Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI KLINIK
Yang dilaksanakan di
PRAKTEK DOKTER HEWAN BERSAMA (PDHB)
DRH. CUCU KARTINI SAJUTHI JAKARTA UTARA
Kasus Interna

Leptospirosis

Oleh:
Arnes Widya Anggita

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
A. SIGNALEMENT
Tanggal pemeriksaan : 4 Mei 2018
Nama hewan : Louie
Ras/Breed : Anjing/Bichon Frise
Warna rambut : Putih
Jenis kelamin : Jantan
Tanggal lahir/Usia : 3 Tahun
Berat badan : 6,35 kg
Temperatur tubuh : 38,8ºC

Gambar 1. Anjing Louie

B. ANAMNESA
Anjing Louie dibawa ke klinik Praktek Dokter Hewan Bersama (PDHB) 24 jam Sunter
1 dengan gejala lemah, muntah, mukosa mulut kuning dan kejang. Menurut keterangan klien,
anjing Louie sudah dibawa ke dokter hewan lain dan didiagnosa leptospirosis serta pernah
ada riwayat kutu. Vaksinasi rutin.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
Tingkah laku : Lemas
Perawatan : Baik
Gizi : Kurang
Pertumbuhan badan : Kurang
Sikap berdiri : Mampu berdiri dengan empat kaki,
tetapi lemah
Ekspresi wajah : Kurang bereaksi
Adaptasi lingkungan : Kurang merespon lingkungan
Temperatur tubuh : 38.8ºC
Frekuensi nadi : 140 X/menit
Frekuensi napas : 60 X/menit
Capillary refill time (CRT) : <2 detik
2. Kulit dan rambut
Aspek rambut : Bersih dan tidak kusam
Kerontokan : Tidak rontok
Kebotakan : Tidak terdapat kebotakan
Turgor kulit : <2 detik
Permukaan kulit : Rata, tidak ada kelainan
Bau kulit : Tidak bau
3. Kepala dan leher
a. Inspeksi
Ekspresi wajah : Kurang bereaksi
Pertulangan wajah : Kompak
Posisi tegak telinga : Kedua telinga terkulai
Posisi kepala : Menunduk
Mata dan orbita kiri
Palpebrae : Membuka dan menutup sempurna
Silia : Melengkung keluar
Konjungtiva : Kuning
Membrana niktitan : Tidak terlihat
Mata dan orbita kanan
Palpebrae : Membuka dan menutup sempurna
Silia : Melengkung keluar
Konjungtiva : Kuning
Membrana niktitan : Tidak terlihat
Bola mata kiri
Sklera : Kuning (Jaundice)
Kornea : Bening
Iris : Hitam
Pupil : Tidak ada kelainan
Limbus : Rata, tidak ada kelainan
Refleks pupil : Refleks terhadap cahaya
Lensa : Tidak ada kelainan
Vasa injeksio : Tidak ada
Bola mata kanan
Sklera : Kuning (Jaundice)
Kornea : Bening
Iris : Hitam
Pupil : Tidak ada kelainan
Limbus : Rata, tidak ada kelainan
Refleks pupil : Refleks terhadap cahaya
Lensa : Tidak ada kelainan
Vasa injeksio : Tidak ada
Hidung dan sinus
Bentuk pertulangan : Simetris
Aliran udara : Lancar pada kedua lubang hidung
Kesimetrisan : Simetris
Mulut dan rongga mulut
Defek bibir : Tidak ada kelainan
Mukosa : Kuning (Jaundice)
Lidah : Tidak ada kelainan
Gigi geligi : Tidak ada kelainan
Telinga
Posisi : Terkulai
Bau : Tidak bau
Permukaan daun telinga : Bersih
Krepitasi : Tidak ada
Refleks panggilan : Kurang responsive
Leher
Perototan : Kompak
Trakhea : Teraba, tidak ada refleks batuk
Esofagus : Teraba kosong
Kelenjar pertahanan daerah leher
Lgl. Mandibularis
Ukuran : Kecil
Konsistensi : Kenyal
Lobulasi : Jelas
Perlekatan : Tidak ada
Suhu kulit : Normal
Kesimetrisan : Simetris
4. Thoraks
a. Sistem pernapasan
Inspeksi
Bentuk rongga thoraks : Simetris
Tipe pernapasan : Thoracoabdominal
Ritme pernapasan : Ritmis/teratur
Intensitas : Sedang
Frekuensi : 60X/menit
Trakhea : Teraba
Refleks batuk : Tidak ada
Palpasi
Penenkanan rongga : Tidak ada reaksi kesakitan
thoraks
Penekanan M. : Teraba
intercostalis
Perkusi
Lapangan paru : Tidak ada perluasan
Gema perkusi : Sonor
b. Sistem peredaran darah
Inspeksi
Ictus cordis : Tidak terlihat
Auskultasi
Frekuensi : 140 X/menit
Intensitas : Sedikit cepat
Ritme : Ritmis
Suara ikutan : Tidak ada
Sinkron pulsus dan : Sinkron
jantung
5. Abdomen dan organ pencernaan
Inspeksi
Ukuran rongga abdomen : Tidak ada kelainan
Bentuk rongga abdomen : Simetris
Palpasi
Epigastikus : Tidak ada reaksi kesakitan
Mesogastrikus : Tidak ada reaksi kesaikitan
Hipogastrikus : Tidak ada reaksi kesakitan
Auskultasi
Suara peristaltik usus : Tidak terdengar
Suara borboritmis : Tidak terdengar
Anus
Daerah sekitar anus : Bersih
Refleks sphincter ani : Ada
Kebersihan perianal : Bersih
6. Sistem urogenital
Ginjal : Tidak ada reaksi kesakitan
Vesika urinaria : Teraba kecil, berada di daerah
hipogastrikum
Alat kelamin jantan (inspeksi dan palpasi)
Preputium : Bersih, ada ptechie
Penis : Pucat dan kuning
Skrotum : Belum dikastrasi, testikel kanan
dan testikel kiri simetris
7. Sistem saraf
Tengkorak : Pertulangan tegas
Kolumna vertebralis : Tidak ada reaksi sakit saat
dipalpasi
Refleks gerak : Ada
Gangguan kesadaran : Tidak ada
8. Alat Gerak
Inspeksi
Perototan kaki depan : Simetris
Perototan kaki belakang : Simetris
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : Tidak ada
Cara berjalan : Koordinatif
Bentuk pertulangan : Tidak ada kelainan
Tuber coxae dan tuber : Simetris
Ischia
Palpasi struktur pertulangan
Kaki kanan depan : Tegas, kompak
Kaki kanan belakang : Tegas, kompak
Kaki kiri depan : Tegas, kompak
Kaki kiri belakang : Tegas, kompak
Konsistensi pertulangan : Kompak tidak ada kelainan
Reaksi saat palpasi : Tidak ada reaksi kesakitan
Panjang kaki depan ka/ki : Sama panjang, simetris
Panjang kaki belakang : Sama panjang, simetris
ka/ki
Reaksi saat palpasi otot : Tidak ada reaksi kesakitan
Limfoglandula popliteal
Ukuran : Sedikit besar
Konsistensi : Kenyal
Lobulasi : Berlobul jelas
Perlekatan : Tidak ada
Suhu kulit : Normal
Kesimetrisan : Simetris

