Anda di halaman 1dari 71

1

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Biopsi adalah pengambilan sebagian kecil jaringan tubuh untuk


pemeriksaan laboratorium. Dari biopsi dapat diketahui adanya jaringan
abnormal, lesi, tumor, atau massa. Biopsi yang paling sering dilakukan adalah
untuk mencari kecenderungan adanya keganasan. Tetapi biopsi juga dapat
membantu mengidentifikasi kondisi lain.
Macam-macam biopsi diantaranya adalah biopsi kapsul, biopsi
endoskopi, biopsi jarum, biopsi eksisional, dan oral punch biopsy. Dalam
kebanyakan kasus, biopsi dilakukan untuk mendiagnosis masalah atau untuk
membantu menentukan pilihan terapi yang terbaik. Biopsi dapat menjadi salah
satu prosedur kilinis untuk menentukan diagnosis keganasan yang tersering
pada wanita, diantaranya adalah kanker mamae, kanker serviks dan kanker
ovarium.
Oleh karena itu, dalam tinjauan pustaka kami membahas mengenai
biopsi; contoh-contoh prosedur biopsi seperti lip bipsy, oropharinx biopsy,
percutaneous radiofrequency ablation of liver tumor, temporal artery biopsy,
biopsi pada kanker mammae, biopsi pada kanker serviks, dan biopsi pada
kanker ovarium.

I.2 Tujuan dan Manfaat

I.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui prosedur klinis dalam onkologi.

I.2.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengertian biopsi, tujuan biopsi, prosedur biopsi,


dan macam-macam biopsi
2. Untuk mengetahui prosedur biopsi pada kanker mammae
3. Untuk mengetahui prosedur biopsi pada kanker serviks
4. Untuk mengetahui prosedur biopsi pada kanker ovarium
2

I.2.3 Manfaat

1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas mengenai


prosedur klinis dalam onkologi bagi penulis
2. Memberikan wawasan tentang prosedur klinis dalam onkologi
kepada mahasiswa lain
3. Memberikan tambahan referensi bagi almamater
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Biopsi

Biopsi adalah pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh manusia


untuk pemeriksaan patologis mikroskopik. Dari bahasa latin bios yang berarti
hidup dan opsi berarti tampilan. Jadi secara umum biopsi adalah
pengangkatan sejumlah jaringan tubuh yang kemudian akan dikirim ke
laboratorium untuk diperiksa. Biopsi kebanyakan dilakukan untuk
mengetahui adanya kanker. Untuk mengalokasikan area biopsi bagian tubuh
manapun seperti kulit, organ tubuh maupun benjolan dapat dilakukan terlebih
dahulu pemeriksaan X-ray, CT scan ataupun ultrasound. Biopsi dapat
dilakukan juga dengan proses pembedahan. Dengan demikian biopsi adalah
pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosa dokter bukan untuk terapi
kanker kecuali biopsi eksisional dimana selain pengambilan sampel juga
mengangkat semua massa atau kelainan yang ada.

II.2 Tujuan Biopsi

1. Mengetahui morfologi tumor, diantaranya:

a) Tipe histologi tumor

b) Subtipe tumor

c) Grading sel

2. Radikalitas operasi

3. Staging tumor, diantaranya:

a) Besar spesimen dan tumor dalam sentimeter

b) Luas ekstensi tumor

c) Bentuk tumor

d) Nodus regional, meliputi:


4

 Banyak ditemukan kelenjar limfe


 Banyak kelenjar limfe yang mengandung metastase
 Adanya invasi kapsuler
 Metastase ekstranodul

II.3 Jenis Biopsi

II.3.1 Biopsi Kapsul

Biopsi kapsul merupakan alternatif dari biopsi endoskopik. Biopsi


ini dilakukan untuk mengambil sampel dari lapisan intestinal. Selama
pelaksanaan biopsi kapsul, pasien akan diberikan sebuah kapsul kecil
untuk ditelan dimana kapsul tersebut dilapisi oleh tabung tipis. Gambaran
X-ray akan digunakan untuk mengetahui kapan kapsul tersebut telah
mencapai titik yang tepat di dalam usus. Saat kapsul tersebut telah
mencapai titik yang tepat tercipta tekanan dalam tabung, sehingga bagian
kecil dari lapisan intestinal terserap ke dalam kapsul. (Hayes, Peter C,
1993)

Biopsi usus halus dapat diperoleh dengan endoskopi atau dengan


kapsul Crosby. Biopsi usus dapat dilakukan dengan mengukur enzim
brush border untuk membantu mendiagnosis malabsorbsi akibat
defisiensi enzim. (Hayes, Peter C, 1993)

II.3.2 Biopsi Endoskopik

Biopsi endoskopik adalah suatu tindakan pengambilan contoh


jaringan untuk pemeriksaan histopatologi dan mikrobiologi dengan
menggunakan alat biopsi panendoskopik yang dikerjakan bersamaan
dengan pemeriksaan endoskopi. (Boone, John, 2012)
5

Gambar 2.1 Biopsi Endoskopik (Hayes, Peter C, 1993)

a. Indikasi dari biopsi endoskopik adalah:

a) Perubahan gambaran mukosa saluran cerna disertai keluhan-


keluhan berlangsung lama dan menahun seperti dispepsia, diare,
dan konstipasi.
b) Ulkus pada saluran cerna bagian atas dan bawah terutama pada usia
tua.
c) Polip / tumor saluran cerna bagian atas dan bawah.
d) Penyakit seliak, colitis ulseratif, Corhn atau infektif.

b. Kontraindikasi dari biopsi endoskopik diantaranya adalah:

a) Esophagus pasca dilatasi 1 minggu.


b) Ulkus bulbus duodeni, kecuali dicurigai massa tumor/limfoma.
c. Persiapan alat dan teknik

Forsep biopsi dimasukkan melalui saluran alat endoskop menuju


organ target. Usahakan posisi sampel pada jam 6 dan dengan teknik
“aiming” forsep dibuka-jepit dan ditarik (oleh asisten). Jaringan yang
didapat dimasukkan ke dalam formalin 10 %. Pada keadaan tertentu
biopsi dilakukan dengan brush cytology atau hos biopsi pada lesi
polipoid. ( Boone, 2012)

d. Perawatan pasca biopsi


6

Perawatan pasca biopsi dapat dilakukan dengan penyemprotan air


es atau adrenalin 1:10.000 dalam NaCI 0,9% melalui endoskop.
(Boone, 2012)

II.3.3 Biopsi Jarum

Biopsi jarum merupakan cara paling sederhana untuk mendapatkan


jaringan untuk pemeriksaan histologik. Cara ini hanya sedikit
mengganggu jaringan sekitarnya. Risiko menyebabkan implantasi sel
tumor melalui jarum saat diaspirasi sangat kecil. Namun demikian,
interpretasi dan spesimen biopsi jarum memerlukan orang yang cukup
berpengalaman. (Jonathan, 2011)

Biopsi ini merupakan pengambilan sampel jaringan atau cairan


dengan cara diambil lewat jarum. Biasanya cara ini dilakukan dengan
bius lokal (hanya area sekitar jarum) dan bisa dilakukan langsung atau
dibantu dengan radiologi seperti CT scan atau USG sebagai panduan bagi
dokter untuk mengarahkan jarum mencapai massa atau lokasi yang
diinginkan. Bila biopsi jarum menggunakan jarum berukuran besar maka
disebut core biopsi, sedangkan bila menggunakan jarum kecil atau halus
maka disebut fine needle aspiration biopsi.

Biopsi jarum transtorakis perkutaneus (PTNB = percutaneus


transthoracis needly biopsi) lebih populer karena keterampilan ahli
radiologi dan patologi meningkat. Hal ini dilakukan di bawah anestesi
lokal dan disertai beberapa komplikasi lanjut yang membutuhkan terapi
lebih lanjut. Biopsi ini dapat menngidentifikasi keganasan, infeksi
sarkoidisis, dan penyakit pulmonar lainnya. Kontraindikasi termasuk
koagulopati, hipertensi pulmonari, penyakit bulosa dan ventilasi tekanan
positif. (Schwatz, 2000).
7

Gambar 2.2 Biopsi Jarum (Schawtz, 2000)

Biopsi tusuk jarum atau yang lebih dikenal dengan Fine Needle
Aspiration biopsi yang biasa disingkat FNAB. FNAB adalah suatu
tindakan biopsi tumor atau benjolan yang dilakukan dengan jarum halus
25G berdiameter 0,5 mm atau lebih kecil, untuk mengambil contoh
jaringan lalu memeriksanya dibawah mikroskop secara sitologi. Dengan
FNAB diperoleh diagnosis tumor apakah jinak atau ganas, tanpa harus
melakukan sayatan atau mengiris jaringan, sehingga keraguan seorang
penderita apakah dirinya menderita kanker atau tidak segera terjawab
dengan cepat dan akurat. (Schawtz, 2000)

Tindakan FNAB ini mudah dikerjakan, waktunya cepat hanya


memerlukan beberapa detik, tidak nyeri, relatif tanpa komplikasi, biaya
murah dan akurasinya cukup memuaskan. Dapat dikerjakan pada siapa
saja, laki-laki atau perempuan, orang tua, anak-anak, bahkan pada bayi.
FNAB dapat dilakukan pada tumor yang terletak di permukaan tubuh
yang dapat dilihat atau diraba seperti tumor kulit, payudara, kelenjar
gondok, dan kelenjar getah bening. Untuk tumor-tumor organ tubuh yang
lebih dalam, juga dapat dilakukan FNAB, namun biasanya dibutuhkan
bantuan dokter ahli radiologi untuk membimbingnya dengan USG,
misalnya pada tumor paru, tumor hati, tumor ginjal, tumor pankreas dsb.
(Schawtz, 2000)

FNAB juga sangat dianjurkan pada penderita tumor atau kanker


dengan keadaan umum lemah, sehingga dapat ditegakkan diagnosisnya
segera dengan risiko yang rendah, dimana pemeriksaan ini biasanya
8

tidak memberatkan kondisi pasien. Pada kanker yang sudah tersebar di


kelenjar getah bening, seperti kanker nasofaring atau kanker lainnya,
untuk memastikan benar tidaknya penyebaran tersebut, dianjurkan
dilakukan FNAB pada benjolan di kelenjar getah bening. Hal ini sangat
bermanfaat untuk memastikan stadium penyakit dan tindakan
selanjutnya.

Pengamatan klinis yang cermat tentang sasaran biopsi aspirasi baik


pada tumor yang letaknya superfisial (palpable tumor) maupun tumor di
dalam rongga tubuh (nonpalpable) diperlukan untuk memperoleh hasil
optimal. Tumor yang letaknya superfisial dapat langsung dilakukan
biopsi aspirasi tanpa kombinasi pemeriksaan lain. Pada tumor difus dan
letaknya dalam sering diperlukan pemeriksaan radiologi. (Linsk dan
Franzen, 1986)

a. Keterbatasan biopsi aspirasi jarum halus (FNAB)

Harus disadari bahwa jangkauan sitologi biopsi aspirasi terbatas


pada:

a) Luasnya invasi tumor

b) Subtipe kanker

c) Dapat terjadi negatif palsu

d) Harus ada kerjasama klinisi dengan patologis. (Linsk dan


Franzen, 1986)

b. Indikasi biopsi aspirasi jarum halus (FNAB)


Hampir pada semua tumor dapat dilakukan biopsi aspirasi, baik
yang terletaknya superfisial palpable ataupun tumor yang terletak di
dalam rongga tubuh unpalpable dengan indikasi:
a) Preoperatif biopsi aspirasi pada tumor maligna. Tujuannya
adalah untuk diagnosis dan menentukan pola tindakan bedah
selanjutnya. Contohnya tumor payudara dan kelenjar tiroid.
9

b) Biopsi aspirasi pada maligna inoperable merupakan diagnosis


konfirmatif.
c) Diagnosis konfirmatif tumor “rekuren” dan metastasis.
d) Membedakan tumor kistik, solid, dan peradangan.
e) Mengambil spesimen untuk kultur dan penelitian. (Linsk dan
Franzen, 1986)
c. Teknik biopsi aspirasi jarum halus (FNAB)
Teknik biopsi aspirasi terdiri dari:
a) Persiapaan alat
Alat yang digunakan terdiri dari tabung suntik plastik
ukuran 10 mil jarum halus, gagang pemegang tabung suntik,
kaca objek dan desinfektan alkohol atau betadin. (Schawtz,
2000)
b) Pendekatan pasien
Dengan ramah pasien dianamnesis singkat. Wawancara
singkat ini dibuat sedemikian rupa, sehingga pasien tidak takut
atau stress dan bersedia menjalani biopsi aspirasi. Biopsi
dilakukan dengan kelembutan hati dan rasa tanggung jawab
terhadap sesama manusia. (Schawtz, 2000)
c) Pengambilan aspirat tumor dengan cara:
 Tumor dipegang lembut.
 Jarum diinsersi segera ke dalam tumor.
 Piston di dalam tabung suntik ditarik ke arah proksimal
sehingga tekanan di dalam tabung menjadi negatif, jarum
maneuver diaspirasikan. Dengan cara demikian sejumlah sel
masa tumor masuk ke dalam lumen jarum suntik.
 Piston dalam tabung dikembalikan pada posisi semula
dengan cara melepaskan pegangan.
 Aspirat dikeluarkan dan dibuat sediaan hapus, dikeringkan
di udara dan dikirimkan ke laboratorium pusat pemeriksaan
kanker. (Schawtz, 2000)

d) Diagnosis sitologik biopsi aspirasi dan nilai klinik dari FNAB :

 Positif

Sitologi positif merupakan “worning” untuk melakukan


tindakan lebih lanjut antara lain survei metastasis,
10

menentukan stadium, memilih alat diagnostik lain bila


diperlukan dan mendiskusikan pola pengobatan. (Boone,
2012)

 Negatif

Sitologi negatif atau kelainan jinak, belum dapat


menyingkirkan adanya kanker, perlu dipikirkan kemungkinan
negatif palsu. Negatif palsu dapat terjadi karena kesalahan
teknis, sehingga sejumlah sel tumor tidak terdapat pada
sediaan. Bila terdapat diskrepansi sitologi dan data klinik,
alternatif tindakan terbaik adalah biopsi bedah. Akan tetapi,
pada kasus sitologi negatif dengan spesifikasi kelainan dan
cocok dengan gambaran klinik, maka pola pengobatan dapat
ditentukan. (Boone, 2012)

 Suspek

Sitologi dari suspek mungkin memerlukan pemeriksaan


lain sebelum pengobatan antara lain pemeriksaan potongan
beku ataupun sitologi imprint atau kerokan durante
operasionam. (Boone, 2012)

 Inkonklusif

Inklonkusif dapat terjadi karena kesalahan teknik atau


karena kondisi tumor yang terganggu, misalnya mudah
berdarah, jaringan ikat yang banyak sehingga sulit
membentuk sel tumor. (Boone, 2012)

