Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH FITOKIMIA

“GLIKOSIDA STEROID”

Dosen :
Desy Muliana Wenas,S.Si.,MSi
Disusun oleh :
Vicky Yulianto Prabowo 14330006
Henriko Suryo Windiarto 14330101
Amalia Eka Saputri 15330013
Melinda Dwi Listiyani 15330019
Rahmadyaning A.A 15330037

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim,

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan
dan ketabahan bagi hamba-Nya. Serta memberi ilmu pengetahuan yang banyak agar kita
tidak merasa kesulitan. Salawat serta salam tidak lupa penulis sanjungkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah menyampaikan wahyu-Nya kepada hamba-Nya yang setia
sampai akhir zaman.

Makalah ini membahas tentang “Glikosida Jantung/Steroid”, disusun sebagai salah


satu tugas mata kuliah “Fitokimia 1” di Fakultas Farmasi Institut Sains dan Teknologi
Nasional., penulis berharap semoga makalah ini mendapatkan perhatian dan respon yang
baik dari ibu Dosen dan bermanfaat bagi pembaca.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi
maupun bahasanya, diharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
menyempurnakan makalah ini.

Jakarta, November 2019

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan zaman membuat ilmu penegetahuan semakin berkembang, begitu pula
dengan ilmu kefarmasian. Ditemukan begitu banyak senyawa-senyawa aktif alamiah yang
dapat dimanfaatkan keberadaannya untuk sarana pengobatan berbagai macam penyakit.
Salah satu diantaranya adalah glikosida.
Glikosida banyak terdapat di alam. Glikosida merupakan salah satu kandungan aktif
tanaman yang termasuk dalam kelompok metabolit sekunder. Di dalam tanaman, glikosida
tidak diubah lagi menjadi senyawa lain kecuali, bila memang mengalami peruraian akibat
pengaruh lingkungan luar. Glikosida terdiri atas gabungan dari dua bagian senyawa, yaitu
gula dan bukan gula. Keduanya dihubungkan oleh suatu bentuk ikatan berupa jembatan
oksigen (O-glikosida, dioscin), jembatan Nitrogen (N-glikosida, adenosine), jembatan sulfur
(S-glikosida, sinigrin), maupun jembatan karbon (C-glikosida, barbaboin) bagian gula yang
biasa disebut aglikon atau genin, apabila glikon dan aglikon saling terikat maka senyawa ini
disebut sebagai glikosida. Jembatan oksigen yang menghubungkan glikon-aglikon ini sangat
mudah terurai oleh pengaruh asam, basa, enzim, air, dan panas. Glikosida sering diberi nama
sesuai bagian gula yang menempel didalam nya dengan menambahkan kata-osida.
Glikosida steroid adalah glikosida yang aglikonnya berupa steroid. Glikosida steroid
disebut juga glikosida jantung karena memiliki daya kerja kuat dan spesifik terhadap otot
jantung. Beberapa senyawa steroid khususnya glikosida steroid diketahui mempunyai
aktivitas biologi sebagai antitumor dan menunjukkan aktivitas sitotoksik yang sangat kuat
terhadap sel tumor pada manusia. Di samping itu, ditemukan beberapa senyawa steroid yang
mempunyai aktivitas sebagai antitumor secara in. Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan
bahwa senyawa steroid bersifat sitotoksik dan dapat digunakan sebagai obat antikanker, salah
satunya kanker leher rahim (cervix). Salah satu sel turunan dari kanker leher rahim adalah sel
HeLa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari glikosida jantung/steroid?
2. Bagaimana mekanisme dari glikosida jantung/steroid?
3. Apakah tanaman lidah ular dan andong mengandung senyawa glikosida jantung?
4. Metode apa yang digunakan untuk mengetahui bahwa tanaman andong dan lidah
ulang mengandung glikosida jantung?

1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah untuk memberikan informasi tntang
glikosida steroid/ jantung, mekanisme kerja, senyawa yang terkandung, dan metode apa yang
digunakan untuk tanaman andong dan lidah ular.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Glikosida Steroid
Glikosida steroid adalah glikosida yang aglikonnya berupa steroid. Glikosida steroid
disebut juga glikosida jantung karena memiliki daya kerja kuat dan spesifik terhadap otot
jantung. Glikosida yang termasuk didalam golongan ini mempunyai sifat khas, yaitu
mempunyai aksi khas kuat terhadap oto-otot, jantung, memperkuat tonus jantung
menggiatkan dan menambah kontraksi jantung. Aglikonnya, yang juga sering disebut “genin
jantung ” mempunyai struktur steroid yang kardioaktif.
Penggunaan glikosida jantung dalam terapi yaitu dapat meningkatkan kekuatan
kontraksi sistolik. Glikosida jantung biasanya digunakan pada pasien gagal jantung kongestif.
Glikosida jantung bekerja dengan cara menghambat Na+, K+, ATP-ase.

2.2 Stuktur Glikosida Steroid


Secara kimiawi bentuk struktur glikosida jantung sangat mirip dengan asam empedu
yaitu bagian gula yang menempel pada posisi tiga dari inti steroid dan bagian aglikon nya
berupa steroid yang terdiri dari dua tipe yaitu tipe kardenolida dan tipe bufadienolida. Tipe
kardenolida merupakan steroid yang mengandung atom C-23 dengan rantai samping terdiri
dari lingkaran lakton 5- anggota yang tidak jenuh dan alfa-beta menempel pada atom C
nomor 17 bentuk beta. Sementara tipe bufadienolida brupa homolog dari kardenolida dengan
atom C-24 dan mempunyai rantai samping lingkaran keton 6- anggota tidak jenuh ganda
yang menempel pada atom C nomor 17.
Pada Tahun 1775 William Withering telah menangani dropsy dengan memberi infus
dari berbagai tanaman. Di antara tanaman itu ialah Purple foxglove (Digitalis purpurea) yang
termasuk familia Scropulariaceae. Beberapa tahun kemudian diisolasilah bahan kimia yang
aktif dalam menangani GJK tersebut yang disebut glikosida jantung. Disebut demikian
karena efeknya memperkuat otot jantung. Senyawa tersebut mampu mengubah ritme jantung
sehingga memperpanjang kontraksi sistolik. Glikosida jantung juga dapat memperbaiki
sirkulasi umum, mengurangi edema yang sering dihubungkan dengan GJK dan membantu
sekresi renal (Harahap dan Hadisahputra, 1995).
Struktur glikosida jantung terdiri dari dua bagian. Bagian gula (glikon) dan bagian non
gula (aglikon). Pada bagian aglikon terdapat inti steroid berupa siklopenantren dan cincin
lakton. Sedangkan pada bagian glikon terdapat gugus gula seperti D-glucose, D digitoxose,
L-rhamnose, dan D-cymarose Berbagai glikosida jantung telah digunakan sebagai obat
selama berabad-abad. Dahulu, efek manfaatnya pada gagal jantung diyakini berasal dari efek
inotropik positif untuk miokardium yang lemah dan khasiatnya dalam mengendalikan laju
respons ventrikel terhadap fibrilasi atrium. Namun, sekarang disadari bahwa glikosida
jantung juga memodulasi aktivasi system saraf simpatik, suatu mekanisme tambahan yang
mungkin berperan penting terhadap khasiatnya untuk gagal jantung (Mehana, 2008).

