Anda di halaman 1dari 159

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK KELAS VIII F

PADA PEMBELAJARAN IPS MELALUI METODE PROBLEM SOLVING


BERBANTUAN MEDIA INFORMASI DI SMP NEGERI 1 SALAMAN
KABUPATEN MAGELANG

NUR HESTININGSIH
NIM 12705259001

Tesis ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan


mendapatkan gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan IPS

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
ABSTRAK

NUR HESTININGSIH: Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik Kelas


VIII F pada Pembelajaran IPS melalui Metode Problem Solving Berbantuan Media
Informasi di SMP Negeri 1 Salaman, Kabupaten Magelang Tesis. Yogyakarta:
Program Pascasarjana, UniversitasNegeri Yogyakarta, 2014.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) meningkatkan kemampuan berpikir kritis


peserta didik melalui penerapan metode pembelajaran problem solving berbantuan
media informasi, dan (2) mendapatkan bukti peningkatan kemampuan berpikir kritis
peserta didik setelah penerapan metode pembelajaran problem solving berbantuan media
informasi.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang terlaksana dalam dua
siklus. Jenis tindakan yang dilakukan adalah pembelajaran IPS dengan metode problem
solving berbantuan media informasi. Media informasi yang digunakan sebagai variasi
adalah media cetak (gambar dan teks), media audio visual dan media internet. Subjek
penelitian terdiri atas 24 peserta didik kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman, Kabupaten
Magelang Tahun Ajaran 2013-2014. Metode pengumpulan data yang digunakan
meliputi observasi dengan lembar observasi untuk mendapatkan data kemampuan
berpikir kritis dan catatan lapangan untuk memperoleh gambaran proses pembelajaran,,
wawancara untuk memperoleh umpan balik dan refleksi dari kolaborator, dan tes untuk
memperoleh data hasil belajar kognitif.
Data yang terkumpul dianalisis dengan statistik deskriptif persentase untuk
memperoleh bukti peningkatan pada setiap siklus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
metode problem solving berbantuan media informasi dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis peserta didik, yang tercermin pada skor rata-rata kemampuan berpikir
kritis dari pra siklus = 63,58 (kurang kritis), siklus I meningkat menjadi 73,30 (cukup
kritis), dan siklus II meningkat lagi menjadi 80,40 (kritis). Persentase peserta didik yang
memiliki skor individual dengan kriteria kritis juga mengalami peningkatan, yaitu dari
pra siklus = 16,67%, siklus I meningkat menjadi 58,33%, dan meningkat lagi pada
siklus II menjadi 91,67%. Peningkatan kemampuan berpikir kritis tersebut diikuti
dengan peningkatan hasil belajar kognitif, yang ditunjukkan dengan peningkatan rata-
rata nilai tes hasil belajar, yaitu dari pra siklus = 68 meningkat menjadi 76 pada siklus I,
dan meningkat lagi menjadi 83 pada siklus II. Persentase ketuntasan hasil belajar
individu yang mencapai nilai KKM (80) juga mengalami peningkatan, yaitu dari pra
siklus = 25%, pada siklus I meningkat menjadi 50%, dan meningkat lagi pada siklus II
menjadi 83%, yang berarti telah mencapai target ketuntasan belajar klasikal yang
ditetapkan (80%). Dengan demikian metode problem solving berbantuan media
informasi dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik pada
pembelajaran IPS di kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman, Kabupaten Magelang.

Kata Kunci: metode problem solving, kemampuan berpikir kritis, media informasi.

ii
ABSTRACT

NUR HESTININGSIH: Increasing the Critical Thinking Skill of Students in Social


Studies through the Problem Solving Method Assisted by Information Media of Grade
VIII F of SMP Negeri 1 Salaman, District of Magelang. Thesis. Yogyakarta:
Graduate School, Yogyakarta State University, 2014.

This study aims: (1) to increase students’ critical thinking skill through the
implementation of the problem solving method assisted by information media, and (2)
to gain evidences the increase of students’ critical thinking ability after the
implementation of the problem solving method assisted by information media.
This research was a classroom action research study which was carried out in
two cycles. The action done was the teaching of social studies through the problem
solving method assisted by information media. The information media used as action
variation were printed media (figure and text), audio visual media, and the Internet
media. The subjects were 24 grade VIII F students of SMP Negeri 1 Salaman, District
of Magelang in the Academic Year of 2013-2014. The method used to collect the data
included an observation using an observation sheet to collect the data of critical thinking
skill and some field notes to obtain learning process view, an interview to get feedback
and reflection from a collaborator, and tests to obtain the result of cognitive learning.
The data were analysed using the percentage descriptive statistic to obtain the evidence
of the increase in each cycle.
The result shows that the problem solving method assisted by information
media is able to increase students’ critical thinking ability, as shown by the average
score of critical thinking ability, which was 63.58 (less critical) in the Pre Cycle test,
increased to 73.30 (quite critical) in Cycle I, and increased again to 80.40 (critical) in
Cycle II. The percentage of the students that have individual score in critical criteria
increased too, which was 16.67% in the Pre Cycle, to 58.33% in Cycle I, and was
91.67% in Cycle II. The increase in the critical thinking skill is followed by the increase
in the cognitive learning result which was proved by the increase in the average of
learning achievement, which was 68 in the Pre Cycle, 76 in Cycle I, and 83 in Cycle II.
The percentage of the students reaching individual mastery learning (80) increased too,
which was 25% in the Pre Cycle, and increased to 50% in the Cycle I, and increased
83% in Cycle II, which means that the target classical mastery learning (80%) can be
achieved. Thus the problem solving method assisted by information media can improve
the critical thinking skill in social studies of the students of grade VIII F of SMP Negeri
1 Salaman, District of Magelang.

Keywords: problem solving method, critical thinking ability, information media

iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Nur Hestiningsih

NIM : 12705259001

Program Studi : Pendidikan IPS Konsentrasi IPS Terpadu

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Berpikir
Kritis Peserta Didik Kelas VIII F pada Pembelajaran IPS melalui Metode Problem
Solving Berbantuan Media Informasi di SMP Negeri 1 Salaman, Kabupaten Magelang”
ini, merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan saya bertanggung jawab sepenuhnya bahwa
dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.

Yogyakarta, Juni 2014

Yang membuat pernyataan,

Nur Hestiningsih

iv
v
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya untuk Allah SWT atas lindungan, rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Peningkatan Kemampuan

Berpikir Kritis Peserta Didik Kelas VIII F pada Pembelajaran IPS Melalui Metode

Problem Solving Berbantuan Media Informasi Di SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten

Magelang” dengan baik.

Tesis ini dapat terwujud atas bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung

maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak Dr. Sugiharsono, M.Si., selaku dosen

pembimbing. Ucapan terima kasih juga kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta dan Direktur Program Pascasarjana beserta

staf yang telah banyak membantu penulis sehingga tesis ini terwujud.

2. Kaprodi Pendidikan IPS dan Sekprodi Pendidikan IPS serta para dosen Pendidikan

IPS yang telah memberikan bekal ilmu.

3. Bapak Dr. Aman, M.Pd. selaku validator yang telah memberikan penilaian, saran,

dan masukan demi perbaikan instrumen.

4. Ibu Dr. Muhsinatun Siasah Masruri, M.Pd. selaku reviewer yang telah memberikan

masukan sehingga terselesaikannya tesis ini.

5. Bapak Abdul Karim, S.Pd., M.Pd. selaku kepala sekolah SMP Negeri 1 Salaman,

Bapak Drs. Muh. Basyar selaku guru IPS dan kolaborator, Ibu Istikomah, S.Pd. dan

Ibu Siti Zubaidah, S.Pd. selaku rekan observer sehingga memperlancar penelitian

ini, serta para guru dan staf SMP Negeri 1 Salaman, atas ijin, kesempatan, bantuan,

serta kerja samanya yang baik sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
vi
6. Suamiku terkasih, Agus Widodo, dan anak-anakku Iqbal dan Salma tersayang

beserta keluarga besar tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayang,

dukungan, motivasi, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan

lancar.

7. Teman-teman mahasiswa Program Pascasarjana khususnya program studi

Pendidikan IPS kerjasama UNY dengan P2TK Kemdikbud angkatan tahun 2012

yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk selalu berusaha sebaik-

baiknya dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

8. Pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini yang tidak dapat

dituliskan satu per satu.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih, semoga Allah SWT selalu

melimpahkan karunia, hidayah, dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Penulis

berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Amiin.

Yogyakarta, Juni 2014

Nur Hestiningsih

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................................... ii
ABSTRACT................................................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
DAFTAR ISI................................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL........................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................ xii
PERSEMBAHAN ........................................................................................................ xiii
MOTTO ....................................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1


A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Diagnosis Permasalahan Kelas................................................................... 15
C. Fokus Penelitian ......................................................................................... 16
D. Tujuan Penelitian........................................................................................ 17
E. Manfaat Hasil Penelitian ............................................................................ 17

BAB II LANDASAN TEORI ...................................................................................... 20


A. Kajian Teori................................................................................................ 20
1. Hakikat IPS........................................................................................... 20
2. Belajar dan Pembelajaran ..................................................................... 26
3. Pembelajaran IPS.................................................................................. 28
4. Metode Problem Solving ...................................................................... 30
5. Media Pembelajaran ............................................................................. 35
6. Media Informasi ................................................................................... 38
7. Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran................................ 40
B. Hasil Penelitian yang Relevan.................................................................... 57
C. Kerangka Pemecahan Permasalahan Kelas................................................ 60
D. Hipotesis Tindakan..................................................................................... 62

BAB III METODE PENELITIAN............................................................................... 63


A. Desain Penelitian Tindakan........................................................................ 63
B. Waktu Penelitian ........................................................................................ 64
viii
C. Deskripsi Tempat Penelitian ...................................................................... 64
D. Subjek dan Karakteristiknya ...................................................................... 64
E. Rencana Tindakan ...................................................................................... 65
F. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ................................................. 68
G. Teknik Analisis Data.................................................................................. 72
H. Kriteria Keberhasilan Tindakan ................................................................. 76

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................ 78


A. Hasil Penelitian .......................................................................................... 78
1. Persiapan Perencanaan Tindakan ......................................................... 78
2. Pelaksanaan dan Hasil Tindakan .......................................................... 79
B. Pembahasan................................................................................................ 124
C. Perolehan Pengetahuan Peneliti ................................................................. 135
D. Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 136

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 138


A. Simpulan..................................................................................................... 138
B. Implikasi..................................................................................................... 139
C. Saran........................................................................................................... 140

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 142

LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor Kemampuan


Berpikir Kritis pada Pra Siklus ................................................................... 11
Tabel 2 Dimensi-kategori Proses Kognitif & Proses kognitif dan nama alternatif.. 46
Tabel 3 Gabungan Dimensi Proses Kognitif dan Dimensi Pengetahuan ................. 50
Tabel 4 Acuan Kriteria Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis ............................... 73
Tabel 5 Rentang Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis.......................................... 74
Tabel 6 Rentang Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis (skor 1-100) .................... 75
Tabel 7 Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor Kemampuan
Berpikir Kritis pada Siklus I ....................................................................... 101
Tabel 8 Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor Kemampuan
Berpikir Kritis pada Siklus II ...................................................................... 121
Tabel 9 Variasi Media Pembelajaran Siklus I dan II Metode Problem Solving
IDEAL berbantuan Media Informasi .......................................................... 125
Tabel 10 Kemampuan Berpikir Kritis per Aspek pada Pra Siklus, Siklus I dan
Siklus II ....................................................................................................... 126
Tabel 11 Kemampuan Berpikir Kritis Aspek Definisi dan Klarifikasi Masalah ....... 128
Tabel 12 Kemampuan Berpikir Kritis Aspek Kemampuan Menilai dan Mengolah
Informasi ..................................................................................................... 130
Tabel 13 Kemampuan Berpikir Kritis Aspek Kemampuan Solusi/Memecahkan
Masalah ...................................................................................................... 132
Tabel 14 Tabel Perbandingan Hasil Belajar pada Pra Siklus, Siklus I dan
Siklus II ....................................................................................................... 133
Tabel 15 Pencapaian KKM secara klasikal pada Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II . 135

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Diagram Proses Problem Solving ........................................................... 34


Gambar 2 Kerucut Pengalaman dari Edgar Dale .................................................... 37
Gambar 3 Skema Model Critical Thinking William Huitt...................................... 51
Gambar 4 Model proses kemampuan berpikir kritis ............................................... 56
Gambar 5 Bagan Kerangka Pikir............................................................................. 61
Gambar 6 Siklus Model Kemmis & Taggart........................................................... 63
Gambar 7 Grafik Kemampuan Berpikir Kritis per Aspek....................................... 127
Gambar 8 Grafik Kemampuan Berpikir Kritis per Indikator Aspek Definisi
dan Klarifikasi Masalah.......................................................................... 129
Gambar 9 Grafik Kemampuan Berpikir Kritis per Indikator Aspek Menilai
dan Mengolah Informasi......................................................................... 131
Gambar 10 Grafik Kemampuan Berpikir Kritis per Indikator Aspek Membuat
Kesimpulan dan Memecahkan Masalah ................................................. 133

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Silabus
a. Silabus siklus I ............................................................................. 146
b. Silabus siklus II............................................................................ 149
Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Siklus I .................... 151
b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Siklus II................... 156
Lampiran 3. Instrumen Penelitian
a. Kisi-kisi observasi kemampuan berpikir kritis ............................ 160
b. Lembar observasi kemampuan berpikir kritis.............................. 163
c. Panduan wawancara guru............................................................. 164
d. Panduan catatan lapangan ............................................................ 166
e. Kisi-kisi soal pre test kemampuan berpikir kritis ........................ 167
f. Soal pre test kemampuan berpikir kritis ...................................... 169
g. Kisi-kisi soal post test siklus I...................................................... 171
h. Soal post test kemampuan berpikir kritis siklus I ........................ 173
i. Kisi-kisi soal post test siklus II .................................................... 176
j. Soal post test kemampuan berpikir kritis siklus II ....................... 177
Lampiran 4. Data Hasil Penelitian Pra Siklus
a. Hasil observasi kemampuan berpikir kritis pra siklus ................. 179
b. Hasil wawancara guru pra siklus ................................................. 180
c. Hasil catatan lapangan pra siklus................................................. 182
d. Hasil pre test pra siklus................................................................ 183
e. Contoh hasil pre test pra siklus.................................................... 184
Lampiran 5. Data Hasil Penelitian Siklus I
a. Hasil observasi kemampuan berpikir kritis siklus I..................... 185
b. Hasil wawancara guru siklus I ..................................................... 186
c. Hasil catatan lapangan siklus I..................................................... 188
d. Hasil post test siklus I .................................................................. 192
e. Contoh hasil post test siklus I ...................................................... 193
Lampiran 6. Data Hasil Penelitian Siklus II
a. Hasil penelitian kemampuan berpikir kritis siklus II................... 194
b. Hasil wawancara guru siklus II.................................................... 195
c. Hasil catatan lapangan siklus II ................................................... 197
d. Hasil pos tes siklus II ................................................................... 200
e. Contoh hasil post test siklus II..................................................... 201
Lampiran 7. Foto dokumentasi pembelajaran ....................................................... 202
Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian............................................................................ 208
Lampiran 9 Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian .......................................... 209
Lampiran 10 Surat Keterangan Validasi ................................................................. 210
Lampiran 11 Lembar Pemeriksaan Tesis................................................................ 211
xii
PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk


Negeriku tercinta Indonesia, “jayalah negeriku, jayalah bangsaku”
Belahan jiwaku, pengobar semangat dan pelabuhan penatku
Putra putriku tercinta, penyejuk mata dan pelitaku
Ibu, terima kasih atas doa-doamu

xiii
MOTTO

“Allah mencukupi orang yang bertawakal”


(QS.Ath-Thalaq: 3)

“Intelligence is not the determinant of success,


but hard work is the real determinant of your success”

“Man Jadda, wa Jada”

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan unsur terpenting dalam pembentukan watak dan kemajuan

suatu bangsa. Dengan pendidikan, suatu bangsa akan memiliki sumber daya manusia

yang berkualitas yang memungkinkan untuk memajukan bangsanya. Untuk

melaksanakan pendidikan, setiap negara memiliki sistem pendidikannya sendiri yang

disesuaikan dengan kepribadian dan tujuan nasional negara tersebut. Demikian juga

Indonesia yang mengatur sistem pendidikan nasionalnya dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) disebutkan

di dalam Pasal 1, Ayat 1 UU Sisdiknas (2003: 2) bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sementara itu, fungsi pendidikan menurut Pasal 3 UU Sisdiknas (2003: 4) disebutkan

sebagai berikut.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk


watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan merupakan usaha yang harus dilakukan

dengan sungguh-sungguh agar dapat mencapai tujuan pendidikan di samping mencapai

tujuan pembelajaran. Implikasi dari UU Sisdiknas tersebut mendorong guru agar selalu

1
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelasnya termasuk juga bagi guru Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS).

Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Berdasarkan

Standar Nasional Pendidikan (2005: 9) pada Pasal 7, Ayat 4 disebutkan bahwa IPS pada

SMP/MTs/SMPLB dimasukkan ke dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan

dan teknologi. Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi

(2006: 5) menetapkan setiap kelompok mata pelajaran memiliki cakupan masing-

masing. Untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada

SMP/MTs/SMPLB, dalam hal ini termasuk IPS, cakupannya adalah “...untuk

memperoleh kompetensi dasar ilmu pengetahuan dan teknologi serta membudayakan

berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri”.

Dengan dasar tersebut maka sudah seharusnya pembelajaran IPS diarahkan pada

penguasaan kompetensi bukan hanya dalam pengetahuan saja tetapi juga dalam budaya

berpikir ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri. Hal ini yang sering kurang diperhatikan

oleh guru yaitu membekali peserta didik dengan budaya berpikir ilmiah tersebut. Guru

sering hanya terfokus pada penguasaan kompetensi dasar ilmu pengetahuan semata dan

tidak mengajarkan cara berpikir. Padahal, dengan memberikan bekal kompetensi

berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri, peserta didik akan dapat memperoleh

dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan usahanya sendiri.

Kemudian di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas)

Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses (2007: 5) disebutkan bahwa salah satu

2
prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah “… sebagai proses pembudayaan dan

pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat”. Dalam proses tersebut

diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan dan

mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Maka, dalam Lampiran

Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 dinyatakan bahwa:

Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu
dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalah
proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan,
dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien.

Oleh karena itu, maka pembelajaran yang dilakukan oleh guru sekarang harus

diupayakan berubah dari paradigma pengajaran menuju paradigm pembelajaran. Sesuai

dengan amanat Standar Proses maka guru dalam proses pembelajarannya melakukan

perencanaan, pelaksanaan dan penilaian serta mendapat pengawasan agar pembelajaran

terlaksana secara efektif dan efesien.

Pandangan bahwa mengajar hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan,

dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Ada tiga alasan mengenai hal itu; (1)

peserta didik bukan orang dewasa dalam bentuk mini, tetapi mereka adalah organisme

yang sedang berkembang. Agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugas

perkembangannya, dibutuhkan orang dewasa yang dapat mengarahkan dan

membimbing mereka agar tumbuh dan berkembang secara optimal; (2) ledakan ilmu

pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang tidak mungkin dapat

menguasai setiap cabang keilmuan. (3) penemuan-penemuan baru khususnya dalam

bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman baru terhadap konsep perubahan tingkah

laku manusia. Ketiga hal di atas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar

3
jangan diartikan sebagai proses menyampaikan materi pembelajaran, atau memberikan

stimulus sebanyak-banyaknya kepada peserta didik, akan tetapi lebih dipandang sebagai

proses mengatur lingkungan agar peserta didik belajar sesuai dengan kemampuan dan

potensi yang dimilikinya (Sanjaya, 2012: 100-102).

Maka, sebelum melaksanakan pembelajaran guru perlu melakukan desain

pembelajaran yang baik agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Dikatakan menurut Morison et al. (Gafur, 2012: 3):

......desain pembelajaran mengandung pengertian membuat pola atau rancangan


pembelajaran. Pola atau rancangan yang dimaksud disusun secara sistematis
sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran berlangsung secara optimal dalam
arti tujuan pembelajaran tercapai sesuai yang diharapkan.

Pada umumnya, pembelajaran yang dilaksanakan masih bersifat teacher centered dan

bukan student centered. Hal ini disebabkan karena guru seringkali kurang

mempersiapkan diri di dalam melaksanakan pembelajaran. Tanpa perencanaan dan

persiapan yang matang guru melaksanakan pembelajaran.

Metode yang paling banyak digunakan adalah dengan mengandalkan metode yang

konvensional yaitu ceramah di mana suasana pembelajaran “bersifat guru, aktif murid

pasif”. Menghindari hal tersebut, guru dituntut untuk mengembangkan diri pada

kemampuan pedagogiknya, sehingga guru mampu menetapkan metode pembelajaran

yang tepat sesuai materi yang diajarkan, memilih metode pembelajaran yang menarik

dan menyenangkan, sehingga dapat meningkatkan keaktifan peserta didik,

meningkatkan gairah belajar, dan meningkatkan tanggung jawab peserta didik secara

individu maupun kelompok yang mendorong peningkatan kemampuan berpikir peserta

didik.

4
Peningkatan kemampuan berpikir peserta didik merupakan hal yang sangat

penting bagi peserta didik karena cara peserta didik memperoleh pengetahuan

tergantung bagaimana cara berpikirnya. Menurut Vygotsky (Cole, 1978: 51) “for the

young child, to think means to recall; but for the adolescent, to recall means to think”.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa kanak-kanak berfikir artinya mengingat

sedangkan pada anak yang sudah dewasa mengingat artinya berpikir. Selanjutnya

dinyatakan juga oleh Vygostky (1978: 88) bahwa “human learning presupposes a

specific social nature and a process by which children grow into the intellectual life of

those around them”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa diperlukan pengenalan

lingkungan sosial kepada peserta didik untuk membangun kehidupan intelektualnya.

Apa yang dipikirkan seseorang dipengaruhi oleh kondisi spesifik lingkungan sosialnya.

Jadi, pembelajaran yang baik seharusnya memberikan bekal kepada anak untuk melatih

cara berpikirnya agar dapat digunakan untuk menghadapi situasi dan kondisi sosial yang

dihadapinya.

Sementara pada masa globalisasi sekarang ini, di mana dunia dibombardir dengan

begitu banyak informasi yang mengalir dengan deras dari berbagai arah akan

memberikan dampak yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Begitu

banyak media informasi yang tersedia seperti koran, majalah, televisi dan internet. Iklan

dan pesan yang bermunculan tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan,

tawaran makanan instan, pilih produk ini atau itu, hindari narkoba, cintai produk dalam

negeri dan sebagainya. Beberapa informasi tersebut mungkin penting dan bermanfaat

tetapi lebih banyak informasi yang harus diabaikan atau ditolak.

5
Pemikiran untuk mengikuti atau menolak sebuah informasi untuk menjawab

mengapa informasi tersebut harus diikuti atau ditolak, menuntut sebuah alasan. Alasan

tersebut sering menjadi justifikasi bagi tindakan yang kemudian dilakukan.

Menunjukkan alasan biasanya adalah dengan memberikan argumen yang dapat

mempengaruhi seseorang meskipun argumen kadang diberikan untuk menutupi keadaan

yang sebenarnya. Di sini diperlukan kemampuan untuk menganalisis upaya seseorang

untuk mempengaruhi sehingga seseorang dapat menginterpretasikan suatu perkataan

atau tulisan dan mengevaluasinya dengan atau tanpa argumen yang menyertainya

(Bowell & Kemp, 1965: 1-4).

Pada umumnya pembelajaran hanya terfokus pada pengembangan kognitif peserta

didik pada tataran penguasaan pengetahuan dasar yaitu kemampuan kognitif

“mengingat” (C1). Menurut Bloom (Kuswana, 2012: 31) bahwa “mengingat”

merupakan tataran terendah dalam tingkatan perkembangan berpikir. Bloom membagi

ranah pengetahuan (kognitif) ke dalam 6 tingkatan, yaitu: (C1) pengetahuan, (C2)

pemahaman, (C3) penerapan, (C4) analisis, (C5) sintesis, dan (C6) evaluasi. Dengan

melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi, pembelajaran IPS akan menjadi lebih

bermakna, karena di samping mengajarkan tentang mengingat fakta juga melatih

kemampuan memahami, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.

Kemampuan memecahkan masalah sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-

hari. Sementara itu, kemampuan memecahkan masalah membutuhkan kemampuan

untuk berpikir kritis. Dengan memberikan latihan berpikir kritis dalam pembelajaran

IPS maka diharapkan peserta didik dapat menggunakan kemampuan berpikir kritis

untuk menghadapi konteks kehidupannya yang lebih luas.

6
Untuk itu, guru perlu melakukan proses pembelajaran yang melibatkan

peningkatan kemampuan berpikir peserta didik. Menurut Lipman (Kuswana, 2012: 200)

kemampuan berpikir terdiri dari kemampuan berpikir kritis (critical thinking), berpikir

kreatif (creative thinking), dan kepedulian (caring thinking). Untuk meningkatkan

kemampuan berpikir kritis tentu memerlukan metode pembelajaran yang mampu

melatih peserta didik berpikir kritis dan kreatif dalam menemukan pengetahuan, yaitu

pembelajaran inkuiri (enquiry), penalaran (reasoning), pembelajaran berbasis masalah

(problem based learning) maupun pemecahan masalah (problem solving). Dengan

pemilihan metode yang tepat diharapkan dapat memberikan proses pembelajaran yang

berhasil dan bermakna.

Pemilihan metode pembelajaran yang telah ditentukan memerlukan persiapan.

Menurut Trianto (2012: 5) proses pembelajaran akan efektif apabila dilakukan melalui

persiapan yang cukup dan terencana dengan baik supaya dapat diterima untuk

memenuhi: (1) kebutuhan masyarakat setempat dan masyarakat global, (2)

mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi perkembangan dunia global, (3)

sebagai proses untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Keberhasilan

penyelenggaraan pendidikan formal secara umum dapat diindikasikan apabila kegiatan

belajar mampu membentuk pola tingkah laku peserta didik sesuai dengan tujuan

pendidikan, serta dapat dievaluasi melalui pengukuran dengan menggunakan tes dan

nontes.

Lokasi penelitian berada di SMP Negeri 1 Salaman yang berlokasi di Kabupaten

Magelang, beralamat di Jalan Diponegoro Kecamatan Salaman. Sebagai salah satu

sekolah yang telah mendapat peringkat akreditasi A, SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten

7
Magelang memiliki fasilitas yang cukup memadai. Fasilitas tersebut mencakup

perpustakaan, laboratorium IPA dan laboratorium komputer maupun fasilitas hot spot

yang memungkinkan peserta didik dapat mengakses internet dari ruang-ruang kelas. Hal

ini cukup mendukung dalam kegiatan penelitian ini yang menggunakan media informasi

sebagai media pembelajaran.

Pada kegiatan observasi awal, peneliti melakukan beberapa kegiatan untuk

memperoleh data awal. Kegiatan yang dilakukan meliputi identifikasi masalah dengan

melakukan observasi pelaksanaan pembelajaran IPS di kelas serta wawancara dengan

guru pengampu mata pelajaran IPS pada kelas yang bersangkutan. Selain itu, peneliti

juga melakukan pre test untuk memperoleh gambaran kemampuan berpikir kritis

peserta didik. Kemudian, peneliti bersama dengan kolaborator membuat perencanaan

tindakan untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan.

Penelitian tindakan kelas ini diawali dengan diskusi bersama guru pengampu.

Berdasarkan wawancara awal, ternyata guru belum pernah menggunakan metode

problem solving untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, berikut petikan

wawancara:

P : Apakah Bapak pernah menggunakan metode problem solving?


K : Belum pernah, Bu. Sepertinya menarik. (Lampiran 4b)

Hal tersebut tentu menimbulkan dugaan bahwa kemampuan berpikir kritis di kelas

tersebut masih rendah. Untuk meyakinkan hal tersebut, perlu dilakukan pre test

terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik sebagai langkah observasi awal.

