuSK (Muscle-Specific Kinase). Biopsi otot pada pasien ini menunjukkan tanda-tanda
miopati dengan kelainan mitokondria menonjol yang bertentangan dengan fitur neurogenik
dan atrofi sering ditemukan pada pasien positif MG untuk anti-ACHR. Penurunan
mitokondria bisa menjelaskan keterlibatan anti MuSK positif MG okulobulbar.
Sejumlah temuan telah dikaitkan dengan MG, seperti perempuan dan orang dengan leukosit
antigen tertentu manusia (HLA) memiliki kecenderungan genetik terhadap penyakit
autoimun. Profil histokompatibilitas kompleks meliputi HLA-B8, HLA-DRw3, dan HLA-
DQw2 (meskipun ini belum terbukti berhubungan dengan bentuk MG okular). Penyakit SLE
dan RA mungkin berhubungan dengan MG. Sensitisasi terhadap antigen asing yang memiliki
reaktivitas silang dengan reseptor AcH nikotinat telah diusulkan sebagai penyebab miastenia
gravis, tetapi antigen pemicu belum diidentifikasi.5-6
Berbagai obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk yang berikut :
a. Antibiotik (misalnya aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin, eritromisin, dan
ampisilin)

13
b. Penisilamin - Ini dapat menyebabkan miastenia sejati, dengan tingginya titer antibodi
anti-ACHR terlihat pada 90% kasus, namun, kelemahan ringan dan pemulihan penuh
dicapai seminggu sampai sebulan setelah penghentian obat
c. Beta-adrenergik reseptor blocking agen (misalnya, propranolol dan oxprenolol)
d. Lithium
e. Magnesium
f. Procainamide
g. Verapamil
h. Quinidine
i. Klorokuin
j. Prednisone
k. Timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaukoma)
l. Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)
m. Agen blocking neuromuscular (misalnya, vecuronium dan curare) harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien MG untuk menghindari blokade neuromuskuler yang
berkepanjangan
n. Nitrofurantoin juga telah dikaitkan dengan perkembangan MG okular dalam 1 laporan
kasus; penghentian pemberian obat mengakibatkan pemulihan lengkap.

IV. Anatomi Neuromuscular Junction


Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi
normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal
bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-
ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuskular.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb,
yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran
presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot) dan celah sinaps
merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.7

V. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

14
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik.
Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang
merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan
ekstraselular secara difusi.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh).
Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke
dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian
terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin
dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh
terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion
kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin.
Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam
celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan
reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik.7,8
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung
dalam 6 tahap, yaitu:
1) Sintesis asetilkolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin
asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: Asetil-KoA -> Kolin à
Asetilkolin + KoA
2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut
vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya.
Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran
presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter
yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan
sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf
mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk
Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial

15
dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam
rongga sinaps.
4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam
reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari
motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang
tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada
sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya
ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end
plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya
dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul
kontraksi otot.
5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga
sinaps
6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana
protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan
segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit,
yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya
asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran
tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa
ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang
disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan
gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran
otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.

VI. Patofisiologi

16
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia
gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang
terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik
lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor end plate, molekul
asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui neuromuscular junction dan
kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs) di membrane postsinaptik. Kanal-
kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na + dan kation lain untuk masuk ke dalam serat
ototdan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan berkumpul
menjadi satu, dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya
potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan kontraksi. Pada
miastenia gravis (MG), ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor endplate atau
mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang menyebabkan pengurangan jumlah
reseptor pada motor endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor endplate lebih
sedikit dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir. Hasilnya adalah sebuah transmisi
neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari penelitian antara lain: auto
antibodi terhadap reseptor AChR dan menginduksi endositosis, sehingga terjadi deplesi AChR
pada membran postsinaptik, autoantibodi sendiri menyebabkan gangguan fungsi AChR dengan
memblokir situs-situs tempat terikatnya asetilkolin dan autoantibodi menyebabkan kerusakan
pada motor endplates sehingga menyebabkan hilangnya sejumlah AChR.
Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka memiliki antigenisitas
reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam pathogenesis myasthenia gravis (MG)
tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari pasien myasthenia gravis (MG) memiliki beberapa
derajat kelainan timus (misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15% kasus).
Mengingat fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan tindakan
timektomi,timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun, stimulus yang
memulai proses autoimun belum teridentifikasi.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita
miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang
peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia gravis. Tidak diragukan
lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan

17
otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs),
telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired miastenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada
penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat
dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B
justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai
semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel
T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih
awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang
berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit
alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor
asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular
melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-
reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction
dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin
yang baru disintesis.8,9

VII. Manifestasi Klinis


Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot
rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa
ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain :
o Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejala
kelumpuhan nervus okulomotorius, sering menjadi keluhan utama penderita miastenia
gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada
kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot
okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga
sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.