2.3 Mekanisme Kerja Glikosida jantung


Glikosida jantung mempunyai mekanisme kerja penghambatan Na+/K+ ATPase yang
merupakan inhibitor transport aktif Na+ dan K+ yang kuat dan sangat selektif untuk
melintasi membran sel, dengan cara berikatan pada suatu tempat khusus pada sisi
ekstrasitoplasma di sub unit α pada Na+/K+-ATPase, sejenis enzim “pompa Na” dalam sel.
Pengikatan glikosida jantung dengan Na+/K+-ATPase dan penghambatan pompa ion dalam
sel ini bersifat reversible dan dihantarkan secara entropik. Obat-obatan ini khususnya
berikatan denganenzim tersebut setelah fosforilasi pada suatu β-aspartat di sisi sitoplasma
pada sub unit α dan menstabilkan konformasi ini. K+ eksternal menyebabkan defosforilasi
enzim tersebut sebagai tahap awal translokasi aktif kation ini ke dalam sitosol, sehingga
menurunkan afinitas enzim tersebut untuk mengikat glikosida jantung.
Inotropik positif (peningkatan daya kontraksi) yang diinduksikan oleh glikosida jantung
adalah karena kemampuannya menghambat secara langsung ikatan antara membran dan
Na+/K+-ATPase. Akibat hambatan tersebut terjadipeningkatan Ca2+ intrasel dan
memperpanjang slow inward Ca2+ selama berlangsung potensial aksi. Digitalis pada
konsentrasi terapeutik pengaruhnya tidak secara langsung terhadap protein kontraktil jantung.
Begitu juga efek inotropik positif digitalis bukan disebabkan tindakannya terhadap
mekanisme intraseluler yang menyediakan energi kimia untuk proses kontraksi tersebut.
Hidrolisis ATP oleh enzim Na+/K+-ATPase adalah suatu pengaruh yang disebut Na+ pump,
yaitu sistem yang terdapat di dalam sarkolema serat jantung yang secara aktif mengekstrusi
Na+ dan memindahkan K+ ke dalam serat jantung. Glikosida jantung secara spesifik
berikatan dengan Na+/K+-ATPase untuk menghambat aktivitasnya. Dengan demikian
tranpor aktif kedua kation monovalen tadi akan terganggu. Akibatnya secara perlahan-lahan
terjadi peningkatan Na+ intraseluler dan secara perlahan pula penurunan K+. Digitalis pada
konsentrasi terapeutik, perubahan keluar masuk kedua kation tersebut sangat kecil.
Peningkatan Na+ inilah yang secara krusial menghasilkan inotropik positif akibat pemberian
digitalis. Hal ini adalah karena Ca2+ yang peningkatan Ca2+ intrasel dan memperpanjang
slow inward Ca2+ selama berlangsung potensial aksi. Digitalis pada konsentrasi terapeutik
pengaruhnya tidak secara langsung terhadap protein kontraktil jantung. Begitu juga efek
inotropik positif digitalis bukan disebabkan tindakannya terhadap mekanisme intraseluler
yang menyediakan energi kimia untuk proses kontraksi tersebut. Hidrolisis ATP oleh enzim
Na+/K+-ATPase adalah suatu pengaruh yang disebut Na+ pump, yaitu sistem yang terdapat
di dalam sarkolema serat jantung yang secara aktif mengekstrusi Na+ dan memindahkan K+
ke dalam serat jantung. Glikosida jantung secara spesifik berikatan dengan Na+/K+-ATPase
untuk menghambat aktivitasnya. Dengan demikian tranpor aktif kedua kation monovalen tadi
akan terganggu. Akibatnya secara perlahan-lahan terjadi peningkatan Na+ intraseluler dan
secara perlahan pula penurunan K+. Digitalis pada konsentrasi terapeutik, perubahan keluar
masuk kedua kation tersebut sangat kecil. Peningkatan Na+ inilah yang secara krusial
menghasilkan inotropik positif akibat pemberian digitalis. Hal ini adalah karena Ca2+ yang
terdapat di dalam intraseluler dipertukarkan dengan Na+ intraseluler oleh sistem transport
yang dikendalikan oleh konsentrasi gradient dan potensial trans membran. Apabila Na+
meningkat akibat inhibisi pump oleh digitalis, maka pertukaran Na-ekstraseluler untuk Ca2+
intraseluler diperkecil, dan Ca2+ ditingkatkan (sebelum dan selama kontraksi). Akibat dari
peristiwa itu terjadilah peningkatan simpanan Ca2+ di dalam retikulum sarkoplasma (RS),
pada setiap potensial aksi pembebasan Ca2+ dalam jumlah besar akan terjadi untuk
mengaktifkan alat-alat kontraktil yang terdapat di dalam serat otot jantung.

2.4 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua
atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Metode ekstraksi ada beberapa
cara, yaitu:
1. Maserasi
Maserasi adalah suatu cara penyarian simplisia dengan cara merendam simplisia
tersebut dalam pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur kamar. Maserasi dilakukan dengan melakukan perendaman bagian tanaman
secara utuh atau yang sudah digiling kasar dengan pelarut dalam bejana tertutup pada
suhu kamar selama sekurang-kurangnya 3 hari dengan pengadukan berkali-kali sampai
semua bagian tanaman yang dapat larut melarut dalam cairan pelarut. Pelarut yang
digunakan adalah alkohol atau kadang-kadang juga air. Campuran ini kemudian disaring
dan ampas yang diperoleh dipress untuk memperoleh bagian cairnya saja. Cairan yang
diperoleh kemudian dijernihkan dengan penyaringan atau dekantasi setelah dibiarkan
selama waktu tertentu. Keuntungan proses maserasi diantaranya adalah bahwa bagian
tanaman yang akan diekstraksi tidak harus dalam wujud serbuk yang halus, tidak
diperlukan keahlian khusus dan lebih sedikit kehilangan alkohol sebagai pelarut seperti
pada proses perkolasi atau sokhletasi. Sedangkan kerugian proses maserasi adalah
perlunya dilakukan penggojogan/pengadukan, pengepresan dan penyaringan, terjadinya
residu pelarut di dalam ampas, serta mutu produk akhir yang tidak konsisten.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah suatu cara penyarian simplisia menggunakan perkolator dimana
simplisianya terendam dalam pelarut yang selalu baru dan umumnya dilakukan pada
temperatur kamar. Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi
antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan dan penampungan ekstrak) terus-menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat).
Perkolasi merupakan teknik yang paling sering digunakan untuk mengekstrak bahan
aktif dari bagian tanaman dalam penyediaan tinktur dan ekstrak cair. Sebuah perkolator,
biasanya berupa silinder yang sempit dan panjang dengan kedua ujungnya berbentuk
kerucut yang terbuka. Bagian tanaman yang akan diekstrak dibasahi dengan sejumlah
pelarut yang sesuai dan dibiarkan selama kurang lebih 4 jam dalam tangki tertutup.
Selanjutnya, bagian tanaman ini dimasukkan ke dalam perkolator dan bagian atas
perkolator ditutup. Sejumlah pelarut biasanya ditambahkan hingga membentuk lapisan
tipis di bagian tanaman yang akan dieskstrak. Bagian tanaman ini dibiarkan mengalami
maserasi selama 24 jam dalam perkolator tertutup. Setelah itu, cairan hasil perkolasi
dibiarkan keluar dari perkolator dengan membuka bagian pengeluaran (tutup bawah)
perkolator. Sejumlah pelarut ditambahkan lagi (seperti membilas) sesuai dengan
kebutuhan hingga cairan ekstrak yang diperoleh menjadi kurang lebih tiga per empat dari
volume yang diinginkan dalam produk akhir. Ampas ditekan/dipress, dan cairan yang
diperoleh ditambahkan ke dalam caira ekstrak. Selanjutnya, sejumlah pelarut
ditambahkan lagi ke dalam cairan ekstrak untuk memeperoleh ekstrak dengan volume
yang diinginkan. Campuran ekstrak yang diperoleh dijernihkan dengan penyaringan atau
sedimentasi dengan dilanjutkan dengan dekantasi.
3. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya dalam jangka
waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.
4. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan
terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel dan
mengisi bagian tengah alat soklet. Tabung sifon juga terisi dengan larutan ekstraksi dan
ketika mencapai bagian atas tabung sifon, larutan tersebut akan kembali ke dalam labu.
Pada teknik ekstraksi ini, bagian tanaman yang sudah digiling halus dimasukkan ke
dalam kantong berpori (thimble) yang terbuat dari kertas saring yang kuat dan
dimasukkan ke dalam alat sokhlet untuk dilakukan ekstraksi. Pelarut yang ada dalam labu
akan dipanaskan dan uapnya akan mengembun pada kondenser. Embunan pelarut ini
akan merayap turun menuju kantong berpori yang berisi bagian tanaman yang akan
diekstrak. Kontak antara embunan pelarut dan bagian tanaman ini menyebabkan bahan
aktif terekstraksi. Ketika ketinggian cairan dalam tempat ekstraksi meningkat hingga
mencaapai puncak kapiler maka cairan dalam tempat ekstraksi akan tersedot mengalir ke
labu selanjutnya.
Proses ini berlangsung secara terus-menerus (kontinyu) dan dijalankan sampai tetesan
pelarut dari pipa kapiler tidak lagi meninggalkan residu ketika diuapkan. Keuntungan dari
proses ini jika dibandingkan dengan proses-proses yang telah dijelaskan sebelumnya
adalah dapat mengekstrak bahan aktif dengan lebih banyak walaupun menggunakan
pelarut yang lebih sedikit. Hal ini sangat menguntungkan jika ditinjau dari segi
kebutuhan energi, waktu dan ekonomi. Pada skala kecil, proses ini hanya dijalankan
secara batch. Namun, proses ini akan lebih ekonomis jika dioperasikan secara kontinyu
dengan skala menengah atau besar.
Beberapa keuntungan ekstraksi sokhletasi adalah sampel bagian tanaman
terusmenerus berkontak dengan embunan pelarut segar yang turun dari kondenser
sehingga selalu mengubah kesetimbangan dan memepercepat perpindahan massa bahan
aktif, suhu ekstraksi cenderung tinggi karena panas yang diberikan pada labu destilasi
akan mencapai sebagian ruang ekstraksi, tidak memerlukan penyaringan setelah tahap
leaching, kapasitas alat ekstraksi dapat ditingkatkan dengan melakukan ekstraksi secara
kontinyu atau paralel karena harga peralatannya cukup murah, dan bahkan mampu
mengekstraksi sampel yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan teknik ekstraksi
yang baru, peralatan dan pengoperasian alatnya sederhana sehingga hanya memerlukan
sedikit latihan untuk mengoperasikan alat ekstraksi dengan baik, ekstraksi sohlet tidak
bergantung pada bagian tanaman yang akan diekstrak. Kelemahan ekstraksi dengan
sokhlet ini adalah jika dibandingkan dengan teknik ekstraksi yang lain maka teknik
ekstraksi ini memerlukan ekstraksi yang panjang dan pelarut yang banyak. Hal ini
menyebabkan timbulnya biaya tambahan utnuk membuang/mengolah sisa pelarut dan
kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan. Karena sampel diekstraksi pada titik
didih pelarut dalam jangka waktu yang cukup lama, maka bahan aktif yang tidak tahan
panas dapat mengalami dekomposisi. Alat ekstraksi sokhlet tidak mempunyai pengaduk
untuk mempercepat proses ekstraksi. Penguapan/pemekatan ekstrak perlu dilakukan
karena ekstraksi dengan sokhlet menggunakan pelarut dalam jumlah besar. Teknik
ekstraksi ini juga dibatasi oleh selektivitas pelarut dan susah dioperasikan secara
otomatis.
5. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang
lebih tinggi dari temperatur kamar, umumnya dilakukan padasuhu 40-60oC.
6. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC selama 15menit. Infus
dibuat dengan maserasi bagian tanaman dengan air dingin atau air mendidih dalam
jangka waktu yang pendek. Pemilihan suhu infus tergantung pada ketahanan senyawa
bahan aktif yang selanjutnya segera digunakan sebagai obat cair. Hasil infus tidak bisa
digunakan dalam jangka waktu yang lama karena tidak menggunakan bahan pengawet.
Namun pada beberapa kasus, hasil infusi (larutan infus) dipekatkan lagi dengan
pendidihan untk mengurangi kadar airnya dan ditambah sedikit alkohol sebagai
pengawet.
7. Dekoksi
Dekoksi adalah ekstraksi pada suhu 90oC menggunakan pelarut air selama 30 menit.
Pada proses dekoksi, bagian tanaman yang berupa batang, kulit kayu, cabang, ranting,
rimpang atau akar direbus dalam air mendidih dengan volume dan selama waktu tertentu
kemudian didinginkan dan ditekan atau disaring untuk memisahkan cairan ekstrak dari
ampasnya. Proses ini sesuai untuk mengekstrak bahan bioaktif yang dapat larut dalam air
dan tahan terhadap panas. Ekstrak Ayurveda yang disebut quath atau kawath diperoleh
melalui proses dekoksi. Rasio antara massa bagian tanaman dengan volume air
biasanypea 1:4 atau 1:16. Selama proses perebusan terjadi penguapan air perebus secara
terusmenerus, sehingga volume cairan ekstrak yang diperoleh biasanya hanya seperempat
dari volume semula. Ekstrak yang pekat ini selanjutnya disaring dan segera digunakan
atau diproses lebih lanjut.