Kemudian dilakukan kegiatan pengamatan pembelajaran IPS pada beberapa

pertemuan yaitu pada tanggal 21 dan 24 Agustus 2013. Melalui observasi pada saat

pembelajaran dapat diperoleh bagaimana aktivitas peserta didik selama proses


8
pembelajaran. Rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik terlihat pada masih

rendahnya jumlah siswa yang mengajukan pertanyaan maupun dalam hal menanggapi

sebuah pernyataan. Dapat mengajukan pertanyaan merupakan salah satu tanda dari

kemampuan berpikir kritis. Dari sejumlah 24 peserta didik, dalam setiap pertemuan

rata-rata hanya terdapat 2-3 peserta didik yang mau bertanya dan hanya pada beberapa

anak tertentu saja. Dilihat dari bobot pertanyaan yang diajukan pun masih berkisar pada

hal-hal yang belum menunjukkan kemampuan berpikir kritis yang tinggi (lihat

Lampiran 4c).

Berdasarkan observasi awal, ditemukan permasalahan antara lain peserta didik

kurang aktif dalam mengajukan pertanyaan meskipun guru sudah memberikan

kesempatan untuk bertanya. Peserta didik masih cenderung bersikap menerima

pengetahuan tanpa mempertanyakan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengalaman

peserta didik atau yang menunjukkan rasa keingintahuan peserta didik. Hal ini

menunjukkan peserta didik belum memiliki sikap yang kritis dalam menanggapi

informasi yang diperolehnya. Sikap ini kurang mendukung peserta didik menjadi

pribadi yang mampu bereaksi secara responsif terhadap peristiwa yang terjadi di

sekitarnya. Padahal sikap ini yang diperlukan dalam kehidupan masa kini yang sering

berubah dan bersifat global agar peserta didik dapat bersikap kritis dalam mengikuti

perkembangan jaman.

Sebelum siklus tindakan dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti mengadakan pre

test pada tanggal 25 September 2013 untuk mengetahui tingkat awal kemampuan

berpikir kritis peserta didik. Alasan peneliti melakukan pre test adalah untuk

memperoleh data tentang kemampuan berpikir kritis peserta didik sebelum dilakukan

9
tindakan. Hal ini diperlukan karena hasil penilaian yang dilakukan oleh guru

sebelumnya tidak dapat digunakan untuk mengukur dan membandingkan kemampuan

berpikir kritis peserta didik. Pre test berupa tes tertulis dengan kisi-kisi soal yang dapat

mengukur tingkat kemampuan berpikir kritis. Dari enam soal yang diberikan pada

tindakan pra siklus diperoleh hasil yang dimuat di dalam Lampiran 4d.

Dari hasil pre test tersebut, ternyata para peserta didik banyak yang tidak mampu

untuk memperoleh hasil belajar sesuai yang diharapkan dalam Buku 1 Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMP Negeri 1 Salaman, yaitu mencapai nilai

sesuai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) individual sebesar 80. Kemudian untuk

melihat KKM klasikal, dari 24 peserta didik hanya terdapat 6 peserta didik yang tuntas

atau mampu mencapai nilai KKM dan 18 peserta didik yang lainnya tidak tuntas atau

tidak mampu mencapai nilai KKM. Artinya KKM klasikal yang dicapai pada saat pre

test tersebut adalah sebesar 25% dari jumlah peserta didik di kelas, yang menunjukkan

masih jauh dari yang ditetapkan oleh satuan pendidikan yaitu sebesar 80% (20 peserta

didik) mencapai KKM individual (lihat Tabel 1, hal. 11).

Kesulitan peserta didik mencapai nilai yang memenuhi KKM dimungkinkan

karena mereka terbiasa untuk mengerjakan soal yang bersifat hafalan saja (C1 dan C2).

Sementara soal yang diberikan dalam pre test menuntut siswa untuk menggunakan

kemampuan berpikir kritisnya di mana dalam penelitian ini mencakup tiga aspek yaitu:

aspek definisi dan klarifikasi, aspek menilai informasi dan aspek memecahkan masalah.

Peserta didik belum terbiasa menghadapi soal yang menuntut kemampuan berpikir

dengan tingkat yang lebih tinggi (C3, C4, C5, dan C6).

10
Kemudian untuk mengevaluasi lebih jauh kemampuan berpikir kritis peserta

didik, dibuat lembar observasi kemampuan berpikir kritis pra tindakan atau pra siklus.

Lembar observasi ini memilah aspek-aspek kemampuan berpikir kritis dalam tiga

indikator pada masing-masing aspeknya. Ketiga indikator akan menggambarkan

kemampuan berpikir kritis peserta didik pada tiap aspeknya. Kemudian dari beberapa

aspek tersebut dijumlahkan skornya sehingga diperoleh skor yang menunjukkan tingkat

kemampuan berpikir kritis yaitu: kritis, cukup kritis, kurang kritis dan tidak kritis. Dari

lembar observasi tersebut, dapat diketahui skor kemampuan berpikir kritis masing-

masing peserta didik yang dapat dilihat dalam lampiran tentang hasil observasi

kemampuan berpikir kritis kelas VIII F.

Kemudian dari skor tersebut dapat dianalisis kriteria tingkat kemampuan berpikir

kritisnya berdasarkan Rentang Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis (Tabel 5, hal. 74).

Secara ringkas dapat diuraikan jika skor yang dicapai lebih dari 20 maka kritis, antara

18 sampai <20 maka cukup kritis, antara 16 sampai <18 maka kurang kritis dan kurang

dari 16 maka tidak kritis. Dari hasil observasi awal diperoleh data kemampuan berpikir

kritis siswa sesuai dengan kriteria di atas dalam Tabel 1 di bawah ini sebagai berikut.

Tabel 1
Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor
Kemampuan Berpikir Kritis pada Pra Siklus

Jumlah Pe se rta
NO Re ntang Skor Kriteria Skor
Didik
1 ≥ 20 Kritis 4

2 18 - 19,99 Cukup Kritis 7


3 16 - 17,99 Kurang Kritis 8

4 < 16 Tidak Kritis 5

JUMLAH 24

11
Dari Tabel 1 tersebut, dapat diketahui bahwa masih ada peserta didik yang

memiliki kemampuan berpikir kritis dengan kriteria ”kurang kritis” 8 orang dan ”tidak

kritis” 5 orang. Terdapat 4 orang peserta didik yang ”kritis” dan 7 orang ”cukup kritis”.

Hasil belajar peserta didik secara klasikal belum memenuhi tuntutan dalam KTSP

di SMP N 1 Salaman, yaitu 80% peserta didik dalam kelas mencapai nilai sesuai KKM

individual. Nilai KKM individual untuk mata pelajaran IPS dalam Dokumen 1 KTSP di

SMP Negeri 1 Salaman ditentukan 80. Dari dokumen penilaian guru pada mata

pelajaran IPS tercatat bahwa yang sudah mencapai KKM adalah 17 dari 24 peserta didik

(71%) atau masih terdapat 7 peserta didik yang belum mencapai KKM individual.

Seharusnya, jumlah peserta didik yang mencapai KKM individual adalah sebanyak 20

orang atau jumlah peserta didik yang tidak mencapai KKM individual tidak boleh lebih

dari 4 orang. Akan tetapi, dari data penilaian tersebut diperoleh bukti bahwa masih

terdapat lebih dari 4 peserta didik yang belum mencapai KKM individual.

Cara mengajar guru yang cenderung berorientasi pada target materi menyebabkan

guru lebih berperan sebagai pemberi pengetahuan dan peserta didik hanya sebagai

penerima pengetahuan. Keadaan ini didorong oleh muatan kurikulum yang selama ini

dirasakan oleh guru cukup padat. Hal ini menyebabkan, peningkatan kemampuan

berpikir kritis peserta didik tidak mendapat perhatian yang cukup dari guru.

Metode pembelajaran yang digunakan pada umumnya adalah ceramah, pemberian

soal latihan dan diskusi kelompok. Guru lebih sering menggunakan metode ceramah

yang cenderung bersifat komunikasi searah sehingga kurang menarik perhatian peserta

didik. Masih terlihat beberapa peserta didik merasa jenuh yaitu kurang bersemangat dan

apatis pada saat diskusi dan ceramah. Kegiatan diskusi secara klasikal yang dilakukan

12
peserta didik juga kurang mendapat tanggapan pertanyaan dari peserta didik.

Kebanyakan dalam kegiatan pembelajaran yang lebih sering dilakukan oleh peserta

didik adalah mendengarkan, mengerjakan soal, dan mencocokkan jawaban. Meskipun

kegiatan pembelajaran ini cukup lancar dalam pelaksanannya akan tetapi biasanya

peserta didik kurang memberikan respon ketika diminta untuk bertanya. Peserta didik

bila mengajukan pertanyaan, umumnya terhadap jawaban dari tugas yang tidak dapat

dikerjakannya. Peserta didik belum termotivasi untuk mengajukan pertanyaan sendiri

yang muncul karena rasa keingintahuannya. Diharapkan dengan penggunaan metode

problem solving oleh guru, dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta

didik.

Partisipasi peserta didik dalam pembelajaran IPS sudah cukup baik, terutama

ketika peserta didik diberi pertanyaan dan tugas. Akan tetapi peserta didik belum

memiliki inisiatif dan kemampuan untuk mengajukan pertanyaan secara kritis dan

melakukan analisis terhadap suatu persoalan. Hal ini terbukti ketika peserta didik

diberikan soal yang memerlukan analisis kritis, hanya terdapat beberapa peserta didik

yang mampu memberikan pertanyaan kritis terhadap permasalahan yang diajukan. Oleh

karena itu, guru perlu meningkatkan pembelajaran dengan melatih peserta didik untuk

memiliki kemampuan berpikir kritis. Selain itu, peserta didik juga jarang bertanya saat

proses pembelajaran.

Ditinjau dari evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru, soal-soal yang

diberikan kepada peserta didik cenderung bersifat hafalan dan kurang bersifat analitis.

Dari sejumlah soal yang dibuat guru, tidak mencapai 5% dari seluruh soal tersebut yang

merupakan soal yang bersifat analitis. Dengan demikian, peserta didik kurang mendapat

13
pengalaman untuk menggunakan kemampuan berpikirnya yang lebih tinggi dari sekedar

menghafal.

Penggunaan media dalam pembelajaran IPS selama ini terutama penggunaan LCD

proyektor. Media lainnya yang sering digunakan adalah peta dan globe pada materi

geografi. Akan tetapi untuk variasi media pembelajaran lainnya belum banyak

digunakan. Secara ideal, guru sebaiknya menyiapkan berbagai media pembelajaran

yang sesuai dengan materi agar lebih mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.

Peneliti kemudian berdiskusi lagi dengan guru pengampu mata pelajaran IPS di

kelas tersebut, Bapak Drs. Muh. Basyar. Dari diskusi yang dilakukan maka peneliti dan

guru pengampu memandang perlu untuk memberikan metode yang sesuai guna

meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik di kelas VIII F tersebut. Selain

itu, peneliti juga meninjau sejumlah dokumen soal ulangan harian sebelumnya yang

ternyata masih bersifat hafalan dan belum menggunakan soal-soal yang menuntut

tingkatan kemampuan berpikir yang lebih tinggi atau higher order thinking. Kemudian,

guru pengampu bersedia untuk berkolaborasi dengan peneliti dalam penelitian ini

sebagai pelaksana, sedangkan peneliti sebagai observer ketika proses pembelajaran

berlangsung.

Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan

kemampuan berpikir kritis adalah problem solving. Dengan menggunakan metode ini

peserta didik diajarkan cara untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Dalam

memecahkan masalah terdapat langkah-langkah yang menuntut kemampuan peserta

didik untuk berpikir secara kritis. Dengan menerapkan metode problem solving peserta

didik juga akan mengetahui bagaimana cara untuk memecahkan sebuah persoalan. Cara

14
pemecahan masalah tersebut dapat diaplikasikannya untuk memecahkan masalah-

masalah dalam kehidupan nyata.

Media pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan media informasi. Media informasi yang digunakan dapat bervariasi

seperti media cetak berupa teks atau gambar, media audio visual, maupun media

interaktif melalui internet.

Metode ini selain memungkinkan peserta didik dapat memperoleh pengetahuan

yang direncanakan, sekaligus diharapkan dapat melatih peserta didik untuk berpikir

kritis sehingga peserta didik memiliki peningkatan dalam kemampuan berpikir kritis.

Dengan demikian, peserta didik akan mendapatkan bekal untuk menggunakan

kemampuan berpikirnya dalam menghadapi persoalan-persoalan lain dalam kehidupan

sehari-hari di masa kini maupun di masa yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas

maka peneliti menganggap perlu untuk melakukan penelitian tentang meningkatkan

kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan menggunakan metode pembelajaran

problem solving.

B. Diagnosis Permasalahan Kelas

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan sebelumnya maka dapat

diduga bahwa belum tercapainya KKM klasikal sebesar 80% di kelas VIII F, seperti

yang diharapkan dalam dokumen Buku 1 KTSP SMP Negeri 1 Salaman, disebabkan

oleh:

1. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru masih bersifat konvensional dan

belum mendukung peningkatan kemampuan berpikir kritis.

15
2. Kurangnya variasi dalam penggunaan media belajar menyebabkan peserta didik

kurang mendapat variasi pengalaman pembelajaran yang diperlukan untuk

mendapatkan hasil belajar yang sesuai dengan potensinya.

3. Pembelajaran masih berorientasi pada target materi sehingga peserta didik kadang-

kadang belum memahami yang dipelajari, tetapi sudah harus mempelajari materi

berikutnya.

4. Peserta didik belum mampu untuk mengajukan pertanyaan dan cenderung bersikap

pasif dalam pembelajaran yang menunjukkan rendahnya kemampuan berpikir

kritis.

5. Peserta didik lebih banyak diberi soal yang sifatnya menggali ingatan dan belum

banyak diberi soal yang menggali kemampuan analisisnya.

C. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan diagnosis penyebabnya maka

penelitian ini perlu dibatasi pada masalah kurangnya kemampuan peserta didik dalam

mengajukan pertanyaan dan kecenderungan bersikap pasif yang menunjukkan

rendahnya kemampuan berpikir kritis. Selanjutnya penelitian ini difokuskan pada

peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik melalui penerapan metode

problem solving berbantuan media informasi di SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten

Magelang.

Pemilihan metode problem solving, dimaksudkan untuk melatih kemampuan

berpikir kritis sehingga diharapkan peserta didik dapat memecahkan berbagai persoalan

secara kritis. Media yang dipilih adalah berbagai media informasi untuk mendukung

16
kemampuan berpikir kritis peserta didik, yaitu media cetak berupa gambar dan teks,

media audio visual tentang suatu permasalah sosial dan media informasi internet.

Berdasarkan fokus penelitian tersebut maka masalah dalam penelitian ini dapat

dirumuskan:

1. Bagaimana penerapan metode pembelajaran problem solving berbantuan media

informasi untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik di kelas

VIII F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang?

2. Bagaimana peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang dihasilkan

setelah penerapan metode pembelajaran problem solving berbantuan media

informasi di Kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk:

1. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik melalui penerapan metode

pembelajaran problem solving berbantuan media informasi di Kelas VIII F SMP

Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang.

2. Mendapatkan bukti peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik setelah

penerapan metode pembelajaran problem solving berbantuan media informasi di

Kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang.

E. Manfaat Hasil Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan penjelasan bagaimana

penerapan metode problem solving dalam pembelajaran IPS sebagai upaya


17
meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik

b. Metode pembelajaran problem solving diharapkan dapat digunakan sebagai

cara yang efektif dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kritis peserta didik

c. Hasil penelitian diharapkan dapat untuk mengendalikan penerapan metode

problem solving dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kritis peserta didik

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Guru

1) Memberikan sumbangan pemikiran dalam menerapkan metode

pembelajaran metode problem solving untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran.

2) Memberikan bahan pertimbangan dalam menentukan metode

pembelajaran yang memberikan manfaat yang lebih besar bagi peserta

didik

b. Bagi Peserta didik

1) Proses kegiatan belajar mengajar IPS di kelas VIII F SMP Negeri 1

Salaman Kabupaten Magelang dapat meningkat

2) Kemampuan berpikir kritis peserta didik di dalam proses pembelajaran IPS

dapat meningkat sehingga peserta didik dapat memperoleh pengetahuan

dengan lebih bermakna

c. Bagi Sekolah

1) Hasil penelitian diharapkan membantu tercapainya tujuan pembelajaran

18
2) Memberikan sumbangan bagi sekolah berupa perbaikan kegiatan

pembelajaran yang diharapkan dapat mengoptimalkan hasil belajar peserta

didik dan juga meningkatkan kualitas sekolah

3) Hasil penelitian diharapkan dapat menciptakan budaya penelitian untuk

menganalisis masalah dan penemuan solusi masalah-masalah

pembelajaran di sekolah

4) Meningkatkan prestasi akademik IPS di SMP Negeri 1 Salaman

5) Peningkatan pemberdayaan fasilitas sekolah seperti perpustakaan dan

multimedia sebagai sumber informasi.

d. Bagi para peneliti

1) Memberi gambaran untuk penelitian selanjutnya untuk mengetahui

peningkatan kualitas pembelajaran secara efektif dan efisien

2) Mengembangkan kesimpulan dari penelitian untuk kajian penelitian

selanjutnya.

19
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Hakikat IPS

a. Pengertian IPS

IPS sebagai salah satu mata pelajaran dalam sistem pendidikan di

Indonesia, di negara-negara Barat dikenal dengan istilah “Social Studies”.

Istilah Social Studies (IPS) berbeda dengan Sosial Science (Ilmu Sosial) yang

dikatakan oleh Saxe social studies diidentifikasi sebagai “upaya membatasi

ilmu-ilmu sosial untuk penggunaan secara pedagogik” (Sapriya: 2011: 34).

Mengacu pada definisi yang dibuat oleh National Council for the Social

Studies (NCSS) dalam tulisan Chapin (2009: 4), IPS (social studies)

didefinisikan sebagai berikut:

Social studies is the integrated study of the social sciences and


humanities to promote civic competence. Within the school program,
social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such
disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography,
history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and
sociology, as well as appropriate content from the humanities,
mathematics, and natural sciences.

Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa IPS adalah kajian

terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk meningkatkan

kompetensi kewarganegaraan. Melalui program persekolahan, IPS

dikembangkan sebagai pembelajaran yang terkoordinasi, sistematis yang

dibangun di atas dasar disiplin ilmu-ilmu: antropologi, arkeologi, ekonomi,

geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi,
20
dan juga kajian yang diperlukan dari humaniora, matematika, dan ilmu

pengetahuan alam. Menurut Sapriya (2011: 39) pembelajaran IPS di Amerika

Serikat menggunakan pendekatan terpadu (integrated approach) sesuai dengan

tujuannya, yaitu untuk membantu para remaja dalam mengembangkan

potensinya agar menjadi warga negara yang baik dalam kehidupan masyarakat

yang demokratis.

Menurut Barth (1991: 7) IPS mengandung perubahan pada abad ke-20

dalam kurikulum dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan kelas XII

terutama ditujukan untuk pendidikan kewarganegaraan. Definisi IPS menurut

Barth adalah: “Social studies is the interdisciplinary integration of social

science ad humanities concepts for the purpose of practicing citizenship skills

on critical social issues”, atau perpaduan interdisiplin dari ilmu-ilmu sosial

dan konsep-konsep humaniora, dengan tujuan untuk mempraktekkan

keterampilan kewarganegaraan dalam menghadapi isu-isu sosial yang

mengancam. Lebih lanjut Barth (1991: 2) menunjukkan bahwa guru dalam

mengajar IPS hendaknya:

(1) social studies is preparation for citizenship, (2) the content to be


studied should be the concepts and themes that reflect on social/personal
issues; (3) the content sould be interdisciplinary and intergrated
troughout the social studies curriculum, and (4) practicing the process of
decision making is the guide to classroom instruction.

Jadi, hendaknya (1) IPS adalah untuk menyiapkan kewarganegaraan, (2) materi

pembelajaran dapat merefleksikan konsep dan tema isu-isu sosial/personal, (3)

materi pembelajaran bersifat interdisiplin dan terpadu melalui kurikulum IPS,

21
dan (4) mempraktekkan proses pengambilan keputusan untuk mengarahkan

pengajaran di kelas.

Jarolimek (1986: 4) mengutip dari NCSS bahwa IPS merupakan

komponen yang penting dalam kurikulum sekolah. Misi utama dalam IPS

adalah membantu anak belajar tentang dunia sosial yang menjadi tempat

hidupnya dan bagaimana ia mendapatkan jalannya; belajar mengatasi

kenyataan sosial; dan mengembangkan pengetahuan, perilaku dan keterampilan

yang dibutuhkan untuk membantu membentuk pengertian kemanusiaan.

Dalam konteks Indonesia, dikatakan oleh Nu’man Somantri (Sapriya,

2011: 11) bahwa Pendidikan IPS untuk persekolahan yang berlaku untuk

pendidikan dasar dan menengah didefinisikan sebagai berikut.

Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-


ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang
diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis
untuk tujuan pendidikan.

Sementara itu, Trianto (2010: 171) mendefinisikan IPS sebagai:

…integrasi dari berbagai cabang-cabang ilmu-ilmu sosial, seperti


sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. IPS
dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan
satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu
sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan
budaya). IPS atau studi sosial merupakan bagian dari kurikulum sekolah
yang diturunkan dari isi materi cabang-cabang ilmu-ilmu sosial:
sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, antropologi, filsagat, dan
psikologi sosial.

Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa secara

singkat pengertian IPS adalah bidang studi dalam pengajaran di sekolah yang

merupakan penyederhanaan dari gabungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora

22
serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasi secara ilmiah untuk tujuan

pedagogis.

b. Tujuan Pembelajaran IPS

Terkait dengan tujuan pembelajaran IPS, NCSS (2006: 2) menyatakan

bahwa “the primary purpose of social studies is to help young people make

informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally

diverse, democratic society in an interdependent world” . Dari pernyataan

tersebut jelaslah bahwa tujuan utama dari IPS adalah untuk membantu kaum

muda membuat keputusan-keputusan yang informatif dan beralasan untuk

kepentingan umum sebagai warga masyarakat dari berbagai budaya,

masyarakat yang demokratis dalam dunia yang saling tergantung. Jadi, social

studies (IPS) ditujukan supaya peserta didik memiliki keterampilan sosial

untuk menjadi warga masyarakat yang baik dalam masyarakat yang luas dan

saling tergantung.

Menurut Chapin (2009: 6) tujuan utama mengajarkan IPS adalah identik

dengan tujuan pendidikan kewarganegaraan (citizenship education). Ada 4

tujuan utama pendidikan kewarganegaraan (citizenship education), yaitu:

1) to acquire knowledge from the social studies, history, and humanities;

2) to develop skills to think and to process information; 3) to develop

appropriate democratic value and beliefs; 4) to have opportunities for

citizenship/social participation.

Empat tujuan tersebut yaitu: 1) untuk memperoleh pengetahuan dari ilmu

pengetahuan sosial, sejarah dan kemanusiaan; 2) untuk mengembangkan

23
keterampilan untuk memikirkan dan memproses informasi; 3) untuk

mengembangkan nilai dan keyakinan demokratis yang sesuai; 4) untuk

mempunyai kesempatan bagi partisipasi sosial/kewarganegaraan.

Keempat tujuan utama tersebut tidak terlepas satu sama lain atau diskrit.

Biasanya tujuan tersebut saling terjalin dan bertumpang tindih. Mungkin akan

terdapat dua tujuan yang berkombinasi, misalnya partisipasi sosial dapat

bertujuan mengajarkan nilai-nilai demokrasi atau dapat pula bertujuan untuk

pencapaian keterampilan dan partisipasi sosial.

Singer (2009: 18) dalam hal tujuan pembelajaran IPS, menyatakan:

......to teach social studies in schools, it has to be organized into


curricula with calendars, units, and lessons that include goals,content,
and concepts that (a) promote academic and social skills, (b) raise
questions, (c) provoke disagreements, (d) address contro-versial issues,
(e) suggest connections, and (f) stimulate action.

Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa untuk mengajarkan IPS haruslah

diorganisasikan ke dalam kurikulum dengan alokasi waktu, unit, dan pelajaran

yang mencakup tujuan, materi dan konsep yang (a) meningkatkan keterampilan

akademik dan keterampilan sosial, (b) memunculkan pertanyaan-pertanyaan,

(c) memancing ketidaksetujuan, (d) ditujukan untuk isu-isu kontroversial, (e)

mengarahkan terjadinya hubungan, dan (f) mendorong lahirnya tindakan.

Sementara itu, menurut Ross (2006: 24) tujuan IPS adalah “(1) socialization

into society’s norms; (2) transmission of facts, consepts, and generalization

from the academic disciplines; and (3) the promotion of critical and reflectif

thinking”. Artinya, IPS digunakan untuk tiga tujuan utama: (1) sosialisasi

norma-norma masyarakat, (2) menghubungkan antara fakta, konsep, dan

24
generalisasi dari disiplin keilmuan, dan (3) melahirkan pemikiran kritis dan

reflektif. Adapun tujuan utama IPS menurut Nursid Sumaatmaja (Trianto,

2010: 176) adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka

terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental

positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil

mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa didrinya

sendiri maupun yang menimpa masyarakat.

Berdasar berbagai pendapat tersebut maka tujuan pembelajaran IPS dapat

dirangkum sebagai berikut membekali peserta didik dengan pengetahuan, sikap

dan keterampilan yang diperlukannya untuk menjadi warga negara yang baik

dengan pengajaran norma-norma dalam masyarakat, penyebaran keilmuan

dalam bentuk fakta, konsep dan generalisasi serta pembentukan pemikiran

kritis dan reflektif. Peserta didik membutuhkan pengetahuan dan keterampilan

sosial agar dapat mengatasi masalah-masalah sosial yang dihadapinya dengan

sikap yang baik. Peserta didik juga perlu dilatih untuk dapat berpikir secara

kritis dan reflektif agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan dan

perubahan di dalam masyarakat.

c. Karakteristik IPS

Karakteristik mata pelajaran IPS berbeda dengan disiplin ilmu lain yang

bersifat monolitik. IPS merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu-ilmu

sosial, seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan

budaya. Rumusan IPS didasarkan pada realitas dan fenomena sosial melalui

25
pendekatan interdisipliner. Menurut Trianto (2010: 175), rincian karakteristik

IPS di tingkat SMP/MTs tersebut sebagai berikut.

1) IPS (IPS) merupakan gabungan dari unsur-unsur geografi, sejarah,


ekonomi, hukum dan politik, kewarganegaraan, sosiologi, bahkan
juga bidang humaniora, pendidikan dan agama.
2) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS berasal dari struktur
keilmuan geografi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi, yang dikemas
sedemikian rupa sehingga menjadi pokok bahasan atau topic (tema)
tertentu
3) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS juga menyangkut
berbagai masalah sosial yang dirumuskan dengan pendekatan
interdisipliner dan multidisipliner
4) Standar kompetensi dan Kompetensi Dasar dapat menyangkut
peristiwa dan perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip
sebab akibat, kewilayahan, adapatasi dan pengelolaan lingkungan,
struktur, proses dan masalah sosial serta upaya-upaya perjuangan
hidup agar survive seperti pemenuhan kebutuhan, kekuaasaan,
keadilan dan jaminan keamanan.

2. Belajar dan Pembelajaran

a. Pengertian Belajar

Belajar sesungguhnya merupakan kegiatan secara sadar untuk

mendapatkan perubahan perilaku pada diri si pembelajar. Sesuai dengan

pendapat Schunk (2012: 3) yang mendefinisikan belajar dengan menyatakan

“Learning is an enduring change in behavior, or in the capacity to behave in a

given fashion, which results from practice or other forms of experience.”

Pembelajaran adalah perubahan perilaku yang bermakna, atau dalam kapasitas

berperilaku dengan cara tertentu, yang merupakan hasil dari latihan atau

pengalaman bentuk lain. Selanjutnya Schunk mengungkapkan bahwa dalam

belajar terdapat tiga kriteria yaitu (1) learning involves change, (2) learning

endures over time, dan (3) learning occurs through experience, atau dapat

diartikan (1) belajar melibatkan perubahan, (2) belajar membutuhkan waktu,

26
dan (3) belajar terjadi melalui pengalaman. Pendapat Schunk tersebut

menggambarkan bahwa belajar mengubah perilaku secara tahan lama, atau

dalam kapasitas berperilaku dalam membentuk bakat yang dihasilkan dari

latihan maupun pengalaman bentuk lainnya. Terdapat tiga kriteria dalam

belajar yaitu: belajar melibatkan perubahan, belajar berlangsung dalam kurun

waktu yang lama, dan belajar terjadi melalui pengalaman.

