Anda di halaman 1dari 4

Penalaran moral

Penalaran moral (moral reasoning) dan pengembangan memainkan peran kunci dalam
seluruh area profesi akuntansi. Akuntan yang secara kontinu dihadapkan pada dilema berada
pada konflik nilai. Akuntan pajak, misalnya, ketika memutuskan kebijakan mengenai metode
akuntansi yang akan dipilih, membutuhkan waktu untuk memutuskan antara metode yang
mencerminkan sifat ekonomi sesunguhnya dari transaksi atau metode yang paling sesuai
menggambarkan perusahaan. Auditor harus mempertimbangkan konsekuensi pengungkapan
informasi yang berlawanan tentang klien yang membayar audit fee mereka. Akuntan yang
dihadapkan dengan konflik etika harus memutuskan secara khusus kesinambungan dari
kesinambungan titik temu antara biaya dan manfaat pada dirinya, orang lain, dan masyarakat
secara keseluruhan. Ketika keputusan profesional didasarkan pada keyakinan dan nilai
individual, maka penalaran moral memainkan peran penting dalam keputusan akhir seseorang.
Arnold dan Ponemon menekankan pentingnya paradigma riset karena :
1) Riset tingkat penalaran moral akuntan dapat memberikan pemahaman tambahan
mengenai resolusi konflik etika yang dihadapi oleh akuntan.
2) Riset dalam area ini memfasilitasi pengakuan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan
keputusan etika akuntan. Hasil dari studi ini dapat memberikan pedoman yang
mempengaruhi sifat etis dalam profesi akuntansi.
Model Pengambilan Keputusan Etis
Psikologi dari moral reasoning menjelaskan proses penambilan keputusan manusia
mendahului perilaku etis dan menganalisis keadaan pikiran individu ketika membuat keputusan
etis. Moral reasoning berbeda dengan proses mental lainnya dalam tiga aspek :
1) Kognisi yang didasarkan pada nilai dan bukan pada fakta yang nampak,
2) Keputusan yang didasarkan pada beberapa isu yang melibatkan diri sendiri dan orang
lain,
3) Keputusan yang dibangun di seputar isu ‘kehausan’, dan bukan pada peringkat preferensi
atau kesukaan sederhana.
Pengembangan psikologi moral dimulai dari karya psikologi piaget. Berdasarkan pada
karya piaget, klien kemudian mengembangkan sebuah teori keputusan moral yang memasukkan
serangkaian pengembangan keseimbangan (equilibria) yang ada dalam diri seorang individu.
Menurut teori ini, individu secara berurutan mengalami kemajuan ke tingkat moral reasoning
yang lebih tinggi sebagai bagian dari proses pertambahan usia.
Kolhberg menyamakan tiga tingkatan ini dengan tiga jenis hubungan yang berbeda antara
diri, aturan, dan harapan masyarakat.
1) Pada tingkat prakonvensional, seorang individu terutama memperhatikan efek aksi yang
dipilih terhadap dirinya.
2) Seorang individu pada tingkat pascakonvensional mendefinisikan nilai pribadi dalam
pengertian individual yang dipilih dari prinsip-prinsip dan membedakan dirinya dari
aturan dan harapan orang lain.
Pada masing-masing tingkatan terdapat dua tahap perkembangan, sehingga secara total terdapat
enam jenis keseimbangan yang terpisah.
Rest mengakui bahwa model rangkaian tahap dari Kolhberg adalah bagian yang integral
dari model kognitif komprehensif pengambilan keputusan etis. Misalnya, Rest menyatakan
bahwa ethical reasoning hanya merupakan bagian dari kapasitas individu secara keseluruhan
untuk membangun kerangka dan memecahkan masalah etis. Rest mendefinisikan empat
komponen dalam menentukan perilaku moral, yaitu :
1) Sensitivitas moral (pengenalan implikasi moral dari sebuah situasi),
2) Keputusan moral (keputusan mengenai apakah sebuah aksi benar secara moral),
3) Motivasi moral (menempatkan nilai moral di atas nilai lainnya),
4) Karakter moral (mempunyai keyakinan untuk mengimplementasikan aksi moral).