2.5 Teknik Pemisahan


Pemisahan hasil ekstraksi tumbuhan terutama dilakukan dengan salah satu atau
gabungan dari beberapa teknik kromatografi. Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar
bergantung pada sifat kelarutan dan keatsirian senyawa-senyawa yang akan dipisahkan.
Kromatografi adalah suatu metode fisik untuk pemisahan yang didasarkan atas
perbedaan afinitas senyawa-senyawa yang sedang dianalisis terhadap dua fasa yaitu fasa
stasioner/fasa diam dan fasa mobil/fasa gerak. Jadi, campuran senyawa-senyawa dapat
mengalami adsorpsi dan desorpsi oleh fasa dalam secara berturut-turut sehingga secara
berurutan fasa gerak juga akan melarutkan senyawa-senyawa tersebut dan proses pemisahan
dapat terjadi karena campuran senyawa memiliki kelarutan yang berbeda di antara dua fasa
tersebut.
Fasa diam yang digunakan dalam kromatografi dapat berupa zat padat juga berupa zat
cair. Silika dan alumina merupakan contoh zat padat yang sering digunakan sebagai fasa
diam berkat kemampuannya dalam mengadsorpsi bahan-bahan yang akan dipisahkan
(sebagai adsorben).
Keduanya dapat digunakan sebagai bahan pengisi kolom pada kromatografi kolom
gravitasi, kromatografi tekanan tinggi dan juga sebagai bahab pembuat lapis tipis untuk KLT.
Fasa diam dapat juga berupa zat cair dengan fasa pendukung yang berupa zat padat. Salah
satu contoh adalah pada kromatografi kertas dimana fasa diamnya berupa air yang diadsorpsi
oleh molekul-molekul selulosa pada kertas (kertas adalah fasa pendukung), sedangkan pada
kromatografi gas fasa diam berupa zat padat yang dilekatkan pada kapiler yang stabil
terhadap suhu dan fasa diam ini mempunyai pori dan ukuran yang sama.
Fasa gerak dapat berupa gas pada kromatografi gas, dapat juga berupa zat cair seperti
pada kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis atau kromatografi kolom. Jika fasa mobil
berupa gas, maka dinamakan gas vektor/gas pembawa, sedangkan jika berupa zat cair
dinamakan eluen/pelarut.
Berdasarkan keadaan/sifat fasa-fasa yang digunakan, dapat dibedakan beberapa jenis
kromatografi, antara lain;
a. Kromatografi cair-padat, dengan fasa gerak cair dan fasa diam padat
b. Kromatografi gas-padat, dengan fasa gerak gas dan fasa diam padat
c. Kromatografi cair-cair, dengan fasa gerak cair dan fasa diam cair
d. Kromatografi gas-cair, dengan fasa gerak gas dan fasa diam cair
Kromatografi gas-padat dan kromatografi gas-cair sering disebut kromatografi gas
(GC). Berdasarkan sifat fenomena yang terjadi pada pemisahan, dapat dibedakan dengan
kromatografi adsorpsi, kromatografi partisi, kromatografi lapis penukar ion, kromatografi
afinitas/filtrasi gel. Berdasarkan teknik pemisahan, dibedakan menjadi kromatografi lapis
tipis (KLT), romatografi kertas, kromatografi kolom (KK), kromatografi gas, krmatografi
cair bertekanan tinggi. Metode pemisahan yang sering digunakan adalah KLT dan KK.
1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Fenomena yang terjadi pada KLT adalah berdasar pada prinsip adsorpsi. Setelah
sampel ditotolkan di atas fasa diam, senyawa-senyawa dalam sampel akan terelusi
dengan kecepatan yang sangat bergantung pada sifat senyawa-senyawa tersebut
(kemampuan terikat pada fasa diam dan kemampuan larut dalam fasa gerak), sifat fasa
diam (kekuatan elektrostatis yang menarik senyawa di atas fasa diam) dan sifat fasa
gerak (kemampuan melarutkan senyawa). Pada KLT, secara umum senyawa-senyawa
yang memiliki kepolaran rendah akan terelusi lebih cepat daripada senyawa-senyawa
yang memiliki kepolaran rendah akan terelusi lebih cepat daripada senyawa-senyawa
polar karena senyawa polar terikat lebih kuat pada bahan silika yang mengandung
silanol (SiOH2) yang pada dasarnya memiliki afinitas yang kuat terhadap senyawa
polar.
Karena prosesnya yang mudah dan cepat, KLT banyak digunakan untk melihat
kemurnian suatu senyawa organik. Jika analisis dilakukan dengan mengubah pelarut
beberapa kali (minimum 3 macam) dan hasil elusi tetap menampakkan satu noda maka
dapat dikatakan bahwa sampel yang ditotolkan adalah murni. Selain itu, karena KLT
juga dapat menampakkan jumlah senyawa-senyawa dalam campuran sampel (menurut
noda yang muncul), maka KLT dapat digunakan untuk mengikuti atau mengontrol
jalannya reaksi organik maupun untuk mengontrol proses pemisahan campuran yang
dilakukan menggunakan kromatografi kolom. KLT juga merupakan suatu cara yang
umum dilakukan untuk memilih pelarut yang sesuai sebelum dilakukan pemisahan
menggunakan kromatografi kolom. Jadi, secara ringkas KLT terutama berguna untuk
tujuan mencari pelarut yang sesuai untuk kromatografi kolom, analisis fraksi-fraksi
yang diperoleh dari kromatografi kolom, memonitor jalannya suatu reaksi kimia,
identikasi senyawa (uji kemurnian).
Beberapa kelengkapan KLT adalah bejana kromatografi yang biasanya terbuat dari
kaca dengan bentuk yang bervariasi dan harus dilengkapi dengan penutup yang rapat,
fasa diam yang berupa selapis tipis (0,25 mm) silika gel atau adsorben yang lain
(alumina, selulosa, kieselguhr) yang dilapiskan di atas sepotong kaca, plastik atau
aluminium dengan abntuan sebuah penghubung sepert CaSO4 anhidrat, tepung kanji
atau suatu polimer organik, sampel sebanyak 1 µl dari larutan encer (2-5%) suatu
campuran yang ditotolkan pada satu titik di atas fasa diam (dengan bantuan suatu pipa
kapiler) dan titik tersebut letaknya juga di atas batas pelarut. Jika konsentrasi sampel
yang ditotolkan terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya tailing. Oleh karena itu,
konsentrasi zat yang ditotolkan harus tepat untuk menghasilkan noda yang baik,
solven/pelarut/eluen murni atau campuran yang akan mengelusi senyawa-senyawa
dalam sampel sepanjang fasa diam. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pemilihan eluen adalah eluen yang terlalu polar akan mengelusi semua senyawa dalam
sampel artinya faktor yang menghambat elusi tidak cukup kuat dan kepolaran senyawa-
senyawa dalam sampel berpengaruh terhadap pemilihan eluen (berhubungan dengan
sifat kepolarannya) dimana bagian dalam bejana harus dijenuhkan terlebih dahulu
dengan eluen. Selanjutnya adanya penampak noda, terutama digunakan jika yang
dipisahkan bukan senyawa-senyawa yang berwarna. Beberapa metode yang biasa
digunakan adalah.
a. Sinar UV dimana beberapa senyawa akan nampak sebagai noda yang berpendar
b. Indikator fluoresensi yang sudah terdapat dalam plat lapis tipis yang digunakan
(ada tanda GF untuk silika gel) amka plat tersebut akan menjadi berfluoresensi
jika diletakkan di bawah lampu UV dan senyawa-senyawa akan muncul sebagai
noda gelap;
c. Iod bereaksi dengan sebagian besar senyawa oganik membentuk senyawa
kompleks berwarna kuning atau coklat. Noda akan dapat terdeteksi dengan jalan
meletakkan plat kering dalam sebuah bejana yang telah berisi kristal iod dan
tertutup rapat sehingga bejana jenuh dengan uap iod. Penampak noda ini bersifat
umum, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya ikatan tunggal. Ikatan rangkap
dan aromatis
d. Atomisasi dilakukan dengan meletakkan suatu pereaksi di atas plat yang akan
dapat menyebabkan terjadinya reaksi antara senyawa dengan pereaksi tersebut.