Menurut Gagne (Slameto, 2010: 13) berkaitan masalah belajar

memberikan dua definisi: (1) belajar adalah suatu proses untuk memperoleh

motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku; (2)

belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari

instruksi. Menurut Harold Spears (Suprijono, 2011: 2) “belajar adalah

mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti

arah tertentu”.

Jadi, dapat disimpulkan belajar merupakan suatu usaha untuk

memperoleh pengetahuan dan menguasai suatu keterampilan tertentu melalui

pengalaman yang melibatkan panca indera dengan tujuan untuk mendapatkan

perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku yang

diharapkan.

b. Pengertian Pembelajaran

“Pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan

mempelajari. Pembelajaran diartikan juga sebagai upaya guru mengorganisir

lingkungan terjadinya pembelajaran” (Suprijono, 2011: 13). Pendapat lain

mengatakan bahwa “pembelajaran adalah suatu usaha untuk membuat peserta

27
didik belajar atau suatu kegiatan usaha untuk membelajarkan peserta didik”

(Warsita, 2008: 85). Pembelajaran (learning) berbeda dengan pengajaran

(teaching). Perbedaan maknanya bukan hanya pada makna secara leksikal

melainkan juga implementasinya yang berbeda. Jika pengajaran bersifat

teacher-centered maka pembelajaran bersifat student-centered. Sedangkan

dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (20)

“Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan

sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran cenderung

mengutamakan keaktifan peserta didik. Guru hanya berperan sebagai fasilitator

yang dapat mendorong peserta didik supaya melakukan aktivitas sendiri dalam

proses pembelajaran. Untuk itu, guru harus dapat menciptakan lingkungan

pembelajaran yang mendukung dengan mengkombinasikan antara metode

pembelajaran yang digunakan dan media yang mendukung metode tersebut.

Pemilihan metode dan media tersebut disesuaikan dengan materi dan

kompetensi yang diharapkan dapat dikuasai oleh peserta didik.

3. Pembelajaran IPS

Pembelajaran IPS seharusnya mengacu pada definisi social studies yaitu

menggunakan pendekatan keterpaduan. Jika disesuaikan dengan tujuan social

studies maka hendaknya pembelajarn IPS juga mengarah pada pengembangan

potensi peserta didik agar dapat menjadi warga negara yang baik dalam masyarakat

demokratis.

28
Pembelajaran pendidikan IPS menurut Martorella (Trianto, 2010: 173) lebih

menekankan pada aspek “pendidikan” daripada “transfer konsep”, karena dalam

pembelajaran pendidikan IPS peserta didik diharapkan memperoleh pemahaman

terhadap konsep serta mengembangkan dan melatih sikap, nilai, moral dan

keterampilan berdasarkan konsep yang telah dimilikinya.

Konsep IPS di Indonesia menurut Solihatin (2009: 15-21) yaitu: (1) interaksi,

(2) saling ketergantungan, (3) kesinambungan dan perubahan, (4)

keragaman/kesamaan/perbedaan, (5) konflik dan konsesus, (6) pola (patroni), (7)

tempat, (8) kekuasaan (power), (9) nilai kepercayaan, (10) keadilan dan

pemerataan, (11) kelangkaan (scarcity), (12) kekhususan, (13) budaya (culture),

dan (14) nasionalisme.

Lebih lanjut tentang ciri keterpaduan dalam mata pelajaran IPS bertujuan agar

pembelajaran tersebut menjadi lebih bermakna. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Sapriya (2011: 7) bahwa:

Ciri khas IPS sebagai mata pelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah adalah sifat terpadu (integrated) dari sejumlah mata pelajaran
dengan tujuan agar mata pelajaran ini lebih bermakna bagi peserta didik.
Sehingga pengorganisasian materi atau bahan pelajaran disesuaikan dengan
lingkungan, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik.

Dari beberapa kutipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

IPS dilakukan secara terpadu (integrated) dan lebih menekankan pada

pembentukan sikap peserta didik daripada menyampaikan konsep/materi agar

menjadi bermakna bagi peserta didik. Keterpaduan meliputi berbagai aspek

kehidupan manusia baik antar manusia maupun dengan lingkungan hidupnya.

Pembelajaran IPS hendaknya juga disampaikan dengan memperhatikan kebutuhan

29
peserta didik agar mereka mendapat bekal yang cukup dalam kehidupannya yang

sesungguhnya.

4. Metode Problem Solving (Pemecahan Masalah)

a) Pengertian Problem Solving

Di luar pembelajaran, peserta didik sering berhadapan dengan masalah-

masalah sosial dalam kehidupan sehari-hari, sehingga diharapkan dengan

pembelajaran IPS peserta didik mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

ada. Untuk melakukan hal tersebut dibutuhkan kemampuan pemecahan

masalah. Menurut Krulik & Rudnick (1995: 4) “it [problem solving] is the

means by which an individual uses previously acquired knowledge, skill, and

understanding to satisfy the demands of an unfamiliar situation”. Dari definisi

tersebut problem solving dapat dianggap sebagai alat yang digunakan oleh

seseorang untuk menggali pengetahuan, keterampilan dan pemahaman yang

dimiliki sebelumnya, untuk mengatasi situasi (permasalahan) yang tidak biasa

dihadapinya.

Pendapat lain tentang problem solving dikemukakan oleh Huitt (1992: 2)

sebagai berikut: “problem solving is a process in which we perceive and

resolve a gap between a present situation and a desired goal, with the path to

the goal blocked by known or unknown obstacles”. McGregor (2007: 248)

mengatakan, “problem solving offers potentials for application of wide range

of cognitive skills and ways of thinking (including critical, creative and

metacognitive)”. Pendapat Huitt menunjukkan bahwa problem solving

merupakan proses untuk mengatasi hambatan dalam mencapai suatu tujuan,

30
sementara McGregor menunjukkan potensi metode problem solving untuk

mengaplikasikan kemampuan berpikir secara luas dan cara berpikir (termasuk

berpikir kritis, kreatif, dan metakognitif).

Pemecahan masalah atau problem solving merupakan pembelajaran yang

proses utamanya terletak pada diri peserta didik. Variabel dari luar hanya

berupa instruksi verbal yang membantu membimbing peserta didik untuk

memecahkan masalah. Memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses

di mana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya

lebih dahulu untuk memecahkan masalah (Nasution, 2003: 170).

Penting sekali untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah

bagi peserta didik baik itu masalah pribadi maupun masalah sosial. Problem

solving merupakan salah satu metode pembelajaran dengan pendekatan inkuiri.

Pendekatan inkuiri/problem solving digunakan atas dasar pemikiran para ahli

dan hasil-hasil penelitian IPS yang menunjukkan bahwa pendekatan ini

memiliki keunggulan terutama dalam mengembangkan kemampuan berpikir

maupun pengetahuan, sikap, dan nilai pada peserta didik dibandingkan dengan

pendekatan klasikal atau tradisional (Sapriya, 2011: 70).

Beberapa ahli pendidikan, Traill, Logan dan Rimmington mengusulkan

strategi belajar mengajar yang dinamis ialah dengan menggunakan teknik-

teknik inkuiri dan pemecahan masalah. Sementara, Newman memperkenalkan

konsepsi higher-order thinking untuk peserta didik di kelas yang memfokuskan

pad aide untuk memecahkan permasalahan berpikir yang sifatnya incidental

yakni melalui interpretasi, analisis dan manipulasi informasi. Thomas dan

31
Oldfather berusaha mengembangkan suatu pendekatan inkuiri untuk

meningkatkan keterikatan antara guru dan peserta didik dalam proses belajar

mengajar (Sapriya, 2011: 70-71).

b) Langkah-langkah mengajar dengan metode problem solving

Terdapat beberapa cara mengajar dengan menggunakan metode problem

solving. Hamid Hasan (Nasution, 2003: 171) menyebutkan lima langkah

pemecahan masalah yaitu: (1) identifikasi masalah, (2) pengembangan

alternatif, (3) pengumpulan data untuk menguji alternatif, (4) pengujian

alternatif, dan (5) pengambilan keputusan (Depdiknas, 2008: 35). Langkah-

langkah pemecahan masalah sebelumnya telah dipelopori oleh John Dewey,

yaitu (1) pelajar dihadapkan pada masalah, (2) merumuskan masalah, (3)

merumuskan hipotesis, dan (4) menguji hipotesis tersebut. Langkah (1)

merupakan peristiwa ekstern sedangkan langkah-langkah selanjutnya

merupakan peristiwa intern yang terjadi di dalam diri pelajar itu sendiri.

Brandsford dan Stein (1984: 11) mengungkapkan bahwa banyak orang

mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah karena mereka gagal untuk

menggunakan metode yang efisien. Brandsford dan Stein mengusulkan sebuah

metode problem solving dengan lima komponen langkah yang dibuat menjadi

akronim IDEAL. Pendekatan IDEAL untuk memecahkan masalah cukup

sederhana tetapi memiliki kekuatan. IDEAL didisain untuk membantu

mengidentifikasi bagian-bagian yang berbeda dari problem solving.

John Brandsford dan Barry Stein (1984: 12) menggunakan akronim

IDEAL untuk mengidentifikasi lima langkah metode problem solving, yaitu:

32
I Identify the problem (mengidentifikasi) masalah dan peluang;

D Define and represent the problem (membatasi tujuan dan

merumuskan permasalahnnya);

E Explore possible strategies (mengeksplorasi berbagai

kemungkinan strategi);

A Act on the strategies (bertindak sesuai strategi);

L Look back and evaluate the effect of your activities (tinjau

kembali dan memperhitungkan akibat dari tindakanmu).

Langkah pertama adalah mengidentifikasi bahwa ada masalah dan

memperlakukan masalah itu sebagai peluang, memulai prosesnya. Hal ini tidak

selalu mudah dipahami (straightforward). Mengidentifikasi masalah adalah

langkah pertama yang sangat kritis (Woolfolk, 2009: 76). Pada saat penentuan

adanya masalah membutuhkan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

merupakan titik awal bagi proses selanjutnya hingga sampai kepada penemuan

solusi. Oleh karena itu, metode problem solving ini dapat digunakan untuk

mendorong peserta didikuntuk memiliki kemampuan berpikir kritis.

Langkah kedua adalah menetapkan tujuan dan merepresentasikan

permasalahannya. Merepresentasi masalah juga merupakan hal yang sangat

menentukan penetapan tujuan pemecahan masalah. Untuk merepresentasikan

permasalahan dan menetapkan tujuan, harus difokuskan pada informasi yang

relevan, memahami kata-kata dalam pernyataan tentang permasalahannya, dan

mengaktifkan skema yang tepat untuk memahami seluruh masalah. Skema

yang dimaksud adalah struktur yang sama dari berbagai macam kasus yang

33
dapat digunakan sebagai analoginya. Hal ini oleh Brandsford disebut schema-

activated driven problem solving, yaitu mengenali sebuah permasalahan

sebagai sebuah versi “tersamar” dari sebuah permasalahan lama yang solusinya

sudah diketahui. Pengaktifan skema ini akan membantu peserta didik untuk

lebih mudah menemukan berbagai alternatif solusi yang dapat diputuskan.

Langkah ketiga adalah mengeksplorasi berbagai kemungkinan strategi

solusi. Peserta didik diajarkan untuk menemukan skema yang menunjukkan

sebuah solusi dalam setiap permasalahan. Jika belum dapat menentukan skema

sendiri maka bisa digunakan search based route (rute berbasis pencarian)

seperti pada Gambar 1.

Ada dua jalur menuju solusi. Di jalur yang pertama, skema yang tepat diaktifkan dan solusinya
tampak jelas. Akan tetapi bila tidak ada skema, mencari dan menguji dapat menjadi jalur yang
mengarah ke sebuah solusi

Skema diaktifkan STOP

Tidak ada
Skema yang
diaktifkan
Mengonstruksikan Mencari Mencoba Mengevaluasi
representasi solusi solusi itu

Gambar 1
Diagram Proses Problem Solving
Sumber: Woolfolk (2006: 80)

Dalam melakukan pencarian solusi, tersedia dua macam prosedur umum

yaitu: Algoritma dan heuristik. Algoritma (algorithm) adalah prosedur

34
langkah-demi-langkah untuk menyelesaikan suatu masalah; preskripsi untuk

solusi. Algoritma biasanya domain-spesifik; artinya algoritma itu terkait

dengan bidang subjek tertentu. Heuristic (heuristik) adalah strategi umum yang

digunakan dalam usaha menyelesaikan masalah. Menurut Korf (Woolfolk:

2009:80), permasalahan yang tidak mudah dipahami dan memiliki ill-defined

problem determined (pengungkapan masalah yang tidak terdefinisi dengan

baik) dan tidak ada algoritma yang jelas maka penemuan dan pengembangan

heuristik yang efektif menjadi penting.

Langkah keempat dan kelima adalah mengantisipasi, bertindak dan

menengok ke belakang. Setelah merepresentasikan permasalahannya

mengeksplorasi berbagai kemungkinan solusi maka selanjutnya adalah memilih

solusi dan mengantisipasi konsekuensinya. Setiap alternatif solusi perlu

dipikirkan konsekuensinya dan tindakan antisipasinya. Dengan

mempertimbangkan berbagai konsekuensi tersebut maka dapat diputuskan

solusi terbaik yang perlu dilakukan. Setelah diputuskan sebuah strategi soludsi

dan menimplementasikannya, evaluasi hasilnya dengan memeriksa bukti-bukti

yang mengonfirmasikan atau kontradiktif dengan solusi. Memeriksa solusi

yang diputuskan penting untuk mengetahui penyebab dan dampak dari

tindakan yang dilakukan. Kemudian hasil evaluasi terhadap solusi yang gagal

maupun berhasil dapat diambil sebagai pelajaran.

5. Media Pembelajaran

a. Pengertian media pembelajaran

Pengertian media secara jelas dikutip dari Heinich (2002: 9-10) adalah:

35
A medium (plural, media) is a means of communication and source
information. Derived from the Latin word meaning “between”, the
term refers to anything that carriers information between a source and
a receiver. Examples include video, television, diagrams, printed
materials, computers, and instructors. These are considered
instructional media when they carry message with an instructional
purpose. The purpose of media is to facilitate communication.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa media merupakan alat

komunikasi dan sumber informasi. Dalam bahasa Latin berarti “perantara”,

istilah yang merujuk pada apapun yang membawa informasi dari sumbernya

kepada penerima. Contohnya mencakup video, televise, gambar, materi

tercetak, computer dan instruktur. Semua itu dianggap sebagai media

pembelajaran adalah jika membawa pesan sesuai dengan tujuan

pembelajaran. Tujuan media adalah untuk memfasilitasi komunikasi.

Menurut Rossi dan Breidle (Sanjaya, 2012: 204), media pembelajaran

adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk tujuan pendidikan,

seperti radio, televisi, buku, koran, majalah, dan sebagainya. Menurut Gerlach

secara umum media itu meliputi orang, bahan, peralatan atau kegiatan yang

menciptakan kondisi yang memungkinkan peserta didik memperoleh

pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

b. Tujuan penggunaan media

Kerucut pengalaman Edgar Dale (Sanjaya, 2012: 200) pada saat ini

dianut secara luas untuk menentukan alat bantu atau media apa yang sesuai

agar peserta didik memperoleh pengalaman belajar secara mudah. Kerucut

pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar Dale memberikan gambaran

bahawa pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik dapat melalui proses

36
pembuatan atau mengalami sendiri apa yang dipelajari, proses mengamati dan

mendengaarkan melalui media tertentu dan proses mendengarkan melalui

bahasa. Semakin konkret peserta didik mempelajarai bahan pengajaran maka

semakin banyaklah pengalaman yang diperoleh peserta didik. Berikut ini

adalah gambar skema dari kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar

Dale:

Gambar 2
Kerucut Pengalaman dari Edgar Dale

c. Macam-macam Media Pembelajaran

Menurut Sanjaya (2008: 211-212) media dilihat dari sifatnya dapat

digolongkan menjadi:

1) Media auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja, atau media
yang hanya memiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman suara;
2) Media visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak
mengandung unsur suara. Yang termasuk ke dalam media ini adalah film
slide foto, transparansi, lukisan gambar, dan berbagai bentuk bahan yang
dicetak seperti media grafis;

37
3) Media audiovisual, yaitu jenis media yang selan mengandung unsur
suara juga mengandung unsur gambar yang dapat dilihat, seperti rekaman
video, berbagi ukuran film, slide suara, dan lain sebagainya. Kemampuan
media ini dianggap lebih baik dan lebih menarik sebab mengandung
kedua unsur jenis media yang pertama dan kedua.

Menurut Rudy Brets (Sanjaya, 2012: 211), ada 7 (tujuh) klasifikasi media

yaitu:

1) Media audiovisual gerak, seperti: film suara, pita video, film tv.
2) Media audiovisual diam, seperti: film rangkai suara.
3) Audio semigerak, seperti: tulisan jauh bersuara.
4) Media visual bergerak, seperti: film bisu.
5) Media visual diam, seperti: halaman cetak, foto, slide bisu.
6) Media audio, seperti: radio, telepon, pita audio
7) Media cetak, seperti: buku, modul, bahan ajar mandiri

Jadi, jika kita kembalikan kepada pengertian tentang media yang merupakan

alat untuk menyampaikan informasi dari sumber kepada penerima, maka

berbagai macam media tersebut sesungguhnya kesemuanya merupakan

berbagai macam media informasi. Akan tetapi media informasi yang digunakan

dalam penelitian ini, lebih tertuju pada media informasi yang tersedia untuk

masyarakat luas seperti koran, majalah, berita di televisi, rekaman video/film

dokumenter, dan media informasi melalui komputer seperti ebook dan internet.

6. Media Informasi

Merujuk pada pengertian media oleh Heinich, dicontohkan bahwa termasuk

media adalah video, televisi, diagram, materi tercetak, komputer dan instruktur.

Semenjak abad 21 ini, guru menggunakan banyak variasi tipe bantuan media

audio–visual untuk mengajar. Mengikuti perkembangan teknologi dewasa ini,

teknik terbaru dengan menggunakan komputer, compact disc, digital videodiscs

38
(DVDs), komunikasi satelit dan internet. Media tersebut termasuk sebagai media

informasi.

Informasi menurut Smaldino et al. (2011: 21) merupakan “pengetahuan,

fakta, berita, komentar, dan konten seperti yang ada dalam buku. Informasi dapat

disajikan di memo, di ruang kelas, buku teks, atau situs web” Informasi yang

tersedia dalam berbagai bentuknya tersebut tidak selalu bertujuan untuk

pembelajaran. Namun, ketersediaan informasi dapat mendukung tujuan

pembelajaran. Bahkan dengan teknologi komputer dan internet tersedia berbagai

macam informasi yang memungkinkan kita untuk dapat mencari, memilih, dan

mendapatkan informasi apa pun yang kita butuhkan.

Penggunaan media informasi di dalam pembelajaran diperlukan untuk

mengajarkan peserta didik dalam menggunakan media informasi secara bijaksana.

Media informasi seperti media cetak, diagram, dan gambar merupakan media

informasi paling sederhana yang dapat dengan mudah diperoleh atau dibuat sendiri.

Media cetak yang diterbitkan seperti koran, majalah, dan buletin dapat

dimanfaatkan sebagai media pembelajaran karena menyediakan berbagai berita

yang berkaitan dengan permasalahan sosial secara nyata.

Media audio visual yang merupakan media informasi satu arah antara lain

video dan film. Video dan film dapat digunakan untuk memberikan kepada peserta

didik pengalaman sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia dan yang mungkin

juga dekat dengan kehidupan mereka. Peserta didik dapat memperoleh materi yang

lebih hidup dan memberikan wawasan yang lebih luas. Pemberian masalah dengan

melihat kondisi yang terekam dalam video dan film memungkinkan peserta didik

39
untuk memiliki gambaran lebih nyata tentang suatu kejadian daripada bila kejadian

tersebut disampaikan secara verbal.

Media informasi yang paling maju dewasa ini adalah penggunaan komputer

dan internet. Internet merupakan alat informasi sekaligus komunikasi. Keunggulan

internet adalah banyaknya informasi yang mungkin diperoleh dalam waktu singkat,

kemudahan mencari sebuah informasi, dapat berupa tulisan, gambar maupun audio

visual dan bahkan dapat bersifat interaktif sehingga memungkinkan pembelajaran

jarak jauh (distance learning). Kelemahan dari internet adalah begitu banyaknya

variasi informasi yang tidak semuanya penting, maka peserta didik dituntut untuk

dapat berpikir kritis dengan memilih informasi yang paling penting dan dibutuhkan

di antara berbagai informasi yang bermunculan.

7. Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran

a. Kemampuan Berpikir

Berpikir adalah anugerah yang dimiliki manusia yang membedakannya

dengan makhluk hidup lainnya. Berpikir juga merupakan hal yang diperlukan

manusia untuk mempertahankan hidupnya. Dengan berpikir manusia

memperoleh pengetahuan. Dengan berpikir manusia juga mengalami proses

kemajuan hidup dan budayanya dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, para

ilmuwan terus menyelidiki bagaimana manusia memperoleh kemampuan

berpikir agar manusia memperoleh cara yang efektif dan efisien untuk

menguasai ilmu pengetahuan.

Sejalan dengan hal tersebut, maka riset modern mengenai kemampuan

berpikir memberikan pesan bahwa kegiatan tradisional tertentu yang

40
diasosiasikan dengan berpikir tidak terbatas pada tingkat perkembangan.

Sebaliknya aktivitas ini berkaitan erat dengan kemampuan dasar membaca,

matematika, dan cabang pembelajaran lainnya ketika pembelajaran berjalan

dengan baik seperti dikatakan Resnick (1992: 8) sebagai berikut.

The most important single message of modern research on the nature of


thinking is that the kinds of activities traditionally associated with
thinking are not limited to advanced levels of development. Instead,
these activities are an intimate part of even elementary levels of reading,
mathematics, and other branches of learning—when learning is
proceeding well.

Kutipan di atas dengan terjemah bebas diartikan sebagai satu pesan terpenting

penelitian modern pada berpikir secara alamiah adalah macam-macam kegiatan

yang secara tradisional diasosiasikan dengan berpikir tidak terbatas pada

meningkatkan tingkat perkembangan. Sebaliknya, kegiatan-kegiatan tersebut

adalah sebuah bagian yang lekat, meskipun pada tingkatan dasar dari

membaca, matematika, dan cabang pembelajaran lain, ketika pembelajaran

berlangsung dengan baik. Maka dengan demikian kemampuan berpikir akan

berkembang dengan baik pada pembelajaran jika pembelajaran berlangsung

dengan baik.

McGregor (2007: 10) membandingkan pendapat Piaget, Vygosky dan

Dewey mengenai berpikir. Berpikir menurut Piaget merupakan sebuah proses

aktif dengan perkembangan kognisi pembelajar sebagai konsekuensi dari

interaksinya dengan dunia di sekitarnya. Sedangkan Vygotsky berpendapat

perkembangan berpikir dalam sebuah lingkungan sosial. Vygotsky lebih

berpusat pada pengaruh faktor-faktor sosial terhadap perkembangan intelektual

individ. John Dewey menggambarkan segala sesuatu yang datang ke dalam

41
pikiran yang masuk ke kepala sebagai ‘pemikiran’, dan yang digunakan untuk

memikirkan sesuatu adalah menyadari tentang hal itu dengan cara apa pun.

Bruner (McGregor, 2007: 12) menggambarkan pentingnya ‘berpikir’

dalam pendidikan sebagai berikut.

Should be an invitation to generalize, to extrapolate, to make a tentative


leap, even to build a tentative theory. The leap from mere learning to use
what one has learned in thinking is an essential step in the use of mind.
Indeed, plausible guessing, the use of the heuristic hunch, the best
employment of necessarily insufficien evidence – these are the activities
in which the child needs practice and guidance. They are among the
great antidotes to passivity

Dapat diartikan bahwa ‘berpikir’ seharusnya sebuah undangan untuk

menggeneralisasi, memperhitungkan, membuat lompatan sementara, bahkan

membangun sebuah teori sementara. Lompatan dari sekedar pembelajaran

dengan menggunakan apa yang telah dipelajari seseorang dalam berpikir

adalah merupakan langkah yang penting dalam menggunakan pikiran. Tentu

saja dugaan masuk akal, penggunaan prasangka heuristik, menggunakan

dengan sebaik-baiknya bukti meskipun tidak begitu mendukung adalah

kegiatan-kegiatan peserta didik yang membutuhkan praktik dan arahan.

Semuanya merupakan penangkal bagi kepasifan. Jadi dapat disimpulkan bahwa

melibatkan pikiran atau berpikir dalam pembelajaran adalah penting untuk

mendorong aktivitas peserta didik.

Sementara itu, Philip Adey (McGregor, 2007: 14) menggambarkan

berpikir sebagai berikut.

Something we do when we try to solve problem; it involves processing


the information that we have available to us – either from the external
world or from within our own memories. Thinking allows us to take

42
things we know or observe and turn them into new ways of
understanding.

yang dapat diartikan bebas bahwa sesuatu yang kita lakukan ketika kita

mencoba untuk memecahkan masalah; melibatkan pemrosesan informasi yang

kita miliki – baik dari luar atau dari dalam ingatan kita sendiri. Berpikir

memungkinkan kita untuk mengambil sesuatu yang kita ketahui atau kita

amati dan mengubahnya menjadi pemahaman baru.

Pendapat Bruner menggambarkan pentingnya memberikan pembelajaran

yang mendorong berpikir. Hal tersebut karena esensi untuk menggunakan

pikiran peserta didik dengan bergantinya ‘belajar’ (learning) menjadi

‘memanfaatkan apa yang telah dipelajari dalam berpikir’ (using to what one

has learned in thinking). Sementara, Adey berpendapat bahwa ‘berpikir’

memungkinkan kita untuk mengambil apa yang kita ketahui atau amati dan

mengubahnya dalam pemahaman yang baru. Hal ini diperlukan untuk

melakukan pemecahan masalah yang selalu kita hadapi dalam kehidupan

sehari-hari.

Disimpulkan oleh Byrnes (2008: 47) dari enam teori pembelajaran yang

diulasnya – Thorndike’s Theory, Piaget’s Theory, Schema Theory, Information

Processing Theory, Vygotsky’s Theory dan Connectionist Theory – bahwa: (1)

praktik dan pengulangan mempunyai peran penting; (2) Interpretasi peserta

didik terhadap kenyataan dan pembelajaran menunjukkan bahwa pengetahuan

peserta didik berpengaruh di kelas terhadap apa yang mereka pelajari; (3)

pentingnya tujuan langsung pembelajaran sehingga pembelajaran harus

bermakna.

43
Presseisen (1988: 43) memberikan asumsi mengenai kemampuan berpikir

sebagai berikut.

Thinking is generally assumed to be a cognitive process, a mental act by


which knowledge is acquired. Although cognition may account for
several ways that something may come to be known – as in perception,
reasoning, and intuition – the current emphasis on thinking skills
emphasizes reasoning as a major cognitive focus.

Berpikir diasumsikan sebagai sebuah proses kognitif, sebuah aksi mental yang

menuntut pengetahuan. Meskipun kognisi mempunyai berbagai macam cara

yang mungkin telah dikenal – semisal persepsi, penalaran dan intuisi –

pengembangan keterampilan berpikir saat ini mengembangkan penalaran

sebagai fokus kognitif utama.

Cohen (Presseisen, 1988: 45) membedakan proses yang bergantung pada

rangsangan eksternal dan pencarian produktif, seperti membuat keputusan atau

pemecahan masalah, dari proses yang bergantung pada rangsangan eksternal

dan internal dan pencarian kreatif. Cohen menyarankan setidaknya ada empat

perbedaan proses berpikir kompleks, yaitu:

1) Problem solving (pemecahan masalah)

2) Decision making (pengambilan keputusan)

3) Critical thinking (berpikir kritis)

4) Creative thinking (berpikir kreatif

Menurut Cohen, pemecahan masalah adalah menggunakan proses

berpikir dasar untuk memecahkan sebuah masalah tertentu; mengumpulkan

fakta dan menentukan informasi tambahan; menyimpulkan atau menyarankan

solusi alternatif dan menguji ketepatannya; kemampuan menerangkan secara

44
lebih sederhana dan mengurangi ketidaksesuaian; menyiapkan pemeriksaan

solusi untuk nilai yang dapat digeneralisasi. Sedangkan pengambilan keputusan

adalah menggunakan proses berpikir dasar untuk memilih keputusan terbaik di

antara beberapa pilihan; mengumpulkan informasi; membandingkan

keuntungan dan kerugian dari alternatif-alternatif pendekatan; menentukan

kepingan informasi tambahan; menimbang keputusan yang paling efektif dan

mampu menimbang secara adil.

