Anda di halaman 1dari 7

Hewan akuatik

segala jenis hewan yang hampir seluruh hidupnya berada di dalam air. Salah satu
contohnya adalah ikan. Ya, ikan memang merupakan salah satu jenis hewan yang
menggantungkan seluruh hidupnya di dalam air, seperti bergerak, bernapas dan mencari
makan di dalam air. Bahkan ikan tak bisa hidup tanpa air.

Selain ikan, ada pula hewan akuatik yang sebenarnya merupakan hewan darat. Beberapa jenis
hewan seperti lumba-lumba, paus, dugong, anjing laut, singa laut, serta walrus yang kini hidup
di air, diperkirakan pernah mendiami daratan beberapa juta tahun lalu… itu terbukti dari ciri-ciri
tubuhnya, seperti bernapas dengan paru-paru, melahirkan dan menyusui anaknya, serta
memiliki rambut di tubuhnya. Ya, ciri tubuh mereka lebih menyerupai hewan mamalia, karena
itulah mereka disebut sebagai hewan mamalia air.
Walau begitu, bentuk tubuh mamalia air tak
beda jauh dari bentuk tubuh ikan pada
umumnya. Mengapa begitu? Konon
kabarnya, berjuta-juta tahun yang lalu,
hewan mamalia ini pernah memiliki tubuh
seperti kebanyakan mamalia darat, yaitu
berkaki dan berambut. Namun beberapa
sebab mengharuskan mereka untuk
mencari makan atau berlindung di dalam
air. Contohnya paus. Makanan pokok paus
adalah plankton yang berada di dalam laut.
Untuk mendapatkan makanannya paus pun
berpindah hidup ke laut, hingga lama
kelamaan bentuk tubuhnya berubah
menyerupai ikan.

Daftar Hewan Akuatik Yang Dilindungi di Indonesia


Daftar ikan yang dilindungi di Indonesia ini diatur dan ditetapkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
1. Ikan Raja Laut
Coelacanth Indonesia (Latimeria menadoensis) atau juga
disebut di Indonesia: ikan raja laut, adalah salah satu dari dua
spesies hidup coelacanth, sejenis ikan purba, yang masih ada
hingga kini. Coelacanth Indonesia memiliki ciri berwarna sisik
tubuh kecokelatan. Ikan langka ini masuk ke dalam daftar IUCN
Red List dengan kategori rentan.[1] Satu spesies
lainnya, Latimeria chalumnae (Coelacanth Samudra Hindia
Barat) masuk dalam daftar terancam kritis.[2]
Habitat ikan coelacanth Indonesia berada di sekitar
perairan Laut Sulawesi, terutama di sekitar Pulau Manado Tua,
perairan Malalayang, Teluk Manado, dan di perairan Talise,
Minahasa Utara. Habitat ikan coelacanth berada pada
kedalamanan lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18
derajat Celsius.

Ciri dan karakteristik


Pada beberapa kesempatan penelitian langsung di habitat aslinya, Coelacanth ditemukan
berdiam di mulut goa batuan lava bawah laut.[4] Secara fisik, sekilas fosil hidup tampak seperti
ikan kerapu macan. Loreng-loreng gelap bergigi tajam. Coelacanth Indonesia secara sekilas
sangat mirip coelacanth Samudra Hindia Barat (Komoro), akan tetapi warna coelacanth
Indonesia berwarna kecokelatan, sementara coelacanth Komoro berwarna kebiruan.
Keunikan paling nyata ikan ini adalah keberadaan sepasang sirip dada, sirip perut, satu sirip
anal (bagian belakang bawah), dan satu sirip punggung yang tidak menyatu dengan tubuh,
tetapi menjulur, bercuping, dan berdaging seperti tungkai. Untuk tetap pada posisinya,
coelacanth menggerakkan sirip perut dan sirip dadanya seperti dayung. Gerakan maju datang
dari sirip anal dan sirip punggung belakang. Rahang atas coelacanth dapat bergerak membuka
seperti rahang bawah. Dengan kemampuan itu, coelacanth, ikan karnivora, dapat memangsa
ikan yang lebih besar. Coelacanth menetaskan telurnya di dalam perut, bukan di luar
tubuhnya.[4]
2. Hiu Gergaji

Indonesia memiliki perairan dengan keragaman


hayati yang sangat kaya termasuk diantaranya 117
jenis spesies hiu dari 25 suku yang berbeda. Salah
satu spesies hiu tersebut adalah hiu Pristis
microdon. Bentuk moncongnya yang menyerupai
gergaji membuat hiu ini dikenal sebagai hiu gergaji.
Hiu unik ini dikenal dengan banyak penamaan.
Dalam bahasa Inggris satwa laut ini disebut
sebagai Freshwater sawfish atau Leichhardt’s
sawfish.