II.3.4 Biopsi Eksisional

Biopsi eksisional merupakan insisi lesi secara in toto yaitu


pendekatan yang umum untuk lesi yang kecil. Eksisi ini di lakukan
dengan melibatkan jaringan normal dan memungkinkan dilakukan
penutupan kembali. Lesi di mulut yang paling sering dilakukan biopsi
11

eksisional adalah fibroma, serta lesi yang ukuran dan lokasinya


memungkinkan untuk diambil secara eksisi. Papiloma, granuloma
periferal dan banyak lesi berpigmen biasannya juga diambil secara eksisi
total. (Pedersen, 1996)

Sebagian besar biopsi eksisional maupun insisional dilakukan


dengan teknik elips. Bentuk elips didesain sedemikian rupa sehingga
dapat dibuat biopsi yang mencakup lesi dan jaringan normal disekitarnya
setebal 2-3 mm. (Pedersen,1996)

Biopsi eksisional digunakan untuk pengambilan lesi kecil yang


secara klinis merupakan lesi yang jinak, secara keseluruhan (diameter
kurang dari 1 cm) baik lesi superfisial atau profundus, lunak atau keras.
Pendekatan yang dilakukan bisa dengan insisi berbentuk elips (untuk lesi
permukaan) atau modifikasinya, apabila lesi terletak di jaringan lunak.
Lesi keras yang kecil baik superfisial atau profunda biasanya juga
diambil in toto. (Pedersen,1996)

Gambar 2.3 Biopsi Eksisional ( Pedersen, 1997)

II.3.5 Oral Punch Biopsy

Punch biopsy merupakan pengangkatan jaringan atau sel dengan


cara membuat lubang pada area yang patologis. Punch Biopsy merupakan
teknik alternatif dari biopsi insisional tradisional. Pada dasarnya, “punch”
ini merupakan pisau berbentuk sirkuler/bulat yang menempel pada
12

handle plastik, seperti yang terlihat pada gambar 1 dan 2. Diameter dari
pisau punch bervariasi antara 2 sampai 10 mm. (Pedersen, 1997)

Gambar 2.4 Punch Diameter 3 mm, 4 mm, 5 mm, 6 mm (Pedersen, 1997)

Gambar 2.5 Punch Diameter 6 mm (Pedersen, 1997)

Dokter gigi sering dihadapkan dengan neoplasma dan penyakit


rongga mulut. Namun dikarenakan kebanyakan pasien enggan untuk
dilakukan prosedur bedah mulut, sehingga biopsi diperlukan untuk
menentukan diagnosis pasti. Biopsi ini memiliki kegunaan yang terbatas
dalam mulut. Biopsi lebih aplikatif dalam pengangkatan spesimen kecil
jaringan yang tidak dapat dicapai, seperti sinus maksilaris dan lateral atau
dinding posterior faring. Biopsi ini membantu dalam pengendalian
perdarahan. Jika biopsi dilakukan di rumah sakit dapat diperoleh
potongan beku yang memungkinkan untuk melanjutkan tindakan dengan
pengangkatan lesi secara total. (Pedersen, 1997)

Teknik Punch Biopsy:

a. Menentukan daerah biopsi di rongga mulut.


13

b. Memberikan anestesi lokal.


Biopsi biasanya dilakukan menggunakan anestesi lokal. Pada
saat preparasi, lebih baik tidak menggunakan antiseptik yang kuat
karena cenderung dapat merubah jaringan dan mempengaruhi
perubahan kualitas warna. Anestesi seharusnya tidak disuntikan
pada tumor, karena infiltrasi dengan anestesi cenderung
menggembungkan jaringan dan mengubah bentuknya, dan jika lesi
ganas dapat menyebabkan penyebaran. (Boone, 2012)
c. Menetapkan ukuran biopsi
Biopsi mukosa seharusnya kurang lebih berdiameter 3 mm.
Akan tetapi, lesi oral yang belum ganas dan SCC seringkali
membutuhkan biopsi yang lebih dalam karena mempunyai ciri
lapisan epitel yang lebih tebal dan hiperkeratosis. Untuk lesi ini,
kedalaman yang direkomendasikan adalah 4 mm atau 5 mm.
(Boone, 2012)
d. Memperoleh sampel biopsi dengan punch biopsy
Selama punch biopsy, punch dimasukan ke dalam mukosa
dengan gerakan rotasi untuk menyertai pemotongan jaringan
dengan kedalaman yang tepat. (Boone, 2012)

Gambar 2.6 Ilustrasi Punch Biopsy Pada Area Mukosa Bukal (Michael, 2009)

e. Memastikan hemostatis
Jika memungkinkan, tempat biopsi seharusnya dijahit
untuk menutup luka dan menjamin hemostasis yang baik.
14

II.4 Biopsy, Fine Needle, Neck Mass

II.4.1 Pengertian

Biopsi jarum halus (FNB) adalah suatu prosedur di mana jarum


berukuran kecil ditempatkan ke dalam massa. Hal ini secara luas diterima
sebagai salah satu prosedur diagnostik yang paling berguna dalam
evaluasi masa pada leher. Biopsi jarum halus membantu untuk
membedakan lesi inflamasi, reaktif, atau fibrosis dari neoplasma serta
lesi neoplastik jinak dari yang ganas. Biopsi jarum relatif aman,
sederhana, dan hemat biaya. (Boone, 2012)

II.4.2 Indikasi

Biopsi jarum halus adalah prosedur paling berguna ditunjukkan


dalam evaluasi masa pada leher. Berbagai penyakit yang dapat dilakukan
biopsi:

a. Kelenjar getah bening - perubahan reaktif, limfoma, kanker


metastatik.

b. Kelenjar tiroid - keganasan , limfoma, dan tiroiditis.


c. Saliva kelenjar - neoplasma jinak dan ganas , limfoma, lesi
inflamasi, dan kista.
d. Miscellaneous - paratiroid neoplasma, kista dermoid,
dan teratoma. (Boone, 2012)

II.4.3 Kontraindikasi

a. Tidak ada kontraindikasi absolut untuk melakukan biopsi jarum


halus masa leher.
b. Namun, masa di daerah bifurkasi karotid mungkin banyak dokter
yang enggan untuk melakukan biopsi lesi. Komplikasi serius dan
satu kematian telah dilaporkan setelah biopsi jarum halus dari tumor
karotid. Lesi ini lebih baik diidentifikasi oleh pencitraan. Saat ini,
MRI adalah salah satu pilihan yang dapat digunakan untuk
pemeriksaan lesi.
15

c. Pasien dengan gangguan perdarahan atau mereka yang menggunakan


terapi antikoagulan harus menerima konsultasi medis yang tepat
sebelum biopsi jarum halus. Jika antikoagulan tidak dapat dihentikan
dengan aman, pertimbangan harus diberikan untuk menggunakan
jarum diameter sekecil mungkin dan menggunakan pedoman
ultrasonografi untuk mengidentifikasi. (Boone, 2012)

II.4.4 Peralatan

a. Jarum: Sebagian besar penulis menggunakan 22 - untuk 27-gauge


jarum panjang yang tepat.
b. Syringe, 10 ml (jika teknik aspirasi yang digunakan). Jarum suntik
yang lebih besar belum terbukti mengambil jumlah masa yang
banyak.
c. Pistol grip jarum suntik (jika teknik aspirasi yang digunakan), ini
sangat dianjurkan dan memungkinkan hasil lebih seragam dan
manipulasi lebih mudah dari jarum.
d. Pad atau kulit kapas siap dengan alkohol atau yodium
e. Object glass
f. Kasa (Boone, 2012)

II.4.5 Teknik

a. Persiapan

a) Memperoleh informed consent. Pasien harus diberitahu tentang


kemungkinan sangat kecil infeksi atau hematoma.
b) Pemeberian tanda dengan identifikasi pasien sebelum prosedur
dimulai
c) Tempatkan pasien pada posisi yang tepat.
d) Bersihkan kulit yang melapisi masa target dengan pad atau swab
disiapkan dengan alkohol (atau povidone-iodine), lalu keringkan
dengan kain kasa steril.
e) Mengelola anestesi lokal, jika diinginkan. (Boone, 2012)
b. Teknik Aspirasi
16

a) Perbaiki masa sasaran antara 2 jari dari tangan.


b) Masukan jarum ke organ target
c) Setelah ujung jarum berada dalam masa, menerapkan hisap
dengan menarik kembali pada plunger dari jarum suntik.
d) Melepaskan tekanan negatif setelah pengambilan sampel selesai
dan sebelum menarik jarum dari masa.
e) Tarik jarum. Spesimen sitologi berada dalam jarum.
f) Setelah ditarik, lepaskan jarum suntik dari jarum. Isi jarum suntik
dengan udara dan kemudian pasang kembali ke jarum yang
mengandung spesimen.
g) Letakan spesimen pada object glass. (Boone, 2012)

II.5 Lip Biopsy

II.5.1 Pengertian

Lip biopsy (biopsi bibir) diperlukan untuk mengidentifikasi


histopatologi dari lesi oral yang terlihat atau untuk membantu dalam
diagnosis dari gangguan sistemik.

Jika lesi terdapat pada bibir atau mukosa mulut, biopsi insisional
atau eksisional secara klinis diindikasikan bila mengarah ke
keganasan. Temuan seperti perubahan warna merah atau putih, indurasi
atau fiksasi ke jaringan yang lebih dalam, pertumbuhan yang cepat,
kerapuhan, atau ulserasi harus meningkatkan kekhawatiran untuk
keganasan. (Mcginn, 2012)

Biopsi bibir (khususnya kelenjar saliva pada bibir) juga dapat


digunakan untuk membantu diagnosis sindrom Sjogren yaitu gangguan
autoimun kronis yang melibatkan penghancuran jaringan kelenjar.
17

Jaringan kelenjar yang terlibat meliputi kedua kelenjar saliva minor dan
mayor serta kelenjar lakrimal. (Fraioli, 2008)

II.5.2 Indikasi Biopsi Bibir

a. Biopsi harus dilakukan pada setiap lesi oral yang terus berlanjut
meskipun sudah terhindar dari setiap stimulus iritasi.
b. Biopsi dilakukan jika temuan lesi mukosa menunjukkan keganasan
(misalnya, eritroplakia, leukoplakia, indurasi atau fiksasi ke jaringan
yang lebih dalam, pertumbuhan yang cepat, kerapuhan, dan ulserasi).
c. Biopsi kelenjar submukosa apabila di diagnosis sindrom Sjogren.
(Mcginn, 2012)

II.5.3 Kontraindikasi Biopsi Bibir


a. Pendarahan diatesis sekunder untuk antikoagulasi, atau koagulopati
signifikan (namun, bibir sangat sensitif dengan tekanan manual dan
kauterisasi).
b. Kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk penggunaan anestesi
lokal.
c. Pasien bifosfonat (osteonekrosis mandibula). (Mcginn,2012)

II.5.4 Anestesia
Lip biopsy untuk lesi mukosa atau kelenjar ludah minor biasanya
dilakukan anestesi lokal di bagian bawah, dengan menggunakan 1%
atau 2% lidocaine dengan 1:100.000 epinefrin. Prosedur pada anak-
anak mungkin memerlukan sedasi.

Topikal anestesi semprot biasanya tidak cukup untuk anestesi


dalam kasus biopsi, meskipun beberapa dokter mungkin
menggunakannya sebelum injeksi anestesi lokal. Bisa menggunakan
semprot benzokin atau lidokain kental pada mukosa bibir. Benzokain
dapat dikaitkan dengan methemoglobinemia dan harus digunakan
dengan hati-hati. (Ash-Bernal, 2004)
18

II.5.5 Peralatan Biopsi Bibir

a. Anestesi lokal dan jarum suntik.


b. Pisau skalpel dengan No 15, penjepit chalazion, atau biopsi punch.
c. Jaringan forsep.
d. Gunting melengkung (misalnya, Iris, Littler).
e. Needle holder
f. Kasa spons
g. Retraktor
h. Jahitan untuk penutupan
i. Kauter Metode (perak nitrat, elektrokauter, atau laser)
j. Karbondioksida atau Nd: YAG laser,
k. 10% formalin (Jika studi imunofluoresensi langsung diperlukan,
spesimen harus dikirim dalam larutan Michel (Ephros H, 2009)

II.5.6 Teknik Biopsi Bibir

a. Persiapan

a) Jelaskan prosedur, indikasi, dan risiko.


b) Memastikan adanya pencahayaan bisa dengan menggunakan
lampu atau cahaya bedah.
c) Membius lokasi biopsi melalui infiltrasi anestesi lokal.
d) Dokter bedah harus menguasai anatomi daerah yang akan
dilakukan biopsi.
19

Gambar 2.7 mukosa lidah ( Mcginn, 2012)

b. Pisau Bedah Teknik untuk Lesi Mukosa

Sayatan elips biasanya digunakan untuk mendapatkan biopsi


insisional atau eksisi dari lesi mukosa yang terlihat. Orientasi elips
harus memperhitungkan struktur pembuluh darah dan saraf di daerah,
serta segala pertimbangan fungsional atau kosmetik. Untuk bibir,
sayatan yang paling elips harus paralel dengan sumbu panjang dari
bibir, dengan rasio panjang dibanding lebar yang direkomendasikan
3:1. Pada reseksi besar, vermilion dari bibir dapat dikurangi atau
gulungan putih di persimpangan vermilion dapat ditarik kembali.
Sayatan tegak lurus dengan sumbu panjang menyebabkan distorsi,
tetapi mungkin memerlukan ekstensi di luar batas vermilion atau ke
jaringan gingiva untuk mempertahankan rasio 3:1. (Mcginn,2012)

Banyak ahli merekomendasikan biopsi eksisi yang meliputi lesi


yang terlihat serta bagian mukosa normal disebelahnya. Rekomendasi
ini didasarkan pada konsep bahwa persimpangan jaringan normal dan
abnormal adalah titik temu dan memungkinkan untuk evaluasi
patologis yang lebih baik dari lesi. Sementara diperlukan dalam lesi
ulseratif di mana mukosa tidak ada, pertimbangan ini mungkin tidak
penting. Lebih penting adalah mendapatkan spesimen perwakilan dari
seluruh lesi. (Ephros H, 2009)

c. Teknik lain untuk lesi mukosa

Biopsi dapat dilakukan dengan instrumen lain selain pisau


bedah. Laser dapat digunakan, jika tersedia, tetapi perawatan harus
diambil untuk mencakup jaringan tambahan di sekitar lesi untuk
mengkompensasi kehilangan jaringan dari perangkat termal. Tindakan
pengamanan laser untuk staf dan pasien harus digunakan. Meskipun
hemostasis segera ditingkatkan dengan laser, manfaat tidak lebih besar
dari komplikasi tambahan. (Mcginn,2012)
20

Biopsi punch dari lesi mulut dan bibir cenderung tidak


memberikan keuntungan yang signifikan atas eksisi bedah. Pada
mukosa yang lebih melekat pada jaringan di bawahnya (misalnya,
palatum durum), teknik biopsi punch mungkin menawarkan beberapa
keuntungan. (Ephros H, 2009)
Piala biopsi forsep juga dapat digunakan tetapi memiliki sedikit
keuntungan pada bibir. Piala biopsi forsep baik dirancang untuk biopsi
situs orofaringeal . (Mcginn, 2012)
d. Pisau Bedah Teknik untuk Kelenjar Ludah Minor Biopsi

Tujuan dari biopsi kelenjar ludah minor adalah untuk


mempermudah ahli patologi untuk pemeriksaan kelenjar. Eksisi
mukosa tidak diperlukan. (Ephros H, 2009)
Membuat sayatan 1,5 cm-linear pada mukosa bibir, berorientasi
sejajar dengan sumbu panjang bibir itu. Bibir bawah digunakan untuk
kenyamanan posisi. Sayatan ini harus ditempatkan lateral garis tengah,
sebagai kepadatan kelenjar ludah minor lebih besar dari pada garis
tengah. Menempatkan bibir pada peregangan memungkinkan untuk
visualisasi dari kelenjar submukosa ludah minor. Lihat gambar di
bawah ini. (Mcginn,2012)

Gambar 2.8 Kelenjar Ludah Minor Terlihat Melalui Mukosa.