Sementara itu berpikir kritis adalah menggunakan proses berpikir dasar

untuk menganalisis argumentasi dan menghasilkan pemahaman dalam

pengertian dan interpretasi tertentu; mengembangkan keterkaitan, pola

penalaran logis dan memahami asumsi dan bias pada posis mendasar tertentu;

mempunyai gaya pemaparan yang kredible, ringkas dan meyakinkan. Dan,

berpikir kreatif adalah menggunakan proses berpikir dasar untuk

mengembangkan atau menciptakan novel, seni, ide atau produk konstruktif,

persepsi terkait sebaik konsep, dan menekankan aspek intuitif dalam berpikir

serasional mungkin. Terutama menggunakan informasi atau materi yang telah

diketahui untuk menghasilkan kemungkinan sebaik elaborasi menurut

perspektif asli pemikir.

Dari pendapat tersebut di atas, diketahui bahwa berpikir kritis

menggunakan proses berpikir dasar untuk menganalisis argumen dan

menghasilkan pemahaman ke dalam suatu makna dan interpretasi;

mengembangkan keterkaitan, pola penalaran logis dan memahami asumsi dan

45
bias posisi dasar khusus; membuat presentasi yang kredibel, singkat dan

meyakinkan.

Kemampuan berpikir kritis jika ditinjau menurut taksonomi Bloom dapat

dimasukkan ke dalam golongan “tiga tingkatan tertinggi taksonomi Bloom”

yaitu (analisis, sintesis dan evaluasi) demikian menurut Ennis (1993: 179). Jika

ditinjau dengan taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Krathwohl

(2001: 115) maka terlihat bahwa tingkatan berpikir dimulai dari tingkatan

berpikir tingkat rendah (lower order thinking skills) adalah remember,

understand dan apply menuju tingkatan berpikir tingkat tinggi (higher order

thinking skills) yaitu analyze, evaluate, dan create. Lihat Tabel 2.

Tabel 2
Dimensi-kategori proses kognitif & proses kognitif dan nama alternative
Sumber: www.celt.iastate.edu/teaching/RevisedBlooms1.html

Lower order thinking skills higher order thinking skills


remember understand apply analyse evaluate create
Recognizing Interpreting executing Differentiating checking generating
 identifying  clarifying  carrying out  discriminating  coordinating  hypothesizing
recalling  paraphrasing implementing  distingushing  detecting planning
 retrieving  representing  using  focusing  monitoring  designing
 translating  selecting  testing producing
exemplifying organizing critiquing  constructing
 illustrating  finding  judging
 intantiating coherence
classifying  outlining
 categorizing  parsing
 subsuming  structuring
summarizing attributing
 abstracting  deconstructing
 generalizing
 concluding
 extrapolating
 interpolating
 predicting
inffering
 contrasting
 mapping
 matching
explaining
 contructing
models
46
Kemampuan berpikir yang akan diteliti dalam tesis ini adalah

kemampuan berpikir kritis yang diduga dapat ditingkatkan dengan penggunaan

metode pembelajaran problem solving. Pembelajaran metode problem solving

menuntut peserta didik untuk menggunakan pengetahuan awal yang

dimilikinya, mencari tambahan informasi dan memutuskan sebuah masalah

dengan berbagai pertimbangan. Hal-hal tersebut memerlukan kemampuan

berpikir kritis yang dapat dipantau dengan instrumen-instrumen yang

menunjukkan tingkatan kekritisan berpikir peserta didik.

b. Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis merupakan kemampuan yang termasuk ke dalam ranah

kognitif dalam taksonomi Bloom. Dalam perspektif teori kognitif, belajar

merupakan peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral. Perilaku individu

bukan semata-mata respon terhadap yang ada melainkan yang lebih penting

karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Belajar adalah proses mental

yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan

(Suprijono, 2011: 22). Dengan demikian, peran guru dalam hal ini bukan

sebagai pemberi pengetahuan melainkan sebagai fasilitator bagi peserta didik

untuk mengkonstruksi atau menciptakan pengetahuan yang bermakna

berdasarkan pengalamannya sendiri. Dengan diberi lingkungan dan situasi

pembelajaran yang sesuai, peserta didik akan secara aktif mengembangkan

kemampuan berpikirnya.

Berpikir kritis sendiri dapat didefinisikan oleh McGregor (2007: 23)

sebagai:

47
……as the cognitive process(es) by which information (of a visual,
olfactory or auditory nature) or data of any kind, (that can be gathered
through sensory perception) are transformed or mentally operated upon
in some effortfull and purposeful way. It is the analysis, processing or
transforming of given information, data or ideas.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa berpikir kritis merupakan

proses kognitif dengan informasi (berupa visual, penciuman atau pendengaran

alami atau data apapun, (yang dapat dikumpulkan melalui persepsi sensorik)

yang dibentuk atau dioperasikan secara mental dengan cara penuh usaha dan

tujuan. Ini merupakan analisis, proses dan perubahan terhadap informasi, data

atau ide yang diberikan.

Dikatakan oleh Vygostky (1978: 26).berdasarkan observasi yang

dilakukannya bahwa:

…..children solve practical tasks with the help of their speech, as well as
their eyes and hands. This unity of perception, speech, and action,
which ultimately produces internalization of the visual field, constitutes
the central subject matter for any analysis of the origin of uniquely
human forms of behavior.

Anak-anak memecahkan tugas-tugas praktik dengan bantuan dari ucapan

mereka, sebaik mata dan tangan mereka. Perpaduan persepsi ini, ucapan dan

tindakan yang terutama menghasilkan internalisasi visual, mengangkat subjek

pokok untuk analisa tentang asal-usul bentuk perilaku manusia yang unik.

Ennis mendefinisikan kemampuan berpikir kritis secara singkat yaitu

”critical thinking is reasonable and reflective thinking focused on deciding

what to believe or do”, yang diartikan bahwa berpikir kritis adalah pemikiran

yang bernalar dan reflektif difokuskan pada keputusan terhadap apa yang

dipercaya atau dilakukan.

48
Ciri-ciri utama yang signifikan dari taksonomi kognitif berpikir kritis

menurut Ennis (Kuswana, 2012: 196) adalah sebagai berikut.

1) Berfokus pada keyakinan dan tindakan


2) Berisi laporan dalam hal-hal yang benar-benar melakukan atau harus
dilakukan
3) Mencakup kriteria untuk membantu mengevaluasi hasil
4) Mencakup disposisi dan kemampuan
5) Disusun sedemikian rupa sehingga dapat membentuk dasar pemikiran
dalam program kurikulum secara terpisah dan berlaku di perguruan
tinggi.

Lipman (Kuswana, 2012: 202) mengidentifikasikan 13 disposisi yang

dikembangkan oleh arti mengatur penggunaan keterampilan kognitif dalam

sebuah komunitas penyelidikan, yaitu:

(1) bertanya-tanya, (2) bersikap kritis, (3) menghormati orang lain, (4)
berdaya cipta, (5) mencari alternative, (6) mencari tahu, (7) merawat
alat-alat penyelidikan, (8) bekerja sama intelektual, (9) berkomitmen
pada metode koreksi diri, (10) merasakan kebutuhan akan prinsip-
prinsip, cita-cita, alasan, dan penjelasan, (11) menjadi imajinatif, (12)
menghargai, dan (13) konsisten.

Dalam revisi taksonomi Bloom yang dikutip oleh Huitt (2011: 2), selain

terdapat tingkatan kemampuan berpikir, dimensi pengetahuan juga dibagi

menjadi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognisi.

Tingkatan kemampuan berpikir dari “mengingat, memahami, menerapkan,

menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan” yang menggunakan kata kerja

maka tingkatan pengetahuan dari “pengetahuan faktual, konseptual, prosedural,

dan metakognisi” merupakan objek dari kata kerja tersebut. Gabungan dimensi

proses kognitif dan dimensi pengetahuan tampak lebih jelas digambarkan pada

tabel yang menunjukkan penggunaan kata kerja sesuai dengan persilangan

antara kedua dimensi tersebut. Lihat Tabel 3.

49
Tabel 3
Gabungan Dimensi Proses Kognitif dan Dimensi Pengetahuan

COGNITIVE PROCESS DIMENSION


KNOWLEDGE Re-
Understand Apply Analyze Evaluate Create
DIMENSION member
Label Interpret
Terminology
Factual map paragraph Use math Categorize Critique Create
Elements &
Knowledge List Summarize algorithm words article short story
Components
names book
Define Write Differentiat Create
Categories Describe Critique
Conceptual levels of objectives e levels of new
Principles taxonomy in written
Knowledge cognitive using cognitive classificati
Theories own words objectives
taxonomy taxonomy taxonomy on system
Use Critique
Specific Paraphrase Compare Develop
List steps problem appropriatene
Skills & problem convergent original
Procedural in solving ss of
Techniques solving and approach
Knowledge problem process for techniques
Criteria for process in divergent to problem
solving assigned used in case
Use own words techniques solving
task analysis
Critique
List
Develop Compare appropriatene Create an
General elements Describe
Meta- study skills elements of ss of original
Knowledge of implications
Cognitive appropriate dimensions particular learning
Self personal of learning
Knowledge to learning in learning learning style style
Knowledge learning style
style style theory to own theory
style
learning

Sumber: http://www.edpsycinteractive.org/topics/cognition/bloom.html

Sintesis dan evaluasi adalah dua tipe berpikir yang memiliki banyak

kesamaan secara umum tetapi memiliki perbedaan dalam tujuan. Evaluasi

(yang disamakan sebagai kemampuan berpikir kritis dalam hal ini)

memfokuskan pada pembuatan penilaian atau pertimbangan berdasarkan pada

analisis pernyataan proposisi. Sintesis (yang disamakan sebagai kemampuan

berpikir kreatif) menuntut individu untuk melihat bagian-bagian dan (analisis)

hubungannya dan meletakkannya dalam cara pandang baru yang orisinal

(Huitt, 1998: 4). Model Huitt tentang berpikir kritis dan modifikasinya dapat

dilihat pada Gambar 3.

50
Gambar 3
Skema Model Critical Thinking William Huitt
Sumber: http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/cogsys/critthnk.html.

Sementara itu untuk melakukan assessment atau penilaian tingkat

kemampuan berpikir kritis Kneedler mengusulkan 12 (dua belas) kemampuan

berpikir kritis. Kemampuan ini diajarkan sebagai bagian dari proses yang lebih

besar melibatkan pemecahan masalah dan pencapaian kesimpulan. Meskipun

dipresentasikan secara serial pada klarifikasi dan pemahaman, peserta didik

menggunakan kemampuan berpikir kritis dalam variasi dan kombinasi untuk

memecahkan masalah.

Proses ini diawali dengan informasi yang tidak ternilai yang diperoleh

peserta didik maupun orang dewasa dalam kehidupannya sehari-hari. Informasi

51
tersebut dapat diperoleh peserta didik baik dari sekolah, rumah, lingkungan

masyarakat, maupun dari media informasi seperti majalah, surat kabar dan

sebagainya. Kemampuan dasar berpikir kritis akan membantu peserta didik

mempersiapkan dan mengorganisasikan informasi. Berikut adalah 12

kemampuan esensial berpikir kritis Kneedler (1988: 277), yaitu:

a) Defining and clarifying the problem (mendefinisikan dan mengklarifikasi

masalah), yang terdiri atas:

(a) Identify central issues or problems (mengidentifikasi isu atau masalah

pokok)

(b) Compare similarities and differences (membandingkan persamaan dan

perbedaan)

(c) Determine which information is relevant (menentukan informasi yang

relevan/sesuai)

(d) Formulate appropriate question (memformulasi pertanyaan dengan

tepat)

b) Judging information related to the problem (mempertimbangkan informasi

yang berhubungan dengan masalah), terdiri atas:

(e) Distinguish among fact, opinion, and reasoned judgment

(membedakan antara fakta, opini, dan penalaran)

(f) Check consistency (menguji konsistensi)

(g) Identify unstated assumption (mengidentifikasi asumsi yang tidak

diucapkan)

(h) Recognize stereotype and clichés (mengenali hal biasa dan klise)

52
(i) Recognize bias, emotional factors, propaganda, and semantic slanting

(mengenali bias, faktor emosi, propaganda, dan bahasa kiasan)

(j) Recognize different value orientation and ideologies (mengenali

perbedaan orientasi nilai dan ideologi)

c) Solving problems/drawing conclusions (memecahkan masalah/membuat

kesimpulan), terdiri atas:

(k) Recognize the adequacy of data (mengenali kecukupan data)

(l) Predict probable concequences (memprediksi konsekuensi yang

paling mungkin)

Kneedler memberikan uraian tentang dua belas kemampuan esensial

berpikir kritis tersebut yang dijabarkan dengan lebih mendetail. Kedua belas

kemampuan berpikir kritis tersebut dikelompokkan ke dalam tiga aspek.

Masing-masing aspek memiliki beberapa indikator. Ketiga aspek tersebut

kemudian diadaptasi oleh peneliti dengan mengambil sejumlah indikator yang

menurut penulis mencukupi untuk masing-masing aspeknya.

Menurut Kneedler, pada aspek kemampuan “mendefinisikan dan

mengklarifikasi masalah” terdapat empat indikator yang merupakan indikator

pertama sampai dengan keempat. Indikator pertama yaitu “mengidentifikasi isu

atau masalah pokok”. Ini merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi ide

atau poin pokok dari sebuah kutipan, argumentasi, atau kartun politis misalnya.

Pada tingkatan berpikir lebih tinggi peserta didik diharapkan dapat

mengidentifikasi isu pokok dalam argumentasi politik yang kompleks.

53
Menyiratkan kemampuan untuk mengidentifikasi komponen utama dalam

sebuah argumentasi, seperti alasan dan kesimpulan.

Indikator kedua adalah “membandingkan persamaan dan perbedaan”

yang merupakan kemampuan untuk membandingkan persamaan dan perbedaan

di antara dua atau lebih objek, makhluk hidup, ide, kejadian, atau situasi pada

sudut pandang waktu yang sama atau berbeda. Menyiratkan kemampuan untuk

mengidentifikasi ciri-ciri pembeda dan mengorganisasi informasi ke dalam

kategori-kategori untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Indikator ketiga yaitu

“menentukan informasi yang dibutuhkan” yang merupakan kemampuan untuk

membedakan antara informasi yang dapat diuji atau tidak dapat diuji, relevan

atau tidak relevan, serta esensial atau insidental. Indikator keempat adalah

“memformulasi pertanyaan dengan tepat”. Ini merupakan kemampuan untuk

memformulasi pertanyaan yang akan mengarahkan pada pemahaman yang

lebih mendalam dan jelas terhadap sebuah isu atau situasi dan sudut pandang

berbeda dari isu atau situasi yang dapat didekati.

Kemudian pada aspek kedua yaitu “mempertimbangkan informasi yang

berhubungan dengan permasalahan” Kneedler membagi ke dalam enam

indikator yaitu indikator kelima sampai dengan indikator ke sepuluh. Indikator

kelima yaitu “membedakan antara pertimbangan fakta, opini, dan penalaran”

merupakan kemampuan untuk menerapkan kriteria untuk mempertimbangkan

kualitas observasi dan dugaan. Indikator keenam yaitu “menguji konsistensi”

adalah indikator terhadap kemampuan untuk menetapkan salah satu pernyataan

atau simbol yang konsisten dengan satu sama lain dan konteksnya. Sebagai

54
contoh, kemampuan untuk menetapkan poin-poin berbeda atau isu-isu dalam

pernyataan politis yang berhubungan logis dan setuju dengan isu pokok.

Indikator ketujuh yaitu “mengidentifikasi asumsi yang tidak diucapkan”

merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi sesuatu yang sudah

semestinya, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit.

Indikator kedelapan adalah “mengenali hal biasa dan klise” yaitu

kemampuan untuk mengidentifikasi gagasan yang pasti atau konvensional

tentang orang, grup atau ide. Indikator kesembilan adalah “mengenali bias,

faktor emosi, propaganda, dan bahasa kiasan” yang merupakan kemampuan

untuk mengidentifikasi keberpihakan dan prasangka dalam materi tulisan dan

gambar, termasuk kemampuan untuk menentukan kredibilitas sumber-sumber

(mengukur reliabilitas, kepakaran dan objektivitas). Indikator kesepuluh adalah

“mengenali perbedaan orientasi nilai dan ideologi” yaitu kemampuan untuk

mengenali persamaan dan perbedaan antara orientasi nilai dan ideologi yang

berbeda.

Aspek ketiga yaitu “memecahkan masalah/membuat kesimpulan” dibagi

Kneedler menjadi dua indikator yaitu indikator kesebelas dan indikator kedua

belas. Indikator kesebelas adalah “mengenali kecukupan data” yang merupakan

kemampuan untuk memutuskan informasi yang tersedia sesuai dalam

kualitas dan kuantitas untuk mempertimbangkan sebuah kesimpulan,

keputusan, generalisasi, atau hipotesis yang masuk akal. Sedangkan terakhir,

indikator keduabelas yaitu “memprediksi konsekuensi yang paling mungkin”

55
merupakan kemampuan untuk memperkirakan konsekuensi yang paling

memungkinkan dari sebuah kejadian atau rangkaian kejadian.

UNASSESSED INFORMATION
(Informasi yang tidak dinilai)

Dari sekolah, rumah, masyarakat, buku, majalah,


televisi, surat kabar, dsb.

BASIC SKILLS
(Kemampuan Dasar)

Kemampuan yang membantu mengorganisasi dan menyiapkan informasi, seperti


kemampuan untuk memahami dan menggunakan materi tertulis dan simbolis,
meletakkan dan mengorganisasi informs dalam materi buku teks dan referensi,
dan kosa kata IPS

CRITICAL THINKING SKILLS


(Kemampuan Berpikir Kritis)

1) Mendefinisikan dan mengklarifikasi masalah


2) Menilai informasi yang berhubungan dengan masalah
3) Memecahkan Masalah/Membuat Kesimpulan

PROCESS OUTCOMES
(Hasil Proses)

Setelah mempelajari kemampuan berpikir kritis, peserta didik mampu:


 Menilai informasi di sekitar mereka, menentukan masalah, menimbang bukti,
dan membuat kesimpulan
 Berpartisipasi secara efektif sebagai warga negara dalam demokrasi perwakilan
 Mempertahankan dan menjustifikasi nilai-nilai intelektual dan personal,
mengungkapkan dan mengkritisi argumen, dan mengapresiasi perbedaan
pendapat

Gambar 4
Model proses kemampuan berpikir kritis Kneedler
Sumber: diadopsi dari Kneedler (1988: 278)

56
Model Kneedler tersebut diuraikan berdasarkan proses yang dialami

peserta didik yaitu mulai dari informasi yang diperoleh peserta didik sendiri

(tidak dinilai), kemudian menjadi kemampuan dasar, kemudian berkembang

menjadi kemampuan berpikir kritis dan hasil proses yang diperoleh setelah

dilakukan tindakan. Jika digambarkan dalam diagram maka model Kneedler

dapat dilihat dalam Gambar 4 di atas.

B. Hasil Penelitian yang Relevan


1. Chilcoat, George W & Ligon, Jerry A (2004: 40-46) menulis artikel berjudul

Issues-Centered Instruction in the Social Studies Classroom: The Richard E. Gross

Problem Solving Approach Model (Social Studies Review; vol 44; no 1; 2004).

Penelitian menjelaskan tentang metode pembelajaran problem solving yang

digunakan oleh Richard E. Gross. Pembelajaran tentang isu sentral dapat membantu

peserta didik mengembangkan pengalaman empati terhadap orang lain sehingga

membantu mereka memahami kondisi manusia, menjadi sensitif, sadar dan toleran

terhadap orang lain dan menyadari kompleksitas hubungan antarmanusia.

Penggunaan pendekatan ini digabungkan dengan mengembangkan pembentukan

kewarganegaraan peserta didik yang positif. Pendekatan problem solving yang

digunakan mengacu pada pendapat Richard E. Gross. Terdapat enam langkah

dalam pendekatan ini, yaitu: (1) mendefinisikan masalah, membuat daftar tindakan

yang mungkin, (3) mengumpulkan data relevan, (4) membuat keputusan tentatif

berdasarkan data, (5) bertindak sesuai keputusan dan (6) mengevaluasi hasil dan

memodifikasi tindakan berikutnya. Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa

Model Problem Solving Richard Gross dapat membentuk peserta didik dalam

57
berbagai macam kemampuan pro-sosial dan demokrasi pro-aktif, tanggung jawab,

dan budi pekerti luhur yang diperlukan dalam masyarakat. Di samping itu model

tersebut penting dalam membentuk lingkungan belajar yang mendukung

ketertarikan peserta didik dalam pembelajaran sejarah dan masalah sosial.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Waring, Scott M; Robinson, Kirk S (Middle School

Journal Vol 42 No 1, 2010: 22-28) dengan judul Developing Critical and Historical

Thinking Skills in Middle Grades Social Studies. Hasil penelitian menunjukkan

pentingnya mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Penelitian ini

menunjukkan bahwa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan

dengan melibatkan pemecahan masalah (problem solving), membuat dugaan,

memperkirakan kemungkinan dan membuat keputusan. Hal tersebut menunjukkan

juga bagaimana berpikir kritis perlu diajarkan di sekolah agar peserta didik dalam

kehidupan nyata dapat menghadapi masalah dan memutuskan tindakan yang harus

dilakukan. Kesimpulan dalam artikel ini menyebutkan bahwa guru memungkinkan

mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan sejarah murni dengan metodenya.

Metode yang digunakan adalah dengan meminta peserta didik untuk menemukan

bukti tentang keberadaannya atau sesuatu pada suatu waktu di suatu tempat. Ketika

peserta didik dapat menyebutkan bukti-bukti tersebut maka kemudian peserta didik

diminta untuk menganalisis suatu peristiwa sejarah dengan mempelajari bukti-

buktinya atau sumber-sumber sejarah. Metode ini menuntut kemampuan berpikir

kritis peserta didik. Kemampuan tersebut penting dalam kelas menengah pertama

sebab pelajaran sejarah dan IPS di kelas menengah atas menuntut kemampuan

tersebut.

58
3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widana, A., Suhandana, A., & Atmadja B.

dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Berorientasi

Pemecahan Masalah Open-Ended Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Dan Hasil

Belajar Biologi Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Kintamani” (e-Journal Program

Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Administrasi

Pendidikan, Volume 4 Tahun 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)

Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar biologi antara

siswa yang mengikuti pembelajaran berorientasi pemecahan masalah open ended

dengan model pembelajarankonvensional dengan harga F = 17,754 dan p<0,05, (2)

Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis yang signifikan antara siswa yang

mengikuti pembelajaran berorientasi pemecahan masalah open ended dengan model

pembelajaran konvensional dengan harga F = 16,911 dan p<0,05, (3) Terdapat

perbedaan hasil belajar biologi yang signifikan antara siswa yang diikuti dengan

pembelajaran berorientasi pemecahan masalah Open-ended dengan model

pembelajaran konvensional dengan harga F = 21,107 dan p<0,05. Berdasarkan

temuan di atas, hasil penelitian ini menunjukan bahwa pembelajaran berorientasi

pemecahan masalah open ended mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis

siswa dan hasil belajar biologi siswa.

4. Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Dike (2008) dalam tesisnya

yang berjudul Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dengan Model TASC

(Thinking Actively in a Social Context) pada Pembelajaran IPS SD. Tesis, tidak

dipublikasikan. Pembelajaran IPS SD dengan menggunakan model TASC terbukti

mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hal ini tampak

59
dalam kegiatan pembelajaran di mana model TASC mampu menumbuhkan rasa

ingin atahu peserta didik (inquiri), kerja sama sosial dalam belajar, pembiasaan

budaya bertanya, kemampuan menyampaikan pendiapat sehingga terbentuk budaya

berpikir peserta didik (cultural thinking). Aspek berpikir kritis dalam tesis tersebur

digali dengan menggunakan proses pembelajaran yang dirancang terfokus pada tiga

aspek kunci berpikir kritis model proses Peter Kneedler yaitu: (1) Kemampuan

Definisi dan Klarifikasi Masalah; (2) Kemampuan Menilai dan Mengolah

Informasi; (3) Kemampuan Solusi Masalah/Mengambil Kesimpulan. Penelitian

tesis ini menggunakan metode problem solving untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kritis peserta didik sedangkan penelitian relevan menggunakan model

TASC. Ada kesamaan prinsip dalam kedua metode yaitu sama-sama menggunakan

aktivitas “berpikir”.

C. Kerangka Pemecahan Permasalahan Kelas

Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian yang relevan maka kemampuan

berpikir kritis peserta didik dapat ditingkatkan melalui: model pendekatan problem

solving atau memecahkan masalah. Metode pembelajaran problem solving berbantuan

media informasi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta

didik. Metode ini akan akan mengarahkan peserta didik dalam menggunakan

kemampuan berpikirnya pada tingkatan yang lebih tinggi. Peserta didik tidak hanya

menggunakan kemampuan C1-C2-C3 saja, akan tetapi sampai pada tataran C4-C5-C6.

Pembelajaran dengan penalaran pada tingkatan yang lebih tinggi mendorong peserta

didik bukan hanya menguasai materi saja akan tetapi lebih penting bagaimana

memberikan tanggapan secara kritis terhadap suatu peristiwa.

60
Berdasarkan kondisi saat ini, di mana pembelajaran masih mengajarkan

kemampuan berpikir tataran dasar yang hanya bersifat hafalan dikhawatirkan dapat

membelenggu perkembangan berpikir peserta didik. Sementara, gelombang informasi di

masyarakat global dewasa ini semakin besar dan berpengaruh padahal tidak semua

informasi tersebut berguna bagi mereka. Oleh karena itu, digunakan media informasi

sebagai media pembelajaran karena media informasi dapat memberikan tantangan pada

peserta didik untuk dapat memilihnya secara kritis. Jika digambarkan dalam bagan akan

tampak pada Gambar 5.

Pembelajaran
Kemampuan dengan metode Perubahan Peningkatan
berpikir kritis problem solving aktivitas kemampuan
rendah berbantuan media belajar berpikir kritis
informasi peserta didik

Gambar 5
Bagan kerangka pikir pemecahan masalah
peningkatan kemampuan berpikir kritis

Penggunaan metode problem solving akan mengajarkan kepada peserta didik

bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memecahkan suatu

permasalahan atau persoalan. Langkah-langkah tersebut jika dijalankan secara terus

menerus akan membentuk suatu kemampuan berpikir. Dalam pembelajaran akan

disediakan sebuah permasalahan untuk dipecahkan yang akan ditinjau oleh guru.

61
Peserta didik mendapat masukan dan pendapat kritis dari pihak lain. Peserta didik

belajar untuk memandang suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda. Hal tersebut

akan mendorong peserta didik berpikir secara lebih luas dan komprehensif sehingga

peserta didik juga dapat mengkritisi pendapatnya sendiri, dan kemudian akan dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya.

D. Hipotesis Tindakan

1. Dengan menggunakan metode problem solving berbantuan media informasi dapat

terjadi peningkatan kualitas pembelajaran IPS di kelas VIII F SMP Negeri 1

Salaman Kabupaten Magelang.

2. Dengan menggunakan metode problem solving berbantuan media informasi dapat

terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik di kelas VIII F SMP

Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang.

62
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian Tindakan

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research)

yang digunakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta

didik kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman dengan menggunakan metode problem

solving pada mata pelajaran IPS. Penelitian ini menggunakan desain yang

dikembangkan oleh Kemmis & Taggart (1990: 11) yang diilustrasikan dengan gambar

berikut.

Gambar 6
Siklus Model Kemmis & Taggart

Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui tiga tahapan dalam penelitian tindakan

kelas menurut model bersiklus dari Kemmis & Taggart. Model ini menggunakan empat

komponen penelitian tindakan, yaitu: perencanaan, tindakan dan observasi, serta refleksi
63
(plan, act & observe, and reflect) dalam suatu sistem spiral yang saling terkait.

Penelitian bertujuan untuk mengubah situasi dan kondisi kini ke arah kondisi yang

diharapkan (melibatkan aktivitas berpikir kritis).

B. Waktu Penelitian

Waktu penelitian memakan waktu selama kurang lebih 2,5 bulan dimulai pada

bulan September 2013 sampai dengan bulan November 2013.