D. GEJALA KLINIS
 Jaundice
 Lethargi
 Vomit
 Ptechie di sekitar preputium
 Spot memar di paha
 tachipnea

Gambar 2. Sklera dan Mukosa Mulut Anjing Louie tampak Jaundice

E. DIAGNOSA BANDING
 Hepatitis
 Acute Renal Failure
 Leptospirosis

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan darah lengkap (hematologi)
 Pemeriksaan Kimia darah
 Pemeriksaan Urin
 Pemeriksaan MAT
 Pemeriksaan Parasit Darah (-)
Tabel 1. Hasil pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Kisaran normal
(Anjing)
Hematologi:
Sel darah merah 5,72 10^6/uL 5.5-8.5
(RBC)
Hemoglobin (Hb) 14 g/dL 12.0-18.0
Hematokrit (HCT) 39,1 % 37.0-55.0
MCV 68,4 Fl 60.0-77.0
MCH 24,5 Pg 19.5-24.5
MCHC 35,8 g/dL 32.0-36.0
Trombosit (PLT) 235 10^3/uL 200-500
Sel darah putih 38,5 10^3/uL 6.0-17.00
(WBC)
Limfosit 16,7 % 12.0-30.0
Monosit 5,2 % 3.0-10.0
Eosinofil 1 % 2.0-10.0
Granulosit 77,1 % 60.0-80.0
Limfosit 6,4 10^3/uL 1.0-4.8
Monosit 2 10^3/uL 0.15-1.35
Eosinofil 0,4 10^3/uL 0.01-1.25
Granulosit 29,7 10^3/uL 3.5-14.0
RDW 13,1 % 12.0-16.0
PCT 0,18 % 0,0- 2,9
MPV 7,5 fL 6,7-11,0
PDW 15,2 % 0,0-50,0
Keterangan : Merah : Meningkat
Biru : Menurun
Tabel 2. Hasil pemeriksaan Kimia darah
Pemeriksaan Hasil Satuan Kisaran normal
(Anjing)
Kimia Darah:
AST/SGOT 279 U/L 8.9-48.5
ALT / SGPT 200 U/L 8.2-57.3
Ureum (BUN) 490 mg/dL 10-20
Kreatinin 8,7 mg/dL 1-2
Total protein 8 g/dL 5.4-7.5
Albumin 4 g/dL 2.6-4.0
Globulin 4 g/dL 2.7-4.4
Ratio A/G 1,00 0.6-1.1
Total bilirubin 11,54 mg/dL 0.07-0.61
Direct bilirubin 7,9 mg/dL 0.0- 1.4
GGT 20 U/L 1.0-9.7
Alkalin phosphatase 1425 U/L 10.6-100.7
Keterangan : Merah : Meningkat
Biru : Menurun
Tabel 3. Hasil pemeriksaan Urin
Pemeriksaan Hasil Satuan Kisaran normal
(Anjing)
Urin:
Warna Kuning
Konsistensi Encer
Berat jenis 1,010 1.015-1.045
Ph 6 5.0-7.0
Lekosit 1+ (10-25) Leuko/uL
Nitrit - Negatif/positif
Protein 2+(100) mg/dL
Glukosa 3+(300) mg/dL
Keton - Negatif/positif
Urobilinogen - mg/dL
Bilirubin 1+ Negatif/positif
Darah 3+(50) Ca.Ery/uL
Hemoglobin - Ca.Ery/uL

