Anda di halaman 1dari 15

BAKU MUTU AIR, TANAH, DAN UDARA

Dibuat untuk memenuhi tugas Kimia Lingkungan

Dosen pengampu: Dr. Triastuti Sulistyaningsih, S.Si., M.Si

Disusun Oleh:

Putri Adiliani

4301417082

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

TAHUN 2018
1. BAKU MUTU TANAH
A. Pengertian Tanah
Dalam kehidupan sehari-hari tanah diartikan sebagai wilayah darat yang dapat digunakan
sebagai tempat berbagai usaha pertanian, peternakan, perumahan dan sebagainya. Sedangkan
dalam bidang pertanian, tanah diartikan sebagai media tumbuh tanaman. Tanah secara ilmiah
didefinisikan sebagai lapisan kerak bumi paling atas yang merupakan hasil pelapukan bumi
oleh angin, hujan dan matahari. Menurut Hardjowigeno (1995) menyebutkan bahwa tanah
adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun horizon dan terdiri dari
campuran bahan-bahan mineral, bahan organik, air dan udara yang merupakan media bagi
tumbuhnya tanaman.
Tanah sebagai sumber daya pertanian mempunyai dua fungsi yaitu sebagai unsur hara bagi
tanaman dan sebagai tempat berpegangnya akar, penyimpanan air tanah, dan tempat
bertambahnya unsur hara dan air. Apabila fungsi-fungsi tersebut menurun atau hilang, maka
disebut sebagai kerusakan atau degradasi tanah. Pencemaran yang terjadi dan masuk ke dalam
tanah akan mengakibatkan penurunan kualitas tanah. Parameter penggunaan tanah untuk
pertanian, perkebunan dan kehutanan yang berpengaruh yaitu :
1. Faktor fisik dan kimia tanah, meliputi : tekstur, kedalaman efektif, permeabilitas, tebal
gambut (untuk tanah gambut), batuan permukaan, drainase, lereng, pH, salinitas, kedalaman
lapisan, kandungan unsur-unsur dalam tanah dan prosentase sodium yang dapat dipertukarkan
dengan unsur lain.
2. Faktor penggunaan lahan, meliputi : persawahan, tanaman semusim, tanaman tahunan, hutan,
padang pengembalaan dan lain-lain.
3. Faktor iklim, meliputi curah hujan dan ketinggian tempat.

B. Baku Mutu Tanah


Parameter tanah yang ditetapkan sebagai baku mutu tanah sangat terkait dengan jenis kegiatan
yang akan dilakukan. Oleh karena itu, penentuan parameter baku mutu tanah secara umum sulit
ditentukan. Walaupun rancangan baku mutu tanah telah diatur dalam rancangan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tahun 1994. Rancangan Kepmen ini menyebutkan bahwa
baku mutu tanah ditetapkan oleh masing-masing gubernur dengan berpedoman pada baku mutu
nasional. Pusat Penelitian Tanah dari Departemen Pertanian (1983) telah mengajukan kriteria
penilaian sifat kimia tanah berdasarkan sifat umum tanah yang didapat secara empiris. Kriteria
penilaian sifat kimia tanah tersebut disajikan pada gambar tabel berikut.
Sifat Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tanah Rendah Tinggi
C-organik < 1,0 2,0 3,3 5,0 > 5,0
(%)
N Total < 0,1 0,2 0,5 0,75 > 0,75
(%)
P2O5 HCl < 10 20 40 60 > 60
25%
(ppm)
K2O HCl < 10 20 40 60 > 60
25%
(ppm)
K (%) < 0,1 0,2 0,5 1,0 > 1,0
Na (%) < 0,1 0,4 0,7 1,0 > 1,0
Ca (%) <2 5 10 20 > 20
Mg (%) < 0,4 1,0 2,0 8,0 > 1,0
Kejenuha < 20 35 50 70 > 1,0
n Basa
(%)
Kejenuha < 10 20 30 60 > 1,0
n
Aluminiu
m (%)
Cadangan < 5 10 20 40 > 1,0
Mineral
(%)
pH sangat Asam 5,5 Agak Netral 7,5 Agak basa Basa > 8,5
asam < 4,5 asam 6,5 8,5
Sedangkan kriteria umum untuk kandungan logam berat yang terdapat di dalam tanah
telah diteliti oleh Ferguson (1990) mengemukakan batas beberapa kandungan logam berat yang
tidak tercemar di dalam tanah, yaitu :
No Logam Berat Rerata Batas Batas
Tanah yang Minimum Maksimum
Tidak
Terkontamin
asi
1. Cadmium 0,62 μg/g 0,1 μg/g 1,0 μg/g
(Cd)
2. Mercury 0,098 μg/g 0,01 μg/g 0,06 μg/g
(Hg)
3. Arsenic (As) 6,03 μg/g 5 μg/g 10 μg/g
4. Lead (Pb) 29,2 μg/g 10 μg/g 20 – 50 μg/g
5. Selenium 0,4 μg/g Angka ini akan meningkat
(Se) pada daerah asam dan semi
asam
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 150 tahun 2000, tanah
didefinisikan sebagai salah satu sumber daya alam, wilayah hidup, media lingkungan, dan
faktor produksi termasuk produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta
makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya. Seiring meningkatnya
kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumber daya alam lainnya yang
tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga
menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Berdasarkan pertimbangan untuk
melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup, ditetapkan peraturan pemerintah untuk
mengendalikan kerusakan tanah untuk poroduksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah
untuk produksi biomassa adalah sebagai berikut.
A. Kriteria Baku Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi

Tebal tanah Ambang Kritis Erosi Metode Peralatan


Pengukuran
Ton/ha/tahun mm/10 tahun

< 20 cm > 0,1 - < 1 > 0,2 - < 1,3 1. 1.


Gravimetrik Timbangan,
20 - < 50 cm 1-<3 1,3 - < 4 tabung
ukur,
50 - < 100 cm 3 - < 7 4,0 - < 9,0 2. penera
Pengukuran debit
100 – 150 cm 7 – 9 9,0 – 12 langsung (discharge)
sungai dan
> 150 cm >9 > 12 peta daerah
tangkapan
air
(catchment
area)
2. Patok
erosi

B. Kriteria Baku kerusakan Tanah di Lahan Kering

No Parameter Ambang Metode Peralatan


Kritis Pengukuran
1. Ketebalan < 20 cm Pengukuran Meteran
solum langsung
2. Kebatuan > 40 % Pengukuran Meteran ;
permukaan langsung counter
imbangan (line atau
batu dan total)
tanah dalam
unit luasan
3. Komposisi < 18% Warna Tabung
fraksi koloid; > pasir, ukur,
80% pasir gravimetrik timbangan
kuarsitik
4. Berat isi > 1,4 Gravimeteri Lilin,
gram/cm3 pada satuan tabung
volume ukur, ring
sample
5. Porositas < 30%; > Perhitungan Piknometer,
total 70% berat isi timbangan
(BI) dan analitik
berat jenis
(BJ)
6. Derajat < 0,7 Permeabilit Ring
pelulusan cm/jam; > as sampler,
air 8,0 cm/jam double ring
permeamete
r
7. pH (H2O) < 4,5 ; > 8,5 Potensiome pH meter,
1 : 2,5 trik pH stick
skala 0,5
satuan
8. Daya hantar > 4,0 Tahanan EC meter
listrik mS/cm listrik
(DHL)
9. Redoks < 200 mV Tegangan pH meter,
listrik elektroda
platina
10. Jumlah < 102 cfu/g Plating Cawan
mikroba tanah technique petri,
colony
counter
C. Kriteria Baku Kerusakan di Lahan Basah

No Parameter Ambang Metode Peralatan


Kritis Pengukuran
1. Subsidensi > 35 cm/5 Pengukuran Patok
gambut di tahun untuk langsung subsidensi
atas pasir ketebalan
kuarsa gambut ≥ 3
m atau
10%/5
tahun untuk
ketebalan
gambut < 3
m
2. Kedalaman < 25 cm Reaksi Cepuk
lapisan dengan pH oksidasi dan plastic,
berpirit dari ≤ 2,5 pengukuran H2O2, pH
permukaan langsung stick skala
tanah 0,5 satuan,
meteran
3. Kedalaman > 25 cm Pengukuran Meteran
air tanah langsung
dangkal
4. Redoks > -100 mV Tegangan pH meter,
untuk tanah listrik elektroda
berpirit platina
5. Redoks > 200 mV Tegangan pH meter,
untuk listrik elektroda
gambut platina
6. pH (H2O) < 4,0 ; > 7,0 Potensiomet pH meter,
1 : 2,5 rik pH stick
skala 0,5
satuan
7. Daya > 4,0 Tahanan EC meter
Hantar mS/cm listrik
Listrik
(DHL)
8. Jumlah < 102 cfu/g Plating Cawan
mikroba tanah technique petri, colony
counter
Catatan :
- Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman pirit > 100 cm, ketentuan kedalaman
air tanah dan nilai redoks tidak berlaku
- Ketentuan-ketentuan subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit tidak berlaku jika
lahan belum terusik/masih dalam kondisi asli/alami/hutan alam

Berdasarkan pengetahuan saat ini, data minimum indikator mutu tanah terdiri atas
tekstur tanah, kedalaman tanah, infiltrasi, berat jenis, kemampuan tanah memegang air, C
organik, pH, daya hantar listrik, N, P, K, biomassa mikroba, potensi N dapat dimineralisasi, dan
respirasi tanah. Logam berat perlu juga dijadikan indicator karena dapat mempengaruhi
produksi tanaman, kesehatan hewan dan manusia, serta aktivitas mikroba tanah. Tiga besar
logam berat beracun adalah merkuri (Hg), timbal (Pb), dan cadmium (Cd).
Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan pencemaran logam berat yang
mencemari lingkungan sangat penting diketahui batas/nilai ambang logam. Nilai ambang batas
logam berat tiap negara berbeda-beda, karena adanya perbedaan kemampuan sifat tanah untuk
menyangga logam berat. Di Inggris dan Belanda, nilai ambang batas untuk Pb 5-6 kali lebih
besar dari negara industri lainnya. Untuk Indonesia dengan tingkat pelapukan tanah yang
intensif, kemungkinan daya sangga tanah terhadap logam berat lebih rendah sehingga nilai
ambang batasnya akan lebih rendah dari negara industri tersebut. Ada beberapa hasil penelitian
yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk tindakan reklamasi lahan. Pada tabel berikut
dicantumkan data kisaran nilai ambang logam berat dalam tanah (Pickering 1980).
Logam berat Nilai ambang dalam
tanah (ppm)
As 0,1-4,0
B 2-100
F 30-300
Cd 0,1-7,0
Mn 100-4000
Ni 10-1000
Zn 10-300
Cu 2-100
Pb 2-200
USDA membuat standar nilai ambang untuk industri yang limbahnya akan dibuang ke
lahan pertanian. Limbah tersebut dibuang dalam bentuk padatan (sludge), karena lebih mudah
dalam pencegahan dan membersihkan lahan dari kontaminasi logam berat. Ambang batas
logam berat yang diterapkan pada tanah disajikan pada tabel berikut.
Logam berat Konsentrasi Rata-rata Kumulatif bahan
maksimum tahunan bahan pencemar
bahan pencemar pencemar (kg/ha)
(ppm) (kg/ha/th)
Arsenic 75 2 41
Cadmium 85 1,9 39
Copper 3000 150 3000
Lead 4300 75 1500
Mercury 420 21 420
Molybdenum 840 15 300
Nickel 57 0,85 17
Selenium 75 0,90 18
Zinc 100 5 100
Kementerian ESDM Republik Indonesia mengeluarkan peraturan No. 045 tahun 2006
tentang limbah lumpur pada kegiatan pengeboran minyak dan gas bumi. Tabel baku mutu
logam berat limbah lumpur ditampilkan pada tabel berikut.
Logam berat Baku mutu (mg/L)
Arsen 5,0
Barium 100,0
Cadmium 1,0
Chromium 5,0
Copper 10,0
Lead 5,0
Mercury 0,2
Selenium 1,0
Silver 5,0
Zinc 50,0
2. BAKU MUTU AIR
A. Parameter Baku Mutu
Dalam kasus-kasus pencemaran perairan, baik itu laut, sungai, danau maupun waduk,
seringkali diberitakan bahwa nilai BOD dan COD perairan telah melebihi baku mutu. Atau
sebaliknya, pada kasus pencemaran lainnya yang mendapat protes dari masyarakat sehubungan
dengan adanya limbah industri, ditanggapi dengan dalih bahwa nilai BOD dan COD perairan
masih memenuhi baku mutu. Dalam salah satu harian (Kompas edisi Senin, 12 Desember 1994)
juga terdapat suatu berita dengan judul “Sebaiknya, parameter BOD dan COD tak dipakai
penentu baku mutu limbah” yang kurang lebih merupakan pendapat dari salah satu pakar
bioremediasi lingkungan dari Universitas Sriwijaya, Palembang. Menurut pakar tersebut, dalam
banyak kasus kesimpulan yang hanya didasarkan pada hasil analisis BOD dan COD (juga pH)
belum merupakan jawaban ada tidaknya pencemaran lingkungan oleh suatu industri. Di sisi
lain, BOD dan COD adalah parameter yang menjadi baku mutu berbagai air limbah industri
selain beberapa parameter kunci lainnya. Nampaknya terdapat persepsi pada sementara
kalangan yang menempatkan BOD dan COD agak berlebihan dari yang seharusnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam tulisan ini akan dikaji apa itu sebenarnya BOD dan
COD, bagaimana cara atau prinsip pengukurannya, dan apakah memang sebaiknya tidak
dipakai sebagai penentu baku mutu air limbah.
Pengertian BOD dan COD
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan
jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk
mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988;
Metcalf & Eddy, 1991). Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan organik yang
terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily
decomposable organic matter). Mays (1996) mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah
oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon
terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertianpengertian ini dapat
dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya
dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable
organics) yang ada di perairan.
Sedangkan COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang
diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air (Boyd, 1990).
Hal ini karena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan
oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat
(Boyd, 1990; Metcalf & Eddy, 1991), sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah
urai maupun yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai
antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada
di perairan. Bisa saja nilai BOD sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari
COD. Jadi COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada.
1. Parameter Kualitas Air
a. Parameter Fisika
1) Kecerahan
Kecerahan adalah parameter fisika yang erat kaitannya dengan proses fotosintesis pada
suatu ekosistem perairan. Kecerahan yang tinggi menunjukkan daya tembus cahaya matahari
yang jauh kedalam Perairan.. Begitu pula sebaliknya(Erikarianto,2008).
Menurut Kordi dan Andi (2009), kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan
kedalam air dan dinyetakan dalam (%). Kemampuan cahaya matahari untuk tembus sampai
kedasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan (turbidity) air. Dengan mengetahui kecerahan
suatu perairan, kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses
asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan yang
paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih, baik untuk
kehidupan ikan dan udang budidaya.

2) Suhu
Menurut Nontji (1987), suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian
dalam pengkajian- pengkajian kaelautan. Data suhu air dapat dimanfaatkan bukan saja untuk
mempelajari gejala-gejala fisika didalam laut, tetapi juga dengan kaitannya kehidupan hewan
atau tumbuhan. Bahkan dapat juga dimanfaatkan untuk pengkajian meteorologi. Suhu air
dipermukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor- faktor metereolohi yang berperan
disini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan
radiasi matahari.
Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran
organisme baik dilautan maupun diperairan tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Suhu
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kehidupan biota air. Secara umum, laju
pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dapat menekan kehidupan hewan
budidaya bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrim(drastis)(Kordi
dan Andi,2009).

3) Kekeruhan
Kekeruhan air dapat dianggap sebagai indikator kemampuan air dalam meloloskan cahaya
yang jatuh kebadan air, apakah cahaya tersebut kemudian disebarkan atau diserap oleh air.
Semakin kecil tingkat kekeruhan suatu perairan, semakin dalam cahaya dapat masuk kedalam
badan air, dan demikian semakin besar kesempatan bagi vegetasi akuatis untuk melakukan
proses fotosintesis (Asdak, 2007).
4) Kepadatan (density/berat jenis)
Pada suhu 4 oC-(3,95oC ) air murni mempunyai kepadatan yang maksimum yaitu 1
(satu), sehingga kalau suhu air naik, lebih tinggi dari 4oC kepadatan/berat jenisnya akan turun,
demikian juga kalau suhunyanlebih rendah dari 4oC. Sifat air yang demikian itu, maka akan
terjadi pelapisan-pelapisan suhu air padandanau atau perairan dalam, yaitu pada lapisan dalam
suatu perairan suhu air makin rendah disbanding pada permukaan air. Akan tetapi bila air
membeku jadi es, es tersebut akan terapung. Akibat dari sifat tersebut akan menimbulkan
pergolakan/perpindahan massa air dalam perairan tersebut, baik secara vertikal maupun
horizontal. Sifat air ini mengakibatkan pada perairan didaerah yang beriklim dingin yang
membeku perairannya hanya pada bagian atasnya saja sedangkan pada bagian bawahnya masih
berupa cairan sehingga kehidupan organisme akuatik masih tetap berlangsung. Selain itu
keuntungan adanya gerakan air ini dapat mendistribusikan/ menyebarkan berbagai zat ke
seluruh perairan, sebagai sumber mineral bagi fitoplankton dan fitoplankton sebagai makanan
ikan maupun hewan air lainnya.
Dasar perairan adalah merupakan akumulasi pengendapan mineral-mineral yang
merupakan persediaan “nutrient” yang akan dimanfaatkan oleh mahluk hidup (yang pada
umumnya tinggal didaerah permukaan air karena mendapatkan sinar matahari yang cukup).
Pada perairan yang oligotrof (cukup banyak mengandung mineral), aliran vertikal tidak banyak
membawa keberuntungan, justru sebaliknya dapat mengendapkan mineral-mineral yang datang
dari tempat lain kedasar perairan, mineral-mineral tersebut akan di absorbsi oleh dasar perairan
.Sedangkan kerugian adanya aliran air ini adalah terutama aliran air yang vertikal sering
menimbulkan “upwalling” pada danau-danau, sehingga menyebabkan keracunan dan kematian
ikan secara masal. Hal ini disebabkan kondisi air yang anaerob (oksigen rendah) dan zat-zat
beracun dari dasar perairan akan naik kepermukaan air.
5) Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi dari total ion yang terdapat didalam perairan. Pengertian
salinitas yang sangat mudah dipahami adalah jumlah kadar garam yang terdapat pada suatu
perairan. Hal ini dikarenakan salinitas ini merupakan gambaran tentang padatan total didalam
air setelah menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh chlorida dan semua
bahan organik telah dioksidasi. Pengertian salinitas yang lainnya adalah jumlah segala macam
garam yang terdapat dalam 1000 gr air contoh. Garam-garam yang ada di air payau atau air laut
pada umumnya adalah Na, Cl, NaCl, MgSO4 yang menyebabkan rasa pahit pada air laut, KNO3
dan lainlain. Salinitas dapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan alat yang disebut
dengan Refraktometer atau salinometer. Satuan untuk pengukuran salinitas adalah satuan gram
per kilogram (ppt) atau promil (o/oo). Nilai salinitas untuk perairan tawar biasanya berkisar
antara 0–5 ppt, perairan payau biasanya berkisar antara 6–29 ppt dan perairan laut berkisar
antara 30–35 ppt.
b. Parameter Kimia
1) pH
Menurut Andayani(2005), pH adalah cerminan derajat keasaman yang diukur dari
jumlah ion hidrogen menggunakan rumus pH = -log (H+). Air murni terdiri dari ion H+dan
OH- dalam jumlah berimbang hingga Ph air murni biasa 7. Makin banyak banyak ion
OH+ dalam cairan makin rendah ion H+ dan makin tinggi pH. Cairan demikian disebut cairan
alkalis. Sebaliknya, makin banyak H+makin rendah PH dan cairan tersebut bersifat masam. Ph
antara 7 – 9 sangat memadai kehidupan bagi air tambak. Namun, pada keadaan tertantu, dimana
air dasar tambak memiliki potensi keasaman, pH air dapat turun hingga mencapai 4.
pH air mempengaruhi tangkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan
jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat membunuh hewan budidaya.
Pada pH rendah( keasaman tinggi), kandungan oksigan terlarut akan berkurang, sebagai
akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas naik dan selera makan akan berkurang. Hal ini
sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini, maka usaha budidaya perairan akan
berhasil baik dalam air dengan pH 6,5 – 9.0 dan kisaran optimal adalah ph 7,5 – 8,7(Kordi dan
Andi,2009).

2) Oksigan Terlarut / DO
Mnurut Wibisono (2005), konsentrasi gas oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, makin
tinggi suhu, makin berkurang tingkat kelarutan oksigen. Dilaut, oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen / DO) berasal dari dua sumber, yakni dari atmosfer dan dari hasil proses fotosintesis
fitoplankton dan berjenis tanaman laut. Keberadaan oksigen terlarut ini sangat memungkinkan
untuk langsung dimanfaatkan bagi kebanyakan organisme untuk kehidupan, antara lain pada
proses respirasi dimana oksigen diperlukan untuk pembakaran (metabolisme) bahan organik
sehingga terbentuk energi yang diikuti dengan pembentukan Co2 dan H20.
Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernafasannya harus terlarut dalam air.
Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehinnga bila ketersediaannya didalam air tidak
mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segal aktivitas biota akan terhambat. Kebutuhan
oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi
spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang terandung pada metabolisme ikan(Kordi dan
Andi,2009).

3) CO2
Karbondioksida (Co2), merupakan gas yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan air
renik maupun tinhkat tinggi untuk melakukan proses fotosintesis. Meskipun peranan
karbondioksida sangat besar bagi kehidupan organisme air, namun kandungannya yang
berlebihan sangat menganggu, bahkan menjadi racu secara langsung bagi biota budidaya,
terutama dikolam dan ditambak(Kordi dan Andi,2009).
Meskipun presentase karbondioksida di atmosfer relatif kecil, akan tetapi keberadaan
karbondioksida di perairan relatif banyak,kerana karbondioksida memiliki kelarutan yang
relatif banyak.

4) Amonia
Makin tinggi pH, air tambak/kolam, daya racun amnia semakin meningkat, sebab
sebagian besar berada dalam bentuk NH3, sedangkan amonia dalam molekul (NH3) lebih
beracun daripada yang berbentuk ion (NH4+). Amonia dalam bentuk molekul dapat bagian
membran sel lebih cepat daripada ion NH4+ (Kordi dan Andi,2009).
Menurut Andayani(2005), sumber amonia dalam air kolam adalah eksresi amonia
oleh ikan dan crustacea. Jumlah amonia yang dieksresikan oleh ikan bisa diestimasikan dari
penggunaan protei netto( Pertambahan protein pakan- protein ikan) dan protein prosentase
dalam pakan dengan rumus :
Amonia – Nitrogen (g/kg pakan) = (1-0- NPU)(protein+6,25)(1000)
Keterangan : NPU : Net protein Utilization /penggunaan protein netto
Protein : protein dalam pakan
6,25 : Rati rata-rata dari jumlah nitrogen.

5) Nitrat nitrogen
Menurut Susana (2002), senyawa kimia nitrogen urea (N-urea) ,algae memanfaatkan
senyawa tersebut untuk pertumbuhannya sebagai sumber nitrogen yang berasal dari senyawa
nitrogen-organik. Beberapa bentuk senyawa nitrogen (organik dan anorganik) yang terdapat
dalam perairan konsentrasinya lambat laun akan berubah bila didalamnya ada faktor yang
mempengaruhinya sehingga antara lain akn menyebabkan suatu permasalahan tersendiri dalam
perairan tersebut.
Menurut Andayani(2005), konsentasi nitrogen organik di perairan yang tidak terpolusi
sangat beraneka ragam. Bahkan konsentrasi amonia nitrogen tinggi pada kolam yang diberi
pupuk daripada yang hanya biberi pakan. Nitrogen juga mengandung bahan organik terlarut.
Konsentrsi organik nitrogan umumnya dibawah 1mg/liter pada perairan yang tidak polutan.
Dan pada perairan yang planktonya blooming dapat meningkat menjadi 2-3 mg/liter.

6) Orthophospat
Menurut Andayani (2005), orthophospat yang larut, dengan mudah tesedia bagi
tanaman, tetapi ketersediaan bentuk-bentuk lain belum ditentukan dengan pasti. Konsentrasi
fosfor dalam air sangat rendah : konsentasi ortophospate yang biasanya tidak lebih dari 5-
20mg/liter dan jarang melebihi 1000mg/liter. Fosfat ditambahkan sebagai pupuk dalam kolam,
pada awalnya tinggi orthophospat yang terlarut dalam air dan konsentrasi akan turun dalam
beberapa hari setelah perlakuan.
Menurut Muchtar (2002), fitoplankton merupakan salah satu parameter biolagi yang
erat hubungannya dengan fosfat dan nitrat. Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton disuatu
perairan tergantung tergantung pada kandungan zat hara fosfat dan nitrat. Sama halnya seprti
zat hara lainnya, kandungan fosfat dan nitrat disuatu perairan, secara alami terdapat sesuai
dengan kebutuhan organisme yang hidup diperairan tersebut.
C. Parameter Biologi
Parameter biologi dari kualitas air yang biasa dilakukan pengukuran untuk kegiatan
budidaya ikan adalah tentang kelimpahan plankton, benthos dan perifiton sebagai organisme
air yang hidup di perairan dan dapat digunakan sebagai pakan alami bagi ikan budidaya.

a) Plankton
Plankton sebagai organisme perairan tingkat rendah yang melayang-layang di air dalam
waktu yang relatif lama mengikuti pergerakan air. Plankton pada umumnya sangat peka
terhadap perubahan lingkungan hidupnya (suhu, pH, salinitas, gerakan air, cahaya matahari dll)
baik untuk mempercepat perkembangan atau yang mematikan. Berdasarkan ukurannya,
plankton dapatdibedakan sebagai berikut :
1. Macroplankton (masih dapat dilihat dengan mata telanjang/ biasa/tanpa pertolongan
mikroskop).
2. Netplankton atau mesoplankton (yang masih dapat disaring oleh plankton net yang mata
netnya 0,03 – 0,04 mm).
3. Nannoplankton atau microplankton (dapat lolos dengan plankton net diatas).
Berdasarkan tempat hidupnya dan daerah penyebarannya, plankton dapat merupakan :
1. Limnoplankton (plankton air tawar/danau)
2. Haliplankton (hidup dalam airmasin)
3. Hypalmyroplankton (khusus hidup di air payau)
4. Heleoplankton (khusus hidup dalam kolam-kolam)
5. Petamoplankton atau rheoplankton (hidup dalam air mengalir, sungai)

b) Bakteri
Sudjarwo, (2007) Pada ekosistem perairan alami bakteri memiliki peran sebagai
reduktor/dekomposer yang mengontrol proses komponen organik misalnya polimer protein
atau karbohidrat menjadi senyawa yang lebih sederhana, secara umum bakteri berdasarakan
cara mendapatkan oksigen dibagi menjadi dua yaitu bakteri aerob dan anaerob. Kelompok
aerob memerlukan oksigen bebas dalam mengoksidasi nutrien (misalnya glukosa) untuk
memperoleh energi contohnya : Azotobacter, Nitrosomonas, Nitrococcus dan Nitrobacter.
Silalahi (2001), menyatakan dalam kehidupan manusia bakteri mempunyai peranan yang
menguntungkan dan merugikan pada dunia akuakultur bakteri yang menguntungkan contohnya
:Basillus spp, Nitrosomonas, Nitrobacter bakteri tersebut berperan dalam proses dekomposisi
bahan organik dasar tambak dan berperan dalam proses nitrifikasi.
B. Limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga). Dampak yang ditimbulkan limbah sangat bervariasi
tergantung dari jeni slimbah , volume, jenis industri dan penggunaan produk oleh masyarakat,
limbah industri merupakan sumber utama yang menyebabkan pencemaran air pada saat ini dan
banyak fakta menunjukkan peningkatan polusi setiap tahun terutama oleh Negara-Negara yang
maju industrinya, tingkat pembuangan limbah domestik dan industri sangat berfariasi serta
jumlah besar yang tidak diproses lebis lanjut menyebabkan kualitas perairan menjadi tidak
stabil serta kemampuan badan air tidak mampu mengencerkan terutama limbah cair sehingga
ketersedian kuantitas yang cukup dan kuantitas air yang memadai menjadi terancam. Regulasi
yang dihasilkan limbah industri mengejar hasil dan keuntungan yang tinggi tanpa
memperhatikan kaidah-kaidah keseimbangan dan keberlanjutan ekologi yang pada akhirnya
menimbulkan bahaya kesehatan terhadap organisme dan manusia odumosu , 1992.
Ogedengbe dan akinbile, 2004. Sangodoin, 1991.
Pengelolaan air dan pembuangan limbah industri merupakan faktor membutuhkan biaya
yang signifikan dan aspek penting dalam menjalankan sebuah industri. Limbah industri
meningkatkan konsentrasi polutan baik air maupun sedimen. Polutan pada konsentrasi yang
tinggi dapat menjadi racun bagi organime yang berbeda, efluen juga menimbulkan dampak
negatif yang besar terhadap kualitas air yang diperuntukkan untuk kepentingan manusia,
maupun organisme. Sehingga setiap efluan dianjukan untuk mentritmen limbah terlebih dahulu
agar dapat meminimalisir dampak, oleh karena itu setiap industri yang membuang limbah tanpa
melalui tritmen maka dikenakan sangsi berupa pengenaan biaya langsung, pemantauan dan
pengawasan sangat penting untuk menjamin perlindungan sumberdaya air dan degradasi lebih
lanjut. Setiap negara mencoba membuang limbah dengan biaya rendah, sedangkan peraturan
yang terapkan oleh pemerintah di perketat. Konsumsi air di pada setiap Negara tidak hanya
memperhatikan faktor ekonomi, akan tetapi faktor pengelolaan limbah yang terkait dengan
proses dan kinerja alat sangat perperan dalam penurunan konsentrasi limbah sebelum dibuang
ke lingkungan. Selain itu, posisi industri yang menghasilkan produk alami, menjaga citra
mereka dalam memasarkan hasil produksinya dan kebijakan pengelolaan limbah yang tepat dan
sesuai dengan ketetapan pemerintah.
Tabel Baku Mutu Air Bersih Menurut Peraturan Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990

NO PARAMETER SATUAN BAKU MUTU


1 BAU - Tidak berbau
2 RASA - Tidak berasa
3 Fe mg/l 1,0
4 Mn mg/l 0,5
5 Zn mg/l 15
6 Cd mg/l 0,005
7 Pb mg/l 0,05
8 Hg mg/l 0,001
9 As mg/l 0,05
10 Se mg/l 0,01
11 NITRIT mg/l 1
12 FLUORIDA mg/l 1,5
13 ZAT ORGANIK mg/l 10
14 SIANIDA mg/l 0,1
15 pH - 6.5 – 9
16 NITRAT mg/l 10
17 SUHU C DEVIASI 3 C
18 KLORIDA mg/l 600
19 KROM VAL.6 mg/l 0,05
20 DETERJEN mg/l 0,5
21 WARNA TCU 50
22 KEKERUHAN NTU 25
23 TDS mg/l 1500
24 SULFAT mg/l 400
25 KESADAHAN mg/l 500

3. BAKU MUTU UDARA


Kualitas udara ambien merupakan tahap awal untuk memahami dampak
negatif cemaran udara terhadap lingkungan. Kualitas Udara Ambien ditentukan oleh :
1. Kuantitas emisi cemaran dari sumber cemaran
2. Proses transportasi, konversi dan penghilangan cemaran di atmosfer

Emisi dan sumber cemaran

Proses Transportasi, Konversi dan Penghilangan

Konsentrasi cemaran amibien

Efek pencemaran terhadap kesehatan dan kesejahterraan

A. Baku Mutu Primer Untuk melindungi pada batas keamanan yang mencukupi
(adequate margin safety) kesehatan masyarakat dimana secara umum ditetapkan
untuk melindungi sebagian masyarakat (15-20%) yang rentan terhadap pencemaran
udara.
B. Baku Mutu Sekunder Untuk melindungi kesejahteraan masyarakat (material,
tumbuhan, hewan, dll) dari setiap efek negatif pencemaran udara yang telah
diketahui atau yang dapat diantisipasi.
C. Baku Mutu Ambien Indonesia

Parameter Waktu Baku Mutu Metoda Analisis


Pengukuran
SO2 24 jam 260 g/m3 (0,10 Para-rosanilin
ppm)
CO 8 jam 2260 g/m3 (20 Non Dispersive
ppm) Infrared (NDIR)
NOx 24 jam 92,5 g/m3 (0,05 Saltzman
ppm)
Oksidan 1 jam 200 g/m3 (0,10 Chemilumi-
ppm) nescent
Debu 24 jam 0,26 g/m3 Gravimetri
Timah hitam 24 jam 0,06 g/m3 Gravimetrik
Absorbsi Atom
Berdasarkan baku mutu kualitas udara ambien ditentukan baku mutu emisi,
berdasarkan antisipasi bahwa dengan emisi cemaran dibawah baku mutu dan adanya
proses transportasi, konversi dan penghilangan cemaran maka kualitas udara ambien
tidak akan melampaui baku mutunya.
Berikut parameter baku mutu udara :
Parameter Batas Maksimum
(mg/m3)
Partikulat total SO2 NO 300 1500 1700
D. Pencemaran Udara
Pada umumnya pencemaran yang diakibatkan oleh sumber alami sukar
diketahui besarnya, walaupun demikian masih mungkin kita memperkirakan
banyaknya polutan udara dari aktivitas ini. Polutan udara sebagai hasil aktivitas
manusia, umumnya lebih mudah diperkirakan banyaknya, terlebih jika diketahui
jenis bahan, spesifikasi bahan, proses berlangsungnya aktivitas tersebut, serta
spesifikasi satuan yang digunakan dalam proses maupun pasca prosesnya
E. Faktor Emisi
Apabila sejumlah tertentu bahan bakar dibakar, maka akan keluar sejumlah
tertentu gas hasil pembakarannya. Misalnya, batu bara (C), jika dibakar sempurna
dengan O2 (oksigen) akan dihasilkan CO2 (karbon dioksida). Namun pada
kenyataannya tidaklah demikian, setiap batu bara yang dibakar dihasilkan pula
produk lain selain CO2, yaitu CO (karbon monoksida), HCHO (aldehida), CH4
(metana), NO2 (nitrogen dioksida), SO2 (sulfur dioksida) maupun abu. Produk hasil
pembakaran selain CO2 disebut sebagai pollutan (zat pencemar) Faktor emisi
didefinisikan sebagai sejumlah berat tertentu polutan yang dihasilkan oleh
terbakarnya sejumlah tertentu bahan bakar selama kurun waktu tertentu. Jika faktor
emisi suatu polutan diketahui, maka banyaknya polutan yang lolos dari proses
pembakaran dapat diketahui jumlahnya persatuan waktu. Faktor emisi berbagai
jenis bahan bakar diperoleh atas hasil pengukuran berulang-ulang pada berbagai
sumber emisi dengan tipe sistem yang sama. Oleh karena itu walaupun bahan
bakarnya sama, jika tipe sistemnya berbeda, maka emisi polutannya akan berbeda
besarnya. Beberapa Faktor Emisi (FE) berbagai bahan bakar maupun berbagai tipe
sistem yang digunakan, disajikan pada tabel dibawah ini:
a. Faktor Emisi Pembakaran Batubara
Polutan Power Plant Industri RT/Kantor
Aldehid (HCHO) 0,005 0,005 0,005
CO 0,5 3 50
CH4 0,2 1 10
NO2 20 20 8
SO2 38S 38S 38S
Partikulat 16A 16A 16A
b. Faktor emisi pembakaran gas alam
Polutan Power Plant Industri RT/Kantor
Aldehid (HCHO) 1 2 N
CO N 0,4 0,4
CH4 N N N
NO2 390 214 116
SO2 0,4 0,4 0,4
Partikulat 15 18 19
c. Faktor emisi pembakaran Fuel Oil
Polutan Power Plant Industri RT/Kantor
Aldehid (HCHO) 0,6 2 2
CO 0,04 2 2
HC 3,2 2 3
NO2 104 72 72
SO2 157S 157S 157S
SO3 2,4S 2S 2S
Partikulat 10 23 8

Anda mungkin juga menyukai