Dalam bahasa Jepang hiu ini dikenal sebagai Nokogiriei. Penamaan dalam bahasa Belanda
disebut Zoetwaterzaa grog. Sedangkan dalam bahasa lokal disebut sebagai cucut krakas
(Jawa) dan hiu sentani (Papua).
Hiu gergaji merupakan ikan yang beradaptasi dengan perairan air tawar. Pada musim hujan
(Desember-Maret) ikan ini akan hidup di sungai air tawar sedangkan pada musim kering (Mei-
oktober) ikan ini lebih suka tinggal di muara atau teluk yang menyerupai habitat air laut.

Di Indonesia hiu gergaji merupakan hewan endemik di Danau Sentani, Papua. Sayangnya
fauna laut ini diberitakan nyaris punah di alam Danau Sentani. Hampir habisnya populasi hiu ini
di Danau Sentani disebabkan eksploitasi berlebihan, pencemaran air danau oleh limbah rumah
tangga dan penggunaan jaring insang (gill net). Berdasarkan data terakhir tahun 2013, The
International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List menyatakan hiu ini secara
global termasuk kategori critically endangered yang berarti secara kritis terancam punah.

Hiu gergaji merupakan hewan ovovivipar atau hewan yang berkembang biak dengan cara
bertelur dan beranak. Secara morfologi panjang tubuh hiu ini dapat mencapai 7 meter, diukur
mulai dari ujung mocong hingga ekor. Seluruh bagian tubuh atas berwarna polos dengan coklat
keabu-abuan, sedangkan bagian perut berwarna putih pucat.
Ciri khas dari keluarga hiu gergaji adalah adanya moncong atau hidung panjang (rostrum)
menyerupai pedang dengan deretan gergaji kecil yang menyamping (rostral teeth). Terdapat 14
hingga 22 gigi di setiap sisi moncongnya. Moncong yang menyerupai gergaji tersebut
merupakan alat untuk pertahanan terhadap musuh atau ketika ia mulai terancam.
Terdapat lima jenis hiu gergaji di dunia, yaitu Dwarf sawfish, Knifetooth sawfish, Smalltooth
sawfish, Largetooth sawfish, dan Green sawfish.
Berbagai aktivitas penangkapan hiu yang kurang terkontrol di Indonesia membuat spesies hiu
terus menurun populasinya. Hiu gergaji termasuk hiu yang mengalami banyak ancaman dan
penurunan populasi. Dilansir pada laman fishbase.org, faktor penyebab penurunan populasi hiu
gergaji diantaranya penangkapan liar karena jaring insang (gill nets); pengambilan sirip, daging,
kulit, dan tulang rawan, ditambah pengambil moncongnya untuk perdagangan satwa liar ilegal.
Moncong hiu gergaji telah lama dimanfaatkan antara lain sebagai kerajinan oleh suku-suku di
beberapa negara, koleksi, serta cenderamata atau suvenir.

3. Arwana Siluk

Kalimantan Barat memiliki satwa yang menjadi


ikon kebanggaan yang eksotik yaitu Ikan Arwana.
Arwana sudah sangat terkenal dan mendunia, ini
dikarenakan karena kecantikan dan keindahan dari
sosok penampilannya.

Arwana atau nama latin Scleropages merupakan


jenis ikan hias yang memiliki sosok tubuh pipih
memanjang dengan sisik indah yang berkilauan.
Ikan ini semakin berwibawa dan anggun saat
berenang di perairan. Dikatakan dari berbagai
sumber bahwa Arwana asal muasalnya berasal
dari kawasan Afrika, Asia Tengara dan Australia.