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Microscopic Agglutination Test (MAT) pada Anjing Louie
Hasil Pemeriksaan/ Pengujian
Serum anjing “Louie” bereaksi Positif,
Antigen yang digunakan adalah Leptospira interrorgans, serovar :
No Serovar Titer No Serovar Titer
1 Icterohaemorrhagiae 1:100 8 Rachmati 0
2 Javanica 0 9 Australis 0
3 Celledoni 0 10 Pomona 0
4 Canicola 0 11 Grippotyphosa 0
5 Ballum 0 12 Hardjo 0
6 Pyrogenes 0 13 Bataviae 0
7 Cynopteri 0 14 Tarassovi 0
Interpretasi Hasil : Titer > 1:100 menunjukkan serum bereaksi POSITIF terhadap
leptospira interrogans yang digunakan.
G. DIAGNOSIS
Leptospirosis
H. PROGNOSIS
Dubius - Infausta
I. TERAPI
 Terapi cairan : Infus RL (Ringer Lactat)
 Antiemetik : Ondansetron 0.1 mg/kg BB
Maropitant 0,1mL/kg BB
 Gastroprotektan : Sukralfate 0,1mL/kg BB
 Antibiotik : Ampicillin 0,1mL/kg BB
 Faktor koagulasi : Vitamin K1 0,1mL/kg BB
darah
 Multivitamin dan : Hematopan 1-5 mL /ekor Anjing
suplemen Biodin 1-5 mL/ ekor Anjing
Azodyl (Enterococcus thermophilus, Lactobacillus acidophilus,
Bifidobacterium longum dan psyllium) 2 kapsul/hari
Orniphural (betaine, Arginine (hydrochloride), Ornithine (hydrochloride),
Citrulline, Sorbitol, Metacresol) 2 mL/ ekor Anjing