C. Deskripsi Tempat Penelitian

Lokasi penelitian adalah di kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman yang berlokasi di

Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Alamat SMP Negeri 1 Salaman adalah di

Jalan Diponegoro Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Pertimbangan pemilihan

lokasi adalah:

1. Peneliti adalah guru yang bekerja pada sekolah tersebut sehingga diharapkan

sekolah dapat merasakan manfaat langsung hasil penelitian.

2. Sebagai sekolah yang memiliki nilai akreditasi A, SMP Negeri 1 Salaman

mempunyai fasilitas pembelajaran, seperti perpustakaan, laboratorium komputer,

hotspot, dan proyektor di setiap kelas, yang cukup mendukung bagi terlaksananya

penelitian dengan media informasi.

D. Subjek dan Karakteristiknya

SMP Negeri 1 Salaman mempunyai tujuh rombongan belajar pada kelas VIII,

yaitu dari kelas VIII A sampai dengan kelas VIII G. Subjek dalam penelitian ini adalah

peserta didik kelas VIII F. Peserta didik di kelas VIII F berjumlah 24 peserta didik,

terdiri dari 12 peserta didik laki-laki dan 12 peserta didik perempuan. Penentuan subjek

64
penelitian berdasarkan alasan bahwa kelas VIII F termasuk kelas dalam peringkat

bawah dibandingkan dengan kelas pararel yang lainnya. Kekritisan peserta didik masih

dirasa kurang saat diminta untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kritis, diperlukan pembelajaran yang dapat

melibatkan peserta didik dalam aktivitas berpikir secara kritis. Penerapan metode

pembelajaran problem solving diyakini mampu dilakukan oleh peserta didik kelas VIII

karena sudah memiliki cukup keberanian dibandingkan dengan peserta didik kelas VII.

E. Rencana Tindakan

Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti alur penelitian yang telah dibuat

mengikuti Model Kemmis & Taggart. Langkah-langkah tindakan disesuaikan dengan

rancangan dalam skema sesuai perjalanan siklus, sebagai berikut.

1. Perencanaan tindakan

a. Peneliti membuat rencana tindakan dan mendiskusikan dengan kolaborator

(guru IPS di kelas VIII F) untuk melaksanakan tindakan berdasarkan temuan-

temuan pada observasi awal.

b. Kolaborator (guru kelas) bertindak sebagai pelaksana tindakan dan peneliti

sebagai observer (pengamat). Untuk itu, peneliti berkoordinasi dengan

kolaborator mengenai teknis pelaksanaannya.

c. Membuat dan menyusun perangkat kurikulum yang telah dikembangkan yaitu

silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) disertai skenario

pembelajaran dengan menggunakan langkah-langkah metode problem solving

IDEAL, yaitu identify, define, explore, act/anticipate, dan looking back/learn.

65
d. Membuat dan menyiapkan instrumen penelitian seperti: pedoman wawancara,

pedoman observasi untuk memantau kemampuan berpikir kritis peserta didik

dengan indikator-indikator kemampuan berpikir kritis yang mengadaptasi pada

indikator Kneedler, perangkat post test, dan catatan lapangan.

Rencana tindakan yang telah dibuat bersama kolaborator menjadi

pedoman untuk pelaksanaan tindakan pada siklus berikutnya.

2. Pelaksanaan Tindakan dan Observasi

Pelaksanaan tindakan pada pembelajaran ini ditempuh dengan mengikuti

metode problem solving IDEAL, yang terdiri atas 5 tahap yaitu: tahap “Identify the

problem, Define and represent the problem, Explore possible strategies, Act on the

strategies, dan Looking back and evaluate the effects of your activities”.

Tahap pelaksanaan, terdiri atas kegiatan-kegiatan sebagai berikut.

a. Melakukan tindakan yang telah direncanakan oleh peneliti dan telah disepakati

bersama kolaborator.

1) Kegiatan awal yaitu kegiatan yang dilakukan pada awal pembelajaran

antara lain: memberi motivasi dan apersepsi pada peserta didik, dan

menginformasikan tujuan pembelajaran dan konsep-konsep yang akan

mereka pelajari, serta pengenalan metode problem solving.

2) Kegiatan inti, yaitu pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan

problem solving dengan menggunakan bantuan media informasi yang

disesuaikan dengan materi pembelajaran, peran guru dalam hal ini adalah

sebagai tutor dan fasilitator. Media informasi yang digunakan bervariasi

pada setiap siklusnya. Terdapat berbagai macam media informasi antara

66
lain media cetak, audio, audiovisual sampai dengan media interaktif

berbasis web. Peserta didik dapat bekerja secara individu atau di dalam

kelompok-kelompok kerja untuk mendiskusikan setiap permasalahan yang

diberikan, melakukan langkah-langkah identifikasi masalah dengan

membuat pertanyaan-pertanyaan secara tepat, menganalisis dan menilai

informasi serta menginterpretasikan masalah untuk memberikan

kesimpulan atau solusi pemecahan masalah. Peserta didik kemudian

memberikan presentasi hasil kerja kelompoknya untuk didiskusikan

bersama di dalam kelas. Pertanyaan dan tanggapan peserta didik dalam

diskusi kelas juga dicatat sebagai bagian dari penilaian kemampuan

berpikir kritis.

3) Penutup, yaitu memberikan kesimpulan dan evaluasi. Di akhir kegiatan,

guru mengakhiri proses serta menyimpulkan hasil kerja dan diskusi

kelompok/kelas.

Selama proses kegiatan pembelajaran yang akan diamati dan dinilai

adalah lima langkah dalam metode problem solving yang dikemukakan oleh

Brandsford dan Stein sebagai akronim IDEAL dan aspek-aspek dalam

kemampuan berpikir kritis yang terdiri atas tiga unsur penting dari berpikir

model proses yang diadaptasi dari Kneedler (Kneedler, 1988: 276-280).

b. Melakukan tes untuk mengukur hasil tindakan yaitu untuk mengetahui

perubahan kemampuan berpikir kritis sebelum dan sesudah tindakan.

Selama tindakan dilakukan di kelas, maka observasi dilakukan oleh peneliti

meliputi proses berlangsungnya pembelajaran, dan aktivitas peserta didik dalam

67
pelaksanaan pembelajaran, sehingga hal-hal yang terjadi selama pelaksanaan

tindakan dapat dicatat mulai dari persiapan sampai dengan akhir kegiatan. Agar

observasi berjalan maksimal maka digunakan kamera, catatan lapangan dalam

bentuk jurnal kegiatan dan lembar-lembar observasi.

3. Refleksi

Kegiatan refleksi dilakukan dengan cara diskusi dengan pihak-pihak yang

terkait setelah tindakan dilaksanakan, sehingga ditemukan permasalahan yang akan

ditarik kesimpulan apakah tindakan telah sesuai dengan tujuan atau tindakan harus

diadakan revisi untuk kegiatan yang akan datang. Berdasarkan hasil refleksi maka

disusun rencana tindakan selanjutnya untuk perbaikan atas kelemahan-kelemahan

dari tindakan sebelumnya.

F. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

1. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

a. Observasi

Peneliti melaksanakan tindakan dan kolaborator mengamati proses dan

aktivitas pembelajaran untuk mendapatkan data selama tindakan kelas

dilaksanakan yang meliputi:

1) Observasi terhadap guru yaitu mengamati kesiapan guru mulai dari

persiapan pengajar sampai dengan pelaksanaan pembelajaran terutama

pada kemampuan guru dalam menerapkan langkah-langkah metode

problem solving dan penilaian terhadap kemampuan berpikir kritis peserta

didik. Pengamatan terhadap guru juga meliputi kemampuan guru dalam

mengelola kelas, mengelompokkan peserta didik, mengorganisasi peserta


68
didik dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas selama proses

pembelajaran. Di samping itu juga diamati hal-hal lain yang berhubungan

dengan proses pembelajaran seperti kendala-kendala yang dihadapi selama

proses pembelajaran dan hal-hal yang mendukung proses belajar mengajar.

Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi guru yang

dikembangkan berdasarkan indikator-indikator yang disesuaikan dengan

komponen-komponen dalam metode problem solving untuk mengamati

kemampuan guru dalam menerapkan model problem solving dalam

kegiatan pembelajaran IPS untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis

peserta didik.

2) Observasi terhadap peserta didik yaitu terhadap aktivitas peserta didik

dalam proses pembelajaran. Hal-hal yang diamati antara lain adalah

aktivitas peserta didik dalam melakukan langkah-langkah metode problem

solving. Dalam hal ini mengamati aspek-aspek kemampuan berpikir kritis

peserta didik melalui lembar kerja peserta didik yang telah disiapkan

sesuai dengan indikator-indikator kemampuan berpikir kritis. Observasi

ditujukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan berpikir kritis

peserta didik telah berkembang selama proses pembelajaran dalam setiap

siklus tindakan.

Instrumen yang digunakan selama proses pembelajaran berupa

lembar observasi kemampuan berpikir kritis yang dirancang serta

dikembangkan berdasarkan indikator-indikator kemampuan berpikir kritis

(critical thinking). Pengambilan indikator-indikator berpikir kritis

69
mengacu dan mengadaptasi model pengembangan berpikir kritis oleh Peter

Kneedler (Critical Thinking Skills Process Model).

3) Observasi terhadap proses pembelajaran yaitu dengan membuat jurnal

harian berupa rekaman pengamatan secara tertulis untuk mendapatkan data

terhadap suasana kelas, respon peserta didik, perubahan tingkah laku

peserta didik, dan pelaksanaan metode pembelajaran.

Instrumen yang dipakai adalah lembar observasi pembelajaran yang

dapat digunakan untuk mengukur pelaksanaan kegiatan pembelajaran.

Instrumen ini merupakan catatan pengamatan terhadap seluruh aktivitas

belajar dan aktualisasasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan

peserta didik selama proses pembelajaran

b. Wawancara

Dari kegiatan wawancara diharapkan dapat diperoleh informasi tentang:

1) Kemampuan berpikir kritis peserta didik

2) Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam proses belajar

mengajar pada mapel IPS

3) Informasi/pendapat/saran/masukan dari rekan kolaborator dan pengamat

tentang proses pembelajaran, materi, kesulitan dan alternatif solusi.

Instrumen untuk melaksanakan wawancara berupa lembar panduan

wawancara yang berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang

ditujukan kepada subjek penelitian/responden. Responden diminta untuk

menjawab atau merespon yang bisa mencakup fakta, data, pengetahuan,

70
konsep, pendapat, persepsi atau evaluasi responden berkenaan dengan

fokus masalah atau variabel.

c. Catatan Lapangan

Pada waktu tindakan dilaksanakan maka peneliti melakukan pencatatan

semua peristiwa yang menyangkut proses pembelajaran, aktivitas guru dan

aktivitas peserta didik. Dengan catatan lapangan tersebut dapat diketahui

bagaimana proses penerapan model problem solving serta media informasi

yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Catatan lapangan juga

merupakan dasar untuk melakukan refleksi sehingga dapat diperbaiki pada

siklus selanjutnya.

Instrumen yang digunakan berupa jurnal harian yang digunakan untuk

merekam kegiatan proses pembelajaran secara tertulis. Isi jurnal berupa catatan

tentang kegiatan harian untuk melihat kemajuan dan berfungsi untuk

mengoptimalkan refleksi kegiatan. Melalui jurnal harian dapat meninjau

kekurangan dan kelebihan pada setiap siklus untuk melakukan perbaikan pada

siklus selanjutnya.

d. Tes

Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk mengetahui informasi

tentang hasil belajar peserta didik terhadap materi yang dipelajari dengan

metode problem solving. Instrumen yang digunakan berupa lembar tes tertulis

yang dikembangkan untuk menggali informasi tentang kemajuan dan

pencapaian beberapa komponen berpikir kritis selama proses pembelajaran

pada setiap siklus.

71
2. Teknik Validasi Instrumen

Instrumen dalam penelitian ini divalidasi melalui dua tahap. Tahap pertama,

instrumen-instrumen yang ada dikembangkan atau diadaptasi berdasarkan pendapat

para ahli. Kedua, instrumen yang telah dikembangkan tersebut dimintakan

penilaian beberapa ahli melalui konsultasi dan diskusi untuk proses perbaikan dan

penyempurnaan (professional judgment). Para ahli yang dimaksud adalah dosen

pembimbing tesis, dosen ahli penelitian, dan dosen ahli materi. Dengan cara ini

instrumen dianggap valid dan dapat dipakai sebagai alat untuk menggali dan

mengumpulkan informasi/data.

Untuk memenuhi standar ilmiah dan akademis, maka hasil analisis dikaji dan

dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula melalui teknik keabsahan data. Teknik

triangulasi dilakukan dengan cara memeriksa atau mengecek ulang informasi hasil

pengamatan atau observasi peneliti dan pengamat, hasil wawancara, dan hasil

pencatatan lapangan pada setiap siklus. Kepentingan triangulasi dalam

pengumpulan data dimaksudkan untuk mendapatkan konsistensi, ketuntasan dan

kevalidan data, sehingga diperoleh data yang konsisten, tuntas dan pasti. Hal ini

sesuai dengan yang disimpulkan oleh Sukardi (2006: 111) bahwa triangulasi

merupakan teknik yang digunakan peneliti untuk melindungi peneliti dari bias

melalui cara membandingkan data dari beberapa informasi yang berbeda.

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis ada yang digunakan adalah statistik deskriptif persentase. Analisis

deskriptif persentase digunakan untuk menjelaskan terjadinya peningkatan secara

persentatif terhadap kemampuan berpikir kritis maupun hasil belajar peserta didik.
72
Analisis data dalam penelitian ini juga ditempuh melalui cara merefleksikan hasil

pengamatan selama pelaksanaan tindakan yang dilakukan pada setiap siklus. Proses ini

dijalankan secara kolaboratif antara peneliti, guru dan pengamat untuk melihat,

mengkaji, menilai dan mempertimbangkan dampak atau hasil tindakan selama proses

serta pencapaian hasil dari tindakan yang dilakukan.

Adapun teknik pengolahan data kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar

peserta didik adalah sebagai berikut.

1. Analisis kemampuan berpikir kritis peserta didik

Terdapat 3 aspek pengukuran berpikir kritis dengan 3 indikator pada masing-

masing aspek sehingga terdapat 9 indikator. Masing-masing indikator dinilai

dengan rentang skor penilaian 1, 2, dan 3. Setiap skor memiliki kriteria penilaian

tertentu yang mengacu pada pedoman penilaian skor kemampuan berpikir kritis

(lihat lampiran 3a). Untuk menentukan rentang kriteria penilaian kemampuan

berpikir kritis peserta didik dapat dilihat pada Tabel 4. Dari tabel tersebut dapat

ditentukan tingkat kemampuan berpikir kritis peserta didik berdasarkan skor

tertentu yang diperoleh maka peserta didik tersebut dapat dimasukkan ke dalam

kriteria “kritis”, “cukup kritis”, “kurang kritis”, atau “tidak kritis”.

Tabel 4
Acuan Kriteria Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis

Interval Nilai Interpretasi

X≥ + 1.SBx Kritis

+ 1.SBx > X ≥ Cukup kritis

>X≥ - 1.SBx Kurang kritis

X< - 1.SBx Tidak kritis


(Sumber: diadaptasi dari Djemari Mardapi, 2008: 123)
73
Keterangan:

X adalah skor yang dicapai peserta didik

adalah rerata skor keseluruhan peserta didik dalam satu kelas

SBx adalah simpangan baku skor keseluruhan peserta didik dalam satu kelas

Berdasar tabel acuan di atas maka kriteria penilaian untuk kemampuan berpikir

kritis adalah sebagai berikut. Terdapat 9 indikator amatan yang dipakai untuk

mengukur kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan masing-masing indikator

memiliki nilai antara 1, 2, atau 3, maka: skor tertinggi adalah: 27 (9x3) dan skor

terendah adalah 9 (9x1). Maka, nilai SBx = 1/9 x (27-9) = 2 dan = ½ x (27+9) =

18. Berdasarkan analisis ini, kriteria kemampuan berpikir kritis ditetapkan dalam

Tabel 5 sebagai berikut.

Tabel 5
Rentang Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis

Interval Nilai Interpretasi


X ≥ 20 Kritis
20 > X ≥ 18 Cukup kritis
18 > X ≥ 16 Kurang kritis
X < 16 Tidak kritis

Untuk memudahkan pembacaan data hasil observasi kemampuan berpikir kritis

maka skor diubah menjadi nilai dengan rentang 1 – 100 sehingga rentang penilaian

kemampuan berpikir kritis peserta didik berubah seperti pada Tabel 6 berikut.

74
Tabel 6
Rentang Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis
(skor 1-100)

Interval Nilai Interpretasi


X ≥ 74,07 Kritis
74,07 > X ≥ 66,67 Cukup kritis
66,67 > X ≥ 59,26 Kurang kritis
X < 59,26 Tidak kritis

Hasil observasi kemampuan berpikir kritis tersebut kemudian dipersentase

berdasarkan jumlah peserta didik yang telah mencapai kemampuan berpikir kritis

pada kriteria “kritis” pada setiap siklus. Persentase tersebut kemudian dibandingkan

antar siklus secara statistik deskriptif.

2. Analisis hasil belajar peserta didik

Uji ketuntasan belajar peserta didik dilakukan dengan menjumlahkan skor

hasil belajar. Uji ketuntasan belajar dilakukan dengan menjumlahkan skor hasil

belajar peserta didik dengan sistem penilaian diberikan dalam skala angka 1-100.

Nilai hasil tes yang ditentukan dengan menggunakan standar mutlak atau mengacu

pada Penilaian Acuan Patokan (PAP) dengan tujuan untuk mengetahui peserta

didik apakah telah mencapai batas ketuntasan belajar yang telah ditentukan atau

belum. Untuk memperoleh nilai peserta didik secara individu dan nilai rata-rata

kelas diperoleh melalui rumus berikut.

a. Perhitungan Ketuntasan Belajar Individu

Skor yang diperoleh


KBI = x 100
Skor maksimal

75
b. Perhitungan Ketuntasan Klasikal

Jumlah peserta didik mencapai KKM


KK = x 100%
Jumlah seluruh peserta didik

Penilaian hasil belajar yang diperoleh masing-masing individu dalam mencapai

ketuntasan individual dihitung persentasenya pada setiap siklus. Persentase

ketuntasan tersebut kemudian diperbandingkan dari setiap siklusnya untuk

memperoleh gambaran peningkatan yang dicapai.

H. Kriteria Keberhasilan Tindakan

Kriteria keberhasilan tindakan diambil dari analisis kualitatif yang

dikuantitatifkan. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui peningkatan kemampuan

berpikir kritis dan perolehan hasil belajar peserta didik, maka keberhasilan tindakan

ditentukan melalui kriteria sebagai berikut:

1. Kriteria Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis

Keberhasilan tindakan dapat diukur berdasarkan skor yang diperoleh peserta didik.

Skor yang diperoleh menunjukkan daerah kemampuan berpikir kritisnya yaitu

kritis, cukup kritis, kurang kritis dan tidak kritis. Jika sesudah diterapkannya

metode problem solving, peserta didik memperoleh rata-rata skor yang lebih tinggi

dari rata-rata skor awal (pra siklus), maka terjadi peningkatan kemampuan berpikir

kritis peserta didik. Dengan demikian maka dapat disimpulkan tindakan telah

berhasil mencapai kriteria seperti yang diharapkan.

2. Kriteria Hasil Belajar Siswa

Data hasil belajar diperoleh dari tes yang dilakukan pada tiap akhir siklus.

76
Kriteria keberhasilan tindakan ditetapkan sebagai berikut:

a. Ketuntasan belajar individu mencapai nilai 80 sesuai KKM individual. Setiap

peserta didik yang telah mencapai nilai 80 dari tes hasil belajar maka peserta

didik telah mencapai ketuntasan belajar individu

b. Ketuntasan belajar klasikal mencapai 80% peserta didik di dalam kelas tersebut

telah mencapai ketuntasan belajar individu. Dalam hal ini, dengan menghitung

persentase peserta didik yang telah mencapai ketuntasan individu dalam kelas

penelitian tindakan dengan kriteria 80% dari keseluruhan peserta didik telah

mencapai nilai 80.

Tindakan dihentikan apabila jumlah peserta didik di dalam kelas tersebut yang

dapat mencapai nilai 80 atau lebih sebanyak 80% dari keseluruhan jumlah siswa di

kelas. Jumlah peserta didik dalam kelas penelitian adalah 24, maka harus terdapat

20 siswa atau lebih yang mampu mencapai nilai 80. Sehingga bila kedua kriteria di

atas telah terpenuhi maka penelitian tindakan dinyatakan telah berhasil sesuai yang

diharapkan.

77
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Persiapan Perencanaan Tindakan

Berdasarkan data awal pada Bab I yang diuraikan pada bagian latar

belakang, peneliti dan kolaborator kemudian berkolaborasi dalam penyusunan

rencana pembelajaran dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis

peserta didik. Rancangan pembelajaran ditujukan terutama untuk meningkatkan

kualitas pembelajaran IPS dengan menggunakan metode problem solving.

Pemilihan metode ini karena berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu

menunjukkan bahwa metode problem solving dapat digunakan untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Skenario pembelajaran diarahkan pada bagaimana cara untuk melibatkan

peserta didik secara aktif dalam pembelajaran yang menuntut mereka dalam

mengerahkan kemampuan berpikirnya. Peserta didik diarahkan untuk memahami

langkah-langkah dalam problem solving yang di dalamnya terkandung aspek-

aspek dalam berpikir kritis. Keaktifan peserta didik dalam pembelajaran juga

merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam pembelajaran maka hal ini perlu

diupayakan secara maksimal.

Upaya yang perlu dilakukan antara lain dengan membebaskan siswa

untuk memperoleh berbagai informasi yang mereka perlukan dalam mencari

pemecahan masalah yang diberikan. Oleh karena itu, untuk mendukung

pembelajaran penelitian ini menggunakan media pembelajaran yang berupa

78
media informasi. Media informasi yang dimaksud adalah media informasi berupa

media visual, teks, maupun audiovisual yang telah dirancang untuk diberikan

kepada peserta didik sebagai masalah yang harus dipecahkan.

Materi yang disepakati oleh peneliti dan kolaborator adalah materi pada

Standar Kompetensi (SK) 2 ”Memahami proses kebangkitan nasional”. Karena

materi SK 2 Kompetensi Dasar 2.1 ”Menjelaskan proses perkembangan

kolonialisme dan imperialisme barat” sudah diberikan, maka untuk siklus

pertama menggunakan materi pada Kompetensi Dasar 2.2 ”Menguraikan proses

terbentuknya kesadaran nasional, identitas Indonesia, perkembangan pergerakan

kebangsaan Indonesia”. Peneliti dan kolaborator juga menyepakati untuk

menggunakan media informasi berupa visual atau gambar-gambar yang

menantang peserta didik untuk mencari tahu tentang informasi yang terkandung

di dalam gambar yang diberikan.

Peneliti juga menyiapkan tayangan dengan Power Point untuk

memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang langkah-langkah yang harus

dilakukan dalam metode problem solving. Power point juga digunakan sekaligus

untuk memberikan gambaran awal mengenai materi yang akan dikuasai oleh

peserta didik.

2. Pelaksanaan dan Hasil Tindakan

a. Deskripsi Tindakan Siklus I

1) Rencana Tindakan Siklus I

a) Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)

79
Sebelum melaksanakan tindakan pada siklus pertama ini,

terlebih dahulu disusun perangkat pembelajaran yang diperlukan

untuk mengarahkan jalannya proses pembelajaran. Rancangan

pembelajaran disusun dalam rencana pelaksanaan pembelajaran

(RPP) yang mengandung langkah-langkah dalam metode problem

solving berbantuan media informasi. Materi yang dipersiapkan

dalam RPP tersebut sesuai dengan KD 2.2 yaitu “Menguraikan

proses terbentuknya kesadaran nasional, identitas Indonesia,

perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia”. Perangkat

pembelajaran yang sudah disusun kemudian diajukan untuk

mendapat pengarahan dan pengesahan (validasi) dari validator

(Dr. Aman, M.Pd.). Adapun RPP yang digunakan pada siklus

pertama ini dapat dilihat pada lampiran 2a.

b) Menyiapkan media pembelajaran

Untuk mendukung terlaksananya pembelajaran sesuai

dengan metode problem solving yang digunakan maka terlebih

dahulu disiapkan media pembelajaran. Media yang disiapkan

untuk siklus pertama berupa gambar yang menantang rasa ingin

tahu dengan tambahan sebuah teks. Untuk mendukung pencarian

informasi guru menyediakan berbagai sumber informasi cetak

berupa buku-buku sejarah, album perjuangan Indonesia, dan

ensiklopedi Indonesia. Kemudian supaya peserta didik dapat

melakukan pemecahan masalah maka perlu dipersiapkan tayangan

80
dengan menggunakan power point yang menjelaskan 5 langkah

pemecahan masalah menurut Bransford dan Stein dengan akronim

IDEAL.

Peserta didik diperkenankan untuk menggunakan lebih dari

satu sumber bacaan. Diperlukan kemampuan berpikir kritis peserta

didik dalam memilih dan memilah mana informasi-informasi yang

penting dan relevan sesuai dengan problem yang harus

dipecahkan.

c) Menyusun pedoman observasi untuk mengamati kegiatan

pembelajaran

Untuk mengamati jalannya pembelajaran pada setiap

pertemuan maka disusun pedoman observasi untuk merekam

secara tertulis kegiatan pembelajaran dan performasi guru dalam

melaksanakan tindakan dengan metode problem solving. Peneliti

juga melibatkan dua orang guru, Ibu Istikomah, S.Pd. dan Ibu Siti

Zubaidah, S.Pd. untuk ikut serta dalam tugas observasi agar

mendapatkan data yang lebih valid.

Aktivitas belajar peserta didik diamati dan diukur melalui

panduan observasi kemampuan berpikir kritis yang terdiri atas 3

aspek dan masing-masing aspek terdiri atas 3 indikator.

Sedangkan aktivitas performasi atau kinerja guru dalam

pembelajaran dengan metode problem solving diamati dan diukur

81
melalui panduan observasi pembelajaran yang terdiri atas 5 aspek

dan masing-masing aspek terdiri atas 3 indikator.

Pedoman observasi yang digunakan untuk mengamati

kemampuan berpikir kritis peserta didik, pedoman observasi untuk

mengamati performasi atau kinerja guru dalam pembelajaran

dengan metode problem solving dan panduan untuk wawancara

dengan guru dapat dilihat pada Lampiran 3c.

d) Menyusun instrumen tes untuk menilai kemampuan berpikir kritis

Pencapaian kemampuan berpikir kritis pada peserta didik

diukur dengan post test yang sekaligus merupakan tes untuk

memperoleh nilai hasil belajar peserta didik siklus I.

e) Menyiapkan perlengkapan wawancara, catatan lapangan dan

dokumentasi visual pelaksanaan pembelajaran

Peneliti menyiapkan perlengkapan wawancara dengan guru

pengampu sebelum dan sesudah tindakan berupa kertas dan alat

perekam. Karena wawancara bersifat terbuka maka pedoman

wawancara hanya dibuat secara garis besar saja dan berkembang

sesuai kondisi wawancara. Untuk membuat catatan lapangan maka

dipersiapkan beberapa kertas folio yang digunakan untuk mencatat

semua peristiwa yang terjadi selama proses pembelajaran

berlangsung. Peneliti juga merekam aktivitas peserta didik dan

guru pengampu secara visual dengan menggunakan kamera digital

agar dapat menunjukkan fase-fase pembelajaran yang terjadi.

82
2) Pelaksanaan Tindakan Siklus I

Pelaksanaan tindakan kelas pada siklus I dilaksanakan pada tiga

tatap muka yaitu pada hari Sabtu, 28 September 2013, hari Rabu, 2

Oktober 2013 dan hari Sabtu, 5 Oktober 2013. Kegiatan pembelajaran

dilakukan dengan mengacu pada metode problem solving yang

dikemukakan oleh Brandsford dan Stein yang terdiri atas lima langkah.

Lima langkah tersebut berupa akronim IDEAL yaitu identification,

definition, exploration, anticipate, dan look back.

a) Pertemuan pertama siklus I

Pertemuan pertama siklus I dilaksanakan pada hari Sabtu, 28

September 2013.