Namun sesuai rujukan berbagai referensi bahwa Arwana ini, di Indonesia lebih
banyak ditemui di Kalimantan Barat. Salah satu spesies ikan Arwana yang paling
populer dan mendunia adalah spesies Arwana Super Red atau si Arwana Siluk
Merah yang diyakini penduduk dengan nama siluk naga merah bahwa spesies ini
adalah penunggu asli kawasan hulu sungai Kapuas.
Dari informasi yang didapat menyatakan bahwa Satwa Arwana Siluk merah ternyata
termasuk satwa yang dilindungi dan masuk dalam daftar CITES atau Convention of
Internasional Trade on Endanger Species of Flora and Fauna. Itu karena
ketersediaan Arwana Siluk Merah cukup terbatas dialam bebas.

Ikan ini sejatinya adalah jenis ikan yang banyak hidup di sungai-sungai dan danau di
pulau Kalimantan. Di habitatnya yang asli ini, penurunan populasi Arwana cukup
memperihatinkan akibat penangkapan liar serta pelestarian dan
pengembangbiakannya masih cukup rendah, sehingga terancam punah.

Perburuan Arwana siluk merah menjadi dua sisi yang berseberangan, satu sisi
dianggap mampu menghidupi warga setempat, namun di sisi lain membuat siluk
semakin langka. Hal ini menjadi keprihatinan masyarakat akan nasib Arwana siluk
merah, sehingga penduduk setempat membuat peraturan adat demi menjaga
kelestarian Arwana siluk dan kawasannya.

4. Hiu Paus

Hiu paus, Rhincodon typus, adalah hiu pemakan plankton yang merupakan spesies ikan terbesar.
Cucut ini mendapatkan namanya (Ingg.: whale shark) karena ukuran tubuhnya yang besar[2] dan
kebiasaan makannya dengan menyaring air laut menyerupai kebanyakan jenis paus. Disebut pula
dengan nama geger lintang (dari bahasa Jawa: punggung berbintang) dan hiu tutul (nama yang
cenderung menyesatkan, karena banyak jenis cucut yang berpola tutul), merujuk pada pola warna di
punggungnya yang bertotol-totol, serupa bintang di langit.
Hiu ini mengembara di samudera tropis dan lautan yang beriklim hangat, dan dapat hidup hingga
berusia 70 tahun. Spesies ini dipercaya berasal dari sekitar 60 juta tahun yang lalu.
Cucut geger lintang merupakan hewan terbesar yang masih hidup di dunia, di luar paus. Ukuran
rata-rata hewan dewasa diperkirakan sekitar 9,7 meter (31,8 ft) dan seberat 9 ton[3]. Spesimen
terbesar yang dapat diverifikasi, adalah yang tertangkap pada 11 November 1947, di Karachi,
Pakistan. Panjangnya sekitar 12,65 meter (41,50 ft) dan beratnya lebih dari 21,5 ton, sementara
lingkar badannya sekitar 2,1 meter (6,9 ft).[3]. Bukan jarang kisah-kisah mengenai geger lintang yang
berukuran jauh lebih besar – dengan panjang hingga 18 meter (59 ft) dan berat hingga 45,5 ton –
namun sejauh ini tidak ada bukti-buktinya secara ilmiah.

Sebagai pemakan plankton, yang memperoleh mangsanya dengan menyaring air laut, hiu paus
memiliki mulut yang berukuran besar, hingga selebar 1,5 meter (4,9 ft) yang berisikan 10 lembaran
penyaring dan sekitar 300 hingga 350 deret gigi kecil-kecil[4]. Ikan ini juga memiliki lima
pasang insang berukuran besar. Dua mata yang kecil terletak di ujung depan kepalanya yang datar
dan lebar. Warna tubuhnya umumnya keabu-abuan dengan perut putih; tiga gigir memanjang
terdapat di masing-masing sisi tubuhnya, serta lukisan bintik-bintik dan garis kuning keputih-putihan
yang membentuk pola kotak-kotak. Pola bintik-bintik – yang mengesankan sebagai taburan
bintang – itu bersifat khas untuk masing-masing individu, dan acap digunakan dalam perhitungan
populasi. Kulitnya hingga setebal 10 sentimeter (3,9 in). Sirip punggung dan sirip dada masing-
masing sepasang. Pada hewan muda, sirip ekornya lebih panjang yang sebelah atas; sementara
pada hewan dewasa sirip ini lebih berbentuk seperti bulan sabit