Beberapa pereaksi semprot untuk penampak noda (penyemprotan sebaiknya


dilakukan di dalam lemari asam karena beberapa pereaksi bersifat toksik), antara lain:
a. Anhidirida asam asetat-asam sulfat pekat (pereaksi Lieberman-Burchard) untuk
steroid dan triterpenoid, dimana pembuatan 5 ml anhidrida asam asetat dicampur
secara hatihati dengan 5 ml asam sulfat pekat, kemudian campuran ini
ditambahkan juga secara hati-hati ke dalam 50 ml etanol absolut. Setiap
pencamputan zat dilakukan dengan pendinginan. Dianjurkan untuk emnggunakan
pereaksi yang baru setiap pemakaian. Perlakuan setelah penyemprotan adalah
dipanaskan selama 10 menit pada 100°C. adanya terpenoid akan ditandai dengan
munculnya warna merah sedangkan warna biru untuk steroid
b. Anisaldehida-asam sulfat untuk gula, steroid dan terpenoid. Dimana
pembuatannya adalah dengan menambahkan 1 ml asam sulfat pekat ke dalam 0,5
ml anisaldehida dalam 50 ml asam asetat. Dianjurkan untuk menggunakan
pereaksi yang baru setiap pemakaian. Perlakuan setelah penyemprotan adalah
dipanaskan pada 100-105°C sampai noda muncul dengan intensitas warna yang
maksimum. Latar belakang yang berwarna merah muda dapat dihilangkan dengan
membiarkannya terkena uap dari penangas air
c. Aluminium klorida untuk flavonoid. Dibuat dengan melarutkan 1% aluminium
klorida ke dalam etanol. Perlakuan setelah penyemprotan adalah dengan
menganalisis noda berfluoresensi kekuningan dengan lampu UV
d. Antimonklorida untuk flavonoid. Dibuat dengan melarutkan 10% antimon (III)
klorida dalam kloroform. Perlakuan setelah penyemprotan adalah dengan
menganalisis noda berfluoresensi kekuningan dengan lampu UV
e. Cerium sulfat-asam sulfat berisfat umum, dapat digunakan untuk semua senyawa
organik. Pembuatannya dilakukan dengan mencampurkan cerie sulfat dengan
larutan asam sulfat 65%. Perlakuan setelah penyemprotan adalah melakukan
pemanasan
selama 15 menit pada 120°C. Untuk pereaksi ini tidak dapat diguanakn untuk
KLT dengan adsorben alumina
f. Pereaksi dragendorf (menurut Munier) untuk alkaloid (uji positif ditandai dengan
munculnya warna coklat kemerahan) dan senyawa lain yang mengandung
nitrogen. Pembuatannya larutan a adalah dengan melarutkan 1,7 gram bismut
nitrat basa dengan 20 gram asam tartrat yang dilarutkan dalam 80 ml air. Larutan
b adalah dengan melarutkan 16 gram kalium iodida ke dalam 40 ml air. Larutan
stok adalah dengan mencampur larutan stok a dan b dengan jumlah yang sama
kemudian dicampur dan dapat disimpan selama beberapa bulan dalam lemari
pendingin. Pereaksi semprot dibuat dengan 5 ml larutan stok ditambahkan ke
dalam larutan 10 gram asam tartrat dalam 50 ml air
g. Magnesium asetat untuk antrakuinon. Pembuatannya adalah dengan melarutkan
0,5% magnesium asetat dalam metanol. Kemudian perlakuan setelah
penyemprotan adalah dengan memansakannya selama 5 menit pada suhu 90°C.
noda berwarna oranye-ungu
h. Potasium hidroksida metanolik untuk kumarin dan antrakuinon. Pembuatannya
adalah dengan melarutkan 5% KOH dalam metanol (pereaksi borntrager). Uji
positif ditandai dengan munculnya warna merah. Perlakuan setelah penyemprotan
adalah dengan menunggu plat hingga kering dan dianalisis menggunakan sinar
UV.
i. Selain kromatografi lapis tipis, biasanya yang sering digunakan seperti uraian di
atas, pada penelitian-penelitian fitokimia juga sering digunakan kromatografi
lapis tipis preparatif

1. (KLTP) dan kromatografi lapis tipis centrifugal.


Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP) KLTP merupakan salah satu
metode pemisahan yang memerlukan pembiayaan paling murah dan memakai
peralatan paling dasar. Walaupun KLTP dapat memisahkan bahan dalam jumlah
gram, sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah miligram. Berbagai penelitian
telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh ketebalan plat yang sering dipakai
adalah 0,5-2 mm. ukuran plat biasanya 20 x 20 cm atau 20 x 40 cm. Untuk jumlah
sampel 10100 mg, dapat dipisahkan menggunakan KLTP dengan adsorben silika gel
atau aluminium oksida dengan ukuran 20 x 20 cm dan tebal 1 mm. jika tebalnya
diduakalikan, maka banyaknya sampel yang dapat dipisahkan bertambah 50%.
Seperti halnya KLT biasa, adsorben yang paling umum pada KLTP adalah silika gel.
Plat KLT dapat dibuat sendiri atau dibeli dengan plat sudah terlapisis
adsorben. Keuntungan membuat plat sendiri adalah bahwa ketebalan dan susunan
lapisan dapat diatur sesuai kebutuhan (misalnya dengan menambahkan AgNO3 atau
buffer). Petunjuk untuk pembuatan plat KLTP biasanya terdapat pada kemasan
adsorben yang akan dipakai. Sebelum ditotolkan pada plat KLTP, sampel dilarutkan
terlebih dahulu dalam sedikit pelarut. Pelarut yang baik adalah pelarut yang mudah
menguap (n-heksana, diklorometana atau etil asetat) karena jika pelarut yang
digunakan tidak mudah menguap, maka akan terjadi pelebaran pita. Konsentrasi
sampel juga sebaiknya hanya 5-10%. Sampel yang ditotolkan harus berbentuk pita
yang sesempit mungkin karena baik tidaknya pemisahan juga bergantung pada
lebarnya pita. Penotolan dapat dilakukan dengan tangan menggunakan pipa kapiler,
dapat juga menggunakan alat penotol otomatis. Untuk pita yang terlanjur terbentuk
terlalu lebar dapat dilakukan perbaikan dengan mengelusi plat menggunakan
eluen/larutan polar sampai kira-kira 2 cm di atas tempat penotolan, dikeringkan,
kemudian elusi dilanjutkan dengan menggunakan pelarut yang diinginkan.
Pilihan pelarut ditentukan berdasarkan pemisahan terbaik pada KLT. Jadi,
pelarut yang digunakan pada KLT dapat digunakan langsung pada KLTP jika
adsorben yang digunakan juga sama. Fase gerak biner yang sering digunakan pada
pemisahan menggunakan KLTP adalah nheksana-etil asetat, n-heksana-aseton dan
kloroform-metanol. Keefisienan pemisahan dapat ditingkatkan dengan cara elusi
berulang. Jika elusi pertama telah selesai, pelat dikeringkan kemudian dimasukkan
lagi ke dalam bejana. Proses elusi ini dapat diulang beberapa kali.
Kebanyakan adsorben KLTP mengandung fluorescen yang membantu
mendeteksi kedudukan pita yang terpisah sepanjang senyawa yang dipisahkan
menyerap sinar UV. Untuk senyawa yang tidak menyerap sinar UV dapat dilakukan
dengan menutup plat dengan sepotong kaca dan menyemprot salah satu sisi dengan
pereaksi penampak noda dan juga menambahkan senyawa pembanding. Pita yang
kedudukannya telah diketahui, dikerok dari plat. Selanjutnya senyawa harus
diekstraksi dari adsorben dengan pelarut yang sesuai (5ml pelarut untuk 1 gram
adsorben). Diupayakan untuk menggunakan pelarut yang paling nonpolar yang
mungkin. Harus diperhatikan bahwa makin lama senyawa kontak dengan adsorben,
maka makin besar kemungkinan senyawa tersebut mengalami peruraian.
Selanjutnya ekstrak yang diperoleh disaring menggunakan corong berkaca masir
atau menggunakan membran.
Plat KLT siap pakai yang dibeli biasanya mengandung zat pengikat dan
indikator yang susunan kimianya tidak diketahui. Ketika senyawa yang dipisahkan
dengan KLTP diekstraksi, zat pengikat dan indikator serta pencemar lainnya
kemungkinan besar akan terekstraksi juga. Makin polar pelarut yang digunakan
untuk ekstraksi maka makin banyak zat yang tidak diinginkan yang akan ikut
terekstraksi. Di samping itu, pelarut yang terlalu polar akan dapat melarutkan
adsorben. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa pencemar
yang sering ikut terekstraksi adalah golongan ftalat dan poliester. Untuk
menghilangkan pencemar ini, dianjurkan untuk melakukan pemurnian tahap akhir
dengan filtrasi gel menggunakan sephadex LH-20.
KLTP klasik mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan yang utama
adalah pengambilan senyawa dari plat yang dilakukan melalui proses ekstraksi dari
adsorben. Jika yang dikerok dari plat adalah senyawa beracun, maka dapat timbul
masalah. Kekurangan yang lain adalah waktu yang diperlukan dalam proses
pemisahan yang cukup panjang, adanya pencemar setelah proses ekstraksi senyawa
dari adsorben dan biasanya rendemen yang diperoleh berkurang 40-50% dari bahan
awal. Untuk mengatasi beberapa masalah tersebut, beberapa pendekatan yang
melibatkan kromatografi sentrifugal dapat dicoba.
2. Kromatografi sentrifugal
Pada prinsipnya kromatografi sentrifugal adalah kromatografi klasik dengan
aliran fasa gerak yang dipercepat oleh gaya sentrifugal. Contoh alat kromatografi
ini yang sering dipakai adalah kromatotron. Perbedaan besar antara kromatotron
dengan KLT sentrifugal lainnya adalah bahwa pada rotornya tidak mendatar tetapi
miring. Bagian utama dari alat ini adalah plat kaca bundar bergaris tengah 24 cm
yang dilapisi dengan adsorben yang cocok sehingga terbentuk lapisan tipis untuk
pemisahan preparatif.
3. Kromatografi kolom
Kromatografi kolom juga merupakan suatu metode pemisahan preparatif.
Metode ini memungkinkan untuk melakukan pemisahan suatu sampel yang berupa
campuran dengan berat beberapa gram. Kelemahan metode ini adalah diperlukan
eluen yang cukup besar, waktu elusi untuk dapat menyelesaikan pemisahan sangat
lama, deteksi hasil pemisahan tidak dapat langsung dilakukan (masih memerlukan
KLT). Pada prinsipnya kromatografi kolom adalah suatu teknik pemisahan yang
didasarkan pada peristiwa adsorpsi. Sampel yang biasanya berupa larutan pekat
diletakkan pada ujung atas kolom. Eluen atau pelarut dialirkan secara kontinu ke
dalam kolom. Dengan adanya gravitasi atau karena bantuan tekanan, maka
eluen/pelarut akan melewati kolom dan proses pemisahan akan terjadi. Seperti pada
umumya, eluen/pelarut akan digunakan dimulai dari yang paling non polar dan
dinaikkan secara gradien kepolarannya hingga pemisahan dapat terjadi. Sama
halnya pada KLT, pemisahan dapat terjadi karena adanya perbedaan afinitas
senyawa pada adsorben dan perbedaan kelarutan senyawa pada eluen/pelarut.
Ketika sampel diletakkan di ujung kolom, seketika itu juga sudah terjadi
peristiwa adsorpsi oleh permukaan adsorben yang berbatasan dengan sampel. Eluen
yang dialirkan secara kontinu ke dalam kolom akan menyebabkan adanya peristiwa
adsorbsi dan desorpsi senyawa-senyawa pada sampel. Molekul-molekul senyawa
akan dibawa ke bagian bawah kolom dengan kecepatan yang bervariasi bergantung
pada besarnya afinitas molekul tersebut pada adsorben dan juga pada besarnya
kelarutan molekul tersebut dalam eluen/pelarut. Cairan yang keluar dari kolom
ditampung dan dilakukan analisis menggunakan KLT untuk melihat hasil
pemisahannya.
Pada kromatografi kolom, hal-hal yang paling berperan dalam kesuksesan
pemisahan adalah pemilihan adsorben dan eluen/pelarut, dimensi kolom yang
digunakan serta kecepatan elusi yang dilakukan. Adsorben yang umum digunakan
selain SiO2 dan selulosa adalah alumina, yang tersedia dalam bentuk asam, basa
atau netral. Adsorben ini dianjurkan hanya dipakai untuk senyawa-senyawa organik
yang stabil. Pemilihan adsorben da bentuknya (asam, basa atau netral) sangat
penting untuk menghindari reaksi yang dapat terjadi di dalam kolom yang tidak
diinginkan selama proses elusi berlangsung, misalnya alumina asam dapat
menimbulkan reaksi dehidrasi alkohol tersier dan bentuk basanya dapat
mengakibatkan reaksi hidrolisis ester atau reaksi kondensasi aldol pada aldehida.
Adsorben lain yang umum dipakai adalah silika gel, yang terutama digunakan untuk
memisahkan senyawa organik yang tidak memiliki kestabilan yang memadai untuk
dipisahkan menggunakan alumina.
Besarnya butir/granul adsorben yang digunakan pada kromatografi kolom
harus lebih besar dibandingkan dengan yang digunakan pada KLT, yaitu antara 50-
200 µm. dengan ukuran tersebut, pengisian kolom secara homogen dapat
terlaksana, kecepatan elusi juga berjalan sebagaimana seharusnya serta pergantian
senyawa yang teradsorpsi pada dsorben dan kelarutannya pada eluen/pwlarut terjadi
cukup cepat.
Jumlah adsorben yang digunakan bergantung pada tingkat kesulitan
pemisahan dan pada jumlah sampel yang akan dipisahkan. Secara umum diperlukan
30-50 gram adsorben untuk tiap gram sampel yang akan dipisahkan. Jumlah
tersebut bisa mencapai 200 gram adsorben jika pemisahan yang dilakukan cukup
sulit. Dibutuhkan jumlah adsorben yang lebih sedikit untuk memisahkan senyawa-
senyawa yang perbedaan polaritasnya sangat besar. Eluen/pelarut yang digunakan,
umumnya adalah campuran dua macam pelarut. Pada awal elusi dimulai dengan
eluen yang paling nonpolar yang akan membawa senyawasenyawa yang kurang
terikat pada adsorben (yang paling nonpolar). Sepanjang proses elusi, komposisi
eluen dapat divariasi dengan jalan menambahkan secara gradien pelarut yang lebih
polar. Dengan demikian, senyawa-senyawa juga hanya akan terelusi ke arah bawah
kolom secara berurutan berdasarkan kepolarannya. Adalah komposisi yang pertama
dari eluen yang memiliki kemampuan elusi terkuat. Oleh karena itu sepanjang elusi
proporsi pelarut yang lebih polar dinaikkan dengan jalan menambahkan pelarut
yang lebih polar ke dalam pelarut yang kurang polar secara eksponensial.
Penggunaan beberapa eluen harus dihindari tatkala yang digunakan sebagai
adsorben adalah alumina atau silika gel dalam bentuk asam atau basanya. Pelarut
sangat polar seperti metanol, air dan asam asetat juga harus dipergunakan secara
hati-hati karena akan melarutkan adsorben dalam jumlah kecil.
Kolom yang digunakan untuk keperluan pemisahan ini, pada bagian
bawahnya biasanya dilengkapi dengan plat kaca masir (bisa juga digunakan glas
wool atau kapas bebas lemak) baik dalam bentuk fix ataupun mobile yang berguna
untuk melewatkan eluen secara bebas tetapi yang juga dapat menghambat keluarnya
adsorben dari kolom. Buret dapat juga digunakan untuk keperluan ini, dengan
menambahkan kaca masir atau glass wool di bagian bawah buret. Jumlah adsorben
yang dimasukkan ke dalam kolom sedemikian rupa sehingga memenuhi tinggi
kolom 10 kali diameter kolom, biasanya juga disisakan ruang kosong di atas
adsorben tersebut kira-kira 10 cm untuk sampel dan pelarut.
Kecepatan elusi sebaiknya dibuat konstan. Kecepatan tersebut harus cukup
lambat sehingga senyawa berada dalam keseimbangan antara fasa diam dan fasa
gerak, sebaliknya jika kecepatan elusi ini terlalu kecil, maka senyawa-senyawa akan
terdifusi ke dalam eluen dan akan menyebabkan pita makin lama makin lebar yang
akibatnya pemisahan tidak dapat berlangsung dengan baik. Kecepatan elusi yang
besar dapat dilakukan jika yang akan dipisahkan adalah campuran senyawa yang
memiliki kepolaran yang sangat berbeda. Sebelum melakukan pemisahan
menggunakan kromatografi kolom, sangat dianjurkan untuk mencobanya terlebih
dahulu dengan KLT. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kompleksitas campuran
yang akan dipisahkan dan sekaligus untuk menemukan sistem eluen yang akan
digunakan untuk proses pemisahan menggunakan kromatografi kolom. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan adalah mencari campuran dua pelarut dengan perbedaan
polaritas cukup besar yang paling mungkin (misal: petroleum eter dengan
diklorometana) dan Rf sebagian besar senyawa sebaiknya lebih rendah dari 0,4.
Dari beberapa pengamatan diketahui bahwa semakin kecil harga Rf suatu senyawa,
maka makin besar jumlah eluen yang diperlukan untuk mengelusi senyawa tersebut
dari kolom. Dengan demikian, senyawasenyawa yang memiliki harga Rf 0,8 dan
0,9 akan sulit untuk dipisahkan karena keduanya akan terelusi oleh eluen hanya
dalam jumlah kecil sehingga tidak ada waktu untuk terpisah.
Tahap yang paling sulit dalam kromatografi kolom adalah pengisian kolom
dengan adsorben. Pengisian tersebut harus sehomogen mungkin dan harus benar-
benar bebas dari gelembung udara. Permukaan adsorben juga harus benar-benar
horisontal untuk menghindari terjadinya cacat yang dapat terjadi selama proses
elusi berjalan. Untuk itu yang pertama harus diperhatikan adalah menempatkan
kolom pada posisi yang benar-benar vertikal.