(Mcginn,2012)

Kelenjar ludah minor yang mudah diidentifikasi oleh adalah


kelenjar ludah yang dangkal dekat otot. Hapus kelenjar beberapa
individu untuk evaluasi patologis dan menempatkannya dalam
21

formalin. Berhati-hatilah saat diseksi untuk menghindari cedera


cabang terdekat dari nervus mentalis. (Mcginn,2012)

Gambar 2.9 Kelenjar ludah Minor (Mcginn,2012)

Hemostasis bekas biopsi dicapai melalui tekanan manual, kauter


perak nitrat, atau elektrokauter. Tutup sayatan dengan jahitan (sutra,
usus kromat, atau polyglactin) untuk reapproximate tepi
mukosa. Lihat gambar di bawah ini.

Gambar 2.10 Penutupan Setelah Biopsy Bibir (Mcginn, 2012)

II.5.7 Komplikasi

 Hipestesia dari bibir bawah terjadi pada 1-6% kasus.


 Nyeri biasanya minim dan berlangsung 1-2 hari. (Berquin, 2006)

II.6 Biopsi Orofaring


22

II.6.1 Pengertian

Orofaring menempati area saluran aerodigestive antara rongga


mulut, nasofaring, dan hipofaring. Batas anterior didefinisikan sebagai
lengkungan glossopalatal (juga dikenal sebagai pilar tonsil anterior),
perbatasan unggul adalah bidang langit-langit lunak, dan batas inferior
adalah bidang ujung epiglotis. Struktur utama dalam orofaring termasuk
tonsil (faucial) lengkungan, tonsil, vallecula, pangkal lidah, langit-langit
lunak, uvula, dan dinding faring posterior dan lateral. (Johnathan, 2012)

Gambar 2.11 Anatomi Faring. (Johnathan,2012)

Biopsi orofaringeal dapat mengambil beberapa bentuk, semua


memiliki tujuan mengidentifikasi histopatologi lesi. Biopsi dapat
dilakukan dalam ruang praktek atau mungkin memerlukan pengaturan
operasi dengan anestesi umum. Pengaturan biopsi ditentukan oleh faktor
pasien (misalnya, usia, refleks muntah), sejauh mana biopsi dan
aksesibilitas dari lokasi lesi (misalnya, pangkal lidah, vallecula).
(Johnathan,2012)

II.6.2 Indikasi Biopsi Orofaring

a. Biopsi harus dilakukan pada setiap lesi oral yang terus berlanjut
meskipun sudah terhindar dari setiap stimulus iritasi.
b. Biopsi dilakukan jika temuan lesi mukosa menunjukkan keganasan
(misalnya, eritroplakia, leukoplakia, indurasi atau fiksasi ke jaringan
yang lebih dalam, pertumbuhan yang cepat, kerapuhan, dan ulserasi).
23

c. Biopsi sampel dari lesi tonsil dapat diatasi melalui tonsilektomi


formal, terutama jika ada kekhawatiran neoplasma. (Johnathan,
2012)

II.6.3 Kontraindikasi Biopsi Orofaring

a. Pendarahan diatesis sekunder untuk antikoagulasi, atau koagulopati


signifikan
b. Ada permasalahan pada jalan nafas sehingga dapat diperburuk oleh
biopsi.
c. Lesi terletak di dekat struktur vital yang bisa terluka oleh biopsi
(misalnya, faring lateral yang dekat arteri karotid)
d. Kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk penggunaan anestesi
lokal (Pasien-pasien mungkin memerlukan anestesi umum di ruang
operasi). (Johnathan,2012)

II.6.4 Anestesi

Biopsi untuk lesi orofaringeal mukosa dapat dilakukan dengan


anestesi lokal, dengan menggunakan 1% atau 2% lidokain, dengan
1:100.000 epinefrin.

Penggunaan semprotan anestesi topikal biasanya tidak cukup untuk


anestesi dalam kasus biopsi, meskipun beberapa dokter mungkin
menggunakannya sebelum injeksi anestesi lokal. Anestesi topikal
mungkin juga bermanfaat dalam mengurangi refleks muntah.

a. Semprot benzokain dapat digunakan, jika diinginkan. Penggunaan


benzokain dapat dikaitkan dengan methemoglobinemia dan harus
digunakan dengan hati-hati. Semprotan harus kurang dari 2 detik.
b. Inject di lokasi biopsi yang diinginkan, dengan menggunakan 27 -
atau 30-gauge jarum dan 1 - untuk 3-mL suntik. Situs posterior
mungkin memerlukan penggunaan jarum kecil-gauge tulang
belakang. (Johnathan, 2012)

II.6.5 Peralatan

a. Anestesi lokal dan jarum suntik


24

b. Pisau bedah dengan pisau No 15


c. Through-cut/true-cut/Tru-cut seperti yang digunakan dalam prosedur
forsep endoskopik.

Gambar 2.12 Through-cut (Johnathan,2012)

d. Jaringan forsep dengan gigi


e. Gunting melengkung, seperti Iris atau Littler
f. Needle holder
g. Kasa spons
h. Retraktor lidah

Gambar 2.13 Lidah Retractor (Johnathan,2012)

i. Jahitan
j. Metode Kauter (perak nitrat, elektrokauter, atau laser)
k. Spesimen botol dengan 10% formalin (Johnathan, 2012)

II.6.6 Teknik

a. Persiapan

a) Jelaskan prosedur, indikasi, dan risiko sebagai bagian dari


proses informed consent.
b) Pastikan bahwa pencahayaan yang memadai tersedia.
25

c) Membius situs biopsi melalui infiltrasi anestesi lokal.


b. Untuk lesi mukosa menggunakan teknik potong tang
a) Teknik ini adalah yang terbaik untuk lesi, mudah dilihat dan
eksofitik.
b) Setelah anestesi pasien, menekan lidah dengan retraktor.
c) Gunakan tang pemotong untuk mengambil sampel atau
menghapus lesi eksofitik, tergantung pada ukurannya.
d) Berhati-hatilah untuk tidak menjatuhkan sampel biopsi dari
tang.
c. Teknik lain untuk lesi mukosa
a) Sebuah pisau bedah dan forsep dapat digunakan sebagai
pengganti melalui cut-tang endoskopi. Namun, ahli bedah
mungkin menemukan bahwa manipulasi pisau bedah di
orofaring lebih sulit, terutama jika asisten tidak tersedia.
b) Biopsi pukulan dari orofaring yang terbaik digunakan pada
bidang mobilitas mukosa terbatas (misalnya, palatum durum),
tetapi mereka dapat digunakan di daerah-daerah tertentu
orofaring. Secara keseluruhan, mereka mungkin tidak
memberikan keuntungan yang signifikan atas eksisi bedah.
(Johnathan, 2012)

II.6.7. Komplikasi

a. Pendarahan
b. Nyeri: Ini biasanya minimal tetapi biasanya meningkat sebanding
dengan luas permukaan dari cacat mukosa yang dibuat oleh biopsi. Ini
lebih penting dalam tonsilektomi.
c. Kerusakan struktur terdekat seperti gigi, bibir, lidah, saraf
glossopharyngeal, bundel neurovaskular lebih besar palatina, dan
arteri karotid
d. Kurangnya diagnosis sekunder untuk nondefinitive biopsy (Johnathan,
2012)
26

II.7 Percutaneous Radiofrequency Ablation of Liver Tumors

II.7.1 Pengertian
Percutaneous radiofrequency ablasition (PRFA) adalah suatu
metode untuk menghilangkan tumor primer dan menghambat proses
metastasis tumor di hepar. PRFA secara luas digunakan untuk tumor
primer yang berukuran kecil dan tumor yang bermetastasis. Pada PRFA,
jarum dimasukkan ke hepar, biasanya dilakukan dengan panduan
gambaran ultrasonografi atau CT. Setelah ditempatkan dalam tumor,
generator menimbulkan arus cepat energi bolak-balik sehingga
menghasilkan panas di lokasi lesi yang dihasilkan oleh gesekan agitasi
cepat sel-sel yang berdekatan dan menyebabkan nekrosis dari tumor.
(Badar Bin Bilal Shafi, 2011)

II.7.2 Indikasi

Dalam pengobatan karsinoma hepatoseluler, indikasi untuk


menggunakan percutaneous radiofrequency ablation (PRFA) menjadi
lebih luas daripada operasi dan terapi intra-arteri. Indikasi penggunaan
PRFA adalah:

1. Karsinoma hepatoseluler pada tahap awal


2. Pengobatan primer untuk tumor berukuran kecil
3. Tumor primer hepar
4. Pengobatan pasien yang tidak dapat menjalani anestesi umum atau
tidak dapat menjalani operasi karena komorbiditas atau usia lanjut
5. Metastasis dari hepar, paling sering kolorektal, terutama jika pasien
tidak dapat menjalani operasi
6. Dapat digunakan untuk metastasis dari kanker payudara, kanker
tiroid, dan keganasan neuroendokrin
7. Pengobatan pasien yang memiliki hepatoma atau beberapa lesi
kecil dan sedang menunggu untuk transplantasi hepar
27

8. Lesi berulang dan progresif. (Badar Bin Bilal Shafi, 2011)

II.7.3 Kontraindikasi

1. Saluran empedu atau invasi pembuluh darah besar


2. Penyakit ekstrahepatik yang signifikan
3. Sirosis grade C pada anak atau infeksi aktif
4. Dekompensasi penyakit hepar
5. Lesi yang sulit dijangkau dengan elektroda atau ketika penempatan
elektroda terganggu (dalam kasus tersebut, operasi terbuka lebih
disarankan)
6. Tumor yang meliputi> 40% dari volume hepar (tumor ukuran ini tidak
dapat diablasi karena fungsi hepar kiri setelah percutaneous
radiofrequency ablation [PRFA] mungkin tidak cukup untuk
mengkompensasi fungsi hepar.)
7. Hubungan anatomis dengan struktur vital seperti pembuluh dan organ
yang berdekatan
8. Lesi yang lebih besar dari 5 cm (kontraindikasi relatif)
9. PRFA harus digunakan dengan hati-hati untuk lesi lebih besar dari 5
cm.
10. Pasien dengan lesi metastasis lebih besar dari 3 cm (lesi ini tidak
optimal untuk PRFA, karena risiko kekambuhan tinggi.
11. Besar atau banyak tumor (beberapa studi merekomendasikan PRFA
sebagai pilihan jika terdapat kurang dari 3 tumor dan masing-masing
lesi berukuran kurang dari 3 cm). (Badar Bin Bilal Shafi, 2011)

II.7.4 Anestesi

Percutaneous radiofrequency ablation (PRFA) dapat dilakukan


dengan anestesi lokal dan sedasi ringan. Anestesi umum juga dapat
digunakan. Modalitas anestesi tergantung pada pilihan pasien dan
preferensi operator. Dalam PRFA, anestesi lokal disuntikkan ke dalam
lokasi dimana akan dilakukan sayatan, dan pasien dibius dengan injeksi
intravena. Jika anestesi umum tidak digunakan, rasa tidak nyaman atau
nyeri dapat dirasakan ketika prosedur dilakukan. (Badar Bin Bilal Shafi,
2011)
28

II.7.5 Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk pencitraan percutaneous
radiofrequency ablation (PRFA) tergantung pada modalitas yang
digunakan. Hal ini dapat mencakup peralatan yang diperlukan untuk
ultrasonografi, CT, atau MRI. Peralatan RFA itu sendiri memiliki 3
komponen utama.
1. Jarum elektroda
2. Sebuah generator listrik
3. Bantalan Grounding. (Badar Bin Bilal Shafi, 2011)

Jarum elektroda tersedia dalam 2 bentuk, yaitu:

1. Simple straight needle

Gambar 2.14 Simple straight needle

2. Straight needle yang memiliki beberapa lengkungan, elektroda


yang dapat ditarik yang disimpan di dalam jarum sampai
ujungnya diposisikan dalam tumor. Ketika jarum benar
diposisikan, sebuah pendorong di pusat jarum maju sehingga
elektroda membentang dari ujung jarum saat sepenuhnya
dipanjangkan. Elektroda ini menyerupai payung terbuka. (Badar
Bin Bilal Shafi, 2011)
29

Gambar 2.15 Straight needle

II.7.6 Komplikasi
Banyak studi telah mengkonfirmasi bahwa percutaneous
radiofrequency ablation (PRFA) adalah prosedur yang relatif berisiko
rendah dengan rendahnya tingkat morbiditas dan mortalitas. Beberapa
komplikasi yang berhubungan dengan PRFA. (Badar Bin Bilal Shafi,
2011)
Banyak faktor yang dianggap berhubungan dengan penyebab
komplikasi utama, faktor-faktor ini termasuk ukuran tumor, jumlah sesi
ablasi, jenis elektroda (tunggal atau cluster), dan pengalaman operator.
(Badar Bin Bilal Shafi, 2011)
Pasien dapat mengalami ketidaknyamanan segera setelah prosedur
dilakukan; ini biasanya dapat diantisipasi dengan analgesia ringan. Pasien
juga mungkin mengalami rasa sakit tertunda sebagai bagian dari sindrom
post-ablasi. (Badar Bin Bilal Shafi, 2011)
Komplikasi lain kurang dari 5%. Kemungkinan komplikasi meliputi:
1. Nyeri bahu
2. Kolesistitis (biasanya mereda setelah beberapa minggu)
3. Kerusakan pada saluran empedu, sehingga obstruksi bilier
4. Kerusakan usus
5. Pendarahan
6. Capsular hematoma
7. Hemoperitoneum
8. Pneumotoraks
9. Hemothorax / hidrotoraks
10. Efusi pleura
30

II.8 Biopsi Arteri Temporal

II.8.1 Pengertian

Arteritis temporal (2008 Klasifikasi Internasional Penyakit [ICD]-


9-CM 446,5) adalah peradangan yang mempengaruhi arteri vaskulopati
menengah dan berukuran besar. Juga disebut sebagai arteritis sel raksasa ,
gangguan ini mempengaruhi karakteristik cabang arteri
karotid. Sementara cabang temporal yang dangkal dari arteri karotid
sangat rentan, arteri di situs manapun bisa terkena. Arteritis temporal
didefinisikan oleh panarteritis granulomatous dengan infiltrat sel
mononuklear dan pembentukan sel raksasa dalam dinding pembuluh
darah. Karakteristik histologis menegaskan diagnosis arteritis temporal
dalam spesimen biopsi dari arteri temporal (TA). (Andrew, 2012)