J. PEMBAHASAN
Anjing Louie dibawa ke klinik Praktek Dokter Hewan Bersama (PDHB) 24 jam
Sunter 1 dengan gejala lemah, muntah, mukosa mulut kuning dan kejang. Menurut
keterangan klien, anjing Louie sudah dibawa ke dokter hewan lain dan didiagnosa
leptospirosis serta pernah ada riwayat kutu. Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang
yaitu pemeriksaan hematologi, kimia darah, urinalisis, parasit darah (-) dan pemeriksan MAT
ditemukan adanya titer antibodi icterohaemorrhagica. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang, anjing Louie didiagnosa mengalami suspect Leptospirosis.
1. Etiologi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh infeksi bakteri dari spesies
Leptospira sp. yang tergolong pathogen, yang berbentuk spiral dari genus leptospira (Tanzil,
2012). Leptospira yang sering dijumpai pada anjing adalah L. Canicola dan L.
icterohaemorrhagica yang menyerang hepar dan ginjal. Di Indonesia telah ditemukan serovar
lain diantaranya L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. batavie, L.
grippotyphosa, L. hardjo dan L. pomona (Greene, 2012). Pemeriksan MAT ditemukan
adanya titer antibodi icterohemoragica.
L. icterohaemorrhagiae merupakan serogroup dari kelompok Leptospira patogen
yang ditemukan pada tikus dan diketahui virulen bagi manusia. L. icterrohaemorrhagiae
banyak menyerang pada tikus got (Ratus norvegicus) dan tikus rumah (Ratus tanezumi).
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral, tipis, lentur dengan
panjang 10-20 µm dan tebal 0,1 µm serta memiliki dua lapis membran. Kedua ujungnya
mempunyai kait berupa flagelum periplasmik. Bergerak aktif maju mundur dengan gerakan
memutar sepanjang sumbunya. Lingkungan yang optimal untuk hidup dan perkembangbiakan
Leptospira ialah pada suasana lembap, suhu sekitar 25oC, serta pH mendekati netral.
Leptopsira interrogans serovar Icterohaemorrhagiae dan serovar Canicola merupakan
penyebab utama kasus leptospirosis pada anjing. Penyakit ini ditandai dengan gejala hepatitis
akut atau subakut, gagal ginjal dan sering terjadi diatesis hemoragik akut (Goldstein, 2010).
Kejadian leptospirosis pada anjing di Indonesia dalam periode tahun 2002-2004 memiliki
rata-rata 24,6%.
2. Patogenesa
Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi anjing Louie memiliki jumlah nilai WBC
yang tinggi (leukositosis) yang disertai peningkatan limfosit (limfositosis), monosit
(monositosis), granulosit dan penurunan eosinofil. Menurut Salasia dan Hariono (2010),
meningkatnya nilai WBC didalam peredaran darah menandakan tubuh mengalami infeksi.
Fungsi utama dari Leukosit (WBC), yaitu bekerja dengan cara membangun mekanisme utama
tubuh dalam melawan infeksi dan menghasilkan antibodi. Leukosit meningkat sebagai respon
fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme untuk merespon adanya
infeksi, netrofil meninggalkan kelompok marginal dan memasuki daerah infeksi dan sumsung
tulang akan melepaskan sumber cadangannya sehingga menimbulkan peningkatan
granulopoiesis. Netrofil merupakan pertahanan efektif terhadap mikroba terutama bakteri
(Bijanti, 2010).
Hasil pengujian kimia darah anjing Louie menunjukkan kondisi cholangiohepatitis
yang ditandai dengan tingginya nilai AST, ALT dan bilirubin. Aspartate transaminase (AST)
adalah enzim mitokondrial-bond yang dapat ditemukan dalam jaringan terutama pada hepar
dan otot lurik. Sedangkan enzim Alanin transaminase (ALT) merupakan enzim yang
dihasilkan pada hepar terutama pada hepatosit dan sitoplasma. Peningkatan jumlah enzim
ALT dapat disebabkan oleh berbagai hal diantaranya sirosis hepatic, neoplasia, hepatitis dan
toksin dari bakteri seperti Leptospira sp. (Bijanti, 2010).
Berdasarkan pengujian kimia darah juga menunjukkan kondisi azotemia yang
ditunjukkan dengan nilai BUN dan Kreatinin mengalami peningkatan. Ureum adalah hasil
metabolisme protein dari amonia menjadi urea dan berlangsung di hepar. Kreatinin adalah
produk penguraian kreatinin yang disintesis pada hepar dan difiltrasi oleh glomerulus ginjal
untuk diekskresikan melalui urin (Eldegre, 2007). Konsentrasi kreatinin yang tinggi dalam
darah dapat diindikasikan bahwa ginjal mengalami kerusakan khususnya glomerulus.
Azotemia adalah kelainan biokimia yang ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin
dan nitrogen urea darah dan terutama berkaitan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
(Bijanti, 2010). Terdapat tiga macam azotemia yaitu azotemia prerenal, renal dan postrenal.
Azotemia prerenal dapat disebabkan oleh peningkatan katabolisme protein seperti pada
perdarahan gastrointestinal, perdarahan jaringan lunak atau rongga tubuh, hemolisis, leukimia
(pelepasan protein leukosit), cedera fisik berat, luka bakar. Selain itu juga respon terhadap
penurunan aliran darah ke ginjal yang dapat disebabkan oleh shock, kehilangan darah dan
dehidrasi. Azotemia renal terjadi akibat gagal ginjal yang menyebabkan gangguan ekskresi
urea. Azotemia postrenal terjadi akibat obstruksi saluran kemih di bagian ureter, vesika
urinaria dan uretra yang menghambat ekskresi urin. Obstruksi ureter bisa oleh batu, tumor
dan peradangan (Lorenz et al., 2009).
Azotemia yang terjadi pada anjing Louie adalah azotemia renal, dimana kondisi
tersebut dapat terjadi akibat adanya penurunan laju filtrasi glomerulus sehingga ureum dan
kreatinin menumpuk didalam sirkulasi (Bijanti, 2010). Terjadinya peningkatan nilai BUN dan
Kreatinin, mengindikasikan bahwa terdapat kerusakan ginjal akibat kompensasi adanya
insufiensi hepar.
Menurut Rubin (2007), infeksi dari bakteri Leptospira sp. dapat menimbulkan kondisi
patologis pada organ liver dan ginjal. Patogenesa leptospirosis diawali dengan masuknya
bakteri tersebut ke dalam tubuh dengan menembus kulit dan mukosa serta mengikuti
peredaran darah hingga ke liver dan ginjal yang dapat memicu timbulnya liver failure dan
renal failure. Bakteri Leptospira sp. masuk ke pembuluh darah dan bereplikasi 4- 7 hari dan
menyebar keseluruh bagian tubuh pada hari ke 9-13 (Cowel, 2008).
Leptospira mempunyai toksin golongan Lipopolisakarida (LPS) yang dapat dirilis
melalui dinding sel peptidoglikan. Toksin leptospira mempunyai jenis toksin Lipl. 10 yang
dapat mempengaruhi kinerja ginjal dan hepar (Tanzil, 2012). Bakteri Leptospira akan
menyebar ke bagian hepar akan menyebabkan terjadinya infiltrasi sel limfosit dan proliferasi
sel Kupffer hepar. Sel hepatosit menganggap bahwa leptospira adalah antigen sehingga
mempunyai respon untuk menetralisir. Antibodi yang dimiliki sel hepatosit untuk
menetralisir Leptospira adalah IgG, tetapi sistem imun yang terbentuk tidak dapat
membendung infeksi leptospira akibat perbedaan tekanan dalam sel yang hipertonis. Infeksi
berlanjut hingga menyebabkan kerusakan hepatosit dan sel kupffer. Sel kupffer adalah jenis
sel yang dapat berperan sebagai makrofag pada hepar dan ditemukan pada dinding endotel
dan retikuloid hepar. Kerusakan hepar yang terjadi secara cepat akan menyebabkan terjadinya
jaringan parut sebagai mekanisme tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Jaringan