18
o Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan
menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita
sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum
molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum
molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu
dapat keluar dari hidungnya.
Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan diplopia.
Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular. Mungkin ptosis
unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata. Okular MG dikategorikan sebagai
kelemahan dan kelelahan yang tersembunyi dan membahayakan yang dapat terjadi pada satu
atau kedua kelopak mata atau otot bola mata. Jika meliputi kelopak mata yang jatuh biasanya
dikenal sebagai ptosis ; yang mengenai otot extraokular maka pasien akan melihat ganda pada
arah otot yang lemah. Kebanyakan pasien MG mempunyai keluhan diplopia pada saat onset
penyakit mereka. Pasien merasakan penglihatan kabur yang berfluktuasi, biasanya tidak terlihat
beberapa saat setelah bangun tidur. Diplopia terjadi saat pasien melihat ke arah lateral dan ke
atas, biasanya memburuk saat pasien menyetir, menonton tv, atau saat sore hari. Gejala tersebut
hilang apabila satu mata ditutup. Gejala terjadi mungkin disebabkan oleh kelemahan pada satu
otot ekstraokular atau beberapa kombinasi otot. Ptosis biasanya yang paling menonjol dan
terjadi setelah berkedip beberapa kali. Dalam kasus ptosis unilateral, mata yang tidak ptosis
akan mengalami ptosis jika mata yang ptosis dibuka dengan menggunakan jari (Hering
fenomena). Keterlibatan otot luar mata tidak mengikuti pola tertentu. Setiap gangguan motilitas
okular yang didapatkan dengan ptosis dan reflek pupil didapatkan normal, harus mengarahkan
kecurigaan pada myasthenia gravis MG.
Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya kedua
gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah terganggu, lesi yang mempengaruhi saraf
kranial seperti karsinoma nasofaring harus dicurigai. Dengan adanya sensasi wajah normal.
Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah sangat memperlihatkan gejala MG.
Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat.
Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat umum dari MG yaitu
ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan kelopak mata tertutup atas terhadap upaya

19
pemeriksa untuk membukanya. Sebuah usaha dari pasien meskipun terjadi kelemahan kelopak
mata akan memperlihatkan adanya fenomena Bell, rotasi bola mata ke atas selama penutupan
kelopak mata.
Kelemahan Orbicularis Oris merupakan ketidakmampuan pasien untuk mencegah keluarnya
udara melalui kerutan bibir ketika pemeriksa menekan pipi adalah pertanda kelemahan wajah.
Pasien tersebut tidak dapat bersiul, menyedot melalui sedotan, atau meledakkan balon. Bicara
cadel dan kesulitan menelan dapat disebabkan oleh kelemahan lidah, yang paling mudah dinilai
oleh kekuatan mendorong lidah pada satu pipi bagian dalam. Dalam kasus ringan MG, bicara
cadel dapat terdeteksi hanya selama berbicara berkepanjangan, seperti menjelang akhir
wawancara dengan dokter. Suara serak atau berbisik tidak khas pada MG. Otot lidah rentan
terhadap atrofi di MG dan lidah berkerut merupakan manifestasi dari atrofi ini.
Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. Pasien myasthenic dengan
insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas paten
dikatakan crisis. 8-10
Beberapa faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk:
a. Kelelahan, kurang tidur
b. Stres, kecemasan, depresi
c. Kelelahan, gerakan berulang
d. Rasa takut yang muncul secara tiba-tiba, kemarahan ekstrim
e. Sinar matahari atau lampu terang (mempengaruhi mata)
f. Beberapa obat, termasuk beta blocker, calcium channel blockers, dan beberapa
antibiotik
g. Minuman beralkohol
h. Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah
i. Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan mungkin tetap
timbul setelah penyakit / infeksi tersebut sembuh.
j. Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk.

20
Gambar 1.Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular
(ptosis).

Sering terjadi Otot-otot Gejala


Ocular Ptosis dan penglihatan ganda
Wajah Kesulitan mengunyah,
menelan, dan berbicara
Leher Kesulitan mengangkat kepala
saat posisi telentang
Ekstremitas proksimal Kesulitan mengangkat lengan
setinggi bahu dan kesulitan
berdiri dari posisi duduk
dengan bantuan tangan
Pernapasan Gangguan pernapasan dan
kesulitan untuk bangun dari
posisi tertidur
Ekstremitas distal Kelemahan saat mengenggam
Jarang terjadi dan kelemahan
pada pergelangan dan kaki

21
VIII. Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Adanya kelemahan otot-otot okullar, kelemahan pada saat menutup mata dan
Kelas I
kekuatan otot-otot lain normal

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
Kelas II
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat


Kelas Iia
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan


Kelas Iib pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas
IIa.