II.8.2 Indikasi

a. Usia onset lebih tua dari 50 tahun


b. Sakit kepala atau nyeri kepala lokal
c. Kelembutan untuk palpasi atau pulsasi arteri temporal berkurang
d. Tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) lebih besar dari 50 mm / jam
(Andrew, 2012)
II.8.3 Kontraindikasi

Biopsi merupakan kontraindikasi pada pasien yang telah


menjalani pengobatan jangka panjang dengan terapi
glukokortikoid. Sementara tidak ada waktu yang tepat untuk biopsi
arteri temporal dalam situasi ini, data menunjukkan bahwa hasil
diagnostik sangat menurun setelah 30 hari terapi kortikosteroid.
Sebuah kontraindikasi relatif karena telah memiliki hasil
negatif dari biopsi yang benar dilakukan. Tingkat biopsi
kontralateral positif dalam kasus ini adalah sekitar 1%.
II.8.4 Anestesi

Temporal arteri biopsi adalah prosedur yang dapat dilakukan


di ruang operasi, dengan atau tanpa bantuan ahli anestesi.
Kebanyakan dokter setuju bahwa prosedur dapat dengan aman
31

dilakukan dengan anestesi lokal saja. Jika seorang pasien tidak


dapat mentoleransi prosedur dengan hanya anestesi lokal, anestesi
dipantau perawatan dengan bantuan seorang ahli anestesi yang
terlatih mungkin diperlukan.
Metode yang disukai penulis anestesi untuk biopsi arteri
temporal hanya menggunakan anestesi lokal. Campuran 1:1
lidokain 1% dengan 1:200.000 epinefrin dan bupivakain 0,5%
dengan 1:200.000 epenefrin menyediakan anestesi jangka panjang
yang baik.
Untuk memastikan bahwa seluruh area dibius, melakukan
blok cincin dengan radius 3-cm dari situs sayatan. Blok cincin harus
dilakukan setelah menandai sayatan dan jalan arteri temporal yang
dangkal, seperti epinefrin akan menyebabkan kejang arteri.
Sebuah tambahan yang berguna adalah untuk menerapkan
krim anestesi topikal (misalnya, liposomal lidokain kream 4%
[ELA-max]) 20 menit sebelum penyuntikan lidokain. (Andrew,
2012)

II.8.5 Posisi operasi

a. Pasien harus ditempatkan dalam posisi terlentang dengan bantal di


bawah lututnya dan kepala ditinggikan 45 derajat. Posisi ini relatif
nyaman dan mencegah kongesti vena di bidang operasi, yang dapat
mempersulit operasi.
b. Pencahayaan yang memadai sangat penting, dan posisi lampu bedah di
atas kepala.
II.8.6 Komplikasi

a. Risiko serius biopsi termasuk cedera pada cabang-cabang saraf


auriculotemporal atau wajah, perdarahan, infeksi luka, dan
pembentukan hematoma.
b. komplikasi kecil lebih umum termasuk insisional alopesia, pelebaran
bekas luka. (Andrew, 2012)
32

II.9 Kanker Payudara

II.9.1 Diagnosis

II.9.1.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditujukan terutama untuk


mengidentifikasi identitas penderita, faktor risiko, perjalanan penyakit,
tanda dan gejala kanker payudara, riwayat pengobatan dan riwayat
penyakit yang pernah di derita. Setelah faktor risiko untuk kanker
payudara ditentukan, pasien kemudian diperiksa untuk simptom yang
spesifik. Nyeri payudara dan nipple discharge adalah keluhan yang
sering, tapi tidak selalu petanda kanker, kelainan jinak seperti
fibrocystic disease dan papiloma intraduktal juga bisa bergejala seperti
ini. Malaise, nyeri tulang dan kehilangan berat badan adalah keluhan
yang jarang, tapi merupakan indikasi adanya metastasis jauh.

Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematik baik inspeksi


ataupun palpasi. Inspeksi dilakukan dengan posisi duduk dan pakaian
atas/bra dilepas. Identifikasi dilakukan saat lengan pasien disamping,
lengan di atas kepala dan lengan kacak pinggang. Palpasi parenkim
dilakukan dengan posisi pasien supine dan ipsilateral lengan diletakan
di belakang kepala. Jaringan subareolar dan masing-masing kuadran
dari kedua payudara dipalpasi secara sistematis, menyeluruh dan
overlap baik secara sirkuler ataupun radier. Selain pemeriksaan pada
payudara juga harus dilakukan pemeriksaan pada aksila, infraklavikula,
supraklavikula dan organ/tempat kemungkinan metastase jauh.
(Suyatno, 2010)

Adapun tanda dan gejala kanker payudara:

1. Ada benjolan yang keras di payudara dengan atau tanpa rasa


sakit.
2. Bentuk putting berubah (retraksi nipple atau terasa sakit teru
menerus) atau putting mengeluarkan cairan/darah (nipple
discharge).
33

3. Ada perubahan pada kulit payudara diantaranya berkerut seperti


kulit jeruk (peau d’orange), melekuk ke dalam (dimpling) dan
borok (ulcus).
4. Adanya benjolan-benjolan kecil di dalam atau kulit payudara
(nodul satelit).
5. Ada luka putting di payudara yang sulit sembuh (paget disease).
6. Payudara terasa panas dan, memerah dan bengkak.
7. Terasa sakit/nyeri (bisa juga ini bukan sakit karena kanker).
8. Benjolan yang keras itu tidak bergerak (terfiksasi) dan biasanya
pada awal-awalnya tidak terasa sakit.
9. Apabila benjolan itu kanker, awalnya biasanya hanya pada satu
payudara.
10. Adanya benjolan di aksila dengan atau tanpa masa di payudara.
Pemeriksaan ini (anamnesis dan pemeriksaan fisik) mempunyai
akurasi untuk membedakan ganas atau jinak sekitar 60 %-80% (eror
20%-40%) oleh karenanya memerlukan pemeriksaan tambahan.
(Suyatno, 2010)

II.9.1.2 Ultrasonografi (USG) payudara


USG secara umum diterima sebagai metode terpilih untuk
membedakan masa kistik dengan solid dan sebagai guide untuk biopsi.
Penggunaan USG untuk tambahan mammografi meningkatkan
akurasinya sampai 7,4%. Namun USG tidak dianjurkan untuk
digunakan sebagai modalitas skrining oleh karena didasarkan penelitian
ternyata USG gagal menunjukkan efikasinya. Peran USG lain adalah
untuk evaluasi metastasis ke organ viseral. (Suyatno, 2010)

II.9.1.3 Mammografi
Mammografi memegang peranan besar dalam deteksi dini kanker
payudara, sekitar 75% kanker terdeteksi paling tidak satu tahun
sebelum ada gejala atau tanda. Lesi dengan ukuran 2mm sudah dapat
dideteksi dengan mammografi. Akurasi mammografi untuk prediksi
melignansi adalah 70%-80%. Namun akurasi pada pasien usia muda
(kurang dari 30 tahun) dengan payudara yang padat kurang akurat.
Terdapat 2 tipe pemeriksaan mammografi: skrining dan diagnosis.
Skrining mammografi dilakukan pada wanita yang asimptomatik.
Deteksi dini dari kanker payudara yang masih kecil memungkinkan
34

pasien untuk mendapatkan kesuksesan terapi dengan kualitas hidup


yang lebih baik. Skrining mammografi direkomendasikan setiap 1-2
tahun untuk wanita usia 40 tahun dan setiap tahun untuk usia 50 tahun
atau lebih. Pada kondisi tertentu direkomendasikan sebelum usia 40
tahun (misal wanita dengan keluarga tingkat pertama menderita kanker
payudara). Untuk skrining mammografi, masing-masing payudara
dibuat dalam posisi cranio-caudal (CC) dan medo-lateral oblique
(MLO).
Mammografi diagnosis dilakukan pada wanita yang simptomatik,
tipe ini lebih rumit dan waktu lebih lama dibanding mammografi
skrining dan digunakan untuk menentukan ukuran yang tepat, lokasi
abnormalitas payudara, untuk evaluasi jaringan sekitar dan kelenjar
getah bening sekitar payudara. Untuk mammografi diagnosis, masing-
masing payudara difoto dalam posisi cranio-caudal (CC), medo-lateral
oblique (MLO) dan dapat ditambah dengan latero-medial (LM) atau
medio-lateral (ML).
Protocol PERABOI 2003 merekomendasikan pemeriksaan
mammografi untuk tumor dengan ukuran kurang dari 3 cm tapi MD.
Anderson Cancer Centre menganjurkan untuk melakukan mammografi
pada ukuran berapapun dengan tujuan untuk skrining adanya lesi
nonpapble pada kedua payudara (ipsilateral dan kontralateral) dan
untuk mengevaluasi risiko malignansi lesi tumor. Gambaran
mammografi untuk lesi ganas dibagi atas tanda primer dan sekunder.
Tanda primer berupa:
a) Densitas yang meninggi pada tumor.
b) Batas tumor yang tidak teratur oleh karena adanya proses
infiltrasi ke jaringan sekitarnya atau batas yang tidak jelas
(comet sign).
c) Gambaran transusen disekitar tumor.
d) Gambaran stelata.
e) Adanya mikroklasifikasi sesuai kriteria Egan.
f) Ukuran klinis tumor lebih besar dari radiologis.

Tanda sekunder:

a) Retraksi kulit atau penebalan kulit.


b) Bertambahnya vasskularisasi.
35

c) Perubahan posisi putting.


d) Kelenjar getah bening aksila (+).
e) Keadaan daerah tumor dan jaringan fibroglandular tidak
teratur.
f) Kepadatan jaringan subareolar yang berbentuk utas.

Gambaran kalsifikasi yang diduga ganas menurut kriteria Egan


adalah kalsifikasi dengan lokasi di parenkim payudara, ukuran kurang
dari 0,5 mm, jumlah lebih dari 5 dan bentuk stelata.
Pada lesi nonpalpable gambaran mammografi dapat dibagi
menjadi 2 kategori: mikrokalsifikasi dan perubahan densitas.
Mikrokalsifikasi dapat berkelompok (clustered) atau menyebar
(scattered). Perubahan densitas mencakup masa terpisah-pisah (dicsrete
masses).
Distorsi arsitektur, dan asimetri. Gambaran mammografi yang
paling prediktif untuk malignansi adalah masa berspekula (stelata),
mikrokalsifikasi berkelompok dan mikrokalsifikasi di dalam massa.
Sistem pelaporan hasil mammografi adalah mengacu pada sistem
yang dimiliki ACR (American College of Radiology) yaitu BIRADS
(Breast Imaging Reporting and Data System). Sistem pelaporan ini
disamping memberikan informasi hasil pemeriksaan juga tentang
rencana tindakan yang sesuai. Negatif palsu mammografi menurut data
dari Breast Cancer Detection Demonstration Project berkisar 8%-10%.
Satu sampai tiga persen wanita yang secara klinis suspek maligna,
mammogram dan sonogram-nya negatif masih mungkin memiliki
kanker payudara. (Suyatno, 2010)

II.9.1.4 MRI (Magnetic resonance imaging)


MRI merupakan instrumen yang sensitf untuk deteksi kanker
payudara dan juga sangat berguna dalam skrining pasien usia muda
dengan densitas payudara yang padat yang memiliki risiko kanker
payudara yang tinggi. Sensitivitas MRI mencapai 98% tapi
spesifisitasnya rendah, biaya pemeriksaan yang lama oleh karena itu
MRI belum menjadi prosedur rutin. (Suyatno, 2010)

II.9.1.5 Biopsi
36

Biopsi pada payudara memberikan informasi sitologi atau


histopatologi.
Ada dua kelompok jenis biopsi yaitu:
a. biopsi tertutup: biopsi jarum,biopsy care, dan mammotome.
b. biopsi terbuka: dilakukan dengan operasi seperti biasa
dapat berupa pengangkatan seluruh benjolannya (eksisi) atau
sebagian saja (insisi).
FNAB (Fine needle Aspiration Biopsy) merupakan salah satu
prosedur diagnosis awal, untuk evaluasi massa di payudara.
Pemeriksaan ini sangat berguna terutama untuk evaluasi lesi kistik.
Masa persisten atau rekuren setelah aspirasi berulang adalah indikasi
untuk biopsi terbuka (insisi atau eksisi). Namun FNAB merupakan
biopsi yang memberikan informasi sitologi, belum menjadi standar
baku (gold standard) untuk diagnosis definitif. Bila mampu dianjurkan
triple diagnosis (klinis, mammografi, FNAB).
FNAB yang diambil hanya sekelompok sel-sel karena lubangnya
kecil, tetapi pada biopsi lain yang terambil berupa jaringan yang lebih
banyak. Makin banyak jaringan yang terambil penentuan diagnosis
lebih akurat, tetapi ada kerugian lain yaitu luka bekas tindakan menjadi
lebih besar.
Biopsi yang memberikan informasi histopatologi adalah biopsi
core, biopsi insisi, biopsi eksisi, potong beku dan ABBI (Advence
Breast Biopsy Instrument) hasil biopsi ini merupakan standar baku
untuk diagnostic dna terapi. Masing-masing biopsi ini mempunyai
keuntungan dan kerugian. Biopsi eksisi direkomendasikan untuk tumor
ukuran kurang lebih 3 cm atau inoperable. Potong beku dilakukan saat
operasi, teknik pengambilan semen bisa eksisi atau insisi. Dari biospi
ini dapat sekaligus dilakukan pemeriksaan immunohistokimia dari
estrogen reseptor (ER), progesterone reseptor (PR), CrbB2, p53 dna
cathepsin D. (Suyatno, 2010)
Disamping diagnosis histopatologi juga ditentukan grading
histopatologi kanker payudara. Grading ini ditentukan berdasarkan
tubular formation, nuclear pleomorfism dan mitotic activity.
Berdasarkan jumlah skor dari 3 faktor tersebut, grading kanker
37

payudara terbagi atas: well differentiated (grade 1), moderately


differentiated (garde 2) dan poorly differentiated (garde 3).

Biopsi payudara adalah prosedur di mana sebagian atau seluruh


dari pertumbuhan payudara yang abnormal akan diangkat dan diperiksa,
biasanya untuk memeriksa adanya kanker. Sampel diambil melalui
jarum atau diangkat melalui prosedur bedah. Sampel kemudian
diperiksa dan dievaluasi di bawah mikroskop oleh ahli patologi untuk
mengidentifikasi jaringan non-kanker (jinak) atau kanker (ganas).
Istilah yang digunakan untuk merujuk pertumbuhan abnormal sebelum
dan setelah diagnosis yaitu benjolan, massa, lesi, dan tumor. (Stöppler,
2008)

a. Tujuan Biopsi Mammae


Tujuan dari biopsi payudara adalah untuk menentukan apakah
massa abnormal tersebut adalah kanker atau tidak dan, jika kanker,
apa jenisnya. Ketika kanker tidak terdeteksi, maka dapat ditentukan
diagnosis apakah massa tersebut jinak atau berbahaya. (Stöppler,
2008)
b. Praktisi Yang Terlibat Dalam Prosedur Biopsi Mammae
Banyak dokter dan praktisi kesehatan dapat terlibat dalam
evaluasi apakah seorang wanita memerlukan biopsi payudara atau
tidak. Misalnya, kelainan payudara selama pemeriksaan fisik
mungkin diperhatikan oleh seorang dokter keluarga, internis, dokter
kandungan, atau perawat. Pasien sendiri sering menjadi yang
pertama yang mendeteksi kelainan pada payudara mereka. Spesialis
radiologi dapat mendeteksi kelainan melalui mammogram, serta
studi pencitraan lainnya. Spesialis anestesi kadang-kadang
diperlukan selama prosedur pembedahan. Patolog memeriksa dan
mengidentifikasi bawah mikroskop jenis sel dalam sampel dan
menentukan apakah terdapat kemungkinan keganasan atau tidak.
(Stöppler, 2008)
38

c. Indikasi Dilakukannya Biopsi Mammae

Gambar 2.16 Kanker Mammae (Stöppler, 2008)

Siapapun, perempuan atau laki-laki, dengan pertumbuhan


payudara yang abnormal atau dengan gejala lain dari kanker
payudara harus menjalani biopsi. Sembilan puluh sembilan
persen dari semua kanker payudara terjadi pada wanita, namun
pria bisa juga dapat mengalami kanker payudara (laki-laki
dengan kelainan genetik sindrom Klinefelter, yang
berhubungan dengan meningkatnya perkembangan payudara,
memiliki sekitar risiko yang sama seperti perempuan terkena
kanker payudara). (Stöppler, 2008)

Suatu pertumbuhan payudara yang abnormal dapat


ditemukan oleh pemeriksaan diri pasien, pemeriksaan klinis
dokter, atau prosedur skrining seperti mammogram. Pasien
yang menemukan benjolan di payudara harus berkonsultasi
dengan seorang dokter untuk dilaukan pengujian. Pasien juga
harus berkonsultasi pada dokter jika menemukan benjolan di
ketiak atau di atas tulang selangka. Pasien harus berkonsultasi
jika mereka memiliki:
1. kulit payudara merah atau teriritasi,
2. kulit bersisik payudara,
3. cekungan pada kulit payudara,
4. pembengkakan kulit payudara,
5. adanya discharge selain air susu,
39

6. retraksi atau inversi puting,


7. puting gatal,
8. perubahan dalam ukuran atau bentuk payudara, atau
9. nyeri pada payudara. (Stöppler, 2008)
Penting untuk diingat bahwa tanda-tanda dan gejala tidak
selalu menunjukkan adanya kanker. Biopsi payudara dapat dilakukan
di klinik dokter, fasilitas rawat jalan, atau ruang operasi rumah sakit.
Pengaturan tergantung pada ukuran dan lokasi dari pertumbuhan
massa payudara, kesehatan umum pasien, dan jenis biopsi yang
dilakukan. Karena dokter bisa melakukan biopsi dalam waktu
singkat dengan risiko minimal tanpa komplikasi serius, pasien
biasanya tidak perlu dirawat di rumah sakit kecuali didapatkan
masalah kesehatan mendasar yang membutuhkan pemantauan lebih
lanjut. (Stöppler, 2008)

d. Prosedur Biopsi Mammae

Gambar 2.17 Kanker Mammae (Stöppler, 2008)

Pasien harus memberitahu dokter bila muncul massa,


bagaimana ukurannya pada saat penemuan dibandingkan dengan
ukuran yang sekarang, dan di mana letaknya. Pasien juga harus
menguraikan riwayat keluarga kanker payudara, serta riwayat pribadi
adanya masalah pada payudara. (Stöppler, 2008)
40

Seorang dokter menegaskan diagnosis melalui riwayat medis,


pemeriksaan klinis yang meliputi palpasi payudara, dan menafsirkan
hasil mammogram dan kadang-kadang pencitraan lain seperti USG
atau MRI. USG mengirimkan gelombang suara yang memantul
kembali ke penerima yang dapat merekam hasil pencitraan di layar
komputer untuk memvisualisasikan struktur interior. Teknik ini dapat
membantu membedakan antara kista dan pertumbuhan yang solid.
Dokter juga dapat mendiagnosis melalui analisis laboratorium
melalui nipple discharge (selain susu) untuk melihat adanya sel-sel
kanker. Setelah mengkonfirmasi kehadiran pertumbuhan yang
mencurigakan, barulah pasien dibiopsi. (Stöppler, 2008)
Untuk biopsi non-bedah, pasien mungkin tidak perlu anestesi
sama sekali atau hanya anestesi lokal. Kadang-kadang, pasien
menerima sedativa dengan anestesi lokal. Untuk biopsi bedah, pasien
dapat menerima anestesi lokal (dengan atau tanpa sedativa) atau
anestesi umum. Pasien yang membutuhkan anestesi umum harus
menjalani puasa 8 sampai 12 jam sebelum menjalani biopsi.
(Stöppler, 2008)
Prosedur biopsi payudara meliputi:

1. fine needle aspiration biopsy (FNAB),


2. core needle biopsy (CNB),
3. vacuum-assisted breast biopsy, dan
4. excision biopsy (bedah) (Stöppler, 2008)

1. Fine needle aspiration biopsy (FNAB) dapat dilakukan dengan


beberapa cara berbeda:
a) Fine needle aspiration biopsy (FNAB) untuk pertumbuhan
teraba: Pertumbuhan teraba adalah salah satu yang bisa
dirasakan. Pasien biasanya duduk sementara dokter
memasukkan jarum kecil dengan jarum suntik untuk menarik
cairan dan sel-sel dari massa untuk pengujian. Untuk
memandu jarum ke situs, dokter hanya mempalpasi daerah
yang abnormal. Ketika jarum mencapai massa, sampel
diambil keluar dengan jarum suntik. Dokter mengulangi
41

prosedur ini beberapa kali. Jika massa adalah kista, sampel


terutama akan terdiri dari cairan dan kista dapat kolaps. Jika
massa solid, sampel akan terdiri terutama dari sel-sel
jaringan. (Stöppler, 2008)
Dengan menganalisis sampel, dokter mungkin dapat
menentukan bahwa massa berasal dari kista dan hanya
membuang kista. Dalam kasus lain, cairan dan jaringan
sampel ditempatkan pada slide dan kemudian dianalisis di
laboratorium oleh ahli patologi. (Stöppler, 2008)
b) FNAB untuk pertumbuhan tidak teraba: Ketika pertumbuhan
massa terlalu kecil atau dalam untuk, dokter harus mencari
dengan salah satu dari beberapa teknik pencitraan. Pertama,
pasien berbaring menghadap ke bawah di atas meja dengan
payudara ditangguhkan melalui sebuah lubang. Dengan
mammografi stereotactic, mammogram dari situs payudara
yang abnormal diambil dari sudut yang berbeda untuk
membentuk tiga-dimensi gambar virtual (stereotactic) yang
tepat di titik-titik lokasi daerah yang abnormal. Komputer
kemudian menggunakan motor untuk memandu jarum
berongga kecil untuk mengambil sampel. Sampel ditarik
kemudian dianalisis untuk mendeteksi kanker. USG dan MRI
adalah teknik pencitraan lain yang dapat digunakan untuk
memandu biopsi payudara. (Stöppler, 2008)

2. Core needle biopsy (CNB) juga bisa dilakukan dengan beberapa


cara berbeda:

a) Core needle biopsy (CNB) untuk pertumbuhan teraba:


Prosedur ini mirip dengan FNAB untuk pertumbuhan teraba
kecuali bahwa bahwa jarum yang digunakan memiliki
diameter yang lebih luas dan dilengkapi dengan pemotong
yang menghilangkan inti jaringan hingga setengah inci.
Keuntungan utama dari prosedur ini adalah bahwa sampel
didapat yang lebih besar daripada FNAB dan dengan
42

demikian meningkatkan kemungkinan membuat analisis


laboratorium yang akurat.

b) CNB untuk pertumbuhan tak-teraba: Prosedur ini juga


menggunakan jarum yang luas dengan cutter yang
menghilangkan inti jaringan yang cukup besar untuk
meningkatkan akurasi analisis laboratorium. Namun, karena
pertumbuhan yang jauh di payudara atau tidak teraba,
pencitraan stereotactic, USG, atau MRI digunakan untuk
mencari keabnormalan. (Stöppler, 2008)

3. Biopsi payudara dibantu vakum menggunakan alat khusus dan


bimbingan pencitraan untuk mengambil contoh jaringan payudara
melalui sayatan tunggal, kecil di kulit. Teknik ini memungkinkan
ahli bedah untuk mengangkat jaringan lebih melalui sayatan
tunggal daripada yang mungkin dengan inti biopsi tradisional dan
merupakan prosedur yang kurang invasif dibandingkan biopsi
bedah terbuka. (Stöppler, 2008)

Biopsi payudara dibantu vakum melibatkan penempatan


probe biopsi menggunakan studi pencitraan radiologi untuk
bimbingan. Stereotactic mammografi, USG, dan MRI telah
berhasil digunakan untuk mengidentifikasi daerah abnormal untuk
sampel oleh biopsi payudara dibantu vakum. Setelah probe biopsi
telah diposisikan, vakum menarik jaringan payudara melalui
sebuah lubang di probe ke dalam bagian sampling perangkat.
Kemudian alat potong berputar di instrumen dan mengambil
sampel jaringan, yang dilakukan melalui pemeriksaan biopsi
untuk wadah jaringan.

Para ahli bedah atau ahli radiologi kemudian merubah


tombol kontrol pada probe biopsi yang merubah wadah sampel ke
posisi baru. Prosedur ini diulang sampai semua bidang yang
diinginkan telah diisi sampel. Dengan cara ini, sampel dapat
43

diambil di seluruh daerah yang abnormal melalui penyisipan


probe biopsi tunggal. Dengan biopsi inti tradisional, sampling
beberapa daerah akan melibatkan insersi berulang dari instrumen
biopsi. (Stöppler, 2008)

Biopsi payudara dibantu vakum dilakukan dengan anestesi


lokal dan meninggalkan sayatan kecil yang tidak memerlukan
jahitan untuk penutupan. Dibutuhkan kurang dari satu jam untuk
melakukan prosedur, dan pasien biasanya dapat kembali ke
kegiatan normal segera setelah prosedur. (Stöppler, 2008)

4. Excision biopsy juga bisa dilakukan dalam berbagai cara:


a) Biopsi bedah dari pertumbuhan teraba (lumpectomy):
Prosedur ini menghilangkan sebagian atau seluruh dari
pertumbuhan payudara, atau benjolan. Dokter membuat
sayatan satu atau dua inci (sekitar 2,5 sampai 5 cm) untuk
menemukan dan mengambil sampel. Jika benjolan kecil dan
berukuran atau kurang dari satu inci (2,5 cm), dokter
biasanya mengambil seluruh benjolan untuk pengujian. Jika
benjolan besar, dokter biasanya hanya menghilangkan
sebagian untuk pengujian. Jika kanker ditemukan, sisa
benjolan dapat dihapus pada saat biopsi atau di lain waktu.
(Stöppler, 2008)
Dokter menutup sayatan dengan jahitan atau klip yang
tetap di tempat selama sekitar satu minggu. Pasien yang
menerima anestesi umum akan membutuhkan sekitar satu
jam untuk pulih dari rasa kantuk setelah operasi. (Stöppler,
2008)
b) Bedah biopsi untuk benjolan tak teraba: Prosedur ini mirip
dengan lumpectomy kecuali bahwa pertumbuhan dideteksi
oleh mammografi atau studi pencitraan lainnya dan kemudian
"ditandai" untuk kemudian dilakukan prosedur. Dokter
memasukkan jarum dengan kawat berkait di ujungnya ke
dalam payudara, sambil menggunakan gambar USG atau CT
44

sebagai panduan. Setelah penahan kawat mencapai benjolan,


dokter mencabut jarum dan melakukan operasi. Pilihan lain
adalah dengan menyuntikkan pewarna untuk menandai
tempat daripada menggunakan kawat bengkok. (Stöppler,
2008)

e. Hasil Biopsi Mammae


Massa jinak yang paling umum pada payudara adalah kista,
intraductal papillomas (kecil seperti kutil tumbuh dan terdapat di
atas permukaan jaringan), dan benjolan yang terbentuk karena
nekrosis lemak. Fibroadenoma adalah jenis yang paling umum dari
tumor jinak payudara (non-kanker) dan ditemukan pada wanita
muda. (Stöppler, 2008)

f. Prognosis biopsi mammae


Pasien biasanya tidak merasakan sakit sebelum atau selama
prosedur kecuali untuk rasa nyeri akibat suntikan anestesi. Setelah
prosedur, beberapa pasien mungkin mengalami rasa sakit dan nyeri.
Biasanya, obat over-the-counter cukup untuk meringankan
ketidaknyamanan. Risiko komplikasi, seperti infeksi dan
perdarahan, kecil untuk prosedur non-bedah dan sedikit lebih tinggi
untuk prosedur bedah. Umumnya, biopsi non-bedah tidak
meninggalkan bekas di kulit, tidak meninggalkan bekas luka
internal, dan risiko komplikasi yang minimal. Namun, biopsi non-
bedah tidak selalu seakurat biopsi bedah. Untuk alasan ini,
beberapa pasien yang menjalani biopsi non-bedah juga harus
menjalani tindak lanjut biopsi bedah. (Stöppler, 2008)

II.9.1.6 Bone Scan, Foto Toraks, USG Abdomen


Pemeriksaan bone scan bertujuan untuk evaluasi metastasis di
tulang. Pemeriksaan dianjurkan pada kasus advanced local disease,
lymfe node metastases, distant metastases dan ada symptom pada
tulang.
PERABOI merekomendasikan pemeriksaan ini bila mana sitologi
sangat mencurigai pada lesi di atas 5 cm. Foto toraks dan USG
abdomen rutin dilakukan untuk melihat adanya metastasis di paru,
45

pleura, mediastinum dan organ visceral (terutama hepar).