parut yang mengalami fibrosis dan mengeras akan menyebabkan serosis dan hepar tidak
dapat menjalankan fungsinya dengan baik (insufiensi liver) (Cowel, 2008).
Kehilangan fungsi pada organ hepar dapat dilihat dari timbulnya jaundice akibat
terjadinya timbunan bilirubin dalam peredaran darah. Bilirubin adalah pigmen kuning yang
berasal dari perombakan heme dari hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel
retikuloendotel (Bijianti, 2010). Bilirubin harus terkonjugasi menjadi hepatobilirubin dan
diekskresikan dari liver hingga keluar dari tubuh melalui urin dan feses (Cowel, 2008).
Kenaikan jumlah bilirubin ditandai dengan hewan mengalami jaundice. Jaundice (Ichterus)
adalah suatu kondisi dimana bilirubin terakumulasi dalam darah dan jaringan yang
menyebabkan membran mukosa, lapisan sklera mata nampak berwarna kekuningan dan
menjadi gejala klinis adanya insufiensi liver. Jaundice dapat disebabkan oleh kelainan pada
pre hepatic, hepatic dan post hepatic. Pada anjing Louie, jaundice yang terjadi yaitu jaundice
hepatik. Jaundice hepatik merupakan jaundice yang disebabkan penurunan fungsi liver untuk
melakukan konjugasi bilirubin yang terjadi di liver. Kegagalan konjugasi bilirubin
dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain serosis liver, hypoalbumin dan obstruksi empedu
(Rubin, 2007).
Leptospira pada umumnya akan berkoloni dan replikasi di dalam epitel tubulus ginjal,
sehingga menyebabkan nefritis interstitialis. Sel epitel tubulus ginjal adalah sel epitel pipih
selapis yang kerjanya berkaitan dengan proses difusi, osmosis, filtrasi dan sekresi. Nefritis
interstitialis dapat terjadi akibat kerusakan pembuluh darah kapiler pada ginjal. Penurunan
Glomerulus Filtration Rate pada fungsi ginjal mengakibatkan BUN dan kreatinin tinggi.
Keterlibatan leptospirosis pada ginjal sangat bervariasi, dari insufiensi ginjal ringan sampai
gagal ginjal akut. Pada umumnya, leptospirosis menyebabkan gagal ginjal akut (Levett,
2001).
Mekanisme kerusakan ginjal terjadi karena makrofag tidak dapat membunuh toksin
yang dihasilkan oleh leptospirosis sehingga menyebabkan inflamasi yang berkepanjangan.
Proses inflamasi yang tidak dapat melemahkan antigen dapat menyebabkan kerusakan organ
dan kehilangan fungsi pada organ. Di dalam ginjal bakteri Leptospira bermigrasi ke
interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus.
3. Gajala Klinis
Penularan dari Leptospirosis terjadi melalui mekanisme langsung dan tidak langsung.
Penularan langsung terjadi melalui paparan oronasal dengan urin yang terinfeksi, luka
gigitan, atau menelan jaringan yang terinfeksi. Penularan secara tidak langsung dapat terjadi
melalui kontaminasi air, tanah, makanan dan lingkungan. Agen Leptospira sp. dapat bertahan
secara optimal beberapa minggu di lingkungan yang kondisinya tidak stabil. Agen yang telah
bertransmisi ke dalam tubuh host dengan menembus mukosa hidung, mulut, mata, maupun
alat kelamin akan cepat memasuki sistem vaskuler. Agen Leptospira sp. bereplikasi di ginjal,
hepar, sistem saraf pusat, mata dan saluran reproduksi (Luiz, 2007). Jaringan dan pembuluh
darah akan mengalami peradangan yang akan mengalami kerusakan endotel dan perdarahan.
Pada kasus leptospirosis yang akut biasanya disertai dengan peradangan gastrointestinal
sehingga dapat menyebabkan gejala klinis vomit dan diare (Greene, 2012).
Pada pasien yang mengalami leptospirosis temuan klinis yang didapat yaitu hewan
dalam kondisi yang dehidrasi, kekurusan, terdapat ptechie, bau pada mulut dan jaundice.
Leptospira dapat menyebabkan sel-sel hati mengalami disosiasi (Singh, 2012). Agen
Leptospira sp. dapat menginfeksi melalui mekanisme toksik yang dapat menyebabkan
hemolisa sel darah merah. Bakteri masuk melalui membran mukosa kemudian masuk ke
dalam sirkulasi darah dan membentuk koloni dalam organ liver dan ginjal sehingga
mengakibatkan perubahan fungsi organ. Agen Leptospira sp. juga merusak endotel vaskuler
sehingga menyebabkan hemorraghi. Perubahan selanjutnya pada penderita leptospirosis yaitu
jaundice akibat kerusakan liver maupun destruksi sel darah merah serta nephritis yang
disebabkan oleh kerusakan renal tubular (Hirsh and Zee, 1999). Gejala klinis tersebut sesuai
dengan gejala klinis anjing Louie yaitu jaundice, lethargi, vomit, ptechie di sekitar preputium
dan spot memar di paha. Menurut Gyles (2011), Infeksi agen Leptospira sp. yang tinggi dapat
menyebabkan ptechie (bintik-bintik merah di kulit) akibat rusaknya sel endotel kapiler
pembuluh darah maupun efek komponen sel toksik sehingga muncul gejala.
4. Diagnosa
Diagnosa terhadap leptospirosis berdasarkan gejala klinis, hematologi dan kimia
darah. Gambaran pemeriksaan darah terdapat adanya peningkatan PCV akibat dehidrasi,
leukositosis (peningkatan jumlah sel darah putih), trombositopenia (penurunan jumlah
trombosit), BUN dan kreatinin yang tinggi (indikasi gangguan ginjal, peningkatan enzim hati,
proteinuria dan isosthenuria (Senthil et al., 2013). Menurut Sykes et al., (2011) gambaran
hasil yang diperoleh dari pengujian kimia darah hanya akan memperoleh gambaran adanya
gangguan di hati dan ginjal bukan agen penyebab. Diagnosa penyakit leptospirosis dapat
dilakukan dengan pengujian sampel darah, Polymerase Chain Reaction (PCR), Microscopic
Agglutination Test (MAT) dan Enzim Linked Immunoassay (ELISA).
Diagnosis leptospirosis pada hewan dapat menggunakan uji Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk mendeteksi Deoxyribonucleic acid (DNA) Leptospira dalam sampel
klinis yang berupa darah, urin, cairan serebrospinal dan sampel jaringan. Uji PCR pada urin
sangat direkomendasikan karena konsentrasi agen Leptospira sp. tertinggi terdapat dalam
urin. Teknik deteksi ini cukup sensitif tetapi tidak dapat mengidentifikasi sampai serovar
(Woodward et al., 1991).
Metode yang paling terbaru untuk diagnosa leptospirosis selain menggunakan PCR,
yaitu pengujian berdasarkan serologi yang disebut Microscopic Agglutination Test (MAT).
MAT merupakan uji serologi yang paling banyak digunakan untuk anjing. Uji MAT
dianggap sebagai gold standart untuk mendiagnosis leptospirosis. Pada uji MAT digunakan
antigen hidup dan diperlukan banyak serogrup sebagai antigen untuk hasil yang optimal
(Mutawadiah, 2015). Spesifisitas MAT sangat baik, karena tidak ada reaksi silang dengan
antibodi anti bakteri lain, tetapi reaksi silang antar serovar Leplospira seringkali terjadi
walaupun pada tingkat rendah. Hewan yang divaksin Leptospira serovar tertentu akan
mempunyai antibodi terhadap serovar tersebut. Untuk itu, sangat penting untuk menyertakan
riwayat vaksinasi hewan yang akan diuji serumnya (Office International Des Epizooties,
2000). Pada anjing Louie dilakukan pemeriksaan MAT dan didapatkan hasil serum anjing
Louie bereaksi positif dengan serovar Icterohaemorrhagiae.
ELISA untuk mengukur IgG dan IgM anjing telah dikembangkan oleh Hartman et al
(1986). Dengan ELISA, anti-leptospira IgM dapat terdeteksi pada satu minggu setelah
infeksi. Antibodi IgG dapat terdeteksi mulai 2 minggu setelah infeksi dan bertahan sampai