(1) Pendahuluan

Sebelum memulai pelajaran guru mengajak berdoa

bersama untuk menanamkan sikap keimanan dan ketakwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Guru mengecek kehadiran

peserta didik dan pada pertemuan ini tidak ada peserta didik

yang tidak hadir. Setelah kondisi kelas siap guru

memberikan apersepsi dan motivasi. Apersepsi diberikan

oleh guru dengan mengaitkan pelajaran sebelumnya yaitu

guru mengingatkan tujuan kedatangan bangsa-bangsa asing

di Indonesia melalui tanya jawab. Kemudian guru

menayangkan gambar-gambar tentang Kongres Pemuda II

dan Proklamasi Kemerdekaan. Siswa diberi rambu-rambu

83
bahwa antara peristiwa Kongres Pemuda II memiliki kaitan

yang erat dengan dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan

RI. Siswa juga ditumbuhkan rasa ingin tahunya mengenai

peristiwa-peristiwa apa yang terjadi sebelum Kongres

Pemuda II dilaksanakan.

(2) Kegiatan Inti

Kegiatan inti diawali dengan pemberitahuan tujuan

pembelajaran pada KD. 2.1 ini dan penjelasan awal tentang

proses kebangkitan nasional Indonesia oleh guru. Setelah itu

gur menjelaskan metode yang digunakan pada pembelajaran

kali ini yaitu metode problem solving. Peserta didik

mendengarkan penjelasan tersebut sambil menyimak

tayangan power point di depan kelas. Kemudian, guru

memberikan masalah berupa tugas untuk membuat majalah

dinding dengan tema sesuai tujuan pembelajaran.

Untuk mengerjakan tugas tersebut kemudian peserta

didik dibagi ke dalam 4 kelompok yang terdiri atas 6 orang

masing-masing kelompok. Berikutnya peserta didik

diberikan lembar kerja yang berisi sub materi yang harus

dibahas dan petunjuk kerja sesuai dengan sintaks pada

metode problem solving menurut Brandsford dan Stein

(IDEAL). Pada pertemuan pertama ini, baru bisa

84
dilaksanakan tiga langkah yaitu Identifying, Defining

problems dan Exploring.

(a) Langkah Identifying atau identifikasi.

Pada langkah pertama ini, identifikasi masalah,

peserta didik didorong untuk menyadari masalah apa

yang sedang mereka hadapi. Tugas yang diberikan guru

sebenarnya sudah menjadi persoalan bagi peserta didik

yaitu bagaimana mereka mewujudkan produk yang

diminta oleh guru untuk membuat majalah dinding.

Mereka harus mengidentifikasi hal-hal apa yang harus

mereka lakukan agar tugas tersebut terwujud.

Selain itu, masalah terpenting yang mereka

hadapi adalah bagaimana menyajikan informasi dibalik

gambar-gambar yang diberikan dalam lembar kerja.

Guru harus mendorong peserta didik untuk

menumbuhkan rasa ingin tahu tentang suatu hal dengan

meminta setiap peserta didik menuliskan pertanyaan-

pertanyaan yang timbul dalam pemikiran mereka

sebelum mereka mencari informasi. Timbulnya

pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting bagi mereka

karena akan mengarahkan informasi-informasi apa yang

harus mereka peroleh. Pada tahap ini, peserta didik

harus menggunakan kemampuan berpikir yang kritis.

85
Kemudian setiap kelompok berdiskusi secara

aktif untuk mengidentifikasi hal-hal yang harus mereka

pecahkan seperti pembagian tugas dalam kelompok,

bagaimana memperoleh sumber informasi, dan

merumuskan bentuk majalah dinding yang harus

mereka sajikan. Pada kegiatan ini peserta didik dapat

diamati mana yang aktif dalam kelompok dan mana

yang masih pasif. Guru disini berperan sebagai

motivator dan fasilitator yang mendorong peserta didik

untuk selalu aktif dan memberikan penjelasan bila ada

pertanyaan dari peserta didik.

(b) Langkah Defining problems atau mendefinisikan

masalah

Pada langkah kedua, dengan bimbingan guru

peserta didik dibantu untuk mendefinisikan tujuan

pemecahan masalah. Peserta didik juga didorong untuk

menggali ide dan gagasan sebanyak mungkin untuk

merumuskan masalah. Kemudian dari berbagai

informasi yang diperoleh peserta didik dapat

menentukan informasi mana yang paling relevan dalam

menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dalam

aktivitas ini peserta didik diarahkan untuk mengerahkan

kemampuan berpikir kritisnya. Langkah identifikasi dan

86
definisi dalam indikator berpikir kritis termasuk ke

dalam unsur “definisi dan klarifikasi masalah”. Dengan

demikian, peserta didik mulai belajar meningkatkan

kemampuan berpikirnya.

(c) Langkah Exploring atau eksplorasi

Langkah ketiga adalah eksplorasi yaitu peserta

didik menemukan sendiri cara penyelesaian masalah

yang mereka hadapi. Mereka akan merasa bangga dan

bertanggung jawab untuk memecahkan masalah dengan

caranya sendiri. Mungkin cara yang ditempuh oleh

masing-masing kelompok akan berbeda-beda

tergantung pada hasil diskusi yang mereka lakukan.

Kemudian mereka mulai bekerja dalam kelompok

masing-masing dengan mengumpulkan bahan-bahan

informasi yang dibutuhkan dan penyusunannya. Media

yang disediakan oleh guru adalah berbagai sumber

sejarah berupa media informasi cetak seperti buku-buku

sejarah berbagai pengarang, buku album perjuangan

bangsa dan buku ensiklopedi Indonesia. Siswa

dibebaskan untuk memilih sumber yang dikendaki dan

boleh lebih dari satu sumber.

Pada tahap ini diperlukan pemantauan oleh guru

dan kolaborator agar peserta dapat memanfaatkan waktu

87
secara efektif dan efisien. Peserta didik kemudian

segera bekerja dalam membuat majalah dinding

tersebut. Guru dan kolaborator berkeliling melihat dan

mencatat aktivitas peserta didik dan mencatat kemajuan

penyelesaian tugas.

(3) Penutup

Guru memberi motivasi dan apresiasi kepada setiap

kelompok. Guru juga mengingatkan peserta didik untuk

mempresentasikan hasil kerja mereka pada pertemuan

berikutnya. Bagi kelompok yang belum menyelesaikan

pembuatan majalah dinding dapat dilakukan di rumah

dengan batas waktu pengumpulan tugas adalah pertemuan

pada tanggal 2 Oktober 2014. Pembelajaran kemudian

ditutup dengan doa bersama.

b) Pertemuan kedua siklus I

Pertemuan kedua siklus I dilaksanakan pada hari Rabu

tanggal 2 Oktober 2014.

(1) Pendahuluan

Guru mengawali kelas dengan berdoa, kemudian

mengecek situasi kelas dan kehadiran peserta didik. Pada

saat apersepsi guru mengingatkan hal-hal yang

mempengaruhi kebangkitan nasionalisme Indonesia dengan

cara tanya jawab. Untuk memotivasi peserta didik guru

88
menayangkan gambar tokoh-tokoh pergerakan nasional

Indonesia agar menjadi contoh tentang semangat

nasionalisme dan patriotisme. Guru kemudian meminta

peserta didik untuk bergabung dengan kelompoknya

masing-masing.

(2) Kegiatan inti

Sebelum melanjutkan pada langkah-langkah problem

solving berikutnya guru memberikan beberapa pengarahan.

Peserta didik diharapkan sudah menyelesaikan pembuatan

majalah dinding sesuai target waktu. Kemudian setiap

kelompok diminta untuk menyiapkan presentasi hasil kerja

kelompok mereka. Setiap kelompok kemudian maju satu per

satu mulai dari kelompok 1 sampai dengan kelompok 4.

(a) Langkah Exploring atau eksplorasi

Langkah eksplorasi pada pertemuan sebelumnya

sudah ada akan tetapi belum tuntas seluruhnya. Salah

satu indikator langkah ketiga ini adalah

mempresentasikan masalah. Dalam hal ini, presentasi

yang dilakukan peserta didik secara berkelompok

adalah presentasi hasil tugas berupa majalah dinding.

Setiap kelompok diberi waktu masing-masing 15 menit

dengan perincian 8 menit untuk presentasi dan 7 menit

89
untuk menerima tanggapan dan pertanyaan dari

kelompok lain (digabung dengan langkah keempat) .

(b) Langkah Anticipate and Act atau antisipasi dan aksi

Pada langkah ini, peserta didik setelah selesai

presentasi menerima tanggapan dan pertanyaan dari

kelompok lain. Guru sebagai fasilitator juga

memberikan konfirmasi atas beberapa tanggapan

maupun jawaban yang kurang tepat. Setiap kelompok

yang maju juga mencatat kritikan dan hambatan yang

dialami dalam penyelesaian tugas. Dalam langkah ini

peserta didik belajar untuk melihat bahwa terdapat

perbedaan pendapat dan sudut pandang berbeda dari

pihak lain. Peserta didik pada langkah eksplorasi,

antisipasi dan aksi diarahkan untuk mengerahkan

kemampuan berpikir kritis yaitu pada unsur “menilai

dan mengolah informasi yang berhubungan dengan

masalah”.

(3) Penutup

Guru mengingatkan peserta didik bahwa pada

pertemuan berikutnya akan dilakukan observasi terhadap

seluruh kegiatan yang telah dilakukan. Dalam hal ini,

peserta didik diminta untuk mempersiapkan masukan dan

saran serta evaluasi diri terhadap cara kerja kelompok

90
mereka. Terakhir guru senantiasa memberikan apresiasi dan

motivasi kepada para peserta didik kemudian menutup

pembelajaran dengan doa bersama.

c) Pertemuan ketiga siklus I

Pertemuan ketiga siklus I dilaksanakan pada hari Sabtu

tanggal 5 Oktober 2013.

(1) Pendahuluan

Guru memulai pembelajaran dengan doa bersama.

Setelah mengecek situasi kelas dan kehadiran peserta didik

guru memberikan apersepsi. Apersepsi pada pertemuan

ketiga ini mengingatkan peserta didik tentang perjuangan

melawan kolonialisme sejak kedatangan bangsa Belanda

dari mulai perlawanan bersenjata hingga perjuangan secara

keorganisasian. Untuk memotivasi peserta didik guru

menayangkan foto-foto seputar diucapkannya Sumpah

Pemuda agar peserta didik ikut menjiwai peristiwa yang

terjadi pada saat itu.

(2) Kegiatan Inti

Sebelum masuk pada kegiatan inti, peserta didik

dijelaskan tentang langkah kelima dalam problem solving

yaitu Look and learn atau lihat kembali dan pelajari. Peserta

didik diberi pengertian bahwa setiap tindakan yang telah kita

lakukan perlu ditinjau kembali apakah sudah sesuai dengan

91
yang diharapkan atau belum. Pembelajaran kali ini diisi

dengan kegiatan untuk menilai kembali cara pemecahan

masalah yang sudah mereka lakukan. Mempelajari kesulitan

dan hambatan serta meninjau hal-hal yang mungkin dapat

diperbaiki di masa yang akan datang. Guru juga memberikan

komentar mengenai cara kerja masing-masing kelompok

sekaligus untuk meluruskan beberapa informasi yang kurang

tepat agar tidak terjadi miskonsepsi pada peserta didik.

(a) Langkah Look and learn atau lihat dan pelajari

Pada langkah kelima ini peserta didik diajak

melakukan observasi terhadap keputusan dalam

penyelesaian tugas. Peserta didik juga diminta menilai

sendiri cara kerjanya dan menilai kemungkinan cara

kerja lain yang lebih baik. Kedua hal di atas merupakan

tahapan yang paling sulit. Pada langkah ini peserta didik

betul-betul dituntut untuk berpikir secara kritis tentang

berbagai hal yang sudah dilakukannya bersama teman-

teman dalam satu kelompok. Dalam aktivitas ini

peserta didik dinilai kemampuan berpikir kritisnya pada

unsur “solusi masalah/membuat kesimpulan/memecah-

kan masalah”. Dengan demikian ketiga unsur

kemampuan berpikir kritis (menurut Kneedler) sudah

92
tercakup ke dalam langkah-langkah dalam metode

problem solving IDEAL.

(b) Melaksanakan post test

Pada akhir pembelajaran ini, peserta didik

diberikan post test atau tes yang dapat digunakan untuk

mengevaluasi kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Tes ini sekaligus digunakan sebagai tes hasil belajar

secara kognitif. Soal yang diberikan sudah dirancang

dengan memasukkan indikator-indikator kemampuan

berpikir kritis seperti membuat pertanyaan dan

pernyataan, menilai hubungan antar pernyataan,

mencari sebab-sebab kejadian, membuat prediksi

tentang suatu kejadian dan juga membuat kesimpulan

dari suatu persoalan. Jumlah soal sebanyak 6 soal yang

terdiri atas berbagai variasi soal yaitu uraian dan pilihan

ganda dengan variasi. Adapun bentuk soal pada post

test dapat dilihat pada lampiran.

(3) Penutup

Guru memberikan ucapan selamat bagi semua peserta

didik karena telah berhasil menyelesaikan tugas. Guru

menggarisbawahi pentingnya metode problem solving bukan

hanya pada saat pembelajaran tetapi juga untuk

93
memecahkan masalah lainnya dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran kemudian ditutup dengan doa bersama.

3) Observasi Tindakan Siklus I

Observasi atau pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan pada

siklus I meliputi observasi terhadap jalannya pembelajaran, observasi

terhadap guru, dan observasi terhadap siswa. Adapun uraian hasil

observasi tindakan siklus I adalah sebagai berikut.

a) Observasi jalannya pembelajaran

Suasana pembelajaran dari ketiga pertemuan pada umumnya

berjalan cukup baik. Para peserta didik terlihat cukup antusias

mengikuti pembelajaran dengan metode yang baru. Meskipun

masih terlihat beberapa yang kurang serius yaitu bercanda atau

melamun sendiri tetapi setelah diingatkan guru, mereka dapat

mengikuti proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Pada

awalnya guru masih terlihat kaku dan kurang menguasai metode

namun kemudian ketika pada tahap kerja kelompok guru mampu

menjadi motivator dan fasilitator. Hanya saja penjelasan guru

tentang metode problem solving dirasakan peserta didik masih

kurang sehingga banyak yang masih harus bertanya lagi pada saat

kerja kelompok. Penggunaan lembar kerja cukup membantu peserta

didik dalam melaksanakan tugas sesuai dengan langkah-langkah

pada problem solving.

94
Pada langkah pertama yaitu identifikasi terlihat kebanyakan

peserta didik masih bingung tentang apa yang harus dilakukan.

Mereka belum memahami bagaimana mengidentifikasi suatu

masalah. Baru setelah mendapat penjelasan guru untuk menuliskan

pertanyaan-pertanyaan yang ingin diketahui berkaitan dengan sub

materi siswa mulai dapat bekerja. Pada langkah definisi peserta

didik juga agak kesulitan untuk menyatakan apa yang harus

didefinisikan. Mereka masih bingung harus memilih informasi

mana yang paling relevan, menetapkan tujuan dan

merepresentasikan masalah. Pada langkah ini peserta didik

memerlukan waktu lebih banyak untuk membaca dan mencari

informasi yang dibutuhkan dari media yang sudah disediakan.

Berikut adalah kutipan dari catatan lapangan (Lampiran 5c):

Siswa terlihat antusias, akan tetapi mereka masih banyak


yang belum mengerti tentang langkah problem solving yang
harus mereka lakukan sehingga banyak bertanya kepada
guru maupun peneliti.

Pada langkah eksplorasi peserta didik mulai menemukan

hal-hal apa yang harus dilakukan agar dapat menuntaskan tugas

membuat majalah dinding. Mereka mulai aktif dalam diskusi pada

kelompoknya masing-masing. Beberapa peserta didik masih terlihat

kurang aktif dan hanya menjadi pendengar pada saat diskusi

kelompok berlangsung. Pada saat pelaksanaan presentasi kelompok,

para peserta didik masih banyak yang enggan untuk mengajukan

pertanyaan. Terutama pada kelompok 3 terlihat belum

95
menunjukkan partisipasi dalam diskusi kelas. Hal ini mungkin

karena mereka tidak terbiasa atau masih malu-malu. Berikut kutipan

dari catatan lapangan (Lampiran 5c):

Jalannya diskusi cukup lancar, hanya dari kelompok tiga


masih pasif dan belum memberikan tanggapan kepada
kelompok lainnya.

Pada langkah antisipasi dan aksi berjalan cukup menarik. Di

sini peserta didik justru banyak mengungkapkan bagaimana

kesulitan dan hambatan yang mereka hadapi pada saat penyusunan

majalah dinding. Kesulitan mereka terutama pada saat pembagian

tugas dan mengkoordinasi tugas. Faktor kekompakan nampaknya

juga menjadi faktor yang cukup menentukan keberhasilan tugas

mereka. Memang masih terdapat dua kelompok yang tidak dapat

menyelesaikan tugas dengan cukup baik yaitu kelompok 3 dan

kelompok 4.

Pada langkah lihat dan pelajari peserta didik terlihat lebih

memahami apa yang menjadi kendala dalam tugas mereka.

Kelompok 1 cukup berhasil karena mereka menentukan cara-cara

penyelesaian tugas sebelumnya. Juga terdapatnya kerjasama yang

cukup baik di antara anggota kelompok. Bagi beberapa kelompok

yang kurang berhasil, mereka kemudian menuliskan kemungkinan

cara penyelesaian tugas secara lebih baik. Kegiatan diakhiri dengan

post test yang diikuti oleh semua peserta didik dengan tertib dan

lancar. Berikut kutipan dari catatan lapangan (Lampiran 5c).

96
Guru menjelaskan bahwa hari ini akan membahas kerja
kelompok yang telah mereka lakukan pada pertemuan
sebelumnya. Siswa diberi kesempatan memberi komentar
terhadap cara kerjanya sendiri. Sebagian besar berkata masih
merasa sulit untuk mengatur kelompok dan menentukan apa
yang harus ditampilkan dalam majalah dinding. Juga ketika
berbeda pendapat dengan teman. Mereka juga diminta untuk
melihat kemungkinan cara kerja lain yang lebih baik.

b) Observasi terhadap performasi/kinerja guru

(1) Proses pembelajaran yang dilakukan guru pada pertemuan

pertama ketika tahap pendahuluan, dalam memberikan

apersepsi dan motivasi masih kurang memuaskan. Hal ini

disebabkan guru agak terlambat masuk kelas di samping itu

juga belum begitu menguasai penggunaan LCD. Namun

demikian, pada pertemuan kedua dan ketiga, guru sudah tepat

waktu dan pembelajaran dapat berjalan lebih efisien (lihat

Lampiran 5c)

(2) Pada saat pengarahan sebelum masuk ke kegiatan inti,

penyampaian guru mengenai metode problem solving IDEAL

masih belum mencukupi. Guru terlalu cepat menerangkan

mengingat waktu yang berkurang karena terlambat. Pada saat

kegiatan inti peran guru sebagai motivator dan fasilitator

terlihat sudah cukup baik. Pertanyaan-pertanyaan dari peserta

didik cukup ditanggapi meskipun guru sendiri masih meminta

klarifikasi kepada peneliti tentang jawabannya kepada peserta

didik.

97
(3) Penyediaan dan penggunaan media informasi sudah cukup

baik. Media informasi yang digunakan berupa gambar cukup

memancing rasa ingin tahu peserta didik. Penguasaan guru

terhadap teknik bertanya dan menjawab pertanyaan peserta

didik masih perlu untuk ditingkatkan. Guru cenderung kurang

sabar menunggu jawaban dari peserta didik ketika melempar

pertanyaan sehingga terkadang sudah dijawab sendiri sebelum

dijawab oleh peserta didik. Peran guru dalam mengarahkan

keaktifan peserta didik, mengecek pemahaman peserta didik

dan penguasaan kelas sudah cukup baik tetapi masih dapat

ditingkatkan lagi.

(4) Kemampuan guru menerapkan metode problem solving dalam

pembelajaran belum begitu memuaskan. Guru masih tampak

kikuk dalam menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan

problem solving karena belum terbiasa. Namun demikian,

pemahaman guru cukup membantu kesulitan peserta didik

ketika menggunakan metode ini untuk menyelesaikan tugas

yang diberikan. Adanya komunikasi yang baik menyebabkan

proses pembelajaran berjalan lancar.

(5) Hasil wawancara dengan kolaborator tentang metode problem

solving dikumpulkan berdasarkan wawancara sebelum

tindakan dan sesudah tindakan siklus I. Pada saat sebelum

tindakan dari wawancara diketahui bahwa guru belum pernah

98
menggunakan metode problem solving ini. Meskipun

terkadang guru pernah juga memberikan permasalahan untuk

diberikan kepada peserta didik akan tetapi belum pernah

melaksanakan sintak-sintak sesuai dengan teori seperti metode

problem solving IDEAL. Guru juga menjawab pentingnya

meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dan

tertarik untuk menggunakan metode tersebut dalam rangka

meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Pada wawancara sesudah tindakan siklus I diketahui

bahwa guru merasa agak kesulitan ketika menjelaskan kepada

peserta didik tentang apa yang dimaksud dalam sintak-sintak

IDEAL tersebut. Tetapi guru merasa senang bahwa peserta

didik terpacu untuk meningkatkan aktivitasnya dalam proses

pembelajaran. Berikut cuplikan wawancaranya:

K : Sama-sama Bu, silakan bisa bu. Saya juga ingin


menyampaikan beberapa hal.
P : O silakan, Pak. Kalau begitu boleh Bapak sampaikan
dulu.
K : Saya masih agak kesulitan untuk menerapkan langkah-
langkahnya, Bu. Maksud saya setiap tahap membutuhkan
waktu yang agak lama bagi siswa. Siswa cenderung
membutuhkan waktu lebih lama bu.
P : Iya, Pak. Betul juga. Memang kalau masih baru kan
belum terbiasa ya, Pak. Metode ini juga cenderung
menguji kesabaran guru juga, Pak. Tapi siswa dapat kita
dorong dan motivasi lebih fokus agar dapat bekerja lebih
cepat Pak. Mungkin ada lagi yang lainnya, Pak?
K : Iya, Bu. Memang kita harus dorong-dorong terus, kalau
tidak kan bisa tidak selesai. Ada lagi, Bu apakah hasil
post test kemarin cukup bagus, Bu?
P : Alhamdulillah ada peningkatan, Pak dibandingkan hasil
pre test. Akan tetapi, masih 50% siswa belum dapat

99
mencapai KKM karena soal semacam ini. Menurut
Bapak, tindakan yang kita lakukan kemarin bagaimana?
K : Menurut saya cukup lumayan. Siswa terlihat antusias dan
mau bekerja lebih keras untuk mewujudkan majalah
dinding. Hasilnya juga lumayan baik. Hanya kelompok
tiga masih terlihat pasif kan Bu.
P : Betul, Pak. Tapi, kelompok yang lain sudah cukup bagus
kan Pak. Kalau mengenai kekritisan siswa bagaimana,
Pak. Apa menurut Bapak sudah ada peningkatan?
K : Kalau dilihat dari jumlah siswa yang mengajukan
pertanyaan saya kira semua menunjukkan peningkatan
kemampuan berpikir kritis. Tetapi kebanyakan masih
menanyakan seputar faktual. (Lampiran 5b)

Selanjutnya ketika ditanyakan apakah guru sudah puas

dengan proses pembelajaran yang dilaksanakannya, guru

menjawab belum puas dan ingin ditingkatkan lagi. Guru juga

menjawab meskipun keaktifan peserta didik dalam bertanya

sudah cukup baik akan tetapi bobot pertanyaan belum

menunjukkan kemampuan berpikir kritis yang tinggi. Guru

berharap pada siklus berikutnya proses pembelajaran dapat

berjalan lebih baik lagi.

c) Observasi terhadap peserta didik tindakan siklus I

(1) Observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik

Observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik

diambil dari penilaian terhadap jawaban post test, aktivitas

belajar dan hasil kerja kelompok yang dirangkum untuk

mencapai indikator-indikator dalam penilaian kemampuan

berpikir kritis. Hasil observasi kemampuan berpikir kritis

100
peserta didik pada siklus I dapat dilihat dari lampiran 5a-1, 5a-

2 dan 5a-3.

Kemudian dari skor hasil observasi kemampuan

berpikir kritis siklus I tersebut dapat dianalisis kriteria

kemampuan berpikir kritisnya berdasarkan Rentang Penilaian

Kemampuan Berpikir Kritis. Dari lampiran hasil observasi

kemampuan berpikir kritis siklus I dapat disimpulkan sebaran

kemampuan berpikir kritis siswa sesuai dengan kriteria di atas

dalam Tabel 7.

Tabel 7
Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor
Kemampuan Berpikir Kritis pada Siklus I

Jumlah Pe se rta
NO Re ntang Skor Kriteria Skor
Didik
1 > 20 Kritis 14

2 18 - 19,99 Cukup Kritis 3


3 16 - 17,99 Kurang Kritis 7

4 < 16 Tidak Kritis 0

JUMLAH 24

Dari tabel tersebut terlihat sebagian besar peserta didik

sudah berada pada tingkatan “kritis” yaitu sebanyak 14 peserta

didik dari 24 peserta didik atau 58,33%. Sementara yang

mencapai tingkatan “cukup kritis” sebanyak 3 orang atau

12,5% dan masih terdapat 7 peserta didik yang berada pada

101
tingkatan “kurang kritis” atau 29,17%. Sedangkan peserta didik

yang berada pada tingkatan “tidak kritis” tidak ada.

(2) Data hasil belajar kognitif dari post test siklus I

Pada akhir siklus I diadakan ulangan harian berupa

post test yang ditujukan untuk mengetahui hasil belajar

kognitif peserta didik. Hasil post test juga digunakan untuk

mengukur keberhasilan pembelajaran secara klasikal dan dapat

digunakan oleh guru untuk melakukan evaluasi dan refleksi

pembelajaran siklus I. Data hasil post test siklus I dapat dilihat

pada Lampiran 5d.

Dari hasil post test siklus I, terdapat 12 peserta didik

yang tuntas atau mampu mencapai nilai KKM (nilai 80) dan 12

peserta didik yang lainnya tidak tuntas atau tidak mampu

mencapai nilai KKM. Nilai rata-rata kelas yang diperoleh

adalah 76. Secara klasikal, ketuntasan belajar pada post test

tersebut sebesar 50% yang menunjukkan belum tercapainya

ketuntasan klasikal yang ditetapkan dalam KTSP sebesar 80%.

Meskipun demikian, sudah terdapat peningkatan dibandingkan

dengan hasil pre test yang baru mencapai rata-rata kelas

sebesar 68 dengan ketuntasan klasikal sebesar 25% (6 orang).

4) Refleksi Tindakan Siklus I

Para peserta didik pada siklus I ini cukup serius dan tertarik

dengan metode pembelajaran problem solving IDEAL yang belum

102
pernah dialami. Media pembelajaran yang digunakan cukup menantang

peserta didik karena diberikan gambar yang menimbulkan tanda tanya

bagi para peserta didik. Aktivitas siswa tampak meningkat ketika

diberikan tugas dalam kelompok untuk mengapreasiasi apa yang mereka

ingin ketahui dan apa yang mereka peroleh dalam pencarian informasi.

Meskipun masih terdapat beberapa peserta didik yang kurang

memperhatikan atau mengobrol sendiri, secara umum pembelajaran

dapat berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan adanya peningkatan

hasil belajar pada siklus I dari pada sebelum diberikan tindakan.

Refleksi pelaksanaan pembelajaran pada siklus I adalah sebagai berikut.

a) Evaluasi pelaksanaan siklus I

Proses pembelajaran pada siklus I ini berjalan cukup lancar.

Peserta didik terlihat aktif dan bersemangat dalam menerima tugas

yang diberikan. Beberapa peserta didik yang merasa kurang jelas

juga cukup berani untuk mengajukan pertanyaan mengenai

langkah-langkah dalam penggunaan metode problem solving.

Meskipun dari sisi guru masih terlihat canggung karena belum

begitu menguasai sintaks dalam metode ini. Dari pelaksanaan

pembelajaran siklus I ini dapat dievaluasi hal-hal sebagai berikut.

(1) Guru belum begitu menguasai metode pembelajaran problem

solving dan kurang maksimal dalam memanfaatkan power

point

103
(2) Guru sudah memberi kesempatan kepada peserta didik untuk

aktif dalam mengajukan pertanyaan namun peserta didik

kurang begitu aktif memanfaatkan kesempatan

(3) Beberapa peserta didik sudah berani mengajukan pertanyaan-

pertanyaan namun pada umumnya belum menunjukkan

kemampuan berpikir kritis karena pertanyaan-pertanyaan

masih menggunakan kata apa, siapa, di mana, kapan yang

membutuhkan jawaban faktual saja bukan analisis.