Ukuran Moral Reasoning
Wawancara penilaian moral (moral judgment interview-MJI), yang dikembangkan oleh
Kolhberg dan koleganya, melibatkan serangkaian paradigma terstandardisasi yang membutuhkan
individu untuk memecahkan dilema moral. Sebuah metode penelitian elaboratif digunakan untuk
menganalisis masing-masing protokol verbal individual terhadap resolusi dari berbagai dilema,
sehingga meghasilkan sebuah skor tunggal.
Sebagai alternatif MJI, Rest mengembangkan pengujian definisi masalah (definition of
issue test-DIT), yang berupa kuesioner pilihan ganda yang dikerjakan sendiri guna memberikan
ukuran objektif Eropa dalam memahami distribusi kemampuan etis (bukan berupa skor tunggal).
DIT menampilkan subjek dengan enam skenario hipotesis, masing-masing berhubungan dengan
dilema etika.
Karena MJI tediri dari wawancara verbal, DIT lebih sederhana untuk dilaksanakan dan
dihitung skornya daripada MJI. Sistem penilaian yang digunakan untuk DIT didasarkan pada
poin yang ditentukan untuk masing-masing respons. Skor DIT P(prinsip) adalah jumlah respons
yang berhubungan dengan tingkat moral reasoning tertinggi dan mengukur persentase respons
tahap lima dan enam.
Penggunaan ukuran kapasitas etis seseorang menunjukkan bahwa tingkat moral
reasoning individual adalah subjek pengukuran. Rest (1986) megakui kesalahan pengukuran
yang melibatkan penggunaan DIT. Ketika DIT ditampilkan dalam bermacam-macam format
pilihan, subjek tidak perlu menciptakan justifikasi. Subjek hanya perlu memilih di antara
justifikasi yang sudah disediakan. DIT kurang memiliki aspek kualitatif dari protokol yang di
dasarkan pada MJI dan ukuran sosio-metrik lainnya dan ukuran objektif refleksi sosio-moral
(SROM).
Dalam konteks domain spesifik, pengendalian DIT sebagai ukuran kapasitas etis menjadi
semakin diperdebatkan. Sementara perilaku etis ditemukan berhubungan dengan tingkat moral
reasoming yang lebih tinggi. Sebuah asumsi implisit dalam seluruh studi yang menggunakan
DIT adalah bahwa semakin tinggi skor DIT semakin baik.
Pendekatan Kognitif Lingkungan terhadap Pengambilan Keputusan Etis
Pendekatan tambahan yang membahas komponen lain dari model Rest, misalnya Skala
Etis Multidimensional (SEM) sebagai ukuran kesadaran moral, yang merupakan komponen
pertama dari model Rest dan menghubungkan teori perencanaan perilaku dengan komponen tiga
dan empat.
Reidenach mengembangkan SEM untuk fokus pada dinamika pengambilan keputusan
yang melibatkan perilaku etis yang belum diselidiki. Delapan Skala Likert yang bipolar dibagi ke
dalam tiga dimensi, yaitu keadilan moral, relativisme, kontraktualisme, yang dimasukkan dalam
ukuran. Cohen kemudian memperluas riset Raidebach dan Robin terhadap situasi multinasional.
Kemudian ia menunjukkan bahwa SEM adalah sebuah ukuran sensitivitas moral yang
merupakan komponen pertama dari model Rest. Shaub membuat model dari kemampuan auditor
untuk mengenali konflik etika sebagai sebuah fungsi dari orientasi etika lainnya
(idealisme/relativisme), serta komitmen profesional dan organisasional mereka.