waktu yang lama. Anjing penderita leptospirosis akut mempunyai titer antibodi IgM yang
lebih tinggi dibanding IgG. Anjing yang divaksin atau mengalami infeksi yang sudah lama
memiliki antibodi IgG yang lebih tinggi daripada IgM.
5. Terapi
a. Antiemetik
Antiemetik berupa Ondansetron dapat mengurangi muntah dengan cara memblokir
respon serotonin. Serotonin merupakan hormon yang terdapat pada sistem pencernaan dan
saraf selain itu juga merupakan neurotransmiter yang merangang reseptor pada usus,
serotonin akan bereaksi terhadap reseptor 5HT3. yang berada di usus. Ondansetron akan
menghambat serotonin bereaksi dengan reseptor tersebut. Ondansetron mengandung
Ondansetron HCl 2 mg/ mL. Ondansetron merupakan antiemetik golongan antagonis reseptor
5HT3. Mekanisme Ondansetron sebagai antiemetik yaitu mampu memutus respon serotonin
yang dikirim oleh hepar agar terjadi muntah. Serotonin dikirim oleh hepar menuju otak
khususnya pada bagian CTZ untuk bergabung dengan reseptor 5HT3 kemudian otak akan
meneruskan sinyal ke otot abdomen agar berkontraksi dan terjadi muntah. Antiemetik juga
digunakan Maropitant (Cerenia). Maropitant digunakan untuk mual dan muntah pada anjing.
Cerenia termasuk antagonis reseptor neurokinin (NK1) yang menghambat farmakologis aksi
substansi P dalam sistem saraf pusat. Anjing Louie diinjeksi antiemetik ondansetron
0,1mg/kg BB IV dan maropitant 0,1ml/kg BB SC.
b. Gastroprotektan
Sukralfate diberikan untuk memulihkan fungsi pencernaan. Sukralfate yang
digunakan merek inpepsa, sukralfate berfungsi untuk menghambat penyerapan phospat, dan
juga berperan untuk membantu ulcer lambung akibat uremic syndrome (Polzin et al., 2005).
Tujuan pemberian sukralfate pada saluran pencernaan yaitu untuk melapisi gaster agar tidak
terjadi ulcer dan respon untuk muntah dapat dihambat. Mekanisme kerja sukralfate yaitu
dengan cara polimerisasi dan pengikatan selektif terhadap jaringan ulkus yang nekrosis,
dimana bahan ini bertindak sebagai penghalang terhadap asam, pepsin dan empedu. Selain itu
bekerja dengan cara menstimuli sintesis prostaglandin endogen. Anjing Louie diberikan
inpepsa dengan dosis 0,1ml/kg BB secara peroral.
c. Antibiotik
Ampicillin adalah antibiotik golongan beta laktam termasuk keluarga penisillium
yang mempunyai spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram negatif maupun gram positif.
Ampicillin adalah bakteriosidal yang bekerja dengan cara menghambat secara irreversibel
aktivitas enzim transpeptidase yang dibutuhkan untuk sintesis dinding sel bakteri (Sudisma,
2006). Menurut Greene (2012), Leptospira dapat dihambat menggunakan antibiotik dari
golongan Penisilin dan dapat meringankan kinerja dari hepar dan ginjal. Anjing Louie
diinjeksi antibiotik ampicillin 0,1ml/kg BB IV.
d. Faktor Koagulasi Darah
Vitamin K1 (phytomenadione) merupakan bahan pembentuk faktor pembekuan darah.
Karena itu, vitamin K sangat berperan penting dalam proses pembekuanan darah. Vitamin K
dibutuhkan untuk dekarboksilasi dari asam glutamat menjadi asam gamma karboksiglutamat.
Asam glutamat sendiri adalah suatu asam α-amino yang digunakan dalam biosintesis protein.
Asam amino ini mengandung gugus α-amino, sebuah gugus asam α-karboksilat, dan asam
karboksilat, yang mengklasifikasikannya menjadi asam amino alifatik polar bermuatan
negatif. Fungsi dari asam gammakarboksi glutamat adalah untuk pengikatan Ca2+ dan
penarikan dari faktor-faktor koagulasi golongan protrombin, yaitu faktor II (protrombin),
faktor VII (faktor stabil), faktor IX (faktor Christmas), dan faktor X (faktor Stuart-Prower)
menuju tempat dimana fibrin clot dibentuk. Anjing Louie diinjeksi vitamin K1 0,1ml/kg BB
SC.
e. Multivitamin dan suplemen
Hematopan mengandung Sodium cacodylate, Ammonium ferric citrate, Methionin,
Histidine hydrochlorida, Tryptophan, Cobalt acetat dan Cyanocobalamin. Hematopan
bertujuan untuk menambah zat besi dan memperbaiki daya tahan tubuh. Hematopan juga
berperan untuk melawan terjadinya anemia oleh tubuh melalui hematopoiesis pada sumsum
tulang. Hematopan ditujukan untuk kondisi anemia karena kekurangan zat besi akibat infeksi,
meningkatkan nafsu makan, dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Pemberian Biodin berfungsi sebagai penguat fungsi otot, merperbaiki metabolisme, dan daya
tahan tubuh. Biodin mengandung ATP, Mg aspartate, K aspartate, Na Salenite, dan vitamin
B12. ATP membebaskan energi pada waktu penguraiannya dan memungkinkan pembentukan
phosphoric acid ester yang dapat di asimilasi, garam aspartat berfungsi untuk mengatur
keseimbangan ion-ion tubuh, sodium saline berperan dalam mengatur reksi enzimatis pada
metabolesme sel dan sebagai antioksidan, sedangkan vitamin B12 berfungsi untuk membantu
pematangan sel darah merah (Tennant, 2002). Anjing Louie diberikan Hematopan dan Biodin
dengan dosis 1-5 mL/ ekor secara IM.
Azodyl mengandung Enterococcus thermophilus, Lactobacillus acidophilus,
Bifidobacterium longum dan psyllium. Azodyl adalah suplemen makanan yang dapat
digunakan untuk mengurangi azotemia, peningkatan konsentrasi senyawa yang mengganggu
kemampuan ginjal untuk menyaring dan menghilangkan sisa metabolisme. Azodyl dapat
mendukung fungsi ginjal dengan menyediakan dialisis enterik alam dan memperlambat
uremik racun penumpukan dalam darah untuk membantu memcegah kerusakan ginjal lebih
lanjut. Anjing Louie diberikan Azodyl 2 kapsul/ hari secara oral.
Ornipural mengandung betaine, Arginine (hydrochloride), Ornithine (hydrochloride),
Citrulline, Sorbitol, Metacresol. Pemberian Orniphural bertujuan untuk membantu kerja
hepar karena banyak mengandung asam amino yang dapat diserap dengan baik oleh hepar.
Orniphural dapat berperan sebagai hepatoprotektor, lipotropik dan diuretik yang memabantu
optimalisasi metabolisme oleh liver dan ginjal serta mempercepat ekskresinya melalui urin.
Ornipural diberikan untuk menstimulai hepatodigestive dan meringankan gangguan, sehingga
meningkatkan fungsi kerja hati dan ginjal, yang mengalami penurunan fungsi. Selain itu
orniphural juga dapat mencegah kegagalan fungsi hati, dan ginjal akibat pemberian obat-
obatan secara intensif pada terapi. Dosis pemberian Orniphural yaitu 2-5 ml/ekor anjing
tergantung ukurannya, diberikan melaului I.V, I.M, maupun SC (Ramsey, 2008).
6. Kesimpulan
Anjing Louie didiagnosa mengalami Leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit
zoonosis, disebabkan oleh infeksi bakteri dari spesies Leptospira sp. yang dapat
menyebabkan insufiensi pada organ liver dan ginjal. Pada pemeriksaan hematologi dan kimia
darah kerusakan liver dan ginjal ditandai dengan peningkatan AST, ALT, BUN dan Kreatinin
yang signifikan. Pada anjing Louie ini telah diberikan terapi selama 4 hari namun anjing
Louie tidak dapat diselamatkan.
7. Rekam Medis
Tabel 5. Hasil rekam medis anjing Louie
Tanggal Kondisi Umum Tindakan dan Penanganan
Senin Sore Sore
14-5-2018 Temperatur : 380C Inpepsa
Mukosa : Jaundice Ampicillin 0,5 ml
Kejang : tidak ada Cerenia 0,5 ml
Vomit : tidak ada Hematopan 0,5 ml
Sikap : lesu Biodin 0,5 ml
Infus RL