Agihan dan habitat


Geger lintang menghuni semua lautan tropika dan ugahari yang bersuhu hangat. Ikan ini diketahui
beruaya setiap musim semi ke wilayah paparan benua di pesisir Australia barat. Musim berpijah
hewan-hewan karang di Terumbu Karang Ningaloo diketahui telah meningkatkan ketersediaan
plankton bagi ikan-ikan besar ini. Meskipun biasanya hidup menjelajah di tengah samudera luas,
secara musiman terlihat adanya kelompok-kelompok geger lintang yang mencari makanan di sekitar
pesisir benua, seperti di Australia barat itu; di Afrika Selatan (pantai selatan dan timur); Belize;
Filipina; India; Indonesia; Honduras; Madagaskar; Meksiko; Mozambik; Tanzania; serta Zanzibar.
Tidak jarang ikan-ikan ini terlihat memasuki laguna atau atol, atau mendekati estuaria (muara
sungai).
Wilayah jelajahnya pada umumnya tidak melewati lintang 30°, utara maupun selatan. Cucut ini
diketahui mampu menyelam hingga kedalaman 1,286 meter (4,219 ft), dan tergolong ikan yang
bermigrasi[5]. Pada 2011 terekam adanya kumpulan geger lintang, terbanyak yang pernah dicatat
orang, yakni hingga sekitar 400 ekor, yang berkumpul di sekitar Semenanjung Yucatan di Meksiko
untuk memangsa larva sejenis ikan tongkol, Euthynnus alletteratus.[6]

Konservasi
Populasi geger lintang terancam oleh aktivitas penangkapannya (dengan menggunakan harpun),
atau secara tak sengaja terbawa dalam jaring ikan. Nelayan di berbagai tempat (India, Pakistan,
Maladewa, Taiwan, dan Filipina) menangkap dan memperdagangkan ikan ini untuk dagingnya,
minyak liver, serta siripnya yang berharga mahal.[1] Di Indonesia, hampir setiap tahun diberitakan
adanya hiu tutul yang terdampar di pantai atau terjerat jaring nelayan. Catatan ini setidaknya ada
mulai tahun 1980, ketika seekor geger lintang terdampar di pantai Ancol[13], hingga baru-baru ini,
tatkala dua ekor ikan serupa tersesat dan mati di pantai selatan Yogyakarta di bulan Agustus
2012[14]. Akan tetapi, kejadian terbanyak adalah di sekitar Selat Madura, di mana tingginya lalu lintas
kapal dan keruwetan jaring nelayan mungkin menyumbang pada kematian geger lintang di setiap
tahunnya.[15][16][17][18][19][20][21]
IUCN, badan konservasi dunia, karenanya memasukkan populasi geger lintang ini ke dalam status
Rentan (Vulnerable). Kerentanan menghadapi penangkapan ikan komersial ini disimpulkan karena
nilainya yang tinggi dalam perdagangan, sifatnya yang selalu mengembara dan bermigrasi dalam
jarak jauh, sifat hidupnya yang menurut pola seleksi-K, serta kelimpahan umumnya yang rendah[1].
Bersama dengan enam spesies hiu yang lain, geger lintang juga telah dimasukkan ke dalam
daftar Memorandum of Understanding (MoU) on the Conservation of Migratory Sharks di bawah
Konvensi Bonn[22].
Upaya konservasi dan perlindungan jenis ini juga telah dilakukan beberapa negara, terutama berupa
larangan untuk memburu, menangkap, dan memperdagangkan cucut besar ini. Filipina, misalnya,
telah menerbitkan larangan menangkap, menjual, mengimpor atau mengekspornya sejak 1998[23].
Larangan ini kemudian diikuti oleh India pada 2001[24] dan Taiwan pada 2007[25]. Maladewa bahkan
telah melindunginya semenjak 1995[1]. Akan tetapi di Indonesia hewan ini masih belum mendapatkan
perhatian yang cukup memadai.

Anda mungkin juga menyukai