2.6 Daun Andong (Cordyline terminalis Kunth) & Daun Lidah Ular (
Tumbuhan andong (Cordyline terminalis Kunth) adalah tumbuhan yang termasuk
dalam golongan monokotil dan sering di manfaatkan sebagai tanaman hias. Tanaman andong
atau nama lainnya hanjuang merupakan salah satu tumbuhan perdu familia Liliaceae. Selain
difungsikan sebagai tanaman hias, tanaman andong ternyata mempunyai khasiat yang bisa
menyembuhkan berbagai penyakit disentri, diare, memar, radang gusi, dan asma.
Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa ekstrak andong mengandung
senyawa-senyawa golongan fenolik, flavonoid, steroid dan saponin. Menurut Putra, dkk.,
(2015) ekstrak daun tanaman andong mempunyai aktivitas antibakteri dan antioksidan.
Dyary, dkk., (2014) menemukan bahwa daun tanaman andong bersifat sitotoksik terhadap sel
vero dengan nilai IC50 sebesar 48,1 µg/mL. Isolasi dan identifikasi senyawa dari fraksi aktif
sitotoksik daun andong terhadap larva udang (Artemia salina Leach) juga telah dilakukan dan
menunjukkan bahwa isolat yang diperoleh adalah senyawa saponin steroid spirostan
(Bogoriani, dkk., 2007).
1) Klasifikasi Tanaman Andong (Cordyline terminalis Kunth)
Klasifikasi tanaman andong adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Viridliplantae
Infra Kingdom : Streptophyta
Super Divisi : Embryophyta
Divisi : Tracheophyta
Sub Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Super Orde : Lilianae
Ordo : Asparagales
Famili : Asparagaceae
Genus : Cordilyne Comm. Ex R. Br.
Spesies : Cordilyne Fructiosa (L). A. Chev

2) Morfologi Tanaman Andong


 Morfologi Akar
Akar tanaman andong adalah akar bertipe serabut yang berwarna putih kekuningan .
 Morfologi Daun
Daun tanaman andong merupakan daun tunggal yang berwarna hijau atau
merah kecoklatan serta berbentuk daun memanjang. Letak daun tersebar di batang
dan terutama terkumpul di bagian ujung batang. Helaian daun berbentuk lanset,
ujung dan pangkal tanaman andong meruncing dengan bagian tepi merata.
Tangkai daun tanaman andong berbentuk seperti talang, permukaan daun
licin, dan pertulangan daun menyirip. Panjang daun andong sekitar 20-60 cm
dengan lebar kira-kira 5-13 cm.
 Morfologi Bunga
Bunga tanaman andong berbentuk malai besar dan muncul dari tengah-tengah
cluster daun. Panjang bunga sekitar 30-38 cm, berbentuk melengkung dan
bercabang-cabang. Bunga andong berwarna keunguan atau kuning muda dan terdiri
dari kelopak bunga yang berukuran sempit dengan 6 lobus runcing, 6 benang sari,
dan putik berwarna putih dengan 3 ovarium.
Bunga andong merupakan bunga majemuk yang bertangkai panjang dengan
daun pelindung yang besar pada pangkal cabang, panjangnya kurang lebih 1,4 cm.
anak daun pelindung pada pangkal bunga berukuran kecil.
2.7 Daun Lidah Ular/ Rumput Mutiara
Nama lain rumput mutiara dikenal sebagai rumput siku-siku, daun mutiara, lidah ular,
katepan, bunga telor (melayu), shui xian ciao (Cina), urek-urek polo dan pengka. Termasuk
dalam genus Hedyotis yang suka tumbuh di tempat-tempat lembab seperti kebun kosong
yang basah, halaman rumah, pinggir jalan, selokan atau hidup bersama dengan tanaman
dalam pot.
a) Klasifikasi Tanaman Lidah Ular/ Rumput Mutiara
Divisi : Spermatophyte
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Hedyotis
Spesies : Hedyotis corymbosa [L] Lamk
b) Morfologi Tanaman Lidah Ular/ Rumput Mutiara
 Rumput mutiara biasa tumbuh rindang secara berserak, agak lemah, tinggi 15 – 50
cm, biasanya tumbuh subur pada tanah lembab di sisi-sisi jalan, pinggir selokan,
atau sudut-sudut pagar tembok. Mempunyai banyak percabangan, batang bersegi,
daun berhadapan bersilang, tangkal daun pendek/hampir duduk, panjang daun 2 – 5
cm, ujung runcing, tulang daun satu di tengah. Pada tiap ujung daun memiliki
rambut yang pendek. Mempunyai bunga yang tumbuh ke luar dari ketiak daun,
bentuknya seperti payung berwarna putih, berupa bunga majemuk 2-5 bunga dalam
satu tangkai bunga, tangkai bunga (induk) keras seperti kawat, panjangnya 5 - 10
mm. Buah bulat, ujungnya pecah-pecah. Rumput Mutiara memiliki kesamaan
khasiat seperti Hedyotis Diffusa Willd (Rumput lidah ular).
 Cirinya mudah, pada keseluruhan batangnya berbentuk segi empat berwarna hijau
kecokelatan menempel ke tanah, nampak tegak condong, dan bercabang dari
pangkal batangnya. Sedangkan daunnya berbentuk kecil dan bertulang, meruncing
pada bagian pangkal, berwarna hijau pucat dan bersisik kecil pada bagian tepi daun.
Ciri lain, rumput ini berakar tunggang serta memiliki cabang akar seperti benang.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Metodologi Tanaman Andong


a. Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat alat gelas
kimia, botol semprot, botol vial, corong kaca, corong pisah, gunting, neraca
analitik, penggaris, pensil, pipa kapiler, pipet mikro, pipet tetes, plat KLT, rotary
evaporator, statif dan klem, spektrofotometer UV-Vis (Variant Cary 100 Conc.) dan
spektrometer inframerah Shimadzu IRTracer-100.
Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah akuades, ammonia,
asam asetat, asam klorida, asam sulfat, batang tanaman andong (Cordyline
fruticosa), besi (III) klorida, etil asetat teknis dan p.a, diklorometana teknis dan p.a,
kloroform, metanol teknis dan p.a, nheksana teknis dan p.a, padatan magnesium,
pelet kalium bromida, reagen Dragendorff, reagen Liebermann-Buchard, reagen
Wagner, dan reagen Mayer.
b. Prosedur Kerja
Batang tanaman andong (Cordyline fruticosa) yang telah dihaluskan
diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol berulang-ulang
sampai terekstraksi sempurna. Ekstrak metanol dipekatkan kemudian difraksinasi
menggunakan pelarut n-heksana, diklorometana dan etil asetat. Diperoleh fraksi n-
heksana, diklorometana, etil asetat dan fraksi metanol, kemudian dipekatkan
menggunakan rotary evaporator. Semua fraksi dan ekstrak metanol dilakukan uji
fitokimia. Fraksi diklorometana selanjutnya dilakukan proses pemisahan dan
pemurnian lebih lanjut untuk mendapatkan isolat. Proses pemisahan dan pemurnian
meliputi beberapa metode yaitu kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi vakum
cair (KVC) dan kromatografi kolom gravitasi (KKG). Teknik KLT dilakukan untuk
menentukan eluen yang memberikan pola pemisahan yang paling baik untuk
pemisahan dan pemurnian lanjutan. Fase diam yang digunakan adalah silika dan
fase geraknya berupa diklorometana:etil asetat 9:1). Fraksi diklorometana kemudian
dipisahkan dengan menggunakan eluen diklorometana:etil asetat (9:1) dengan
metode kromatografi vakum cair (KVC). Hasil dari proses KVC ini kemudian
dilakukan pemisahan kembali menggunakan metode kromatografi kolom gravitasi
(KKG). Dari proses KVC dan KKG diperoleh isolat B1.
Semua fraksi dan isolat B1 kemudian diuji aktivitas sitotoksiknya terhadap sel
HeLa menggunakan metode MTT (tetrazolium (3-(4,5-dimetiltiazol-2-
il)2,5difeniltetrazolium bromida). Pada isolat B1 juga dilakukan karakterisasi
menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan spektrofotometer inframerah.
c. Pembahasan
Hasil uji fitokimia ekstrak kental metanol menunjukkan bahwa senyawa yang
terkandung dalam batang andong adalah senyawa golongan flavonoid,
steroid/triterpenoid, tanin, alkaloid dan saponin. Data uji fitokimia ekstrak kental
methanol dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Uji Fitokimia Ekstrak Kental Metanol Batang Andong
No. Golongan senyawa Uji/ pereaksi Hasil pengamatan
1. Flavonoid HCl dan pita Mg Positif
2. Steroid/ triterpenoid LiebermanBuchard Positif
3. Tanin FeCl3 Positif
4. Alkaloid Mayer Positif
Wagner Positif
5. Saponin Uji busa Positif
Ekstrak kental metanol ini kemudian dilakukan proses partisi dengan
menggunakan beberapa pelarut. Hasil partisi ini disebut dengan fraksi. Keempat
fraksi yang diperoleh kemudian dilakukan uji fitokimia, dan data hasil uji
fitokimianya disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa fraksi
diklorometana, fraksi etil asetat dan fraksi metanol memiliki kandungan senyawa
steroid/triterpenoid, sedangkan untuk fraksi n-heksana menunjukkan hasil yang
negatif.