Malam
Azodyl
Selasa Pagi Pagi
15-5- 2018 Temperatur : 37,80C Ampicillin 0,5 ml
Mukosa : Jaundice Hematopan 0,6 ml
Kejang : tidak ada Biodin 0,6 ml
Vomit : ada Ondansentron 0, 6 ml
Sikap : lesu Azodyl
Defekasi : tidak ada Inpepsa
Urinasi : kuning pekat Infus RL
Terdapat spot memar pada lateral paha
kanan

Sore Sore
Temperatur : 380C Ampicillin 0,5 ml
Mukosa : Jaundice Hematopan 0,6 ml
Vomit : tidak ada Biodin 0,6 ml
Abdomen : tegang Ondansentron 0, 6 ml
Sikap : lesu Azodyl
Defekasi : tidak ada Inpepsa
Urinasi : kuning Infus RL
Cerenia 0,6 ml
Rabu Pagi Pagi
16-5-2018 Temperatur : 38,30C Ampicillin 0,5 ml
Mukosa : Jaundice Hematopan 0,6 ml
Vomit : ada Biodin 0,6 ml
Sikap : lesu Ondansentron 0, 6 ml
Defekasi : tidak ada Azodyl
Terdapat spot memar pada lateral paha Inpepsa
Infus RL
Sore
Temperatur : 380C Sore
Mukosa : Jaundice Vitamin K1 0,6 ml
Vomit : tidak ada Primperan 0,5 ml
Defekasi : tidak ada Ornipural 0,2 ml
Urinasi : baik
Kamis Pagi Pagi dan Sore
17-5-2018 Temperatur : 38,20C Cerenia 0,6 ml
Mukosa : Jaundice Ampicillin 0,5 ml
Vomit : ada Vitamin K1 0,6 ml
Defekasi : tidak ada Inpepsa
Urinasi : baik Azodyl
Terdapat spot memar pada lateral paha dan
ptechie di sekitar preputium
Sore
Temperatur : 380C
Mukosa : Jaundice
Vomit : tidak ada
Defekasi : tidak ada
Sikap : lesu
Terdapat ptechie di sekitar preputium
Jumat Pagi
18-5-2018 Anjing Louie tidak dapat diselamatkan