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
Kelas III
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara


Kelas III a
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara


Kelas III b predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
Kelas IV
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot


Kelas IV a
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan

Kelas IV b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara


predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,

22
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi menjadi:12


1. Ocular miastenia
Terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada
kematian
2. Generalized myiasthenia
a) Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan
bulber.System pernafasan tidak terkena.Respon terhadap otot baik.
b) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak
memuaskan.
3. Severe generalized myasthenia
Acute fulmating myasthenia, Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot
pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat
kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi
thymoma
4. Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia
gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi.
Respon terhadap obat dan prognosis jelek
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak
pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan
tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.

23
IX. Diagnosis Myastenia Gravis
A. Anamnesis
Pasien dapat ditanyakan beberapa hal seperti:
1. Apakah munculnya kelemahan otot fluktuatif dan meningkat dengan aktivitas fisik?
2. Apakah kelemahan meningkat sepanjang hari dan pulih dengan istirahat?
3. Apakah muncul ptosis?
4. Adakah kelemahan dari ekstensi dan fleksi kepala?
5. Apakah kelemahan menyebar dari mata ke wajah untuk bulbar otot dan kemudian
ke truncal dan anggota tubuh?
6. Apakah pasien memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama?

B. Pemeriksaan Fisik
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut:
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan
akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.
Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada
ptosis,maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
3. Uji kelelahan otot
Pada MG okuler, tes kelelahan dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk
berkedip berulang kali atau menatap ke atas selama beberapa saat (uji Simpson).
Meningkatnya penurunan kerja otot adalah tanda kelelahan. Peningkatan fenomena
ptosis dapat ditunjukkan pada pasien dengan ptosis bilateral dengan meninggikan dan
menjaga kelopak mata yang lebih ptosis dalam posisi yang tetap. Kelopak mata
berlawanan perlahan jatuh dan mungkin akan menutup sepenuhnya. Tanda kedutan
kelopak mata merupakan cara lain untuk menguji kelelahan otot. Pasien diarahkan
untuk melihat ke bawah selama 10-15 detik dan kemudian kembali dengan cepat
dalam posisi semula. Pengamatan pada gerak kelopak mata yang lebih ke atas
ditambah dengan kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke kondisi ptosis,
mengidentifikasi kelelahan yang mudah terjadi dan pemulihan yang lambat dari otot.

24
Tanda mengintip terjadi ketika fisura palpebral melebar setelah periode penutupan
kelopak mata secara volunter.
4. Tensilon atau Prostigmin tes
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah
tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya
kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang
lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-
gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.
5. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet
lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah
berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat.
C. Pemeriksaan Laboratorium
o Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien
thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi.
o Antistriated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun,
anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
o Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab.

26
o Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi
yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis.2,4,7
D. Imaging
o Chest x-ray
Foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada
rontgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum. Hasil roentgen belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
o MRI

Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat
digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.
E. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
b. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam
serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang
sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang

26
dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi
pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu
miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda,
biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota
gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah.
Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan
adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan
terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis
akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat
terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum.
Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk
menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-
otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta
ekstensi dari leher.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-
otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami
kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi
dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.
Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah,
sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi
jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana
hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat
diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot
faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap
fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.

26
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering
kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot
yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting
untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis
dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,
yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai
nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.10-11

X. Penatalaksanaan
Beberapa faktor (misalnya, tingkat keparahan, distribusi, kecepatan perkembangan
penyakit) harus dipertimbangkan sebelum terapi dimulai atau diubah.
Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen imunosupresif, seperti
kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan immune globulin intravena
(IVIG).
a. Antikolinesterase
Pyridostigmine bekerja pada otot polos, sistem saraf pusat (SSP), dan kelenjar
sekretori, kerjanya memblok AChE. Agen intermediate-acting, lebih disukai dalam
penggunaan klinis daripada “short-acting” bromida neostigmine dan “long acting”
klorida ambenonium. Bekerja dalam 30-60 menit, efek berlangsung 3-6 jam. MG
tidak mempengaruhi semua otot rangka yang sama, dan semua gejala mungkin tidak
dapat dikendalikan tanpa efek samping. Pemberian antikolinesterase akan sangat
bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil,
kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial
berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram
atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.
b. Neostigmine
Neostigmine menghambat penghancuran AcH oleh AChE, sehingga memfasilitasi
transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor short-acting yang tersedia dalam
bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang sesuai untuk jalur IV, intramuskular
(IM), atau subkutan (SC). Waktu paruhnya 45-60 menit. Obat ini sulit diserap dalam
saluran gastrointestinal (GI) dan harus digunakan hanya jika pyridostigmine tidak
ada. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga

26
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.

c. Steroid
Kortikosteroid adalah agen anti-inflamasi dan imunomodulasi digunakan untuk
mengobati idiopatik dan gangguan autoimun. Obat ini termasuk di antara para agen
imunomodulasi yang pertama kali digunakan untuk mengobati MG dan masih sering
digunakan dan efektif. Obat ini biasanya digunakan dalam kasus sedang atau berat
yang tidak merespon terhadap AChE inhibitor dan thymectomy. Pengobatan jangka
panjang dengan kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan remisi atau
menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien.
d. Imunosupresan
1. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati.
2. Mycophenolate mofetil
Digunakan sebagai suatu monoterapi yang bersifat adjunctive atau corticosteroid-
sparing therapy, dengan dosis 1-1,5 g PO dua kali sehari. Selama mimum obat ini,
disarankan untuk menghindari paparan sinar ultraviolet.
3. Cyclosporine
Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2 x sehari; setelah 4
minggu, dosis dapat dinaikkan 0,5 mg/KgBB/hari dengan interval 2 minggu, sampai
dosis maksimum 4 mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide.
e. Imunoglobulin
IVIG direkomendasikan untuk MG krisis, pada pasien dengan kelemahan berat yang
kurang terkontrol dengan agen lainnya, atau sebagai pengganti dari pertukaran
plasma dengan dosis 1 g / kg.IVIG efektif dalam MG sedang atau berat yang
memburuk menjadi krisis.
f. Thimektomi
Thimektomi merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam myasthenia gravis
(MG),terutama jika ditemukan adanya thymoma. Telah diusulkan sebagai terapi lini

26
pertama pada kebanyakan pasien dengan myasthenia gravis (MG) umum.
Thimectomi dapat menyebabkan remisi. American Association of Neurology
merekomendasikan thimectomi untuk nonthymomatous pasien myasthenia gravis
(MG) autoimun. Thimectomi direkomendasikan sebagai pilihan untuk
meningkatkan kemungkinan remisi atau perbaikan.4,11

XI. Prognosis Miastenia Gravis


a. Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
b. MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
c. 40% hanya gejala okuler.
Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, lebih dari 50% kasus berkembang ke
myasthenia gravis (MG) umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan <10%. Sekitar
15-17% pasien akan tetap mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut rata-
rata hingga 17 tahun. Pasien-pasien ini disebut sebagai myasthenia gravis (MG)
okular. Sisanya mengembangkan kelemahan umum dan disebut sebagai generalized
myasthenia gravis (MG). Sebuah studi dari 37 pasien myasthenia gravis (MG)
menunjukkan bahwa kehadiran thymoma terkait dengan gejala yang lebih buruk.4,10,11

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.
2. Myasthenia Gravis and Related Disorders of The Neuromuscular Junction. In: Ropper A, Brown
R, eds. Adam and Victor’s : Principles of Neurology 8thed. McGraw Hill. 2005; 53:1264-1250.
3. Eric M, Eliahu S, Feen, Jose I. Myasthenia Gravis Crisis. Southern Medical Journal. 2008; 101: 1:
69-63.
4. Romi, Gilhus, Aarli. Myasthenia gravis: clinical, immunological,and therapeutic advances. Acta
Neurol Scand. 2005; 111: 141-134.
5. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa
Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.
6. Keesey, John. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis. Muscle& Nerve. 2004;
29:505-484.
7. Kumala P, Komala S, Santoso AH, Sulaiman JR, Rienita Y. Kamus saku Kedokteran Dorland. 25
ed.EGC. 1998: 723.
8. Burns et al. Myasthenia Gravis. In Netter`s Neurology2nd Edition. 2012; 73: 684-702.
9. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The Neuromuscular Junction Kasper. In:
Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrison’s : Principle of Internal Medicine 18 th ed.
McGraw Hill. 2012; 366: 2523-2518.
10. Burmester GR, Pezzutto A. Color Atlas of Immunology. 1sted. Thieme. 2003: 239-238
11. Anindhita T dan Wiratman W. Buku ajar neurologi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017: h.109.

26

Anda mungkin juga menyukai