Tabel 2. Hasil Uji Fitokimia Fraksi n-heksana, Fraksi Diklorometana, Fraksi Etil
Asetat dan Fraksi Metanol
No. Uji Fraksi
Metanol n-heksana Diklorometana Etil asetat
1. Flavonoid + - + +
2. Steroid/ Terpenoid + - + +
3. Saponin + - + +
4. Alkaloid - - + +
5. Tanin + + + +
Pemisahan dan Pemurnian
Hasil maserasi 3 kg daun andong diperoleh ekstrak kental metanol sebanyak
315 gram dan berwarna hitam kecoklatan. Pemisahan dan pemurnian dari fraksi
diklorometana dilakukan menggunakan metode KVC dan KKG. Pada proses KVC
sampel yang digunakan sebanyak 15 gram dan dihasilkan 33 fraksi eluat dengan
kepolaran yang berbeda. Semua eluat diuji dengan KLT untuk mengetahui pola
distribusi senyawa sehingga dapat digabungkan senyawa dengan nilai Rf yang
sama. Fraksi digabungkan menjadi 7 fraksi berdasarkan kemiripan pola distribusi
pada plat KLT seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Jumlah Setiap Fraksi Gabungan Hasil KVC
No Botol Kode fraksi gabungan Jumlah(g) Rendemen(%)

1. 1-2 A 0,60 4
2. 3-10 B 2,36 15,74
3. 11-15 C 1,47 9,8
4. 16-21 D 1,76 11,73
5. 22-25 E 1,81 7,87
6. 26-30 F 1,50 10
7. 31-33 G 0,09 6

Fraksi dengan massa terbanyak yaitu fraksi B (2,36 gram) diteruskan untuk
pemisahan lebih lanjut menggunakan metode KKG. Proses KKG dilakukan
menggunakan eluen bergradien dengan pelarut berturut-turut yaitu
diklorometana:etil asetat (1:9), etil asetat 100% dan metanol 100%.

Berdasarkan hasil KLT vial dengan nomor 3-5 memiliki pola pemisahan yang
sama. Vial-vial ini kemudian digabungkan dan diberi kode fraksi B1 dan pelarutnya
diuapkan. Massa yang diperoleh sebanyak 10,97 mg. Isolat B1 kemudian diuji
kemurniannya menggunakan beberapavariasi eluen dengan KLT satu dan dua
dimensi untuk menentukan noda yang terbentuk. Berdasarkan hasil KLT isolat B1
dengan berbagai eluen pada satu dan dua dimensi menunjukkan bahwa isolat
memiliki noda tunggal. Hal ini berarti bahwa isolat B1 sudah relatif murni.
Selanjutnya isolat ini dikarakterisasi menggunakan spektroskopi ultra violet-visible
(UV-Vis) dan spektroskopi inframerah.

Uji Aktivitas Sitotoksik

Ekstrak dan fraksi-fraksi serta isolat B1 yang diperoleh selanjutnya dilakukan


uji aktivitas sitotoksiknya terhadap sel HeLa menggunakan metode MTT
(tetrazolium (3(4,5-dimetiltiazol-2-il)2,5 difeniltetrazolium bromida). Nilai IC50
yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai IC50 Uji Aktivitas Sitotoksik

Sampel IC50( g/mL)

Ekstrak metanol 282,24

Fraksi n-heksana 280,18

Fraksi diklorometana 256,28

Fraksi etil asetat 160,82

Fraksi metanol 177,24

Isolat B1 279,56

Berdasarkan Tabel 4 sampel yang memiliki aktivitas sitotoksik yang paling


tinggi adalah fraksi etil asetat. Menurut Prayong (2008), sitotoksisitas dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) sitotoksik potensial jika nilai IC50<100
g/mL, (2) sitotoksik sedang jika nilai 100 µg/mL<IC50<1000 µg/mL, dan tidak
toksik jika nilai IC50>1000 µg/mL. Fraksi diklorometana dengan nilai IC50 sebesar
256,28 µg/mL termasuk sitotoksik moderat.

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa isolat B1 memiliki nilai IC50 sebesar


279,56 µg/mL, sedangkan fraksi diklorometana memiliki nilai IC50 sebesar 256,28
µg/mL. Dari nilai tersebut, dapat diketahui bahwa kemampuan sitotoksik isolat
lebih rendah dibandingkan dengan fraksi diklorometana. Hal ini disebabkan karena
pada fraksi diklorometana masih terdapat senyawa lainnya seperti terpenoid, tannin,
flavonoid dan saponin yang dapat bersinergis sehingga memiliki kemampuan
sitotoksik yang tinggi dibandingkan dengan kemampuan sitotoksik yang hanya
terdapat pada senyawa steroid.

Karakterisasi Senyawa

Hasil spektrum UV-Vis memperlihatkan bahwa isolat B1 memberikan serapan


pada panjang gelombang 339,5 dan 220,5 nm yang merupakan ciri khas transisi
π→π* dan n→π*. Serapan pada panjang gelombang tersebut menunjukkan bahwa
senyawa ini merupakan suatu senyawa aromatik. Transisi elektronik n→π* terjadi
dari gugus yang mempunyai pasangan elektron bebas, sedangkan transisi elektronik
π→π* terjadi dari gugus yang mempunyai ikatan rangkap dua dari cincin senyawa
steroid. Spektrum UV-Vis dari isolat B1 dapat dilihat pada Gambar 1.

Hasil spektrum infra merah memperlihatkan bahwa isolat yang diperoleh


menunjukkan serapan melebar pada bilangan gelombang 2954-2854 cm-1 dengan
bentuk intensitas yang sangat kuat menunjukkan adanya vibrasi ulur C-H alifatik.
Serapan yang tajam dan kuat pada bilangan gelombang 1739,7 cm-1 menunjukkan
regangan dari gugus fungsi C=O karbonil. Pada bilangan gelombang 1461,9 cm-1,
pita serapan yang terbentuk adalah tajam dengan intensitas yang kuat menunjukkan
ikatan C=C (sp2).

Serapan pada daerah bilangan gelombang 1272 cm-1 dengan bentuk pita
tajam dan intensitas sedang menunjukkan serapan alkohol sekunder (-CH-OH).
Pada bilangan gelombang 1203-1172 cm-1 dengan bentuk pita tajam dan intensitas
kuat menunjukkan adanya ikatan C-O-C eter dari struktur. Dari data ini dapat
disimpulkan bahwa senyawa isolat B1 mengandung gugus hidroksil (OH), alkil
(CH3 dan CH2), alkohol sekunder (-CH-OH) dan ikatan C rangkap dua (C=C).
Spektrum IR dari isolat B1 dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar.1 Spektrum UV-Vis Isolat B1

Gambar 2. Spektrum IR Isolat B1

3.2 Metodologi Tanaman Lidah Ular


a. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan di Sublaboratorium kimia Lab. Dasar Fakultas
MIPA Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru selama 4 bulan. Instrumen
Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat
gelas, neraca analitik Ohauss, termometer, krus porselain, oven, corong pisah,
penangas air, spektrofotometer UV -Vis DMS 100, pengaduk magnetik, dan kertas
saring Whatrnan No. 42.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia
dengan derajat p.a., yaitu HCl, H2SO4, FeCl3, logam magnesium, asam asetat
glasial, NaCl, NH4OH, metanol, etanol, n butanol, dietil eter, reagent Meyer,
reagent Wagner, reagent Dragendorff, kloroform, dan kalium ferosianida. Bahan
utama tumbuhan lidah ular.
b. Prosedur Kerja
1) Uji Alkaloid
Lidah ular sebanyak 2 gram ditimbang dan dihaluskan, kemudian yang telah
dihaluskan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan
dengan 5 ml kloroform dan 5 ml larutan amoniak. Setelah itu campuran
dipanaskan, dikocok, dan disaring. Larutan H2SO4 2 N sebanyak 5 tetes
ditambahkan ke dalam filtrat dan dikocok. Setelah itu bagian atas dari filtrat
diambil dan diuji dengan reagent Meyer, Wagner, dan Dragendorff. Jika terdapat
endapan putih dengan pereaksi Meyer, endapan merah jingga dengan pereaksi
Dragendorff, dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner, maka positif terdapat
alkaloid.
2) Uji Flavonoid
Lidah ular sebanyak 1 gram ditimbang dan dihaluskan, kemudian dimasukkan
ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan logam (serbuk) Mg, 0,2 ml HCl
pekat, dan beberapa tetes amil alkohol. Larutan dikocok dan dibiarkan memisah.
Flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna merah coklat pada lapisan amil
alkohol.
3) Uji Saponin
Ampas sisa identifikasi alkaloid dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan dengan 1 ml akuades. Setelah itu campuran dikocok dan
didiamkan selama 15 menit. Hasil diamati untuk pembentukan busa atau tidak.
4) Uji Steroid dan Triterpenoid
Lidah ular sebanyak 1 gram ditimbang dan dihaluskan, kemudian dimasukkan
ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan 2 ml kloroform. Setelah itu
campuran dikocok dan disaring. Masing-masing asetat anhidrat dan H2SO4
pekat sebanyak 2 tetes ditambahkan pada filtrat, kemudian perubahan warna
yang terjadi diamati.
5) Uji Glikosida Jantung
Ekstrak lidah ular sebanyak 5 ml dicampur dengan 2 ml asam asetat glasial yang
berisi satu tetes larutan FeCb. Hasil dari uji glikosida jantung ditentukan dengan
penambahan 1 ml H2SO4 pekat ke dalam campuran. Terbentuknya suatu cincin
berwarna coklat yang ada pada permukaan menandakan adanya kardenolida
(glikosida jantung). Suatu cincin yang berwarna ungu mungkin akan nampak di
bawah cincin yang berwama coklat, sementara pada saat berada dalam lapisan
asam asetat, secara berangsur-angsur akan terbentuk lapisan yang berwama
kehijau-hijauan di bawah cincin yang berwama ungu sebelumnya. Uji glikosida
jantung ini menggunakan uji Keller-Killiani.
6) Uji Tanin
Lidah ularyang telah dihaluskan sebanyak 0,5 g dididihkan dalam tabung reaksi
yang berisi 20 ml air, kemudian larutannya disaring. Beberapa tetes FeCl3
0,1% ditambahkan pada filtrat dan hasilnya diamati. Uji tanin dalam sampel
positif apabila hasil menunjukkan warna hijau kecoklatan atau biru kehitaman.