9. Daftar Pustaka
Bijanti, R. 2010. Patologi Klinik Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya.

Cowel, R. L., D. T Ronald and H. M James. 2008. Diagnostic Cytology and Hematology of
the Dog and Cat. Mosby Elsevier. Missouri.

Eldegre, D. M., D. C Liisa., G. C Delbert and M. G James. 2007. Dog’s Owners’s Home
Veterinary Handbook. Willey Publishing Inc. New Jersey.

Goldstein, R.E. 2010. Canine Leptospirosis. Vet Clin Small Anim, 40(6), pp.1091–1101

Greene, C. 2012. Infection Disease of the Dog and Cat ed 4th. Elsevier. University of
Georgia. Athena: Georgia.

Gyles, C.L., J. E. Prescott, J. G. Songer dan C. O. Thoen. 2011. Pathogenesis of Bacterial


Infections in Animals. Blackwell Publishing. State Avenue. USA

Hartman, E .G ., T.S .G .A .M. Van Den Ingh and J. Rothutzen. 1986 . Clinical, Pathological
and Serological Features Of Spontaneous Canine Leptospirosis. An Evaluation of the
Igm- and IgG Specific Elisa. Vet Immunol and Immunopathol. 13 :261-271.

Hirsh, D. C and Zee, Y. C. 1999. Veterinary Microbiology. Oxford: Blackwell Science. 214-
215

Levett, P. 2011. Leptospirosis. In : Clin Microbiol. Rev., 2001; 14(2) : 296-326.

Luiz, W. F., J. B. Castelli and A. C. Seguro. 2007. Human Hemorrhagic Pulmonary


Leptospirosis: Pathological Findings and Pathophysiological Correlations. Journal
pone ncbi.

Mutawadiah. 2015. Seroprevalensi Leptospirosis pada Anjing Kintamani di Bali: Thesis.


Universitas Udayana. Bali.
Office International Des Epizooties. 2000. Leptospirosis, In Manual Of Standards For
Diagnostic Test And Vaccines, 4th Edition : 265-275.

Polzin, D. J., C.A Osborne, and S. Ross. 2005. Textbook Of Veterinary Internal Medicine. 6th
Edn. Eds S. J. Ettinger And E. C. Feldman. W. B. Saunders, Philadelphia, Pa, USA.

Ramsey, I. 2008. Small Animal Formulary. British Small Animal Association. England.

Salasia, S dan B, Hariono. 2010. Patologi Klinik Veteriner: Kasus Patologi Klinis. Samudera
Biru. Yogyakarta.

Senthil, N. R., K. M. Palanivel, R. Rishikesavan. 2013. Seroprevalence of Leptospiral


Antibodies in Canine Population in and Around Namakkal. J Vet Med. Article

Singh, S. H and P. Vijayachari. 2012. Leptospirosis. Clinical Spectrum and Case


management. Regional Medical research Centre, ICMR. Dept.of Health Research

Sudisma, I.G.N. Putra, A.A. Jaya, I.W. 2006. Ilmu Bedah Veteriner dan Teknik Operasi.
Pelawa Sari. Denpasar

Sykes, J.E., K. Hartmann, K. Lunn, G. Moore, R. Stoddard and R. E. Goldstein. 2011.


ACVIM Consensus Statement On Leptospirosis: Diagnosis, Epidemiology,
Treatment, and Prevention. J Vet Intern Med, 25, pp.1–13.

Tanzil, K. 2012. Ekologi dan Patogenesitas Kuman Leptospira. Kedokteran;324;halm 10-13.

Tennant, B. 2002. Small Animal Formulary. 4th ed. British Small Animal Veterinary
Association. Gloucester.

Woodward, M. J., A. G. Sullivan, N. M. Palmer, J. C. Woolfy and J. S. Redstone. 1991.


Development of a PCR Test Specific for Leptospira Hardjo Genotype Bovis. Vet.
Rec.128: 282-283
.

Anda mungkin juga menyukai