Anda di halaman 1dari 11

DRUG INDUCED LIVER INJURY TIPE KOLESTASIS

AKIBAT RIFAMPISIN
Alwinsyah Abidin, E.N Keliat, Zuhrial Zubir, Triyono
Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/
RSUP H. Adam Malik Medan/RSU Dr. Pirngadi Medan

Abstrak
TB paru merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Pemberian OAT dengan strategi
DOTS diharapkan mampu menurunkan prevalensi TB paru. Pemberian OAT tidak terlepas
dari risiko hepatotoksik sehingga dapat menimbulkan drug induced liver injury (DILI).
Berikut dilaporkan suatu kasus DILI tipe kolestasis yang disebabkan oleh pemberian
Rifampisin. Pasien wanita, 44 tahun dengan keluhan jaundice sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit, disertai nausea dan vomitus. Pasien sebelumnya sudah berobat ke RS
Sibuhuan, dengan diagnosis TB paru dan mendapat OAT (tablet dan injeksi), dan 2 minggu
kemudian muncul jaundice, 2 tahun yang lalu pasien juga sudah pernah mendapatkan OAT
(tablet) dan sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Dijumpai sklera ikterik dari pemeriksaan
fisik. Laboratorium dijumpai kesan hiperbilirubinemia (bilirubin total 8,9 mg/dl),
peningkatan ALP (173 U/L) dengan SGOT dan SGPT yang normal. HbsAg dan Anti HCV
non reaktif. Kesan foto thorax PA adalah TB Paru aktif. Pasien didiagnosis sebagai DILI dan
TB paru relaps. OAT distop sementara. Pasien terus terjadi perbaikan kadar bilirubin dan
ALP setelah OAT distop sementara.
Kata Kunci. Hepatotoksik, Drug induced liver injury, OAT, TB Paru

Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan terutama
di negara berkembang seperti di Indonesia. Berdasarkan hasil laporan Riskesdas (2010),
angka kesakitan Tuberkulosis Paru terjadi hampir seluruh wilayah Indonesia. Prevalansi
Tuberkulosis Paru pada tahun 2009 sampai tahun 2010 sebanyak 725 per 100.000 penduduk
berdasarkan hasil pemeriksaan dahak dan/atau foto paru. Di Indonesia sejak tahun 2000-
2010, Case Detection Rate (CDR) mengalami peningkatan yang berarti yaitu dari 20% pada
tahun 2000 menjadi 78,3% pada tahun 2010 yang sekaligus merupakan capaian tertinggi.1
Kombinasi obat anti TB (OAT) efektif untuk mengatasi infeksi TB, namun
penggunaannya berhubungan dengan risiko jejas hati imbas obat (drug induced liver injury,
DILI), yang merupakan salah satu masalah kesehatan yang memiliki tantangan diagnosis
tersendiri. DILI dapat menyerupai hampir semua jenis penyakit hati, dan saat ini diagnosis
DILI dilakukan per eksklusionam karena tidak terdapat penanda biologis maupun
pemeriksaan spesifik yang dapat menegakkan diagnosis DILI. Karena itu, semua penyebab

1
jejas hati yang dapat memberikan gambaran serupa harus disingkirkan terlebih dulu.
Pentingnya menggali seluruh data klinis maupun biokimia yang berhubungan dengan jejas
hati, data ini merupakan kunci penting untuk menentukan karakteristik dan pola jejas hati
agar dapat membantu menegakkan diagnosis. Peningkatan kadar enzim hati alanin
transaminase (ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan fosfatase alkali (ALP) dianggap
sebagai indikator jejas hati.2
OAT lini pertama yang berhubungan dengan DILI antara lain INH, rifampisin, dan
pirazinamid. DILI akibat OAT ini merupakan reaksi efek samping yang telah diketahui
secara luas, dan terjadi sekitar 5-33% pasien.3 Dilaporkan suatu kasus pasien DILI akibat
konsumsi OAT yang hanya ditandai peningkatan bilirubin dan ALP, dengan hasil AST dan
ALT yang normal, yang perlu ditelaah lebih lanjut mengenai tipe DILI yang terjadi serta
OAT mana yang menyebabkan terjadinya DILI pada pasien ini.