(4) Guru belum mendorong kepada peserta didik agar efektif

dalam pengelolaan waktu ketika diskusi dan kerja kelompok

sehingga beberapa kelompok ada yang tugasnya belum selesai

secara sempurna sampai waktunya habis.

(5) Hasil belajar kognitif baru mencapai rata-rata kelas 76, belum

mencapai target yang diharapkan sesuai KKM yaitu 80.

Jumlah siswa yang tuntas KKM baru 50% dan belum

mencapai ketuntasan klasikal yang diharapkan sebesar 80%.

Masih terdapat peserta didik yang kemampuan berpikir

kritisnya masuk kriteria ”kurang kritis” sebanyak 7 orang atau

29,12%.

b) Tindak lanjut

(1) Guru sebaiknya mempersiapkan diri lebih matang lagi

sebelum pembelajaran baik metode maupun media

pembelajaran yang digunakan

104
(2) Guru hendaknya lebih mendorong peserta didik untuk lebih

aktif lagi dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan

(3) Guru hendaknya dapat memotivasi peserta didik untuk dapat

mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan tingkat kekritisan

yang lebih tinggi yang dapat dilakukan dengan menunjukkan

kata tanya bagaimana dan mengapa.

(4) Guru harus lebih menekankan lagi pemanfaatan waktu kepada

peserta didik agar proses pembelajaran dapat selesai sesuai

dengan jadwal.

(5) Guru harus lebih mendorong siswa untuk lebih aktif lagi

dalam pembelajaran dengan memberikan motivasi dan

apresiasi kepada peserta didik

(6) Perlu dilanjutkannya tindakan untuk siklus II agar dapat

meningkatkan hasil belajar kognitif dan kemampuan berpikir

kritis peserta didik.

b. Deskripsi Tindakan Siklus II

1) Rencana Tindakan Siklus II

a) Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)

Sebelum melaksanakan tindakan pada siklus kedua terlebih

dahulu disusun perangkat pembelajaran yang diperlukan untuk

mengarahkan jalannya proses pembelajaran. Materi yang

dipersiapkan dalam RPP tersebut sesuai dengan KD 3.1 yaitu

“Mengidentifikasi berbagai penyakit sosial (miras,judi, narkoba,

105
HIV/AIDS, PSK, dan sebagainya) sebagai akibat penyimpangan

sosial dalam keluarga”, lihat lampiran 2b.

b) Menyiapkan media pembelajaran

Media yang disiapkan untuk siklus kedua adalah naskah

berita dari koran yang sesuai dengan materi pada KD 3.1. Selain

menyediakan berbagai sumber informasi dari buku atau majalah,

peserta didik diperkenankan untuk mengakses internet untuk

memperoleh informasi yang diperlukan. Kemudian untuk lebih

membangkitkan rasa ingin tahu, peserta didik terlebih dahulu

diberikan tayangan power point berupa cuplikan berita dari televisi

yang menunjukkan adanya penyakit sosial dalam masyarakat.

c) Menyusun pedoman observasi untuk mengamati aktivitas

pembelajaran

Pada siklus II ini peneliti juga menyusun pedoman observasi

untuk merekam secara tertulis aktivitas peserta didik dan performasi

guru dalam melaksanakan tindakan dengan metode problem

solving. Peneliti juga masih melibatkan Ibu Istikomah, S.Pd. dan

Ibu Siti Zubaidah, S.Pd. untuk ikut serta dalam tugas observasi agar

mendapatkan data yang lebih valid.

Aktivitas belajar peserta didik diamati dan diukur melalui

panduan observasi kemampuan berpikir kritis yang terdiri atas 3

aspek dan masing-masing aspek terdiri atas 3 indikator. Sedangkan

aktivitas performasi atau kinerja guru dalam pembelajaran dengan

106
metode problem solving diamati dan diukur melalui panduan

observasi pembelajaran yang terdiri atas 5 aspek dan masing-

masing aspek terdiri atas 3 indikator.

Pedoman observasi yang digunakan untuk mengamati

kemampuan berpikir kritis peserta didik, pedoman observasi untuk

mengamati performasi atau kinerja guru dalam pembelajaran

dengan metode problem solving dan pedoman untuk wawancara

dengan guru dapat dilihat pada lampiran. Penggunaan pedoman ini

bertujuan untuk memudahkan pengumpulan data yang diperlukan.

d) Menyiapkan lembar kerja (LK) untuk peserta didik

Kepada peserta didik juga diberikan Lembar Kerja (LK)

yang dapat membantu peserta didik untuk melakukan langkah demi

langkah dalam mengaplikasikan metode problem solving. Peserta

didik bekerja secara berkelompok yang dibagi dalam empat

kelompok dengan masing-masing kelompok beranggotakan 6

orang. Adapun LK yang digunakan dalam siklus pertama ini

terdapat pada lampiran.

e) Menyusun instrumen tes untuk menilai kemampuan berpikir kritis

Pencapaian kemampuan berpikir kritis pada peserta didik

diukur dengan post test yang sekaligus merupakan tes untuk

memperoleh nilai hasil belajar peserta didik siklus II.

f) Menyiapkan perlengkapan wawancara, catatan lapangan dan

dokumentasi visual pelaksanaan pembelajaran

107
Peneliti menyiapkan perlengkapan wawancara dengan guru

pengampu sebelum dan sesudah tindakan berupa kertas dan alat

perekam. Karena wawancara bersifat terbuka maka pedoman

wawancara hanya dibuat secara garis besar saja dan berkembang

sesuai kondisi wawancara. Untuk membuat catatan lapangan maka

dipersiapkan beberapa kertas folio yang digunakan untuk mencatat

semua peristiwa yang terjadi selama proses pembelajaran

berlangsung. Peneliti juga merekam aktivitas peserta didik dan guru

pengampu secara visual dengan menggunakan kamera digital agar

dapat menunjukkan fase-fase pembelajaran yang terjadi.

2) Pelaksanaan Tindakan Siklus II

Pelaksanaan tindakan kelas pada siklus II dilaksanakan pada dua

tatap muka yaitu pada hari Rabu, 9 Oktober 2013 dan hari Sabtu, 12

Oktober 2013. Kegiatan pembelajaran masih menurut sintaks IDEAL

yaitu identification, definition, exploration, anticipate, dan look back.

a) Pertemuan pertama siklus I

Pertemuan pertama siklus I dilaksanakan pada hari Rabu, 9

Oktober 2013.

(1) Pendahuluan

Sebelum memulai pelajaran guru mengajak berdoa

bersama untuk menanamkan sikap keimanan dan ketakwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Guru mengecek kehadiran

peserta didik dan pada pertemuan ini tidak ada peserta didik

108
yang tidak hadir. Setelah kondisi kelas siap guru memberikan

apersepsi dan motivasi. Apersepsi diberikan oleh guru dengan

menanyakan apakah peserta didik pernah membaca atau

menyaksikan berita tentang penyakit sosial. Kemudian guru

menayangkan video cuplikan berita televisi yang diunduh

melalui internet tentang beberapa peristiwa yang

menunjukkan adanya penyakit sosial. Guru mengarahkan

kepada peserta didik untuk memikirkan mengapa hal tersebut

dapat terjadi dan apa yang dapat dilakukan untuk

mencegahnya.

(2) Kegiatan Inti

Kegiatan inti diawali dengan pemberitahuan tujuan

pembelajaran pada KD. 3.1 ini dan penjelasan awal penyakit-

penyakit sosial oleh guru. Setelah itu guru menjelaskan

metode problem solving untuk digunakan dalam

pembelajaran. Peserta didik mendengarkan penjelasan

tersebut sambil menyimak tayangan power point di depan

kelas. Kemudian, guru memberikan masalah berupa tugas

untuk membuat sebuah tulisan berupa opini dengan topik

tentang penyakit sosial sebagai akibat penyimpangan sosial.

Untuk mengerjakan tugas tersebut kemudian peserta

didik dibagi ke dalam 4 kelompok yang terdiri atas 6 orang

masing-masing kelompok. Berikutnya peserta didik diberikan

109
lembar kerja yang berisi sub materi yang harus dibahas dan

petunjuk kerja sesuai dengan sintaks pada metode problem

solving menurut Brandsford dan Stein (IDEAL). Pada

pertemuan pertama ini, baru bisa dilaksanakan tiga langkah

yaitu Identifying, Defining problems dan Exploring.

(a) Langkah Identifying atau identifikasi.

Pada langkah pertama ini, identifikasi masalah,

peserta didik didorong untuk menyadari masalah apa

yang sedang mereka hadapi. Untuk membuat opini,

mereka harus membaca terlebih dahulu sebuah cuplikan

berita dari koran yang berbeda untuk setiap kelompok.

Kemudian merekan berdiskusi untuk memutuskan

informasi tambahan apa yang diperlukan untuk membuat

karya opini mereka.

Pada tahap identifikasi peserta didik harus

didorong untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan.

Timbulnya pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting bagi

mereka karena akan mengarahkan informasi-informasi

apa yang harus mereka peroleh. Pada tahap ini, peserta

didik harus menggunakan kemampuan berpikir yang

kritis.

Kemudian setiap kelompok berdiskusi secara aktif

untuk mengidentifikasi hal-hal yang harus mereka

110
pecahkan seperti pembagian tugas dalam kelompok,

bagaimana memperoleh sumber informasi, dan

menentukan gagasan utama dalam opini. Peran guru

dalam tahap ini adalah sebagai motivator dan fasilitator.

Guru sekaligus mengamati keaktifan peserta didik dalam

setiap kelompoknya.

(b) Langkah Defining problems atau mendefinisikan masalah

Pada langkah kedua, dengan bimbingan guru

peserta didik dibantu untuk mendefinisikan tujuan

pemecahan masalah. Peserta didik juga didorong untuk

menggali ide dan gagasan sebanyak mungkin untuk

merumuskan masalah. Kemudian dari berbagai informasi

yang diperoleh peserta didik dapat menentukan informasi

mana yang paling relevan dalam menyelesaikan masalah

yang mereka hadapi. Dalam aktivitas ini peserta didik

diarahkan untuk mengerahkan kemampuan berpikir

kritisnya. Langkah identifikasi dan definisi dalam

indikator berpikir kritis termasuk ke dalam unsur

“definisi dan klarifikasi masalah”. Dengan demikian,

peserta didik mulai belajar meningkatkan kemampuan

berpikirnya.

111
(c) Langkah Exploring atau eksplorasi

Langkah ketiga adalah eksplorasi yaitu peserta

didik menemukan sendiri cara penyelesaian masalah yang

mereka hadapi. Mereka harus mencari jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan yang mereka susun sendiri

sebelumnya. Media yang disediakan oleh guru adalah

buku-buku pelajaran IPS juga akses internet untuk

memperoleh informasi lebih banyak.

Pada tahap ini diperlukan pemantauan oleh guru

dan kolaborator agar peserta dapat memanfaatkan waktu

secara efektif dan efisien. Peserta didik kemudian segera

bekerja dalam kelompoknya. Guru dan kolaborator

berkeliling melihat dan mencatat aktivitas peserta didik

dan mencatat kemajuan penyelesaian tugas.

(3) Penutup

Guru memberi motivasi dan apresiasi kepada

setiap kelompok. Guru juga mengingatkan peserta didik

untuk mempresentasikan hasil kerja mereka pada

pertemuan berikutnya. Pembelajaran kemudian ditutup

dengan doa bersama.

b) Pertemuan kedua siklus II

Pertemuan kedua siklus I dilaksanakan pada hari Sabtu

tanggal 12 Oktober 2013.

112
(1) Pendahuluan

Guru mengawali kelas dengan berdoa, kemudian

mengecek situasi kelas dan kehadiran peserta didik. Pada saat

apersepsi guru mengingatkan bahwa penyimpangan sosial

dalam keluarga dan masyarakat dapat menimbulkan penyakit

sosial. Guru kemudian meminta peserta didik untuk

bergabung dengan kelompoknya masing-masing.

(2) Kegiatan inti

Sebelum melanjutkan pada langkah-langkah problem

solving berikutnya guru memberikan beberapa pengarahan.

Peserta didik diharapkan sudah cukup mengumpulkan

informasi yang diperlukan dan dapat menyelesaikan tulisan

opininya masing-masing. Kemudian setiap kelompok diminta

untuk menyiapkan presentasi hasil kerja kelompok mereka.

Setiap kelompok kemudian maju ke depan kelas satu per satu

mulai dari kelompok 1 sampai dengan kelompok 4 untuk

membacakan opininya dan kemudian menerima tanggapan

dari kelompok lain. Pada saat menjawab pertanyaan atau

tanggapan dari kelompok lain, diharapkan peserta didik dapat

mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.

(a) Langkah Exploring atau eksplorasi

Langkah eksplorasi pada pertemuan sebelumnya

sudah ada akan tetapi belum tuntas seluruhnya. Salah satu

113
indikator langkah ketiga ini adalah mempresentasikan

masalah. Dalam hal ini, presentasi yang dilakukan peserta

didik secara berkelompok adalah presentasi hasil tugas

berupa opini kelompok. Setiap kelompok diberi waktu

masing-masing 15 menit dengan perincian 8 menit untuk

presentasi dan 7 menit untuk menerima tanggapan dan

pertanyaan dari kelompok lain.

(b) Langkah Anticipate and Act atau antisipasi dan aksi

Pada langkah ini, peserta didik setelah selesai

presentasi menerima tanggapan dan pertanyaan dari

kelompok lain. Guru sebagai fasilitator juga memberikan

konfirmasi atas beberapa tanggapan maupun jawaban

yang kurang tepat. Setiap kelompok yang maju juga

mencatat kritikan dan hambatan yang dialami dalam

penyelesaian tugas. Dalam langkah ini peserta didik

belajar untuk melihat bahwa terdapat perbedaan pendapat

dan sudut pandang berbeda dari pihak lain. Peserta didik

pada langkah eksplorasi, antisipasi dan aksi diarahkan

untuk mengerahkan kemampuan berpikir kritis yaitu pada

unsur “menilai dan mengolah informasi yang

berhubungan dengan masalah”.

114
(c) Melaksanakan post test

Pada akhir pembelajaran ini, peserta didik

diberikan post test atau tes yang dapat digunakan untuk

mengevaluasi kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Hasil tes siklus II ini akan dibandingkan dengan hasil tes

siklus I untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan yang

diharapkan. Jumlah soal sebanyak 6 soal yang terdiri atas

berbagai variasi soal yaitu uraian dan pilihan ganda

dengan variasi. Adapun bentuk soal pada post test dapat

dilihat pada lampiran.

(3) Penutup

Guru mengucapkan selamat karena peserta didik telah

berhasil menyelesaikan tugasnya. Terakhir guru senantiasa

memberikan apresiasi dan motivasi kepada para peserta didik

kemudian menutup pembelajaran dengan doa bersama.

3) Observasi Tindakan Siklus II

Observasi atau pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan pada

siklus II meliputi observasi terhadap jalannya pembelajaran, observasi

terhadap guru, dan observasi terhadap peserta didik. Adapun uraian hasil

observasi tindakan siklus II adalah sebagai berikut.

a) Observasi jalannya pembelajaran

Pada siklus II suasana pembelajaran cukup menyenangkan.

Para peserta didik terlihat cukup antusias mengikuti pembelajaran

115
terutama ketika ditayangkang beberapa berita mengenai penyakit-

penyakit sosial yang muncul di masyarakat. Pada siklus II guru

terlihat lebih menguasai metode problem solving ini. Ketika pada

tahap kerja kelompok guru mampu menjadi motivator dan

fasilitator. Peserta didik juga sudah lebih memahami langkah-

langkah yang harus dijalankannya. Peneliti juga tetap menyediakan

lembar kerja karena pada siklus I hal ini cukup membantu peserta

didik dalam melaksanakan tugas sesuai dengan langkah-langkah

pada problem solving.

Pada langkah pertama yaitu identifikasi terlihat peserta didik

langsung mengerti untuk menuliskan pertanyaan-pertanyaan yang

muncul di kepala mereka. Mereka sudah mulai memunculkan kata

tanya mengapa dan bagaimana yang menuntut jawaban secara

analitis. Pada langkah definisi beberapa peserta didik masih agak

kesulitan untuk menyatakan apa yang harus didefinisikan tetapi

sebagian besar sudah mulai faham untuk menentukan definisi.

Mereka cukup antusias menggunakan internet untuk menemukan

jawaban-jawaban atas pertanyaan mereka sendiri. Banyaknya

informasi yang mereka temukan cukup membuat peserta didik

masih bimbang untuk menentukan informasi yang relevan. Di

sinilah peran guru dan peneliti untuk menjadi motivator bagi peserta

didik agar mencari informasi sesuai dengan yang mereka butuhkan

saja. Guru dan peneliti juga perlu mengingatkan peserta didik untuk

116
mengambil sumber informasi yang tepercaya karena tidak semua

informasi dari internet benar dan valid.

Pada langkah eksplorasi peserta didik aktif dalam diskusi

pada kelompoknya masing-masing. Pada kelompok dengan

pembagian tugas yang baik terlihat melakukan diskusi dengan

semangat. Pada saat pelaksanaan presentasi kelompok, para peserta

didik sudah banyak yang aktif mengajukan pertanyaan, meskipun

masih terdapat satu dua peserta didik yang masih belum berani

bertanya di kelas. Akan tetapi dalam kerja kelompok terlihat semua

kelompok cukup aktif dan antusias dalam melaksanakan tugasnya.

Berikut kutipan dari catatan lapangan (Lampiran 6c):

Siswa terlihat antusias memperhatikan tayangan.


Selanjutnya guru memberikan pertanyaan tentang
penyimpangan sosial yang pernah ditemui siswa di
lingkungannya baik di keluarga atau masyarakat. Beberapa
siswa menjawab bahwa mereka pernah menjumpai beberapa
penyimpangan seperti perilaku banci, judi, dan beberapa
mengatakan tetangganya ada yang menggunakan pil koplo.
Guru menanggapi dan mengajak siswa mendiskusikannya.

Pada langkah antisipasi dan aksi berlangsung cukup

menarik. Pada saat akhir presentasi di depan kelas, setiap kelompok

mendapat tanggapan cukup meriah dari kelompok-kelompok lain.

Peserta didik antusias untuk menanggapi kasus-kasus yang

disampaikan setiap kelompok selain karena materi yang menarik

juga mungkin karena mereka lebih percaya diri untuk

menyampaikan pendapat mereka.

117
Pada langkah lihat dan pelajari peserta didik kemudian

menuliskan hambatan dan tantangan dalam penyelesaian tugas.

Mereka dapat mengambil pelajaran bagaimana bekerja sama dalam

kelompok dan memberikan kontribusi bagi kelompoknya. Peserta

didik juga mendengarkan adanya perbedaan pendapat dari

kelompok lain dan juga berani mengemukakan pendapat sendiri.

Kegiatan diakhiri dengan post test yang diikuti oleh semua peserta

didik dengan tertib dan lancar.

b) Observasi terhadap performasi/kinerja guru

(1) Pada pendahuluan guru dalam memberikan apersepsi dan

motivasi cukup menarik bagi peserta didik. Pemanfaatan

proyektor cukup maksimal dan fungsional membantu

pemahaman peserta didik. Pada pertemuan kedua, guru juga

cukup mendorong peserta didik untuk memanfaatkan waktu

agar pembelajaran dapat berjalan lebih efisien.

(2) Pada saat pengarahan sebelum masuk ke kegiatan inti, guru

masih mengulang mengenai metode problem solving IDEAL

agar peserta didik lebih paham. Pada saat kegiatan inti peran

guru sebagai motivator dan fasilitator terlihat sudah cukup

baik. Pertanyaan-pertanyaan dari peserta didik telah ditanggapi

guru, sedangkan peneliti serta kolaborator lain tetap membantu

jika diperlukan.

(3) Penyediaan dan penggunaan media informasi dengan teks

118
berita cukup memberikan tantangan kepada peserta didik untuk

lebih memperluas wawasannya mengapa hal tersebut dapat

terjadi. Teknik bertanya dan menjawab pertanyaan peserta

didik sudah cukup baik. Guru tidak lagi terburu-buru

menjawab sendiri sebelum mendapat jawaban dari peserta

didik. Peran guru dalam mengarahkan keaktifan peserta didik,

mengecek pemahaman peserta didik dan penguasaan kelas

sudah cukup baik tetapi masih dapat ditingkatkan lagi.

(4) Kemampuan guru menerapkan metode problem solving dalam

pembelajaran sudah cukup memuaskan. Guru sudah mantap

dalam menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan problem

solving. Guru dapat memberikan tanggapan dan konfirmasi

ketika peserta didik menanyakan langkah-langkah yang mereka

jalankan.

(5) Wawancara dengan kolaborator pembelajaran juga dilakukan

sebelum dan sesudah tindakan siklus II. Pada saat sebelum

tindakan dari wawancara diketahui kesulitan guru dalam

menggunakan metode problem solving ini adalah pengelolaan

waktu. Guru sering merasa kehabisan waktu karena menunggu

peserta didik untuk membuat pertanyaan atau pun memberi

tanggapan. Peneliti dan guru bersepakat untuk lebih

mendorong peserta didik untuk aktif dan cepat menanggapi

suatu permasalahan.

119
Pada akhir siklus II guru menilai adanya peningkatan

kemampuan berpikir kritis peserta didik terutama ketika jenis

pertanyaan yang diajukan peserta didik lebih mengarah ke

tingkat yang lebih tinggi yaitu di tingkat C4, C5 dan C6.

Ketika ditanyakan apakah metode problem solving IDEAL

cukup membantu untuk peningkatan kemampuan berpikir

kritis, guru menjawab ya. Pada akhir siklus II, guru juga

menyampaikan kesan untuk lebih sering menggunakan metode

ini, karena cukup mudah dipahami dan dilakukan. Tanggapan

umum mengenai pembelajaran pada siklus II ini dinilai guru

sudah berhasil.

c) Observasi terhadap peserta didik

(1) Observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik

Observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik

diambil dari penilaian terhadap jawaban post test, aktivitas

belajar dan hasil kerja kelompok yang dirangkum untuk

mencapai indikator-indikator dalam penilaian kemampuan

berpikir kritis. Hasil observasi kemampuan berpikir kritis

peserta didik pada siklus II dapat dilihat dari lampiran 6a-1 dan

6a-2.

Kemudian dari skor hasil observasi kemampuan

berpikir kritis siklus II tersebut dapat dianalisis kriteria

kemampuan berpikir kritisnya berdasarkan Rentang Penilain

120
Kemampuan Berpikir Kritis. Dari lampiran 6b-1 dan 6b-2 hasil

observasi kemampuan berpikir kritis siklus II, dapat

disimpulkan sebaran kemampuan berpikir kritis siswa sesuai

dengan kriteria di atas dalam Tabel 8 di bawah ini sebagai

berikut.

Tabel 8
Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor
Kemampuan Berpikir Kritis pada Siklus II

Jumlah Pese rta


NO Re ntang Skor Kriteria Skor
Didik
1 > 20 Kritis 22

2 18 - 19,99 Cukup Kritis 2

3 16 - 17,99 Kurang Kritis 0

4 < 16 Tidak Kritis 0

JUMLAH 24

Dari tabel tersebut terlihat sebagian besar peserta didik

sudah berada pada tingkatan “kritis” yaitu sebanyak 22 peserta

didik dari 24 peserta didik atau 92,67%. Dan yang mencapai

tingkatan “cukup kritis” sebanyak 2 orang atau 83,33%. Pada

siklus II ini tidak ada peserta didik yang menempati kriteria

“kurang kritis” dan “tidak kritis”.

(2) Data hasil post test siklus II

Pada akhir siklus II diadakan ulangan harian berupa

post test yang ditujukan untuk mengetahui hasil belajar

kognitif peserta didik. Hasil post test juga digunakan untuk


121
mengukur keberhasilan pembelajaran secara klasikal dan dapat

digunakan oleh guru untuk melakukan evaluasi dan refleksi

pembelajaran siklus I. Data hasil post test siklus II dapat dilihat

pada lampiran 6c.

Dari hasil post test siklus II, nilai rata-rata kelas

mencapai 83. Jumlah peserta didik yang tuntas belajar atau

mampu mencapai nilai KKM sebanyak 20 orang dan 4 peserta

didik yang lainnya tidak tuntas atau tidak mampu mencapai

nilai KKM. Secara klasikal, ketuntasan belajar post test siklus

II tersebut adalah sebesar 83% yang menunjukkan tercapainya

ketuntasan klasikal yang ditetapkan dalam KTSP sebesar 80%.

4) Refleksi siklus II

Para peserta didik pada siklus II ini sudah lebih memahami

metode pembelajaran problem solving IDEAL yang telah digunakan

pada siklus sebelumnya. Media pembelajaran yang digunakan cukup

menantang peserta didik karena diberikan cuplikan berita dari koran

yang pernah mereka ketahuai tetapi mungkin belum pernah untuk

memikirkannya. Aktivitas siswa tampak meningkat ketika diberikan

tugas dalam kelompok untuk mengapreasiasi apa yang mereka ingin

ketahui dan apa yang mereka peroleh dalam pencarian informasi.

Peserta didik yang kurang memperhatikan sudah lebih berkurang dan

mereka cukup serius menjalankan tugasnya. Secara umum pembelajaran

dapat berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan adanya peningkatan

122
hasil belajar pada siklus II dari pada siklus I. Refleksi pelaksanaan

pembelajaran pada siklus II adalah sebagai berikut.

a) Evaluasi pelaksanaan siklus II

Proses pembelajaran pada siklus II ini berjalan cukup lancar.

Peserta didik terlihat aktif dan bersemangat dalam menerima tugas

yang diberikan. Beberapa peserta didik yang merasa kurang jelas

juga cukup berani untuk mengajukan pertanyaan mengenai langkah-

langkah dalam penggunaan metode problem solving. Meskipun dari

sisi guru masih terlihat canggung karena belum begitu menguasai

sintaks dalam metode ini. Dari pelaksanaan pembelajaran siklus I

ini dapat dievaluasi hal-hal sebagai berikut.

(1) Guru harus tetap bersemangat dan variatif dalam menggunakan

media pembelajaran agar peserta didik juga lebih antusias dan

termotivasi

(2) Guru juga harus selalu memantau pemanfaatan waktu agar

pembelajaran berlangsung sesuai jadwal dan berhasil sesuai

yang diharapkan

(3) Guru sudah mendorong peserta didik untuk aktif namun masih

ada satu dua peserta didik yang belum begitu aktif perlu

mendapat perhatian tersendiri

(4) Aktivitas belajar peserta didik secara klasikal mengalami

peningkatan yaitu telah mencapai 64,17% masuk dalam kriteria

aktif. Peningkatan terjadi terutama dalam indikator mencari

123
informasi, berpartisipasi dalam kerja kelompok, dan

mempresentasikan/menanggapi.

(5) Hasil belajar kognitif sudah mencapai rata-rata kelas 83 dan

sudah melebihi target yang diharapkan sesuai KKM yaitu 80.

Jumlah siswa yang tuntas KKM baru 83% dan dan melebihi

ketuntasan klasikal yang diharapkan sebesar 80%. Dari 24

peserta didik 22 sudah masuk kriteria ”cukup kritis” dan

”kritis” dan hanya terdapat 2 peserta didik yang kemampuan

berpikir kritisnya masuk kriteria ”kurang kritis” atau 8,33%.

b) Tindak lanjut

Pada siklus II ini target pencapaian hasil belajar kognitif dan

peningkatan kemampuan berpikir kritis yang didorong dengan

peningkatan aktivitas belajar peserta didik pada siklus II ini sudah

tercapaiu. Oleh karena tujuan tindakan sudah tercapai, maka tidak

diperlukan lagi tindakan atau siklus berikutnya.

B. Pembahasan

Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada pembelajaran IPS

di kelas VIII-F, peneliti menerapkan pembelajaran metode problem solving

IDEAL dengan variasi media informasi sebagai media pembelajaran. Variasi

media pembelajaran ditentukan pada awal pembelajaran siklus pertama dan hasil

dari refleksi setiap siklusnya. Variasi media pembelajaran ditujukan untuk

mengetahui media informasi yang mana yang lebih baik dalam peningkatan

kemampuan peserta didik yang diharapkan dapat meningkatkan pula capaian

124
hasil belajar peserta didik. Penggunaan variasi media dan metode pembelajaran

disajikan pada tabel 9.