Model Alternatif Pengambilan Keputusan Etis
Noreen (1988) memperluas teori agensi dengan membahas ekonomi etis dalam konteks
kontrak. Didasarkan pada minat individual, dia menyatakan bahwa perilaku etis mungkin sering
kali menghasilkan aksi yang paling menguntungkan (daya tarik ekonomi). Pendekatan teori
agensi dari Noreen bertentangan langsung dengan prinsip keunggulan pengguna, yang
didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, di mana kepentingan pengguna laporan keuangan
menjadi prioritas.
Model pengambilan keputusan etis yang dikembangkan secara spesifik untuk profesi
akuntansi. Misalnya, untuk lebih memahami di mana auditor dianggap melanggar Kode Etik dan
Perilaku Profesional AICPA, Lampe dan Finn membuat model dari proses keputusan etis auditor
sebagai proses dengan lima elemen (pemahaman keuntungan, pengendalian dampak, keputusan
lain, penilaian lain, dan pengambilan keputusan final) untuk dibandingkan dengan model yang
berbasis Kode Etik dan Perilaku Profesional AICPA.
Dalam mengomentari keadaan riset saat ini dalam paradigma etika akuntansi, Machintosh
yang mengadopsi perspektif filosofi sosial, menyatakan bahwa riset saat ini menekankan pada
suatu perspektif yang hanya mengukur penerimaan sosial, dan bukannya perspektif etis yang
sesungguhnya. Ia menyatakan bahwa sementara riset sekarang menggunakan ukuran etis
alternatif, orang berperilaku agak etis atau kurang etis, imi adalah masalah ini atau itu. Terakhir,
ia mempertanyakan penggunaan metodologi positivistik saat ini dengan mencatat bahwa etika
adalah masalah nilai (apa yang seharusnya), bukan fakta (apa ini).
Riset Perilaku Etis Akuntan
Studi Pendidikan Etika
Studi pendidikan etika berusaha menentukan efek pendidikan terhadap keahlian moral
reasoning dari para praktisi dan mahasiswa akuntansi. Hasil dari banyak studi menunjukkan
bahwa pendidikan kampus secara positif berhubungan dengan pengaruh tingkat moral reasoning
individual, temuan dalam ranah akuntansi telaj menunjukkan bahwa akuntan umumnya tidak
mengalami kemajuan pada tingkat perkembangan moral sama seperti lulusan kampus lainnya.
M. Armstrong (1987)
Studi pertama yang menyelidiki hubungan antara perkembangan moral dan riset perilaku
dilakukan oleh M. Amstrong (1987). Tingkat moral reasoning dari CPA dibandingkan dengan
mahasiswayang sudah dan belum lulus. Hal yang mengejutkan, skor DIT rata-rata CPA secara
sigifikan lebih rendah daripada kedua kelompok tersebut. M. Amstrong (1987) menyimpulkan
bahwa para CPA yang menjadi responden kelihatannya mencapai tingkat kematangan moral
orang dewasa pada umumnya, merupakan kebalikan dari tingkat kematangan lulusan kampus.
Ponemon dan Glazer (1990) serta Jeffrey (1993)
Poneman dan Glazer memperluas penyelidikan ke dalam tingkat moral reasoning akuntan
dengan membandingkan mahasiswa dan alumni untuk dua lembaga pendidikan yang terletak di
daerah timur Amerika Serikat. Hasilnya konsisten dengan temuan dari M. Armstrong, hanya
mahasiswa senior dan alumni dari kampus seni liberal menunjukkan skor DIT yang serupa
dengan kampus lainnya.
Hasil yang berlawanan ditemukan oleh Jeffrey yang menunjukkan bahwa perkembangan
etika mahasiswa akuntansi lebih tinggi daripada perkembangan etika mahasiswa dalam divisi
yang lebih rendah dengan mahasiswa akuntansi senior menampilkan tingkat tertinggi.
St. Pierre, Nelson dan Gabbin (1990)
St. Pierre et. Al mengkaji hubungan tingkat moral reasoning. Tingkat moral reasoming
dari mahasiswa akuntansi yang diperoleh dari studi sekarang serupa dengan yang ditemukan oleh
M. Armstrong.

Anda mungkin juga menyukai