Laporan Kasus
Pasien wanita, 44 tahun dengan keluhan jaundice sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Dijumpai nausea dan vomitus. Pasien mengeluhkan adanya batuk berdahak warna
kuning yang sudah semakin membaik. Riwayat demam, keringat malam, hemoptisis, BAK
kemerahan dan penurunan BB sekitar 2 kg dalam 1 bulan. Pasien sebelumnya sudah berobat
ke RS Sibuhuan, dengan diagnosis TB paru dan mendapat OAT (tablet dan injeksi), dan 2
minggu kemudian muncul jaundice, 2 tahun yang lalu pasien juga sudah pernah mendapatkan
OAT (tablet) dan sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Pada tanda vital dijumpai TD 120/80
mmHG, nadi 80x/mnt t/v cukup, pernapasan 18x/mnt, dan suhu 36,5°C. BB pasien 52 kg
dengan TB 154 cm (IMT 21,93) kesan normoweight. Pemeriksaan fisik dijumpai sklera
ikterik dan pada thorax ronki basah di seluruh lapangan paru kiri.

Gambar 1. Sklera ikterik setelah 2 minggu konsumsi OAT

2
Laboratorium dijumpai kesan leukositosis (15.150/mm3), hiperbilirubinemia
(bilirubin total 8,9 mg/dl), peningkatan ALP (173 U/L) dengan SGOT (35 U/L) dan SGPT
(35 U/L) yang normal. HbsAg dan Anti HCV non reaktif. Kesan foto thorax PA adalah TB
Paru aktif.

Gambar 2. TB Paru Aktif

Pasien didiagnosis sebagai DILI dan TB paru relaps. OAT distop sementara. Tiga hari
kemudian dilakukan pemeriksaan ulangan laboratorium didapatkan perbaikan kadar
bilirubin total 2,6 mg/dL, bilirubin direk 1,98 mg/dL, kadar ALP 300,56, SGOT 26,92
U/L, SGPT 31,2 U/L. Lalu tiga hari berikutnya dimonitoring kembali tes fungsi hati dimana
SGOT: 30,53 U/L, SGPT: 24,26 U/L, ALP: 107 U/L, Bilirubin Total: 1,80 mg/dl, Direct
Bilirubin: 1,27 mg/dl. Pasien terus terjadi perbaikan kadar bilirubin dan ALP setelah
OAT distop sementara.

3
Gambar 3. Perbaikan sklera ikterik setelah OAT distop sementara

Diskusi
Hepatotoksisitas akibat OAT merupakan salah satu efek samping yang dapat
diperparah oleh akumulasi toksisitas dari kombinasi OAT. Tatalaksana TB dapat
menyebabkan jejas hati akibat OAT seperti Rifampisin, Pirazinamid, Isoniazid, Ethionamide,
dan PAS. Jejas hati ini bisa menyebabkan timbulnya gejala jaundice, nausea, vomitus, nyeri
abdomen, peningkatan kadar bilirubin dan asam transaminase. Dimana pada pasien ini
timbul gejala jaundice, nausea, vomitus serta peningkatan kadar bilirubin. DILI
merupakan kondisi utama yang menyebabkan penundaan melanjutkan pemberian OAT
kepada pasien. Bila terus dilanjutkan setelah muncul onset gejala, dapat menyebabkan
mortalitas sebesar 6-12%.4,5
Hepatotoksik akibat obat bisa disebabkan toksisitas langsung dari komponen utama
atau metabolitnya, maupun dari respons yang dimediasi secara imunologis, mengenai
hepatosit, sel epitel bilier, dan/ atau vaskular liver. Diperkirakan prevalensi jejas hati akibat
obat adalah sekitar 1-10/100.000 orang. DILI terjadi pada 1 dari 100 pasien yang dirawat inap
di bangsal penyakit dalam. DILI bukan penyakit yang jarang terjadi, dan dapat berdampak
serius.6
Pasien perempuan usia 44 tahun tersebut setidaknya telah memenuhi 2 dari 9 faktor
risiko kerentanan terjadinya DILI akibat konsumsi OAT. Faktor risiko tersebut antara lain
usia > 35 tahun (di mana usia < 35 tahun berisiko 4x mengalami DILI akibat OAT), jenis
kelamin perempuan, genetik, konsumsi alkohol jangka panjang, ras kulit hitam lebih rentan
toksisitas terhadap INH, kadar transaminase baseline yang abnormal, malnutrisi,
hipoalbuminemia, koinfeksi dengan Hepatitis B/ Hepatitis C/ HIV, dan semakin diperparah
dengan konsumsi ARV, kehamilan trimester 3 atau 1-3 bulan post partum (toksisitas terhadap
INH meningkat).7-9

4
DILI didiagnosis per eksklusionam dan belum ada standar baku dalam mendiagnosis
DILI. DILI harus dicurigai bila terjadi kenaikan ALT > 3x nilai batas atas normal atau ALP >
2x nilai batas atas normal.10 Namun terdapat berbagai kriteria yang berbeda-beda dalam
menentukan DILI (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria DILI 3
Rujukan Nilai cut-off DILI dan kritera stop obat
American Thoracic Society (ATS) ALT > 200 IU/L, atau ALT >120 IU/L
dengan gejala
British Thoracic Society (BTS) ALT atau AST > 200 IU/L, peningkatan
bilirubin
European Respiratory Society (ERS), WHO, ALT atau AST > 200 IU/L, ikterik (+)
International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUATLD)
Hong Kong Tuberculosis Service (HKTBS) ALT > 200 IU/L, bilirubin > 40µmol/L

Tabel 2. Defenisi DILI3


Kadar ALT > 120 IU/L dan simtomatik (mual, muntah, nyeri abdomen, jaundice), atau
Kadar ALT > 200 IU/L dan asimtomatik, atau
Konsentrasi bilirubin total > 40 µmol/L

Tipe-tipe jejas hati akibat DILI bisa berupa cedera hepatoseluler, kolestasis, maupun
hepatitis kolestasis (campuran). Pada tipe cedera hepatoseluler dapat terjadi demam, mual,
muntah, anoreksia maupun asimtomatis, peningkatan kadar transaminase, dan jika disertai
jaundice memiliki prognosis yang buruk. Tipe kolestasis walaupun bisa bergejala mual dan
muntah, namun umumnya asimtomatik, terjadi peningkatan bilirubin yang reversibel,
gangguan transport bilirubin. Tipe ini sering disebabkan oleh rifampisin. Tipe hepatitis
kolestasis terjadi peningkatan bilirubin dan enzim kolestatik, terjadi inflamasi pada/ disekitar
kanalikuli bilier, dan bisa ireversibel akibat cotrimoxazole, flucloxacillin. 11 Pasien ini
(bilirubin total 8,9 mg/dl), peningkatan ALP (173 U/L) dengan SGOT (35 U/L) dan
SGPT (35 U/L) yang normal. DILI tipe hepatoseluler lebih berat dibandingkan tipe
kolestasis/ campuran, dan pasien dengan peningkatan bilirubin pada tipe hepatoseluler
mengindikasikan cedera hati yang serius dengan tingkat kejadian 0,7-1,3 /100.000 orang yang
mengkosumsi OAT.6

5
Rifampisin secara dose dependent dapat mengganggu uptake bilirubin sehingga dapat
terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi yang menyebabkan ikterik yang nyata
maupun ikterik subklinis, tanpa disertai kerusakan hepatoseluler. Hal ini bisa bersifat
sementara dan segera terjadi secara dini pada pasien dengan kelainan hati sebelumnya. Jarang
rifampisin bisa menyebabkan kerusakan hepatoseluler. Rifampisin dapat menghambat pompa
eksporter garam empedu dan mengganggu klirens bilirubin pada membran sinusoidal.
Karakteristik klinis hepatotoksik akibat rifampisin yang utama adalah tipe kolestasis.
Ditambah adanya reaksi hipersensitivitas idiosinkratik akibat rifampisin dapat menyebabkan
anoreksia, nausea, mual, muntah, malaise, demam. Peningkatan bilirubin, yang biasanya
terjadi dalam 1 bulan pertama sejak dimulainya pemberian OAT. Pasien ini mengalami
peningkatan bilirubin dan ALP yang mengindikasikan terdapat tanda kolestasis
setelah 2 minggu konsumsi OAT. Studi oleh Hong Kong Chest Service, peningkatan
transaminase lebih sering pada pasien yang mengkonsumsi isoniazid dibandingkan
rifampisin. Tidak ada perbedaan nilai rata-rata kadar serum ALT antara pasien yang
mendapat rifampisin dan placebo.12 Dapat disimpulkan rifampisin merupakan OAT yang
menyebabkan reaksi hepatotoksik pada pasien ini, dimana sesuai dengan literatur
umumnya reaksi ini terjadi dalam 1 bulan pertama sejak dimulainya pemberian OAT.
Penatalaksaan TB pada pasien kelainan hati ini adalah mengurangi jumlah dari obat
hepatotoksik dan memperpanjang durasi terapi TB. Diantara OAT lini pertama, Pirazinamide
adalah yang paling hepatotoksik dan sebaiknya dihindari penggunaannya. Isoniazid dan
rifampisin juga bersifat hepatotoksik, dan kombinasi keduanya lebih bersifat toksik
dibandingkan penggunaan tunggal.13,14 Dari seluruh OAT line kedua, PAS merupakan yang
hepatotoksik. Dari kebanyakan kasus, terjadi DILI dalam 2-3 bulan setelah dimulainya terapi
OAT. Obat yang dapat diberikan secara aman pada pasien DILI antara lain aminoglikosida,
etambutol, kuinolon, dan sikloserin.15 Karena risiko terjadinya DILI selama pengobatan OAT
maka terdapat dua strategi manajemen yaitu monitoring fungsi hati dan modifikasi rejimen
terapi. Monitoring fungsi hati penting dilakukan pada pasien yang memulai OAT sebagai
baseline dan secara reguler sehingga dapat dilakukan deteksi dini kelainan hati sebelum
terjadi kondisi yang mengancam nyawa.16 Pada kondisi yang sudah terjadi kelainan hati,
monitoring fungsi hati lebih ketat selama pemberian OAT yaitu 2x tiap minggu selama 2
minggu pertama kemudian tiap minggu sampai selesai pengobatan 2 bulan, lalu monitoring
tiap bulan hingga selesai terapi.12 Terapi OAT perlu dimodifikasi pada pasien dengan
kelainan hati baik DILI maupun sirosis stabil dengan Child Pugh grade A atau skor MELD
<18 dapat diobati dengan paduan OAT yang meliputi 2 OAT yang hepatotoksik. Pasien

6
dengan sirosis Child Pugh grade B atau skor MELD 18-25 diterapi paduan OAT dengan
hanya 1 OAT yang hepatotoksik. Sementara pasien dengan penyakit hati tahap lanjut seperti
sirosis Child Pugh C atau skor MELD >25 harus diterapi dengan obat non hepatotokosik.4
Rejimen tanpa Rifampisin. Rifampisin merupakan OAT yang paling efektif melawan
kuman TB dan sebaiknya rifampisin digunakan dalam paduan OAT. Namun bila DILI yang
terjadi diakibatkan Rifampisin, maka paduan OAT yang diberikan terdiri dari INH +
Pirazinamid + Ethambutol + Ofloxacin selama 2 bulan diikuti INH + Ethambutol + Ofloxacin
selama 10 bulan.4
Rejimen tanpa Pirazinamid. Pirazinamid merupakan OAT yang paling hepatotoksik.
Tanpa mengikutkan Pirazinamide dalam paduan OAT, maka paduan OAT sebaiknya terdiri
dari INH, Rifampisin, dan Ethambutol selama 2 bulan (fase inisial), diikuti INH dan
Rifampisin selama 7 bulan (fase lanjutan).4
Rejimen tanpa INH. Pasien dapat diterapi dengan paduan Rifampisin + Ethambutol +
Pirazinamid selama 6 bulan. Walaupun rejimen ini mengandung 2 OAT yang hepatotoksik,
namun memiliki keuntungan durasi terapi yang tetap 6 bulan. 4
Rejimen dengan 1 OAT yang hepatotoksik. Rejimen ini diindikasikan untuk pasien
dengan kelainan hati berat. Rifampisin tetap digunakan, namun INH dan Pirazinamid
sebaiknya dihindari. Rifampisin + Ethambutol + Fluorokuinolon selama 2 bulan, dilanjutkan
Rifampisin + Ethambutol selama 10 bulan. Rejimen lain yang dapat digunakan adalah INH +
Ethambutol + Streptomisin selama 2 bulan dilanjutkan INH + Ethambutol selama 10 bulan.4
Rejimen tanpa obat hepatotoksik. Pasien dengan penyakit hati yang tidak stabil tidak
boleh diberikan obat hepatotoksik. Paduan OAT yang diberikan dapat berupa kombinasi
Ethambutol, Aminoglikosida, Fluorokuinolom, Ethionamide, Sikloserin, dan obat baru
lainnya. Setidaknya minimal terdapat 3 OAT yang harus dikombinasi. Durasi terapi 18-24
bulan. Salah satu rejimen yang dapat digunakan adalah kombinasi Streptomisin, Ethambutol,
dan Fluorokuinolon 18-24 bulan. Namun belum ada uji klinis untuk membuktikan efikasi
kombinasi paduan OAT tersebut. 4
Berikut ditampilkan algoritma untuk evaluasi DILI (dimana DILI didiagnosis per
eksklusionam), serta tabel manajemen DILI dan monitoing fungsi hati.

7
Gambar 4. Algoritma Evaluasi DILI (Diagnosis Per eksklusionam)17

Tabel 4. Manajemen dan Monitoring DILI 3

8
Kesimpulan
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan terutama
di negara berkembang seperti di Indonesia. Kombinasi obat anti TB (OAT) efektif untuk
mengatasi infeksi TB, namun penggunaannya berhubungan dengan risiko terjadinya DILI.
Diagnosis DILI dilakukan per eksklusionam dan adanya riwayat konsumsi obat yang bersifay
hepatotoksik. Pasien datang dengan tampilan sclera ikterik disertai peningkatan bilirubin dan
ALP yang mengindikasi terjadinya kolestasis tanpa disertai cedera hepatoseluler (kadar
SGOT dan SGPT yang normal). DILI tipe kolestasis sering disebabkan oleh Rifampisin.
Rifampisin secara dose dependent dapat mengganggu uptake bilirubin sehingga dapat terjadi
peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi yang menyebabkan ikterik yang nyata maupun
ikterik subklinis, tanpa disertai kerusakan hepatoseluler. Hal ini bisa bersifat sementara dan
biasanya terjadi dalam 1 bulan pertama setelah memilai konsumsi OAT. Penatalaksaan TB
pada pasien kelainan hati ini adalah mengurangi jumlah dari obat hepatotoksik dan
memperpanjang durasi terapi TB. Rifampisin merupakan OAT yang paling efektif melawan
kuman TB dan sebaiknya rifampisin digunakan dalam paduan OAT. Namun bila DILI yang
terjadi diakibatkan Rifampisin, maka paduan OAT yang diberikan terdiri dari INH +
Pirazinamid + Ethambutol + Ofloxacin selama 2 bulan diikuti INH + Ethambutol + Ofloxacin
selama 10 bulan.

9
Daftar Pustaka
1. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010. Jakarta : Kemenkes RI;
2010.
2. Loho IM, Hasan I. Drug induced liver injury- tantangan dalam diagnosis. CDK.
2014;41(3):167-70.
3. Jong E, Conradie F, Berhanu R, Black A, John MA, Meintjes G, Menezes C.
Consensus statement: Management of drug-induced liver injury in HIV-positive
patients treated for TB. S Afr J HIV Med. 2013;14(3):113-9.
4. Sonika U, Kar P. Tuberculosis and liver disease: management issues. Tropical
Gastroenterol. 2012; 33(2):102-6.
5. Dhingra VK, Rajpal S, Aggarwal N, Aggarwaln JK, Shadab K, Jain SK. Adverse drug
reactions observed during DOTS. J Commun Dis. 2004;36:251–9.
6. Tajiri K, Shimizu Y. Practical guidelines for diagnosis and early management of drug-
induced liver injury. World J Gastroenterol. 2008;14(44):6774-85.
7. Colin Menezes. An approach to the management of drug induced liver injury in HIV-
infected patients treated for TB [cited April 10, 2016]. Available from:
http://sahivsoc2014.co.za/wpcontent/uploads/2014/10/Thurs_Colin_Menezes%20TB
%20DILI.pdf
8. Harshad Devarbhavi. Antituberculous drug-induced liver injury: current perspective
Tropical Gastroenterol. 2011;32(3):167–74
9. Seeff LB, Fontana RJ. Drug-induced liver injury. In: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs
AK, Heathcote EJ, editors. Sherlock’s diseases of the liver and biliary system. 12th
ed. USA: Blackwell Publishing Ltd; 2011
10. Health Science Authority. A guide to assessment and reporting of Drug-Induced Liver
Injury (DILI) [cited April 11, 2016]. Available from:
http://www.hsa.gov.sg/content/dam/HSA/HPRG/Safety_Alerts_Product_Recalls_Enf
orcement/Drug%20Induced%20Liver%20Injury%20%28DILI%29_Guide_Web.pdf
11. Conradie F, Black A, John MA, Berhanu R, Menezes C, Jong E. A practical approach
to the management of TB drug-induced liver injury [cited April 10, 2016]. Available
from: http://www.idm.uct.ac.za/gmeintjes/documents/TB_Drug_Induced_Liver_
Injury_ 27Aug2013.pdf
12. Saukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM, Schenker S, Jereb JA, Nolan CM.
Hepatotoxicity of Antituberculosis therapy. Am J Respir Crit Care Med.
2006;174:935-52.

10
13. Park WB , Kim W, Lee KL, Yim JJ, Kim M, Jung YJ, et al. Antituberculosis drug-
induced liver injury in chronic hepatitis and cirrhosis. J Infect. 2010;61:323–39.
14. World Health Organisation. Treatment of tuberculosis: Guidelines for National
Programme. 3rd edition. Geneva. 2003. p. 27–38.
15. Garg PK, Tandon RK. Antituberculosis treatment induced hepatotoxicity. In: Sharma
SK, Mohan A, editors. Tuberculosis. I st ed. New Delhi: Jaypee; 2001. p. 500–6.
16. Teleman MD, Chee CB, Earnest A , Wang YT . Hepatotoxicity of tuberculosis
chemotherapy under general programme conditions in Singapore. Int J Tuberc Lung
Dis. 2002;6:699–705.
17. Chalasani NP, Hayasgi PH, Bonkovski HI, Navarro VJ, Lee WM, Fontana RJ. ACG
Clinical Guideline: the diagnosis and management of idiosyncratic drug-induced liver
injury. Am J Gastroenterol. 2014;109(7):950-66.

11

Anda mungkin juga menyukai