c. Pembahasan
Tabel Hasil Uji Fitokim Tanaman Lidah ular
Uji Fitokimia Pereaksi Hasil
Alkaloid Meyer (-)
Wagner (-)
Dragendorff (+)
Flavonoid Mg+HCl pekat +amil alcohol (+)
Saponin (-)
Steroid & triterpenoid Kloroform+ asetat anhidrat (+)
Glikosida Jantung Asam asetat glasial+FeCl3+H2SO4 pekat (+)
Tanin FeCl3 0,1 % (+)
1) Identifikasi Alkaloid
Identifikasi alkaloid ini menggunakan metode penyaringan. Dengan cara ini
komponen dari zat uji disaring dengan pelarut yang spesifik. Cairan penyaring
akan masuk ke dalam sel-sel dari sampel dan zat yang terlarut dapat larut dalam
larutan penyaring. Larutan yang mengandung zat tersaring dari bahan yang
telah disaring. Penambahan kloroform pada sampel yang telah dihaluskan
menghasilkan larutan yang mempunyai perbedaan warnalarutan. Penambahan
ammonia yang disertai pemanasan pengocokkan dan penyaringan menyebabkan
perubahan warna larutan dari warna asalnya. Fungsi penambahan ammonia ini
yaitu sebagai senyawa aktif yang berada pada sampel yang terekstraksi dalam
kloroform dalam suasana basa (daun yang diujikan menjadi basa bebas).
Penambahan ammoniak ini juga membantu dalam melarutkan sampel.
Adanya alkaloid pada ekstrak nisbi kasar diuji dengan menggunakan
pereaksi
Meyer, pereaksi Wagner dan pereaksi Dragendorf. Pereaksi Meyer mengandung
kalium iodida dan merkuri klorida. Sementara pereaksi Wagner mengandung
kalium iodida dan iod. Metabolisme reaksi wagner ini terjadi jika ada asam,
reaksi dapat terjadi karena adisi ion hidrogen pada ikatan rangkap dua lalu
membentuk karbokation. Dimana elektron dari bagian lain molekul tertarik ke
atom karbon yang bermuatan positif, dan terbentuk ikatan kimia baru dengan
penyingkiran ion hidrogen atau adisi ion negatif. Sedangkan pereaksi
Dragendorf mengandung bismut nitrat dan merkuri klorida dalam asam nitrit
berair. Pereaksi-pereaksi ini digunakan berdasarkan kesanggupan alkaloid untuk
bergabung dengan logam yang memiliki berat atom tinggi seperti merkuri,
bismut,
tungsten, atau iod.
Dari hasil penelitian, pada tanaman Lidah ular uji alkaloid menunjukkan
hasil positif baik menggunakan pereaksi Meyer, Wagner, maupun Dragendorf.
Jadi pada tanaman alang-alang dan lidah ular mengandung alkaloid, dimana
seperti kita ketahui alkaloid merupakan senyawa metabolit yang terdapat dalam
sejumlah besar tumbuhan dan mempunyai peranan penting dalam dunia
kesehatan.
2) Identifikasi Flavonoid
Pada uji ini menggunakan pereaksi Magnesium. Magnesium digunakan sebagai
pereduksi dimana reduksi tersebut dilakukan dalam suasana asam dengan
penambahan HCl. Reduksi dengan magnesium dan asam klorida pekat
menghasilkan warna coklat tua kemerahan pada tanaman lidah ular. Hal ini
menunjukkan bahwa pada tanaman lidah ular positif mengandung flavonoid.

3) Identifikasi Saponin
Pembentukkan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi sampel daun
merupakan bukti bahwa dalam sampel tersebut mengandung saponin.
Identifikasi saponin pada percobaan ini merupakan suatu uji yang sederhana,
dimana ampas alkaloid ditambahkan dengan akuadeskemudian dilakukan
pengocokkan, lalu diperhatikan apakah ada terbentuk busa tahan lama pada
permukaan cairan. Digunakan sisa identifikasi alkaloid karena dalam
identifikasi alkaloid digunakan pengekstrakan dengan menggunakan kloroform.
Apabila diambil dari sisa identifikasi flavonoid, saponin yang terdapat dalam
sampel sulit untuk memekatkan ekstrak alkohol-air dengan baik. Dari hasil
penelitian baik sampel tanaman lidah ular memberikan hasil yang negatif.
Dengan demikian pada tanaman lidah ular tersebut tidak mengandung saponin.
4) Identifikasi Steroid dan Triterpenoid
Identifikasi steroid dan triterpenoid menggunakan uji Lieberman-Burchard
(anhidrida asetat – H2SO4 pekat) yang dengan kebanyakkan triterpena dan
sterol memberikan warna hijau – biru. Tidak ada uji tunggal yang dapat
membedakan triterpenoid dan steroid sebagai golongan dari kandungan
tumbuhan yang lain. Pada penelitian yang dilakukan, sampel diekstrak dengan
kloroform, kemudian ke dalam filtrat ditambahkan asetat anhidrat. Larutan
kemudian dipekatkan dan diasamkan dengan asam sulfat pekat. Pada sampel
lidah ular menunjukkan hasil positif mengandung steroid dan triterpenoid.
5) Identifikasi Tanin
Identifikasi tanin dilakukan dengan pereaksi FeCl3 0,1% dimana lidah ular
terlebih dahulu dididihkan dalam tabung reaksi yang berisi air. Uji tanin dalam
sampel positif apabila hasil menunjukkan warna hijau kecoklatan atau biru
kehitaman. Dari hasil penelitian diperoleh larutan berwarna kecoklatan yang
menunjukkan tanaman tersebut positif mengandung tanin.
6) Identifikasi glikosida
Ekstrak lidah ular dicampur dengan asam asetat glasial yang berisi satu tetes
larutan FeCl3. Hasil dari uji glikosida jantung ditentukan dengan penambahan 1
ml H2SO4 pekat ke dalam campuran. Dari hasil penelitian, pada tanaman lidah
ular terbentuk suatu cincin berwarna coklat yang ada pada permukaan yang
menandakan adanya kardenolida (glikosida jantung).
BAB IV
KESIMPULAN
1. Glikosida jantung atau steroid adalah glikosida yang aglikonnya berupa steroid.
Glikosida steroid disebut juga glikosida jantung karena memiliki daya kerja kuat dan
spesifik terhadap otot jantung. Glikosida yang termasuk didalam golongan ini
mempunyai sifat khas, yaitu mempunyai aksi khas kuat terhadap oto-otot, jantung,
memperkuat tonus jantung menggiatkan dan menambah kontraksi jantung.
2. Penggunaan glikosida jantung dalam terapi yaitu dapat meningkatkan kekuatan
kontraksi sistolik. Glikosida jantung biasanya digunakan pada pasien gagal jantung
kongestif. Glikosida jantung bekerja dengan cara menghambat Na+, K+, ATP-ase.
3. Glikosida jantung mempunyai mekanisme kerja penghambatan Na+/K+ ATPase yang
merupakan inhibitor transport aktif Na+ dan K+ yang kuat dan sangat selektif untuk
melintasi membran sel, dengan cara berikatan pada suatu tempat khusus pada sisi
ekstrasitoplasma di sub unit α pada Na+/K+-ATPase, sejenis enzim “pompa Na” dalam
sel. Pengikatan glikosida jantung dengan Na+/K+-ATPase dan penghambatan pompa
ion dalam sel ini bersifat reversible dan dihantarkan secara entropik.
4. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tanaman lidah ular mengandung
senyawa aktif alkaloid, flavanoid, steroid, terpenoid, dan tannin dan juga senyawa
glikosida. Sedangkan senyawa saponin tidak terdapat pada tanaman lidah ular.
5. Berdasarkan spektrum UV-Vis dan spektrum IR menunjukkan pada tanaman andong
adanya senyawa steroid pada fraksi B1. Aktivitas sitotoksik yang ditimbulkan oleh
isolat B1 termasuk sitotoksik moderat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardji, Ari Widiyantoro, Lia Destiarti. 2018. Krateristik Senyawa Steroid Dari Fraksi
Diklorometan Batang Tanaman Andong (Cordyline fruticosa) Dan Aktivitas
Sitotoksinya Terhadap Sel HeLa. JKK, Tahun 2018, Vol 7(1), halaman 48-52.
2. Seniwaty, Raihanah, Ika Kusuma Nugraheni, Dewi Umaningrum. 2009. Skrining
Fitokimia Dari Alang-Alang (Imperata Cylindrica L.Beauv) Dan Lidah Ular
(Hedyotis Corymbosa L.Lamk). Sains dan Terapan Kimia, Vol. 3 No. 2 (Juli 2009),
124 – 13
3. Bogoriani, N.W., Santi, S.R., & Asih, Sarsiti, I.A.R. 2007. Isolasi Senyawa Sitotoksik
dari Daun Andong (Cordyline terminalis Kunth). J. Kim. 1(1): 2-4.
4. Anonynous, 2006. Tanaman Obat Indonesia. Lidah ular
http://www.iptek.net.id/indp_tanobat/ view.php?d=237
5. Harborne, J B. 1996. Metode Fitokimia. ITB. Bandung.
6. Wijayakusuma, H. 1992. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jilid 2. Pustaka
Kartini. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai