Anda di halaman 1dari 8

Tentukan Keywordsnya

Masalah kurangnya stok darah untuk keperluan medis masih menjadi isu di beberapa tempat.
Namun, hal tersebut sepertinya tidak lama lagi dapat diatasi karena para ilmuwan dari Swedia
kini menemukan cara untuk menciptakan darah buatan. Penelitian yang dilakukan di Lund
Univeristy mencari pengganti darah dan menemukan harapan pada tanaman bit gula yang
mengandung protein hemoglobin. Hemoglobin adalah protein dalam darah yang bertanggung
jawab membawa oksigen ke seluruh tubuh dan membuat darah memiliki warnanya yang merah.
Studi menemukan hemoglobin yang ditemukan pada tanaman memiliki kemiripan 50-60%
dengan hemoglobin manusia hanya saja bedanya hemogloblin tanaman lebih kuat. Prof Leif
Bulow dari Lund University yang juga terlibat dalam studi mengatakan tahap berikut dari
temuan ini adalah mencoba mengembangkan hemoglobin tanaman. Pada tahun 2015
rencananya darah dari tanaman tersebut akan diujicobakan pada hewan. "Dari satu hektar, kami
dapat menghasilkan 1-2 ton hemoglobin. Ini bisa menyelamatkan ribuan nyawa," kata Bulow.
MUNGKINKAH MEMBUAT VAKSIN MALARIA?
Konsep memori imunologik dan transfer imunitas lewat serum atau imunoglobulin tampaknya
berperan pada proses terbentuknya kekebalan terhadap malaria. Individu yang sudah terpapar
Plasmodium dalam waktu yang lama mungkin sudah lebih dulu “membangun” imunitas
sehingga gejala infeksi tidak begitu nyata, walaupun dari analisis darah tebal sudah ditemukan
Plasmodium. Selain itu apabila serum darah seorang dewasa yang sudah sering terpapar
Plasmodium diberikan kepada orang lain yang belum pernah terpapar, maka resipien serum itu
akan memperoleh sejumlah imunitas. Karena itu, prinsip vaksinasi adalah membuat seseorang
yang tidak pernah terpapar Plasmodium menjadi imun dengan cara memaparkannya pada
Plasmodium yang dilemahkan. Dalam hal ini sporozoit adalah bentuk yang terpenting karena
sesuai dengan bentuk Plasmodium yang dimasukkan nyamuk ke dalam tubuh manusia. Konsep
ini sudah dicoba pada tahun 1970-an dengan melemahkan sporozoit lewat radiasi, namun
kendala perbedaan spesies Plasmodium yang amat bervariasi membuat konsep ini tidak terlalu
berkembang pada saat itu. Sedangkan pada masa sekarang, permasalahan utama adalah
resistensi parasit yang berkembang dengan cepat.

Selain pada fase sporozoit, ada kemungkinan konsep vaksin bekerja pada tahap lain dalam
siklus hidup Plasmodium . Secara teoritis setiap tahap perkembangan Plasmodium dalam tubuh
manusia dapat dibuatkan vaksin. Vaksin preeritrositer (hepatik) dibuat berdasarkan konsep
penghambatan pelepasan trofozoit dari skizon hati, yaitu dengan menginduksi limfosit T
sitotoksik untuk merusak sel-sel hati yang terinfeksi. Vaksin eritrositer diharapkan dapat
menghambat multiplikasi trofozoit yang dilepaskan skizon hati atau mencegah invasi trofozoit
menuju eritrosit. Ada pula konsep pembuatan vaksin yang mampu mencegah perlekatan
eritrosit ke dinding pembuluh darah. Fase seksual juga dapat dijadikan dasar pengembangan
vaksin. Fase ini tidak berperan imunologis pada manusia, namun berperan dalam mencegah
penularan lebih lanjut lewat nyamuk.

Ringkasan “Mungkinkah Membuat Vaksin Malaria?”


Imunoglobulin memiliki dampak yang cukup positif untuk membentuk kekebalan bagi
melawan penyakit malaria. Seseorang yang sudah terkena Plasmodium, tubuhnya dapat
bereaksi dengan membentuk imunitas. Jika serum darah seseorang ini diberikan kepada orang
lain yang belum terkena Plasmodium, maka penerima dapat mendapatkan imunitas, hal inilah
yang disebut vaksin. Pembuatan vaksin ini dapat dilakukan pada fase sporozoit. Tahun 1970 –
an pembuatan vaksin ini terkendala dengan banyaknya variasi spesies Plasmodium, sementara
di masa sekarang kendala yang masih harus dilewati yaitu resistensi parasit yang dapat
berkembang dengan cepat. Secara teori, pembuatan vaksin ini tidak harus melalui fase
sporozoit, fase lain pun dapat dibuatkan vaksin, contohnya fase seksual, namun fase ini tidak
berperan membentuk imunitas namun mencegah penularan selanjutnya oleh nyamuk.
Catatan “Penelitian Obat Anti Malaria”
 Resistensi parasit membuat beberapa obat malaria tidak ampuh dalam menyembuhkan
penyakit malaria.
 Tes resistensi
1. In vitro (makro tes), kelebihannya dapat dilakukan pada berbagai jenis obat
dalam waktu yang bersamaan.
2. In vivo (mikro tes), kelebihannya dapat menentukan tingkat resistensi.
 Penelitian obat anti malaria
1. Klorokuin
o 1 – 41 dari 1 – 67 kasus resisten terhadap klorokuin (in vitro).
o 1 – 9 dari 5 – 28 kasus resisten terhadap klorokuin (in vivo).
o Efek samping obat ini adalah mual, muntah, diplopia dan vertigo.
o Cukup efektif untuk pengobatan profilaksis.
2. Sulfadoksin – Pirimetamin
o 2 – 45 dari 1 – 53 kasus resisten terhadap sulfadoksin – pirimetamin (in
vitro).
o 1 – 3 dari 38 – 42 kasus resisten terhadap sulfadoksin – pirimetamin (in
vivo).
o Efek samping dari sulfadoksin – pirimetamin adalah sindroma Steven
Johnson.
3. Kina
o 1 – 5 dari 1 – 60 kasus resisten terhadap kina (in vitro).
o Efek sampingnya adalah tinnitus.
4. Amodiakuin
o 0 – 57 dari 1 – 57 kasus resisten terhadap amodiakuin (in vitro).
o Test-plate sudah terlalu lama sehingga diragukan kebenarannya.
5. Meflokuin
o Belum dipakai di Indonesia, masih diteliti oleh WHO.
o 1 – 7 dari 1 – 37 kasus resisten terhadap meflokuin (in vitro).
o Tidak ditemukan kasus resisten terhadap meflokuin (in vivo).
o Efek samping meflokuin adalah mual yang dapat hilang sendiri.
6. Halofantrin
o Belum dipakai dan masih dalam proses penelitian
o 1 dari 63 kasus resisten terhadap halofantrin (in vivo).
o Efek samping obat ini adalah diare, mual, berdebar dan pusing namun
dapat sembuh dengan sendirinya.
 Kesimpulan
1. Kina yang paling baik untuk pengobatan malaria.
2. Meflokuin dan halofantrin diharapkan menjadi solusi pengobatan malaria
walaupun belum digunakan di Indonesia dan masih dalam tahap penelitian.
3. Klorokuin masih cukup efektif untuk pengobatan profilaksis.
4. Data efek samping obat malaria masih relatif sedikit.
5. Perlu penilitian lebih lanjut untuk mencapai keberhasilan pemberantasan
malaria melalui obat.

Ringkasan “Penelitian Obat Anti Malaria”


Di masa sekarang, resistensi parasit yang dapat berkembang dengan cepat membuat beberapa
obat malaria yang sudah ada tidak efeketif dalam membasmi malaria. Oleh karena itu,
dilakukan tes untuk mengetahui resistensi parasit terhadap beberapa obat anti malaria. Tes
tersebut dapat dibagi menjadi dua cara yaitu in vitro dan in vivo. In vitro atau makro tes
memiliki kelebihan dapat dilakukan pada beberapa obat secara bersamaan, sedangkan
kelebihan in vivo atau mikro tes adalah peneliti lebih dapat mengetahui tingkat resistensinya.
Ada 6 obat yang digunakan dalam penelitian, yaitu :

1. Klorokuin
Jika dilakukan tes in vitro 1 – 41 kasus resisten terhadap klorokuin dari 1 – 67 kasus
yang diteliti. Sedangkan secara in vivo, 1 – 9 dari 5 – 28 kasus resisten terhadap
klorokuin. Efek samping dari obat ini belum pernah diteliti, tapi dari beberapa kasus,
terjadi mual, muntah, diplopia dan vertigo. Namun, obat ini dinilai masih cukup ampuh
untuk pengobatan profilaksis.
2. Sulfadoksin – Pirimetamin
Tes in vitro menunjukkan 2 – 45 kasus resisten terhadap sulfadoksin – pirimetamin dari
1 – 53 kasus yang diteliti, in vivo – nya menunjukkan 1 – 3 dari 38 – 42 kasus resisten
terhadap obat ini. Belum ada penelitian secara khusus tenang efek samping obat ini,
namun di Papua pernah terjadi sindroma Steven Johnson.
3. Kina
1 – 5 dari 1 – 60 kasus resisten terhadap kina, secara in vitro. Untuk tes in vivo, belum
pernah dilakukan. Efek samping pun belum pernah diteliti karena pemakaiannya yang
relatif selektif.
4. Amodiakuin
0 – 57 kasus resisten terhadap amodiakuin dari 1 – 57 kasus, jika di tes secara in vitro.
Namun, kebenaran data ini diragukan karena testplate sudah terlalu lama.
5. Meflokuin
Merupakan obat yang tergolong baru, belum pernah dipakai di Indonesia dan masih
dalam penilitian WHO. Namun, hasil tesnya cukup baik, karena tidak ditemukan
resisten pada tes in vivo – nya. Sementara in vitro, 1 – 7 dari 1 – 37 kasus resisten
terhadap meflokuin. Efek samping obat ini adalah mual, tetapi mual tersebut dapat
hilang dengan sendirinya.
6. Halofantrin
Obat ini juga masih tergolong obat baru, penggunannya pun masih untuk tujuan
penelitian. Secara in vivo, hanya 1 dari 63 kasus yang resisten terhadap obat ini.
Walaupun ada efek samping, seperti diare, mual, berdebar dan pusing, namun efek
samping ini dapat sembuh tanpa perlu pengobatan.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap beberpa obat anti malaria, kina terbukti masih paling
efektif dalam mengatasi malaria. Tetapi klorokuin pun masih cukup baik untuk digunakan
dalam pengobatan profilaksis. Namun, ada harapan baru melalui meflokuin dan halofantrin
yang menunjukan hasil baik dalam tes in vitro dan in vivo, semoga bisa cepat digunakan untuk
membasmi penyakit malaria. Meskipun sudah ada kemajuan, namun penelitian masih tetap
harus dilakukan terutama dalam meneliti efek samping obat anti malaria agar kesuksesan
pemberantasan malaria dengan pengobatan dapat tercapai.
Jurnal Belajar
1. Konsep Awal
Di pertemuan kedua mata kuliah dasar – dasar penulisan karya ilmiah ini, saya
memperkirakan bahwa saya akan menerima materi tentang mengevaluasi tulisan.
Sehingga saya dapat mengetahui karya tulis yang baik dan dapat mengaplikasikan hal
– hal baik dari karya tulisan ke dalam karya tulisan saya. Selain itu saya juga berpikiran
bahwa pertemuan kali ini juga akan membahas materi pertemuan pertama yang belum
terselesaikan.
2. Konsep yang Dipelajari
Saya cukup memahami materi di pertemuan kedua ini, yaitu retorika dan etika menulis.
Jika saya menulis, konteks yang saya tulis yaitu mencakup saya sebagai penulis,
pembaca tulisan saya, tujuan saya menulis dan topik yang akan saya tulis dengan
harapan apa yang saya pikirkan dapat saya tulis dan disampaikan pembaca sehingga
pembaca memahami konsep yang saya maksud dalam tulisan tersebut. Ada pun faktor
yang memengaruhi tulisan kita adalah usia, pengalaman, gender, lokasi, politik yang
dianut, orang di sekitar kita dan pendidikan. Contohnya, adalah jika penulis seorang
mahasiswa pendidikan biologi maka penulis akan lebih menggunakan bahasa – bahasa
ilmiah jika dibandingkan siswa SD. Tentunya kita juga harus tahu tujuan kita menulis
apakah itu untuk menghibur, mengajak, mendidik, call to action, untuk menimbulkan
gejolak maupun untuk menginformasikan sesuatu. Kita juga harus tahu genre tulisan
apa yang akan kita tulis apakah fiksi, autobiografi, artikel berita ataupun yang lainnya.
Kita juga harus mengetahui perkiraan siapa yang akan membaca karya tulis kita, jika
kebanyakan yang membaca adalah siswa TK dan SD maka kita harus menggunakan
kata – kata yang mereka dapat mengerti, sebaliknya jika yang membaca adalah para
peniliti maka kita harus menggunakan kata atau istilah yang serius, formal dan ilmiah.
Topik yang akan kita angkat pun perlu diperhatikan. Topik ini harus sesuai dengan
situasi retorikal penulis. Saya juga diberi materi yaitu cara menghindari plagiarism.
Caranya adalah dengan membuat ringkasan dan parafrasing. Setelah materi tersebut,
saya mulai diberi materi tentang mengevaluasi tulisan, hal pertama yang harus kita
lakukan untuk mengevaluasi tulisan adalah mengetahui apakah tulisan tersebut
mengandung fakta atau opini. Jika fakta apakah faktanya benar? Jika opini apakah kita
sependapat dengan penulis? Dan jika tulisan tersebut mengandung fakta dan opini
dapatkah penulis itu dapat kita percayai? Begitulah cara kita mengevaluasi sebuah
tulisan. Materi selanjutnya yang saya pelajari adalah style atau gaya penulisan, ada
idiom, eufimisme, peribahasa, hiperbola, ironi, paradox, metaphora dan analogi. Tetapi
dalam karya tulis ilmiah, idiom, peribahasa, hiperbola dan ironi tidak boleh terdapat di
dalamnya. Setelahnya, saya juga diajari cara membuat suatu ringkasan untuk
menghindari plagiarism, yaitu dengan cara memilih kata kunci dalam sebuah tulisan,
lalu dari kata kunci tersebut dapat kita buat catatan, lalu dari catatan tersebut dapat kita
kembangkan dengan kata – kata kita sendiri dan membuatnya menjadi sebuah tulisan.
3. Konsep yang Belum Dipahami
Penyampaian materi ini cukup saya pahami sehingga sebagian besar materi dapat saya
pahami. Mungkin yang masih kurang saya pahami adalah membedakan fakta atau opini
dan gaya/style tulisan. Namun, saya rasa dengan semakin sering saya berlatih dengan
mengerjakan tugas – tugas maupun membaca buku atau artikel dapat membuat saya
lebih memahami hal tersebut.
4. Refleksi
Proses perkuliahan berlangsung dengan sangat kondusif bagi saya, saya dapat
mendengarkan penjelasan dosen dengan jelas dan memahami materi yang disampaikan
dosen dengan sangat mudah. Walaupun, kelas saya digabung dengan kelas lain, tetapi
menurut saya hal tersebut malah memudahkan saya dalam bertanya kepada teman
tentang sesuatu yang belum saya pahami.

Anda mungkin juga menyukai