Tabel 9
Variasi Media Pembelajaran Siklus I dan II
Metode problem solving IDEAL berbantuan media informasi

No. Tahap Pembelajaran Siklus I Siklus II

Power point Power point


Pendahuluan: tayangan berupa tayangan berupa
1
Appersepsi dan Motivasi gambar diam/foto gambar bergerak/
sejarah video

- Lembar Kerja - Lembar Kerja


- Foto dan gambar - Kliping berita
Inti bersejarah dari Koran
2
- Buku-buku, - Buku-buku,
album sejarah akses internet di
perjuangan lab. komputer

Kemudian, untuk mengetahui bagaimana penerapan metode yang

digunakan dibahas dalam uraian. Penerapan metode problem solving IDEAL

berbantuan media informasi pada pembelajaran IPS yang berpengaruh pada

peningkatan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar akan dibahas berikut.

1. Ketercapaian peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik

Kemampuan berpikir kritis peserta didik dari pra siklus, siklus I dan

siklus II mengalami peningkatan. Dari ketiga aspek kemampuan berpikir kritis

yaitu kemampuan definisi dan klarifikasi masalah, kemampuan menilai dan

mengolah informasi dan kemampuan solusi masalah/membuat kesimpulan

kesemuanya menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini dapat diamati melalui

sajian Tabel 10 dan grafik pada Gambar 7 berikut ini.

125
Tabel 10
Kemampuan Berpikir Kritis per Aspek
pada Pra siklus, Siklus I dan Siklus II

No Aspek Pra Siklus Siklus I Siklus II

1 Definisi dan klarifikasi 68,98 76,39 82,87

2 Menilai informasi 65,28 76,85 81,92

3 Memecahkan masalah 56,48 66,67 76,39

Rerata Aspek 63,58 73,30 80,40

Dari Tabel 10 terlihat bahwa ada peningkatan kemampuan berpikir kritis

peserta didik yang ditunjukkan dengan peningkatan skor yang diperoleh. Pada

aspek definisi dan klarifikasi jika dibandingkan antara hasil pra siklus dengan

siklus I mengalami peningkatan dari 69 menjadi 76 atau meningkat sebesar

10,14% dan dari siklus I ke siklus II meningkat lagi menjadi 83 atau meningkat

sebesar 9,21%. Pada aspek menilai informasi juga terdapat peningkatan dari pra

siklus ke siklus I yaitu dari 65 menjadi 77 atau sebesar 18,46%, dan meningkat

lagi pada siklus II menjadi 82 atau meningkat sebesar 6,49%. Demikian juga

pada aspek memecahkan masalah atau membuat kesimpulan juga terdapat

peningkatan dari pra siklus ke siklus I sebesar 19,64% yaitu dari 56 menjadi 67

dan pada siklus II meningkat menjadi 76 atau 13,43%.

Bila dibandingkan peningkatan reratanya maka dari pra siklus ke siklus I

meningkat sebesar 14,06% dan dari siklus I ke siklus II meningkat sebesar

9,59%. Jika dibandingkan hasil pra siklus dengan hasil akhir (sieklus II) maka

126
peningkatan yang terjadi adalah sebesar 25%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

melalui Gambar 7.

90.00 82.87 81.94 80.40


76.39 76.85 76.39
80.00 73.30
68.98 66.67
70.00 65.28 63.58
56.48
60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
Definisi dan Menilai informasi Solusi/membuat Rerata Aspek
klarifikasi simpulan
Kemampuan Berpikir Kritis per Aspek

Pra Siklus Siklus I Siklus II

Gambar 7
Grafik Kemampuan Berpikir Kritis per Aspek

Berdasarkan data di atas, dapat dianalisa bahwa kemampuan berpikir

kritis yang terbesar adalah dari aspek pertama yaitu aspek definisi dan klarifikasi

masalah. Aspek ini cukup penting dikuasai peserta didik sebagai jalan untuk

mengetahui permasalahan yang sedang dihadapi. Pada aspek menilai informasi

diperoleh skor rerata yang lebih rendah menurut peneliti disebabkan karena

aspek ini memang lebih sulit untuk dikuasai. Pada aspek menilai informasi

peserta didik terkadang kebingungan untuk menentukan informas


informasii yang penting

dan relevan. Guru perlu menunjukkan bahwa ketepatan dalam definisi dan

127
klarifikasi menentukan bagaimana menilai informasi yang diterima dengan lebih

mudah.

Pada aspek memecahkan masalah/membuat kesimpulan juga

memperoleh skor yang lebih rendah. Hal ini menurut peneliti karena peserta

didik belum terbiasa untuk menganalisa suatu persoalan berdasarkan informasi

yang telah dikumpulkannya sehingga dapat membuat keputusan. Sebaiknya guru

lebih sering mengajarkan peserta didik untuk belajar mengambil keputusan

sendiri dan menghargai apa pun keputusannya agar anak dapat mengetahui

apakah keputusannya benar atau salah.

a. Kemampuan Definisi dan Klarifikasi Masalah

Dari lembar observasi kemampuan berpikir kritis pra siklus, siklus I

dan siklus II dapat dirangkum pada aspek kemampuan definisi dan

klarifikasi masalah diurai dalam 3 indikator dalam Tabel 11.

Tabel 11
Kemampuan Berpikir Kritis
Aspek Definisi dan Klarifikasi Masalah

No INDIKATOR Pra Siklus Siklus I Siklus II

1a Mengidentifikasi masalah 66,67 75,00 88,89

1b Menentukan informasi relevan 66,67 72,22 73,61

1c Menyusun pertanyaan yang tepat 73,61 81,94 86,11

Rerata Aspek Definisi dan


68,98 76,39 82,87
Klarifikasi

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada aspek definisi dan

klarifikasi masalah terdapat 3 indikator yaitu mengidentifikasi masalah,

menentukan informasi yang relevan dan menyusun pertanyaan yang tepat.


128
Dari ketiga indikator tersebut nampak bahwa dari pra siklus, siklus I dan

siklus II indikator menentukan informasi relevan memperoleh skor terendah.

Hal tersebut dapat dianalisa bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik

dalam indikator ini memang perlu lebih dikembangkan lagi. Meskipun

terlihat adanya
ya peningkatan pada indikator ini akan tetapi hal ini memang

merupakan bagian tersulit dari aspek definisi dan klarifikasi masalah. Tabel

di atas dapat disajikan dalam Gambar 8.

88.89
86.11
90.00 81.94 82.87
75.00 76.39
80.00 72.2273.61 73.61
66.67 66.67 68.98
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Mengidentifikasi Menentukan Menyusun Rerata Aspek
masalah informasi relevan pertanyaan yang Definisi dan
tepat Klarifikasi
Indikator Aspek Definisi dan Klarifikasi

Pra Siklus Siklus I Siklus II

Gambar 8
Grafik kemampuan berpikir kritis per indikator
Aspek Definisi dan Klarifikasi Masalah

129
b. Kemampuan Menilai dan Mengolah Informasi

Kemudian ditinjau dari aspek kemampuan menilai dan mengolah

informasi terdapat 3 indikator yang dianalisis yaitu menemukan sebab

kejadian dan masalah pokok, menilai dampak dan konsekuensi suatu

peristiwa dan memprediksi konsekuensi lanjut dari dampak kejadian.

Rangkuman hasil penelitian dari pra siklus, siklus I dan siklus II untuk

aspek di atas disajikan dalam tabel 12.

Tabel 12
Kemampuan Berpikir Kritis
Aspek Kemampuan Menilai dan Mengolah Informasi

No INDIKATOR Pra Siklus Siklus I Siklus II

Menemukan sebab kejadian dan


2a 63,89 70,83 80,56
masalah pokok
Menilai dampak dan konsekuensi
2b 68,06 83,33 81,92
suatu peristiwa
Memprediksi konsekuensi lanjut
2c 63,89 76,39 83,33
dari dampak kejadian
Rerata Aspek Menilai dan
65,28 76,85 81,94
Mengolah Informasi

Dari ketiga indikator di atas terlihat bahwa ada peningkatan pada

siklus I dan siklus dibandingkan dengan pra siklus. Pada siklus I terlihat

bahwa indikator menilai dampak dan konsekuensi suatu peristiwa lebih

menonjol. Hal ini dapat disebabkan oleh materi yang berkaitan dengan

sejarah di mana peserta didik dapat memperhatikan bahwa adanya suatu

peristiwa dapat berakibat adanya peristiwa lainnya. Sementara indikator

menemukan sebab kejadian dan masalah pokok mendapat skor terendah

130
pada siklus I dapat diseba
disebabkan
bkan oleh keterbatasan waktu dan pemahaman

peserta didik mengenai penyebab peristiwa sejarah tersebut.

Sementara pada siklus II indikator yang menonjol adalah indikator

memprediksi konsekuensi lanjut atau dampak dari sebuah kejadian. Dalam

hal ini menurut peneliti peserta didik lebih mudah dalam indikator ini

karena materi yang bersifat kejadian yang dihadapi sehari


sehari-hari.
hari. Sedangkan

skor terendah juga terdapat pada indikator menemukan sebab kejadian dan

masalah pokok. Data di atas dapat disajikan dalam bentu


bentukk grafik 9 berikut.

90.00 83.3381.94 83.33 81.94


80.56
76.39 76.85
80.00 70.83
68.06
63.89 63.89 65.28
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Menemukan Menilai dampak Memprediksi Rerata Aspek
sebab kejadian dan konsekuensi konsekuensi Menilai dan
dan masalah suatu peristiwa lanjut dari Mengolah
pokok dampak kejadian Informasi
Indikator Aspek Menilai dan Mengolah Informasi

Pra Siklus Siklus I Siklus II

Gambar 9
Grafik Kemampuan Berpikir Kritis per Indikator
Aspek Menilai dan Mengolah Informasi

131
c. Kemampuan Solusi Masalah/Membuat Kesimpulan

Pada aspek ini juga terdapat tiga indikator yang diteliti yaitu

menjelaskan masalah dan membuat kesimpulan sederhana, merancang

solusi sederhana terhadap masalah yang ditemukan dan merefleksikan nilai-

nilai atau sikap. Aspek ketiga ini merupakan aspek tersulit dalam

kemampuan berpikir kritis dibandingkan ketiga aspek lainnya. Hal ini

tampak pada perolehan skor nilai untuk aspek ketiga ini memperoleh aspek

terendah dibandingkan ketiga aspek lainnya pada setiap siklusnya. Rincian

perolehan nilai skor indikator-indikator aspek kemampuan solusi/

memecahkan masalah dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 13
Kemampuan Berpikir Kritis
Aspek Kemampuan Solusi/memecahkan Masalah

No INDIKATOR Pra Siklus Siklus I Siklus II

Menjelaskan masalah dan membuat


3a 47,22 55,56 73,61
kesimpulan sederhana
Merancang solusi sederhana terhadap
3b 61,11 68,06 73,61
masalah yang ditemukan

3c Merefleksikan nilai-nilai atau sikap 61,11 76,39 81,94

Rerata Aspek Menilai dan


56,48 66,67 76,39
Mengolah Informasi

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada indikator

merefleksikan nilai-nilai atau sikap merupakan indikator dengan perolehan

skor tertinggi. Menurut analisa peneliti hal ini disebabkan bahwa peserta

didik sudah mampu menggunakan kemampuan untuk memahami nilai-nilai

132
yang dikenalnya dan merefleksikannya. Hal ini penting untuk bagi guru

untuk selalu ingat dalam setiap pembelajaran agar menyisipkan pesan moral

di dalamnya. Indikator tertinggi berikutnya adalah merancang solusi

sederhana terhadap masalah yyang


ang ditemukan. Untuk lebih jelasnya data bisa

dilihat dalam tampilan grafik pada Gambar 10 berikut.

90.00 81.94
73.61 73.61 76.39 76.39
80.00
68.06 66.67
70.00 61.11 61.11
55.56 56.48
60.00
47.22
50.00
Skor

40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Menjelaskan Merancang solusi Merefleksikan Rerata Aspek
masalah dan sederhana nilai-nilai atau Menilai dan
membuat terhadap sikap Mengolah
kesimpulan masalah yang Informasi
sederhana ditemukan
Indikator Aspek Membuat Kesimpulan atau Memecahkan Masalah

Pra Siklus Siklus I Siklus II

Gambar 10
Grafik Kemampuan Berpikir Kritis per Indikator
Aspek Membuat Kesimpulan dan Memecahkan Masalah

2. Ketercapaian ketuntasan belajar

Pelaksanaan tindakan penelitian kelas pada akhirnya mencapai

ketuntasan belajar setelah siklus II. Dari data hasil belajar kognitif pra siklus,

siklus I, dan siklus II dapat dilihat perkembangan yang dicapai melalui rata-rata
rata

nilai pada setiap siklusnya. P


Perbandingan
erbandingan hasil belajar kognitif pada setiap
133
siklusnya dapat dilihat dalam Tabel 14.

Tabel 14
Tabel Perbandingan Hasil Belajar
pada Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II (n= 24)

Keterangan Pra Siklus Siklus I Siklus II

Nilai Tertinggi 82 85 92
Nilai Terendah 49 62 72
Rata-rata Nilai 68 76 83

Dari tabel tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan capaian hasil

belajar kognitif yang dilaksanakan setiap akhir siklus dibandingkan dengan

sebelum diberikannya tindakan (pra siklus). Pada siklus I sudah dilaksanakan

tindakan akan tetapi hasil belajar belum mencapai ketentuan KKM yaitu 80,

meskipun sudah terdapat peningkatan dibandingkan hasil belajar pada pra siklus.

Rata-rata kelas pada siklus I mencapai 76 sementara KKM yang ditentukan

adalah 80. Jadi pada Siklus I hasil belajar kognitif belum dapat mencapai

harapan sesuai ketentuan KKM.

Sementara itu, pada capaian hasil belajar secara klasikal, pada siklus I

ada 12 peserta didik yang nilainya mencapai KKM (80) atau 50% dari seluruh

peserta didik. Hal ini juga belum memenuhi KKM klasikal yang diharapkan

yaitu 80% dari seluruh peserta didik dapat mencapai nilai 80.

Karena hal tersebut di atas, maka tindakan dilanjutkan pada siklus II dan

hasil yang diperoleh menunjukkan peningkatan. Nilai rata-rata kelas tercapai 83

yang berarti sudah di atas KKM. Jumlah peserta didik yang mencapai nilai sesuai

KKM sebanyak 20 orang atau sebanyak 83% peserta didik telah tuntas (lihat

134
Tabel 15). Hal ini menunjukkan pada akhir siklus II sudah tercapai ketuntasan

yang diharapkan. Maka, tindakan penelitian tidak perlu dilanjutkan dan diakhiri

hingga siklus II.

Tabel 15
Pencapaian KKM secara klasikal
pada Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II

Keterangan Pra Siklus Siklus I Siklus II


Jumlah yang mencapai
6 25% 12 50% 20 83%
KKM
Jumlah yang tidak mencapai
18 75% 12 50% 4 17%
KKM
Jumlah siswa 24 100% 24 100% 24 100%

C. Perolehan Pengetahuan Peneliti

1. Hasil belajar kognitif peserta didik kelas VIII F meningkat setelah

diimplementasikan metode pembelajaran problem solving IDEAL berbantuan

media informasi. Melalui metode pembelajaran ini, peserta didik mendapat

kesempatan maksimal untuk mengembangkan aktivitasnya sehingga peserta

didik mendapat pengetahuan baru dengan caranya sendiri. Peran guru sebagai

fasilitator dengan memberikan media pembelajaran yang mendukung dapat

memancing peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya terutama

kemampuan berpikir kritisnya pada penelitian ini.

2. Peningkatan kemampuan berpikir kritis yang diharapkan juga dapat tercapai

setelah pelaksanaan tindakan. Hal ini menunjukkan bahwa metode problem

solving IDEAL berbantuan media informasi dapat mendorong peningkatan

kemampuan berpikir kritis peserta didik.

135
3. Kendala-kendala yang dihadapi penerapan metode problem solving IDEAL

berbantuan media informasi.

a. Metode problem solving cenderung membutuhkan waktu yang lebih lama

karena harus menunggu peserta didik untuk menemukan sendiri solusi

permasalahan yang diberikan. Hal ini perlu menjadi perhatian untuk

pengalokasian waktu agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik.

b. Guru terkadang sulit untuk memilih media informasi yang sesuai dengan

peserta didik dan juga materinya. Beberapa media informasi seperti

televisi dan radio dengan tayangan langsung sulit untuk digunakan.

c. Kelemahan penugasan secara berkelompok adalah adanya anggota

kelompok yang pasif dan senang menggantung diri pada hasil kerja

anggota kelompok lainnya. Hal ini akan menghambat keberhasilan tugas

kelompok tersebut.

4. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala di atas adalah:

a. Pada saat perancangan RPP guru perlu memperhatikan alokasi waktu agar

sesuai dengan kebutuhan

b. Persiapan media informasi yang akan digunakan dilakukan dengan lebih

cermat agar sesuai dengan materi dan pembelajaran dapat berjalan dengan

baik. Adanya internet sangat membantu untuk menyediakan tayangan dari

televisi yang dapat diunduh.

c. Penugasan kelompok memerlukan perhatian guru kepada masing-masing

anggota kelompok. Setiap anggota kelompok perlu didorong untuk aktif

136
dan berkontribusi dan tidak sekedar menggantungkan hasil kerja anggota

lainnya.

D. Keterbatasan Peneliti

1. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan oleh guru kolaborator, keterbatasan

guru kolabolator dalam menerapkan langkah pembelajaran dan menggunakan

media pembelajaran di luar jangkauan peneliti.

2. Ketelitian guru yang membantu observasi di luar jangkauan peneliti

3. Pada saat pembelajaran secara berkelompok, setiap siswa menuntut banyak

perhatian dengan bertanya pada pengamat atau guru, sehingga pelaksanaan

kegiatan observasi menjadi terganggu

4. Penelitian ini baru memfokuskan pada peningkatan kemampuan berpikir kritis

peserta didik dan hasil belajar dengan mendorong aktivitas belajar, aspek

psikomotorik tidak termasuk ke dalam kajian pembahasan.

137
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang penerapan metode pembelajaran problem

solving berbantuan media informasi dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Penerapan metode problem solving berbantuan media informasi dalam

pembelajaran IPS untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik

di kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang ternyata dapat

meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya

peningkatan pada hasil belajar kognitif peserta didik. Nilai hasil belajar pada pra

siklus adalah 68, siklus I: 76, dan siklus II: 83. Dari 24 orang peserta didik, yang

dapat mencapai nilai tuntas (80) pada pra siklus sebanyak 6 orang (25%), siklus

I: 12 orang (50%) dan siklus II: 20 orang (83%). Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa ketuntasan hasil belajar peserta didik pada dapat tercapai

pada siklus II. Dari data tersebut disimpulkan pula bahwa terdapat peningkatan

hasil belajar siswa pada pembelajaran metode problem solving berbantuan media

informasi pada pembelajaran IPS di kelas VIII F SMP N 1 Salaman tahun

pelajaran 2013/2014.

2. Setelah penerapan metode problem solving dalam pembelajaran IPS di kelas VIII

F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang ternyata dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kritis peserta didik. Rata-rata kemampuan berpikir kritis

pada pra siklus adalah 63,58 dengan kriteria “kurang kritis”. Pada siklus I

mencapai kriteria “cukup kritis” sebesar 73,30 dan pada siklus II mencapai
138
kriteria “kritis” juga sebesar 80,40. Jumlah peserta didik yang mencapai kriteria

“kritis” pada pra siklus sebanyak 4 peserta didik. Setelah tindakan, jumlah

peserta didik dengan kriteria “kritis” pada siklus I sebanyak 14 orang atau

58,33% (belum mencapai kriteria keberhasilan tindakan) dan pada siklus II

sebanyak 22 orang atau 91,67% (sudah mencapai kriteria keberhasilan tindakan).

Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran

problem solving berbantuan media informasi pada pembelajaran IPS dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik di kelas VIII F SMP N 1

Salaman Kabupaten Magelang Tahun pelajaran 2013/2014.

B. IMPLIKASI

1. Implikasi Teoretis

Hasil penelitian secara teoretis dapat digunakan sebagai bahan kajian dan

referensi untuk penelitian sejenis.

2. Implikasi Praktis

a. Bagi Peserta Didik

1) Dapat menggunakan kemampuan berpikir kritis peserta didik, terutama

dalam menghadapi masalah sehari-hari.

2) Dapat mendorong aktivitas peserta didik dalam pembelajaran sehingga

dapat meningkatkan pula hasil belajarnya.

b. Bagi Guru

Memberikan referensi adanya inovasi dalam metode pembelajaran terutaa

untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar peserta

didik dalam pembelajaran IPS.

139
c. Bagi Institusi

1) Dapat digunakan sebagai referensi dalam pengembangan kurikulum

sekolah.

2) Dapat digunakan sebagai pengembangan profesi guru terutama dalam hal

inovasi pembelajaran.

d. Bagi Peneliti Lain

Sebagai bahan masukan untuk dikaji lebih dalam mengenai penelitian sejenis

yang berfokus pada peningkatan efektivitas penggunaan metode problem

solving dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

C. SARAN

1. Kepada Guru

a. Guru menerapkan pembelajaran metode problem solving berbantuan media

informasi untuk materi pembelajaran apa pun terutama yang berkenaan

dengan permasalahan masyarakat sehari-hari.

b. Guru dalam menerapkan metode problem solving sebaiknya menguasai

langkah pembelajaran dengan baik dan mampu merumuskan permasalahan

yang akan dibahas dengan akurat.

c. Guru dalam menerapkan pembelajaran metode problem solving sebaiknya

melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan memperhatikan alokasi waktu

supaya dapat tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan

2. Kepada Institusi

a. Pembelajaran metode problem solving dapat digunakan sebagai salah satu

alternatif dalam kebijakan pengembangan kurikulum sekolah, khususnya pada

140
pembelajaran IPS di SMP.

b. Metode problem solving berbantuan dapat digunakan dalam pengembangan

profesi guru, terutama dalam inovasi pembelajaran.

c. Metode problem solving dapat digunakan sebagai salah satu alat

pengembangan proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil

terutama pada ranah kognitif dengan fokus pada kemampuan berpikir kritis.

3. Kepada Peneliti Lain

Hasil penelitian dapat berguna untuk lebih banyak menemukan penggunaan

variasi media pembelajaran yang sesuai bagi pembelajaran IPS dengan metode

problem solving.

141
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Lorin W. Krathwhl, David R. (2010). Kerangka landasan untuk


pembelajaran, pengajaran, dan asesmen revisi taksonomi pendidikan Bloom
(terjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Buku asli diterbitkan tahun 2001).

Barth, James L. (1991). Elementary and junior high/middle school social studies
curriculum, activities and materials. Maryland: University Press of America,
Inc.

Bowell, Tracy & Kemp, Gary. (2002). Critical thinking a concise guide. New York:
Routledge.

Brandsford, John D., & Stein, Barry S. (1984). The IDEAL problem solver a guide for
improving thinking, learning, and creativity. New York: W.H. Freeman and
Company.

Byrnes, James P. (2008). Cognitive development and learning in instructional context


(3rd ed). London: Allyn and Bacon.

Chapin, June R. (2009). Elementary social studies. (7th ed). Boston: Pearson
Education, Inc.

Chilcoat, George W. & Ligon, Jerry A. (2004). Developing critical and historical
thinking skills in middle grades social studies. Social Studies Review, 44, 1,
40-46.

Cole, Michael. (1978). L.S. Vygostsky Mind in society the development of higher
psychological processes. New York: Harvard University Press.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Strategi pembelajaran pendidikan


kewarganegaraan dan ilmu pengetahuan sosial. Jakarta: Direktorat Tenaga
Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga
Kependidikan.

Dike, Daniel. (2008). Peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan
model TASC (Thinking Actively in a Social Context) pada pembelajaran IPS
SD. Tesis magister, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta.

Ennis, Robert. H. (1993). Critical thinking assessment. Theory into Practice, 32, 3,
179-186.

Gafur, Abdul. (2012). Desain pembelajaran: konsep, model, dan aplikasinya dalam
perencanaan pelaksanaan pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

142
Heinich, R., et.al. (2002). Instructional media and technology for learning, (7th ed).
Upper Saddle River: Prentice Hall, Inc.

Huitt, W. (1992). Problem solving and decision making: Consideration of individual


differences using the Myers-Briggs Type Indicator. Journal of Psychological
Type, 24, 33-44. Diunduh pada 29 April 2013 dari
http://www.edpsycinteractive.org/papers/prbsmbti.html

Huitt, W. (1998). Critical thinking: An overview. Educational Psychology


Interactive. Valdosta, GA: Valdosta State University. Diunduh [29 April
2013] dari http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/cogsys/critthnk.html.
[Revision of paper presented at the Critical Thinking Conference sponsored
by Gordon College, Barnesville, GA, March, 1993.]

Huitt, W. (2011). Bloom et al.'s taxonomy of the cognitive domain. Educational


Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta State University. Diunduh
[29 April 2013] dari http://www.edpsycinteractive.org/topics/cognition/
bloom.html

Jarolimek, John. (1986). Social studies in elementary education. New York:


Macmillan Publishing Company.

Kemmis, Stephen., McTaggart, & Robin. (1990). The action research planner (3rd
ed). Victoria: Deakin University Press.

Kneedler, Peter. & Costa, Arthur L. (ed). (1988). California Assesses Critical
Thinking. Developing Minds. Alexandria: Association for Supervision and
Curriculum Departemen.

Kuswana, Wowo Sunaryo. (2012). Taksonomi kognitif perkembangan ragam


berpikir. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mardapi, Djemari. (2011). Pengukuran, penilaian dan evaluasi pendidikan.


Yogyakarta: Nuha Medika.

McGregor, Debra. (2007). Developing thinking developing learning a guide to


thinking skills in education. Royston: Oz Graf S.A.

Nasution, S. (2003). Didaktik asas-asas mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

National Council for the Social Studies (NCSS). (2006). National Curriculum
Standards for Social Studies: Introduction. Tersedia di:
http://www.socialstudies.org/standards/introduction.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

143
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar
Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar


Nasional Pendidikan.

Presseisen, Barbara Z. & Costa, Arthur L. (ed). (1988). Thinking skills: Meaning and
models. Developing Minds. Alexandria: Association for Supervision and
Curriculum Departemen.

Resnick, Laurent. (1992). Education and learning to think. Washington D.C.:


National Research Council.

Ross, E. Wayne. (2001). The social studies curriculum : purposes, problems, and
possibilities. Albany: State University of New York Press.

Sanjaya, Wina. (2012). Perencanaan dan desain sistem pembelajaran. Jakarta:


Kencana Prenada Media Group.

Sapriya. (2011). Pendidikan IPS, konsep dan pembelajaran. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Schunk, Dale H. (2012). Learning theories an educational perspective. Boston: Allyn


& Bacon.

Singer, Alan J. (2009). Social studies for secondary schools : teaching to learn,
learning to teach. (3rd ed). New York: Routledge.

Slameto. (2010) Belajar & faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka


Cipta.

Smaldino, Sharon E. et.al. (2011). Instructional technology & media for learning
teknologi pembelajaran dan media untuk belajar. (Terjemahan Arif
Rahman). Upper Saddle River: Prentice Hall, Inc. (Buku asli edisi
kesembilan diterbitkan tahun 2008)

Solihatin, Etin & Raharjo. (2009). Cooperative learning analisis model pembelajaran
IPS. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Sukardi. (2006). Penelitian kualitatif-naturalistik dalam pendidikan. Yogyakarta:


Usaha Keluarga.

Suprijono, Agus. (2011). Cooperative learning teori & aplikasi paikem. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Trianto. (2012). Model pembelajaran terpadu, konsep, strategi dan implementasinya


dalam KTSP. Jakarta: Bumi Aksara.

144
Undang-Undang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Waring, Scott M, & Robinson, Kirk S. (2010). Developing Critical and Historical
Thinking Skills in Middle Grades Social Studies. Middle School Journal, 42,
1, 22-28.

Warsita, Bambang. (2008). Teknologi pembelajaran landasan dan aplikasinya.


Jakarta: Rineka Cipta.

Widana, A. Suhandana, A. & Atmadja, B. (2013). Pengaruh model pembelajaran


berorientasi pemecahan masalah open-ended terhadap kemampuan berpikir
kritis dan hasil belajar biologi siswa kelas vii smp negeri 1 kintamani. E-
Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Volume 4
Tahun 2013. Diunduh dari: pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index.php/
jurnal_ap/article/view/628

Woolfok, Anita. (2009). Educational psychology active learning edition.


(Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto). Boston:
Pearson Education, Inc. (Buku asli tenth edition diterbitkan tahun 2008).

145

Anda mungkin juga menyukai