(Stoppler,2008)

II.9.1.7 Pemeriksaan Laboratorium dan Marker


Pemeriksaan laboratorium darah yang dianjurkan adalah darah
rutin, alkaline phospatase, SGOT, SGPT dan tumor kanker. Kadar
alkaline phospatase yang tinggi dalam darah mengindikasikan adanya
metastasis ke liver, saluran empedu, dan tulang. SGOT dan SGPT
merupakan gambaran fungsi liver, kadar yang tinggi dalam darah
mengindikasikan kerusakan atau metastasis pada iver. Tumor marker
untuk kanker payudara yang dianjurkan American Society of Clinical
Oncology adalah carcinoembryonic antigen (CEA), cancer antigen
(CA) 15-3, dan CA 27,29. Pemeriksaan ini sensitif tapi tidak spesifik
oleh karena itu dianjurkan untuk follow up. Pemeriksaan genetika
BRCA-1 dan BRCA-2 dianjurkan pada pasien dengan kelurga tingkat
pertama menderita kanker payudara atau ovarium. (Stoppler,2008)

II.9.2 Penatalaksanaan
Pengobatan kanker payudara bertujuan untuk mendapatkan
kesembuhan yang tinggi dengan kualitas hidup yang baik. Oleh karena itu
terapi dapat bersifat kuratif atau paliatif. Terapi kuratif ditandai oleh
adanya periode bebas penyakit (disease free interval) dan peningkatan
harapan hidup (overall survival), dilakukan pada kanker payudara stadium
I, II dan III. Terapi paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
tanpa adanya periode bebas penyakit, umumnya dilakukan pada stadium
IV.
Adapun payudara secara umum meliputi: operasi, kemoterapi,
radioterapi, terapi hormonal, dan terapi target.(Stoppler,2008)
II.9.2.1 Operasi (Pembedahan)
Operasi merupakan modalitas utama untuk penatalaksanaan
kanker payudara. Berbagai jenis operasi pada kanker payudara adalah
Classic Radical Mastectomy (CRM), Modified Radical Mastectomy
(MRM), Skin Sparing Mastectomy (SSM), Nipple Sparing
Mastectomy (NSP) dan Breast Conserving Treatment (BCT). Jenis-
46

jenis ini memiliki indikasi dan keuntungan serta kerugian yang


berbeda-beda. (Stoppler,2008)
CRM adalah pengangkatan seluruh jaringan payudara beserta
tumor, nipple areola komplek, kulit di atas tumor, otot pektoralis
mayor dan minor serta diseksi aksila level I-III. Operasi ini dilakukan
bila ada infiltrasi tumor ke fasia atau otot pectoral tanpa ada
metastasis jauh. Jenis operasi ini mulai ditinggalkan karena morbiditas
tinggi sementara nilai kuratifitas sebanding dengan MRM. (Stoppler,
2008)
MRM adalah operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara
beserta tumor, nipple areola kompleks, kulit di atas tumor dan fascia
pectoral serta diseksi aksila level I-II. Operasi ini dilakukan pada
kanker payudara stadium dini dan lokal lanjut. Merupakan jenis
operasi yang banyak dilakukan. Kuratifitas sebanding dengan CRM.
(Stoppler, 2008)
SSM adalah operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara
beserta tumor dan nipple areola kompleks dengan mempertahankan
kulit sebanyak mungkin serta diseksi aksila level I-II. Operasi ini
harus disertai rekonstruksi payudara secara langsung yang umumnya
adalah TRAM flap (transverse rektus abdominis musculotaneus flap).
LD flap (latissimus dorsi flap) atau implant (silicon). Dilakukan pada
tumor stadium dini dengan jarak tumor ke kulit jauh (>2cm) atau
stadium dini yang tidak memenuhi syarat untuk BCT. (Stoppler, 2008)
NSP adalah operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara
beserta tumor dengan mempertahankan nipple areola kompleks dan
kulit serta diseksi aksila leve I-II. Operasi ini, juga harus disertai
rekonstruksi payudara secara langsung yang umumnya adalah TRAM
flap, LD flap atau implant. Dilakukan tumor stadium dini dengan
ukuran 2 cm atau kurang, lokasi ferifer, secara klinis NAC tidak
terlibat, kelenjar getah bening N0, histopatologi baik, dan potong beku
sub areola: bebas tumor. (Stoppler, 2008)
BCT adalah terapi yang komponennya terdiri dari lumpektomi
atau segmentektomi atau kuadrantektomi dan diseksi aksila serta
radioterapi. Jika terdapat fasilitas, lymphatic mapping dengan Sentinel
47

Lymph Node Biopsy (SLNB) dapat dilakukan untuk menggantikan


diseksi aksila. Terapi ini memberikan harapan hidup yang sama
dengan MRM namun rekurensinya lebih besar. Ada 3 syarat yang
harus terpenuhi dalam pemilihan jenis terapi ini yakni tepi sayatan
bebas tumor (dibuktikan dengan potong beku), radioterapi dapat
dilakukan dan kosmetik bisa diterima. Kontraindikasi yang tidak
memenuhi ke 3 syarat tersebut adalah:
1. Tumor yang multisentris, sehingga margin tidak bebas tumor
atau bebas tapi kosmetik tidak tercapai,
2. Mikrokalsifikasi yang luas/difus,
3. Riwayat radiasi sebelumnya,
4. Penyakit kolagen (SLE, Scleroderma) terutama yang
ketergantungan terhadap steroid,
5. Ukuran tumor yang besar sedangkan payudaranya kecil,
6. Letak sentral atau dibawah,
7. Pada wanita hamil trimester kedua atau ketiga tidak merupakan
kontra indikasi karena radiasi dapat ditunda hingga melahirkan,
8. Pada riwayat keluarga (+) dan pada umur muda ditakutkan
radiasi akan menimbulkan kanker sekunder.

II.9.2.2 Kemoterapi

Kemoterapi adalah penggunaan obat anti kanker (sitostatika)


untuk menghancurkan sel kanker. Obat ini umumnya bekerja dengan
menghambat atau mengganggu sintesa DNA dalam siklus sel.
Pengobatan kemoterapi bersifat sistemik, berbeda dengan
pembedahan atau radiasi yang lebuh bersifat lokal/setempat. Obat
sitostatika dibawa melalui aliran darah atau diberikan langsung ke
dalam tumor, jarang menembus blood-brain barrier sehingga obat ini
sulit mencapai sistem syaraf pusat. Ada 3 jenis setting kemoterapi
yakni adjuvant, neoadjuvant dan primer (paliatif). (Stoppler,2008)

Adjuvant kemoterapi adalah terapi tambahan setelah terapi


utama (pembedahan). Tujuannya adalah untuk mendapatkan
penyembuhan yang sempurna (kuratifitas ) dan memperlama
timbulnya metastasis. Adjuvant kemoterapi menurunkan 25%
mortalitas kanker payudara . indikasi adjuvant kemoterapi adalah:
48

1. Ukuran tumor lebih dari 2 cm,


2. Kelenjar getah bening aksila positif metastasis 1 atau lebih,
3. Kelenjar getah bening aksilla negative tapi penderita berusia
kurang dari 35 tahun atau grading tumor 2-3 atau terdapat
invasi vascular atau operekspresi HER2 atau ER/PR negatif.
Lama pemberian kemotearpi adjuvant menurut konsep terbaru, 6
bulan kemoterapi ekuivalen dengan durasi yang lebih lama. Namun,
masih kontroversi apakah 4 bulan kemoterapi (AC, 4 siklus) ekuivalen
dengan 6 bulan.
Kemoterapi primer (paliatif) diberikan pada stadium lanjut
(stadium IV) untuk mengendalikan gejala yang ditimbulkan oleh
penyakit kanker. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kualitas
hidup yang baik, control progresi tumor dan memperlama harapan
hidup.
Radioterapi (RT) merupakan modalitas terapi yang cukup
penting pada kanker payudara. Mekanisme utama kematian sel karena
radiasi adalah kerusakan DNA dengan gangguan proses repliculikasi.
RT menurunkan rekurrensi lokal dan berpotensi untuk menurunkan
mortalitas jangka panjang penderita kanker payudara. RT terhadap
payudara (dengan dan tanpa area supraclavikula) diindikasi pada BCT,
pasien dengan kelenjar getah aksila positif metastasis atau lebih,
kontrol lokal pada metastasis disease (perdarahan, ulkus, impending
fraktur), tumor besar (>5cm) dan batas sayatan dekat atau tidak bebas
tumor. (Stoppler, 2008)

II.9.2.3 Terapi Hormonal


Tujuan terapi hormonal pada kanker payudara adalah untuk
menghilangkan atau mengurangi estrogen dalam sel tumor (estrogen
deprivation). Tamoxifem merupakan adjuvant hormonal yang paling
banyak digunakan dan merupakan terapi standard untuk wanita
premenopause. Terapi ini menurunkan rekurrensi hingga 50%
menurunkan 28% mortalitas kanker payudara sedangkan ablasi
ovarium menghasilkan keuntungan yang serupa dengan kemoterapi
pada premenopause dengan reseptor hormone positif. ( Stoppler,
2008)
49

II.9.2.4 Terapai Biologik


Terapi ini ditujukan untuk mengganggu proses yang berperan
dalam pertumbuhan sel-sel kanker. Yang termasuk terapi ini untuk
kanker payudara adalah:
1. Transtuzumab (Herceptin)
2. Bevacizumab (Avastin)
3. lapatinib ditosylate (Tykerb)
Trastuzumab merupakan antibody monoclonal yang bekerja
langsung di receptor HER2/neu, dan terbukti secara signifikan
memiliki aktivitas anti tumor pada metastasic breast cancer dengan
overekspresi HER2/neu (25% dari kanker payudara). (Stoppler, 2008)
Bevacizumab merupakan monoclonal antibodi manusia yang
didesain untuk mem-block aksi dari vascular endothelial growth
factor (VEGF). VEGF disekresi sel maligna dan nonmaligna hipoksik
dan menstimulasi pembentukan pembuluh darah baru dengan
pengikatan reseptor spesifik.
Lapatinib merupakan monoclonal antibody yang mampu
menghambat dua reseptor dalam sel kanker (HER 1 dan HER 2).
(Stoppler,2008)

II.9.3 Penatalaksanaan Menurut Stadium


II.9.3.1 Stadium Nol (T0, DCIS, LCIS, Paget)
Ductal carcinoma in situ (DCIS), penanganan berdasarkan
VNIP ditentukan oleh jumlah score dari ukuran tumor, batas sayatan,
dan klasifikasi histopatologi.
Lobular carcinoma in situ (LCIS), cukup dilakukan observasi
dengan pemeriksaan klinis tiap 6-12 bulan dan mammografi tiap
tahun.
Paget, jika tidak disertai adanya tumor dilakukan mastektomi
simple dengan atau tanpa rekonstruksi. Jika disertai tumor
penatalaksanaannya sesuai stadium menurut ukuran tumornya.
(Stoppler, 2008)

II.9.3.2 Stadium Dini (Stadium I dan II)


Pembedahan berupa NSP, SSM, BNT dan MRM. Pemilihan
jenis pembedahan ini tergantung pada ukuran, lokasi dan jenis tumor
juga rekonstruksinya. (Stoppler, 2008)
50

II.9.3.3 Stadium Lokal Lanjut (Stadium IIIA, IIIB,IIIC)


Jika operable dilakukan MRM atau CRM kemudian dilanjutkan
adjuvant kemoterapi dan radioterapi. Jika inoperable diberikan
neoadjuvant kemoterapi 3 siklus kemudian dievaluasi responnya, jika
respon parsial atau respon komplet dilakukan MRM atau CRM. Bila
respon minimal atau progresif ganti regimen kemoterapi dengan
second line chemotherapy atau radioterapi. (Stoppler, 2008)

II.9.3.4 Stadium Lanjut (Stadium IV)


Penanganan bersifat paliatif tergantung lokasi dan kondisi
metastasis. Terapi utama adalah sistemik (kemoterapi, hormonal
terapi, targeted terapi dan bisphosphatase), pada kondisi tertentu terapi
lokal (radiasi dan pembedahan) juga diperlukan). (Stoppler,2008)

II.9.4 Komplikasi
a. Mual dan Muntah
Terjadi karena berkurangnya rasa kecap dan penyimpangan rasa
kecap (Dysgeusia), dapat diatasi dengan pemberian makanan berupa
cairan sehingga tidak banyak dikunyah dan sedikit saliva.
b. Rambut Rontok
Kehilangan rambut terjadi setelah 2-3 minggu kemoterapi pada
fase anagen, rambut menjadi tipis dan mudah rontok, keadaan ini akan
membaik setelah 2-3 bulan kemoterapi terakhir.
c. Mukositis Dan Xerostomia
Sebagian besar pasien yang mendapat kemoterapi (40%) akan
mengalami mukositis, sekitar 50% disertai nyeri yang memerlukan
pengobatan dan kemungkinan pemberian cairan infuse, biasanya
timbul pada hari ke 7 setelah pemberian kemoterapi.
d. Ekstarvasasi
Gejalanya bisa timbul belakangan berupa nyeri, eritem, nekrosis
luas pada kulit dan subkutis sehingga memerlukan eksisi dan skin
graft bahkan dapat dilakukan amputasi.
e. Komplikasi radiasi
 Nekrosis jaringan lunak payudara (mis. Nekrosis lemak), edema
payudara yang lama, fraktur iga (rata-rata 1%-3%).
 Penurunan mobilitas bahu (rata-rata 1%-3%).
51

 Brachial plexopathy dengan parestesia dan nyeri lengan (rata-


rata 1%-3%).
 Limfedema. (Stoppler, 2008)

II.9.5 Follow Up Dan Prognosis


Follow up dilakukan setiap 4 bulan untuk 1-2 tahun pertama, setiap 6
bulan untuk tahun ke 3-5, dan setiap 12 bulan setelahnya. Setiap bulan
direkomendasikan untuk SADARI (pemeriksaan payudara sendiri).
Prognosis tergantung jumlah kelenjar getah bening aksila yang
terlibat. Disamping kelenjar getah bening aksila faktor prognosis lain
adalah ukuran tumor, status hormone reseptor, grading histopatologi dan
yang baru adalah ekspresi HER 2/neu, EGF reseptor family, S phase, DNA
ploidy, angiogenesis, peritmoral lymphatic invasion dan perineural
invasion, cahtepsin D, dan obesitas. Ekspresi ER dan atau PR menandakan
prognosis bagus, dan memprediksikan respon baik terhadap terapi
hormonal. Overekspresi positif dan perilaku kanker agresif merupakan
marker respon terhadap trastuzumab dan kemoterapi (anthracycline dan
taxane), relatif resisten terhadap tamoxifen dan CMF. S-phase yang tinggi
mengindikasikan proliferasi yang cepat dan berhubungan dengan
prognosis yang buruk. Diploid tumor umumnya berhubungan dengan
prognosis baik. (Stoppler, 2008)

II.10 Kanker Serviks


II.10.1 Diagnosis
II.10.1.1 Sitologi

Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes Papanicolaou (tes Pap)


sangat bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini, tingkat ketelitiannya
melebihi 90% bila dilakukan dengan baik. Sitodiagnosis didasarkan pada
kenyataan, bahwa sel-sel permukaan secara terus menerus dilepaskan
oleh epitel dari permukaan traktus genitalis. Sel-sel yang dieksfoliasi atau
dikerok dari permukaan epitel serviks merupakan mikrobiopsi yang
memungkinkan kita mempelajari proses dalam keadaan seha dan sakit.
Sitologi adalah cara skrining sel-sel serviks yang tampak sehat dan tanpa
52

gejala untuk kemudian diseleksi. Kanker hanya dapat didiagnosis secara


histologik. Sitodiagnosis yang tepat tergantung pada sediaan yang
representatif, fiksasi dan pewarnaan yang baik, serta tentu saja
interpretasi yang tepat. Enam puluh dua persen kesalahan disebabkan
karena pengambilan sampel yang tidak adekuat dan 23 % karena
kesalahan interpretasi. Supaya ada pengertian yang baik antara dokter
dan laboratorium, maka informasi klinis penting sekali. Dokter yang
mengirim sediaan harus memberikan informasi klinis yang lengkap,
seperti usia, hari pertama haid terakhir, macam kontrasepsi (bila ada),
kehamilan, terapi hormon, pembedahan, radiasi, kemoterapi, hasil sito-
logi sebelumnya, dan data klinis yang meliputi gejala dan hasil
pemeriksaan ginekologik. Sediaan sitologi harus meliputi komponen
ekto- dan endoserviks. NIS lebih mungkin terjadi pada SSK sehingga
komponen endoserviks menjadi sangat penting dan harus tampak dalam
sediaan. Bila komponen endoserviks saja yang diperiksa kemungkinan
negatif palsu dari NIS kira-kira 5%. Untuk mendapatkan informasi
sitologi yang baik dianjur-kan melakukan beberapa prosedur. Sediaan
harus diambil sebelum pemeriksaan dalam; spekulum yang dipakai harus
kering tanpa pelumas. Komponen endoserviks didapat dengan
menggunakan ujung spatula Ayre yang tajam atau kapas lidi, sedangkan
komponen ektoserviks dengan ujung spatula Ayre yang tumpul. Sediaan
segera difiksasi dalam alkohol 96% selama 30 menit dan dikirim (bisa
melalui pos) ke laboratorium sitologi terdekat. (Wiknjosastro, 2008)
53

Gambar 2.18 Pap Smear (Wiknjosastro, 2008)

Gambar 2. 19 Hasil Pemeriksaan Sitologi Pap Smear Normal (Wiknjosastro,


2008)

Gambar 2.20 Hasil Pemeriksaan Sitologi Pap Smear Abnormal (Wiknjosastro,


2008)

II.10.1.2 Kolposkopi

Tes diagnostik lain ialah kolposkopi, dengan bantuan kolposkop


bila sarana memungkinkan. Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan
menggunakan kolposkop, suatu alat yang dapat disamakan dengan
sebuah mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di dalamnya
(pembesaran 6-40 kali). Kalau pemeriksaan sitologi menilai perubahan
morfologi sel-sel yang mengalami eksfoliasi, maka kolposkopi menilai
perubahan pola epitel dan vaskular serviks yang mencerminkan
perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang terjadi di jaringan
54

serviks. Hampir semua NIS terjadi di daerah transformasi, yaitu daerah


yang terbentuk akibat proses metaplasia. Daerah ini dapat dilihat
seluruhnya dengan alat kolposkopi, sehingga biopsi dapat dilakukan lebih
terarah. Jadi tujuan pemeriksaan kolposkopi bukan untuk membuat
diagnosis histologik tetapi menentukan kapan dan di mana biopsi harus
dilakukan. Pemeriksaan kolposkopi dapat mempertinggi ketepatan
diagnosis sitologi menjadi hampir mendekati 100%. (Wiknjosastro, 2008)

Gambar 2.21 Kolposkopi (Wiknjosastro, 2008)

II.10.1.3 Biopsi

Biopsi dilakukan di daerah abnormal jika sambungan skuamosa-


kolumnar (SSK) terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SSK tidak
terlihat seluruhnya atau hanya terlihat sebagian sehingga kelainan di
dalam kanalis servikalis tidak dapat dinilai, maka contoh jaringan
diambil secara konisasi. Biopsi harus dilakukan dengan tepat dan alat
biopsi harus tajam sehingga harus diawetkan dalam larutan formalin 10
%. Dikenal ada beberapa prosedur biopsy, yaitu:
55

a. Cone biopsy (atau cold cone biopsy atau cold knife cone biopsy):
prosedur yang menggunakan laser atau scalpel bedah untuk
mengambil jaringan.

b. Loop electrosurgical excision procedure (LEEP): prosedur yang


menggunakan kabel yang berbentuk ikal untuk mengambil
jaringan.

c. Endocervical curettage: prosedur yang menggunakan instrument


kecil berbentuk sendok, yang disebut kuret untuk mengikis jaringan
dari dalam serviks.

Gambar 2. 22 Biopsi (Winkjosastro, 2008)

II.10.1.4 Konisasi (Cone biopsy atau cold cone biopsy atau cold knife cone
biopsy)

Konisasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan serviks


sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut (konus),
dengan kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk tujuan
diagnostik, tindakan konisasi harus selalu dilanjutkan dengan kuretase.
Batas jaringan yang dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan
kolposkopi. Jika karena suatu hal pemeriksaan kolposkopi tidak dapat
dilakukan, dapat dilakukan tes Schiller. Pemeriksaan ini dikerjakan
56

dengan sebelumnya memulas porsio dengan larutan lugol dan jaringan


yang akan diambil hendaknya pada batas antara jaringan normal
(berwarna coklat tua karena menyerap Iodium) dengan bagian porsio
yang pucat (jaringan abnormal yang tidak menyerap Iodium). Kemudian
jaringan direndam dalam larutan formalin 10% untuk dikirim ke
Laboratorium Patologi Anatomi. Konisasi diagnostik dilakukan pada
keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Proses dicurigai berada di endoserviks.

2. Lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan kolposkopi.

3. Diagnostik mikroinvasi ditegakkan atas dasar specimen biopsy.

4. Ada kesenjangan antara hasil sitologi dan histopatologik.

Perlu disadari mengerjakan biopsi yang benar dan tidak mengambil


bagian yang nekrotik. Pada tingkat klinik 0, Ia, Ib-occ, penentuan tingkat
keganasan secara klinis didasarkan atas hasil pemeriksaan histologik.
Oleh karena itu untuk konfirmasi diagnosis yang tepat sering diperlukan
tindak lanjut seperti kuretase endoserviks (ECC = Endo-Cervical
Curretage) atau konisasi serviks.

Untuk membantu menentukan stadium kanker, dilakukan beberapa


pemeriksan berikut:
a. Sistoskopi
b. Rontgen dada
c. Urografi intravena – untuk mencari ada atau tidaknya obstruksi
ureter yang dapat menyebabkan terjadinya hidroureter dan
hidronefrosis.
d. Sigmoidoskopi
e. Scanning tulang dan hati
f. Barium enema.
57

MRI, CT, limfangiografi, PET (positron emission tomography)


dapat menunjukkan adanya penyebaran ke pelvis atau nodus limfe
periaortik. Sensitivitas MRI, CT, PET terhadap kanker serviks dalam
mencari metastase nodus limfe masing-masing 60%, 45%, dan 80%.
Pemeriksaan radiologi ini penting untuk merencanakan terapi terutama
perluasan lapang terapi radiasi atau operasi. (Wiknjosastro, 2008)

II.10.2 Penatalaksanaan
Pemilihan pengobatan untuk kanker serviks tergantung kepada lokasi
dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita dan
fungsi reproduksi. Penatalaksanaan pengobatan kanker serviks uteri
dapat dilakukan dengan berbagai modalitas terapi, diantaranya adalah :
II.10.2.1 Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks
paling luar), seluruh kanker seringkali dapat diangkat dengan bantuan
pisau bedah ataupun melalui LEEP (loop electrosurgical excision
procedure). Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki
anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani
pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama
dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana
untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi.
Pada kanker invasif, dilakukan histerektomi dan pengangkatan
struktur di sekitarnya (prosedur ini disebut histerektomi radikal) serta
kelenjar getah bening. Pada wanita muda, ovarium (indung telur) yang
normal dan masih berfungsi tidak diangkat. (Woknjosastro, 2008)

II.10.2.2 Terapi Penyinaran


Terapi penyinaran (radioterapi) efektif untuk mengobati kanker
invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi
digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan
menghentikan pertumbuhannya.
Ada 2 macam radioterapi:
58

1. Radiasi eksternal : sinar berasal dari sebuah mesin besar


Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya
dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu.
2. Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul
dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama
1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan
ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu.
Efek samping dari terapi penyinaran adalah:
a. iritasi rektum dan vagina
b. kerusakan kandung kemih dan rektum
c. ovarium berhenti berfungsi.

II.10.2.3 Kemoterapi
Jika kanker telah menyebar ke luar panggul, kadang dianjurkan
untuk menjalani kemoterapi. Kemoterapi merupakan bentuk pengobatan
kanker dengan menggunakan obat sitostatika yaitu suatu zat-zat yang
dapat menghambat proliferasi sel-sel kanker. Kemoterapi diberikan
dalam suatu siklus, artinya suatu periode pengobatan diselingi dengan
periode pemulihan, lalu dilakukan pengobatan, diselingi dengan
pemulihan, begitu seterusnya. (Wiknjosastro, 2008)

II.10.2.4 Terapi Biologis


Pada terapi biologis digunakan zat-zat untuk memperbaiki sistem
kekebalan tubuh dalam melawan penyakit. Terapi biologis dilakukan
pada kanker yang telah menyebar ke bagian tubuh lainnya. Yang paling
sering digunakan adalah interferon, yang bisa dikombinasikan dengan
kemoterapi. (Wiknjosastro, 2008)

II.10.3 Penatalaksanaan Berdasarkan Stadium


59

II.10.3.1 Penatalaksanaan Pada Stadium Awal (Stadium IA2


sampai IIA)
1. Histerektomi Radikal dan Limfadenektomi Terapeutik
Teknik histerektomi radikal (pertama kali diperkenalkan oleh
Weirtheim, Meigs, Okabayashi) disertai limfadenektomi pelvik
hanya dilakukan pada kanker yang terbatas di serviks (stadium I
dan II).
Pasien dengan kanker serviks stadium I diindikasikan
untuk Histerektomi tipe I. Bila fungsi reproduksi masih
diperlukan dapat dilakukan konisasi serviks dilanjutkan dengan
pengamatan lanjut. Pada tingkat klinik (KIS) tidak dibenarkan
dilakukan elektrokoagulasi atau elektrofulgerasi, bedah kryo
(cryosurgery) atau dengan sinar laser, kecuali yang menangani
seorang ahli dalam koloskopi dan penderita masih muda dan belum
mempunyai anak. Dengan biopsi kerucut (conebiopsy) meskipun
untuk diagnostik acapkali menjadi terapeutik. Ostium uteri internum
tidak boleh sampai rusak karenanya. Bila penderitanya telah cukup
tua, atau sudah mempunyai cukup anak, uterus tidak perlu
ditinggalkan, agar tidak kambuh (relaps) dapt dilakukan histerektomi
sederhana (simple vaginal hysterectomy). (Wiknjosastro, 2008)
Pada stadium Ia2, dengan invasi stroma lebih dari 3mm, tetapi
kurang dari 5mm, kemungkinan invasi pembuluh darah atau limfe
sekitar 7%. Kasus pada stadium ini harus dilakukan histerektomi
radikal dengan limfadenektomi kelenjar getah bening pelvik atau
radiasi bila ada kontraindikasi operasi. Bahkan, limfadenektomi dapat
diabaikan bila tidak ada kecurigaan anak sebar. Bagi penderita yang
masih ingin hamil dapat dilakukan trakhelektomi. Jenis pembedahan
lebih bersifat individual. Bila dijumpai invasi limfe atau vaskular
sebaiknya dilakukan histerektomi atau radiasi karena kemungkinan
adanya anak sebar ke kelenjar getah bening. (Wiknjosastro, 2008)
Pada tingkat klinik Ia, umumnya dianggap dan ditangani sebagai
kanker yang invasif. Bilamana kedalaman invasi kurang dari atau
60

hanya 1mm dan tidak meliputi area yang luas serta tidak melibatkan
pembuluh limfa atau pembuluh darah, penanganannya dilakukan
seperti KIS di atas.
Pada stadium Ib pengobatannya adalah histerektomi radikal
dengan limfadenektomi kelenjar getah bening pelvik dengan/tanpa
kelenjar getah bening paraaorta memberikan hasil yang efektif. Sama
halnya dengan diberikan terapi radiasi. Pada penderita yang berusia
muda operasi radikal lebih disukai karena dapat mempertahankan
fungsi ovarium. Bagi penderita yang masih ingin hamil dengan ukuran
lesi <2cm dapat dilakukan operasi trakhelektomi radikal asalkan tidak
dijumpai anak sebar pada kelenjar getah bening pelvik. Disamping
dapat mempertahankan fungsi hormonal, keunggulan lain terapi
operatif tidak terjadi stenosis vagina akibat radiasi yang dapat
mengganggu aktivitas seksual, di samping itu, tidak akan terjadi
kekambuhan pada serviks dan uterus. Pemilihan terapi radiasi lebih
ditujukan pada kasus dengan indikasi kontrasepsi. (Wiknjosastro,
2008)
Pada stadium IIa, jenis terapinya tergantung pada perluasan
tumor ke vagina. Keterlibatan vagina yang minimal dapat dilakukan
histerektomi radikal, limfadenektomi pelvik, dan vaginektomi bagian
atas. Terapi yang optimal pada kebanyakan stadium IIa adalah
kombinasi radiasi eksternal dan radiasi intrakaviter. Operasi radikal
dengan pengangkatan kelenjar getah bening pelvik dan paraaorta serta
pengangkatan vagina bagian atas dapat memberikan hasil yang
optimal asalkan tepi sayatan bebas dari invasi sel tumor.
(Wiknjosastro, 2008)

Tabel 1: Tipe-Tipe Histerektomi Berdasarkan Radikalitas.

Tipe histerektomi Indikasi Prosedur

Tipe I Stadium IA1 Histerektomi ekstrafascial


dan pembuangan jaringan
serviks
Tipe II Stadium Arteri uterina yang
61

( radikal IA2 menyilang ureter


termodifikasi) sampai IIA diligasi. Ligamen
uterosakral dan kardinal
dipisahkan di tengah ke
arah perlekatan masing-
masing di dinding
sakrum dan pelvik.
Tipe III Stadium Arteri uterina diligasi
( histerektomi IA2 bermula dari arteri
radikal) sampai IIA vesika superior dan
arteri iliaka interna.
Ligamen uterisakral dan
kardinal dipisahkan di
tengah ke arah
perlekatan masing-
masing di dinding
sakrum dan pelvik.
Setengah bagian vagina
atas diangkat.
Tipe IV Diseksi ureter secara
total dari ligamen
vesikouterina, arteri
vesika superior diambil
dan tiga perempat dari
vagina diangkat.
Tipe V Melibatkan reseksi
tambahan pada bagian
vesika urinaria atau
distal ureter dan
reimplantasi ureter ke
vesika urinaria.

2. Terapi Adjuvan Kemoterapi Pasca Bedah


Terapi radiasi adjuvan pasca bedah disertai kemoterapi
diindikasikan pada wanita yang menderita kanker serviks
terlokalisasi dengan risiko tinggi untuk kambuh seperti nodus
limfe positif, dan penyebaran ke parametrium. (Wiknjosastro,
2008)

3. Radiasi Primer Dengan Gabungan Kemoterapi


Pemilihan terapi bergantung pada ukuran tumor, keadaan
umum pasien dan keputusan dari onkologis itu sendiri. Operasi
62

biasanya diindikasikan pada pasien usia muda dengan harapan


dapat mempertahankan fungsi dari ovarium. Jika pasien
memerlukan terapi radiasi post operatif, dilakukan transposisi
ovari ke arah luar dari daerah radiasi. Untuk radiasi primer pada
kanker serviks, pancaran radiasi eksternal dikombinasikan dengan
radiasi intrakaviter. Terdapat 5 hasil penelitian yang menyatakan
radiasi yang dikombinasikan dengan kemoterapi lebih baik
dibandingkan hanya dengan menggunakan radiasi. Hal ini
menyebabkan kombinasi dari radiasi dengan kemoterapi dijadikan
standar terapi pada pasien yang diindikasikan terapi radiasi.
(Wiknjosastro, 2008)

II.10.4 Prognosis
Faktor yang menentukan prognosis diantaranya adalah :
1) Usia penderita,
2) Keadaan umum penderita,
3) Tingkat klinik keganasan,
4) Ciri-ciri histologik sel tumor,
5) Kemampuan ahli atau tim ahli yang menangani,
6) Sarana pengobatan yang ada,

a. Faktor Kliniko-Patologik
Kombinasi faktor klinis dan hasil pemeriksaan patologi anatomi
dari jaringan operasi yang disebut sebagai faktor kliniko-patologik saat
ini digunakan sebagai faktor prognosis pada pasien kanker serviks uteri.

b. Stadium
Angka ketahanan hidup 5 tahun untuk karsinoma serviks adalah
68% pada wanita kulit putih dan 55% pada wanita kulit hitam di
Amerika Serikat, dimana pada stadium 0, 99-100%; stadium IA, >
95%; stadium IB-IIA, 80-90%; stadium IIB, 65%; stage III, 40%; dan
63

stadium IV, < 20%. Penelitian di Memorial Sloan-Kattering Cancer


Center pada 431 pasien stadium 1B atau IIA, didapatkan 71 pasien
metastase pada KGB.

c. Ukuran Lesi
Ukuran lesi merupakan prediktor pada metastase KGB, invasi
limfo-vaskuler serta survival. Angka ketahanan hidup masing masing
90%, 60%, 40% pada ukuran lesi < 2cm, > 2cm dan > 4cm.Cut-of
point besar lesi adalah 4 cm, namun analisa multivariat menunjukkan
tidak ada perbedaan odd ratio pada ukuran 3,1-4 cm dengan 4,1-5 cm.

d. Invasi Limfo-Vaskuler
Invasi limfo-vaskuler sampai saat ini masih merupakan kontroversi
dan menjadi perdebatan. Beberapa analisis mendapatkan tidak
didapatkan korelasi bermakna terhadap survival. Laporan lain
mendapatkan angka survival 5 tahun sebesar 90% bila tidak ada invasi
limfovaskuler, sementara bila ada invasi sebesar 50-70%. Angka risiko
kekambuhan meningkat sesuai dengan tingkat invasi limfo-vaskuler.
Sebuah penelitian mendapatkan angka rekurensi pada 2 tahun pertama
pada invasi-limfovaskuler yang tinggi (45%), sedang (33%), ringan
(15%) dan negatif (7%). Metastase pada kelenjar getah bening selain
berfungsi sebagai faktor prognosis /faktor prediktor bebas terhadap
survival, juga sering digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi
faktor prognosis lain, misalnya besar lesi, invasi limfovaskuler, juga
beberapa faktor biomolekuler misalnya MMP dan VEGF. Pasien tanpa
metastase pada KGB mempunyai angka ketahanan hidup 5 tahun
sebesar 85-90%, sedangkan pasien dengan metastase KGB bervariasi
antara 20-74%. (Wiknjosastro)

e. Jenis Histologi
Jenis histologi adenokarsinoma meliputi kurang lebih 15 – 25 %
dari keseluruhan keganasan pada serviks uteri. Kasus adenokarsinoma
64

cenderung meningkat pada wanita usia muda. Analisis multivariat


menyimpulkan, secara keseluruhan survival pasien dengan
adenokarsinoma lebih buruk yaitu 59 % dibanding 73 % pada pasien
dengan kanker sel skuamosa. (Wiknjosastro, 2008)

II.11 Kanker Ovarium

Kanker ovarium dapat dibiopsi dengan prosedur laparoskopi atau


dengan jarum yang ditempatkan langsung ke dalam tumor melalui kulit
abdomen. Penempatan jarum akan dipandu di bawah panduan USG atau CT
scan. (American Cancer Society, 2012)

Pada pasien dengan asites, sampel cairan juga dapat digunakan untuk
mendiagnosa kanker. Dalam prosedur ini, yang disebut paracentesis, kulit
abdomen dibius dan jarum dilewatkan melalui dinding abdomen ke dalam
cairan di rongga abdomen. Cairan diambil melalui jarum dan kemudian
dikirim untuk dianalisis untuk menentukan apakah mengandung sel-sel
kanker. (American Cancer Society, 2012)
65

Gambar 2. 23 Kanker Ovarium (Edwards, 2005)

II.11.1 Diagnosis Kanker Ovarium Dengan Prosedur Biopsi

Laparoskopi adalah langkah pertama yang umum dilakukan


dalam mengkonfirmasikan kehadiran massa dan mendapatkan sampel
jaringan untuk biopsi. Operasi laparoskopi menggunakan sayatan kecil
dan instrumen yang dirancang khusus untuk memasuki perut atau
panggul. (Edwards, 2005)

Jika temuan biopsi positif untuk kanker, prosedur staging lebih


lanjut akan dilakukan. Staging merupakan bagian penting dari rencana
perawatan, karena tumor merespon terbaik untuk perlakuan yang
berbeda pada tahapan yang berbeda. Staging juga merupakan indikator
yang baik prognosis. Studi staging biasanya meliputi pemeriksaan
imaging, tes laboratorium, dan laparotomi eksplorasi. Laparotomi
eksplorasi adalah upaya hati-hati dan menyeluruh untuk menemukan
tingkat penyebaran kanker. (Edwards, 2005)

Untuk mengidentifikasi kemungkinan invasi kanker, sampel


diambil dari struktur lain di panggul dan perut termasuk, peritoneum,
omentum, kelenjar getah bening, kandung kemih, dan usus. Tujuannya
adalah untuk mengangkat jaringan kanker sebanyak mungkin
(debulking). Hal ini mungkin melibatkan pengangkatan salah satu atau
kedua indung telur (ooforektomi), rahim (histerektomi), saluran tuba
(salpingectomy), dan organ lainnya. (Edwards, 2005)

II.11.2 Terapi Kanker Ovarium


Operasi merupakan metode paling penting dalam terapi keganasan
ovarium, kecuali bila estimasi klinis tumor inoperable dan terdapat
kontraindikasi operasi, semua harus terlebih dulu dilakukan operasi.
Terdabat beberapa teknik operasi yang berbeda:
(1) Laparotomi menyeluruh, memastikan stadium: sesuai untuk pasien
kanker ovarium dengan diagnosis pre-operasi sebagai stadium I. Ini
mencakup pengangkatan uterus dan sepasang adneksanya,
omentum mayus, pembersihan kelenjar limfe pelvis dan para-aorta
66

abdominal, pemeriksaan sitologi kavum abdomen (asites atau air


bilasan kavum pelvis, abdomen). (Desen dkk, 2011)
(2) Operasi sitoreduksi (debulking) : sesuai untuk kasus stadium II ke
atas. Tujuan operasi ini adalah untuk mengangkat sebagian besar
atau praktis selutuh tumor (termasuk lesi metastatic). Patokan dari
operasi sitoreduksi yang berhasil atau memuaskan adalah jika
setiap lesi keganasan yang tertinggal berdiameter kurang dari 2 cm.
Keberhasilan operasi sitoreduksi bermanfaat bagi pemulihan
kekuatan anti tumor tubuh, menciptakan kondisi kondusif bagi
radioterapi, kemoterapi, dll. (Desen dkk, 2011)
(3) Operasi eksplortif ke dua: dalam 1 tahun pasca operasi debulking,
juga sudah menyelesaikan minimal 6 kuur kemoterapi, hasil
pemeriksaan klinis maupun penunjang (termasuk CA125 dan
petanda tumor lain) dalam batas normal, barulah dikerjakan lagi
laparotomi eksploratif. Tujuannya adalah memberikan dasar bagi
penghentian kemoterapi atau mengubah rejimen kemoterapi dan
metode terapi, serta mengangkat lesi ganas yang ditemukan. (Desen
dkk, 2011)

Jika massa kecil, dimungkinkan untuk mengangkat seluruh massa


selama laparoskopi. Biasanya, ahli bedah mengangkat seluruh ovarium.
Jika massa lebih besar dari 2,75 inci (massa kompleks) atau 3,5 inci
(massa solid) pada USG, pengangkatan dilakukan dengan operasi
konvensional. Prosedur ini, yang disebut laparotomi eksplorasi,
melibatkan membuat sayatan yang lebih besar dalam otot kulit dan
perut untuk mendapatkan akses ke daerah panggul. (Edwards, 2005)

Selama operasi, pengangkatan massa di ovarium umumnya


meliputi pengangkatan seluruh bagian ovarium yang terkena secara
keseluruhan. (Edwards, 2005)

Jika seorang wanita berencana untuk menjalani laparoskopi atau


laparotomi eksplorasi, ia harus mendiskusikan segala kemungkinan dari
operasi dengan dokter bedah nya sebelum menyetujui prosedur.
(Edwards, 2005)
67

II.11.3 Prognosis
Di antara keganasan ginekologik yang umum ditemukan, tumor
ganas ovarium memiliki efek terapi terburuk, terutama pasien stadium
menengah dan lanjut berprognosis buruk, survival 5 tahun berkisar 20-
30%. Survival 5 tahun keganasan ovarium stadium I, II, III, dan IV
masing-masing adalah 86%, 50%, 19%, dan 3%. Faktor yang
mempengaruhi prognosis adalah : stadium klinis, jenis patologik, grade
patologik, ukuran sisa tumor pasca operasi, jumlah kuur kemoterapi
pasca operasi dll. Angka survival 5 tahun pada tumor dengan jenis
histologik berbeda juga berbeda, pada karsinoma serosa 15-30%,
kistadenokarsinoma musinosa 40-50%, prognosisnya lebih baik
daripada karsinoma serosa, progresi klinis lebih lambat. Karsinoma
endometrioid memiliki survival 5 tahun 40-55%, karsinoma embrional
13%, teratoma immature dapat mencapai 63%. Upaya deteksi dini
peningkatan diagnosis dini, peningkatan keberhasilan operasi
sitoreduksi dan pelaksanaan kemoterapi memadai sesuai jadwal
merupakan jalan kea rah perbaikan prognosis. (Desen dkk, 2011)

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Biopsi adalah pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh


manusia untuk pemeriksaan patologis mikroskopik. Dari bahasa latin bios
yang berarti hidup dan opsi berarti tampilan. Jadi secara umum biopsi
adalah pengangkatan sejumlah jaringan tubuh yang kemudian akan dikirim
ke laboratorium untuk diperiksa. Biopsi jarum halus (FNB) adalah suatu
prosedur di mana jarum berukuran kecil ditempatkan ke dalam masa. Hal ini
secara luas diterima sebagai salah satu prosedur diagnostik yang paling
berguna dalam evaluasi masa pada leher.
68

Biopsi dapat menjadi salah satu prosedur kilinis untuk menentukan


diagnosis keganasan yang tersering pada wanita, diantaranya adalah kanker
mammae, kanker serviks dan kanker ovarium.

Prosedur diagnostik pada kanker mammae dilakukan dengan


menggunakan mammografi, USG, MRI, biopsi FNAB, biopsi CNL, dan
vaccum-assisted breast biopy. Sedangkan biopsi eksisi digunakan sebagai
prosedur terapeutik.

Prosedur diagnostik pada kanker servix dilakukan dengan


menggunakan test Papanicolau/papsmear, kolposkopi, cone biopsy
(konisasi), dan loop electrosurgical excision procedure (LEEP). Sedangkan
endocervical curettage digunakan sebagai prosedur terapeutik.

Prosedur diagnostik pada kanker ovarium dilakukan dengan


menggunakan USG. Prosedur biopsi digunakan bersamaan laparoskopi pada
saat pembedahan untuk staging dan menentukan metastase kanker (prosedur
frozen section).

III.2 Saran

Bagi wanita dianjurkan untuk melakukan screening rutin. Bagi yang


berusia 40 tahun ke bawah dianjurkan untuk melakukan uji papsmear
setahun sekali dan setahun dua kali pada wanita berusia di atas 40 tahun
untuk deteksi dini adanya keganasan serviks.

Selain itu pada screening rutin dianjurkan untuk melakukan USG


mammae dan mammografi untuk deteksi dini adanya keganasan pada
payudara. Dianjurkan pula untuk dilakukan USG abdomen pada medical
check-up untuk deteksi dini keganasan ovarium.

Pada setiap operasi tumor abdomen hendaknya seorang ahli patologis


dilibatkan dalam prosedur frozen section agar segera didapatkan diagnosis
dan data mengenai staging keganasan serta kemungkinan adanya metastasis
69

sehingga operator dapat menentukan tindakan untuk penatalaksanaan


selanjutnya.
70

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. 2012. Ovarian Cancer. American Cancer Society


(http://www.cancer.org/Cancer/OvarianCancer/DetailedGuide/ovarian-
cancer-diagnosis). Diunduh pada 23 September 2012.
Bin Bilal Shafi, B. 2011. Percutaneous Radiofrequency Ablation of Liver Tumors.
Emedicine (http://emedicine.medscape.com/article/1390475-overview).
Diunduh pada 22 september 2012.
Boone, J. 2012. Biopsy, fine Needle, Neck Mass. Emedicine (http://
emedicine.medscape.com/article/1520111-overview). Diunduh pada 22
september 2012.
Desen, Wan dkk. 2011. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed 2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Edwards, R.P. 2005. Ovarian Cancer. Emedicinehealth (http://www.
emedicinehealth.com/ovarian_cancer/page5_em.htm). Diunduh pada 23
September 2012.
Isselbacher et al. 2009. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume
IV. Jakarta: EGC.
Mcginn, J.D. 2012. Lip Biopsy. Emedicine (http://emedicine.
medscape.com/article/1520042-overview). Diunduh pada 22 september
2012.
Mcginn, J.D. 2012. Oropharynx Biopsy. Emedicine (http://emedicine.
medscape.com/article/1520042-overview). Diunduh pada 22 september
2012.
Price, S dan Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi Vol 2 Ed 6. Jakarta: EGC.
Saifuddin, Abdul Bari. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Schawrtz, Seymour. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu bedah Edisi 5. EGC.
Jakarta.
Stöppler, M. C. 2008. Breast Biopsy. MediciNet (http://www.
medicinenet.com/breast_biopsy/ page7.htm). Diunduh pada 23
September 2012.
Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I, Simadribata M., Setiati S. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit dalam edisi V jilid III. Jakarta. FKUI.
Suyatno. 2010. Bedah onkologi Diagnostik dan Terapi. Jakarta: Sagung Seto.
Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Ilmu Kandungan Edisi Kedua. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
71

Winkler, A. 2012. Temporal Artery Biopsy. Emedicine (http://emedicine.


medscape.com/article/1520091-overview). Diunduh pada 22 September
2012.

Anda mungkin juga menyukai